Piramida Warna Part II UNAIR NEWS – Telah lama aku menunggu suratmu. Menunggu ceritamu dari tempat barumu. Sampai hari terjauh ini, berapa banyak teman barumu ? Apakah mereka ada yang sok sepertiku ? Atau kau juga merasakan hari yang sebaliknya, menjengkelkan dan penuh dengan kebosanan. Jika kita masih bisa bercakap-cakap, kupaksakan ini adalah kelanjutan dari Piramida Warna, sebongkah fiksi persahabatan dua kawan yang tak harus dipisahkan oleh ruang waktu yang tetap akan didesak dalam lakon-lokonnya yang tak boleh terputus. Kau ingat gang sempit itu. “Hei.. kita kesasar. Kemana ini ?” ujarmu dulu. Buta arah, tak ada peta, berat bertanya, dan motor kita pacu berputar tanpa panduan yang pasti. “Kemana ini ?” tanyamu lagi. Hanya menggelengkan saja, keyakinankupun penuh buntu. Dan dipercabangan jalan kita bersilang suara hendak kemana. “Firasatku, kesana !” kau menunjuk jalan ke arah Mall besar. “Kayaknya kesana deh.” Sepertinya memang ketersesatan ini membuat kita menghabiskan banyak waktu dalam perasaan cemas-cemas acuh. Dan terus kini, sebab putus asanya, kupersilahkan kamu sebagai pengemudinya. “Kayakke aku pernah kenal tempat ini deh” ujarmu di depan. “Kemana ?” “Sebentar..”
Kita menepi, dan kuputuskan untuk tanya kepada seorang penjual pinggir jalan. Walhasil sedikit kecewa, ternyata kita kesasar begitu jauh, pedagang itu hanya bisa mengarahkan sepanjang jalan yang diingatnya saja. Laju kendaraan terus kau jalankan, dan rambu-rambu jalan yang minim membawa ketersesatan ini kian panjang. “Kata Ibu tadi, dari lampu merah belok ke kanan. Kog ini belok kekanan mentok gang buntu ya ?” sambil tepok jidat. Baiklah, aku bolehkan tersenyum susah. Akhirnya ku telepon salah seorang teman untuk menjemput kita. Sebelumnya, lagi aku turun bertanya alamat tempat kita kesasar. “Tuuttt…tuuttt…tuuutt” Bunyi deringnya terengar lagu nyaring, namun tidak diangkat lama. Oh, sungguh takdir. Sepertinya temanku ini sedang tidak bersama ponselnya. “Gimana ?” “Es..degan saja, dulu.” Di pinggir jalan, kita tenangkan hati sejenak. Dan kebetulan saja, seperti jodoh saja, ketika mbayar dan bertanya arah pulang. Ada seorang pembeli yang nimbrung percakapan. “Kemana mas ?” “Ke Maskumambang Pak.” “Oh..saya juga mau ke arah yang sama. Tak barengi saja kalau kesasar.” Syukurlah, kita terselamatkan juga. Dan endingnya kamu kapok jika bepergian cuman berdua saja. Takut kesasar lagi. Agak geli memang mengingatnya, tapi jauh disana, kau pasti punya cerita baru yang lebih indah kau ceritakan dalam suratmu.
Dalam sebuah pesan pendek kutulis “..kutunggu ceritamu” . Penulis: Sukarto
Kampung Pengemis (Part 2) untuk membaca Part 1, silakan klik Kampung Pengemis (Part 1) Sabtu itu, hari sudah sore. Aku dan temanku itu telah berada di dermaga penyeberangan kotanya. Aku yang menggendong ransel di punggung bersiap menyeberang ke kampung pengemis di pulau pengemis. Dia kembali menyarankan dan membujuk agar aku mengurungkan niatku. Dia takut aku ketularan jadi pengemis. Tentu saja aku menolak. Dia mahasiswa yang aneh, ucapku padanya. Di jaman sekarang masih percaya dengan mitos kutukan macam itu. Dia pun mengalah dan menyerah membujukku. Dia lalu bertanya kapan aku kembali, agar bisa dijemputnya. Kubilang besok, hari minggu siang aku sudah di dermaga. Dia mengiyakan. Tak lama menanti, kapal penyeberangan tiba. Aku dan dia bersalaman. Aku naik ke kapal dan mulai meninggalkan dermaga kota temanku. Sekitar tiga puluh menit selepas lepas landas dari dermaga kota temanku, aku dan penumpang lain turun ke pulau yang kami tuju. Sejauh itu, aku tak melihat tanda-tanda kepengemisan di pulau tersebut. Aku melihat keadaan pulau tersebut biasa-biasa saja. Seperti kebanyakan pulau lain yang berjarak tidak begitu jauh dengan perkotaan. Pulau yang disebut temanku pulau pengemis ini, terlihat cukup membaur dengan peradaban modern. Nampak televisi di ruang tunggu dermaga. Sepeda motor dan mobil di jalan-jalannya. Beberapa parabola dan ada pula antena alias tower agak raksasa. Tebakanku, antena alias tower itu adalah milik salah satu perusahaan telekomunikasi.
Apa benar ini kampung pengemis. Atau kampung pengemis ada di pedalaman dari pulau ini. Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Atau kampung pengemis hanya rahasia umum yang tidak nyata. Aku pun menyusuri jalan, beberapa tukang becak menawari jasa, demikian pula tukang-tukang ojek. Namun aku menolak dengan lembut. Aku sedang ingin berjalan-jalan dan menikmati pulau ini sendirian. Hingga pada suatu titik, aku berhenti. Aku melihat sebuah papan nama. Bukan papan nama sebuah kantor, melainkan papan nama di sebuah rumah yang keterangan nama di papan itu sangat menarik perhatianku. Tertulis di sana: Kepala Kampung Pengemis. Diseret rasa ingin tahu, aku menghampiri rumah itu dan mengetuk pintunya. Seseorang berjenis kelamin pria membuka pintu lalu menyapaku ramah kemudian memersilakan untuk masuk ke ruang tamu. “Saya mahasiswa dari sebrang, Pak. Datang ke sini dengan niatan untuk jalan-jalan.” “Mau jalan-jalan, atau cari pekerjaan, atau penelitian, silakan saja, Dik. Pulau ini terbuka untuk umum. Nah, kecuali kalau ada orang asing mau merampas hak kampung ini, baru para penduduk akan bertindak tegas.” Ucap orang itu dengan senyuman di bibirnya. Dia lalu pamit sebentar untuk ke dalam beberapa saat. Ketika kembali ke ruang tamu, di tangannya sudah ada nampan membawa dua minuman kemasan kaleng yang nampak segar. Dia memersilakanku meminumnya. Aku pun menikmati minuman itu, tapi tidak menghabiskannya. “Kampung ini sering didatangi mahasiswa-mahasiswa, ada yang mau meneliti, jalan-jalan maupun cari kerja. Kata orang sih, di kampung ini memang banyak lapangan pekerjaannya. Padahal tidak juga.” “Maksud Bapak?” “Ya mata pencaharian utama di kampung ini kan hanya satu,
kalau pun ada mata pencaharian lain, ya itu sekadar hobi.” “Apa mata pencaharian utama itu, Pak?” aku menyelidik. “Mengemis.” Dia menyamankan duduknya dengan bersandar di sandaran sofa. “Nah, kalau adik lihat tadi ada pedagang, tukang jaga dermaga, tukang becak, tukang ojek, atau ada pula petani, maka itu sekadar hobi, Dik. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan seperti itu maksimal hanya…, ya… rata-rata dua kali seminggu. Selebihnya, mereka dan kami semua memilih untuk menyebrang ke luar pulau. Mengemis di sana. Dapat hasil, kami nikmati di sini. Kami bangun pulau ini. Sehingga pulau ini nampak tidak ketinggalan jaman. Meskipun tidak memiliki tempat-tempat wisata yang bergengsi, maupun tidak memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah. Kami tidak mau bergantung pada alam untuk memajukan pulau kami. Kami bekerja. Nyatanya sekarang, kami sukses. Adik kebetulan saja ke sini pas saya ada di rumah, padahal sering kali saya juga menyebrang ke luar pulau. Pergi ke kota-kota untuk mengemis.” Aku tertegun mendengar penjelasan kepala kampung itu. Tanganku meraih kaleng minuman di hadapanku. Dan kembali meminum isinya. Kali ini sampai habis. Tercetus di pikiranku, menjadikan kampung ini sebagai objek penelitian adalah ide yang benar-benar brilian. “Rencananya Adik mau pulang kembali ke kota kapan? Ehm saya bertanya begini sebab hari kan memang sudah menjelang senja. Maksudnya: kalau adik memang pengen jalan-jalan atau ceritacerita sama saya, Adik boleh kok menginap di sini. Besok baru pulang. Kebetulan sekarang ini istri dan anak-anak saya sedang mengemis di luar pulau sana. Mungkin adik juga pengen tahu cara-cara mengemis yang baik, nanti saya ajari. Itu juga kalau adik mau. Kalau tidak suka sama pekerjaan ini, ya saya tidak memaksa.” Aku berpikir sejenak. Pak kepala kampung yang baik itu membuka
minuman kaleng miliknya, disodorkannya pada ku. Aku tersenyum menerima suguhan itu. Mungkin dia melihat gurat lelah di keningku sehingga memberiku minuman lagi. “Baiklah, Pak. Kalau memang tidak merepotkan, saya tidur di sini saja satu malam. Besok saya pulang.” *** Banyak pengalaman dan penjelasan yang ku terima dari kepala kampung itu. Nyaris semalaman kami berbincang perihal apa saja yang ingin kami obrolkan. Baru pukul dua dini hari aku berangkat tidur. Pukul sepuluh pagi hari minggu, aku sudah di dermaga penyebrangan pulau pengemis. Bersiap ke kota temanku di sebrang. Sebelum berangkat meninggalkan pulau pengemis, aku dan kepala Kampung Pengemis bersalaman. Dia mendoakanku semoga aku sukses dalam hidup, doa standar dari orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda. Selepas sekitar tiga puluh menit lepas landas dari dermaga pulau pengemis, kapal yang mengangkut aku dan orang-orang dari kampung pengemis sandar di dermaga penyebrangan kota temanku. Temanku yang ternyata telah berada di dermaga pun menghampiriku. Kami bersalaman. Dia mengajak aku makan di sebuah warung sederhana namun bersih di sekitar dermaga. Kami makan dengan lahap di sana. Sesudah makan, masih di warung itu, aku membuka ransel ku. Menarik sebuah map yang ada di dalamnya dan membuka map tersebut. Lalu berkata pada temanku. “Aku baru dapat pekerjaan dari kepala kampung sana. Menjadi sukarelawan pencari sumbangan. Di map ini ada surat tugas beserta amplop-amplop perlengkapannya. Lumayan. Menurut aturan, dari seratus persen sumbangan yang kita peroleh, kita sebagai sukarelawan pencari sumbangan dapat bagian tujuh puluh persen. Maklum lah, aku kan nantinya lelah, biaya transportasi dan lain sebagainya kan juga dari aku. Tiap bulan tiga puluh persen dari hasil sumbangan bisa ditransfer melalui bank, bisa
pula di antar langsung ke pulau tadi langsung ke kepala kampung. Bagaimana menurutmu?” Aku bisa melihat jelas di raut wajah temanku. Keningnya berkerut. Matanya memincing lalu semakin melebar. Dia pun menggeleng-geleng seraya menarik dan membuang napas panjang. Raut orang heran melekat di wajahnya. Kemudian dia berucap mantap tapi tak begitu keras terdengar. “Gila!” ucapnya. Aku tak tahu apa yang membuatnya heran. Aku pun tak paham arti dari satu kata yang baru diucapkannya. (*)
Piramida Warna Part III UNAIR NEWS – Dari seorang teman. Katanya tadi malam ada sebuah kecelakaan, korbannya salah satunya adalah adik kos kita dulu. Memang segalanya tidak bisa diprediksi. Waktu memutar tanpa perlu seorangpun mampu mengaturnya. Katamu : “Senatiasalah dalam kewaspadaan penuh, dimanapun juga dan dalam situasi apapun juga”. Kemudian kau abadikan nasihat biimplikasimu “Tiada jaminan dalam kewaspadaan dan akan lebih tidak terjamin jika tidak waspada” Di konteks cerita yang lain, mungkin aku juga perlu memberimu kabar yang bertolak belakang dari cerita di awal. Kali ini kabar itu datangnya dari salah seorang anak binaan kita dulu, Ardi namanya. Petikan pesannya bunyinya begini “Orang miskin boleh kuliah, Kak !” itu isi pesan pertamanya. Penasaran, kubalas tanya : “Siapa orangnya ?”
Emoticon balasannya, menandakan dia sedang senang sekali. Dan dilanjutkan “Alhamdulillah lolos Bidikmisi di SNMPTN kak.” Ia girang gemilang dan katanya kali pertama yang dikabari adalah aku. “Terimakasih doa dan motivasinya selama ini kak. Salam untuk yang lainnya. Aku kagen !” Memang kebahagiaan terbelah di beberapa kesempatan dengan kabar lainnya yang mungkin tidak pula membahagiakan. Kalau kamu ingat, salah seorang teman kita dulu punya nasib yang agak mirip dengan Ardi. Sama-sama dalam ekonomi sederhana, dan akhirnya kuliah lewat beasiswa pula. Kau tahu sendirikan betapa tentangan keluarga sempat merintanginya. Ia sangat sulit meyakinkan ayahnya, dan Ibunyapun tak sanggup membujuk ayahnya yang keras itu. Dengan serba ketiadaan kita patungan menampungnya sementara hingga beasiswanya turun. Hanya tekad kuat dan kerja keraslah akhirnya dia kita akui sebagai orang yang sukses melawan hal tersulit yang merintanginya. Bahkan keberuntungan memperjuangkan beasiswa itu juga harus disertai haru biru, tangis dan bentakan dengan orang tua pula. Bapaknya yang dulu sangat kaku itu, akhirnya justru kini cukup akrab denganku. Mungkin merasa telah banyak bersalah, menariknarik diriku sebagai provokator agar anaknya kuliah. Dan kalau sedang pulang, aku seolah diperlakukannya seperti anak sendiri ketika mampir di rumahnya. Kata Bapakku : “Orang tua itu yang diinginkan anaknya hidup enak, meski jauh dari rumah, yang penting punya jaminan hidup. Hati kita sudah senang.” Sangat sederhana kadang, dana lam pikiran orang tua itu tidak bisa dipahami secara sempit. Bapak teman kita itu toh menunjukkan bahwa dirinya ternyata salah perhitungan. Watak,
memang watak, kaku dan keras adalah cara mendidik. “Aku tak pernah sakit hati pada siapapun juga. Toh tiada untung bermusuhan itu” ujar teman kita dulu di saat awal kita menampungnya. Provokasipun tidak mempan membuat dia berpaling dari Bapaknya. “Bapakku memang begitu, sudah kuhafal sejak dulu. Aku besar karenanya, aku tak pernah merasa dia menjatuhkanku, sekalipun.” Bakti teman kita itu pada orang tuanya tak bisa diragukan. Dan ini adalah penggalan pengait, bahwa janji persahabatan kita juga tak akan pudar oleh berbagai kondisi apapun. Pertahanan utama itu memang rasa yakin tentang komitmen saling menjaga dalam kebaikan. Penulis: Sukartono
Opera Meja Kerja UNAIR NEWS – Derit pintu tetangga memecah hening. Sialan. Tidurku terganggu. Siapa pula manusia yang tak tahu aturan itu? Tikus-tikus berlarian di loteng menambah gemuruh kesenyapan malam. Suara berkeletak-keletuk dari rumah sebelah menyumbang kemeriahan. Pasti itu Si Penulis amatiran yang bermimpi jadi jutawan. Sayang, dia tak pernah membaca. Kerjanya hanya mengeluh sana-sini bila tulisannya ditolak penerbit. Dasar pemalas besar. Bagaimana ia bisa menulis dengan baik kalau tidak pernah membaca? Tuanku sedang pergi entah kemana. Kapan akan kembali aku tak
tahu. Hanya satu dua menemaniku dalam koor nyamuk datang untuk manusia-manusia yang menjadi beban dunia.
nyamuk yang masih berkeliaran. Mereka yang begitu sumbang. Sudahlah, bangsa mengurangi jumlah manusia. Khususnya merasa berguna, tapi nyatanya hanya
Lihatlah apa yang terjadi diluar sana! Kudengar langkahlangkah berat dan terseret di depan rumah. Pasti itu si Kuncung, tetangga depan rumah. Aku yakin pula, yang membuka pintu tadi adalah emaknya. Oh, maafkan kelancanganku menyebutmu sial, Mak Edah. Si Kuncung adalah pekerja harian di proyek pembangunan sebuah mall. Kata tuan, mall itu digadang-gadang akan menjadi yang terbesar di kota ini. Aku tidak bisa membayangkan seberapa besar gedung itu. “Ya Allah, kamu jam segini baru pulang. Bau apa ini? Kamu minum lagi?” Mak Edah, berdiri di ambang pintu mengelus dada. “He, nggak usah ikut campur. Sana minggir!” Kuncung mendorong Mak Edah hingga terjengkang. Keterlaluan si Kuncung. Ah, aku harus menolong Mak Edah. Tapi bagaimana caranya. Aku tidak bisa menolongnya. Ya Tuhan, tolonglah. Aku merasa sangat berdosa karena tidak bisa menolong wanita tua itu. Ibu si Kuncung yang begitu baik dan sabar. Kuwalat kau Kuncung! Maaf karena sumpah serapahku. Aku tak tega melihat Mak Edah. Tapi aku bisa apa? Ya Tuhan, untuk sekali ini saja, aku ingin berlari menolongnya. Tangisku pecah juga pada akhirnya. Aku tak sadar berapa lama aku menangis hingga tak sadarkan diri.Yang aku ingat, begitu terbangun sinar matahari sudah memenuhi ruang kerja Tuanku. Rumah besar dua lantai ini kembali menelan riuhnya kejadian semalam. Tergantikan suara ribut yang lain. Tuanku yang bermata sendu sudah datang. Ah, apa tuanku semalam tidak tidur? Wajahnya kusut dan lingkaran hitam menggantung dibawah
matanya. “Kemana kamu semalam, Pak?” Tuan yang satunya bertanya dengan garang. Ah, selalu ingin menutup telinga disaat demikian. “Banyak rekan seangkatan kuliah yang berkunjung ke kota tadi malam. Kami ngopi dan diskusi di pos ronda.” “Diskusi apa? Kerja jadi camat aja sok diskusi.” “Kita membahas masalah rakyat.” “Masalah rakyat? Omong kosong!” Tuankuberlalu tanpa meladen omelan bininya yang terus berkumandang. Ingin sekali aku berteriak. Hentikan pertengkaran kalian. Asal kalian tahu, semalam tetangga depan rumah teraniaya, apa kalian tak peduli? Tuanku berdua itu sama saja. Sama tidak warasnya. Yang satu menjadi camat karena modal ludah tajam yang menyembur kemanamana. Berdiri di barisan paling depan dan berteriak lantang mengenai kesejahteraan rakyat. Namun, apa tindakan nyatanya? Sebelum pemilu ia bersabda, “Aku akan sejahterakan seluruh rakyat. Amanah rakyat akan aku perjuangkan”. Selepas pemilu ia lupa diri. Barang rumah tangga habis dilalap monster koarkoar, kampanye gelap. Jadilah diri rugi menanggung hutang. Balik modal jadi tujuan, amanah rakyat terabaikan. Tak beda jauh memang dua tuan itu. Apa kata Tuan satunya dulu, menjadi pengayom wanita? Bah, wanita-wanita daerah ini masih saja menjadi buruh di negerinya sendiri. Aku kembali sedih teringat tetangga depan rumah. Betapa para pemakai seragam menelantarkan keduanya. Tuan satunya melempar selembar kertas pada suaminya. Pasti tagihan hutang. Belanjanya banyak tak keruan tiap hari. Tuanku menggebrak meja. Menggeser tangan besarnya ke kanan dan kiri. Tuhan, tangan penguasa. Beku merambat ke arahku. Ragaku berdentum pada dingin yang
menggigit. Aku menggelepar mengikuti arus landai.Sekian detik. Ah, Tuhan Maha Adil. Aku terpejam sesaat setelah teriakan Tuan satunya. “Bapak! Ya Tuhan! Tolong! Noni! Bapakmu pingsan terpeleset tinta.” (*)
Tentang Kebuntuan Itu I UNAIR NEWS – Obrolan ini nyaris saja berakhir. “Akhiri sajalah, percuma”, takdir tidak diubah dengan kata-kata, melainkan harus menggunakan tindakan. Si empunya kursi itu mulai berdiri. “Kursiku sudah terasa panas”, tas yang ada di atas meja ia kenakan. Yang lain dengan mata awas mengawasi pergeraknnya. Ia sudah tidak betah, dan akan bergegas pergi. Tiba-tiba lelaki yang duduk di seberang tatapannya bersuara menahan, “Tunggu”. “Tak usah terburu-buru”, sambil melirik jamnya, dengan sedikit membersihkan debu yang mengotori kaca arloji itu, lelaki tadi mencoba membujuk. “Ini masih sore.” Ia sepertinya hanya menggertak pergi. Ia tertegun berdiri, belum berbalik membelakangi kawankawannya. Raut wajahnya makin kusut, kerutan di kepalanya hampir-hampir membalikkan usianya yang masih muda. Bibirnya menyatu dalam tanda tanya antara cemberut dan tersenyum sinis. Dengan pelupuk mata yang hampir kosong, sesekali ia tolehkan kesan bahwa dirinya sedang menunggu. Ia pandang satu persatu mereka yang tanpa gairah. Semua serempak menjadi makin lesu.
Isi kepala yang jejal dan berat, sudah melunturkan segalanya. Ia hembuskan nafas panjang penuh kesabaran. “Duduklah kembali” lelaki tadi menghampirinya, kedua pundaknya di pegang lelaki itu, “Ayolah” kata lelaki itu sambil berjalan mengarahkannya untuk duduk kembali ke kursinya. Ia tak melawan dan pasrah kembali ke tempatnya, bisalah kalau dianggap ia sedang menahan kecewa. Di minggu ini, mungkin kebuntuan itu akan terpupus ketika semua sudah mulai putus asa.Tak ada yang berani untuk melawan. Kini ia melirik kearah depan lurus. Ia mulai sumeleh, digapailah kopi sisa yang tersaji di hadapannya. “Itu tinggal ampas” ungkapku dalam hati. Mungkin getir, rasa pahit dan gelap kopi yang ia minum adalah isyarat bahwa saat ini yang sedang berlangsung adalah suguhansuguhan yang pahit berampas. Suguhan tanpa pilihan lain kecuali warna gelap, kecuali rasa perasaan yang sebenarnya tidak benar-benar akan mengobati kehausan itu sendiri. “Siapa yang mau berkorban ?” “Tidak ada” “Apa kita takut ?” “Kita benar-benar takut pada diri masing-masing” “Ini masih tidak jelas” Pada pembicaraan tersebut, ia malah terdiam saja, mendengarkan sambil bersandar di dinding yang membatasi antara ruang luar dan bilik lain dalam kafe itu. Ia pejamkan matanya sambil mengayun-ayunkan kepalanya secara ritmis namun lembut, sesekali ia menjedukkan bagian belakang kepalanya ke dinding yang terbuat dari asbes itu, dengan wajah terpejam yang mendongak ke atas. Tangannya yang ada di meja juga ia ketukketukkan penanda bahwa sebenarnya ia tidak sedang tidur.
Dengan berat, ia keluarkan suaranya lagi, kali ini agak serak. Ia mendehem. “Jangan pernah merasa yakin pada kepasrahan. Kehebataan kata-kata dan mantra-mantra gagasan hanya bisa kita puji kalau terbukti. Tapi kalau terus kita abaikan maka selamanya kita tidak pernah tahu, apakah gagasan ini tepat atau salah.” Diantara mereka menyela. “Lantas apa yang harus kita ambil, semua buntu.” Lelaki yang tadi menolak pasrah. “Selamanya kita tidak akan pernah tahu jika kita selalu memilih kalah. Kita harus bisa mengambil keputusan.” Lagi. “Jangan kau anggap dengan lari dari masalah semua selesai. Belajarlah mengambil keputusan.” “Iya. Tidak mungkin kita melimpahkan sesuatu keputusan dengan asumsi bahwa kedaulatan kita saat ini adalah harga murah, meski segalanya memang kita niati untuk sepakat tentang ketidaksepakatan” Seorang yang ada di sampingku, yang dari awal memilih mendengar saja, kini saatnya ia bicara. Si muka lonjong ini mungkin punya alternatif.Mulailah ia membuka-buka tas dan mengeluarkan sebatang pensil. Kertas yang ada di depanku di raihnya. “Apa yang kau tulis itu” lirih tanyaku padanya, berharap yang lain masih fokus. “Nggak” jawabnya. bersambung….
Tentang Kebuntuan Itu II UNAIR NEWS – “Kenapa kau memandangiku begitu”. Muka lonjong ini ganti aneh, ia menatapku seperti seorang psikolog. Entah apa yang ia tulis, tapi ia ulangi tingkahnya hingga beberapa kali. Memandangiku sejenak menulis, dan kuhitung lebih dari lima kali hingga rentetan bait tulisan penuh mengumpulkan sari pati isi ke dalam kertasnya itu. “Bagaimana ?” “Tak ada order lagi.” “Sudahlah, jawabannya akan kita tunggu kapanpun, semua tak ada yang akan mau merendah” “Aku keluar dulu” tiba-tiba ada teriakan itu terdengar, salah seorang dari kami itu terlihat mulai tak sabaran. Yang lain bertanya. “Untuk apa ?” “Waktu sudah mendesak, kita dikejar tempo. Kalau rapat resmi esok hari tidak menghasilkan keputusan. Ini sama saja gagal” ucapnya dengan ekspresi kelelahan. “Lebih baik gagal”, si lonjong yang sibuk tadi kini ikut menambah kebuntuan. “Tanggungjawab kita bukan untuk gagal atau bersepakat, kita harus memilih integritas dari pada menuruti order-order yang beresiko tadi” “Apa kita akan mengambil resiko ?” Lonjong berseru tegas. “Iya, lebih baik disalahkan atau kita bubar. Itu lebih mulia”. Intonasi terbata-bata “I-N-T-E-G-R-IT-A-S” “Tidak mungkin kita mengambil keputusan yang bermasalah. Mungkin tentang integritas tapi itu bermasalah dan juga menimbulkan permasalahan”
Jam 12.30. Waktu mulai larut, penghuni kafe juga makin sepi. Malam mulai terasa dingin, sepoi deburan titik-titik halus dari embun AC membasahi dinding kaca depan kafe. Ku kenakkan jaketku untuk menghalau kantuk. “Sampai pagi-pun kita tidak akan sepakat.” “Adakah besok, seorang ksatria yang berjiwa baja untuk mensudahi segalanya” “Jangan berharap. Dirimu saja masih kolot dan keras, bagai karang yang kesepian di terpa deburan ombak, bukan makin mengalah, justru malah memecah-mecah partikel kokoh deburan air yang digerakkan oleh energi gelombang tersebut” Karena memang tidak ada kesempatan untuk menyepakati sebuah keputusan yang berarti. Malam sepanjang-panjangnya di ulurulur oleh perdebatan yang melahap dari detik demi detik waktu, dari es teh sampai kopi pengulur kantuk, dari suguhan potato hingga makanan ringan yang sama sekali tidak mengenyangkan isi perut. Ujian untuk memutuskan, diputuskan, dan untuk menjadikan musyawarah mufakat sebagai konsensus penting, atau untuk mensudahi gelap mata kita tentang voting yang meluap-meluap hingga menimbulkan hasil kembar. “Serahkan saja semua kepada yang kita percayai punya otoritas”. Karena kita tidak percaya pada kekuatan diri sendiri, kepada kemurnian objektivitas nilai tentang ukuran kebaikan dan penciri keunggulan yang harus diberat sebelahi. Tidak salah golongan atau keputusan itu, tapi salah pada rumus kejujuran yang kita belakangi. Nurani sejati tak akan pernah berbohong. (*) Penulis: Sukartono (Alumni Matematika Universitas Airlangga) bersambung
Sepatu Part II UNAIR NEWS – Baju yang dilipat ibuk tinggal sedikit. Ibuk merasa terbantu karena Dini. Meskipun sedari tadi Dini cuma diam. Ibuk paham, Dini kecewa. Begitulah Dini. Dia tidak pernah melampiaskan rasa kecewa pada ibunya. Padahal biasanya ibuk akan bercerita banyak hal pada Dini ketika mereka bersama. Walaupun seringnya Dini hanya mendengarkan dan sesekali tertawa atas pembicaraan itu. Ibuk selalu berhasil membangun suasana dengan Dini. Baginya, Dini adalah anak yang baik. Dia selalu menerima keadaan orangtuanya, dan benar – benar memahami. Dini tidak pernah minta macam – macam. Besoknya Dini kembali masuk kuliah. Semakin dia sering melihat sepatu teman – temannya. Bahkan ketika ada orang lewat, yang dia lihat pertama kali adalah sepatunya. Entah setan apa yang merasukinya sampai bisa sebegitunya pada sepatu. Selesai kuliah jam kedua, Dini masih duduk di kursinya. Perkuliahan selanjutnya masih satu jam lagi. Lagi – lagi Dini masih terpaku memandangi sepatunya dengan sol yang mulai menipis. Kalau saja ada uang lebih untuk membeli sepatu yang lebih bagus dan tidak mudah rusak. Dini memutuskan untuk tidak beranjak dari tempat duduknya. Perkuliahan selanjutnya di ruang yang sama. “Din, ayuk
ke kantin”
“Aku di sini aja. Bawa bekal kok” “Ndakpapa. Bawaen bekalmu, kita makan bareng di kantin. Masa enak, makan sendirian. Ayuk lah” Dini mengangguk. Dia menyambargoodie bag yang isinya kotak bekal dan air mineral. Bersama Hani, dia menuju kantin. Teman – temannya menyambut mereka. Dini pikir, apa yang perlu
dirisaukan dari persahabatan ini. Teman – temannya menerima Dini apa adanya. Mereka semua berlima, sudah bersahabat sejak semester pertama. Dini melihat ke bawah meja. Dilihatnya sepatu teman – temannya. Semua dari merek berbeda, yang ia tahu pasti mahal. Sepatu Dini juga bermerek, meski tidak terkenal. Sepatu Dini juga mahal, karena di situ dia bisa melihat hasil jerih payah orangtuanya. Sepatu Dini penuh kasih sayang. Dia bersyukur, memiliki keluarga dan sahabat yang menyayanginya. Penulis: Tsurayya Maknun (Mahasiswa Psikologi UNAIR) selesai
Sepatu Part I UNAIR NEWS – “Buk, aku mau beli sepatu. Yang lama sudah rusak” “Yasudah, itu ambil uangnya di bawah koran dalem lemari” Dini mengikuti petunjuk ibuknya, namun urung. Dia
kembali.
“Buk,ndak cukup” “Lha kok bisa ndak cukup. Wong biasanya segitu bisa dapet dua pasang sepatu” “Aku mau yang kayak temenku” Waktu itu Dini berjanjian akan kerja kelompok. Teman – teman sekelompoknya sepakat akan mengerjakan di ruang belajar lesehan. Untuk masuk ke ruang itu, harus melepas alas kaki dan meletakkan di rak besar luar ruangan itu. Dia sempat ragu meletakkan sepatunya sederet dengan teman – temannya. Di sana berjejer sepatu – sepatu bermerek mahal. Sepatu Dini hanya
flatshoes tipis yang akan mengelupas setelah dipakai tiga bulan. Akhirnya Dini meletakkan sepatunya jauh dari deretan sepatu teman sekelompoknya. Sayangnya, di deretan lain Dini menemukan merek sepatu yang juga tergolong mahal. Apa hanya dia yang memakai sepatu murah ke kampus? “Sepatu kayak apa to nduk?” Dini diam. Dia sadar keterbatasannya. Ibunya hanya seorang buruh cuci. Sementara ayahnya seorang guru honorer. Dia beruntung bisa kuliah dengan bantuan beasiswa. Pendapatan kedua orangtuanya hanya cukup untuk kebutuhan sehari – hari. Terkadang mungkin ditambahi dari beasiswa Dini. Rasa – rasanya Dini tak pernah menikmati uang beasiswanya. Dia menyerahkan sepenuhnya uang itu pada ibuk. Ibuk lebih berhak mengaturnya. Dini tak masalah. Tapi untuk urusan sepatu ini, Dini menjadi sedikit pusing. “Yasudah Buk, aku belinya kapan – kapan aja.” “Loh kok gak jadi to?” Ibuk hanya bisa tersenyum atas tingkah Dini. Dalam hati sebenarnya ibuk merasa bersalah. Ibuk merasa kecewa tidak bisa memberikan yang anaknya inginkan. Ibuk benar – benar sedih, sayangnya dia hanya bisa diam. Keadaaan tidak kompromi padanya. Semua orangtua selalu ingin mewujudkan keinginan anaknya. Bukan semata – mata untuk balas budi di kemudian hari. Lebih dari itu, orangtua selalu ingin melihat anaknya bahagia. Namun ibuk tidak mampu.
bersambung
Penulis: Tsurayya Maknun Mahasiswa Psikologi
Ranjang Aku memandang langit dari balik jendela kaca berteralis. Jendela yang terbuka itu berengsel pada bagian atas. Malam larut, aku tak takut dengan angin. Beberapa bintang bisa kulihat dengan jelas. Ranjang yang kududuki menjadi bukti bahwa terkadang aku menghayati bintang sebelum beranjak tidur lelap. Pintu kamar dibuka. Istriku masuk lalu dengan mantap memelukku dari belakang. “Yang, aku ngantuk” ucapnya manja sambil menggesek-gesekkan keningnya di pundakku. Semilir bertiup. Tapi aku tetap belum ingin memakai baju. “Kamu tidur saja. Aku masih belum mengantuk,” Dia lalu menjadikan pahaku bantal. Aku membelai-belai rambutnya. Istriku yang berkulit gelap dan tiga tahun lebih tua itu begitu indah dalam pandanganku. Bahkan aku selalu menganggap dia lebih indah dari pada langit dan bintang. Kami baru mengganti ranjang. Ranjang baru yang kokoh dan berkayu jati telah berdiri sambil berbaring di kamar kami sejak seminggu yang lalu. Ranjang lama telah kuberikan pada salah seorang kerabat. Sebenarnya, ranjang lama memiliki banyak kenangan. Tak hanya kenangan tentang aku dan istriku. Tapi juga kenangan-kenanganku dengan ibu, juga kakakku. Dulu, ranjang lamaku tidak berada di lantai atas seperti halnya ranjang baruku sekarang. Aku memindahkannya ber tahun –tahun yang lalu ketika kamar tempat ranjang lama itu akan dijadikan Ibu sebagai ruang makan. Maka ranjang lama itu pun naik ke lantai atas dan baru seminggu yang lalu kembali turun
dan masuk ke rumah salah seorang kerabat. Sedikit cerita tentang perpindahan ranjang lama dari bawah ke atas. Aku membongkar ranjang lama itu dengan bersusah payah. Kasur kupindah. Ternyata rangka ranjang dipaku semua. Palu serta obeng dan kunci L membantuku memerlancar pembongkaran. Setelah berhasil kubongkar, ranjang itu kubawa ke atas sekeping demi sekeping batang rangka-nya. Lalu kupasang dengan bersusah payah juga. Ternyata merangkai lebih sukar daripada membongkar. Saking sukarnya, aku harus memanggil kakakku untuk membantu. Akhirnya, ranjang berhasil kami rangkai. Dan ranjang yang kami rangkai itu sudah tak lagi di kamarku sejak seminggu yang lalu. Ranjang itu sudah bertengger di salah satu ruang di rumah salah seorang kerabat. Ranjang itu telah tergantikan oleh ranjang jati yang berdiri sambil berbaring di kamarku sekarang, sejak seminggu yang lalu. Aku mengecup kening istriku. Nampaknya dia sudah agak pulas. Dia super pencemburu. Apalagi aku lebih muda. Dia takut aku kepincut perempuan yang lebih muda. Dulu ketika masih berpacaran, hampir setiap hari dia menghujatku sebagai playboy atau tukang jelalatan hanya karena aku sering mengirim puisi untuk teman-teman perempuanku. Kembali pada kisah ranjang lama ku. Ranjang itu adalah peninggalan terakhir ibuku yang meninggalkan rumah. Meja makan, lemari es, lemari pakaian dan segala perabot rumah warisan ibu sudah meninggalkan rumah lebih dulu. Ada yang ke rumah keluarga atau kerabat seperti ranjang itu, ada yang ke rumah teman atau tetangga, ada yang ke panti asuhan, dan ada pula yang masuk tempat sampah karena usia yang tua. Melihat ranjang baru yang nampak kokoh membuatku teringat Ibu. Ibu ku yang kokoh dan kuat. Yang disiplin seperti prajurit militer. Yang suka kerapian dan kebersihan sebagaimana seharusnya umat Muhammad SAW, sosok yang paling dicintainya.
Ibu ku adalah seorang yang pemberani. Dia akan berkata tidak, jika itu tidak. Atau ya, jika itu ya. Siapapun yang harus bertentangan dengannya, seberapapun hebat orang itu, jika memang harus berseberangan, dia akan berseberangan dan menentang. Meski cara menentangnya tidak dengan cara yang keras atau kasar. Sebab dia juga cerdas dan cerdik, sehingga kala berbeda pendapat dengan seseorang pun, dia tidak pernah dibenci orang tersebut. Karena kemampuan komunikasinya mumpuni, meski dia tak pernah mengenyam pendidikan jurusan komunikasi maupun bahasa. Kemampuan komunikasi macam ibuku itu, dimiliki istriku juga. Ada beberapa lagi kesamaan mereka. Di antaranya adalah hidung yang tak mancung, dan rasa cinta kasih mereka padaku yang bagai tak bertepi. Kalau tentang perbedaan, tentu sangat banyak. Yang paling mencolok adalah perbedaan warna kulit mereka. Ibuku lebih terang. Tinggi badan mereka juga beda sekitar lima belas sentimeter, ibuku hanya satu koma empat meter tinggi badannya lebih rendah dari pada istriku. Ada lagi perbedaan mereka yang cukup mencolok sekaligus menarik. Yaitu kebiasaan ketika tidur. Satu kali pun, aku tak pernah mendengar ibuku mengigau, sedangkan istriku, lumayan sering dia berbicara sendiri dengan mata tertutup dan tak dalam keadaan sadar. Pernah dia memanggil-memanggil nama beberapa perempuan. Ketika sudah terbangun, kutanyakan padanya tentang siapa mereka. Dijawabnya bahwa mereka adalah teman-teman kos-nya di masa kuliah dulu. Dia bilang, sedang kangen pada teman-temannya tersebut. Pernah dan beberapa kali pula dia menangis dalam tidurnya. Kalau sudah begini, aku tak menunggu dia terbangun untuk menanyakan apa yang telah terjadi padanya. Aku membangunkannya, menyapu wajahnya dengan handuk kecil basah,
meminumkannya segelas air putih, lalu bertanya tentang mimpi yang menghinggapinya. Dia lalu menampar dan mencubit pipiku. Memukuli dadaku dengan kepalnya yang lembut. Lalu memelukku masih dengan air mata yang mengalir. Ternyata dia bermimpi aku meninggalkannya demi perempuan yang dia anggap lebih muda, cantik, dan segar. Aku tersenyum mendengarnya. Ini menggelikan, namun sedikit ironi. Intinya, dia akan mengigau bila teringat dengan sesuatu yang membuatnya terkenang-kenang atau terngiang-ngiang begitu dalam. Entah itu tentang masa lalu, atau masa depan yang dikhawatirkannya, atau tentang apapun yang sempat menyita perhatiannya. Dingin
malam
menyapa
semakin
mesra
namun
terasa
benar
kandungan penyakitnya. Aku menutup jendela. Mencium dan sedikit menggigit pipi istriku yang agak berisi. Lalu membenarkan posisi tidurnya. Dia sempat membuka mata indahnya sedikit, namun lalu tidur kembali dengan lelap. Aku biasa tak menutup tirai jendela bila malam. Namun lampu kumatikan. Sehingga orang dari luar tak bisa melihat kami yang sedang pulas. Lagipula, jenis kaca jendela kami memang riben. Tak tembus jika melihat dari luar, tapi terang jika melihat dari dalam. Aku sering terpesona jika memandangi istriku yang sedang tidur. Dia benar-benar anugrah. Aku sangat bahagia bisa memilikinya. Dia sangat kucintai. Dia juga sangat mencintaiku. Sayang, Ibuku tak bisa atau belum sempat melihatku hidup berbahagia dengan istriku itu. Ibuku meninggal di usia yang sudah cukup tua. Enam puluh tahun. Kala itu aku berumur setengahnya. Aku memang termasuk agak terlambat menikah. Dia pun sejatinya berharap aku sudah beristri di usia maksimal dua puluh tujuh tahun. Dulu, ketika aku masih berumur dua puluh tahunan, kami sering berdiskusi perihal perempuan yang diinginkan Ibu untuk menjadi istriku.
“Yo, carilah istri yang sholehah, beriman bertakwa pada Alloh. Kalo bisa yang orang tuanya kaya dan berbudi. Sebab bagaimanapun, bibit bebet bobot itu perlu, meski bukan utama. Cari yang cantik yang muda juga. Jadi saat kamu tua dia bisa merawat kamu” dia berpetuah kala itu sambil menonton televisi. Kami memang biasa berbincang di depan TV yang menyala. “Ah, aku tak mau sampai dirawat bu. Aku pengen sehat sampai tua. Sehat sampai mati” “Makanya itu cari istri yang kuat dan beberapa tahun di bawahmu. Supaya selalu bisa giat dan lincah melayani kamu. Satu lagi pesanku; jika istrimu itu suka bekerja, jangan kamu halangi. Jangan kamu suruh dia berhenti bekerja. Kasihan wanita kalau harus dikekang kegemarannya berkegiatan atau bekerja” tambah Ibuku yang memang seorang mantan karyawati di sebuah perusahaan milik negara. Ibuku yang tua memang senang dan giat bekerja. Sampai usia pensiun lima puluh lima tahun, dia masih bersemangat mencari nafkah. Padahal waktu itu, aku sudah bisa mandiri secara finansial bahkan sudah sanggup memenuhi kebutuhannya. Dia suka beraktifitas, dan aku pun tak ingin menghalang-halanginya. “Yo, sayangi kakakmu. Dia perempuan yang wajib kamu sayangi di dunia ini setelah Ibu. Hormati dia. Jangan kamu menikah sebelum dia menikah. Tak baik membiarkan kakak perempuan masih perawan sementara adiknya sudah berijabkabul”. Tentu, aku akan selalu menyayangi dan menghormati kakakku. Aku pun akan selalu menjaganya. Ketika akan menikah pun aku telah meminta ijin padanya. Mengingat usia istriku yang sudah tiga puluh tiga kala itu, aku harus mengambil keputusan. Aku kasihan pada istriku yang waktu itu masih berstatus pacar. Aku memohon ijin dari kakak untuk menikah lebih dulu. Dia mengijinkan, meski nampak agak berat. Lalu dia memutuskan pisah rumah denganku. Rumah kami dipasrahkannya pada aku dan istri. Sementara dia ke luar kota. Sebuah kota kecil kampung halaman kami. Di sana dia bekerja sebagai pemilik toko kelontong dan kepala Taman kanakkanak. Semua modal usahanya didapat dariku. Sampai sekarang,
dia belum jua menikah. Dia berdalih telah mendapat kepuasan batin yang teramat sangat ketika melihat anak-anak polos di sekolah yang dikelolanya dan atau ketika melayani pelanggan dengan ramah di toko nya. Aku memandang telapak kaki istriku yang mengagumkan. Di mataku, tak ada satu mili pun dari bagian badan istriku yang tidak membuatku terpana. Jari-jarinya yang mungil. Rambutnya yang hitam lurus panjang, bibirnya yang tak tipis dan tak tebal, benar-benar ciptaan yang luar biasa. Kadang aku menyesal, mengapa dulu aku tak lekas melamar dan menikahinya. Padahal kami sudah berpacaran sepuluh tahun sebelum akhirnya menikah. Jika dua tahun lebih awal saja aku menikah, ibuku tentu sempat melihat aku berbahagia dengannya. Entah mengapa, waktu itu aku selalu merasa belum siap untuk memerkenalkannya pada Ibu. Bahkan sampai akhir hayat, Ibu tak tahu jika aku sudah memiliki pacar. Aku pun merebahkan badanku di ranjang yang baru seminggu berada di kamar kami. Ranjang yang lebih kokoh daripada ranjang kami yang lama. Ranjang yang menjadi saksi bisu atas apapun yang kami lakukan di kamar. Ranjang yang menjadi saksi bisu betapa gemar aku melamun di muka jendela sebelum akhirnya tidur dibelai mimpi. “Sayang lagi haus? nih nyusu dulu, jangan nangis lagi ya” istriku kembali mengigau sedang menyusui bayi. Igauannya tentang bayi adalah yang pertama semenjak kami memiliki ranjang baru. Namun bukan berarti ini yang pertama sejak kami menikah. Dia sedang merindukan seorang anak. Sudah tujuh tahun kami menikah, dan belum dikaruniai putra ataupun putri. Tanda-tanda kehamilan pun tak pernah ada. Kami telah memeriksakan diri ke berbagai ahli, mereka menyuruh kami tetap sabar menunggu dan berusaha. Sebab, berdasar pemeriksaan mereka, semua organ reproduksi kami dinyatakan sehat. —
Jangan Tersandera Part I UNAIR NEWS – Jejak kaki laki-laki itu makin terdengar cepat lajunya. Beriringan dengan itu, amukan suara menggelar terdengar tanpa diketahui dari mana asalnya. Sebuah petir telah meyambar pohon kelapa yang letaknya tak jauh dari tempat keramat yang masih dipelihara di desa itu. Beberapa batang kelapa beserta buahnya jatuh. Dan di atas puncaknya, sisa-sisa api masih menyala memakan bagian yang masih bisa terbakar. Dari sini dimulailah kesibukan dan kecemasan. Orang tunggang langgang membaca fenomena ini. “Ada keanehan ! Ada petir !” begitu teriak seorang warga. Tak ada yang peduli terikan itu. Begitu suara petir kedua terdengar. Semua orang tak berpikir panjang lagi. Mereka berlarian menyelamatkan diri masing-masing. Dari anak-anak, kaum muda maupun yang tua, semua bergegas berlindung di dalam rumah. Sawah harus ditinggalkan. Ternak-ternak dikandangkan. Suasana semacam kiamat kecil terjadi beberapa menit sampai petir itu tak terdengar lagi bunyinya. Desa yang memegang teguh tradisi dan adat itu ramai seketika. Omongan-omongan wargapun berkisar pada peristiwa hari itu. Hujan petir terbukti mematahkan tradisi kepercayaan setempat. Desa Selo dalam sejarah barunya. Bersama deru petir yang terlontar tiada hentinya, sebuah headline koran lokal memajang foto kerusakan yang disebabkan oleh hantaman petir hari itu. ***
Di rumahnya, Mbah Mat, juru kunci desa menjadi sasaran pertanyaan dari peristiwa yang terjadi dua hari lalu. Orang tua yang dipercaya karena tak pernah meleset meramalkan kejadian di desa itu, kini tak mau berbicara dengan alasan sedang menjalankan ritual tapa mbisu. Orang mungkin tak sabar menunggu penjelasan Mbah Mat. Tapi dengan amat disayangkan, lelaki tua itu tak akan lagi bisa memberi jawaban apa-apa. Ia akan dikubur, tepat sebelum matahari tergelincir. Kematiannya tak akan mengubur kegelisahan para tetangga yang sudah terlanjur berharap. Orang justru berspekulasi, mengaitkan antara peristiwa hujan petir, dan kematian sang juru kunci tiga hari berikutnya, yang tak disangka juga bertepatan dengan hari Jum’at Legi. Hari yang dipercaya keramat bagi orang. Misteri baru hadir. Orang masih tidak percaya. “Seumur-umur, ini yang pertama bagiku. Dimanapun juga setahuku, desa yang mengandung “selo” pasti tidak akan dihampiri petir. Jangankan dihampiri, mendengar bunyinya saja tidak.” Penduduk desa yang teguh memegang adat itu, kini sangat paranoid. *** Bersambung
Penulis: Sukartono (Alumni Matematika UNAIR)