MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 59-64
59
POLIMERISASI EMULSI ETIL AKRILAT: PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN, INISIATOR DAN TEKNIK POLIMERISASI TERHADAP DISTRIBUSI UKURAN PARTIKEL Helmiyati*), Emil Budianto, dan Nitri Arinda Departemen Kimia, FMIPA, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia *)
E-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Polimerisasi emulsi telah dilakukan terhadap monomer etil akrilat. Diamati pengaruh konsentrasi sodium lauril sulfat (SLS), konsentrasi amonium persulfat (APS), variasi teknik polimerisasi terhadap kandungan padatan, ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Penelitian ini bertujuan untuk optimasi homopolimer etil akrilat dengan ukuran diameter partikel sekitar 100 nm, distribusi ukuran partikel yang monodisperse dan nilai kandungan padatan percobaan mendekati nilai kandungan padatan teoritis. Kondisi optimum tersebut nantinya dapat digunakan dalam pembuatan shell pada polimer emulsi core-shell. Hasil penelitian menunjukkan pada teknik semikontinu diperoleh konsentrasi sodium lauril sulfat optimum pada 20 CMC (critical micelle concentration) dan konsentrasi amonium persulfat 3%. Teknik batch menghasilkan ukuran diameter partikel yang paling besar 123 nm dengan persen konversi yang tinggi 95,8% dan monodisperse. Waktu feeding semakin pendek semakin banyak monomer etil akrilat yang terpolimerisasi ditunjukkan dengan persen konversi yang tinggi yaitu 94,4% dan didapatkan ukuran diameter partikel 107,9 nm.
Abstract Emulsion Polymerization of Etyl Acrylate: The Effect of Surfactant, Initiator Concentration and Polymerization Technique on Particle Size Distribution. Emulsion polymerization was conducted using ethyl acrylate monomer. The effect of sodium lauryl sulfate concentration, ammonium persulfate concentration, the various of polymerization techniques and feeding time to the conversion, particle size and its distribution were observed. The purpose of this research is to obtain the optimum condition of ethyl acrylate homopolymer with particle size around 100 nm, to get the particle size distribution monodisperse and to get solid content value of the experiment closed to its theoretical value. The optimum condition then could be applied in shell polymerization of core-shell polymers. The results of the research showed that semicontinuous technique obtained optimum sodium lauryl sulfate concentration at 20 CMC (critical micelle concentration) and ammonium persulfate concentration is 3%. By using batch technique that the biggest particle size is 123 nm with conversion 95.8% and monodisperse. The shorter of feeding time the more monomer of ethyl acrylate being polymerized, it is showed by the higher conversion up to 94.4% and the bigger particle size is 107.9 nm. Keywords: emulsion polymerization, feeding time, ethyl acrylate, sodium lauryl sulfate, ammonium persulfate, particle size and core-shell
Ada tiga bentuk struktur polimer emulsi yaitu raspberry, core-shell dan struktur acorn. Polimer coreshell banyak dikembangkan untuk aplikasi coating karena mempunyai sifat proteksi yang lebih stabil. Jenis polimer yang biasanya digunakan adalah polimer akrilik karena punya daya tahan, toughness, dan kestabilan UV yang kuat. Hal ini terbukti dari penelitian yang telah dilakukan oleh Baumstark et al. [3], menyatakan bahwa sifat polimer akrilat berupa core-shell dapat
1. Pendahuluan Salah satu jenis polimer sintetik yang banyak dikembangkan saat ini adalah polimer emulsi. Proses polimerisasi ini memerlukan air sebagai media serta surfaktan yang berfungsi sebagai penghasil misel untuk tempat nukleasi dan penstabil partikel polimer [1, 2].
59
60
MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 59-64
memberikan daya tahan, kestabilan, kekuatan adhesi, ketahanan terhadap air, dan elastisitas yang baik untuk coating kayu eksterior. Polimer emulsi core-shell dapat menghasilkan efek warna seperti yang dapat diamati pada warna sayap kupu-kupu, dan batuan opal alami. Untuk menghasilkan suatu material berwarna maka struktur polimer coreshell harus berada pada ukuran diameter partikel 200300 nm, karena sesuai dengan panjang gelombang refleksi sinar tampak. Ruhl et al. [4], telah melakukan polimerisasi core-shell stirena dengan etil akrilat dan menghasilkan efek warna pada injeksi molding. Sherman et al. [5], melakukan polimerisasi core-shell stirena dan metil metakrilat menghasilkan ukuran diameter partikel yang monodisperse dengan menggunakan teknik seeding semikontinu. Snuparek et al. [6], menjelaskan bahwa kepolaran monomer, jenis dan konsentrasi surfaktan, inisiator dan waktu polimerisasi sangat mempengaruhi ukuran diameter partikel yang terbentuk. Bhawal et al. [7], melakukan polimerisasi etil akrilat dengan metil metakrilat yang menghasilkan laju polimerisasi semakin cepat pada konsentrasi inisiator yang semakin besar. Jia et al. [8], menyatakan bahwa laju polimerisasi semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan dan inisiator. Ayu, M. [9] di Departemen Kimia UI melakukan polimerisasi dengan melihat pengaruh panjang rantai surfaktan terhadap ukuran diameter partikel polimer yang terbentuk. Semakin panjang rantai surfaktan maka ukuran diameter partikel polimer emulsi semakin besar. Salah satu syarat monomer untuk dapat dijadikan polimer core-shell adalah mempunyai perbedaan nilai Tg (Temperatur glass) dan indeks refraksi yang besar. Untuk aplikasi coating, core yang digunakan mempunyai Tg yang besar dan untuk shell digunakan polimer dengan Tg rendah. Salah satu polimer dengan Tg rendah adalah poli etil akrilat dengan nilai Tg = 22oC yang digunakan pada penelitian ini. Penelitian ini merupakan pengembangan penelitian yang telah dilakukan oleh Oktavia, E. [10] dimana polimer core-shell yang terbentuk menghasilkan efek warna tapi kandungan padatan rendah. Penelitian ini dibatasi untuk mencari optimasi homopolimer etil akrilat yang mana homopolimer tersebut nantinya dapat digunakan sebagai shell.
2. Metode Penelitian Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah etil akrilat (PT. Indochemical), sodium lauryl sulfate (PT Sentra Kimia), ammnium persulfate (PT. Clariant), natrium hidroksida (PT. Clariant), dan air demineral. Alat yang digunakan adalah seperangkat reaktor mini
beserta asesorisnya (IKA stirring dan stainless steel anchor), glass vessel berkapasitas 2 kg, stopwatch, Tabel 1. Contoh Formula (dalam gram)
Teknik Polimerisasi Semikontinu Seeding Initial charge - Air 390 390 - Butil akrilat 13,72 0 - SLS 26,4 26,4 0,137 0 - APS Stream 1 - Air 12 12 - APS 4,11 1,37 Stream 2 159 159 - Air 137,2 137,2 - Butil akrilat 17,6 17,6 - SLS 0,2 0,2 - NaOH
Batch 390 0 26,4 0 12 4,11 159 137,2 17,6 0,2
termometer, dan magnetik stirrer untuk menjaga preemulsi tidak terpisah sebelum dilakukan feeding. Pengujian dan karakterisasi menggunakan oven, Malvern Zeta Nano Particle Analyzer Nano Series (Nano S), DSC Mettler Toledo Star, FTIR Shimadzu IR PRESTIGE – 21 ATR, dan viskometer Brookfield RVT. Eksperimen. Tahap pertama yang dilakukan pada penelitian ini adalah melihat pengaruh konsentrasi surfaktan, dengan membuat variasi konsentrasi surfaktan SLS (0.5 CMC, 2 CMC, 5 CMC, 10 CMC dan 20 CMC), pada tahap pertama ini proses polimerisasi menggunakan teknik semikontinu dengan waktu feeding 5 jam. Kemudian melihat pengaruh konsentrasi inisiator, dengan membuat variasi inisiator APS (1%, 2% dan 3% dari berat monomer). Selanjutnya dilakukan variasi waktu feeding 3 jam, dan waktu feeding 5 jam. Tahap terakhir adalah dengan menggunakan formula optimum yang diperoleh dari optimasi konsentrasi surfaktan dan inisiator, dilakukan variasi teknik polimerisasi yaitu, semikontinu, seeding dan batch. Contoh Formula polimerisasi untuk ketiga teknik polimerisasi dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan padatan teoritis yang digunakan pada penelitian ini berada pada range 19,92% sampai dengan 25,95%.
3. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Konsentrasi Surfaktan dan Inisiator Terhadap Persen Konversi. Pada Gambar 1, terlihat bahwa semakin besar konsentrasi surfaktan maka persen konversi semakin besar, hal ini disebabkan karena konsentrasi surfaktan berpengaruh terhadap
MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 59-64
pembentukan misel. Konsentrasi surfaktan semakin besar, misel yang terbentuk semakin banyak, sehingga polimerisasi bisa berlangsung di dalam misel, sehingga polimer emulsi yang dihasilkan akan stabil. Pada konsentrasi SLS 0,5 CMC dengan konsentrasi inisiator APS 1% diperoleh persen konversi yang paling rendah, hal ini disebabkan pada konsentrasi SLS 0,5 CMC, misel belum terbentuk, SLS hanya mengelilingi partikel polimer, sehingga polimer menjadi tidak stabil, akibatnya banyak endapan atau grit yang terbentuk, sehingga menyebabkan persen konversi menjadi lebih kecil. Pada Gambar 1, juga terlihat bahwa persen konversi akan naik dengan naiknya konsentrasi inisiator dan memperlihatkan tren yang sama, baik pada konsentrasi APS 1% maupun 3%. Hal ini disebabkan, apabila konsentrasi APS basar, radikal bebas yang dihasilkan akan banyak, sehingga laju polimerisasi akan cepat. Dari berbagai variasi konsentrasi surfaktan dan inisiator yang dilakukan, maka diperoleh kondisi optimum polimer emulsi poli-etil akrilat yang dihasilkan pada konsentrasi surfaktan SLS 20 CMC dan konsentrasi inisiator APS 3%.
61
Gambar 2. Pengaruh Konsentrasi SLS terhadap Ukuran Partikel
Pengaruh Konsentrasi Surfaktan terhadap Ukuran Diameter Partikel. Pada Gambar 2, dapat dilihat pengaruh konsentrasi surfaktan terhadap ukuran diameter partikel, konsentrasi surfaktan semakin besar ukuran diameter partikel yang didapatkan semakin kecil, hal ini disebabkan diameter partikel sangat dipengaruhi oleh konsentrasi surfaktan yang digunakan. Semakin besar konsentrasi surfaktan maka semakin banyak misel yang terbentuk, sehingga ukuran diameter partikel polimer yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Distribusi ukuran partikel suatu polimer dapat dilihat dari nilai PDI (Polydispersity Index), apabila polimer emulsi yang dihasilkan mempunyai nilai PDI yang rendah maka bersifat monomodal (monodisperse), sedangkan jika nilai PDI tinggi maka bersifat polimodal (polidisperse) [11]. Nilai PDI dari polimer emulsi berbagai konsentrasi surfaktan SLS, diperoleh menggunakan alat particle size analyzer (PSA), dapat dilihat pada Tabel 2.
Gambar 1. Pengaruh Konsentrasi Surfaktan dan Inisiator terhadap Persen Konversi
Pengaruh Konsentrasi Inisiator terhadap Persen Konversi dan Ukuran Partikel. Inisiator berpengaruh terhadap radikal yang terbentuk, semakin besar konsentrasi inisiator maka radikal yang terbentuk semakin banyak. Pengaruh konsentrasi inisiator terhadap persen konversi dan ukuran diameter partikel dapat dilihat pada Gambar 3. Tabel 2. Nilai PDI pada Berbagai Konsentrasi SLS Konsentrasi SLS (CMC) 0,5 2,0 5,0 10,0 20,0
PDI APS 1% 0,134 0,216 0,130 0,090 0,155
APS 3% 0,156 0,142 0,105
62
MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 59-64
yang besar dan distribusi ukuran partikel yang monomodal. Akan tetapi berdasarkan hasil pada Gambar 4, didapatkan pada teknik semikontinu dengan feeding 3 jam diperoleh distribusi ukuran partikel yang bimodal, terlihat ada dua ukuran diameter partikel yaitu 107,5 nm dan 280,6 nm. Hal ini mungkin disebabkan, dengan feeding 3 jam waktu feeding untuk inisiator dan monomer lebih cepat, dibanding feeding 5 jam, sehingga proses polimerisasi untuk feeding 3 jam berlangsung cepat, dimana akan memicu nukleasi homogen, sehingga terjadi pembentukan inti sekunder dari butil akrilat. Akibatnya distribusi ukuran partikel menjadi tidak merata dan didapatkan nilai PDI dari polimer besar, yaitu 0,259 (Tabel 3). Gambar 3.
Pengaruh Konsentrasi Inisiator terhadap Persen Konversi dan Ukuran Partikel
Konsentrasi inisiator meningkat, radikal yang terbentuk semakin banyak, maka tumbukan radikal inisiator dengan monomer semakin cepat, sehingga oligomeroligomer yang terjadi akan lebih cepat masuk ke dalam misel, dan terjadi polimerisasi dengan sempurna yang menyebabkan persen konversi meningkat. Terlihat pada konsentrasi inisiator APS 3%, didapatkan persen konversi paling tinggi. Kalau dilihat pengaruh konsentrasi inisiator terhadap ukuran diameter partikel, konsentrasi inisiator meningkat ukuran partikel juga naik. Hal ini disebabkan, teknik yang digunakan pada pembuatan polimer emulsi etil akrilat pada penelitian ini adalah semikontinu dengan feeding 5 jam, inisiator dan monomer selalu tersedia, maka radikal akan selalu bertumbukan dengan monomer dan akan memperpanjang tahap propagasi, sehingga ukuran diameter partikel yang diperoleh semakin besar. Dilihat dari hasil persen konversi polimerisasi emulsi etil akrilat yang didapatkan sudah mendekati 100%, yang berarti reaksi polimerisasi sudah mendekati sempurna. Akan tetapi ukuran diameter partikel yang dihasilkan masih kecil, tahap selanjutnya dicoba melakukan variasi teknik polimerisasi. Pengaruh Teknik Polimerisasi. Variasi teknik polimerisasi yang dilakukan adalah teknik batch, seeding, semikontinu dengan feeding 5 jam dan semikontinu dengan feeding 3 jam. Pada Gambar 4, dapat dilihat, bahwa pada teknik Semikontinu dengan waktu feeding 3 jam mempunyai persen konversi (94,4%), yang mana lebih besar dibandingkan dengan waktu feeding 5 jam. (90%). Hal itu disebabkan karena waktu feeding yang cepat membuat laju polimerisasi semakin cepat sehingga jumlah monomer yang terpolimerisasi juga semakin banyak. Kalau dilihat dari ukuran diameter partikel, secara teoritis pada teknik semikontinu akan dihasilkan ukuran diameter partikel
Pada teknik batch menghasilkan persen konversi yang tinggi yaitu 95,8% dan ukuran diameter partikel yang besar yaitu 123 nm, akan tetapi nilai PDI juga cukup besar 0,232 (Tabel 3), tapi masih monomodal. Hal ini disebabkan pada teknik batch, semua monomer, surfaktan dan inisiator dicampur pada awal reaksi, sehingga monomer langsung dengan mudah bertumbukan dengan radikal inisiator, sehingga proses polimerisasi berlangsung cepat. Akan tetapi kekurangan pada teknik batch adalah reaksi bersifat eksoterm. Pada teknik seeding, sebagian monomer dan inisiator dicampurkan pada awal reaksi untuk membentuk seed polimer. Sisa inisiator dan monomer ditambahkan secara konstan selama 1 jam. Pada teknik ini diperoleh persen konversi tidak terlalu besar dan juga ukuran diameter partikel yang kecil. Hal ini mungkin disebabkan waktu feeding yang terlalu pendek, sehingga tahap propagasi tidak berlangsung lama, dan memicu untuk terjadi tahap terminasi. Hasil nilai PDI untuk variasi teknik polimerisasi, dapat dilihat pada Tabel 3. Karakterisasi menggunakan IR dan DSC. Salah satu bukti terjadinya polimerisasi dari monomer etil akrilat menjadi poli-etil akrilat dapat dilihat dari spektrum IR (Gambar 6).
MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 59-64
63
Tabel 3. Nilai PDI pada Berbagai Teknik Polimerisasi
Variasi teknik Semikontinu feeding 5 jam
PDI 0,105
Semikontinu feeding 3 jam
0,259
Batch
0,232
Seeding
0,121
Gambar 4. Hubungan Persen Konversi dan Ukuran Partikel terhadap Teknik Polimerisasi
Gambar 6. Spektrum IR Poli-etil Akrilat
64
MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 59-64
Gambar 7. Hasil DSC Poli-etil Akrilat
Pada Gambar 6, dapat diamati spektrum IR dari polimer poli-etil akrilat terjadi perubahan bilangan gelombang C=C menjadi ikatan tunggal C-C yang menyebabkan terjadinya pergeseran bilangan gelombang dari gugus karbonil ke arah bilangan gelombang yang lebih besar, karena terbentuk poli-etil akrilat, yang menyebabkan terjadinya kenaikan energi untuk melakukan stretching ikatan C=O. Bilangan gelombang C=O dari monomer etil akrilat adalah 1730 cm-1, pada data poli-etil akrilat pada Gambar 6 terlihat menjadi 1735,62 cm-1, yang berarti terjadi pergeseran panjang gelombang menjadi lebih besar [12].
emulsi yang didapatkan pada konsentrasi SLS 20 CMC dan APS 3%. Pada variasi teknik polimerisasi, didapatkan pada teknik semikontinu, semakin pendek waktu feeding maka semakin banyak monomer yang terpolimerisasi dengan persen konversi 94,4% dan didapatkan ukuran diameter partikel yang besar yaitu 107,9 nm, tetapi distribusi ukuran partikel bimodal. Teknik batch menghasilkan ukuran diameter partikel yang paling besar yaitu 123 nm dengan persen konversi 95,8%, dan monodisperse.
Pada Gambar 7, dapat dilihat nilai suhu transisi gelas (Tg) dari polimer yang terbentuk, terlihat bahwa nilai Tg yang diperoleh sebesar -10,56oC atau 262,44 K, dari data teoritis diketahui nilai Tg homopolimer etil akrilat adalah 251 K sampai dengan 248 K [13]. Nilai Tg yang didapatkan dari eksperimen ini, telah mendekati nilai teoritis. Data Tg dari DSC ini mendukung, bahwa telah terjadi polimerisasi poli-etil akrilat.
Terima kasih kepada Departemen Kimia FMIPA UI, P.T Clariant Indonesia, dan Sentra Teknologi Polimer BATAN.
4. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang diperoleh pada sintesis homopolimer etil akrilat, didapati bahwa konsentrasi surfaktan SLS naik, persen konversi yang didapatkan semakin naik, sedangkan ukuran diameter partikel yang dihasilkan semakin kecil. Konsentrasi optimum polimer
Ucapan Terima Kasih
Daftar Acuan [1] M. Kotelyanskii, D. Theodorou, Simulation Methods for Polymer, Marcel Decker, New York, 2004, p. 900. [2] M. Steven, Kimia Polimer, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, p. 669. [3] R. Baumstark, F. Tiarks, Studies For a New Generation of Acrylic Binders for Exterior Wood Coatings. Macromolecul. Symp., p. 187. [4] T. Ruhl, P. G. P. Spahn, Macromol. Chem. Phys. 205 (2004) 1385-1393.
MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 59-64
[5] Sherman Jr., W. Ford, Ind. Eng. Chem. Res., 44 (23), 2005 8538-8541. [6] J. Snuparek, Z. Kleckova, J. Appl. Polym. Sci. 29 (1984) 1-11. [7] S. Bhawal, D. Dhoble, S. Devi. J.Appl.Polym. Sci. 90 (2003) 2593-2603. [8] G. Jia, Y. Xu, N. Tan. Iranian Polym. J., 15/12 (2006) 979-987. [9] E. M. Ayu, Tesis Magister, Ilmu Kimia FMIPA, Universitas Indonesia, Indonesia, 2006. [10] E. Oktavia, Tesis Magister, Departemen Kimia FMIPA, Universitas Indonesia, Indonesia, 2006.
65
[11] Anon., Instruction Manual Malvern Zeta Sizer, Biotech, Germany, 2005, p. 132. [12] M. Schneider, C. Graillat, A. Guyol, T.F. Mckenna. J. Appl. Polym. Sci. 84 (2002) 18781896. [13] J. Brandrup, E. H. Immergut (eds). Polymer Handbook, 3rd ed., John Willey & Sons, New York, 1989, p. 369.