Plastisitas memicu timbulnya sensitivitas pada nyeri inflamasi Damianus Journal of Medicine; Vol.10 No.1 Februari 2011: hlm. 31–35.
TINJAUAN PUSTAKA
PLASTISITAS MEMICU TIMBULNYA SENSITIVITAS PADA NYERI INFLAMASI Julia R. Tanjung*
*
ABSTRACT Inflammatory pain manifests as spontaneous pain accompanied by pain hypersensitivity. Spontaneous pain is caused by activation of specific receptors on the nociceptor terminal by inflammatory mediators, whereas pain hypersensitivity is due to changes in the early post translation, both in the nociceptor terminal peripheral and in Dorsal Horn neurons, just as changes in the transcription of effector genes in primary sensory neurons. This inflammatory neuroplasticity as a result of a combination of changes in neuronal activity and the presence of specific signal molecules initiating particular signal transduction pathway characterized by hyperalgesia and allodynia.
Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jl. Pluit Raya No. 2, Jakarta Utara 14440.
Key words: pain, inflammation, hypersensitivity
PENDAHULUAN Fenomena nyeri merupakan manifestasi penyakitpenyakit kronis seperti kanker, arthritis, migraine, herpes zoster dan trauma jaringan saraf. Selain diderita oleh lebih dari sepertiga populasi dunia, nyeri persisten atau nyeri berulang merupakan alasan utama pasien mencari pengobatan. Meskipun demikian, hingga saat ini terapi tersebut dirasakan tidak hanya kurang adekuat, tetapi juga memiliki banyak efek samping.1 Dalam keadaan normal, nyeri bersifat akut dan protektif, sebagai respon terhadap rangsangan merugikan. Akan tetapi, setelah terjadi kerusakan jaringan atau saraf, nyeri menjadi keadaan yang patologis dan kronik disertai peningkatan respon terhadap rangsangan yang merugikan bahkan menjadi lebih responsif terhadap rangsangan yang tidak berbahaya atau merugikan.1 Secara klinis, nyeri yang berhubungan dengan kerusakan jaringan perifer atau keadaan inflamasi maupun kerusakan pada sistem saraf (nyeri neuropatik) ditandai dengan adanya hiperalgesia (penurunan ambang nyeri, mengakibatkan intensitas nyeri meningkat dan memanjang terkadang disertai nyeri spontan) dan alodinia (nyeri yang timbul akibat rangsangan yang normalnya tidak menimbulkan nyeri). Keduanya dikategorikan sebagai hipersensitivitas dan plastisitas neural.2
Plastisitas neural mengacu pada perubahan yang timbul pada sistem saraf yang telah ada, berupa perubahan pada struktur neuron, hubungan antar neuron, perubahan kuantitas dan properti neurotransmiter, reseptor, dan kanal ion yang berakibat pada peningkatan aktifitas fungsional neuron serta menurunkan mekanisme inhibisi tubuh di jalur nyeri.1 Beberapa tahun terakhir, para neurobiologis nyeri telah mengidentifikasi berbagai proses selular dan molekular yang memicu hipersensitivitas dan nyeri yang menetap.1 Pengetahuan mengenai mekanisme yang mendasari nyeri diharapkan memberikan hasil yang signifikan pada perkembangan terapi nyeri yang lebih spesifik di kemudian hari. DISKUSI Nyeri International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik yang secara normal ditimbulkan hanya melalui aktivasi spesifik rangsangan yang merugikan (noxious stimuli) pada ambang nyeri yang tinggi neuron sensoris perifer (nosiseptor) sebagai respon terhadap adanya sesuatu yang membahayakan atau kerusakan jaringan. 3,4 Nyeri yang berhubungan dengan adanya bahaya yang potensial mengakibatkan kerusakan dan berperan dalam sistem alarm untuk mengingatkan organisme akan adanya kerusakan jaringan disebut nyeri nosi-
DAM J Med Volume 10, Nomor 1, 2011
31
DAMIANUS Journal of Medicine
septif, yang diaktifkan oleh rangsang yang merugikan pada ambang nyeri yang tinggi.3,5,6 Ketika jaringan mengalami kerusakan secara mekanik atau melalui infeksi, iskemia, dan pertumbuhan tumor, dilepaskan sejumlah mediator kimia dari sel yang mengalami kerusakan dan inflamasi. Mediator inflamasi ini langsung mengaktifkan nosiseptor yang memicu nyeri. Selain itu terjadi juga sensitisasi sistem saraf somatosensorik yang merupakan karakteristik nyeri inflamasi.2,3,6 Sedangkan nyeri neuropatik disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem saraf, baik sistem saraf perifer maupun sistem saraf pusat.3-6 Secara klinis, nyeri inflamasi dan nyeri neuropatik ditandai oleh hiperalgesia dan alodinia.3,4,5,7 Untuk melindungi diri dari situasi lingkungan yang potensial membahayakan dirinya, mahluk hidup memiliki neuron sensorik primer, yang diaktivasi oleh rangsangan yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan hanya berespon terhadap panas, zat-zat kimia dan rangsangan mekanik merugikan, disebut nosiseptor.5,7,8 Nosiseptor memiliki karakteristik ambang dan sensitivitas yang berbeda dibandingkan serat saraf lainnya.8 Nosiseptor nyeri berbentuk ujung saraf bebas dibedakan menjadi 2 tipe yaitu serat A dan serat C. Klasifikasi ini berdasarkan ukuran, kecepatan konduksi dan ada tidaknya selubung mielin. Serat A memperantarai nyeri pertama yang cepat, akut, dan tajam. Kecil bermielin diameter berukuran 2–5 m, mengkonduksi potensial aksi dengan cepat 5–30 m/ det.8-10 Serat C memperantarai nyeri kedua yang lambat, menyebar, dan tumpul. Kecil tidak bermielin dengan diameter 0,5–1 m, mengkonduksi potensial aksi de-ngan lambat 0,5–2 m/det. Sebagian besar serat C merupakan nosiseptor polimodal, berespon terhadap rangsangan panas, tekan, dan kimia, sedangkan serat A berespon terhadap tekanan yang intens.8-10 Nosiseptor ditemukan pada hampir semua jaringan tubuh mencakup kulit, tulang, otot, organ internal, dan meningen otak, sedang badan selnya berada di segmental akar ganglion dorsalis (Dorsal Root Ganglion, DRG) dan terminalnya bersinaps dengan neuron ordo kedua di tajuk dorsalis medula spinalis (Dorsal Horn, DH).5 Nosiseptor sebagai neuron aferen primer memiliki tiga fungsi utama dalam proses nyeri, yaitu: mendeteksi stimulus membahayakan atau merusak (transduksi), mengirim input sensorik dari terminal perifer ke me-
32
dula spinalis (konduksi), dan mentransfer input melalui sinaps ke neuron spesifik di lamina DH medula spinalis (transmisi). Umumnya fungsi tersebut dikategorikan transmisi normal atau mekanisme nyeri nosiseptif. Aktivasi neuron aferen primer berambang tinggi serat A dan serat C oleh stimulus intens yang tidak merusak akan menghasilkan nyeri yang terlokalisasi, tanpa disertai perubahan transkripsional maupun pascatranslasi. Transmisi normal ini adalah peristiwa sensitivitas basal nosiseptor. Jika input serat C berhasil menginduksi perubahan pascatranslasi, maka akan terjadi sensitisasi perifer atau sentral.4,11 Empat tahap proses sensorik pada sistem somatosensorik menginduksi timbulnya hipersensitivitas Tahap pertama adalah keadaan normal atau fisiologis (nyeri nosiseptif), di mana nyeri hanya disebabkan oleh rangsangan intensitas tinggi pada serat A dan serat C. Tahap kedua (modulasi post translasi di DH) adalah aktivasi serat C yang menyebabkan intensitas dan durasi yang memungkinkan untuk menginduksi perubahan cepat pascatranslasi di reseptor membran DH, berakibat sensitisasi sentral dan mengubah sensitivitas basal sehingga rangsangan intensitas rendah sekalipun dapat menimbulkan nyeri. Tahap ketiga (aktivitas modulasi transkripsi di DRG dan DH) terjadi beberapa jam setelah rangasangan yang semakin kuat pada serat C menginduksi perubahan aktivitas transkripsi di DRG dan DH sehingga terjadi peningkatan respon terhadap input yang menginduksi sensitisasi sentral. Tahap keempat (inflamasi) adalah keadaan yang terjadi saat inflamasi perifer, di mana terjadi kombinasi aktivitas dan molekul signal yang memperantarai pascatranslasi dan perubahan transkripsi di DH mengakibatkan perubahan sistem fundamental sehingga terjadi: (1) penurunan sensitivitas transduksi terminal perifer (sensitisasi perifer); (2) peningkatan rangsangan di neuron DH (sensitisasi sentral), (3) perubahan fenotip neuron sensorik, serat A intensitas rendah dapat memicu sensitisasi sentral. Tahap pertama: nyeri nosiseptif (transmisi normal) Aktivasi neuron aferen primer berambang tinggi serat A dan serat C oleh stimulus intens yang tidak merusak, berakibat dalam waktu singkat nyeri yang terlokalisasi, tanpa disertai perubahan transkripsional maupun pascatranslasi. Transduksi nosiseptif perifer meliputi deteksi rangsang panas atau dingan, rangsang mekanik yang intens juga rangsang kimia. Sensitivitas ini dimediasi oleh beragam reseptor spesifik, seperti kanal ion sensitif panas, reseptor vaniloid
DAM J Med Volume 10, Nomor 1, 2011
Plastisitas memicu timbulnya sensitivitas pada nyeri inflamasi
(Transient Receptor Potencial Vaniloid 1, TRPV 1/ VR1), kanal ion sensitif proton, Acid Sensing Ionic Channel (ASIC) dan Dorsal Root Acid Sensing Ionic Channel (DRASIC), serta aneka reseptor yang sensitif terhadap stimulus kimia spesifik (histamin, bradikinin, purin, dan serotonin). Komponen kimiawi nosisepsi hanya timbul pada paparan terhadap iritan kimia eksternal yang tidak merusak seperti tumbuhan atau sengatan serangga.2,3 Proses konduksi dimediasi oleh kanal Na bergerbang voltase (Voltage-gated sodium channels) yang bertanggung jawab pada fase terbangkitnya potensial aksi dan berperan dalam menentukan eksitabilitas neuron sensorik bersama dengan kanal Kalium serta menghantarkan potensial aksi ke korda spinalis.4,8 Transmisi sinaps serat C dimediasi terutama oleh glutamat yang bekerja pada reseptor AMPA (-amino-3hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid) di neuron DH, menghasilkan potensial eksitatorik postsinaps yang cepat (fast excitatory postsynaptic potentials, EPSPs).2,4,11 Transfer input sinaptik dari nosiseptor ke lamina spesifik di DH yang secara topografi terorganisasi dengan baik, kemudian mengaktivasi neuron ordo kedua, diikuti aktivasi pusat otak yang spesifik hingga dirasakan sensasi nyeri akut sama seperti respon emosional, kognitif, dan otonom.4 Jika intensitas stimulus cukup tinggi, dilepaskanlah neuropeptida terutama substance P (SP) dari inti vesikel yang akan mengaktivasi reseptor NK1 (Neurokinin1), menghasilkan respon postsinaps yang lebih besar sebagai gambaran adanya input yang besar.4 Tahap kedua: modulasi post translasi di DH Neuron sensorik dapat mengalami perubahan struktur, fungsi dan kimia sebagai respon terhadap perubahan lingkungannya, memodifikasi transduksi, konduksi, dan transmisinya dari peran spesifik memperantarai transmisi nosiseptif normal ke kondisi baru yang berkontribusi pada perubahan sensibilitas yang disebut juga plastisitas neural pada nyeri.2,8 Aktivasi serat C berakibat pada perubahan sensitivitas basal, input dari ambang yang rendah seperti serat A (normalnya tidak menimbulkan nyeri) mulai menimbulkan nyeri (alodinia) sedang input yang merugikan memicu respon nyeri yang lebih hebat (hiperal-gesia).4,8 Input serat C yang berlanjut hingga 10 det, dapat menginisiasi perubahan yang sangat cepat pada eksitabilitas membran yang bermanifestasi sebagai peningkatan eksitabilitas progresif selama adanya stimulus. Stimulasi berulang pada serat C meng-
aktifkan reseptor glutamat lain, NMDA, hingga terjadi pelepasan sumbatan Mg2+ dari reseptor sehingga glutamat dapat mengaktivasi dan menimbulkan depolarisasi pada membran sel, akhirnya meningkatkan potensial aksi, dan perubahan post stimulus yang dapat berlanjut hingga beberapa jam (sensitisasi sentral).2,4,7,11 Pelepasan transmiter presinaps yaitu glutamat, SP, dan BDNF (Brain-derived neurotrophic factor) berakibat pada perubahan jalur transduksi signal di neuron DH akibat dari aktivasi kanal ion bergerbang ligan (glutamat pada reseptor NMDA), reseptor metabotropik (glutamat pada reseptor mGlu (mGluR) dan SP pada reseptor NK1), dan reseptor tirosin kinase (BDNF pada TrkB).2,4,7,12,13 Aktivasi berbagai reseptor ini berakibat peningkatan Ca intraselular baik melalui masuknya Ca maupun pelepasan Ca dari penyimpanan intraselular, yang akan mengaktivasi enzim Protein Kinase C (PKC), Calcium Calmodulin Kinase, Protein Kinase A (PKA), dan tirosin kinase (melalui reseptor TrkB).2,4,7,14 Jalurjalur tersebut bertemu di satu titik, menyebar secara kompleks dan saling berhubungan. Target dari kinase yang berbeda ini adalah fosforilasi reseptor membran/ kanal ion NMDA dan AMPA. Modifikasi post translasi ini berakibat perubahan drastis kanal reseptor NMDA dan penurunan ambang reseptor ini. Perubahan tersebut meningkatkan respon sinaps melepaskan glutamat, peningkatan kekuatan sinaps, dan memungkinkan input subambang sebelumnya memicu potensial aksi.2,4,7 Tahap ketiga: aktivitas modulasi transkripsi di DRG dan DH Input serat C selain menimbulkan sensitisasi sentral yang timbul dalam hitungan detik melalui aktivasi di neuron DH, juga menimbulkan perubahan aktivitas transkripsi di DRG dan neuron DH yang memerlukan waktu beberapa jam untuk bermanifestasi. Perubahan ini sebagai akibat peningkatan masuknya Ca melalui kanal Ca bergerbang voltage di DRG dan akibat peningkatan aktivitas elektrik. Banyaknya Ca intraselular menyebabkan fosforilasi dan mengaktivasi faktor transkripsi yaitu CREB (cAMP Responsive Element-Binding Protein).3,4,7 Faktor transkripsi CREB berperan penting pada plastisitas neuron yang menetap baik di hipokampus dan di neuron DH dan ini diperlukan guna pembentukan memori jangka panjang dan nyeri yang menetap. Stimulasi yang merugikan menginduksi fosforilasi
DAM J Med Volume 10, Nomor 1, 2011
33
DAMIANUS Journal of Medicine
cepat CREB di neuron DH. Fosforilasi CREB yang menetap juga terlihat pada medula spinalis setelah terjadi inflamasi dan kerusakan saraf. CREB mempertahankan sensitisasi sentral melalui induksi transkripsi gen yang berespon awal dan cepat (c-fos dan Cox-2) dan gen yang berespon kemudian (NK1,TrkB). Gen-gen ini diinduksi di DH setelah adanya stimulasi intens yang merugikan, inflamasi dan kerusakan saraf, di mana gen-gen tersebut mengandung CREB binding sites (CRE) pada regio promoternya.3,7,15 Peningkatan sejumlah neuromodulator di serat C berkombinasi dengan peningkatan reseptor berafinitas tinggi di DH, berakibat yang disebut sebagai sistem potensiasi. Sistem potensiasi terjadi ketika rangsang yang sama diaplikasikan untuk kedua kalinya beberapa saat setelah rangsang pertama, akan menghasilkan respon yang lebih besar, karena rangsangan pertama telah merubah sistem setelah onset yang lambat dengan periode yang panjang,4 Tahap keempat: perubahan akibat inflamasi di DRG dan neuron DH Inflamasi atau peradangan berhubungan dengan kerusakan jaringan yang berakibat kebocoran isi intraselular ke cairan ekstraselular, keterlibatan sel-sel inflamasi dan dilepaskannya agen-agen neuroaktif oleh sel yang mengalami inflamasi diantaranya ion-ion (K+ dan H+), amina (Histamin), kinin (bradikinin), prostanoid (PGE2), sitokin (IL-1, TNF-), dan faktor pertumbuhan (NGF).4,7,9,12 Soma dan akson neuron sensorik primer memiliki reseptor untuk mediator inflamasi ini dan aktivitas reseptor memicu aktivasi berbagai jalur signal intraselular, meningkatkan sensitivitas dan eksitabilitas nosiseptor. Sensitisasi pada sistem saraf perifer ini disebut sensitisasi perifer. Beberapa kanal ion penting untuk pembentukan sensitisasi perifer. Regulasi posttranslasi kanal-kanal ini dapat timbul dalam beberapa menit melalui fosforilasi. Meskipun demikian regulasi transkripsi kanal-kanal ini membutuhkan waktu beberapa jam untuk bermanifestasi menjadi sensitisasi perifer yang persisten.7 Selain itu terjadi juga sensitisasi sentral akibat aktivitas serat C di neuron DH. Sensitisasi perifer dan sentral ini mengubah sensitivitas basal terhadap rangsangan yang merugikan dan rangsangan normal yang tidak merugikan.4 Selanjutnya terjadi perubahan transkripsi di DRG dan neuron DH yang disebabkan oleh kombinasi yang
34
kompleks dari aktivitas dan transport retrogad molekul signal spesifik yang diproduksi sebagai akibat inflamasi. Perubahan ini berakibat pada sistem potensiasi nosiseptif dan perubahan fenotip serat A.3,4 Perubahan post translasi pada nyeri inflamasi Pada keadaan normal, nosiseptor akan teraktivasi pada ambang yang tinggi, tetapi akibat adanya inflamasi atau setelah perulangan rangasangan yang merugikan, terjadi penurunan ambang perifer terminal sehingga rangsangan intensitas lemah sekalipun dapat menginisiasi aktivitas di nosiseptor. Sensitisasi perifer ini dapat dideteksi dalam periode singkat yang berakibat pada perubahan transduksi reseptor molekul atau di kanal Na terminal. Berbagai macam mediator inflamasi seperti PGE2, TNF-a, bradikinin, dan NGF menstimulasi reseptor yang sesuai di akson terminal atau di badan sel neuron sensorik primer, berakibat peningkatan sensitivitas TRPV1. NGF juga secara cepat meningkatkan ekspresi membran dari TRPV1. Sebagai konsekuensi dari semua regulasi tersebut, terjadi penurunan ambang aktivasi TRPV1 sehingga suhu yang rendah sekalipun (suhu tubuh, 370C) dapat mengaktivasi reseptor. Hiperaktivitas dari TRPV1 menyebabkan peningkatan sensitivitas neuron sensorik primer pada terminal perifer, akson, dan badan sel yang disebut sensitisasi perifer.16-18 Aktivitas serat C pada saat atau selama inflamasi juga menginisiasi sensitisasi sentral. Input serat C berakibat pada reseptor NMDA, dimana responnya meningkat terhadap rangsangan yang lemah dan berintensitas tinggi menghasilkan alodinia taktil dan hiperalgesia sekunder.4 Perubahan transkripsi pada nyeri inflamasi Selain perubahan post translasi, perubahan pada ekspresi molekul efektor di DRG dan DH sebagai gambaran inflamasi juga dapat diinisiasi melalui dua cara, yakni (1) sebagai akibat atau aktivasi faktor transkripsi CREB baik di DRG dan neuron DH; dan (2) perubahan transkripsi yang terjadi setelah inflamasi melalui molekul signal spesifik yang dihasilkan oleh jaringan inflamasi yang akan berikatan dengan reseptor pada nosiseptor sensorik terminal.4,7,18 Setelah jaringan mengalami inflamasi, dilepaskanlah NGF, yang juga diproduksi oleh sel Schwann setelah kerusakan saraf perifer. NGF akan diambil oleh akson saraf perifer terminal yang intak dan ditransport secara retrograd ke badan sel di DRG. Di badan sel, NGF akan mengaktivasi p38, menyebabkan peningkatan ekspresi TRPV1 dan gen-gen nosiseptif lain seperti
DAM J Med Volume 10, Nomor 1, 2011
Plastisitas memicu timbulnya sensitivitas pada nyeri inflamasi
BDNF dan SP. Selanjutnya peningkatan TRPV1 ditransport secara anterograd ke terminal perifer menimbulkan sensitisasi perifer yang persisten (hiperalgesia panas).7,18
3.
Scholtz J, Woolf CJ. Can we conquer pain? Nature Neuroscience Supplement. 2002;5:1062-7.
4.
Woolf CJ, Costigan M. Transcriptional and posttranslational plasticity and the generation of inflammatory pain. Proc Natl Acad Sci USA. 1999;96:7723-30.
Selain itu signal dari NGF juga mengaktivasi faktor transkripsi CREB, berakibat peningkatan transkripsi berbagai gen di DH seperti c-Myc, Elk-1, c-Fos, cJun, NK-1, dan TrkB. Aktivasi persisten gen-gen tersebut mempertahankan eksitabilitas yang tinggi dan respon sinaps sehingga mendukung sensitisasi sentral dan nyeri yang menetap.4,7,18
5.
Wilkinson PR. Neurophysiology of pain: mechanism of pain in the peripheral nervous system. CPD Anaesthesia. 2003;3(3):103-8.
6.
Costigan M, Scholz J, Woolf CJ. Neuropathic pain: a maladaptive response of the nervous system to damage. Annu Rev of Neurosci. 2009;32:1-32.
Salah satu akibat perubahan transkripsi di neuron DRG setelah inflamasi adalah neuron Ab yang berambang rendah memperoleh fenotip kimiawi tipikal serat C. Sebagai contoh neuropeptida SP yang normalnya ditemukan hanya di TrkA, yang diekspresikan serat C dan sangat sedikit diekspresikan serat Ab. Setelah inflamasi akibat aktivasi NGF terdapat peningkatan ekspresi SP di serat C selain itu juga ditemukan ekspresi baru neuropeptida ini di serat Ab. Ekspresi baru ini bersama dengan induksi inflamasi meningkatkan reseptor NK1 di DH, yang berakibat tidak hanya pada sistem potensiasi tapi juga terjadi perubahan pada stimulus spesifik yang dapat memicu sensitisasi sentral. Rangsangan yang menginduksi hipersensitivitas dapat dimediasi oleh input Ab intensitas rendah yang bermanifestasi sebagai hipersensitivitas taktil yang progresif, stimulasi mekanik intensitas rendah (sentuhan ringan) pada kulit yang meradang menimbulkan peningkatan progresif eksitabilitas neuron spinal, yang tidak akan timbul pada situasi yang normal.3,4
8.
Julius D, Basbaum AI. Molecular mechanisms of nociception. Nature. 2001;13:203-9.
9.
Silverthorn DU. Human Physiology: an integrated approach. 3rd Ed. San Francisco: Benyamin Cumming;2004. p 183-4, p 333-5.
KESIMPULAN Nyeri inflamasi bermanifestasi sebagai nyeri spontan ditandai hiperalgesia dan alodinia yang merupakan bentuk ekspresi plastisitas neural. Neuroplastisitas inflamasi ini akibat kombinasi perubahan aktivitas di neuron karena adanya molekul signal spesifik yang menginisiasi jalur transduksi signal tertentu, fosforilasi membran protein sehingga merubah fungsinya, aktivasi faktor transkripsi, dan perubahan ekspresi gen. DAFTAR PUSTAKA 1.
Stucky Cheryl L, Gold Michael S, Zhang Xu. Mechanisms of pain. Proc Natl Acad Sci USA. 2001;98:11845-6. Available from:URL: http:// www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.211373398.
2.
Woolf CJ, Salter MW. Neuronal plasticity: Increasing the gain in pain. Science. 2000; 288:1765-8.
7. Ji RR, Kawasaki Y. Pain and plasticity. New encyclopedia of neuroscience 2008. Elsevier Ltd.
10. Bear MF, Connors BW, Paradiso MA. Neuroscience exploring the brain. 2nd Ed. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins;2001. p 421-32. 11.
Kidd BL, Urban LA. Mechanisms of inflammatory pain. British Journal of Anaesthesia. 2001;87(1):3-11.
12. Ikeda H, Heinke B, Ruscheweyh R, Sandkuhler J. Synaptic plasticity in spinal lamina I projection neuron that mediate hyperalgesia. Science. 2003;299:1237-40. 13. Pezet S, McMahon SB. Neurotrophins: Mediators and modulators of pain. Ann Rev of Neuroscience. 2006;29:507-38. 14. Fields RD, Eshete F, Stevens B, Itoh K. Action potential-dependent regulation of gene expression: Temporal specificity in Ca2+, cAMP-responsive element binding proteins, and mitogen-activated protein kinase signaling. The Journal of Neuroscience. 1997;17(19):7252-66. 15. Ji RR, Baba H, Brenner G, Woolf CJ. Nociceptivespesific activation of ERK in spinal neurons contributes to pain hypersensitivity. Nature Neuroscience. 1999;2:1114-9. 16. Ji RR, Kohno T, Moore KA, Woolf CJ. Central sensitization and LTP: Do pain and memory share similar mechanisms? Trends in Neuroscience. 2003;26:696705. 17. Sandkuhler J. Understanding LTP in pain pathways. Molecular Pain. 2007;3:1-9. 18. Ji RR, Samad TA, Jin SX, Schmoll R, et.al. MAPK activation by NGF in primary sensory neurons after inflammation increases TRPV1 levels and maintains heat hyperalgesia. Neuron. 2002;36:57-68.
DAM J Med Volume 10, Nomor 1, 2011
35