POKOK-POKOK PIKIRAN TENTANG PENGELOLAAN OPERASIONAL PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT Disampaikan pada Seminar Nasional Strategi Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah di Denpasar, 5 Mei 2007 Oleh : Prof. Haryono Suyono, MA., PhD. Yayasan Damandiri, Jakarta Gurubesar UNAIR, Surabaya
I.
Pendahuluan
Seminar Nasional tentang Strategi Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah yang diselenggarakan hari ini, dalam rangka Peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas 2007, sungguh sangat tepat. Peringatan Hardiknas 2007 secara tidak langsung, atau kebetulan, diawali munculnya harapan baru dengan dicanangkannya Visi Indonesia 2030 yang cukup optimistik. Kalau kita tidak cukup optimistik, Visi Indonesia 2030 itu bisa kita anggap sebagai cetusan cita-cita bangsa. Atau bisa juga dianggap sebagai cita-cita bangsa yang diprediksi, atau “lebih aman” bisa dianggap sebagai cita-cita yang diimpikan. Namun, kalau lebih optimistik, dan visi itu dianggap bukan impian, minimal bisa dianggap sebagai “arahan” untuk mencapai cita-cita bangsa pada tahun 2030. Kalau Visi itu dianggap sebagai “arahan cita-cita bangsa”, maka cita-cita itu hanya bisa terwujud apabila ada perhatian, komitmen dan prioritas yang tinggi terhadap bidang pendidikan. Dengan kata lain, suksesnya impian yang tertuang dalam visi itu mengharuskan bidang pendidikan dan pelatihan, dalam limabelas tahun pertama, antara sekarang sampai tahun 2015, kita semua bekerja keras mempersiapkan sumber daya manusia yang bermutu dan dinamik. Sukses impian itu tergantung kemampuan bangsa ini mempersiapkan pendidikan dan lapangan kerja yang memadai agar anak-anak bangsa, setelah belajar dan berlatih dengan tekun, bisa bekerja dan menghasilkan sesuatu dengan baik. Dengan persiapan itu, harapannya pada limabelas tahun yang kedua, antara tahun 2015 sampai tahun 2030, setiap anak bangsa mampu memberikan sumbangan nyata agar cita-cita yang tertuang dalam Visi Indonesia tahun 2030 bisa terwujud dan seluruh keluarga Indonesia berkembang menjadi keluarga sejahtera. Dari naskah Visi Indonesia 2030 yang dikembangkan Indonesia Forum beberapa waktu lalu dinyatakan bahwa perekonomian Indonesia yang mengantar visi itu akan 1
dimotori oleh sektor jasa. Biarpun visi tahun 2030 itu pada awalnya diantar oleh sektor industri, tetapi setelah tahun 2015 sektor jasa akan menjadi penyumbang yang terbesar. Sektor pertanian yang dewasa ini cukup dominan secara bertahap akan menurun peranannya. Namun karena sistem pertanian makin menggunakan tehnologi modern, tingkat produktifitas bidang pertanian akan tetap tinggi dan bisa memberikan sumbangan positif pada kesejahteraan petani. Untuk mempersiapkan tenaga-tenaga penggerak di sektor industri dan jasa yang diharapkan mulai memainkan peran signifikan pada tahun 2025, bidang pendidikan dan pelatihan harus bekerja keras menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu dan terampil. Karena itu arah bidang pendidikan, khususnya pendidikan anak-anak muda, harus makin dipacu tidak saja sampai pada tingkat sekolah menengah pertama atau SMP, tetapi lebih tinggi lagi sampai pada tingkat sekolah menengah atas atau SMA dan perguruan tinggi. Dalam limabelas tahun kedua keseimbangan pendidikan anak perempuan pada tingkat SMA perlu dipacu agar makin banyak anak perempuan bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi dan mempersiapkan diri menjadi pemimpin dibidang industri dan jasa. Lebih dari itu, anak-anak muda tidak saja belajar dalam bidang ilmu tetapi harus pula mahir dalam berbagai ketrampilan yang segera bisa mengantar setiap anak muda siap bekerja di bidang industri dan jasa. Untuk mencapai pengembangan penduduk yang berkualitas seperti itu dihadapi minimal tiga jenis tantangan yang harus dijinakkan agar upaya yang dirancang dan dikembangkan secara operasional di lapangan tidak saja memenuhi kebutuhan sesaat tetapi juga mampu menyiapkan bangsa ini untuk masa depan yang makin sejahtera. Ketiga tantangan itu meliputi tantangan globalisasi yang harus bisa dimanfaatkan secara maksimal. Tantangan budaya nasional, yang tidak perlu disesali atau dirombak, tetapi justru dikembangkan untuk mendukung aspirasi baru yang perlu dipacu agar membawa bangsa ini tetap jaya sepanjang masa. Hampir diseluruh provinsi dihadapi tantangan kependudukan yang berbeda dengan tantangan di tahun 1970-an karena akibat transisi penduduk yang cepat. Tantangan internal atau tantangan birokrasi yang mungkin saja bersifat struktural yang harus disesuaikan dengan jiwa reformasi untuk mengantar seluruh anak bangsa sejajar dengan bangsabangsa maju lainnya. Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut diperlukan strategi operasinal yang dituangkan dalam program dan kegiatan dengan komitmen dan dukungan yang memadai untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang kita cita-citakan. Komitmen itu harus disertai dukungan anggaran yang memadai sehingga prioritas pendidikan dapat dilaksanakan dengan baik. Dukungan operasional itu meliputi dukungan budaya peduli pendidikan, dukungan pendidikan peduli pada masyarakat, dukungan jaringan industri dan jasa peduli pendidikan, penggunaan kriteria pokok atau indikator untuk mengarahkan penduduk menjadi penduduk berkualitas serta pedoman pengelolaan operasinal pendidikan dasar yang bisa dijadikan pegangan untuk mengembangkan program pendidikan yang komprehensif bagi generasi muda yang diharapkan merangsang pertumbuhannya menjadi penduduk berkualitas.
2
Catatan ini secara singkat mencari alternatif pemecahan awal yang kiranya dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengembangkan strategi operasional sambil menunggu kesiapan sistem pendidikan nasional yang lebih mantab untuk mengantar anak bangsa memacu diri mengejar ketertinggalan bangsa dan negaranya. II.
Tantangan Yang Dihadapi Bangsa
Dalam suasana globalisasi yang sangat dahsyat dan dinamis dewasa ini bangsa Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang silih berganti, bahkan kadang satu dan lainnya saling bersinergy dan menyebabkan bangsa ini seakan tidak mampu menghadapinya. Sumber daya manusia, mulai dari pemimpin sampai rakyatnya di pedesaan, yang kepandaian dan ketrampilannya terbatas, seakan nampak bodoh tidak bisa menyelesaikan masalah yang menghambat kemajuan bangsa sehingga membuat masyarakat sangat kecewa. Akibatnya tantangan globalisasi itu seakan menimbulkan syak wasangka bahwa segala yang datang dari luar tidak baik dan perlu ditentang dengan mempertahankan budaya lama, termasuk budaya yang pada zaman ini tidak cocok lagi dan perlu disegarkan. Kombinasi penerimaan nilai baru dan penyegaran budaya ini biasanya jarang terjadi karena anggapan atas tata nilai yang keliru dan tidak kontekstual. Secara singkat tantangan-tantangan itu adalah sebagai berikut : a. Tantangan Globalisasi Arus globalisasi, utamanya dalam bidang budaya, politik, ekonomi dan tehnologi berjalan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Batasan-batasan tata nilai dan organisasi kemasyarakatan mendapat limpahan arus baru melalui globalisasi yang sangat dahsyat dan menyebar dengan kekuatan daya tarik yang sangat dominan. Masyarakat yang sederhana, sopan dan lemah lembut di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia, yang mempunyai dan menghargai budaya hidup damai, gotong royong dan peduli terhadap sesamanya, mendadak tergiur sistem nilai baru yang sangat membesar-besarkan individualisme dan kehidupan materialisme yang tinggi. Sendi-sendi kehidupan yang tenang dan damai, dengan munculnya budaya globalisasi yang kadang membingungkan disertai berkembangnya tehnologi yang terapannya dalam masyarakat sekilas mempermudah kehidupan sederhana yang semula dirasa berat, mampu menarik perhatian dan minat masyarakat. Banyak anggota masyarakat memberikan respon positif dengan mengorbankan segalagalanya. Mereka beralih kepada kehidupan modern dengan persiapan yang sangat terbatas. Terperosok, putus asa dan biasanya malu untuk mundur. Tidak jarang keputusasaan seperti itu berakhir dengan kekecewaan. Mereka yang selamat mengatasi globalisasi muncul sebagai kelas menengah dan atas baru yang dengan gigih membawa anak bangsa lainnya untuk bergelut dan menangkap kesempatan baru yang terbuka. Tetapi ada pula yang gagal, 3
sebagian yang tidak lagi mengenal asal usulnya. Mereka lupa dan makin tidak peduli terhadap sesama anak bangsa. Mereka bertingkah seperti bukan warga yang berasal dari negara dan nenek moyangnya. Mereka muncul kepermukaan dengan menganut sistem nilai baru yang untuk sebagian dianggap aneh dan membingungkan. b. Tantangan Budaya Perubahan yang mendadak itu oleh masyarakat umum merupakan kejutan yang tidak lagi bisa dipersiapkan sebagai proses ajustment atau penyesuaian melalui pelatihan atau upaya lainnya. Sebagian sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja masyarakat tanggap terhadap apa yang sedang berubah di sekitarnya. Namun budaya malas dan nrimo muncul dalam sikap dan tingkah laku enggan belajar. Budaya ini bisa juga muncul karena adanya rasa malu bertanya. Masyarakat merasa mampu untuk melakukan penyesuaian sendiri dan enggan untuk bertanya, apalagi belajar kepada mereka yang dianggap tidak sebanding. Akhirnya sebagian tertinggal jauh dan sukar untuk berubah. Padahal masyarakat luas berubah dan tidak peduli terhadap mereka yang tertinggal. Masyarakat yang enggan berubah atau enggan mengikuti pelatihan akan tertinggal dari mayarakat barunya. Masyarakat semacam itu biasanya bersifat kaku dan merasa sanggup melakukan perubahan sendiri. Budaya malu atau bahkan di beberapa kalangan menjadi budaya malas itu biasanya diselimuti dengan alasan ingin bertahan pada peninggalan nenek moyang atau alasan lain yang dianggap mulia. Kadang-kadang budaya malu itu disebabkan karena penduduk atau masyarakat pada umumnya malas untuk berubah. Kemalasan ini ditutupi dengan penolakan untuk mempersiapkan diri terhadap perubahan jaman. Sikap yang seakan seperti budaya itu merugikan banyak kalangan. Bisa menimbulkan konotasi bahwa budaya ini menjadikan suatu bangsa dianggap lamban dan tidak sanggup menerima perubahan yang terjadi di sekitarnya. Kecepatan antar suku di suatu negara seperti Indonesia bisa saja berkembang menimbulkan disparitas kemajuan. Solusinya bisa sederhana, yaitu melalui pendidikan dan pelatihan yang tujuannya tidak saja mengandalkan pendadaran fisik tetapi juga pengembamgam sikap mental yang diharapkan bisa memperkecil disparitas yang mungkin timbul karena persepsi yang salah dalam menanggapi perubahan budaya yang berkembang. c. Tantangan Kependudukan Berkat keberhasilan program KB, Kesehatan dan pembangunan lainnya selama empatpuluh tahun terakhir, penduduk Indonesia mengalami transisi demografi yang sangat cepat. Transisi yang di negara-negara maju biasanya berlangsung antara 100 sampai 150 tahun, di Indonesia berlangsung hanya dalam waktu satu generasi. Transisi mengakibatkan penduduk dibawah usia 15 tahun seakan akan berhenti berkembang. Sebaliknya penduduk yang sebelumnya sangat 4
besar jumlahnya pada usia tersebut karena pelayanan kesehatan yang makin baik tumbuh menjadi penduduk diatas usia 15 tahun dan menggantikan penduduk sebelumnya dengan kelipatan dua sampai tigakali lipat jumlah sebelumnya. Akibatnya penduduk usia 15 sampai 65 tahun membengkak sampai dua atau tiga kali lipat sehingga apabila mendapat bekal pendidikan sebelumnya dan memperoleh kesempatan kerja yang mengungtungkan bisa menjadi pendukung penduduk yang lebih muda dan tidak bertambah jumlahnya. Ini berarti bahwa dengan penduduk dewasa yang lebih besar dukungan untuk menyekolahkan anakanaknya sesungguhnya bertambah baik. Begitu juga sarana yang harus disediakan. Kalau setiap tahun ada tambahan anggaran untuk menyempurnakan sarana pendidikan maka kualitas pendidikan bisa bertambah baik. d. Tantangan Internal Tantangan kependudukan yang memberi peluang lebih banyak untuk mengirim anak ke sekolah yang bertambah mutunya tidak selalu mulus karena ada tantangan internal dalam lingkungan bidang pendidikan. Tantangan internal itu terkait dengan adanya jalur birokrasi yang biasa lamban menerima adanya perubahan. Tantangan birokrasi umumnya menghalangi timbulnya perubahan karena bisa merugikan kalangan yang tidak mau belajar atau sudah mapan pada kedudukannya. Tantangan internal harus diatasi dengan komitmen pimpinan yang tinggi dan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap bidang pendidikan dan pelatihan dalam menyiapkan tenaga kerja yang siap tempur. Dalam pendekatan birokrasi yang kaku bisanya munculnya suatu perubahan sukar sekali diterima dan ditegakkan. Alasan klasiknya adalah ketidakpastian. Alasan lain adalah ketakutan akan hilangnya kepercayaan yang bisa berakibat fatal terhadap keutuhan birokrasi yang telah lama dikembangkan. Dari gambaran diatas nampak sekali peran bidang pendidikan dan pelatihan dalam mengatasi kelambanan dan sekaligus menangkap peluang baru yang makin terbuka dalam alam globalisasi dewasa ini. III.
Operasionalisasi Pendidikan Berbasis Masyarakat Pemanfaatan tata nilai baru yang pro pemberdayaan, peningkatan mutu dan pembangunan masyarakat mandiri yang sejahtera memerlukan operasionalisasi bidang pendidikan secara luas. Bidang pendidikan tidak saja harus menyiapkan anak didik menjadi manusia berkualitas, tetapi harus aktif membantu masyarakat mengembangkan budaya baru yang menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan. Mendambakan manusia berkualitas dan menghargai manusia sebagai pelaku dan sekaligus bisa menikmati hasil pembangunan dengan baik. Perlu siinergy yang manis antara modal manusia, modal alam dan fisik serta modal sosial budaya yang dimiliki masyarakat luas. Sinergy ini harus diolah dan tidak bisa dibiarkan berkembang bebas. Tantangan globalisasi demikian kuat 5
sehingga kalau tidak secara sadar dilakukan upaya untuk membangun sinergy pro pendudikan untuk anak bangsa, bisa saja kekuatan manusia, sumber daya alam dan fisik serta modal sosial budaya yang selama ini menjadi kekuatan perekat dan dinamika masyarakat kita justru beralih menjadi pembunuh persatuan dan kesatuan bangsa serta cita-cita masyarakat adil makmur dan sejahtera yang selama ini diperjuangkan. Agar upaya meningkatkan peran bidang pendidikan memberikan peran yang maksimal, tanpa berpretensi merubah sistem pendidikan yang telah diputuskan oleh pemerintah, bidang pendidikan perlu diarahkan bukan saja mendidik anak didik yang sekolah, tetapi juga berperan memberdayakan orang tua atau minimal calon orang tua dalam memahami delapan fungsi utama keluarga. Delapan fungsi utama keluarga itu adalah fungsi agama, budaya, cinta kasih, perlindungan, kesehatan dan reproduksi, pendidikan, ekonomi dan cinta lingkungan. Sejalan dengan pikiran itu diatas, ada dua komitmen budaya yang sinergynya perlu dikembangkan, yaitu pendidikan peduli masyarakat dan masyarakat, termasuk industri dan jasa, yang peduli pendidikan. Dibawah ini diuraikan gagasan-gagasan pokok, yang bisa disempurnakan sesuai kondisi, dan dapat dikembangkan atau diterapkan untuk meningkatkan hasil akhir yang diharapkan, yaitu berupa anak didik yang bisa menyelesaikan sekolahnya dengan hasil optimal, sekaligus memberi bekal menghadapi perubahan dan akhirnya hidup bahagia dan sejahtera. a. Menyiapkan Budaya Masyarakat Peduli Pendidikan Untuk mengembangkan budaya masyarakat peduli pendidikan, berbagai program dan kegiatan sosialisasi yang bersifat luas perlu dikembangkan. Pengembangan pendidikan dasar dan menengah tidak cukup dengan menyediakan gedung sekolah, perlengkapan sekolah dan guru serta rekrutmen calon siswa yang baik dan bermutu. Program komunikasi, informasi dan edukasi bagi masyarakat luas perlu dikemas dan dilaksanakan dengan baik secara terpadu. Ada tiga komponen pokok yang perlu berjalan berbarengan. Pertama gedung dan peralatan sekolah yang memadai. Kedua, guru dan fasilitas mengajar yang baik. Dan ketiga, masyarakat pro pendidikan yang dengan penuh perhatian menyerahkan anakanaknya untuk sekolah dengan dukungan yang memadai. Dengan program KIE yang dikemas dengan baik masyarakat dapat diyakinkan bahwa kegiatan pendidikan adalah kegiatan pemberdayaan bernuansa dan berbasis manusia yang partisipasinya harus dilakukan dengan rajin, tidak dapat diwakilkan karena diharapkan menghasilkan pengikutnya menjadi anak yang cerdas, beriman, berbudi pekerti luhur, terampil, innovatif serta tanggap terhadap perubahan. Karena proses ini berjangka panjang maka upaya tersebut dimulai dari saat yang sangat dini misalnya dengan mengajak para orang tua untuk mengajak anak-anak mulai saat masih berusia dibawah lima tahun bergabung dalam kegiatan Bina Keluarga Balita atau BKB. Apabila di suatu desa dikembangkan
6
lembaga Pendidikan Anak Dini Usia atau PADU, sebaiknya anak-anak dibawah usia lima tahun diikut sertakan. Apabila suatu keluarga karena alasan tertentu tidak dapat mengikut sertakan anak-anak balitanya dalam kegiatan BKB, hendaknya diusahakan agar keluarga lain yang lebih mampu dapat memberi bantuan agar anak balita itu bisa bergabung dalam kegiatan BKB atau masuk dalam PADU. Dukungan pada pendidikan dini itu bukan sekedar mengirim anak balita ke sekolah atau kegiatan pendidikan pra sekolah, tetapi suatu upaya yang intinya merangsang kepedulian setiap keluarga betapa pentingnya pendidikan yang setinggi-tingginya untuk setiap anak, termasuk dan terutama anak perempuan, agar mempunyai masa depan yang sejahtera. Cakupan anak yang bersekolah harus menjadi ukuran awal membangun budaya masyarakat peduli pendidikan tersebut. Cakupan yang tinggi merupakan syarat awal dari pengembangan budaya universal masyarakat peduli pendidikan dan mutu masa depan bangsa. Untuk pengembangan budaya ini secara luas, diluar bidang pendidikan formal perlu diupayakan pemupukan cinta sekolah melalui berbagai kegiatan. Sebagai contoh sederhana, kegiatan menimbang balita untuk mengetahui apakah seorang balita itu sehat dan pertumbuhannya normal bisa dirangsang dengan sistem lomba. Balita yang sehat dan menunjukkan kenaikan berat badan dengan baik diberikan hadiah yang menarik. Hadiah untuk lomba semacam ini, biarpun anak balita belum bisa membaca, disediakan berupa buku bacaan. Tujuannya adalah agar setiap ibu atau bapaknya, atau saudaranya, membacakan buku itu untuk anak balita yang menang dalam lomba. Pembacaan buku yang menarik akan merangsang orang tua dan anak-anaknya makin cinta kepada buku dan akhirnya cinta sekolah, cinta pendidikan. Kebiasaan cinta sekolah tersebut perlu dipupuk sampai usia yang lebih dewasa. Pendekatannya tentu harus makin menarik biarpun tidak harus makin rumit. Anak-anak muda perlu dibiasakan membaca atau menulis cerita yang menarik. Cerita-cerita yang menarik diusahakan bukan saja ditonton di televisi tetapi juga ditulis dan diterbitkan sebagai buku. Karena itu kebiasaan menulis kegiatan sehari-hari secara rapi dan meramunya menjadi cerita menarik, bahkan kalau mungkin menjadi bahan pendidikan, bisa menciptakan masyarakat yang cerdas dan berpikir sistematis. Cara berpikir seperti ini merupakan bagian penting dari pengembangan masyarakat yang cerdas dan siap menghadapi perubahan. Masyarakat terdidik sanggup mempergunakan gelombang perubahan karena globalisasi sebagai pemicu masyarakat untuk makin maju dan modern dengan isian peradaban luhur. Kebiasaan mencatat dan membuat buku harian dan menghasilkan kisah yang menarik tentang diri sendiri, keluarga, masyarakat dan budaya sekeliling bisa menjadi pengantar dari pengembangan masyarakat modern dengan ketrampilan tinggi serta marak dengan budaya saling peduli sesama anak bangsa. Apalagi kalau rasa peduli sesama itu diwujudkan tidak saja dalam sikap, tulisan, atau sekedar wacana, tetapi dimunculkan sebagai tingkah laku saling menghargai 7
diantara sesama anak bangsa. Bangsa ini tidak saja mempunyai budaya peduli pendidikan sejak saat dini tetapi menjadi bangsa yang berkualitas, utuh dan tahan banting. b. Menyiapkan Budaya Jaringan Pendidikan Peduli Masyarakat Kalau masyarakat diharapkan peduli terhadap pendidikan, maka sebaliknya juga harus diupayakan agar pembangunan dibidang pendidikan di Indonesia menghasilkan munculnya budaya baru Jaringan Pendidikan yang peduli terhadap masyarakat sekitarnya. Karena itu upaya mendidik anak muda bangsa tidak boleh dilepaskan dari masyarakatnya. Anak-anak didik di sekolah tidak menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh masyarakat sekitarnya, tetapi justru menyatu, ikut peduli dan menggarap segala persoalan yang merisaukan masyarakatnya dan ikut prihatin dan berusaha mencari penyelesaiannya bersama masyarakat sekitarnya. Karena itu Kepala Sekolah, guru dan seluruh pengurus lembaga pendidikan sesering mungkin mengadakan pertemuan dengan keluarga siswa di sekitarnya. Membahas persoalan yang timbul atau tumbuh di masyarakatnya. Anak-anak didik mulai di sekolah dasar dilatih bercerita dan menulis banyak tentang desanya, sawah dan ladang yang luas, sistem penggarapan pertanian dan peternakan, belajar mengubah hal-hal yang dirasa kurang baik menjadi makin marak dan menarik. Kerja sesudah sekolah menjadi latihan mengembangkan keindahan lingkungan dan mengubah yang tidak bermanfaat menjadi makin menarik dan menguntungkan. Pada tingkat sekolah menengah pertama, masalah-masalah yang hidup di sekitar desa digubah menjadi cerita menarik yang bisa saja dikirim ke surat kabar dan majalah untuk menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri yang makin tinggi. Kepada anak-anak diperkenalkan keadaan sekitar yang luas, bergelar indah dari desa ke kecamatan dan selanjutnya belajar mengenal kabupaten serta lingkungan yang ada. Kebanggaan akan kampung halaman, kecamatan dan kabupaten atau kotanya bisa membekas untuk mengembangkan cita-cita cinta tanah air di masa depan. Pada tingkat sekolah menengah atas, kebiasaan menulis tentang keadaan sekitar itu ditambah lagi dengan menulis tentang keluarga dan permasalahan yang mereka alami. Membahas keluarga lain yang menjadi tetangganya. Dan akhirnya membahas masyarakat yang lebih luas. Pengenalan daerah dengan segala persoalan yang dihadapi keluarga itu diharapkan menghidupkan empati dan saling peduli diantara sesama. Tingkatan yang lebih tinggi lagi bagi setiap sekolah adalah bahwa anak-anak didiknya tidak saja mengenal pelajaran atas dasar buku-buku yang mungkin diseragamkan secara nasional, tetapi bisa membaca situasi yang nyata di lapangan. Kalau hal ini dilakukan, sekolah akan mendapat keuntungan ganda. Pertama, anak didik mahir melihat secara wajar apa yang sedang terjadi. Dan kedua, sekolah dan jaringannya makin dicintai masyarakat karena ternyata mempunyai kepedulian 8
yang tinggi terhadap masyarakat dan persoalan yang dihadapi. Sekolah dinilai peduli terhadap masyarakat disekitarnya. c. Menyiapkan Jaringan Industri dan Jasa Peduli Pendidikan Perhatian pada masyarakat yang mulai dikembangkan pada tingkat sekolah menengah pertama diteruskan dengan lebih bermakna pada jaringan pendidikan sekolah menengah atas. Apabila kedekatan sekolah dengan masyarakat ditata dengan baik, setiap sekolah mengembangkan komite sekolah bukan saja untuk urusan sekolah, tetapi bagaimana membawa pendidikan makin dekat kepada masyarakatnya, maka bidang industri dan jasa di sekitar sekolah, atau di desa yang sama, atau di kecamatan dan kabupaten/kota yang sama, akan lebih mudah diajak makin peduli terhadap bidang pendidikan. Kepedulian ini bukan saja karena sekolah mendidik anak-anak karyawan suatu pabrik, atau suatu industri, tetapi karena kepedulian itu akan mendorong sekolah untuk makin akrab terhadap usaha industri dan jasa yang berkembang di sekitarnya. Kedekatan jaringan industri dan jasa kepada dunia pendidikan bukan saja karena mereka memberi bantuan peralatan atau hibah alat laboratorium, tetapi karena bidang industri dan jasa berkepentingan untuk ikut mengarahkan kebutuhan pasar yang tumbuh di sekitarnya. Karena pasar di bidang industri dan jasa akan menjadi sangat dominan di masa depan, tidak salah kalau anak-anak muda sejak saat dini, yaitu saat di bangku SLTA sudah diajak akrab dengan kedua bidang yang akan menjadi dominan tersebut. Anak-anak muda diajak belajar dalam sistem dengan disiplin tinggi, bergaul dengan jajaran karyawan yang mungkin saja datang dari segala suku di tanah air, agama yang berbeda-beda, asal usul yang beragam, dan bahasa serta tingkah laku yang juga berbeda-beda. Anak-anak makin mahir belajar geografi karena kenalannya di bidang industri dan jasa beragam asal usulnya. Anak-anak belajar menahan diri karena mereka bergaul dengan karyawan tua yang mungkin saja pendidikannya rendah tetapi pengalamannya jauh lebih matang. Banyak hal yang tidak ada di sekolah bisa dipelajari karena anak-anak langsung berhadapan dengan guru yang tidak mengajar tetapi bekerja keras dalam suatu proses industri yang hasilnya bukan saja dinilai dengan skore A, atau B, atau 50 atau 100. Tetapi produk yang dihasilkannya harus laku jual dan membawa untung. Kalau produk itu tidak digarap dengan baik dan penuh kasih sayang, produk itu tidak akan laku jual, pabriknya bangkrut dan karyawannya terpaksa kena PHK, keluarganya akan hidup sengsara. Kepedulian industri dan jasa akan pendidikan bisa membantu memperlancar upaya menghasilkan karyawan masa depan yang sejak sangat muda sudah mulai belajar disiplin dan menghargai karya nyata yang tidak saja menyambung kelangsungan usaha tetapi mengantar seluruh jajaran industri dengan produk yang lebih baik, lebih laku jual dan menguntungkan semua pihak.
9
Dari sudut industri dan jasa, bidang pendidikan harus dipandang sebagai investasi sumber daya manusia yang sangat penting. Masa depan industri dan jasa serta keberlangsungan perusahaan akan sangat tergantung tidak saja pada tenaga yang dihasilkan jajaran pendidikan, tetapi juga budaya cinta usaha dan jasa yang memungkinkan tumbuhnya suasana berusaha yang menguntungkan. Sinergy yang kuat dari dua arus besar seperti diuraikan diatas tidak cukup hanya ada pada tingkat penentu kebijaksanaan di tingkat pusat tetapi harus “mendarat” atau tercermin dalam tingkah laku di kalangan rakyat banyak. Untuk mengembangkan sinergy tersebut pada tingkat akar rumput, biarpun mungkin saja sifatnya sementara, perlu dikembangkan Pos-pos Pemberdayaan Keluarga atau Posdaya yang berperan sebagai katalisator untuk mempersatukan kepentingan kalangan pendidikan dan masyarakat luas yang saling menguntungkan. Keberhasilan sinergy tersebut diukur bukan dari nilai hasil ujian akhir para siswa tetapi dengan ukuran indeks pengembangan manusia (IPM), atau human development index (HDI). Indeks tersebut ukuran pokoknya mengacu pada tingkat kesehatan yang tinggi dan menghasilkan usia harapan hidup yang panjang, partisipasi pendidikan yang tinggi dan menghasilkan rata-rata lamanya mengikuti pendidikan formal yang panjang, serta kemampuan ekonomi penduduk yang diukur dari pendapatan atau partisipasi penduduk dalam wirausaha. d. Penggunaan Indikator Pengembangan Mutu Manusia dan MDGs Selama ini upaya meningkatkan mutu manusia melalui bidang pendidikan di Indonesia diukur dengan standar dan penilaian yang dikaitkan dengan apa yang diberikan atau maksimum apa yang diterima oleh murid-murid di sekolahnya. Jarang sekali, atau mungkin tidak pernah, ukuran itu dikaitkan dengan standar mutu manusia yang diukur dengan standar-standar mutu manusia yang ditetapkan dan diterima secara global. Mutu anak didik yang bersekolah dan lulus dari suatu sekolah biasanya diukur mutunya dari jumlah atau prosentase siswa yang lulus dengan nilai hasil ujian akhir yang menggembirakan. Anak-anak muda itu jarang dikaitkan dengan ukuran mutu manusia yang bersifat global seperti Indeks Pengembangan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Ukuran ini berbeda dengan ukuran hasil pendidikan di sekolah yang diambil dari hasil ujian, baik ujian sekolah maupun ujian nasional. Ukuran mutu menurut nilai hasil ujian ini bagus karena mengukur daya tangkap dan kemampuan siswa menerima pelajaran di sekolah. Namun ukuran ini belum dikaitkan dengan ukuran makro sebagai bagian dari mutu manusia Indonesia secara umum. Oleh karena itu ada baiknya ukuran yang sifatnya mikro tersebut disesuaikan dengan ukuran makro yang bersifat global seperti HDI atau IPM. Lebih dari itu anak-anak muda dan pencapaian hasil pemberdayaan atau pendidikannya diukur sejauh mana memberi kontribusi pada upaya mencapai sasaran Millennium Development Goals (MDGs).
10
Ukuran IPM atau HDI utamanya mengacu pada tiga indikator pokok yaitu panjangnya usia harapan hidup, lamanya seseorang mengikuti pendidikan formal dan kemampuan ekonomi penduduk yang diukur dari indikator daya beli masingmasing penduduk tersebut. Ukuran pencapai target dan sasaran MDGs mengacu pada delapan sasaran pokok yang meliputi indikator pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kemampuan ekonomi dan keseimbangan lingkungan dan kerjasama internasional. Penggunaan indikator untuk ukuran-ukuran IPM, HDI, atau MDGs tersebut merupakan pedoman yang bersifat global yang akan menempatkan penduduk Indonesia dalam posisi menurut ukuran indikator internasional. e. Pengelolaan Operasinal Pendidikan Dasar Pendidikan umum yang selama ini mendominasi pelayanan pendidikan di tanah air idealnya dikembangkan dan diarahkan menjadi pendidikan kejuruan untuk melayani maraknya industrialisasi dan pengembangan jasa pelayanan yang bakal memberi nilai tambah yang tinggi pada masa tigapuluh tahun yang akan datang. Namun karena membangun sekolah kejuruan perlu persiapan dan memakan waktu lama serta dana yang besar, maka dapat ditempuh jalan pintas dengan mengubah pengelolaan Operasional Pendidikan Dasar. Pengembangan anak didik dengan kemampuan untuk mengambil prakarsa dalam pemeliharaan kesehatan agar berumur panjang, mengusahakan agar bisa sekolah setinggi-tingginya dan akhirnya menyiapkan diri untuk bisa bekerja dengan nilai tambah yang memadai, merupakan syarat awal dari pengembangan mutu manusia yang indikatornya adalah IPM atau HDI. Pencapaian oleh setiap penduduk atas indikator-indikator tersebut menjauhkan setiap lulusan sekolah dari ukuran kelulusan, tetapi pada kualitasnya untuk berumur panjang, sekolah setinggi-tingginya dan bisa bekerja dengan upah yang memadai atau menjadi pengusaha yang menghasilkan untung yang besar. Karena keluarga kurang mampu mempunyai kesempatan yang terbatas untuk memenuhi kreteria tersebut daitas, maka seperti halnya bidang pembangunan lainnya, bidang pendidikan harus memberi perhatian dan prioritas tinggi, kalau perlu dengan “sistem jemput bola”, atau “menyediakan bangku khusus” untuk anak-anak keluarga kurang mampu. Utamanya keluarga muda yang mempunyai anak antara umur 0 – 14 tahun, atau keluarga muda dengan anak antara umur 15 – 24 tahun. Pendidikan umum luar sekolah dengan tekanan khusus pada pelatihan ketrampilan diberikan kepada keluarga dengan anak-anak dewasa usia 25 – 35 tahun. Sistem jemput bola atau penyediaan bangku khusus itu harus mencerminkan keberpihakan karena tanpa memihak akan sukar sekali mencapai keadilan yang dapat diwujudkan sebagai hasil akhir pendidikan yang bersaing secara ketat. Keluarga kurang mampu akan selalu kalah bersaing karena kondisi di luar sekolah yang tidak mungkin mereka penuhi.
11
Pendidikan harus dimulai dari saat yang sangat dini dengan disertai kampanye secara besar-besaran agar tidak saja orang tua anak sadar, tetapi masyarakat umum memberi penghargaan terhadap budaya sekolah sejak usia sangat dini. Kalau perlu, disamping pendidikan anak dini usia formal, masyarakat diberi kesempatan mengembangkan forum-forum tambahan seperti Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), kegiatan Posyandu, Bina Keluarga Balita, Penimbangan Balita, kegiatan bermain sesama anak balita lain di luar sekolah. Agar keikhlasan itu tumbuh menjadi budaya yang banyak diimpikan para orang tua, anak-anak itupun diberi kesempatan mempelajari agama dan budi pekerti luhur dengan contohcontoh konkrit yang melegakan semua pihak. Kegiatan anak balita itu diramu dengan ramah misalnya dengan banyak mengadakan lomba dengan hadiah menarik. Hadiah itu berupa buku bacaan yang isinya menyenangkan. Pemberian penghargaan berupa buku itu bukan untuk dibaca anak-anak balita yang belum bisa membaca tetapi dibaca oleh ibu dan banpaknya, atau saudaranya yang lebih dewasa. Tujuannya sekaligus adalah membangun budaya cinta buku, cinta sekolah, dan mengerti tingkah laku kepahlawanan dan peduli sesama anak bangsa. Ketertarikan pada buku, baik bagi orang tua atau anaknya, akan menghasilkan budaya peduli pendidikan yang tinggi. Perhatian kepada anak-anak usia 5 – 24 tahun itu harus diramu tidak saja datang dari orang tua tetapi juga harus menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemimpin sehingga para pemimpin menaruh perhatian pada pelayanan dan fasilitas pendidikan yang disediakan untuk anak-anak yang sedang tumbuh dewasa tersebut. Dengan perhatian itu diharapkan program pembangunan seperti informasi tentang gizi dan lainnya makin difokuskan untuk keluarga dengan anakanak yang sedang sekolah. Kalau gizi keluarga mendapat perhatian, otomatis gizi anak-anaknya akan mendapat perhatian yang sama. Disinilah bidang pendidikan ikut memberi arah pembangunan dengan sasaran yang lebih tepat. Perhatian yang besar perlu ditujukan kepada anak-anak diatas usia 12 – 13 tahun, yaitu usia 13 – 24 tahun, usia SMP dan SMA. Karena anak-anak tersebut menginjak dewasa, maka setiap sekolah harus sering mendatangkan tenaga medis dan para medis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang kesehatan reproduksi dan hal-hal lain yang mulai muncul pada anak-anak menjelang masa puber. Undangan kepada tenaga medis dan para medis memberi kesan adanya keterpaduan antara sekolah dan masyarakat serta sekaligus memperkenalkan sekolah dengan dunia nyata di pedesaan. Perhatian yang tinggi perlu diberikan terhadap pengaruh narkoba dan hubungan seksual diluar nikah karena pengaruh budaya yang makin bebas dan terbuka. Penyakit-penyakit seperti HIV/AIDS atau lainnya yang banyak menyerang anak muda perlu dijelaskan oleh tenaga yang kompoten bukan sekedar sebagai ilmu pengetahuan tetapi juga bahaya yang mengancam setiap siswa. Lebih dari itu karena pendidikan kejuruan mahal dan masih langka, bisa ditempuh pendekatan terobosan. Pada pendidikan umum ditambahkan mata 12
pelajaran ketrampilan mulai pada tingkat sekolah menengah umum pertama (SMP) dan pada sekolah menengah umum atas (SMA). Masyarakat dan industri jasa di sekitar sekolah, di pabrik dan perusahaan industri, di pasar dan tempat-tempat pelayanan jasa di desa dan di kota, diajak menyatu menjadi wahana pendidikan ketrampilan anak-anak muda yang sedang sekolah. Sekolah yang biasanya membatasi dirinya dengan dinding-dinding tebal, dalam arti kiasan, “dijebol” agar sekolah menyatu dengan masyarakat, industri dan pelayanan jasa yang ada di sekitarnya. Anak-anak didik ditugaskan untuk magang dan belajar sambil bekerja pada perusahaan-perusahaan, kontar atau perorangan. Mereka betul-betul bekerja dan tidak pura-pura bekerja. Anak-anak muda diajak berkenalan dengan persoalan yang ada dalam masyarakat sehingga bisa menjadi pendobrak untuk pemeliharaan kesehatan bersama rakyat sehingga penduduk berumur panjang. Anak sekolah diberikan pelajaran yang menarik dan berguna untuk hidupnya di masa depan sehingga mereka sekolah setinggi-tingginya karena bermanfaat untuk bekal membangun masa depan yang sejahtera. Mulai usia yang sangat dini anak-anak diajak bekerja bersama masyarakat sehingga menjadikan kegiatan kerja menjadi bagian hidup yang harus diikuti untuk mengembangkan keluarga yang sejahtera di masa depan. Arahan ini sekaligus menjadikan proses pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pemberdayaan manusia yang luas dan berkelanjutan. Ukuran keberhasilan upaya ini tidak saja pada indikator hasil pendidikan tetapi juga bagaimana anak didik dan lulusan itu bisa merangsang suksesnya pengukuran seperti IPM atau pencapaian sasaran-sasaran MDGs. Secara operasional anak-anak muda siswa SMP dan SMA menyatu dengan masyarakatnya dan belajar serta bekerja keras menyatu dengan ahli-ahli yang terampil pada usaha-usaha yang ada pada industri dan perdagangan yang ada di desanya. Anak-anak muda itu tidak saja belajar di bangku sekolah dengan mempelajari materi-materi pendidikan baku, tetapi juga “dipaksa” dengan disiplin tinggi untuk ikut menggarap pengembangan industri kecil dan pelayanan jasa dengan cara yang makin profesional dari rumah tangga atau industri dan jasa yang ada di sekitar sekolah atau di desanya. Kemampuan intelektual terhadap materi-materi yang diberikan di sekolah dipadukan dengan ketrampilan yang diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan ketrampilan di luar sekolah. Hasil penggemblengan di luar sekolah tersebut dihargai dengan sertifikasi yang berharga. Dengan cara ini setiap lulusan SMP dan SMA sekaligus mengantongi dua macam sertifikat, pertama, tanda lulus sekolah umum, dan kedua, tanda sudah memiliki ketrampilan tertentu yang dapat dipergunakan sebagai syarat untuk mulai bekerja sebagai tenaga profesional. Masyarakat yang bersedia menjadi bagian dari lembaga pendidikan anak bangsa seperti ini diberikan pelatihan tertentu bagaimana cara mendampingi anak didik dalam memperoleh ketrampilan yang diperlukannya untuk menjamin hidup yang sejahtera di masa depan. Waktu sampai tahun 2015 sejak saat ini dianggap cukup untuk menjadikan sekolah-sekolah umum masa kini menjadi sekolah 13
kejuruan (tanpa dinding) yang mendidik siswa sebagai pekerja yang ulet dan menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Perusahaan atau perorangan yang bersedia menjadi bagian dari sistem pendidikan seperti ini diberikan kemudahan untuk mendapatkan modal dari bank sehingga makin lama makin menjadi usaha modern yang peka dan siap menjadi pendamping anak-anak didik menyiapkan ketrampilan yang dibutuhkan. Apabila fasilitas di sekitar sekolah sudah jenuh, maka fasilitas industri kecil di desa dapat diperluas dengan dukungan anak-anak didik setelah pulang sekolah. Dengan cara demikian diharapkan akan tumbuh industri kecil di pedesaan, sekaligus meningkatkan industri berbasis hasil pertanian. Bidang pertanian makin modern tetapi tenaga muda di desa tidak perlu harus “migrasi” ke kota. Dengan berbekal pendidikan dan keterampilan anak-anak muda desa bisa merubah pola kerja mereka dengan baik karena munculnya industri dengan basis sumber daya pedesaan, atau industri berbasis local resourses. Kelebihan tenaga yang masih ada dipersiapkan dengan baik untuk bekerja dalam bidang jasa yang wilayah kerjanya tidak saja di desa, atau di kota dekat desanya, tetapi juga di wilayah lain di seluruh Indonesia, atau bahkan dipersiapkan menjadi tenaga terdidik dan terlatih untuk memenuhi keperluan tenaga terampil di manca negara. Apabila pasar tenaga kerja dalam negeri belum berkembang, atau sudah jenuh, tenaga terdidik pedesaan yang telah dilatih keterampilan diarahkan dan disiapkan sebagai tenaga terdidik untuk tugas kerja di luar negeri. Tenaga tersebut adalah andalan yang memiliki ketrampilan yang bisa menghasilkan nilai tambah tinggi. Hasil remintance atau uang yang dikirim anakanak muda ke desanya dijadikan modal investasi bagi usaha pertanian dan industri pedesaan oleh keluarganya yang masih tinggal di desa. IV.
Kesimpulan Visi Indonesia tahun 2030 bagi bidang pendidikan bukan saja merupakan ramalan yang akan terjadi, tetapi justru harus dianggap dan dijadikan cambuk, landasan semangat serta dijadikan pedoman arah yang harus diikuti dengan baik. Visi Indonesia tahun 2030 kalau dibaca sebagai pedoman dapat dipergunakan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang cerdas, bermutu dan terampil. Visi ini memprediksi, atau lebih tepat “meminta kerjasama” berbagai sektor terkait agar bersama-sama berupaya menyediakan modal manusia yang bermutu dan bisa mengejar berkembangnya modal alam dan fisik serta ikut memelihara dan menyegarkan modal sosial yang berbudaya. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan - www.haryonosuyono.com).
14