PEWARISAN PACADUAN DI DAERAH CADASNGAMPAR SUMEDANG
Disampaikan dalam Seminar Bulanan Jurusan Sastra Sunda Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada 15 Desember 2009
Oleh Asep Yusup Hudayat
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2009
PEWARISAN PACADUAN DI DAERAH CADASNGAMPAR SUMEDANG● Oleh Asep Yusup Hudayat
-------------------------------------------------------------------------ABSTRAK
Penelitian ini mendeskripsikan pewarisan ketabuan di lingkungan masyarakat Cadasngampar Sumedang melalui cerita legenda. Pendeskripsian tersebut menyangkut motif-motif ketabuan, nilai-nilai dasar kemanusiaan, dan strukturasi ketabuan dalam praktek pewarisan ketabuan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berpusat pada stukturalisme genetik. Strukturalisme genetik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra, sebagai struktur. Karena itu, dalam menemukan arti, strukturalisme genetik memahami karya sastra yang terarah pada usaha untuk menemukan struktur karya itu dihubungkan dengan struktur yang lebih luas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motif-motif ketabuan dalam cerita legenda adalah petaka kematian, penyesalan, perasaan tidak nyaman, serta penghormatan dan balas budi. Nilai-nilai dasar kemanusiaan yang terkandung di dalam cerita legenda berhubungan erat dengan modus atau jalan mencapaian tujuan (instrumen value) dan tujuan akhir yang hendak dicapai (terminal value), yaitu (1) tenggang rasa untuk keamanan keluarga dan lingkungan, (2) keruntutan nalar untuk kepuasan hidup, (3) pengendalian diri untuk kearifan, dan (4) cinta kasih untuk kehidupan abadi. Ketabuan dalam praktik pewarisannya menunjukkan upaya yang terarah dalam menciptakan keseimbangan antara diri dengan lingkungannya yang berperan dalam perubahan sosial yang berhubungan erat dengan praktik kekuasaan, potensi wilayah secara geografis, dan citra masa lampau melalui kepercayaan terhadap ketabuan sebagai representasi pandangan dunianya.
Disampaikan pada acara Seminar Jurusan Sastra Sunda Fakultas Sastra Unpad pada tanggal 15 Desember 2009
1
1. Pendahuluan Pewarisan tradisi etnik terhadap generasi yang lebih muda adakalanya dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi, para pendahulu mengikatkan tradisi etniknya agar tetap berada pada konteks kelampauan yang luhur tanpa upaya membangun kesadaran bahwa perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri. Di sisi lain, generasi yang lebih muda adakalanya berorientasi jauh ke depan dan dengan mudah meninggalkan atau bahkan melupakan tradisi etniknya dengan sejumlah pertimbangan untuk kepentingan tertentu. Adakalanya pewarisan tidak dengan sendirinya menuntut suatu penjelasan manakala pihak yang diwarisinya menganggap itu sebagai sebuah keharusan alamiah yang patut mereka terima. Adakalanya
pula,
sebuah
pewari san
budaya
dipertanyakan
manak ala
kedudukannya dipusatkan pada kepentingan modernitas. Tentu saja kondisi di atas secara potensial menarik untuk diteliti. Selalu ada titik kontinum yang mempertemukan dua kondisi di atas. Pewarisan pacaduan (ketabuan) misalnya, cukup merepresentasikan dua kondisi tersebut. Pacaduan selalu berada dalam upaya dipertahankan dan dilenyapkan. Akan tetapi ketika pada satu perspektif ditemukan bahwa dalam tataran yang signifikan pacaduan diterima oleh masyarakat pendukungnya, maka dalam perspektif folklor, pacaduan telah menempati fungsinya. Sehubungan
dengan
fungsinya
di masyarakat,
penelitian terhadap
pacaduan tentu penting untuk dilakukan mengingat kenyataan di sebagai daerah di tatar Sunda, pacaduan menjadi praktik yang seolah alamiah harus diwariskan dan diterima dari generasi tua kepada generasi yang lebih muda. Di Kecamatan Cadasngampar Sumedang, misalnya,
sejumlah indikator menunjukkan adanya
pelekatan tradisi pacaduan yang cukup kuat. Pelekatan tradisi pacaduan di daerah Cadasngampar Sumedang menarik untuk diteliti dengan alasan selalu ada peristiwa lampau yang menjadi latar belakang diwariskannya pacaduan tersebut. Tidak saja dilatarbelakangi kehidupan leluhur Sumedang pada masa kejayaan Sumedang Larang, juga tradisi pacaduan di daerah tersebut erat kaitannya dengan potensi alam. Dan yang lebih menarik, tradisi pewarisan pacaduan diturunkan melalui sejumlah cerita legenda. Dengan demikian, sejumlah permasalah yang melingkupi tradisi pewarisan pacaduan menjadi penting untuk diteliti. Dalam tahap awal ini, penelitian diarahkan kepada deskripsi dan persepsi menyangkut (1) motif-motif pacaduan, (2) nilai-nilai dasar 2
kemanusiaan yang terkandung dalam pacaduan, dan (3) strukturasi pacaduan dan praktik pewarisan, Pemikiran teoritis yang behubungan dengan folklor lisan bersedia mempelajari semua unsur kebudayaan manusia asalkan diwariskan secara lisan. Kelompok ahli ini memperlakukan antara folk ‘masyarakat pendukungnya atau anggota kolektifnya’ dan lore ‘tradisi kelisanannya’ secara seimbang. Faham struktur-genetik pun dapat dijadikan pijakan dalam kerangka penelusuran fungsi tradisi dalam penelitian ini. Menurut pendekatan strukturgenetik, penelitian harus diarahkan kepada pemaknaan karya-karya itu sendiri dalam pembicaraan mengenai tempatnya di masyarakat (Wolff dalam faruk, 1994: 116). Artinya, penelitian terhadap cerita rakyat diarahkan kepada penelusuran muatan teks dan kedudukannya di lingkungan masyarakat pendukungnya. Herder menegaskan bahwa setiap karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan geografis tertentu. Dalam lingkungan itulah karya tersebut menjalankan fungsinya yang khas (Damono, 1979: 19). Dalam kerangka penganalisisan, dengan merujuk pendapat Maranda, Yus Rusyana mengemukakan bahwa penganalisisan terhadap cerita rakyat harus mempertimbangkan pendukung tradisi dan pendengarnya, tingkah laku dan reaksi masyarakatnya, serta keseluruhan budaya kelompoknya (1981: 44). Adapun Grebstein berpendapat bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya (Damono, 1979: 4). Demikian juga dengan Goldmann; ia berpendapat setiap karya sastra adalah suatu keutuhan yang hidup yang dapat dipahami lewat anasirnya. Karya sastra merupakan kesatuan dinamis yang bermakna sebagai perwujudan nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa penting jamannya (Damono, 1979: 43). Oleh karenanya, pemaknaan terhadap teks tidak boleh dilepaskan dari pemahaman konvensi-konvensi yang melingkupi karyanya. Dan tentunya, hanya dengan bekal pemahaman makna secara memadai terhadap teks suatu karya, maka penginterpretasian dapat dilakukan secermat dan sebaik mungkin. Sejalan dengan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan motif-motif pacaduan yang cukup dominan tersebar di daerah Cadasngampar Sumedang, (2) mendeskripsikan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang terjandung dalam pacaduan, dan (3) mengungkap strukturasi pacaduan dan praktik pewarisannya dalam lingkup strukutr sosial yang lebih luas. 3
2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif persepsional. Melalui metode ini, sejumlah fakta data dapat dipersepsi sesuai dengan tujuan penelitian. Persepsi dalam penelitian ini diarahkan kepada pemahaman struktur legenda ketabuan dalam hubungannya dengan struktur yang lebih luas melalui praktis pewarisan yang dijalankannya. Hubungan struktur yang dimaksud dapat ditelusuri melalui motif-motif pacaduan, nilai-nilai dasar kemanusiaan, dan lingkungan sosial yang melahirkan legenda ketabuan tersebut. Teknik pupuan data yang digunakan adalah teknik perekaman dan wawancara. Adapun informan dipilih berdasarkan kriteria yang memadai, yaitu golongan orang tua yang aktif mewariskan tradisi pacaduan kepada generasi yang lebih muda dan golongan generasi muda yang mewarisi tradisi pacaduan tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktural genetik yang berpusat pada pembahasan ideologi teks. Sebagaimana dikemukakan Goldmann, bahwa pendekatan struktural genetik mempunyai prinsip dasar kerja, yaitu
mengkonkritkan
fakta-fakta
kemanusiaan
dalam
karya melalui
pengintegrasian secara keseluruhan untuk kemudian mencari hubungan strukturstruktur tersebut dengan kondisi sosial historis yang nyata melalui perhatian yang bergantian antara teks, struktur sosial, dan pandangan kolektif; antara yang abstrak dan yang konkrit (Damono, 1979: 46-47). Dalam menjawab permasalahan pertama, dicari struktur di dalamnya yang menyangkut motif-motif pacaduan. Motif yang dimaksud bertalian
dengan
tokoh, kebendaan, konsep, dan perbuatannya yang menonjol atau khas yang diikat dalam sebuah atau beberapa peristiwa. Motif-motif yang muncul digunakan sebagai indikator-indikator dalam menemukan esensi pacaduan. Sedangkan dalam menjawab masalah kedua yang menyangkut nilai-nilai dasar kemanusiaan, uraian
diarahkan
kepada
pendeskripsian
sejumlah
fakta tekstual
yang
menunjukkan anasir-anasir nilai kemanusian melalui pengamatan struktur karya sastra dan lingkungan penceritaannya. Adapun dalam menjawab masalah ketiga, dilakukan interpretasi atas hasil penelaahan motif dan nilai dasar kemanusiaan. Interpretasi dilakukan guna menelusuri struktur yang lebih luas menyangkut lingkungan sosialnya.
4
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Motif Cerita Pacaduan di daerah Cadasngampar Sumedang menyangkut ketabuan dalam hal: (1) membuat saluran irigasi, (2) menanam kacang tanah, (3)memakan kepala ayam, (4) hidup berkecukupan, (5) memakan daging tekukur, (6) memakan daging rusa, dan (7) memakan daging perkutut. Beranjak dari potensi teks menyangkut pacaduan yang menunjukkan hubungan kausalitas antara peristiwa penyebab dan ketabuan yang diberlakukan, maka dapat diketahui motif-motif cerita di dalamnya. Ketujuh sampel data menunjukkan bahwa motif-motif di dalamnya secara tipikal menunjukkan motifmotif yang variatif. Pada cerita Cadu Nyieun Susukan “Tabu Membuat Selokan”, motif yang terkandung di dalamnya menyangkut ketabuan karena sebuah petaka. Seorang penguasa menemukan anaknya yang telah tewas di sebuah selokan. Atas peristiwa tersebut, sang penguasa tersebut bersumpah untuk tidak membuat selokan di daerahnya (sekitar daerah Jemas Cadasngampar Sumedang). Motif cerita pada cerita Cadu Melak Suuk “Tabu Menanam Kacang Tanah” adalah ketabuan karena perasaan bersalah. Seorang petani merasa bersalah telah melakukan kelalaian dalam hal menyelamatkan hasil bercocok tanamnya. Kelalaian yang dimaksud adalah saat hujan turun, ia lebih mendahulukan menyelamatkan kacang tanah yang dijemurnya daripada padi yang sama-sama dijemurnya. Perasaan bersalah muncul manakala ia menyadari bahwa persediaan beras untuk besok telah habis dan padi yang dijemurnya tidak mungkin dapat diolah hari itu karena padinya basah. Sebagai wujud penyesalannya, ia bersumpah untuk tidak menanam kacang tanah. Pada cerita Cadu Nuang Hulu Hayang “Tabu Memakan Kepala Ayam”, motif yang muncul di dalamnya adalah ketabuan karena petaka pembunuhan. Kesalahpahaman karena rasa cemburu saat acara huap lingkung di sebuah pesta pernikahan mengakibatkan kedua mempelai pengantin dan anggota keluarganya yang lain bertikai. Kepala ayam yang disajikan pada acara huap lingkung tersebut mengotori gaun mempelai wanita. Kesalahpahaman yang dilatarbelakangi kecemburuan menyebabkan pertikaian. Pertikaian tersebut berakhir pada sebuah peristiwa tragis di mana mempelai pria dan adik mempelai wanita tewas dalam
5
peristiwa tersebut. Atas peristiwa tersebut, ayah mempelai wanita bersumpah untuk tidak memakan kepala ayam hingga beberapa keturunannya. Motif cerita yang tertuang dalam Cadu Mahi “Pantang Berkecukupan” adalah ketabuan karena perasaan tidak nyaman. Seorang petani kaya merasa sering terganggu dengan tetangganya yang terus menerus datang ke rumahnya untuk meminjam beras. Perasaan terganggunya semakin ia rasakan manakala aktivitas makannya pun sering terganggu. Karena sangat kesalnya, ia pun bersumpah untuk tidak lagi menjadi orang kaya. Adapun pada ketiga cerita Cadu Nuang Tikukur “Pantang Memakan Tekukur”, Cadu Nuang Mencek “Pantang Memakan Rusa”, dan Cadu Nuang Puter “Pantang Memakan Perkutut”, motif di dalamnya sama-sama menunjukkan adanya ketabuan sebagai wujud hormat dan terima kasih kepada leluhur. Ketiga cerita tersebut sama-sama memunculkan peristiwa di mana tokoh-tokoh merasa tertolong oleh seekor binatang atas kepungan dari pihak musuh.
Motif-motif cerita yang dimaksud mengindikasikan sejumlah nilai dasar kemanusiaan yang dapat ditelusuri melalui modus (jalan) mencapai tujuan dan keadaan terakhir yang hendak dicapai oleh seseorang atau subjek kolektif yang memberlakukan ketabuan dan mewariskannya.
3.2 Nilai-nilai Dasar Kemanusiaan Seperti yang Rokeach nyatakan perihal delapan belas nilai-nilai dasar kemanusian yang dipilah ke dalam instrumen Value dan terminal value, ketujuh cerita yang bermotif ketabuan mengdikasikan sejumlah nilai dasar kemanusiaan. Pada cerita Cadu Nyieun Susukan, tokoh penguasa melalui sikap tenggang rasanya terhadap anaknya yang sudah menjadi mayat di sebuah selokan, ia mengeluarkan sumpahnya dengan maksud menghindarkan hal serupa dan menjaga keselamatan keluarga dan warganya. Pada cerita Cadu Melak Suuk, penyesalan tokoh mengimplikasikan adanya nilai dasar kemanusiaan menyangkut keruntutan nalar sebagai modus mencapai tujuan. Adapun modus tersebut mengindikasikan adanya tujuan untuk meraih kepuasan hidup. Modus lain yang muncul dalam cerita tersebut menyangkut kemampuan yang mengindikasikan adanya kepuasan menyelesaikan tugas sebagai tujuan akhirnya.
Walaupun
fakta teks menunjukkan bahwa tokoh baru 6
menyadarai kesalahannya setelah musibah terjadi, secara implisit nilai-nilai dasar kemanusiaannya dapat ditelusuri melalui pemikiran ulang tokoh atas tindakan yang seharusnya dia lakukan. Dengan demikian, modus yang menonjol dalam cerita ini adalah keruntutan nalar. Adapun terminal value-nya dalah kepuasan hidup. Cerita Cadu
Nuang
Hulu
Hayam menunjukkan
adanya
modus
pengendalian diri dengan tujuan akhirnya adalah kearifan. Pada cerita ini, tokohtokoh di dalamnya tampak tidak dapat mengendalikan diri karena kesalahpahaman dan kecembuaruan yang berlebihan. Akibat dari kondisi tersebut terjadilah pertikaian yang berakhir dengan peristiwa pembunuhan. Dengan demikian, modus di dalamnya menyangkut masalah pengendalian diri yang berimpilkasi kepada tindakan yang arif. Pengendalian diri menjadi bagian penting manakala tokohtokoh tidak ingin terjebak dalam kesalahapahaman yang mengakibatkan petaka pembunuhan. Cerita Cadu
Mahi memuat
nilai
pengendalian diri yang berimplikasi kepada
dasar
kemanusian menyangkut
kearifan sebagai nilai akhirnya.
Tokoh utama di dalam cerita tersebut menunjukkan ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri. Perasaan tidaknyamannya karena gangguan tetangganya ia wujudkan ke dalam pengucapan sumpah yang ia tujukan kepada dirinya untuk hidup melarat. Pada ketiga cerita, Cadu Nuang Tikukur, Cadu Nuang Mencek, dan Cadu Nuang Puter, yang memuat motif ketabuan sebagai wujud penghormatan dan rasa terimakasih kepada leluhur, nilai-nilai dasar kemanusiaan yang menonjol adalah cinta kasih sebagai modusnya dan kehidupan abadi sebagai nilai akhirnya. Persepsi tokoh atas kemampuan seekor binatang menyelamatkan diri tokoh dari kepungan lawan telah membuahkan keyakinan bahwa perlindungan yang terjadi adalah wujud perhatian dan cinta kasih leluhur. Dengan demikian, konsep penghormatan dan rasa terima kasih yang diwujudkan melalui ketabuan untuk memakan daging tekukur, rusa, atau perkutut diekpresikan melalui tindakan pewarisan pacaduan yang dimaksud kepada keturunannya. Pewarisan dan kebertahanan ketabuan tersebut mengindikasikan adanya citra baik leluhur yang abadi bagi keturunannya. Beranjak dari uraian menyangkut nilai-nilai dasar kemanusiaan yang tertuang di dalam tiap cerita, praktik pewarisan pacaduan dapat ditelusuri lebih 7
lanjut melalui perspektif strukturasi sosial. Strukturasi sosial yang dimaksud mengarah kepada pemahaman struktur dasar teks dihubungkan dengan struktur yang lebih luas, yaitu struktur sosial subjek kolektif yang terikat oleh aktivitas pewarisan pacaduan.
3.3 Strukturasi Pacaduan dalam Praktik Pewarisan Subjek kolektif yang terikat dengan praktik pewarisan pacaduan, sesuai hubungan struktur di dalamnya, sekaligus
mengarahkan
pandangan
secara struktur yang lebih uas l dibentuk yang
dialektis.
Walaupun daakalanya
pewarisan tidak dengan sendirinya menuntut suatu penjelasan manakala pihak yang diwarisinya menganggap itu sebagai sebuah keharusan alamiah yang patut mereka terima, tetapi strukturasi yang terbentuk di dalamnya secara potensial menunjukkan hubungan yang cukup rumit dan perlu dipahami secara memadai. Dengan demikian, penguaraian hubungan-hubungan struktur yang dimaksud merupakan salah satu jalan dalam mencari hubungan strukutur karya yang diwakili oleh cerita legenda bermotif ketabuan dengan struktur sosial yang melingkupinya secara lebih luas. Hubungan yang dimaksud berpusat pada aktivitas pewarisan pacaduan. Tradisi pewarisan pacaduan yang erat kaitannya dengan potensi alam, aktivitas masyarakatnya, dan latar belakang sejarah yang menyangkut penguasa di dalamnya menjadi tampak dominan dan penting untuk dihubungkan dengan struktur yang lebih luas. Legenda bermotif pacaduan yang menyebar di Cadasngampar merupakan bagian dari struktur yang melingkupi seluruh elemen struktur dasar maupun superstrukturnya. Faktor-faktor produksi dan hubunganhubungan produksi menjadi dasar terhubungnya elemen-elemen politik maupun budaya, termasuk di dalamnya legenda sebagai wujud ekspresi budaya dalam bentuk seni sastra melalui pandangan dunia. Dalam persepktif struktur genetik yang berorientasi kepada paham marxis, budaya dianggap bersifat politis karena mengekspresikan hubungan-hubungan sosial kekuasaan kelas dengan cara mengalamiahkan tatanan sosial sehingga tampak sebagaimana adanya. Kondisi tersebut sebenarnya menutupi hubunganhubungan eksploitatif yang ada di baliknya. Dengan demikian, legenda ketabuan sebagai produk budaya tentunya bersifat ideologis di mana peta-peta makna perlu dipahami secara historis untuk menjangkau hal yang bersifat
spesifik, 8
terselubung, dan melanggengkan kekuasaan. Pada kasus legenda ketabuan, kekuasaan yang dimaksud tidak saja bersumber dari sang penguasa yang terikat secara kepemerintahan, tetapi juga kekuasaan yang bersumber secara variatif kepada pelaku-pelaku yang bertindak sebagai prototipe dari subjek kolektifnya yang membentuk, menentukan, dan memiliki atau diberi hak untuk menurunkan pacaduan-nya kepada anggota kolektifnya. Pemegang kekuasaan pada sejumlah fakta menyangkut subjek kolektif yang terikat pada praktik pewarisan pacaduan, menunjukkan tidak saja pengusa yang memegang kekuasaan produksi material, tetapi juga kekuasaan yang dimiliki oleh orang-orang yang secara struktur sosial ditempatkan ke dalam status orang tua atau leluhur. Bupati Sumedang yang bernama Soeria Atmaja
muncul sebagai pusat
pengisahan dalam cerita Cadu Nyieun Susukan. Tokoh ini bertindak sebagai penguasa yang dianggap oleh masyarakatnya memiliki kemampuan saciduh metu saucap nyata “kemampuan membuktikan kata-katanya secara tepat karena kesaktiannya”. Pelegitimasian kekuasaan tersebut ditopang oleh penyebaran legenda tentang ketabuan sang Bupati membuat selokan (difungsikan sebagai saluran irigasi) karena kematian putranya. Merujuk pada fakta teks menyangkut tokoh Soeria Atmaja dan ketabuan yang diberlakukannya, strukturasi pacaduan yang dapat ditelusuri mengarah kepada bagaimana legenda yang bermotif pacaduan tersebut disepakati oleh anggota kolektifnya. Dalam hal ini proses asimilasi dan akomodasi, sebagaimana yang dipahami Goldmann dalam struktur genetiknya, mampu menunjukkan bagaimana legenda tersebut muncul sebagai penyeimbang kebutuhan anggota kolektif ketika menemukan kenyataan hidup yang berhubungan dengan potensi wilayahnya. Demikian pula dengan aktivitas pewarisan legenda tersebut secara berkelanjutan menunjukkan subjek-subjek kolektif mengakomodasikan diri kepada lingkungan untuk menciptakan harmonisasi. Hal ini pun tergambar dalam cerita Cadi Mahi, Cadu Nuang Hulu Hayam, dan Cadu Melak Suuk. Pada cerita Cadu Mahi, eksploitasi produksi seolah disembunyikan dibalik ketabuan tokoh di dalamnya untuk menjadi orang yang berkecukupan. Artinya, si tokoh di dalamnya akan menghentikan segala aktivitas produksinya-dari bertanidemi menghindarkan gangguan-gangguan yang diterimanya. Namun demikian, jika dilacak kepada tataran yang lebih jauh, ideologi teks menunjukkan justru 9
aktivitas produksilah yang lebih ditekankan untuk menempatkan subjek-subjek kolektif sebagai pekerja-pekerja dalam aktivitas produksi.
Dengan kata lain,
ideologi yang tersebulung dalam teks tersebut melegitimasi keterikatan subjeksubjek kolektif terhadap penguasanya yang diekspresikan melalui kepercayannya menerima pewarisan pacaduan yang dimaksud sekaligus mempertahankan dan mewariskannya kembali kepada generasi yang lebih muda. Dengan demikian, fakta teks mengindikasikan bahwa wilayah pemegang produksi tidak akan mampu dimasuki para pekerja produksi. Pada perspektif lain, kenyataan tersebut mengindikasikan adanya pengakomodasian subjek kolektif kepada lingkungan yang memang harus diterima sesuai faktanya, yaitu lingkungan yang tidak memfasilitasi dirinya secara mudah untuk menempati wilayah-wilayah pemegang kekuasaan produksi. Atas kenyataan tersebut, posisi penguasa tampak semakin kuat manakala kebergantungan para pekerja atas dirinya semakin tampak. Cerita Cadu Nuang Hulu Hayam merupakan ekspresi lain yang melatarbelakangi
praktik ketabuan. Kepala ayam dan peristiwa pembunuhan
dalam hal ini menjadi instrumen pokok sehingga sebuah ketabuan diberlakukan. Adapun seorang ayah yang bertindak sebagai subjek kolektif di dalam cerita tersebut menjadi prototipe umum menyangkut otorita pemberlakuan ketabuan. Otorita ketabuan tersebut secara umum terjadi melalui orang tua yang dihadapkan kepada masalah tertentu menyangkut dirinya, keturunannya, atau pun lingkungan yang lebih luasnya. Dalam hal ini, Cadu Nuang Hayam menjadi bagian dari struktur sosial yang lebih luas yang dapat menopang pemetaan asal-usul perilaku masyarakat yang terikat dengan ketabuan tersebut. Interpretasi yang paling dimungkinkan muncul sehubungan dengan fenomena tersebut adalah adanya keyakinan atas akibat yang harus ditanggung ketika larangan memakan kepala ayam dilanggar. Mayarakat pendukung meyakini bahwa akibat yang harus ditanggung atas pelanggaran tersebut adalah si pelanggar akan terkena penyakit kudis di sekujur tubuhnya, sama halnya dengan akibat yang harus ditanggung atas pelanggaran ketabuan menanam kacang tanah. Pada cerita Cadu Melak Suuk, motif penyesalan muncul di dalamnya secara tidak langsung menggiring teks untuk dipahami sebagai representasi proses asimilasi dan akomodasi yang dilakukan masyarakat atas kenyataan hidup yang harus dihadapinya. Folklore, menyangkut legenda ketabuan, memiliki logikanya sendiri. Namun demikian, gagasan di dalamnya dapat ditelusuri melalui fenomena 10
yang melingkupinya. Cerita tersebut masih menunjukkan bagaimana tokoh pendahulu yang melahirkan generasi yang lebih mudanya secara otorita membentuk dan memberlakukan ketabuan bagi dirinya dan generasi selanjutnya. Praktik pewarisan ketabuan ini paling tidak terikat oleh dua hal, yaitu adanya kenyataan kesehatan masyarakat yang rentan terkena penyakit kulit dan potensi alam yang tidak memungkinkan penanaman kacang tanah akibat ketidaksuburan lahannya.
Fenomena-fenomena
tersebut
direpresentasikan
melalui
legenda
ketabuan yang mampu membentuk pandangan hidup anggota kolektifnya untuk tetap menempatkan tokoh-tokoh pendahulunya sebagai bagian subjek yang harus dipatuhi. Anggota kolektif
mempercayai ketabuan yang dimaksud manakala
penyakit kudis yang diderita seseorang diyakini sebagai akibat dari pelanggaran ketabuan menanam kacang tanah. Ketiga cerita, Cadu Nuang Tikukur, Cadu Nuang Mencek, dan Cadu Nuang Puter, yang memuat motif penghormatan , balas budi, dan rasa terima kasih
lebih
merepresentasikan harmonisasi
anggota
kolektif
edngan
lingkungannya yang diikat oleh praktik penghormatan dan balas budi. Latar historis yang memunculkan praktik penjajahan menunjukkan bahwa
upaya
masyarakat menghadapi praktik kekuasaan diwujudkan dalam bentuk kepatuhan atas ketabuan yang diberlakukan leluhurnya. Motif penghormatan dan balas budi yang ditunjukkan ketiga cerita tersebut mengindikasikan adanya kebutuhan subjek kolektif
berada
kepemimpinan
dalam sang
lingkungan
penguasa
yang
yang
aman
mampu
dan
nyaman
mengayomi
di
baw ah
masyarakatnya.
Hubungan strukutrasi ketiga cerita tersebut menunjukkan adanya keterikatan masyarakat dengan pengalaman lampau leluhurnya yang difungsikan sebagai penopang kebertahanan hidup di tengah-tengah kenyataan sulit yang harus dihadapinya. Dengan demikian,
strukturasi pacaduan dalam praktik pewarisannya
menunjukkan sejumlah kebutuhan masyarakat pendukungnya dalam membentuk, menyepakati, mempercayai, mempertahankan, dan mewariskan ketabuan sebagai salah satu ekspresi masyarakatnya dalam melakukan harmonisasi dengan lingkungan sekitarnya. Harmonisasi yang dituju berpangkal dari kesadaran atas kekurangan baik bersifat internal maupun eksternal yang harus ditanggulangi melalui kemampuannya melakukan penyesuaian dengan lingkungannya.
11
4. Simpulan dan Saran 3.5.1 Simpulan Pewarisan pacaduan di daerah Cadasngampar Sumedang merupakan representasi dari hubungan strukturasi legenda pacaduan dengan struktur sosial yang lebih luasnya. Strukturasi yang dimaksud berpangkal pada latar historis yang memunculkan paktik-praktik kekuasaan, persepsi terhadap alam sebagai bagian dari harmoniasasi, dan citra masa lampau yang menunjukkan leluhur sebagai bagian dari subjek kolektif yang perlu dihormati dan dipatuhi larangannya sehubungan ketabuan yang dibentuk dan diwariskannya kepada generasi yang lebih muda.
3.5.2 Saran Penelitian ini belum menjangkau penelaahan fungsi dan kedudukan pacaduan secara lebih mendalam melalui penelaahan ideologi teksnya yang dihubungkan dengan konteks modernitas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan menyangkut ideologi teks pacaduan dalam persepktif modernitas. Penelitian lanjutan ini diarahkan kepada pencapaian tujuan di antaranya menyangkut: (1) kebertahanan pacaduan dalam pengaruh modernitas, (2) problem-problem pertentangan pandangan dunia menyangkut pacaduan, dan (3) pacaduan dalam perspektif postmodernisme.
DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud. Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lainlain. Jakarta: Grafiti. Dundes, Alan. 1980. Interpretating Folklore. Bloomington & London: Indiana University Press. ------------ 1984. Sacred Narrative: Reading in the Theory of Myth. Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press. Faruk. 1994. Pengantar Sosilogi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moes, Diana N. 1990. Fungsi Folklor di dalam Masyarakat Pendukung. Disertasi. Bandung: Universitas Padjadjaran. Rusyana, Yus. 1981. Cerita Rakyat Nusantara. Himpunan Makalah tentang Cerita Rakyat. Bandung: Fakultas Keguruan Sastra dan Seni, IKIP.
12
13