POLA KEPEMIMPINAN KIAI DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN DI PONDOK PESANTREN Sulaiman1
Absraks Kemampuan kiai di dalam memimpin sebuah pondok pesantren, mempengaruhi santri dan juga masyarakat sekitar seringkali diidentikan karena kemampuan pola kepemimpinan kiai yang bergaya karismatik. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa pola kepemimpinan karismatik kiai ini adalah merupakan bawaan atau bakat dari kiai tersebut, namun ada juga yang mengatakan bahwa gaya kepemimpinan karismatik tersebut adalah hasil didikan dari kiai-kiai sebelumnya. Walaupun gaya kepemimpinan karismatik cenderung otoriter, namun masih banyak digunakan terutama pada pesantren salaf. Kata Kunci: Kepemimpinan Kiai, Mengembangkan Pendidikan, Pesantren
Pendahuluan Kepemimpinan Kiai merupakan tokoh sentral yang berada di pondok pesantren dan mempunyai ciri khas yang tersendiri di bandingkan dengan tokoh pendidikan yang lainnya. Dalam mengembangka podok pesantren, tentunya kiai mempunyai strategi yang disesuaikan dengan kapasitas dirinya. Seperti halnya pengembangan, strategi pengkatan SDM dan strategi kemandirian santri. Kiai sebagai tokoh sentral dalam tatah kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin Kepemimpinan pesantren biasanya berpusat pada seorang Kiai, hal ini biasanya kiai adalah pemilik, pengelola dan sekagus pengajar di pesantren yang dia pimpin. Namun begitu dalam hal kepemimpinan ini, setidaknya ada tiga model tipe kepemimpinan pesantren. Sebagai berikut adalah pertama kemimipinan Kiai kharismatik ke rasional, kedua otoriterpaternalistik ke diplomatik, dan ketiga dari laissez fairIe kebirokratik.2 Kepemimpinan kharismatik ke rasional dalalah model kepemimpinan pesantren atau Kiai nenempatkan Kiai adalah pusat segala-galanya, begitu pun Kiai dilihat memiliki pengetahuan yang dalam sehingga memiliki kekuasaan. Kepemimpinan otoriter-paternalistik ke diplomatik adalah model kepemimpinan dimana pengaruh Kiai sangat kuat, sehingga santri tidak memiliki arti dibawah kekuasaan Kiai dalam pengambilan keputusan di pesantren. Kiai di anggap seorang bapak dengan segala aturan dan perintahnya mesti dikerjakan. Namun demikian ada kepemimpinan Kiai yang 1 2
Adalah Dosen tetap di STAIFAS Kencong Jember. Email:
[email protected] Zuli Qodir, Ada Apa Dengan Pesantren Ngruki, (Bantul: Podok Edukasi, 2003), 16.
1
bersifat memberikan kesempatan secara aktif pada santrinya dalam mengambil sebuah keputusan, sekalipun tidak mutlak. Model ini sering dikenal dengan model kepemimpinan diplomatik.3 Kepemimpinan laissez faire ke birokratik adalah kepemimpinan Kiai yang membagi wewenang kerja secara proposional, jelas dan membebaskan para pemimpin unit untuk mengabil inisiatif demi kemajuan pesantren. Pembagian wewenang sangat formal dan kentara.4 Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki poternsi yang cukup besar untuk pemberdayaan masyarakat sekitarnya, termasuk upaya transformasi sosial yang akan dilakukan oleh lembaga ini. Karena umumnya pesantren terutama pesantren syalaf didirikan secara bergotong royong oleh masyarakat, yang dipimpin oleh seorang kiai, sehingga ia menyatu dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan figur seorang kiai juga menjadi pondok pesantern menjadi bagian denyot nadi kehidupan masyarkat, karena kiai adalah tokoh panutan, “tempat bertanya” bahkan “tempat mengadu” bagi hampir persoalan-persoalan masyarakat, mulai persoalan yang bersifat akhirat, pribadi sampai persoalan-persoalan sosial politik kemasyarakatan. Di beberapa daerah seseorang yang hendak menikahkan atau mengkhitankan anaknya, merasa kurang yakin dan kurang afdhal kalau tidak meminta pendapat Kiai, begitu juga dalam masalah-masalah lainnya.5 Kepemimpinan Kiai yang dipengaruhi oleh nuansa karismatik dan dinilai oleh sebagian ahli bersifat feodal-keraton seringkali menimbulkan padangan negative terhadap pola pendidikan di pesantren. Karena dianggap pola seperti ini akan menghambat laju perkembangan pesantren ke arah yang lebih modern. Sehingga banyak orang yang enggan memasukkan anaknya kepesantren (utamanya pesantren salaf) karena takut pola fikir anaknya akan terkungkung oleh didikan dan pemikiran dari kiainya. Selain dapat menghambat laju perkembangan pesantren ke arah yang lebih modern, kepatuhan “mutlak” santri dan masyarakat terhadap Kiai dapat mengakibatkan pengkultusan terhadap pribadi Kiai. Kepatuhan mutlak santri terhadap kiai hendaknya menunjukkan kepada pengakuan bahwa betapa tingginya derajat, harkat dan martabat semua manusia. Artinya, walaupun secara hirarkis-sosial santri mesti patuh kepada Kiai, namun esensi manusiawinya tetap berada pada persamaan derajat. Ketentuan ini terutama wajib dipahami oleh kiai. Jika tidak kepatuhan santri terhadap kiai hanya akan memberi peluang pada terjadinya dominasi individual.
3
Qodir, Ada Apa Dengan Pesantren.. 16 Qodir, Ada Apa Dengan Pesantren..17. 5 Mu’awanah, Manajemen Pesantren Mahasiswa, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), 29. 4
2
Sedangkan dominasi santri sebagai makhluk social terabaikan.Di pesantren ada nuansa cultural, akhlak, ilmu, karomah, integritas keimanan dan sebagainya. Dalam hal ini perlu kiranya pola kepemimpinan
Kiai dalam mengembangkan
pondok pesantren untuk ditingkatkan dan di fokuskan guna membentuk tatanan masyarakat atau sosial yang mapan, dinamis dan memberikan manfaat bagi bangsa dan negara dan lebih berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin yang memiliki arti mengetuai atau mengepalai rapat, perserikatan, pengarahan. Kata pemimpin memiliki arti yang sama dengan kata bimbing dan tntun; yang sama-sama meliki arti mengarahkan atau memberi petunjuk. Kepemimpinan erat kaitannya dengan keterampilan atau seni mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu atau seni mempengaruhi dan menggerakkan orang untuk bekerja secara terkoordonasi, dimana setiap orang tergerak mengerjakan pekerjaannya serta menyelesaikan tugasnya dengan baik berdasarkan program yang telah dicanangkan dalam kinerja keorganisasian secara menyeluruh.6 Pertanyaan mendasar tentang kepemimpinan dapat diajuakan seperti; apakah kepemimpinan itu dan apa pula pekerjaan seorang pemimpin. Untuk pemimpin yang efetif tidak cukup hanya apa yang dikerjakan oleh pemimpin, tetapi sesama pentingnya ialah menanyakan bagaimana ia berbuat dalam memimpin. Pemimpin melaksanakan tugasnya dalam situasu ditengah-tengah manusia. Hal ini mengandung aspek kejiwaan dalam peran pemimpin. Apakah bahannya tunduk padanya dengan fasif atau aktif bekerja sama. Disini aspek kejiwaan antara pemimpin dan bawahan.7 R. Kreitner dalam Zaini Muctarom, misalnya memberikan devinisi kepemimpinan (leadership) ialah proses mempengaruhi orang, dimana pemimpin mengusahakan keikutsertaan bawahan yang dengan hastrat dan kemauan sendiri berusaha untuk mencapai tujuan organisasi.8 Menurut Nur Syam pemimpin adalah “seseorang atau induvidu yang diberi status bersandarkan pemilihan, keturunan atau cara-cara lain, sehingga memiliki otoras kewenangan untuk melakukan serangkaian tindakan dalam mengatur, mengelola, dan mengarahkan sekumpulan orang melalui institusi atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu”.Dalam konteks ini, berarti bahwa pemimpin itu dilahirkan karena kebutuhan dalam suatu institusi
6
M. Walid, Napak Tilas Kepemimpinan KH.Ach. Muzakky Syah, (Yogyakarta: Absolute Media, 2010), 11. H. Zaini Muchtarom, Dasar-Dasr Manajemen Dakwa, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996), 74. 8 Muchtarom, Dasar-Dasr Manajemen 75 7
3
atau organisasi tertentu. Sedangkan kepemimpinan merupakan aspek dinamis dari pemimpin, yaitu mengacu pada tindakan-tindakan atau prilaku yang ditampilkan dalam melakukan serangkaian pengelolaan, danpengarahan untuk mencapai tujuan.9 Definisi sederhana bahwa pemimpin adalah kemampuan memperoleh konsensus kaitan pada sasaran bersama, melalui syarat-syarat organisasi, yang dicapai dengan pengalaman, sumbangan, dan keputusan dipihak kelompok kerja. Istilah dalam memperoleh dalam definisi tersebut dimaksudkan Cribin sebagai proses pengaruh yang memungkinkan pemimpin membuat orang-orang (bawahannya) bersedia mengerjakan apa yang harus dikerjakan, serta mengerjakannya dengan baik. Namun demikian proses mempengaruhi tersebut jarang berlangsung sepihak. Sesungguhnya dalam prosesnya akan terjadi saling pengaruh mempengaruhi dalam rangka berubahan perilaku antara pemimpin dan yang dipimpinnya. Dengan dem,ikian makna dari konsensis dan keterikatan tersebut tiada lain merupakan kesamaan makna dalam melakukan tugas pekerjaan masing-masing guna membentuk suatu teamwerk dalam pencapaian suatu organisasi suatu lembaganya. Sedangkan sasaran bersama definisi tersebut dimaksudkan sebagai caru untuk membedakan kepemimpinan dari manipolasi. Dalam hal ini tujuan pemimpin dengan tujuan bahannya tidak usah sama, dan jarang bisa sama.10 Teori kepemimpinannya di dasarkan pada sikap kelebihan dari seorang pemimpin dibanding bawahannya. Dalam hal ini tiga hal yang membedakan seorang pemimpin dari mereka yang dipimpinnya, yaitu: (1) kelebihan dalam penggunaan pikiran dan rasio, (2) kelebihan dalam ruhaniah, dan (3) kelebihan dalam badaniah. bahwa pemimpin selalu memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang hakikat tujuan organisasi yang di pimpinnya, tentang keluhuran azas-azas yang mendasari organisasi dimana ia berkiprah, dan tentang tata cara untuk memutarkan roda organisasi secara efisien, aitu segala cara sedemikian rupasdehingga terdapa tercapai hasil yang maksimal dengan jerih payah yang minimal. Syarat-Syarat Pemimpin Syarat-syarat seorang pemimpin dari beberapa sifat yang harus dimiliki kemampuan sifat, dari sisi lain Sheil Murray Bthel melihat adanya beberapa karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu:
11
(a) mempunyai misi penting. Seperti hal nya Nabi Muhammad
SAW memiliki misi besar dan penting, yaitu menyebarkan agama Islam agar menjadi 9
A. Halim, Rr. Suhartini, dkk, Manajemen Pesantren, (yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2005), 77. Kustadi Suhandang, Manajemen Pers Dakwa Dari Perencanaan Hingga Pengawasan, (Bandung: Pemerbit Marja, 2007), 79-80. 11 Suhandang, Manajemen Pers Dakwa,.. 82-83. 10
4
Rahmatan lil alamin (rahamat bagi semua umat semesta alam ini). (b) Pemikir besar. Pemimpin adalah publik pemikiran. Dari dialah muncul ide-ide untuk mewujudkan tujuan yang besar pula. (c) Mempunyai etika tinggi. Etika merupakan serangkaian prinsip dasar yang diterapkan dalam hidup dan usaha. Di dalamnya termasuk moral, intgritas, kejujuran, nilai-nilai, kepercayaan, tugas, kebijaksanaan, loyalitas, kehormatan, kebaikan, kesetiaan, dan hati nurani. (d) Menguasai perubahan. Pemimpin menciptakan keadaan yang lebih baik. (e) Peka terhadap situasi di sekitarnya. Pengambilan keputusan selalu dilandaskan pada keadaan disekitar wilayah kerjanya. (f) Berani mengambil risiko. Dalam setiap pengambilan keputusan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Seorang pemimpin harus mampu dan mengambil dan menerima risiko yang akan timbul atas setiap pengambilan keputusan. (g) Tegas dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin mampu mengambil keputusan yang tegas atas pertimbangannya yang matang. (h) Menggunakan kekuasaan secara bijaksana. Kekuasaan seorang pemimpin bukan digunakan hanya untuk kepuasan kebutuhan pribadi. Bagi seorang pemimpin kekuasaan merupakan sarana untuk mencapai tujuan bersama yang bisa mewujudkan kesejahteraan semua pihak. (i) Berkomonikasi secara efektif. Komonikasi adalah kunci terjalinnya kerja sama yang baik, karena itu seorang pemimpin tidak akan berarti apabila tidak mampu berkomonikasi yang tepat guna. (j) Pembangun suatu tim. Pemimpin yang baik mampu membangun tim yang solid. Di dalam tim terdapat beragam pemikiran dan karakter, maka pemimpin dituntut untuk mampu memadukan dan menyatukan pemikiran-pemikiran serta karakter-karakter tersebut. (k) Pemberani, pemimpin yang baik adalah berani menghadapi segala tantangan. (i) Memiliki kometmen, bebagai rencana dan keputusan tidak akan berarti jika pemegang kekuasaan (pemimpin) tidak memiliki kometmen (tanggung jawab) Pengertian Kiai Kata kiai merupakan kata yang sudah cukup akrab di dalam masyarakat Indonesia. Kiai adalah sebutan bagi alim ulama‘ Islam. Kata ini merujuk kepada figur tertentu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai dalam ilmu-ilmu agama Islam karena kemampuannya yang tidak diragukan lagi, dalam struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, figur kiai memperoleh pengakuan akan posisi pentingnya di masyarakat. Menurut Dhofier Perkataan “kiai” dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga gelar yang berbeda, diantaranya: pertama, Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, umpamanya, “Kiai garuda kencana’’ dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di Yogyakarta; kedua, Gelar kehormatan bagi orang-oarang tua pada umumnya. Ketiga, Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki kelimuan 5
agama yang cukup matang, atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik pada santrinya.12 Namun dalam perkembangannya sebutan kiai juga diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kelebihan atau keahlian dibidang ilmu Agama Islam, ataupun tokoh masyarakat walaupun tidak meminpin atau memiliki serta memberikan pelajaran di pondok pesantren. Menurut Mastuhu yang dimaksud dengan kiai adalah kiai pengasuh pondok pesantren yang menjaga nilai-nilai agama sebagaimana unsur-unsur sebelumnya (pondok pesantren). Sedangkan Ustadz adalah santri kiai yang dipercaya untuk mengajar agama kepada para santri dan disupervisi oleh kiai.13 Starategi Kepemimpinan Kiai 1) Perencanaan SDM Pesantren Perencanaan merupakan inti dari manajemen karena semua kegiatan organisasi pondok pentren didasarkan atas rencana itu. Dengan perencanaan akan memungkinkan para pengambil keputusan untuk menggunakan SDM mereka secara efesien dan efektif. Perncanaan SDM merpakan inti dari manajemen, karena dengan perencanaan maka kegiatan sleksi, pelatihan-pengembangan, serta kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan SDM bisa lebih terarah.14 2) Pengurganisasian pesantren Seseorang atau kelompok mebentuk atau memasuki sesuatu kelopok kerjasama tida lain karena suatu tujuan atau paling tidak paling tidak dengan membentuk atau kerjasama, tujuan yang ingin dicapai pemenuhan kebutuhannya (baik kebutuhan jasmani maupun rohani, material ataupun spiritual, fisiologis, dan psikologis) akan terwujud suatu tingkat kepuasan tertentu.15 Oleh karena itu , ada kecenderung bahwa setiap orang yang berpengaruh, dipengaruhi, bahkan juga mempengaruhi kelopok-kelompok kerjasama. Disinilah seharusnya para pengasuh/pipinan pesantren melalui pengaruhnya yang cukup besar dilingkungan intern maupun eekstern menglola kerjasama dala rangka pengembangan SDM pesantren, sebab mereka menempati kedudukan penting dala kehidupan pesantren.
12
. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), 55 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesatren; Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Seri Inis xx, 1994), 126. 14 Shonhajdi Soleh, Manajemen pesatren, 8. 15 H. A. Anshori, Manajemen Pesantren, 55-56. 13
6
Yang perlu dicermati bahwa munculnya kelompok kerjasama atu organisasi, adalah karena setiap orang yang jadi anggotanya merasa tingkat roduktifitas, kepuasan kerja, dan kemajuan lebih tinggi, Bahkan kebutuhannya relative terpenuhi jika melakukan kerjasama dibandingkan dengan berusaha sendiri.16 3) Pengelolaan pesantren Masa depan pesantren sangat ditentukan oleh faktor manajerial. Pesantren kecil akan berkembang secara signifikan manakala dikelola secara professional. Dengan pengelolaan yang sama, pesantren yang sudah besar akan bertambah besar lagi sebaliknya, pesantren yang telah maju akan mengalami kemunduran manakala manajemennya tidak terurus dengan baik. Sementara itu, jika mengabaikan manajemen, pesantren yang kecil akan gulung tikar dalam menghadapi hari-harinya tantangan multidemensi.17 Tampaknya, manajemen pesantren harus mencakup berbagai komponen yang segera mendapat penanganan karena telah lama menjadi problem yang terabaikan secara anajerial. Farhan dan syarfuddin memberikan alternatif solusi,
bahwa untuk menata
manajemen pesantren agar lebih maju, banyak hal yang harus dibenahi dengan cara: (a) pengadopsi manajemen modern; (b) membuat wira usaha; (c) melakukan pelatihan kewira usahaan; dan (d) membuat network ekonomi. Namun demikian, berbagai alternatif tersebut lebih menekankan pada pemberdayaan ekonomi dari pada pemberdayaan intelektual, sosial, kultural, dan struktur, mesalnya. Padahal, yang dibutuhkan adalah adanya pemberdayaan secara relatif menyeluruh terhadap komponen-komponen pendidikan pesantren sehingga terdapat keseimbangan.18 Oleh karena itu, dibutuhkan solusi-solusi yang lebih komferhensif dan menyebar ke berbagai komponen pendidikan pesantren. Kemudian, diikuti langkah-langkah praktis agar segera dilaksanakan leh semua ihak yang terkait langsung dengan penataan pesantren. Solusi beserta langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:19 Pertama, manajemen secara professional. Hal ini dapat ditempu melalui langkahlangkah berikut ini: (a) Menguasai ilmu tentang praktik tentang pengelolaan pesantren, (b) Menerapkan fungsi-fungsi manajemen, mulai dari perencanaan, pengurganisasian, penggerakan, dan pengawasan. (c) Mapu menunjukkan skill yang dibutuhkan pesantren. (d) Memiliki pendidikan, pelatihan, atau pengalaman yang memadai tentang pengelolaan. (e) Memiliki kewajiban moral untuk memajukan pesantren. (f) Memiliki komitmen yang 16 17 18 19
Lihat H. A. Anshori dalam Halim, Manajemen Pesantren, 56. Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: Erlangga, 2007), 69. Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, 75 Lihat Mujammil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, 75-76-77-78-79.
7
tinggi terhadap kemajuan pesantren. (g) Meiliki kejujuran dan disiplin tinggi, (h) Apu meberi teladan dala perkataan dan perbuatan kepada bawahan. Kedua, menerapkan kepenimpnan yang kolektif. Strategi ini dapat diwujudkan melalui langkah-langkah berikut: (a) Mendirikan yayasan, (b) Mengadakan pembagian wewenang scara jelas, (c) Meberikan tanggung jawab kepada masing-masing pegawai. (d) Menjalankan roda organisasi bersama-sama sesuia dengan kewenangan masing-asing pihak secara proaktif. (e) Menanggung resiko bersama. Ketiga, menerapkan demokratisasi kepemimpinan. Strategi ini dapat ditepuh melalui langkah-langkah berikut: (a) Mengurangi dominasi Kiai dala menentukan kebijakan. (b) Menekankan partisipasi masyarakat pesantren dalam menentukan pilihannya sendiri. (c) Keputusan-keputusan yang diambil Kiai mempertimbangkan usahausah dari bawah. (d) Memberikan kebebasan kepada bawahan untuk memilih pemimpin unit-unit kelembagaan secara terbuka dan mandiri. Keempat, menerapkan manajemen struktur. Strategi ini dapat dilalui dengan langkah-langkah berikut: (a) Menyusun struktur organisasi secara lengkap. (b) Menyusun deskripsi pekerjaan (job description). (c) Menjelaskan hubungan antar pegawai dan pimpinan, baik secara vertikal maupun horizontal (bertanggung jawab pada siapa, bermetra kerja dengan siapa, dan memiliki kewenangan pemerintah siapa). (d) Menanamkan komitmen tugas masing-masing pegawai. (e) Menjaga kode etik kewenangan masing-masing pegawai. Kelima, menekan sikap sosio-egalitarianesme. Strategi ini dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut: (a) Menggusur sikap feodalisme yang berkedok agama. (b) Memandang semua orang memiliki derajad dan martabat sosial yang sama sesuai dengan amanat al-Qur’an surat al-Hujurat: 13. (c) Menghapus diskriminasi dikalangan santri antara kelompok putra-putra Kiai dengan santri biasa. (d) Menghapus sikap pengkultuskan para Kiai. (e) Menghapus penghormatan yang berlebihan kepada Kiai. (f) Menghapus sikap mengistimewakan seseorang atau kelompok tententu. (g) Membebaskan para santri dari perasaan “hamba” atau “mayit” di hadapan Kiai sehingga mereka dapat menjadi santri yang sopan tetapi penuh inisiatif. Keenam, menghadirkan pemahaman yang mensucikan pemikiran agama (taqdis afkar al-dini). Strategi ini dapat ditempu dengan langkah-langkah berikut: (a) Membiasakan telaah terhadap isi kandungan sesuatu kitab. (b) Membiasakan pendekatan perbandingan pemikiran para ulama (muqaranah afkar al-ulama’) dalam proses pebelajaran. (c) Mebiasakan kritik konstruktif dalam proses pebelajaran. (d) Menanamkan 8
kesadaran bahwa pemikiran para penulis kitab sangat dipengaruhi leh situasi dan ndisi yang terjadi pada saat penulisan kitab itu. (e) Menanakan kesadaran bahwa betapapun hebatnya seorang penulis kitab, dia pasti memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Ketujuh, memperkuat epistemologi dan metodogi. Strategi ini dapat dirinci melalui langkah-langkah berikut: (a) Menyajikan pelajaran teori pengetahuan. (b) Motivasi santri seneor untuk mengembangkan pengetahuan. (c) Meperkuat ilmu-ilmu wawasan, seperti sejarah, filsafat, mantiq, perbandingan madzhab (muqaranah al-madzahib), perbandingan agama (muqaranah al-adyan), ilmu-ilmu al-Qur’an (ulumul al-qur’an), dan ilmu-ilmu hadits (ulum al-hadits). (d) Memperkuta ilmu-ilmu pendekatan atau metode (manhaji), seperti ushul fiqh (epistemlogi huu Islam) dan alkawa’id al-fiqhiyah (kaidah-kaidah ilmu fikih). (e) Mengajarkan metodologi penelitian. (f) Pengajarkan metodologi penulisan karya ilmiah. (g) Mengajarkan metode berpikir ilmiah. (h) Meberikan tugas-tugas penulisan karya ilmiah. (i) Mendorong keberanian santri-santri senior untuk menulis buku-buku ilmiah. (j) Mendorong keberanian para santri senior untuk menerjemahkan kitab-kitab berbahasa arab ke dalam bahasa Indonesia. Kedelapan, mengadakan pebaharuan secara kesinabungan. Strategi ini dapat diaplikasikan melalui langkah-langkah berikut: (a) Mengadakan pembaharuan dan atau penambahan institusi. (b) Mengadakan pembaharuan system pndidikan. (c) Mengadakan pembaruan system pembelajaran. (d) Mengadakan pembaruan kurikulum. (e) Mengadakan pembaruan strategi, pendekatan, dan metode pembelajaran. (f) Memperkuat SDM para ustadz, pengurus, pepustakaan, dan laboratorium. Kesembilan, mengembangkan sentra-sentra perekonomian. Strategi ini dapat diaplikasikan melalui langkah-langkah berikut: (a) Mendirikan toko-toko yang menyediakan kebutuhan para santri. (b) Mengelola konsumsi para santri. (c) Mendirikan koperasi. (d) Mendirikan pusat-pusat pelayanan publik yang berorientasi pada keuntungan finansial. (e) Membuat kerja sama dengan pihak lain yang saling menguntungkan. (f) Mendirikan usaha-usaha produktif lainnya. 4) Evaluasi pendidikan dan pelatihan di Pesantren Pendidikan dan pelatihan apapun bentuk dan tingkatannya, pada akhirnya menju pada suatu perubahan perilaku individu, kelompok atau masyarakat. Perubahan mencakup perubahan atau peningkatn kemampuan ditiga bidang (dominan), kognitif, afektif, dan tau psikomotorik. Seberapa jauh perubahan atau peningkatan itu terjadi diperlukan suatu mekanisme itu menggunakan sistem atau alat pengukur, yang sering disebut tes, evaluasi, dan pengukur. 9
Gaya Kepemimipinan Kiai Gaya kepemimpinan dapat di artikan sebagai arah kebutuhan individu yang mendorong prilaku dalam situasi kepemimpinan. Ada beberapa tipe atau gaya kepemimpinan yang dikenal luas dewasa ini. Meskipun ada kesepakatan yang bulat tentang pembagian itu.20 Antara lain: a) Kepemimpinan Otoriter Pemimpin otoriter
tidak jarang memberi ruang lingkup sepit terhadapa
kebebasan, kreativitas dan inisiatif bawahan. Bawahan rata-rata menerima kebijakan fatwa dari kiai dalam melaksakan tanggung jawabnya sebagai seorang pengabdi. Pengaruh kiai sangat kuat sehingga usul-usul dan inisiatif pihak bawah hampir tidak ada dan kalau ada hanya sekedar merupakan suatu usul yang akhirnya masih menunggu kearifan kiai.dengan kata lain, apa yang dilakukan pihak bawahan tidak berani melampaui kewenangan kiai apa lagi melanggarnya.21 Menurut Walid, kepemimpinan otokratik dalam praktiknya menggunagakan kepemimpinan yang menuntut ketaatan patuh dari bawahannya. Dalam menegakkan disiplin, kepemimpinan otokratik terlihat kaku, bernada keras dalam pemberianperintah atau intruktif dan menggunakan posotivistik jika terjadi penyimpangan oleh bawahan.22. Sedangkan menurut Sukamto, tipe otoriter yang berlaku dalam organisasi menimbulkan ketergantungan serius terhadap pemimpin, suasana lingkungan menjadi kaku, keberhasilan organisasi hanya ditentukan oleh satu orang saja. 23. gaya kepemimpinan otoriter ini dapat diterapkan dengan tepat pada organisasi-organisasi yang membutuhkan disiplin anggotanya secara ketat. Kelebihan tipe ini adalah keputusan penting dapat dengan cepat dilakukan, sehingga dapat segera dilaksanakan oleh anggota organisasinya. b) Kepemimpinan Paternalistik Pemimpimpin paternalistik yaitu gaya kepemimpinan yang bersifat kebapakan. Tipe kepemimpinan paternalistik menurut Kartini Kartono dalam M. walid, memiliki sifat-sifat sebagai berikut. Pertama, menganggap .bawahannya sebagai manusia yang tidak atau belum dewasa. Kedua, bersikap terlalu melindungi. Ketiga, jarang memberikan pada bawahannya untuk mengambil keputusannya sendiri. Keempat, 20
M. Walid, Napak Tilas Kepemimpinan KH.Ach. Muzakky Syah, (Yogyakarta: absolute media, 2010), 18. Sukamto, Kepemimpina Kiai dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka, LP3ES, 1999,). 207. 22 M. Walid, Napak Tilas Kepemimpinan KH.Ach. Muzakky Syah, (yogyakarta: absolute media, 2010), 18. 23 Sukamto, Kepemimpina Kiai Dalam Pesantren, (Jakarta: Pustaka, LP3ES, 1999,), 34. 21
10
hampir-hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahannyauntuk berinisiatif.
Kelima,
tidak
pernah
memberikan
pada
pengikutnya
untuk
mengembangkan fantasi dan daya kreatifitas. Keenam, selalu bersikap lebih tau dari bawahannya. Gaya kepemimpinan seorang yang paternalistik lebih bercorak pelindung, bapak dan guru. Artinya kebersamaan hanya bagi para anggota organisasi dibawah, sedangkan pemimpin berada di atas para anggotanya tersebut.24 c) Kepemimipinan Kharismatik Kepemimpinan kharismatik ialah diartikan sebagai kemampuan menggerakkan orang lain dengan mendayagunakan keistimewaan atau kelebihan dalam sifat atau aspek kepribadian yang dimiliki pemimpin, sehingga menimbulkan rasa menghormati, segan dan kepatuhan.25 Bahkan Khatib Pahlawan Kayo mengatakan, kepemimpinan kharismatik biasanya menggunakan gaya persuasif dan edukatif. Apabila dilihat dari kacamata administrasi dan manajemen, sebenarnya kepemimpinan seperti ini akan jauh lebih behasil apabilah kebetulan pemimpinnya mendapat kepercayaan pula sebagai pemimpin formal, baik dalam pemerintahan maupun dalam persatuan dan organisasi kemasyarakatan.26 d) Kepemimpinan Laissez Faire Kepemimpinan laissez faire lebih besifat praktis. Pemimpin membiarkan kelompoknya berbuat semua sendiri untuk memajukan dan mengembangkan organisasi, pemimpin tidak berpartisipasi banyak dalam kegiatan organisasi. Pengikut atau bawahannya diberikebebasan memiliki inesiatif sendiri. Pemimpin seperti ini beranggapan, para anggota sudah mengetahui dan cukup dewasa untuk taat pada peraturan yang berlaku. Seorang pemimpin seperti ini cendenderung memilih peranan yang pasif dan membiarkan organisasinya berjalan sendiri dan tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakka.27 e) Kepemimpinan Demokratis Kepemimpinan demokratis yaitu menempatkan manusia sebagai faktor utama dan yang terpenting dalam setiap kelompok. Tipe ini diwarnai dengan usaha mewujudkan dan mengembangkan hubungan manusiawi yang efektif berdasarkan prinsip saling menghormati dan menghargai satu sama yang lainnya. Ralph White dan 24
Walid, Napak Tilas.19 Sukamto, Kepemimpina Kiai. 20 26 RB. Khatib Pahlawan Kayo, Kepemimpinan Islam & Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2005), 58. 27 Walid, Napak Tilas.. 20. 25
11
Ronald Lippi mengatakan, tipe ke pemimipinan demokratis ini mempunyai karakter sebagai berikut: Pertama, semua kebijakan menjadi pembahasan kelompok dan keputusan kelompok dirangsang dan dibantu oleh pemimpin. Kedua, perspektif aktifitas dicapai selama diskusi berlangsung. Dilukiskan langkah-langkah umum kearah tujuan kelompok dan apa bila diperlukan nasehat teknis, maka pemimpin menyarankan dua atau lebih prosedur-prosedur alternatif yang dapat dipilih. Ketiga, para anggota bebas bekerja dengan siapa yang mereka kehendaki dan pembagian tugas terserah kepada kelompok. Keempat, pemimpin bersifat obyektif. Seorang pemimpin hanya bertindak sebagai mediator atau anggota kelompok tanpa terlampau banyak melakukan intervensi.28 f)
Pemimpin Responsif Merujuk pada definisi tentang kepemimpinan responsif sebelumnya, dapat di
idealisasikan sosok pemimpin pesatren resposif sebagai berikut:29 Pertam, pemimpin pesantern yang responsif akan selalu berpegang kepada prinsip bahwa pesantren merupakan lembaga untuk memberikan pelayanan kepada komonitas pesantren (satri, wali santri, dan ustadz) dan masyarakat luas. Kedua, Pemimpin yang responsif akan senantiasa terbuka dan ikhlas untuk menampung aspirasi dan harapan masyarakat untuk kemajuan lembaganya. Ketiga, Sebagai pemimpin kultur, pemimpin pesatren responsif mampu bekerja sama dengan pihak lain dalam rangka memelihara dan mengayomi budaya pesantren yang berbasis pada nilai-nilai moral, etika dan spiritual yang Islami. Keempat, Seperti pemimpin edukatif, pemimpin pesantren yang responsif akan proaktif dalam menggali informasi tentang teknologi pendidikan pesantren yang inovatif dan berusaha keras melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan. Kelima, Pemimpin pesatren responsif juga kreatif optimal dalam mendayagunakan sarana pendidikan dan pengajaran pesantren yang terbatas. Keenam, Dengan mengilhami sifat-sifat kepemimpinan stategik, pemimpin yang responsif berusaha manpu mengalisis informasi yang sumber dari hasil evaluasi para ustadz atau staf lain dan selanjutnya meningkatkan kerjasama dengan pihak lain untuk memperbaiki strategi manajemen dengan melakukan proses pembuatan keputusan yang demokratis. Ketujuh, Pemimpin yang responsif berusaha waspada terhadap informasi
28 29
Walid, Napak Tilas.. 21-22 M. Sulthon, dkk, Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global,(Yogyakarta: Laks Bang, PRESSindo, 2006), 59-60.
12
baru yang potensial menimbulkan keresahan di pesantren setelah mendapatkan pertimbangan dari pihak-pihak terkait yang kompeten. Kedelapan, Akhirnya, pemimpin yang responsif harus terbuka terhadap gagasan-gagasan inovatif dan reformatif. Mengembangkan Pondok Pesantren Pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang merupakan sepatan shantri (Sansekerta) kemudian di Indonesiakan menjadi santri, yang mempunyai pengertian “orang yang selalu menjalankan perintah ajaran agama Islam”. Sementara kata pesantren mempunyai pengertian tempat orang yang belajar ilmu agama Islam dengan bimbingan ustadz atau Kiai.30 Dawam Rahardjo memberikan pengertian bahwa pesatren adalah sebuah lembaga pendidikan yang bertujuan, mendidik dan menyiarkan ajaran agama Islam kepeda masyarakat. Sedangkan pengertian pendidikan di pesantren yang bertujuan adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren yang bertujuan mengajar dasar-dasar agama Islam, lembaga pendidikan yang tidak mencetak pegawai negeri yang mau diperintah orang alin, lembaga pendidikan mencetak orang-orang tidak mau bergantung pada orang lain, tetapi berdiri diatas kakinya sendiri.31 Selama beberapa tahun terkhir ini telah berlangsung perubahan-perubahan yang cukup mendasar dikalangan pesantren karena penerapan-penerapan beberapa pola pengembangan di dalamnya. Proyek pengembangan itu ada yang berskala besar, ada pula yang berskala kecil, namun secara keseluruhan telah mengubah arah perkembangan kehidupan di pesantren sendiri dari yang gratis semula yang ditempuhnya secara umum. Ada tiga pola pengembangan yang dapat dibedakan satu dari yang lain. Pertama, pola pendidikan keterampilan yang ditawarkan dan dikelola Kementerian Agama, pola mana sekarang telah diikuti oleh lebih seratus buah pesantren. Kedua, pola pengembangan yang dirintis dan diprakarsai oleh LP3ES dalam kerjasama dengan lembaga, baik dari pemerintah maupun swasta, dari dalam negeri maupun luar negeri. Ketiga, pola pengembangan sporadis yang ditempu oleh beberapa pesantren terutama secara sendirisendiri, tanpa tema tunggal yang mengikut semua upaya mereka itu, dan dilaksanakan berdasarkan persepsi dan apresiasi masing-masing.32 Ketiga perkembangan itu ironisnya telah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa pengetahuan dasar yang cukup tentang asal usul pesantren, eksistensinya sebagai lembaga pendidikan, fungsi kemasyarakatan yang 30
Zuli Qodir, Ada Apa Dengan Pesantren Ngruki, (Bantul: Podok Edukasi, 2003), 11. Qodir, Ada Apa.. 12 32 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKIS Yokyarta, 2010), 169170. 31
13
dimilikinya, sistem nilai yang berkembang di dalamnya, yang tempatnya sebenarnya stratifikasi kehidupan masyarakat di pedesaan dimana mayoritas pesantren itu sendiri terletak di dalamnya. Dalam hal ini pesantren sebagai agen perkembangan masyarakat, sangat diharapkan mempersiapkan sejumlah pengembangan pendidikan, baik untuk meningkatkan kualitas pondok pesantren maupun untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Untuk itu sebenarnya sering digunakan seminar pengembangan SDM. Namun untuk kalangan pondok pesantren, agaknya wacana pengembangan SDM masih perlu dikembangkan lagi. Pesantren sebagai sebuah sistem mempunyai empat unsur penting yang saling terkait. Unsur pesantren yang pertama, adalah kiai sebagai pengasuh, pemilik dan pengendali pesantren. Kiai adalah unsur yang paling utama dan menentukan dibanding unsur lainnya. Ia adalah orang yang paling bertanggung jawab meletakkan sistem yang ada didalam pesantren, sekaligus mentukan maju dan tidaknya sebuah pesantren. Unsur yang kedua adalah santri, yaitu murid yang belajar pengetahuan ilmu keislaman kepada Kiai. Tanpa adanya santri, posisi seorang Kiai tampak seperti presiden yang tidak memiliki rakyat. Mereka adalah sumberdaya manusia yang tidak saja mendukung keberadaan pesantren, tetapi juga menupang intensitas pengasuh kiai dalam masyarakat. Bahkan pada zaman dahulu santri dan orang tua santri itulah yang banyak membantu bangunan pesantren. Sedangkan unsur ketiga adalah pondok, yaitu sebuah sistem asrama, termasuk di dalamnya masjid, yang disediakan oleh kiai mengakomodasi para santri. Bangunan podok biasanya sangat sederhana dan mempunyai fasilitas yang minim. Sebuah kamar yang berukuran lima miter persegi bisa di isi sampai dua puluh santri. Akan tetapi saat ini terdapat sedikit pondok yang bangunannya cukup mewah dan megah yang dilengkapi dengan fasilitas yang cukup memadai. Adapun unsur pesantren yang keempat, adalah kitab yang berisi macam-macam mata pelajaran yang di ajarkan oleh kiai kepada para santri dan masyarakat. Dengan demikian pesantren merupakan kompleks perumahan yang meliputi rumah kiai dan keluarganya, dan sejumlah “kitab kuning” (al-kutub ash-shafra).33 Adapun
upaya
pengembangan
pendidikan
masyarakat,
pesantren
telah
mempokuskan pada dua aspek meliputi pendidikan formal (Madrasah) dan pendidikan non formal. Dua model pendidkan pesantren tersebut: 1) Pengembangan Pesantren Melalui Pendidikan Formal 33
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta: LKIS, 2007), 9495.
14
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sepanjang masa dan sepanjang sejarah yang dilaluinya, pesantren terus menekuni pendidikan tersebut dan menjadikan sebagai fokus kegiatan. Dalam mengembangkan pendidikan, pesantren telah menunjukkan daya tahan yang cukup kokoh sehingga mampu melewati berbagai zaman dengan beragam masalah yang dihadapinya. Dalam sejarahnya itu pula, pesantren telah menyumbangkan sesuatu yang tidak kecil bagi Islam di negeri ini.34 Pola itu telah mengantarkan pesatren pada sistem pendidikan yang penuh kelenturan dan memiliki spektrum luas, melampaui batas-batas pesantren itu sendiri. Tidak berlebihan jika dikatakan, pesantren merupakan descholing society dengan menjadi masyarakat sebagai mayarakat pembelajar dan menjadi belajar sebagai proses yang berjalan terus-menerus. Masyarakat menjadi bebas dari sekolah sebagai institusi dengan aturan-aturannya, sisten evaluasinya, janji-janji pekerjaan yang diberikannya, serta sertifikat yang dikeluarkannya. Pola ini, pada gilirannya, menjadikan pendidikan pesatren tidak menjadi batas secara tegas antara santri itu sendiri dan masyarakat yang ada disekitarnya. Demikian pula pesantren tidak membatasi waktu belajar dalam sekatsekat waktu yang kaku sehingga proses pembalajaran dan pendidikan selama dua puluh empat jam hadir penuh dalam bentuk yang nyata tanpa harus “memberatkan” siapapun yang terlihat di dalamnya.35 Pendidikan merupakan salah satu wadah atau jembatan untuk mencapai dan mendapatkan ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis. Pendidikan merupakan salah satu unsur pemberdayaan riil dengan memiliki ujuan menciptakan kerangka metodelogi ilmu pengetahuan dalam proses pemberdayaan diri terhadap macam-macam probelm sosial demi mewujudkan insanulkamil. 2) Pengembangan Pesantren Melalui Pendidikan Non Formal Pendidikan di pesatren adalah sebuah pendidikan yang mengajarkan kemandirian pada santri, tidak ingin mencetak pegawai negeri, berdiri di atas kaki sendiri. Sehubungan dengan pengertian ini maka, pendidikan di pesantren sering juga dikenal dengan sebuah pendidikan yang mengajarkan, menyiarkan agama Islam kepada para santri dan masyarakat.36
Abdul A’la, Pembaharuan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006,), 15. A’la, Pembaharuan.. 17-18. 36 Zuli Qodir, Ada Apa Dengan Pesantren ngkuri, (Bantul: Podok Edukasi, 2003), 11. 34 35
15
a. Kitab/Buku dan Materi Pendidikan Pendidikan di pesantren biasanya berdasar pada filsafat pendidikan Islam yang merupakan landasan fundamental dari pencapaian ilmu dalam Islam. Landasan pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits As-Sunah. Dari kedua dasar inilah pendidikan Islam diajarkan dan dikembangkan. Pendidikan di pesantren berhubungan pendidikan, penyiaran dan pengajaran dasar-dasr agama Islam, dalam hal ini pula yang di ajarkan, dengan mengambil sumber dari al-qur’an dan hadits, ditamba dengan kitab klasik keislaman. Pendidikan pesantren tidak semata-mata memperkaya ilmu atau memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati, menghargai setinggi-tingginya etika agama di atas segala etika yang lainnya.37 b. Metode Pendidikan dan Pengajaran Sebagamana kita mafhum, pendidikan dan pengajaran kitab di pesantren sering kita kenal dengan menggunakan metode sorogan atau individual, bandongandan tewon/wetonan. Sorogan adalah cara pendidikan dan pengajaran di mana seorang santri memberikan kitab/buku yang hendak dipelajari kepada kiai atau ustadz, dimana kelompok santri antara 10-50 orang berkelompok untuk mendengarkan apa yang di ajarkan, sambil memberikan sakal pada kitab/buku teks yang dihadapinya. Sedangkan tewon atau sering dikenal dengan istilah wetonan adalah pendidikan dan pengajaran yang diberikan seorang kiai atau ustadz pada kelompok santri antara 50-500 orang pada waktu tertentu saja.38 Dari tiga metode tersebut pendidikan dan pengajaran tersebut, yang dianggap paling efektif adalah metode sorogan atau individual. Hal ini disebabkan santri bisa lebih konsetrasi perhatiannya pada kitab/buku yang disodorkan pada kiai atau ustadz. Dari satu santri akan dapat segerah memahami atau menguasai ilmu yang diharapkan.
37 38
Qodir, Ada Apa Dengan Pesantren...13 Qodir, Ada Apa Dengan Pesantren. 14
16
Penutup Kiai merupakan tokoh sentral dalam pondok pesantren dan juga dalam masyarakat yang mempunyai tanggung jawab besar dalam pengembangan pesantren dan yang dipimpinnya baik secara kualitas, maupun kuantitas sumber daya manusiannya yang harus ditingkatkan dengan melalui peranan kiai, sehingga kiai diharapkan mampu merumuskan visi dan misi yang jelas serta program- program pondok pesantren yang dipimpinnya sesuai dengan tujuan pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan Islam (pondok pesantren) hendaknnya perlu memberikan sumbangsih yang riell pada masyarakat, melalui pendidikan formal, nonformal dan sebagagai lembaga dakwa agama sehingga target yang diinginkan bisa tercapai, meskipun sarana dan prasarana yang kurang begitu maksiamal. Santri harus mampu bersikap aktif dan mendukung terhadap segala kegiatan yang berada di pondok pesantren misalnya kegiatan tentang kemayarakatan, pengajian, diskusi agar wawasan dan pengetahuanya bertambah dan mendalam. Bagi masyarakat yang menjadi sebuah objek perubahan maka hendaknya masyarakat juga harus selalu pro aktif dalam kegiatan pondok pesantren dan kegiatan yang diadakan, melalu pengembagan pendidikan baik formal maupun pendidikan non formal.
DAFTAR BACAAN Abdul A’la. 2006. Lkis.
Pembaharuan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren Kelompok
Abdurrahman Wahid. 2010. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKIS Yokyarta. Ali Maschan Moesa. 2007. Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. A. Halim, Rr. Suhartini, dkk. 2005. Manajemen Pesantren, Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara. Mu’awanah. 2009. Manajemen Pesantren Mahasiswa, Kediri: STAIN Kediri Press. M. Walid. 2010. Napak Tilas Kepemimpinan KH. Ach. Muzakky Syah, Yogyakarta: Absolute Media. Kustadi Suhandang. 2007. Manajemen Pers Dakwa Dari Perencanaan Hingga Pengawasan, Bandung: Pemerbit Marja. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesatren; Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: Seri Inis xx. M. Sulthon, dkk. 2006. Manajemen Pondok Pesantren Dalm Perspektif Global,Yogyakarta: Laks Bang, PRESSindo. 17
RB. Khatib Pahlawan Kayo. 2005. Kepemimpinan Islam & Dakwah, Jakarta: Amzah. Sukamto. 1999. Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren, Jakarta: Pustaka, LP3ES. Zaini Muchtaro. 1996. Dasar-Dasr Manajemen Dakwa, Yogyakarta: Al-Amin Press. Zamakhsyari Dhofier. 1994. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES. Zuli Qodir. 2003. Ada Apa Dengan Pesantren ngruki, Bantul: Podok Edukasi.
18