Jurnal TARBAWIYAH
POLA MANAJEMEN SEKOLAH DALAM PERSPEKTIF OTONOMI PENDIDIKAN Ari Wahyudi *) Abstrak Era otonomi daerah yang diiringi dengan otonomi pendidikan telah mengubah cara pandang dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Sentralisasi yang telah menjerumuskan kemandirian lembaga harus total berubah untuk menjadikan sekolah menjadi ajang untuk mengelola sumberdaya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Masyarakat dituntut partisipasinya agar mereka lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Sedangkan kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Sehingga sekolah dituntut memiliki accountability baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Kata Kunci Manajemen
Sekolah
Otonomi Pendidikan
A. Pendahuluan Konsep manajemen tradisional mengartikan fungsi manajeman masih terkesan pada strategi, struktur dan sistem. Di sisi lain proses manajemen diartikan sebagai planning, organizing, commanding, coordinating and controlling (Henry Fayol). Manajemen kontemporer (kekinian) pengertian tersebut masih kurang lengkap, terhadap fungsi manajemen menambahkan style, staff, skills, and shared goals. Sedangkan proses manajemen bisa bergeser pengertiannya menjadi consultation, communication, coordination and mediation. Pergeseran pandangan ini membutuhkan perubahan dalam sikap mental dan perilaku para manajer. Selain itu, manajer harus mampu memerankan diri sebagai fasilitator yang baik yang sangat diperlukan dalam perubahan dan pengembangan organisasi. Sistem organisasi, yang ketat dan kaku dalam hierarki, jelas tidak tepat. Yang didambakan adalah struktur organisasi yang kondusif dan terjadinya team work yang kokoh dan mampu mencerminkan adanya kerjasama kelompok. Sekolah sebagai sistem mikro dari pendidikan harus mendapat sentuhan pengelolaan yang mengarah pada pola manajemen kekinian. Konsep dasar manajemen yang harus dipahami secara sadar adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Komitmen dan keterlibatan manajemen untuk pimpinan sampai dengan bawahan. Tidak perlu ragu lagi berorientasi pada pelanggan internal dan eksternal. Proses produksi yang berkaitan dengan bisnis harus ada pengembangan, perbaikan berkelanjutan. Perlakuan terhadap pemasok harus dijadikan mitra kerja. Penetapan ukuran-ukuran kinerja untuk semua proses yang berlangsung secara terus menerus (Budiadi,1996:426).
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
14
Jurnal TARBAWIYAH
Hakikat desentralisasi pendidikan untuk meningkatkan pemerataan kesempatan, efesiensi, mutu dan relevansi pendidikan. Misalnya keinginan dari berbagai kalangan agar otoritas pendidikan di era otonomi pendidikan dilakukan oleh dewan sekolah. Otonomi pendidikan di berbagai kesempatan dapat dilaksanakan melalui diskusi, seminar, lokakarya dan sejenisnya. Kompas 20 April 2001 menjelaskan bahwa otonomi pendidikan menuntut adanya manajemen berbasis sekolah yang lebih menekankan pada pengelolaan pembelajaran aktif dan efektif serta dapat menyenangkan, menggalang partisipasi masyarakat secara aktif dalam pengambilan keputusan pendidikan di sekolah dan terciptanya transparansi terutama dalam manajemen keuangan. Tuntutan pertanggungjawaban seperti inilah yang menjadi pertanyaan besar, mampukah manajer sekolah mampu menjalan prasyarat tersebut? Sementara praktik-praktik penyimpangan manajemen keuangan telah kental menyimpang hampir diseluruh lini birokrasi kita. Dari konsep dasar manajemen ini muncul suatu problem, Pertama; bagaimana memanajemen sekolah yang baik?; Kedua; apakah kendala dan tantangan untuk melaksanakan manajemen tersebut?; Ketiga; kemampuan apakah yang harus disiapkan bagi seorang manajer sekolah? B. Manajemen Sekolah Implementasi konsep otonomi pendidikan tingkat sekolah di Indonesia dilakukan melalui School Based Manajemen (SBM). Sedangkan terminologi yang digunakan di Indonesia adalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Beberapa hal yang perlu dijelaskan berkaitan dengan MPMBS adalah sebagai berikut: 1. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, dan dalaam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumberdaya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Masyarakat dituntut partisipasinya agar mereka lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Sedangkan kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah. Sehingga sekolah dituntut memiliki accountability baik kepada masyarakat maupun pemerintah. 2. MPMBS menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para siswa. Otonomi sekolah juga berperan dalam menampung konsensus umum yang meyakini bahwa sedapat mungkin, keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi setempat, mereka yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kebijakan, dan mereka yang terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut. 3. MPMBS ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui antara lain keleluasaan mengelola sumberdaya, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sedangkan peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melelui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibelitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif/disinsentif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
15
Jurnal TARBAWIYAH
pemerintah lebih berkonsentrasi , misalnya hanya pada kelompok masyarakat “kurang mampu”. 4. MPMBS menuntut adanya perubahan-perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi dalam mengoperasikan sekolah. Perubahan mengarah pada peningkatan gesekan peranan yang bersifat profesionalisme dan manajerial (Muthohir,2001). C. Kendala dan Tantangan Melaksanakan Manajemen Sekolah 1. Kemampuan sekolah (Capacity building), untuk melaksanakan model manajemen ini karena kurangnya sumberdaya pendidikan. Keberhasilan program MPMBS amat bergantung pada faktor leadership dan ketersediaan resources yang memadai. Untuk mengatasi masalah capacity building tersebut maka diperlukan seleksi kepala sekolah secara ketat, peningkatan kemampuan manajemen kepala sekolah secara profesional, serta uji profesi dan sertifikasi kepemimpinan dan manajemen kepala sekolah secara berkala. 2. Transparansi manajemen, mengatasinya adalah suatu keharusan dan menjadi alat kontrol pertama dan utama dalam pelaksanaan MPMBS. Kepala sekolah, guru, tenaga lainnya, orang tua dan masyarakat, mempunyai akses yang sama untuk memperoleh informasi yang benar tentang pengelolaan sumberdaya pendidikan. Dengan demikian setiap unsur dapat melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan, sehingga berbagai penyimpangan dapat dicegah dan target mutu pendidikan dapat dicapai. 3. Akuntabilitas, yaitu bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan penyelenggaraan pendidikan yang telah dilaksanakan. Bentuknya laporan prestasi yang dicapai baik kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. D. Kemampuan Manajerial Sekolah Bentuk manajemen apapun yang akan diterapkan di sekolah, manajer sekolah harus memahami dan mengenal betul: Pertama Pendidikan sebagai suatu sistem, dan Kedua, mengenal betul masalah-masalah pendidikan terutama pendidikan dalam arti mikro (operasional). Adapun kemampuan seorang manajer akan handal dalam mengelola lembaga, apabila memahami betul prinsip-prinsip yang terkandung dalam pengelolaan lembaga, diantaranya: E. Memahami Konsep Pendidikan Sebagai Suatu Sistem Konsep pendidikan sebagai suatu sistem yang harus dipahami adalah unsur-unsur sebagai berikut: 1. Raw in put (masukan pendidikan) meliputi instrumental input (kurikulum, media,evaluasi, dsb) dan environmental input (ruang kelas,suasana kelas, lingkungan sekolah). P.H. Coombs (1968) mengemukakan tiga macam sumber masukan pendidikan: Informasi, bisa meliputi pengetahuan, nilainilai dan cita-cita; Tenaga, meliputi penduduk dan tenaga kerja; Barang bisa berupa sarana pendidikan dan perlengakapan. Dari ketiga sumber masukan ini oleh Coombs dijabarkan dalam 12 komponen utama sistem pendidikan, yaitu: tujuan dan prioritas, pelajar atau peserta, manajemen, struktur dan jadwal waktu, isi bahan belajar, guru dan pelaksana, alat bantu belajar, fasilitas, teknologi, pengawasan mutu , penelitian dan ongkos pendidikan.
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
16
Jurnal TARBAWIYAH
2. Process, dalam hal ini yang terpenting bagaimana manajer sekolah dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman, dan tentunya rekruitmen guru/tenaga pengajar harus handal. Sehingga dengan guru yang handal maka proses pembelajaran akan optimal (Yamamoto, 1959 dalam Usman, 2002). Proses pendidikan merupakan upaya yang mempunyai dua arah yaitu menjaga kelangsungan hidup (maintenance synergy) berupa KKG,PKG,MGMP dsb dan menghasilkan sesuatu (effective synergy) berupa tamatan. Dalam Geocities.guruvalah online diketahui ada beberapa alasan mengapa kinerja guru dalam tugasnya sebagai pendidik perlu untuk dikaji lebih lanjut: a. Guru memainkan peranan besar dalam sebuah negara. Tugas guru bukan hanya menyampaikan mata pelajaran yang sesuai dengan kurikulum, lebih dari itu juga meliputi seluruh aspek kehidupan yang lain. Kemajuan suatu negara sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini adalah bukan hanya sebagai media (perantara) dalam menyampaikan suatu kebudayaan dari generasi ke generasi melainkan pendidikan merupakan suatu proses yang diharapkan dapat mengembangkan dan mengubah suatu kehidupan berbangsa dan bernegara menuju ke arah yang lebih baik. Semakin akurat guru melaksanakan fungsinya maka semakin terjamin dan terbinanya kesiapan sebagai manusia pembangunan. b. Adanya fenomena penurunan kinerja guru, hal ini dapat terlihat dari guru yang mangkir dari tugas, guru yang hanya mengajar saja tapi fungsi mendidiknya berkurang. Fakta membuktikan bahwa akibat rendahnya gaji, 19% guru di Indonesia terpaksa mangkir mengajar untuk mengerjakan pekerjaan sambilan. Menurut Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutan pelantikan rektor Universitas Negeri Surabaya di Surabaya mengatakan:” Indonesia saat ini minus tenaga guru, yang banyak adalah tenaga pengajar. Dia bekerja per jam, dan setiap jam minta bayaran. c. Peningkatan mutu guru secara formal aspek guru mempunyai peranan penting dalam mewujudkannya, di samping aspek lainnya seperti sarana/ prasarana, kurikulum, siswa, manajemen, dan pengadaan buku. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan belajar mengajar yang memerlukan peran guru di dalamnya. Berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi belajar siswa (36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik(19%). Aspek yang berkaitan dengan guru adalah menyangkut citra/ mutu guru dan kesejahteraan. d. Otonomi daerah yang menumbuhkan kesadaran pentingnya pembangunan kualitas sumber daya manusia di masyarakat adalah menjadi tugas Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota dan Dinas Pendidikan Nasional. Dinas Pendidikan Nasional berupaya menghasilkan sumber daya manusia unggul yang dapat menjawab tantangan pembangunan, dan kualitas sumber daya manusia akan dirasakan bagi keberlangsungan pembangunan daerah. Keberhasilan otonomi daerah membutuhkan sumber daya manusia yang unggul untuk menggali dan mengembangkan potensi daerahnya. Jadi, Pemerintah Kabupaten/Kota berperan penting dalam peningkatan kualitas pendidikan. Dengan demikian, maka dapat ditegaskan bahwa profesionalisme guru merupakan prasyarat utama bagi guru untuk
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
17
Jurnal TARBAWIYAH
menjalankan profesinya sebagai guru. Secara psikologis menunjukkan bahwa guru yang profesional adalah guru yang mempunyai kinerja yang baik. Menurut Simamorang ada beberapa faktor psikologis yang dapat meningkatkan kinerja guru yaitu antara lain; persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Pada penelitian ini akan dikaji tentang faktor motivasi yakni faktor motivasi berprestasi dan faktor motivasi bekerja guru. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa guru bekerja didorong oleh motivasi, apabila tidak termotivasi maka guru tidak semangat untuk bekerja menjalankan profesinya. Motivasi menekankan pada kemampuan, pikiran dan ketrampilan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. 3. Out put (luaran pendidikan), yakni hasil yang dicapai ketika lembaga meluluskan anak didiknya. Hal ini bukan sekedar berapa banyak anak yang mendapat nilai tertinggi, namun lebih dari itu yang harus dipikirkan dan dilaksanakan bagaimana kelulusan itu dapat dimanfaatlkan oleh out comenya. Masyarakatlah yang akan menilai out put suatu lembaga. Inilah yang harus dimengerti betul oleh seorang manajer sekolah, bukan sekedar mencetak robot-robot manusia yang hanya mengenal knowledge. Bisa mengkaji pandangan Benyamin S. Bloom dkk (Usman,2002) tentang taksonomi keberhasilan pendidikan yang terdiri dari tiga domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. F. Memahami masalah pendidikan mikro Hal yang tidak boleh lepas dari potensi seorang manajer adalah kepekaan manajer untuk memahami masalah mikro pendidikan. Karena dengan memahami masalah-masalah yang kecil dalam proses pendidikan, maka atmosfir akademik di lembaga akan terjaga dengan baik. Beberapa masalah pendidikan mikro yang sering muncul adalah: 1. Pelaksanaan kegiatan belajar secara berprogram belum melembaga. 2. Cukup derasnya arus pembaharuan pendidikan masuk dalam kehidupan sekolah. 3. Kemampuan profesional guru masih kurang memadai. 4. Kekurangan prasarana dan sarana pendidikan. 5. Kurang bervariasinya penglaman belajar yang terjadi dalam kegiatan pendidikan di sekolah. 6. Pelaksanaan penilaian, belajar yang kurang terencana kontinu, dan fungsional untuk perbaikan. 7. Satuan biaya (unit cost) pendidikan yang masih belum memadai. 8. Pelaksanaan bimbingan belajar belum berjalan fungsional dan intensif. 9. Siswa kurang mempunyai kebiasaan belajar yng tepat. G. Simpulan Uraian telaah teori ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Manajeman sekolah yang baik secara nasional telah diimplementasikan melalui Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). 2. Kendala dan tantangan menjalankan manajerial sekolah selalu ada dan perlu dilakukan penyelesaian lebih lanjut. 3. Kemampuan manajerial sekolah harus didukung oleh kemampuan manajer untuk memahami dan mendalami pendidikan sebagai suatu sistem dan sadar betul terhadap permasalahan pendidikan mikro.
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
18
Jurnal TARBAWIYAH
Dari hasil simpulan ini dapat disarankan bahwa seorang manajer yang baik adalah ketika menjadikan lingkungan lebih konduksif dalam atmosfir.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Budiadi,1996. Konsep Manajemen Kekinian. Dalam Media Pendidikan edisi XVIII. Surabaya : Unipress. Coombs,P.H. 1968. The World Educational Crisis, A System Analysis. New York: Oxford University Press. Kompas, 20 April 2001. Otonomi Daerah dan Otonomi Pendidikan. Mutohir,Toho Cholik.2001. Otonomi Pendidikan Dalam Kerangka Otonomi erah. Media Pendidikan edisi 8 vol 24/2002. Surabaya: Inipress Usman, Uzer.2002. Menjadi Guru yang Profesional. Jakarta: Rajawali *)
Penulis adalah dosen
[email protected].
FIP
Program Pascasarjana STAI AL-KHOZINY
Universitas
Negeri
Surabaya,
e-mail:
19