Policy Brief: Faktor-faktor yang Memengaruhi Hubungan Anomali TFR dan CPR LATAR BELAKANG Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, 2007, dan 2012, menunjukkan TFR konstan pada tingkat 2,6 anak per wanita usia subur. Terkait CPR di Indonesia, SDKI 2012 menunjukkan CPR untuk wanita kawin adalah sebesar 61,9 persen, sementara menurut SDKI 2007, CPR untuk semua wanita kawin adalah sebesar 61,4 persen. CPR dengan menggunakan metode modern di tahun 2012 adalah sebesar 57,8 persen dan pada tahun 2007 sebesar 57,4 persen. Data pada dua titik waktu tersebut menunjukkan adanya sedikit peningkatan pada CPR namun tidak diiringi dengan penurunan tingkat fertilitas, yang tidak berubah di tingkat 2,6. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktorfaktor penyebab anomali hubungan TFR dan CPR tersebut.
KESIMPULAN Analisis dengan menggunakan metode kuantitatif menghasilkan kesimpulan berikut: 1. Faktor Sosial Ekonomi: a. Hasil analisis makro menunjukkan bahwa untuk menurunkan fertilitas, maka minimal lama bersekolah adalah sampai dengan 9 tahun (lulus SMP). Untuk dapat menurunkan fertilitas (TFR) dibawah 2 maka rata-rata lama WUS harus 15 tahun atau setara S1. Dalam model studi kasus di Cianjur dan Purwakarta, didapati bahwa peningkatan pendidikan akan menurunkan fertilitas (ALH), namun setelah lama sekolah mencapai 11 tahun (SMA kelas 2) maka ALH akan kembali naik. Hasil analisis analisis yang bervariasi di tingkat kabupaten/kota tersebut mengindikasikan bahwa anomali hubungan TFR dan CPR turut ditentukan oleh pengaruh faktor-faktor lain. b. Tingkat kemiskinan akan berhubungan positif terhadap TFR. Daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi memiliki TFR yang tinggi. Wilayah kabupaten/kota yang memiliki tingkat kemiskinan diatas 10 persen akan cenderung memiliki TFR diatas 2,6. Penurunan tingkat kemiskinan mungkin tidak secara langsung akan menurunkan TFR secara drastis, namun penurunan tingkat kemiskinan ini akan berpengaruh terhadap variabel-variabel lain yang nantinya akan berpengaruh terhadap TFR yang rendah. c. Tingkat kemajuan perekonomian suatu wilayah (PDRB) juga memiliki pengaruh terhadap TFR. Sesemakin tinggi PDRB suatu kabupaten/kota maka TFR akan semakin rendah. Pengaruh PDRB yang dihasilkan dalam model ini signifikan dengan α = 0,03 persen.
1
Policy Brief: Faktor-faktor yang Memengaruhi Hubungan Anomali TFR dan CPR d. Model mikro menjelaskan bahwa WUS yang bekerja di sektor pertanian memiliki anak yang lebih banyak dibandingkan dengan WUS yang bekerja di sektor lain misalnya keuangan, industri atau perdagangan. 2. Faktor Konsepsi: a. Model makro menyatakan bahwa fertilitas akan turun sejalan dengan peningkatan CPR. Dihitung bahwa jika CPR mencapai 80 persen maka TFR masih akan lebih besar dari 2. Artinya untuk menurunkan TFR lebih jauh lagi, perlu diperhitungkan pengaruh faktor-faktor lain. b. Umur Kawin Pertama (UKP) secara teoritis berhubungan negatif dengan TFR, karena wanita yang beresiko untuk hamil dan melahirkan secara normatif adalah dalam masa perkawinan. Hasil regresi model mikro menunjukkan bahwa yaitu semakin tinggi UKP maka fertilitas (ALH) akan semakin turun. Namun model makro menunjukkan pola hubungan UKP dengan TFR berbentuk “U” terbalik, yang berarti, pada awalnya peningkatan UKP akan memberi dampak pada naiknya TFR. Setelah mencapai 19,9 tahun, TFR akan menurun. Dalam simulasi dihitung bahwa jika UKP mencapai 25 tahun, maka TFR akan mencapai 2. Apabila pemerintah ingin menetapkan kebijakan untuk menurunkan TFR di bawah 2 maka UKP harus lebih tinggi dari 25 tahun. c. Lama tahun dalam perkawinan menunjukkan lamanya pasangan suami istri membina hubungan termasuk dalam hubungan seksual. Model mikro menyimpulkan bahwa semakin lama perkawinan maka jumlah anak yang dimiliki juga akan semakin banyak. 3. Karakteristik Penduduk: a. Hasil regresi makro menunjukkan bahwa persentase penduduk perkotaan kabupaten/kota memiliki pengaruh terhadap penurunan TFR. Jadi semakin cepat proses urbanisasi yang terjadi di kabupaten/kota maka TFR di kabupaten/kota tersebut akan semakin menurun. Model mikro juga menemukan bahwa WUS yang tinggal di perkotaan cenderung memiliki anak lebih sedikit dibandingkan dengan WUS yang tinggal di perdesaan. b. Daerah di mana persentase persalinan yang ditolong tenaga medis tinggi maka angka TFR lebih rendah. Hubungan ini mungkin tidak menunjukkan adanya kausalitas langsung, namun informasi ini diduga memungkinkan adanya advokasi dari tenaga medis untuk memberikan pilihan penggunaan kontrasepsi pasca melahirkan.
2
Policy Brief: Faktor-faktor yang Memengaruhi Hubungan Anomali TFR dan CPR c. Daerah kabupaten/kota dengan persentase WUS yang berstatus migran risen tinggi akan memiliki TFR yang tinggi. Beberapa kabupaten/kota yang menjadi tujuan migrasi risen seringkali mengalami fenomena kenaikan TFR meskipun keikutsertaan KB di daerah tersebut tinggi.
Hasil studi kualitatif menemukan bahwa: 1. Alat kontrasepsi yang banyak digunakan adalah alat kontrasepsi metode jangka pendek. Keengganan untuk menggunakan metode jangka panjang diantaranya disebabkan oleh: merasa malu, takut efek samping, dan tidak adanya ijin suami. 2. Sosialisasi pentingnya KB dan cara penggunaan KB dirasa kurang oleh banyak pihak. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kapasitas tenaga lapangan dalam hal kuantitas dan kualitas. 3. Faktor yang turut mendukung kurangnya sosialisasi adalah ketidakadaan biaya operasional yang memadai, kurangnya apresiasi, medan jangkauan pelayanan yang bervariasi, kurangnya kegiatan sosialisasi yang terprogram, serta tidak adanya pemutakhiran materi sosialisasi. Sebagai ujung tombak program KB, maka upaya KIE perlu dilakukan lebih masif, terprogram, modern dan bervariasi. 4. Informan studi kualitatif juga menyatakan bahwa pendataan di lapangan tidak dilakukan dengan baik. Hal ini terjadi karena kurangnya kapasitas dalam hal manajemen waktu dan tenaga. 5. Terkait dengan kebijakan pemerintah dinyatakan bahwa terdapat kontradiksi antara program pemerintah lainnya dengan program KB. Seperti Jampersal, BPJS, dan PKH yang dianggap mendukung pembiayaan persalinan secara gratis, sehingga mendorong masyarakat untuk tidak membatasi kelahiran. Perjanjian yang dibuat ibu hamil/melahirkan dengan petugas medis untuk menggunakan KB tidak menjamin yang bersangkutan untuk benar-benar menggunakan KB pasca melahirkan.
REKOMENDASI KEBIJAKAN 1. Target penurunan TFR yang mendekati 2 akan dapat dicapai jika CPR yang dicapai sebesar 80 persen. Namun untuk menurunkan TFR lebih jauh lagi, diperlukan kebijakan untuk meningkatkan pengaruh determinan lain yang bersifat menurunkan fertilitas serta menurunkan pengaruh determinan lain yang akan meningkatkan fertilitas. Dengan demikian penurunan fertilitas bukan hanya menjadi tanggung jawab BKKBN saja, namun juga menjadi tanggung 3
Policy Brief: Faktor-faktor yang Memengaruhi Hubungan Anomali TFR dan CPR jawab lintas sektor. Koordinasi dan kerja sama yang sinergis lintas sektor juga harus ditingkatkan agar tidak terjadi kontradiksi implementasi program di lapangan. 2. Pendidikan merupakan determinan penting penyumbang penurunan fertilitas. Secara umum peningkatan pendidikan akan menurunkan fertilitas. Hasil simulasi menyatakan bahwa untuk menurukan fertilitas (TFR) mendekati nilai 2, maka rata-rata pendidikan WUS harus setara dengan S1 (15 tahun bersekolah). Namun berdasar model mikro, terdapat variasi pengaruh pendidikan terhadap fertilitas (anak lahir hidup/ALH) untuk kabupaten Cianjur dan Purwakarta. Di kedua kabupaten tersebut, semakin tinggi pendidikan WUS, fertilitas akan semakin menurun. Namun setelah lama sekolah melebihi 11 tahun (SMA kelas 2), fertilitas kembali meningkat. Di sisi lain, hasil wawancara mendalam menyatakan bahwa norma umum yang masih berlaku di kedua kabupaten adalah norma keluarga besar (lebih dari 2 anak). Hal ini mengindikasikan bahwa baik untuk WUS yang berpendidikan tinggi maupun rendah, norma keluarga besar masih menjadi norma yang dianut secara umum. Implikasinya, peningkatan pencapaian pendidikan formal bagi WUS hingga tingkat pendidikan tinggi harus diupayakan, dengan disertai upaya sosialisasi pentingnya keluarga kecil. 3. Model makro menunjukkan bahwa secara empiris TFR dan UKP berhubungan terbalik setelah UKP mencapai 20 tahun. Untuk mendukung pencapaian target TFR sama dengan 2, maka perlu kebijakan pendewasaan Umur Kawin Pertama (UKP) menjadi usia 25 tahun. SDKI 2012 menunjukkan bahwa remaja berusia 15-24 tahun yang disurvei menyatakan bahwa rata-rata usia ideal untuk menikah untuk wanita menurut responden wanita adalah 23,6 tahun dan menurut laki-laki adalah 22,6. Karena itu, diperlukan kebijakan dan sosialisasi untuk meningkatkan Umur Kawin Pertama. 4. Model menyimpulkan bahwa WUS yang berkarakteristik tinggal di perkotaan, di daerah dengan PDRB tinggi, bekerja serta bekerja di sektor non pertanian akan memiliki jumlah anak yang lebih sedikit dibandingkan yang tinggal di pedesaan, bekerja di sektor pertanian dan tinggal di kabupatan/kota yang PDRBnya rendah. Namun tabel deskriptif menunjukkan bahwa perbedaan TFR WUS yang tinggal di perkotaan dan perdesaan tidak begitu besar (2,3 untuk WUS di perkotaan, dan 2,1 untuk WUS di perdesaan). Hal ini bisa dipahami karena pembangunan yang pesat telah mengubah pedesaan menjadi perkotaan (secara administratif), namun menghasilkan dampak yang bervariasi antar kabupaten/kota. Sebagai contoh, meski Cianjur dan Purwakarta mengalami perkembangan, norma keluarga besar masih melekat. Proses urbanisasi dan 4
Policy Brief: Faktor-faktor yang Memengaruhi Hubungan Anomali TFR dan CPR perkembangan ekonomi suatu wilayah tidak semerta-merta dapat mengubah norma yang berlaku secara umum di masyarakat mengenai keluarga kecil sejahtera. Karena itu, diperlukan upaya penguatan sosialisasi norma keluarga kecil sejahtera. 5. Sosialisasi norma keluarga kecil sejahtera dapat kembali dilakukan dengan pendekatan topdown dan bottom-up. Pendekatan top-down dari BKKBN pusat yang memiliki kapasitas dan jangkauan nasional untuk melakukan sosialisasi dapat dilakukan dengan menerapkan upaya komunikasi kesehatan (health communication) yang lebih mutakhir dan kreatif melalui berbagai media (cetak dan non-cetak). Pendekatan bottom-up sebagai gerakan masyarakat dapat dilakukan melalui penggiatan dan peningkatan peranan PLKB. Penggiatan dan peningkatan peran PLKB meliputi penambahan jumlah tenaga lapangan, penguatan materi KIE, dan penguatan sistem penghargaan. Penguatan PLKB di lapangan juga akan mendukung tersedianya data yang lebih akurat sehingga program dapat direncanakan dengan lebih baik. Kesuksesan penurunan fertilitas melalui KB dimasa keemasannya, dapat dilakukan dengan menggerakkan kembali kesadaran masyarakat dengan mengandalkan PLKB sebagai ujung tombak. Dengan keterbatasan dana dan sarana yang ada, dapat diadopsi Teori motivasi Y yang disampaikan Douglas McGregor pada tahun 1960. Teori Y menyatakan bahwa pekerja akan bekerja maksimal karena memiliki tanggung jawab, dan akan berusaha mencapai target-target tertentu tanpa perlu diawasi. Lingkungan kerja yang demikian dapat dicapai dengan penguatan sistem penghargaan yang membuat pekerja (PLKB) merasa termotivasi mengingat pekerjaan yang diembannya sangat penting bagi kesuksesan pengendalian penduduk. Selain itu, dalam jangka panjang, harus diupayakan juga peningkatan sarana, fasilitas, serta dana yang memadai dalam pelaksanaan gerakan ini di tingkat bawah. 6. Hendaknya sosialisasi kepada kelompok pria usia subur mengenai partisipasi dalam perencanaan dan penggunaan KB diperkuat kembali mengingat di sebagian besar daerah di Indonesia, terdapat anggapan bahwa KB merupakan tanggung jawab para wanita saja.
5