Potensi Pemanfaatan dan Pengolahan Brine Water dari Proses Desalinasi Air Laut Andhini Nurulfadilah* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha No. 10, Bandung, Indonesia *Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak Perubahan sosio-demografi dan lingkungan global dunia diprediksi akan meningkatkan konsumsi air, sementara ketersediaan air bersih semakin terbatas. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki masalah keterbatasan sumber air bagi masyarakat pesisir untuk aktivitas harian dan pengembangan sektor perikanan, pertanian, perkebunan, industri, dan pariwisata. Desalinasi air laut menjadi salah satu solusi pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air bersih. Beberapa teknologi desalinasi yang sudah dikembangkan adalah distilasi membran, osmosis terbalik, elektrodialisis, Multi-effect Distillation (MED), Multi-stage Flash (MSF), dan desalinasi hibrid. Namun, selain menghasilkan produk air tawar, desalinasi juga menghasilkan produk samping berupa air garam terkonsentrasi (brine water) dengan konsentrasi garam lebih dari 36,000 mg/L. Brine water akan menyebabkan eutrofikasi, akumulasi mineral dan logam berat di badan perairan, dan kerusakan biota bentik apabila dibuang tanpa dilakukan pengolahan. Pembuangan atau pengolahan brine water hasil desalinasi bergantung pada lokasi dan kondisi geografis, ketersediaan energi, dan jenis teknologi yang diterapkan. Pengolahan brine water yang telah dikembangkan adalah kolam evaporasi, pembuangan langsung ke badan perairan (permukaan maupun laut lepas), pembuangan melalui pipa limbah, penginjeksikan ke sumur dalam, evaporasi/kristalisasi, serta penggunaan sebagai sumber air irigasi pertanian dan kultivasi komoditas akuakultur. Teknologi desalinasi yang dapat diterapkan di daerah pesisir Indonesia adalah osmosis terbalik dan elektrodialisis. Teknologi evaporasi dan kristalisasi dalam pengolahan brine water dapat diterapkan untuk sektor pertanian dan akuakultur.
Kata kunci : desalinasi, air laut, brine water, osmosis terbalik 1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah 5.193.252 km2 dan dua pertiga wilayahnya merupakan lautan, yaitu sekitar 3.288.683 km2 sehingga banyak terdapat wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil. Sebanyak 1.673 pulau di Indonesia merupakan pulau berpenduduk dan 34 pulau diantaranya adalah pulau besar. Penduduk Indonesia yang bertambah sekitar 1.8-2.0% pertahun menjadikan pulau-pulau tersebut dapat menjadi alternatif sebagai areal pemukiman, lahan pertanian organik, perkebunan, peternakan, perikanan, maupun industri di masa mendatang. Beberapa pulau kecil bahkan menjadi pusat pemerintahan, pusat pariwisata, dan lokasi berdirinya beberapa industri, seperti
pulau Batam, Bintan, Tarakan, Nunukan, Bengkalis, dan Ternate[1]. Kecenderungan konsumsi air diperkirakan terus meningkat hingga 15-35% perkapita pertahun, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung menurun akibat pertambahan populasi, urbanisasi, industrialisasi, peningkatan pendapatan dan standar hidup, kebutuhan energi, perubahan iklim, kerusakan alam, keterbatasan akses sumber daya air, dan pencemaran. Teknologi desalinasi air laut, air tanah asin, air drainase, atau air payau telah menjadi salah satu solusi pemenuhan kebutuhan akan air bersih bagi masyarakat pesisir. Namun, terjadi perdebatan mengenai penerapan teknologi ini karena polusi dari brine water atau air garam terkonsentrasi [1].
Andhini Nurulfadilah, Potensi Pemanfaatan dan Pengolahan Brine Water dari Proses Desalinasi Air Laut di Wilayah Pesisir Indonesia, 2015
Brine water sebagai produk samping desalinasi seperti yang tertera pada Gambar 1 dinilai berdampak langsung terhadap lingkungan dan berdampak tidak langsung terhadap sosial-ekonomi [2].
Gambar 1. Skema Proses Desalinasi Air Laut [2]
2. Teknologi Desalinasi Air Laut
Brine water atau air garam terkonsentrasi dihasilkan sebanyak 60% dari proses desalinasi. Brine water mengandung konsentrasi garam yang tinggi dan konsentrasi TDS lebih dari 36,000 mg/L dengan rentang suhu 90-110 ˚C [3]. Konsentrasi beberapa unsur kimia pada brine water dari produk teknologi osmosis terbalik tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Konsentrasi Garam pada Konsentrat Sistem Osmosis Terbalik dengan Perolehan 45% Produk RO pada Tekanan Operasi 900 psi [4]
Sodium (Na) Potasium (K) Magnesium (Mg) Kalsium (Ca) Bikarbonat (HCO3) Klorida (Cl) Sulfat (SO4) TDS
Selain itu, brine water mengandung bahan kimia yang digunakan selama proses pretreatment air umpan desalinasi seperti biosida, sulfur dioksida, koagulan (besi klorida), karbon dioksida, sodium bisulfat, dan polimer; dan bahan pembilas dan pembersih pipa atau membran seperti sodium, asam hidroklorik, asam sitrat, alkali, polifosfat, dan tembaga sulfat [5]. Brine water sebagai produk samping desalinasi mengandung residu pretreatment dan produk samping reaksi yang harus diolah [6].
Air Laut (ppm)
Konsentrat (ppm)
Produk RO (ppm)
10,967
19,888
64
406
736
3
Beberapa teknik desalinasi air laut telah diterapkan di berbagai negara dengan mempertimbangkan aspek geografis, sumber dan kualitas air, biaya investasi dan operasi, biaya pemeliharaan, ukuran dan konstruksi lahan, kebutuhan energi, regulasi lingkungan, dan post-treatment air yang diproduksi [7]. Beberapa sumber air umpan dan teknologi desalinasi tertera di Gambar 2 dan Gambar 3. Air laut dan air payau paling umum digunakan sebagai air umpan desalinasi di beberapa negara di dunia. Gambar 3 menunjukan teknologi osmosis terbalik dan MSF memiliki kapasitas tertinggi untuk diaplikasikan.
Air Laut
8%6%
Air Payau
19% 67%
1306
2372
2
419
761
0,5
109
194
0,9
19,682
35,771
10,5
2759
5014
1,5
35,666
64,771
176
Air Sungai Air Limbah
Gambar 2. Air Umpan Desalinasi [8]
2
Andhini Nurulfadilah, Potensi Pemanfaatan dan Pengolahan Brine Water dari Proses Desalinasi Air Laut di Wilayah Pesisir Indonesia, 2015
RO 11% 3% 8%
MSF 53%
25%
MED ED Lain-lain
Gambar 3. Kapasitas Proses Desalinasi Global [8] 2.1. Distilasi Membran Distillation-MD)
(Membrane
Distilasi membran (DM) merupakan proses pemisahan secara non-isotermal dengan menggunakan membran. Pada proses ini, dua fluida encer dengan temperatur yang berbeda dipisahkan menggunakan membran hidrofobik mikroporous dengan temperatur operasi yang lebih rendah daripada temperatur kedua fluida tersebut. Perbedaan temperatur di antara dua fluida menyebabkan proses perpindahan molekul uap dari sisi umpan (sisi hangat) ke sisi permeat (sisi dingin) melalui pori membran [19]. Distilasi membran merupakan proses desalinasi membran termal dengan perbedaan tekanan uap yang terjadi karena gradien temperatur yang melewati membran hidrofobik sebagai penggerak untuk memproduksi air distilat yang murni seperti yang tertera pada Gambar 4 [9]. MD memiliki beberapa keuntungan dibandingan desalinasi konvensional, antara lain dapat menggunakan sumber energi terbarukan, konsentrasi umpan tidak berpengaruh pada kualitas membran, dan tekanan operasi yang rendah [10]. MD berpotensi diterapkan karena brine dari desalinasi mengandung bahan kimia dari proses pre-treatment yang dapat membantu mengurangi scaling dalam membran MD. Kini, teknologi MD masih dikembangkan dalam desain proses dan pre-treatment sumber air laut [9].
Gambar 4. Proses Distilasi Membran [3] 2.2. Osmosis Terbalik (Reverse Osmosis) Osmosis terbalik merupakan suatu metode penyaringan molekul besar dan ion-ion dari suatu larutan dengan memberi tekanan hidrostatik pada bagian larutan dengan konsentrasi tinggi melalui sebuah membran yang selektif dan semipermeabel seperti yang tertera pada Gambar 5 [4]. Osmosis terbalik merupakan proses filtrasi fisika-kimia yang dinilai lebih efisien karena konsumsi energi yang rendah dibanding distilasi membran [2]. Proses tersebut menjadikan zat terlarut terendap di lapisan yang dialiri tekanan sehingga zat larut murni bisa mengalir ke lapisan berikutnya. Proses desalinasi pada sistem membran terbalik terdiri dari empat proses, yaitu : a. Pre-treatment Air umpan disesuaikan dengan membran dengan cara memisahkan padatan tersuspensi, menyesuaikan pH sekitar 5.55.8, dan menambahkan inhibitor untuk mengontrol membrane scaling, metal oxide fouling, biological activity, dan particulate fouling. b. Pressurization Pompa akan meningkatkan tekanan dari umpan yang sudah melalui proses pre-
3
Andhini Nurulfadilah, Potensi Pemanfaatan dan Pengolahan Brine Water dari Proses Desalinasi Air Laut di Wilayah Pesisir Indonesia, 2015
Gambar 5. Prinsip Teknologi Osmosis Terbalik [12] treatment hingga tekanan operasi yang sesuai dengan membran dan salinitas air umpan. c. Membrane Separation Membran permeable akan menghalangi aliran garam terlarut sementara membran akan dilewati air produk terdesalinasi. Efek permeabilitas membran ini akan menyebabkan terdapatnya dua aliran, yaitu aliran produk air bersih dan aliran brine. d. Post-treatment Stabilization Air produk hasil pemisahan membutuhkan penyesuaian pH sebelum dialirkan ke sistem distribusi untuk dapat digunakan sebagai air minum. Produk mengalir melalui kolom aerasi dimana pH akan ditingkatkan dari sekitar 5 hingga mendekati 7. Keunggulan teknologi osmosis terbalik adalah kecepatan proses pengolahan dalam memproduksi air bersih, proses yang tidak membutuhkan zat kimia, pengoperasian pada suhu kamar, tidak adanya perubahan fasa, dan kebutuhan energi terbesar digunakan hanya untuk pemberian air umpan [11]. Sedangkan, kelemahan teknologi ini adalah kemungkinan terjadinya penyumbatan pada membran oleh zat terlarut atau mikroorganisme dalam air (membrane fouling) pada permukaan membran atau di dalam pori membran. Apabila terjadi membrane fouling, perlu dilakukan pencucian dengan larutan kimia atau penggantian membran.
2.3. Electrodialysis Reversal (ED/EDR)
/
Electrodialysis
Sebuah proses dimana ion dipindahkan melalui membran karena perbedaan potensi elektrik yang diberikan dan sebagai konsekuensi dari aliran arus listrik [20]. Elektrodialisis memiliki prinsip transpor ion melalui membran penukar ion. ED merupakan salah satu teknik desalinasi air laut yang umum digunakan selain osmosis terbalik, walaupun hanya dapat mengolah 3.6% dari total kapasitas desalinasi, dimana sangat kecil dibanding osmosis terbalik (60%) [10]. Prinsip kerja teknologi ED terdapat pada Gambar 6.
Gambar 6. Prinsip Kerja Elektrodialisis [12] EDR merupakan teknologi pembangkit energi listrik yang menggunakan proses dengan prinsip berlawanan dengan teknologi elektrodialisis. Fluks ion yang dihasilkan dari perbedaan salinitas antara dua larutan dikonversi secara langsung menjadi arus listrik [21]. Keuntungan penggunaan ED adalah laju perolehan air yang lebih tinggi, ketahanan membran yang lebih baik, dan tidak membutuhkan
4
Andhini Nurulfadilah, Potensi Pemanfaatan dan Pengolahan Brine Water dari Proses Desalinasi Air Laut di Wilayah Pesisir Indonesia, 2015
pre-treatment pada umpan. Namun, ED kurang cocok diaplikasikan untuk memisahkan komponen biologis (virus dan bakteri) seperti pada proses osmosis terbalik.
MSF/MED. Kelebihan dari HD adalah operasi yang lebih fleksibel, konsumsi energi yang rendah, dan biaya konstruksi yang rendah [8].
2.4. Multi-effect Distillation (MED)
3. Dampak Sosial dan Lingkungan Brine water
MED merupakan teknik desalinasi air laut konvensional dengan prinsip perpindahan panas dari uap kondensasi ke air laut atau air garam terkonsentrasi (Gambar 7). Permasalahan yang mungkin terjadi pada MED adalah korosi dan pengerakan oleh komponen seperti CaSO4 karena adanya kontak langsung antara uap dan air laut melalui penukar panas. Rasio dayaguna produksi terhadap konsumsi uap lebih tinggi pada proses MED ini [12].
Pembuangan brine water dengan konsentrasi garam yang tinggi (sekitar 70,000 ppm) kembali ke laut lepas akan membahayakan ekosistem laut. Brine water yang dihasilkan umumnya memiliki suhu yang lebih tinggi daripada suhu normal badan perairan. Komponen terlarut dari brine water selama proses pretreatment dan post-treatment desalinasi juga akan menyebabkan eutrofikasi, variasi nilai pH, akumulasi mineral dan
Gambar 7. Prinsip Teknologi Multi-Effect Distillation [12] 2.5. Multi-stage Flash (MSF) Prinsip MSF adalah kolom berseri yang menghasilkan uap dari umpan air laut. Uap dipanaskan dan dikondensasi dengan penukar panas melalui pipa tertutup. Kelebihan dari MSF adalah tidak ada risiko penurunan transfer panas dan kemudahan untuk mengontrol korosi dibandingkan proses MED. Namun, rasio daya guna MSF rendah dibandingkan proses lain karena konsumsi energi yang lebih tinggi [12].
logam berat, dan kerusakan biota bentik [2]. Dampak pembuangan langsung brine water terhadap lingkungan tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Brine Water terhadap Komponen di Lingkungan [5] Saluran Pembuangan Limbah Air Tanah
2.6. Hybrid Desalination (HD) Desalinasi hibrid merupakan sistem terintegrasi proses termal dan membran seperti kombinasi sistem RO dengan
Tanah
Dampak Peningkatan tekanan yang dibutuhkan dalam proses pengolahan limbah Kontaminasi garam pada molekul air Akumulasi sodium aan membentuk kerak dan permukaan tanah
5
Andhini Nurulfadilah, Potensi Pemanfaatan dan Pengolahan Brine Water dari Proses Desalinasi Air Laut di Wilayah Pesisir Indonesia, 2015
Laut
Perubahan komposisi tanah menyebabkan penurunan yield tanaman Temperatur yang tinggi menyebabkan migrasi ikan laut Konsentrasi garam yang tinggi mematikan biota laut (populasi bentik menurun)
Pentingnya induksi atau pengenalan adanya “air baru” dari teknologi desalinasi air laut maupun pengolahan brine water ke masyarakat akan meningkatkan kesadaran akan keterbatasan air dan peningkatan efektifitas penggunaan air. Adapun tiga prinsip keberhasilan dan keberlanjutan sebuah teknologi, yaitu perolehan kembali biaya operasi dan investasi (economy-full cost recovery), peran dan partisipasi masyarakat (social-proactive public participation), dan status ekologi yang baik (environment). Hal ini akan membangun keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan akan air produk desalinasi sehingga dapat memenuhi aktivitas masyarakat secara optimal dengan penggunaan air yang minimal [2].
4. Pengelolaan dan Pengolahan Brine Water Pada penelitian Ahmed (2001), terdapat beberapa pertimbangan dalam proses pembuangan atau pengolahan brine water hasil desalinasi, antara lain volume atau kuantitas konsentrat, lokasi geografis titik pembuangan, persepsi publik, perizinan dan persetujuan publik, kemungkinan korosi pada pipa saluran, ketersediaan energi, kondisi tanah, teknologi yang diterapkan, karakteristik konsentrat yang dihasilkan, biaya operasi, dan ketersediaan fasilitas. Salah satu negara yang menggunakan teknologi desalinasi air laut atau air payau
adalah Australia. Gambar 8 menunjukan pengolahan dan pemanfaatan brine water yang telah diterapkan di Australia.
12%
Freshwater Discharge
9%
Sewer Disposal
48%
Ocean Disposal
17% 12%
Deep Well Injection Land Application
Gambar 8. Manajemen Brine water di Australia [4] Beberapa pilihan pengolahan brine water dari hasil desalinasi dengan metode osmosis terbalik adalah pemindahan ke kolam evaporasi, pembuangan ke badan perairan (permukaan maupun laut lepas), pembuangan melalui pipa limbah urban, penginjeksikan ke sumur dalam, evaporasi/kristalisasi, sumber air irigasi pertanian, dan sumber air untuk kultivasi brine shrimp [13]. Penggunaan kolam evaporasi untuk pengolahan brine water relatif mudah dikonstruksi dengan biaya pemeliharaan dan operasi yang rendah. Kolam evaporasi didesain untuk mengurangi volume efluen dan memperoleh konsentrat efluen. Kolam evaporasi lebih cocok diaplikasikan di negara dengan cuaca kering dan hangat, laju evaporasi tinggi, dan ketersediaan lahan dengan biaya rendah, seperti negaranegara di Semenanjung Arab. Pertimbangan desain kolam evaporasi adalah ukuran kolam, kedalaman, dan luas permukaan. Laju evaporasi menentukan luas permukaan yang dikalkulasi dengan parameter kapasitas gelombang, kapasitas penyimpanan konsentrat, dan volume air [14]. Kini, penerapan prinsip ZLD (Zero Liquid Discharge) semakin berkembang untuk mengolah brine water yang mengandung logam berat dan komponen toksik atau
6
Andhini Nurulfadilah, Potensi Pemanfaatan dan Pengolahan Brine Water dari Proses Desalinasi Air Laut di Wilayah Pesisir Indonesia, 2015
mengonversinya menjadi produk padat. Beberapa pilihan pengolahan brine water dari proses desalinasi untuk mengurangi salinitas antara lain osmosis terbalik dua tahap dengan metode presipitasi (intermediate chemical demineralization), osmosis terbalik dua tahap dengan pengolahan biologis, osmosis terbalik dengan softening pre-treatment dan pH tinggi, nanofiltrasi dua tahap, dan proses SPARRO (Seeded Slurry Precipitation and Recycle Reverse Osmosis) [15]. Penelitian Minier (2014) menyatakan bahwa distilasi membran dapat menggunakan low grade waste heat dan membran hidrofobik yang dapat mengolah air garam berkonsentrasi tinggi lebih efisien dibandingkan proses desalinasi konvensional. Proses desalinasi osmosis terbalik menyebabkan permasalahan kontaminasi air tanah dan permukaan dan salinitas tanah. Pengelolaan brine water dibutuhkan untuk mengurangi risiko lingkungan dan kesehatan. Salah satu solusinya adalah penggunaan kembali brine dalam irigasi pertanian untuk tumbuhan yang toleran dengan salinitas tinggi, seperti Basilicum. Epuvalisasi merupakan sistem penggunaan kembali limbah cair biologis berbasis hidroponik yang dapat menurunkan konsentrasi garam pada brine water, namun juga meningkatkan nilai ekonomi dan yield Basilicum. Hasil penelitian Qurie dkk. (2013) membuktikan adanya penurunan konduktivitas elektrik yang signifikan pada brine selama waktu penumbuhan Basilicum. Teknik epuvalisasi dinilai mudah, fleksibel, dan rendah biaya [16]. Penggunaan kembali limbah cair untuk agrikultur ini sudah diterapkan di negara kawasan Amerika Selatan, Asia Selatan, Semenanjung Arab, dan Eropa bagian Selatan [17]. Desalinasi air laut semakin kompetitif karena biaya desalinasi yang menurun, sedangkan harga air permukaan dan air tanah semakin meningkat. Meskipun aplikasi brine water sebagai sumber air
pertanian di Indonesia sangat menjanjikan, terdapat beberapa dampak negatif yaitu nutrien esensial dari brine water yang tidak diintroduksi ke tanaman pertanian akan menyebabkan defisiensi nutrisi berupa perlambatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pertanian yang tidak sempurna. Komponen kimia tersebut antara lain kalsium, magnesium, dan sulfat yang telah melewati proses pemisahan pada osmosis terbalik. Namun, hal ini dapat diatasi dengan proses mineralisasi air desalinasi dan pencampuran air murni dengan air desalinasi hingga mencapai konsentrasi yang dibutuhkan tanaman pertanian [11]. Menurut penelitian Pereira dkk. (2014) total konsumsi energi osmosis terbalik yang dibutuhkan untuk menghasilkan air irigasi pertanian adalah 3-7 kWH m-3. Penggunaan brine water untuk akuakultur, irigasi tumbuhan halophyta, dan kultur alga menjadi tantangan baru karena meningkatkan nilai komersial dan lingkungan. Brine water dapat dijadikan sumber nitrogen dan fosfor untuk pertumbuhan mikroalga, seperti Cyanobacteria Spirulina, alga halotoleran seperti Gracilaria tenuistipitata dan Dunaliella salina yang dapat menghasilkan produk biologis dari biomassanya (asam lemak dan lipid) [15]. Untuk produk akuakultur, brine water dapat dijadikan sumber air dalam mengembangbiakan Tilapia, salah satu ikan komoditas akuakultur yang mengandung protein tinggi, memiliki toleransi tinggi terhadap salinitas, dan dapat tumbuh dengan cepat [15]. Pemanfaatan garam dari brine water menggunakan SAL-PROC juga telah diteliti oleh Ahmed (2003). SAL-PROC merupakan proses terintegrasi untuk ekstraksi elemen terlarut dari air asin menjadi produk kimia dalam bentuk kristal atau cairan. Proses ini terdiri dari beberapa tahap evaporasi dan pendinginan tanpa adanya risiko bahan kimia seperti yang tertera pada Gambar 9. Adapun produk
7
Andhini Nurulfadilah, Potensi Pemanfaatan dan Pengolahan Brine Water dari Proses Desalinasi Air Laut di Wilayah Pesisir Indonesia, 2015
yang dihasilkan teknologi SAL-PROC, antara lain gypsum, sodium klorida, magnesium hidroksida, kalsium klorida, kalsium karbonat, dan sodium sulfat sebagai material untuk berbagai industri [1].
untuk menghasilkan residu dalam bentuk padat (garam kalsium sulfat) dari efluen cair. Namun, konsumsi energi teknik ini sangatlah tinggi karena dihubungkan dengan sistem vapor recovery dan waste heat panas limbah [15].
5. Kesimpulan
Gambar 9. Proses SAL-PROC dalam Pengolahan Brine Water [1] Selain itu, komponen garam sulfat yang terkandung dalam brine water seperti barium sulfat dan kalsium sulfat harus dihilangkan karena akan membentuk kerak dalam membran. Beberapa metode pemisahan sulfat adalah pengolahan kimiawi dengan presipitasi, pemisahan dengan nanofiltrasi, adsorpsi, dan pengolahan biologis [6]. Almasri (2015) telah melakukan penelitian dengan metode alternatif dalam memisahkan sulfat pada brine water, yaitu penggunaan nanofiltrasi sebelum RO tahap kedua. Brine water yang dialirkan akan diolah dan dikombinasikan dengan umpan aliran RO tahap kedua seperti yang tertera pada Gambar 10 [18].
Teknologi desalinasi yang tepat untuk diterapkan di daerah pesisir Indonesia adalah osmosis terbalik dan elektrodialisis karena lebih efektif dengan biaya yang lebih murah. Air produk desalinasi dapat digunakan untuk kebutuhan masyarakat, sedangkan brine water dapat diolah dengan kolam evaporasi dan digunakan untuk sektor pertanian dan akuakultur sehingga dapat mengontrol dampak lingkungan dan kesehatan manusia. Pengolahan dan penggunaan brine water sebagai air irigasi pertanian dapat mempertimbangkan kualitas air umpan, penggunaan energi, dan biaya operasi.
Daftar Pustaka [1] Azmanajaya, Emil. (2012) Model Penyediaan Air Bersih Berkelanjutan di Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Tarakan, Kalimantan Timur), Disertasi, Institut Pertanian Bogor [2] Meerganz von Medeazza, G. L. (2005). “Direct” and socially-induced environmental impacts of desalination. Desalination, 185(May), 57–70. [3] Mezher, T., Fath, H., Abbas, Z., & Khaled, A. (2011). Techno-economic assessment and environmental impacts of desalination technologies. Desalination, 266(1-3), 263–273.
Gambar 10. Skema Osmosis Terbalik Dua Tahap [18] Adapun teknologi alternatif yang menggabungkan evaporasi dan kristalisasi
[4] Burn, S., Hoang, M., Zarzo, D., Olewniak, F., Campos, E., Bolto, B., & Barron, O. (2015). Desalination techniques — A review of the
8
Andhini Nurulfadilah, Potensi Pemanfaatan dan Pengolahan Brine Water dari Proses Desalinasi Air Laut di Wilayah Pesisir Indonesia, 2015
opportunities for desalination in agriculture. Desalination, 364, 2–16. [5] Al-Agha, M. R., & Mortaja, R. S. (2005). Desalination in the gaza strip: drinking water supply and environmental impact. Desalination, 173(2), 157–171. [6] Ahmed, M., Shayya, W. H., Hoey, D., & Al-Handaly, J. (2001). Brine disposal from reverse osmosis desalination plants in Oman and the United Arab Emirates. Desalination, 133(2), 135–147. [7] Ghaffour, N., Missimer, T. M., & Amy, G. L. (2013). Technical review and evaluation of the economics of water desalination: Current and future challenges for better water supply sustainability. Desalination, 309(2013), 197–207 [8] Mezher, T., Fath, H., Abbas, Z., & Khaled, A. (2011). Techno-economic assessment and environmental impacts of desalination technologies. Desalination, 266(1-3), 263–273 [9] Minier-Matar, J., Hussain, A., Janson, A., Benyahia, F., & Adham, S. (2014). Field evaluation of membrane distillation technologies for desalination of highly saline brines. Desalination, 351, 101–108 [10]Quist-Jensen, C. a., Macedonio, F., & Drioli, E. (2015). Membrane technology for water production in agriculture: Desalination and wastewater reuse. Desalination, 364, 17–32 [11]Pereira, L. S., Duarte, E., & Fragoso, R. (2014). Water Use: Recycling and Desalination for Agriculture. Encyclopedia of Agriculture and Food Systems, 5, 407–424. [12]Van der Bruggen, B., & Vandecasteele, C. (2002). Distillation
vs. membrane filtration: Overview of process evolutions in seawater desalination. Desalination, 143(3), 207–218. [13]Ahmed, M., Arakel, A., Hoey, D., Thumarukudy, M. R., Goosen, M. F. a., Al-Haddabi, M., & Al-Belushi, A. (2003). Feasibility of salt production from inland RO desalination plant reject brine: A case study. Desalination, 158(1-3), 109–117 [14]Ahmed, M., Shayya, W. H., Hoey, D., Mahendran, A., Morris, R., & AlHandaly, J. (2000). Use of evaporation ponds for brine disposal in desalination plants. Desalination, 130(2), 155–168. 016/S00119164(00)00083-7 [15]Sánchez, a. S., Nogueira, I. B. R., & Kalid, R. a. (2015). Uses of the reject brine from inland desalination for fish farming, Spirulina cultivation, and irrigation of forage shrub and crops. Desalination, 364(November), 96–107 [16]Qurie, M., Abbadi, J., Scrano, L., Mecca, G., Bufo, S. a., Khamis, M., & Karaman, R. (2013). Inland treatment of the brine generated from reverse osmosis advanced membrane wastewater treatment plant using epuvalisation system. International Journal of Molecular Sciences, 14(7), 13808–13825. [17] Oron, G., Gillerman, L., Buriakovsky, N., Bick, A., Gargir, M., Dolan, Y., Hagin, J. (2008). Membrane technology for advanced wastewater reclamation for sustainable agriculture production. Desalination, 218(February 2006), 170–180. [18]Almasri, D., Mahmoud, K. a., & Abdel-Wahab, A. (2015). Two-stage sulfate removal from reject brine in inland desalination with zero-liquid discharge. Desalination, 362, 52–58
9
Andhini Nurulfadilah, Potensi Pemanfaatan dan Pengolahan Brine Water dari Proses Desalinasi Air Laut di Wilayah Pesisir Indonesia, 2015
[19]I.G. Wenten, N.F. Himma, S. Anisah, N. Prasetya, Membran Superhidrophobik, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2015 [20]I.G. Wenten, Khoiruddin, A.N. Hakim,, Pemisahan Elektro Ionik Berbasis Membran, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014 [21] I.G. Wenten, A.N. Hakim, Khoiruddin, Elektrodialisis, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014
10