INOVASI PENDIDIKAN DI SEKOLAH (Suatu Perspektif Manajemen Kepala Sekolah) Oleh: Drs.H. Johar Permana, M.A.
Pendahuluan
Apakah pendidikan Indonesia itu ? Apakah pendidikan milik (orang) Indonesia ? Apakah pendidikan sebagaimana ditetapkan perundangundangan ? Apakah pendidikan yang berlangsung di bumi Indonesia ? Manakah peran pendidikan dalam pembangunan kehidupan bangsa selama ini ? Bagaimanakah pendidikan selama ini dikelola ?
Siapakah (pendidiknya) dan lembaga pendidikan mana yang sebenarnya telah berperan ?
Tantangan Berat: Sistem Sosial Kita Terkoyak
Globalisasi (rasionalisme, hedonisme).
liberalisme,
sekulerisme,
kapitalisme
dan
Paradigma pendidikan sebagai paradigma pembangunan bangsa tidak terjelaskan.
Berlaku paradigma ekonomi, politik, dan keamanan.
Moralitas dikesampingkan.
Indigenous process tidak terjadi.
Harapan dan tuntutan masyarakat makin meningkat.
Pemerintahan yang multi-partai.
Era otonomi, belum membuka mekanisme partisipasi rakyat.
Revolusi teknologi informasi tidak selalu berpengaruh positif.
Liberalisasi proyek inovasi pendidikan.
Masalah Strategis Pendidikan Indonesia: Sekolah-Sekolah Oleng!
Menitikberatkan uniformitas dripada diversitas, dan standarisasi pendidikan belum disertai akses politik yang kuat, bahkan pendidikan menjadi hamba politik.
1
Relevansi pendidikan pengertiannya terbatas; juga ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di sekolah tidak cocok dengan kebutuhan pasar kerja yang dinamis, bahkan didengungkan life skills bukan menthal skills.
Mutu pendidikan lemah dan belum dibangun dengan penuh kesungguhan.
Sumber daya manusia belum memadai.
Ragu akan desentralisasi dan otonomi; dan debirokratisasi manajemen pendidikan terlalu cepat digulirkan. Anggaran dan pengelolaannya belum efektif dan efesien.
Konsep Inovasi dan Manajemen Inovasi Inovasi merupakan: proses alamiah, kesengajaan, sifatnya baru untuk praktek pendidikan yang efektif, efisien , rasional dan adil. Manajemen inovasi: menggali dan memanfaatkan semua potensi atau sumberdaya, sehingga sekolah menjadi lebih baik atau lebih inovatif. Inovasi yang dikehendaki: kesengajaan, hal baru, kualitatif, pengaturan kembali unsur-unsur pendidikan, berkaitan dengan perkembangan dan kemajuan serta target-target yang hendak dicapai. Satu snapshot: sekolah untuk anak; sebagai tempat terbaik bagi berlangsungnya proses belajar dan tempat pencapaian mutu hasil pembelajaran yang tinggi.
Dimensi – Dimensi Inovasi Pendidikan Muhtaram (1996): (1) Dimensi orang-orang: (2) Dimensi tugas-tugas: (3) Dimensi struktur: (4) Dimensi teknologi: (5) Dimensi proses:
2
Di dimensi-dimensi budaya: (1) Nilai-nilai, falsafah dan kepercayaan; (2) Konsep-konsep; (3) Tindakan, perilaku dan kebiasaan; dan (4) Artifak dan simbol-simbol.
Dimensi-dimensi inovasi di sekolah seperti: (1) Bagaimanakah agar peserta didik lebih betah belajar di sekolah, (2) Bagaimanakah agar guru-guru mempunyai semangat tinggi dalam menyediakan kemudahan-kemudahan bagi tercapainya prestasi belajar yang tinggi, (3) Bagaimanakah agar kurikulum atau isi pendidikan
ini disamping
pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku, juga berorientasi pada kelayakan perkembangan dan kebutuhan belajar peserta didik, (4) Bagaimanakah agar metode pembelajaraan senantiasa dapat diselenggarakan secara bervariasi dan melibatkan peserta didik untuk belajar dalam kelompok secara fleksibel, (5) Bagaimanakah penyediaan berbagai fasilitas dan multi media pendidikan yang lebih lengkap dan sesuai dengan ketentuan belajar, (6) Bagaimanakah
agar penggunaan
evaluasi
pendidikan lebih
autentik, lebih berorientasi pada kepentingan peserta didik untuk bertanggungjawab atas pengalaman dan hasil belajarnya; tidak sekedar memenuhi tuntutan administratif,
3
(7) Bagaimanakah
agar
berorientasi pada
semua
personil
sekolah
lebih
mampu
penyediaan berbagai pelayanan yang lebih
bermutu; bagaimana agar kesejahteraan semakin meningkat, (8) Bagaimanakah agar orang tua dan masyarakat sekitar
belajar
memahami dan sekaligus dapat mendukung berbagai pelaksanaan program pendidikan di sekolah, dan (9) Bagaimanakah agar birokrasi atau segala ketentuan yang ada sebenarnya bersifat mendukung dan terbuka atas suatu inovasi atau Inovasi itu sendiri.
Strategi, Tahapan dan Teknik Pengendalian Inovasi Chin (1963) tiga strategi untuk mengendalikan inovasi, yaitu: (1) Inovasi yang disarankan atas alasan yang nyata-nyata rasional dan kegunaannya dari inovasi itu, (2) Inovasi karena norma-norma yang ada dan sikap personil yang mendukung atas inovasi tersebut, dan (3) Inovasi
karena
birokrasi
atau
kekuasaan
yang
menuntut
kesukarelaan.
Rogers (1962) menunjukan tahapan: (1) Penyadaran (2) Pembangkitan minat (3) Penilaian atau pertimbangan, (4) Percobaan atau pelaksanaan, dan (5) Pengadopsian.
4
Chesler (1969) lima tahapan untuk mengendaliakan inovasi: (1) Pengidentifikasian tujuan-tujuan, (2) Penganalisaan atas situasi yang terjadi, (3) Pengembangan suatu rencana, (4) Pemanfaatan balikan dan evaluasi, dan (5) Pengulangan tahapan pelaksanaan suatu inovasi untuk menentukan tujuan-tujuan dan usaha perbaikan berikutnya.
Katz dan Kahn (1966) tujuh teknik mengorganisasikan suatu inovasi: (1) Pemberian informasi, (2) Penyuluhan dan terapi individual, (3) Pemanfaatan pengaruh teman sejawat, (4) Pelatihan kepekaan, (5) Terapi kelompok, (6) Balikan suatu survey, dan (7) Inovasi yang diarahkan secara sistematis.
Kesiapan KS Sebagai Pelaku Inovasi Era `kekepala-sekolahan` Pemimpin, inovator bahkan entrepreuneur.
5
1. Unsur Kesiapan Untuk Manajemen Inovasi Kenneth A. Tyee, dari Carmen M. Culver dan Gary J. Hoban (1973): a. Percaya, ia memiliki kemauan dan potensi untuk melakukan inovasi, b. Sanggup menciptakan iklim sekolah yang kondusif atas inovasi-inovasi yang dilakukan, c. Mengembangkan struktur dan pola komunikasi dengan semua pihak yang berkpentingan dengan pendidikan di sekolahnya, d. Mengendalikan konflik yang muncul di sekolahnya, e. Memerankan diri sebagai decision maker yang andal, dan f. Mengimplementasikan pemecahan masalah dan merumuskannya dalam program-program yang bervariasi dan realistik sesuai dengan tahapantahapan inovasi yang dibutuhkan.
2. Profil Kesiapan Kepala Sekolah Muhtaram (1996) dari Everett M, Rogers (1965): a. Inovatorsi Venturesome Katagori ini memperlihatkan anggota staf atau kepala sekolah yang memiliki karakter senang berpetualang yakni berhasrat besar untuk mencoba ide-ide baru. Kenyataan ini sering memperlihatkan suatu prilaku yang gesit, membuat tantangan dan berisiko tinggi atau kadang mengandung suatu bahaya. Seorang kepala sekolah yang memiliki profil inovator ini sering memanfaatkan pihak luar lingkungan sekolahnya untuk keberhasilan pendidikan. Ia berjiwa Mereka berperan sebagai a get keeper dalam arus ide-ide baru ke dalam sistem sekolahnya.
6
b. Early Manajority: Delibrete Kelompok ini memperlihatkan bahwa kepala sekolah demikian suka menerima gagasan-gagasan baru, sebelum kebanyakan yang lain menerima gagasan tersebut. Kendatipun demikian mereka ini suka berhubungan dengan anggota kelompok lainnya, tetapi jarang menunjukan posisi kepemimpinan. Mereka sering merundingkan dahulu gagasan itu bersama yang lainnya sebelum menerima sepenuhnya. c. Late Majority; Skeptical Menurut katagori ini kepala sekolah baru bisa menerima gagasan baru atau merasa aman manakala kebanyakan orang lebih menerimanya. Pada dasarnya mereka ini terhadap gagasan baru tersebut dan karenanya menunggu tekanan kelompok memberikan motivasi atasannya. d. Lagards: Tradisional Dalam katagori ini, kepala sekolah menjadi pihak yang terakhir dalam menerima gagasan baru. Mereka nampak terasing dari kegiatan kelompok kerja dalam menyambut gagasan-gagasan baru. Mereka lebih senang untuk berhubungan dengan kelompok yang berpandangan kolot. Sering pula mereka menerima gagasan baru lainnya sudah datang di depannya. Mereka benar-benar ketinggalan dalam arus gagasan baru kedalam sistem sekolahnya. Beberapa Disposisi Rogers (1962): (1) Keuntungan yang mungkin diperoleh, (2) Kesesuaian, (3) Tingkat kerumitan, (4) Pembagian tugas, dan (5) Pengkomunikasian. Carlson (1965): “Synergetics” sebagai interakti kooperatif. Howes (1967): Laboratorium pendidikan. Bennis (1968): Demokratisasi. Charters (1973): “Grass-root” Holmes Group’s (1986): “Professional Development Schools”
7