I GEDE PUTU et al. : Pola Perhitungan dalam Perencanaan Pembangunan Sapi Potong
POLA PERHITUNGAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN SAPI POTONG (DAYA DUKUNG WILAYAH) I GEDE PuTu, KUSUMA DWiyANTo, A.R . SIREGAR, M. SABRANI, PETRUS SrrEPu, TIEPPY D. SUDIANA, ATIENPRIYANT1, dan ELAN MASBULAN BalaiPenelitian Ternak P. O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia Pusat Penelitian Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav. E. 59, Bogor, Indonesia
ABSTRAK PUTu, I GEDE, KUSUMA DWIYANTO, A.R. SIREGAR, M. SABRANI, PETRUS SITEPU, TIEPPY D. SUDIANA, ATIEN PRIYANTI, dan ELAN MASBULAN . Pola perhitungan dalam perencanaan pembangunan sapi potong (daya dukung wilayah). Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II : 144-154. Pengembangan sapi potong bakalan di Indonesia beberapa tahun kedepan memerlukan perhatian yang serius terutama bagi pihak yang terkait sehingga mampu melakukan substitusi bagi impor baik sapi potong maupun daging. Akan tetapi sebelum mampu mencapai program tersebut diperlukan adanya suatu penelitian kebijakan yang diharapkan dapat memberikan arah pengembangan yang lebih tepat. Penelitian ini dilaksanakan di beberapa daerah tingkat propinsi seperti Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jswa Timur, Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi Selatan. Data primer diambil dengan metode tanyajawab langsung dengan 10 orsng peternak di setiap Kecamatan yang mempunyai populasi sapi terendah dan tertinggi dari Kabupaten yang juga mempunyai populasi sapi potong terendah dan tertinggi. Sedangkan data secunder diambil dari laporan, study literatur serta statistik daerah serta dari kegiatan seminar, diskusi serta brain storming dari para pakar sapi potong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data teknis yang tersedia terutama proporsi sapi betina dan kemampuan reproduksinya serta daya dukung wilayah termasuk lahan, sumber daya manusia dan permodalan belum dimanfaatkan semaksimal mungkin sebagai daya dukung pengembangan sapi potong di Indonesia. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang menentukan pemanfaatan daya dukung wilayah serta terkait dengan kebijakan lainnya seperti perbibitan, budidaya serta pemasaran sapi potong di Indonesia Kata kunci : Sapi potong, kebijakan, daya dukung wilayah
ABSTRACT PUTU, I GEDE, KUSUMA DWIYANTO, A.R . SIREGAR, M. SABRANI, PETRUS SITEPU, TIEPPY D. SUDIANA, MIEN PIUYANTI, and ELAN MASBULAN . Calculation and development program of beef cattle in indonesia (supporting potential resources) . Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 : 144-154. The future development of beef cattle program in Indonesia need serious attention from several Institutions to increase the ability of import substitutions for both beef and feeder cattle . In addition to this program, it is required to carry out a study on beef cattle development policy as a tool to supervise direction of beef cattle industry. This study was conducted at seven propincies including Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara and Sulawesi Selatan. Secondary data were collected from statistical data from each propince, discussion and workshop by inviting experts in beef cattle industry and managament . While primary data were collected from 10 farmers at each district (Kabupaten) which had high and low beef cattle population. The results of the study indicated that the technical parameters especially for female cows population and their productive performance as well as supporting potential area to support beef cattle development have not been properly implemented. Therefore, it is requiered beef cattle policy in the utilisation of supporting potential resources in conjungtion with other policies in maximizing beef cattle population in Indonesia Key words : Beef cattle, policy, supporting potential resources
PENDAHULUAN Pembangunan pertanian yang mulai dilaksanakan pada Pembangunan Lima Tahun (PELITA I ssmpai dengan PELITA VI telsh memberikan hasil yang sangat significant terhadap makna sentral dan peletakan dasar
144
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-// Th . 199912000
yang kukuh bagi perkembangan perekonomian bangsa Indonesia. Keberhasilan sektor pertanian yang pernah dicapai adalah swasembada beras serta komoditas strategis lainnya yang berasal dari komoditas palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan clan perikanan. Dampak langsung dari adanya peran sektor pertanian adalah terciptanya lebih banyak kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan petani pada umumnya. Keberhasilan pembangunan pertanian dapat memacu berkembangnya sektor inclustri clan jasa serta mempercepat transformasi struktur perekonomian nasional . Akan tetapi, kondisi perekonomian bangsa Indonesia mengalami titik yang paling renclah dengan adanya krisis ekonomi yang dirasakan sejak Juli 1997 . Dalam kondisi seperti ini hampir semua sektor mengalami dampak negatif yang berkepanjangan kecuali sektor pertanian . Hal ini ditunjukkan oleh peran yang dominan terutama selama masa krisis ekonomi nasional yang dialami bangsa Indonesia, dimana sektor pertanian memberikan kontribusi yang positif Khusus bidang sub sektor peternakan terutama peternakan sapi potong mengalami puncak kontribusi yang sangat tinggi yang tidak pernah dialami selama sejarah perekonomian sebelumnya. Sub sektor peternakan sapi potong lokal mempunyai peran sangat penting karena pada saat krisis ekonomi tersebut kegiatan impor sapi potong bakalan tidak bisa dilaksanakan clan terhenti secara massal . Hal ini merupakan peluang yang sangat baik bagi perkembangan sub sektor peternakan sapi potong karena peternak mendapatkan nilai tambah yang cukup bagus. Rendahnya tingkat pertambahan populasi ternak sapi potong di Indonesia clan meningkatnya permintaan daging sapi selama krisis ekonomi menyebabkan terjadinya keticlak seimbangan antara pasokan clan permintaan terhadap daging sapi di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut diatas maka diperlukan suatu penelitian kebijakan sapi potong terutama dalam melihat potensi daya dukung wilayah yang terdapat di Indonesia sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi arah pengembangan sapi potong dimasa yang akan datang. TINJAUAN PUSTAKA Analisis daya dukung wilayah khususnya bagi penyebaran clan pengembangan peternakan masih belum jelas arah dan tujuannya. Akan tetapi AsHARI, (1999) telah memulai dengan daya dukung wilayah clan usaha-usaha peningkatannya dalam sistem perencanaan pembangunan sapi potong di Indonesia. Analisis potensi wilayah menurut ASHARI adalah suatu kegiatan karakterisasi komponen-komponen peternakan clan menempatkan potensi yang ada maupun yang direkayasa dalam format informasi yang merupakan bahan strategi pengembangan peternakan dalam kerangka pembangunan daerah. Analisis potensi wilayah berorientasi pada fungsi manajemen makro clan mikro dengan tujuan I. Menyiapkan informasi kemampuan wilayah untuk pengembangan industri peternakan 2. Menyiapkan clan memantapkan ruang (kawasan) peternakan dalam rencana tata ruang 3. Sosialisasi, aktualisasi clan dinamisasi sistem informasi peternakan guna menunjang sistem perencanaan clan manajemen Dalam menyiapkan suatu sarana yang tangguh untuk pengembangan peternakan sapi potong dimasa datang maka diperlukan suatu kejelasan dalam ruang lingkup peternakan baik dalam undang-undang maupun dalam clefinisi peternakan yang acla dan perkembangannya di lapangan. Rumusan definisi peternakan telah disampaikan oleh ATMADILAGA (1975) yang disitasi oleh ASHARI (1999) yaitu petemakan adalah sebuah sistem pengelolaan sumber daya pembangunan daerah dengan manusia (peternak) sebagai subyek, hewan sebagai obyek yang harus ditingkatkan produktivitas dan kelestariannya, lahan sebagai tempat berpijak dan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan ekologinya dan teknologi sebagai sumber menghasilkan bahan pangan, bahan perdagangan, bahan industri dan jasa lainnya bagi kesejahteraan manusia. Dari rumusan diatas maka daya dukung wilayah dalam pengembangan peternakan merupakan faktor penting dan turut menentukan untuk menciptakan kesejehteraan masyarakat Indonesia. Untuk itu analisis kebijakan daya dukung wilayah peternakan khususnya sapi potong masih memerlukan suatu kajian yang lebih lengkap terutama pemantapan aplikasinya di lapangan yang dituangkan di dalam peraturan daerah dan undang-undang peternakan . MATERI DAN METODE Materi yang dipergunakan pada kegiatan penelitian adalah bersumber dari informasi yang dikumpulkan dari Instansi Pemerintah dan sumber lainnya yang mempunyai keterkaitan langsung dengan topik penelitian . Selain itu materi diperoleh dari sumber hasil-hasil penelitian terdahulu yang dapat mendukung kegiatan penelitian
145
I GEDE PUTU et al. : Pola Perhitungan dalam Perencanaan Pembangunan Sapi Potong
pengembangan sapi potong lokal di Indonesia. Kegiatan survey yang merupakan bagian dari penelitian ini dilaksanakan di beberapa daerah tingkat I di Indonesia diantaranya Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi Selatan . Pemilihan daerah lokasi survey didasarkan pada populasi sapi potong yang tertinggi . Data primer diambil dengan memperguanakan daftar pertanyaan yang disebarkan langsung kepada para peternak di setiap Kecamatan terpilih . Dari setiap daerah Tingkat I dipilih daerah Tingkat II yang mempunyai populasi sapi potong tertinggi dan terendah, dan selanjutnya dari masing-masing Kabupaten terpilih, diseleksi lagi Kecamatan yang juga mempunyai populasi sapi potong tertinggi dan terendah. Pemilihan daerah lokasi survey didasarkan pada data-data yang disajikan oleh Dinas Peternakn baik di Tingkat I maupun Tingkat II. Pengambilan sample peternakan dari daerah Kecamatan adalah sebanyak 10 peternak yang diacak dalam suatu daerah tertentu. Data secunder yang diperoleh untuk kegiatan penelitian ini adalah bersumber dari data statistik peternakan dari masing-masing daerah Tingkat I dan Tingkat II, disamping dari hasil diskusi , seminar maupun brain storming dengan topik yang sesuai dengan kegiatan penelitian yang melibatkan pakar, pengusaha maupun peternak yang telah berpengalaman dalam peternakan sapi potong di Indonesia. HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter teknis sebagai daya dukung pengembangan sapi potong Terlihat dengan jelas bahwa beberapa tahun terakhir pengembangan sapi potong di Indonesia mengalami permasalahan yang cukup serius terutama dengan adanya penurunan nilai tukar rupiah terhadap pertambahan populasi sapi potong lokal . Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan sapi potong adalah permasalahan teknis terutama bidang physiology reproduksi baik ternak jantan maupun betina atau induk . Untuk itu dalam penelitian ini telah dilakukan suatu analisa untuk mengetahui potensi produksi sapi potong lokal berdasarkan data teknis yang ada . Dalam analisa ini dipergunakan data pada tahun 1997 dimana diasumsikan bahwa sapi lokal yang dipotong mempunyai rataan bobot badan 450 kg. Apabila persentase daging tanpa tulang yang dihasilkan oleh sapi dengan berat 450 kg sebanyak 35% maka jumlah daging tanpa tulang yang dihasilkan sebanyak 165 kg. Dari total permintaan atau kebutuhan daging nasional sebanyak 498.000 ton (DiRJEN PETERNAKAN, 1997) atau equivalent dengan 3.018.181 ekor (Tabel 1). Tabel 1. Permintaan dan suplai daging sapi tahun 1997 No
Keterangan
Ton
Ekor
1
Permintaan
Total keperluan daging
498 .000
3.018.181
2
Suplai
Pemotongan tradisional Kontribusi Feedlot Daging impor
358 .000 109.400 30.000
2.169.697 407 .000 181 .818
Berdasarkan jumlah sapi potong sebanyak 2.169 .697 ekor yang harus tersedia dari sapi potong bakalan lokal, maka diperlukan suatu kebijakan untuk meningkatkan jumlah sapi potong bakalan yang harus lahir setiap tahun. Dilihat dari struktur populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 1997, dimana populasi sapi betina induk sebanyak 44,02% dan sapi betina muda 12,51% (Tabel 2), maka dapat diperhitungkan bahwa potensi untuk menghasilkan sapi potong bakalan dari sapi induk sebanyak 5.354.954 ekor.
Laporan Baglan Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARAfP-I! Th. 199912000
Tabel 2. Struktur populasi sapi potong di indonesia tahun 1997 Struktur umur &jenis kelamin
No 1 2 3 4 5 6
Anak jantan Anak betina Jantan muda Betina muda Jantan dewasa Betina dewasa ~Induk)
Buku statistik
Persentase
Ekor
7,49 8,21 9,79 12,51 17,98 44,02
911 .145 998.732 1 .190.935 1 .521 .819 2.187.235 5.354.954
Total
12 .164 .820
:DIRJEN PETERNAKAN (1997)
Data teknis biologi reproduksi ternak sapi potong betina di Indonesia terlihat bahwa persentase induk yang gagal kawin pada saat musim kawin : 20%, sapi induk kawin tetapi gagal melahirkan pedet : 10% dan kematian induk sebanyak 2%, ditambah angka kematian anak sebanyak 12% yang terdiri dari kematian segera setelah kelahiran, kematian sebelum clan sesuclah disapih. Dengan adanya perbandingan anak jantan : betina 50% maka pada tahun 1997 tersedia sapi untuk dipotong sebanyak 1.833 .624 ekor atau masih terdapat kekurangan sejumlah 336.073 ekor dari jumlah permintaan sapi potong bakalan lokal tahun 1997 . Daya dukung potensi wilayah Untuk pengembangan usaha peternakan sapi potong di masa datang maka pemahaman kebijakan daerah terutama dalam hal prioritas pembangunan daerah, status masing-masing kota, sistem komunikasi wilayah, serta kelembagaan yang tersedia sangat diperlukan sehingga program pengembangan bisa terlaksana secara terarah dan terpadu Selain itu diperlukan penataan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu efisien dan berkesimbangan dengan tujuan untuk : mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup, pemanfaatan sumberdaya secara optimum, mewujudkan keseimbangan pertumbuhan wilayah serta meningkatkan kemampuan ketahanan keamanan nasional . Kebijakan pemetaan arahan pengembangan (rekomendasi) kesesuaian ekologis untuk ternak meliputi arahan penggunaan lahan untuk.:daerah yang tidak produktif seperti hamparan lahan alang-alang, semak atau lahan terlantar lainnya, kawasan hutan produksi serta kawasan rawa . Begitu juga halnya dengan lahan produktif dalam bentuk diversifikasi penggunaan lahan untuk daerah persawahan dan lahan tegalan. Kawasan yang sementara ini telah dipahami oleh masyarakat luas adalah kawasan penggembalaan umum untuk daerah-daerah tertentu yang seharusnyatetap dipertahankan. Pemerintah telah melaksanakan beberapa program pengembangan daerah berdasarkan karakteristik usaha yang bersangkutan . Program tersebut clikenal dengan : kawasan sistem usaha tani terpadu yang berbasis usaha tani tanaman pangan (padi, horticultura dan palawija), kawasan ekosistem tertentu yang merupakan komponen dalam kawasan wisata dengan ternak sebagai penunjang seperti Taman Nasional dan Kerbau Kalang di Kalimantan, Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) dengan berbasis utama petemakan sebagai cabang usaha dan usaha pokok berorientasi agribisnis, Kawasan Industri Peternakan (KINAK) yang berbasis peternakan dengan padat modal terutama untuk usaha pembibitan . Dari hasil peninjauan lapangan yang dilakukan di daerah Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sulawesi Selatan serta analisis potensi wilayah yang dilaksanakan oleh ASHARI dkk:, terlihat bahwa salah satu penyebab penurunan populasi ternak sapi adalah 1 . Tergusurnya ruang lingkup usaha peternakan rakyat sapi potong berupa ladang penggembalaan . 2. Belum adanya suatu konsep yang jelas mengenai tata ruang atau kawasan petemakan di Indonesia 3. Belum adanya kepastian hukum terhadap kegiatan pengembangan usaha petemakan sapi potong Dengan kelemahan-kelemahan yang ada dewasa ini maka usaha pengembangan petemakan sapi potong khususnya untuk program pembibitan masih belum bisa dilaksanakan secara optimal. Hal ini disebabkan karena usaha pembibitan sapi potong disamping memerlukan dana operasional dalam jumlah besar juga memerlukan
14 7
I GEDE Ptnv et al. : Pola Perhitungan dalam Perencanaan Pembangunan Sapi Potong
dukungan wilayah lahan clan tata ruang dalam jumlah besar sehingga dapat mengurangi biaya produksi seperti yang dilakukan di negara lain seperti Australia, Amerika dll. Mengantisipasi perkembangan perekonomian dunia dalam bentuk globalisasi ekonomi serta industrialisasi usaha peternakan sapi potong di Indonesia, maka diperlukan suatu usaha untuk mengurangi biaya produksi ternak sapi potong lokal melalui pengaturan tata ruang secara lebih komprehensif sehingga merupakan suatu daya dukung yang potensial dalam meningkatkan daya saing produk sapi potong lokal dipasaran dalam negeri kita sendiri. Dalam rangka meningkatkan peran analisis daya dukung wilayah maka informasi kemampuan wilayah sangat penting yaitu berupa PETA yang meliputi : kesesuaian ekologis ternak, arahan pengembangan, daya dukung pakan, potensi pengembangan. Informasi kemampuan wilayah yang berbasis unit administrasi di tingkat daerah sudah dikembangkan di beberapa- daerah propinsi guna menunjang perkembangan usaha peternakan. Dengan adanya informasi peternakan ini dapat dipergunakan sebagai arahan untuk pengembangan daerah alternatif disertai daya dukung yang tersedia untuk suatu lokasi peternakan berwawasan industri . Informasi kemampuan daerah meliputi beberapa aspek diantaranya : kemampuan penambahan populasi ternak sapi potong di masing-masing daerah, karakteristik komponen penunjang dengan kendala teknis yang dimiliki oleh daerah tersebut serta penentuan prioritas daerah atau lokasi penyebaran clan pengembangannya. Harus disadari bahwa sampai saat ini informasi mengenai pengaturan tata ruang bagi usaha pengembangan petemakan sapi potong masih sangat terbatas dan hal ini dapat mempengaruhi secara nyata usaha pengadaan atau pembibitan sapi potong di Indonesia. Tabe13 . Luas daerah clan penggunaan lahan di Indonesia Lokssi
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Padang rumput (Ha)
Lahan Kosong (Ha)
482.393 127.499 87.744 546.891 191.800 499.852
561.300 44 .676 528.808 265.570 487.036 0
2.206 .796 74.210 671 .686 2.830.170 1.185 .076 0
1.936 .179
1 .887390
6.967 .938
Luas area (Km2)
Sumatera Jawa Nuss Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku & Irja INDONESIA
Sumber :
DIRJEN PETERNAKAN,
Sawah (Ha)
Perkebu Nan (Ha)
Tegalan (Ha)
Total (Ha)
2.413 .449 3 .362 .807 393.824 1 .372 .287 942.320 0
7.772 .115 628.939 352.062 2.917 .602 2.165 .028 0
4.267 .027 3.057 .667 821.570 1 .562 .066 1.660.177 0
17 .220 .687 7.168 .299 2.767 .950 8.947 .695 6.439.637 0
8.484 .687
13 .835746
11 .368507
42.544 .268
1998 .
Dari data diatas terlihat bahwa seluas 1 .887 .390 Ha lshan padang runiput yang tersedia di seluruh Indonesia seharusnya bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk lahan penggembalaan sapi potong. Akan tetapi dalam kondisi lapangan tidak sepenuhnya bisa dimanfaatkan secara efisien karena adanya kendala-kendala diantaranya lahan tersebut belum di tata secara rapi termasuk manajemen penanaman rumput itu sendiri. Selain lahan padang rumput juga tersedia lahan kosong seluas 6.967 .938 Ha yang juga bisa dimanfaatkan untuk peternakan sapi potong . Kedua jenis lahan ini membeukan biaya dan teknologi pemeliharaan jenis tanaman pakan ternak yang dapat memberikan nilai tambah terhadap program pengadaan sapi potong bakalan dalam negeri . Daya dukung sumber pakan ternak Potensi daya dukung wilayah terhadap peternakan dapat dikonsentrasikan pada kemampuan wilayah tersebut untuk menampung sejumlah ternak termasuk didalamnya kemampuan untuk menghasilkan pakan temak sehingga temak bisa berkembang biak dan berproduksi sesuai dengan agroekosistem masing-masing daerah. Dalam hal ini dapat dibedakan menjadi daya dukung riil yang dapat dipergunakan saat ini clan daya dukung potensial dimana terdapat potensi produksi pakan ternak yang bisa dikembangkan, dibudidayakan dan diolah dengan menerapkan teknologi pakan yang sudah tersedia . Seiring dengan daya dukung wilayah untuk pengembangan perbibitan sapi potong di Indonesia maka daya dukung wilayah sebagai sumber pakan ternak juga merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan . Dalam pengembangan usaha peternakan sapi potong maka daya dukung wilayah mempunyai nilai strategis disamping sebagai tempat berpijaknya ternak juga berfungsi sebagai sumber bahan pakan dan proses produksi dari bahan pakan yang tersedia menjadi hasil produksi akhir berupa daging untuk bahan pangan bagi manusia. DIwyANTO
148
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000
(1999) meyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi keuntungan usaha peternakan sapi potong maka dapat ditempuh sistem peternakan terpadu dengan pendekatan "zero waste "dimana efisiensi penggunaan pakan dengan menggunakan sumber daya lokal yang tersedia. Dengan pendekatan zero waste tersebut usaha peternakan sapi potong diarahkan disamping untuk penghasil pedet tetapi juga sebagai mesin pengolah limbah pertanian dan sebagai alat penghasil kompos yang efisien. Perubahan beberapa lahan persawahan sebagai sumber pakan ternak menjadi daerah perumahan sangat memprihatinkan bagi pengembangan petemakan sapi potong. Disisi lain usaha peternakan selama ini harus memanfaatkan lahan marginal yang tidak bisa dimanfaatkan oleh usaha penanaman komoditi pertanian sehingga usaha petemakan harus menanamkan modal investasi dalamjumlah yang tidak sedikit. Peta daya dukung pakan ternak diperlukan untuk melengkapi informasi kuantitas serta kualitas sumber pakdri berupa hijauan menurut tingkat keasaman (pH) dan status mineral tanah. Hamparan sawah seluas 8 .484 .687 Ha diseluruh Indonesia dapat memberikan kontribusi sebagai penghasil pakan ternak dalam bentuk jerami padi yang sudah dimanfaatkan baik oleh peternak tradisional maupun pada usaha penggemukan dengan skala industri . Teknologi peningkatan kualitas pakan ternak dari jerami sudah diaplikasikan dalam bentuk silage jerami yang sudah di fermentasi . Daya dukung integrasi perkebunan Dilihat dari potensi wilayah secara umum maka beberapa daerah di Indonesia mempunyai potensi strategis atau keunggulan komparatif dibandingkan daerah lainnya sebagai basis usaha peternakan sapi potong . Simpulsimpul strategis ini perlu dikembangkan seperti halnya : Pola pemeliharaan sapi potong dalam jumlah kecil terutama di daerah perkebunan seperti kelapa sawit di daerah Sumatera , perkebunan karet di daerah Jawa Barat, perkebunan tebu di daerah Jawa Timur serta daerah persawahan di sepanjang pantai utara pulau Jawa (Pantura) clan daerah lainnya yang mempunyai potensi serupa . Potensi sumberdaya perkebunan yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung perencanaan pengembangan peternakan sapi potong adalah hasil limbah perkebunan sebagai bahan pakan ternak .Usaha integrasi ternak sapi potong clan lahan perkebunan sudah dilaksanakan di beberapa daerah .Limbah perkebunan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak adalah limbah perkebunan karet, kelapa sawit, kopi, coklat clan tebu . Potensi lahan perkebunan kelapa sawit yang mencapai 2,4 jeta ha dan 1,2 ha diantaranya sebagai tanaman baru yang dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan temak, selain tanaman yang sudah tua berupa pelepah daun kelapa sawit serta limbah industri yang terdiri dari tandan buah, bungkil inti sawit clan lumpur sawit. Lahan perkebunan coklat meningkat pesat sekitar 0,66 juta ha pada tahun 1998 sehingga dari cangkang buah coklat yang mengandung protein kasar clan energi yang hampir samA dengan rumput gajah. Dari total produksi 0,4 juta ton biji kering pertahun diharapkan tersedia sekitar 1,1 juta ton canglang buah coklat sebagai bahan pakan temak. Perkebunan karet juga merupakan daya dukung dalam penyediaan bahan pakan ternak karena tersedia sekitar 3,2 jeta ha pada tahun 1998 . Demikian juga halnya dengan perkebunan kopi dimana 1,1 jeta Ha lahan perkebunan pada tahun 1998 dapat memberikan hasil sampingan berupa kulit buah clan kulit biji yang mempunyai kecernaan protein sebesar 65% clan 51%. Perkebunan tebu yang mencapai 0,4 jeta ha pada tahun 1998, dapat memberikan kontribusi pakan ternak berupa pucuk tebu sebagai bahan pakan berserat kasar yang diperlukan oleh ternak sapi disamping produksi molases atau tetes yang berfungsi sebagai sumber energi clan penambah nafsu makan bagi ternaknya sendiri . Oleh karena produk limbah perkebunan mempunyai variasi dalam kualitas maka diperlukan suatu rekomendasi dalam pemakaian dari masing-masing bahan pakan tersebut seperti pada Tabel 4.
I GEDE PUTU
et al. : Pola Perhitungan dalam Perencanaan Pembangunan sapi Potong
Tabel 4. Batasan pemanfaatan limbah perkebunan sebagai pakan ternak sapi potong Limbah perkebunan
Kisaran pemanfaatan (% dalam ransum ternak)
Perkebunan tebu Pucuk tebu Molases
15-70 15-20
Perkebunan kelapa sawit Batang Daun Tandan buah segar Lumpur sawit Bungkil inti sawit
20-30 50-60 30-40 30-40 50-100
Perkebunan coklat dan kopi Kulit buah coklat Kulit buah kopi Perkebunan karet Bungkil biji karet
30-50 5-10 10-20
Dalam program pengembangan peternakan sapi potong maka potensi serta daya dukung wilayah perkebunan sebagai penghasil bahan pakan ternak perlu diperhitungkan secara cermat. Hal ini disebabkan karena kontribusi wilayah perkebunan mempunyai peluang untuk berintegrasi dengan ternak sapi seperti terlihat pada Tabel 5 . Tabel 5. Asumsi potensi, pemanfaatan dan peluang pengembangan sapi terintegrasi dengan perkebunan Perkebunan
Karet Periode TBM Kelapa sawit Periode TBM TBK Sabut sawit Bungkil sawit Lumpur sawit Coklat Cangkang buah Koni Kulit buah Tebu Pucuk tebu Molases TOTAL
Sumber :
Potensi (juta ton)
Pemanfaatan (juta ton)
Produksi bahan kering iuta ton)
Peluang integrasi sapi (ST/tahun)
Persen Pemanfaatan
1,0
0,25
6,25,
500 .000
25
1,3 3,9 3,4 0,4 1,6
0,30 1,95 0,85 0,20 0,16
7,50 0,39 0,13 0,16 0,01
700.000
25 50 25 50 10
1,1
0.55
0,19
100.000
50
0,2
0,03
0,01
10 .000
20
3,6 1,2
1,80 0,22
0,63 0,06
700.000
50
2.100 .000
TANTONo dan HARYANTO, 1999
Dari data dalam tabel diatas terlihat bahwa potensi wilayah perkebunan yang ada di Indonesia memberikan kontribusi yang cukup baik sebagai penunjang pemeliharaan sapi potong sebanyak 2 .100.000 ekor per tahun. Pemanfaatn lahan perkebunan saat ini belum terealisasi sehingga dari potensi ini dapat memberikan peluang peningkatan populasi tanpa harus menambah lahan untuk lahan pemeliharaan.
15 0
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000
Daya dukung sumber daya manusia Kualitas sumber daya manusia dalam hal ini peternak sebagai subyek pembangunan peternakan harus diberikan porsi yang _cukup penting. Peternak sapi potong di Indonesia ditingkat petemakan rakyat secara keseluruhan sudah mempunyai pengalaman betemak secara tradisional yang cukup lama . Hanya perlu pelatihan pelatihan secara berkelanjutan untuk dapat menerima dan memanfaatkan teknologi tepat guna dalam sektor peternakan sehingga dapat meningkatkan populasi sapi potong dalam waktu yang relatifsingkat. Adanya petugas penyuluh lapangan yang didampingi dengan petugas peternakan ditiap kecamatan merupakan sarana pelatihan secara langsung kepada petemak.Untuk dapat meningkatkan efisiensi kerja dari masing-masing petugas tersebut perlu ditunjang dengan sarana dan fasilitas yang memadai serta kesempatan untuk mengikuti pelatihan baik ditingkat daerah maupu di tingkat nasional sesuai dengan prestasi yang telah dicapainya. Program transmigrasi yang sudah dilaksanakan beberapa tahun terakhir dan sudah menunjukkan hasil sangat baik yang dimotori oleh peternak yang tangguh dan tahan uji dalam kondisi kritis . Hal ini merupakan modal utama untuk pengembangan usaha peternakan rakyat menjadi industri peternakan sapi potong yang berwawasan agribisnis . Sudah tentu diperlukan transformasi teknologi dan modal sehingga wilayah yang sudah tertata rapi ini bisa memberikan hasil yang optimum. Tabel 6. Potensi rumah tangga peternak di Indonesia tahun 1993 No 1 2 3 4 5 6
Lokasi Sumatera Jawa Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku & Irja INDONESIA
Jumlah penduduk 40 .831 .000 114.733 .000 10 .959 .000 10 .470 .000 13 .732 .000 4.030 .000 194.755 .000
Total rumah tangga 8.864.000 28 .102 .000 2.443 .000 2.351 .000 3.043 .000 850.000 45 .653 .000
Besarnya anggota 4,6 4,1 4,5 4,5 4,5 4,7 4,3
Rumah tangga Sapi potong 432.000 1 .801 .000 333.000 83 .000 297.000 30.000 2.976.000
Persentase 4,87 6,41 13,63 3,53 9,76 3,52 6,52
Sumber : Statistik DiREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 1998 . Dilihat dari jumlah rumah tangga peternak sapi potong yang mencapai 2.976~000 atau 6,52% dari total rumah tangga di Indonesia dan dengan adanya pertumbuhan dalam penyerapan tenaga kerja dalam sub sektor petemakan 16,5% pada tahun 1993-1994 dibandingkan hanya 3,42% pada tahun 1985-1990 (SOETIRTO, 1997) maka hal ini sudah merupakan refleksi bahwa petemakan sapi potong merupakan suatu prospektif yang memberikan peluang bagi keluarga peternak untuk meningkatkan pendapatannya. Dari data diatas terlihat bahwa daerah Nusa Tenggara menduduki peringkat tertinggi dengan lebih dari 13% rumah tangga peternak sapi potong, disusul daerah Sulawesi (9,7%) clan Jawa (6,4%). Jumlah rumah tangga peternak sapi potong ini masih bisa ditingkatkan dengan pemberian bantuan atau subsidi modal untuk membeli sapi potong bakalan seperti yang sudah pernah dirintis dalam bentuk bantuan sapi induk dengan sistim Sumba kontrak atau bantuan lainnya seperti proyek Asian Development Bank (ADB). Inventarisasi masalah ternak sapi potong Lemahnya daya dukung permodalan yang tersedia dalam program perbibitan sapi potong di Indonesia seperti yang terlihat dari hasil wawancara langsung dengan peternak di beberapa daerah kecamatan (Tabel 7) merupakan salah satu kendala pengembangan populasi . Selama beberapa tahun terakhir ini, terbatasnya ketersediaan modal pembangunan petemakan dapat dilihat dari rendahnya persentase anggaran pembangunan peternakan baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional . Mengingat usaha perbibitan sapi potong adalah usaha padat modal dengan -resiko tinggi maka seharusnya pemerintah memberikan porsi subsidi yang lebih besar baik berupa dana maupun fasilitas penunjang lainnya seperti lahan penggembalaan pada usaha perbibitan .
I GEDE PUTU et al. : Pola Perhitungan dalam Perencanaan Pembangunan Sapi Potong
Beberapa tahun terakhir sebelum terjadi musibah krisis ekonomi nasional pada pertengahan tahun 1977 dan sejak maraknya usaha penggemukan sapi potong dalam skala industri (Feedlot) petani disekitar lokasi Feedlot telah merintis usaha kerjasama dalam bentuk usaha kemitraan antara Inti dan Plasma atau Peternakan Inti Rakyat (PIR) sehingga telah terjadi transfer teknologi secara langsung dari pengusaha kepada petemak tradisional . Pengalaman ini merupakan suatu modal dasar petemak yang harus dilihat secara rinci oleh pihak perbankan sehingga modal investasi atau modal kerja yang dibutuhkan oleh peternak rakyat bisa segera direalisasikan. Selain masalah fasilitas kredit, masalah penyakit clan persediaan pakan seperti yang disampaikan oleh petemak di empat daerah di Lampung, Jawa Timur, Bali clan Lombok dengan populasi sapi potong padat maupun jarang . Tabel 1: Hasil survey terhadap petemak sapi potong bulan Oktober 1999 Propinsi
Lampung
Jatim
Kabupaten
Lombok
Populasi Sapi
Pengalaman betemak (tahun)
Masalah Temak sapi (%)
Seputih Raman
Padat-padat
10,8
0
Raman Utara
Padatjarang
16,9
60,0
Lampung Barat
Talang Padang Sutoharjo
Jarang-padat
15,3
0
Jarang-jarang
5,2
Malang
Pakis Aji
Padat
Lampung Tengah
Madiun
Bali
Kecamatan
hwan
Masalah pakan
Masalah Penyakit
Masalah Kredit
0
0
100,0
10,0
0
100,0
0
0
100,0
14,3
28,6
14,3
75,0
15,0
20,0
30,0
10,0
100,0
Jarang
12,3
0
33,3
33,3
100,0
Padat
13,0
0
16,7
0
, 100,0
Jarang
17,0
33,3
0
0
100,0
Karangase m
Kubu
Padat-padat
13,0
0
100,0
0
100,0
Rendang
Padatjarang
6,2
0
64,3
35,7
100,0
Denpasar
Paguyangan
Jarang-padat
16,3
' 0
44,4
44,4
100,0
Peguyangan Kangin
Jarangjarang
16,0
0
ll,1
66,7
100,0
Narmada
Padat-padat
15,4
0
27,3
45,2
90,0
Kediri
Padat-jarang
16,4
0
10,0
70,0
100,0
Praya Timur
Jarang-padat
9,4
0
40,0
30,0
90,0
Praya Tengah
Jarang-jarang
20,3
0
20,0
40,0
75,0
Lombok Barat
Lombok Timur
Berdasarkan hat tersebut diatas dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan arah pengembangan peternakan sapi potong yang tidak hanya didasarkan pada kepadatan populasi temak tetapi juga pada daya dukung wilayah sebagai penghasil pakan ternak . Pihak terkait yaitu Dinas Peternakan di daerah Kabupaten sudah mempunyai program yang ditunjang dengan fasilitas dana yang memadai, karena tanpa adanya dukungan dana maka semua program yang telah tersusun rapi tidak bisa terlaksana yang pada akhirnya juga mempengaruhi pengembangan sapi potong nasional .
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-// Th . 199912000
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan daya dukung wilayah dalam rangka pengembangan usaha peternakan sapi potong di Indonesia masih perlu di review kembali terutama dalam kaitannya dengan peningkatan populasi atau suplai sapi potong bakalan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat pesat. Rendahnya peningkatan populasi sapi potong salah satu disebabkan oleh belum jelasnya alokasi tata ruang peternakan di Indonesia serta menurunnya potensi wilayah berbasis peternakan . Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti dibawah ini 1 . Parameter teknis yang sudah tersedia sebagai hasil penelitian para peneliti terdahulu terutama dalam bidang biologi reproduksi dan populasi sapi betina sebagai penghasil bakalan belum dimanfaatkan secara optimum dalam menyusun suatu perhitungan potensi atau daya dukung yang berasal dari temak sapinya sendiri. 2. Belurn terakomodasinya rencana pengembangan sub sektor peternakan secara menyeluruh dalam program perencanaan baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional dan hal ini menyebabkan semakin mudah terjadinya pergusuran peran peternakan dalam perekonomian nasional . 3. Masih lemahnya konsep daya dukung wilayah berupa kawasan peternakan terutama dalam teknis pelaksanaannya di lapangan dimana-diperlukan suatu sistem terpadu mulai dari perbibitan, pemeliharaan sampai pada proses produksi untuk produk akhir yang sudah siap dipasarkan . 4. Belum dimanfaatkannya daya dukung wilayah perkebunan sebagai penunjang pemeliharaan sapi potong dalam rangka meningkatkan populasi 5. Terbatasnya dana atau permodalan serta lahan dalam usaha perbibitan sapi potong merupakan kendala dalam mendukung pengembangan usaha peternakan sapi potong berskala industri . 6. Belurn adanya pemetaan daerah yang berbasis peternakan, daya dukung pakan dan informasi potensi serta daya tampung suatu daerah untuk satu satuan unit ternak dalam menunjang perencanaan pengembangan petemakan sapi potong . Saran Dari hasil penelitian ini dapat disarankan untuk melakukan inventarisasi potensi atau daya dukung daerah termasuk perhitungan parameter teknis serta daya dukung wilayah dan daya dukung permodalan. Program pemetaan wilayah yang dilengkapi potensi masing-masing sumber daya alam daerah merupakan prioritas utama dalam menyusun suatu kebijakan pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia. Selain itu daya dukung lainnya seperti dana penelitian dan pengembangan peternakan sapi potong seharusnya tersedia secara berkesinambungan baik dalam jumlah maupun dalam kurun waktu tertentu sehingga program pemecahan masalah yang ada bisa secara tepat dan tuntas PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN Penelitian yang telah dilaksanakan di beberapa daerah serta dengan adanya informasi dari hasil seminar dan diskusi ilmiah dari pakar sapi potong maka hasil penelitian memberikan prakiraan dampak positif bagi pengembangan sapi potong di Indnesia berupa 1 . Parameter teknis mengenai proporsi atau struktur populasi sapi potong terutama sapi betina yang berfungsi langsung sebagai penghasil sapi bakalan serta parameter teknis mengenai biologi reproduksi dan angka kematian baik induk maupun anak dapat dipergunakan sebagai basis perhitungan potensi atau kemampuan produksi pedet untuk memenuhi permintaan sapi potong bakalan yang semakin meningkat setiap tahunnya. 2. Daya dukung wilayah terutama lahan penggembalaan, lahan perkebunan serta daya dukung lainnya seperti sumber daya manusia, permodalan dapat dipergunakan semaksimal mungkin untuk pengembangan sapi potong di Indonesia
153
I GEDE PUTU et al. : Pola Perhitungan dalam Perencanaan Pembangunan Sapi Potong DAFTAR PUSTAKA
Daya dukung wilayah dan usaha-usaha peningkatannya dalam sistem perencanaan pembangunan sapi potong. Makalah disajikan pada acara Seminar Sehari dengan Judul " Pengkajian untuk menentukan arah industri sapi potong di Indonesia. Bogor, 29 Juli 1999 . DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN . 1997 . Buku Statistik Peternakan Departemen Pertanian. ASHARI . 1999 .
DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN .
1998 . Buku Statistik Peternakan Departemen Pertanian.
K.1999. Prospek industri petemakan sapi di Indonesia. Puslitbang Petemakan. Jln. Raya Pajajaran Bogor, 16l51 . SOETIRTO, F. 1997 . Pemberdayaan Peternakan Rakyat dan Industri Petemakan Menuju Pasar Bebas "Pokok Bahasan: Sapi Potong". Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor 78 Januari 1997 . TANTONO, S. dan B HARYANTO, 1999 . Peluang integrasi usaha pengembangan sapi potong dengan lahan perkebunan . Makalah disajikan pada acara Seminar Sehari dengan Judul " Pengkajian untuk menentukan arah industri sapi potong di Indonesia. Bogor, 29 Juli 1999 . DIWYANTO,
WILLIAM,
N. D. 1998 . Pengantar Analisis Kebijakan Publik . Edisi Kedua, Gajah Mada University Press.
WILLIAMS, W.
1971 . Social Policy Research and Analysis . American Elswier Publishing Company, New York, USA.