POTENSI SERAPAN KARBON PADA BEBERAPA TIPE HUTAN DI INDONESIA Ary Widiyanto ABSTRAK Dalam rangka memasuki era perdagangan karbon serta sebagai komitmen Indonesia dalam melaksanakan pengurangan Emisi (Karbon) dari Kerusakan dan Degradasi Hutan atau Reduction Emission From Deforestation and forest Degradation (REDD) dirancang suatu kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan jasa hutan sebagai penyerap karbon. Tulisan ini dimaksudkan untuk menyajikan data dan informasi mengenai potensi karbon pada beberapa tipe hutan yang meliputi hutan tanaman/rakyat, hutan konservasi dan hutan produksi. Dari hasil penghitungan data kandungan karbon dan serapan karbon setara setara CO2 tersebut diketahui bahwa biomasa sangat dipengaruhi oleh umur tanaman, diameter dan luas bidang dasar (basal area) suatu pohon. Meskipun tidak sebesar hutan konservasi, potensi penyerapan karbon setara CO2 hutan tanaman/rakyat sengon, ganitri, aren dan mangium cukup menjanjikan, karena jumlahnya tidak berbeda jauh dengan hutan produksi bekas tebangan 1 tahun dan 5 tahun, bahkan lebih besar dari hutan sekunder muda. Kata kunci: biomasa, potensi karbon, hutan tanaman, hutan konservasi, hutan produksi I.
PENDAHULUAN
Perubahan iklim, yang salah satu faktor utama penyebabnya adalah emisi gas rumah kaca (GRK), menimbulkan beberapa dampak nyata seperti kenaikan suhu bumi yang mengakibatkan es di kutub mencair dan mengancam tenggelamnya negaranegara kepulauan, termasuk beberapa pulau di Indonesia. Selain itu perubahan iklim menyebabkan anomali cuaca, yang mengakibatkan berkembangnya wabah penyakit seperti malaria, gagal panen beberapa komoditi pertanian, juga bencana kekeringan dan banjir di beberapa wilayah di dunia. Di Indonesia telah tejadi naiknya permukaan air laut. Antara tahun 1925-1989 misalnya, telah terjadi kenaikan permukaan air laut di Jakarta mencapai 4,38 mm per tahun, Semarang 9,27 mm per tahun dan Surabaya 5,47 mm per tahun. Jika kondisi ini tidak segera diatasi, maka akan menimbulkan dampak yang lebih besar lagi, bahkan diprediksi beberapa negara akan hilang akibat meningkatnya 1
permukaan air laut serta potensi bahaya kelaparan yang akan melanda dunia akibat gagal panen. Untuk itu semua negara bersepakat untuk mengurangi emisi karbon dalam jumlah besar (depp cuts) untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer guna mencegah kenaikan suhu bumi di atas 2OC. Adaptasi terhadap dampak perubahan iklim juga mendesak untuk diimplementasikan. Pencegahan deforestasi (avoided deforestation) menjadi isu utama dalam percaturan politik internasional dalam mengurangi pemanasan global. Isu ini pertama kali muncul pada Conferences of the Parties (COP) ke-11 untuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Montreal 2005. Papua New Guinea dan Costa Rica yang didukung oleh delapan Pihak yang tergabung dalam Coalition for Rainforest Nations (CfRN) mengajukan proposal tentang insentif untuk pencegahan deforestasi atau dikenal dengan Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries (RED). RED ini kemudian menjadi agenda COP ke-11. COP ke-11 mengundang para Pihak dan peninjau terakreditasi (accredited observers)
seperti
NGOs,
untuk
mengajukan
pandangan-pandangannya
kepada Subsidiary Body on Scientific and Technical Advice (SBSTA) tentang RED dalam proses selama dua tahun untuk disepakati pada COP ke-13 di Bali. Diharapkan pada COP ke-15 pada Desember 2009 di Copenhagen dapat disepakati mengenai modality, aturan dan prosedur implementasi RED. Ada tiga proposal yang diajukan oleh negara-negara para Pihak (Parties) dan NGOs yang memasukan emisi dari deforestasi (RED), deforestasi dan degradasi (REDD) atau deforestasi, degradasi dan enhancement (REDD+)(REDD Indonesia, 2010). Perhitungan potensi karbon diperlukan dalam memasuki era perdagangan karbon, dimana negara maju (annex 1) akan memberikan bantuan pembiayaan dan teknologi kepada negara berkembangan yang terbukti dapat mengurangi emisi karbonnya, dengan mekanisme yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi, atau Measurable, Reportable and Verifiable (MRV). Sejauh ini, penghitungan potensi karbon sudah cukup banyak dilakukan, meskipun belum mewakili semua jenis tanaman hutan dan mewakili wilayah di Indonesia, sehingga informasi mengenai potensi karbon pada berbagai pola tegakan khususnya hutan tanaman (HR/HKM) masih terbatas. Disamping itu juga masih 2
dijumpai adanya kesulitan di dalam menduga potensi karbon pada berbagai pola tegakan hutan tanaman, sehingga menyulitkan dalam menentukan nilai karbon yang dapat diperdagangkan. Tulisan ini bertujuan untuk membandingkan potensi serapan karbon pada beberapa tipe hutan di Indonesia, yaitu hutan tanaman, hutan konservasi dan hutan produksi. Meskipun ada perbedaan dalam metode perhitungan karbonnya, mayoritas daerah di Indonesia memiliki kondisi iklim, kelembaban dan curah hujan yang hampir sama. Tulisan ini setidaknya diharapkan bisa memberi gambaran potensi karbon untuk beberapa tipe hutan di beberapa daerah di Indonesia. II.
METODOLOGI
A. Perhitungan Biomasa Dengan Metode Destructive Sampling Penghitungan potensi karbon dengan menggunakan metode destructive sampling bisa dilakukan dengan menggunakan metode seperti pada Gambar 1 di bawah ini:
POHON
OVEN (105O)
DITEBANG
DITIMBANG
DITIMBANG
AMBIL CONTOH UJI
Gambar 1. Diagram pengambilan sampel pohon
Setelah dioven, kemudian ditimbang sebagai berat kering tanur atau berat kering contoh (BK). Berat kering total (BKT) tersebut dihitung berdasarkan rumus, berikut: BKT = BK x BBT BB Dimana : BKT = berat kering total (kg), BBT = berat basah total (kg) BB = berat basah contoh (kg), BK = berat kering contoh (kg) Berat karbon dihitung berdasarkan pendekatan Brown (1997) bahwa 50% dari berat biomasa kering adalah karbon yang tersimpan. 3
C = 0,50 x BKT Dimana: C = Kandungan karbon (ton/ha) Metode ini antara lain dilakukan pada penghitungan potensi karbon pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di Kediri oleh Siregar (2007) penghitungan potensi karbon pohon ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) dilakukan di Ciamis oleh Mile et al (2009), penghitungan potensi karbon pohon aren (Arenga pinnata) di Ciamis Mile et al, (2008),
penghitungan potensi karbon tanaman
mangium (Acacia mangium Willd.) oleh Heriyanto dan Siregar (2007) dan hutan sekunder muda di Bogor oleh Heriyanto dan Siregar (2007). B. Perhitungan Biomasa Tanpa Menggunakan Destructive Sampling Data diameter yang diperoleh digunakan untuk pendugaan biomasa dan potensi karbon dengan allometric equation (persamaan allometrik) yang digunakan menurut Brown et al (1997) yaitu: Y = 0.092 D2.60 Metode ini antara lain dilakukan pada penghitungan karbon di hutan konservasi yang dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) Jawa Barat (Siregar, 2007), dan penghitungan potensi karbon di hutan produksi dilakukan di Cagar Biosfer Siberut, Sumatera Barat (Bismark, 2008). C. Penghitungan serapan karbon setara CO2 Penghitungan serapan karbon setara CO2 bisa dilakukan dengan menggunakan persamaan: Serapan karbon dioksida (CO2) = Mr CO2 x Kandungan C Ar. C = 3,67 x Kandungan C Dimana: Mr = Molekul Relatif dan Ar = Atom Relatif
III.
POTENSI SERAPAN KARBON PADA BEBERAPA JENIS HUTAN
A. Hutan Tanaman/Rakyat Sengon di Kediri, Jawa Timur Penelitian ini dilakukan oleh Siregar (2007) di hutan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di RPH Pandantoyo, BPKH Pare, KPH Kediri, Jawa Timur dengan menggunakan metode destructive sampling. Dari hasil 4
penghitungan pada 35 pohon contoh dengan kerapatan 376 tanaman/ha diketahui hutan tanaman sengon di tempat tersebut memiliki biomasa dan potensi karbon total sebesar 83,97 ton/ha biomasa dan 41,99 ton/ha potensi karbon. Biomasa dan potensi karbon per bagian tanaman bisa dilihat pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Kandungan biomasa dan karbon tanaman sengon Bagian Pohon
Biomasa (ton/ha)
Karbon (ton/ha)
Di atas tanah
73,33
36,67
Di bawah tanah
10,64
5,32
Total
83,97
41,99
Sumber: Siregar (2007)(dengan modifikasi)
B. Hutan Tanaman Ganitri di Ciamis, Jawa Barat Hasil perhitungan terhadap 22 pohon ganitri yang menjadi sampel sebagaimana pada Tabel memperlihatkan bahwa kandungan biomasa ganitri rata-rata sebesar 256,67 kg/pohon. Kandungan terbesar pada bagian batang, disusul bagian ranting dan daun. Rata-rata kandungan biomasa batang, ranting dan daun berturutturut 202,73 kg/pohon, 37,94 kg/pohon dan 16,00 kg/pohon. Demikian juga kandungan karbon ganitri yang menunjukkan kecenderungan yang sama. Perkiraan total kandungan karbon ganitri adalah 128,33 kg/pohon dengan bagian batang, ranting dan daun berturut-turut 101,36 kg/pohon, 18,97 kg/pohon dan 8 kg/pohon (Mile et al, 2009). Tabel 2. Kandungan biomasa dan karbon tanaman ganitri Biomasa (kg/pohon) Batang Ranting Daun 202.73 37.94 16.00 Sumber: Mile et al (2009)
total 256.67
Batang 101.36
Karbon (kg/pohon) Ranting Daun 18.97 8.00
Total 128.33
Presentase kandungan biomasa ganitri terbesar pada bagian batang yang yaitu mencapai 78,99 %, sedangkan ranting dan daun berturut-turut 14,78 % dan 6,23 %. Hal ini dapat dimengerti mengingat batang merupakan bagian berkayu dan tempat penyimpanan cadangan hasil fotosintesis untuk pertumbuhan. Berdasarkan hasil pengukuran di atas dapat dilakukan pendugaan sementara kandungan karbon, jika akan dikembangkan suatu hutan tanaman ganitri. Apabila diasumsikan jarak tanam rata-rata tanaman ganitri adalah 5 m x 5 m dengan jumlah pohon ganitri rata-rata 400 pohon maka perkiraan kandungan karbon dalam 1 ha adalah sebesar 51,33 ton/ha. 5
C. Hutan Tanaman Aren di Ciamis, Jawa Barat Pengukuran biomasa tanaman aren dilakukan dengan menggunakan metode destructive sampling pada 36 pohon aren yang dijadikan sample dari berbagai ukuran tinggi dan diameter (Mile et al, 2008). Hasil pengukuran biomasa dan potensi karbon dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini : Tabel 3. Kandungan biomasa dan karbon tanaman aren Biomasa (kg/pohon) Batang Pelepah Daun Lidi Total 394,94 47,34 40,29 8,1 490,67 Sumber: Mile et al (2008)(dengan modifikasi)
Batang 197,47
Karbon (kg/pohon) Pelepah Daun Lidi 23,67 20,15 4,0
Total 245,34
Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa kandungan biomasa terbesar adalah pada batang yakni 394.94 kg sementara kandungan biomasa pada bagian pelepah adalah 47.34 kg, daun 40.29 kg dan lidi atau tulang daun mengandung 8.10 kg (Mile et al, 2008). Berdasarkan hasil pengukuran di atas dapat dilakukan pendugaan sementara kandungan karbon, jika akan dikembangkan suatu hutan tanaman. Apabila diasumsikan jarak tanam rata-rata tanaman aren adalah 5 m x 10 m dengan jumlah pohon aren rata-rata 200 pohon maka perkiraan kandungan karbon dalam 1 ha adalah sebesar 49.06 ton. D. Hutan tanaman Mangium di Bogor, Jawa Barat Penghitungan biomasa dan karbon tanaman Mangium (Acacia mangium Willd.) dilakukan terhadap 22 tanaman menggunakan metode destructive sampling yang diambil dan dipilih dari 16 plot berukuran 20 m x 30 m. Penelitian ini dilakukan oleh Heriyanto dan Siregar (2007) di RPH Maribaya, BKPH Parungpanjang KPH Bogor. Dari hasil penelitian diketahui bahwa hutan tanaman mangium di Maribaya, Bogor memiliki biomasa dan potensi karbon total sebesar 62,83 ton/ha biomasa dan 31,41 ton/ha potensi karbon. Biomasa per bagian tanaman bisa dilihat pada Tabel 4 di bawah ini:
6
Tabel 4. Kandungan biomasa dan karbon tanaman mangium Bagian Pohon
Biomasa (kg/pohon)
Karbon (kg/pohon)
Daun
3,42
1,71
Cabang & ranting hidup
4,85
2,43
Cabang & ranting mati
0,61
0,31
Batang
21,21
10,61
Akar
7,59
3,80
Total
37,69
18,85
Sumber: Heriyanto dan Siregar (2007)(dengan modifikasi)
E. Hutan Konservasi Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP), Jawa Barat Dikarenakan status kawasan hutan sebagai taman nasional, maka tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan penebangan atau menggunakan metode destructive sampling dalam pembuatan persamaan allometrik. Untuk itu dilakukan pendekatan secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan pengukuran diameter dan penggunaan persamaan allometrik menurut Brown et al (1989). Pengamatan dilakukan dalam plot seluas 0,4 ha yang dibagi dalam sub plot masing-masing seluas 0,1 ha (Siregar, 2007). Data diameter yang diperoleh digunakan untuk pendugaan biomasa dengan allometric equation untuk wilayah iklim moist dengan curah hujan 1.500 – 4.000 mm/tahun. Persamaan allometrik tersebut sesuai untuk wilayah iklim Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) yang memiliki curah hujan antara 3000 – 4.200 mm/tahun. Persamaan allometrik yang digunakan yaitu: Y = 38,4908-11,7883*DBH + 1,1926*DBH2, dengan R2 = 0,78. Dengan menggunakan persamaan tersebut untuk menduga biomasa, dan kandungan karbon = 0,5 x total biomassa, maka diperoleh hasil estimasi biomasa dan kandungan karbon di TNGP sebesar 551,12 ton/ha dan 275,56 ton/ha, atau jika diratarata per pohon sebesar 3.194,87 kg/pohon untuk biomasa dan 1.597,44 kg/pohon untuk potensi karbonnya. F. Hutan Sekunder Muda di Bogor, Jawa Barat Luas hutan yang digunakan dalam penelitian oleh Heriyanto dan Siregar (2007) adalah 10 ha, yang dibagi menjadi 10 plot berbentuk bujur sangkar berukuran 10 m x 10 m. Sedangkan untuk penghitungan biomasa dan karbon dilakukan dengan pemanenan tanaman (destructive sampling) pada salah satu plot yang dianggap 7
mewakili. Selain tanaman/tumbuhan atas, dalam penelitian ini juga dihitung tumbuhan bawah dengan dbh < 2 cm. Dari hasil penelitian diketahui bahwa total biomasa dan potensi karbon total sebesar 55,56 ton/ha biomasa dan 27,78 ton/ha potensi karbon. G. Hutan Produksi di Siberut, Sumatera Barat Sama dengan pengukuran di TNGP Cibodas, penelitian ini juga tidak menggunakan metode destructive sampling dalam pembuatan persamaan allometrik. Untuk itu dilakukan pendekatan secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan pengukuran diameter dan penggunaan persamaan allometrik menurut Brown et al (1989). Jumlah satuan contoh di hutan primer, hutan bekas tebangan 1 tahun dan hutan bekas tebangan 5 tahun masing-masing dibuat 3 (tiga) contoh dengan masingmasing contoh berukuran 50m x 50m (0,25 ha) (Bismark, 2008). Data diameter yang diperoleh digunakan untuk pendugaan biomassa dilakukan dengan allometric equation untuk wilayah iklim moist dengan curah hujan 1.500 – 4.000 mm/tahun (Brown et al, 1989). Persamaan allometrik yang digunakan yaitu: Y = 38,490811,7883*DBH + 1,1926*DBH2, dengan R2 = 0,78. Selanjutnya, hubungan kelas diameter pohon terhadap biomasa dan kandungan karbon pada plot pengukuran di Cagar Biosfer Siberut bisa dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 5. Hubungan kelas diameter dengan kandungan biomasa dan karbon Cagar Biosfer Siberut Tipe Hutan
Jumlah
Rataan estimasi
Kandungan
Pohon
biomasa (ton/ ha)
Karbon (ton/ ha)
Primer
28
131,92
65,96
Bekas tebangan 1 tahun
33
70,39
35,19
Bekas tebangan 5 tahun
26
97,55
48,77
99,95
49,98
RATA-RATA
29
pada
Sumber: Bismark et al, (2008)
Dari Tabel 5 terlihat bahwa kandungan biomasa dan potensi karbon terbesar pada hutan primer yang mencapai 131,92 ton/ha dan 65,96 ton/ha disusul pada hutan bekas tebangan 5 tahun sebesar 97,55 ton/ha dan 48,77 ton/ha serta paling rendah pada hutan bekas tebangan 1 tahun sebesar 70,39 ton/ha dan 35,19 ton/ha (Bismark, 2008).. 8
Perdagangan karbon menjadi agak unik dikarenakan ukuran-ukuran serta caracara pengukuran yang belum lazim dipakai oleh Negara Peserta Para Pihak (Parties). Para peneliti telah memiliki unit ukuran untuk memperkirakan jumlah serapan karbon secara ilmiah yang kemudian untuk keperluan praktis dilapangan harus dikonversi kedalam unit yang lebih mudah dan terukur yakni setara CO 2 (CO2 equivalent) atau untuk mudahnya setengah dari jumlah biomasa yang dikandung oleh pohon. Jumlah serapan karbon setara CO2 untuk hutan tanaman sengon, ganitri, aren dan mangium serta hutan konservasi dan hutan produksi bisa diringkas dalam Tabel di bawah ini: Tabel 6. Perkiraan kandungan karbon setara CO2 pada beberapa tipe hutan Jenis Tanaman/Hutan
Sengon (Paraserianthes
LOKASI
Kediri,
Kandungan
Setara CO2
Karbon (ton/ha)
(ton/ha)
Jawa
41,99
154,10
Jawa
51,33
188,38
Jawa
49,06
180,05
Jawa
31,41
115,29
Jawa
275,56
1011,31
Jawa
27,78
102,31
65,96
242,07
Bekas Tebangan 1 thn
35,19
129,15
Bekas Tebangan 5 thn
48,77
178,99
Timur Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) Ket: di atas tanah Aren (Arenga pinnata) Ket: di atas tanah Mangium (Acacia mangium Willd.)
Ciamis, Barat Ciamis, Barat Bogor, Barat
Hutan Konservasi Taman Nasional Gunung
Cibodas,
Gede Pangrango
Barat
Hutan Sekunder Muda
Bogor,
Ket: di atas tanah Hutan Produksi: Hutan Primer
Barat Siberut, Sumatera Barat
9
Dari Tabel 6 terlihat bahwa potensi serapan karbon setara CO 2 pada hutan konservasi paling tinggi, hutan produksi primer, disusul hutan tanaman aren, hutan produksi bekas tebangan 5 tahun, hutan produksi bekas tebangan 1 tahun dan paling rendah hutan sekunder muda. Hutan produksi dan konservasi umumnya memiliki pohon dengan diameter yang cukup besar, khususnya pohon-pohon yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini. Biomasa sangat dipengaruhi oleh umur tanaman, diameter dan luas bidang dasar (basal area) suatu pohon, hal ini menjelaskan mengapa potensi biomasa dan kandungan karbon pada hutan tanaman umumnya lebih kecil dibanding pada hutan produksi dan konservasi. Hal ini juga semakin menguatkan peran hutan konservasi, yang tidak hanya melindungi ekosistem di dalamnya, tetapi juga sekaligus menjadi sumber yang sangat potensial dalam memenuhi kebutuhan oksigen bagi dunia. IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
Biomasa sangat dipengaruhi oleh umur tanaman, diameter dan luas bidang dasar (basal area) suatu pohon. Meskipun tidak sebesar hutan konservasi, potensi penyerapan karbon setara
CO2 hutan tanaman/rakyat sengon, ganitri, aren dan
mangium cukup menjanjikan, karena jumlahnya tidak berbeda jauh dengan hutan produksi bekas tebangan 1 tahun dan 5 tahun, bahkan lebih besar dari hutan sekunder muda. Sebagai rekomendasi, perlu dilakukan penghitungan potensi karbon untuk hutan tanaman/rakyat jenis lain.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Bismark, M., N.M.Heriyanto dan S. Iskandar. 2008. Biomasa dan Kandungan Karbon pada Hutan Produksi di Cagar Biosfer Siberut, Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 5 No. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konsevasi Alam. Bogor. Hal 397-407. Brown, S., A.F.R. Gillespie and A.E. Lugo 1989. Biomass Estimation Methods for Tropical Forest Awith Application to Forest Inventory Data. Forest Science No 35: 881-902. 10
Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forest. A Primer. FAO. Forestry Paper No. 134. F AO, USA. Copenhagen Accord. http://www.reddindonesia.com/?p=19. Diakses tanggal 4 April 2011. Heriyanto, N.M dan C.A. Siregar. 2007. Biomasa dan Konservasi Karbon Pada Hutan Tanaman Mangium (Acacia mangium Willd.) di Parungpanjang, Bogor, Jawa Barat. Info Hutan Vol IV No 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konsevasi Alam. Bogor. Hal 65-73. Heriyanto, N.M dan C.A. Siregar. 2007. Keragaman Jenis dan Konservasi Karbon Pada Hutan Sekunder Muda di Maribaya, Bogor. Info Hutan Vol IV No 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konsevasi Alam. Bogor. Hal 283-201. Mile, M.Y. dkk. 2008. Pengembangan Model Hutan Rakyat dalam Kerangka MPB dan Jasa Lingkungan Perdagangan Karbon. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Tidak Dipublikasikan. Mile, M.Y. dkk. 2009. Pengembangan Model Hutan Rakyat dalam Kerangka MPB dan Jasa Lingkungan Perdagangan Karbon. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Tidak Dipublikasikan. Siregar, C.A. 2007. Potensi Serapan Karbon di Taman Nasional Gede Pangrango, Cibodas, Jawa Barat. Info Hutan Vol IV No 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konsevasi Alam. Bogor. Hal 397-407. Siregar, C.A. 2007. Formulasi Allometri Biomasa dan Konservasi Karbon Tanah Hutan Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) di Kediri. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol IV No 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konsevasi Alam. Bogor. Hal 169-181. Wasrin, U.R. 2003. Potensi Perdagangan Karbon Di Kehutanan. Konservasi Lingkungan Hidup. IPB. Bogor.
11