Peta Lokasi RW I Gubeng Kertajaya, Kelurahan Gubeng, Kecamatan Gubeng
2
Pengajian yang menyenangkan Cerita tentang kelompok pengajian ini berawal dari pengalaman pribadi saya, Sudah sejak sekitar 10 tahun ini saya mendirikan kelompok pengajian sendiri di rumah saya sendiri, ya…walaupun juga ada kelompok pengajian PKK, atau kelompok pengajian-pengajian lainnya. Awal mulanya begini, waktu suami saya meninggal saya ini tidak bisa membaca Al-Qur’an, padahal sudah seharusnya saya membacakan AlQur’an. Akhirnya saya memanggil guru ngaji ke rumah saya. Nah, dari situlah saya mengajak bergabung ibu-ibu yang lain buat belajar mengaji, ya Alhamdulillah sekarang saya bisa mengaji, dan sudah bisa ngajari walaupun hanya sebatas Iqra, kalau sudah Al-Qur’an nanti ada yang ngajarin sendiri. Kelompok pengajian disini itu banyak dik…, ada kelompok pengajian PKK, dan ada kelompok pengajian yang lainnya. Kelompok yang pengajian yang diadakan setiap hari
Senin dan Jum’at, serta hari Selasa yang khusus untuk tafsir, dan
mendatangkan seorang guru bernama Pak Syukron ya nama lengkapnya pak Syukron Djazilan, yang kebetulan juga sering mengisi di Masjid UNAIR, Orangnya enak kalau mbawain ceramah..lucu, ya…pokoknya ibu-ibu di sini ini jangan di kasih yang beratberat, ya maksudnya pengajaran agama itu lewat yang ringan-ringan aja. Belajar agama dengan cara yang ringan-ringan itu juga diartikan dengan melakukan ziarah ke makam lima wali, dan mengunjungi beberapa kyai untuk belajar agama, khan kalau kita datang ke kyai-kyai itu diajari dik…bahkan juga di jamu lho kita, di kasih makan gitu, ya…disetiap pesantren itu khan juga ada pantinya, ya kita juga bawain oleh-olehlah. Kelompok pengajian ini juga sudah mengagendakan jalanjalan setiap tahunnya untuk berkungjung ke para kyai, setahun kemarin ke Madura, bahkan pernah dari Pasuruan, Bondowoso sampai Kraksaan, ya…itu kan biar wawasannya ibu-ibu nggak sempit, yang penting iurannya nggak mahal-mahal lah.
Kalau Ibu-Ibu Senang, Kegiatannya kan Banyak Kalau cerita tentang kegiatan PKK disini, semua kegiatan disini itu datangnya dari ibu-ibu sini sendiri, ya prinsipnya itu kalau Ibu-ibu itu senang menjalankannya ya…monggo, pokoknya bisa dijalani aja gitu.
3
Di daerah sini itu seringkali mendapat bantuan dari pemerintah, ya…barubaru ini kita dapat bantuan dari pemerintah provinsi, kita disuruh menyusun proposal, ya…bantuan ini kebetulan juga untuk keluarga miskin (gakin) lansia, ya saya mikir kira-kira bikin apa ya?, kalau kue..masak lansia disuruh bikin kue, ya akhirnya saya mikir gimana kalau bikin jamu aja….kan bikin jamu itu gampang, dan nggak butuh modal banyak, bantuan modal awal dari pemerintah itu 2,5 juta, saya pikir cukup untuk membuat warung jamu. ya…akhirnya disetujui, dan dananya pun sudah turun, ya akhirnya saya wujudkan jadi warung tepat disebelah balai RW.
Untuk
menjalankan warung ini ya dari para anggota lansia itu sendiri. Di warung itu, mulai dari yang jaga toko sampai yang membuat jamunya ya dari anggota lansia itu sendiri, ya itu tadi…dana 2,5 juta tadi itu saya pecah buat modal awal membuat jamu, ya saya pikir 30 ribu kan cukup, saya bilang, “ya sekarang untuk belajaran coba dititipin ke warungnya RW dulu, nanti kalau sudah enak terus mau jualan sendiri ya…monggo, ya pokoknya tidak memberatkan ibu-ibu ”. Ya kebetulan juga warung ini baru berjalan 1 bulan ini, jadi masih belum keliatan hasilnya. Disamping warung jamu itu, kelompok lansia juga mempunyai kegiatan yang sudah ada sejak lama ya antara lain lewat olah raga senam lansia, diadakan setiap hari minggu pagi. Selain kelompok lansia, juga ada kegiatan yang sifatnya pembinaan buat ibu-ibu muda, seperti kelompok jahit. Disini itu juga dapat bantuan dari Deperindag mesin jahit sebanyak 3 buah, kelompok usaha jahit ini sudah berjalan selama 2 tahun ini, ya jalan sih jalan tapi ya…mandeg-mandeg, mungkin juga ini karena kita masih terbatas menjahit kerudung, kalau saya sih pengennya juga mengajarkan menjahit baju, biar bisa maju gitu…toh saya dulu juga pernah kursus menjahit. Nanti kalau sudah maju khan, Insya Allah bisa menambah penghasilan ibu-ibu yang ada di kelompok itu, karena selama ini pemasukannya untuk kas kelompok jahit PKK ini. Terus, disini itu khan banyak kelompok-kelompok pengajian, salah satunya kelompok pengajian PKK, kalau pengajian PKK ini sifatnya lebih mengarah pada Yasinan saja, mungkin kalau Yasinan saja khan bosen, lha terus ibu-ibu itu ngeliat sekarang trendnya itu pada bikin hadrah, di RW II bikin hadrah, jadi ibu-ibu pengen bikin hadrah. Saya bilang ke ibu-ibu “ ya monggo kalau memang ibu-ibu ini pengen bikin hadrah, asalakan ibu-ibu seneng dan menjalankan, ya silahkan “. Menurut ibu-ibu kalau hadrah itu menyenangkan, karena bisa tampil, kita juga sudah 2 episode tampil 4
mendampingi acaranya Tan Mei Hwa1 , terus besok kita juga ngisi acara tafsir di TVRI, artinya khan ibu-ibu itu seneng kalau bisa tampil di TV. . Oh iya…disini juga ada TK, ya TK itu berdirinya sudah lama banget, malah lebih lama dibanding balai RW-nya sendiri, malah sudah banyak warga yang berhasil itu lulusan TK sini. Ya..TK itu juga jadi pemasukan RW dan ada yayasannya sendiri lho…, ya sebagian besar muridnya juga dari warga sini sendiri, ya kalau ada anakanak yang dari PAUD itu berprestasi bisa masuk TK sini dikasih diskon. TK disini itu sering menang, kemarin aja menang lomba drumband tingkat Kotamadya, sebenarnya sih juara I, tapi ada yang sakit jadi cukup dapat juara III, selain itu juga sering dapat juara di tingkat kecamatan. Saya fikir, kegiatan-kegiatan itu yang penting jalan semua, walaupun pelanpelan, prinsip saya ini selama saya bisa usahakan ya...saya kerjakan, kan semua itu yang penting ibu-ibu disini itu senang menjalaninya, dan itu juga yang memotivasi saya.
Lingkungan Impian Tertata rapi, itu kesan pertama kalau dilihat dari gang ini. Kebetulan disini itu dulu ada pak RT yang rajin dan pinter ngguyubin warganya, jadinya gang sini itu gang pali rapi...mulai dari berem, lampu sampai pavingnya. Gara-gara rapi itu kita berani ikut lomba Surabaya Green and Clean, itu dulu pertama kalinya lomba ini diadakan di Surabaya, RT sini dapat nominasi urutan 9, memang sih...belum dapat yang juara satu, mungkin karena guyubnya masih kurang. Tapi, saya punya bayangan nanti kalau 10 tahun lagi itu khan banyak ibu-ibu mudanya bisa kompak. Terus, sekarang kita belum bisa ikut lomba itu lagi soalnya kita masih belum bisa mengolah sampah sendiri, nanti itu katanya tahun 2010 Surabaya ini bersih dari sampah, kalau wilayah-wilayah lain sih bisa ngolah sampah jadi kompos, tapi alatnya mahal. Saya pikir kita bisa mulai dari yang kecil-kecilan dulu, kan yang penting sampah bisa diolah, caranya ya lewat ngumpulin gelas-gelas atau botol air mineral yang sudah tidak dipakai, biasanya kalau habis rapat gitu saya umumkan ke ibu-ibu supaya tidak membuang gelas minuman mineral, soalnya nanti dikumpulin dan bisa dijual, 1
Tan Mei Hwa, lebih dikenal bu Nyai, pengisi acara di JTV, sebagai ibu Nyai yang keturunan Tionghoa.
5
lumayan buat nambah kas. Dulu, kita bisa jadi nominasi ke 9 di lomba Surabaya Green and Clean, nah saya ini punya impian wilayah sini itu bisa menang di kategori lingkungan yang bersih dan rapi yang nggak pernah diberikan ke wilayah lain, soalnya tinggal itu yang belum terwujud.
Bu Asri, begitu nama akrab sosok wanita yang satu ini. Sudah hampir 10 tahun beliau aktif di dunia sosial masyarakat, yang pada awalnya memang karena alasan pribadi, tapi kini andilnya justru sangat besar di tengah-tengah masyarakat. 10 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk memiliki berbagai cerita menarik selama beliau menjadi ketua PKK RW I Kelurahan Gubeng.
6
CERITA DARI YANG MBABAT ALAS. Pengen tahu Gubeng?, dulu disini itu masih tanah lapang, sampai kantor Samsat itu kondisinya masih tanah lapang, kalaupun ada rumah paling ya satu dua saja, Gubeng ini dulu juga termasuk daerah pinggiran lho, sempat dijadikan tempat pembuangan rongsokan Jepang. Nah, ceritanya saya bisa sampai sini itu saya diajakin teman-teman untuk berjuang mendapatkan rumah, saya mulai itu semua dengan membangun gubug kecil-kecilan. Dulu, disini itu ada seorang tokoh masyarakat yang namanya Pak Dul, ya itu sapaan akrabnya, ya beliau itu juga sebagai Rukun Keluarga pertama disini, istilahnya sekarang itu Ketua Rukun Warga gitu. Waktu itu sering diadakan kerja bakti, jadi kalau sudah kerja bakti itu sampai di Gubeng Kertajaya gang IX, kalau dilihat sekarang sih itu jauh banget ya...kerja bakti sampai sana, tapi ya....kita kerjakan itu semua bersama-sama, gotong royong dan rukun, penuh suka cita.
Budaya rukun yang dari dulu itu terbawa sampai sekarang,
disini itu
orangnya rukun-rukun kalau sama tetangga, istilahnya nasional gitu, jadi ndak peduli apa itu Kristen, Islam dan juga etnis Cina, semua itu membaur jadi satu, ya… pembaurannya itu bagus. Contohnya ketika ada warga yang sedang berduka cita, itu sekali pukul kentungan thunk !!! semua warga udah ngumpul, membantu, kartu kematian juga langsung diedarkan buat nyumbang gitu, ya ada yang 10 ribu, ada yang 5 ribu, ya pokoknya semua berpartisipasi gitu, disini itu juga aman soalnya kita saling mengawasi tetangga kanan-kiri, contohnya saya ini, saya khan kerjaannya ya di rumah saja,jadi keuntungan bisa mengawasi tetangga, ya...kalau ada yang kerepotan, khan yang tampil pertama kali itu tetangga. Sifatnya warga disini itu ya…saling membantu gitu,
Saya ini khan juga sudah tua, sudah hampir 71 tahun. Nah, saya pikir sudah saatnya yang muda-muda itu tampil menggantikan saya, apalagi yang sekarang itu juga sudah sarjana semua, ya Alhamdulillah juga keluarga saya cucu-cucu saya itu juga sudah mahasiswa. Untungnya saya mengikuti saran anak saya untuk tetap tinggal disini, karena disini itu aksesnya gampang, kemana-mana gampang gitu, dan juga biar
7
jelek gini ini juga rumah sendiri, lha...saya buka potong rambut disini yang datang juga banyak gitu, ya gara-gara deket jalan raya ini. Saya ini juga dibilang sesepuh, ya itu penghargaan buat saya, lha wong saya ini termasuk yang mbabat alas, jadi gelar sesepuh itu penghargaan buat saya, nah sekarang saatnya dipimpin sama yang sudah sarjana-sarjana kan jadi tambah maju kampung ini.
Ya Alhamdulillah, RW I ini rasanya menyenangkan, bisa membuat saya kerasan, warganya saling membantu gitu, kerukunannya itu lho yang menyenangkan. Kalau dulu itu masih jadi tanah lapang, bekas pembuangan rongsokan Jepang, sekarang sudah jadi pemukiman yang ramai ini ya....itu semua karena keakraban dan gotong royongnya, toleransi, ya kalau hidup di kampung itu khan ya harus seperti itu.
”Yak Opo Apike Kampung iki ?” (mbabat alas, begin) Saya punya sejarah yang panjang, yang...membuat saya merasa sayang sekali untuk meninggalkan tempat ini. Dulu, rumah saya tidak sebesar ini, bisa menjadi seperti ini karena rasa persaudaraan saya dengan sepasang suami istri, saya biasa memanggil beliau dengan sebutan eyang kakung dan eyang putri. Waktu itu, saya sudah dianggap seperti anak sendiri oleh beliau, karena mereka memang tidak memiliki keturunan, dan saya juga sudah menganggap beliau seperti orang tua sendiri, mereka berpesan untuk merawat rumahnya, ya...buat saya itu karena kita semua itu saling membantu antar tetangga, saya dan istri saya selalu merawat beliau selayaknya orang tua kami, jadi beliau mempercayakan rumahnya ke keluarga saya.
Bicara tentang kehidupan bertetangga, warga disini itu tidak cuek...ya artinya warga itu peduli akan kampungnya sendiri, contohnya kemarin waktu ada penyemprotan demam berdarah, itu semua warga antusias minta disemprot rumahnya, bukan itu saja tapi diantara warga itu sendiri juga saling membantu, ya waktu itu...buat warga yang berkecukupan itu membayar lebih banyak...ya itu untuk menutupi warga yang tidak mampu, karena yang penting itu kan warganya sehat wal afiat...ya berarti harus disemprot semua tanpa terkecuali. Selain itu warga itu juga
8
merasa peduli sama kampungnya, ya sering warga itu cangkrukan sambil berbicara tentang kampungnya, istlahnya itu ”yak opo apike kampung iki” begitu....ya itu manfaatnya cangkrukan itu, kampung bisa jadi kayak sekarang ini juga gara-gara warganya itu sering ngobrol membicarakan kampungnya. Ya, sambil cangkrukan juga ikut jaga kampung begitu, biasanya warga disini itu cangkrukan sambil bakar-bakar ngobrol ngalor-ngidul nah itu juga sambil mengawasi kampungnya itu, nah itu juga yang bikin kampung ini merasa aman....toh, saya nyenyak sekali tidur malemnya walaupun sepeda motor itu ditaruh di depan begitu.
Warga disini itu juga sifatnya saling membantu, ya....itu semua kan karena keyakinan bahwa tetangga jarak 100 meter ke kanan dan kiri, depan dan belakang itu sebenarnya bukan tetangga lagi melainkan sudah saudara begitu, makanya disini itu sesama warga itu guyub saling membantu. Contohnya, saling menukar masakan, atau tadi siang itu di depan rumah itu ada yang boyongan, ya tanpa disuruh saya juga ikut bantu, karena ya itu manusia itu kan perlu bersosialisasi, saling membantu bagitu, ya....itu namanya kerukunan, nggak bantu sih nggak apa-apa....tapi khan ya nggak rukun gitu, lha wong dulu aja ngangkat rumah bareng-bareng sama warga aja sanggup kok, nah itu kan berarti memang sudah sejak dulu warga disini itu rukun, ya membantu.
Pak Darno, tukang cukur rambut, begitu beliah dikenal oleh warga. Sudah hampir 60 tahun tinggal di RW I Gubeng, beliau juga dianggap sebagai sesepuh dari RW I, banyak cerita menarik dari beliau yang mengalami RW I masih berupa tanah lapang.
9
ADA KELUARGA CENDANA, DISINI…. Cerita awalnya saya bisa tinggal disini, itu sekitar 50 tahun yang lalu atau sekitar tahun 1955, waktu orang tua saya masih bertugas di kepolisian. Ayah saya ingin sekali punya rumah, dan ada tawaran tanah murah dan cukup luas, jadilah ayah saya membeli tanah tersebut. Tanah itu kemudian dibangun beberapa rumah, yang sekarang ditempati oleh kakak saya, adik saya dan saya sendiri, gara-gara kita ngumpul satu keluarga di lingkungan ini, kita jadi disebut keluarga cendana. Yang, bikin betah selama 50 tahun itu disini itu lingkungannya aman, tiap malam ada orang yang cangkruk, jadi bisa sekalian saling mengawasi gitu. Selain itu, warga disini itu nggak usil, semua ngurusi dirinya sendiri, tapi juga tetep guyub, contohnya kerja bakti atau kegiatan membangun gapura, itu semua pasti ikut hanya dengan sekali kentongan warga pasti ngerti, soalnya warga disini itu juga peduli sama kegiatan-kegiatan itu, atau minimal kalau mereka tidak bisa hadir itu mereka berpartisipasi lewat kirim makanan, itu yang namanya peduli. Dan juga, warga disini itu hebatnya, nasionalis, mereka itu tidak diskriminatif, jadi…ya pasti semua ikut partisipasi nggak pandang bulu gitu, Ada kejadian yang menyenangkan disini, yaitu pas peringatan 17 Agustus, disini itu ada panggung nah saya selalu tampil untuk menghibur warga, entah itu menyanyi ataupun sekedar ngelawak, buat saya itu sebuah kebanggaan tersendiri bisa menghibur warga, kadang juga saya selipi pesan-pesan moral lewat joke-joke ringan biar nggak gampang tersinggung gitu, lha kejadian itu nggak cuman sekali ini aja, hampir setiap tujuh belasan, atau waktunya tahun baru gitu. Ngeliat warga itu kumpul semua, bareng-bareng itu seneng rasanya, bisa guyub dan kompak gitu. Dan, yang paling penting kalau saya sudah tampil dan menghibur warga itu ya...juga bikin hati ini seneng gitu. Ada yang menarik juga dikampung ini, yaitu cara warga untuk menciptakan rasa aman, mobil atau kendaraan diparkir sehari semaleman itu juga nggak ada masalah, karena disini itu rame terus, bahkan sampai pagi dini hari pun itu masih banyak orang yang cangkrukan, jadi ya...sambil cangkrukan juga ikut mengawasi gitu. Saya ini khan sudah turun temurun disini, dan juga keluarga besar saya, kakak saya, adik saya semua tinggal disini, jadi istilahnya bukan hanya saya aja yang
10
krasan, keluarga-keluarga saya yang lain pun juga krasan, sampek-sampek semuanya tumplek bleg jadi satu, ya makanya kita ini disebut keluarga cendana...hahahaha...tapi yang ini beda....
Bapak Hendro Siswanto, atau lebih akrab disapa Pak Sis, terbilang cukup lama tinggal di Gubeng Kertajaya. Bahkan, tinggal dalam satu keluarga besar, dimana kakak dan adiknya juga tinggal di wilayah yang sama, di beberapa rumah peninggalan orang tuanya, oleh karena itu sering kali keluarga Pak Sis dikenal dengan sebutan Keluarga Cendana.
11
Ini Adalah Pilihan Yang Maha Kuasa Semuanya itu justru berawal bukan dari sebuah pilihan bagi saya, ceritanya begini, Pada mulanya saya bertempat tinggal di Gubeng ini bukan sebuah pilihan bagi saya, artinya ini memang secara alami takdir saya memang harus bertempat tinggal disini, ya kayak orang lahir gitu mas, masak bisa sih kita milih mau dilahirkan dari orang tua yang mana ?, kejadiannya sekitar tahun 1980an, jadi ya sudah sekitar 20 tahunan saya bertempat tinggal disini, saya ingat waktu itu usia saya 30 tahun dan, saya dibelikan rumah oleh orang tua saya, dan saya disuruh menempatinya ya itu saja, tapi saya juga tidak tahu kenapa orang tua saya memilih tempat Gubeng, Saya disini itu disuruh tinggal nempati saja, saya tidak membelinya dari siapa-siapa. ya...kita seakan-akan menjalani skenario, jadi ini kita diskenariokan untuk tinggal disini ya sudah, ada tempat yang lain-lainnya yang sekiranya kita lebih mampu, .tapi pada waktu itu terpaksa maupun tidak terpaksa jalannya ya memang disini, jadi saya anggap ini adalah pilihan Yang Maha Kuasa. Sedikit cerita saja kenapa saya bisa menjadi ketua RW, memang sudah sejak awal saya berkecimpung di dunia sosial kemasyarakatan, sebelumnya saya pernah menjadi ketua RT, lalu setelah itu aktif pula sebagai pengurus RW, sampai akhirnya saya dipilih menjadi ketua RW. Bagi saya, yang menjadi saya bisa termotivasi adalah ketika ide saya, pengalaman saya digugu, dan saya masih dipercaya...coba kalo saya sudah tidak dipercaya ya buat apa. Pemimpin itu membutuhkan wibawa untuk bisa dipercaya, dan dengan wibawa itu pula perubahan bisa terjadi.
Eksistensi bersama Saya itu ingin warga disini itu menjadi masyarakat yang ikut memiliki semua yang ada di wilayah kita, istilahnya itu menjadi masyarakat yang peduli, dan itu masih dalam proses perubahan, dan itu alasan saya mengapa saya mau menjadi ketua RW, karena ingin merubah, selama ini balai RW masih dianggap lembaga yang sentralistik, jadi semua-semua itu dari lembaga RW dan warga hanya sebatas peserta, nah itu yang ingin saya ubah Contohnya, mungkin kalau kita bicara kegiatan 17 Agustus di suatu wilayah itu biasa, gini aja kemarin wilayah sini itu mengadakan gerak jalan bersama dalam rangka memperingati hari besar salah satu agama, kalau
12
selama ini dana itu selalu dari lembaga RW, masyarakat hanya sebagai peserta, kalau gitu caranya kan berarti ini acaranya RW, padahal ini acaranya dari warga dan untuk warga, nah sekarang saya ingin masyarakat itu punya partisipasi, agar acaranya menjadi menarik saya menggunakan cara-cara yang menarik pula seperti memberi hadiah yang bermanfaat, saya bisa mengumpulkan TV, kulkas dan sebagainya yang itu semua dari warga sendiri, saya mengumpulkannya dari warga-warga yang saya kira cukup mampu, walaupun dengan sedikit nuansa intimidasi, kepada warga-warga yang mampu tersebut. Akan tetapi, saya pikir hal tersebut rasional, kenapa? Karena gini, mereka itu kan hidup di tengah-tengah masyarakat, di lingkungan, yang bisa menjaga hartanya disini kan warga, mereka bisa tidur nyenyak, bisa pergi-pergi dan hartanya tetap aman itu karena warga, dan itu butuh ongkos, ongkosnya ya itu partisipasi itu tadi. Saya tanyain ke tiap ketua RT nya, siapa saja yang warganya mampu, nah terus saya kirimi surat tentang kegiatan RW dan mohon dibantu, terus dibawahnya saya tulisi kalau anda butuh penjelasan telepon saya, toh...buktinya tidak ada yang nelpon, itu kan artinya sudah pada ngerti semua. Hal serupa juga terjadi waktu saya mengundang Tan Mei Hwa, itu loh ibu Nyai yang keturunan Tionghoa yang biasa di JTV, nah itu ada salah satu warga yang bersedia nyeponsori Tan Mei Hwa, terus dana yang lainnya digalang dari RW, kayak terop, konsumsi dan sebagainya. Sebenarnya masyarakat disini itu, adalah masyarakat yang berkeinginan, artinya mereka sendiri punya keinginan untuk bermasyarakat, bersosialisasi di tengahtengah masyarakat, masih ingin diakui eksistensinya di masyarakat. Caranya bisa macem-macem, ya mungkin salah satunya melalui budaya cangkrukan yang ada sekarang, cangkrukan ini sebenarnya bisa jadi kelompok inti masyarakat yang bisa mempengaruhi atau memberi inspirasi bagi masyarakat lain, dan juga cangkrukan ini sendiri bisa menjadi wadah untuk menampung orang yang susah tidur ataupun sekedar cari temen ngobrol, ya itu tadi, dengan demikian eksistensi warga ditengahtengah masyarakatnya masih diakui. Cara yang lain ditunjukkan beberapa orang yang mungkin tidak mempunyai waktu banyak tapi secara finansial mencukupi, ya caranya lewat itu tadi...memberikan sumbangan setiap kali di RW ada kegiatan. Saya selalu mencoba untuk fair, artinya saya selalu mengumumkan siapa saja yang memberikan sumbangan dan sumbangannya berupa apa, ya...ini bukannya apa-apa, biar yang 13
nyumbang itu merasa diakui keberadaannya, dan yang diberi sumbangan tau siapa yang menyumbang. Ya...semua wujud-wujud partisipasi yang ditunjukkan warga apapun bentuknya, menurut saya sebagai bentuk keyakinan dari warga bahwa ini kampungku dan aku perlu bersosialisasi.
Masyarakat Impian Dulu masyarakat itu khan cenderung diarahkan, ini sangat keliatan sekali waktu jaman orde baru. Pola-pola kepemimpinan dibentuk dengan gaya paternalistik, tapi kurang aspiratif, sehingga masyarakat itu kurang dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan, yang itu justru untuk masyarakat itu sendiri, jadi muncul kesan pasif di masyarakat. Nah, itu juga masih nampak sampai sekarang, banyak yang masih berfikir petugas RW yang turun untuk memberikan pelayanan, nah kalau seperti itu anggota masyarakat itu bukan bagian dari dinamika masyarakat. Nah, hal tersebutlah yang sedang ingin saya ubah, menjadi masyarakat yang ikut serta...caranya? ya lewat budaya cangkrukan itu, jadi saya harapkan balai RW itu bukan lembaga yang terpisah dari warga, balai RW itu juga rumahnya warga, dan itu harus dikomunikasikan...ya caranya saya menarik warga untuk mengobrol. Sebenarnya saya itu ingin melihat warga menjadi masyarakat yang dinamis, aspiratif dan partisipatif, masyarakat menjadi lebih terbuka, menjadi masyarakat yang ikut memiliki semua yang ada di wilayah kita, ya menjadi masyarakat yang peduli, ndak tahu nanti pedulinya bentuknya seperti apa atau mengarah kemana saya nggak tahu, tapi saya sedang berusaha membangun dengan membentuk kelompok-kelompok kecil lewat cangkrukan agar menjadi masyarakat yang terbuka, karena sesungguhnya ini semua masyarakat itu masih dalam proses belajar atau tahap belajar yang belum berada pada titik yang kita inginkan, kita semua ini sedang melakukan perubahanperubahan dan ini semua masih dalam kerangka proses.
Organisasi Terbuka dan Pimpinan Kolektif Organisasi RW bagi saya, tidak menganut struktur organisasi yang kaku. Artinya, di RW saya ini sedang saya bangun dinamika berorganisasi yang sifatnya pimpinan kolektif, setiap keputusan itu dibicarakan bersama-sama, walaupun tidak ada ketuanya, semua bisa jadi ketuanya yang penting idenya itu rasional. Ide itu khan
14
pasti bagusnya, nah semua itu tergantung caranya...nah caranya itulah yang nanti juga kita bicarakan, kita rembug bareng-bareng. Bahkan dalam kerangka operasionalnya, beberapa pengurus diberi kewenangan untuk menandatangani surat-surat pelayanan seperti KTP itu bisa diberi tanda tangan pengurus RW yang ditunjuk, tidak perlu harus saya, kecuali kalau ada surat yang sifatnya administratif dan memiliki nilai-nilai tertentu seperti perkara rumah dsb. Kalau yang lainnya itu ya terserah yang berkesempatan untuk nandatangani, kan...yang membuat sah itu stempelnya RW, itu kesepakatannya karena saya merubah untuk tidak tersentralisir kepada ketua RW saja, saya juga menyampaikan ke pihak kelurahan kalau emang sekiranya ada pelayanan yang tidak perlu persetujuan RT/RW ya langsung saja ke kelurahan nggak usah lewat RT/RW, karena itu justru merepotkan warga. Akan tetapi, untuk menjalankan itu semua saya berpendapat dibutuhkan kewibawaan dari lembaga ini, yang saya maksudkan disini bahwa agar lembaga ini mampu menjadi wadah bagi warganya sendiri, sehingga tidak perlu ada lembagalembaga tandingan. Hal-hal tersebutlah yang saya coba beri pengertian ke warga bahwa lembaga ini memberi pelayanan kepada warga, memfasilitasi kegiatan warga dan bagian yang tidak terpisahkan dari warga, ya kan lembaga ini ada juga karena warga yang membutuhkan.
Bapak Samsul Ma’arif, Ketua RW I yang memiliki falsafah hidup ”Nglurug tanpa bolo, menang tanpo ngasorake, sakti tanpo aji-aji” serta menganggap sebuah ilmu pengetahuan itu penting akan tetapi lebih penting lagi adalah mengorganisasikan pengetahuan itu sehingga menjadi karya yang berguna, dan beliau terus berkarya untuk lingkungannya.
15
KAMPUNGKU, DEKAT DI HATI “ari-ariku iki wis dipendem nang kene”, ada keterikatan secara emosional antara saya dan tempat ini. Disini itu, nyamannya bukan main, dijamin bebas banjir, akses kemana-mana gampang, mau ke kampus itu paling lama 5 menit, ke rumah sakit, ke pusat keramaian, ke pasar, dan enaknya disini itu bisa dijangkau cukup dengan satu kali lyn (angkot) aja.
Tapi yang bikin lebih terasa nyaman lagi itu, kebersamaannya itu loh, keakraban antar sesama warga, kalau ada yang sakit dijenguk bareng-bareng, kalau ada yang meninggal itu semua mbantu ada yang pasang terop, ngurus konsumsi pokoknya nggak perlu dikomandoi dan nggak ada yang dateng telat, contoh yang paling sederhana dan paling menyenangkan itu kita bisa saling lempar masakan antar warga, tadi pagi disini lagi masak botok nah tetangga depan lagi masak sayur asem, nah...itu bisa tukar-tukaran gitu....terasa banget khan keakraban dan kebersamaannya, perasaan saya kalau sudah liat kayak gitu itu ya...betapa indahnya kebersamaan, dan itu yang kudu tetep dipupuk, kebersamaan, keakraban, sayang khan kalo luntur. Kebetulan juga saya ketua RT disini, sudah dua periode, nah saya pengen banget mupuk kebersamaan itu dan dijaga terus, biasanya disini itu setiap bulan seklai kumpul warga, silaturahmi duduk bareng nggelar kloso, lesehan bareng-bareng, nah disitu khan kerasa banget akrabnya, nggak ada yang ditutup-tutupi antar warga, kadang saya adakan sedikit variasi, contohnya waktu Maulud Nabi kemarin, saya ajak warga bikin nasi kuning tiap rumah 5 kotak, terus saya kumpulkan dalam kotak yang sama, dan ditukar bareng-bareng, nah seru kan...katanya warga ”wah kalo gini, belum pernah ada di RT-RT sebelumnya”. Kalau sudah liat itu semua rasanya itu hidup terasa indah banget, makanya bersosialisasi itu perlu, gimana kita bisa merubah lingkungan ini kalau bukan dari kita yang mau bersosialisasi, kalau kita sudah bisa berpartisipasi ke lingkungan, baru kita bisa ajak tetangga kanan dan kiri kan jadi gampang.
Kalau sudah liat nyamannya kayak gitu, bikin kita males pindah dari sini, ada contoh salah satu warga disini itu ngotot banget nggak mau pindah. Karena sudah merasa nyaman...tapi ya...masalah klasik sih keadaan yang memaksanya untuk tetap
16
pindah, tapi dia itu ngotot banget nggak mau pindah dari sini, terus saya bilangin ”udah gak papa, nanti toh masih bisa saling kontak-kontakan”, dan hasilnya sudah sampai satu tahun ini, warga itu masih ikut arisan disini, istilahnya nggak mau lepas.
Suasana
yang
menyenangkan
dan
nyaman
disini
akan
tambah
menyenangkan kalau umpamanya semua jalan disini sudah dipaving, terus ada poskamling yang memadai, dan ada taman toganya...wahhhh bayanginnya disini pasti akan tertata rapi dan seger, enak dipandang, kalau enak dimata kan secara psikologis itu khan bikin nyaman iya khan, terus sekarang itu khan jaman radikal bebas dimanamana, nah obat juga gak njamin, kadang juga ada efek sampingnya nah kalau ada taman toganya itu kan bisa lebih alami, lha kalau itu semua bisa terwujud wah bisa bikin tambah nyenengin, lebih nyaman, dan makin bikin terikat aja, susah untuk ditinggalin, dan saya pun sudah betah disini baru 40 tahun.
Bapak. Yoyok Suryonegoro, sudah sejak tahun 1964 atau sekitar 40 tahun beliau tinggal di Gubeng Kertajaya, begitu lamanya beliau tinggal disini, membuat dirinya dan lingkungannya sudah memiliki keterikatan emosional, baginya Gubeng Kertajaya sangat sulit untuk ditinggalkan.
17
UNTUNG dari Gubeng Kertajaya “Panggil saja saya UNTUNG”, ya se-Untung nama saya, saya bisa berada di kampung ini, sudah sejak tahun 70-an saya berada di kampung ini, sebagai seorang WAKER, atau istilahnya tenaga kerjanya RW, waktu itu saya diajak oleh bapak Ajianto untuk ikut bergabung di kampung ini, hanya ada satu dalam pikiran saya…”yang penting saya mendapatkan tempat tinggal”,
Di kampung ini, saya melihatnya itu gambyong warganya itu, melihat bapak dan ibunya kompak kalau ada kerja bakti, apalagi dulu waktu jaman pak RW-nya pak Marditopo, bapak ibunya bareng-bareng kerja bakti, nah anak mudanya itu aktif di bidang seni. Ada karawitan, ada sendra tarinya pula….pernah pentas di Gelora Pancasila itu kolosal sampai 200 orang, itu pemuda-pemudi asli sini semua. Ya.... seiring dengan berjalannya waktu, sekarang itu gantian yang aktifnya itu ibu-ibu, ada seni hadrah..ya lumayan sudah manggung ke acara-acara kampung, terus disini juga ada senam lansia, lha kalau bapak-bapaknya itu aktifnya lewat cangkrukankadang diselingi main catur, ya minum kopi sambil membicarakan bagaimana enaknya kampung ini, kalau kegiatan itu ya…jamannya pak RW yang sekarang ini. Ya...disini barusan aja mengadakan pengajian Tan Mei Hwa, lah itu yang mengundang inisiatif warga sendiri lho...ada warga yang mau sponsori gitu.
Kalau melihat warganya itu, benar-benar membuat saya merasa beruntung, saya bisa menyekolahkan anak saya yang pertama sekarang sudah bekerja sambil kuliah, dan yang kedua sekarang SMP, ya Alhamdulillah dari SD sampai SMA itu masuk negeri terus, itu semua juga karena warga yang menerima saya, ya....istilahnya warga itu sudah cocok, sudah hampir pergantian lima ketua RW itu saya juga masih dipercaya, ya...itu juga yang saya tanamkan ke anak saya. Ya...wujud kepercayaan warga itu kalau ada hajatan itu dipercaya untuk menjaga keamanannya, terus juga mengelola balai RW ini. Di sini itu balai RW-nya banyak manfaatnya lho...mulai dari ada TK, terus wartel ini, terus juga disewakan buat pertemuan para purnawirawan Polri. Kalau perkara TK itu malah duluan TK-nya yang berdiri dibanding balai RW-
18
nya, nah itu kalau disini habis ada acara seperti hadrah gitu, lha itu yang menata kursinya kembali itu saya, ya itu tugas saya mengelola balai RW ini.
Saya pingin, nanti itu anak cucu saya itu merasakan di kampung ini itu bisa lebih tenang, lebih meriah, dengan suasana dan model baru, jadi model barunya itu semua aktif, PKKnya aktif, Karang tarunanya aktif, ya biar anak cucu saya bisa merasakan keberuntungan saya disini.
Pak UNTUNG, begitu nama panggilannya. Jangan heran kalau sering mendengar kata ”monggo pak Untung...” karena hampir setiap kali keluar dari gapura RW I, kita bisa bertemu beliau. Dengan rokok filter khas di bibirnya, beliau dengan ramah menyapa kembali para warga.
19
TUMPENGAN WARGA UNTUK SAYA, Ketua Karang Taruna yang juga menjabat ketua RT, bayangin coba?, tapi itu dulu waktu jaman saya masih muda, karena sejak awal saya memang suka berorganisasi, dan kebetulan juga lahir disini, ya sudah sekalian saja, lha wong nggak ada yang mau jadi ketua RT waktu itu, jadi saya ituwaktu itu aktif jadi pemuda ayo… jadi bapak-bapak ketua RT ayo…
Ya, asyiknya disini itu orangnya kompak, kemana-mana kompak ibu-ibunya ikut lomba senam di THR tingkat Kotamadya, hanya dengan bondho nekat aja itu sudah bisa jadi juara coba, belum lagi kalau ada lomba tujuh belasan, kalau sudah di tingkat RW, RT saya ini bisa jadi juara umum, ya…warga disini itu kompak, dulu itu disini juga jadi gang percontohan lho, jadi waktu itu saya bangunkan Poskamling di depan rumah saya, itu jamannya saya jadi ketua karang taruna, terus sekarang sudah jarang dipakai lagi, maksud saya mau saya ganti dengan bangun musholla, biar anakanak kecil bisa belajar mengaji disini, di RT sini itu juga diadakan peringatan Maulud Nabi, itu bisa bikin selametan bareng-bareng, ngumpulin makanan jadi satu, terus saya bacakan do’a jadi saya ini ya…. pak RT ya….merangkap pak Modin hahahahaha..., orang yang berbeda keyakinan pun juga ikut dateng di acara Maulud Nabi itu. Lucunya, kompaknya warga itu juga dalam bentuk spontanitas, kemarin itu ada tujuh belasan itu, kita menarik dana dari warga itu cuman 3 hari sebelum acara itu, malah dapetnya banyak, pengajian juga gitu kalau yang namanya “tiket untuk ke surga”, wahhh semua pada semangat, malah berlebih-lebih. Ada warga yang berduka juga gitu, sifatnya spontanitas langsung, nggak ada yang jadi koordinator, yang masang terop, yang ngurus surat, yang nyebarin sumbangan pokoknya semua itu spontanlah. Ada satu keunggulan dari RT ini adalah, banyak pendidik disini, ada yang dosen ITS, UNAIR, IKIP, guru, kalau banyak pendidiknya itu kan jadi lebih disegani begitu, pokoknya jangan sekali-sekali melupakan pendidik gitu.
Kebetulan juga sekarang saya juga jadi ketua RT lagi, tapi ini sudah yang kedua periode, saya jadi terharu dan bangga waktu inget saya terpilih jadi ketua RT itu, seluruh warga bikin tumpengan dimakan bareng-bareng satu RT, coba bayangin…
20
kata warga “pokoknya yang jadi RT harus yang penduduk asli sini”, warga memilih saya juga karena kebetulan saya ini kan pendidik, warga itu senang kalau pemimpinnya itu seorang pendidik, ya…disegani gitu. Saking senengnya malah ada warga yang nyeletuk “wis pak, sampeyan jadi pak RT seumur hidup, ae” Ya sekarang sudah saatnya gantian, yang muda-muda, adik-adik saya itu kan bisa jadi pemimpin, saya sudah saatnya memperjuangkan di tingkat yang lebih tinggi, tapi saya juga pasti membantu, toh saya juga penduduk sini, lha wong ayah juga yang termasuk mbabat alas disini kok.
YANG PENTING ITU SEMANGATNYA !!! Modalnya ibu-ibu itu semangat, selama ini kegiatan yang aktif itu justru dari ibu-ibu, kalau bapak-bapaknya itu ya….kumpul-kumpul aja, tapi kalau kegiatan itu yang banyak malah dari ibu-ibu. Mulai dari senam, pengajian sampai arisan. Itu semua dilakukan dengan semangat lho….bayangkan, waktu itu itu tidak ada dana untuk ikut lomba senam tingkat Kotamadya, ya akhirnya ibu-ibu itu urunan buat ikut lomba itu…saya kok ngerasa kasian gitu…ibu-ibu itu punya semangat tapi kok nggak punya dana, ya akhirnya…saya punya ide, tetangga depan kan lagi bangun rumah, nah…pagernya itu mau dibuang, terus saya bilang “dari pada dibuang, kan sayang… ya mending dijual saja, dananya buat lomba itu”, ya akhirnya malah dapet juara III, kan lumayan. Kalau tentang pengajian, disini itu memang sudah tradisi, sudah dari dulu yang tua-tua itu senang pengajian, kalau yang namanya “tiket ke Surga” itu semua pada antusias, urunan buat memanggil guru ngaji ustadz atau ustadzah itu semua pasti mau, kalau ada yang berduka itu juga saling membantu buat meringankan beban keluarga yang ditinggalkan, yang penting jangan disalah gunakan kalau emang niatnya mengaji ya mengaji jangan dibuat bisnis, kalau bisnis ya…lewat arisan saja begitu. Yang namanya tetangga, itu harus selalu liat kanan kirinya, jangan sampai ada tetangga yang masih kelaparan, tapi kita sudah bepergian, nah itu yang membuat warga disini itu saling membantu, ya....dikampung sini itu sudah biasa kalau kita saling membantu, kalau masak gitu...kalau istri saya nggak punya bumbu, kadangkadang juga minta tetangga depan, ya….seneng gitu kalau warga itu bisa saling
21
membantu, kadang-kadang juga ada warga yang saling membantu meminjami modal, tapi bukan diberi lho….soalnya kalao diberi kan nanti jadi tergantung, jadi sifatnya ya dipinjami modal buat usaha, nggak hanya dari RT/RW saja tapi juga sesama warga, toh disini juga ada simpan pinjamnya. Soal keamanan itu juga begitu, kita juga saling membantu, di depan gang itu kan ada banyak toko, seperti showroom mobil, terus showroom motor, nah itu yang menjaga ya warga sini juga, jadi mereka itu nggak perlu nyewa penjaga juga. Nah, itu mereka juga membantu kalau warga itu bikin acara, seperti kemarin itu 17-an itu semua membantu, bahkan kita itu bias ngumpulin hadiah TV 21 inci sebanyak 3 buah itu semua juga dari warga, itu kan nyenengin liatnya. Saling mengawasi, saling membantu dan saling peduli istilahnya. Kalau semua warga ikut memikirkan kampungnya itu kan enak rasanya.
Bapak Samiadi, lahir dan dibesarkan di kampung RW I Gubeng Kertajaya, sebagai pemuda yang aktif beliau pernah menjabat ketua Karang Taruna yang juga merangkap ketua RT. Banyak cerita menarik yang membuat beliau bangga pada warganya.
22