POLEMIK BIAYA PENCATATAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)
Editor: Abdul Jamil Wahab KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN TAHUN 2014
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) polemik biaya pencatatan perkawinan di kantor urusan agama (KUA)/ Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta: 2014
ISBN 978‐602‐8739‐29‐0 Hak Cipta pada Penerbit ....................................................................................................................................... Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit ....................................................................................................................................... Cetakan Pertama, Oktober 2014 ....................................................................................................................................... POLEMIK BIAYA PENCATATAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) ....................................................................................................................................... Editor : Abdul Jamil Wahab ....................................................................................................................................... Tim Penulis : Abdul Jamil Wahab, Kustini, Zaenal Abidin, Agus Mulyono, Mukhtar, Fakhruddin M. ....................................................................................................................................... Desain Cover dan Layout : Suka, SE ....................................................................................................................................... Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No.6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 ‐ 3920421 http://puslitbang1.kemenag.go.
ii
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia‐Nya terwujud penerbitan, Buku Hasil Penelitian Kehidupan Keagamaan pada tahun 2014. Penerbitan buku ini merupakan hasil‐hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI pada tahun 2013. Pada tahun 2014 ini ditetapkan sebanyak 10 (sepuluh) naskah buku yang diterbitkan. Buku‐buku tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2.
Dinamika Agama Lokal di Indonesia. Jaringan Kerja Penginjilan dan Dampak Pemahaman Misi Kekristenan Terhadap Oikumenis dan Kemajemukan di Indonesia. 3. Kasus‐Kasus Aktual Kehidupan Keagamaan di Indonesia. 4. Penistaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam. 5. Efektivitas Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dalam Memberikan Pelayanan dan Bimbingan Terhadap Jamaah Haji. 6. Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA). 7. Mencari Format Ideal Pemberdayaan Penyuluh Agama dalam Peningkatan Pelayanan Keagamaan. 8. Resolusi Konflik Keagamaan di Berbagai Daerah. 9. Penyiaran Agama dalam Mengawal Kerukunan di Indonesia. 10. Memelihara Harmoni dari Bawah: Peran Kelompok Keagamaan dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang banyak menyampaikan informasi dan fakta ini dapat Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
iii
memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah keagamaan dalam dinamika sosial keagamaan yang sangat dinamis di Indonesia. Buku hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi berbagai lembaga atau institusi, terkait informasi kehidupan keagamaan di Indonesia. Untuk itu, dengan selesainya penerbitan naskah buku ini, kami mengucapkan terima kasih yang setinggi‐tingginya kepada: 1.
2.
3.
4.
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan arahan dan sekaligus memberi‐kan kata sambutan pada masing‐masing buku yang diterbitkan. Para pakar dan akademisi yang dengan serius telah mencermati dan memberikan prolog dan epilog pada masing‐masing buku yang diterbitkan. Para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, baik sebagai penulis maupun editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi naskah buku, yang menjadi enak dibaca. Kepada tim pelaksana kegiatan dan semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya penerbitan naskah buku ini.
Apabila dalam penerbitan buku ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, baik substansi maupun teknis kami mohon maaf yang sebesar‐besarnya. Kami berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan perbaikan buku‐buku yang kami terbitkan dan semoga bermanfaat. Jakarta, Oktober 2014 Kepala Muharam Marzuki, Ph.D NIP.19630204 199403 1 002
iv
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia‐Nya, kita masih diberi kekuatan untuk dapat mengabdi kepada bangsa dan Negara. Karena rahmat dan karunia‐Nya pula buku Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) dapat diterbitkan. Masalah polemik pelayanan pencatatan perkawinan di KUA sudah lama menjadi sorotan masyarakat. Sorotan utamanya terkait biaya nikah. Biaya pencatatan nikah telah diatur dalam PP No.47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, di mana biaya pencatatan nikah disebutkan hanya sebesar Rp 30 ribu. Dana itu kemudian diserahkan ke Kas Negara dan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). PP No.47 Tahun 2004 tersebut dilengkapi dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2004 tentang Peningkatan Pelayanan Pernikahan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan, namun faktanya banyak peristiwa pencatatan perkawinan yang terjadi namun diluar ketentuan yang sudah diatur dalam kebijakan tersebut. Biaya nikah yang diterima petugas KUA (penghulu) dari masyarakat pengguna jasa KUA pada kenyataannya dalam satu peristiwa nikah melebihi angka Rp. 30 ribu tersebut. Besarnya sangat variatif, tergantung daerah dan letak geografisnya. Buku ini menghadirkan dua hasil penelitian yang mengkaji polemik seputar biaya pencatatan perkawinan di KUA, pertama, penelitian tentang Indeks Biaya Pencatatan Perkawinan di Indonesia. Penelitian ini mencoba menggali respons masyarakat terhadap biaya pencatatan nikah yang terjadi selama ini dan faktor‐faktor yang mempengaruhi biaya pencatatan perkawinan. Di samping itu, penelitian ini juga memberi solusi alternatif berkaitan dengan biaya pencatatan perkawinan yang selama ini
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
v
kerap menjadi polemik, sehingga ditemukan formulasi alternatif indeks biaya nikah yang sesuai dengan realitas di masyarakat. Kedua, penelitian tentang Pelayanan Pencatatan Perkawinan Di KUA Pasca isu Gratifikasi Penghulu di Jawa Timur, penelitian ini dilakukan di Jawa Timur dengan lokus tiga kota di Jawa Timur yaitu Kota Surabaya, Kediri, dan Malang. Sebagaimana diketahui bahwa menjelang akhir 2013, Romli seorang Kepala KUA di Kediri ditangkap oleh Kejaksaan Negeri Kediri dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menerima gratifikasi. Penangkapan Romli ini ternyata menimbulkan pro kontra khususnya di kalangan penghulu. Sebagai bentuk reaksi atas peristiwa itu, Forum Komunikasi Kepala KUA (FKK‐KUA) se‐ Jawa Timur pada November 2013 mendeklarasikan pernyataan tidak melayani pendaftaran pencatatan perkawinan di luar kantor sampai ditetapkannya peraturan baru tentang biaya perkawinan di luar kantor. Akibatnya, baik kasus penahanan Romli maupun keputusan (deklarasi) FKK‐KUA se‐ Jawa Timur, keduanya kemudian sama‐sama menjadi polemik di masyarakat. Polemik di masyarakat itu perlu dipahami secara proporsional, sebab tuduhan gratifikasi tersebut adalah didasarkan atas dugaan, bahwa selama ini Romli menerima biaya nikah sebesar Rp 225.000 untuk pernikahan di luar kantor, dimana angka tersebut di luar peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Fakta tersebut perlu dipahami secara paralel dengan fakta bahwa pencatatan perkawinan umumnya dilakukan di luar jam kerja yaitu pada hari Sabtu, Minggu, atau libur nasional dan juga di luar kantor. Masyarakat lebih senang melangsungkan pernikahan di rumah, masjid, atau gedung tertentu. Untuk itu pemberian masyarakat terhadap petugas KUA yang melakukan pencatatan perkawinan tidak bisa digeneralisir sebagai permintaan pihak KUA. Dalam banyak kasus, hal itu adalah murni pemberian masyarakat terhadap petugas KUA, sebagai ungkapan terima kasih atas kehadiran mereka di rumah dan di
vi
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
luar hari kerja. Pemberian tersebut lebih merupakan budaya masyarakat yang menghargai pengorbanan penghulu, disamping posisi atau peran sosial penghulu yang umumnya merupakan tokoh agama. Dimana pemberian masyarakat terhadap tokoh agama yang diundang dan hadir dalam sebuah ritual tertentu selama ini, juga merupakan tradisi di masyarakat Indonesia. Namun demikian tidak dipungkiri bahwa budaya tersebut, dimanfaatkan oleh pihak‐pihak tertentu untuk melakukan mark‐up atau pungli (pungutan liar), baik oleh petugas KUA sendiri atau pembantu penghulu (P3N/amil/ lebe) atau lainnya, yang biasa dipakai masyarakat untuk mengurus pendaftaran perkawinan. Mereka melakukan mark‐up atau pungli (pungutan liar) dengan cara menentukan tarif dengan jumlah tertentu pada saat pendaftaran berlangsung. Hal ini tentu mendapat respon negatif dari masyarakat, suara‐suara keras bermunculan, banyak pihak mengkritisi adanya pungutan yang dilakukan oleh oknum KUA maupun pembantu penghulu tersebut, hingga kemudian berbuntut pada pengaduan ke pihak berwenang, seperti dalam kasus yang menimpa salah seorang kepala KUA di Kota Kediri yang ditangkap karena tuduhan menerima gratifikasi. Pokok persoalan dari semua itu sebenarnya adalah tidak adanya peraturan yang mengatur tentang biaya pencatatan perkawinan di luar kantor. Sebab PP No.47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, di mana biaya pencatatan nikah hanya sebesar Rp 30 ribu. Biaya itu oleh para petugas KUA diartikan sebagai pencatatan perkawinan yang dilakukan di KUA, sementara regulasi pencatatan di luar KUA belum ada. Sejak 2004 hingga 2013, belum ada peraturan baru yang mengatur secara tegas berapa biaya, dan kepada siapa dan bagaimana biaya dibayarkan. Padahal faktanya pernikahan di luar kantor membutuhkan biaya khusus (cost) dan juga umumnya dilakukan diluar jam kerja atau hari libur.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
vii
Saat ini (tahun 2014) pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 48 Tahun 2014, yang merupakan perubahan atas PP Nomor 47 Tahun 2004. PP tersebut berisi tentang Jenis Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Kementerian Agama. Di dalam PP juga diatur tentang dua kelompok tarif nikah, yakni nol rupiah bagi pengantin yang melakukan pencatatan pernikahan di dalam Kantor Urusan Agama (KUA) dan tarif Rp 600 ribu bagi pencatatan pernikahan di luar KUA atau di luar jam kerja penghulu. Hadirnya buku ini melengkapi lahirnya PP baru tersebut, buku ini bisa dikatakan memberikan justifikasi sosiologis dan historis, karena menghadirkan informasi seputar problem‐ problem yang dihadapi terkait biaya pencatatan perkawinan di KUA. Tidak dapat dipungkiri hasil‐hasil penelitian dalam buku ini turut menjadi masukan bagi perubahan kebijakan dan peraturan pemerintah tentang biaya pencatatan perkawinan hingga dikeluarkannya PP Nomor 48 Tahun 2014 tersebut. Semoga hadirnya PP tersebut benar‐benar dapat menjadi solusi alternatif atas polemik biaya pencatatan nikah selama ini. Jakarta, Oktober 2014 Kepala Badan, Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005
viii Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
PROLOG Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah‐Nya kepada kita sehingga kita dapat menerbitkan buku “Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA”. Semoga langkah baik yang kita tulis dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya. Amin. Perkawinan merupakan hal yang sakral dan bernilai ibadah dalam kehidupan seorang laki‐laki dan perempuan. Perkawinan sering diartikan sebagai ikatan suami istri yang sah. Menurut Pasal 1 Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami‐istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan dikeluarkannya Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatas maka seluruh seluk beluk tentang perkawinan di Indonesia diatur oleh undang‐undang tersebut. Undang–Undang Perkawinan itu dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas dan menjadi acuan tentang perkawinan di Indonesia. Dalam Undang‐Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa tiap‐tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Menurut ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang‐ Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan bahwa pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pecatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama, sedangkan Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
ix
pencatatan perkawinan bagi selain Islam dilakukan oleh Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.Atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 itulah yang menjadi acuan dalam proses pencatatan per‐kawinan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam untuk menikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Pada tahun 2004, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 47/2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama. Sebelum terbit peraturan pemerintah ini, Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama diatur dalam Lampiran IIA Angka (16) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47/2004 disebutkan bahwa biaya pencatatan nikah sebesar Rp. 30.000,‐. Peristiwa nikah yang dilaksanakan di luar jam kerja dan luar kantor yang sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat dimana salah satu kebiasaan atau tradisi yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas yang notabene aparatur negara termasuk didalamnya penghulu, baik dalam bentuk makanan, barang atau bahkan uang. Hal tersebut dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari hal ini berhadapan dengan regulasi negara yang mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai gratifikasi. Hal inilah yang menimbulkan polemik ptada pencatatan perkawinan di KUA. Fakta di lapangan banyak “oknum” petugas KUA (penghulu) yang memungut lebih dari Rp 30.000,‐ seperti yang ditetapkan dalam PP Nomor 47/2004. Besaran nominal untuk satu peristiwa nikah bisa mencapai ratusan ribu rupiah,
x
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
bahkan di kota besar seperti Jakarta nominalnya bisa mencapai jutaan rupiah. Praktik pungutan terlarang mungkin sudah menjadi tradisi meskipun sudah banyak pihak yang menyuarakan praktik penyim‐pangan yang dilakukan oleh sejumlah “oknum” petugas KUA. Akan tetapi suara‐suara kritis tersebut dianggap hanya sekadar angin lalu hingga pada gilirannya angin tersebut menjadi badai yang besar menerpa Kementerian Agama. Polemik ini pun menjadi perbincangan panas masyarakat di area publik. Web Inspektorat Jenderal pada menu dumas online pun menerima banjir pengaduan masyarakat yang mengadukan tentang penyimpangan pelayanan biaya pencatatan perkawinan KUA di daerah‐daerahnya. Berkaca dari hal tersebut media massa menyorot tajam mengenai polemik pelayanan KUA yang memungut tarif lebih besar dari semestinya. Tak heran jika penilaian negatif dari masyarakat terus mengemuka nyaris tak berkesudahan. Berbanding lurus dengan KPK yang melakukan survei integritas di sektor pelayanan publik di Kementerian/Lembaga dan BUMN, alangkah mencengangkan hasil survei tersebut menunjukan bahwa di sektor pelayanan publik memang Kementerian Agama berada dalam posisi yang rendah. Merespons berbagai opini publik dan hasil survey KPK tersebut, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama tak tinggal diam. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama menerjunkan Tim Pemantauan dan Evaluasi Pelayanan pada KUA kecamatan. Pada November 2012, tim tersebut telah melakukan pemantauan terhadap 227 KUA di 48 kabupaten/kota yang meliputi 9 provinsi. Hasil dari pemantauan Tim Itjen di lapangan menunjukkan bahwa banyak oknum petugas KUA yang melakukan pungutan lebih dari yang ditetapkan yakni Rp. 30.000,‐, akan tetapi hal ini bukan tanpa alasan. Alasannya yakni untuk uang transportasi ke rumah calon pengantin. Memang uang setoran dari calon pengantin senilai Rp. 30.000,‐ dinilai Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
xi
sudah tidak relevan dengan perkembangan dan seiring berjalannya waktu. Maka dari itu mereka memungut uang lebih besar dari yang ditetapkan, akan tetapi tidak dapat dipungkiri memang terdapat “oknum” pegawai KUA yang memanfaatkan hal ini (uang transportasi) untuk menjadi alasan dalam meminta uang ke calon pengantin. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh undang‐undang. Pemerintah mencoba mengikis tradisi memberi pada oknum dengan mengeluarkan Undang‐Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tradisi memberi yang dilakukan oleh masyarakat secara otomatis berhadapan dengan Undang‐Undang Nomor 31 Tahun 2009. Di dalam Undang‐Undang Nomor 31 Tahun 2009 juncto UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat (1) berbunyi: ʺSetiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,...ʺ Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya. Maka dari itu amplop bagi para penghulu, yang berarti mereka menerima ongkos lebih dari yang ditetapkan sesuai aturan, termasuk dalam kategori menerima gratifikasi. Dengan kata lain perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan yakni Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001. Komitmen pemerintah dalam mengatasi permasalahan korupsi dimulai dengan dikeluarkannya INPRES No. 5 tahun
xii
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN‐PK) oleh Bappenas 2004‐2009. INPRES dan dokumen RAN PK Bappenas itu menjadi acuan dalam upaya pemberantasan korupsi. Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah adalah implementasi dari Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Salah satu poin dari 20 (dua puluh) poin yang menjadi indikator proses dalam ZI‐WBK adalah Pengendalian Gratifikasi. Penerapan ZI menuju WBK ini setidaknya diharapkan akan dapat memberikan peningkatan integritas dan mengurangi korupsi yang terjadi khususnya di lingkungan birokrasi. Menurut Wayan Gede Suacana, penerapan peran ZI menuju WBK dapat memberikan peluang untuk pemerintah agar lebih baik yakni: Pertama,Secara sistemik dengan adanya ZI dan WBK akan ikut membenahi dan memberdayakan infrastruktur lembaga, serta penguatan integritas sumberdaya aparatur negara. Kedua, secara abolisionistik dengan adanya ZI dan WBK akan meningkatkan kesadaran hukum, partisipasi masyarakat dan penegakkan hukum. Seharusnya setiap pejabat pemerintah atau penyelenggara negara akan dipantau dan dinilai diantaranya melalui penyerahan laporan kekayaannya, kemungkinan menerima suap, dan dugaan penyelewengan lainnya. Ketiga, secara moralistik dengan menegakkan sistem integritas dan penerapan ZI menuju WBK terutama di sektor publik dengan memegang teguh prinsip dan sikap pejabat pemerintah untuk tidak melakukan korupsi dan tindakan‐ tindakan mal‐administratif serta patologi birokrasi lainnya. Pejabat yang berintegritas semestinya hanya menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk tujuan yang sah menurut hukum. Dengan penerapan ZI menuju WBK, yang terdiri atas 20 (dua puluh) poin indikator yang didalamnya terdapat poin Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
xiii
pengendalian gratifikasi, diharapkan persoalan mengenai gratifikasi di KUA dapat teratasi. Selain itu, pemerintah juga mendukung penuh, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama. Poin utama yang menjadi inti dalam PP No. 48 Tahun 2014, antara lain: Pertama, biaya pencatatan perkawinan yang dilaksanakan di dalam KUA pada hari dan jam kerja adalah Rp.0,‐. Kedua, biaya biaya pencatatan perkawinan yang dilaksanakan di luar KUA adalah Rp. 600.000,‐. Namun demikian, meskipun pemerintah telah mengeluarkan PP No. 48 Tahun 2014, dalam implementasinya masyarakat perlu berpartisipasi aktif dalam mengawasi jalannya peraturan tersebut (pengawasan melekat) sehingga tidak ada lagi gratifikasi yang diberikan kepada oknum petugas KUA. Buku yang dibaca ditangan Anda, adalah buah karya hasil penelitian yang dilakukan untuk menjawab problematika atau polemik mengenai biaya pencatatan perkawinan selama ini. Buku ini memberikan kontribusi besar terhadap lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 yang mengubah paradigma negatif yang selama ini menjadi buah bibir di masyarakat yakni pungutan liar “pungli”. Dari polemik ini seharusnya menjadi wahana introspeksi dan otokritik yang konstruktif dalam membangun Kementerian Agama agar lebih baik. Selamat membaca. Jakarta, Oktober 2014 Dr. Hilmy Muhamaddiyah Inspektur Wilayah Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI
xiv Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
PRAKATA EDITOR Menjelang berakhir tahun 2012 yang lalu, Kementerian Agama kembali mendapat sorotan tajam. Media massapun tak henti‐hentinya melansir berita seputar polemik pelayanan Kantor Urusan Agama (KUA). Penilaian negatif terus mengemuka. Kementerian Agama seakan dihakimi, muncul penilaian tendensius yang kurang proporsional terhadap Kementerian Agama. Suara kritis masyarakat tersebut, ternyata berbanding lurus dengan hasil survey integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2012, terhadap kementerian/lembaga dan BUMN di sektor pelayanan publik, ternyata memang menunjukkan hasil yang sangat rendah terhadap Kementerian Agama di sektor layanan KUA di samping layanan haji. Dalam rangka merespons berbagai opini publik dan hasil survey integritas KPK tersebut maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan penelitian tentang Indeks Biaya Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) se Indonesia di tahun 2013. Penelitian tersebut bertujuan untuk: 1) Melihat kinerja Penghulu yang berkaitan dengan pencatatan pernikahan di mata masyarakat. 2) Memahami respons masyarakat terhadap biaya pencatatan nikah yang terjadi selama ini, dan 3) Memberi solusi alternatif berkaitan dengan biaya pencatatan nikah, sehingga ditemukan formulasi indeks biaya nikah. Penelitian ini menggunakan metodologi campuran (mixed method) dengan pendekatan utama kuantitatif yang dikuatkan Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
xv
oleh kualitatif. Penelitian diawali dengan penjajakan awal (metode kualitatif) di sembilan lokasi untuk menemukan faktor‐ faktor besaran biaya nikah. Dari hasil penjajakan tersebut disusun 2 instrumen kuantitatif (kuesioner) yang ditujukan kepada KUA (kepala KUA/penghulu) dan mempelai (keluarga/orang tua). Kuesioner untuk kepala KUA/penghulu mengukur karakteristik, tugas penghulu saat prosesi pernikahan, waktu, serta faktor jaringan sosial. Sedangkan kuesioner mempelai mengukur karakteristik mempelai, transportasi dan akomodasi prosesi akad, dan besaran uang terima kasih yang diberikan kepada penghulu. Kuesioner tersebut selanjutnya disebarkan di 21 lokasi (kabupaten/kota) yang masing‐masing terdiri atas 3 KUA dengan kriteria KUA area terluas, KUA pusat kota dan KUA perbatasan. Pada masing‐masing kabupaten/kota disebarkan 20 kuesioner yang terdiri atas 3 kuesioner untuk kepala KUA/penghulu dan 17 kuesioner untuk mempelai. Dari hasil penyebaran kuesioner tersebut berhasil dijaring informasi dari 71 kepala KUA/penghulu dan 360 mempelai. Sementara itu, di Jawa Timur, menjelang akhir tahun 2013, mencuat kasus penangkapanKepala KUA Kecamatan Kota, Kota Kediri,yaitu Romli olehKejaksaan Negeri Kota Kediri pada tanggal 14 November 2013 menangkap Romli karena diduga melakukan mark up biaya nikah. Dalam awal dakwaan jaksa, Romli dituduh sengaja menggelembungkan biaya nikah dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat soal tarif resmi pencatatan nikah. Dalam kasus ini, Romli diduga memungut biaya nikah sebesar Rp 225.000 untuk pernikahan di luar kantor dan Rp 175.000 di dalam kantor. Dari nominal itu Romli mendapatkan jatah Rp 50.000 sebagai petugas pencatat nikah plus Rp 10.000 sebagai insentif Kepala KUA. Padahal peraturan pemerintah yang mengatur soal itu hanya memungut biaya nikah sebesar Rp 30.000 saja. Kejaksaan Negeri Kediri kemudian menitipkan Romli ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kediri sebagai tahanan jaksa. Romli menjalani sidang di Pengadilan
xvi Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Tipikor Surabaya. Selama menjalani persidangan Romli dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Kediri. Pasca ditetapkannya Romli sebagai tersangka, di Surabaya, sekitar 661 Penghulu se‐Jawa Timur mengikuti sosialisasi program kependudukan dan keluarga berencana (KB) bagi pertugas KUA kabupaten/kota se‐Jawa Timur di Garden Palace Surabaya. Acara sosialisasi ini diprakarsai BKKBN Jawa Timur bekerja sama dengan Kantor Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Setelah mengikuti sosialisasi di Garden Palace Surabaya tersebut, pada tanggal 3 Desember 2013 para penghulu yang berjumlah 661 orang tergabung dalam Forum Komunikasi Kepala KUA (FKK‐KUA) se‐Jawa Timur sepakat mendeklarasikan dua hal yaitu: pertama, menolak melakukan pencatatan pernikahan di luar balai nikah KUA mulai 1 Desember 2013. Kedua, menuntut pemerintah segera mengeluarkan regulasi yang mengatur secara lebih detail tentang perkawinan di luar Kantor.Lahirnya kesepakatan FKK‐KUA se‐ Jawa Timur ini merupakan imbas dari kasus dugaan gratifikasi yang menjerat Kepala KUA Kecamatan Kota, Kota Kediri. Kasus biaya pencatatan nikah ini terus menuai kontroversi, sebab muncul problem dimana petugas KUA menerima (menetapkan) uang dari masyarakat diluar ketentuan itu kini dianggap sebagai gratifikasi, padahal hal tersebut diduga disebabkan karena tidak adanya regulasi yang mengatur tentang biaya pencatatan perkawinan di luar kantor. Terkait hal tersebut, maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian dengan tema “ Pencatatan Perkawinan oleh KUA Pasca isu Gratifikasi Penghulu di Jawa Timur “. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1) Mendeskripsikan pelayanan KUA pasca deklarasi oleh FKK‐KUA se Jawa Timur yang tidak mau menikahkan pasangan pengantin di luar KUA. 2) Menggali dan mendeskripsikan pandangan masyarakat terhadap pelayanan KUA saat ini (pascadeklarasi Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
xvii
FKK‐KUA se‐Jawa Timur). 3) Mendeskripsi‐kan solusi yang ditawarkan oleh para penghulu, tokoh agama dan masyarakat, untuk penyelesaian kasus para penghulu yang tidak mau menikahkan pasangan pengantin di luar KUA. Kedua persoalan yang dikaji tersebut sama‐sama mengkaji problem biaya pencatatan perkawinan yang beberapa tahun belakangan mendapat sorotan banyak pihak, sehingga informasi dari ke dua penelitian inisaling melengkapi. Pemerintah sebenarnya telah menetapkan peraturan melalui tiga peraturan terkait pencatatan perkawinan yaitu: 1. KMA No. 477 tahun 2004 pasal 20 (2) ; “Atas permintaan calon pengantin yang bersangkutan akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA Kecamatan dengan persetujuan penghulu“. 2. PP. 51 tahun 2000 Jo PP. 47 tahun 2004, biaya Pencatatan Nikah sebesar Rp. 30.000,‐ 3. PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 21; yaitu 1) Akad Nikah dilaksanakan di Kantor, 2) Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar Kantor. Namun demikian dari ketiga peraturan tersebut, belum ada diktum yang mengatur secara detail terkait besaran biaya untuk pernikahan yang dilakukan di luar kantor, dalam KMA No.477 tahun 2004 pasal 20 dan PMA No.11 tahun 2007 pasal 21 hanya menyebut bahwa atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar Kantor. Semenatara itu, menurut para penghulu PP PP. 51 tahun 2000 Jo PP. 47 tahun 2004, biaya Pencatatan Nikah sebesar Rp 30.000,‐itu adalah biaya pencatatan di kantor, sedangkan biaya pencatatan di luar kantor selama ini diperoleh dari pemberian suka rela dari pihak mempelai, pemberian itu disamping besarnya tidak ditentukan juga diberikan oleh pihak mempelai dengantanpa paksaan sedikitpun.
xviii Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Pemberian kepada penghulu merupakan budaya terimakasih masyarakat yang umumnya menghargai pengorbanan penghulu yang mau datang ke rumahnya meski bukan pada jam kerja, jumlah pemberian itu umumnya tidak ditentukan tapi berdasarkan kemampuan masyarakat. Adanya pemberian masyarakat kepada pegawai KUA dalam banyak kasus, bukanlah permintaan pegawai KUA (penghulu). Uang yang diterima penghulu dari masyarakat tersebut umumnya juga tidak ditentukan oleh penghulu dan tidak dibicarakan sebelumnya dengan pihak keluarga mempelai. Namun demikian, penerimaan uang tersebut oleh sebagian pihak dinyatakan sebagai bentuk gratifikasi berdasarkan peraturan yang mengatur Gratifikasi, yaitu Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999joUU No. 20/2001, yang berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Meski demikian, tetap muncul beragam tafsir di masyarakat atas boleh tidaknya penghulu menerima pemberian dari masyarakat, khususnya dari keluarga mempelai saat pelaksanaan perkawinan. Pelaksanaan pencatatan nikah di luar kantor dan di luar jam kerja ini menyebabkan para penghulu merasa berhak mendapatkan uang ‘tambahan’ tiap kali menjalankan tugas. Di samping itu faktanya,terdapat cost (biaya pengeluaran) yang selama ini ditanggung para penghulu,mengingat kegiatan pencatatan nikah oleh penghulu umumnya di luar kantor, di luar jam,dan hari kerja serta dilakukan di luar kantor. Penelitian‐penelitianyang dipaparkan dalam buku ini berhasil mengeksplor berbagai peroblematika seputar biaya perkawinan yang sejak ditetapkannya PP PP. 51 tahun 2000 Jo PP. 47 tahun 2004, biaya Pencatatan Nikah sebesar Rp. 30.000,‐ dan juga KMA No.477 tahun 2004 pasal 20 dan PMA No.11 tahun 2007 belum menyebutkan secara eksplisit berapa biaya Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
xix
pencatatan perkawinan di luar kantor,sehingga muncul problem‐ problem seputar pencatatan perkawinan. Kehadiran buku ini semoga dapat membantu masyarakat untuk dapat memahami polemik seputar biaya pencatatan perkawinan secara proporsional. Dalam rangka menjawab kompleksnya persoalan seputar polemik biaya pencatatan perkawinan ini, akhirnya pada tahun 2014, pemerintah menerbitkan PP nomor 48 tahun 2014. PP ini adalah perubahan atas PP nomor 47 tahun 2004, PP berisi tentang Jenis Tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Kementerian Agama. Sebagaimana disebutkan dalam penelitian tentang biaya nikah ini, bahwa problem utamanya adalah tidak ada ketetapan pencatatan nikah di luar kantor, makadalam PP ini diatur tentang dua kelompok tarif nikah, yakni nol rupiah bagi pengantin yang melakukan pencatatan pernikahan di dalam Kantor Urusan Agama (KUA) dan tarif Rp 600 ribu bagi pencatatan pernikahan di luar KUA atau di luar jam kerja penghulu.Hadirnya PP nomor 8 tahun 2014 tersebut, diharapkan mampu menyelesaikan polemik seputar pencatatan perkawinan di luar kantor selama ini. Buku ini turut memberikan landasan sosiologis dan historis bagi lahirnya PP tersebut. Selamat membaca. Jakarta,Oktober 2014 Editor
Abdul Jamil, S.Ag., M.Si. NIP. 19700103 200501 1 006
xx
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN .......................................
iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI ........................
v
PROLOG .............................................................................
ix
PRAKATA EDITOR .........................................................
xv
DAFTAR ISI ...................................................................... xxi I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................. B. Rumusan Masalah ........................................... C. Tujuan Penelitian .............................................. D. Telaah Pustaka ................................................. KERANGKA TEORI .............................................. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian .................................................. B. Populasi dan Sampling ................................. C. Data yang Digunakan .................................... D. Analisis Data ...................................................
II. III.
IV.
TEMUAN DAN ANALISIS A. Karakteristik Sampel ....................................... B. Indeks Faktor Budaya Memberi ................... C. Indeks Faktor Tugas Penghulu Saat Prosesi Akad .................................................................. D. Indeks Transportasi dan Akomodasi .............
3 5 6 6 8 14 14 16 19
20 28 36 38
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
xxi
E. Indeks Waktu Pelaksanaan Akad Nikah ....... F. Indeks Biaya Operasional KUA .................... G. Indeks Jaringan Sosial Penghulu ................... H. Indeks Besar Uang Terima Kasih ................... I. Korelasi Faktor‐Faktor Penentu dengan Besar Uang Terima Kasih ............................... J. Formulasi Matematis Penghulu Faktor Penentu Terhadap Besar Uang Terima Kasih .................................................................. V. PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................... B. Rekomendasi .................................................... EPILOG ..............................................................................
41 44 50 53 56
62
65 66 71
LAMPIRAN .......................................................................
77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................
97
PENCATATAN PERKAWINAN OLEH KUA PASCA ISU GRATIFIKASI PENGHULU DI JAWA TIMUR: ............................................................................... 99 1. Pencatatan Perkawinan oleh KUA Pascaisu Gratifikasi Penghulu di Kota Surabaya .................. 113 2. Pencatatan Perkawinan oleh KUA Pascaisu Gratifikasi Penghulu di Kota Kediri ........................ 137 3. Pencatatan Perkawinan oleh KUA Pascaisu Gratifikasi Penghulu di Kota Malang ..................... 157 INDEKS ............................................................................... 175 BIODATA EDITOR .......................................................... 179 xxii Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
INDEKS BIAYA PENCATATAN PERKAWINAN DI KUA TAHUN 2013
2 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
K
ontroversi biayapencatatan perkawinan di KUA, kembali mencuat menutup tahun 2012. Isu tersebut sebenarnya merupakan isu lama, namun karena tidak pernah terselesaikan dengan baik, maka ia menjadi konsumsi publik di tengah melemahnya citra Kemenag akibat berbagai kasus korupsi yang melibatkan beberapa oknum. 1Kontroversi semacam ini terus bergulir yang kemudian didorong oleh kekuatan media, sehingga praktis persoalan biaya pencatatan nikah justru tidak kunjung menemukan titik temu. Biaya pencatatan nikah sesungguhnya telah diatur dalam PP No.47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), di mana biaya pencatatan nikah hanya sebesar Rp30.000,00. Dana sebesar itu kemudian diserahkan ke Kas Negara dan menjadi PNBP. Bahkan biaya pencatatan nikah sebesar Rp 30.000,00 itu bisa digratiskan, dengan catatan terdapat surat keterangan miskin yang dikeluarkan pihak kecamatan. Namun angka ini bisa melonjak tajam, hingga mencapai Rp 900.000,00 karena beberapa oknum Penghulu meminta biaya tambahan transportasi dan keperluan lain, terutama untuk kota-kota besar seperti Jakarta. 2Alasannya jelas, karena peraturan mengharuskan pencatatan nikah diadakan di Kantor KUA setempat, sehingga ketika seorang Penghulu harus datang ke rumah atau ke resepsi pernikahan, memerlukan “biaya” transportasi.Terlebih para Penghulu seringkali diberikan tugas tamabahan doa dan khutbah nikah.”Bahkan menurut catatan media, penyimpangan biaya nikah selama ini mencapat Rp.1,2 trilyun. 3 Jika angka ini benar, berarti gratifikasi biaya nikah secara akumulatif mencapai angka yang
1“Korupsi
Quran, Kemenag Akan Copot Enam Pejabat”, Tempo.co, Selasa, 11 September 2012, diunduh 4 Februari 2013 2 “Biaya Menikah di KUA Jakpus Sampai Rp 900 Ribu, di Gedung 2 Kalinya”, detik News, Sabtu, 29/12/2012 3 Penghulu Terima Biaya Nikah di Luar Rp 30 Ribu Gratifikasi, Laporkan! , detikNews, 28 Januari 2013
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 3
sangat fantastis, di tengah hiruk-pikuk korupsi-korupsi besar yang dilakoni oleh tokoh-tokoh besar pula. Bagi keluarga dengan kelas ekonomi tertentu, kutipan biaya nikah di luar Rp 30.000.000,00 tentu tidak menjadi masalah, karena pernikahan dianggap memiliki nilai kesakralan yang melebihi “harga” rupiah yang dibayar. Bahkan dengan mengundang Penghulu di tempat tertentu, apakah di rumah, di masjid yang menjadi pilihan, atau di gedung resepsi, dipandang sebagai pernikahan yang “berkelas” dibanding harus datang ke kantor KUA. Terlebih lagi biasanya pernikahan dilakukan di luar jam kantor, dan bahkan pada hari libur. “Tolong berikan pemahaman, bahwa kami harus bekerja di luar jam kantor, bahkan harus meninggalkan keluarga pada hari libur” 4 Pernyataan ini tentu mengandung dua makna yang bertentangan. Pertama, dalam sistem pemerintahan yang bebas dari korupsi, penerimaan uang atau benda sebesar apapun di luar peraturan yang sudah ditentukan oleh pemerintah, bagi seorang PNS adalah gratifikasi. Kedua, seringkali pemberian sejumlah uang kepada Penghulu merupakan “hadiah” (gift)yang secara ikhlas diberikan, sebagaimana tradisi orang Jawa ketika mengadakan slametan dan memberikan sejumlah hadiah untuk pemimpin ritual upacara tersebut. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa pemberian sejumlah uang kepada Penghulu ketika melakukan pencatatan nikah, bisa dipandang dalam perspektif yang ambigu, yakni apakah dalam konteks sistem pemerintahan dan birokrasi yang modern, atau sebagai satu peristiwa ritual dan kebudayaan. Sebab beberapa fakta lain juga menjelaskan bahwa tidak semua Penghulu menerima sejumlah uang meski mereka harus melakukan pencatatan nikah di luar KUA. Najib, seorang Penghulu menceritakan perjuangan penghulu di daerah terpencil yang harus menembus alam agar bisa menjangkau semua lapisan masyarakat.Dengan kondisi musim hujan saat ini tak jarang dia pulang ke rumah dalam kondisi tubuh basah dan dibalut lumpur.Dia bertugas dengan motor Honda tahun 2006 yang boros BBM yang seringkali mogok di jalan.Apalagi jarak tempuh antara
4
Pernyataan seorang Penghulu dalam acara “Debat” di TVOne, 27 Desember 2012
4 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
perkotaan menuju lokasi pernikahan seperti di Desa Sedayu Lawas Kecamatan Brondong, bisa mencapai 35 km. "Kalau pulang pergi berarti 70 km. Kadang bensin yang sudah penuh habis di tengah jalan dan terpaksa nuntun kalau tidak ada penjual bensin.Itu semua kita tanggung sendiri, iya kalau pas uang gaji kita masih ada.Kadang gaji kita habis sebelum pertengahan bulan," tambahnya.Tak jarang dia menempuh rute naik turun jalan berbatu (makadam) untuk mendatangi lokasi pernikahan.Dia seringkali nyungsep ke jalan berkubang lumpur karena banjir sehingga tiba di lokasi pernikahan dengan baju sudah kotor.Bukan baju saja yang kotor, sepeda motor pun sudah penuh lumpur. 5
Persoalan ini tentu harus dilihat secara berimbang untuk kemudian tidak menghadirkan perdebatan yang kontraproduktif.Tuduhan-tuduhan atas gratifikasi bisa jadi benar untuk kasus-kasus tertentu, namun memahami persoalan pernikahan secara kultural tetap harus dipahami dalam rangka pemaknaan kebudayaan dengan tetap menjaga keberlangsungan pemerintahan yang bersih, terbebas dari persoalan korupsi sekecil apapun.Oleh sebab itu, riset ini dirancang untuk menyelesaikan perdebatan tentang biaya nikah dengan tetap melihat secara proporsional dua aspek, yakni kondisi sosio-kultural dan aparatur pemerintahyang bebas dari perilaku koruptif.Artinya, perlu dilihat pula bagaimana stakeholder membangun pemahaman tentang biaya nikah, sehingga perdebatan “korupsi dan tidak korupsi” bukan sekedar wacana yang dikembangkan menurut kepentingan masing-masing. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konstruksi stakeholder tentang biaya nikah? 2. Sejauhmana tentang biaya nikah terjadi dan dihadapi oleh stakeholder?
5“Kisah
Penghulu di Daerah Terpencil: Tanpa Pungli, Bahkan Urunan Ongkos Nikah”, detikNews, Minggu, 30/12/2012
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 5
3. Bagaimana alternatif biaya nikah bisa diformulasikan melalui basis pemerintahan yang bersih tanpa melanggar hokum pada kinerja Penghulu? C. Tujuan Penelitian 1. Melihat kinerja Penghulu yang berkaitan dengan pencatatan pernikahan di mata masyarakat. 2. Memahami respons masyarakat terhadap biaya pencatatan nikah yang terjadi selama ini 3. Memberi solusi alternatif berkaitan dengan biaya pencatatan nikah, sehingga ditemaukan formulasi indeks biaya nikah D. Telaah Pustaka Paling tidak ada 4 hal yang dihasilkandari beberapa penelitian yang dapat ditelusur tentang keberadaan KUA secara umum.Pertama, riset-riset yang terkait persoalan menajemen, baik internal maupun eksternal (Puslitbang1, 2003; Balai Litbang Semarang, tt; Ibnu Hasan Muchtar, 2008; Zaenal Abidin, 2008).Penelitian-penelitian ini menyoroti antara lainpelayanan yang menjadi tupoksi KUA. Umumnya bagian terbesar KUA bekerja di bawah standard harapan masyarakat.Artinya, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan KUA masih belum sesuai dengan tuntutan masyarakat. Beberapa kasus juga ditemukan pelayanan KUA masih belum sesuai dengan harapan Pemerintah Pusat, terutama yang menyangkut tugas-tugas manajemenpelayanan publik, meskipunharus diakui ada juga beberapa KUA yang sudah bertugas sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagaimana harapan stakeholder. Kedua, hasil riset yang membahas persoalan SDM (Umar R Soeroer, 2006; Bashori A. Hakim, 2006; Kustini dkk, 2006; Ridwan Lubis dkk, 2006; Djuhardi dkk, 2006; Nuhrison M. Nuh, 2006, 2008; Balai Litbang Semarang, tt; Asnawati, 2008; Haidlor Ali Ahmad, 2008; Mursyid Ali, 2008; Nuhrison M. Nuh, 2008; Zaenal Abidin, 2008; Marzani Anwar, 2008). Temuan penelitian menggambarkan bahwa kualitas maupun kuantitas SDM pegawai
6 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
KUA masih perlu diperhatikan dan dibina berkesinambungan.Hal ini disebabkan karena dua hal.
secara
Pertama, dikarenakan masih banyak pegawai yang kualifikasi pendidikan belum sesuai dengan persyaratan.Beberapa pegawai masih berpendidikan SMTA sederajat, sementara yang dibutuhkan adalah kualifikasi sarjana untuk mengejar percepatan social masyarakat. Kedua, hasil riset juga menemukan rendah partisipasi pegawai dalam beberapa diklat, karena persoalan porsi yang kurang memadahi. Ketiga, hasil yang mengakut persoalan tunjangan fungsional penghulu yang masih dianggap kecil (Kustini dkk, 2006; Marzani Anwar, 2008).Tulisan ini menyoroti masih terlalu rendahnya tunjangan fungsional penyuluh dibanding beban kerja yang dilaksanakan.Walaupun belum bisa diketahui secara lebih jelas apakah ada hubungan positif antara diangkatnya para penyuluh dalam jabatan fungsional dengan kinerja, tetapi riset ini menemukan “keluhan” rendahnya tunjangan fungsional. Keempat, munculnya beberapa kasus biaya tambahan yang tidak resmi (Imam Syaukani, 2008; Asnawati, 2008; Titik Suwariyati, 2008; Bashori A. Hakim, 2008; Akmal Salim Ruhana dkk, 2008; Suhanah, 2008; Mursyid Ali, 2008). Beberapa hasil temuannya memaparkan bahwa tidak ada kepastian biaya nikah di luar jam kerja dan di luar balai nikah, masih adanya pungutan biaya “tidak logis/tidak resmi” masih berjalan kendati atas dasar kerelaan dari pasangan masyarakat/calon pengantin dan masyarakat ada yang memahami hal tersebut, namun juga ada yang tidak memahami besarnya biaya tidak logis Selain hal di atas, masalah klasik tentang minimnya fasilitas dan operasionalisasi pendukung KUA yang kurang memadai, juga masih disoroti oleh para peneliti. (Bashori A. Hakim dkk, 2006; Nuhrison M, Nuh, 2006; Asnawati, 2008)
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 7
II KERANGKA TEORI
P
erdebatan teoritis pencatatan nikah ada pada dua ranah yang saling bertentangan. Di satu sisi, pencatatan dan biaya nikah harus berdasar PP No.47 Tahun 2004, yang “mewajibkan” calon pengantin datang ke KUA, namun di sisi yang berbeda pernikahan berhadapan dengan persoalan kebudayaan, gaya hidup, dan ritus yang dipandang sakral. Karena sakral, ritus pernikahan kemudian bagi kalangan kelas tertentu akan lebih memiliki makna jika diadakan di rumah, masjid, atau gedung resepsi. Ini tentu mengakibatkan Penghulu sebagai petugas pencatat nikah hadir dalam ritus tersebut, di mana kehadiran Penguhulu kemudian menjadi sosok penting proses ritus pernikahan. Oleh karena itu, kehadiran Penghulu di rumah, masjid, atau tempat resepsi ritus pernikahan diadakan mengandung implikasi ekonomi.Kehadiran Penghulu dianggap sebagai tugas tambahan yang memerlukan “biaya” di luar peraturan yang telah ditetapkan, maka ada beberapa oknum Penghulu yang “sengaja” meminta biaya tambahan. Akan tetapi, bagi kalangan ekonomi tertentu, tanpa diminta pun mereka secara sadar dan ikhlas memberikan “gift” kepada Penghulu karena penghormatan dan kehadirannya. Padahal dalam sistem pemerintahan dan birokrasi yang modern, apapun alasannya, setiap PNS tidak diperbolehkan menerima imbalan, baik dalam bentuk uang ataupun barang selama melaksanakan tugas. Jika seorang Penghulu menerima imbalan uang dalam pelaksanaan pencatatan nikah, maka akan dianggap menerima gratifikasi.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah uang kepada pegawai di luar gaji yang ditentukan. Persoalan gratifikasi tidak selesai pada urusan pribadi, karena disinyalir pungutan tidak resmi tersebut juga mengalir ke rekening pejabat tertentu.Ini artinya, persoalan gratifikasi yang dilakukan Penghulu bukan semata-mata untuk diri mereka, tetapi secara
8 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
tersirat ada persoalan structural yang lebih rumit yang menyangkut birokrasi. 6 Bahkan pada tahun 2008, ditemukan bahwa pungutan di luar biaya resmi, minimal antara Rp 150.000,00-Rp 250.000,00. Biaya sebesar itu hanya untuk “operasional” KUA, sehingga Penghulu sama sekali belum mendapat selisih dari pungutan itu (Nuh, 2008). Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.PengecualianUndang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1):Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Gratifikasi dengan sendirinya berbeda dengan suap, karena suap dalam Pasal 3 UU No 3 tahun 1980 berbunyi: barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia memang masih belum terlalu jelas pemisahan antara perbuatan pidana suap dan perbuatan pidana gratifikasi, karena perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait dengan jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut.Ini berbeda dengan pengaturan di Amerika yang mana antara suap dan gratifikasi yang dilarang dibedakan. Perbedaannya adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi gratifikasi 6
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/12/26/ pungli-kantor-urusan-agama-capairp-12 -trilyun- setahun-519928.html, diunduh 12 Fabruari 2013
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 9
memiliki maksud bahwa pemberian itu “sebagai penghargaan” atas dilakukannya suatu tindakan resmi, sedangkan dalam suap pemberi memiliki maksud,sedikit banyak“untuk mempengaruhi suatu tindakan resmi”(Scally: 2009). Sehingga jelas pembedaan antara suap dan gratifikasi adalah pada tempus (waktu) dan intensi atau maksudnya. Di bagian lain, kecenderungan memberikan sesuatusebagai wujud penghormatan memang sudah berakar kuat pada budaya Indonesia.Akibatnya yang menjadi masalah suap di Indonesia berada pada ranah kebudayaan.Kosakata suap dalam konteks Indonesia salah satunya adalah upeti.Upeti berasal dari bahasa Sansekerta, yakni utpatti, yang berarti bukti kesetiaan.Dalam sejarahanya, upeti merupakan suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk.Upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisme (Agus dan Kumorotomo, 2005). Hubungan mutualisme inilah yang sebenarnya terjadi dalam kasus gift atau hadiah yang diberikan keluarga pengantin kepada Penghulu. Variabel budaya semacam ini tidak bisa diabaikan begitu saja dalam sistem pelayanan birokrasi di Indonesia.Istilah “semua bisa diatur”, “yang penting beres”, merupakan struktur dalam kebudayaan yang kemudian membentuk dan menjadi pengarah berperilaku (Spradley, 1980), termasuk dalam menghadapi pelayanan birokrasi. Merubah kultur bukanlah pekerjaan mudah sebagaimana membuat berbagai aturan. Merubah kultur berarti merombak struktur terdalam (deep structure) pada pikiran yang melahirkan perilaku, bukan perilaku yang tampak kasat mata (surface structure) (Turner, 1982). Terlebih lagi kebijakan-kebijakan baru yang mencoba membongkar tradisi lama banyak muncul berbarengan komitmen pemerintah dalam menghapus segala bentuk korupsi. Serangkaian undang-undang yang berkaitan dengan perlawanan terhadap KKN merupakan produk baru setelah rezim Orde Baru jatuh. Ini artinya ada nilai-nilai lama yang mulai ditinggalkan, sementara nilai-nilai baru belum dipahami secara baik.Dalam produk yang berbeda, Turner (1977) menyebutnya dengan masamasa liminal.Pada masa-masa inilah sebenarnya masyarakat sedang berubah meninggalkan budaya lama, sementara budaya baru belum 10 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
menemukan bentuknya.Akibatnya pemberantasan gratifikasi, berbarengan secara diam-diam dan mentradisi dengan “pemberian” yang dianggap legal.Namun jika sudah menyangkut “pemaksaan” maka kasusnya bisa berbeda.Dia bukan lagi gift, tetapi bisa menjadi sebuah perilaku korup. Persoalannya kemudian adalah, seberapa jauh gift yang berkaitan dengan kebudayaan menjadi gratifikasi atau suap dalam tugas dan kinerja Penghulu. Sebab kenyataannya tidak semua gratifikasi bertentangan dengan hukum (Buku Saku Memahami Gratifikasi, KPK, 2010). Lebih lanjut dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi dijelaskan: “….suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu perbuatan pidana suap khususnya khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya” Tradisi memberi uang kepada Penghulu pada ritus pernikahan, memang bisa menjadi gratifikasi, karena memang berkaitan dengan tugas sebagai PNS. Terlebih melalui Perpers No. 73 Tahun 2007 Penghulu sudah mendapat Tunjangan Fungsional, untuk Penghulu Pertama sebesar Rp 260.000,00; Penghulu Muda sebesar Rp 350.000,00 dan Penghulu Madya mendapat tunjangan sebesar Rp 500.000,00. Tunjangan fungsional ini sebenarnya merupakan cara untuk meningkatakan kinerja Penghulu, melalui kinerja yang berasas merit system. Dalam sebuah organisasi, lingkungan kerja dan budaya yang menyenangkan mempunyai peran penting dalam meningkatkan kinerja seseorang untuk mengejar produktivitas. Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama(Riani, 2011). Akan tetapi budaya yang hidup di masyarakat tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena pada kelas-kelas sosial tertentu, ritus nikah bisa menelan anggaran lebih dari Rp 100 juta, dan bahkan mencapai milyaran rupiah. Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 11
Di lain pihak tidak dapat dielakkan bahwa tidak semua KUA memiliki potensi ekonomi yang baik. Artinya, tidak semua keluarga calon pengantin memiliki kekuatan eknomi tinggi, sehingga mampu membayar sejumlah uang melebihi Rp 30.000,00.Beberapa kasus, rendahnya tingkat pencatatan nikah juga karena faktor ekonomi (Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012).Artinya, tidak semua Penghulu selalu menerima gift, bahkan dalam beberapa kasus tidak sedikit Penghulu yang harus menutup biaya pernikahan karena faktor ekonomi keluara calon pengantin. 7Oleh sebab itulah diperlukan indeks biaya nikah yang bisa menjadi standard, dengan memperhatikan berbagai factor dan persoalan riil yang muncul. 8Dengan mengetahui indeks biaya nikah, maka akan ditemukan “harga” yang pantas dan definitif untuk menghindari sejumlah fenomena gratifikasi yang seiring muncul secara negatif. Dari uraian kerangka teoritik penelitian dapat dijelaskan secara skematik sebagai berikut:
7 8
“Kisah Penghulu di Daerah Terpencil: Tanpa Pungli, Bahkan Urunan Ongkos Nikah”, detikNews, Minggu, 30/12/2012 Indeks bisa didefinisikan dengan daftar harga sekarang dibandingkan dengan harga sebelumnya menurut persentase untuk mengetahui turun naiknya harga barang Indeks harga konsumen (consumer price index)misalnya, adalah nomor indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga. IHK sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara dan juga sebagai pertimbangan untuk penyesuaian gaji, upah, uang pensiun, dan kontrak lainnya. Untuk memperkirakan nilai IHK di masa depan, ekonom menggunakan indeks harga produsen, yaitu harga rata-rata bahan mentah yang dibutuhkan produsen untuk membuat produknya.
12 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Nilai-nilai Baru dalam Sistem Pemerintahan: • Gratifikasi • UU Korupsi • UU Suap • UU KPK
Konstruksi Hukum dengan Sistem Pengawasan yang Modern d Ak t b l
Biaya Pencatatan Nikah PP No.47 Tahun 2004
Kinerja Penghulu: • Gaji • Tunjangan Fungsional • Beban kerja
Alternatif Indeks Biaya Pencatatan Nikah di KUA
Faktor Kebudayaan Nilai-nilai Lama dan • Pemberian Hadiah (gift) • Faktor geografis (ekonomi, jarak, topografi) • Nilai-nilai lokal
? Penghulu sering menjadi tumpuan untuk mendapatkan tambahan untuk kepentingan KUA + Kemenag
Konstruksi Sosial-Budaya dan Birokrasi yang belum berubah
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 13
III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian
T
ipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuantitatif yang didukung dengan kualitatif (mix method). Dengan kata lain, penelitian kuantitatifdengan statistik deskriptif dan induktif akan lebih dijelaskan dengan hasil-hasil penelusuran secara kualitatif (Bullock, et all, 2002). Penggalian data kualitatif dengan sendirinya akan menjadi pendukung data kuantitatif. Metode kualitatif digunakan sebelum penelitian kuantitatif. Metode kualitatif digunakan dalam dalam penggalian data yang dilakukan di 11 kota/kabupaten dan berhasil mendapatkan informasi awal mengenai faktor-faktor yang berpengaruh (variable) terhadap besaran biaya pencatatan nikah di Indonesia yaitu:a) kakarteristik mempelai, b) budaya, c) beban tugas tambahan penghulu, d) transportasi (jarak tempuh), e) waktu pelaksanaan, f) daya beli masyarakat, g) operasional KUA, dan h) jaring sosial. Variabel-variabel tersebut selanjutnya ditelusuri secara mendalam pada riset dengan metode kuantitatif yang dilakukan di 71 Kecamatan di Indonesia. B. Populasi dan Sampling Populasi penelitian terbagi ke dalam 2 populasi, pertama populasi KUA seluruh Indonesia yang berjumlah 5.328 KUA, kedua populasi pernikahan pada tahun 2013 yang berjumlah 2.291.254 peristiwa nikah. Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari penelitian lapangan yang dilakukan terhadap 71 KUA dan 360 pasangan mempelai/Orang tua mempelai, yang berasal dari 21 Kota/Kabupaten, dengan masing-masing Kota/Kabupaten dipilih 3 kecamatan. Pemilihan 71 KUA tersebut berdasarkan sebaran KUA pada Kota/Kabupaten yang terbagi ke dalam 3 14 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
kategori indeks pembangunan manusia yaitu IPM tinggi, sedang, dan rendah. Adapun provinsi yang menjadi wilayah penelitian adalah: Banten, Kalbar, NTB IPM rendah
NTT, Maluku Utara, Kalbar, Sulbar, Kalsel, Sultengg, Gorontalo Jateng, Jatim, Jabar
IPM sedang
Bali, NAD, Sulsel, Lampung, Maluku, Sulteng D I Yogyakarta , DKI Jakarta, Sumsel
IPM tinggi
Sulut, Riau, kaltim, Kepri, Sumut, Sumbar, Babel, Jambi
Teknik sampel dalam penelitian: 1) Sampel Peluang, yaitu teknik penentuan ukuran sampel berdasarkan perbandingan besar kecilnya jumlah populasi penelitian, dan dapat dilakukan jika terdapat sampling frame (kerangka sampling) data penelitian. Dengan kata lain, jika suatu penelitian diketahui berapa besar populasinya maka penelitian tersebut harus menggunakan teknik sampling peluang. 2) Stratified Random Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel peluang secara acak, yang dilakukan pada kondisi populasi yang heterogen, dimana kondisi populasi membentuk provinsi-provinsi yang kondisinya homogen di dalam provinsi, tetapi heterogen antar provinsi. 3) Penentuan ukuran sampel, dalam penelitian ini ukuran sampel dihitung melalui dua mekanisme perhitungan. Pertama, sampel parameter menggunakan parameter korelasi dikarenakan riset KUA ini menghasilkan skor korelasi/pengaruh yang kemudian akan menjadi landasan penentuan formulasi pengaruh faktor penentu terhadap Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 15
besaran biaya pencatatan nikah di KUA. Kedua, sampel peluang dikarenakan pada penelitian ini besar populasi KUA dan peristiwa nikah yang masing-masing diketahui besarnya. 4) Perhitungan sampel parameter : 2
Zα + Zβ ⎪⎧ ⎪⎫ n0 = ⎨ ⎬ +3 + − 0,5 xLn ((1 r ) / (1 r ) ( ) ⎩⎪ ⎭⎪
2
⎧⎪ 2,576 +1,960 ⎫⎪ n0 = ⎨ ⎬ +3 ⎩⎪( 0,5xLn((1,5) / (0,5)) ⎭⎪
5) Perhitungan sampel peluang : 1) Sampel KUA : n=
n0 (n0 − 1) 1+ N
n=
71,18 71,18 1+ 5328
n = 70,26 ≈ 71 KUA
2) Sampel Peristiwa nikah (mempelai) : n=
n0 (n0 − 1) 1+ N
n=
71,18 n = 71,18 ≈ 72 Mempelai 71,18 1+ 2.300.000
Dengan demikian ukuran sampel minimal dalam penelitian ini adalah 71 KUA dan 72 mempelai, akan tetapi karena adanya faktor kemampuan peneliti secara lapangan, maka sampel penelitian yang diambil adalah 360 mempelai. C. Data yang Digunakan Dalam penelitian ini diasumsikan ada 8 (delapan) variabel yang mempengaruhi indeks biaya nikah, kedelapan variable tersebut diperoleh dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan sebelumnya. Beberapa faktor yang berpengaruh atau variable (V) yang mempengaruhi indeks biaya nikah yaitu: 16 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
V1
= Karakteristik mempelai yaitu: status ekonomi masyarakat, kesukuan, geografis
V2
= Faktor Kebudayaan dan nilai-nilai lama seperti : a) Pemberian hadiah (gift) dan b) Nilai-nilai lokal
V3
= Beban tugas tambahan yang diberikan oleh masyarakat kepada petugas KUA saat prosesi perkawinan, antara lain: (Khutbah nikah, do'a, sambutan, dsb)
V4
= Transportasi (Jarak tempuh) dan akomodasi (model transportasi)
V5
= Waktu pelaksanaan atau tingkat kesibukan KUA dalam melayani calon pengantin yang hendak menikah, waktu (jam, hari, bulan) paling sibuk adalah: a) Bulan dzulhijjah/tahun, b) Minggu pertama/bulan, c) Sabtu dan minggu/minggu, d) Pagi hari/hari
V6
= Daya beli masyarakat atau tingkat kemahalan belanja kebutuhan regional: (Faktor-faktor atau variable-variabel dalam IPM yang secara teoritik berhubungan dengan biaya pencatatan nikah)
V7
= Operasional KUA operasional kantor)
V8
= Jaring social yaitu: a) adanya "Setoran" Penghulu kepada pihak-pihak lain, pemberian masyarakat tidak hanya dimanfaatkan oleh penghulu, c) adanya "Pungutan" oleh perantara nikah, baik yang dilakukan oleh P3N/ Amil/ Imam/ Lebe/Modin/ Kaum atau pihak lainnya, c) Kebutuhan penghulu terhadap perantara(P3N/Amil/Imam/Lebe/Modin/Kaum), khususnya membantu masyarakat dalam proses pendaftaran juga untuk verifikasi data pengantin.
(perkejadian
nikah
dan
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 17
a. Identifikasi Variabel Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menjawab besar pengaruh serta formulasi dari delapanfaktor penentu terhadap besaran biaya pencatatan nikah di Indonesia yang diperoleh melalui kajian kualitatif sebelumnya, faktor-faktor penentu tersebut adalah: Karakteristik mempelai (x1), Budaya memberi (x2), Tugas penghulu saat prosesi akad (x3), Transportasi dan Akomodasi (x4), Waktu pelaksanaan prosesi akad (x5), Daya beli masyarakat (x6), Operasional KUA (x7), dan Jaringan sosial (x8). Instrumen pengumpulan data terbagi ke dalam 2 jenis instrumen yaitu kuesioner yang diisi oleh Kepala KUA/Penghulu serta kuesioner yang diisi oleh pihak mempelai/orang tua mempelai. Terdapat beberapa poin pada kuesioner KUA yang harus diverifikasi oleh peneliti secara langsung (tidak dapat diwakilkan) saat melakukan verifikasi data di kantor KUA. b. Definisi Konseptual dan Operasional 1) Definisi Konseptual Definisi Konseptual, yang dimaksud indeks biaya nikah adalah indeks biaya pencatatan nikah yang dipengaruhi oleh kakarteristik mempelai, budaya, beban tugas tambahan penghulu, transportasi (jarak tempuh), waktu pelaksanaan, daya beli masyarakat, operasional KUA, dan jaring sosial. 2) Definisi Operasional,yang dimaksud indeks biaya nikah adalah skor yang diperoleh dari responden terkaitindeks biaya pencatatan pernikah yang diukur dengan (a) kakarteristik mempelai, (b) budaya, (c) beban tugas tambahan penghulu, (d) transportasi (jarak tempuh), (e) waktu pelaksanaan, (f) daya beli masyarakat, (g) operasional KUA, dan (h) jaring sosial.
18 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
D. Analisis Data Dalam penelitian ini digunakan analisis data terdiri dari : 1. Statistika Deskriptif Statistik deskriptifmerupakan metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Statistika deskriptif memberikan informasi mengenai data yang dipunyai dan sama sekali tidak menarik inferensia atau kesimpulan apapun tentang gugus induknya yang lebih besar. Statistika deskriptif yang akan dilakukandengan tabel, diagram, grafik. Dengan Statistika deskriptif, kumpulan data yang diperoleh akan tersaji dengan ringkas dan rapi serta dapat memberikan informasi inti dari kumpulan data yang ada. Informasi yang dapat diperoleh dari statistika deskriptif ini antara lain ukuran pemusatan data, ukuran penyebaran data, serta kecenderungan suatu gugus data. 2. Statistika Inferensial Statistika Inferensialmerupakan metode analisa data untuk melakukan penaksiran terhadap parameter, atau nilai variabel pada populasi (generalisasi) melalui proses pengujian hipotesis statistik terhadap data sampel. Statistika induktif ini haruslah dilakukan jika suatu penelitian menggunakan data sampel sebagai sumber informasi, sebab jika penelitian hanya berhenti pada analisa statistik deskriptif saja maka kesimpulan yang dihasilkan hanya berlaku untuk sampel, bukan pada populasi.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 19
IV TEMUAN DAN ANALISIS A. Karakteristik Sampel
K
arakteristik sampel adalah analisa statistik secara deskriptif untuk menyajikan profil kepala KUA/penghulu serta mempelai yang menjadi sampel dalam penelitian ini, yang terdiri atas pekerjaan mempelai, rerata pengeluaran bulananan mempelai, status dalam prosesi akad, pendidikan terakhir penghulu, jabatan di KUA, dan rerata masa kerja penghulu. Gambar: 1 Sebaran Data Pekerjaan Mempelai/ Orang Tua
Dari gambar di atas terlihat bahwa frekuensi terbanyak responden merupakan sampel penelitian (mempelai/orang tua) yang memilii pekerjaan sebagai pegawai swasta, yaitu sebanyak 184 orang dari total sampel (360 mempelai). Pekerjaan sebagai wiraswasta sebanyak 58 orang, ibu rumah tangga 30 orang, guru sebanyak 22 orang, PNS sebanyak 21 orang dan seterusnya hingga pekerjaan yang paling sedikit yaitu supir/mekanik mobil yang hanya mencapai sebanyak 1 orang saja. 20 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Gambar: 2Sebaran Data Rerata Pengeluaran Mempelai/Orang Tua Perbulan
Gambar: 3Sebaran Data Rerata Pengeluaran Mempelai/Orang Tua Perbulan
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 21
Gambarr: 4Sebaran Data Rerata Pengeluaaran M Mempelai/Orang Tua Perbulan
Dari Gambar di atas terlihat baahwa dari 21 kotaa yang diteliti d dan menghasilkan 360 mem mpelai, rerata pengeluaran m mempelai/orang tuua paling besar adaalah mempelai yan ng berasal dari K Kota Jakarta Baratt yang mencapai rerata sebesar Rp p 2.2650.000,S Sedangkan rerata pengeluaran mem mpelai/orang tua paling kecil a adalah mempelai yang berasal darri Kota Kupang yang hanya m mencapai rerata seb besar Rp 675.000,-- . Gam mbar:5Persentasee Status Sampel P Pada Saat Prosesii Akad Nikah
Status dalam p pernikahan Mempelai Pria
4,72% 27,78%
32,22%
Mempelai Wanita Orang tua mempelai Pria
29,17% 6,11%
Orang tua mempelai Wanita Keluarga
22 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 2
Dari gambar di atas terlihatt bahwa frekuen nsi terbanyak responden merupakan sampel penelitian (mempelai/orrang tua) yang m memiliki status seb bagai mempelai prria pada saat proseesi akad, yang m mencapai persentaase sebanyak 32,,22% dari total sampel (360 m mempelai). Status sebagai mempeelai wanita seban nyak 29,17%, sebagai orang tua mempelai wanita sebanyak 27,78% %, dan sebagai o orang tua mempeelai pria sebanyaak 6,11%. Sedan ngkan sampel p penelitian (mempellai/orang tua) yan ng memiliki status sebagai pihak k keluarga pada saat prosesi akad han nya mencapai perssentase 4,72% saja. Gambar: 6Persentase Peendidikan Terakh hir Kepala KUA/P Penghulu
Pendidikan tterakhir 1,41% 28,1 17% D D4/S1 70,42%
S S2 S S3
Dari gambar di atas terlihatt bahwa frekuen nsi terbanyak y memiliki responden merupaakan sampel penellitian (penghulu) yang p pendidikan terakhir D4/S1 yang mencapai m persenttase sebanyak 7 70,42% dari totaal sampel (71 penghulu). Pengh hulu dengan p pendidikan terakhiir S2 mencapai seebanyak 28,17%, dan d penghulu d dengan pendidikan n terakhir S3 hanyya mencapai persentase 1,41% saja.
Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 23
Gambar: 7Persentase Peendidikan Terakh hir Kepala KUA/P Penghulu
Jabataan 2 25,35%
74 4,65%
Penghulu Kepala KUA A
Dari gambar di atas terlihatt bahwa frekuen nsi terbanyak responden merupaakan sampel penellitian (penghulu) yang y memiliki jaabatan sebagai Keepala KUA yang mencapai persenttase sebanyak 7 74,65% dari total sampel s (71 penghuulu). Sedangkan Penghulu P yang m memiliki jabatan seebagai penghulu saja s hanya mencap pai persentase 2 25,35%. Tabel : 8 Uji Staatistik Inferensiall Rerata Masa Kerja K Penghulu
Variabel Penelitian Rerata masa kerja (bulan)
Pencaapaian Rerataa yang Diiuji 25 26
Rerata Masa M Kerja Penghulu (sampel) Sim mpangan Rerata p-value Kesimpulan Baku Signifikan 0,242 24 21 Tidak 0,044 Signifikan
Tabel di atas merupakan tabell pengujian statisttik inferensial uuntuk menguji duggaan pencapaian rerata r secara nasio onal terhadap rerata masa kerja penghulu dengan n menggunakan statistik s uji 1 rerata. Taraf kekeliiruan yang ditoleraansi dalam pengujiian ini sebesar 24 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 2
5%, artinya jika pencapaian p-value berada di atas 0,05 menunjukkan hasil pengujian rerata indeks yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian rerata masa kerja penghulu secara deskriptif mencapai rerata 24 bulan dengan simpangan baku sebesar 21 bulan. Artinya rerata masa kerja penghulu yang didapatkan dari 360 sampel yang diteliti berada pada rentang 3 bulan – 45 bulan. Sedangkan pengujian secara inferensial menghasilkan keputusan bahwa rerata masa kerja penghulu se-Indonesia signifikan berada pada nilai rerata 25 bulan. Gambar: 9 Sebaran Data Rerata Masa Kerja Penghulu
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 25
Gambar: 10 Sebaran Data Rerata Masa Kerja Penghulu
Rerata M a sa K erja (bulan)_2 60 42
44
40
26
22
20 20
10
Rerata M a s a Kerja (bu lan)
9
0 o lo rta ng ya og ta ra te ka ba Pr on h ra ge ra na n e r n u u o c o er l a S S T A G T u a a t a t a ta K ta ot ot Ko b. Ko Ko Ko K K Ka
Gambar: 11 Sebaran Data Rerata Masa Kerja Penghulu R erata M a sa K erja (bulan)_3 60 40 20
34 27
25 14
16
19
Rerata M a sa K erja (bu lan)
10 0
alu n ng j ung m aru eda ng ba a P n t ra rb a m o pa a ta T e M j u l K a . n a a t K a ab P . M ota B K Ko ta ta ab K o Ko K K
Dari Gambar di atas terlihat bahwa dari 21 kota yang diteliti dan menghasilkan 71 penghulu, rerata masa kerja penghulu paling lama adalah penghulu yang berasal dari Kota Cirebon yang mencapai rerata sebesar 55 bulan. Sedangkan rerata masa kerja 26 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
penghulu paling sebentar adalah penghulu yang berasal dari Kota Semarang yang mencapai rerata sebesar 8 bulan. Gambar: 12 Sebaran Data Rerata Pengeluaran Penghulu Perbulan
Gambar: 13 Sebaran Data Rerata Pengeluaran Penghulu Perbulan
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 27
Gambar: 14 Sebaran Data Rerata Pengeluaran Penghulu Perbulan R erata Pengeluaran Penghulu Perbulan (dalam Juta rupiah) 6.000
5.167 4.000
4.000
3417
3.167 2.150
2.000 0.000
Rerata Pengelu aran Penghu lu Perbu lan (d alam Ju ta ru p iah)
u al ng am e ng ru P an na ar at ba ta ba Pi at ed rn o g ar e j K M em n M l u T a an ta ta nj ta P Ta Ko a B Ko ta Ko ta ot o Ko K K
Dari Gambar di atas terlihat bahwa dari 21 kota yang diteliti dan menghasilkan 71 penghulu, rerata pengeluaran penghulu perbulan paling besar adalah penghulu yang berasal dari Kota Jakarta Selatan yang mencapai rerata sebesar Rp 7.500.000,- Sedangkan rerata pengeluaran penghulu perbulan paling sedikit adalah penghulu yang berasal dari Kota Mataram yang mencapai rerata sebesar Rp 2.150.000,-. B. Indeks Faktor Budaya Memberi Indeks faktor budaya memberi adalah analisa statistik secara deskriptif dan inferensial untuk menyajikan indeks budaya memberi masyarakat Indonesia dalam hal ini diwakili oleh 360 mempelai dan 71 penghulu yang menjadi sampel dalam penelitian.
28 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
G Gambar: 15 Item 5 mempelai “Apakah anda seetuju Penghulu perrlu diberi uang terima kasih ?”
Item 5 mem mpelai % 3,06% 13,61% 9,44% 6,11%
Sangat setu uju Setuju Ragu‐ragu 67,78%
Tidak setuju u Sangat Tidaak setuju
Dari gambar di d atas merupakan n salah satu item dari d beberapa pertanyaan yang diiberikan kepada 3660 mempelai. Item p m 5 mempelai b berbunyi “Apakah anda setuju Pengghulu perlu diberii uang terima k kasih ?” Terlihat bahwa b frekuensi teerbanyak respondeen merupakan sampel penelitian (mempelai) ( yang menjawab m setuju yaang mencapai p persentase sebanyaak 67,78% dari total sampel (360 mempelai). R Responden yang menjawab sanggat setuju seban nyak 13,61%. S Sedangkan yang paling p sedikit adallah responden yan ng menjawab sangat tidak setuju yang hanya mencapai persentase 3,06%. Dengan d demikian dapat dikatakan bahwa 811,39% mempelai setuju bahwa p penghulu perlu dib beri uang terima kaasih.
Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 29
G Gambar:16 Item 7 mempelai “Kebiasaan di masyarakat m yang memberikan m imbalaan kepada penghulu membuuat anda merasa beerkewajiban memb beri imbalan k kepada pengulu keetika anda menyeleenggarakan prosesii pernikahan”
Item 7 Mem mpelai 13,89%
1,39% 10,28% Sangat ssetuju
9,72%
Setuju Ragu‐raagu 64,72%
Tidak seetuju Sangat TTidak setuju
Dari gambar di d atas merupakan n salah satu item dari d beberapa pertanyaan yang diiberikan kepada 3660 mempelai. Item p m 7 mempelai b berbunyi “Kebiasaaan di masyarakaat yang memberiikan imbalan k kepada penghulu membuat anda merasa m berkewajib ban memberi im mbalan kepada pengulu p ketika an nda menyelenggarrakan prosesi p pernikahan”. Terllihat bahwa freekuensi terbanyakk responden m merupakan sampeel penelitian (mem mpelai) yang men njawab setuju y yang mencapai perrsentase sebanyak 64,72% dari totall sampel (360 m mempelai). Respo onden yang menjjawab sangat setuuju sebanyak 10,28%. Sedangkaan yang paling sedikit adalah resp ponden yang m menjawab sangat tidak setuju yan ng hanya mencap pai persentase 1,39%. Dengan deemikian dapat dikkatakan bahwa 755% mempelai setuju bahwa kebiiasaan di masyarakat yang memberrikan imbalan k kepada penghuluu membuat mem mpelai merasa berkewajiban m memberi imbalan kepada k pengulu keetika mereka menyyelenggarakan p prosesi pernikahan.
30 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 3
G Gambar: 17 Item 11 mempelai “Sebagai keluargaa mempelai, anda berhak b untuk menaanyakan atau menginformasikan n kepada wali nikah h lain tentang nilaii uang terima kasih dan im mbalan yang anda berikan b kepada pen nghulu”
Item 11 Me empelai 4,44% 5,00% 38,61%
Sangat seetuju 43,06 6%
Setuju Ragu‐ragu u Tidak setu uju Sangat Tidak setuju
8,89%
Dari gambar di d atas merupakan n salah satu item dari d beberapa pertanyaan yang diberikan kepada 3660 mempelai. Item p m 11 mempelai b berbunyi “Sebagaai keluarga mem mpelai, anda beerhak untuk m menanyakan atau menginformasikan m n kepada wali nikah h lain tentang n nilai uang terima kasih dan imbalaan yang anda beerikan kepada p penghulu”. Terlih hat bahwa frekkuensi terbanyakk responden m merupakan sampeel penelitian (mem mpelai) yang men njawab setuju y yang mencapai perrsentase sebanyak 43,06% dari totall sampel (360 m mempelai). Respo onden yang menjjawab sangat setuuju sebanyak 5 5,00%. Sedangkan n yang paling seedikit adalah resp ponden yang m menjawab sangat tidak setuju yan ng hanya mencap pai persentase 4 4,44%. Dengan demikian dapat dikaatakan bahwa 48,066% mempelai setuju bahwa keluuarga mempelai berhak untuk men nanyakan atau m menginformasikan h lain tentang nilaai uang terima kepada wali nikah k kasih dan imbalan yang y anda berikan kepada penghulu.. Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 31
G Gambar: 18 Item 15 mempelai “Besarnya jumlah h nominal uang terrimakasih yang dib berikan oleh pengh hulu dari keluarga mempelai adalah””
Item 15 Me empelai 1,94%
9,44% 5,28 8%
42,22%
13,33%
mengikuti in ntruksi penghulu intruksi P3N/lebe/amil
27,78%
kebiasaan dii masyarakat sesuai kemampuan ngantin keluarga pen
d atas merupakan n salah satu item dari d beberapa Dari gambar di pertanyaan yang diberikan kepada 3660 mempelai. Item p m 15 mempelai b berbunyi “Besarn nya jumlah nom minal uang terim makasih yang d diberikan oleh pen nghulu dari keluarrga mempelai adaalah”. Terlihat b bahwa frekuensi teerbanyak respondeen merupakan sam mpel penelitian (m mempelai) yang menjawab seikh hlasnya saja yan ng mencapai p persentase sebanyaak 42,22% dari total sampel (360 mempelai). R Responden yang menjawab m sesuai kemampuan k keluarrga pengantin sebanyak 27,78%. Sedangkan responden yang men njawab sesuai nstruksi penghuluu dan P3N hanyaa mencapai persen ntase 14,72%. in D Dengan demikian dapat dikatakan bahwa b hanya 14,722% mempelai y yang menyatakan bahwa b Besarnya jumlah nominal uan ng terimakasih y yang diberikan oleh penghulu darri keluarga memp pelaimengikuti in nstruksi penghulu dan P3N.
32 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 3
Gambar: 19Item 6 penghulu “Sebagai seoraang penghulu, keb biasaan di masyaraakat yang memberikan uan ng terima kasih kep pada penghulu mem mbuat anda merasa berhak (w wajar) untuk mendaapat uang terima kasih tiap kali anda menjalankkan tugas”
Item 6 Pen nghulu Sangat setuju Setuju Ragu‐raggu Tidak settuju Sangat TTidak setuju
Dari gambar di d atas merupakan n salah satu item dari d beberapa pertanyaan yang diberikan p d kepada 71 7 penghulu. Item m 6 penghulu b berbunyi “Sebagai seorang penghuluu, kebiasaan di maasyarakat yang m memberikan uang terima kasih kep pada penghulu membuat m anda m merasa berhak (waajar) untuk mendaapat uang terima kasih k tiap kali a anda menjalankan n tugas”. Terlihaat bahwa frekuen nsi terbanyak responden merupakan sampel peneliitian (penghulu) yaang menjawab setuju yang mencap pai persentase sebanyak 52,11% darri total sampel (771 penghulu). Ressponden yang meenjawab sangat settuju sebanyak 9 9,86%. Sedangkan frekuensi paling sedikit adalah ressponden yang m menjawab ragu-raggu yang hanya meencapai persentasee 8,45% saja. D Dengan demikian dapat dikatakan bahwa b 61,97% pen nghulu setuju b bahwa Sebagai seo orang penghulu, kebiasaan di masyarakat yang m memberikan uangg terima kasih kepada penghuulu membuat p penghulu merasa berhak b (wajar) untuuk mendapat uangg terima kasih tiiap kali anda menjalankan tugas. Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 33
G Gambar: 20 Item 10 penghulu “Sebagai penghuluu, anda berdiskusi dengan pihak calo on pengantin tentang besar nilai n kompensasi yaang akan diberikan n keluarga pengantin kep pada anda sesuai bobot b kerja tambah han yang dibebankkan”
Item 10 Penghulu 7,04% % 21,13%
Sangat setuju Setuju
71,8 83%
Ragu‐raggu Tidak settuju
Dari gambar di d atas merupakan n salah satu item dari d beberapa pertanyaan yang diiberikan kepada 71 p 7 penghulu. Item 10 penghulu b berbunyi “Sebagai penghulu, anda berdiskusi dengan n pihak calon p pengantin tentangg besar nilai kom mpensasi yang akkan diberikan k keluarga pengantin n kepada anda sesuuai bobot kerja taambahan yang d dibebankan”. Terrlihat bahwa freekuensi terbanyakk responden m merupakan sampeel penelitian (pengghulu) yang men njawab sangat tiidak setuju yang mencapai m persentaase sebanyak 71,38% dari total sampel (71 pengghulu). Responden yang menjawaab ragu-ragu sebanyak 21,13%.. Sedangkan freekuensi paling seedikit adalah m tidak setuju yang han nya mencapai responden yang menjawab p persentase 7,04% saja, dan tidak adda seorang respon ndenpun yang m menjawab setuju. Dengan D demikian dapat dikatakan bahwa b 78,42% p penghulu tidak seetuju bahwa pengghulu berdiskusi dengan d pihak c calon pengantin ten ntang besar nilai kompensasi k yang akan a diberikan 34 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 3
keluarga pengantin kepada anda sesuai bobot kerja tambahan yang dibebankan. Tabel :Uji Statistik Inferensial Korelasi Setuju Tidaknya Mempelai Atas Pemberian Uang Terima Kasih Dengan Item Faktor Budaya
Hubungan/Korelasi Setuju tidaknya masyarakat atas pemberian uang terima kasih kepada Penghulu
Nilai korelasi sampel
Statistik Uji p-value
Kesimpulan
0,002
0,968
Tidak Signifikan
Pengeluaran masyarakat perbulan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan korelasi secara nasional antara persetujuan masyarakat atas pemberian uang terima kasih dengan pengeluaran masyarakat perbulan menggunakan statistik uji korelasi pearson. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di bawah 0,05 menunjukkan hasil pengujian korelasi yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian korelasi antara persetujuan masyarakat atas pemberian uang terima kasih dengan pengeluaran masyarakat perbulan secara deskriptif 0,002 yang berarti kedua variabel memiliki hubungan yang sangat rendah. Sedangkan pengujian secara inferensial atas korelasi keduanya menghasilkan pvalue sebesar 0,968 yang berarti hubungan antara “persetujuan masyarakat atas pemberian uang terima kasih” dengan “pengeluaran masyarakat perbulan” secara nasional tidak signifikan. Dapat disimpulkan bahwa berapapun besarkecilnya pengeluaran perbulan masyarakat dalam hal ini mempelai, tidaklah berhubungan secara signifikan dengan kerelaan meraka untuk memberikan uang terima kasih kepada penghulu serta berapa besar pemberiannya. Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 35
C. Indeks Faktor Tugas Penghulu Saat Prosesi Akad Indeks faktor tugas penghulu adalah analisa statistik secara deskriptif dan inferensial untuk menyajikan indeks tugas penghulu di Indonesia dalam hal ini diwakili oleh 360 mempelai dan 71 penghulu yang menjadi sampel dalam penelitian. Tabel : 2 Uji Statistik Inferensial Indeks Faktor Tugas Penghulu Variabel Penelitian Rerata tugas penghulu saatprosesi akad (%)
Pencapaian Rerata yang Diuji 42,42 42,43
Rerata Tugas Penghulu saat Akad Nikah (sampel) Simpangan Rerata p-value Kesimpulan Baku 0,051 Signifikan 41,09
12,12
0,050
Tidak Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan pencapaian rerata secara nasional terhadap rerata tugas penghulu saat prosesi akad dengan menggunakan statistik uji 1 rerata. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di atas 0,05 menunjukkan hasil pengujian rerata indeks yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian indeks tugas penghulu secara deskriptif mencapai rerata 41,09% dengan simpangan baku sebesar 12,12%. Artinya indeks sumber daya KBH yang didapatkan dari 360 sampel yang diteliti berada pada rentang 28,97% - 53,21%. Sedangkan pengujian secara inferensial menghasilkan keputusan bahwa rerata Indeks tugas penghulu se-Indonesia signifikan berada pada nilai rerata 42,42 %.
36 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Gambar: 21Sebarran Data Rerata Tugas Tambah han penghulu1
Tugas ttambahan Pengghulu saat prose esi akad (dalam m %)_1 49,71
60,00 40,00
42,65 43,82
46,18 46,47 36,,18
24,12
20,00 0,00
Tugas taambahan Penghulu saat prosesi akad dalam %) (d
2 Sebaran Data Rerata Tugas Taambahan Gambar: 22 pengh hulu2
TTugas tambahan n Penghulu saat prosesi akad (dalam %)_2 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
61,18
5 54,12
48,82 24,41
2 33,82
23,53
34,71
Tugas tambahan Penghulu saat prosesi akad (dalam %)
Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 37
Gambar: 23 2 Sebaran Data Rerata Tugas Taambahan pengh hulu3
TTugas tambahan n Penghulu saat prosesi akad ((dalam %)_3 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
72,50 37,35 34,41 33,53 42,35
40,29 32,65
TTugas tambahan P Penghulu s saat prosesi a akad (dalam % %)
Dari Gambar di atas terlihat bahw wa dari 21 kota yan ng diteliti dan m menghasilkan 71 penghulu, p rerata tuugas penghulu paliing besar saat p prosesi akad adalah h penghulu yang berasal dari Kotaa Medan yang m mencapai rerata seebesar 72,50%. Seedangkan rerata tuugas penghulu p paling sedikit saat prosesi akad adallah penghulu yangg berasal dari K Gorontalo yaang mencapai reratta sebesar 23,53% saja. Kota D Indeks Transp D. portasi dan Akom modasi Indeks Transpo ortasi adalah analissa statistik secara deskriptif d dan in nferensial untuk menyajikan inddeks transportasi dan akad m masyarakat Indoneesia dalam hal ini diwakili d oleh 360 mempelai m dan 7 penghulu yang menjadi 71 m sampel daalam penelitian.
38 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 3
Tabel :3 Uji Sttatistik Inferensiall Indeks Jarak Lokasi Akad Rerataa Lokasi Akad Nikah (ssampel)
Pencaapaian Rerataa yang Diuuji
Variabel Penelitian Rerata jarak lokasi prosesi akad (km)
Rerata
Siimpangan Baku
5,665 5,28
5,07
5,666
p-value
Kesimpulan
0,052
Signifikan
0,048
Tidak Signifikan
Tabel di atas merupakan tabell pengujian statisttik inferensial uuntuk menguji duggaan pencapaian rerata r secara nasio onal terhadap rerata jarak lokasi prosesi akad denggan menggunakan statistik uji 1 rerata. Taraf kekeliiruan yang ditoleraansi dalam pengujiian ini sebesar 5 artinya jika pen 5%, ncapaian p-value beerada di atas 0,05 menunjukkan h hasil pengujian rerata r indeks yaang diharapkan/ddihipotesiskan siignifikan secara naasional. Didapatkan haasil penelitian inddeks jarak lokasi akad secara ddeskriptif mencapaai rerata 5,07 km dengan d simpangan n baku sebesar 5 km. Artinya in 5,28 ndeks jarak lokasi akad yang didapaatkan dari 360 sampel yang diteeliti berada padaa rentang 0,1 km m-10,35 km. S Sedangkan pengujian secara infereensial menghasilkaan keputusan b bahwa rerata Indeeks jarak lokasi akaad nikah se-Indoneesia signifikan b berada pada nilai reerata 5,65 km. Gambarr: 24 Persentase Lokasi L Akad Nik kah 0,28% % 4 4,17%
Tempat Me enikah
15,28%
13,33%
66,94%
Balai N Nikah KUA Rumah h Mesjid d/Mushala Gedun ng sewa Lokasi Lain
Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 39
Dari gambar di atas terlihatt bahwa frekuen nsi terbanyak y menikah responden merupaakan sampel penellitian (mempelai) yang a atau menikahkan anaknya a di rumah h dengan persentase mencapai sebanyak 66,94% dari d total sampel (3360 mempelai). Responden yang m menikah/menikahk kan anaknya di d Mesjid/Mushaala sebanyak 15,28%, menikah/m menikahkan di geddung sewa sebanyaak 4,17%, dan d lokasi lainnya seebanyak 0,28%. Sedangkan di S mempeelai/orang tua y yang menikah/meenikahkan anakn nya di Balai nikkah hanyalah m mencapai persentasse 13,33% saja. G Gambar: 25 Perseentase Jarak Lokaasi Akad Nikah dengan d KUA
Jaraak Lokasi Menikaah dengan KUA 0,3% 2% 1% 1%
≤ 5 km 5,1 km ‐ 10 km
8%
10,1 km m ‐ 15 km
17%
15,1 km m ‐ 20 km 71%
20,1 km m ‐ 25 km 25,1 km m ‐ 30 km > 30 km m
Dari gambar di atas terlihatt bahwa frekuen nsi terbanyak responden merupaakan sampel pen nelitian (mempelaii) yang jarak okasi menikah atau menikahkan anaknya dengan KUA pada lo rentang jarak <5 km, k dengan perseentase mencapai sebanyak 71% d dari total sampel (360 mempelai). Responden yangg jarak lokasi m menikah/menikahk kan anaknya paada rentang 5,1 km-10 km sebanyak 17%, jaarak lokasi menikkah/menikahkan pada p rentang 10,1km-20km seb banyak 8. Sedangkkan yang paling sedikit s adalah m mempelai/orang tua yang jarak lokasi menikah h/menikahkan a anaknya pada ren ntang jarak 20,1km-30km hanyalah mencapai p persentase 0,3% saja.
40 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 4
E. Indeks Waktu Pelaksanaan Akad Nikah Indeks waktu prosesi akad adalah analisa statistik secara deskriptif dan inferensial untuk menyajikan indeks waktu prosesi akad masyarakat Indonesia dalam hal ini diwakili oleh 360 mempelai dan 71 penghulu yang menjadi sampel dalam penelitian. Tabel : 4 Uji Statistik Inferensial Indeks Waktu Prosesi Akad
Variabel Penelitian Rerata Persentase Prosesi Akad di Luar Kantor
Pencapaia n Rerata yang Diuji 81,4 81,41
Rerata Prosesi Akad di Luar Kantor (sampel) Simpanga Kesimpula Rerata p-value n Baku n 0,051 Signifikan 79,70
15,40
0,049
Tidak Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan pencapaian rerata secara nasional terhadap prosesi akad nikah di luar kantor dengan menggunakan statistik uji 1 rerata. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di atas 0,05 menunjukkan hasil pengujian rerata indeks yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian indeks pelaksanaan akad di luar kantor secara deskriptif mencapai rerata 79,7% dengan simpangan baku sebesar 15,4 %. Artinya indeks persentase akad nikah di luar kantor yang didapatkan dari 360 sampel yang diteliti berada pada rentang 64,3%-95,1%. Sedangkan pengujian secara inferensial menghasilkan keputusan bahwa rerata persentase prosesi akad nikah di luar kantor se-Indonesia signifikan berada pada nilai rerata 81%.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 41
Gambar: 26 Sebaran S Data Rerrata Persentase Prosesi P Akad Di Luar Kantor_1 K 100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
93,3
92,7
95,4 86,9 83,1
79 9,6
70,2
Persentase Pernikahan di luar kantor
62,4
Persentase di hari Pernikahan d libur (Sabtu/Mingggu/Libur Nasional)
Gambar: 27 Sebaaran Data Rerata Persentase Prosesi Akad Di Luar Kanttor_2 100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
90,1 6 64,9
97,9
61,8
89,9
84,5 6 65,5 56,3
Persentase di luar Pernikahan d kantor
Persentase di hari Pernikahan d libur (Sabtu/Mingggu/Libur Nasional)
42 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 4
Gambar: 28 Sebaaran Data Rerata Persentase Prosesi Akad Di Luar Kanttor_3 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
81,0
45 5,2
66,2 61,6 54,5
72,3 46,0 3 33,7
Persentase Pernikahan di luar kantor
Persentase di hari Pernikahan d libur (Sabtu/Mingggu/Libur Nasional)
Gambar: 29 Sebaaran Data Rerata Persentase Prosesi Akad Di Luar Kanttor_4 100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
93,3 66,7 5 59,3
75,3 65,9
Persentase Pernikahan di luar kantor
68,0
34,5
7,5 27
Persentase Pernikahan di hari libur (Sabtu/Minggu/Libur Nasional)
Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 43
Gambar: 30 Sebaaran Data Rerata Persentase Prosesi Akad Di Luar Kanttor_5 91,4
100,0 80,0
68,6 6
64,0
80,9 71,6
87,5
60,0 36,4
40,0
31,0
84,8
Persentase Pernikahan dii luar kantor
24,5
20,0 0,0
Persentase Pernikahan di hari libur (Sabtu/Minggu/Libu r Nasional)
Dari Gambar di atas terlihat baahwa dari 21 kotaa yang diteliti ddan menghasilkan 360 mempelai, reerata persentase mempelai m yang m menikah atau mellangsungkan proseesi akad di luar kantor k paling b besar adalah memp pelai yang berasal dari Kota Bandun ng Barat yang m mencapai rerata sebesar 97,9%. Sedangkan reratta persentase m mempelai yang meenikah atau melan ngsungkan prosesii akad di luar k kantor paling sedikit adalah mem mpelai yang berassal dari Kota P Palembang yang mencapai m rerata persentase 34,48% saja. F Indeks Biaya Operasional F. O KUA A Indeks operaasional KUA addalah analisa staatistik secara ddeskriptif dan inferrensial untuk menyyajikan indeks opeerasional biaya p perkejadian N dan operasional KUA A perbulan Indoneesia dalam hal in ni diwakili oleh 360 3 mempelai daan 71 penghulu yang y menjadi sampel dalam peneelitian.
44 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 4
Tabel :5 Uji Statistik Inferensial Indeks Biaya Operasional Per Kejadian N
Variabel Penelitian Biaya Operasional Perkejadian N
Pencapaia n Rerata yang Diuji 3,65 3,66
Rerata Biaya Operasional Perkejadian N (sampel) Simpanga Rerata p-value Kesimpulan n Baku 0,055 Signifikan 3,36
2,72
0,047
Tidak Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan pencapaian rerata secara nasional terhadap biaya operasional per kejadian N dengan menggunakan statistik uji 1 rerata. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di atas 0,05 menunjukkan hasil pengujian rerata indeks yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian indeks biaya operasional perkejadian N secara deskriptif mencapai rerata Rp 336.000,dengan simpangan baku sebesar Rp 272.000,-. Artinya indeks biaya operasional perkejadian N yang didapatkan dari 360 sampel yang diteliti berada pada rentang Rp 64.000,-Rp 608.000,-. Sedangkan pengujian secara inferensial menghasilkan keputusan bahwa rerata persentase biaya operasional perkejadian N se-Indonesia signifikan berada pada nilai rerata Rp 365.000,-.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 45
Gambar: 311 Sebaran Data Rerata R Persentasee Biaya Operasional Perrkejadian N
Biayaa Per Kejadian N N (dalam ratusan n ribu rupiah) 4,26 6
5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
4,26 4,07
3,57 4,02 0,91
05 1,0
Biaya Per Kejadian N dalam (d raatusan ribu rupiah)
Gambar: 322 Sebaran Data Rerata R Persentasee Biaya O Operasional Perk kejadian N2
Biayaa Per Kejadian N N (dalam ratusan n ribu rupiiah) 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
8,72
1,50
3,77 2,69 1,63
0,00 1,10
46 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 4
Biaya Per B K Kejadian N (dalam r ratusan ribu r rupiah)
Gambar: 33 Sebaran Data Rerata Persentaase Biaya Operasional Peerkejadian N3
Biayaa Per Kejadian N N (dalam ratusan n ribu rupiah) 11,17 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
6,62 2,48 2,80
1,32
3,,41 1,12
Biaya Per Kejadian N (dalam ratusan ribu rupiah)
Dari Gambar di atas terlihat baahwa dari 21 kotaa yang diteliti ddan menghasilkan n 360 mempellai, rerata perseentase biaya o operasional perkejjadian N paling besar adalah meempelai yang b berasal dari Kotaa Kupang yang mencapai rerata sebesar Rp 1.117.000,-. Sedaangkan rerata persentase p perseentase biaya o operasional perkejaadian N paling keccil adalah mempelaai yang berasal d Kota Gorontallo yang hanya men dari ncapai rerata Rp 0,,- saja. Tabel : 6 Uji Staatistik Inferensiall Indeks Biaya Operasional O KUA Perb bulan Variabel Penelitian Biaya Operasional KUA Per Bulan
Penccapaian Reratta yang D Diuji 5 5,65 5 5,66
Biaya Operasional KUA Per Buulan (sampel) Simpanga Kesimpula Rerata p-value n Baku n 0,056 Signifikan 5,39
2,41
0,047
Tidak Signifikan
Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 47
Tabel 4.7 di attas merupakan tabel pengujian statistik inferensial uuntuk menguji duggaan pencapaian rerata r secara nasio onal terhadap b biaya operasional KUA K perbulan deengan menggunakaan statistik uji 1 rerata. Taraf keekeliruan yang diitoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinyya jika pencapaiaan p-value berada di atas 0,05 m menunjukkan h hasil pengujian n rerata inddeks yang d diharapkan/dihipo tesiskan signifikan n secara nasional. Didapatkan hasil penelitian in ndeks biaya operaasional KUA perbulan secara deeskriptif mencapaii rerata Rp 5.390..000,- dengan p siimpangan baku sebesar Rp 2.410.000,-. Artinya indeks biaya o operasional KUA perbulan p yang diddapatkan dari 71 saampel (KUA) y yang diteliti beradda pada rentang Rp 2.980.000,-Rp p 7.800.000,-. S Sedangkan pengujian secara infereensial menghasilkaan keputusan b bahwa rerata peersentase biaya op perasional KUA perbulan seIndonesia signifikan n berada pada nilaai rerata Rp 5.650.0000,-. Gambar: 344 Sebaran Data Rerata R Persentasee Biaya Operasional KU UA Perbulan
Biaya O Operasional KUA A Per Bulan (dalaam jutaan rup piah) 8,54 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
6,17
8,42
6,95 4,04
2,90 0,,98
48 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 4
Biaya Operasional KUA Per Bulan (dalam jutaan …
R Persentasee Biaya Gambar: 355 Sebaran Data Rerata O Operasional KUA A Perbulan2
Biayya Operasional KUA Per Bulan (dalam jutaan n rupiah) 7,85 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
5,91 1
4,82
6,65
5,94 3,19
3,05
Biaya Operasional A Per KUA Bullan (daalam jutaaan rup piah)
Gambar: 366 Sebaran Data Rerata R Persentasee Biaya O Operasional KUA A Perbulan3
Biayya Operasional KUA Per Bulan (dalam jutaan n rupiah) 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
10,31
7,20 6,25 2,78
2,22
5,24 3,79
Biaya Opeerasional KUA A Per Bulan (dalam jutaaan …
Dari Gambar di atas terlihat bahw wa dari 21 kota yan ng diteliti dan menghasilkan 360 mempelai, rerataa persentase biayaa operasional m K KUA Perbulan paaling besar adalah KUA yang berasal dari Kota K Kupang yang men ncapai rerata sebessar Rp 10.310.0000,-. Sedangkan rerata persentase persentase biaya op perasional KUA peerbulan paling Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 49
kkecil adalah KUA yang y berasal dari Kabupaten K Cirebo on yang hanya m mencapai rerata Rp p 980.000,- saja. G Indeks Jaring G. gan Sosial Penghu ulu Indeks jaringan n sosial penghuluu adalah analisa sttatistik secara ddeskriptif untuk menyajikan indekks jaringan sosiaal masyarakat Indonesia dalam hal ini diwakili oleh 360 memp pelai dan 71 p penghulu yang men njadi sampel dalam m penelitian. G Gambar: 37 Item 18 Mempelai “ “Keluarga mempellai biasanya memberikan uang terimaakasih kepada penghulu meelalui?”
Item 18 mempelai 6,39%
10,00 0%
12,22%
diberikan langsung sebelum akad diberikan langsung setelah akad
8,33%
diberikan lewatt P3N sebelum akad 63,06%
diberikan lewatt P3N setelah akad Jawaban Lainnyya
Dari gambar di d atas merupakan n salah satu item dari d beberapa p pertanyaan yang diberikan kepada 3660 mempelai. Item m 18 mempelai b berbunyi “Keluarrga mempelai biasanya memberikan uang teerimakasih kepadaa penghulu melalui?”. Terlihat bah hwa frekuensi teerbanyak respondeen merupakan sam mpel penelitian (mempelai) yang m menjawab “diberiikan langsung seetelah akad” yan ng mencapai p persentase sebanyaak 63,06% dari total sampel (360 mempelai). R Responden yang menjawab diberrikan langsung seebelum akad sebanyak 12,22%.. Sedangkan freekuensi paling seedikit adalah n lewat P3N setelaah akad” yang responden yang meenjawab “diberikan h hanya mencapai peersentase 6,39% sajja.
50 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 5
G Gambar: 38 Item 20 2 Mempelai “Jumlah uang yan ng diberikan keluarrga mempelai kepaada penghulu dan P3N/lebe/am mil adalah?”
Item 20 me empelai sama besar
1,39% 19,44% 49,72% 29,44%
lebih besar pen nghulu dari P3N lebih besar P3N dari penghulu jawaban lainnyya
Dari gambar di d atas merupakan n salah satu item dari d beberapa pertanyaan yang diberikan kepada 3660 mempelai. Item p m 20 mempelai b berbunyi “Jumlah uang yang diberikkan keluarga mem mpelai kepada p penghulu dan P3N N/lebe/amil adalaah?”. Terlihat bah hwa frekuensi teerbanyak respondeen merupakan sam mpel penelitian (mempelai) yang m menjawab “sama besar” yang mencapai m persentaase sebanyak 4 49,72% dari totaal sampel (360 mempelai). Resp ponden yang m menjawab “lebih besar penghulu darii P3N” sebanyak 29,44%. 2
Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 51
Gambar: 39 Item m 21 Mempelai “Apakah an nda setuju dengan adanya Pembantuu Penghulu (P3N/lebe/amil)?”
Item 21 me empelai 15,28 8%
1,11%
7,50%
Sangat setuju 21,39%
Setuju Ragu‐ragu
54,72% Tidak setuju
Dari gambar di d atas merupakan n salah satu item dari d beberapa p pertanyaan yang diberikan kepada 3660 mempelai. Item m 21 mempelai b berbunyi “Apakah anda setuju denggan adanya Pembaantu Penghulu (P P3N/lebe/amil)?””. Terlihat bahwa frekuensi terbanyak responden m merupakan sampell penelitian (mem mpelai) yang menjaawab “setuju” y yang mencapai perrsentase sebanyak 54,72% dari totall sampel (360 m mempelai). Respon nden yang menjaawab “sangat setuuju” sebanyak 2 21,39%. Dengan demikian d responden yang menjawab setuju bahwa m mempelai setujuu dengan adaanya Pembantuu Penghulu (P P3N/lebe/amil) addalah sebanyak 76,11%. G Gambar: 40 Item 22 2 Mempelai “ “Saya lebih mempeercayai P3N/lebe//amil dibanding peenghulu untuk menguurus/ memimpin proses p perkawinan”
Item 22 mempelai 41,11 4 %
Ya
58.89 %
Dari gambar dii atas merupakan salah satu item dari d beberapa pertanyaan yang diberikan kepada 3660 mempelai. Item p m 22 mempelai 52 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 5
berbunyi “Saya lebih mempercayai P3N/lebe/amil dibanding penghulu untuk mengurus/ memimpin proses perkawinan”. Terlihat bahwa frekuensi terbanyak responden merupakan sampel penelitian (mempelai) yang menjawab “tidak setuju” yang mencapai persentase sebanyak 58,89% dari total sampel (360 mempelai). Sedangkan responden yang menjawab “setuju” sebanyak 41,11%. Dengan demikian responden yang menjawab setuju bahwa mempelai lebih mempercayai P3N/lebe/amil dibanding penghulu untuk mengurus/ memimpin proses perkawinan hanyalah sebanyak 41,11% saja. H. Indeks Besar Uang Terima Kasih Indeks besar uang terima kasih adalah analisa statistik secara deskriptif dan inferensial untuk menyajikan indeks besar uang terima kasih masyarakat Indonesia dalam hal ini diwakili oleh 360 mempelai dan 71 penghulu yang menjadi sampel dalam penelitian. Tabel :7 Uji Statistik Inferensial Indeks Besar Uang Terima Kasih Variabel Penelitian
Besar Uang Terima Kasih
Pencapaian Rerata yang Diuji Rp 215.000 Rp 220.000
Rerata Besar Uang Terima Kasih (sampel) Rerata
Simpangan Baku
Rp199.057
Rp178.533
p-value
Kesimpulan
0,113
Signifikan
0,038
Tidak Signifikan
Tabel 4.8 di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan pencapaian rerata secara nasional terhadap besar uang terima kasih dengan menggunakan statistik uji 1 rerata. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di atas 0,05 menunjukkan hasil pengujian rerata indeks yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 53
Didapatkan haasil penelitian inddeks besar uang terima kasih m rerata Rp p 199.057,- dengaan simpangan secara deskriptif mencapai b baku sebesar Rp 178.533,-. Artinya indeks besar uangg terima kasih y yang didapatkan dari d 360 sampel (mempelai) ( yang diteliti d berada p pada rentang Rp 20.524,-Rp 2 377.5999,-. Sedangkan pen ngujian secara in nferensial menghaasilkan keputusan bahwa rerata perrsentase besar u uang terima kasih se-Indonesia sign nifikan berada padda nilai rerata R 215.000,-. Rp Gambar: 41 Seebaran Data Reraata Persentase Beesar Uang Terima Kasih K
Rerata B Besarnya Uang terima kasih (dalam ratusan ribu rrupiah)_1 3,83 4,00
3,17
3,00 2,00 1,00
1,00
1,50 1,50 1,33 0,67
0,00
54 |Polemik Biaya Peencatatan Perkawinann di KUA 5
Rerata Besarnya Uang terima kasih (dalam ratusan ribu rupiah)
Gambar: 42 Seebaran Data Reraata Persentase Beesar Uang Terima Kaasih2
Rerata B Besarnya Uang terima kasih (dalam ratusan ribu rrupiah) 2 3,00 2,50
3,00
1,83
2,00 1,00
0,83 1,00
0,67
0,67
Reerata Beesarnya Uang teerima kasih (d dalam ratusan rib bu rupiah)
0,00
Gambar: 43 Seebaran Data Reraata Persentase Beesar Uang Terima Kaasih_3
Reraata Besarnya Uang terima kasih (d dalam ratusan riibu rupiah) 3 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
2,50
6 2,96
2,50
1,50 0 0,83 0,00
0,67
Reraata Besarnya Uan ng terima kasiih (dalam ratu usan ribu rupiah)
Polemik Biaya Pencatatan P Perkawinaan di KUA | 55
Dari Gambar 4.40, 4.41, dan 4.42 di atas terlihat bahwa dari 21 kota yang diteliti dan menghasilkan 360 mempelai, rerata persentase besar uang terima kasih paling besar adalah mempelai yang berasal dari Kota Jakarta Pusat yang mencapai rerata sebesar Rp 383.000,-. Sedangkan rerata persentase persentase besar uang terima kasih paling kecil adalah mempelai yang berasal dari Kota Palu yang hanya mencapai rerata Rp 0,- saja. I. Korelasi Faktor-Faktor Penentu dengan Besar Uang Terima Kasih Korelasi faktor penentu dengan besar uang terima kasih adalah analisa statistik secara inferensial untuk menyajikan besar korelasi faktor penentu dengan besar uang terima kasih masyarakat Indonesia dalam hal ini diwakili oleh 360 mempelai yang menjadi sampel dalam penelitian. Tabel :8 Uji Statistik Inferensial Korelasi Karakteristik Mempelai dengan Besar Uang Terima Kasih
Hubungan/Korelasi Karakteristik Mempelai Besar Uang Terima Kasih
Nilai korelasi sampel
Statistik Uji p-value
Kesimpulan
0,33
0,144
Tidak Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan korelasi secara nasional antara karakteristik mempelai dengan besar uang terima kasih menggunakan statistik uji korelasi pearson. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di bawah 0,05 menunjukkan hasil pengujian korelasi yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian korelasi antara karakteristik mempelai dengan besar uang terima kasih secara deskriptif 0,33 yang berarti kedua variabel memiliki hubungan yang rendah. 56 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Sedangkan pengujian secara inferensial atas korelasi keduanya menghasilkan p-value sebesar 0,144 yang berarti hubungan antara “karakteristik mempelai” dengan “besar uang terima kasih” secara nasional tidak signifikan. Tabel : 9 Uji Statistik Inferensial Korelasi Budaya Memberi dengan Besar Uang Terima Kasih
Hubungan/Korelasi Budaya memberi Besar Uang Terima Kasih
Nilai korelasi sampel
Statistik Uji p-value
Kesimpulan
0,756
0,000
Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan korelasi secara nasional antara budaya memberi dengan besar uang terima kasih menggunakan statistik uji korelasi pearson. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di bawah 0,05 menunjukkanhasil pengujian korelasi yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian korelasi antara budaya memberi dengan besar uang terima kasih secara deskriptif 0,756 yang berarti kedua variabel memiliki hubungan yang kuat. Sedangkan pengujian secara inferensial atas korelasi keduanya menghasilkan p-value sebesar 0,000 yang berarti hubungan antara “budaya memberi” dengan “besar uang terima kasih” secara nasional signifikan.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 57
Tabel : 10 Uji Statistik Inferensial Korelasi Tugas Penghuludengan Besar Uang Terima Kasih Hubungan/Korelasi Tugas penghulu Besar Uang Terima Kasih
Nilai korelasi sampel
Statistik Uji p-value
Kesimpulan
0,954
0,000
Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan korelasi secara nasional antara tugas penghulu dengan besar uang terima kasih menggunakan statistik uji korelasi pearson. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di bawah 0,05 menunjukkan hasil pengujian korelasi yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian korelasi antara tugas penghulu dengan besar uang terima kasih secara deskriptif 0,954 yang berarti kedua variabel memiliki hubungan yang sangat kuat. Sedangkan pengujian secara inferensial atas korelasi keduanya menghasilkan pvalue sebesar 0,000 yang berarti hubungan antara “tugas penghulu” dengan “besar uang terima kasih” secara nasional signifikan. Tabel : 11 Uji Statistik Inferensial Korelasi Transportasi dan Akomodasi dengan Besar Uang Terima Kasih Hubungan/Korelasi Transportasi dan akomodasi Besar Uang Terima Kasih
Nilai korelasi sampel
Statistik Uji p-value
Kesimpulan
0,693
0,000
Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan korelasi secara nasional antara transportasi dan akomodasi dengan besar uang terima kasih menggunakan statistik uji korelasi pearson. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam 58 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di bawah 0,05 menunjukkan hasil pengujian korelasi yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian korelasi antara transportasi dan akomodasi dengan besar uang terima kasih secara deskriptif 0,693 yang berarti kedua variabel memiliki hubungan yang kuat. Sedangkan pengujian secara inferensial atas korelasi keduanya menghasilkan p-value sebesar 0,000 yang berarti hubungan antara “transportasi dan akomodasi” dengan “besar uang terima kasih” secara nasional signifikan. Tabel : 12 Uji Statistik Inferensial Korelasi Waktu Akad di Luar Jam Kerja dengan Besar Uang Terima Kasih
Hubungan/Korelasi Waktu akad di luar jam kerja Besar Uang Terima Kasih
Nilai korelasi sampel
Statistik Uji p-value
Kesimpulan
0,272
0,232
Tidak Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan korelasi secara nasional antara waktu akad di luar jam kerja dengan besar uang terima kasih menggunakan statistik uji korelasi pearson. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di bawah 0,05 menunjukkan hasil pengujian korelasi yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian korelasi antara waktu akad di luar jam kerja dengan besar uang terima kasih secara deskriptif 0,272 yang berarti kedua variabel memiliki hubungan yang rendah. Sedangkan pengujian secara inferensial atas korelasi keduanya menghasilkan p-value sebesar 0,232 yang berarti hubungan antara “waktu akad di luar jam kerja” dengan “besar uang terima kasih” secara nasional tidak signifikan. Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 59
Tabel :13 Uji Statistik Inferensial Korelasi Waktu Akad Pada Hari Libur dengan Besar Uang Terima Kasih
Hubungan/Korelasi Waktu akad pada hari libur Besar Uang Terima Kasih
Nilai korelasi sampel
Statistik Uji p-value
Kesimpulan
0,807
0,000
Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan korelasi secara nasional antara waktu akad pada hari libur dengan besar uang terima kasih menggunakan statistik uji korelasi pearson. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di bawah 0,05 menunjukkan hasil pengujian korelasi yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian korelasi antara waktu akad pada hari libur dengan besar uang terima kasih secara deskriptif 0,807 yang berarti kedua variabel memiliki hubungan yang sangat kuat. Sedangkan pengujian secara inferensial atas korelasi keduanya menghasilkan p-value sebesar 0,000 yang berarti hubungan antara “waktu akad pada hari libur” dengan “besar uang terima kasih” secara nasional signifikan. Tabel : 13Uji Statistik Inferensial Korelasi Biaya Operasional Perkejadian N dengan Besar Uang Terima Kasih
Hubungan/Korelasi Biaya operasional perkejadian N Besar Uang Terima Kasih
Nilai korelasi sampel
p-value
Kesimpulan
0,560
0,008
Signifikan
60 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Statistik Uji
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan korelasi secara nasional antara biaya operasional perkejadian N dengan besar uang terima kasih menggunakan statistik uji korelasi pearson. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di bawah 0,05 menunjukkan hasil pengujian korelasi yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian korelasi antara biaya operasional perkejadian N dengan besar uang terima kasih secara deskriptif 0,560 yang berarti kedua variabel memiliki hubungan yang sedang. Sedangkan pengujian secara inferensial atas korelasi keduanya menghasilkan p-value sebesar 0,008 yang berarti hubungan antara “biaya operasional perkejadian N” dengan “besar uang terima kasih” secara nasional signifikan. Tabel :15 Uji Statistik Inferensial Korelasi Biaya Operasional KUAPerbulan dengan Besar Uang Terima Kasih Hubungan/Korelasi Biaya operasional KUA perbulan Besar Uang Terima Kasih
Nilai korelasi sampel
Statistik Uji p-value
Kesimpulan
0,677
0,001
Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan korelasi secara nasional antara biaya operasional KUA perbulan dengan besar uang terima kasih menggunakan statistik uji korelasi pearson. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di bawah 0,05 menunjukkan hasil pengujian korelasi yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian korelasi antara biaya operasional KUA perbulan dengan besar uang terima kasih secara deskriptif 0,677 yang berarti kedua variabel memiliki hubungan yang kuat. Sedangkan pengujian secara inferensial atas korelasi keduanya menghasilkan p-value sebesar 0,001 yang berarti hubungan antara “biaya operasional KUA perbulan” dengan “besar uang terima kasih” secara nasional signifikan. Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 61
Tabel : 16 Uji Statistik Inferensial Korelasi Jaringan Sosial dengan Besar Uang Terima Kasih
Hubungan/Korelasi Jaringan sosial Besar Uang Terima Kasih
Nilai korelasi sampel
Statistik Uji p-value
Kesimpulan
0,463
0,035
Signifikan
Tabel di atas merupakan tabel pengujian statistik inferensial untuk menguji dugaan korelasi secara nasional antara jaringan sosial dengan besar uang terima kasih menggunakan statistik uji korelasi pearson. Taraf kekeliruan yang ditoleransi dalam pengujian ini sebesar 5%, artinya jika pencapaian p-value berada di bawah 0,05 menunjukkan hasil pengujian korelasi yang diharapkan/dihipotesiskan signifikan secara nasional. Didapatkan hasil penelitian korelasi antara jaringan sosial dengan besar uang terima kasih secara deskriptif 0,463 yang berarti kedua variabel memiliki hubungan yang sedang. Sedangkan pengujian secara inferensial atas korelasi keduanya menghasilkan pvalue sebesar 0,035 yang berarti hubungan antara “jaringan sosial” dengan “besar uang terima kasih” secara nasional signifikan. J. Formulasi Matematis Pengaruh Faktor Penentu Terhadap Besar Uang Terima Kasih Formulasi matematis faktor penentu terhadap besar uang terima kasih adalah analisa statistik secara inferensial untuk menyajikan berapa besar koefisien pengaruh dari faktor penentu terhadap besar uang terima kasih yang diteliti dari masyarakat Indonesia dalam hal ini diwakili oleh 360 mempelai yang menjadi sampel dalam penelitian. Melalui uji statistik regresi didapat persamaan sebagai berikut :
62 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Terima Kasih = 75.000 + (2.666* Jarak) + (48.485* Moda Transportasi) + (102.762* Waktu Lembur) Dengan persamaan di atas jika kita menggunakan data rerata nasional untuk setiap variabel faktor yang berpengaruh, maka didapatkan besar uang terima kasih secara nasional adalah: K. Rerata nasional jarak= 5,65 km L. Rerata Moda transportasi = angkutan umum/angkot dengan kode 1 M. Rerata waktu lembur = hari sabtu dengan kode 3 Maka perhitungan besar uang terima kasih secara nasional adalah: Besar uang terima kasih nasional = Rp 75000 + (5,65*Rp 2.666) + (1*Rp 48.485) + (3*Rp102.762) Besar uang terima kasih nasional = Rp 446.834,-
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 63
64 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
V PENUTUP A. Kesimpulan
P
elaksanaan pencatatan nikah di luar kantor dan bukan di hari kerja telah mendorong timbulnya biaya tambahan pencatatan nikah diluar biaya yang telah ditetapkan. Hasil penelitian menemukan beberapa kesimpulan yaitu: 1. Pernikahan umumnya dilakukan di hari libur (sabtu, minggu, libur nasional) atau bukan di hari dan jam kerja. Perosentase rerata pelaksanaan akad nikah pada hari libur relatif tinggi yaitu 56.55% dari total sampel 2. Proses pelaksanaan pencatatan nikah juga umumnya dilaksanakan tidak dikantor KUA tapi di rumah/masjid/gedung, responden yang melangsungkan prosesi akad nikah di luar kantor, yaitu sebanyak 79,7% dari total sampel. 3. Pelaksanaan pencatatan nikah di luar kantor dan di luar jam kerja menyebabkan penghulu merasa berhak mendapatkan uang ‘tambahan’ tiap kali menjalankan tugas. Frekuensi terbanyak merupakan responden yang menjawab setuju mendapatkan uang ‘tambahan’, yaitu sebanyak 52,11% dari total responden penghulu. 4. Tidak semua pegawai KUA melakukan mark up biaya nikah, adanya pemberian masyarakat kepada pegawai KUA dalam banyak kasus, bukanlah permintaan pegawai KUA (penghulu). Uang yang diterima penghulu dari masyarakat umumnya tidak ditentukan oleh penghulu dan tidak dibicarakan sebelumnya dengan pihak keluarga mempelai. Hasil penelitian sebanyak 85,28% dari total sampel menyatakan penghulu sebelumnya tidak pernah membicarakan tentang uang ‘tambahan’ dengan pihak keluarga mempelai Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 65
5. Pemberian kepada penghulu merupakan budaya terimakasih masyarakat yang umumnya menghargai pengorbanan penghulu yang mau datang ke rumahnya meski bukan pada jam kerja, jumlah pemberian itu umumnya tidak ditentukan tapi berdasarkan kemampuan masyarakat, frekuensi terbanyak responden yang menjawab seikhlasnya saja, yaitu sebanyak 42,22% dari total sampel. Disamping itu, hasil penelitian menunjukkan umumnya responden setuju memberi uang terimakasih kepada penghulu, frekuensi terbanyak responden menjawab setuju, yaitu sebanyak 81,39% dari total sampel, akan tetapi terdapat 14.72% mempelai yang menyatakan adanya uang tambahan ditentukan sebelumnya oleh penghulu atau P3N. 6. Biaya yang dikeluarkan pihak KUA untuk administrasi perkejadian nikah selama ini ternyata melebihi biaya yang diterima oleh mereka dari PNBP (Rp.19.200 dari total Rp.30.000) yang didasarkan atas PP No.47 Tahun 2004. 7. Keberadaan pembantu penghulu (P3N/Amil/lebe) turut mempengaruhi peningkatan biaya nikah. Namun keberadaan pembantu penghulu di beberapa tempat masih dibutuhkan (khususnya di luar pulau Jawa). Untuk itu Peran P3N perlu tetap dipertahankan untuk memudah sistem kontrol, namun sebaiknya tidak masuk struktur Kementerian Agama. B. Rekomendasi 1. Pemerintah perlu menguatkan kebijakan pencatatan perkawinan di kantor dan di jam kerja dengan biaya yang telah ditetapkan dan tidak boleh ada biaya tambahan bagi penghulu/pegawai pencatat nikah (PPN) yang pencatatan perkawinan di kantor dan di jam dan hari kerja . 2. Mengingat kegiatan pencatatan nikah oleh penghulu umumnya di luar kantor dan di luar jam dan hari kerja, maka diperlukan adanya beberapa perubahan kebijakan dengan beberapa alternatif yaitu: 66 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
a.
Bagi penghulu yang melaksanakan tugas pencatatan perkawinan diluar kantor dan diluar jam dan hari kerja, maka penghulu tersebut perlu diberikan honor transport dan uang lembur, karena hal itu merupakan cost (biaya pengeluaran) dan bukan jasa sebagaimana tugas dan fungsi yang diatur dalam Permenpan No.6 Th 2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya. Untuk itu terkait perkawinan di luar kantor dan di luar jam dan hari kerja pemerintah perlu menetapkan regulasi baru yaitu sebagai berikut: 1) Menetapkan biaya transport bagi penghulu yang menjalankan tugas di luar kantor dan di luar jam dan hari kerja; 2) Pemerintah juga perlu menetapkan biaya lembur bagi penghulu yang menjalankan tugas di hari libur (sabtu, minggu. Libur nasional) dan bukan di jam kerja; 3) Besarnya jumlah biaya transport dan biaya lembur ditetapkan berdasarkan formulasi matematis hasil penelitian *). Ketentuan tersebut bisa dibebankan kepada masyarakat sepenuhnya atau sebagian oleh Negara, dengan menetapkan regulasi biaya maksimum yang bisa ditanggung Negara, sementara sisanya dibebankan pada masyarakat.
b. Alternatif lain adalah pemerintah menetapkan bahwa pencatatan perkawinan adalah hanya di kantor, sedangkan untuk undangan dari masyarakat kepada penghulu untuk menghadiri proses pernikahan dan meminta penghulu untuk melakukan beberapa aktivitas terkait prosesi perkawinan, seperti memberikan nasihat perkawinan, membaca do’a, dan lainnya adalah bersifat non dinas (individu), sehingga biaya yang diberikan kepada penghulu tidak terkait gratifikasi.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 67
3. Pada prosesi perkawinan, penghulu umumnya menjalankan beberapa tugas yaitu: menyaksikan dan melakukan pencatatan perkawinan, memimpin prosesi akad nikah, membaca khutbah nikah, memberikan nasihat perkawinan, taukil wali, dan beberapa tugas lain yang bervariasi untuk itu tunjangan fungsionalpenghulu perlu dinaikkan dengan besaran yang disesuaikan dengan ketentuan /aturan yang ada. 4. PP No.47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang menyebutkan biaya pencatatan nikah hanya sebesar Rp 30.000,- perlu direvisi dengan menetapkan angka biaya yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Berdasarkan hasil penelitian, nilai kebutuhan per N (peristiwa nikah) saat ini adalah Rp 75.000.5. Saat ini banyak masyarakat yang kurang memahami syaratsyarat, proses pendaftaran dan ketentuan lainnya, ketidak tahuan masyarakat tersebut telah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memungut biaya nikah tidak sesuai ketentuan. Untuk itu Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi tentang aturan terkait pendaftaran dan biaya perkawinan kepada masyarakat. 6. Keberadaan pembantu penghulu (P3N/Amil/lebe) turut mempengaruhi peningkatan biaya nikah, namun peran pembantu penghulu masih dibutuhkan, Untuk itu perlu dikeluarkan regulasi yang mempertegas tentang status pembantu penghulu, yaitu secara struktur dikembalikan sebagai pegawai kelurahan/desa yaitu sebagai ‘amil’ dan tidak masuk struktur Kementerian Agama.Secara historis pembantu penghulu umumnya berasal dari amil/lebe/modin yang notabene adalah berasal dari struktur pemerintahan desa/kelurahan. Untuk efektivitasnya maka regulasi sebaiknya dikeluarkan oleh Keputusan bersama Menag dengan Mendagri. 7. Untuk operasional KUA, saat ini Kementerian Agama sudah menetapkan biaya operasional KUA sebesar Rp. 2 juta/bulan. Angka tersebut saat ini bagi beberapa KUA 68 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
dinilai kurang memadai karena dalam prakteknya biaya operasional melebihi angka tersebut, baik untuk pelaksanaan kegiatan sesuai tusi KUA, maupun fasilitas sarana KUA seperti untuk listrik, telephon, PAM, gaji petugas honor, perawatan gedung, petugas kebersihan, kebutuhan ATK, keamanan kantor, dll. biaya tersebut saat ini perlu ditambah disesuaikan kebutuhan agar dapat memadai. Berdasarkan hasil penelitian, nilai kebutuhan operasional KUA saat ini adalah Rp 5.650.000.- perbulan. *) Formulasi Matematis Hasil Penelitian Formulasi matematis faktor penentu terhadap besar uang pencatatan perkawinan adalah analisa statistik secara inferensial untuk menyajikan berapa besar koefisien pengaruh dari faktor penentu terhadap besar uang pencatatan perkawinanyang diteliti dari masyarakat Indonesia dalam hal ini diwakili oleh 360 mempelai yang menjadi sampel dalam penelitian. Melalui uji statistik regresi didapat persamaan sebagai berikut : Besar Uang Terima Kasih = 75.000 + (2.666* Jarak) + (48.485* Moda Transportasi) + (102.762* Waktu Lembur) Dengan persamaan di atas jika digunakan data rerata nasional untuk setiap variabel faktor yang berpengaruh, dimana besar uang terima kasih diasumsikan sebagai biaya yang umumnya dibayar masyarakat sebagai biaya pencatatan perkawinanmaka didapatkan besaran secara nasional biayapencatatan perkawinan di luar kantor dan di luar jam kerja atau hari libur adalah: N. Rerata nasional jarak= 5,65 km O. Rerata Moda transportasi = angkutan umum/angkot dengan kode 1 P. Rerata waktu lembur = hari sabtu dengan kode 3 Maka perhitungan besar uang biaya pencatatan perkawinandi luar kantor dan di luar jam kerja atau di hari libur secara nasional adalah:
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 69
Besar Biaya Pencatatan PerkawinanNasionaldi luar kantor dan di luar jam kerja= Rp 75000 + (5,65*Rp 2.666) + (1*Rp 48.485) + (3*Rp102.762) Besar Indeks Biaya Pencatatan PerkawinanNasionaldi luar kantor dan di luar jam kerja= Rp 446.834,-
70 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
EPILOG Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama, bahwa terdapat 2 (dua) jenis PNBP yakni, pertama pencatatan nikah dan rujuk, kemudian kedua adalah penyelenggaraan jasa pendidikan pada perguruan tinggi agama (biaya seleksi masuk, SPP, dan biaya praktikum). Untuk pencatatan biaya nikah dan rujuk, pemerintah menetapkan tarif sebesar Rp. 30.000,‐ (tiga puluh ribu rupiah) per peristiwa nikah. Berdasarkan data di lapangan, sekitar 80% peristiwa nikah dilaksanakan di luar kantor dan seringkali di luar hari kerja. Hal ini merupakan budaya dan tradisi yang masih berlaku di masyarakat Indonesia. Masyarakat memandang bahwa harkat dan martabat pernikahan merupakan sesuatu hal yang sakral sehingga diperlukan tempat dan waktu yang tepat untuk melaksanakan akad nikah. Seiring dengan banyaknya jumlah pernikahan di luar kantor dan hari kerja tersebut yang tidak diiringi dengan besaran tarif transportasi yang ditetapkan oleh pemerintah, diindikasikan menimbulkan maraknya pungutan liar atau “pungli” yang dilakukan oleh oknum KUA. Hasil pemantauan Inspektorat Jenderal pada akhir tahun 2012 terhadap 227 KUA yang tersebar di Indonesia menyebutkan bahwa biaya nikah untuk di luar kantor besarannya bervariasi mulai dari Rp. 50.000,‐ s/d Rp. 500.000,‐ tergantung letak geografis KUA tersebut. Untuk wilayah DKI Jakarta besarannya bahkan bisa melebihi angka Rp. 500.000,‐.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 71
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari data pemantauan menyatakan bahwa biaya tambahan tersebut merupakan biaya transportasi bagi penghulu yang bertugas mengawasi dan mencatat peristiwa nikah yang dilaksanakan di luar kantor dan di luar hari kerja. Biaya tersebut juga diberikan keluarga calon pengantin secara sukarela tanpa disertai paksaan. Selain itu juga biaya tersebut tidak seluruhnya diperuntukkan untuk kepentingan penghulu, namun juga untuk pengurusan biaya‐biaya nikah lainnya yang terkait dengan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N), kelurahan, dan kecamatan. Kondisi geografis Indonesia yang sangat beragam juga perlu mendapat perhatian pemerintah, khususnya bagi KUA yang terletak di kepulauan dan daerah terpencil. Biaya transpotasi yang dibutuhkan untuk mencatat satu peristiwa nikah relatif mahal karena harus menggunakan transportasi air atau udara. Hal tersebut yang menyebabkan biaya pencatatan nikah di luar kantor menjadi tidak seragam. Ketidakseragaman besaran tarif tersebut menyebabkan citra negatif aparatur negara sebagai pelayan masyarakat karena adanya pungutan biaya nikah yang tidak seragam. Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2011 dan 2012, menempatkan integritas kinerja Kementerian Agama sangat rendah. Salah satu yang disurvei oleh KPK adalah KUA. Sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat, KUA harusnya mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dengan memberikan kepastian terhadap waktu layanan, besaran biaya dan langkah prosedur yang harus dilewati.
72 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Di penghujung tahun 2012 Kementerian Agama mendapat tamparan keras yang membuat instansi bermotto “Ikhlas Beramal” tercengang. Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai ujung tombak Kementerian Agama di masyarakat mendapat sorotan tajam. Hingga pada puncaknya ditangkapnya Romli Kepala KUA Kota Kediri oleh Kejaksaan Negeri Kota Kediri. Romli didakwa dengan tuduhan menerima gratifikasi. Hal ini dikarenakan Romli telah memungut/menerima biaya nikah melebihi ketentuan peraturan perundangan. Romli dintuntut dengan Pasal 11 Undang‐Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,‐ (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,‐ (dua ratus lima puluh juta rupiah). Berkaca dari kasus Romli, seharusnya pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan pencatatan nikah baik di kantor dan di jam kerja maupun di luar kantor dan di luar jam kerja dengan menetapkan tarif yang ideal sesuai dengan kondisi sekarang ini. Hal ini diperlukan agar mengatasi permasalahan KUA agar tidak terus menerus menjadi sasaran buruknya integritas. Dengan kebijakan pencatatan nikah tarif yang ideal diharapkan tidak ada lagi pungutan liar yang melebihi tariff resmi yang dikeluarkan pemerintah. Upaya terobosan terkait dengan biaya pencatatan nikah yang dilakukan oleh Kementerian Agama adalah mengusulkan adanya peraturan baru yang mengubah/merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama. Setelah Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 73
berlaku kurang lebih 10 (sepuluh) tahun Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004, akhirnya pada 27 Juni 2014 diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama. Perubahan mendasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 yakni pada Pasal 6 yang mengatur biaya pencatatan nikah. Awalnya pada diubah menjadi Rp.0,‐ dan Rp. 600.000,‐ dengan rincian sebagai berikut: Pertama Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 biaya pencatatan nikah sebesar Rp. 30.000,‐,, biaya pencatatan perkawinan yang dilaksana‐kan di dalam KUA pada hari dan jam kerja adalah Rp.0,‐. Kedua, biaya biaya pencatatan perkawinan yang dilaksanakan di luar KUA adalah Rp. 600.000,‐. Diharapkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 ini dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat termasuk jajaran Kemeneterian Agama (KUA dan para penghulu), terkait pelaksanaan proses pernikahan, khususnya yang terkait dengan pembiayaan dan tata cara pernikahan. Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa seandainya pernikahan dilakukan di kantor KUA dan pada jam kerja, maka itu gratis. Sementara jika dilakukan di luar KUA dan di luar jam kerja, maka ada ketentuan yang menyangkut biaya tersebut. Salah satu pertimbangan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama sebagaimana diatur
74 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
dalam PP No. 48 Tahun 2014 adalah untuk meningkatkan pelayanan pencatatan nikah atau rujuk. Sosialisasi yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI mengenai PP No. 48 Tahun 2014 kepada satker di bawah naungannya yakni KUA harus terus digalakkan agar kedepannya tidak ada lagi persoalan terkait biaya nikah karena dalam PP No. 48 Tahun 2014 sudah jelas ketentuan yang mengaturnya. Diharapkan juga peran penyuluh agama untuk ikut mensosialisasi‐kannya dalam menjalankan tugas, bahwa pelaksanaan Nikah dan Rujuk di KUA pada hari dan jam kerja tidak dipungut biaya/ tarif 0 (nol) rupiah. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan PP No. 48 Tahun 2014, dalam implementasinya masyarakat juga perlu berpartisipasi aktif dalam mengawasi jalannya peraturan tersebut (pengawasan melekat) sehingga tidak ada lagi gratifikasi yang diberikan kepada oknum petugas KUA. Jakarta, Oktober 2014 Dr. Hilmy Muhammadiyah
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 75
76 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
LAMPIRAN INSTRUMEN PENGUMPUL DATA (IPD) PENELITIAN KUALITATIF INDEKS BIAYA PENCATATAN NIKAH DI KUA Th. 2013 N o 1.
Data Yang Didalami
Sumber Data
Berapa kali dalamsehari rata2 seorangmenikahkan: • Padabulan paling banyakpernikahan • Bulan-bulan “biasa” • Bulan paling sedikit
Penghulu
2.
a. Jarakterjauh di wilayahpenghulu, ketikamenikahkan? Berapakirakirabiayatransoptasinya? b. Berapa kali rata-rata menikahkandalamsatubulan Untukjarakterjauhtersebut?
Penghulu
3.
a. Adakahtugastugasselainmenyaksikandanmencatatp ernikahan? Jikaadaapasaja yang dibebankan? b. Berapa kali tugasselainmenyaksikandanmencatatp ernikahandiberikan, misalnyawali hakim, khutbah/ceramahnikah, dll (untuk 10 perkawinan rata-rata berapa kali) Berapauangresmibiayapencatatanperkawi nan a. Untukapasajakahuangrincianuangres
Penghuludanpas anganperkawina n
4.
Penghulu
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 77
mitersebut? b. Adakahperkawinan yang tidakmewajibkancalonpengantinmem bayarbiayaresmitersebut? Berapabanyakjumlahnya? 5.
a. Apakahadamasyarakat yang menikahataumenikahkananaknyamela luiJALURTIDAKLANGSUNG. Misalnyamelalui RT, RW, P3N, Ustaz, stafkelurahandsb. Artinya, inimembutuhkanbiayalebih, karenacaraini ‘terimaberes’. b. Berapabiaya yang dikeluarkanjikadiurusoleh RT, RW, P3N, Ustadz, StafKelurahan?
Penghulu Bisadigalijugale wat PENYULUH
6.
Bagi yang pendafatarandiurussendiri, Berapabiasanya B/I/S dimintamemberi uang‘lebih’(diluarbiayaresmi)olehpenghul u?
Mempelaidarike lasatas, menengahdanba wah
7.
Bagi yang pendafatarandiurussendiri, Berapabiasanyapenghulumemungutbiaya ‘lebih’ (diluarbiayaresmi) olehmempelai? a. Berapabiayapencatatanperkawinan dikantordan di waktu jam kerja? b. Berapabiayapencatatanperkawinan di kantor di luar jam kerja? c. Berapabiayapencatatanperkawinan di waktu jam kerja di luarkantor? d. Berapabiayapencatatanperkawinan di luar jam kerjadiluarkantor?
Mempelai, keluarga
78 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
8.
Bagi yang pendafatarandiurussendiri, bagaimana proses memberikanbiayalebihitu? • Apakahditentukansebelumpernik ahanberlangsungatausesudah? • Apakahadaperjanjiantentangjuml ah yang ditetapkan? • Perjanjiandibuatsecaraterbukaata u semi terturup? • Apakahsecaraikhlassemata? • Ataukahada ‘perjanjian’ umum?
Mempelai yang selama 1 tahunterakhirpe rnahmenikahka n
9.
Bagaimanamanajemenpembagian ‘uanglebih’?untukapasajarincianpembagia n/penggunaannya?
10 .
a. Adakahkewajibanmembayaruangterte ntupadasaatpengangkatanandamenjad ipenghulu? b. Adakahkewajiban ‘dealdeal’tertentuuntukpenempatananda di KUAini?
Cari info lewat PENYULUH, jangankePenghu lu Penghulu
11 .
Adakahkewajibanpenghuluuntukmember i uang (membiayai)untukhaltertentu? Jikaadajelaskanuntukapadankepadasiapa?
Penghulu
12 .
Apakahanggaran KUA selamainisudahmencukupiuntukoperasio nal? Jikabelum, bagaimana caramencukupi?
Ketua KUA, Penghulu
13 .
Adakahnilainilaitertentumengapamasyarakatperlume mberikan ‘uanglebih’ padaPenghulu? Apasajaitu, cobadigali
Observasidanpe ngamatan
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 79
14 .
AdakahkasusPenghulumeminta ‘uanglebih’ yang berbedadenganmasyarakatbiasapada orang kaya atau publik figure?
80 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Observasi,peny uluh, Tokohmasyarak at/agama
PENGHULU/KEPALA DAFTAR PERTANYAAN (KUESIONER) PENELITIAN INDEKS BIAYA PENCATATAN NIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) TAHUN 2013 Bapakyang Kami hormati, Kami, peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI sedang melakukan penelitian tentang: Indeks Biaya Pencatatan Nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Sehubungan hal tersebut, kami mohon bantuan Bapak untuk dapat mengisi kuesioner ini. Atas bantuan Bapak, kami ucapkan terima kasih. Petunjuk Pengisian 1.
Bapak dimohon menjawab/merespon pernyataan di bawah ini dengan sejujurnya.
pertanyaan
atau
2.
Sebelum menjawab, baca dengan teliti pertanyaan atau pernyataannya. Apabila ada yang tidak jelas, tanyakan kepada petugas pengumpul data.
3.
Bubuhkan tanda silang (x) atau centang (√) pada kolom yang dianggap paling tepat. Untuk jawaban isian mohon ditulis secara jelas dan ringkas.
4.
Dimohon untuk menjawab/merespon semua pertanyaan atau pernyataan.
5.
Jawaban bapak dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
6.
Tanda *) boleh memilih lebih dari satu jawaban Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 81
Nama (boleh diisi, boleh tidak)
: ............................................................
Pendidikan Terakhir : a) SD b) SLTP c) SLTA d) D3, jurusan ………………………………… e) D4/S1, jurusan………………………………. f) S2, program studi…………………………… g) S3, program studi ........................................... Jabatan
:
a. Penghulu b. Kepala KUA
KUA/Kecamatan
: .............................................................
Masa Kerja di KUAsekarang : .................tahun ….…....... bulan Telepon/HP
: .............................................................
Pengeluaran keluarga per bulan : Rp.............................................. 1. Jarak tempat tinggal ke KUA a. ≤5 km b.5,1 km - 10 km c.10,1 km - 15 km d.15,1 km - 20 km e. 20,1 km - 25 km f. 25,1 km - 30 km g. > 30 km 2.Kondisi jalan menuju KUA a. Aspal b.Paving Blokc.Tanahd. …............... 3. Ketersediaan angkutan menuju KUA*) a. Taksi b. Bus Kotac.Angkot d.Ojek e. lainnya sebutkan ............................................................ 4. Kegiatan yang rutin dilakuan penghulu saat prosesi akad perkawinan : *) a. Memeriksa berkas/persyaratan perkawinan, b. Memimpin proses acara akad nikah, c. Membaca khutbah nikah, 82 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
d. Memberikan ceramah (nasihat) perkawinan, dan membaca doa, e. Menjadi wakil wali nikah dan menikahkan pengantin f. Lainnya………………..……………. 5. Apa tugas tambahan penghulu yang anda anggap penting, sehingga harus mendapat kompensasi (upah) dari keluarga mempelai *) a. Mengawasi dan mencatat pernikahan b. Pembacaan do'a c. Taukil Wali d. Tausiah e. Khutbah nikah f. Pembawa acara (MC) g. Wali hakim h. Lainnya, sebutkan……...................................................... 6. Sebagai seorang penghulu, kebiasaan di masyarakat yang memberikan uang terima kasih kepada penghulu membuat anda merasa berhak (wajar) untuk mendapat uang terima kasih tiap kali anda menjalankan tugas a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 7. Sebagai seorang penghulu, anda senantiasa memprioritaskan wali nikah yang memberi uang terima kasih lebih besar a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 8. Sebagai penghulu, anda memberikan pelayanan yang lebih rendah dari sebelumnya kepada keluarga pengantin yang tidak memberi kompensasi memadai a. Sangat setuju b. Setuju Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 83
c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 9. Sebagai penghulu anda memberikan pelayanan pencatatan nikah yang lebih baik terhadap keluarga pengantin yang memberi kompensasi biaya memadai a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 10. Sebagai penghulu, anda berdiskusi dengan pihak calon pengantin tentang besar nilai kompensasi yang akan diberikan keluarga pengantin kepada anda sesuai bobot kerja tambahan yang dibebankan a. Selalu b. Sering c. Terkadang d. Beberapa kali e. Tidak Pernah 11. Besarnya (rata-rata) uang terimakasih yang diberikan keluarga mempelai kepada penghulu yang setelah datang dan mencatatkan perkawinan adalah: a. Tidak ada uang pemberian b. ≤Rp 100.000,c. Rp. 101.000 - Rp 200.000,d. Rp. 201.000 - Rp 300.000,e. Rp. 301.000 - Rp 400.000,f. Rp. 401.000 - Rp 500.000,g. Jumlah lain sebutkan ………………………............ h. Pemberian selain uang, sebutkan …………………….. 12. Keluarga mempelai biasanya memberikan uang terimakasih kepada penghulu: a. Diberikan langsung sebelum acara akad perkawianan b. Diberikan langsung setelah selesai akad perkawinan c. Diberikan lewat P3N/lebe/amil sebelum perkawinan 84 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
d. Diberikan lewat P3N/lebe/amil setelah akad perkawinan e. lainnya sebutkan ..................................................................... 13. Biaya kebutuhan riil perkejadian Nikah No
Jenis Kebutuhan
Biaya
1
Penulisan pendaftaran
...
2
Input data dalam Simkah
...
3
Verifikasi data Catin (N7)
...
4
Penulisan akta nikah
...
5
Penulisan buku nikah
...
6
Suscatin
...
7
Pembinaan Pembantu Penghulu
...
8
Imunisasi (T1 dan T2)
...
9
Transport Penghulu
10
…
11
…
...
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 85
14. Biaya kebutuhan riil operasional KUA (rata-rata per bulan) No
Jenis Kebutuhan
Biaya
1
Alat dan Kebutuhan Kebersihan Kantor
...
2
Biaya Listrik
...
3
Langganan Koran
...
4
Snack/Minum pegawai
...
5
Honorer/sukwan
...
6
Dana Sosial
...
7
Telepon dan Internet
...
8
PAM (Air bersih)
...
9
Pemeliharaan Gedung
…
10
Pemeliharaan Barang Inventaris
…
11
Perjalanan Biasa
…
12
ATK
…
13
…
15. Biaya pembelian barang inventaris kantor (Meja, kursi, lemari, rehab, dll) per tahun yang dibelikan oleh KUA dan bukan dari anggaran DIPA No
Jenis Kebutuhan
Biaya
1
...
...
2
...
...
3
...
...
4
...
...
5
...
...
6
...
...
86 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
16. Frekuensi Pelaksanaan Nikah untuk Tahun 2013
No
Bulan
1
Januari
2
Februari
3
Maret
4
April
5
Mei
6
Juni
7
Juli
8
Agustus
9
September
10
Oktober
Jumlah Nikah
Pembacaan Kutbah Nikah, do'a, sambutan, dll
Pernikaha n di luar kantor
Pernikaha n di luar jam kerja
Pernikahan di hari libur (Sabtu/Minggu/L ibur Nasional)
17. Kinerja saya sebagai penghulu diawasi oleh ….. *) a. Kasi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama b. Kepala Kantor Kementerian Agama c. Kabid Urais dan Pembinaan Syariah Kanwil Kementerian Agama d. Kepala Kanwil Kementerian Agama e. Lainnya sebutkan......................................... 18. Penghulu mengeluarkan sebagian uang yang diterimanya dari keluarga pengantin antara lain untuk: *) a. Membiayai keperluan operasional KUA b. Membiayai beberapa kegiatan/program di Kankemenag Kab/Kota c. Menyetor ke pimpinan d. Mentraktir teman-teman di KUA e. Lainnya sebutkan......................................... 19. Yang dilakukan P3N dalam membantu penghulu: *) a. Mengurus kelengkapan persyaratan calon pengantin b. Membawa berkas persyaratan ke KUA dan mendaftarkannya Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 87
c.
Memastikan kehadiran penghulu saat acara akad perkawinan d. Memeriksa kebenaran (memferivikasi) status calon pengantin e. Lainnya sebutkan......................................... 20. Alasan keluarga pengantin menyerahkan pendaftaran perkawinan kepada P3N/lebe/amil adalah : *) a. Jarak rumah dengan KUA cukup jauh b. Tidak mengerti syarat-syarat pendaftran perkawinan c. Pengantin atau keluarganya sibuk mengurus pekerjaan/tidak ada waktu d. Biaya P3N lebih murah dibanding mengurus sendiri e. Mengurus pendaftaran perkawianan memang harus lewat P3N tidak boleh sendiri f. Lainnya sebutkan......................................... 21. Penghulu umumnya membutuhkan Petugas P3N/lebe/amil, karena…..*) a. Penghulu tidak mengenali/mengetahui status calon pengantin. b. P3N/lebe/amil sebagai tokoh agama lokal. c. P3N/lebe/amil lebih memahami calon pengantin. d. P3N/lebe/amil akan marah jika warga melakukan pendaftaran langsung ke KUA f. Lainnya sebutkan......................................... 22. Apakah anda setuju dengan adanya Petugas P3N/lebe/amil di masyarakat : a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju
88 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
KELUARGA/ MEMPELAI *************** Terima kasih ***************
DAFTAR PERTANYAAN (KUESIONER) PENELITIAN INDEKS BIAYA PENCATATAN NIKAH DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) TAHUN 2013 Bapak/Ibu yang Kami hormati, Kami, peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI sedang melakukan penelitian tentang: Penelitian Indeks Biaya Pencatatan Nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi terkait biaya pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Sehubungan hal tersebut, kami mohon bantuan Bapak/Ibu untuk dapat mengisi kuesioner ini. Atas bantuan Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih. Petunjuk Pengisian 1.
Bapak/Ibu dimohon menjawab/merespon pertanyaan atau pernyataan di bawah ini dengan sejujurnya.
2.
Sebelum menjawab, baca dengan teliti pertanyaan atau pernyataannya. Apabila ada yang tidak jelas, tanyakan kepada petugas pengumpul data.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 89
3.
Bubuhkan tanda silang (x) atau centang (√) pada kolom yang dianggap paling tepat. Untuk jawaban isian mohon ditulis secara jelas dan ringkas.
4.
Dimohon untuk menjawab/merespon semua pertanyaan atau pernyataan.
5.
Jawaban bapak/ibu dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
6.
Tanda *) boleh memilih lebih dari satu jawaban
Nama : .................................................................. (boleh diisi, boleh tidak) Pendidikan Terakhir : a) SD b) SLTP c) SLTA d) D3, jurusan ………………………………… e) D4/S1, jurusan………………………………. f) S2, program studi…………………………… g) S3, program studi ........................................... Pekerjaan
: ..................................................................
Alamat
: ..................................................................
Telepon/HP
: .......................................
Pengeluaran Per bulan
: Rp.................................
Menikah
: Tanggal.........bulan ..........Tahun .........
Tempat Menikah c. Masjid/Mushalla
: a. Balai Nikah KUA b. Rumah d. Gedung/Sewae. ......................
Status dalam pelaksanaan pernikahan a) b) c) d) e)
:
Mempelai Pria Mempelai Wanita Orang tua Mempelai Pria Orang tua Mempelai Wanita Lainnya, sebutkan ……………………………
90 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
1. Jarak tempat tinggal ke KUA a.≤5 kmb.5,1 km - 10 km c.10,1 km - 15 kmd.15,1 km - 20 km e.20,1 km - 25 kmf.25,1 km - 30 kmg.> 30 km 2.Kondisi jalan menuju KUA a. Aspalb.Paving Blok c.Tanahd.Lainnya, sebutkan…….. 3. Ketersediaan angkutan menuju KUA*) a. Taksi b. Bus Kota c. Angkot d. Ojek e. lain-lain, sebutkan ..................................... 4. Tugas tambahan yang diberikan kepada Penghulu waktu menikahkan: *) a. Mengawasi dan mencatat pernikahan b. Pembacaan do'a c. Taukil Wali d. Tausiah e. Khutbah nikah f. Pembawa acara (MC) g. Wali hakim h. Lainnya, sebutkan……...................................................... 5. Apakah anda setuju Penghulu perlu diberi uang terima kasih? a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 6. Sebagai keluarga mempelai, apa yang anda harapkan untuk dilakukan penghulu sehingga tindakan itu membuat anda merasa layak untuk memberinya uang terima kasih? *) a. Mengawasi dan mencatat pernikahan b. Pembacaan do'a c. Taukil Wali d. Tausiah e. Khutbah nikah f. Pembawa acara (MC) g. Lainnya, sebutkan……......................................................
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 91
7. Sebagai seorang wali nikah, kebiasaan di masyarakat yang memberikan imbalan kepada penghulu membuat anda merasa berkewajiban memberi imbalan kepada pengulu ketika anda menyelenggarakan prosesi pernikahan. a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 8. Sebagai seorang keluarga mempelai, agar diprioritaskan oleh penghulu, anda memberi uang terima kasih kepada penghulu dengan nilai yang melebihi kewajaran a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 9. Sebagai keluarga mempelai, merasa perlu memberi imbalan kepada penghulu dengan nilai yang besar karena khawatir pelayanan penghulu tersebut kurang sesuai harapan jika anda memberi imbalan yang samadengan keluarga mempelailain. a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 10. Sebagai keluarga mempelai, anda memiliki kewajiban menanyakan atau menawarkan kepada penghulu tentang besar uang terima kasih atau imbalan yang akan anda berikan kepada penghulu a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 92 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
11. Sebagai keluarga mempelai, anda berhak untuk menanyakan atau menginformasikan kepada wali nikah lain tentang nilai uang terima kasih dan imbalan yang anda berikan kepada penghulu a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 12. Penghulu biasanya datang dalam acara akad perkawinan keluarga kaya atau keluarga terpandang : a. sesuai waktu yang telah dijadwalkan, b. terlambat datang (tidak sesuai jadwal) c. datang lebih awal dari jadwal 13. Jika penghulu mengetahui keluarga mempelai adalah orang yang kurang mampu maka kinerja penghulu dalam menjalankan tugas biasanya ….. a. bermalas-malasan b. biasa-biasa saja c. sigap d. lebih sigap 14. Pelayanan yang diberikan penghulu jika melaksanakan tugasnya di keluarga kaya atau keluarga terpandang: a. bermalas-malasan b. biasa-biasa saja c. sigap d. lebih sigap 15. Besarnya jumlah nominal uang terimakasih yang diberikan oleh penghulu dari keluarga mempelai adalah: a. mengikuti intruksi penghulu b. intruksi P3N/lebe/amil c. kebiasaan di masyarakat d. sesuai kemampuan keluarga pengantin e. seikhlasnya saja f. jawaban lainnya jelaskan......................................................... Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 93
16. Kegiatan yang rutin dilakukan penghulu saat prosesi akad perkawinan : *) a. memeriksa berkas/persyaratan perkawinan b. memimpin proses acara akad nikah c. membaca khutbah nikah d. memberikan ceramah (nasihat) perkawinan, dan membaca doa e. menjadi wakil wali nikah dan menikahkan pengantin f. lainnya, sebutkan …………………............ 17. Besarnya uang terimakasih yang diberikan keluarga mempelai kepada penghulu yang telah datang dan mencatatkan perkawinan adalah *): a. Tidak ada uang pemberian b. ≤Rp 100.000,c. Rp. 101.000 s.d. Rp 200.000,d. Rp. 201.000 s.d. Rp 300.000,e. Rp. 301.000 s.d. Rp 400.000,f. Rp. 401.000 s.d. Rp 500.000,g. Jumlah lain sebutkan ……………………… h. Pemberian selain uang, sebutkan……………………. 18. Keluarga mempelai biasanya memberikan uang terimakasih kepada penghulu: a. diberikan langsung sebelum acara akad perkawianan b. diberikan langsung setelah selesai akad perkawinan c. diberikan lewat P3N/lebe/amil sebelum perkawinan d. diberikan lewat P3N/lebe/amil setelah akad perkawinan. e. Lainnya, sebutkan……......................................................
94 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
19. Biaya kebutuhan riil pemberkasan Nikah (N1-N8) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kegiatan Surat pengantar RT/RW Surat N1-N4 (Calon Suami) Surat N1-N4 (Calon Isteri) Surat rekomendasi Camat Surat numpang nikah Pengurusan ijin adat … …
Yang Mengurus
Besar biaya
...
...
...
...
...
...
...
...
... ... ... ...
... ... ... ...
20. Jumlah uang yang diberikan keluarga mempelai kepada penghulu dan P3N/lebe/amil adalah: a. sama besar b. uang untuk penghulu lebih besar dibanding P3N c. uang untuk P3N lebih besar dibanding penghulu 21. Apakah anda setuju dengan adanya Pembantu Penghulu (P3N/lebe/amil) a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 22. Saya lebih mempercayai P3N/lebe/amil dibanding penghulu untuk mengurus/ memimpin proses perkawinan a. Ya b. Tidak
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 95
23. Jika Ya, alasan saya lebih mempercayai P3N/lebe/amil adalah : *) a. P3N/lebe/amil lebih memahami ilmu agama dibanding penghulu b. Saya lebih mengenal P3N/lebe/amil dibanding penghulu c. Kebiasaan/budaya di masyarakat yang mempercayakan soal perkawinan pada P3N/lebe/amil d. Alasan lainnya sebutkan ................................................... 24. Tugas P3N dalam membantu penghulu: *) a. mengurus kelengkapan persyaratan calon pengantin b. membawa berkas persyaratan ke KUA dan mendaftarkannya c. memastikan kehadiran penghulu saat acara akad perkawinan d. memeriksa kebenaran (memferivikasi) status calon pengantin. e. Lainnya, sebutkan……...................................................... 25. Alasan anda (keluarga pengantin) menyerahkan pendaftaran/pengurusan perkawinan kepada P3N/lebe/amil adalah : *) a. jarak rumah dengan KUA cukup jauh b. tidak mengerti syarat-syarat pendaftran perkawinan c. biaya P3N lebih murah dibanding mengurus sendiri d. mengurus pendaftaran perkawianan memang harus lewat P3N tidak boleh sendiri e. alasan lain, jelaskan ...................................................................... *************** Terima kasih ***************
96 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
DAFTAR PUSTAKA Agus, Erwan dan Wahyudi Kumorotomo, 2005.Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Yogyakarta: Gava Media. Bullock, Roger, ert all, 2002. “Hubungan antara Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Kebijakan Sosial”, dalam Julia Brannen, Memadu Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nuh, Nuhrison M, 2008. “Peran KUA/Penghulu dalam Nikah dan Rujuk”, dalam Peran KUA/Penghulu dalam Pelayanan Nikah dan Rujuk di Berbagai Daerah, Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Riani, Asri Laksmi, 2011. Budaya Organisasi, Yogyakarta: Graha Ilmu. Spradley, James P, 1980. Participant Observation, New York-Chicago: Holt, Rinehart, and Wilson. Turner, Victor, 1977. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure, Ithaca-New York: Cornell University Press __________________, 1982. The Forest of Symbols, Ithaca, London: Cornell University Press. Moustakas, Clarck. 1994. Phenomenological Research Methods. Thousand Oaks, CA: Sage Publikations. Scally, Greg, 2009.Defining Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Publik Corruption in the United States and the United Kingdom, Digital Collections and Archives.Tufts University. Medford, MA. http://hdl.handle.net/10427/55679.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 97
98 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
PENCATATAN PERKAWINAN OLEH KUA PASCA ISU GRATIFIKASI PENGHULU DI JAWA TIMUR TAHUN 2013
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 99
100 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
A. Latar Belakang
B
erdasarkanKMA No. 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah, KUA memiliki beberapa tugas antara lain: 1) Menyelenggarakan statistik dan dokumentasi, 2) Menyelenggara-kan tugas surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan dan rumah tangga KUA, 3) Melakukan pembinaan kepenghuluan, keluarga sakinah, ibadah sosial, pangan halal, kemitraan, zakat, wakaf, ibadah haji dan kesejahteraan keluarga sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan 4) mengatur pola kerja para Penghulu yang berada di lingkungan kerjanya. Berdasarkan KMA tersebut, KUA memiliki banyak peran di bidang pembangunan keagamaan, namun demikian fungsi paling menonjol yang dijalankan KUA saat ini adalah administrasi pernikahan. Hal ini sesuai dengan amanat UU No.1 tahun 1974 Pasal 2 yang diperkuat dengan Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam(KHI) Pasal 5, 6, dan 7. Peraturan perundang-undangan ini ditunjang dengan peraturanperaturan di tingkat menteri yang menjabarkan dengan rinci hal-hal terkait administrasi perkawinan, yang kesemuanya bermuara pada diperlukannya peran KUA di tingkat kecamatan untuk melakukan administrasi pencatatan perkawinan. Peran KUA di bidang pencatatan perkawinan ini, beberapa tahun belakangan mendapat sorotan banyak pihak. Hal ini terutama tekait dengan besaran biaya administrasi perkawinan yang harus dibayarkan oleh para catin, yang jumlahnya variatif antara satu catin dengan catin yang lain. Besaran biaya faktual yang dikeluarkan masyarakat untuk membayar petugas KUA saat melakukan pencatatan perkawinan bervariasi, mulai dari Rp. 50.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- (Puslitbang Kehidupan Kagamaan. 2008). Kini persoalan biaya pencatatan perkawinan kembali menjadi perdebatan khususnya setelah ditangkapnya salah satu Kepala KUA di Kediri pada pertengahan November 2013. Romli Kepala KUA Kecamatan Kota, Kota Kediri ditangkap karena diduga melakukan Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 101
mark up biaya nikah oleh Kejaksaan Negeri Kediri. Romli kemudian dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kediri. Dalam kasus ini, yang bersangkutan diduga memungut biaya nikah sebesar Rp 225.000,- untuk pernikahan di luar kantor dan Rp 175.000,- di dalam kantor (situs tempo.co). Hal ini dianggap menyalahi ketentuan PP.51 tahun 2000 Jo PP No.47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), di mana dalam ketentuan tersebut, biaya pencatatan nikah hanya sebesar Rp 30 ribu. Dana itu kemudian harus diserahkan ke Kas Negara dan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Biaya pencatatan nikah itu juga bisa digratiskan, dengan catatan terdapat surat keterangan miskin yang dikeluarkan pihak kecamatan. Paska ditangkapnya Romli Kepala KUA Kota, Kota Kediri tersebut, Forum Komunikasi Kepala KUA (FKK-KUA) se- Jawa Timur di Garden Palace Surabaya tanggal 3 Desember 2013, mengeluarkan pernyataan menolak melayani pernikahan di luar balai nikah KUA mulai 1 Desember 2013. Aksi yang diikuti oleh 661 orang Kepala KUA tersebut merupakan solidaritas atas kasus hukum yang menimpa Romli rekan mereka di Kediri. Kasus hukum di Kediri tersebut membuat para Kepala KUA terpojok dan mendapat penilaian negatif, padahal sejauh ini belum ada payung hukum yang mengatur prosedur pencatatan nikah di luar balai nikah KUA. Aksi tidak mau melayani pernikahkan di luar Kantor Urusan Agama (KUA) atau di luar balai nikah yang disampaikan oleh FKKKUAse- Jawa Timur tersebut kini menimbulkan pro kontra. Sebagian masyarakat menilai pencatatan perkawinan di luar kantor dianggap bagian dari pelayanan yang harus diutamakan oleh para petugas KUA. Ketua Komisi Bidang Hukum dan Pemerintahan DPRD Provinsi Jawa Timur, Sabron Djamil Pasaribu mengatakan beliau tidak setuju jika akad nikah diwajibkan di balai nikah KUA, sebab berdasarkan aturan yang ada pencatatan perkawinan di luar KUA juga diperbolehkan. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 pasal 21 memperbolehkaan nikah di luar KUA asal atas persetujuan kedua mempelai dan mendapat persetujuan petugas pencatat akad nikah. Senada dengan Sabron Djamil, Ketua Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur, 102 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Nuning Rodiyah menilai aksi FKK-KUA se-Jawa Timur adalah bagian bentuk pelanggaran terhadap pelayanan public (Viva News, 3/12/2013). Sementara itu Ketua Forum Komunikasi KUA se-Jatim Syamsu Tohari mengatakan, ada dua alasan mengapa sikap tersebut dipilih. Pertama, karena takut kasus yang dihadapi Kepala KUA Kota Kediri, terjadi pada penghulu yang akan menikahkan pengantin. Kedua, sesuai PMA nomor 11 tahun 2007 pasal 21, bahwa pernikahan dapat dilakukan di luar KUA adalah jika calon pengantin dan kepala KUA setuju pernikahan dilakukan diluar KUA, ia mengatakan “Jadi itu hak kami. Masalah mau atau tidak mau menikahkan pasangan pengantin di luar KUA, tergantung kebijakan kepala KUA masingmasing.” (Republika. Co.id, 1/12/2013). Sejak deklarasi oleh FKK-KUA se Jawa Timur tersebut, kini semua pelayanan pencatatan perkawinan akan dilayani oleh para penghulu jika dilakukan di KUA. Para penghulu menolak melakukan pencatatan perkawinan di luar kantor KUA, hingga adanya regulasi baru pemerintah yang mengatur biaya pencatatan perkawinan di luar kantor KUA. Atas dasar apa yang diuraikan tersebut di atas, maka penting dilakukan kajian tentang bagaimana pelayanan KUA di Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur pasca deklarasi oleh FKK-KUA se- Jawa Timur yang melahirkan pro kontra tersebut, bagaimana pandangan masyarakat terhadap pelayanan KUA di Surabaya saat ini, serta solusi apa yang ditawarkan oleh para penghulu dan masyarakat umumnya untuk penyelesaian kasus tersebut. Dalam kasus biaya pencatatan nikah yang kontroversial ini, munculnya problem dimana petugas KUA menerima (menetapkan) uang dari masyarakat diluar ketentuan itu kini dianggap sebagai gratifikasi, padahal hal tersebut diduga disebabkan karena tidak adanya regulasi yang mengatur tentang biaya pencatatan perkawinan di luar kantor. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 103
1. Bagaimana pelayanan KUA pascadeklarasi oleh FKK-KUA se- Jawa Timur yang tidak mau menikahkan pasangan pengantin di luar KUA? 2. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap pelayanan KUA saat ini (pascadeklarasi FKK-KUA se-Jawa Timur)? 3. Solusi apakah yang ditawarkan oleh para penghulu, tokoh agama dan masyarakat, untuk penyelesaian kasus para penghulu yang tidak mau menikahkan pasangan pengantin di luar KUA? C. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan pelayanan KUA pascadeklarasi oleh FKKKUA se Jawa Timur yang tidak mau menikahkan pasangan pengantin di luar KUA. 2. Menggali dan mendeskripsikan pandangan masyarakat terhadap pelayanan KUA saat ini (pascadeklarasi FKK-KUA se-Jawa Timur). 3. Mendeskripsikan solusi yang ditawarkan oleh para penghulu, tokoh agama dan masyarakat, untuk penyelesaian kasus para penghulu yang tidak mau menikahkan pasangan pengantin di luar KUA. D. Telaah Pustaka Penelitian tentang pelayanan KUA bukanlah yang pertama kali dilakukan. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, antara lain: Pertama, hasil riset yang membahas persoalan SDM (Umar R Soeroer, 2006; Bashori A. Hakim, 2006; Kustini dkk, 2006; Ridwan Lubis dkk, 2006; Djuhardi dkk, 2006; Nuhrison M. Nuh, 2006, 2008; Balai Litbang Semarang, tt; Asnawati, 2008; Haidlor Ali Ahmad, 2008; Mursyid Ali, 2008; Nuhrison M. Nuh, 2008; Zaenal Abidin, 2008; Marzani Anwar, 2008). Temuan penelitian menggambarkan bahwa kualitas maupun kuantitas SDM pegawai KUA masih perlu diperhatikan dan dibina secara berkesinambungan. Hal ini disebabkan karena dua hal. 104 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Pertama, dikarenakan masih banyak pegawai yang kualifikasi pendidikan belum sesuai dengan persyaratan. Beberapa pegawai masih berpendidikan SMTA sederajat, sementara yang dibutuhkan adalah kualifikasi sarjana untuk mengejar percepatan sosial masyarakat. Kedua, hasil riset juga menemukan rendahnya partisipasi pegawai dalam beberapa diklat, karena persoalan porsi yang kurang memadai. Kedua, riset-riset yang terkait persoalan menajemen, baik internal maupun eksternal (Puslitbang1, 2003; Balai Litbang Semarang, tt; Ibnu Hasan Muchtar, 2008; Zaenal Abidin, 2008). Penelitian-penelitian ini menyoroti antara lain pelayanan yang menjadi tupoksi KUA. Umumnya bagian terbesar KUA bekerja di bawah standard harapan masyarakat. Artinya, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan KUA masih belum sesuai dengan tuntutan masyarakat. Beberapa kasus juga ditemukan pelayanan KUA masih belum sesuai dengan harapan Pemerintah Pusat, terutama yang menyangkut tugas-tugas manajemen pelayanan publik, meskipun harus diakui ada juga beberapa KUA yang sudah bertugas sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagaimana harapan stakeholder. Ketiga, munculnya beberapa kasus biaya tambahan yang tidak resmi (Imam Syaukani, 2008; Asnawati, 2008; Titik Suwariyati, 2008; Bashori A. Hakim, 2008; Akmal Salim Ruhana dkk, 2008; Suhanah, 2008; Mursyid Ali, 2008). Beberapa hasil temuannya memaparkan bahwa tidak ada kepastian biaya nikah di luar jam kerja dan di luar balai nikah, masih adanya pungutan biaya “tidak logis/tidak resmi” masih berjalan kendati atas dasar kerelaan dari pasangan masyarakat/calon pengantin dan masyarakat ada yang memahami hal tersebut, namun juga ada yang tidak memahami besarnya biaya tidak logis tersebut. Keempat, hasil kajian yang menyangkut persoalan tunjangan fungsional penghulu yang masih dianggap kecil (Kustini dkk, 2006; Marzani Anwar, 2008).Tulisan ini menyoroti masih terlalu rendahnya tunjangan fungsional penyuluh dibanding beban kerja yang dilaksanakan. Walaupun belum bisa diketahui secara lebih jelas apakah ada hubungan positif antara diangkatnya para penyuluh dalam jabatan fungsional dengan kinerja, tetapi riset ini menemukan Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 105
“keluhan” rendahnya tunjangan fungsional. Selain hal di atas, masalah klasik tentang minimnya fasilitas dan operasionalisasi pendukung KUA yang kurang memadai, juga masih disoroti oleh para peneliti. (Bashori A. Hakim dkk, 2006; Nuhrison M, Nuh, 2006; Asnawati, 2008) E. Kerangka Teoritik Setiap kata akan bisa dipahami (interpretasi) secara beragam oleh orang yang berbeda, untuk itu perlu diperjelas beberapa istilah dalam kajian ini, berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan para ahli, serta pengertian apa yang dipakai dalam kajian ini. Hal ini penting, agar tidak ada kesalahpahaman dalam pendefinisian istilah kata tersebut. 1. Pelayanan Pelayanan secara bahasa (KBBI, 2008) adalah cara melayani, jasa, atau kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa. Secara istilah, seperti dijelaskan P. Kotler (dalam Cahyono, 2008), pelayanan dapat didefinisikan sebagai aktivitas atau manfaat yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun. Produk yang dihasilkan bisa terikat dalam bentuk fisik pun bisa bukan berupa fisik. Definisi lain menjelaskan bahwa pelayanan adalah proses penggunaan akal pikiran, panca indera, dan anggota badan dengan atau tanpa menggunakan alat bantu yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan baik dalam bentuk barang maupun jasa (Moenir, 1992 dalam Cahyono, 2008). Berdasarkan dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang sifat dasarnya tak teraba (intangible) dan tidak menghasilkan kepemilikan apa pun atau sesuatu. Pelayanan bisa berupa pelayanan fisik dan pelayanan administratif. Pelayanan fisik lebih bersifat pribadi sebagai manusia, sementara pelayanan administratif adalah kegiatan yang diberikan orang lain selaku 106 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
anggota organisasi (besar maupun kecil) (Moenir, 1992 dalam Cahyono, 2008). Pemerintah, dalam Keputusan MenpanNomor 81 tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum, disebutkan beberapa prinsip yang harus dipegang oleh pejabat publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, yaitu; a) Sederhana, bahwa prosedur dan tata cara pelayanan harus ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berberlit-belit, dan mudah dipahami. b) Jelas dan pasti, bahwa prosedur dan tata cara pelayanan harus jelas dan pasti. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif, unit kerja dan pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan harus dijelaskan kepada publik sebagai penggunan pelayanan dan memiliki landasan hukum yang pasti. c) Aman, bahwa proses dan produk hasil pelayanan memberikan keamanan dan kenyamanan. d) Terbuka, bahwa prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan, unit kerja dan pejabat yang bertanggung jawab memberi layanan, waktu perlaksanaan, rinician biaya atau tarif, dan lain-lain hal yang berkenaan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta atau pun tidak diminta. e) Efisien, bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memerhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan. f)
Ekonomis, bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan mempertimbangkan; nilai barang dan jasa pelayanan, ketentuan perundangundangan yang berlaku, dan kemampuan masyarakat untuk membayar. Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 107
g) Adil dan merata, bahwa jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat. h) Tepat waktu, bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Selain peraturan di atas, melalui Keputusan Menpan No. 63 tahun 2004, telah dijelaskan tentang kualitas pelayanan publik yang pada hakikatnya adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pelayanan prima ini memiliki landasan; a) Transparansi, terbuka b) Akuntabilitas, dapat dipertanggungjawabkan c) Kondisional, artinya sesuai dengan kondisi untuk memenuhi prinsip efektivitas dan efisiensi d) Partisipatif, mendorong peran serta masyarakat e) Kesamaan hak atau tidak diskriminatif f) Keseimbangan hak dan tanggung jawab antara pihak pemberi dan penerima layanan. 2. Kualitas Pelayanan Menurut Zeithaml dan Bitner. 2000, (dalam Cahyono, 2008) kualitas pelayanan dapat diukur dengan memertimbangkan lima faktor; a) Tangible atau sarana fisik b) Reliability atau keterandalan dalam menyediakan pelayanan c) Responsiveness yaitu kesanggupan memberikan pelayanan cepat dan tepat d) Assurance yaitu keramahan dan sopan santun yang meyakinkan kepercayaan pelanggan e) Empathy sikap penuh perhatian terhadap konsumen Meski telah dibekali banyak peraturan dan pedoman, masyarakat selama ini memiliki kesan, bahwa pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah cenderung kurang bahkan tidak berkualitas. Ketidakpastian akan kualitas pelayanan publik oleh 108 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
aparatur negara masih melekat dalam praktik pelayanan publik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena seluruh perangkat peraturan perundang-undangan dan pedoman di tingkat kementerian masih terlalu abstrak untuk diterapkan di tingkat pelaksana. Hal ini berdampak pada tidak adanya standar pelayanan. Pengembangan sistem pelayanan publik di Indonesia menuju ke sistem yang lebih baik hanya akan dapat dilakukan apabila sistem pelayanan tidak hanya mengatur tentang standar pelayanan, tetapi juga mengatur secara menyeluruh proses penyelenggaraan pelayanan, termasuk tentang standar biaya, mekanisme alokasi anggaran, dan pembagian peran para pihak yang terlibat dalam penyelengaraan pelayanan publik. (Dwiyanto, 2010). Sejak hampir satu abad yang lalu Max Weber (dalam Dwiyanto, 2010) telah mengingatkan pentingnya kepastian pelayanan yang tertulis dalam standard operating procedures. Dengan standar ini, maka dapat membuat proses pelayanan menjadi predictable, nondiskriminatif, dan non-partisan. Ketiadaan standard operating procedures inilah yang kemudian membuat tingkat kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik pada institusi pemerintah menjadi sangat rendah (Cahyono, 2008). 3. Kantor Urusan Agama (KUA) Kantor Urusan Agama sebagai ujung tombak Kementerian Agama dalam melayani masyarakat di bidang keagamaan memiliki peran yang sangat krusial. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Urusan Agama Islam (Urais) Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Islam RI yang berada di tingkat Kecamatan, satu tingkat dibawah Kantor Kementerian Agama tingkat Kota/Kabupaten. KUA memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kota/Kabupaten di bidang urusan agama Islam dan membantu pembangunan pemerintahan umum di bidang agama di tingkat kecamatan. Fungsi yang dijalankan KUA meliputi fungsi administrasi, fungsi pelayanan, fungsi pembinaan dan fungsi penerangan, serta penyuluhan. KUA juga berperan sebagai koordinator pelaksana Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 109
kegiatan Pendidikan Islam serta kegiatan Penyuluh Agama Fungsional. Di samping itu, KUA memiliki beberapa badan semi resmi yang dibentuk hasil kerjasama aparat dengan masyarakat, antara lain Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4), Penyuluh Pengamalan Ajaran Agama Islam (P2A) dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tingkat kecamatan, semuanya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang beriman dan bertaqwa, memiliki ketahanan keluarga yang sangat tinggi, terbinanya Keluarga Sakinah yang bermoral atau berakhlakul karimah. Dari sekian banyak tugas pokok tersebut, fungsi paling menonjol yang dijalankan KUA saat ini adalah administrasi pernikahan. Untuk itu dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pelayanan oleh KUA dibatasi pengertiannya pada fungsi KUA dalam pelayanan pencatatan perkawinan saja. Adapun dasar mengapa fokus kajian ini hanya menyoroti fungsi pelayanan KUA dalam pelayanan pencatatan perkawinan adalah karena hingga kini banyak pemberitaan media yang menyoroti kasus penerimaan uang oleh petugas KUA dari masyarakat. Sorotan semakin tajam ketika ada kasus seorang Kepala KUA di Kediri ditahan oleh Kejaksaan Negeri pada pertengahan November 2013. Kementerian Agama sendiri juga tidak menutup mata terkait keresahan yang dihadapi oleh warga masyarakat, terkait ketidakjelasan pelayanan yang diberikan oleh KUA. Pada tahun 2008 Badan Litbang dan Diklat Agama dan Keagamaan juga pernah melakukan penelitian mengenai unit cost untuk melakukan pencatatan perkawinan di KUA, hasil kajian Balitbang tersebut menyebutkan bahwa pihak pengantin mengeluarkan biaya untuk pencatatan perkawinan mereka dengan biaya antara 50 ribu sampai 1 juta rupiah. Penerimaan uang tersebut oleh sebagian pihak dinyatakan sebagai bentuk gratifikasi berdasarkan peraturan yang mengatur Gratifikasi, yaitu Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999joUU No. 20/2001, yang berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. 110 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
4. Gratifikasi Pengertian Gratifikasi menurut penjelasanpasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dalam pasal 12 B UU Tipikor disebutkan, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dengan ketentuan, jika di atas Rp. 10 juta pembuktian bukan suap kepada penerima, sedangkan jika dibawah Rp. 10 juta pembuktian bukan suap kepada penuntut umum. Selanjutnya dalam pasal 12 C ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterima kepada KPK paling lambat 30 hari setelah menerima. Sanksi hukum bagi pelaku gratifikasi di atas, dijelaskan dalam pasal 11 UU Tipikor yaitu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Tradisi memberi uang kepada Penghulu pada ritus pernikahan, jika dikaitkan dengan UU tersebut mungkin bisa menjadi gratifikasi, karena memang berkaitan dengan tugas sebagai PNS. Terlebih melalui Perpers No. 73 Tahun 2007 Penghulu sudah mendapat Tunjangan Fungsional, untuk Penghulu Pertama sebesar Rp 260.000,-; Penghulu Muda sebesar Rp 350.000,- dan Penghulu Madya mendapat tunjangan sebesar Rp 500.000,-.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 111
F. Metodologi Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Informan penelitian adalah Kabag Urusan Agama Islam Kantor Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, Kasi Kepenghuluan, Kasi Pembinaan KUA, para kepala KUA di Kota Surabaya, Kediri, dan Malang, serta ketua Forum Komunikasi KUA se Jawa Timur, ketua Forum Komunikasi KUA se-Surabaya, tokoh agama/masyarakat dan keluarga pihak pengantin/calon pengantin sebagai pengguna jasa KUA. Pengumpulan data dilakukan selama 7 hari yaitu pada tanggal 16 sd. 22 Desember 2013. Pengumpulan data mempergunakan teknik wawancara, observasi, dan kajian pustaka. Wawancara dilakukan terhadap informan, dengan cara menanyakan beberapa hal mengenai pelayanan di KUA, khususnya pelayanan pencatatan perkawinan saat ini, kendala-kendala yang dihadapi KUA dalam pencatatan perkawinan di luar kantor, serta solusi yang mungkin diambil dalam kasus pencatatan perkawinan di luar kantor. Kepada masyarakat pengguna KUA dilakukan wawancara terbatas dengan mengajukan beberapa pertanyaan terkait sikap mereka jika KUA menolak pernikahan di luar kantor serta solusi yang ditawarkan. Obsevasi dilakukan untuk mengamati secara langsung pelayanan oleh KUA terhadap masyarakat umumnya sebagai pengguna jasa KUA, dan bagaimana sikap petugas KUA dalam menjalankan fungsinya. Sementara telaah pustaka/dokumen dibutuhkan sebagai data sekunder, data ini diperoleh dari berbagai dokumen, hasil penelitian, dan beberapa buku yang masih terkait dengan tema penelitian. Kajian pustaka juga dilakukan untuk mempelajari peraturan perundang-undangan yang ada yang berkenaan dengan KUA, kepenghuluan, biaya administrasi pencatatan perkawinan, dan pengelolaan biaya nikah. Data-data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis, dibuat kesimpulan dan rekomendasi. Hasil penelitian ini diharapkan akan memiliki nilai signifikansi dengan kepentingan Kementerian Agama dalam penyusunan kebijakan dalam pencatatan biaya perkawinan, khususnya dalam mengantisipasi dampak yang muncul dari adanya deklarasi FKK-KUA se-Jawa Timur. 112 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Pencatatan Perkawinana oleh KUA Pascaisu Gratifikasi Penghuludi Kota Surabaya Oleh : Abdul JamilWahab A. Isu Gratifikasi Penghulu dan Penahanan Kepala KUA
K
ejaksaan Negeri Kota Kediri pada tanggal 14 November 2013 menangkap Kepala KUA Kecamatan Kota, Kota Kediri yaitu Romli karena diduga melakukan mark up biaya nikah. Kepala KUA tersebut kemudian dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kediri. Dalam awal dakwaan jaksa, Romli dituduh sengaja menggelembungkan biaya nikah dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat soal tarif resmi pencatatan nikah. Dalam kasus ini, Romli diduga memungut biaya nikah sebesar Rp 225.000 untuk pernikahan di luar kantor dan Rp 175.000 di dalam kantor. Dari nominal itu Romli mendapatkan jatah Rp 50.000 sebagai petugas pencatat nikah plus Rp 10.000 sebagai insentif Kepala KUA. Padahal peraturan pemerintah yang mengatur soal itu hanya memungut biaya nikah sebesar Rp 30.000 saja. Saat ini Kejaksaan Negeri Kediri sudah menitipkan Romli ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kediri sebagai tahanan jaksa. Dia dipenjara hingga terbit putusan Pengadilan Tipikor Surabaya mendatang. Dalam keterangannya, Romli mengaku uang yang didapat oleh dirinya tidak sepenuhnya digunakan yang bersangkutan. Dari uang gratifikasi senilai Rp195 ribu, hanya Rp50 ribu yang digunakannya, sedangkan sisanya digunakan untuk biaya operasional KUA. Terdakwa yang menjabat sebagai Kepala Kantor KUA Kota Kediri merinci, dana operasional KUA yang dikeluarkan di antaranya untuk membayar tiga pegawai tidak tetap sebesar Rp. 500 ribu tiap orang dan membelian alat tulis serta kelengkapan kantor. Selain itu, uang dugaan gratifikasi itu disetorkan ke Kantor Kemenag Jawa Timur sebesar Rp. 20 ribu untuk setiap pasangan pengantin yang menikah. Dengan penahanan dan proses hukum yang dilakukan Kejari Kediri ini, Romli mengaku merasa dirugikan. Dia menyayangkan sikap Kejaksaan yang menahan dan memproses hukum dirinya, karena Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 113
praktik gratifikasi seperti itu dilakukan hampir di seluruh KUA di Indonesia (Surabaya. Okezone.com, 5/12/2013). Dalam persidangan di pengadilan Tipikor Surabaya, Romli didakwa dengan tuduhan menerima gratifikasi, karena memungut (menerima) biaya nikah melebihi ketentuan yang ada. Hal itu dilakukan selama kurun waktu 2 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012 dengan jumlah pernikahan sebanyak 713 peristiwa nikah. Sehingga nominal yang dituduhkan kepada Romli adalah yaitu 713 (jumlah pernikahan th 2012) dikalikan Rp.50.000,- maka diduga gratifikasi yang diterima Romli adalah sebesar Rp. 36.000.000.Kini Ramli sudah tiga kali menjalani sidang di pengadilan Tipikor Surabaya. Romli dihadapkan pada tuduhan gratifikasi, jika terbukti bersalah maka ia akan menerima hukuman sesuai pasal 11 UU No.20 th 2001 tentang Tipikor yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Dalam Sidang Putus Sela di Pengadilan Tipikor Surabaya yang berlangsung Kamis, 19 Desember 2013, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya menolak nota keberatan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kediri Kota, Romli, dalam perkara gratifikasi. Dengan demikian, persidangan atas kasus tersebut tetap dilanjutkan. Di akhir siding Ketua Majelis Hakim, Sri Herawati dalam persidangan menbacakan putusan, "Menolak eksepsi terdakwa dan melanjutkan persidangan dengan pemeriksaan saksi-saksi." Pascapembacaan Putus Sela oleh hakim, Tim Kuasa Hukum tersangka yang dipimpin Bambang Soetjipto, SH., M. Hum, mengajukan kembali penangguhan penahanan kliennya kepada hakim, dengan jaminan Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kediri dan Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Jawa timur. Dia berharap kliennya bisa kembali bertugas meski harus menjalani proses hukum. Namun majelis masih akan membahas permohonan itu. 114 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Gambar:
Wawancara peneliti dengan Romli (tengah) terdakwa dan Syamsu Tohari (kanan) ketua FKK-KUA se-Jawa timur sebelum Sidang Putusan Sela di Pengadilan Tipikor Surabaya (19/12/2013)
Saat diwawancarai sebelum menjalani sidang Pembacaan Putusan Sela oleh hakim di Pengadilan Tipikor Surabaya pada Kamis 19 Desember 2013 lalu, Ramli relatif terlihat tegar, ia yakin bahwa dirinya akan bebas. Romli menyatakan dirinya tidak bersalah, apa yang dilakukannya adalah semata-mata membantu orang lain untuk pencatatan perkawinan dan membantu menjalankan tugas negara. Ramli mengatakan “Saya tidak bersalah, apa yang saya lakukan selama ini adalah membantu masyarakat dan membantu pemerintah, saya tidak pernah meminta dan saya tidak mengkondisikan, saya melakukan apa yang diminta orang.” Banyak dukungan yang diberikan oleh para pengunjung siding kepada Romli. Rekan-rekan Romli sesama Kepala KUA atau penghulu dari Surabaya dan sekitarnya banyak yang datang memberi dukungan moral. Sejumlah P3N atau Modin dari Kediri juga turut hadir mengikuti sidang dan memberi dukungan kepada Romli.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 115
Keyakinan Ramli bahwa ia tidak melakukan sebagaimana yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum juga sejalan dengan keyakinan para Pembantu Penghulu (P3N)/modin Kota Kediri. Selama ini Romli tidak pernah menerima uang langsung dari masyarakat. Di Kota Kediri yang melakukan pendaftaran, mengurus dan melengkapi administarsi pernikahan adalah modin, bukan penghulu atau kepala KUA. Salah seorang Pembantu Penghulu (P3N) Kota Kediri, Tomi Ari Wibowo mengatakan “Dari dulu hingga saat ini, yang saya tahu, masyarakat (keluarga pengantin) itu jika membayar biaya perkawinan itu melalui modin (P3N), modin kemudian menyerahkan ke bendahara KUA.” Uang dari modin itu selanjutnya oleh bendahara KUA dicatat dan kemudian di keluarkan sesuai item-item yang sudah biasa, misalnya untuk uang bensin modin, transport penghulu ke lokasi akad nikah atau rumah pengantin, dan lain-lain. Tomi juga menegaskan, “Ini dari dulu begitu, jadi ini sudah berlangsung lama.” Para pengunjung sidang Putusan Sela di Pengadilan Tipikor yang umumnya para kepala KUA dan P3N/modin berharap kasus Romli tidak sampai diteruskan di pengadilan Tipikor. Adanya biaya perkawinan melebihi Rp. 30 ribu tersebut sangat wajar sebagai pengganti transport penghulu yang mencatatkan perkawinan tidak pada jam kerja dan tidak di kantor, melainkan harus mendatangi rumah pengantin. Selain itu apa yang terjadi di Kediri penerimaan uang dari masyarakat tidak dilakukan langsung oleh Romli tapi oleh modin yang langsung menyerahkannya ke bendahara KUA. Untuk itu Rizal Rahim, sebagai salah seorang Tim Kuasa Hukum Romli yang ditemui setelah Sidang Putusan Sela di Pengadilan Tipikor pada Kamis 19 Desember 2013 ketika dikomfirmasi terkait putusan hakim yang menolak tim kuasa hukum Romli merasa keberatan dengan putusan sela hakim. "Kami keberatan karena sejak awal dakwaan jaksa penuntut umum kabur dan tidak jelas. Tapi kami akan menghormati proses hukum ini," ujarnya. Ketika ditanya bagaimana nasib Romli dalam kasus Tipikor ini kedepan. Rizal menyatakan keyakinannya bahwa Romli bisa bebas dalam kasus ini. Beberapa argumentasi dinyatakan oleh Rizal, “Pertama, surat dakwaan kabur, dakwaan tidak menyebutkan apa peran terdakwa, siapa yang menentukan tarif tambahan biaya nikah? 116 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
dan sejak kapan itu ada? Ini semua tidak jelas dalam dakwaan. Kedua, bahwa nominal uang yang diperkarakan dalam kasus Romli ini tidak layak jika dikategorikan masuk sebagai tindak pidana korupsi (Tipikor), dalam termonologi Islam uang pemberian masyarakat pada penghulu itu semacam ‘bisyaroh’ atau uang hadiah, ini seharusnya bisa pidana biasa bukan Tipikor. Ketiga, jika yang dituduhkan adalah terkait gratifikasi selama tahun 2012, logikanya yang memberi juga harus dihukum, apakah mungkin semua masyarakat yang memberi kepada modin atau penghulu di tahun 2012 itu semua dihukum?” Romli (53 th) adalah Kepala KUA Kecamatan Kota, Kota Kediri, ia memiliki seorang istri dan 3 orang anak. Anak yang pertama saat ini sudah berumur 22 th, yang kedua 19 tahun, sedangkan yang paling kecil berumur 8 tahun. Romli diangkat menjadi PNS sejak 1994. Ia mengawali karirnya sebagai staf di lingkungan Kementerian Agama di Kalimantan Tengah, sejak 2004 ia dipindah ke Kediri. Jabatannya di bidang kepenghuluan tidak langsung menjadi penghulu. Setelah menjalani test ia resmi menjadi PPN pembantu di tahun 2000, kemudian diangkat sebagai penghulu pada tahun 2010. Kasus penahanan atas Romli tersebut telah mengundang reaksi keras seluruh penghulu di Jawa Timur. Forum Komunikasi Kepala Kantor Urusan Agama (FKK-KUA) se-Jawa Timur menolak pernikahan di luar balai nikah KUA dengan dalih enggan dituduh menerima gratifikasi, sehingga pernikahan harus dilakukan di dalam kantor sesuai dengan jam kerja. Kasus ini juga menjadi perhatian publik, khususnya di Kediri, Surabaya dan sekitarnya karena penangkapan seorang Kepala KUA merupakan hal baru, padahal praktik perkawinan semacam kasus Romli di Kediri ini dilakukan banyak KUA di Indonesia dan sudah berlangsung cukup lama, untuk itu masyarakat umumnya ingin mengetahui sejauhmana hasil persidangan kasus tersebut. B. Kronologis Deklarasi FKK KUA se Jawa Timur Setelah dilantik (2012) menjadi Inspektur Jendral Kemenag RI, Muhammad Yasin, menyampaikan ke publik bahwa KUA melakukan korupsi 1,2 trilyun/tahun. Saat acara dialog di sebuah Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 117
TV swasta di akhir tahun 2012, Inspektur Jendral Kemenag tersebut memunculkan kembali pernyataan bahwa KUA melakukan korupsi 1,2 trilyun/tahun. Sejak saat ini terjadi gejolak di masyarakat dan muncul reaksi public yang sangat luas. Saat itu terjadi pro kontra, jika pemberian masyarakat kepada petugas KUA dinilai sebagai ‘gratifikasi’. Muhammad Yasin juga dalam berbagai kesempatan di dalam forum-forum Kementerian Agama di Provinsi Jawa Timur berulangkali menyatakan bahwa penghulu tidak dibenarkan memungut uang dari masyarakat atau menerima pemberian masyarakat, sebab penerimaan dari masyarakat terhadap PNS dinilai sebagai ‘gratifikasi’. Di Jawa Timur banyak Kepala KUA yang menerima peringatan (ancaman), bahwa mereka akan dipidanakan karena selama ini dituduh telah meminta (menerima) uang dengan jumlah tertentu kepada masyarakat, ketika masyarakat akan melangsungkan perkawinan. Khusus di Kota Kediri, sejak April 2013, telah terjadi beberapa kali pemanggilan oleh Kejaksaan Negeri terhadap beberapa kepala KUA/penghulu di Kediri, akibat adanya laporan masyarakat yang menyatakan penghulu melakukan pungutan pada masyarakat. Sorotan terhadap penghulu di beberapa daerah terus mengemuka, mereka dituduh menerima gratifikasi karena menerima uang transport dari masyarakat. Bahkan ada yang menuduh penghulu telah mematok tarif tertentu kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya. Atas berbagai tuduhan tersebut muncul pernyataan beberapa penghulu di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur untuk tidak lagi bersedia menghadiri pernikahan di luar kantor dan di luar jam dan hari kerja. Tanggal 14 November 2013 terjadi penahanan KUA Kota Kediri yaitu Romli oleh Kejaksaan Negeri. Romli diduga melakukan mark up (pungutan liar) biaya perkawinan sebesar Rp 225 ribu dari keluarga pengantin, padahal biaya resmi pencatatan pernikahan hanya Rp 30 ribu. Saat ini Romli dituntut dengan tuduhan melakukan gratifikasi. Diduga Romli melakukan perbuatan itu selama kurun waktu 2 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012 dengan jumlah pernikahan sebanyak 713 peristiwa. Kasus Romli kini diproses di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jawa Timur. 118 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Inspektur Jendral Kemenag RI, Muhammad Yasin terus menegaskan di berbagai kesempatan tentang tidak bolehnya KUA menerima uang dari masyarakat. Dalam acara Silaturahmi dan Pembinaan Pegawai Struktural dan Fungsional di lingkungan Kementerian Agama Lamongan pada tanggal 24 November 2013 di Lamongan, beliau menghimbau agar kepala KUA jangan lagi melakukan pungutan di luar biaya yang telah ditetapkan. Dalam kesempatan itu beliau juga menegaskan bahwa mengacu pada Undang-Undang Anti Korupsi menyebutkan Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Acara tersebut dihadiri oleh para kepala KUA, penghulu, PPAI, penyuluh, dan kepala madrasah negeri seKabupaten Lamongan. Pernyataan yang sama disampaikan beliau dalam dua kali kegiatan pembinaan pegawai di lingkungan Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur di Surabaya. Di Surabaya, sekitar 661 Penghulu se-Jawa Timur mengikuti sosialisasi program kependudukan dan keluarga berencana (KB) bagi pertugas KUA kabupaten/kota se-Jawa Timur di Garden Palace Surabaya. Acara sosialisasi ini diprakarsai BKKBN Jawa Timur bekerjasama dengan Kantor Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Setelah mengikuti sosialisasi di Garden Palace Surabaya tersebut, pada tanggal 3 Desember 2013 para penghulu yang berjumlah 661 orang tergabung dalam Forum Komunikasi Kepala KUA (FKK-KUA) se-Jawa Timur sepakat mendeklarasikan dua hal yaitu: pertama, menolak melakukan pencatatan pernikahan di luar balai nikah KUA mulai 1 Desember 2013. Kedua, menuntut pemerintah segera mengeluarkan regulasi yang mengatur secara lebih detail tentang perkawinan di luar Kantor. Lahirnya kesepakatan FKK-KUA se-Jawa Timur ini merupakan imbas dari kasus dugaan gratifikasi yang menjerat Kepala KUA Kecamatan Kota, Kota Kediri. Menurut Koordinator Forum Komunikasi Kepala KUA Jawa Timur, Syamsu Tohari, kasus yang menimpa Romli ini jelas mencoreng profesi penghulu. Padahal, sebagai penghulu yang menikahkan calon nikah, para penghulu tidak pernah meminta tarif dari masyarakat yang ingin dinikahkan di Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 119
luar balai nikah. "Kami tidak pernah meminta tarif saat menikahkan calon pengantin di luar balai nikah. Kalaupun diberi, itu bukan gratifikasi atau pungutan (pungli). Pemberian itu sama sekali tidak dipaksakan. Justru jika ditolak, dikhawatirkan menyinggung perasaan tuan rumah yang menikahkan putra-putrinya," tegas Syamsu Tohari. Syamsu juga menegaskan, kalau tradisi memberi uang ala kadarnya dari wali nikah atau tuan rumah yang ingin menikahkan anaknya di masjid atau di rumah itu, merupakan tradisi orang Jawa sebagai ganti ongkos transportasi. Ia mengatakan "Sudah kultur warga Jawa Timur menggelar pernikahan yang dianggap sakral di rumah atau di masjid. Saat pulang, kami diberi makanan dan sejumlah uang sekadar ongkos lelah atau sebagai pengganti ongkos transport, jadi itu wajar bukan gratifikasi atau pungutan yang dipaksakan." Sejak dilakukannya kesepakatan FKK-KUA se-Jawa Timur tersebut, maka KUA di Provinsi Jawa Timur mulai 1 Desember 2013 menetapkan kebijakan bahwa akad nikah hanya dapat dilakukan di kantor KUA. Samsu Tohari mengatakan, “Pihaknya hanya melayani akad pernikahan di KUA selama jam kerja yaitu hari Senin sampai Jumat mulai 07.30 WIB hingga 15.30 WIB.” Menurut Gofur Kasi Pemberdayaan KUA Kanwil Kemenag Prov. Jawa Timur, meski tidak serentak diterapkan oleh seluruh daerah di Jawa Timur, namun pelaksanaan keputusan itu terus dilaksanakan beberapa KUA secara bertahap. Beliau mengatakan, “Kini keputusan sebagaimana tertuang dalam deklarasi FKK-KUA se-Jawa Timur itu telah ditindaklanjuti oleh para kepala KUA di banyak kabupaten/kota di Jawa Timur, antara lain: Kota Surabaya, Kab. Tuban, Kab. Kediri, Kab. Mojokerto, Kota Mojokerto, Kab. Bondowoso, dan Kab. Magetan. Beberapa kabupaten/kota lainnya masih dalam proses konsolidasi menetapkan kapan kebijakan hanya melayani akad pernikahan di KUA dimulai. Hal yang unik adalah di Blitar, di sana biaya pencatatan nikah saat ini ditanggung oleh APBD.”
120 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
C. Pelayanan KUA di Surabaya Setelah peristiwa penangkapan Romli Kepala KUA Kecamatan Kota, Kota Kediri oleh Kejaksaan Negeri Kota Kediri, maka Kepala KUA se Surabaya sepakat untuk menolak pernikahan diluar kantor KUA. Sebagaimana banyak diberitakan media, Romli yang juga merupakan pejabat pencatat nikah diduga menerima aliran dana sebesar Rp 50.000 untuk setiap pernikahan ditambah Rp 10.000 per pernikahan dalam kapasitasnya sebagai Kepala KUA, dari pencatatan nikah antara Januari hingga Desember 2012. Sejak peristwa itu, 661 orang penghulu se-Jawa Timur sepakat tidak menikahkan calon pengantin di luar Kantor Urusan Agama (KUA) atau di luar balai nikah. Hal ini merupakan imbas dari kasus dugaan gratifikasi yang menjerat Kepala KUA Kecamatan Kota, Kota Kediri tersebut. Ketua Forum Kepala KUA (FK3) se- Surabaya, Ahmad Tolhah saat ini semua penghulu se-Surabaya sepakat pada dua hal, yaitu pertama, menjalankan PP. 51 tahun 2000 Jo PP. 47 tahun 2004, yang menetapkan biaya Pencatatan Nikah sebesar Rp. 30.000,-. Kedua, mengikuti PMA No. 11 Tahun 2007 , ayat satu yang berbunyi “Akad Nikah dilaksanakan di Kantor.” Sedangkan untuk ayat dua yang berbunyi “Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar Kantor,” maka menurut Tolhah para kepala KUA sepakat karena bersifat opsional, maka berhak untuk tidak setuju atau menolak melakukan pencatatan perkawinan di luar kantor KUA, selama belum ada regulasi yang jelas mengatur biayanya. Menurut Ahmad Tolhah Ketua Forum Kepala KUA (FK3) seSurabaya, keputusan itu sengaja diambil karena pihaknya merasa takut menikahkan pengantin di luar KUA karena dapat terkena kasus gratifikasi lantaran menerima uang dari pihak calon pengantin. Sedangkan untuk perkawinan yang dilakukan di luar kantor, terlebih jika dilakukan dihari libur, mustahil jika biayanya ditanggung oleh penghulu. Keputusan tersebut nampaknya diikuti oleh seluruh Kepala KUA di Surabaya. Ahmad Tolhah yang juga merupakan kepala KUA Tegalsari menyatakan bahwa saat ini di KUA Tegalsari masih menerima Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 121
pencatatan perkawinan di luar kantor namun untuk perkawinan yang dilaksanakan di bulan Januari 2014, maka pihak KUA Tegalsari tidak bersedia menghadiri perkawinan yang dilakukan di luar kantor. Sejalan dengan sikap Ahmad Tolhah di atas, Miftahur Rahman Kepala KUA Wonocolo menyatakan, pencatatan perkawinan di KUA Wonocolo saat ini hanya melayani pencatatan perkawinan dikantor dan di luar kantor, untuk mereka yang sudah mendaftar dan melaksanakan perkawinan di bulan Desember 2013. Sedangkan untuk calon pengantin yang mendaftar di bulan Desember 2013 dan pelaksanaannya di bulan Januari 2014, maka KUA Wonocolo hanya melayani perkawinan di kantor KUA. Petugas KUA tidak melayani perkawinan di luar kantor. Meskipun saat ini masih bersedia melaksanakan tugas pencatatan perkawinan di luar kantor namun menurut Miftahur Rahman ia tidak lagi bersedia menerima uang terimakasih (amplop) dari pihak pengantin. Kebijakan FK3 se-Surabaya tersebut sedikit berbeda dengan keputusan FKK-KUA se-Jawa Timur yang menyatakan tidak lagi melayani pencatatan perkawinan di luar kantor sejak 1 Desember 2013. Keputusan FK3 se-Surabaya tersebut diambil atas pertimbangan perlunya sosialisasi lebih dahulu ke masyarakat, sehingga ketika diberlakukan masyarakat sudah bisa memahami dan menerima kesepakan KUA tersebut. Miftahur Rahman menyatakan “seperti layaknya sebuah undang-undang, jika akan diterapkan maka perlu sosialisasi ke masyarakat sehingga masyarakat bisa memahami”. Masih menurut Miftahur Rahman, dengan adanya waktu sekitar 1 bulan sosialisasi maka saat ini banyak masyarakat yang bisa memahami. D. Respon Masyarakat Berdasarkan kajian Balitbang Kementerian Agama tahun 2013, saat ini sekitar 81% masyarakat memilih melangsungkan perkawinan di luar KUA, untuk itu para penghulu sebenarnya lebih sering bertugas diluar KUA, dibanding di dalam kantor. Dengan peristiwa yang menerima Romli, maka saat ini untuk pelayanan perkawinan di luar Kantor, para penghulu dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, tidak menerima ‘amplop’ atau uang terimakasih dari masyarakat, meski amplop tersebut dimaksudkan sebagai pengganti uang 122 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
transport. Kedua, penghulu tetap dapat menerima ‘amplop’ namun melaporkan pemberian tersebut kepada KPK. Hal ini sejalan dengan bunyi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Dihadapkan pada dua pilihan tersebut, nampaknya para penghulu lebih memilih untuk tidak menerima pencatatan perkawinan di luar KUA. Hal ini dianggap lebih aman dibanding harus mendatangi rumah pengantin, dengan pilihan menolak pemberian atau menerima pemberian namun kemudian melaporkannya kepada KPK. Atas pilihan tersebut maka FK3 seSurabaya menyepakti per-Januari 2014, mereka tidak lagi melayani pencatatan perkawinan di luar kantor Keputusan FK3 se-Surabaya tersebut ditanggapi beragam oleh masyarakat. Dari beberapa ungkapan warga masyarakat di Surabaya yang berhasil diwawancarai, umumnya mereka menyesalkan keputusan FK3 yang tidak bisa melayani perkawinan di luar kantor. Namun demikian setelah menerima penjelasan, mereka dapat memahami alasan para kepala KUA, karena dikhawatirkan kasus yang terjadi di Kota Kediriakan menimpa mereka juga. Jika pasal yang dituduhkan adalah gratifikasi, maka bukan hanya pihak yang menerima tapi pihak yang memberipun pasti dikenai sangsi hukum sehingga masyarakatpun pasti menjadi korban. Keputusan kepala KUA yang tidak menerima perkawinan di luar kantor telah menimbulkan kegelisahan di masyarakat, beberapa masyarakat terpaksa harus membatalkan rencana mereka untuk menikah di rumah atau masjid. Bahkan ada juga masyarakat yang rencananya akan melangsungkan akad nikah dua kali. Muslim (65 th) yang sudah berencana menikahkan anaknya di bulan Januari 2014 dan ingin akad nikah anaknya itu dilakukan di rumah terpaksa harus menerima keputusan kepala KUA tersebut. Ia menyatakan “Kami harus bagaimana lagi? Ya terpaksa akad nikah dilangsungkan dua kali, hari Sabtu dilakukan di rumah tanpa dihadiri penghulu, dan kemudian hari Senin menikah lagi di KUA dengan dihadiri penghulu”. Muslim tidak bisa melakukan akad nikah anaknya di hari Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 123
Senin, sebab hitung-hitungan hari baik untuk jodoh perkawinan anaknya jatuh pada hari Sabtu. Nampaknya persoalan harus menikah di kantor KUA khususnya bagi masyarakat Jawa tidak sederhana. Menurut Miftahur Rahman Kepala KUA Tegalsari Surabaya, ia menyatakan “Berdasarkan keyakinan masyarakat Jawa umumnya, perkawinan itu disamping memiliki nilai sakral, budaya, juga klenik (nilai-nilai yang didasari kepercayaan lokal tertentu). Akan banyak kendala jika harus dilakukan di kantor dan di jam kerja.” Kasus penentuan hari perkawinan yang didasarkan atas suatu perhitungan tertentu seperti yang menimpa Muslim di atas, merupakan tradisi yang diwarisan nenek moyang masyarakat Jawa, yang hingga kini masih banyak dipertahankan oleh masyarakat, sehingga jika hasil perhitungan hari baiknya adalah tidak di hari kerja KUA maka tidak berani merubah menjadi dilakukan di hari kerja. E. Solusi yang Ditawarkan Menghadapi polemik pencatatan nikah di luar kantor dan hari libur ini, ada beberapa solusi yang ditawarkan oleh para stakeholder, baik pemerintah, para penghulu, maupun masyarakat. Fauzi (50 th) Kasi Kepenghuluan Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, mengatakan, “Dulu persoalan nikah itu tidak ada persoalan, baik oleh masyarakat maupun penghulu sendiri. Ketika itu yang berlaku adalah PMA No. 298 Tahun 2003, dalam pasal 21 (3) disebutkan: Biaya transport PPN atau Pembantu PPN (P3N) dalam pelaksanaan nikah di luar balai nikah (dulu biasa disebut ‘bedolan’) di bebankan kepada calon pengantin yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kanwil Depag Provinsi atas usul Kepala Bidang yang mengurusi tugas Kepenghuluan dengan persetujuan gubernur”. Lebih lanjut Syaikhul Hadi (38 th) Kasi Produk Halal dan Binsyar menjelaskan, bahwa keputusan tersebut (KMA No. 298 th 2003) dikuatkan dengan Intruksi Menteri Agama No 2 tahun 2004 tentang Peningkatan Pelayanan pada KUA, bahwa tarif ditentukan oleh pemerintah daerah atas persetujuan DPRD. Dalam intruksi tersebut juga dinyatakan bahwa KUA kecamatan tidak diperbolehkan memungut biaya tambahan terhadap biaya bedolan 124 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
yang telah ditetapkan pemerintah daerah. Namun demikian, Kementerian Agama (saat itu Departemen Agama) melalui Keputusan Menteri Agama RI No. 104 th 2007 tentang Pencabutan Intruksi Menteri Agama No 2 tahun 2004 telah mencabut semua biaya tambahan untuk pencatatan perkawinan, kecuali yang diatur dalam dalam PP.51 tahun 2000 Jo PP. 47 tahun 2004, yang menetapkan biaya Pencatatan Nikah adalah sebesar Rp. 30.000.Masih menurut Syaikhul, keluarnya KMA No. 104 th 2007 menuai kontroversi, sebab dana bedolan sangat dibutuhkan, disamping untuk biaya transportasi penghulu yang menghadiri perkawinan di luar kantor, juga untuk membiayai lembaga-lembaga yang secara non struktural berada di KUA, seperti Dewan Masjid Indonesia (DMI) tingkat Kecamatan, MUI kecamatan, BP4, PA-2, dan lain-lain. Namun demikian secara legal formal sejak keluarnya KMA No. 104 th. 2007 tersebut biaya ‘bedolan’ menjadi dihapuskan. Dengan dihilangkannya biaya ‘bedolan’ tersebut, maka tidak ada regulasi yang memayungi pencatatan perkawinan di luar KUA. Ketiadaan aturan tersebut telah menyebabkan penghulu atau masyarakat menetapkan ‘aturan’ secara sepihak terkait biaya pencatatan perkawinan di luar kantor. Biaya tersebut faktanya kemudian dibebankan kepada masyarakat. Kini berdasarkan UU No 20 th 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, uang pemberian masyarakat kepada penghulu tersebut oleh KPK dinyatakan sebagai bentuk gratifikasi. Menghadapi dilema tersebut, menurut Fauzi dan Syaikhul Hadi yang keduanya juga mantan kepala KUA, penerimaan ‘amplop’ dari masyarakt oleh penghulu disebut gratifikasi adalah karena ketiadaan aturan tentang besaran biaya perkawinan di luar KUA dan siapa yang menanggungnya, sehingga penerimaan uang tersebut dianggap melawan hukum. Menurut Syaikhul Hadi,“Perlu segera dikeluarkan keputusan oleh pemerintah yang dapat dijadikan payung hukum sehingga kasus ini menemui titik terang. Biaya (cost) dapat ditanggung oleh Negara melaui APBN, jika keuangan Negara tidak mampu membiayai, maka pemerintah harus segera menetapkan regulasi, misalnya dengan regulasi yang substansinya sesuai dengan Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 125
apa yang tercantum dalam PMA No. 298 Tahun 2003 dan Intruksi Menag No 2 tahun 2004 di atas.” Sementara itu Ersyad (52 th), Kasi Kemasjidan Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur yang juga seorang mantan kepala KUA, menyatakan “Dalam PP.” Ayat tersebut tidak mengatur tentang biaya pencatatan nikah di luar kantor, maka PP. 47 tahun 2004, yang menetapkan biaya Pencatatan Nikah adalah sebesar Rp. 30.000.- tersebut perlu direvisi dengan memberi tambahan “Besarnya biaya pencatatan perkawinan di luar Kantor ditetapkan oleh Kementerian Agama.” Ersyad menambahkan, selanjutnya Kementerian Agama segera mengeluarkan regulasi tentang biaya di luar kantor dan di hari libut. Ersyad mengatakan, “Regulasi ini penting untuk segera dikeluarkan agar segera ada payung hukum bagi penghulu dalam menjalankan tugas di luar kantor dan hari libur.” Nampaknya adanya regulasi baru sebagai solusi atas masalah pencatatan perkawinan di luar KUA menjadi harapan banyak pihak, terutama para penghulu. Miftahur Rahman Kepala KUA Wonocolo mengatakan, ”Kami minta segera ada regulasi yang bisa memberi kepastian kepada kami. Jangan sampai kami menjadi Romli ke dua.” Lebih lanjut ia menyampaikan, “Bagi kami terserah, seperti apa regulasinya yang penting ketika ada perkawinan di luar Kantor maka ada pengganti transport dan pengganti lembur untuk kami.” F. Analisis Kantor Urusan Agama (KUA) di Provinsi Jawa Timur (Jatim) mulai 1 Desember 2013 menetapkan kebijakan bahwa akad nikah hanya dapat dilakukan di kantor KUA. Keputusan tersebut diambil oleh para kepala KUA setelah kasus penangkapan Kepala KUA Kecamatan Kota, Kota Kediri. Sementara itu untuk di Kota Surabaya keputusan itu akan diberlakukan oleh para kepala KUA mulai 1 Januari 2014 nanti. Keputusan tersebut terpaksa diambil, karena mereka tidak ingin dianggap menerima gratifikasi karena melakukan pencatatan perkawinan di luar kantor, sementara sudah menjadi budaya bahwa masyarakat umumnya memberi uang transport kepada para penghulu sebagai ungkapan terimakasih. 126 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Dengan kesepakatan para penghulu tersebut maka masyarakat yang ingin melakukan akad nikah di rumah atau masjid, ke depan tidak akan lagi dihadiri oleh penghulu, karena para penghulu hanya bersedia menyaksikan dan mencatatkan perkawinan yang dilakukan di balai nikah KUA saja. Hal ini jelas mengundang pro kontra, sebab nikah di rumah sudah merupakan tradisi di masyarakat. Penelitian Balitbang Kementerian Agama tahun 2013 menyebutkan jumlah masyarakat yang melangsungkan akad nikah perkawinan di luar kantor adalah 81%. Di samping merupakan tradisi di masyarakat bahwa pernikahan dilakukan di rumah, untuk sahnya perkawinan masyarakat juga membutuhkan hadirnya Pegawai Pencatat Nikah atau penghulu. Secara normatif hukum Islam, sebenarnya tidak mewajibkan hadirnya seorang penghulu untuk sahnya suatu pernikahan. Namun secara hitoris, untuk pernikahan yang ingin diakui legal secara hukum negara, maka masyarakat membutuhkan legitimasi dari penghulu. Penghulu sebagai pemegang otoritas sahnya perkawinan telah berlangsung lama, sejak masa kolonial Belanda tepatnya pada 19 Januari 1892, Raja Willem III mengeluarkan Surat Keputusan Raja No 24 yang berisi keputusan tentang restrukturisasi lembaga hukum Islam di wilayah Jawa dan Madura. Dalam surat tersebut ditetapkan bentuk pengadilan agama di tingkat kabupaten (priesterrad) di samping pengadilan tinggi (landraad). Kantor tersebut dipimpin seorang penghulu yang menjalankan wewenang hukumnya meliputi hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan, perceraian, waris, zakat, infak dan sedekah (Hisyam 2001: 59-60). Sejak itu pemerintah Belanda telah menetapkan bahwa penghulu adalah bertanggung jawab terhadap urusan-urusan keislaman di kerajaankerajaan pra-kolonial di Nusantara. Masuknya penghulu ke dalam birokrasi kolonial Belanda ini menandai pengakuan Belanda terhadap hukum Islam yang berakar di nusantara (Hisyam 2001 : 60). Pascakemerdekaan, maka posisi penghulu sebagai pemegang otoritas ‘sah’ nya perkawinan makin kuat dengan lahirnya UU tentang Perkawinan yang ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1946 dan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 disebutkan, bahwa 1) Perkawinan adalah sah Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 127
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam KHI dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan itu harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana tertuang dalam KHI di pasal 5 dan 6, perkawinan yang dilakukan tanpa pengawasan PPN maka tidak mempunyai kekuatan hukum. 9 Terkait biaya pencatatan nikah, terdapat beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah selama ini. Sebelum dikeluarkannya PP No 47 Tahun 2004 dan PP No 11 Tahun 2007 sebagai regulasi baru yang kini diberlakukan, terdapat beberapa regulasi sebelumnya yang mengatur tentang pencatatan nikah yaitu: 1. UU No. 22 Tahun 1946 pasal 1 (4) di sebutkan bahwa ; “seorang yang nikah, menjatuhkan talak atau merujuk, di wajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh menteri Agama” 2. PMA No. 03 Tahun 1975 pasal 24 (4) disebutkan bahwa : “ongkos PPN yang menghadiri akad nikah di tetapkan oleh Kakanwil Depag Provinsi dengan persetujuan Gubernur 3. PMA No. 2 Tahun 1990 pasal 22 (4) : Bahwa Honorarium Pembantu PPN, Biaya transport PPN atau Pembantu PPN untuk menghadiri akad nikah di Balai nikah di bebankan kepada yang bersangkutan yang besarnya di tetapkan oleh Kepala Kanwil Depag Provinsi atas usul Kepala Bidang Urais dengan persetujuan gubernur Kepala Daerah setempat”. 4. PMA No. 298 Tahun 2003 pasal 21 (3) : Biaya transport PPN atau Pembantu PPN dalam pelaksanaan nikah di luar balai nikah di bebankan kepada calon pengantin yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kanwil Depag Provinsi atas usul Kepala Bidang yang mengurusi tugas Kepenghuluan dengan persetujuan gubernur”.
9
Dalam Pasal 2 PMA No 11 th 2007 tentang Pencatatan Nikah dijelaskan bahwa PPN dijabat oleh kepala KUA, namun demikian PPN dalam melaksanakan tugasnya (dalam pasal 3) dapat diwakili oleh penghulu atau pembantu PPN.
128 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Berbagai peraturan dan perundangan tersebut, sejalan dengan semangat reformasi kemudian dilakukan beberapa perubahan dengan yang baru. Ada tiga peraturan yang kini diterapkan dalam pencatatan perkawinan yaitu: 1. KMA No. 477 tahun 2004 pasal 20 (2) ; “Atas permintaan calon pengantin yang bersangkutan akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA Kecamatan dengan persetujuan penghulu “. 2. PP. 51 tahun 2000 Jo PP. 47 tahun 2004, biaya Pencatatan Nikah sebesar Rp. 30.000,3. PMA No. 11 Tahun 2007 pasal 21; yaitu 1) Akad Nikah dilaksanakan di Kantor, 2) Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar Kantor. Saat ini belum ada regulasi yang mengatur terkait besaran biaya untuk pernikahan yang dilakukan di luar kantor, dan oleh siapa biaya dibayarkan, sebab KMA No.477 tahun 2004 pasal 20 dan PMA No.11 tahun 2007 pasal 21 hanya menyebut bahwa atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar Kantor. Jika harus dipahami bahwa pelayanan oleh penghulu untuk di luar kantor adalah sama dengan di kantor yaitu sebesar Rp. 30.000,- sebagaimana dalam PP 47 th 2004 maka ini tidak logis, sebab ketika perkawinan berlangsung di luar kantor, maka penghulu harus mengeluarkan biaya (cost) transport untuk menuju lokasi akad nikah, apalagi jika itu dilakukan di luar jam kerja atau hari libur. Karena tidak ada regulasi yang mengatur hal tersebut, maka selama ini sudah menjadi tradisi di masyarakat, bahwa cost tersebut ditanggung oleh keluarga pengantin. Jika tidak ada kesepakatan terkait cost tersebut, maka wajar jika penghulu tidak setuju untuk perkawinan di luar kantor. Namun demikian pemberian oleh masyarakat kepada petugas KUA itu, sekalipun merupakan hal yang logis kini menuai kontroversi, karena dikaitkan dengan isu gratifikasi.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 129
Peraturan yang mengatur Gratifikasi adalah: Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999joUU No. 20/2001tentang Tindak Pidana Korupsi, berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Sedangkan Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan pemberian ucapan terima kasih berupa uang atau barang dan biaya transport kepada penghulu nikah termasuk gratifikasi. Hal itu diputuskan oleh KPK setelah mengadakan rapat koordinasi dengan Kemenag, Kemenkokesra, Kemenkeu, dan Bappenas, yang membahas soal praktik pelaksanaan nikah oleh KUA di berbagai tempat. Direktur Gratifikasi Giri Suprapdiono di KPK, Rabu (18/12) mengatakan"Dari rapat hari ini disepakati; praktik penerimaan honor, tanda terima kasih, pengganti uang transport dalam pencatatan nikah adalah gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B UU Tipikor” (merdeka.com). Persoalan ini mencuat dan menjadi kontroversi, karena pemerintah baru mengatur biaya pencatatan perkawinan secara umum, yaitu PP No.47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak, di mana biaya pencatatan nikah hanya sebesar Rp 30 ribu. Biaya itu oleh para petugas KUA diartikan sebagai pencatatan perkawinan yang dilakukan di KUA, sementara regulasi pencatatan di luar KUA belum ada. Pengembangan sistem pelayanan publik di Indonesia menuju ke sistem yang lebih baik hanya akan dapat dilakukan apabila sistem pelayanan tidak hanya mengatur tentang standar pelayanan, tetapi juga mengatur secara menyeluruh proses penyelenggaraan pelayanan, termasuk tentang standar biaya, mekanisme alokasi anggaran, dan pembagian peran para pihak yang terlibat dalam penyelengaraan pelayanan publik. Sejalan dengan perlunya sistem pelayanan yang lebih menyeluruh, yang mengatur seluruh proses penyelenggaraan pelayanan, Max Weber (dalam Dwiyanto, 2010) telah mengingatkan pentingnya kepastian pelayanan yang tertulis 130 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
dalam standard operating procedures. Dengan standar ini, maka dapat membuat proses pelayanan menjadi lebih terukur dan ada kepastian. Kegagalan pemerintah dalam mencapai standar pelayanan minimal salah satu penyebabnya adalah ketidakjelasan harga pelayanan yang harus dibayarkan masyarakat pada saat masyarakat mengurus keperluan mereka di kantor pelayanan milik pemerintah. Ketidakjelasan ini karena pemerintah pusat abai tidak pernah tertarik menentukan biaya pelayanan. Pemerintah pusat hanya membuat pedoman analisis biaya dan pedoman kebutuhan SDM dalam perencanaan di tingkat Kabupaten/Kota. Akibatnya, informasi mengenai standar biaya pelayanan tidak pernah tersedia sehingga alokasi anggaran untuk penyelenggaraan layanan tidak pernah didasarkan atas standar biaya yang jelas. Kalaupun pemerintah menentukan biaya pelayanan yang harus dikeluarkan masyarakat, penentuan tersebut tidak memerhitungkan standar pelayanan minimal dan operasional yang harus dilakukan para pelaksana di tingkat bawah. Sehingga, pemenuhan standar pelayanan minimal yang dituntut untuk dilaksanakan mengalami kegagalan. (Dwiyanti, 2010). Pada akhirnya, ketidakjelasan biaya pelayanan ini ditanggung oleh masyarakat sebagai pengguna pelayanan. Isu adanya gratifikasi oleh petugas KUA dengan menerima uang dari masyarakat atau bahkan isu adanya oknum KUA yang mematok uang dengan tarif tertentu sungguh sangat disayangkan, sebab hal ini terjadi adalah karena tidak adanya sistem pelayanan yang mengatur tentang standar pelayanan, standar biaya, dan mekanisme alokasi anggaran bagi pencatatan perkawinan di luar kantor dan di luar jam kerja. Ketiadaan aturan tersebut telah menyebabkan penghulu atau masyarakat menetapkan ‘aturan’ secara sepihak (tidak diatur dalam aturan perundang-undangan) biaya pencatatan perkawinan di luar kantor dan hari libur yang ternyata dalam praktiknya dibebankan kepada masyarakat, sehingga dianggap perbuatan melawan hukum.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 131
Penutup A. Kesimpulan 1. Pelayanan pencatatan perkawinan oleh KUA di Surabaya kini (Desember 2013) masih melayani pencatatan perkawinan dikantor maupun di luar kantor, yaitu bagi mereka yang sudah mendaftar dan melaksanakan perkawinan di bulan Desember 2013. Sedangkan untuk calon pengantin yang mendaftar pada Desember 2013 dan pelaksanaannya pada Januari 2014, maka KUA di Surabaya hanya melayani pelaksanaan perkawinan di kantor KUA saja, sampai adanya regulasi baru yang mengatur biaya perkawinan di luar kantor. Meskipun saat ini masih bersedia melaksanakan tugas pencatatan perkawinan di luar kantor, namun petugas KUA tidak lagi bersedia menerima ‘amplop’ (uang terimakasih) dari pihak pengantin. 2. Keputusan kepala KUA yang tidak menerima perkawinan di luar kantor telah menimbulkan kegelisahan di masyarakat, beberapa masyarakat terpaksa harus membatalkan rencana mereka untuk menikah di rumah atau masjid. Namun mereka umumnya dapat menerima penjelasan dan alasan yang disampaikan oleh Kepala KUA atau penghulu tersebut. Mengingat adanya kepercayaan dan tradisi masyarakat yang menetapkan waktu dan hari perkawinan berdasarkan ‘perhitungan’ hari baik, yang kebetulan tidak sesuai dengan jam kerja penghulu. Beberapa masyarakat berencana menikahkan putra-putri mereka dua kali, pertama di rumah pada hari Sabtu/Minggu (berdasarkan ‘perhitungan’) dan kedua di KUA pada hari kerja. 3. Penilaian negatif terhadap pelayanan pencatatan perkawinan oleh KUA, lebih disebabkan karena perangkat peraturan perundang-undangan dan pedoman tentang perkawinan di luar kantor di tingkat kementerian masih abstrak untuk diterapkan di tingkat pelaksana. Antara lain tidak adanya standar pelayanan terkait pencatatan perkawinan di luar KUA baik standar biaya, maupun mekanisme alokasi anggaran. Adanya PP. 51 tahun 2000 Jo PP. 47 tahun 2004, bahwa biaya pencatatan nikah sebesar Rp. 30.000,- adalah untuk pencatatan nikah di KUA 132 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
dan di jam kerja, jika aturan tersebut juga diberlakukan untuk perkawinan di luar KUA dan di luar jam kerja maka tidak logis, sebab penghulu membutuhkan cost transportasi dan perlu biaya lembur. Sebab pernikahan selama ini, umumnya dilangsungkan di luar kantor dan di luar jam kerja. Penyebab munculnya problem dimana petugas KUA menerima atau menetapkan uang dari masyarakat di luar ketentuan, adalah karena tidak adanya regulasi yang mengatur tentang biaya pencatatan perkawinan di luar kantor dan di luar jam kerja tersebut. B. Rekomendasi Dalam rangka menjawab polemik seputar pencatatan perkawinan di luar Kantor, dimana pokok utamanya adalah karena tidak adanya regulasi yang mengatur tentang biaya pencatatan perkawinan di luar kantor, maka penelitian ini merekomendasikan beberapa hal, yaitu: 1. Perlu adanya revisi terhadap PP. 47 tahun 2004, yang menetapkan biaya Pencatatan Nikah adalah sebesar Rp. 30.000.ayat tersebut tidak membedakan tentang biaya pencatatan nikah di kantor dan di luar kantor, maka PP tersebut perlu direvisi. Kementerian Agama perlu segera mengeluarkan kebijakan yang menetapkan standard biaya nikah untuk di dalam kantor dan di luar kantor secara berbeda. Adanya perbedaan tersebut disebabkan karena adanya cost (biaya yang harus dikeluarkan) yang dikeluarkan penghulu yaitu transportasi dari KUA ke rumah pengantin. Di samping itu perlu juga ditetapkan adanya biaya lembur bagi petugas KUA yang melaksanakan tugas di luar jam kerja. Idealnya semua biaya tersebut dibebankan pada Negara melalui APBN. 2. Jika alokasi APBN tidak memenuhi, maka pembiayaan dapat melalui PNBP yaitu dengan partisipasi (biaya) masyarakat. Untuk itu pemerintah dapat menetapkan kebijakan, yang secara substansi sama dengan apa yang ada dalam PMA No. 298 Tahun 2003 pasal 21 (3) dan Intruksi Menag No. 2 tahun 2004, yaitu bahwa biaya transport PPN atau Pembantu PPN (P3N) dalam pelaksanaan nikah di luar balai nikah dibebankan kepada Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 133
calon pengantin yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kanwil Depag (saat ini Kemenag) Provinsi atas usul Kepala Bidang yang mengurusi tugas Kepenghuluan dengan persetujuan gubernur. Surabaya, Desember 2013
134 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
DAFTAR PUSTAKA Agus, Erwan dan Wahyudi Kumorotomo, 2005. Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Yogyakarta: Gava Media. Bullock, Roger, ert all, 2002. “Hubungan antara Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Kebijakan Sosial”, dalam Julia Brannen, Memadu Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hisyam, Muhammad (2001), Caught between Three Fairs: The Javanese Pangulu under the Dutch Colonial Administration, Jakarta: INIS Nuh, Nuhrison M, 2008. “Peran KUA/Penghulu dalam Nikah dan Rujuk”, dalam Peran KUA/Penghulu dalam Pelayanan Nikah dan Rujuk di Berbagai Daerah, Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Riani, Asri Laksmi, 2011. Budaya Organisasi, Yogyakarta: Graha Ilmu. Spradley, James P, 1980. Participant Observation, New York-Chicago: Holt, Rinehart, and Wilson. Turner, Victor, 1977. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure, Ithaca-New York: Cornell University Press ____________, 1982. The Forest of Symbols, Ithaca, London: Cornell University Press. Moustakas, Clarck. 1994. Phenomenological Research Methods. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Scally, Greg, 2009. Defining Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption in the United States and the United Kingdom, Digital Collections and Archives.Tufts University. Medford, MA. http://hdl.handle.net/10427/55679 Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 135
136 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Pencatatan Perkawinan Oleh KUA Pascaisu Gratifikasi Penghulu di Kota Kediri Oleh : Mukhtar A. GambaranUmum Wilayah Penelitian
K
ota Kediri adalah salah satu kota yang berada di Jawa Timur yang terbagi atas tiga kecamatan, Kecamatan Kota Kediri, Majoroto, dan Kecamatan Pesantren. Yang terbagi atas 46 kelurahan. Batas batas wilayah Kota Kediri di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Gampengrejo dan Grogol, sebelah timur dengan Kecamatan Gurah dan Wates, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ngadiluwih dan Kandat, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Semen dan Grogol. Secara umum pertumbuhan ekonomi di Kota Kediri cukup baik namum belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat karena sulitnya lapangan kerja dan keterbatasan ketrampilan mengakibatkan bertambahnya masyarakat yang menyandang masalah kesejahteraan sosial. B. Kehidupan Sosial Budaya dan Agama Budaya dan adat istiadat orang Jawa khususnya orangJawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan, walaupun demikian tata cara upacara adat istiadat sebagian besar masyarakatnya masih melakukan tetapi ada sebagian dari mereka juga yang meninggalkan. Hal ini masih dilakukan seperti upacara adattingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan.Penduduk Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake (menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau kepanggih.Juga Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan kirim donga pada hari Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 137
ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, dan 3 tahun setelah kematian. Kota Kediri terkenal dengan sebutan “Kota Santri”. Tidak heran kalau jumlah penduduk mayoritas beragama Islam. Dari jumlah penduduk 289.789 jiwa, tercatat jumlah umat Islam sebanyak 266.951 jiwa atau (92,14%) dari total penduduk. Kriten 13.290 jiwa (4,58%), Katolik 8.033 jiwa (2.77%), Hindu 902 jiwa (0,31%), Buddha 613 jiwa (0,20%). Sedangkan jumlah rumah ibadat sebanyak 180 buah masjid, 397 mushallah, 76 gereja dan 3 pure serta 1 buah vihara. Kegiatan keagamaan sangat menonjol terutama bagi umat Islam, banyak pondok pesantren yang jumlahnya mencapai 53 buah, tidak kurang dari 1.825 kyai, 20.439 santri. Diantaranya yang terkenal adalah Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo yang terletak di Kecamatan Mojoroto. Selain itu juga banyak terdapat lembaga pendidikan baik pendidikan umum maupun pendidikan keagamaan. Disamping itu juga terdapat pendidikan formal beberapa perguruan tinggi seperti STAIN, Institut Agama Islam Tribakti, Universitas Islam Kadiri dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah. Disamping itu juga pendidikan umum lainnya seperti: TK/TKI, SD/SDI,SLTP/MTS, SMA/MAN dan SMK. dan pendidikan non formal seperti pengajian-pengajian, majlis taklim, yang diselenggarakan oleh masyarakat juga terdapat aliran keagamaan seperti tarikot Solawat Wahidiyah yang secara rutin menyelenggarakan pengajian-pengajian dari rumah ke rumah secara bergantian. Juga Majelis Dzikir Ghofilin yang setiap pengajian selalu dihadiri ratusan orang. Juga terdapat 3 besar organisasi keagamaan antara lain: NU, Muhammadiyah dan LDII. Yang demikian dapat memungkinkan untuk mempengaruhi kultur pesantren terhadap masyarakatnya. Hal ini terlihat betapa besar pengaruh Kyai dalam kehidupan bermasyarakat, juga penghargaan terhadap individu yang memiliki kemampuan di bidang keagamaan. Kebiasaan semacam ini sangat mempengaruhi terhadap kinerja KUA/Penghulu dalam menjalankan pelayanan terhadap masyarakat, salah satunya adalah pelayanan pencatatan pernikahan di KUA. 138 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
C. Dinamika Pelayanan Publik dan Pencatatan Perkawinan di Kota Kediri Kegiatan KUA dalam bidang pelayanan terhadap masyarakat pada umumnya mengacu kepada tugas dan fungsi KUA, termasuk pelayanan KUA di Kota Kediri. Namun pelayanan yang utama dilakukan di Kota Kediri adalah di bidang pelayanan pernikahan, wakaf dan manasik haji. Kegiatan yang lain, walaupun sudah dilakukan tetapi belum prioritas. Pelayanan administrasi pernikahan yang dilakukan selama ini dapat dilihat pada table di bawah ini: Tabel: 1 Pelayanan Administrasi Pernikahan di Kota Kediri Bulan Januari sd Nopember Tahun 2013 Jumlah Pernikahan Kecamatan Kota Mojoroto Pesantren 51 46 45 57 58 66/1 19 65 17 119 17 560/1
84 55 79 66 81 107/1 37 33 32 130/1 39 743/2
36 50 43 58 59 78 29 51 25 116/2 17 562/2
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktobber Nopember -
Keterangan Nikah di KUA
2 ps
3 ps 5 ps
Data; Kantor Kemenag Kota Kediri, tahun 2013. Bagi masyarakat yang akan menyelenggarakan perkawinan dan mencatatkan di KUA harus mengurus administrasi surat keterangan menikah (model N1 sd N7), dispensasi bagi yang usianya masih dibawah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita, kartu imunisasi, pas foto, kartu imunisasi (TT1 &2), rekomendasi dari Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 139
KUA setempat bagi catin dari luar daerah, dan rekomendasi bagi TNI dan Polri dari atasan.Persyaratan tersebut harus dilakukan bagi calon pengantin. Sebelum terjadinya kasus Kepala Kantor Urusan (KUA) Kota Kediri menjadi tersangka menerima gratifikasi pada tanggal 31 Oktober 2013 kegiatan pencatatan pernikahan di Kota Kediri masih berjalan normal dan bisa diwakilkan oleh P3NK. Dimana petugas KUA melayani calon pengantin (catin) yang akan melaksanakan pernikahan dapat berjalan dengan baik, dengan dibantu P3NK yang mengurus administrasi pernikahan dari pendaftaran sampai pelaksanaan pernikahan hingga mendapat buku nikah. Calon pengantin tanpa bersusah payah untuk mengurus persayaratan pernikahan karena sudah ditangani oleh petugas P3NK sebagai pembantu penghulu yang akan menikahkan calon pengantin, baik yang dilaksanakan di rumah maupun di Kantor Urusan Agama. Calon pengantin cukup menyerahkan persyaratan yang diminta oleh P3NK untuk melengkapi bagi calon pengantin yang akan melakukan akad nikah dengan biaya yang telah disepakati kedua belah pihak. Permasalahan biaya pernikahan yang dilakukan di luar Kantor Urusan Agama (KUA) sangat berfariasi, tergantung kesepakatan antara calon pengantin (catin) dengan petugas P3NK yang mengurus surat tersebut. Semakin tinggi kedudukan catin maka akan semakin besar biaya pencatatan pernikahan mereka keluarkan, tetapi bila yang akan melaksanakan pernikahan catin yang tidak mampu maka biaya yang diminta oleh P3NK akan semakin kecil. Bahkan bila yang melaksanakan catin termasuk miskin dengan menunjukkan surat tidak mampu maka mereka akan di bebaskan dari biaya pernikahan atau gratis (hasil wawancara dengan BD & ZM). Pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Kediri tidak bedanya dengan pernikahan yang dilakukan masyarakat Jawa pada umum, mereka masih mempercayai hitungan jawa kapan pelaksanaan hari baik pernikahan harus dilaksanakan termasuh hitungan hari, waktu, dan tempat sesuai hitungan hari kelahiran agar mereka bisa hidup rukun, damai dan banyak rizki. Mereka tidak segan-segan memanggil orang tua yang pandai menghidung hari 140 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
neptunya. Sehingga mereka sering melaksanakan pernikahan pada hari-hari libur, juga pada jam-jam tertentu yang telah ditentukan oleh para sesepuh/guru spiritual yang telah dipercaya untuk menghitungnya. Oleh karena itu biaya pernikahan menjadi bertambah karena pelaksanaan pernikahan dilakukan pada hari-hari atau jam-jam tertentu. Ada salah satu pasangan yang melakukan pernikahan di KUA, mereka harus di ulang kembali pelaksanaan pernikahan tempat yang telah ditentukan jauh-jauh hari. Bila hal ini tidak dilaksankan menurut kepercayaan mereka maka setelah pernikahan mereka akan mendapat bala atau musibah yang tidak henti-hentinya. Oleh karena itu mereka tidak segan-segan untuk mengulangi pelaksaaan pernikahan yang telah mereka tentukan dan biasanya pelaksanaan pernikahan dilaksanakan oleh Kyai atau pimpinan pondok pesantren. Seperti yang dilakukan pasangan Agus Mustofa dan Ita Kumalasari desa semanding kecamatan pare. Mereka melaksanakan pernikahan di KUA pada hari Jumat dan diulang kembali pada hari Sabtu jam 14.00 WIB. D. Sifat Pelayanan Publik KUA di Kediri Kantor urusan Agama sebagai lembaga pemerintah memiliki fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat yaitu umat Islam. Pelayanan terhadap masyarakat dalam bidang agama pada hakekatnya adalah yang berhubungan dengan hokum agama Islam, pelayanan ini antara lain; Nikah, Talak, rujuk, waris, zakat, wakaf dan perdata, pidana yang semuanya dikaitkan dengan hukum Islam (Noer, 1983:83). Pelayanan public sering digunakan dengan pelayanan umum (public service). Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 tahun 1993 kemudiaan disempurnakan dengan Kep. Menpan nomor 63 tahun 2003 mendefinisikan”Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan dilingkungan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Keputusan Menpan Nomor 634/2003). Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 141
Dari difinisi tersebut diatas pelayanan public oleh pemerintah dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pelayanan public yang bersifat primer dan sekunder. Pelayanan public primer adalah pelayanan penyediaan barang/jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah dimana pemerintah adalah satu-satu penyelanggara dan pengguna/klien dan harus memanfaatkannya. Sedang yang bersifat sekunder adalah segala bentuk penyediaan bareang/jasa public yang diselenggarakan oleh pemerintah tetapi di dalamnya pengguna/klien tidak harus menggunakannya karena adanya penyelenggara pelayanan sejenis (Ratminto dan Atik 2007:9). Oleh karena itu pelayanan KUA bila dilihat dalam kerangka pelayanan public termasuk pelayanan primer, dimana pelayanan KUA merupakan pelayanan yang harus dimanfaatkan. Seperti pencatatan nikah. Keberhasilan pelayanan KUA sebagai pelayanan publik sangat ditentukan berbagai faktor. Seperti faktor intern di lingkungan mereka bertugas, juga didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, walaupun mereka memiliki tupoksi sebagai petugas KUA dalam melayani masyarakat. Selama ini pelayanan yang dilakukan aparat KUA Kota Kediri kepada masyarakat sudah sesuai dengan tugas dan pokok sebagai pejabat publik cukup baik. Disamping factor intern juga factor ekstern seperti factor social budaya, sikap dan nilai-nilai yang ada dimasyarakat oleh karena itu sebetulnya tanggung jawab pelayanan public adalah tanggung jawab semua pihak dengan semua komponen penyelenggara Negara. Pelayanan yang dilakukan oleh KUA selama ini dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam bidang pencatatan pernikahan sudah cukup baik, KUA menjalankan tugasnya sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yaitu sesuai dengan perundangan yang berlaku. Walaupun demikian permasalahan yang dihadapi petugas KUA sebagai pelayan publik selama ini tentunya pasti ada, seperti dalam kasus Kepala KUA Kecamatan Kota Kediri yang terjerat kasus gratifikasi, namun pelayanan tetap dilakukan untuk melayani keperluan masyarakat yang hendak mencatatkan pernikahan baik di KUA maupun diluar kantor KUA.
142 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
E. Pencatatan Perkawinan dan Tradisi Kultural Jawa Kepentingan masyarakat untuk mendapat pelayanan KUA dalam bidang kependudukan seperti pencatatan pernikahan selama ini pada umumnya tidak dilakukan oleh calon pengantin (catin) sendiri melainkan dilakukan oleh orang yang memiliki kepentingan. Yaitu dilakukan oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dan Kematian (P3NK), yang seharusnya dilakukan oleh calon pengantin (catin) sendiri. Selama ini pengurusannya dilakukan oleh Modin atau pembantu pegawai pencacat nikah kematian (P3NK), dengan konsekwensi keluarga catin mengeluarkan biaya begitu besar sebagai uang jasa. Kota Kediri yang terkenal dengan kota santri dengan penduduk mayoritas beragama Islam, tidak heran banyak berdirinya Pondok Pesantren banyak sedikitnya bisamemberikan warna, kultur di masyarakat Kota Kediri. Seberapa besar pengaruhnya para Kyai dapat terlihat dalam kehidupan dimasyarakat sehari-hari. Kultur ini sangat mempengaruhi terdapat pelayanan KUA di masyarakat dalam menjalan aktifitas pelayanan pencatatan nikah. Budaya pesantren yang ada di masyarakat ditambah dengan kesibukan serta enggan berhubungan dengan petugas pencatat nikah mereka lebih senang memberikan tambahan biaya/cost yang lebih besar membuat petugas pelayanan pencatatan nikah mendapat ruang untuk menaikan biaya bertambah besar, hal-hal semacam ini sebetulnya tidak diperbolehkan terjadi. Banyak kasus yang seperti ini tetapi tidak sampai ke pengadilan. Tetapi kasus yang terjadi di KUA Kecamatan Kota Kediri merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang sampai ke pengadilan. Besarnya biaya pencatatan nikah yang dilakukan di Kantor Urusan Agama yang selama ini hanya dipungut biaya Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) meningkat menjadi Rp. 175.000,- (dengan perincian: Rp. 30.000,- ke Kas Negara, 50.000,- transport penghulu, Rp. 20.000,- Ke Kas Urais, Rp. 10.000,- ke Kas P3NK dan Rp. 10.000,- Sumbangan untuk KUA Teladan dan Rp. 5.000,- sumbangan untuk rumah tangga bahagia, Rp. 10.000 opersional Kepala Kantor, Rp. 40.000 untuk P3NK.-) (wawancara dengan Bend. Pj. As). Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 143
Sedangkan biaya pernikahan di luar Kantor Urusan Agama di Kecamatan Kota Kediri memungut biaya sebesar Rp. 225.000,disebabkan adanya berbagai kepenntingan seperti sumbangan untuk petugas desa, lurah, infak masjid sebesar Rp. 50.000,- Ini biaya yang tercatat di Kantor Urusan Agama Kota Kediri. Dalam prakteknya para P3NK mengutip biaya pencacatan nikah lebih dari Rp. 225.000,- dari sumber yang tidak disebutkan namanya biaya pencatatan nikah di luar Kantor Urusan Agama bisa mencapai Rp. 850.000,- (wawancara dengan Moh. Asr). Berbagai faktor menaiknya biaya pencatatan nikah yang dilakukan oleh pegawai pembantu pencacat nikah dengan alasan Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki tenaga honorer yang harus di berikan gaji, biaya listrik, kebersihan/perawatan kantor dan keamanan semua itu ditanggung oleh KUA, sedang dana yang ada tidak mencukupi kebutuhan tersebut. Juga ketika petugas pencatat nikah melakukan pencatatan di rumah calon pengantin (catin) mereka harus mengeluarkan biaya ikut merasakan bergembira (kondangan dalam bahasa Kediri) biaya tersebut diambilkan dari uang pemberian calon pengantin. Ada beberapa hal yang perlu dikaji, bahwa masyarakat khususnya di Kota Kediri nampaknya lebih senang melakukan pencatan nikah di luar Kantor Urusan Agama walaupun biaya tinggi mereka mempunyai alasan antara lain: a.
Menikah di luar kantor KUA memiliki terhormat bila dibandingkan menikah di KUA karena pernikahan termasuk upacara yang sangat sakral;
b. Menikah di rumah, masjid, gedung dan tempat lainnya bisa dihadiri oleh seluruh keluarga, saudara serta kerabat, lebih meriah, karena menikah kalau bisa seumur hidup satu kali; c.
Menikah di rumah costnya lebih sedikit bila dibandingkan menikah di KUA dengan alasan mereka harus menyiapkan transportasi/kendaraan (sewa), konsumsi, juru camera bila dihitung cost-nya lebih tinggi bila dibandingkan biaya pencatatan nikah di rumah, masjid dan gedung serta tempat lainnya;
144 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
d. Kalau nikah di KUA memiliki nilai yang kurang baik seperti dianggap orang tidak mampu, janda, atau mereka yang menikah di KUA biasanya dianggap kecelakaan atau hamil duluan, dengan alasan itulah mereka lebih suka melakukan pencatatan nikah di luar KUA (di rumah, masjid, dll); Dari permasalah tersebut diatas maka pintu untuk melakukan pungutan biaya tambahan yang tidak dianjurkan bahkan dilarang oleh pemerintah sering tidak diindahkan sehingga menimbulkan petugas untuk melakukan penyelewengan/korupsi. Kemudian ada yang mengatakan bahwa biaya tambahan yang diberikan kepada petugas pencatat nikah dalam bahasa agama sering disebut bisyaroh itu tidak dinamakan pungli/korupsi karena masyarakat ingin memberikan sesuatu kepada petugas yang telah melakukan pencatatan nikah di luar anggaran Negara (wawancara dengan Nur Akhid wakil ketua I STAIN bidang akademik). Dengan berbagai argument yang berbeda di masyarakat dengan tidak ada ketentuan berapa biaya bedolan atau pencatatan diluar Kantor Urusan Agama (KUA) mengakibatkan besaran biaya menjadi tidak jelas/berfariatif di masyarakat. Oleh karena itu permasalah uang lebih yang diberikan oleh calon pengantin dimata masyarakat, sebagian masyarakat bahwa pemberian yang diberikan oleh catin boleh-boleh saja asal tidak membebankan kepada calon pengantin. Dilain sisi pemberian yang dilakukan oleh masyarakat kepada petugas yang ada kaitannya dengan tugas mereka dianggap gratifikasi/korupsi. Oleh karena itu seharusnya ada kepastian hukum atas pemberian yang dilakukan oleh catin kepada petugas agar permasalah ini ada kejelasan yang pasti sehingga petugas dalam melaksanakan tugas tidak akan raguragu bila mendapat biaya tambahan atau bisyaroh sehingga biaya tersebut tidak dikatakan sebagai gratifikasi/korupsi. F. Penahanan Kepala KUA dan Deklarasi FKK-KUA se- Jawa Timur Kasus penahanan Kepala KUA Kecamatan Kota Kediri telah menggugah para kepala KUA di Jawa Timur. Mereka kemudian sepakat untuk mendeklarasi FKK-KUA se Jawa Timur. Isi Deklarasi tersebut adalah, pertama, menolak melayani pencatatan Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 145
perkawinan di luar kantor sampai adanya regulasi terkait biaya pencatatan perkawinan di luar kantor. Kedua, menuntut segera adanya regulasi terkait biaya pencatatan perkawinan di luar kantor. Adanya deklarasi FKK-KUA se Jawa Timur membuat pelayanan pencatatan pernikahan mengalami gangguan namun hal itu dapat diselesaikan dengan bijaksana. Pelasanaan pelayanan pencatatan nikah baik di Kantor Urusan Agama di Kota Kediri boleh dikatakan kondusif walaupun tidak ada protes-protes. Dalam kenyataan di masyarakat dirasakan masih ada rasa ketidakpuasan atas pelayanan yang dilakukan oleh KUA karena biasanya pelayanan bisa dilakukan oleh pihak kedua (dilakukan oleh P3NK). Ketika peneliti melakukan penelitian pelayanan pencatatan nikah ini diketahui bahwa saa ini pendaftaran perkawinan harus dilakukan oleh calon pengantin sendiri atau diwakili oleh walinya. Perubahan pelayanan yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama Kota Kediri karena adanya penahanan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kota Kediri dan di Deklarasikan FKKKUA membuat masyarakat khusunya di wilayah Jawa Timur menjadi resah, karena kepentingan masyarakat yang selama ini bisa dilakukan dengan mudah merasa dipersulit. Pelaksanaan pencatatan nikah yang selama ini bisa dilaksanakan oleh P3NK sebagai pembantu penghulu sekarang di tolak oleh KUA, dan pencatatan harus dilakukan oleh calon pengantin sendiri atau walinya dengan membawa bukti setor pembayaran dari Bank BRI dan di serahkan oleh petugas pencatat nikah. Perubahan tidak disitu saja, tetapi juga tentang pelaksanaan pernikahan di luar kantor KUA atau bedolan yang selama ini dengan mudah meminta pelaksanaan pencatatan nikah di rumah, masjid atau di gedung. Setelah terjadi kasus tersebut diatas bagi calon pengantin merasa kesulitan, karena harus mendapat persetujuan dahulu antara Petugas KUA/penghulu dengan keluarga calon pengantin. Yaitu harus bersedia menjemput dan mengantarkan kembali ke Kantor KUA. Dari persyaratan dan pernyataan yang dilakukan oleh petugas KUA/Penghulu dan P3NK sebagian masyarakat merasa diperlakukan kurang bijaksana. 146 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Untuk menghindari keresahan masyarakat terhadap pelayanan pencatatan nikah maka pemerintah Kota Kodiri mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa pernikahan bisa dilakukan di luar kantor dan bisa dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Sesuai dengan Surat Edaran Kanwil KemenagProvinsi Jawa Timur yang isinya mengimbau agar KUA se Jawa Timur untuk menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa pelaksanaan akad nikah seyogyanya dilaksanakan di KUA/Balai Nikah dan apabila calon pengantin menghendaki pelaksanaan di luar KUA (sesuai dengan PMA nomor 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah pasal 21 dapat dilaksanakan dengan menyediakan sarana transportasi antar jemput. 2) Tidak boleh memungut biaya pencatatan nikah lebih dari Rp. 30.000 (tiga puluh ribu rupiah) dan mengambil tindakan tegas terhadap oknum Pegawai yang terbukti memungut di luar ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004; 3) Melaksanakan pembinaan kepada kepala KUA agar tetap memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, menertibkan administrasi nikah rujuk sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4) Calon pengantin menyelesaikan administrasi sesuai dengan ketentuan yaitu membayar biaya nikah Rp. 30.000,- yang telah disetorkan ke BRI dan tanda bukti di serahkan ke Kantor KUA; 5) Calon pengantin tidak diperbolehkan memberikan hadiah maupun bingkisan kepada petugas KUA; Dampak dari kebijakan baru tersebut terhadap pelaksanaan pencatatan pernikahan yang ada di kota Kediri adalah pencatatan perkawinan cenderung meningkat. Dari hasil pemantauan peneliti selama di kota Kediri misalnya dari di KUA Mojoroto sejak tanggal 16 sd 20 Desember 2013, terdapat peristiwa menikah 5 N, di KUA Kec. Kota Kediri 6 N, sedangkan di Kecamatan Pesantren hanya 2 N. Peristiwa nikah di KUA hanya dalam jangka waktu 5 hari kerja sebanyak 13 peristiwa nikah. Peristiwa nikah di Kantor Urusan Agama pada waktu 1 tahun hanya 36 N jadi kalau dirata-rata perbulan masyarakat yang menikah di kantor KUA setiap bulannya masyarakat yang menikah di kantor KUA hanya 3 N. Sedangkan pada tahun 2013 dari bulan Januari sd Nopember 2013 hanya peristiwan Nikah hanya 5 N. ketika terjadi kebijakan baru peristiwa Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 147
nikah di KUA melonjak tajam dalam jangka waktu 20 hari (tanggal 1 sd 20 Desember 2013) peristiwa menikah mencapai 13 N. G. Perubahan Bentuk Pelayanan Pencatatan Bentuk perubahan pelayanan publik administrasi pencatatan nikah di Propinsi Jawa Timur Khususnya di Kota Kediri setelah penahanan Kepala KUA dan Deklarasi FKK-KUA se Jawa Timur meliputi: a.
Calon pengantin diwajibkan membayar sendiri atau keluarganya biaya pencatat nikah sebesar Rp. 30.000,-(tiga puluh ribu rupiah) ke Bank BRI, dan petugas pencatat nikah hanya menerima faktur pembayaran dari Bank tersebut;
b. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang edaran Kanwil Nomor 50 tahun 2013 penjabaran tentang pelayanan pencatatan nikah PMA nomor 11 tahun 2007 ps. 21 ayat 1 dan 2, yang antara lain isinya adalah. Pelayanan pencatatan nikah bisa dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama dengan persyaratan bahwa calon pengantin harus bersedia atau menyediakan alat antar jemput kepada petugas pencatat nikah. Bila hal ini tidak bisa dipenuhi maka pernikahan bisa batal atau tertunda. c.
KUA tidak diperbolehkan menerima imbalan dalam bentuk apapun dari calon pengantin yang akan melaksanakan pencatatan nikah. Dampak dari instruksi tersebut maka petugas pencatat nikah lebih senang bila pernikahan dilakukan di Kantor Urusan Agama. Sedangkan bagi calon pengantin yang memberikan ucapan terima kasih di tolak walaupun pemberian itu nilainya tidak sesuai dengan tugas yang dilakukan. Biasanya pemberian bingkisan atau brekat dititipkan kepada P3NK atau orang dekat dengan mereka. Hal yang demikian adalah suatu kebiasaan bagi orang Jawa yang merasa dibantu sebagai ucapan rasa terima kasih.
d. Pelayanan pencatatan nikah dilakukan 5 hari kerja dari hari Senin s/d Jumat pada jam kerja. Sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu dilaksanakan pada pagi dan siang hari ataupun sore hari dan tidak melayani pada malam hari. 148 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
e.
Wali harus yang menikahkan anak gadisnya dan tidak bisa diwakilkan yang sebelum ada kasus penahanan KUA, wali bisa diwakilkan kepada penghulu. Petugas Pencatat nikah hanya saksi.
f.
Dengan kebijakan tersebut diatas masyarakat untuk melaksanakan pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama cukup meningkat. Sebagai bukti selama 4 hari (dari tanggal, 17 sd 20 Desember 2013) pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama Kota Kediri tercatat sebanyak 12 pasang pengantin, yang sebelum hanya 5 orang selama 11 bulan (bulan Januari sd Nopember 2013).
H. Penutup 1. Kesimpulan a) Pelayanan pencatatan nikah di Kota Kediri pascadeklarasi FKK-KUA mengalami perubahan, antara lain merubah pola pikir masyarakat menjadi positip, dimana tadinya perkawinan di KUA memiliki arti yang negatip tetapi sekarang berubah menjadi positip. b) Sejak ada deklarasi FKK-KUA jumlah pencatatan nikah di KUA mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dalam jangka waktu 4 hari kerja tanggal 17 s/d 20 Desember di kota Kediri terjadi peristiwa pernikahan 12 pasang, yang sebelum ada deklarasi FKK-KUA pencatatan nikah selama 11 bulan (Januari s/d Nopember 2013) tercatat hanya 5 peristiwa nikah. c) Terkait permasalahan biaya tambahan bagi pencatatan di luar KUA, masyarakat tidak mempermasalahkan ketika KUA/Penghulu datang ke catin dan menerima tambahan biaya nikah sebagai reword kepada KUA/Penghulu karena permintaannya sudah dipenuhi. Selama ini biaya dititipkan kepada P3NK yang sebelum pelaksanaan perkawinan, tambahan biaya tersebut sudah dimusyawarahkan oleh P3NK dengan calon pengantin. Begitu juga bila ada calon pengantin yang tidak mampu, jika ada surat miskin dan di Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 149
ketahuhi camat maka mereka akan digratiskan. Hal itu juga masih ada kemungkinan P3NK yang nakal sering meminta biaya lebih. d) Ketika terjadi deklarasi Forum Komunikasi Ketua KUA seJawa Timur, maka kinerja KUA mengalami perubahan, KUA tidak mau lagi melayani pernikahan di luar Kantor, kecuali ada permintaan dari calon pengantin dan bersedia menjemput serta mengantarkan kembali kepada KUA/Penghulu yang akan menikahkan catin. Sebaiknya ketentuan tersebut harus dikembalikan seperti sebelum terjadinya deklarasi FKK-KUA. Masalah pengurusan pencatatan pernikahan agar dipermudah dan bisa diurus kembali oleh P3NK. Sedangkan biaya sebaiknya disesuaikan dengan kondisi sekarang, agar P3NK tidak memungut biaya tambahan diluar yang sudah dikitentukan agar tidak terjadi adanya gratifikasi. Di karena sebagian besar masyarakat Kediri masih menganut hitungan Jawa (neptu) yang dilakukan oleh Tokoh Adat yang mereka percayai adanya hitungan hari baik. Kapan pernikahan dilaksanakan yang sering berbenturan dengan jam kerja dan dilakukan pada hari libur atau pada malam. 2. Rekomendasi a) Untuk meringankan beban masyarakat sebaiknya pemerintah lebih intensif dan aktif untuk mensosialisaikan biaya pencatatan nikah, yaitu bahwa perkawinan harus dilakukan di Balai Nikah KUA dan diurus sendiri sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 dan Edaran Kanwil Kementerian Agama Prop. Jawa Timur, Nomor: Kw.13.2/1/HK.007/80/2013 yang menyebutkan bahwa akad nikah dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sosialisasi juga perlu dilakukan dalam hal adanya ketentuan dalam ayat 2, yang mengatakan bahwa atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN (Pegawai Pencatat Nikah) akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA. 150 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
b) Untuk menghindari pungutan biaya yang begitu mahal sebaiknya P3NK di tiadakan, atau di tempatkan pada posisi yang tepat. Karena P3NK adalah anggota masyarakat maka sebaiknya ditempatkan di wilayah masing-masing (Kelurahan) dan tidak sampai pada Kantor Urusan Agama (KUA), Hal ini didasari pemikiran bahwa wilayah kerja mereka sudah berbeda dan tugas mereka hanya sampai pada kelurahan. Sehingga sebaiknya catin bisa mendaftar sendiri masalah pemeriksaan silsilah bisa dilakukan melalui suscatin. c) Harus ada payung hukum yang mengatur pelaksanaan pecatatan nikah baik di KUA maupun di luar KUA, sehingga petugas melaksankan pencatatan pernikahan bisa bekerja dengan tenang juga kalau mau menggunakan P3NK harus jelas fungsi dan tugasnya termasuk tunjangan bagi P3NK agar tidak berbenturan dengan KUA/Penghulu. Jika memang pemerintah ada anggaran akan lebih baik akan meringankan masyarakat. Bila tidak ada dana dari pemerintah sebaiknya beban biaya ditanggung masyarakat. Selama ini masyarakat lebih senang untuk melaksanakan pencatatan nikah di luar kantor. Sedangkan para petugas KUA yang datang butuh biaya dan mengeluarkan tenaga sehingga masyarakat ingin memberikan sesuatu di luar anggaran Negara. Apakah hal itu dianggap korupsi. Sebaiknya harus ada regulasinya/aturan yang jelas mana pemberian uang yang dianggap korupsi. d) Faktor budaya masyarakat tidak mudah ditinggalkan begitu saja. Budaya masyarakat Kota Kediri masih menjunjung tinggi pernikah di luar jam kerja, hal ini masih menjadi pilihan utama. Untuk masalah pencatatan nikah sebaiknya hukum jangan kaku tapi harus fleksibel, dimana negara bisa menganggarkan biaya perkawinan sehingga masyarakat ada kepastian. Biaya bisa di tanggung oleh masyarakat, namun tentunya harus ada kontrol dan standar. Tentunya jika biaya tersebut ditanggung oleh pemerintah maka akan lebih baik sebab akan lebih mudah mengontrolnya. Kalau memang P3NK tidak jelas fungsi dan tugasnya alangkah baiknya Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 151
dihilangkan saja selama petugas KUA mampu menangani. Karena P3NK ada di dua unit (kaki) yaitu pemerintah daerah (kelurahan) dan Kementerian Agama sehingga tidak satu atap. Hal ini bisa menimbulkan kecemburuan, ketergantungan dan kecurigaan. e) Perlu ditinjau kembali besaran biaya pencatatan nikah yang pemerintah tetapkan sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah), apakah masih relevan untuk dipertahankan. Atau disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang. Berapa kepantasan biaya pencatatan nikah untuk kondisi sekarang, sehingga para penghulu tidak perlu lagi mencari tambahan dari calon pengantin yang akan melakukan pernikahan. f)
Kankemenag agar tetap melaksanakan pembinaan kepada Kepala KUA agar tetap memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, menertibkan administrasi nikah rujuk sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
152 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
DAFTAR PUSTAKA Agus, Erwan dan Wahyudi Kumorotomo, 2005. Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Yogyakarta: Gava Media. Harian Radar Kediri, tanggal, 17 Desember 2013. Nuh, Nuhrison M, 2008. “Peran KUA/Penghulu dalam Nikah dan Rujuk”, dalam Peran KUA/Penghulu dalam Pelayanan Nikah dan Rujuk di Berbagai Daerah, Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Laporan Tahunan Kantor Kantor Kementerian Agama Kediri, 2013,;
Kota
Riani, Asri Laksmi, 2011. Budaya Organisasi, Yogyakarta: Graha Ilmu. Spradley, James P, 1980. Participant Observation, New York-Chicago: Holt, Rinehart, and Wilson. Turner, Victor, 1977. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure, Ithaca-New York: Cornell University Press ____________, 1982. The Forest of Symbols, Ithaca, London: Cornell University Press. Moustakas, Clarck. 1994. Phenomenological Research Methods. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Scally, Greg, 2009. Defining Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption in the United States and the United Kingdom, Digital Collections and Archives. Tufts University. Medford, MA. http://hdl.handle.net/10427/55679 Surat Edaran Kanwil kemenag, Tanggal 11 Januari 2013. BPS, Kota Kediri, 2012 http://m.news.viva.co.id/news/read/463312-kua-se-jawa-timurtolak-pernikahan-di-luar-balai-nikah-3-Desember 013 Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 153
154 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
DAFTAR NAMA-NAMA RESPONDEN: 1. Drs. H. Suryat. M. Pd (Kasi Urais) 2. Drs. H. Muamal, MA (Kep. Kandepag) 3. Azzuhri, S. Ag (Staf Urais) 4. Abd. Mufidh, S. Ag (Penghulu) 5. H. Asrori, S. Ag (KUA
Mojoroto)
6. A. Muslim, S. Ag (Penghulu KUA Kota) 7. Pujiastuti, S. Ag (Bendahara KUA Kota) 8. Prof. Dr. Nur Akheid ( Pemb. Rektor STAIN) 9. Aditya (LSM) 10. Moh. Alir Rasyidi (P3NK) 11. Selamat, S. Ag (P3NK) 12. Budiono (P3NK) 13. Nur Laeli (P3NK) 14. Ahmad Affandi (P3NK) 15. Murhadi (P3NK) 16. Agung Muktasor (P3NK) 17. Yohanes (Tomas) 18. Zaenal Muttaqin (Toga) 19. Nur Badiek & Khudori Modin Rejomulyo (Ketua paguyuban).
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 155
156 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Pencatatan Perkawinan OlehKUA Pascaisu Gratifikasi Penghuludi Kota Malang Oleh: Agus Mulyono dan Selamet A. Selayang Pandang Kota Malang.
K
ota Malang merupakan salah satu wilayah Daerah Tingkat II di Provinsi Jawa Timur yang berada di dataran tinggi yang cukup sejuk, dengan letak 90 Km sebelah selatan kota Surabaya. Kota Malang dikenal juga dengan kota pelajar karena banyak perguruan tinggi dan universitas yang cukup ternama berada di Kota Malang. Kota ini memiliki luas 110.06 km², terdiri dari 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Kedung Kandang, Kecamatan Blimbing, Kecamatan Lowok Waru, Kecamatan Klojen dan Kecamatan Sukun, serta memiliki 57 kelurahan. 10 Menurut hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kota Malang sebanyak 820.243 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 404.553 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 415.690 jiwa. 11 Jika dilihat pada dispendukcapil.malangkota.co.id, jumlah penduduk Kota Malang per-1 Desember 2013 sebanyak 843.626 orang. 12 Etnik Masyarakat Malang terkenal religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas dan bangga dengan identitasnya sebagai Arek Malang (AREMA). Komposisi penduduk asli berasal dari berbagai etnik (terutama suku Jawa, Madura, sebagian kecil keturunan Arab dan Cina) Masyarakat Malang sebagian besar adalah pemeluk Islam dengan jumlah penduduk 722.680 jiwa, kemudian Kristen dengan jumlah penduduk 52.498 jiwa, Katolik dengan jumlah penduduk 43.393 jiwa, Hindu dengan jumlah penduduk 8.720 jiwa, Budha dengan jumlah penduduk 7382 dan lain-lain 280 jiwa. 13 Umat beragama di Kota Malang terkenal rukun dan saling bekerja sama dalam memajukan Kotanya. Bangunan tempat ibadah banyak yang telah berdiri semenjak jaman kolonial antara lain Kota Malang dalam Angka, BPS Kota Malang 2013, hal. xxxv Ibid, hal. 40 12Dispendukcapil.malangkota.co.id diunduh tanggal 25 Desember 2013 13Kota Malang dalam Angka, BPS Kota Malang, hal. 37 10 11
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 157
Masjid Jami (Masjid Agung), Gereja (Alun-alun, Kayutangan dan Ijen) serta Klenteng di Kota Lama. Malang juga menjadi pusat pendidikan keagamaan dengan banyaknya Pesantren dan Seminari Alkitab yang sudah terkenal di seluruh Nusantara Kekayaan etnik dan budaya yang dimiliki Kota Malang berpengaruh terhadap kesenian tradisonal yang ada. Salah satunya yang terkenal adalah Tari Topeng, namun kini semakin terkikis oleh kesenian modern. Gaya kesenian ini adalah wujud pertemuan gaya kesenian Jawa Tengahan (Solo, Yogya), Jawa Timur-Selatan (Ponorogo, Tulungagung, Blitar) dan gaya kesenian Blambangan (Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi). Bahasa Jawa dialek Jawa Timuran dan bahasa Madura adalah bahasa sehari-hari masyarakat Malang. Dikalangan generasi muda berlaku dialek khas Malang yang disebut 'boso walikan' yaitu cara pengucapan kata secara terbalik, contohnya: seperti Malang menjadi Ngalam. Gaya bahasa di Malang terkenal kaku tanpa unggahungguh sebagaimana bahasa Jawa kasar umumnya. Hal menunjukkan sikap masyarakatnya yang tegas, lugas dan tidak mengenal basa-basi Kebanyakan pendatang adalah pedagang, pekerja dan pelajar/mahasiswa yang tidak menetap dan dalam kurun waktu tertentu kembali ke daerah asalnya. Sebagian besar berasal dari wilayah disekitar Kota Malang untuk golongan pedagang dan pekerja. Sedang untuk golongan pelajar/ mahasiswa banyak yang berasal dari luar daerah (terutama wilayah Indonesia Timur) seperti Bali, Nusa Tenggara, Timor Timur, Irian Jaya, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan. B. Pelayanan Pencatatan Nikah oleh KUA Dengana adanya deklarasi penolakan pelayanan pencatatan nikah di luar kantor dan di luar jam kerja oleh FKK KUA Se-Jawa Timur, memang sempat membuat kekhawatiran dari berbagai pihak, baik dari masyarakat maupun para Kepala KUA dan para Penghulu di Kota Malang. Terutama bagi calon pasangan yang akan menikah pasca deklarasi tersebut. Namun, para penghulu Kota Malang tidak begitu terpengaruh hasil deklarasi tersebut. Mereka masih tetap 158 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
melakukan pencatatan nikah di luar kantor dengan berbagai ketentuan yang akan dipaparkan dalam penelitian ini. Adanya pertemuan FKK-KUA se-Jawa Timur sendiri tercetus secara mendadak oleh FKK KUA Se-Jawa Timur sebagai bentuk rasa solidaritas dalam menyikapi adanya salah seorang kepala KUA di Kota Kediri yang menjadi tersangka karena menerima pemberian dari masyarakat yang menggunakan pelayanan penghulu yang kemudian dianggap sebagai bentuk gratifikasi. Acara deklarasi tersebut muncul dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh BKKBN terkait sosialisasi Program Kependudukan dan Keluarga Berencana di Hotel Garden Palace Surabaya pada tanggal 31 November 2013 yang mengundang Kepala KUA dan Penghulu se-Jawa Timur. Akan tetapi karena para Kepala KUA dan Penghulu yang berasal dari Kota Malang tidak menempati penginapan yang sama dengan tempat pendeklarasian tersebut sehingga tidak mendapatkan informasi secara resmi melalui surat, hanya lewat media sosial dan dianggap tidak resmi oleh para kepala KUA Kota Malang. Menurut Kepala KUA Klojen, “dari hati saya yang terdalam sesungguhnya turut prihatin dengan kondisi yang ada sekarang”. 14 Para Penghulu di Kota Malang sesungguhnya merasa sependapat dengan kesepakatan para kepala KUA di Jawa Timur, namun keputusan forum tersebut hanya sekedar imbauan di Jawa Timur dan tidak bisa menjadi dasar untuk menikahkan di kantor KUA maupun saat jam kerja. 15 Sebab, itu bukan keputusan Kementerian Agama. Oleh karena itu para Penghulu di Kota Malang tetap mengikuti keputusan Kementerian Agama, untuktetap memberikan pelayanan terhadap masyarakat yang ingin dinikahkan di luar kantor maupun di luar jam kerja. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang data jumlah pernikahan di Kota Malang berdasarkan data per kecamatan dapat dilihat sebagai berikut: 14Wawancara dengan Achmad Shampton, Kepala KUA Klojen tanggal 19 Desember 2013 15Wawancara dengan Zain, Afif, dan Rasyid tanggal 17 Desember 2013
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 159
Tabel I Jumlah Pernikahan Kota Malang Januari s.d. November 2013 N o
Kecamatan
Tahun 2013 Jumlah Jumlah Nikah di Pernikahan Luar KUA
1
Kedung Kandang
1.495
1.293
2
Lowok Waru
1.097
987
3 4 5
Blimbing` Klojen Sukun
1.232 697 1.392
1.095 590 1.191
5.913
5.156
Jumlah
Dari tebel di atas dapat terlihat jumlah pernikahan per kecamatan di Kota Malang pada tahun 2013 dari bulan Januari sampai dengan bulan November 2013 sebesar 5.913 pasang, sedangkan yang menikah di luar kantor sebanyak 5.156 pasang atau 87,20%. Jadi, ada 87,20 % warga Kota Malang melakukan pernikahan di luar Kantor KUA. Kalau dilihat data ini, maka kebanyakan warga Kota Malang masih menikah di luar Kantor KUA. Pada sample pada tabel II di bawah ini terlihat bahwa, dari jumlah pernikahan di Kecamatan Kedung Kandang dan Kecamatan Lowokwaru masih terdapat jumlah pernikahan di luar kantor KUA sebanyak 87,76%. Jadi belum ada perbedaan yang signifikan pasca deklarasi FKK-KUA se-Jawa Timur di Kota Malang, walaupun para Penghulu sudah memberikan pengarahan kepada calon mempelai berkaitan pelaksanaan pernikahan di kantor dan di luar kantor.
160 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Tabel II Sample Pernikahan Kecamatan Kedung Kandang dan Kecamatan Lowokwaru Bulan Desember 2013 No 1 2
Kecamatan Kedung Kandang Lowok Waru Jumlah
Tahun 2013 Jumlah Jumlah Nikah di Pernikahan Luar KUA 22 19 27 24 49 43
Menurut Burhanudin, Humas Kemenag Kota Malang, semua Penghulu di Kota Malang tetap melayani masyarakat. Ia juga mengungkapkan, biaya pernikahan sebesar Rp. 30.000 dan tidak ada tunjangan operasional juga bukan menjadi masalah. 16 Lebih lanjut, peneliti jelaskan pelayanan KUA dimaksud: 1. Penghulu tetap melakukan pelayanan seperti biasa Sejauh ini, aktifitas pelayanan penghulu di Kota Malang seputar pencatatan perkawinan, dari mulai pendaftaran kehendak nikah, pembekalan pra nikah hingga proses akad nikah masih terus dan tetap berlangsung seperti biasa. 17 Pada dasarnya tugas Penghulu dalam pernikahan adalah sekedar menyaksikan dan mencatat. Namun karena permintaan masyarakat, dalam prakteknya banyak Penghulu yang melayani masyarakat melebihi tugas utamanya, seperti membantu hajat masyarakat untuk memandu acara akad nikah, menyampaikan khutbah nikah, mewakili wali menikahkan calon pengantin bahkan terkadang menyampaikan taushiyah dalam acara tersebut.
16Wawancara dengan Burhanuddin, Humas Kemenag Kota Malang 17 Desember 2013 17Wawancara dengan Achmad Sya’rani Bahar tanggal 17 Desember 2013
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 161
Memang diakui adanya kebiasaan atau tradisi yang sudah berkembang lama dalam masyarakat berupa pemberian bingkisan atau semacam hadiah yang bagi orang dianggap berjasa, atau paling tidak dianggap membantu hajatnya. Hal inipun sering dirasakan pada para Penghulu, karena masyarakat merasa telah dibantu dan dimudahkan oleh Penghulu, di mana ia tidak hanya menunaikan tugas utamanya saja: menyaksikan dan mencatat, namun juga hal-hal yang mestinya menjadi tanggung jawab wali atau shahibul hajat. Namun demikian, masih banyak Penghulu yang bekerja dilandasi idealisme dan keikhlasan dalam memberikan pelayanan. Walau harus pula jujur diakui masih ada Penghulu yang “mengkomersialkan” 2. Melakukan Pelayanan di Luar Kantor dan di Luar Jam Kerja dengan Permohonan Tertulis. Menurut para penghulu, masyarakat di Kota Malang yang mayoritas terdiri dari suku Jawa dan Madura, masih memegang tradisi yang kuat yang berkeyakinan bahwa prosesi acara pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan agungyang harus dihadiri oleh keluarga besar, tetangga maupun handai taulan sehingga penentuan tempat dan waktu untuk melangsungkan acara pernikahan adalah sesuatu yang sangat urgen yang diyakini baik dari sisi kesakralan acara akad nikah maupun menyangkut keberlangsungan rumah tangga mempelai kelak. Adanya pilihan tempat untuk menikah di rumah atau masjid sebagai tempat suci untuk melangsungkan akad nikah adalah merupakan bentuk untuk memberikan kesaksian dan do’a restu dari orang banyak atas adanya ikatan hubungan rumah tangga antara sepasang pengantin laki-laki dan perempuan maupun juga menjadi ikatan kekeluargaan antara keluarga besar kedua mempelai tersebut. Masih adanya anggapan dari masyarakat bahwa menikah di kantor KUA dianggap kurang prestise, kurang sakral, tempatnya kurang representatif, bahkan pernikahan di kantor KUA cenderung dianggap sebagai pernikahan yang bermasalah sehingga sebagian besar masyarakat Kota Malang menjadikan kantor KUA sebagai tempat berlangsungnya akad nikah adalah merupakan pilihan terakhir atau bahkan masyarakat sering menolak dengan tegas ketika 162 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
diminta untuk menyelenggarakan acara akad nikah di kantor KUA oleh penghulu. Menyikapi hal tersebut, Kepala KUA dan Penghulu Kota Malang tetap memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menikah di rumah dan di luar hari kerja dengan mengajukan surat permohonan untuk menikah di luar kantor dan pernyataan secara tertulis kepada kepala KUA yang ditanda tangani di atas materai yang berisi klausul bahwa segala akibat hukum dari isi permohonan tersebut akan ditanggung oleh pemohon sendiri. Menurut kepala KUA Lowokwaru adanya surat permohonan tersebut adalah merupakan upaya preventif dari kepala KUA yang merupakan bentuk payung “daun pisang” dalam mengantisipasi akibat hukum dari penyelenggaran akad nikah yang dilakukan di luar kantor dan di luar hari kerja, mengingat upaya tersebut adalah merupakan hal darurat yang masih lemah dan belum memiliki dasar hukum. 3. Bagi calon mempelai yang baru mendaftar, maka dianjurkan untuk menikah di kantor. Pilihan menganjurkan melayani pencatatan nikah di kantor pada jam kerja dilakukan sebagai langkah preventif agar lebih mudah menghindari tudingan dan godaan menerima gratifikasi. 18 Dengan pelayanan di kantor – dan itu berarti hanya pada jam kerja, masyarakat cukup membayar biaya pencatatan nikah sesuai ketentuan PP Nomor 47 Tahun 2004 sebesar tiga puluh ribu dan tidak perlu menambah pengeluaran untuk biaya transport penghulu. 4. Ada kekhawatiran para kepala KUA ditersangkakan sebagai penerima gratifikasi. Pada pelaksanaannya, tidak ada perbedaan dalam pelayanan yang diberikan oleh KUA-KUA di Kota malang, namun ungkapan cemas terucap dalam ketika diskusi dengan para kepala KUA, “kami resah dan cemas dengan penetapan menerima 18Wawancara
dengan Abdul Rasyid tanggal 17 Desember 2013
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 163
gratifikasi dari calon mempelai”. 19 Para kepala KUA juga terlihat cemas dari wajah mereka. Adanya kekhawatiran disangka sebagai penerima gratifikasi bila melakukan pencatatan di luar KUA dan di luar jam kerja, karena imbalan dari pengantin yang menikah di luar jam kerja tetap dianggap gratifikasi. Padahal, penghulu mengeluarkan biaya untuk sampai ke lokasi. C. Pandangan Masyarakat 1. Menimbulkan keresahan dan kekhawatiran di tengah masyarakat. Dari wawancara dengan beberapa ulama dan warga masyarakat, mereka merasa khawatir juga jika pemerintah benar-benar menetapkan menikah harus di dalam kantor. Karena ada budaya di masyarakat menikah di luar KUA dan saat hari libur. Budaya yang sudah berkembang di masyarakat tersebut juga dibarengi dengan pemberian ucapan terima kasih kepada penghulu yang melayani nikah di luar KUA. 20 Pencatatan peristiwa nikah itu selain aspek administrasi juga agama, budaya, tradisi, klenik dan kehormatan keluarga, namun yang membuat budaya itu semakin kuat, karena sakralnya juga. 21 Jadi tidak hanya semata-mata pencatatan saja. 2. Masyarakat kurang setuju jika pemerintah menetapkan pelaksanaan nikah harus di kantor KUA. Menurut beberapa informan, pemerintah jangan hanya melihat aspek legalitas hukum saja, namun kepentingan warga yang sudah kental dengan tradisi dan budaya, juga harus diakomodir. Masyarakat kurang setuju jika pemerintah pusat menetapkan nikah harus di kantor karena 19Wawancara dengan Abd. Afif, Abdul Rasyid, dan Ahmad Sya’rani Bahar tanggal 17 Desember 2013 20Wawancara dengan Suwarso, Ulama Kecamatan Lowokwaru tanggal tanggal 17 Desember 2013 21Wawancara dengan Haji Nur ulama Kecamatan Sukun tanggal 20 Desember 2013
164 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
berbenturan dengan tradisi yang sudah berjalan. 22 Warga juga beranggapan, aturan tersebut bertentangan dengan adat bahwa menikah sebaiknya dilaksanakan di hari baik, karena hari baik pernikahan bisa kapan saja, termasuk bukan di hari kerja. Selain hal di atas menikah juga wajib disaksikan kerabat serta tetangga. Pencatatan peristiwa nikah itu selain aspek administrasi juga agama, budaya, tradisi, klenik dan kehormatan keluarga. Ada sakralnya juga, karenanya pelayanan pencatatan nikah lebih banyak dilakukan di luar hari kerja dan di luar kantor. Keluarga yang akan menikahkan anaknya khawatir, menyusul nantinya akan terbebani biaya transpotasi warga yang akan menyaksikan akad nikah di kantor KUA. Kemudian jika ada ketetapan nikah di dalam kantor, aturan tersebut juga tidak berdasar dan memberatkan pasangan yang akan menikah maupun para kerabat. Menurutnya, pernikahan merupakan adat yang sakral. Semua orang ingin menyaksikannya, sedangkan pernikahan di kantor KUA tidak memungkinkan hal tersebut. 3. Siapa yang membiayai penghulu jika menikahkan di rumah? Para informan juga menanyakan, ketika nantinya diperbolehkan menikahkan di rumah, lalu siapa yang akan membiayai penghulu, karena jika masyarakat turut serta dalam memberi transportasi ataupun sodaqoh untuk mempelai, akan dianggap gratifikasi, padahal itu suatu wujud rasa terimakasih mempelai kepada Penghulu. 23 4. Bingkisan dari warga tidak dikategorikan memberikan gratifikasi. Banyak warga melaksanakan pernikahan pada Sabtu atau Minggu dan sesuai hitung-hitungan kalender Jawa. 22Wawancara dengan Suwarso, Abdul Hanafi, masyarakat Kota Malang tanggal 17 Desember 2013 23Wawancara dengan Hanafi, ulama Kota Malang tanggal 17 Desember 2013
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 165
Kalau menikahkan di kantor, hal itu tidak sesuai dengan tradisi masyarakat yang masih kental dengan budaya Jawa. Bingkisan yang diberikan kepada penghulu merupakan wujud terimakasih kepada Penghulu dan bukan gratifikasi. 24 Kita bisa lihat di masyarakat dalam menikahkan pasangan, penghulu juga memberikan khutbah nikah. Ibarat kata, seorang penghulu juga merangkap sebagai seorang penceramah atau da’i. Jadi sangat wajar jika tuan rumah memberikan hadiah sebagai ganti uang transport. Namun ketika pemberian tersebut dikategorikan gratifikasi, maka harus ada kepastian hukum dan tegaknya aturan tersebut. 5. Warga mempersepsikan ketika menikah di kantor maka itu karena ada masalah Menurut Jamali, ketika ada pasangan yang menikah di kantor KUA, berarti “kecelakaan” atupun dianggap tidak mampu. Anggapan seperti itu sudah mafhum di masyarakat, sehingga masih berlanjut sampai sekarang. Selain hal itu, warga juga beranggapan, bahwa menikah di kantor karena tidak punya biaya, sehingga diangap “kurang gengsi”. 25 D. Solusi yang ditawarkan untuk penyelesaian kasus para penghulu yang tidak mau menikahkan pasangan pengantin di luar KUA. Dari diskusi dengan beberapa penghulu, tokoh agama dan masyarakat dapat diketahui beberapa masukan, antara lain: 1. Perlu penambahan jumlah penghulu. Jumlah penghulu PNS yang ada di Kota Malang saat ini ada 9 orang. Dari jumlah penghulu tersebut tidak cukup untuk melayani kejadian nikah dan rujuk di Kota Malang, bahkan ada salah satu kecamatan di kota malang dalam 1 hari ketika musim nikah, sampai 24 pasang. Kalau hal ini hanya ditangani oleh 2 penghulu maka tidak cukup. 2. SDM para penghulu harus ditingkatkan. Ketika SDM para penghulu dapat ditingkatkan baik melalui bantuan biasiswa pendidikan dan pelatihan-pelatihan, maka kualitas SDM 24Wawancara 25Wawancara
dengan Hanafi, tanggal 17 Desember 2013 dengan Jamali, tanggal 18 Desember 2013
166 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
para Penghulu akan semakin berkompetisi. 26 Setelah SDM para penghulu mumpuni, maka mereka bisa mempunyai akses yang lebih luas, tidak hanya berkiprah di KUA masing-masing saja, namun dapat juga menjadi inspirasi dan narasumber di berbagai instansi lainnya, seperti kepala KUA Klojen sat ini. 3. Peningkatan Kesejahteraan. Peningkatan kesejahteraan bagi para kepala KUA maupun Penghulu merupakan hal sangat penting agar tidak terjadi penyalahgunaan anggaran dalam pelaksanaan administrasi pencatatan nikah, baik di kantor maupun di luar kantor. Menurut Zain, hikmah dari kejadian ini nantinya diharapkan dapat dihasilkan produk hukum yang dapat meningkatkan kesejahteraan para Kepala KUA dan Penghulu, sekaligus tidak bertentangan dengan perundangan di KPK. 4. Pemerintah perlu tegas tentang pelaksanaan nikah di kantor atau di luar kantor. Menurut Sya’rani, pemerintah harus tegas dalam menetapkan turunan PMA Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 ayat 2, kalau mau ditetapkan di luar kantor, maka seperti apa, agar azas keadilan dapat tercapai dan para Penghulu tidak tertuduh menerima gratifikasi. 27 5. Membuat permohonan tertulis. Sebagai implementasi PMA Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 ayat 2, “Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA”. Karena belum ada produk hukum yang jelas tentang bagaimana pelaksanaan pencatatan nikah di luar kantor, maka 5 KUA di Kota Malang membuat kebijakan, jika calon mempelai mau menikah di luar kantor, maka membuat surat permohonan dari calon mempelai kepada Kepala KUA/PPN untuk menyaksikan pernikahan dimaksud dan hal-hal yang ditimbulkan dari permintaan calon mempelai merupakan tanggung jawab mempelai sepenuhnya. Contoh terlampir. 26Wawancara dengan Machsun Zain, PGS Kantor Kemenag Kota Malang tanggal 17 Desember 2013 27Wawancara dengan Ahmad Sya’rani Bahar tanggal 17 Desember 2013.
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 167
6. Perlu dua kali dalam pelaksanaan akad nikah, jika PPN tidak berkenan menghadiri pencatatan nikah di luar kantor. Sebelum adanya payung hukum yang jelas, maka dibuat kebijakan sementara melakukan akad nikah dua kali. Akad nikah di luar kantor tanpa dihadiri Penghulu, kemudian akad nikah di kantor yang disaksikan oleh Penghulu. Hal ini pernah dilakukan oleh Shampton, karena beliau tidak bisa menghadiri akad nikah di luar kantor dan di malam hari. 7. Segera membuat regulasi baru dan adil. a) Pelaksanaan nikah di luar kantor dikembalikan lagi seperti biaya nikah bedolan dan honorarium P3N. 28 b) Adanya multitarif. Perlu adanya biaya pencatatan nikah dan penyesuian biaya operasional kantor dan ada biaya transportasi sesuai kondisi geografis calon mempelai. 29 c) Tarif pencatatan nikah harus jelas dan rinci memuat nominal yang rasional dan tidak terkesan ambigu yang multi tafsir terlepas apakah biaya itu ditanggung oleh negara, atau dibebankan kepada masyarakat selaku penerima jasa layanan. 30 8. Perlu dana tambahan dari APBN untuk pembiayaan pencatatan nikah, baik di dalam kantor maupun di luar kantor, karena selama ini biaya pencatatan Rp. 30.000 dan dana untuk operasional kantor sebesar Rp. 2.000.000 dalam realisasinya tidak memadai. 31 9. Jika ada calon mempelai berkehendak menikah di rumah, maka sesuai PMA Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 ayat 2 yang berbunyi: “Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA” dalam hal ini, penghulu berharap dapat di jemput dan diantarkan kembali ke kantor. 32 Wawancara dengan Arif Afandi Kepala KUA Sukun tanggal 20 Desember 2013 Wawancara dengan Wasian dan Arif Afandi tanggal 20 Desember 2013 30Wawancara dengan Machsun Zain tanggal 17 Desember 2013 31Wawancara dengan Achmad Shampton, Kepala KUA Klojen tanggal 19 Desember 28 29
2013 32
Wawancara dengan Wasian dan Arif Afandi tanggal 20 Desember 2013
168 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
D. Analisis Pelayanan pecatatan nikah sendiri sebenarnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi: 1. Akad nikah dilaksanakan di KUA. 2. Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA. Dari ayat 1 ini jelas kaidah umum pelaksanaan pencatatan nikah adalah di KUA. Karena pelaksanaannya di KUA maka waktunya pun pada jam-jam kerja sesuai dengan ketentuan jam kerja yang berlaku di KUA. Bagaimana kalau ada masyarakat yang menghendaki pelaksanaan akad nikahnya di luar KUA dan pada hari libur? Jawabnya ada pada ayat 2. Dalam ayat 2 ini pelayanan bisa dilaksanakan di luar KUA dengan syarat ada permintaan calon pengantin dan atas “persetujuan PPN”. Pada prakteknya selama ini calon pengantin mengajukan permohonan kehendak nikah dengan melampirkan blangko N7 di mana di situ memuat nama calon pengantin, hari pelaksanaan, tanggal, mas kawin dan tempat pelaksanaan akad nikah. Blangko tersebut ditanda-tangani pemohon, dalam hal ini calon pengantin atau wali, dan bila PPN setuju, dia ikut membubuhkan tandatangan. Dari ketentuan PMA di atas sejatinya tak ada yang dilanggar saat PPN atau Penghulu tidak meluluskan permohonan pencatatan di luar KUA sepanjang alasan ketidak-setujuan itu bisa dipertanggung-jawabkan. Artinya alasan ketidak-setujuan tidak mengada-ada, tidak subyektif, tidak demi mendapat keuntungankeuntungan materi atau yang semacam itu. Karena hal itu bukan merupakan sebuah pelanggaran hukum, maka saat para PPN atau Penghulu lebih memilih mencatat pernikahan di kantor pada jam kerja dan tidak menyetujui permohonan di luar kantor karena alasan yang sangat bisa dipertanggung-jawabkan, maka tindakan semacam ini tidak tepat disebut sebagai tindakan melanggar hukum. Masyarakat di Kota Malang masih memegang teguh adatistiadat hari pasaran yangkental dengan tradisinya, ada yang masih Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 169
menggunakan hari dan tanggal yang dianggap baik untuk akad nikah jadi tergantung weton dan pasaran. Ketika penghulu tidak bersedia datang ke rumah calon pengantin dengan alasan yang dibenarkan, misalnya mereka takut dituduh menerima gratifikasi, hal tersebut menimbulkan polemik di masyarakat, karena pelaksanaan nikah sudah ditentukan sesuai “hari baik” sebelumnya. Menurut masyarakat, pemberian amplop atau uang sekedarnya sudah menjadi budaya. Dan masyarakat menganggap uang tersebut sebagai pengganti uang bensin (transport) untuk penghulu. Karena sejauh ini belum ada ketentuan baku dari Pemerintah Pusat mengenai batasan pelayanan di luar jam kerja. Sehingga dengan alasan tersebut KUA Kota Malang tidak berani melakukan “boikot” seperti sejumlah KUA di Jawa Timur. Menurut para ulama, pemberian dari keluarga calon mempelai bisa dianggap shadaqah. Sebab biasanya, pemberian itu sebagai pengganti transportasi perjalanan menuju rumah atau masjid sebagai tempat akad nikah.Tidak itu saja, hal seperti itu sudah dinilai sebagai hal lumrah atau budaya. Sebab, seorang penghulu tidak akan ke rumah atau mendatangi lokasi akad nikah karena tidak sanggup dengan biaya yang dikeluarkan. Selain kultur, jika menikah di Kantor KUA, masyarakat biasanya enggan. Di samping malu dianggap tidak mampu, biasanya juga masih diliputi perasaan gengsi. Sesungguhnya hal itu merupakan kewenangan Kepala KUA, apalagi keputusan itu memang mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 ayat 1. Namun untuk pasal selanjutnya masyarakat kurang mengetahuinya, bahkan cenderung mas bodoh dengan peraturan tersebut, oleh karena itu pemerintah sudah seharusnya menyiapkan payung hukum yang memadai. Ketika belum ada payung hukum yang jelas terkait pernikahan di luar kantor dan di luar jam kerja, namun tetap dilakukan dan menerima bingkisan, hal itu merupakan hal yang dilematis, karena menikahkan di luar jam kantor dan menerima hadiah yang sudah menjadi sebuah tradisi di mata hukum KPK justru dianggap sebagai sebuah gratifikasi. Untuk menjembatani hal tersebut, ada beberapa tawaran yang perlu dipertimbangkan di antaranya pemerintah perlu 170 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
mengubah PP Nomor 7 Tahun 2004 tersebut. Dengan mengacu pada biaya operasional pencatatan di luar kantor, luar jam kantor dibebankan ke APBN. Perlu secepatnya dirubah agar para KUA dan Penghulu di Kota Malang dan di Indonesia umumnya tidak merasa khawatir dengan tuduhan menerima gratifikasi. Opsi yang lainnya, pelayanan nikah di luar KUA dan jam kerja dinilai sebagai lembur. Kemudian, pemerintah menetapkan biaya operasional untuk penghulu. Untuk idealnya uang operasional penghulu di luar jam kerja adalah Rp. 110 ribu hingga Rp. 300 ribu per pekerjaan. Tapi, mungkin setiap daerah akan berbeda-beda, bergantung dari letak geografis yang dihadapi para penghulu. E. Penutup Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut: 1. Kesimpulan a) Pelayanan pencatatan nikah di Kota Malang pasca deklarasi FKK-KUA se-Jawa Timur tidak terlalu mengalami perubahan. Sedikit perubahan pelayanan dimaksud terkait penyampaian kepada calon mempelai yang akan mendaftar, maka dianjurkan menikah di Balai Nikah KUA. Kemudian jika calon mempelai menghendaki pernikahan di luar Balai Nikah, maka dibuat surat permohonan pelaksanaan nikah tersebut yang berisi “apabila ada hal yang timbul berkenaan dengan hal tersebut maka akan menjadi tanggung jawab mempelai”. Surat permohonan tersebut di tanda tangani oleh pemohon di atas materai 6000. b) Masyarakat memandang, bahwa “sesuatu” yang diberikan kepada penghulu pada prosesi pernikahan merupakan hadiah bagi Penghulu. Masyarakat tidak begitu paham bahwa pemberian hadiah dimaksud merupakan suatu gratifikasi. Masyarakat juga merasakan pelayanan yang diberikan oleh para Penghulu di Kota Malang masih seperti biasanya. Hanya ada kekhawatiran dari masyarakat kalau nantinya pelaksanaan nikah ditetapkan di Balai Nikah KUA, karena bukannya semakin ringan biayanya, tapi justru akan membuat beban masyarakat Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 171
semakin berat karena menurut tradisi masyarakat Kota Malang ketika acara akad nikah akan dihadiri sanak saudara dan kerabat dekat ke KUA sehingga harus menyiapkan alat transportasi, lebih-lebih ruang balai nikah di beberapa KUA Kota Malang sangat terbatas tempatnya, bahkan masih menumpang di tanah Pemda setempat. c) Beberapa solusi yang ditawarkan, baik oleh para penghulu, tokoh agama dan masyarakat, untuk penyelesaian kasus tersebut antara lain: Perlu penambahan jumlah penghulu; SDM para penghulu harus ditingkatkan baik melalui beasiswa pendidikan maupun diklat; perlu peningkatan kesejahteraan bagi para penghulu; Pemerintah perlu tegas tentang pelaksanaan nikah di kantor atau di luar kantor; Pemerintah perlu segera membuat regulasi baru dan adil; perlu dana tambahan dari APBN untuk pembiayaan pencatatan nikah, baik di dalam kantor maupun di luar kantor, karena selama ini biaya pencatatan Rp. 30.000 dan dana untuk operasional kantor sebesar Rp. 2.000.000 dalam realisasinya tidak memadai; dan para penghulu berharap dapat di jemput dan diantarkan kembali ke kantor. 2. Rekomendasi a) Pemerintah perlu segera membuat regulasi baru terkait pencatatan nikah sehingga masyarakat dan para penghulu tidak merasa khawatir seperti sekarang ini. Dalam pembuatan regulasi tersebut hendaknya juga bisa mengakomodir adat istiadat dari berbagai daerah dan geografis yang berbeda-beda. b) Setelah ada regulasi baru, pemerintah juga perlu mensosialisasikan secara merata di masyarakat agar semua eleman masyarakat mengetahui dan memahaminya.
172 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
DAFTAR PUSTAKA Agus, Erwan dan Wahyudi Kumorotomo, 2005.Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Yogyakarta: Gava Media. Bullock, Roger, ert all, 2002. “Hubungan antara Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Kebijakan Sosial”, dalam Julia Brannen, Memadu Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nuh, Nuhrison M, 2008. “Peran KUA/Penghulu dalam Nikah dan Rujuk”, dalam Peran KUA/Penghulu dalam Pelayanan Nikah dan Rujuk di Berbagai Daerah, Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Riani, Asri Laksmi, 2011. Budaya Organisasi, Yogyakarta: Graha Ilmu. Spradley, James P, 1980. Participant Observation, New York-Chicago: Holt, Rinehart, and Wilson. Turner, Victor, 1977. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure, Ithaca-New York: Cornell University Press ____________, 1982. The Forest of Symbols, Ithaca, London: Cornell University Press. Moustakas, Clarck. 1994. Phenomenological Research Methods. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Scally, Greg, 2009.Defining Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption in the United States and the United Kingdom, Digital Collections and Archives.Tufts University. Medford, MA. http://hdl.handle.net/10427/55679
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 173
Narasumber: 1. Machsun Zain, PGS Kantor Kemenag Kota Malang 2. Wasian, Kasi Urais Kemenag Kota Malang 3. Burhanuddin, Humas Kemenag Kota Malang 4. Abd. Afif, Kepala KUA Kedungkandang 5. Abdul Rasyid, Kepala KUA Blimbing 6. Ahmad Sya’rani Bahar, Kepala KUA Lowokwaru 7. Achmad Shampton, Kepala KUA Klojen 8. Jamali, Ulama Kecamatan Kedungkandang 9. Abdul Hanafi, Ulama Kecamatan Blimbing 10. Arif Afandi, Kepala KUA Sukun 11. Nur, Ulama Kecamatan Klojen 12. Suwarso, Masyarakat Kota Malang
174 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
INDEKS Amil, 17, 65, 67 Balai Nikah, 90, 152, 155, 177 Bambang Soetjipto, 117 Bandung, 44 biaya pencatatan perkawinan, 3, 69, 77, 78, 102, 103, 129, 134, 136, 137, 138, 150 Bitner, 109 Blitar, 123, 162 BP‐4, 111 Buddha, 142 Cirebon, 26, 50 daya beli masyarakat, 14, 18, 19 Definisi Konseptual, 18 Definisi Operasional, 18 DMI, 111, 128 Dwiyanto, 110, 135 Ersyad, 129 FK3 se‐Surabaya, 125, 126 FKK‐KUA, 102, 103, 104, 114, 117, 120, 122, 123, 125, 150, 151, 153, 154, 155, 163, 165, 177 Garden Palace, 102, 122, 163 Giri Suprapdiono, 134 Gofur, 123 Gorontalo, 15, 38, 47 gratifikasi, 4, 5, 8, 9, 11, 12, 67, 104, 111, 112, 115, 116, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 126, 129, 130, 134, 135, 144, 147, 150, 155, 163, 168, 170, 171, 173, 175, 176, 177 Hindu, 142, 161
Hisyam, 131, 139 indeks biaya nikah, 6, 12, 16, 17, 18 Islam, 87, 101, 110, 113, 119, 131, 142, 145, 147, 161 Jakarta Barat, 22 Jakarta Pusat, 55 Jakarta Selatan, 28 Jaring social, 17 Karakteristik mempelai, 17, 18 Katolik, 142, 161 Kediri, 102, 103, 111, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 126, 130, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 157, 158, 163 Kemenag, 3, 115, 120, 121, 123, 134, 138, 143, 151, 165, 166, 172, 180 KHI, 101, 131 khutbah nikah, 3, 67, 83, 94, 166, 171 kirim donga, 142 KMA, 101, 128, 133 Korupsi, 3, 9, 112, 116, 121, 134 Kota Santri, 142 KPK, 9, 11, 112, 126, 129, 134, 172, 176 KPP, 103 Kristen, 161 KUA, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 12, 14, 16, 17, 18, 20, 23, 24, 40, 44, 47, 48, 49, 61, 64, 65, 68, 77, 79,
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 175
81, 82, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 96, 97, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 110, 111, 113, 115, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 141, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 179, 180 KUA Kloje, 163, 164, 172, 174, 180 KUA Wonocolo, 125, 130 Lamongan, 121 Lebe, 17 Majelis Dzikir Ghofilin, 142 Malang, 113, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 169, 170, 171, 172, 173, 175, 176, 177, 180 Mataram, 28 Max Weber, 110, 135 Medan, 38 Menpan, 107, 108, 146 Metode kualitatif, 14 Miftahur Rahman, 125, 127, 130 Modin, 18, 118, 147, 159 MUI, 111, 128 Najib, 4 oknum Penghulu, 3, 8 operasional KUA, 14, 18, 19, 44, 47, 48, 49, 61, 68, 86, 87, 115
P2‐A, 111 P3N, 17, 32, 51, 52, 53, 65, 67, 78, 85, 87, 88, 94, 95, 96, 118, 128, 138, 173 P3NK, 144, 147, 148, 151, 153, 155, 156, 157, 159 Palembang, 44 Palu, 56 Pelayanan, 93, 97, 103, 107, 109, 123, 128, 136, 139, 143, 145, 146, 147, 153, 154, 158, 163, 167, 174, 177, 179 Pelayanan Umum, 107 Penghulu, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 11, 12, 17, 18, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 35, 36, 50, 52, 57, 66, 77, 78, 79, 80, 82, 85, 87, 88, 91, 93, 95, 97, 101, 112, 115, 118, 122, 131, 139, 141, 143, 151, 154, 155, 156, 158, 159, 161, 163, 164, 165, 166, 167, 170, 171, 172,173, 175, 176, 177, 179 peningsetan, 141 Pesantren Hidayatul Mubtadiin, 142 PNBP, 3, 65, 102, 138 PNS, 4, 8, 11, 20, 113, 119, 120, 171 Populasi, 14 PPN, 65, 119, 124, 128, 131, 132, 133, 138, 156, 173, 174, 175 Raja Willem III, 131 Rizal Rahim, 118 Romli, 102, 115, 116, 117, 118, 119, 121, 122, 123, 126, 130
176 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Sampel, 15, 16, 20, 22 Sampel Peluang, 15 sampling frame, 15 SDM, 6, 105, 135, 172, 178 Semarang, 6, 27, 105 slametan, 4 Sri Herawati, 116 standard operating procedures, 110, 135 Statistika Deskriptif, 19 Statistika Inferensial, 19 Stratified Random Sampling, 15 Surabaya, 102, 103, 113, 115, 116, 117, 120, 121, 122, 123,
124, 125, 126, 127, 130, 136, 138, 161, 163 Syaikhul Hadi, 128, 129 Syamsu Tohari, 103, 117, 122 Tipikor, 112, 115, 116, 117, 118, 119, 121, 129, 134 Tomi Ari Wibowo, 118 tunjangan fungsional, 7, 67, 106 Upeti, 10 Urais, 87, 110, 132, 148, 159, 180 Zeithaml, 109
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 177
178 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
BIODATA ED DITOR Nama lengkap Abdul Jam mil, S.Ag, M.Si, lahir d di Cirebon pada tanggal 3 Januari 1970, pendidikan n formal yang diikutii adalah SD, MT Ts (SLTP), MA (SLTA A) di Buntet Pesantren, P menempuh S1 pada Fakultas n Jurusan Dakwaah di IAI Ushuluddin Al‐Aqidah JJakarta. Penulis k kemudian m melanjutkan S2 d di Program Pascaasarjana Kajian Islam dan T Timur Tengah dii Universitas Ind donesia. Sejak lu ulus S2 di taahun 2009 hingg ga kini, penulis menjadi m peneliti di Pusat P Penelitian dan Pengembangan P (Puslitbang) Keehidupan K Keagamaan, Bad dan Litbang daan Diklat, Kem menterian A Agama. Penulis juga saat ini dipercaya d sebag gai Ketua R Redaktur Jurnal H Harmoni, sebuah h jurnal ilmiah yaang fokus p pada publikasi karya tulis ilm miah tentang keehidupan k keagamaan yang telah terakreditaasi di LIPI. berapa karya tulis, antara Penulis teelah menulis beb n” yang laain buku “Maanajemen Konfflik Keagamaan d diterbitkan oleh PT Elekmediaa Komputindo Kompas G Gramedia, karyaa tulis dalam bentuk makalah yang k kesemuanya diteerbitkan dalam beberapa jurnaal ilmiah H Harmoni, antaraa lain yaitu: (11) Pandangan Pimpinan P P Pesantren Buntett Cirebon dalam m Merespons Rad dikalisme d dan Liberalisme, tahun 2011, (22) Peran Lakpesdam NU d dalam Deradikallisasi Keagamaan n, tahun 2011, (3) ( Peran P Paroki Katedral Jakarta dalam m Pemberdayaaan Umat P Polemik Biaya Pencattatan Perkawinan di KUA K | 179
Katolik, tahun 2012, (4) Wawasan Kebangsaan; Teori dan Parktik Gerakan Sosial Islam, Studi Organisasi FUI Bandung, tahun 2013, dan lain‐lainnya.
180 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA
Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA | 181
182 |Polemik Biaya Pencatatan Perkawinan di KUA