Pesan Anti-Perang John Lennon (Studi Analisis Wacana Konstruksi Pesan Anti-Perang John Lennon Dalam Film “The U.S. V.S. John Lennon”)
Muhammad Seif Uliennuha Sri Herwindya Baskara Wijaya
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract This research is to find out about how “The US vs John Lennon” film can construct the anti war message by John Lennon in confronting the Vietnam War, elements that work on the production of this film, and also how the audience interpret those messages, by using Fairclough discourse analysis. This is a qualitative research with critical paradigm approach. Technical data analysis used in this research is multilevel analysis, including text, discourse practice and socio-cultural practice. As the result, in text level, shows that in this film, there is anti war messages construction by John Lennon, which are shown in some scenes; Bed In, Give Peace A Chance, Imagine, War Is Over If You Want It. Furthermore, there is also discourse about John Lennon`s strategy in delivering his anti war messages, and the background of his ideas. The discourse practice level discloses the different view between producer`s framework and the consumer`s interpret. And in the social practice, the background of this film is the failure of political and war policy by US Government, who repeats the same mistake in Vietnam War by invading Iraq. Keywords: anti war messages, Vietnam War, John Lennon
1
Pendahuluan Perang seharusnya sudah menjadi hal yang tidak popular lagi dalam masyarakat modern ini. Masyarakat mendambakan kehidupan dunia yang damai. Pesan-pesan anti-perang dikumandangkan oleh berbagai kalangan, dari aktivis, artis, bahkan masyarakat biasa. Pesan-pesan anti perang ini disampaikan melalui berbagai macam media. Salah satunya adalah film. Film seringkali justru digunakan sebagai media propaganda, untuk menampilkan pihaknya sendiri sebagai pihak yang benar sekaligus penyulut kebencian terhadap pihak yang dianggap sebagai lawan. Tujuannya mungkin untuk menanamkan nasionalisme dan patriotisme, rasa bangga terhadap negara, namun dengan cara yang cacat. Yakni dengan menampilkan Negara, kaum, atau kelompok lain dengan citra buruk yang tidak selamanya itu benar. Lihat saja filmfilm perang produksi Hollywood. Ketika menyaksikan film-film perang produksi perusahaan film terbesar di dunia ini, kita tak henti-hentinya dipaksa menikmati citra Amerika Serikat sebagai pahlawan. Amerika selalu memposisikan dirinya sebagai tokoh protagonis, jagoan tak terkalahkan, satu-satunya harapan jika dunia sedang dalam bahaya. Segala masalah keamanan yang terjadi di dunia adalah masalah Amerika juga. Hal ini ditunjukkan dengan tak segan-segan ikut campur masalah negara lain. Kebalikan dari “karakter baik” ini, musuh Amerika digambarkan sebagai orang-orang yang jahat, kejam, liar, tidak memiliki rasa kemnusiaan, oleh karenanya mereka pantas untuk dibasmi. Jika film dapat digunakan sebagai alat propaganda perang, maka film juga bisa digunakan untuk melakukan kebalikannya, yaitu sebagai media penyebar pesan anti-perang. film yang dapat menyandang
gelar sebagai anti-war film
adalah karena karena film-film tersebut mengkspresikan ide bahwa perang merupakan tragedi moral dan membuat nyawa manusia terbuang sia-sia melalui isi ataupun bentuk dari film tersebut. 1 Salah satu film yang memuat pesan anti perang yang menarik untuk disimak adalah “The U.S. v.s. John Lennon.” Film dokumenter ini berkisah 1
James Chapman, War and Film, London, Reaktion Books, 2008, hal.117.
2
tentang gerakan-gerakan perlawanan terhadap kebijakan Perang Vietnam yang muncul di Amerika Serikat pada tahun 60-an. Tokoh utama yang adalah John Lennon, seorang musisi Inggris yang dikenal sebagai anggota grup The Beatles. Lennon juga dikenal sebagai aktivis anti-perang, berkat keterlibatannya dalam gerakan menentang Perang Vietnam. Pesan-pesan anti-pearng John Lennon ini pada kenyataannya mampu membuat pemerintah Amerika Serikat yang kala itu dipimpin oleh Presiden Richard Nixon menjadi berang. Pesan-pesannya dikhawatirkan dapat meracuni generasi muda sehingga dapat memobilisasi gerakan protes yang lebih besar. Tak pelak, John Lennon dicap sebagai ancaman nasional dan harus dibungkam. Kehadiran dan peran tokoh sekaliber John Lennon di tengah-tengah gelombang protes menentang perang Vietnam ini tak dapat dianggap remeh. Lennon tak hanya dikenal sebagai seorang musisi legendaris, namun juga sebagai salah satu ikon aktivis perdamaian dunia. Dari sini penulis tertarik untuk meneliti tentang wacana pesan-pesan antiperang John Lennon yang disampaikan dalam film The U.S. vs. John Lennon. Penulis ingin menganalisis bagaimana pesan-pesan anti-perang John Lennon dikonstruksikan dalam film, dan apa makna dari pesan-pesan tersebut.
Rumusan Masalah Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pesan-pesan anti-perang John Lennon dalam menentang kebijakan perang Amerika Serikat di vietnam, yang dikonstruksikan dalam film dokumenter yang berjudul The U.S. vs. John Lennon?
Telaah Pustaka 1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa Film adalah media hiburan yang digandrungi oleh berbagai kalangan masyarakat. Kombinasi gambar dan suara dalam film menjadikan substansi film mudah untuk dikonsumsi, diingat, dan dapat memberikan pengaruh tertentu. Sifat audio visual ini juga mampu membuat tidak bosan bagi penontonnya.
3
Film merupakan salah satu medium komunikasi massa, yaitu alat penyampai berbagai macam pesan dalam peradaban yang modern ini. Dalam penggunaan lain, film menjadi medium apresiasi artistik, yaitu alat bagi senimanseniman film untuk mengutarakan gagasan, ide, melalui suatu wawasan keindahan.”2 Sebagai wujud komunikasi, film dapat diihat sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Berdasarkan mazhab tersebut, film dapat dilihat dari dua hal, yakni film sebagai produksi makna dan film sebagai pertukaran makna. Sebagai produksi makna, film merupakan hasil dari proses kreatif konstruksi pesan oleh para sineas. Sedangkan sebagai pertukaran makna, merujuk pada proses dekonstruksi pesan sebagai hasil interaksi audiens dengan film yang ditontonnya. Penonton film memiliki peran yang lebih aktif dalam memaknai pesan, sehingga audiens juga memproduksi makna pesan tersebut berdasarkan pengalaman, pengetahuan, sikap, dan emosi yang dimilikinya.
2. Film Sebagai Konstruksi Realitas Sosial Media sebagai sarana untuk menyampaikan pesan memiliki sebuah kekuatan, yakni kemampuannya untuk mengkonstruksi realitas. Dengan kekuatannya ini, media memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau dirubah citranya, kemudian memindahkannya melalui replikasi citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat.3 Dengan demikian makna yang dimiliki oleh film bukan berasal dari film itu sendiri melainkan dari hubungan antara pembuat film (bisa dikatakan produsen film, bisa produser atau pun sutradara) dengan penikmat atau penonton dari film itu sendiri. Dengan kata lain, film merupakan sebuah konstuksi dari realitas.4 Film tidak hanya menampilkan ulang akan suatu gambaran realitas an sich. Ia tidak hanya merepresentasikan, merefleksikan atau sekadar cermin realitas
2
Marseli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, Jakarta, Gramedia, 1996, hal 27. John Fiske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Yogyakarta, Jalasutra, 2004, hal 9. 4 Eka Nada Shofa, Menguak Relasi Patriotisme, Revolusi dan Negara dalam Film Indonesia, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 16, No.1, April 2011, hal 63. 3
4
melainkan melakukan konstruksi pula terhadap realitas.5 Graeme Turner menyebut makna film sebagai representasi realitas berbeda dengan film sebagai refleksi realitas. Sebagai refleksi realitas, film sekedar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubahnya. Sedangkan sebagai representasi realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi kebudayaannya.6
3. Gerakan Sosial Aktivitas anti-perang John Lennon merupakan bentuk dari aksi gerakan sosial. Gerakan sosial merupakan wujud ekspresi keresahan atau ketidakpuasan sekelompok orang terhadap kondisi sosial akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Sydney Tarrow (1998), mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial, daam interaksi yang berkelanjutan denan para elit, penentang dan pemegang wewenang. Dari dua definisi ini, disimpulkan bahwa gerakan sosial merupakan gerakan kolektif yang bersifat menentang untuk mencapai tujuan kolektif pula.7 Gerakan anti-perang merupakan bentuk dari Gerakan Sosial Baru (GSB). Menurut Rajendra Singh (2010), Gerakan Sosial Baru muncul pada 1960-an dan 1970-an di Amerika dan Eropa sebagai gerakan yang beorientasi pada nilai-nilai yang bersifat universal.8 June Nash (2005), menyebutkan GSB lebih memfokuskan pada tujuan-tujuan non material, yakni perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan daripada mendorong perubahan-perubahan spesifik dalam kebijakan publik atau perubahan ekonomi, seperti yang tercermin dari gerakan lingkungan hidup, anti-perang, perdamaian, feminisme, dan sejenisnya.9
5
Eka Nada Shofa Alkhajar, Media, Masyarakat, dan Realitas Sosial, Surakarta, UNS Press, 2014, hal 15. 6 Budi Irawanto, Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia, Yogyakarta, Media Pressindo, 1999, hal 15. 7 Suharko, Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar Gerakan Petani, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 10, No. 1, Juli 2010. Hal 3. 8 Ibid. 9 Ibid., hal 6.
5
Swidler dalam artikelnya yang berjudul Cultural Power and Social Movement menyatakan untuk menganalisis permasalahan sosial, digunakan tiga dimensi kekuatan budaya yaitu sebagai berikut:10 a. Codes, merupakan semboyan, slogan-slogan dari suatau gagasan, ungkapanungkapan bahasa atau tema yang tersusun rapi dan mengandung arti untuk memobilisasi, mengorganisasi melalui penciptaan suasana hati. b. Context, meliputi hal yang menjadi latar belakang sikap dan pandangan perjuangan dalam gerakan sosial. c. Institution, merupakan perangkat, sarana, atau strategi untuk mencapai tujuan perjuangan.
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kritis. Pendekatan kritis memandang bahasa selalu terlibat dengan kekuasaan dalam membentuk subyek dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Analisis dalam paradigma kritis tidak hanya melihat bahasa semata, namun juga konteks yang menyertai teks tersebut. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengamati film “The U.S. vs. John Lennon,” kemudian melakukan seleksi dan mengumpulkan scene-scene yang didalamnya terkandung pesan-pesan anti-perang yang disampaikan oleh John Lennon. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode analisis wacana kritis Fairclough. Secara umum model analisis wacana ini menekankan bahwa untuk memperoleh pemahaman teks secara utuh, analisisnya harus diletakkan dalam sebuah konteks sosial cultural dan latar belakang aktor pembuat teks. Fairclough membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi, yaitu:11
10
Valentinus Miharso, Perjuangan hak-hak sipil di Amerika dan implikasinya pada Indonesia: membongkar pemikiran Martin Luther King dan Malcolm X, Yogyakarta, Sekolah Pasca Sarjana UGM, 2009, hal 15-23. 11 Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya Pada Wacana Media. Jakarta, Kencana, hal 19.
6
a. Text berhubungan dengan linguistik, misalnya dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat, juga koherensi dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut membentuk suatu pengertian. b. Discourse Practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. c. Social Practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks diluar teks, misalnya konteks situasi atau konteks dari media delam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu. Pada level teks, penulis akan mengamati aspek audio visual film, yakni berupa tayangan gambar, dialog, dan musik. Level discourse practice penulis mengumpulkan artikel-artikel hasil interview dengan pembuat film, yakni John Scheinfeld dan David Leaf. Selain itu penulis juga melakukan interview dengan konsumen film ini. Sedangkan level social practice, data-data dikumpulkan dari buku dan artikel-artikel dari internet yang berkaitan dengan konteks sosial politik film.
Sajian dan Analisis Data Level Teks 1. Codes a. Bed-In for Peace, seruan perdamaian dari atas ranjang John dan Yoko sadar bahwa bulan madu mereka tidak akan mendapatkan privasi. Kemanapun mereka pergi, media massa pasti selalu mengikuti. Maka alih-alih menghindari bidikan lensa wartawan, mereka secara terbuka malah mempersilahkan wartawan untuk meliput bulan madu John dan Yoko langsung di kamar hotel tempat mereka menginap. Wartawan sengaja diundang secara terbuka ke kamar hotel, bertujuan supaya Lennon dengan leluasa dapat menyampaikan pemikiran-pemikiran anti-perang Vietnam. John Lennon dan Yoko Ono kepada wartawan mengatakan, John Lennon : We’re going to stay in bed for seven days. Instead of having a private honeymoon. It’s a private protest. 7
Yoko Ono
: For the violence that’s going in the world. We feel that instead of making war, it’s better to just... let’s stay in bed.
Melalui pernyataannya itu, John dan Yoko ingin menyampaikan pesan bahwa menurut mereka berdiam diri di tempat tidur lebih baik daripada harus ikut berperang. Kedamaian layaknya berbaring santai diatas ranjang yang nyaman. Tentu hal ini lebih baik daripada saling berperang. Semua orang berdiam diri di rumah. Mungkin itulah dampak yang diinginkan dari aksi ini. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Lennon, “Bukankah itu lebih baik daripada membuat senjata dan bom Bayangkan jika tentara Amerika dan Tentara Vietnam, juga Nixon dan Mao Zedong berdiam diri di tempat tidur selama seminggu. Bayangkan jika seluruh dunia berdiam diri di ranjang. Maka akan terjadi perdamaian selama seminggu, mungkin mereka akan merasakan seperti apa rasanya. Ketegangan akan mereda.”12 b. Give Peace a Chance, sebuah hymne anti-perang Dengan sebuah keyakinan bahwa ketika dirinya masih bermusik bersama The Beatles, ribuan bahkan jutaan orang mendengarkan lagunya, bagaimana bila dirinya sekarang menciptakan sebuah lagu yang bertemakan perdamaian? Dia yakin bahwa jutaan orang itu pasti juga akan mendengarkannya. Maka terciptalah lagu ‘Give Peace a Chance” yang dinyanyikannya bersama rekan-rekannya dan direkam langsung di kamar hotel Queens Elizabeth, sebagai penutup aksi Bed-In Montreal. Lagu ini adalah lagu solo karir pertama John Lennon. Pesan yang disampaikan dalam lagu ini yaitu perdamaian hanya akan terwujud jika manusia memberikan kesempatan bagi perdamaian itu sendiri. Hal ini terdapat dalam lirik: “All we are saying is give peace a chance.” Lagu “Give Peace a Chance” ini akhirnya berhasil menjadi lagu tema anti perang Vietnam ketika dinyanyikan oleh para demonstran dalam sebuah aksi demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh David Fenton sebagai berikut, 12
Marianne Philbin, Give Peace a Chance, Chicago, Chicago Review Press, 1983, hal 11.
8
“Well, “Give Peace a Chance,” I remember photographing a million people at anti war demonstration singing it with their hands up. That song became the national anthem of the anti war movement. In a way that the folk song “We Shall Overcome” became the national anthem of the Civil Right movement before that.” c. War Is Over, If You Want It, pesan anti-perang melalui media visual Pesan anti-perang dalam poster dan billboard ini terdapat dalam kalimat “War Is Over If You Want It.” Kalimat “War Is Over” dibuat lebih besar adalah untuk “memprofokasi” pembacanya, seakan-akan poster ini adalah sebuah pengumuman resmi bahwa perang sudah benar-benar usai. Namun pada akhirnya mereka akan dibuat terkejut karena disadarkan oleh kalimat lanjutan “If You Want It” yang terdapat dalam poster ini. Kaplan (2003) secara teoritis menjelaskan sebagai berikut: “Judul poster yang mencolok ini menyatakan khayalan yang seolah-olah sudah tercapai, yaitu bahwa perang sudah berakhir (War Is Over!). Hal ini kemudian diikuti oleh seruan untuk aksi massa yang mengingatkan kepada mereka yang melihat poster ini tentang apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini, yakni “jika anda menginginkannya (mengakhiri perang).” Poster ini hanya berisi kata-kata dan berwarna hitam dan putih. Namun pesannya dapat mengejutkan siapapun yang membacanya. Walaupun sederhana, namun poster ini memiliki pesan yang kuat. “If You Want It,” mengatakan kepada kita bahwa kekuatan berada di tangan kita. Para pemimpin mencoba memberitahu kita bahwa kita tidak berdaya, bahwa kekuasan yang mereka miliki adalah milik mereka atas hak. Namun dalam poster karya John Lennon dan Yoko Ono ini, dikatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki pemerintah sebenarnya adalah kekuasaan yang diserahkan oleh rakyat.13
13
http://www.onthisdeity.com/25th-march-1969-%E2%80%93%C2%A0john-yokos-bed-in-forpeace/
9
Melalui kalimat poster tersebut, John Lennon ingin menyampaikan pesan bahwa perdamaian tidak perlu menunggu kalahnya salah satu pihak yang terlibat. Namun, berakhirnya perang tergantung pada kesadaran masing-masing pihak untuk saling menghentikan serangan. Ketika mereka menginginkannya, maka dunia yang damai, tanpa perang dapat dicapai saat itu juga. Lennon dalam film ini mengatakan, “Aku percaya selama orang menginginkan perdamaian, dan sadar bahwa mereka bisa mendapatkan perdamaian, mereka akan mendapatkannya. Masalahnya adalah mereka tidak sadar kalau mereka bisa mendapatkannya.”
d. Bring Our Boys Home, tuntut pemulangan pasukan wajib militer Pesan ini diperoleh dari pidato John Lennon dalam aksi demonstrasi National Peace for Action Coalltion (NPAC) yang digelari di Bryan Park, New York, 22 April 1972. John Lennon menentang perang Vietnam dengan menuntut penarikan pemuda-pemuda Amerika Serikat yang berperang di Vietnam. Hal ini tampak dalam statement John Lennon yang mengatakan, “It’s great that you came in the rain. I read somewhere that the war movement was over. We’re here to bring the boys home. But let’s not forget the machines. Bring the machines home. And then we’ll really get somewhere. Bring our boys home!” Dalam statement tersebut, dapat dipahami bahwa tuntutan dalam menentang perang Vietnam adalah memulangkan para tentara kembali ke negaranya (AS). Lennon menggunakan kalimat We’re here to bring the boys home dan bring our boys. Kata “the boys” dan “our boys” yang menunjuk pada wajib militer yang semuanya masih berusia muda, dan “home” yang bermakna kampung halaman mereka, yaitu Amerika Serikat. Melalui sistem wajib militer, pemuda-pemuda ini dipaksa dilibatkan dalam perang Vietnam untuk menyiasati angkatan perang Amerika Serikat yang semakin berkurang. Hal ini dicanangkan pada saat pemerintahan dipegang oleh presiden Lyndon Johnson. Tak heran banyak
10
diantara mereka yang membelot kepada pemerintah ketika mereka mendapatkan surat panggilan wajib militer. Satu-satunya cara agar perang dapat diakhiri adalah bukan dengan memenangkan pertempuran, melainkan dengan penarikan pasukan Amerika Serikat dari Vietnam.
2. Context a. Kepedulian terhadap kondisi sosial politik Amerika Serikat Kondisi politik Amerika di tahun 60-an memang sedang tidak stabil. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah nyatanya malah berbuah penolakan. Sebut saja perang Vietnam dan peraturan-peraturan yang mengatur warga kulit hitam. Selain itu kemapanan sistem kapitalis membuat kehidupan masyarakat menjadi statis. Anak-anak muda memilih berontak bahkan melawan orang tuanya untuk mencari hakikat kebebasan hidup. Kondisi inilah yang membuat Lennon menjadi ikut prihatin dan kemudian merasa terpanggil untuk turut serta menyumbang ide-ide perubahan. Hal ini seperti yang dikatakan Lennon, “You have to be more politically aware in a day and age like this. It’s almost impossible to close your eyes to it.” Hampir mustahil untuk menutup mata terhadap kondisi sosial politik Amerika pada saat itu. Hal ini menyiratkan bahwa situasi benarbenar kacau. Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah yang lebih memilih memperdulikan perjuangan menaklukkan Vietnam. b. Menggunakan tekhnik Non-Violence Action Dalam perlawanannya, John Lennon mengusung konsep nonviolent
resistance
atau
perlawanan
non-kekerasan,
seperti
yang
dicontohkan oleh Mahatma Gandhi di India dan Martin Luther King, Jr. di Amerika Serikat. Hal ini dipaparkan dengan pernyatan Yoko, “He always believed we had to go about it in the way that Gandhi did, for instance. It very effective he felt, and we could do it that way.”
11
Tekhnik perjuangan Gandhi ini adalah Non-violent. Non-violent merupakan aksi menentang suatu kekuasaan atau sistem tanpa menggunakan tindakan-tindakan anarkis. Menurut Lennon, tekhnik ini lebih efektif untuk menyampaikan pesan perlawanan daripada dengan melakukan tindakan-tindakan destruktif. Hal ini seperti yang diungkapkan Lennon, “We’re talking mainly to the revolutionaries who think they can get it overnight by breaking down the buildings. They can’t get it. We thoughts about this for months. This is the best possible most functional and effective way to promote and protesting against violence that our mind combined could to think of.” Perjuangan dengan kekerasan ternyata telah mengasingkan para pendukungnya dan memberi alasan kepada penguasa untuk menggunakan kekerasan yang lebih besar. Harapan untuk membuat kekerasan menjadi sekecil mungkin tergantung pada keberhasilan upaya mengembangkan metode perjuangan damai. Dunia ini penuh dengan konflik yang muncul dari penolakan terhadap kebebasan, hak-hak, kebutuhan dan ungkapan diri. Menanggalkan kekerasan tidak berarti menghentikan perjuangan melawan kondisi-kondisi yang tidak adil dan menindas. Metode perjuangan alternatif yang telah terbukti adalah perjuangan tanpa kekerasan (nonviolence). Perjuangan ini hanya merupakan gagasan melainkan taktik atau bahkan strategi.14 Gerakan-gerakan perlawanan yang menjunjung prinsip nonviolence pada kenyataannya berhasil menumbangkan rezim dan kebijakankebijakan yang memperlakukan rakyat dengan semena-mena. Nonviolence telah berkembang menjadi gerakan sosial dan politik yang siap membayangi penyalahgunaan kekuasan.
3. Institution
14
http://www.solopos.com/2013/01/30/gagasan-mahatma-gandhi-tak-meninggalkan-gading373524
12
Pesan anti-perang John Lennon disampaikan melalui berbagai sarana. Sarana-sarana tersebut sebenarnya merupakan media komunikasi, yakni seperti televisi, musik, poster, serta pidato. Selain itu, strategi lain yang dilakukan Lennon untuk menentang pemerintah Amerika Serikat adalah dengan menjalin hubungan dengan aktivis-aktivis lainnya.
Level Discourse Practice (Produksi dan Konsumsi) Produsen mengkonstruksikan pesan-pesan kedalam teks. Namun pada akhirnya konsumenlah yang memaknai pesan-pesan tersebut. Dalam memaknai pesan, konsumen melibatkan kerangka berfikir yang dimilikinya seperti pengalaman, pengetahuan, dan perasaan. Oleh karenanya makna yang diciptakan oleh produsen akan dimaknai bervariasi oleh konsumen. Dari segi produksi dapat dilihat bahwa film ini dibuat oleh seorang filmmaker yang memiliki idealisme tinggi dalam setiap karya film yang digarapnya. John Scheinfeld dan David Leaf selaku produsen mengatakan bahwa mereka mendapatkan inspirasi dari dirilisnya dokumen-dokumen rahasia FBI tentang upaya-upaya deportasi John Lennon. Scheinfeld dan Leaf memilih topik mengenai kasus yang menimpa John Lennon ini sebagai topik yang ingin diangkat dalam film ini. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Scheinfeld, “David Leaf dan saya adalah penggemar terbesar The Beatles. Selama bertahun-tahun kami telah membaca semua buku dan artikel, dan kami merasa kami sudah tahu segala yang perlu diketahui tentang The Beatles dan anggotannya. Jadi kami merasa sangat senang dan tertarik ketika FBI merilis file rahasia tentang John Lennon di tahun 1997. Upaya pemerintah Amerika medeportasi dan atau menaturalisasi Lennon menghantam kami sebagai cerita yang sangat sangat menarik. Kami merasa bahwa cerita itu harus disebarluaskan, dan kami berniat bahwa kamilah yang akan melakukannya.”15 Sedangkan dari sisi konsumen, penafsiran yang dilakukan oleh penonton terhadap film ini secara garis besar sama dengan yang ditangkap oleh peneliti dalam analisa teks pada bab sebelumnya. Hal ini tergambar dari tafsiran yang 15
Http://thedfg.org/news/details/313/dfg-interview-with-john-scheinfeld
13
diberikan konsumen, yang mana mereka melihat aksi-aksi John Lennon dalam menyampaikan pesan anti-perang ini adalah yang menjadi cerita utamanya. Sedangkan kasus John Lennon merupakan puncak konflik yang akhirnya mereda. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh seorang informan, “Saya melihat film ini lebih menggambarkan John Lennon sebagai aktivis anti-perang. Kalau yang diangkat Lennon ketika menjadi personel The Beatles, mungkin akan menjadi film yang biasa-biasa saja. Namun si pembuat film ini tampaknya ingin mengangkat kisah kehidupan John Lennon dari sisi yang lebih detail. Yaitu ketika dia ikut dalam gereakan anti-perang Vietnam dan melawan pemerintah Amerika. Saya kira tidak banyak yang tahu sebenarnya apa saja aksi-aksinya dalam menyuarakan perdamaian, serta pesan-pesan apa yang disampaikannya.”16. Informan lain juga melihat hal yang sama, yakni film ini menceritakan perlawanan John Lennon terhadap pemerintah Amerika Serikat. Hal ini juga dikatakan oleh informan, “Film ini menceritakan tentang bagaimana perjuangan John Lennon melawan pemerintah AS yang sedang berperang di Vietnam. Film ini menyajikan kritik dari John Lennon terhadap pemerintah AS yang berusaha melawan kekuatan komunis di Vietnam.”17 Dengan demikian film ini mengandung wacana pesan anti-perang John Lennon. Pesan ini dimaknai oleh konsumen yakni perdamaian yang sesungguhnya hanya dapat diwujudkan dengan cara-cara yang damai pula. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh informan, “Pesannya adalah bahwa kekerasan tidak akan memenangkan apapun. Perangpun demikian. Kedamaian akan selalu menang. Kendati John telah terbunuh, namun pesannya akan tetap dirasakan dan akan tumbuh John Lennon-John Lennon lainnya yang menyuarakan perdamaian untuk semesta.”18 Penafsiran konsumen terhadap makna-makna pesan anti-perang yang disampaikan John Lennon ini juga memiliki kesamaan dengan makna yang telah
16
Hasil wawancara dengan informan Hasil wawancara dengan informan 18 Hasil wawancara dengan informan 17
14
dianalisis oleh penulis. Hal ini misalnya diungkapkan oleh informan yang memaknai lagu Give Peace a Chance, “Inti dari lagu ini adalah kalimat “give peace a chance” yang diulangulang. Pengulangan inilah yang sebenarnya memiliki kekuatan besar dalam penyampaian pesan. Terlebih kalimat “give peace a chance” memiliki makna sederhana namun mendalam. Perdamaian akan terwujud jika diberi kesempatan. Namun nyatanya lebih banyak yang memberikan kesempatan pada perang.”19 Informan lain juga memberikan pendapat yang sama. menurutnya sekali perdamaian diberikan kesempatan untuk tercipta, maka segalanya juga akan ikut merasakan dampaknya, “Lagu itu mempersonifikasikan damai. Liriknya tak keras, bahkan terlampau sopan. "Berikan damai kesempatan", lirik yang penuh pengharapan. Ia memposisikan kedamaian sebagai sosok. Sosok yang bila diberi kesempatan sekali saja, akan mengubah segalanya lebih baik, menurut John.”20 Level Socioculture Keterlibatan John Lennon dalam gerakan menentang perang Vietnam tidak dapat dipandang sebelah mata. Pemerintah Amerika Serikat khawatir kehadiran Lennon dapat semakin menguatkan gelombang protes terhadap pemerintah. Lennon kemudian masuk dalam daftar orang-orang yang dianggap musuh oleh pemerintah, sehingga harus dilakukan upaya pembungkaman. Menarik untuk dilihat bagaimana tokoh seperti John Lennon mampu memaksa FBI turun tangan untuk menyingkirkannya. John Scheinfeld dan David Leaf menganggap kisah ini perlu untuk disebar luaskan kepada publik dengan mengangkatnya dalam film. Hal ini kemudian diperkuat oleh sikap pemerintah Amerika Serikat yang tidak belajar dari sejarah perang Vietnam, yakni dengan menginvasi Irak. Konstruksi pesan anti-perang John Lennon dalam film ini menunjukkan bahwa belum ada pihak yang mau memberi kesempatan untuk perdamaian.
19 20
Hasil wawancara dengan informan Hasil wawancara dengan informan
15
mereka lebih memilih jalan perang untuk menunjukkan siapa yang benar, kuat, dan berkuasa.
Kesimpulan Setelah melakukan analisis level teks, penulis menyimpulkan bahwa film he U.S. v.s. John Lennon mengandung wacana pesan anti-perang John Lennon yang disampaikan untuk menentang kebijakan perang pemerintah Amerika Serikat. Pesan-pesan yang memiliki kandungan nilai-nilai persamaan, perdamaian, dan anti kekerasan. Pada level discource practice, yakni dari segi produksi dapat dilihat bahwa film ini dibuat oleh seorang filmmaker yang memiliki idealisme tinggi dalam setiap film yang digarapnya. Nilai-nilai kebebasan berpendapat dalam demokrasi yang dijunjungnya tercermin dalam hasil karyanya ini. Sementara dari sisi konsumsi, Ini dapat diketahui dengan cara membandingkannya dengan level analisis teks yang telah dilakukan oleh peneliti. Penafsiran yang dilakukan oleh penonton terhadap film ini secara garis besar sama dengan yang ditangkap oleh peneliti dalam analisa teks pada bab sebelumnya, yakni tentang pesan antiperang John Lennon dalam menentang pemerintah Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa pesan-pesan yang disampaikan lewat film ini mampu ditangkap dengan oleh penonton. Dalam level socioculture practice, dengan melihat faktor sosial dan situasionalnya, diperoleh temuan bahwa film, khususnya film dokumenter digunakan untuk menyampaikan pesan anti-perang dan sebagai pendidikan politik.
Saran Penulis memberi saran bagi para peneliti, pesan anti-perang John Lennon sebagian besar disampaikan melalui media musik. Ada baiknya bagi penelitian yang selanjutnya untuk meneliti lagu-lagu ciptaan John Lennon tersebut agar didapatkan makna-makna pesan perdamaian yang lebih mendalam
16
Selain itu, kepada para aktivis-aktivis yang vokal terhadap kebijakan pemerintah, penulis menyarankan agar baiknya mulai mengadopsi gaya-gaya komunikasi politik Non-Violence, mengingat tidak jarang aksi-aksi protes yang terjadi di Indonesia berakhir dengan tindak anarkisme.
Daftar Pustaka Buku Alkhajar, Eka Nada Shofa. Media, Masyarakat, dan Realitas Sosial. Surakarta: UNS Press. Badara, Aris. (2012). Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya Pada Wacana Media. Jakarta: Kencana. Chapman, James. (2008). War and Film. London: Reaktion Books Fiske, John. (2004). Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Irawanto, Budi. (1999). Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo. Miharso, Valentinus. (2009). Perjuangan hak-hak sipil di Amerika dan implikasinya pada Indonesia: membongkar pemikiran Martin Luther King dan Malcolm X. Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM. Philbin, Marianne. (1983). Give Peace a Chance. Chicago: Chicago Review Press. Sumarno, Marselli. (1996). Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: Gramedia. Jurnal, dan Internet Alkhajar, Eka Nada Shofa. (2011). Menguak Relasi Patriotisme, Revolusi dan Negara dalam Film Indonesia. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 16. No.1, April 2011. Suharko. (2010). Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar Gerakan Petani. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 10 No. 1, Juli 2010. http://www.solopos.com/2013/01/30/gagasan-mahatma-gandhi-takmeninggalkan-gading-373524 http://thedfg.org/news/details/313/dfg-interview-with-john-scheinfeld http://www.onthisdeity.com/25th-march-1969-%E2%80%93%C2%A0johnyokos-bed-in-for-peace/
17