El-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015, 21-42
ISSN: 2086-3594
POLA PENGEMBANGAN PROGRAM SUASANA RELIGIUS MELALUI AKTUALISASI NILAI-AKTIVITAS DAN SIMBOL-SIMBOL ISLAMI DI MADRASAH Mohamad Iwan Fitriani
Abstract: Religious based education in Islamic education perspective is an educational institution which is built to actualize Islamic values. Those Islamic values are manifested in religious activities and symbols which are supported by Islamic educational system that consists of input-process-output and outcome. This study is focused on: actualization of religious based education in islamic education management through vertical obedience values (devine values: faith and piety, charity, sincere, resignation, grateful and horizontal values obedience (human values: shilaturrahim, brotherhood, barakah, togetherness, work hard, consistence and patience). Thoose both values grow and create other values (scientific, economy, art and social values). Then, those values inspire religious daily, weekly, monthly, annually and accidentally activities and religious symbols such as Mosque, Islamic decorations made from Al Qur‟an, Hadits and Islamic proverb. Islamic values, activities and symbols are essential elements of religious culture at any islamic educational institution. This study shows that islamic values need to be reelaborated to enrich islamic values implemented at madrasah run as well as possible. Key word: program, pengembangan, suasana religius, nilai-aktivitas dan simbol.
Pendahuluan alah satu hal penting dalam manajemen pendidikan Islam baik di tingkat dasar bahkan sampai perguruan tinggi adalah suasana Islami. Dalam kajian manajemen pada umumnya,
S
Penulis adalah alumnus Prorgram Doktor Manajemen Pendidikan Islam UIN Malang, email:
[email protected]
20
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
biasanya persoalan ini kurang mendapat perhatian. Padahal, manajemen program pengembangan suasana Islami merupakan bagian esensial bagi lembaga pendidikan Islam. Bagi madrasah, nilai-nilai Islami, aktivitas-aktivitas Islami serta simbol-simbol Islami harus menjadi karakteritik dalam sistem pembelajarannya untuk membedakannya dengan lembaga berbasis religius lainnya. Misalnya, dalam konteks pendidikan non-Islam, dikenal istilah pasraman yaitu satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal. Pesantian yaitu satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda. Pabbajja samanera yaitu satuan pendidikan keagamaan Budha pada jalur pendidikan nonformal. Shuyuan yaitu satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing (PP NO. 55 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 5-8). Untuk agama Kristen Protestan terdapat SDTK (Sekolah Dasar Teologi Kristen), SMPTK (Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen), SMAK (Sekolah Menengah Atas Kristen) dan SMTK (Sekolah Menengah Teologi Kristen). Jadi, madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis religius adalah lembaga pendidikan Islam yang segala proses penyelenggaraannya didasari oleh ajaran Islam. Hal ini untuk menafikan keberadaan lembaga pendidikan berbasis agama lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:111) disebutkan bahwa basis adalah asas atau dasar, berbasiskan berarti menjadikan sesuatu sebagai basis. Sedangkan religious berarti bersifat religi/ bersifat keagamaan. Dari kata “religi” dan “religius” selanjutnya muncul istilah religiusitas yang berarti pengabdian terhadap agama atau kesalehan (KBBI, 2007:944). Jika yang dimaksud basis religius itu adalah basis pendidikan yang berkaitan dengan ketaatan atau kesalehan seseorang di mana religius dipahami bukan sebatas having religion tetapi juga “being religious”, maka pendidikan berbasis religius berarti pendidikan yang menjadikan agama sebagai basis (asas atau dasar) dari penyelenggaraan pendidikan untuk mendidik siswa atau siswi yang memiliki ketaatan atau kesalehan. Dalam hal ini, basis 21
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
religius bukan hanya dalam hal nama lembaga saja tetapi juga dalam hal muatan (content) pembelajarannya serta proses ataupun tujuannya. Dengan demikian, madrasah merupakan lembaga pendidikan berbasis Islam yang memiliki karakteristik Islami (ciri khas) yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya sekaligus menjadi kelebihannya di banding sub-sistem pendidikan nasional lainnya di Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007: 215) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ciri” adalah tanda khas yang membedakan sesuatu dengan yang lain. Adapun kata “khas” berarti khusus atau istimewa, sedangkan kata “kekhasan” berarti hal (sifat) khusus yang tidak dimiliki oleh yang lain (KBBI, 2007:563). Sehingga ciri khas Islam madrasah dapat dipahami pula sebagai keunikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya di Indonesia. Dari sana dapat dipahami bahwa madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan berbasis Islam yang menjadikan ajaran Islam sebagai karakteristiknya yang membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya, baik lembaga pendidikan umum ataupun lembaga pendidikan non Islam. Bila dikaji lebih jauh, pandangan tentang madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis religius (berbasis agama Islam) ini, terdapat pemahaman yang beragam sebagai konsekwensi dari pemahaman tentang arti pendidikan Islam yaitu: (a) ada yang memandang pendidikan Islam sebagai materi PAI semata (aspek kurikulum), sehingga basis religius pendidikan Islam di madrasah adalah materi PAI. (b), adapula yang memahami pendidikan Islam dengan lembaga (institusi), sehingga basis religius pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan yang diselenggarakan di lembagalembaga pendidikan Islam baik di sekolah Islam (SDI, SMPI ataupun SMAI/SMKI). (c), adapula yang memahami pendidikan Islam dari segi penyelenggaraannya atau yang menaunginya, misalnya, antara Kementrian agama atau Kemendikbud sehingga basis religius pendidikan Islam lebih tertuju pada lembaga pendidikan di bawah Kementrian Agama. Pemahaman yang lebih 22
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
luas adalah pendidikan Islam yang mengembangkan keilmuan yang dilandasi/dijiwai oleh ajaran Islam baik ayat qauliyah dan kauniyah. Konsep Suasana Religius Kajian tentang suasana religius (agamis) tidak bisa dilepaskan dengan budaya agamis. Bahkan jarak antara suasana agamis dengan budaya agamis sangat dekat karena suasana ditentukan oleh budaya dan begitu sebaliknya. Oleh karena itu, dalam mengkaji tentang suasana agamis, di sini akan digunakan teori tentang budaya religius. Budaya (culture) merupakan pola kebiasaan yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat. Schein (2012:12) mendefinisikan budaya seperti berikut: a pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problem of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be enough to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to these problems. Berdasarkan kutipan tersebut, budaya diartikan sebagai suatu pola asumsi dasar yang dipelajari kelompok untuk digunakan memecahkan berbagai permasalahan penyesuaian ke luar kelompok dan berintegrasi ke dalam kelompok. Asumsi-asumsi tersebut diyakini sebagai sesuatu yang sah dan disampaikan kepada anggota baru sebagai sebuah cara untuk menerima, berpikir, dan merasakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah dalam kelompok. Selanjutnya, kata religious berati: bersifat religi, bersifat keagamaan, atau bersangkut paut dengan religi (KBBI, 2007:944). Menurut Asmaun Sahlan (2010:75), religious culture atau budaya beragama merupakan cara berfikir dan cara bertindak yang didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Dengan demikian, budaya religius adalah: (1), sekumpulan nilai-nilai yang diyakini dan melandasi perilaku, kebiasaan seluruh komunitas sekolah/madrasah, (2), perilaku-perilaku, pembiasaan-pembiasaan yang didasari oleh nilai-nilai yang diyakini tersebut dan (3) simbolsimbol religius hasil kreasi, inisiasi atau bahkan imaginasi positif warga madrasah.
23
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Dalam sudut pandang lain, unsur-unsur budaya organisasi berkaitan dengan: (1), pola asumsi-asumsi dasar, (2), nilai-nilai, (3), norma, dan (4), simbol-simbol yang diyakini bersama oleh anggota organisasi. Simbol-simbol budaya dapat berupa lambang-lambang yang dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat. Lambang-lambang tersebut memiliki nilai filosofi yang dianut suatu komunitas atau kelompok masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Schein sebagaimana dikutip oleh Mulyadi, keempat aspek budaya tersebut digambarkan sebagai berikut: Artifak
Struktur & Proses Dalam Organisasi
Norma
PeraturanPeraturan Dalam Organisasi
Nilai-Nilai
Keyakinan & Asumsi
Profil, Tujuan & Strategi Organisasi Keyakinan, Persepsi, fikiran & Perasaan
Gambar 7.1: Tingkatan Budaya Organisasi (Sumber: Schein dalam Mulyadi, 2009:45)
Adapun menurut Koentjaraningrat (2000: 179-202), setiap unsur budaya, terdiri dari tiga hal yaitu: (1), norma, nilai, keyakinan yang ada dalam fikiran, hati dan perasaan pemiliknya, (2), pola tingkah laku yang dapat diamati dalam kehidupan nyata, (3), hasil material dari kreasi, fikiran dan perasaan manusia. Bila dikaitkan dengan pendidikan di madrasah, maka pengembangan suasana religius berkaitan pula dengan penguatan nilai-nilai, simbol-simbol religius serta perwujudan nilai-nilai dan simbol tersebut dalam perilaku. Hal ini berarti bahwa bahwa suasana religius madrasah harus didasari oleh basic assumption yang Islami yang selanjutnya 24
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
melahirkan nilai-nilai Islami. Kemudian nilai-nilai Islami itu diupayakan menjadi tradisi yang hidup (living tradition) dalam perilaku siswa, sehingga harapan untuk mendidik generasi yang berkarakter dapat tercapai. Implementasi Pola Pengembangan Suasana Religius Manajemen pengembangan suasana religius adalah pengelolaan yang terdiri dari penentuan, perencanaan, pengorganisasian bahkan evaluasi yang dilakukan di madrasah ataupun sekolah yang terdiri dari nilai-nilai Islami, aktivitas-aktivitas Islami ataupun simbolsimbol Islami di madrasah. Adapun gambaran tentang bagaimana manajemen pengembangan suasana religius di madrasah dapat dilihat dalam gambar di bawa ini yaitu: Aktivitas Harian
Ilahiyah Aktivitas Migguan
Nilai Islami Aktivitas
SUASANA RELIGIUS
insaniyah Aktivitas Tahunan
Simbol-simbol religius
Gambar 1: Pola Dasar Manajemen Pengembangan Suasana Religius
25
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Dari gambaran tentang manajemen pengembangan suasana religius di atas, terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Manajemen pengembangan suasana religius berangkat dari identifikasi nilai-nilai islami yang akan dikembangkan 2. Nilai-nilai Islami tersebut selanjutnya diarahkan pada pengembangan aktivitas-aktivitas religius di madrasah. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa setiap aktivitas yang ada di madrasah ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini bersama 3. Aktivitas-aktivitas religius dalam tahap tertentu merupakan kegiatan yang merupakan kreasi fikiran, perasaan warga madrasah yang terwujud dalam simbol-simbol religius di madrasah 4. Point pertama, kedua dan ketiga di atas menjadikan madrasah mampu membentuk suasana religius di madrasah yaitu suasana yang kondusif bagi upaya mewujudkan tujuan madrasah yang bukan hanya berilmu tetapi juga beramal shaleh. Di balik ketiga point di atas, terdapat sumber daya penggerak yaitu Kepala Madrasah,Kyai (jika madrasah di bawah pesantren), dewan guru serta para siswa. Adapun penjelasan dari ketiga hal pencipta suasana religius (nilai-aktivitas dan simbol) tersebut akan di jelaskan secara rinci di bawah ini. Implementasi Pengembangan Suasana Religius Melalui Aktualisasi NilaiNilai Islami di Madrasah Aktualisasi nilai-nilai Islami di madrasah dapat dipahami sebagai potret ketaatan baik secara vertikal maupun horizontal. Dalam surat An-Nisa‟ ayat 59 disebutkan: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu 26
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Kemudian, pemaknaan nilai (value) cukup variatif, ada yang menggunakan bahasa yang sulit dan abstrak dan ada yang menggunakan bahasa yang biasa-biasa saja sehingga mudah dimengerti. Misalnya: (a), nilai adalah sesuatu yang bersifat ideal dan abstrak, nilai tidak dapat dilihat karena nilai adalah sebuah ketetapan hati atau keyakinan, nilai pula dipahami sebagai acuan/patokan dalam berperilaku. Patokan/acuan tersebut tidak terlihat yang terlihat adalah manifestasi dari nilai tersebut dalam perilaku kongkrit. (b), Nilai merupakan kaidah hidup sebagai internal driver dalam menuntun atau mengarahkan perilaku orang yang meyakininya. (c), nilai juga sering disebut dengan nilai profan yang lawannya adalah nilai transenden. Biasanya nilai profan (duniawi) ini dialamatkan kepada kaum sekuler yang hanya mengenal dan mengakui nilai duniawi semata, sementara nilai transenden (ukhrawi) adalah nilai yang dialamatkan kepada orang yang memiliki agama (having religion) sekaligus agamis (religious) seperti dalam ajaran Islam. (d), nilai dipandang sebagai konsep dalam arti memberi nilai atau timbangan (to value), nilai juga dipandang sebagai sebagai proses penetapan hukum atau penilaian (to evaluate) (Aly & Munzir, 2000:137) dan (e), nilai adalah harga. Sesuatu barang bernilai tinggi karena hargannya tinggi. Bernilai artinya berharga. Jelas, segala sesuatu tentu bernilai, karena segala sesuatu berharga, hanya saja ada yang harganya rendah ada yang tinggi. Sebetulnya, tidak ada sesuatu yang tidak berharga, tak kala kita mengatakan “ini tidak berharga sama sekali” sebenarnya yang kita maksud adalah harganya amat rendah (Tafsir, 2008:50). Nilai-nilai (values) merupakan sesuatu yang abstrak yang merupakan prinsip dan daya pendorong dalam hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, persoalan nilai menduduki posisi yang penting dalam kehidupan seseorang, sampai suatu tingkat di mana orang lebih siap untuk mengorbankan hidup 27
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
mereka daripada mengorbankan nilai. Jadi, walaupun nilai itu abstrak, tetapi akan terwujud secara kongkrit dalam pola pikir, sikap ataupun prilaku individu, kelompok berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya. Karena nilai merupakan kaidah hidup sebagai internal driver dalam menuntun atau mengarahkan perilaku yang meyakininya. Nilai-nilai tersebut misalnya adalah nilai keimanan, keikhlasan, keistiqomahan dan keteladanan. Dalam konteks pesantren, terdapat nilai barakah yang berupaya diperoleh melalui perilaku birrul ustadz (berbakti kepada guru), takrimul ustadz (memuliakan guru) bahkan takrimul muallif (memuliakan pengarang) dan takrimul muallaf (memuliakan isi kitab). Menurut Nurcholis Madjid (Ridwan, 2013:23), dalam ajaran Islam, ada nilai rabbaniyah dan insaniyah. Nilai rabbaniyah di antaranya adalah: iman, Islam, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakkal, syukur dan sabar. Sedangkan nilai insaniyyah adalah shilaturrahim (shilaturrahmi), persaudaraan (ukhuwwah) persamaan (al musaawat), adil („adl), baik sangka (husnu dhonni), rendah hati (tawadlu‟), tepat janji (wafa‟), lapang dada (insyirah), perwira („iffah, ta‟affuf), hemat (qawamiyyah), dermawan (munfiquun) (Madjid dalam Sidi, 2001: xv-xxi). Nilai-nilai tersebut merupakan inti (core) yang perlu diinternalisasikan dalam lembaga pendidikan Islam untuk menunjang perilaku yang Islami. Hal senada juga ditegaskan oleh Noeng Mohadjir (1987:26) bahwa di antara fungsi pendidikan adalah menjaga lestarinya nilai-nilai insani dan nilai-nilai ilahi. Nilainilai insani adalah nilai-nilai yang tumbuh atas kesepakatan manusia dan nilai-nilai ilahi adalah nilai yang dititahkan Tuhan melalui para rasul yang diwahyukan lewat kitab-kitab suci. Berkaitan nilai-nilai Islami yang bersifat insani dan ilahi, Ridwan Natsir (2005:58) menyatakan bahwa nilai ilahi mempunyai dua jalur yaitu: (a), nilai yang bersumber dari sifat-sifat Allah sebanyak 99 yang tertuang dalam al-asma‟ul husna yakni nama-nama yang indah. Nama-nama itu pada hakikatnya telah menyatu pada potensi dasar manusia yang disebut fitrah. (b), nilai yang bersumber dari hukumhukum Allah baik yang berupa qur‟aniyah maupun kauniyah. Sebaliknya, nilai-nilai insani merupakan nilai yang terpencar dari 28
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
cipta-rasa dan karsa manusia yang tumbuh untuk memenuhi kebutuhan peradaban manusia. Selanjutnya, E. Spranger juga merinci nilai-nilai menjadi enam yaitu nilai ilmiyah (manusia teori), nilai ekonomi (manusia bekerja), nilai seni (manusia yang menyukai keindahan), manusia agama (manusia yang memuja/beribadah), nilai sosial (manusia yang berkorban) dan nilai politik (manusia yang ingin memerintah (Suryabrata, 1990:105). Penjelasan keenam tipe kepribadian manusia menurut Spranger di atas adalah: a. Manusia Teori Tipe manusia ini menunjukkan manusia sebagai makhluk berfikir atau manusia ilmu. Manusia tipe ini menempatkan peranan dominan dari kegiatan berpikir sebagai dasar dalam melakukan aktivitasnya. Dalam ajaran Islam, berfikir merupakan salah satu hal yang sangat dianjurkan, bahkan ayat yang pertama kali turun menyuruh untuk berfikir (iqra‟) sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-„Alaq: ق َ َا ْق َز ْأ ثِبط ِْى َرثِّكَ انَّ ِذ٘ خَ ه Artinya: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Kata iqro‟ dalam ayat tersebut adalah fi‟il amr (perintah) yang berarti perintah membaca, menelaah, menyelidiki atau mengeksplorasi. Selanjutnya kata iqra‟ juga termasuk dalam kategori kata kerja (verb) yang memerlukan objek (transitive + objek). Tetapi dalam ayat tersebut tidak langsung disebut objeknya (maf‟ul bih). Hal ini mengindikasikan bahwa yang harus dibaca atau dikaji manusia untuk memperoleh pengetahuan adalah ayat ayat Tuhan baik yang bersifat qauliyah (al-qur‟an) maupun kauniyah (alam semesta). b. Manusia Ekonomi Manusia tipe ini mempunyai perhatian yang mengarah pada semangat untuk bekerja keras. Kerja keras mendapat
29
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
perhatian tinggi dalam ajaran Islam. Nilai ekonomi atau nilai bekerja ini dipahami dari sabda rasulullah SAW sebagai berikut: ُ َط ًِع:بل ْت ٍ ع ٍَِ ْان ًِ ْقذ َِاو ثٍ َي ْع ِذ٘ َك ِز، ٌَ ع ٍَْ خَ بنِ ِذ ثٍ َي ْعذَا،َذَٚ ِشٚ ٍع ٍَْ ثَْٕ ِر ث َ َ ق،ة َّ َّٗصه َّ ُٕل ٍْ ٌز نَُّ ِيْٛ َ آ َد َو طَ َعب ًيب ْ َُٕ خُٙ َيب أَ َك َم أَ َح ٌذ ِي ٍْ ث:َُقُٕلٚ ، ِّ َٔ َطهَّ َىْٛ ََّللاُ َعه َ َِّللا َ َرط ْ َّ ُ َ َ ْ ْ َ ِّ ْٚ َ َذٚ َأك ُم ِيٍ َع ًِ ِمٚ ِّ انظَّال ُوْٛ َّللاِ دَا ُٔ ُد َعهُّٙ ِبل َٔكبٌَ ََج َ ق،ِّ ْٚ َ َذٚ َأْ ُك َم ِيٍ َع ًِ ِمٚ ٌْ َأ Artinya: “ Dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma‟dan, dari AlMiqdam bin Ma‟di berkata: saya dengar Rasulullah SAW bersabda, tiada seorang pun yang makan makanan yang lebih baik dari pada makan yang diperoleh dari hasil dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daud AS itu pun makan dari hasil karyanya sendiri” (HR. Bukhary). Hadits di atas memotivasi manusia untuk mengaktualisasikan nilai ekonomi/nilai bekerja karena hasil kreasi sendiri adalah yang terbaik untuk menghindari ketergantungan pada orang lain (life skill). c. Manusia Estetik Manusia estetik adalah manusia yang mencintai keindahan (estetika). Nilai estetis ini akan memotivasi manusia untuk berkreasi dalam berbagai hal untuk menciptakan karya seni. Dalam sebuah Hadits, Rasulullah SAW bersabda: ْ ِّ ّ ٔطهى اَ ْن ِكجْزُ ثَطَزُ ان َحٛعٍ عجذ َّللا اثٍ يظعٕد قبل قبل رطٕل َّللا صهٗ َّللا عه ق ) حت انجًبل (رٔاِ يظهىٚ مًٛبص إٌ َّللا ج ِ ََُّٔ َغ ًْظُ ان Artinya: dari Abdullah bin Mas‟ud, Rasulullah SAW bersabda: kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. sesungguhnya Allah itu Maha indah dan mencintai keindahan (yang indah). (HR. Muslim). Dalam konteks Islam, seni (estetika) juga dibarengi dengan etika, sehingga nilai keindahan tidak boleh dilepaskan dari etika. Selain itu, nilai estetika juga berkaitan dengan nilai bekerja/nilai ekonomi, sebab nilai seni akan bisa 30
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
diaktualisasikan apabila manusia perasaannya dalam wujud karya seni.
mengunakan
fikiran,
d. Manusia Sosial Nilai sosial merefleksikan manusia sebagai makhluk yang berbakti/berkorban. Hal ini karena manusia memang diciptakan memiliki serba ketergantungan terhadap sesama. Dalam AlQur‟an, manusia disebut sebagai insan (individu) sekaligus sebagai an-naas yang menunjukkan identitasnya sebagai makhluk sosial yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilain sosial. Karena itulah manusia harus saling menyayangi antar sesama, sebagaimana dalam Hadits disebutkan: َّٗ ُْؤ ِيٍُ أَ َح ُذ ُك ْى َحتَٚ ال:بل َ َ ِّ َٔ َطهَّ َى قْٛ َصهَّٗ َّللاُ َعه َ ِّٙ ِ َّللاُ َع ُُّْ ع ٍَِ انَُّجَٙ ض ِ ض َر ٍ َََع ٍَْ أ )ٗ (رٔاِ انجخبرٖ ٔيظهى ٔأحًذ ٔانُظبئ.ِّ ُِحتُّ نَُِ ْف ِظٚ ِّ َيبْٛ ُِحتَّ ِألَ ِخٚ Artinya: Anas ra. berkata, bahwa Nabi saw. Bersabda: tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa‟i). Dalam Hadits lain disebutkan: ٍِ ِّ َٔ َطهَّ َى اَ ْن ًُ ْؤ ِيٍُ نِ ْه ًُ ْؤ ِيْٛ َصهَّٗ َّللاُ َعه َ ِبل َرطُْٕ ُل َّللا َ َ ق:بل َ َ َّللاُ َع ُُّْ قَٙ ض ِ ُيْٕ َطٗ َرْٙ ِع ٍَْ أَث )ٖ (أخزجّ انجخبر.ضُّ ثَعْضً ب ُ َْ ُش ُّذ ثَعٚ ٌب ِ َُْٛ َُك ْبنج Artinya: Diriwayatkan dari Abi Musa ra. di berkata, "Rasulullah SAW. pernah bersabda, orang mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan. (HR. Bukhari). Kedua Hadits tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial harus dikembangkan dalam pendidikan Islam, nilai-nilai sosial yang dimaksud bukan hanya yang bersifat lokal, tetapi juga
31
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
nasional bahkan internasional. Karena ajaran Islam adalah ajaran yang universal (rahmatan lil‟alamin). e. Manusia Politik Manusia politik biasanya diidentikkan dengan kekuasaan, jadi manusia politik adalah manusia yang ingin berkuasa. Dalam ajaran Islam, nilai politik ini dapat dipahami sebagai kegiatan mengelola, mengatur yang disertai pertanggung jawaban baik terhadap diri, keluarga ataupun msyarakat luas. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar sebagai berikut: ُكهُّ ُك ْى:بل َ َ ِّ َٔ َطهَّ َى قْٛ َصهَّٗ َّللاُ َعه َ ِ َّللاُ َع ًُُْٓب اَ ٌَّ َرطُْٕ ُل َّللاَٙ ض ِ ع ٍَْ َع ْج ِذَّللاِ اث ٍِْ ُع ًَ َز َر َ َّ ْ ْ َّ َ ُ اع َْٔ َُٕ َي ْظئْٕ ٌل َعُُٓ ْى ِ ُ ُز ان ِذْ٘ َعهٗ انْٛ َّتِ ِّ فَبأل ِيٛاع َٔ ُكهُّ ُك ْى َي ْظئُْٕ ٍل ع ٍَْ َرا ِع ٍ بص َر ٍ َر َ ْ ْ َ َ َ ُ ُ ْ َس ْ ْز ْ ْ ٌ َّ ت ْٔ ِجَٓب َٔ َٔنِ ِذَْب ِ ََٛ ٍخ َعهٗ ثٛتِ ِّ َْٔ َُٕ َيظئْٕ ل َعُُٓ ْى َٔان ًَ أح َرا ِعَٛاع َعهٗ اْ ِم ث ٍ َٔانز ُج ُم َر َ ْ ُّ ْ ْ ُ ُ َ ُ َ َ ُ ْ ْ ٌ َٔ اع َٔ ُكهُّ ُك ْى ر ى ك ه ك ف ال أ ّ ُ ع ل ئ ظ ي ُٕ ْ ٔ ِ ذ ٛ ط بل ي ٗ ه ع اع ر ذ ج ع ان ٔ ى ٓ ُ ع َي ْظئُْٕ ٌلَٙ ِْ َٔ ُ ُ ِّ َ َ َ ْٕ َ َ َ ِِ َ ِ َ ٍ َ ْ ٍ َ َ َ ْ ٌ ََّتِ ِّ ( ُيتَفَٛي ْظئُْٕ ٌل ع ٍَْ َرا ِع )ِّ ْٛ َق َعه Artinya: Dari Abdillah bin Umar ra. sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Kepala negara yang memimpin manusia (masyarakatnya), akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpin. Suami itu pemimpin terhadap keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Istri adalah pemimpin atas rumah tangga, suami dan anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Hamba sahaya adalah pemimpin atas harta tuannya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap harta tuannya itu. Ketahuilah, setiap kamu itu pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (Muttafaqun „Alaih). Jadi, politik tidak selamanya berarti negatif, sebab politik pada dasarnya adalah bagaimana mengelola atau mengatur disertai oleh pertanggung jawaban masing-masing. Hal ini didasari oleh Hadits 32
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
yang mengatakan bahwa relasi antara penguasa dan rakyat harus didasari oleh saling mencintai sebagaimana dalam disebutkan dalam Hadits sebagai berikut: َّ ََح َّذثََُب ُي َح ًَّ ُذ ثٍُْ ث ٍِْ ِذ ثْٚ َ ٍذ ع ٍَْ سْٛ ًَ ُحِٙبر َح َّذثََُب أَثُٕ عَب ِي ٍز ْان َعقَ ِذُّ٘ َح َّذثََُب ُي َح ًَّ ُذ ثٍُْ أَث ٍ ش َّ َّٗصه بل أَ َال أُ ْخجِ ُز ُك ْى َ َ ِّ َٔ َطهَّ َى قْٛ ََّللاُ َعه َ ِّٙ ِة ع ٍَْ انَُّج ِ ِّ ع ٍَْ ُع ًَ َز ث ٍِْ انخَ طَّبِٛأَ ْطهَ َى ع ٍَْ أَث ُ َٛثِ ِخ َ ْذ ُعٌَٕ نَ ُك ْىَٚٔ ُِحجََُّٕ ُك ْى َٔتَ ْذ ُعٌَٕ نَُٓ ْىَٚٔ ٍَ تُ ِحجََُُّٕٓ ْىَٚبرُ ُْ ْى انَّ ِذٛار ِْ ْى ِخ ِ بر أ َي َزائِ ُك ْى َٔ ِش َز ِ َ ْه َعََُُٕ ُك ْىَٚٔ ضََٕ ُك ْى َٔت َْه َعََُُُٕٓ ْى ُ ُ ْج ِغَٚٔ ضََُٕٓ ْى ُ ٍَ تُ ْج ِغَٚٔ ِش َزا ُر أُ َي َزائِ ُك ْى انَّ ِذ Artinya: Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, Abu Amir Al- Aqadi menceritakan kepada kami, Muhammad bin Abu Humaid menceritakan kepada kami, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari Umar bin Khaththab, dari Rasulullah, beliau bersabda. 'Maukah aku beritahukan pemimpin kalian yang terbaik dan pemimpin yang terburuk? Pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sedangkan, pemimpin kalian yang terburuk adalah yang kalian benci dan yang membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian". Shahih'. Ash-Shahihah. f. Manusia Religius Nilai yang paling tinggi pada manusia tipe ini adalah dedikasi tertinggi terhadap kekuatan supra di luar dirinya. Pandangan mereka bahwa dirinya hanyalah bagian kecil dari suatu totalitas yang lebih besar. Nilai religius pada dasarnya dimiliki oleh manusia karena manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan pada kebaikan serta memiliki perjanjian primordial dengan yang Maha pencipta. Tabel: 7.1: Contoh pengembangan Nilai-nilai Religius di madrasah Nilai-nilai religius Cara Mengembangkannya yangdikembang 33
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
kan Nilai barokah Nilai ibadah, Nilai ketaatan
Menuntut ilmu dengan tata cara islami Menuntut ilmu dengan niat lillahi ta‟ala Menuntut ilmu dengan tetap menjalankan perintah Allah Keteladanan Guru/asatids memberikan contoh positif kepada para santriwati Ijtihad & tawakkal Bersungguh-sungguh Dalam menuntut ilmu dan menyerahkan hasilnya pada kehendak Allah Syukur Menggunakan potensi yang Allah berikan dengan belajar/beribadah Mas‟uliyyah Selalu mempertanggung jawabkan satusnya sebagai pelajar Baik Berfikir dan Bertindak sesuai dengan ajaran agama Benar Berfikir dan bertindak menurut akal sehat Bagus Berprilaku sesuai dengan estetika islami Istiqamah Rutin dalam belajar dan beribadah Taqwa Senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya Tawadhu Selalu merendah diri dalam cara menuntut ilmu ataupun setelah berilmu Implementasi Pengembangan Suasana Religius Melalui Aktivitas-Aktivitas dan Simbol Religius Aktivitas-aktivitas religius yang dimaksud adalah kegiatankegiatan di madrasah yang diitujukan untuk mentradisikan perilaku positif (al-akhlakul karimah) siswa yang didasari oleh ajaran Islam.Aktivitas-aktivitas religius di madrasah adalah perwujudan dari keyakinan atau nilai-nilai yang diyakini di madrasah atau meminjam istilah Koentjaraningrat (2000:179-202) sebagai pola tingkah laku yang dapat diamati dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain, aktivitas religius adalah upaya untuk menerjemahkan serta mewujudkan nilai-nilai religius ke dalam 34
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
perilaku. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai program kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah kegiatan harian, kegiatan mingguan, kegiatan bulanan, kegiatan tahunan dan kegiatan aksidentil. Ketika madrasah tersebut berada di bawah pesantren, maka sering terjadi kombinasi optimalisasi kegiatankegiatan religius tersebut dengan kegiatan pesantren. Selanjutnya unsur lain selain nilai-nilai dan aktivitas tersebut adalah simbol-simbol Islami berupa aspek-aspek fisik yang ada di madrasah. Menurut Mulyadi, simbol madrasah merupakan gambaran nilai-nilai organisasi yang dilestarikan dan dipertahankan dari generasi ke generasi dan simbol madrasah mencerminkan keunikan nilai-nilai yang dihargai di madrasah (Mulyadi, 2009:viiviii). Simbol-simbol religius merupakan hasil material dari kreasi, fikiran dan perasaan manusia yang merepresentasikan dasar, proses ataupun sesuatu yang ingin dicapai. Karena itu, aspek fisik atau simbol-simbol religius di lingkungan madrasah didesain bernuansa Islami seperti dalam bentuk mushalla atau masjid di sekitar madrasah, asrama buat siswa atau santri disertai pengasuhnya. Menurut Mujamil Qomar, keberadaan masjid atau setidaknya mushalla di Madrasah bukan sekadar simbol lembaga pendidikan Islam, tetapi memang merupakan kebutuhan riil untuk beribadah ketika pegawai dan peserta didik berada di sekolah. Masjid atau mushalla juga bisa dimanfaatkan sebagai laboratorium ibadah. Lebih dari itu, masjid atau mushalla diupayakan ikut mewarnai perilaku islami warga sekolah sehari-harinya yaitu dengan mengoptimalkan kegiatan keagamaan maupun kegiatan ilmiyah yang ditempatkan di masjid atau mushalla. Pada dasarnya, yang terpenting bagi bangunan fisik bukanlah kemegahannya, tetapi optimalisasi fungsinya (Qomar, 2007:173). Jadi, perwujudan nilai bukan hanya aktivitas tetapi juga simbol, karena itulah pengembangan suasana religius berkaitan pula dengan simbol-simbol religius serta perwujudan nilai-nilai dan simbol tersebut dalam perilaku. Hal ini berarti bahwa bahwa suasana religius madrasah harus didasari oleh basic assumption yang Islami yang selanjutnya melahirkan nilai-nilai Islami. Kemudian nilai-nilai 35
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Islami itu diupayakan menjadi tradisi yang hidup (living tradition) dalam perilaku siswa, ditambah dengan simbol-simbol yang merepresentasikan identitas madrasah sehingga harapan untuk mendidik generasi yang sesuai dengan ajaran Islam dapat tercapai. Kemudian, merujuk pada pemikiran Fred Luthan dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah yang disebut dengan observed behavioral regularities. Yang dimaksud dengan observed behavioral regularities adalah budaya organisasi di sekolah yang ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah. Berkaitan dengan pembudayaan nilai-nilai religius. Muhaimin (2009) menyebutkan bahwa ada langkah-langkah yang harus terjadi secara berurutan sebagai berikut: (1) pengenalan nilainilai agama secara kognitif, (2) memahami dan menghayati nilainilai agama secara afektif, dan (3) membentuk tekad secara konatif (Muhaimin, 2011:46-47). Dari urutan langkah-langkah tersebut dapat dipahami bahwa supaya tercipta pembudayaan nilai-nilai agama di sekolah, maka warga sekolah terutama siswa harus mengetahui nilai-nilai agama yang bisa didapatkan melalui PBM di dalam kelas. Pada tingkatan selanjutnya berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya dapat menumbuhkan semangat atau sikap untuk menerapkan pengetahuan keagamaannya. Pada langkah yang terakhir, siswa dapat melaksanakan pengetahuan agamanya dengan tekad yang kuat sehingga menjadi budaya yang tidak terpisah dari kepribadiannya. Berdasarkan paparan tentang aktualisasi basis religius madrasah di atas, tampak bahwa nilai memiliki peran penting dalam menciptakan budaya atau suasana religius. Sementara suasana religius adalah salah satu karakteristik dari madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis Islam. Hal ini dipetik dari ungkapan Muhaimin yang menegaskan bahwa terdapat konsekuensi yang 36
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
harus dijalani oleh madrasah sebagai lembaga yang berbasis Islam, salah satunya suasana kehidupan madrasah yang Islami, adanya sarana ibadah, penggunaan metode atau pendekatan religius dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang memungkinkan dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak mulia, di samping memenuhi kualifikasi sebagai guru/pendidik berdasar ketentuan yang berlaku. Dalam kutipan di atas, terdapat istilah suasana religius yang menunjukkan bahwa aktualisasi pendidikan berbasis religius tidak bisa dilepaskan dengan budaya agamis. Selanjutnya, kata religiuus berarti bersifat religi, bersifat keagamaan, atau bersangkut paut dengan religi (KBBI, 2007:944). Menurut Asmaun Sahlan (2010:75), religious culture merupakan cara berfikir dan cara bertindak yang didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Dengan demikian, budaya religius adalah: (1), sekumpulan nilai-nilai agama yang diterapkan di sekolah, yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan, keseharian dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh seluruh warga sekolah, (2), perilaku-perilaku atau pembiasaanpembiasaan yang diterapkan dalam lingkungan sebagai salah satu usaha untuk menanamkan akhlak mulia pada diri anak. Tabel: 7.2. Contoh Pengembangan Aktivitas-Aktivitas Religius (Harian, Mingguan, Bulanan, Tahunan dan aksidentil) di Madrasah plus Pesantren
Jenis Aktivitas Harian
Wujud Aktivitas 1. Shalat berjamaah (subuh, ashar, magrib dan Isya, baca Al-qur`an ba`da asar dan ba`da magrib 2. Santriwati diharuskan bangun setiap pukul 4 pagi untuk membaca Al-Qur‟an dan do‟a-do‟a religius lainnya. 3. Santriwati madrasah diwajibkan berjama‟ah (kecuali yang berhalangan), 4. Santriwati mengikuti ceramah agama pesantren dari para asatidz secara bergiliran, 37
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Mingguan
Bulanan
Tahunan
38
5. Santriwati membaca do‟a sebelum dan sesudah belajar (sholawat nahdlatain), mengucapkan “ihtiraam hayyu” kepada setiap guru yang masuk di kelasnya. 1. jum`at bersih 2. latihan pidato bahasa Arab, Inggris, Indonesia dan pengajian oleh pinpinan/pendiri pondok tiap senin pagi, 3. Menghafal surat-surat pendek beserta arti dan maknanya secara bertahap 4. Menghafal mahfudzat beserta arti dan maknanya secara bertahap. 5. Pengayaan materi kepondokan seperti nahwu, shoref, durusul lughoh, faraid yang materinya disesuaikan dengan materi yang belum dipahami santri. 1. Bahtsul masa‟il (dari kitab-kitab yang dianjurkan di pesantren khususnya di bidang fiqh) 2. diskusi keislaman antar pelajar, bedah buku (mengundang pembicara dari luar pondok/madrasah 3. penerbitan majalah dinding. 4. Kegiatan bulanan dalam bentuk pengajian, bedah buku ataupun bahtsul masa‟il ini dilakukan dengan melibatkan nara sumber internal yang ahli di bidang yang akan dikaji serta mendatangkan nara sumber dari luar. 1. Kegiatan Irama (ibadah bulan ramadhan), 2. PHBI, 3. Rapat OSIS sebagai kaderisasi pemimpin, mereka secara independen menyusun rencana kerja dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya di depan semua guru dan wali murid di akhir masa jabatannya.
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
Aksidentil
1. rihlah iqtishodiyyah 2. rihlah ruhaniyyah 3. rihlah „ilmiyyah
Di samping aktivitas-aktivitas di atas, terdapat pula simbolsimbol religius Islami. Simbol-simbol religius bukanlah sesuatu yang sederhana bagi madrasah. Simbol dijadikan sebagai identitas sekaligius sebagai inspirasi dalam melaksanakan makna yang terdapat dalam simbol tersebut. Sama halnya dengan aktivitasaktivitas religius, simbol religius bersumber pada Al-Qur‟an dan Hadits, lalu diterjemahkan dalam wujud kongkret sebagai identitas sekaligus sebagai motivasi dan inspirasi bagi warga madrasah. Bahkan menurut Mujamil Qomar, keberadaan masjid atau setidaknya mushalla di Madrasah bukan sekadar simbol lembaga pendidikan Islam, tetapi memang merupakan kebutuhan riil untuk beribadah ketika pegawai dan peserta didik berada di sekolah. Masjid atau mushalla juga bisa dimanfaatkan sebagai laboratorium ibadah. Lebih dari itu, masjid atau mushalla diupayakan ikut mewarnai perilaku islami warga sekolah sehari-harinya yaitu dengan mengoptimalkan kegiatan keagamaan maupun kegiatan ilmiyah yang ditempatkan di masjid atau mushalla. Pada dasarnya, yang terpenting bagi bangunan fisik bukanlah kemegahannya, tetapi optimalisasi fungsinya (Qomar, 2007:173). Simbol-simbol religius di madrasah diharapkan berkembang menjadi simbol-simbol yang bukan hanya berkaitan dengan identitas organisasi atau lingkungan semata tetapi juga dalam wujud hasil kreasi atau fikiran warga madrasah. Hal tersebut tentu didasari oleh nilai-nilai yang dipahami yaitu nilai ajaran Islam secara luas bukan hanya nilai vertikal dan sosial secara sempit. Simbol juga merupakan bagian dari pengejewantahan nilai, karena simbol madrasah merupakan gambaran nilai-nilai organisasi yang dilestarikan dan dipertahankan dari generasi ke generasi dan simbol madrasah mencerminkan keunikan nilai-nilai yang dihargai di madrasah (Mulyadi, 2009:vii-viii). Adapun contoh simbol religius 39
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
yang dikembangkan adalah seperti terlihat dalam tabel di bawah ini yaitu: Tabel 7.3. Contoh Pengembangan Simbol-Simbol Religius
Simbol Religius Madrasah dan mushalla Dekorasi Islami
Maknanya Madrasah dan mushalla sebagai induk kegiatan ibadah sekaligus tempat belajar para santri. Madrasah yang dihiasi ala islam, ada ayat-ayat al-Qur‟an, hadits, mahfuzat serta kata bijak lainnya yang sesuai dengan ajaran islam.
Gambaran teori dan aplikasi di atas menunjukkan bahwa aktualisasi manajemen pengembangan pendidikan program religius melalui nilai-nilai Islami di madrasah ini mengembangkan teori nilai-nilai Islami yang diklasifikasi menjadi nilai rabbaniyyah dan insaniyyah oleh Nurcholis Madjid. Karena nilai rabbaniyyah dan insaniyyah yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid (2001:xv-xxi) didominasi oleh nilai-nilai ketaatan. Sehingga nilai-nilai Islami tersebut perlu dielaborasi lagi menjadi nilai-nilai seperti yang dikemukakan oleh Edward Spranger yaitu nilai ekonomi, nilai ilmiah, nilai sosial bahkan nilai politik dengan didasari oleh nilai ajaran Islam (Suryabrata, 1990:105). Selama nilai-nilai yang disebutkan oleh E. Spranger di atas dilandasi oleh ajaran Islam maka maka nilai-nilai tertsebut bisa disebut Islami yaitu: nilai ekonomi yang islami, nilai ilmiyah yang islami, nilai sosial yang islami, nilai seni yang islami dan nilai politik yang islami. Nilai-nilai Islami tersebut mendorong warga madrasah untuk berperilaku (aktivitas) atau berkreasi (terwujud dalam simbol) sehingga tercipta suasana religius di madrasah. Catatan Akhir Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah aktualisasi nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan Islam. Nilai-nilai yang abstrak tidak 40
Pola Pengembangan Program … (Mohamad Iwan Fitriani)
akan optimal tanpa aktualisasi. Dalam perspektif manajemen, aktualisasi nilai-nilai tersebut harus termanifestasi dalam pengelolaan yang Islami. Kombinasi nilai, aktivitas dan simbol akan melahirkan suasana religius. Suasana religius adalah modal dasar pembinaan manusia utuh yang tidak mengalami split personality yaitu manusia yang tidak kabura maqtan „indallaahi an taquulu ma laa taf‟alun. Bagi lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah, program pengembangan suasana religius memiliki manfaat tersendiri yaitu: 1. Nilai-nilai Islami merupakan upaya untuk mewujudkan karakterstik madrasah 2. Nilai-nilai Islami yang perlu diaktualisasikan bukan sebatas nilai tawadlu‟, qana‟ah, sabar, istiqamah tetapi juga nilai islami lainnya seperti nilai ekonomi, sosial, ilmiyah (seperti riset), seni yang islami sehingga madrasah mampu menjadi wadah berkembangnya logika, etika dan estetika yang islami secara seimbang. 3. Memberikan gambaran tentang program-program yang dikembangkan di madrasah baik bagi warga madrasah ataupun stakeholders yang pada ujungnya memberikan daya tarik bagi madrasah untuk para stakeholders sehingga minat masuk ke adrasah semakin meningkat yang pada ujungnya dapat meningkatkan reputasi madrasah. Allahu A‟ lamu Daftar pustaka Ahmad Tafsir, Pilsafat Pendidikan Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Asmaun Sahlan, Budaya Religius di Sekolah (Upaya Mengembangkan PAI dari Teori Ke Aksi), (Malang: UIN Maliki Press, 2010) Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Upaya Mengembangkan PAI dari Teori Ke Aksi), UIN Maliki Press, 2010. Departemen Agama RI, Al-Qur‟an & Terjemahannya
41
el-HiKMAH, Vol. 9, No. 1, Juni 2015
Nurkholis Madjid, “Pengantar” dalam Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma baru pendidikan, (Jakarta, Paramadina, 2001) Hadits Imam Bukhari, Muslim dan Anasaa‟I dalam Al-Maktabah Asysyamilah Hery Nur Aly & Munzir, Watak Pendidikan Islam, ( Riska Agung Insani, 2000) Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,(Jakarta: Bina Cipta, 2000) Muhaimin dalam Modul Materi Peningkatan Kualitas Guru PAI Tingkat SD, SMP, SMA/SMK, (Jakarta, Dirjen Pendis Kemenag RI, 2011) Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya, Erlangga, 2007) Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah Mengembangkan Budaya Mutu, Disertasi Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009, Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta, Rake Sarasin, 1987) Nurcholis Madjid dalam Ridwan, Pengembangan Nilai-Nilai Islami Dalam Pembelajaran PAI di SMA, (El-Hikam Press, 2013) Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta, Balai Pustaka, 2007). Ridwan Nasir, Mencari Format Pendidikan Islam ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005) Schein dalam Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah dalam Mengembangkan Budaya Mutu (Studi Multikasus di Madrasah Terpadu MAN 3 Malang, MAN Malang I dan MA Hidayatul Mubtadi‟in Kota Malang, 2009) Schein, E.H. Organizational Culture and Leadership, Sanpransisco: Jossey bass, 2012). Sumadi Suryabrata. Psikologi Kepribadian (Jakarta: Rajawali Press, 1990).
42