Tr. TINJAUAN PUSTAKA A.
UBI JALAR (Ipomoea batata L)
1. h
l dan Jenis Ubi Jalar Ubi jalar atau ketela rambat diduga berasal clan benua Arnerika. Berbagai ahli
botani dan pertanian memperkirakan bahwa daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selanha Bani, Polinesia clan Amerika Bagian Tengah (Bouwkamp, 1985).
Nikolai
Ivanovich Vavilov dalam Rukmana (1997), seorang ahli botani Soviet, mernastikan bahwa daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika Bagian Tengah.
Tanaman ini mdai menyebar ke seiunrh dunia, terutarna ke negara-negara tropis diperkirakan pada abad 16, yaitu ke Spanyol melalui Tahiti, kepulauan Guam Fiji, Selandia Baru dan akhimya ke Asia. Tanaman ubi jalar termasuk dalam famili Convolvulaceae dan genus Irpomoeu, dikenal sebagai tanaman semusim (annual crop). Pola perturnbuhannya ada dua, yaitu berbentuk tegak dan menjalar, sedangkan bentuk umbinya bulat sampai lonjong dengan
permukaan yang rata sampai tidak rata.
Wama kulit urnbinya berkisar antara warna
putih, kuning ungu atau kemerah merahan.
Jenis yang mempunyai kulit tebal dan
bergetah cenderung lebih tahan terhadap hama penggerek urnbi. Dagng berwarna putih kuning atau jingga sedikit ungu. Umbi yang berkadar tepung tinggi cenderung rasanya lebih manis (Bouwkamp, 1985).. Plasma nutfah tanaman ubi jalar di dunia diperkirakan bejumlah lebih dari 1000 jenis, narnun baru 142 jenis yang diidentifikasi oleh para peneliti. Menurut Rukmana (1997), jenis ubi jalar yang ditanam diberbagai daerah di Indonesia sangat beragam, antara lain Lampeneng, Sawo, Cilembu, Rambo, SQ-27, Jahe, Kleneng, Turnpuk,
Georgra. Layang-layang, Karya, Daya Borobudur, Prambanan, Mendut dan Kalasan. Beberapa jenis ubi jalar ini telah dimanfaatkan oleh pusat penelitian ubi jalar (CIP) di Muara Bogor untuk disilangkan dengan ubi jalar asal Jepang atau antar sesama jenis tersebut.
Hasil yang diperoleh lsarnping memililu kemarnpuan produksi yang tinggi
serta umur yang pendek, yaitu sekitar 3.5
-
4 bdan juga umbinya berwama putih dan
kadar bahan keringnya tinggi (berkisar 30 %).
Kadar bahan kering yang tingg
menggambarkan kadar air umbi ubi jalar lebih rendah, sehingga sangat memunglunkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku industri.
Jenis ubi jalar hasil persilangan
tersebut dikenal dengan nama CIP-I, CP-2, CIP-3, C I P 4 dan CIP-5.
2. Potensi, Daerah Produksi dan Pemanfaatan Ubi Jalar Dibandingkan dengan tanaman sumber pati laimya, produksi ubi jalar tergolong sangat tinggi. Jenis-jenis unggul lokal seperti Daya, Prambanan, Borobudur, Mendut dan Kalasan produksinya berkisar antara 16
-
22 t o m a . Secara fisual kelebihan rrbi jalar
unggul jenis CIP dibandingkan dengan varietas lokaI salah satunya disebabkan oleh daging umbi yang berwarna putih, juga kadar bahan keringnya jauh lebih tinggi (Tjintokohadi, 2000). Ubi jalar merupakan tanaman yang mudah tumbuh, sehingga praktis dapat ditemukan diseluruh wilayah Indonesia.
Walaupun demikian daerah yang dikenal
sebagai sentra produksinya hanya terdapat dibeberapa wilayah, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Irian Jaya dan Sumatra Utara. Perkembangan produksi, luas panen dan produktivitasnya di semua daerah tersebut berfluktuasi.
Hingga tahun 1997 luas
panen tanaman ini di Indonesia baru mencapai kurang lebih 215.000 Ha dengan tingkat produktivitas yang tergolong masih rendah, yaitu hanya mencapai 8.8 ton/Ha (Rukmana, 1997).
Di Indonesia pemanfaatan tanaman ubi jalar sebagai bahan pangan masih sangat terbatas, kecuali untuk penduduk Lrian dan Maluku yang sebagian masyarakatnya memanfaatkan ubi jalar sebagai makanan pokok, sedangkan pemanfaatannya sebagai bahan baku non pangan lebih terbatas lagi. Di daerah lain, sebagan besar tanaman ubi jalar
dimanfaatkan sebagai makanan ringan, baik digoreng maupun direbus.
Di
beberapa negara maju seperti Jepang, Cina, Korea dan beberapa negara lainnya ubi jalar dijadikan sebagai makanan mewah dan bahan baku aneka industxi, seperti untuk pembuatan mie, produk fermentasi, tekstil, perekat, kosmetik, farmasi d m sirup. Di Jepang, ubi jalar dijadkan makanan tradisional yang publisitasnya setara dengan pizza atau hamburger, sehingga aneka makanan olahan dari ubi jalar banyak dijual di toko-toko sampai restoran bertaraf internasional. Di Amerika Serikat, produk ubi jalar dijadikan sebagai bahan pengganti (substitusi) kentang dan 60 - 70 % di antaranya digunakan sebagai pangan (Oates, 1998).
Tanaman ubi jalar mempunyai beberapa kelebihan bila hbandingkan dengan
tanaman surnber pati lainnya, antara lain mudah diperbanyak, dapat bertahan hidup dalam kondisi iklim yang kurang baik, tidak memilih jenis atau tipe tanah khusus, tidak membutuhkan input produk yang intensif, seperti pupuk atau pestisida yang berlebihan serta umur tanaman yang pendek (3.5 - 4 bulan).
3.
Komposisi Kimia Umbi Ubi Jalar Komposisi kimia ubi jalar sangat bervariasi tergantung cara penanaman, iklim,
tingkat kematangan atau umur dan lama penyimpanan (Kay, 1973).
Ubi jalar yang
ditanam pada musim kemarau mempunyai kadar pati relatif tinggi dibandingkan dengan yang ditanam pa& musim hujan (Bouwkamp, 1985).
Di lain pihak
ubi jalar yang
berdaging merah muda umumnya mempunyai kadar karoten yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang berwarna putih (Soenarjo, 1984). Ubi jalar selain kaya kalori, juga mengandung nutrisi cukup tinggi dan komposisinya lengkap, seperti terlihat pada
Tabel 1. Konposisi Kimia Ubi Jalar Dibandingkan dengan Jagung, Kentang
mi Kayu dan
Surnber : * Anonirn (1995). ** Van Beynum et al., (1985) Didukung oleh tingkat produksi yang tinggi dan kandungan pati ubi jalar sebesar 27.9 Oh, maka secara keseluruhan produksi pati ubi jakar per Ha tergolong tinggi. Kondisi tersebut sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan balm b a g berbagai industri yang berbasis pati. Oates (1998) melaporkan bahwa untuk rnemperoleh rendemen gula cair yang maksimal sebaiknya digunakan pati ubi jalar yang dagng umbinya berwarna putih, karena kadar patinya relatif tinggi dibandingkan dengan dagmg umbi yang berwarna merah mu&.
Gula bebas yang terkandung didalam umbi ubi jalar adalah sukrosa,
fiuktosa dan glukosa. Kay (1973) melaporkan bahwa umbi ubi jalar mengandung gula pereduksi sebesar 0.5 - 2.5 %. Kondisi ini menyebabkan umbi ubi jalar terasa manis, terutarna setelah disimpan karena adanya aktivitas enzim P-amilase di dalam umbinya (Fennema, 1996). Lebih lanjut dolaporkan bahwa di &lam umbi ubi jalar terdapat senyawa total gula 12.1 Oh, yaitu maltosa 5.5 %, sukrosa 4.4 %, fruktosa 0.9 %, glukosa
0.8 % dan rafinosa 0.5 %.
Perlakuan pembuatan pati ubi jalar sebelurn diolah lebih
lanjut menjadi gula cair sebenarnya akan menurunkan rendemen karena senyawa gula yang terdapat pada umbi akan ikut tercuci selama proses ekstraksi zat patinya. Umbi ubi jalar juga rnengandung senyawa tripsin inhibitor, yaitu suatu zat ant1 gizi yang
akan
rnembentuk
ikatan kornpleks
dengan enzim
tripsin,
sehingga
menyebabkan enzim tersebut inaktif. Enzim tripsin berfungsi dalam pernecahan senyawa protein rnenjadi asam-asarn amino. Destruksi tripsin inhibitor rnerupakan h g s i dari suhu, lama pemanasan, ukuran partikel dan kelembaban udara. Senyawa tripsin inhibitor pada ubi jalar terdapat pada bagian urnbi dan dam (Femema, 19%).
B. BEBERAPA SlXAT FlSM PAT1 1. Bentuk dan Ukuran Granuta Pati Pati terdapat dalam sel tanaman dalam bentuk partikel-partikel yang tidak larut yang disebut granula.
Penampakan mikroskopik dari yanula pati, seperti bentuk,
ukuran, keseragaman dan letak hilum (ditengah atau ditepi) berbeda-beda untuk setiap jenis tananaman penghasil pati.
Dengan demikian sifat-sifat fisik tersebut dapat
digunakan sebagai variabel daIam identifikasi pati (Jideani r t al., 1996). Lin Jane er nl., (1992), melaporkan bahwa ukuran ganula pas yang berasat dari biji-btjian lebih kecil
c k i m m n a n sumber pati tainnya, yaitu berkisar antara 3 berasal dari akar dan umbi-umbian 10
-
-
20 prn, sedangkan yang
100 pm dan yang berasal dan batang 50 pn.
Kondisi tersebut salah satunya yang rnenyebabkan pati yang berasal dari biji-bijian cenderung mempunyai suhu gelatinisasi yang rendah dan lebih mudah dihidrolisis oleh katalisator enzim rnaupun asam.
Dewasa ini berbagai penelitian ditujukan untuk rnencari surnber-surnber pati yang berasal dari berbagaj tanarnan.
Jideane ei al., (1996) yang rnelakukan penelitian
mengenai struktur dan sifat-sitat fisikokirnia dari pati yang berasal dari tanaman bebijian (serealia) asaf Afiika, yaitu Acha (Digitaria exilis), Iburu (Digitaria iburu) dan Tarnba (Eleusine coracana), menemukan bahwa ketiga tanaman tersebut mempunyai ukuran
granula pati yang relatif kecii, yaitu masing-masing berkisar antara 2
-
13 ym, 2
-
13.5
p m dan 3 - 14 p m dengan bentuk granula yang tidak beraturan. Dilaporkan oleh Satin ( 2 0 0 0 ) bahwa bentuk granula pati bervariasi, yaitu mulai dari bentuk bulat, oval, elips, poiigonal sampai pa& bentuk yang tidak beraturan. Garnbaran bentuk dan ukuran granula pati dari beberapa tanaman penghasil pati &pat dilihat pa& Tabel 2 dan Gambar 1 . Tabel 2. Karakteristik Granula Pati dan Beberapa Tanaman Penghasil Pati
Surnber : Wirakartakusumah (198 I), Cecil ef nl., ( 1 9 8 2 ) dan FIach (1983). Anonim
0
0
0
a 0
Corn
Potalo
Wheat
TloioCa
RiCe
Gambar 1. Bentuk Granula Pati dari Beberapa Tanaman Penghasil Pati (Swinkle, 1985 dalam van Beynum et ui.,1985)
Secara mikroskopik, dalam granula pati campuran rnolekul bersrruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat mengeliling titik awal yang disebut hilus atau hilum (Bello-Perez et uf., 1996). Penampakan cincin atau lamela pada granula pati adalah akibat dari pengendapan lapisan molekul pati yang tejadi pada waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya. (Campbell et al., 1999).
Hodge et al.,
daiarn
Fennema, 1994) menjelaskan bahwa ikatan paralet terbentuk antara rnolekul linier yang berdekatan atau dengan cabang yang terluar dan molekul bercabang.
Ikatan ini
dihubungkan dengan ikatan hidrogen, menghasilkan daerah kristalisasi atau rnisela. Daerah yang kurang padat yang disebut daerah amorf rnudah dimasulu air. Daerah ini terdapat di antara misela dalam setiap kerangka konsentrik clan di antara kerangka konsentrik itu sendiri. Misela menyebabkan granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu suatu sifat yang dapat mereflesikan atau memantulkan cahaya terpol&sasi sehingga akan tampak seperti susunan kristal hitam putih di bawah mikroskop (Wh~stleret al., 1984).
Letak hilum Marn granda pati ada yang &ten&
dan a& yang ditepi. Granula
pati dari golongan tanaman Grarninae (beras, jagung, dan gandum) rnempunyai hilum yang terletak ditengah, sedangkan pada granula pati kentang dan sagu mernpunyai hilum yang terletak di tepi.
2. Kandungan Amilosa dan Amilopektin Pati merupakan homopolirner glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Tiap jenis pati rnempunyai sifat yang tidak sama, karena ha1 ini dipengaruhi oleh panjang rantai karbonnya dan perbandingan antara molekul yang lurus dan bercabang. Komponen yang
menyusun pati ada 3, yaitu amilosa, amilopektin &n komponen antara, seperti protein
clan lemak (Whistler et al., 1984; Champagne, 1996). Proporsi pati relatif dari arnilosa dan amilopektin berbeda-be& dari satu jenis pati dengan pati lainnya. Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak dari pada arnilosa. Menurut Charley (1982) dan Stoddard (1999), butiran pati mengandung amilosa berkisar antara 15
-
30 % sedangkan amilopektin berkisar antara 70 - 85 %.
Perbandingan antara arnilosa dan amilopektin ini akan mempengaruhi sifat kelamtan dan derajat gelatinisasi pati (Lin Jane et al., 1992). Pati dapat difraksinasi menjadi amilosa
dan amilopektin metalui gelatinisasi pada temperatur dan tekanan tertentu (Pomeranz, 1980). Amilosa berbentuk heliks, tanpa cabang dan molekul ini bertanggung jawab dalam pernbentukan warna dengan iodium, sedangkan arnilopektin mempunyai rantai yang sangat bercabang dan hanya memberi warna merah dengan iodium sebab amilopektin tidak membelit dengan baik. Menurut Martin et al.,(1984) dan Bello-Perez c r nl
, (1.996) masing-masing
rantai terdiri atas glukosida dengan 20
- 30 residu glukosa.
Amilosa dan adopektin d a b granula p t i hercrabttnc sattr snma lain denyan ikntan hidrogen. Komponen granula in] sebagian berbentuk hstal d m sebagian lagi berbentuk amorf. Pa& bagian amorf ikatan antar molekul tidak begitu kuat sehingga air mudah masuk (Jane ef al., 1992). Arnilosa merupakan polimer dari unit-unit D-glukosa, mernpunyai ikatan a-1.4 dengan rantai yang lurus. Panjang rantai lurus tersebut berkisar antara 250 glukosa dengan berat molekul antara 40.000
-
- 2000 unit
340.000, struktur kimianya &pat dilihat
pada Gambar 2 (Whistler et al., 1984). Amilosa di dalam larutan cenderung membentuk
"coil" yang panjang dan fleksibel yang dengan rnudah akan bergerak melingkar, apabila terdapat iodium akan membentuk kompleks yang menghasilkan warna bin, dan ini dapat ditentukan kadamya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang
625
-
660 nm (Manner. 1979). Dalam larutan encer, amikosa memiliki hentuk !I!itan.
Lilitan ini cenderung menghilang jika pati melarut. Bila ditarnbahkan senyawa seperti !erna!c, iodium atau alifatik alkohol primer, sebuah struktur kompleks ztau heliks dengan enam atau tr?juh unit glukosa per siklus terbentuir dengan molekul pengkompleks :rang menempati pusat rongga heliks. -4milosa bersifat sangat hidrofilik karena banyak mengandung gum hidroksil, oIeh karena itu m o l e w amilosa cendemng mernbentuk susunan paralel satu sama lain meialui ikatan hidragen dan dengan gaya van der Walls.
Keadaan ini menyebabkan
afinitas amilosa terhadap air berkurang. Selanjutnya menurut Wuzbwg cialam Burkus ef a!.,(1998), kumpulan amilosa dalarn air akan meningkat sampai terbentuk endapan bila
konsrntrasinya rendah dan membentuk gel bila konsentrasinya tinggi (Gambar 3).
Gambar 2. Molekul Amilosa dengan Struktur k a t a n Liniernya
Gambar 3 . Sifat Amilosa dalam Larutan (Furia, 1968)
Arnilosa mampu membentuk sbuktur kristal karena adanya interaksi molekuler
yang kuat. Kristalisasi muncul dengan adanya pembentukan sperulite. Hal ini tejadi bila larutan pekat amilosa didingmkan perlahan-lahan. Kristalisasi sering pula dilihat sebagai retrogradasi, proses yang menyebabkan rnolekul pati menjadi tidak larut dalarn air yang bersifat tidak dapat balik karena tejadi pembentukan ikatan intermolekuler yang kuat (Klucinec et al., 1999). Dijelaskan oleh Fennema (1996) dan Winarno (1989) bahwa terdapat pelengketan dari suatu jenis pati sangat tergantung pa&
perbandingan antara amilosa dan
amilopektin. Semakin keciI kandungan amilosa semakin lengket pati tersebut. Dengan demiluan amilosa adalah fraksi yang berperanan dalam pembentukan gel serta dapat menghasilkan lapisan tipis (film) dengan lebih baik dari pa&
amilopektin. Sedangkan
arnilopektin rnemberikan sol yang lebih stabil dan tidak membentuk gel.
Gambaran
perbandingan kandungan amilosa dan amilopektin untuk beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan Arnilosa dan Amilopektin dari Beberapa Surnber Pati
83 27 Sagu 82.5 - 67 8 17.5 - 32.2 Ubi jalar*) 20 80 Arraroot 2 0 - 50 50 - 80 Arnylomaize Surnber : Swinkle (1985) dalam van Beynum et at., (1985) *) Doremus et al., dan Madamba et al., dalam Bouwkamp (1985)
A~nilopektinjuga merupakan polimer dari unit-unit glukosa yang mempunyai iakatan a-1.4pada rantai lurus dan ikatan a-1.6pada titik percabangannya (Jane el ul., 1992). Jumlah ikatan cabang dari seluruh ikatan kurang lebih 5
iurus terdiri dari 20
- 30 unit
O h
dengan panjang rantai
glukosa (Grenwood dan Munro, 1979). Karena banyak
cabang, butir pati mengembang dan membentuk larutan koloid dalam air, seperti terlihat pada Gambar 5 (Funa, 1968 dalum Sari 1992). Amilopektin dengan larutan iodium rnembentuk warna merah dan ini dapat dipakai untuk menentukan kadarnya dengan rnenggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530
-
550 nm (metode IRRI
dalam Mukodiningsih, 1991). Berat molekul amilopektin rnencapai 50.000 - 100.000,
sedangkan bentuk struktur molekulnya dapat dilihat pa&
Gambar 4.
Gambar 4. Molekul Amilopektin dengan Struktur Ikatan Linler d m Bercabangnya (Fennema, 1996) Amilopektin &pat juga membentuk kompleks, walaupun tidak sereaktif amilosa. Proses kristalisasi amilopektin berbeda dengan amilosa.
Pada amilopektin kristalisasi
terhalangi oleh rantai cabang polimer. Hal ini dikarenakan kristalisasi dipengaruhi oleh keteraturan bentuk dari rantai polimer (Swinkels, 1985 dalam van Beynum er al., 1985). Franch (1972) dalam Wirakartakusumah (1981) menjelaskan bahwa rantai lurus pada
Gambar 5 . Sifat Amilopektin dalam Larutan (Furia, 1968 ~/u/un7Sari, 1992)
amilopektin terbagi dalam 2 tingkat derajat polimerisasi (DP), yaitu rantai A dengan derajat polimerisasi 15, sedangkan rantai B dengan derajat polimerisasi 45, keduanya tergabung membentuk struktur "cluster".
Derajat polimerisasi dihitung sebagai rasio
glukosa dalarn karbohidrat terhadap gula pereduksi (gldcosa ekivalen). Rantai A tertutup dalam suatu "cluster" dan bertanggung jawab terhadap daerah-daerah kristal dalam granula pati.
Sedangkan setiap rantai B terdiri dari 2 atau lebih "cluster", dimana
masing-masing "cluster" mengandung 2
-
4 rantai A.
Rantai B tersebut merupakan
tulang punggung dari amilopektin (Robin et ul., 1974 dulurn Wirakartakusumah, 1981). Selanj utnya menurut Kassembeck ( I 978) dalam Wirakartakusumah (1981), daerah amorpous berada pada 60
-
70 A dan sebagian besar terdiri daTi ikatan a-1.6 dari
amilopektin dan dacrah ini mudah rusak oleh hidrolisis asam atau cnzim.
3. Suhu Gelatinisasi Pati
Pati alami atau pati rnentah tidak lamt dalam air pada suhu dibawah titik gelatinisasi, ha1 ini disebabkan karena kemampuan mengikat air dari pati alami atau pati mentah sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pernbengkakannya yang sangat terbatas. Kondisi demikian mengakibatkan pati mentah sulit dimasuki oleh enzim atau asam sehingga sengat tahan terhadap proses hidrolisis. Atas dasar tersebut maka untuk tujuan hidrolisis pati lebih dahulu digelatinisasi pada suhu tertentu agar pernbengkakannya mencapai rnaksimal dan tidak lagi bersifat reversibel. Pembengkakan akan membuat pati mudah dimasulu asarn atau enzim, sehingga akan memudahkan untuk tejadinya proses hidroIisis. Fennerna (1996) menyatakan bahwa mekanisme gelatinisasi dapat dibedakan menjadi 3 fase. Tahap awal, air secara perlahan-lahan dan bolak balik berimbibisi ke dalam granula, selanjutnya tahap kedua, yaitu pada s&u
60
-
85°C granula akan
mengembang dengan cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut, sehingga akhimya pati kehilangan sifat birefrigenmya. Pa& tahap ketiga, jika temperatur tetap naik, maka molekul-rnolekul pati akan terdihsi keluar granula. Ditambahkan oleh Fennerna (1996) pada awal pengembangan granula secara cepat, kejernihan suspensi akan menaik dengan tiba-tiba.
Disaat ini tejadi kenaikan kekentalan secara cepat akibat dari molekul-
molekul pati terdispersi keluar granula, yang dalam ha1 ini merupakan fungsi suhu (McPherson et al., 1997).
Gambaran sifat-sifat beberapa pati setelah mengalami
geiatinisasi terlihat padat Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan Sifat Pasta Pati d m Beberapa Jenis Tanaman Penghasil Pati
I Jenis Pati
I
Viskositas
~rraroot I Ubi jalar Tin# Sumber : Swinkles (1985)
I
TekshlrPasta
I
I
Panjang Panjang
I
I
Kejernihan
I
Ketahanan
TransIusi
1
Rendah
I
Laju
I Sedang
Menurut Meyer (1982) dalam Hariyadi ( 1984) mekanisme pengembangan granula pati disebabkan karena molekul-molekul arnilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan-ikatan ludrogen Iemah.
Atom hidrogen dari gugus
hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain (Gambar 6a). Dengan demikian, naiknya suhu suspensi, maka ikatan hidrogen tersebut
makin melemah. Dilain pihak molekul-molekul air mempunyai enersi kinetik yang lebih tinggi, sehingga dengan mudah berpenetrasi ke &lam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul air juga makin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi mulai rnenurun, maka air akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa amilopektin, sehingga menghasilkan ukuran granula yang makin besar (Gambar 6b).
Garnbar 6. Mekanisme Pengembangan Granula Pati dengan Adanya MolekulMolekul Air (Meyer, 1982)
Suhu gelatinisasi pati merupakan batasan suhu yang mengakibatkan lebih dari 90 persen pati telah membengkak mencaw maksimal dan pembengkakan yang terjadi telah bersifat ireversibel.
Tingg rendahnya suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh jenis pati dan
konsentrasi pati yang digunakan. Nilai suhu tersebut biasanya merupakan suatu kisaran, ha1 ini msebabkan karena populasi granula yang bervariasi baik &lam ha1 ukuran, bentuk maupun enersi yang diperlukan untuk mengembang. Disarnping itu, suhu gelatinisasi juga sangat hpengaruhi oleh ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta kondisi media pemanas, seperti kondisi pH alkali, adanya basa organik seperti etilen diamin dan adanya proteolisis (Whistler er al., 1984). Menurut Wirakartakusumah (1981). kondisi media pemanas yang mempengaruhi proses gelatinisasi adalah meliputi perbandingan airipati,
laju
pemanasan clan
adanya
komponen-komponen lain
dalarn
media
pemanasnya. Perlakuan ekstraksi terutarna penghilangan lemak juga berpengaruh nyata terhadap proses gelatinisasi clan sifat-sifat fisik pati beras. Malun kental larutan, makin sulit tercapai pembengkakan maksimal dari pati walaupun peningkatan suhu telah mencapai suhu gelatinisasi. Menurut Tester et at., (1996) pembentukan gel optimum pada pH 4 - 7. Bila pH terlalu tinggi pembentukan gel
makin cepat tercapai, namun cepat turun lag.
Sedangkan bila pH terlalu rendah,
pembentuk gel lambat clan bila pemanasan diteruskan viskositas akan turun lag. Menurut Madamba dan Rasper (1983) dalarn Bouwkamp (1985) suhu gelatinisasi pati
dari 6 varietas ubi jalar berkisar antara 63.6
- 77°C
dan variasi ini sangat berkorelasi
positif dengan kandungan amilosanya. Gambaran suhu gelatinisasi beberapa jenis pati dapat dilihat pa& TabeI 5.
Tabel 5. Suhu Gelatinisasi dari Beberapa Jenis Pati Sumber Pati Ubi Jalar Ubi kayu Sagu Beras Gandurn Jagung Sumber : Cecil et al., (1982)
4.
Suhu Gelatinisasi Awal (OC) 6 5 - 70 70 69 66 65 62
Derajat Putih Pati
Derajat putlh atau warna merupakan salah satu variabel yang penting dalam menentukan mutu bahan pangan untuk digunakan bagi tujuan tertentu. Variabel ini dapat ditetapkan dengan cara mengukur rasio jumlah sinar yang dipantulkan oleh permukaan bahan pangan (dzflise reflection) dengan sinar yang dipantulkan oleh permukaan berwama putih (MgO atau BaS04). Sinar pantul ini diukur pada panjang gelombang berbeda-beda, khususnya pada panjang gelombang di daerah bemama merah, Iujau dan biru (Apriyantono, 1989). Setiap tanarnan penghasil pati mempunyai derajat putih yang berbeda-beda. Perbedaan ini terutarna dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor genetik mempengaruhi pati dalam 2 hal, yaitu secara tidak Langsung d m secara langsung. Secara tidak langsung mempengaruhi melalui kandungan berbagai komponen lain yang terdapat pada bahan yang mengandung pati dan secara langsung mempengaruhi melalui tingkat keputihan pati. Bahan hasil tanaman yang mengandung pati biasanya juga mengandung komponen lain seperti pigmen dan berbagai mineral. Pigmen yang banyak terdapat pada umbi ubi jalar, baik dikulit maupun di daging umbi a&&
flavonoid dan karotenoid (betakaroten) (Bouwkamp, 1985).
Akibat dari
adanya pigmen ini pada beberapa jenis ubi jalar, maka kulit urnbinya ada yang berwama
kuning, ungu atau ungu kemerah-merahan, sedangkan pada daging umbi ada yang berwarna kuning atau jingga sedikit ungu.
Pigmen ini &pat juga merupakan derajat
putih dari daging umbi, atau jika terikut dalam proses ekstraksi dapat mempengaruhi derajat putih pati. Umbi ubi jalar yang kulit clan daging urnbinya mengandung pigmen selama proses ekstraksi pigmen tersebut dapat dipisahkan dan butiran pati. Pemisahan dapat dilakukan dengan pencucian beberapa kali dan apabila ha1 ini dapat dilakukan dengan baik, maka pati yang diperoleh akan memiliki derajat putih yang tinggi. Sebaliknya bila pencucian tidak dilakukan dengan baik, maka derajat putih pati yang diperoleh akan rendah. Pati yang derajat putihnya rendah biasanya disebabkan oleh warna pati yang memang secara genetik tidak putih dan atau komponen pigmen yang terdapat dalam granda pati. Tanarnan yang mempunyai pati memiliki sifat demikian biasanya mempunyai derajat putih yang rendah, dan untuk memutihkan biasanya membutuhkan tambahan biaya. Dijelaskan oleh de Wit ef al., (1993) bahwa pati yang mengandung pigmen biasanya tidak sesuai untuk digunakan dalam proses pembuatan sirup atau produk hidrolisis latnnya, terutama hidrolisis dengan menggunakan katalis enzim.
Hal ini
disebabkan karena selama proses hidrolisis komponen tersebut &pat menjadi inhibitor, sehingga selain mengalubatkan hasil produksi rendah juga enzim yang dipakai akan mengalami penurunan stabilitas. Atas bar ini, maka bahan baku pati dengan derajat putih yang tinggi dijadlkan sebagai salah satu syarat mutu bahan baku.
C. POLA HIDROLISIS PATI SECARA ENZIMATIS DAN ASAM Hidrolisis pati menjadi pati temodifikasi, gula cair dan berbagai produk lain dapat dilakukan dengan menggunakan katalisator enzim dan asam. Kedua katalisator ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan
enzirn sebagai katalis dikarenakan faktor teknologi yang dapat menghasilkan produk yang relatif lebih baik dari pada katalis kimia. Menurut Judoamidjoyo et nl.. (1989) bila dibandingkan dengan katalis kimia. enzirn rnerupakan biokatalis yang rnempunyai beberapa kelebihan. diantaranya adalah reaksi hidrolisis yang terjadi dapat beragam ,
.(single change attack. rnulti change attack dan multiple attack). kondisi proses yang
digunakan tidak ekstrim. seperti suhu sedang dan pH mendekati netral. menpurangi jumlah enersi yang digunakan. tingkat konversi yang lebih tinggi. polutan lebih rendah
dan diperoleh reaksi yang spesifik. Sedangkan penggunaan asam. seIain kebalikan dari ha1 tersebut. juga peralatan yang digunakan hams bersifat tahan korosif
1. Pola Likuifikasi Pati dengan Enzim Alfa Arnilase Pati dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil. yaitu dengan mernotong ikatan glikosidiknya.
Salah satu enzim yang dapat memotong ikatan tersebut adalah
enzim a- arnilase (a-1.4.@ukanhrdrolaseatau EC.3 2, 1.1). tanaman, jaringan mamalia dan jaringan mikroba.
Enzim ini terdapat pada
Alfa amilase dapat diperoleh dari
berbagai sumber, diantaranya dari malt (barley), air liur rnanusia, pankreas, Aspergillus oryzae, Bacillus subtiIis dan BacilKus fichen~formis(Reilly, 1985, dan Novo, 2000).
Enzim a-amilase rnerupakan endo enzim vang berfungsi memutuskan ikatan a1.4 secara acak dibagian dalam molekul. baik pada amilosa maupun amilopektin. Sifat
dan mekanisme kerja enzirn a-amilase tergantung pada sumbemya, namun secara umurn pemotongan ikatan dimulai dari bagian tengah sehingga menurunkan kemampuan pati mengikat zat wama iodium. Mekanisme pernotongan ikatan a-1.4 pada molekul arnilosa oleh a-amilase dilakukan dalam 2 tahap, yaitu : a. Arnilosa didegradasi rnenjadi maltosa dan maltotriosa, proses tersebut terjadi secara acak dan cepat yang diikuti dengan penurunan viskositas larutan pati secara drastis.
b. Maltotriosa di degradasi menjadi maltosa dan glukosa, dimana prosesnya berlangsung sangat lambat dan tidak terjadi secara acak. Pernotongan ikatan a-1.4 pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa, inaltosa dan-beberapa jenis a-limit dekstrin, yaltu oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu gula yang semuanya mengandung ikatan a-1.6 (Whistler er al., 1984; dan Winamo, 1983). Menurut Whistler er al., (1985) garnbaran pola perubahan sakarida selarna iikuifikasi pati kentang dengan alfa arnilase dapat l l i h a t pada Garnbar 7. Data pada Garnbar tersebut menjelaskan bahwa pola perubahan maltosa dan glukosa hingga nilai DE 50 masih bersifat linier posxtif, sedangkan untuk maltotriosa dan maltotetraosa bersifat kuadratik.
Garnbar 7. Kolnposisi Kandungan Sakarida Selama Hidrolisis Pati Kentang dengan Enzirn a-Amilase dari Slrepfomyce.v I~ygroscopicusSF-1 084 (Whistler er a[., 1985)
Aktivitas dan stabiiitas optimal dan likuifikasi dengan enzim a-amilase dipengaruhi oleh berbagai faktor dan yang paling penting diantaranya adalah suhu dan pH.
Berdasarkan product sheet yang dterbitkan oleh NOVO, enzim a-amilase yang diproduksi dari Bacillus lichenrformis dapat dimanfaatkan untuk proses likuifikasi pada suhu 105°C dengan pemanasan jetcookers dan pada pH optimum 5.4. ApabiIa menggunakan enzim yang berasal dari kapang Aspergillus oryzae suhu optimum yang dapat digunakan 37 - 40°C dan pH 5.5 (Van Beynum et al., 1985). Whitaker (1994) menjelaskan bahwa
malun tinggi suhu proses, makin tingg aktivitas enzim, namun stabilitasnya malun menu-
run dan pembentukan zat warna semakin banyak. Makin tinggi dosis enzim atau makin Iama waktu likuifikasi makin tinggi repolimerisasi enzim diantaranya pembentukan zat
warna (over conversion), sedangkan malun rendah dosis enzim atau makin singkat waktu likuifikasi, s W d a yang terbentuk makin rendah (under conversion). Selain itu waktu kontak enzim dengan substrat (agitasi) perlu diatur secepat munglun, agar pembentukan hasil samping, diantaranya zat wama dapat ditekan. Kebanyakan enzim a-amilase memerlukan ~ a "untuk meningkatkan aktivitas-
nya, dan untuk ini dibutuhkan 4 ion ca2+per gram rnol enzim. Kestabilannya dipengaruhi juga oleh substrat, terutarna zat inhibitor atau kotoran, seperti pigmen. Beberapa jenis aamilase yang banyak digunakan oleh industri dewasa ini dapat dilihat pata Tabel 6 Tabel 6. Jenis-jenis Enzim a-amilase yang Biasa Digunakan dalam Indusbi Jenis Enzim/Merek Dagang Takalite L-300 Thermamyl Maxamy l Spezyme AA-20 Thermamyl 120 Ls Spezyrne AA-20N Surnber : PT. Puncak Gunung Mas (1995).
Kondisi Proses (pH) 6.2 - 6.4 6.0 - 6.4 6.0 - 6.4 6.0 - 6.3 5.9 - 6.2 5.7 - 6.1
2. Pola Likuifikasi Pati dengan Asam
Terdapat banyak katalisator yang dapat digunakan untuk proses likuifikasi pati dengan asam, namun yang umum digunakan adaiah asam khlorida clan asam sulfat. Hal ini disebakan karena selain kedua asam tersebut merupakan asam kuat, juga bagi HCl mudah diuaplcan karena henifat vnlatil
Renkqi dasar dalam hidmiisis pati d m p n acam
adalah pemotongan ikatan a-1.4 D-glukosidik dari amilopektin.
Hal terseb~t
menyebabkan ukuran molekul pati mengecil clan meningkatkan kecenderungan pati
untuk membuat gel. Pada saat hidrolisis strukrur granula melemah, namun tidak sampai membuat pati meiemah (Whistler et al., d m DeIlweg dalam Sacadinata (1990) bahwa hidrolisis secara asam dapat dibagi kedalam 2 kategori, yaitu hidrolisis dengan asam pada konsentrasi tinggi dan sLlhu rendah, dan hidrolisis pada konsentrasi rendah dan suhu tinggi. Selama proses likuifikasi, asam akan menghidrolisis ikatan glukosida menjadi rantai yang lebih pendek.
Menurut Whistler et al., (1984) dan Wurzburg (1986),
hidrolisis dengan asam ini akan lebih sensitif pada ikatan a-1.4 glukosida dibanding ikatan a-1.6 glukosida. Namun struktur linier dengan ikatan a-1.4 terdapat pada bagian knstalin, bagian tersebut tersusun sangat rapat sehingga sukar dimasuki air atau asam, akibatnya akan lebih tahan terhadap asam. Bagian amorf walaupun tersusun dari ikatan a-1.6, namun merupakan daerah yang kurang padat, sehingga air mudah masuk yang
selanjutnya akan memudahkan penetrasi asam untuk rnenghidrolisis pati. Dijelaskan oleh Whistler et ai.,(1984) bahwa hidrolisis pati secara asam tejadi secara acak, sehingga apabila waktu likuifikasi diperpanjang maka semakin banyak sakanda berantai pendek yang dibentuk.
Apabila proses te~sebutditeruskan maka
sakarida-sakarida berantai pendek tersebut dihidrolisis menjadi glukosa.
Hidrolisis dengan asam pekat membutuhkan biaya lebih mahal dan peralatan yang lebih tahan korosi dibandingkan dengan hldrolisis dengan asam encer.
Selain itu,
hidrolisis menggunakan asam pekat dapat mempercepat proses hidrolisis tetapi akan menurunkan hasil hidrolisis karena glukosa mudah sekali diuraikan oleh asam pekat. Apabila digunakan asam encer akan memperlambat proses hidrolisis karena adanya daya
tahan dari kristal pati, tetapi mengurangi penguraian glukosa oleh asam.
Berbagai
penelitian menemukan bahwa penggunaan HCI dengan konsentrasi 0.1 % &lam proses likuifikasi atau pembuatan sirup glukosa memberikan hasil yang optimal.
3.
Pola Sakarifikasi Pati dengan Enzim Sakarifikasi hasil likuifikasi pati, baik secara enzimatis maupun asam dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai enzim, baik enzirn tunggal maupun enzim campuran. Jenis enzim tunggal yang banyak digunakan &lam industri sirup glukosa dan lainnya adalah enzim amiloglukosidase (AMG), sedangkan enzim campuran adalah Dextrozyme, yang rnerupakan campuran antara pullulanase dan AMG. Amiloglukosidase atau glukoamilase (EC 3.2.1.3) adalah enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis maltosa dan maltotriosa menjadi glukosa. Enzim ini melakukan pemecahan maitosa dan maltotriosa dari luar clan melepaskan unit-unit glukosa secara teratur
dari
ujung non reduksi
polimer-polimer pati.
Sedangkan pullulanase
(EC.3.2.1.41) adalah enzim yang berfUngsi menghidrolisis atau memotong ikatan cabang a-1.6 dari molekul amilopektin menjadi maltomosa dan dekstrin linier (Whitaker, 1994).
Beberapa jenis enzim lain yang sering digunakan dalam industri serta informasi kondisi proses yang diperlukan untuk sakarifikasi terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Senis-jenis Enzim Glukoamilase yang Biasa Digunakan dalam Industri Gula Cair Senis Enzun/Merek Dagang AMG Diazyrne L-300 Dextrozyme Spezyme GA-300 Spezyme GA-300N Sumber : PT . Puncak Gunung M a s ( 1995)
Kondisi Proses (pH) 4.4 - 4.6 4.3 - 4.5 4.2 - 4.4 4.2 - 4.3 4.1 - 4.3
Hingga sekarang glukoarnilase yang mengludrolisis pati langsung menjadi D-glukosa dihasilkan dari beberapa spesies kapang Aspergillus dan Rhizopur, khamir Scaccharornyces diasticus dan bakteri CZostridium acetoburylicum. AMG produk NOVO dihasilkan dari strain Aspergiiius niger (product sheet NOVO, 2000). Sumber dan nama amiioglukosidase yang telah berhasil diisolasi dari kapang dapat &lihat pada Tabel 8. Tabei 8. Surnber dan Spesifikasi Beberapa Macam Glukoamilase
Sumber : Fleming daiam Subama (1984). Glukoamilase tersusun dari asarn amino yang umurn tetapi sedikit rnengandung asam amino bersulfur, sedangkan asam amino yang mempunyai gugus hidroksil dan
karboksilat relatif tingg (Whitaker, 1984).
Penemuan b a u menunjukan bahwa
glukoamilase dari Aspergrllus niger merupakan glikoprotein yang rnengandung Dmanosa serta sejumlah kecil D-glukosida dan D-galaktosa. Ditarnbahkan bahwa takaamilase B dari AspergiNus
o w e
rnengandung satu polisakarida yang tersusun dari
glukosa dan xylosa. Arginin tripsin, isoleusin, valin, asam glutamat dan lisin ditemukan dalam hidrolisis asam. Glukoamilase murni menghidrolisis amilopektin dan mdto-oligosakarida menjadi D-glukosa secara sempuma.
D(1.3)(Pazur, 1965).
Enzim ini dapat juga menghdrolisis a-D(1.6) dan a-
Menurut Whistler et al., (1984) AMG menghidrolisis ikatan
oksigen CI pada pati, a-1.4 oligosakarida dan maltosa dengan melepaskan P-glukosa dari ujung-ujung rantai non reduksi.
Enzirn ini tidak dapat mendegradasi pati secara
sempurna, walaupun aktifitasnya tidak terhenti pada ikatan a-1- 6 . Gambaran pola-pola pembahan sakarida selama proses sakarifikasi dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Komposisi Sakarida pada Sirup Jagung yang Dihidrolisis Menggunakan Asarn dan Enzim Serta Kombinasi Antar Keduanya (Whistler e f al., 1984)
Ket. "AC= konversi asam; DC E = konversi enzirn.
= konversi
asam-enzim;
HM = rnaltosa-tinggi
Diinfomasikan oleh Kulp (1975) bahwa ada ikatan dalarn molekul substrat yang belum diketahui dengan pasti dapat menghentikan aktivitas enzim, mungkin juga ada beberapa ikatan a-1.4 glikosidik yang sukar dhidrolisis. Dalam proses sakarifikasi, reversi D-glukosa menjadi oligosakarida dapat terjadi jika inkubasi &perpanjang. Selain itu dapat terbentuk kompleks D-glukosa-enzim yang kemudian mentransfer D-glukosa kepada molekul aseptor (Whistler et a f . , 1984). Kecepatan hidrolisis substrat salah satunya sangat berkaitan dengan berat molekulnya, dengan demiluan AMG akan menghidrolisis mdtotriosa lebih cepat dari maltosa (Birch et al., (1979). Ditarnbahkan bahwa AMG yang berasal dari A. niger yang mernpunyai
kemarnpuan menghdrolisis maltosa, maltotriosa, maltotetrosa dan maltopentosa menjadi glukosa mernpunyai aktivitas optimum pada pH 4
- 5 clan suhu
50
-
60°C. Dilaporkan
pula oleh Whitaker (1984),bahwa pH optimum untuk aktivitas AMG adalah 4
- 4.5 dan
stabil sampai temperatur mencapai 65°C. Pullulanase yang merupakan salah satu enzim yang digabung (dicampur) dengan enzim AMG, yang diberi narna dagang Dextrozyme di hasilkan
dari BaciElus
acidopullulyticm) (product sheet NOVO, 2000). Suhu dan pH optimum yang dibutuhkan
enzim ini masing-rnasing adalah 60 - 70°C dan pH 4.3, sedangkan untuk AMG suhunya adalah 60°C dan pH 4.3 - 4.5. Dilaporkan oleh Whitsler e f ul.,(19841, bahwa pullulanase merupakan enzim yang memotong ikatan a-1.6 glukosida dari dalam, baik terhadap substrat pullulan, arnilopektin, glikogen dan a dan
P limit dekstrin lainnya. Sifat pemotongan ikatan a-1.6
glukosida adalah 2 rantai berdekatan dengan unit glukosa yang dihubungkan dengan ikatan 1.4. Substrat yang ideal adalah pullulan yang tersusun dari molekul linier dari pengulangan unit maltosa (dengan 2 ikatan a-1.4) bergabung dengan ikatan a-1.6 glukosida. Tiap tiga ikatan glukosida adalah a-1.6. Pullulanase dart enzirn pemotong
cabang laimya sangat dperlukan dalam pembuatan light beer (semua karbohidrat dikonversi rnenjadi etanol) dan untuk mencegah kebasian pa& roti. Dalam praktek pembuatan sirup glukosa secara asam, konversi pati hanya sampai pada Dextrose Equivalent (DE) 30
-
55. Dengan kristalisasi akan dperoleh dekstrosa
monohidrat dengan DE 85 - 95 (Palmer, 1970 dan Howling, 1979 dalam Subarna, 1984). Di atas nilai DE 55, biasanya terbentuk wama dan komponen yang rasanya pahit, karena pada saat pemecahan tersebut gula yang terbentuk berubah menjadi bahan yang menyebabkan warna, seperti 5-hidroksimetilfurfi~alatau asarn levulinat dan rasa yang pahlt.
Selain itu, pembuatan sirup glukosa secara asam akan rnenghasilkan sakarida
dengan spekixa-spektra tertentu, dan apabila DE ingin ditingkatkan akan terjadi degradasi
dan rekombinasi (pembentukan asam levulinat dm lainnya)(Berghrnans, 1981). Pembuatan sirup glukosa ditingkat industri biasanya menggunakan konsentrasi substrat yang berkisar antara 25
- 40
%. Konsentrasi substrat mana yang akan dipakai
sangat terkait dengan nilai DE yang ingin dicapai. Penggunaan konsentrasi substrat yang rendah biasanya rnenghasilkan nilai DE yang tinggi, namun tingkat efisiensinya rendah. Inkubasi yang dipakai untuk proses likuifikasi biasanya memerlukan waktu
+ 3 jam,
sedangkan untuk sakarifikasi dengan enzim biasanya rnernerlukan waktu yang berkisar 40 - 90 jam. Jika waktu sakarifikasi atau dosis enzim yang dipakai h a n g cukup, maka kandungan glukosa yang didapat rendah (under conversion).
Sebaliknya jika waktu
sakarifikasi terlalu lama atau dosis enzim terlalu t i n g ~ maka , sebagian glukosa dapat berpolimerisasi (over conversion) (Bergmans, 1981). Beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi enzim, diantaranya adalah bentuk dan ukuran relatif molekul yang berinteraksi serta daerah efektif rnolekul enzim, karena reaksi enzimatis tejadi pada permukaan enzim.
D. DEKSTRIN DAN MALTODEKSTRIN 1. Pengertian dan Jenis Dekstrin dan Maltodekstrin
Dekstrin adalah h a i l hidrolisis tidak sempuma dari pati dengan katalis asam atau juga terbenhrk dari hidrolisis pati dengan menggunakan enzim tertentu ( W s t l e r et al., 1984).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01 - 2593 - 1992) dekstrin
didefinisikan sebagai salah satu produk hidrolisis zat. pati, berbentuk serbuk amorf, berwarna putih s a m w kekuning-Wgan.
Sedangkan maltodekstrin menurut Schenck
(1996) didefinisikan sebagai larutan bukan gula yang dikeringkan dan dihasilkan dari hidrolisis pati. Dekstrin clan maltodekstrin m e ~ p a k a ndua dari beberapa jenis pati termodifikasi. Menurut Anonim (2000), pati termodfikasi adalah pati yang telah mengalami perubahan struktur molekulnya, apakah itu struktur fisik atau kimianya, baik melalui proses
hidrolisis secara enzimatis maupun hidrolisis secara asam.
Khusus dekstrin, tingkat
perubahan struktur molekul pati yang &peroIeh dari suatu proses hidrolisis dengan menggunakan parameter proses tertentu akan menentukan jenis dekstrin yang dihasilkan. Berdasarkan tahap pembentukannya dalam proses hidrolisis pati, maka deksmn dikenal ada tiga jenis, yaitu amilodekstrin, eritrodekstrin dan akrodekstrin. Pada tahap konversi awal dihasilkan amilodekstrin yang larut dalarn air. Arnilodekstrin ini masih memberikan wama biru biia ditetesi dengan larutan iodium. Konversi selanjutnya dihasilkan eritrodekstrin, dan dekstrin tersebut jika ditetesi lamtan iodium akan memberikan warna merah kecoklatan.
Konversi terakhir adalah eritrodekstrin
dihidrolisis menjadi akrodekstrin yang apabila dtetesi larutan iodium tidak akan memberikan warna (WhistIer el ul.,1984 dan Van Beynurn ef al., 1984).
ope.
&x&wd
33
Berdasarkan reaksi warnanya dengan iodium, dekstrin juga dapat dibedakan dengan amilosa d m amilopektin. Pati bila berikatan dengan iodium akan menghasilkan warna biru, karena struktur molekul pati yang berbentuk spiral, sehingga akan mengikat molekul iodium dan membentuk warna biru. Berdasarkan percobaan diperoleh bahwa pati akan merefleksikan w m a biru bila polimer giukosanya lebih besar dan 20 (seperti amilosa).
Bila polimer glukosanya kurang dari 20, seperti pada amilopektin &an
dihasilkan warna merah, sedangkan polimer yang lebih kecil dari lima tidak memberrkan warna dengan iodium (Winarno, 1988). Berdasarkan cara pembuatannya, Wunberg (1989) mengelompokan dekstrin menjadi tiga jenis, yaitu dekstrin putih, kuning dan britis gum. Dekstrin putih dibuat dengan rnenggunakan suhu rendah, pH rendah serta waktu yang cepat mengbsilkan produk konversi tanpa perubahan warna yang menyolok. Dekstrin kuning dibuat dengan menggunakan suhu tinggi, pH rendah serta waktu yang lama, menghasilkan produk konversi tingkat tinggi. British Gum dibuat dengan rnenggunakan suhu tinggi, pH tinggi
dan waktu mendekati 20 jam, menghasilkan produk dengan warna yang lebih gelap dari dekstrin putih. Selain ketiga dekstrin tersebut dikenal pula dekstrin Schardinger, yang dihasilkan dari degradasi pati oleh BaciNus rnacerans (Heimann, 1980).
Dekstrin
tersebut mempunyai jumlah unit glukosa 5 dan 6, narnun ada juga yang menyatakan 6 - 8 m i glukosa yang tersusun secara melingkar menyempai bentuk cincin. Dekstrin dengan nilai DE yang rendah atau yang mempunyai gula reduksi rendah, yaitu tidak lebih dari 5 % dapat dimanfaatkan sebagai substrat dalarn pembuatan siklodekstrin.
Penambahan katalis CGTase pada substrat tersebut yang selanjutnya
disiklisasi pada suhu, pH, agitasi dan lama reaksi tertentu akan diperoleh siklodekstrin. Hamilton et al., (2000) menyatakan bahwa siklodekstrin ada tiga jenis, yaitu asiklodekstrin, P-siklodekstrin dan y-siklodekstrin.
a-Siklodekstrin terdiri dari 6 unit
glukosa, P-siklodekstrin terdiri dari 7 unit glukosa clan y-siklodekstrin terdlri dari 8 unit glukosa dalam struktu~melingkarnya.
2. Pembuatan Dekstrin dan Maltodekstrin Dalam pembuatan dekstrin dengan proses hidrolisis menggunakan katalis asarn dapat dilakukan secara kering dan basah, sedangkan untuk katalis enzim hanya dapat dilakukan secara basah (Satter-Waite dan Iwinslu, 1973). Sedangkan dalam pembuatan maltodekstrin, katslis yang dapat hgunakan adalah asam clan enzim. Penggunaan katalis asam, proses hidrolisisnya dapat dilakukan secara kering maupun basa. Katalis asam yang dapat digunakan untuk memproduksi kedua produk tersebut diantaranya adalah trikhloroasetat, asam hipokhlorit dan asam khlorida. Katalis asam yang paling banyak
digunakan adalah asarn khlorida karena selain merupakan asam kuat juga bersifat volatil. Sedengkan katalis enzim yang digunakan adalah enzim a-amilase. Pembuatan dekstrin dan maltodekstrin secara basa, biasanya dilakukan dengan cara menghldrolisis pati pada konsentrasi larutan tertentu hingga mencapai nilai DE yang disyaratkan. Menurut Van Beynum et al., (1985) nilai DE untuk produk dekstrin adalah lebih kecil dari 20, sedangkan untuk maltodekstrin nilainya kurang lebih 20 (Whistler et
al., 1984). Sedangkan pernbuatan dekstrin dan maltodekstrin secara kering hanya dapat dilakukan dengan menggunakan katalis asam, dimana waktu hidrolisis mtuk rnendapat pr~dqdcmaltodekstrin lebih lama dari produk dekstrin. Menurut Satter Waite dan Iwinski (1973), penarnbahan asam sebagai katalis &lam
proses produksi (dekstrinasi) secara kering dapat dilakukan secara terpisah
(sebelum pati dipanaskan) atau dapat secara bersama-sama, yaitu dengan cara menyemprotkan larutan asam selama pati dipanaskan. Penambahan asam secara terpisah dilakukan dengan cara menambah larutan HCI pada konsentrasi tertentu (biasanya 0.1 %
dari berat kering) secara perlahan-lahan sambil di aduk hingga terbentuk pasta tepung pati.
Selanjutnya pasta pati tersebut dikeringkan hingga mencapai kadar air 11 %,
kemudian dihaluskan sambil diayak dan dilakukan pemanasan pa& suhu kurang lebih 110°C selama 3
- 7 jam.
Acton (1976), Satter Waite clan Iwinski (1973), bahwa seIama
pemanasan harus dilakukan pengadukan agar hidrolisis dapat tejadi secara sempuma d m dapat mengurangi pembentukan senyawa berwarna.
Untuk mengetahui waktu
terbentuhya dekstrin dilakukan pengujian dengan cara meneteskan iodiurn pa&
sampel
pati. Jika terbentuk warna ungu, rnenandakan bahwa dekstrin yang dominan terbentuk
addah amilodekstrin, warna merah cokIat rnenandakan dekstrin yang dominan terbentuk adalah eritrodekstrin dan jika warna agak coklat dekstrin yang dominan terbentuk adalah akrodekstrin. Sebaliknya apabila hasil uji dengan lug01 menunjukan hasil yang tidak berwarna maka produk yang diperoleh adalah maltodekstrin. Menurut Schenck (1996) sirup pati dengan derajat hidrolisis yang rendah hingga menengah dapat dikeringkan dengan beragam cara untuk memproduksi maltodekstrin kering dan padatan sirup jagung, tanpa dicampur atau dikombinasi dengan bahan atau gelatin yang dapat larut dalam air dingin. Produksi konversi pati terhidrolisis rendah dapat bermasalah dengan retrogradasi dari fragmen amilosa rantai panjang karena dapat menimbulkan resiko tidak larut. Berbagai proses hidrolisis dua tahap memberikan gambaran bahwa resiko tersebut &pat dihindari.
Selain itu, hidrolisis ke tingkat DE tinggi diikuti dengan fraksinasi sirup
kedalam DE rendah dan tinggi oleh salah satu osmosis balik (reverse osmosis) atau keluarnya molekul juga mempakan salah satu cara untuk memperoleh produk pati dengan DE rendah namun mempunyai kelarutan yang tinngi. Dewasa ini, sengaja dibentuk fragrnen (potongan) amilosa retrogradasi yang diylnakan untuk memproduksi maltodekstrin padat yang mengandung jurnIah pati
resisten. Produk tersebut dijual &lam bentuk dimasukan kedalam produk pangan untuk meningkatkan kandungan serat kasar (dietary fiber) 3. Penggunaan Dekstrin dan Maltodekstrio Secara urnum pati alami atau pati termodifikasi mempunyai sifat-sifat fimgsional yang sangat luas, beragam dan berbeda antara satu jenis pati dengan pati lainnya. Perbedaan ini akan mengakibatkan tujuan pemanfaatannyajuga berbeda. Dikatakan oleh
Yuan et al., (1993) dan Anonim (2000) bahwa
pati alami maupun pati yang telah
mengalami modifikasi struktur molekul aslinya dapat digunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya untuk industri pangan, industri tekstil industri kertas, indusm perekat, industri farmasi (salah satunya sebagai bahan baku tablet), industri bahan bangunan, industri kosmetik, industri pengemasan, dan industri lainnya (diantaranya digunakan dalam pengeboran minyak). Dekstrin atau maltodekstrin sebagai salah satu produk pati termodifikasi dapat digunakan dalam berbagai bidang industri pangan dan industri non pangan.
Dalifm
bidang pangan antara lain digunakan sebagai bahan pengisi, pengental dan penstabil. Pada produk
pangan
yang kurang renyah,
dekstrin dapat
ditambahkan untuk
rneningkatkan kerenyafian, seperti pada pembuatan kentang goreng yang dilakukan dengan cara merendam kentang tersebut dalam larutan dekstrin. Demikian juga dapat digunakan sebagai bahan pelapis untuk mencegah migrasi minyak pada pembuatan kacang goreng.
Sdah satu sifat yang penting dari dekstrin atau maltodekstrin dan
berbeda dengan pati alami adalah kemampuan larut dalam air dingin, dengan sifat tersebut dekstrin atau maltodekstrin
banyak digunakan &lam
industri makanan,
rnisalnya sebagai carrier (pembawa) &lam pembuatan serbuk (powder) krbagai bahan yang &an dibuat minuman, seperti dalam pembuatan instant tea (Somaatmadja et al.,
1983).
Menurut Smith (1982)- dekstrin atau maltodekstrin banyak digunakan pula
sebagai bahan pengisi dan pembawa aroma. Selain itu, dengan sifat yang mudah lamt &pat juga digunakan sebagai carnpuran rnakanan bayi, dalam ha1 ini dekstrin dibutuhkan kandungan karbohidratnya tidak kamba clan mudah dicerna oleh bayi. Salah satu bentuk makman bayi yang telah banyak diaplikasi adalah pada pembuatan dekstrin atau maltodekstrin yang dicampur madu yang kemudian dikeringkan dengan menggunakan pengeringm semprot. Dekstrin yang banyak dirnanfaatkan dalam industri non pangan addah dekstrin yang mempunyai tingkat kelarutan dalarn air dingin minimal 80 % dan maksimal h a n g dari 97
Oh.
Dekstrin dengan Mas mutu seperti tersebut biasanya dimanfaatkan dalarn
industri perekat, industri tekstil clan industri kertas (Graham, 1977). Sebagai bahan baku perekat dekstrin &pat diformulasikan untuk membuat berbagai jenis perekat, seperti perekat untuk label-label, perangko d m benda-benda pos Iainnya. Dalam produk kertas, dekstrin digunakan pula untuk memperbaiki peningkatan kekuatan jaringan, dan biasanya d~gunakandalam jurnlah besar pada kertas daur ulang & liner board dan cardboard. Pemakaian dakam industri tekstil adalah pada tahap proses kainmori, dimana bila hendak dicetak hams dihilangkan kanjinya. Pen&langan
dekstrin dalam kain putih
dilakukan lebih mudah karena hanya cukup dengan meredamnya dalam air dinggin, sedangkan bila menggunakan pati mentah perlu dilakukan pemanasan dan dlsertai penambahan asam khlorida. Dalam industri farmasi dekstrin dipakai seba*
bahan baku
pembuatan tablet untuk dijadikan media pembawa (carrier) obat. Didalam perut tablet akan cepat larut sehingga obat akan berada dalarn kondisi tersedia untuk diserap usus, selanjutnya ditransfer melalui darah keseluruh tubuh.
Ditambahkan bahwa produk
tersebut dapat juga digunakan sebagai bahan baku dalarn pembuatan pengemasan obat-
obatan, seperti dalarn pembuatan kapsul yang sifatnya wasparan. Dalam industri pakan, dekstrin sering dgunakan sebagai "feed block" dalam pembuatan pakan berbentuk pelet.