POLA DAN VARIABILITAS ARUS DI WILAYAH LAUT BALILAUT FLORES DARI HASIL MODEL INDESO TAHUN 2008-2014
PARADITA HASANAH
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Pola dan Variabilitas Arus di Wilayah Laut Bali-Laut Flores dari Hasil Model INDESO Tahun 2008-2014 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2017 Paradita Hasanah NIM C54120004
ABSTRAK PARADITA HASANAH. Pola dan Variabilitas Arus di Wilayah Laut Bali-Laut Flores dari Hasil Model INDESO Tahun 2008-2014. Dibimbing oleh AGUS SALEH ATMADIPOERA dan YULI NAULITA. Dinamika laut di wilayah Laut Bali dan Laut Flores dipengaruhi baik oleh dinamika Arus Muson dan Arlindo Makassar, maupun intrusi gelombang Kelvin dari ekuator Samudera Hindia via Selat Lombok. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pola dan variabilitas arus, struktur menegak arus, serta koherensi arus di Laut Bali-Laut Flores dari hasil model INDESO tahun 2008-2014. Pola arus di wilayah studi dicirikan oleh arus laut yang kuat mengalir ke arah selatan (Arlindo Makassar), serta pusaran arus di Laut Bali. Percabangan Arlindo terjadi di utara Lombok, dimana sebagian Arlindo masuk Selat Lombok dan sebagian lagi berbelok ke timur menyusuri Laut Flores. Variasi musiman sirkulasi laut ditandai dengan menguatnya Arlindo pada musim timur, serta terbentuknya pusaran arus dan kelokan arus muson yang mengalir ke arah timur pada periode musim barat. Struktur Arlindo di lintang geografis 8 °S, dicirikan oleh inti Arlindo yang lebih dalam (220 m) dan lebih luas dengan kecepatan arus yang lebih kuat dalam musim timur dibandingkan dengan musim barat. Estimasi transpor volume dari Arlindo di lintang ini adalah sekitar 2 Sv (musim barat) dan 4.7 Sv (musim timur). Variabilitas arus berfluktuasi pada rentang periode dari intra-musiman sampai tahunan. Koherensi arus yang tinggi pada periode 1 hingga 2 bulanan dengan beda fase positif dari Samudera Hindia menuju Selat Lombok bagian utara menunjukkan bahwa adanya pembelokan arus di Selat Lombok akibat perambatan Gelombang Kelvin. Kata kunci: Analisis koherensi, Arlindo Makassar, Gelombang Kelvin, INDESO, pola arus, variabilitas arus.
ABSTRACT PARADITA HASANAH. Simulated Circulation and Variability in the Bali seaFlores sea based models of INDESO 2008-2014. Supervised by AGUS SALEH ATMADIPOERA and YULI NAULITA. Ocean dynamics in the Bali Sea and Flores Sea is considered to be influenced by the monsoonal current and Makassar Indonesian Throughflow (ITF), as well as reversal northward flows in Lombok Strait related to the arrival of Kelvin waves from the equatorial Indian Ocean. The objectives of this study are to investigate circulation and variability pattern, current structure, and coherence of current using the model output from the INDESO ocean circulation modeling 2008-2014. Circulation pattern in the mixed and thermocline layers is characterized by persistent and strong southward flows of the ITF from Makassar Strait, and clockwise/anticlockwise circulation (eddies) in Bali Sea. Bifurcation of ITF occurs in northern Lombok, where one branch enters Lombok Strait, and the other continues flowing eastward. Seasonal variation of the circulation is indicated by much stronger ITF flow during the southeast monsoon (SEM) period, eddies formation, and meandering of eastward monsoonal flow during the northwest monsoon (NWM) period. The ITF structure along the latitude of 8°S reveals the ITF core is much deeper (220 m depth) and much wider (177.8 km) during the SEM period, compared to those during the NWM period. Transport estimates of ITF along this latitude vary between 2 Sv (NWM) and 4.7 Sv (SEM). Current variability appears from intra-seasonal to annual oscillations, related to dynamics of equatorial current system in Indian Ocean. Coherence current is high in the period of 1 to 2 months and have positive phase of the Indian Ocean towards the north of Lombok Strait indicates that the deflection currents in the Lombok Strait due to Kelvin Wave propagation. Key word: Coherence analysis, Makassar ITF, Kelvin Wave, INDESO, current pattern, current variability.
POLA DAN VARIABILITAS ARUS DI WILAYAH LAUT BALILAUT FLORES DARI HASIL MODEL INDESO TAHUN 2008-2014
PARADITA HASANAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari 2016 hingga bulan September 2016 dengan judul Pola dan Variabilitas Arus di Wilayah Laut Bali-Laut Flores dari Hasil Model INDESO Tahun 2008-2014. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang memberikan masukan, arahan, dan dukungan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Terutama kepada: 1. Bapak Dr Ir Agus Saleh Atmadipoera, DESS selaku Dosen Pembimbing I. 2. Ibu Dr Ir Yuli Naulita, MSi selaku Dosen Pembimbing II dan Ketua Komisi Pendidikan. 3. Bapak Prof Dr Ir Mulia Purba, MSc atas kesediaannya menjadi Dosen Penguji Tamu. 4. Bapak Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc selaku Ketua Departemen. 5. Ibu Meutia Samria Ismet, Ssi. Msi selaku Dosen Gugus Kendali Mutu atas saran dan bantuan dalam penulisan skripsi. 6. Kedua orang tua tercinta Ibu, bapak, adik atas doa, dukungan, semangat, dan kasih sayangnya. 7. Rekan-rekan Laboratorium Pemrosesan Data Oseanografi yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian. 8. Teman-teman Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan angkatan 2012 atas dukungan selama masa perkuliahan. 9. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2017 Paradita Hasanah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
METODE
3
Waktu dan Lokasi Penelitian
3
Sumber Data Penelitian
4
Peralatan Penelitian
5
Pengolahan dan Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Validasi Data
12
Pola Sirkulasi Rata-rata Tahunan di Laut Bali-Laut Flores
14
Pengaruh Musim terhadap Pola Sirkulasi di Laut Bali-Laut Flores
17
Struktur Menegak Komponen Arus
23
Deret Waktu (2008-2014) Model Arus di Tiga Titik A, B dan C
24
Variabilitas Arus di Tiga Titik A, B dan C
26
Analisis Koherensi
31
SIMPULAN DAN SARAN
33
Simpulan
33
Saran
33
DAFTAR PUSTAKA
34
LAMPIRAN
36
RIWAYAH HIDUP
41
DAFTAR TABEL 1 Koherensi titik sampling A dengan titik sampling B pada dua lapisan kedalaman 2 Koherensi titik sampling A dengan titik sampling C pada dua lapisan kedalaman
32 33
DAFTAR GAMBAR 1 Peta lokasi penelitian di Laut Bali-Laut Flores 2 Diagram alir proses pengolahan data pola sirkulasi arus, struktur menegak arus, dan variabilitas arus 3 Plot deret waktu TPL anomali hasil model INDESO (garis hitam) dan data TPL anomali AVISO (garis merah) pada kotak sampel hitam (Gambar 1) dari tahun 2008-2014 4 Plot deret waktu suhu permukaan laut hasil model INDESO (garis hitam) dan data satelit OSTIA (garis merah) pada kotak sampel hitam (Gambar 1) dari tahun 2008-2014 5 Plot arus hasil model INDESO (panah merah) dan SADCP dari kegiatan INDOMIX (panah hitam) di kedalaman 30 meter 6 Plot arus hasil model INDESO (panah merah) dan SADCP dari kegiatan INDOMIX (panah hitam) di kedalaman 130 meter 7 Plot vektor arus hasil model INDESO (2008-2014) yang ditumpang tindih dengan hasil model sebaran suhu di Laut Bali-Laut Flores pada lapisan tercampur (a) dan lapisan termoklin (b). Skala suhu dan panjang vektor dibuat berbeda di tiap lapis kedalaman 8 Plot vektor arus bulanan rata-rata hasil model INDESO pada lapisan tercampur yang ditumpang tindih dengan model sebaran suhu bulan Desember hingga Mei 9 Plot vektor arus bulanan rata-rata hasil model INDESO pada lapisan tercampur yang ditumpang tindih dengan model sebaran suhu bulan Juni hingga November 10 Plot vektor arus bulanan rata-rata hasil model INDESO pada lapisan termoklin yang ditumpang tindih dengan model sebaran suhu bulan Desember hingga Mei 11 Plot vektor arus bulanan rata-rata hasil model INDESO pada lapisan termoklin yang ditumpang tindih dengan model sebaran suhu bulan Juni hingga November 12 Hasil penampakan penampang melintang (cross section) di koordinat 8o LS pada musim barat (a) dan pada musim timur (b). Kotak merah merupakan core Arlindo 13 Hasil penampang melintang (cross section) pada koordinat 115o BT pada musim barat (a) dan pada musim timur (b) 14 Struktur menegak komponen arus rata-rata musiman zonal titik sampling A (a), rata-rata musiman zonal titik sampling B (b), serta ratarata musiman arus meridional titik sampling C (c)
3 5
12
12 13 14
16
18
19
20
21
22 23
24
15 Deret waktu (2008-2014) komponen arus zonal (hitam) dan arus meridional (merah) di lapisan tercampur pada titik sampling A (a), titik sampling B (b), dan titik sampling C (c) 16 Deret waktu (2008-2014) komponen arus zonal (hitam) dan arus meridional (merah) di lapisan termoklin pada titik sampling A (a), titik sampling B (b), dan titik sampling C (c) 17 Analisis Continuous Wavelet Transform (CWT) pada lapisan tercampur di titik sampling A (a), titik sampling B (b), dan titik sampling C (c). Garis putih putus-putus menunjukkan hasil periodisitas arus dominan yaitu Intra-Seasonal Variability (ISV), Semi-Annual Variability (SAV), dan Annual Variability (AV) 18 Analisis Continuous Wavelet Transform (CWT) pada lapisan tercampur di titik sampling A (a), titik sampling B (b), dan titik sampling C (c). Garis putih putus-putus menunjukkan hasil periodisitas arus dominan yaitu Intra-Seasonal Variability (ISV), Semi-Annual Variability (SAV), dan Annual Variability (AV) 19 Plot hasil filter bandpass skala intra-musiman (20-90 hari) angin zonal di barat ekuator Samudera Hindia (a), dan skala intra-musiman arus di titik sampling A (b), titik sampling B (c), dan titik sampling C (b) di lapisan tercampur 20 Hasil analisis Hovmoller TPL pada tahun 2008-2014 (a), dan terfokus pada tahun 2012 (b) 21 Koherensi komponen arus zonal di titik sampling A dan komponen arus zonal di titik sampling B pada lapisan tercampur (a) dan lapisan termoklin (b) dalam selang intra-musiman (20-90 hari) 22 Koherensi komponen arus zonal di titik sampling A dan komponen arus meridional di titik sampling C pada lapisan tercampur (a) dan lapisan termoklin (b) dalam selang intra-musiman (20-90 hari)
25
25
27
28
30 30
31
32
DAFTAR LAMPIRAN 1 Persamaan koefisien korelasi Emery dan Thomson (2014) 2 Skrip analisis data menggunakan perangkat lunak Ferret versi 6.72. 3 Skrip analisis data menggunakan Continuous Wavelet Transform (CWT) 4 Skrip penapisan data (filtering) 5 Skrip analisis data menggunakan metode Koherensi PSD
36 36 37 39 39
PENDAHULUAN Latar Belakang Laut Bali dan Laut Flores bagian barat merupakan wilayah yang mempunyai karakteristik arus yang sangat menarik untuk dikaji. Perairan ini dipengaruhi oleh dinamika Arus Muson (Wyrtki 1961), Arus Lintas Indonesia dari Selat Makassar (Murray dan Arief 1988; Atmadipoera et al. 2009), dan masukan dari Selat Lombok akibat dari pembalikan arus oleh Gelombang Kelvin (Sprintall et al. 2000; Syamsudin et al. 2004). Arus Muson di Indonesia dipengaruhi oleh sistem angin muson yang terjadi dua kali dalam setahun yaitu Angin Muson Barat Laut dan Angin Muson Tenggara. Arus yang dibangkitkan oleh angin muson ini disebut dengan Armundo (Arus Muson Indonesia) (Ilahude dan Nontji 1999). Ketika terjadi Muson Barat Laut, arus bergerak dari Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa dan Laut Flores hingga mencapai Laut Banda sedangkan pada saat Muson Tenggara, arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat yang akhirnya menuju ke Laut Cina Selatan (Wyrtki 1961). Arus Lintas Indonesia (Arlindo) adalah aliran massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia karena adanya perbedaan tinggi paras laut antar dua samudera. Menurut Wyrtki (1961), perbedaan tinggi paras laut antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia berbeda tiap musimnya. Pada waktu Muson Barat Laut (Oktober-Maret), tinggi paras laut mempunyai nilai terendah yakni kurang dari 10 cm sedangkan pada Muson Tenggara (Mei-September) mempunyai nilai tertinggi yakni mencapai 28 cm. Selain itu juga, hasil studi dari Purba dan Atmadipoera (2005) yang meneliti tinggi paras laut di Laut Sulawesi sampai Selat Lombok dari satelit TOPEX/ERS2 menyebutkan bahwa anomali tinggi paras laut pada Laut Sulawesi mempunyai anomali positif pada Maret-Mei dan Agustus-September sedangkan pada Selat Lombok mempunyai anomali tinggi paras laut yang tinggi (+12 sampai +18 cm) terjadi pada bulan November sampai April. Perbedaan tinggi paras laut ini mengakibatkan transpor maksimum Arlindo pada berbagai lokasi seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu, dan dari Laut Banda ke Samudera Hindia terjadi pada Muson Tenggara dan minimum pada saat Muson Barat Laut ( Hautala et al. 2001; Gordon dan Susanto 2003). Arlindo memasuki perairan Indonesia melalui dua pintu masuk yaitu pintu sebelah barat melalui Laut Sulawesi dan pintu sebelah timur melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku, dimana komponen penyusun Arlindo terdiri dari massa air dari Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Wyrtki 1961; Gordon and Fine 1996; Atmadipoera et al. 2009). Massa air Pasifik Utara berasal dari Arus Mindanao yang memasuki Indonesia melalui Laut Sulawesi menuju Selat Makassar kemudian 20% massa air keluar melalui Selat Lombok dan selebihnya diteruskan ke Laut Flores dan Laut Banda (Murray dan Arief 1988). Massa air Pasifik Selatan masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku menuju Laut Seram, kemudian dilanjutkan ke Laut Banda. Di Laut Banda, terjadi pertemuan antara massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan sebelum keluar melalui Lintasan Timor dan Selat Ombai.
2 Laut Bali dan Laut Flores juga dipengaruhi oleh adanya perambatan Gelombang Kelvin. Gelombang Kelvin merupakan gelombang yang berasal dari barat ekuator Samudera Hindia yang dibangkitkan oleh angin baratan yang kuat di tropis Samudera Hindia Tengah pada musim transisi (Mei dan Oktober) yang menggerakkan arus ekuator yang kuat (equatorial jet) ke arah timur (Wyrtki 1973). Gelombang Kelvin masuk melalui Selat Lombok sebelum memasuki Selat Makassar (Sprintall et al. 2000). Menurut Syamsudin (2004), Gelombang Kelvin yang menjalar di sepanjang Jawa, Bali, Lombok, dan paparan sunda mempunyai periode dari 35-90 hari dan muncul pada bulan April-Mei atau NovemberDesember. Gelombang Kelvin mempunyai peran penting dalam mengurangi transpor Arlindo yang keluar melalui Selat Lombok. Selain itu juga Gelombang Kelvin dapat membalikkan arah arus pada lapisan kedalaman tertentu (Sprintall et al. 2000). Beberapa penelitian yang telah dilakukan di jalur Arlindo dan Selat Lombok yaitu Potemra dan Hautala (2001) yang menelaah tentang interaksi antara Perairan Indonesia dengan Samudera Hindia dari data observasi dan model; Susanto et al. (2007) observasi Arlindo pada lapisan permukaan di Selat Lombok; Atmadipoera (2009) karakteristik dan variabilitas Arlindo di selat pintu keluar Arlindo; dan Susanto et al. (2012) variabilitas Arlindo di Selat Makassar, 2004-2009. Hasil penelitian sebelumnya mengenai studi pola dan variabilitas arus di wilayah Laut Bali-Laut Flores dari hasil model INDESO belum pernah dilakukan. Dengan demikian, penelitian terhadap pola dan variabilitas arus di Laut Bali-Laut Flores secara spasial dan temporal perlu dilakukan. Perumusan Masalah Keberadaan Laut Bali-Laut Flores yang merupakan jalur percabangan Arlindo, jalur angin muson serta dipengaruhi oleh dinamika Samudera Hindia seperti perambatan Gelombang Kelvin memberikan pengaruh yang besar terhadap interaksi laut-atmosfer di perairan tersebut. Kompleksitas Laut Bali-Laut Flores ini membawa dampak yang signifikan terhadap karakteristik dan variabilitas arus di wilayah tersebut. Penelitian tentang Arlindo di pintu masuk maupun pintu keluar umumnya sudah banyak dilakukan. Selain itu juga para peneliti sebelumnya hanya memfokuskan studi tentang aliran Arlindo di pintu keluar Selat Lombok. Akan tetapi, belum banyak penelitian khusus tentang pola arus dan variabilitasnya di Laut Bali-Laut Flores terkait dengan pengaruh dari Arlindo dan Armundo serta masih jarangnya studi tentang perambatan Gelombang Kelvin dari Samudera Hindia yang masuk melalui Selat Lombok dari data pemodelan sirkulasi laut INDESO. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan, antara lain: 1. Bagaimana pola arus pada dua lapisan kedalaman yaitu lapisan tercampur (25 meter) dan lapisan termoklin (131 meter), serta struktur menegak arus di wilayah studi? 2. Bagaimana variabilitas arus di wilayah studi? 3. Bagaimana keterkaitan arus dari Samudera Hinda dengan Laut Flores bagian barat? Pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui analisis data deret waktu dari data keluaran model sirkulasi laut INDESO (2008-2014).
3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola dan variabilitas arus, struktur menegak arus, serta koherensi arus di Laut Bali-Laut Flores dari hasil simulasi model INDESO tahun 2008-2014.
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di Laut Bali dan Laut Flores dengan batasan wilayah 6.5o-9.2o LS dan 114o-118o BT (Gambar 1) dan dengan domain waktu dari 1 Januari 2008 sampai 31 Desember 2014. Pemrosesan data dilakukan di Laboratorium Pemrosesan Data Oseanografi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Pada peta lokasi penelitian (Gambar 1) terdapat kotak hitam dari 7.6o-8o LS dan 115.5o-116o BT yang merupakan wilayah validasi, tiga titik merah merupakan titik sampling yang mewakili daerah studi yaitu titik A di Samudera Hindia, titik B di Laut Bali, dan tititk C di Laut Flores bagian barat, serta garis melintang hitam merupakan irisan penampang pada 8o LS dan 115o BT.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Laut Bali-Laut Flores
4 Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian ini adalah data hasil keluaran simulasi model laut Infrastructure Development for Space Oceanography (INDESO) berupa data arus (komponen zonal u dan meridional v), suhu, salinitas, dan tinggi paras laut dengan rentang waktu data dari tanggal 1 Januari 2008 sampai 31 Desember 2014. Data model arus merupakan data hasil simulasi harian rata-rata dari sirkulasi laut yang dikembangkan oleh proyek INDESO dari Balai Penelitian dan Observasi Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (BPOL KKP). Data model mempunyai resolusi grid horizontal 1/12o atau setara dengan 9.25 km serta resolusi vertikal terdiri dari 50 level kedalaman. Data hasil model INDESO perlu dilakukan validasi dengan data arus pengukuran langsung, serta data suhu permukaan laut, dan anomali tinggi paras laut dari satelit. Data arus pengukuran langsung diperoleh dari hasil pengukuran mooring Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP) dalam program Internal Tides and Mixing in The Indonesian Throughflow (INDOMIX) pada tahun 2010. Arus hasil INDESO divalidasikan dengan arus hasil pengukuran SADCP pada tanggal 18 Juli 2010 di dua kedalaman yaitu kedalaman 30 meter dan 130 meter. Anomali tinggi paras laut (TPL) merupakan masukan data yang digunakan untuk memodelkan pergerakan massa air INDESO. Perbedaan TPL merupakan salah satu penyebab terjadinya arus sehingga sangat penting dilakukan validasi TPL hasil INDESO dengan hasil dari satelit. Validasi model TPL dilakukan dengan data TPL dari Archiving Validation and Interpretation of Satelite Oceanographic (AVISO) yang merupakan gabungan dari satelit altimetri Jason-1, TOPEX/POSEIDON, Environmental Satellite (ENVISAT), Geodetic Satellit (GEOSAT), Geosat Follow-On (GFO), dan European Remote Sensing (ERS ½). Data ini memiliki resolusi spasial 1/4o atau setara dengan 27.78 km dan resolusi spasial 1 hari. Data dapat diakses melalui http://motu.aviso.altimetry.fr/. Data AVISO telah divalidasi menggunakan koreksi atmosfer, orbit error, dan data observasi pasang surut. Validasi model suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan data suhu permukaan laut dari proyek NASA yaitu Group High Resolution SST Pilot Project (GHRSST-PP). Data dapat diakses melalui https://podaac.jpl.nasa.gov/dataset/UKMO-L4HRfnd-GLOB-OSTIA. Data ini mempunyai resolusi spasial sebesar 1/20o atau sekitar 6 km dan mempunyai resolusi temporal 1 hari. GHRSST mengukur suhu permukaan laut dan analisis eslaut (Operational Sea Surface Temperature and Sea Ice Analysis, OSTIA) dengan menggunakan data dari berbagai sensor satelit yang mencakup the Advance Veri High Resolution Radiometri (AVHRR), the Advanced Along Track Scanning Radiometer (AATSR), the Spinning Enhanced Visible and Infrared Image (SEVIRI), the Advanced Microwave Scanning Radiometer–EOS (AMSRE), the Tropical Rainfall Measuring Mission Microwave Imager (TMI), dan data in situ hasil pengukuran drifting dan mooring buoy. Data suhu hanya divalidasi pada bagian permukaan karena tidak adanya data suhu untuk di bawah permukaan laut. Penelitian ini juga menggunakan data angin dari European Center for Medium Range Forecast (ECMWF) dengan cakupan wilayah di 5oLU-5oLS dan 70o BT yang berada di sebelah barat Samudera Hindia dan merupakan data
5 kecepatan komponen zonal angin rata-rata harian selama 2008-2014. Data angin ini diukur pada ketinggian 10 meter di atas permukaan laut dengan resolusi spasial 0.75o x 0.75o dan digunakan untuk melihat pola fluktuasi angin di sebelah barat ekuator Samudera Hindia serta kaitannya dengan perambatan Gelombang Kelvin secara intra-musiman. Data dapat diakses melalui situs http://dataportal.ecmwf.int/data/d/interim_full_daily/. Peralatan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop dengan sistem operasi Linux yang sudah terinstal perangkat lunak Ferret untuk komputasi dan visualisasi data, Matlab untuk analisis variabilitas arus, dan Ocean Data View (ODV) versi 4 untuk visualisasi. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data pada penelitian ini diilustrasikan dalam bentuk diagram alir (Gambar 2).
Gambar 2 Diagram alir proses pengolahan data pola sirkulasi arus, struktur menegak arus, dan variabilitas arus. Data hasil simulasi model INDESO divalidasi terlebih dahulu dengan menentukan tingkat akurasi dengan data satelit dan data lapang. Pengolahan data arus dan suhu pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak Ferret versi 6.72 untuk komputasi, visualisasi, dan analisis. Sedangkan variabilitas arus seperti
6 pengolahan analisis Continous Wavelet Transform (CWT) dan penapisan data menggunakan perangkat Matlab. Analisis Hovmoller menggunakan perangkat lunak ODV versi 4 untuk visualisasi data. Model INDESO Indonesia merupakan wilayah yang mempunyai garis pantai yang sangat kompleks. Pengaruh pasang surut yang kuat dan angin muson menyebabkan gambaran sirkulasi laut Indonesia sulit diperoleh. Oleh karena itu dilakukan pemodelan numerik untuk menggambarkan sirkulasi laut yang mendekati hasil realistik di lapang. Pemodelan numerik sirkulasi laut Indonesia telah sukses dilakukan dan dikembangkan oleh proyek INDESO dari BPOL KKP (Balai Penelitian dan Observasi Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan). Proyek INDESO ini menggunakan konfigurasi 1/12o yang berdasar pada NEMO/OPA 9.0 (Madec et al. 1998). INDO12 merupakan model fisik laut hasil simulasi dari OGCM (Ocean General Circulation Model) pada model NEMO yang mencakup seluruh Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) perairan Indonesia. Domain model mencakup Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia dengan koordinat 25o LU - 20o LS dan 90o BT-144o BT. Proyek INDESO ini menggunakan konfigurasi model fisik Nucleus for European Modelling of the Ocean (NEMO) versi 2.3 (Madec et al. 1998) dan dikembangkan oleh Perancis (Mercator-Ocean). Masukan data model NEMO terdiri dari data batimetri, TPL, suhu, salinitas, tegangan angin, pasang surut, dan masukan air tawar yang kemudian dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut mengenai dasar dinamika lautan serta interaksinya. Grid horisontal model INDESO merupakan hasil ekstrak dari grid ORCA dengan nilai grid sebesar 1/12o yang sebanding dengan 9 km dan dikembangkan oleh Perancis (Mercator-Ocean). Grid vertikal model INDESO terbagi dalam 50 level kedalaman. Pada kedalaman 10 meter pertama, ketebalan layer kurang dari 2 meter kemudian semakin bertambah 10 meter pada kedalaman 50 meter (Tranchant et al. 2015). Konfigurasi batimetri model ini berbasis pada ETOPO2 v2 dengan besar grid 2’ dan GEBCO dengan besar grid 1’ serta telah diinterpolasi oleh NEMO tanpa dilakukan smoothing. ETOPO2 v2 merupakan data relief baik darat maupun laut yang dikeluarkan oleh NOAA dengan besar grid 2 menit yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan dan pemodelan. GEBCO (General Bathimetric Chart of the Ocean) merupakan organisasi non-profit dari tim internasional geosaintifik dan hidrografer. Gaya tegangan atmosfer berasal dari data European Center (ECMWF) dan mempunyai nilai frekuensi yang tinggi. Model hubungan interaksi laut-atmosfer menggunakan formula “Bulk” dari CORE (Large dan Yeager 2004). Konfigurasi ini juga mencakup gaya pasang surut. INDO12 mempunyai geopotensial gaya pasang surut komponen M2, S2, N2, dan K2 (komponen utama pasut semidiurnal) dan komponen K1, O1, P1, dan Q1 (komponen utama pasut diurnal). Klimatologi bulanan dari limpasan air tawar diperoleh dari data limpasan air tawar di pantai dan 99 sungai utama di Indonesia. Konfigurasi ini berdasar pada Trenberth dan Dai (2002) dan dengan menentukan formula flux untuk dimasukkan kedalam model. Skema penetrasi cahaya pada simulasi ini berdasarkan pada komposisi 4 band gelombang cahaya. Klimatologi nilai klorofil membutuhkan perhitungan koefisien absorpsi yang berasal dari data klimatologi bulanan SeaWifs (McClain et al. 2004).
7 Validasi Data Model Validasi model yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui akurasi data model terhadap data hasil citra satelit berdasarkan nilai korelasi antar kedua data. Validasi dilakukan menggunakan data arus ADCP hasil INDOMIX, data TPL, dan suhu permukaan laut. Validasi data TPL dan suhu permukaan laut menggunakan persamaan koefisien korelasi Emery dan Thomson (2014) (Lampiran 1). Koefisien korelasi (r) merupakan suatu cara untuk menentukan seberapa baik hubungan antar dua variabel atau lebih dalam suatu ruang atau waktu (Emery dan Thomson 2014). Semakin nilai r mendekati 1 maka nilai akurasi antara data model dengan data satelit akan semakin baik. Validasi arus hasil INDESO dengan arus hasil ADCP dilakukan dengan cara membandingkan pola arus hasil ploting data INDESO dan ADCP. Apabila nilai hasil korelasi dan perbandingan pola arus baik maka model INDESO yang digunakan juga bagus dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut. Kecepatan Arus Rata-rata dan Suhu Rata-rata Perhitungan kecepatan arus rata-rata bertujuan untuk mengetahui dan menunjukkan pola sirkulasi umum arus di wilayah studi dalam bentuk spasial pada dua lapis kedalaman yaitu pada lapisan tercampur (25 meter) dan lapisan termoklin (131 meter). Perhitungan suhu rata-rata bertujuan untuk melihat sebaran suhu secara spasial di dua kedalaman yang nantinya akan ditumpang tindih dengan hasil rata-rata arus. Perata-rataan nilai suhu dan arus dilakukan selama tujuh tahun (2008-2014) dan tiap bulan dari tahun 2008-2014 dengan menggunakan perangkat Ferret versi 6.72 (Lampiran 2). Nilai rata-rata komponen arus dan suhu ditentukan dengan menggunakan persamaan 1 (Emery dan Thomson 2014): ∑ ̅
(1)
Komponen arus yang telah dirata-rata kemudian dicari nilai resultan kecepatan arus dengan cara mengakarkan hasil penjumlahan nilai rata zonal dan meridional kuadrat. Untuk mencari arah arus pada titik ke-i ( ) didapatkan dari perhitungan inversi tangen dari hasil pembagian dengan komponen arus zonal rata-rata ( ̅) dan meridional rata-rata ( ̅ ) : √̅ ̅
(2)
(
̅ * ) ̅
(
̅ ** ) ̅
(
̅ *** ) ̅
(
̅ **** ) ̅
(3)
8 Keterangan: ̅ = komponen arus rata-rata (u dan v) dan suhu rata-rata (m s-1 dan oC) N = jumlah data i =hari ke-i, data harian selama 7 tahun dan data bulanan selama 12 bulan Ri = resultan kecepatan arus pada titik ke-i (m/s-1) ̅ i = kecepatan arus zonal rata-rata pada titik ke-i (m/s-1) ̅ i = kecepatan arus meridional rata-rata pada titik ke-i (m/s-1) i = titik data, dalam bujur dan lintang = arah arus pada titik ke-i (o), dengan acuan 0o adalah utara (*) apabila ̅ i dan ̅ i bernilai positif (**) apabila ̅ i bernilai positif dan ̅ i bernilai negatif (***) apabila ̅ i dan ̅ i bernilai negatif (****) apabila ̅ i bernilai negatif dan ̅ i bernilai positif Struktur Menegak Komponen Arus Struktur menegak arus ditampilkan dalam bentuk tahunan rata-rata dan ratarata komponen arus pada musim barat (Desember-Februari), musim peralihan I (Maret-April), musim timur (Juni-Agustus), dan musim peralihan II (SeptemberNovember) terhadap kedalaman pada titik sampling terpilih. Metode ini bertujuan untuk menampilkan profil menegak komponen arus dominan pada titik pengamatan pada tiap musim. Komponen arus dominan pada titik A dan B adalah komponen arus zonal sedangkan komponen arus yang dominan di titik C adalah komponen arus meridional. Nilai rata-rata komponen zonal dan meridional ditentukan dengan mengikuti persamaan 1 (Emery dan Thomson 2014). Komponen arus ini dirata-rata berdasarkan kedalaman dengan rentang waktu tujuh tahun (2008-2014) dan tiap musim selama tujuh tahun (2008-2014) Fluktuasi Arus Secara Temporal Fluktuasi arus secara temporal ditampilkan dalam bentuk grafik anomali komponen arus dominan pada dua lapis kedalaman yaitu lapisan tercampur dan lapisan termoklin. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan secara umum arah arus dominan pada wilayah penelitian. Selain itu dari gambar yang akan dihasilkan dapat dilihat besarnya kecepatan arus dari panjang vektor dari tiap komponen yang terbentuk. Nilai positif pada komponen arus zonal menunjukkan arah arus ke timur dan nilai negatif menunjukkan arah arus ke barat. Nilai positif pada komponen arus meridional menunjukkan arah arus ke utara dan nilai negatif menunjukkan arah arus ke selatan. Anomali komponen arus dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: ( ) ̅ (4) Keterangan: xi = komponen arus (u dan v) ke-i ̅ = komponen arus rata-rata (u dan v) Perhitungan Volume Transpor Arlindo Penampang melintang pada 8o LS (Gambar 1) digunakan untuk melihat core Arlindo dan menghitung volume transpor massa air yang melewati Selat Lombok dengan menggunakan persamaan England dan Huang (2005):
9 ∬
(5)
Keterangan: ITF = debit Arlindo (1 Sv = 106 m3s-1) s = batas daratan dari 114.5o-118o BT v = kecepatan arus meridional λ = bujur dari 114.5o-118o BT z = kedalaman r0 = Rcosϕ R = radius bumi ϕ = lintang di 8o LS Analisis Hovmoller Analisis Hovmoller adalah analisis yang merata-ratakan data pada tiap grid sepanjang bujur atau lintang terpilih. Analisis ini bertujuan utuk melihat propagasi sinyal dari data deret waktu yang dapat menentukan kecepatan dan lama rambatan dari sinyal tersebut. Pada penelitian ini, Hovmoller dilakukan untuk melihat pola perambatan TPL dari Samudera Hindia menuju Laut Flores bagian barat. Wilayah transek Hovmoller mengikuti pola titik sampling terpilih yaitu dari Samudera Hindia sampai Laut Flores bagian barat (Gambar 1). Transformasi Wavelet Analisis wavelet menurut Torrence dan Compo (1998) merupakan upaya untuk mendekomposisi deret waktu ke dalam ruang waktu-frekuensi secara simultan. Metode ini menghitung energi spektrum dari deret waktu. Penggunaan transformasi wavelet untuk mengetahui waktu terjadinya suatu siklus yang dominan pada selang kepercayaan 95%. Transformasi wavelet yang digunakan adalah Continuous Wavelet Transform (CWT) hasil modifikasi Jean-Luc Me´lice et al. (2001) dan skrip dapat dilihat di Lampiran 3. Continuous Wavelet Transform (CWT) menggunakan persamaan Emery dan Thomson (2014): C (skala posisi) ∫- f(t) (skala posi
t)
(6)
Fungsi wavelet ( )didefinisikan sebagai berikut: ab
(t)
1
t-b
a
a
(7)
Keterangan : C = koefisien wavelet f(t) = keseluruhan data deret waktu = fungsi wavelet Morlet Mother a = parameter dilasi b = parameter translasi Transformasi wavelet kontinyu (CWT) didefinisikan sebagai integral terhadap seluruh waktu dari sinyal f(t) dikalikan dengan versi fungsi wavelet
10 yang digeser dan diskala. Hasil dari perhitungan CWT berupa koefisien wavelet C yang merupakan fungsi dari skala dan posisi. Prinsip kerja CWT yaitu menghitung sebuah sinyal melalui jendela modulasi pada setiap waktu dengan skala yang diinginkan. Penapisan Data Penapisan data bertujuan untuk memisahkan fluktuasi dengan frekuensi yang berbeda (frekuensi rendah dan frekuensi tinggi) dalam data sehingga diperoleh data sesuai dengan fluktuasi pada frekuensi yang diinginkan (Emery dan Thomson 2014). Pada penelitian ini, penapisan data arus difokuskan pada periode intra-musiman dengan fluktuasi 20-90 hari menggunakan bandpass filter (skrip di Lampiran 4). Filter bandpass menyaring sinyal agar data yang dihasilkan lebih tajam, yang mana filter ini melemahkan frekuensi rendah dan tinggi tetapi masih berada pada sebuah band dengan rentang frekuensi tengah pada rentang periode 20-90 hari. Proses penapisan data berlaku pada komponen arus di lapisan tercampur. | (f)| 1 utk fc1 |f| fc2 Keterangan fc (cut-off frekuensi) = batas transisi dari pass band ke stop band
(8)
Analisis Koherensi Analisis koherensi digunakan untuk menganalisis hubungan antara fluktuasi dua atau lebih variabel. Pada penelitian ini, analisis koherensi digunakan untuk melihat keterkaitan antara arus di titik A dengan titik B dan titik A dengan titik C pada selang periode intra-musiman (20-90 hari). Analisis koherensi terdiri dari kospektrum energi, koherensi, dan beda fase. Kospektrum energi menunjukkan besarnya energi fluktuasi pada periode yang sama antara kedua variabel. Apabila arus di titik sampling A mempengaruhi arus di titik sampling B atau arus di titik sampling A mempengaruhi arus di titik sampling C maka keduanya akan menunjukkan hubungan yang kuat antara kedua variabel (nilai koherensi yang tinggi). Beda fase menunjukkan perbedaan selang waktu antara kedua variabel. Beda fase positif menunjukkan bahwa fluktuasi variabel yang mempengaruhi mendahului variabel yang dipengaruhi, sedangkan beda fase negatif menunjukkan bahwa fluktuasi variabel yang dipengaruhi mendahului variabel yang mempengaruhi (skrip dapat dilihat di Lampiran 5). ( )) dihitung dari dua pasang komponen fourier Kospektrum energi ( dari data deret waktu dan yang diukur dalam setiap selang waktu dengan menggunakan rumus (Bendat dan Piersol 2010): ( )
| ( )
Dengan: ( ) = komponen Fourier dari xt ( ) = komponen Fourier dari yt = periode data
( )| ...................................... (9)
11 ( )) dihitung menggunakan persamaan (Bendat dan
Fungsi koherensi ( Piersol 2010):
( )
| (
(
)|
)
(
)
...................................... (10)
Dengan: ( ) = densitas energi ( ) ( ) = densitas energi ( ) ( )) dihitung menggunakan persamaan (Bendat dan
Nilai beda fase ( Piersol 2010):
( )
[
(
)
(
)
] ...................................... (11)
Dengan: ( ) ( ) = nilai imajiner dari ( ) ( ) = nilai nyata dari Nilai beda fase diubah dalam satuan waktu (hari) menggunakan persamaan: (
)
(
)()
(
) ........... (12)
12
HASIL DAN PEMBAHASAN Validasi Data Data deret waktu TPL dari tahun 2008-2014 hasil model INDESO dan satelit ditampilkan pada Gambar 3. Data TPL model INDESO dikorelasikan dengan data TPL dari Archiving Validation and Interpretation of Satelite Oceanographic (AVISO) dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.85 yang berarti tingkat keeratan antara data model dengan data satelit tinggi. TPL hasil dari model dan satelit (Gambar 3) menunjukkan pola fluktuasi dominan dengan periode tahunan (annual). Plot TPL hasil INDESO (hitam) dan plot TPL hasil satelit (merah) menunjukkan pola yang sama. TPL maksimum terjadi pada musim barat hingga musim peralihan I, sedangkan TPL minimum terjadi pada musim timur hingga musim peralihan II.
Gambar 3 Plot deret waktu TPL anomali hasil model INDESO (garis hitam) dan data TPL anomali AVISO (garis merah) pada kotak sampel hitam (Gambar 1) dari tahun 2008-2014. Plot time series data suhu permukaan model INDESO dan data Operational Sea Surface Temperature and Sea Ice Analysis (OSTIA) dari tahun 2008-2014 ditampilkan pada Gambar 4. Nilai koefisien korelasi antara data model dan data satelit suhu permukaan laut adalah 0.88 yang berarti bahwa dua data tersebut mempunyai tingkat keeratan yang tinggi. Dari Gambar 4, terlihat bahwa plot suhu permukaan laut hasil INDESO (hitam) dan hasil satelit (merah) mempunyai pola yang sama mengikuti fluktuasi semi-annual dengan suhu permukaan maksimum terjadi pada musim peralihan I dan peralihan II, sedangkan suhu permukaan laut terendah terjadi pada musim timur.
Gambar 4 Plot deret waktu suhu permukaan laut hasil model INDESO (garis hitam) dan data satelit OSTIA (garis merah) pada kotak sampel hitam (Gambar 1) dari tahun 2008-2014.
13 Perbedaan nilai antara hasil model dan satelit pada Gambar 3 dan Gambar 4 dikarenakan perbedaan metode penentuan nilai kedua data. Nilai hasil model INDESO menggunakan persamaan primitif sirkulasi laut regional dan global dalam skala ruang dan waktu, sedangkan data AVISO dan OSTIA merupakan gabungan dari berbagai data hasil satelit. Arus pada kedalaman 30 meter dan 130 meter pada model INDESO juga divalidasi menggunakan arus hasil pengukuran SADCP dari hasil ekspedisi INDOMIX. Arus model berupa arus zonal dan meridional pada tanggal 18 Juli 2010 yang diplotkan sesuai dengan hasil pengukuran dari ekspedisi INDOMIX tanggal 18 Juli 2010. Pada kedalaman 30 meter (Gambar 5), pola arus yang terbentuk dari simulasi model INDESO (panah merah) mempunyai kemiripan pola dengan arus hasil pengukuran INDOMIX (panah hitam). Arus di Laut Bali bergerak ke arah timur laut dan barat daya serta arus di Selat Lombok bergerak ke selatan. Selain itu juga terdapat perbedaan pola arus di dekat daratan seperti di sebelah selatan Pulau Lombok, arus hasil INDESO mengalami pelemahan sedangkan arus hasil dari SADCP kuat. Selain di selatan Pulau Lombok, arus hasil INDESO yang lemah juga ditemukan di sebelah utara Pulau Bali. Hal ini disebabkan hasil model INDESO tidak bisa memodelkan secara detail arus yang dekat dengan daratan. Plot arus hasil INDESO lebih renggang jika dibandingkan dengan hasil SADCP. Hal ini dikarenakan perbedaan resolusi secara horizontal yang mana data INDESO mempunyai grid horizontal sebesar 1/12 o sedangkan arus SADCP diplotkan dengan jarak ± 1km.
Gambar 5
Plot arus hasil model INDESO (panah merah) dan SADCP dari kegiatan INDOMIX (panah hitam) di kedalaman 30 meter.
14
Gambar 6
Plot arus hasil model INDESO (panah merah) dan SADCP dari kegiatan INDOMIX (panah hitam) di kedalaman 130 meter.
Hasil plot arus kedalaman 130 meter (Gambar 6), pola arus yang terbentuk dari hasil simulasi model INDESO (panah merah) secara umum mempunyai pola yang sama di Selat Lombok dengan hasil pengukuran INDOMIX (panah hitam). Sedangkan arus di Laut Bali dari hasil plot INDESO sangat lemah jika dibandingkan dengan hasil arus SADCP. Selain di Laut Bali, plot arus hasil INDESO di sebelah selatan Pulau Lombok juga sangat lemah dibandingkan hasil pengukuran SADCP. Hasil perhitungan korelasi data INDESO dengan data satelit dan perbandingan visualisasi plot arus INDESO dengan arus SADCP dapat dilihat bahwa data INDESO cukup baik dan dapat digunakan lebih lanjut untuk penelitian ini. Pola Sirkulasi Tujuh Tahun Rata-rata di Laut Bali-Laut Flores Pola distribusi tujuh tahun rata-rata (2008-2014) vektor arus dan suhu pada dua lapisan yaitu lapisan tercampur dan lapisan termoklin disajikan pada Gambar 7. Vektor menggambarkan arah arus dan kecepatan arus. Pola distribusi rata-rata tujuh tahun suhu pada lapisan tercampur dan lapisan termoklin menunjukkan penurunan nilai suhu. Nilai sebaran suhu pada lapisan tercampur berkisar dari 2529 oC, nilai sebaran suhu pada Laut Bali dan Laut Flores berkisar dari 28-29 oC, sedangkan pada selatan Laut Jawa dan Laut Lombok mengalami penurunan nilai
15 suhu yang berkisar dari 25.6-27.6 oC. Pada jalur utama arus, nilai suhu berkisar dari 27.8-28.5 oC lebih dingin dibandingkan dengan suhu di Laut Bali. Pada lapisan termoklin terlihat bahwa pola distribusi suhu mengikuti pergerakan arus utama menuju Laut Flores. Arus utama dari Selat Makassar membawa massa air yang lebih hangat dibandingkan dengan suhu di Laut Bali. Rentang nilai rata-rata suhu dari arus utama berkisar 20.4-21.5 oC sedangkan nilai rata-rata suhu Laut Bali berkisar 19-20 oC. Suhu terendah pada lapisan termoklin berada di selatan Laut Jawa dengan rentang suhu dari 17-18.5 oC. Pola arus tujuh tahun rata-rata pada lapisan tercampur ditunjukkan pada Gambar 7.a. Arus utama dari Selat Makassar dan Laut Jawa sepanjang tahun selalu bergerak menuju selatan dengan kecepatan arus utama dari Selat Makassar sekitar 0.5 m/det dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok serta sebagian berbelok menuju Laut Flores bagian timur. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Murray dan Arief (1988) bahwa 20% massa air dari Selat Makassar keluar melalui Selat Lombok dan selebihnya diteruskan ke Laut Flores dan Laut Banda. Gordon et al. (1994) menyebutkan bahwa gaya penggerak utama massa air pada lapisan 0-200 meter adalah karena adanya perbedaan tekanan permukaan laut yang kuat antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sehingga aliran arus sepanjang tahun mengalir ke selatan. Selain itu, arus dari Laut Jawa yang memasuki perairan Bali ikut keluar melalui Selat Lombok dengan kecepatan arus Laut Jawa sekitar 0.25 m/s2. Arus dari Laut Jawa yang memasuki perairan Bali mengalami perputaran arus yang berlawana arah jarum jam. Hal ini diakibatkan karena topografi pulau yaitu eksistensi dari Pulau Bali dan Pulau Kangean serta adanya interaksi aliran arus yaitu bertemu dengan arus Arlindo yang sangat kuat. Pola arus rata-rata tujuh tahun pada lapisan termoklin ditunjukkan pada Gambar 7.b. Gambar 7.b menunjukkan bahwa kekuatan arus semakin melemah seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada lapisan termoklin, terlihat jelas pola arus utama yang mengalir keluar melalui Selat Lombok dan sebagian berbelok ke Laut Flores. Arus utama tersebut merupakan Arlindo yang mengalir dari Selat Makassar yang bersumber dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Arlindo pada perairan ini sepanjang tahun bergerak menuju selatan. Arlindo di Laut Bali-Flores berasal dari Laut Sulawesi yang berperan sebagai pintu utama diteruskan melalui Selat Makassar sehingga memasuki Laut Flores dan sebagian keluar melalui Selat Lombok (Gordon et al. 1994; Gordon dan Fine 1996). Kekuatan arus Arlindo pada lapisan termoklin sekitar 0.3 m/s, lebih lemah jika dibandingkan dengan arus utama di lapisan tercampur. Hal ini dikarenakan arus yang bergerak di kedalaman yang lebih dalam akan sedikit terkena pengaruh eksternal seperti pengaruh angin muson (Stewart 2002). Arlindo mengalir dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia karena adanya perbedaan TPL antar kedua samudera (Wyrtki 1961). Arus di Laut Bali semakin melemah seiring bertambahnya kedalaman dengan kecepatan arus sekitar 0.05 m/s dikarenakan tidak adanya pengaruh eksternal seperti angin muson.
16
Gambar 7 Plot vektor arus hasil model INDESO (2008-2014) yang ditumpang tindih dengan hasil model sebaran suhu di Laut Bali-Laut Flores pada lapisan tercampur (a) dan lapisan termoklin (b). Skala suhu dan panjang vektor dibuat berbeda di tiap lapis kedalaman.
17 Pengaruh Musim Terhadap Pola Arus di Laut Bali-Laut Flores Pola distribusi rata-rata tiap bulan dalam tujuh tahun di lapisan tercampur ditampilkan dalam Gambar 8 dan Gambar 9. Gambar 8 merupakan vektor arus rata-rata bulanan dari Desember hingga Mei dan Gambar 9 merupakan vektor arus rata-rata bulanan dari Juni hingga November pada lapisan tercampur. Pada musim barat (Desember, Januari, Februari), massa air dari Laut Jawa membawa massa air hangat dengan kisaran suhu 28.9-30 oC dan suhu di selatan Laut Jawa berkisar 28.9-29.5 oC, sedangkan suhu di Laut Flores bagian barat cenderung lebih rendah yaitu sekitar 28-29 oC. Hal ini disebabkan pada musim barat, massa air di Laut Jawa berasal dari Laut Cina Selatan melewati Selat Karimata mempunyai suhu yang tinggi (Qu dan Lukas 2003; Qu et al. 2004). Massa air utama bergerak dari Laut Jawa dan Selat Makassar menuju ke Laut Flores bagian timur dan sebagian keluar melalui Selat Lombok. Pada bulan Januari (Gambar 8), massa air dari Laut Jawa mengalami kelokan dari Laut Bali hingga ke Laut Flores bagian timur. Selain itu juga arus dari Laut Jawa yang memasuki Laut Bali mengalami resirkulasi akibat eksistensi dari pulau Bali. Resirkulasi arus di Laut Bali ini berputar searah jarum jam (ditunjukkan dengan panah hijau tua). Selain di Laut Bali, resirkulasi arus searah jarum jam juga terbentuk di sebelah utara Selat Lombok. Resirkulasi arus ini terbentuk akibat adanya pertemuan massa air dari Laut Jawa yang berkelok menuju ke Laut Flores dengan massa air yang masuk melalui Selat Lombok dari Samudera Hindia, sedangkan pada bulan Februari resirkulasi arus sudah menghilang dan kecepatan arus utama dari Laut Jawa dan Selat Makassar semakin tinggi. Menurut Stewart (2002) arus yang berputar searah jarum jam memiliki inti pusaran yang lebih dingin dibandingkan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 8 bahwa suhu di pusaran arus mempunyai nilai lebih rendah dibandingkan sekitarnya. Musim peralihan I (Maret, April, Mei), suhu di Laut Bali mengalami perluasan dan peningkatan nilai suhu yang berkisar dari 29.2-30 oC. Sedangkan suhu pada jalur arus utama berkisar dari 28-28.6 oC. Pada bulan April dan Mei, di tengah Laut Bali bagian utara terlihat adanya pusaran suhu yang lebih hangat dibandingkan sekitarnya. Kecepatan arus utama dari Selat Makassar semakin tinggi menuju Laut Flores dan sebagian keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Pada musim ini, kecepatan arus dari Selat Makassar semakin tinggi sedangkan arus dari Laut Jawa mengalami pelemahan. Hal ini disebabkan karena berubahnya arah angin muson dari barat laut menjadi tenggara (Wyrtki 1961). Suhu pada musim timur (Gambar 9 di bulan Juni, Juli, Agustus) mengalami penurunan. Kisaran suhu pada jalur arus utama yaitu dari 26.5-27.4 oC, sedangkan pada Laut Bali mempunyai kisaran suhu sebesar 27.5-28.3 oC. Nilai suhu terendah berada pada wilayah selatan Laut Jawa dengan rentang suhu dari 25-26 oC. Menurut Wyrtki (1961) pada musim timur di Laut Jawa bagian selatan merupakan wilayah upwelling yang menyebabkan suhu di Laut Jawa bagian selatan sangat rendah. Pada musim timur juga mulai terbentuk resirkulasi arus di Laut Bali yang berputar berlawanan arah jarum jam (panah ungu tua) yang memiliki inti lebih hangat dibandingkan sekitarnya. Menurut Stewart (2002) arus yang berputar berlawan arah jarum jam memiliki inti pusaran yang lebih hangat dibandingkan sekitarnya.
18
Gambar 8 Plot vektor arus bulanan rata-rata hasil model INDESO pada lapisan tercampur yang ditumpang tindih dengan model sebaran suhu bulan Desember hingga Mei. Kekuatan arus dari Selat Makassar pada musim timur semakin meningkat hingga 0.5 m/s yang secara kontinu bergerak keluar melalui Selat Lombok dan sebagian berbelok menuju Laut Flores bagian timur. Arus utama yang bergerak pada musim timur mempunyai laju yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketika musim barat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gordon dan Susanto (2003) serta Sprintall et al. (2009) bahwa laju transpor tertinggi terjadi pada musim timur (Juni-Agustus), sedangkan aliran lintasan terendah terjadi pada musim barat (Desember-februari). Pada musim peralihan II (September, Oktober, November), kecepatan arus utama dari Selat Makassar mengalami pelemahan. Hal ini disebabkan berubahnya arah angin muson dari tenggara menuju barat laut (Wyrtki 1961). Resirkulasi arus di Laut Bali masih terlihat hingga musim peralihan II berakhir. Pada musim peralihan II, suhu perairan mulai menghangat akibat adanya masukan massa air hangat dari Laut Jawa ke Laut Bali dengan kisaran suhu sebesar 26.5-29.5 oC.
19
Gambar 9 Plot vektor arus bulanan rata-rata hasil model INDESO pada lapisan tercampur yang ditumpang tindih dengan model sebaran suhu bulan Juni hingga November. Arus pada lapisan termoklin secara umum bergerak semakin lemah. Semakin dalam pergerakan arus maka kecepatannya akan semakin lemah. Hal ini dikarenakan arus yang bergerak di kedalaman yang lebih dalam akan sedikit terkena pengaruh eksernal pembangkit arus seperti pengaruh angin muson (Stewart 2002). Gambar 10 dan 11 merupakan plot rata-rata bulanan arus yang ditumpang tindih dengan suhu pada lapisan termoklin. Arlindo merupakan arus yang dominan ditemukan pada lapisan termoklin. Arlindo terbentuk akibat adanya perbedaan TPL antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia. Pada musim barat (Gambar 10 bulan Desember, Januari, Februari), suhu pada Laut Flores bagian barat berkisar antara 20-21 oC, lebih tinggi jika dibandingkan dengan Laut Bali yang mempunyai suhu sekitar 19.4-19.7 oC dan selatan Laut Jawa yang mempunyai suhu hingga mencapai 17 oC. Hal ini karena Arlindo dari Samudera
20 Pasifik yang masuk melalui Laut Makassar mempunyai karakteristik suhu yang hangat (Qu dan Meyers 2005). Arlindo terlihat keluar melalui Selat Lombok dan sebagian dibelokkan menuju Laut Flores (Gambar 10). Pada bulan Januari di lapisan termoklin masih terlihat adanya resirkulasi arus tetapi kekuatannya semakin melemah. Kekuatan arus Arlindo pada musim barat lebih lemah jika dibandingkan dengan musim peralihan I. Pada musim peralihan I (Maret, April, Mei), kecepatan Arlindo semakin bertambah dan resirkulasi arus di Laut Bali sudah menghilang. Suhu pada jalur Arlindo juga semakin meningkat dengan kisaran 20.6-21.5 oC, sedangkan pada Laut Bali bagian utara kisaran suhu semakin menurun hingga 18.8 oC.
Gambar 10 Plot vektor arus bulanan rata-rata hasil model INDESO pada lapisan termoklin yang ditumpang tindih dengan model sebaran suhu bulan Desember hingga Mei. Suhu pada musim timur (Gambar 11 bulan Juni, Juli, Agustus) di jalur utama Arlindo (Laut Flores bagian barat) mengalami peningkatan yang berkisar
21 dari 20-25 oC dan suhu pada Laut Bali semakin menurun hingga kisaran 18.6-19 o C. Kecepatan Arlindo pada musim timur lebih tinggi dibandingkan dengan Arlindo pada musim barat. Hal ini dikarenakan pada musim timur, perbedaan muka lautan antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia mencapai maksimum (Wyrtki 1961; Purba dan Atmadipoera 2005). Kecepatan arus pada musim timur mencapai 0.4 m/s dan kecepatan arus pada Laut Bali sangat lemah hingga mencapai 0.05 m/s. Pada musim peralihan II (September, Oktober, November), suhu pada jalur utama Arlindo mengalami penurunan hingga berkisar dari 20.3-21.2 oC, sedangkan suhu pada Laut Bali bagian utara mengalami kenaikan hingga berkisar dari 19.1-19.5 oC. Pada musim peralihan II, kecepatan Arlindo mengalami pelemahan karena merupakan masa peralihan dari musim timur ke musim barat.
Gambar 11 Plot vektor arus bulanan rata-rata hasil model INDESO pada lapisan termoklin yang ditumpang tindih dengan model sebaran suhu bulan Juni hingga November.
22 Kuatnya Arlindo yang mengalir pada musim timur, sehingga dibuat penampang melintang pada koordinat 8o LS (Gambar 1) untuk melihat penampang komponen arus meridional yang keluar melalui Selat Lombok (Gambar 12) pada musim barat dan musim timur. Core Arlindo dibuat untuk dapat memperkirakan luasan daerah arus yang keluar melalui penampang dan estimasi volume transpor Arlindo. Hasil penampang melintang menunjukkan bahwa komponen arus yang dominan adalah komponen arus meridional yang mana komponen ini mempunyai nilai negatif dan bergerak menuju selatan. Kecepatan arus meridional pada lapisan permukaan sangat kuat dan semakin melemah seiring bertambahnya kedalaman. Pada musim barat (Gambar 12.a), komponen arus meridional mencapai 0.26 m/s pada lapisan permukaan dan semakin melemah hingga kecepatannya mencapai 0.02 m/s pada kedalaman 220 meter. Pada musim timur (Gambar 12.b), kecepatan arus di lapisan permukaan mencapai 0.3 m/s dan semakin berkurang seiring bertambahnya kedalaman hingga kecepatannya mencapai 0.04 m/s pada kedalaman 220 meter. Luasan penampang Arlindo pada musim barat dan musim timur yang tercatat berturut-turut adalah sekitar 29x106 km2 dan 39x106 km2. Dari hasil luasan penampang ini dapat diketahui estimasi dari volume transpor Arlindo pada musim barat dan musim timur berturut-turut sebesar 2 Sv dan 4.7 Sv. Hasil perhitungan volume trasnpor ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh Sprintall et al. (2009) sebesar 2.045 Sv (Januari-Februati) dan -3.87 Sv (Juni-Agustus). Hasil perhitungan luas penampang dan estimasi volume transport ini membuktikan bahwa pada musim timur laju Arlindo lebih tinggi dibandingkan pada musim barat.
Gambar 12 Hasil penampakan penampang melintang (cross section) di koordinat 8o LS pada musim barat (a) dan pada musim timur (b). Kotak merah merupakan core Arlindo. Gambar 13 merupakan penampang melintang dari resirkulasi arus yang terjadi selama musim barat (13.a) dan musim timur (13.b). Komponen arus zonal yang dekat dengan Pulau Jawa bernilai negatif menunjukkan bahwa arus dominan menuju barat dan komponen arus yang dekat dengan Pulau Kangean bernilai positif sehingga terbentuk putaran arus searah jarum jam. Putaran arus ini dapat terlihat hingga kedalaman 220 meter. Hal ini menunjukkan bahwa pusaran arus
23 masih dapat terlihat hingga lapisan termoklin (Gambar 9 di bulan Januari). Pada musim timur (Gambar 13.b), arus yang berada dekat Pulau Kangean mempunyai nilai negatif yang berarti arus menuju barat. Selanjutnya arus dibelokkan menuju ke timur yang ditandai dengan nilai arus zonal positif di dekat Pulau Bali. Akibat pembelokan ini terjadi putaran arus yang berlawanan arah jarum jam. Putaran ini hanya dapat dilihat sampai kedalaman 60 meter, sehingga sudah tidak terlihat lagi pada lapisan termoklin (Gambar 10 di bulan Juni-Agustus). Komponen arus di penampang 115o BT pada musim timur semakin melemah seiring dengan bertambahnya kedalaman.
Gambar 13 Hasil penampang melintang (cross section) pada koordinat 115o BT pada musim barat (a) dan pada musim timur (b). Struktur Menegak Komponen Arus Komponen struktur menegak arus dominan pada titik sampling A, B, dan C ditampilkan pada Gambar 14. Komponen arus dominan pada titik A dan B adalah arus zonal sedangkan titik C berupa arus meridional. Pada musim barat, komponen arus zonal di titik A (Gambar 14.a) mengalami penguatan kecepatan maksimal di lapisan permukaan yang bergerak ke arah timur dan selanjutnya semakin menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada musim peralihan I hingga musim peralihan II, komponen arus zonal mengalami penguatan kecepatan hingga mencapai maksimal pada kedalaman 30 meter ke arah timur dan selanjutnya menurun hingga kedalaman 130 meter kemudian stagnan dengan kecepatan arus hampir mendekati nol hingga lapisan dalam. Komponen arus zonal di titik sampling B pada musim barat bergerak kearah timur, sedangkan pada musim timur dan musim peralihan I dan II bergerak ke arah barat (Gambar 14.b). Selanjutnya, arus semakin melemah hingga kedalaman 30 meter dan kemudian stagnan dengan kecepatan hingga mencapai nol sampai lapisan dalam. Komponen meridional pada titik sampling C sangat fluktuatif bergantung dengan musim. Pada musim barat, di lapisan permukaan hingga kedalaman 10 meter mempunyai kecepatan arus yang lemah yaitu sekitar 0.05 m/s, kemudian mengalami kenaikan kecepatan hingga 0.3 m/s pada kedalaman 50 meter dan selanjutnya mengalami penurunan seiring bertambahnya kedalaman.
24 Pada musim timur, kecepatan arus meridional di lapisan permukaan hingga kedalaman 10 meter sekitar 0.3 m/s kemudian semakin menurun hingga kedalaman 50 meter, selanjutnya semakin meningkat hingga mencapai maksimum pada kedalaman 130 meter dengan kecepatan sekitar 0.3 m/s.
Gambar 14 Struktur menegak komponen arus rata-rata musiman zonal titik sampling A (a), rata-rata musiman zonal titik sampling B (b), serta rata-rata musiman arus meridional titik sampling C (c). Deret Waktu (2008-2014) Model Arus di Tiga Titik A, B, dan C Deret waktu komponen arus dominan di titik A, B, dan C pada lapisan tercampur dan termoklin ditampilkan pada Gambar 15 dan Gambar 16. Pada lapisan tercampur di titik A, fluktuasi komponen arus zonal terjadi tiap satu bulanan dengan arah arus dominan menuju ke timur. Komponen arus zonal secara umum mengalami kenaikan pada musim barat yang mana arus menuju ke timur, sedangkan mengalami pelemahan setiap musim timur dengan arah arus ke barat. Hal ini dipengaruhi oleh adanya angin muson yang terjadi dua kali dalam setahun. Pada musim timur, angin muson bergerak dari tenggara menuju ke barat laut sehingga massa air bergerak menuju barat, begitupun sebaliknya ketika musim barat (Wyrtki 1961; Ilahude dan Nontji 1999). Komponen arus zonal pada lapisan tercampur di titik B terlihat menguat setiap musim barat dengan arah arus menuju ke timur dan melemah setiap musim timur dengan arah arus menuju ke barat. Fluktuasi komponen arus zonal di titik B mengikuti periode semi-annual. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh angin muson ketika musim barat, angin berhembus dari barat laut menuju ke tenggara. Begitupun sebaliknya ketika musim timur, arus sepenuhnya berbalik karena angin muson dari tenggara (Wyrtki 1961; Ilahude dan Nontji 1999). Pada lapisan tercampur di titik C, komponen arus meridional bergerak secara konsisten menuju
25 ke selatan dengan kecepatan maksimum pada musim timur. Akan tetapi, pada waktu tertentu terdapat arus yang bergerak menuju ke utara (musim barat). Hal ini diduga diakibatkan adanya rambatan dari Gelombang Kelvin dari Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Menurut Sprintall et al. (2000), Gelombang Kelvin yang masuk melalui Selat Lombok dapat membalikkan arah Arlindo menuju ke utara.
Gambar 15 Deret waktu (2008-2014) komponen arus zonal (hitam) dan arus meridional (merah) di lapisan tercampur pada titik sampling A (a), titik sampling B (b), dan titik sampling C (c).
Gambar 16 Deret waktu (2008-2014) komponen arus zonal (hitam) dan arus meridional (merah) di lapisan termoklin pada titik sampling A (a), titik sampling B (b), dan titik sampling C (c). Deret waktu komponen arus di lapisan termoklin ditampilkan pada gambar 16. Pada titik A, komponen arus zonal bergerak ke timur pada musim timur sedangkan arus zonal bergerak ke barat pada musim barat dengan fluktuasi arus
26 tiap satu bulanan. Pada titik B, komponen arus zonal sangat lemah bahkan hampir mendekati nol. Arus mengalami penguatan ketika musim timur sedangkan arus melemah ketika musim barat. Fluktuasi komponen arus zonal di titik B mengikuti periode annual. Pada titik C, komponen arus meridional dominan bergerak menuju selatan dengan fluktuasi arus mengikuti pola annual. Arus meridional ini menguat ketika musim timur dan melemah pada musim barat. Hal ini sesuai dengan pernyatan Wyrtki (1961) bahwa Arlindo pada musim timur mengalami kekuatan maksimum. Variabilitas Arus di Tiga Titik A, B, dan C Hasil analisis dari koefisien wavelet (CWT), komponen arus di tiga titik sampling terpilih pada lapisan tercampur dan termoklin ditampilkan dalam Gambar 17 dan Gambar 18. Periodisasi fluktuasi arus terbagi menjadi empat bagian yaitu Intra-Seasonal Variability (ISV) dengan rentang periode 20-90 hari, Semi-Annual Variability (SAV) pada periode sekitar 180 hari, Annual Variability (AV) pada periode sekitar 365 hari, dan Inter-Annual Variability pada periode lebih dari 365 hari. Pada lapisan tercampur di titik A (Gambar 17.a), periodesasi fluktuasi arus zonal terjadi pada selang periode tertentu, terutama rentang waktu ISV, SAV, dan AV. Nilai koefisien wavelet dengan kisaran 0.3-1 berada pada periode 20-90 hari atau 1 hingga 3 bulanan (ISV). Pada periode ISV ini terlihat bahwa modulasi tertinggi terjadi tiap musim barat hingga peralihan I di tahun 2008-2014. Selain itu, di titik A juga terlihat adanya variasi musiman (SAV) pada periode 150-200 hari dengan nilai koefisien 0.3 - 0.4. Kemudian pada variasi tahunan (AV), terlihat nilai koefisien wavelet sebesar 0.3-0.4. Periodesasi fluktuasi arus zonal di titik B ditampilkan pada Gambar 17.b. Hasil wavelet menunjukkan bahwa fluktuasi varian dominan terjadi pada selang ISV, SAV, dan AV. Nilai spektrum tertinggi pada periode ISV mempunyai nilai koefisien berkisar 0.2-1 terjadi pada tahun 2008, 2012, 2013, dan 2014. Pada variasi SAV mempunyai nilai koefisien sekitar 0.3-0.8. Variasi tahunan (AV) mempunyai nilai koefisien sebesar 0.2-0.5. Pada titik C, fluktuasi arus meridional dominan terjadi pada selang waktu tertentu yaitu ISV, SAV, dan AV. Pada periode ISV mempunyai nilai koefisien sebesar 0.2-1, periode SAV dengan nilai koefisien 0.3-0.6 dan AV dengan nilai koefisien sebesar 0.3-0.4. Hasil periodesasi di titik A, B, dan C pada lapisan tercampur, dapat dilihat fluktuasi variabilitas dominan terjadi pada rentang ISV, SAV, dan AV. Rentang ISV pada ketiga titik sampling mempunyai nilai koefisien yang sangat tinggi dibandingkan dengan rentang SAV dan AV . Dari hasil analisis wavelet ditemukan adanya pola intra-musiman pada ketiga titik, seperti pola yang terlihat jelas di tahun 2008, 2011, 2012, 2013, dan 2014. Hal ini memungkinkan adanya perambatan Gelombang Kelvin dengan periode intra-musiman dari titik A menuju titik B dan titik C. Gelombang Kelvin ini dibangkitkan oleh angin di barat ekuator Samudera Hindia yang berfluktuasi secara intra-musiman (Qiu et al. 1999). Gelombang Kelvin yang berasal dari ekuator Samudera Hindia sangat mempengaruhi variabilitas intra-musiman di Selat Lombok (Arief dan Murray 1996; Qiu et al. 1999; Pujiana et al. 2013). Pola perambatan Gelombang Kelvin akan lebih jelas dibahas pada Gambar 19 dan Gambar 20.
27
Gambar 17 Analisis Continuous Wavelet Transform (CWT) pada lapisan tercampur di titik sampling A (a), titik sampling B (b), dan titik sampling C (c). Garis putih putus-putus menunjukkan hasil periodisitas arus dominan yaitu Intra-Seasonal Variability (ISV), Semi-Annual Variability (SAV), dan Annual Variability (AV).
28
Gambar 18 Analisis Continuous Wavelet Transform (CWT) pada lapisan tercampur di titik sampling A (a), titik sampling B (b), dan titik sampling C (c). Garis putih putus-putus menunjukkan hasil periodisitas arus dominan yaitu Intra-Seasonal Variability (ISV), Semi-Annual Variability (SAV), dan Annual Variability (AV).
29 Gambar 18 pada lapisan termoklin terlihat bahwa fluktuasi arus zonal di titik A mempunyai varian dominan ISV dengan nilai spektrum sebesar 0-1. Periode SAV juga mempunyai nilai spektrum tinggi yaitu berkisar 0.4-0.7, dan periode AV mempunyai nilai spektrum sebesar 0.3-0.5. Fluktuasi arus di titik B pada lapisan termoklin mempunyai variasi dominan pada periode ISV dengan nilai spektrum 0.3-0.9 dan periode SAV dengan nilai spektrum sebesar 0.3-0.7. Pada titik C di lapisan termoklin, fluktuasi arus dominan pada periode AV dengan kisaran spektrum 0.5-1 dan periode ISV pada kisaran koefisien 0.4-0.6. Perambatan Gelombang Kelvin dari titik A menuju titik B dan titik C dapat dilihat dengan cara membuat plot skala intra-musiman angin di barat ekuator Samudera Hindia dan arus skala intra-musiman di titik A, B, dan C. Dari Gambar 19.a terlihat pola angin zonal di sebelah barat ekuator Samudera Hindia dengan cakupan wilayah di 5o LU-5o LS dan 70o BT dalam rentang intra-musiman. Pada musim peralihan I (Maret-Mei) dan peralihan II (September-November) terjadi lonjakan kecepatan angin yang tinggi menuju ke timur Seperti yang terjadi pada tahun 2009-2011. Hal ini merupakan angin baratan yang kuat di tropis Samudera Hindia Tengah pada musim transisi yang menggerakkan arus ekuator yang kuat (equatorial jet) ke arah timur (Wyrtki 1973). Akibat angin yang kuat ini, dapat memungkinkannya terbentuk Gelombang Kelvin yang merambat sepanjang Sumatera, Jawa, Bali hingga masuk ke Selat Makassar melalui Selat Lombok. Gambar 19.b pada titik A mempunyai pola sinyal sama dengan titik B (Gambar 19.c) dan titik C (Gambar 19.d) yang menandakan adanya penjalaran sinyal dari titik A (Samudera Hindia) menuju ke titik B (Laut Bali) dan titik C (Jalur Arlindo, Barat Laut Flores). Seperti terlihat pada tahun 2012, awal sinyal terbentuk pada titik A kemudian menuju titik B dan titik C. Hal ini membuktikan adanya perambatan Gelombang Kelvin yang masuk dari Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Penelitian ini juga sejalan dengan pernyataan Syamsudin et al. (2004) bahwa Gelombang Kelvin mempunyai kisaran periode dari 35-90 hari dan muncul pada bulan November/Desember dan Maret-Mei. Analisis Hovmoller dilakukan untuk melihat perambatan sinyal TPL dari titik A menuju titik B dan C. Diagram Hovmoller disajikan pada Gambar 20 dengan domain wilayah mengikuti titik sampling. Dari Gambar 20.a, TPL di Samudera Hindia tertinggi pada musim barat (awal tahun) dan peralihan I serta terendah pada musim timur, sedangkan di jalur Arlindo TPL pada musim timur lebih tinggi dibandingkan pada musim barat dan peralihan I. Pada tahun 2012 dibulan Maret (Gambar 20.b), terlihat rambatan tingi muka laut menjalar dari Samudera Hindia masuk melalui Selat Lombok dan bergerak menuju Selat Makassar. Hal ini sejalan dengan penelitian Pujiana et al. (2013) yang meneliti propagasi Gelombang Kelvin melalui penjalaran TPL bahwa TPL menjalar dari Sumatera, Jawa, Bali dan masuk melalui Selat Lombok menuju ke Selat Makassar. Selain itu juga, berdasarkan penelitian Syamsudin et al. 2004 yang melakukan analisis Hovmoller sepanjang Sumatera hingga Sumbawa menjelaskan bahwa Gelombang Kelvin terlihat pada bulan April/Mei atau November/Desember.
30
Gambar 19 Plot hasil filter bandpass skala intra-musiman (20-90 hari) angin zonal di barat ekuator Samudera Hindia (a), dan skala intra-musiman arus di titik sampling A (b), titik sampling B (c), dan titik sampling C (b) di lapisan tercampur.
Gambar 20 Hasil analisis Hovmoller TPL pada tahun 2008-2014 (a), dan terfokus pada tahun 2012 (b).
31 Analisis Koherensi Analisis koherensi komponen arus dominan antara komponen zonal di titik sampling A dengan komponen zonal di titik sampling B dan antara komponen zonal di titik sampling A dengan komponen arus meridional di titik sampling C di lapisan tercampur dan termoklin pada periode intra-musiman (20-90 hari) ditunjukkan pada Gambar 21 dan 22 serta Tabel 1 dan 2. Hasil analisis koherensi komponen arus zonal di titik sampling A dengan titik sampling B pada lapisan tercampur (Gambar 21.a), menunjukkan bahwa komponen arus zonal mempunyai nilai koherensi sebesar 0.56 pada variasi 2 bulan dengan beda fase negatif 5.25 hari. Hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan tercampur, keterkaitan komponen arus di titik A dengan titik B negatif, arus di titik B terbentuk terlebih dahulu kemudian di titik A dengan beda waktu sekitar 5 hari. Pada lapisan termoklin (Gambar 21.b) mempunyai nilai koherensi sebesar 0.59 yang terjadi pada variasi 1 bulanan dengan nilai beda fase positif 6.23 hari. Hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan termoklin, keterkaitan komponen arus di titik A dengan titik B positif, arus di titik A terbentuk terlebih dahulu kemudian di titik B dengan beda waktu sekitar 6 hari.
Gambar 21 Koherensi komponen arus zonal di titik sampling A dan komponen arus zonal di titik sampling B pada lapisan tercampur (a) dan lapisan termoklin (b) dalam selang intra-musiman (20-90 hari).
32 Tabel 1 Koherensi titik sampling A dengan titik sampling B pada dua lapisan kedalaman. Lapisan Tercampur Termoklin
Koherensi 0.56 0.59
Periode (Hari) 50 45
Fase θ
Hari -0.77 1.97
5.25 6.25
Analisis koherensi antara titik A dan titik C pada lapisan tercampur dan termoklin disajikan dalam Gambar 22. Pada lapisan tercampur, nilai koherensi sebesar 0.58 pada variasi 1 bulanan, dengan beda fase positif sekitar 2 hari. Hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan tercampur, arus berasal dari titik A kemudian mengalir ke titik C dengan rentang waktu 2 hari. Pada lapisan termoklin, nilai koherensi tertinggi yaitu 0.63 pada variasi 2 bulanan mempunyai beda fase negatif dengan waktu sekitar 10 hari dan nilai koherensi sebesar 0.52 pada variasi 1 bulanan yang mempunyai beda fase negatif sekitar 6 hari. Hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan termoklin, arus berasal dari titik C kemudian mengalir ke titik A dengan rentang waktu 6-10 hari.
Gambar 22 Koherensi komponen arus zonal di titik sampling A dan komponen arus meridional di titik sampling C pada lapisan tercampur (a) dan lapisan termoklin (b) dalam selang intra-musiman (20-90 hari).
33 Tabel 2 Koherensi titik sampling A dengan titik sampling C pada dua lapisan kedalaman. Lapisan Tercampur Termoklin
Koherensi
Fase
Periode (Hari)
0.58 0.52 0.63
θ 43 39 58
0.39 -1.93 -2.35
Hari 2.56 6.73 10.81
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pola sirkulasi rata-rata di Laut Bali-Laut Flores yang bergerak dari Selat Makassar menuju ke Samudera Hindia melewati Selat Lombok dan sebagian dibelokkan menuju Laut Flores bagian timur. Arus utama ini mempunyai kecepatan maksimum pada musim timur dan kecepatan minimum pada musim barat yang disebabkan oleh perbedaan TPL yang besar ketika musim timur antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia. Hal ini juga ditandai dengan luasan core arus utama yang melewati Selat Lombok pada musim timur lebih luas dibandingkan musim barat dengan estimasi volume transport 2 Sv ketika musim barat dan 4.7 Sv pada musim timur. Selain itu juga ditemukannya pusaran arus di dua lokasi yaitu sebelah utara Laut Bali dan sebelah utara Selat Lombok pada lapisan tercampur. Pusaran terbentuk akibat interaksi antar dua arus yang kuat yaitu arus utama dari Selat Makassar dan arus dari Laut Jawa serta eksistensi dari Pulau Kangean dan Pulau Bali. Sebaran vertikal komponen arus di tiga titik sampling diperoleh bahwa arus sangat berfluktuatif bergantung musim dan semakin menurun seiring bertambahnya kedalaman akibat berkurangnya pengaruh dari atmosfer seperti angin. Hasil analisis wavelet menunjukkan bahwa rentang variabilitas dominan di titik A, B, dan C berada pada periode intra-musiman, semi-tahunan, dan tahunan. Pada periode intra-musiman, terjadi perambatan Gelombang Kelvin dari Samudera Hindia menuju ke Laut Flores bagian barat pada bulan Maret/April. Hasil analisis koherensi titik A dan B mempunyai variasi 1 hingga 2 bulanan dengan nilai beda fase negatif pada lapisan tercampur dan positif pada lapisan termoklin, sedangkan hasil analisis koherensi titik A dan C mempunyai variasi 1 hingga 2 bulanan dengan nilai beda fase positif pada lapisan tercampur dan negatif pada lapisan termoklin. Saran Perlu dilakukan perhitungan yang lebih teliti untuk menghitung volume transport Arlindo. Untuk mendeteksi Gelombang Kelvin perlu dilakukan analisis koherensi secara spasial agar terlihat jelas perambatan Gelombang Kelvin dari Samudera Hindia menuju Selat Lombok.
34
DAFTAR PUSTAKA Atmadipoera A, Molcard R, Madec G, Wijffels S, Sprintall J, Koch-Larrouy A, Jaya I, Supangat A. 2009. Characteristics and variability of the indonesian throughflow water at the outflow straits. Deep-Sea Res I. 56: 1942-1954. Arief D, Murray SP. 1996. Low frequency fluctuations in the Indonesian Throughflow through Lombok Strait. J Geophys Res. 101:12455-12464. Bendat JS dan Piersol AG. 1971. Random Data Analysis and Measurement Procedures, 2nd Edition. New Jersey (US): John Wiley & Sons, Inc, Emery WJ, Thomson RE. 2014. Data Analysis Methods in Physical Oceanography. Waltham (US): Elsevier. England MH, Huang F. 2005. On the interannual variability of the Indonesian Throughflow and its linkage with ENSO. J Clim. 18:1435-1444. Gordon AL, Ffield AL, Ilahude AG. 1994. Termocline of Flores and Banda Sea. J Geophys Res. 99:18235-18242. Gordon AL, Fine RA. 1996. Pathways of water between the Pacific and Indian Oceans in the Indonesian Seas. Nature. 379:146–149. Gordon AL, Susanto RD. 2003. Throughflow whitin Makassar Strait. Geophys Res Lett. 26:3325-3328. Hautala SL, Sprintall J, Potemra J, Ilahude AG, Chong JC, Pandoe W, Bray N. 2001. Velocity structure and transport of the Indonesian Throughflow in the major strait restricting flow into the Indian Ocean. J Geophys Res. 106:19527-19546. Ilahude AG, Nontji A. 1999. Oseanografi indonesia dan perubahan iklim global (El-Nino dan La-Nina). Jakarta (ID). LIPI. Madec G, Delecluse P, Imbard M dan Levy C. 1998. OPA 8,1 Ocean General Circulation Model Reference Manual. Paris (FR) : Note du Pole de Modelisation. Institut Pierre Simon Laplace (IPSL). McClain CR, Feldman GC, and Hooker SB. 2004. An overview of the SeaWiFS project and strategies for producing a climate research quality global ocean bio-optical time series. Deep-Sea Res II. 51:5–42. Melice JL, Coron A, Berger A. 2001. Amplitude and frequency modulation of the Earth’s obliquity for the last millions years. J Clim. 14:1043-1054. Murray SP, Arief D. 1988. Throughflow into the Indian Ocean through Lombok Strait, January 1985–January 1986. Nature. 333:444–447. Potemra JT, Hautala SL. 2001. Interaction between the Indonesian Seas and the Indian Ocean in observations and numerical models. J Phys Oceanogr. 32:1838-1858. Pujiana K, Gordon L, Sprintall J. 2013. Intraseasonal Kelvin Wave in Makassar Strait. J Geophys Res Ocean. 118:2023-2034.
35 Purba M, Atmadipoera AS. 2005. Variabilitas anomali tinggi paras laut (TPL) dan arus geostrofik permukaan antara Laut Sulawesi, Selat Makassar, dan Selat Lombok dari data Altimeter TOPEX/ERS2. J Ilmu-Ilmu Per Perik Ind. 12(2):139-152. Qiu B, Mao M, Kashino Y. 1999. Intraseasonal variability in the Indo-Pacific Throughflow and regions surrounding the Indonesian Seas. Am Meteorol Soc. 29:1599-1618. Qu T, Lukas R. 2003. On the bifurcation of the North Equatorial Current in Pacific. J Phys Oceanogr. 33:5-18. Qu T, Kim YY, Yaremchuk M, Tozuka T, Ishida A, Yamagata T. 2004. Can Luzon Strait Transport play role in conveying the impact of ENSO to the South Cina Sea?. J Clim. 17:3644-3657. Qu T, Meyers G. 2005. Seasonal characteristics of circulation in the southeastern tropical Indian Ocean. J Phys Oceanogr.35:255-267. Sprintall J, Gordon AL, Martugudde R, Susanto RD. 2000. A semi-annual Indian Ocean forced Kelvin wave observed in the Indonesian Seas in May 1997. Geophys Res Lett. 105:17217-17230. Sprintall J, Wijffels SE, Molcard R, Jaya I. 2009. Direct estimation of the Indonesian Throughflow entering the Indian Ocean: 2004-2006. J Geophys Res. 114:1-9. Stewart RH. 2002. Introduction to Physical Oceanography. Calvestone (US): Dept. of Oceanography Texas A & M University. Susanto RD, Gordon AL, Sprintall J. 2007. Observations and proxies of the surface layer throughflow in Lombok Strait. J Geophys Res. 112:1-11. Susanto RD, Ffield A, Gordon Al, Adi TR. 2012. Variability of Indonesian throughflow within Makassar Strait, 2004-2009. J Geophys Res. 117:1-16. Syamsudin F, Kaneko A, Haidvogel DB. 2004. Numerical and observational estimates of Indian Ocean Kelvin wave intrusion into Lombok Strait. Geophys Res Lett. 31:1-4. Torrenco C, Compo GP. 1998. A practical guide to wavelet analysis. Bull Am Meteorol Soc. 79: 61-78. Tranchant B, Reffray G, Greiner E, Nugroho D, Koch-Larrouy A, Gaspar P. 2015. Evaluation of an operational ocean model configuration at 1/12 o spatial resolution for the Indonesian seas-part 1:Ocean physics. Geoscient Mod Develop. 8:6611-6668. Trenberth KE, Dai A. 2002. Estimates of freshwater discharge from continents: Latitudinal and seasonal variations. J Hydrometeorol. 3: 660-687. Wyrtki K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian Water. Naga Report. 2(1): 1-195. Wyrtki K. 1973. An equatorial jet in the Indian Ocean. Science. 1:262-264.
36 LAMPIRAN Lampiran 1 Persamaan koefisien korelasi Emery dan Thomson (2014): ∑ ̅ ̅
(
(
̅ )(
̅)
) ...................................
̅)
....................................
∑ ∑ ∑ ∑
(
(
̅) √
√
..........ai.............................
...............................................
................................aai................
Keterangan: r = koefisien korelasi N = banyaknya data i = titik data, dalam bujur dan lintang ̅ = rata-rata data model selama 7 tahun ̅ = rata-rata data satelit selama 7 tahun xi = data model ke-i yi = data satelit ke-i Sx,Sy = simpangan baku data model (x) dan satelit (y)
37 Lampiran 2 Skrip analisis data menggunakan perangkat lunak Ferret versi 6.72 !MEAN use namadata.nc sh da fill variabel[d=1,l=@ave] go land_detail thick frame/file=namahasil.ps
membuka data menampilkan detail data menampilkan data rataan secara spasial menampilkan garis pantai menyimpan gambar dalam format postscript
!CLIMATOLOGY use climatological_axes let nama_clim=variabel[d=1,gt=month_reg@MOD] fill nama_clim[l=1] save/clobber/file=namafile.nc nama_clim !CROSS SECTION use namafile.nc sh da fill nama_clim[X=bujur terpilih,Y=lintang terpilih, L=1:2@ave] Lampiran 3 Skrip analisis data menggunakan Continuous Wavelet Transform (CWT) %This program performs the Continuous Wavelet Transform (CWT) %of the input time series y. %It plots the series in normalized form %and displays the modulus (amplitude) of the CWT %in the time-period space. %The period is expressed in unit of time. %What you simply have to do is: %(1) rename your time series y %(2) type CWT_JL %If you want to look more precisely at the output, %there two important files: %(1) the matrix named "wave" is the CWT matrix %(2) the periods for which the CWT is calculated % are in the vector named "period" y=reshape(y,length(y),1); clear aa period yyyy yyyylab x1 x2 wave scale f x scale; ny=length(y); ny2=round(ny/2); exp1=0; exp2=round(log2(ny2))+1; inter=20;
38 Lampiran 3 (Lanjutan) j=0; k0=5.4; for m=exp1:exp2-1; jj=inter-1; for n=0:jj; a=2^(m+n/inter); j=j+1; aa(j)=a; end; end; a=2^exp2; aa(j+1)=a; omega0=1/2*(k0./aa+sqrt(2+k0*k0)./aa); period=1./omega0*2*pi; aa=aa'; period=period'; %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% y=y'; y=(y-mean(y))/std(y); k0=5.4; % dt=1; n1=length(y); base2=fix(log(n1)/log(2)+0.4999); if(2^base2-n1 < 0) base2=base2+1; end; x=[y,zeros(1,2^base2-n1)]; y=y'; n=length(x); % k=[1:fix(n/2)]; k=k.*((2.*pi)/(n*dt)); k=[0., k, -k(fix((n-1)/2):-1:1)]; % f=fft(x); % scale=aa; J=length(aa); wave=zeros(J,n); wave=wave+i*wave; % nn=length(k); for a1=1:J; expnt=-(scale(a1).*k - k0).^2/2.*(k > 0.); norm=sqrt(scale(a1)*k(2))*(pi^(-0.25))*sqrt(nn); daughter=norm*exp(expnt); daughter=daughter.*(k>0.); wave(a1,:)=ifft(f.*daughter)/sqrt(scale(a1));
39 Lampiran 3 (Lanjutan) end; wave=wave(1:J,1:n1); %%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% %subplot(2,1,2); figure(1); contourf(abs(wave),25); shading flat; %mesh(abs(wave)); view(0,-90); for k=1:exp2+1; exponent=k-1; brol=abs(period-2^exponent); [x1,x2]=min(brol); yyyy(k)=x2; yyyylab(k)=2^exponent; end; set(gca,'yTick',yyyy,'yTickLabel',yyyylab,'FontSize',14); set(gca,'Xtick',[1 180 367 547 731 911 1096 1276 1461 1641 1826 2006 2191 2371 2557],'FontSize',14,'FontName','Arial','XTickLabel',{'Jan08' ,'Jun08','Jan09','Jun09','Jan10','Jul10','Jan11','Jul11','Ja n12','Jul12','Jan13','Jul13','Jan14','Jul14','Jan15'}) ylabel('periode (harian)','FontSize',14); xlabel('waktu','FontSize',14); caxis([0,1]); colorbar('vertical');
Lampiran 4 Skrip penapisan data (filtering) %FILTER % INTRA-SEASONAL BANDPASS first=84; second=127; somme=sum(real(wave(1:length(aa),:))); filtrage=sum(real(wave(first:second,:))); standard=std(somme); filtrage=filtrage/standard; figure(6); plot(idate,filtrage,'k');hold on; legend ('Intraseasonal'); datetick('x','mmmyy'); grid on; ylim([-3 3])
40 Lampiran 5 Skrip analisis data menggunakan metode Koherensi PSD clear clc % Cross PSD estimate load zon2C.txt; load meri2A.txt; Y1 = zon2C(:,1); Y2 = meri2A(:,1); f = 1/1227; %cross psd [Pxy,f]= cpsd(Y1,Y2,[],0,2557,1); magnitude = abs(Pxy); figure(1); semilogx(f,magnitude), grid on figure(2); period = 1./f; semilogx(period,magnitude), grid on % Coherensi [Cxy,f]= mscohere(Y1,Y2,[],0,2557,1); figure(3); plot(f,Cxy); figure(4); semilogx(period,Cxy), xlabel ('Periode'); ylabel ('Koherensi'); grid on % phase angle phase=angle(Pxy); figure(5); semilogx(period,phase); figure(6); [Pxy,f]= cpsd(Y1,Y2,[],0,2557,1); magnitude = abs(Pxy); subplot(3,1,1); semilogx(period,magnitude), grid on [Cxy,f]= mscohere(Y1,Y2,[],0,2557,1); subplot(3,1,2); semilogx(period,Cxy), grid on phase=angle(Pxy); subplot(3,1,3); semilogx(period,phase), grid on;
41
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu, Jawa Barat pada tanggal 18 September 1994 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Mukidin dan Alfiyah. Penulis merupakan lulusan dari Madrasah Aliyah Negeri Ciwaringin Cirebon tahun 2012. Pendidikan Sarjana ditempuh di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Semasa kuliah penulis aktif sebagai asisten mata kuliah Oseanografi Umum periode 2013-2014 dan 2014-2015, asisten mata kuliah Oseanografi Fisika periode 2014-2015, kordinator asisten mata kuliah Oseanografi Fisika periode 2015-2016, dan asisten mata kuliah Oseanografi Terapan periode 2015-2016. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan HIMITEKA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan) divisi Keilmuan dan Keprofesian tahun 2013-2014. Selain organisasi kemahasiswaan, penulis juga pernah mendapatkan juara III dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) bidang Penelitian Eksakta (PKM-PE) Tahun 2016 di Bogor dan menjadi pemakalah dalam acara Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan (PIT) XIII Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia di Surabaya. Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana, penulis mengangkat tema penelitian dan karya tulis berupa arus laut dengan judul skripsi “Pola dan Variabilitas Arus di Wilayah Laut Bali-Laut Flores dari Model INDESO Tahun 2008-2014”.