POINTERS PIDATO MENDIKBUD PADA PEMBUKAAN FRANKFURT BOOK FAIR 2015 Frankfurt, 13 Oktober 2015 ________________________________________________________ YM Ibu Monika Grütters, Menteri Kebudayaan dan Media Republik Federasi Jerman, YM Bpk Volker Bouffier – Kepala Negara Bagian Hessen, YTH Bpk Peter Fieldmann – Walikota Frankfurt am Main, YTH Bpk Juergen Boos – Direktur Frankfurt Book Fair, YTH Bpk Heinrich Riethmüller – Presiden Asosiasi Penerbit dan Toko Buku Jerman, YTH Bpk Goenawan Mohamad, Ketua Organizing Committee FBF Indonesia dan seluruh delegasi Indonesia, dan YTH seluruh undangan yang hadir pada sore hari ini,
1.
Adalah sebuah kehormatan besar dan luar biasa, bahwa Indonesia dipilih sebagai Tamu Kehormatan dalam Pekan Raya Buku Frankfurt yang sangat prestisius ini. Tetapi ini juga sebuah tantangan. Kami sadar bahwa di benua ini, di Eropa, dan khususnya di Jerman, Indonesia adalah sebuah negeri yang tak dikenal. Kami sadar pula bahwa karena sebab itu, untuk hadir di arena ini, kami harus bekerja sekuat tenaga mempersiapkan diri.
2.
Tujuan kami hadir di sini tidak hanya untuk membuat Indonesia dikenal, atau diakui. Tujuan kami yang lebih penting adalah untuk mengundang, mengajak Eropa dan Dunia ke dalam sebuah percakapan yang lebih luas. Terutama di masa ini, ketika ribuan orang dari luar Eropa datang berpindah dan di antaranya sudah jadi bagian dari kehidupan di 1
sini. Dengan kata lain, ketika Eropa menemukan apa yang di Indonesia kami sebut sebagai "ke-bhineka-an", keanekaragaman ekspresi dan cara hidup -- dari bangsa-bangsa yang asal-usulnya berbeda dari Eropa. 3.
Tentu saja hal ini bukan sesuatu yang baru. Sejak Pax Romana dan sesudahnya, Eropa dibentuk oleh pelbagai migrasi. Sejak abad ke-9, dan kemudian abad ke-13, ilmu pengetahuan dan pemikiran dari dunia Islam sudah masuk ke univeritasuniversitas Eropa.
4.
Apa yang terjadi hari-hari ini tentunya akan mengingatkan Eropa tentang sejarahnya yang eklektik, yang mencakup anasir yang berbeda-beda.
5.
Kehadiran Indonesia di sini juga kami harap dapat dianggap sumbangan kami untuk meneguhkan, bahwa kebudayaan berkembang melalui sikap yang terbuka. Kebudayaan adalah percakapan yang terus menerus.
6.
Indonesia mempunyai pengalaman yang cukup panjang dalam percakapan itu. Inilah negeri dengan sekitar 17.000 pulau, 800 bahasa, dan 300 tradisi lokal. Berabad-abad, melalui perdagangan atau diplomasi, perang atau damai, keanekaragaman itu belajar untuk hidup bersama. Berabad-abad, kami belajar "management of differences", mengelola perbedaan.
7.
Pada tanggal 1 Juni 1945 pemimpin gerakan kebangsaan Indonesia, Sukarno berpidato, ia mengungkapkan kembali inti dari persatuan Indonesia itu.
8.
Maka Indonesia yang kini tegak, bukan dipersatukan dengan penaklukan, melainkan dengan imajinasi. Imajinasi-lah yang membuat Indonesia bersatu dan dibangun terus sebagai keluarga besar. Contoh yang terkemuka adalah penggunaan satu bahasa nasional – Bahasa Indonesia, yang tumbuh dari sejarah, bukan didekritkan, bukan pula diambil dari bahasa kelompok tradisi mayoritas. 2
9.
Dengan bahasa yang satu, yang tetap merawat dan dukung mendukung dengan bahasa-bahasa lokal, Indonesia mengelola ke-bhineka-annya.
10. Dalam imaginasi persatuan dalam perbedaan itu pula, agamaagama yang datang dan tumbuh di Indonesia menghayati hal itu. Majalah Der Spiegel baru-baru ini menyebut Indonesia sebagai "Negeri dengan Islam yang Lembut". (Das Reich des sanften Islam). Hal yang sama bisa dikatakan tentang Budhisme, Hinduisme, Konfusianisme dan agama Kristen di Indonesia. 11. Kami bisa mengatakan, kami berhasil -- meskipun jalan masih panjang dan banyak yang belum tercapai. 12. Tepat tahun ini Indonesia sebagai republik berumur 70 tahun. Ketika para pendiri Republik memaklumkan berdirinya negeri ini, bangkit dari penjajahan Belanda dan Jepang, tingkat literasi hanya 5%, dengan keadaan ekonomi yang lemah. Kini tingkat literasi mencapai 95%. Di bawah kolonialisme Belanda Indonesia tak mengenal universitas, kini ada lebih dari 3.000 universitas. Kelaziman membaca di kalangan penduduk memang masih sangat rendah, tetapi makin lama makin meningkat, terutama di kalangan generasi muda. 13. Mengelola perbedaan dengan damai adalah inti dari demokrasi, yang kini dikukuhkan kembali di Indonesia. Kami memang pernah mengalami masa yang traumatik, khususnya tahun 1965. Tetapi kini dengan perlahan tetapi pasti, dengan percakapan sehari-hari maupun dengan perdebatan yang tajam, kami mulai melampauinya. 14. Mengelola perbedaan mengandung keharusan untuk belajar tak henti-hentinya, tentang orang lain, tentang dunia lain. Dalam proses itu, peran buku sangat vital. Juga untuk masa depan. Buku, dalam bentuknya yang sekarang, akan berubah, dan bahkan sedang berubah. Namun esensinya, yakni kreatifitas, dalam bidang pemikiran dan keindahan, akan terus berlanjut. 3
15. Saya ingin agar Indonesia, dengan hadir di Pekan Raya Buku ini, juga memandang ke sebuah era "beyond books", sebuah era yang tak lagi mengandalkan buku dalam bentuknya yang sudah berumur ratusan abad, sejak mesin cetak ditemukan di Korea dan juga di Guttenberg, Jerman. 16. Sebab itulah kami juga hadir dalam karya-karya seni rupa, arsitektur, fotografi, film, kuliner, seni pertunjukan. Semua diciptakan dalam kemerdekaan kreatif yang sekarang tumbuh pesat di Indonesia. 17. Dengan itu, kami mengundang anda semua bukan saja untuk menyaksikan prestasi Indonesia di Frankfurt dan kota-kota lain, tetapi juga untuk merayakan ke-bhineka-aan yang dirajut dengan imajinasi. ---
4
1
Opening Ceremony Frankfurt Book Fair 13 October 2015 Speech from Goenawan Mohamad
Para tamu yang saya muliakan, Baru saja kita mendengarkan Endah Laras, dengan suaranya yang merdu, membaca, dan menembangkan sebuah puisi Jawa abad ke-19. Puisi itu bercerita tentang sebuah adegan yang dramatis, aneh, dan memukau: seorang yang dihukum bakar di sebuah alun-alun Jawa di abad ke-15, tapi di tengah nyala api, ia menulis, mungkin sebuah puisi. Orang itu, Malang Sumirang, dianggap melanggar hukum dan ajaran agama. Raja dan para ulama besar memutuskan untuk menghapusnya dari kehidupan. Ia dihukum dengan dibakar hidup-hidup dalam sebuah auto-da-fé -- seperti Al Hallaj, seorang sufi dari Baghdad di abad ke-10, seperti banyak orang yang dianggap bid'ah dalam Inquisisi Gereja Spanyol di abad ke-15. Tapi berbeda dari cerita-cerita itu, Malang Sumirang dengan tenang berjalan sendiri memasuki api yang dikobarkan di atas unggun kayu di tengah alun-alun kerajaan. Di tengah panas yang tak terkira, ia, seakan-akan tak tersentuh, meminta sebatang pena, sebotol tinta, dan beberapa lembar kertas. Ia menyuruh anjingnya yang setia untuk membawakan itu semua. Dan ia menulis. Sultan, para petinggi, para ulama besar, dan ratusan orang yang ingin menyaksikan kekejaman hari itu, merasa takjub. Malang Sumirang tidak hangus. Ia tidak tewas. Bahkan kemudian api padam, dan ia melangkah turun, lalu meninggalkan alun-alun dan semua yang hadir. Sebelum pergi, ia memberikan sajak yang digubahnya kepada baginda. Dan ia pun berjalan menuju ke sebuah hutan yang tak tertembus. Segera sesudah itu, Raja memerintahkan agar apa yang ditulis Malang Sumirang dibaca di hadapannya. Tapi tak disangka-sangka, orang yang dititahkan untuk membacanya tak bisa menyelesaikan tugas.
2 Kisah ini tak menyebutkan apa sebenarnya makna kata-kata yang digubah Malang Sumirang. Raja dan para pengguawanya juga tak bisa mencarinya di hutan berduri ke mana Malang Sumirang lenyap.
Para hadirin yang saya hormati, Saya sangat berterima kasih kepada Ausstelung und Messe serta FBF untuk kesempatan yang langka ini -- kesempatan berbagi hal-hal yang bernilai, yang kami bawa dari Indonesia. Kami sadar, Indonesia sebuah negeri yang amat jauh dan umumnya tak dikenal di sini. Tapi sambil mendengarkan Endah Laras menembang dan mengisahkan riwayat Malang Sumirang, saya berharap anda bisa mengenali beberapa lapis alegori di dalamnya. Saya percaya banyak hal yang bisa membangun percakapan antara kita, meskipun kita datang dari benua yang berjauhan; misalnya dalam menampik kekejaman, merasakan sakitnya penindasan, dan mengalami paradoks kekuasaan. Kisah Malang Sumirang bisa ditafsirkan bercerita tentang kekejaman sebuah kekuasaan -- baik kekuasaan politik maupun agama. Tapi dengan segera tampak juga bahwa kekuasaan itu akhirnya terbatas: raja dan para ulamanya bahkan tak bisa menghentikan langkah seekor anjing yang lazimnya dianggap najis tetapi setia. Lebih jauh lagi, dalam kisah ini, kekuasaan terhenti ketika menghadapi hasrat dan energi yang melahirkan tulisan. Dalam arti ini, menulis telah membuat seorang yang terhukum mebalikkan posisinya, dari seorang yang terkutuk menjadi seorang yang tak terjangkau. Malang Sumirang menulis -- dan dengan itu ia mengubah mereka yang berkuasa menjadi yang tak berdaya. Tak berdayanya kekuasaan itu juga yang menyebabkan apa yang ditulis Malang Sumirang -- mungkin puisi -- terlepas dari cengkeraman makna yang dipaksakan. Boleh dikatakan kisah ini adalah sebuah alegori tentang makna yang tidak bisa dikuasai, seperti tokoh cerita ini yang menghilang ke dalam hutan. Ibarat terlindung dalam belantara yang lebat, makna tak mudah dijinakkan untuk dimufakati dan dimufakati untuk dijinakkan. Makna tak mudah diringkus. Mudah-mudahan dengan kearifan inilah kita, hari-hari ini, menyambut kelahiran buku. Menyambut kelahiran buku tak hanya berarti memamerkan kekenesan para pengarang. Juga tak hanya berarti memajang sejumlah besar komoditi di sebuah pasar yang ramai.
3 Yang saya harapkan ialah bahwa kita semua bersedia mengingat kembali apa yang dilakukan Malang Sumirang: kita menulis untuk menegaskan keseteraan manusia. Kita menulis untuk menghidupkan percakapannya. Dan dengan demikian kita menulis juga untuk menumbuhkan kemerdekaannya. Sekian, terima kasih.