PERUBAWAN POPULASI SIMPING (Placunaplacenta, Linn, 1758) DARI UPAYA TANGKAP DI PERAIRAN KRONJO, TANGERANG, BANTEN
TETI ARTANTI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
"Perubahan Populasi Simping (Placuna placenta, Linn, 1758) dari Upaya Tangkap di Perairan Kronjo, Tangerang, Banten" adalah benar merupakan karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Dafiar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Januari 2008
Teti Arianti C24 103044
TETI ARIANTI. C24103044. Perubahan Populasi Simping (Placuna placenta, Linn, 1758) dari Upaya Tangkap di Perairan Kronjo, Tangerang, Banten. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI d m YONVITNER.
RINGKASAN Kerang simping (Planma placenta) merupaka~~ salah satu biota moluska dari kelas bivalvia yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan yang bergizi. Selain dijadikan sebagai sumber makanan, di Asia baru-baru ini dimanfaatkan sebagai bahan perhiasan dan dekorasi. Semakin meningkatnya tekanan penangkapan dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadi perubahan struktur populasi antara lain ukuran, kepadatan, dan biomassa. Untuk itu diperlukan studi untuk mengkaji perubahan S t ~ k t u rkepadatan dan biomassa populasi simping dan faktor lingkungan. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Mei 2007. Sampel kerang simping (Placzina placenta) diambil dengan alat tangkap garok pada tiga stasiun. Penetapan stasiun penelitian dilakukan secara purposive pada lokasi dengan kepadatan rendah, sedang dan tinggi berdasarkan penelitian pendahuluan. Jarak antar stasiun + 500 meter. Garok disapukan sepanjang 10 meter di setiap stasiun pengamatan. Hasil pengamatan kondisi parameter lingkungan perairan antara lain nilai kebutuhan oksigen kimiawi (COD) berkisar antara 125,33 - 190,67 mg/l, salinitas berkisar antara 29,OO - 29,67 O h , oksigen terlarut 0 0 ) berkisar antara 4,27 - 4,88 mg/l, kedalaman berkisar antara 10 - 39 cm, suhu berkisar antara 29,OO - 29,67 'C, kekeruhan berkisar antara 4,87 - 10,OO NTU,padatan tersuspensi total (TSS) berkisar antara 6,67 - 25,OO mg/l dan derajat keasaman (pH) berkisar antara 6,67 - 7,OO. Nilai-nilai parameter tersebut masib berada dalam kisaran nilai yang mendukung bagi kehidupan di perairan Kronjo. Frekuensi kerang simping (P. placenta) yang tertangkap selama penelitian berjumlah 2.856 individu, terdiri dari 2.327 (81,48%) individu mati, masingmasing 665 individu spat, 1.548 individu muda dan 114 individu dewasa. Dan 529 (18,52%) individu hidup masing-masing 382 individu spat, 147 individu muda dan individu dewasa kosong . Berdasarkan waktu pengamatan, frekuensi tertinggi pada stasiun III yang berjumlah 1.720 individu untuk individu mati masing-masing 430 individu spat, 1.187 individu muda dan 103 individu dewasa. Dari tiga stasiun pengamatan terjadi penurunan nilai biomassa pada masing-masing stasiun dan masing-masing ukuran kerang simping, kecuali di stasiun 11dan Ill pada spat mati dan stasiun II pada muda hidup. Hal ini diduga terjadi pergeseran lokasi pada saat pengambilan sampel simping, sehingga menyebabkan nilai biomassanya mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil analisis simulasi biomassa populasi simping di masing-masing stasiun, diperoleh nilai persentase simulasi penurunan biomassa tertinggi terdapat di stasiun III yaitu sebesar 37,62. Hal ini diduga karena terjadi peningkatan dalam upaya penangkapan yang akan berdampak terhadap penurunan sumberdaya (degradasi) dan dapat mengakibatkan terjadi penurunan biomassa dan kepadatannya.
PERUBAHAN POPULASI SIMPING (Placuna placenta, Linn, 1758) DARI UPAYA TANGKAP DI PERAIRAN KRONJO, TANGERANG, BANTEN
Oleh: TETI ARIANTI C24103044
SKRlPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Rmu Kelautad
DEPARTEmN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN F A m T A S PERDUNAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 200s
Judul Penelitian
: Perubaban Populasi Simping (Plcrcz~rzczplacentn,, Linn,
1758) dari Upaya Tangkap di Perairan Kronjo, Tangerang, Banteit Nama Mahasiswa
: Teti Arianti
Nomor Pokok
: C24103044
Departemen
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Disetujui
w
Pembimbing I
Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc
Mengetabui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Tanggal Lulus : 14 Januari 2008
KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul "Perubahan Popuiasi Simping (Placunaplacenta, Linn, 1758) dari Upaya Tangkap di Perairan Kronjo, Tangerang, Banten"'.
Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih
kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Bapak Yonvitner, S.Pi,
M.Si sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dm bimbingan. 2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc sebagai dosen penguji dari program studi dan Ibu IT. Nurlisa A Butet, M.Sc sebagai dosen penguji tamu yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis. 3 . Bapak Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc sebagai pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan dan motivasi selama penulis menjalani studi. 4. Kedua orang tua, seluruh keluarga serta masku yang telah memberikan
doa, motivasi, dukungan dan semangat serta kasih sayang kepada penulis dalam penyelesaian studi 5. Seluruh dosen dan staf karyawan Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan. 6. Seluruh nelayan khususnya Pak Carok dan keluarga yang telah berkenan
memberikan bantuan tenaga pada saat di lapangan. 7. Teman-teman MSP 40
khususnya "Simping Team" atas semangat,
dukungan dan kekeluargaannya. Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga hasil penelitian ini dapat bemanfaat dan berguna bagi semua pihak. Bogor, Januari 2008
DAFTAR IS1 Halaman
...................................................................................... ... DAFTAR GAMBAR ............................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. vi I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
DAFTAR TABEL
111
1.1. Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................
2
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
.....................................................................
2.1. Aspek Biologi Simping ............................................................... 2.1.1. 2.1.2. 2.1.3. 2.1.4.
. . .
Klasifikasi Slmping .......................................................... Morfologi ......................................................................... Makanan Daur Hid
2.2. Distribusi Populasi Simping ........................................................
4
4 4 4 5 6 7
2.2.1. Distribusi Geografi ..................................................... . . 2.2.2. Distnbusi Habitat .............................................................
7 7
2.3. Parameter Populasi .....................................................................
8
2.3.1. Struktur Popuiasi .............................................................. 2.3.2. Biomassa ..........................................................................
8 9
2.4. Alat Tangkap ..............................................................................
10
2.4.1. Alat Tangkap Gnrok .......................................................... 2.4.2. Intensitas dan Upaya Penangkapan ................................. 2.5. Pengaruh Faktor-faktor Fisika dan Kimia Perairan ...................... 2.5.1. 2.5.2. 2.5.3. 2.5.4. 2.5.5. 2.5.6. 2.5.7. 2.5.8. 2.5.9.
Suhu Derajat Keasaman (pH) Kekeruhan Oksigen Terlamt (Dissolved Oxyge~z-DO)......................... Salinitas ........................................................................... Substrat ............................................................................ Kedalainan Padatan Te Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Denzarzd COD ................................................................................
10 12 13
I11. METODE PENELITLAN
...................................................................
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
..
3.2. Bahan dan Alat Penelitian ........................................................... 3.3. Metode Kerja .... ............. ...
............. ............. .. ... ... ... ...... .
3.3.1. Penentuan Stasiun Penelitian 3.3.2. Pengambilan Contoh Simping .......................................... 3.3.3. Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan .. .... ............ 3.4. Analisa Data ... ............................ .................... ... ....... .. ......... ....... 3.4.1. 3.4.2. 3.4.3. 3.4.4. 3.4.5.
Analisa Deskriptif Kualitas Air ........................................ Kepadatan Populasi Biomassa Populasi ... ..... .......................... ......... .... ............ Kemampuan Penangkapan (Catchability Coefficient - q). .. Rasio Berat Cangkang Kosong dan Isi ........................ ...... .
IV. HASlL DAN PEMBAHASAN
...........................................................
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian .............................................. 4.2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan 4.2.1. Kedalaman 4.2.4. Padatan Tersuspensi Total (Total SzispendedSolid-TSS) ................,.,...
4.2.7. Salinitas 4.2.8. Kebutuh Demand - COD) ............................................................. 4.2.9. Tipe Substrat (Fraksi Sedimen) ...................................... 4.2.10. Hubungan Substrat dengan Kepadatan Rata-rata Simping (P. placenta) 4.3. Parameter Biologi Perairan 4.3.1. Komposisi Hasil Tangkapan Simping (P.plmenta) Berdasarkan Ukuran 4.3.2. Kepadatan Rata-rata 4.3.3. Rasio Cangkang Kosong dan Isi Kerang Simping (P. placenta) .................. ... ................................ ............. 4.3.4. Biomassa Populasi Simping (P. placenta) ........................ 4.3.5. Simulasi Bioinassa Populasi Siinping (P. placenta) ........ .. 4.3.6. Kemampuan Penangkapan (Catchability Coefficient - q ) simping (P. placenta)
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
............................................................
5.1. Kesimpulan ...... ........... ... ... ...... ...... ........................................... .. 5.2. Saran .. ....................................................................................... .
.............................................................................. LAREIRAN .......................................................................................... RZWAYAT HIDUP .................................................................................... DAFTAR PUSTAKA
55 58
74
DAFTAR TABEL
1. Pertumbuhan larva P. placenta ................................................................
7
2 . Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ...................................
14
3 . Kategori ukuran partikel substrat .............................................................
16
4 . Analisis Parameter Kualitas Air ..............................................................
21
5. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika-kimia di semua stasiun pengamatan .............................................................................................
26
6 . Tipe substrat (fraksi sedimen) di perairan Kronjo selama pengamatan .....
33
7. Nilai koefisien tangkap (q) simping pada semua stasiun pengamatan .......
51
8. Nilai koefisien tangkap (q) total simping pada semua stasiun pengamatan ..............................................................................................
51
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1. Skema pendekatan masalah ...................................................................
.
.
2. Stmping (P. placeilia) ...........................................................................
3. Daur hidup Scallop 4. Jenis alat tangkap dasar populasi benthik
5. Peta Lokasi Stasiun Pengambilan Contoh ..............................................
6. Ilustrasi pengambilan sampel ............................................................... 7. Nilai kedalaman di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan .........
8. Nilai suhu di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan .................. 9. Nilai kekeruhan di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan
10. Nilai TSS di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan ........ 11. Nilai pH di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan ..................... 12. Kandungan oksigen terlarut di perairan Kronjo di semua stasiun selama pengamatan ........................................................................................... 13. Nilai satinitas di perairan Kronjo di semua stasiun selama pengamatan 14. Nilai COD di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan
15. Tipe substrat (fraksi sedimen) di perairan Kronjo selama pengamatan 16. Hubungan tipe substrat dengan kepadatan di masing-masing stasiun pengamatan ..................................................................................... 17. Jumlah Simping (P. placenta) yang tertangkap berdasarkan ukuran di stasiun pengamatan ......................................................................... 18. Kepadatan Simping (P. placenta) berdasarkan ukuran di stasiun pengamatan .............................................................................. 19. Rasio berat cangkang kosong dan cangkang isi simping (P. Placertta) pada semua stasiun pengamatan .......................................................... 20. Biomassa populasi simping (P. placerzta) yang tertangkap berdasarkan ukuran di masing-masing stasiun ..........................................................
21. Biomassa populasi simping (P. placenta) yang tertangkap berdasarkan ukuran di masing-masing stasiun .......................................................... 22. Biomassa populasi simping (P.placenta) yang tertangkap berdasarkan
ukuran di masing-masing stasiun ........................................................... 23. Biomassa populasi simping (P.placenta) yang tertangkap berdasarkan ukuran di masing-masing stasiun ...........................................................
24 . Biomassa populasi simping (P. plucen~a)yang tertangkap berdasarkan ukuran di masing-masing stasiun ..........................................................
46
25 . Simulasi biomassa populasi simping (P.placenta) yang tertangkap berdasarkan stasiun pengamatan ...........................................................
48
26 . Simulasi biomassa populasi simping (P. placenta) yang tertangkap berdasarkan stasiun pengamatan ............................................................
49
27 . Jumlah biota selain simping (P. place~zta)yang tertangkap di semua stasiun pengamatan .............................................................................
52
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Data lengkap jumlah simping matithidup pada pengamatan Buian Mei 2007 ......................................................................................................
59
2. Data lengkap parameter fisika kimia Perairan Kronjo pengamatan Bulan Mei 2007 ................................................................................................
61
3. Data lengkap biomasssa populasi simping pengamatan Bulan Mei 2007 .....................................................................................................
62
4. Rasio berat cangkang kosong dan isi kerang simping (P.placenta) di semua stasiun pengamatan ...................................................................
66
5. Uji Chi-square terhadap rasio berat kerang simping (P.placenta) di perairan Kronjo, Tangerang, Banten .......................................................
67
6. 3umlah biota yang tertangkap selain simping (P. placertta) oleh 'garok' pada pengamatan bulan Mei 2007 ..........................................................
70
7. Beberapa foto stasiun pengambilan sampel di perairan Kronjo ...............
71
8. Beberapa foto alat-alat yang digunakan pada saat penelitian ...................
72
9. Beberapa foto sampel simping yang didapatkan di perairan Kronjo ........
73
1.1. Latar Belakang Jenis kerang-kerangan merupakan biota yang memiliki prospek cerah dalam perikanan laut selain udang dan ikan.
Selain dimanfaatkan untuk
kebutuhan dalam negeri kerang dapat menjadi ko~noditasekspor. Pemanfaatan secara optimal dapat memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan nlasyarakat maupun bagi daerah (Napitupulu, 2003).
Diantara kekerangan
tersebut adalah jenis simping (Placunaplacenta)dari kelompok pelecypoda. Simping (P. placenta) yang merupakan salah satu biota dari kelas bivalvia, dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan yang bergizi.
Selain
dijadikan sebagai sumber makanan, di Asia baru-baru ini dimanfaatkan sebagai bahan perhiasan dan dekorasi (Dharmaraj el a]., 2004 in www.malacsoc.or~.uk,
2006). Bagian yang dijadikan sebagai perhiasan adalah cangkang. Keberadaan penangkapan.
populasi
simping
menunjukkan
penuruilan
karena
Karena tingkat eksploitasi yang terjadi diperkirakan melebihi
kema~npuan daya pulih dan pertumbuhan, reproduksi
dan reknutment.
Perubaha~lyang paling sering dia~natimerupakan indikator biolog populasi diantaranya perubahan ukuran, pertumbuhan panjang, biomassa, kema~npuandan potensi reproduksi, dan mortalitas. Dapat dikatakan kegiatan penangkapan telah menyebabkan terjadnya penurunan populasi simping secara drastis. Makin tinggi intensitas pe~~angkapan, maka junlah populasi dewasa, populasi matang gonad dan biomassa dari populasi itu sendiri akan makin cepat menurun. Sebaliknya jika intensitas penangkapan dikurangi dan atau dibatasi, maka populasi simping akan tetap terjaga. Sediaan populasi simping sangat dipengaruhi oleh intensitas eksploitasi yang kemudian mnempenganhi struktur sumberdaya simping termasuk struktu kepadatan dan biomassa sinlping tersebut. Guna mengkaji perubahan struktur kepadatan dan biomassa populasi siinping dan keterkaifan faktor lingkungan terhadap struktur kepadatan dan biomassa populasi simping di perairan Kronjo perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat degdasi biomasa simping di perairan Kronjo tersebut agar populasi kerang ini tetap terjaga.
1.2. Perurnusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dimmuskan permasalahan yaitu kelestarian kerang simping (P. plucentu) yang ten~smenerus menurun yang diakibatkan oleh beberapa faktor seperti penganth dari penangkapan eksploratif, kemampuan perkembangan kerang simping yang lambat, clan juga kerang tersebut dijadikan sumber ekonomi (mata pencaharian) masyarakat sekitar (nelayan). Selain dimanfaatkan sebagai surnber ekonomi, biota ini dimanfaatkan sebagai hiasan. Pemanfaatan kerang ini didapatkan dari hasil tangkapan yang berasal dari alam (perairan) dan belum dibudidayakan (Gambar 1).
9 "Selected area"
+---
-1
Faktor lin&ngan pennngltnpan
kepndatnn rtln
kekden,solinitas
Jumlsh prduksi Status biomass8
Gambar 1. Skema pendekatan masalah Semakin meningkatnya tekanan penangkapan dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya perubahan biomassa dan perubahan struktur populasi seperti ~~kuran dan kepadatan. Oleh karena itt~diperlttkan studi untuk mengkaji perubahan struktur kepadatan dan informasi kepadatan biomassa populasi simping, biomassa populasi simping dan faktor lingkungan di perairan tersebut dibutuhkan dalam upaya pengembangan untuk masa yang akan datang.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian yang berlangsung di perairan Kronjo ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Komposisi hasil tangkapan dan kepadatan rata-rata populasi sinlping
2. Biomassa dan simulasi biomassa populasi simping 3. Keterkaitan antara komposisi hasil tangkapan dan kepadatan rata-rata populasi simping dengan kualitas perairan Kronjo Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dasar dalam pengelolaan dan pengembangan surnberdaya simping di perairan Kronjo bagi pengambil kebijakan (pemerintah) pada khususnya dm dalam studi kelayakan bagi nelayan dan industri perikanan pada wnumnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Simping 2.1.1. Klasifikasi Simping Menurut Swennen (2001) taksonomi simping adalah sebagai berikut (Gambar 2): Filum
: Moluska
Kelas
: Bivalvia
Subkelas
: Pteriomorphia
Ordo
: Ostreoida
Famili
: Placunidae
Genus
: Placuna
Species
: Placunaplacenln, Linnaeus (1758)
Placzina placenta dikenal juga dengan 'window pane shell'. Beberapa daerah dl Indonesia dikenal sebagai simping (Jawa Barat) dan simping (Jawa Tengah).
Gambar 2. Simping (P. placenta) Sumber: Dokumentasi Pribadi (2007) 2.1.2. Morfologi Menurut Swennen (2001) panjang maksimal simping mencapai sekitar 140 mm, kedua cangkangnya datar, dan bentuk cangkang hampir bundar. Kerang
yang berumur muda bercangkang tipis dan transparan, sedangkan kerang yang berumur tua bercangkang tebal dan benvanla seperti pelangi. Ligamen internal memiliki struktur bentuk V yang terletak diatas dekat umbo. membentuk sudut 40
-
Bentuk V
60". Wamanya memudar, tetapi kerang yang benunur
muda agak ungu pada bagian valve paling atas (Swennen, 2001).
Simping
a rata dengan memiliki ukuran cangkang sedang sampai besar. K e d ~ ~cangkang radial luas dan berbentuk lipatan, radial rib berselang-seling dengan commarginal, garis pertumbuhannya ditunjukkan oleh lamellae atau plicae.
Cangkang kerang bundar, bergaris-garis, equivalve, dan compress. Valve sama tebal d m umbo biasanya terletak di tepi atau marginal. Ligarnen internal sebagai penahan berbentuk V yang terletak diatas valve sebelah kanan. Ligamen primer hanya befingsi untuk membuka mendorong valve (Anonymous, 1998). Valve di bagian luar benvama keputih-putihan, sedangkan bagian dalam
bemarna ungu, dengan dua bagian yang sempit, memiliki bermacam-macam g i a (hinge) seperti huruf V terbalik yang terletak pada bagian atas sebelah kanan.
Mereka melnpunyai kaki yang digunakan untuk mencegah lumpur masuk ke insang dan organ lain dibandingkan untuk pergerakan (Allan, 1962). 2.1.3. Makanan
Seperti bivalvia umumnya, P. placenta merupakan hewan jilter feeder dengan makanan utsuna plankton dan detritus organik. Ketika berada dalarn air, P. Placenta akan sedikit membuka cangkangnya untuk melakukan makan dan
respirasi kemudian arus air akan mengalir lnelalui cangkang dan partikel makanan disaring dengan menggunakan insangnya yang besar. Ketika pada pasang surut terendah, katupnya menutup (Young, 1980 in Dharmaraj, 2004).
Beberapa
spesies lain menggunakan siphon untuk inengambil partikel makanail seperti bakteri dan protozoa yang berada di permukaan sediinen. Makanan yang masuk melalui mulut (insang bersilia), dicema satu persatt~dengan bantuan sekresi enzim (Swennen, 2001).
2.1.4. Daur Hidup Simping
Simping pada saat larva bersifat planktonik kemudian pediveliger, lnasih dalam bentuk plankton, mengalami metanlorfosis menjadi bentuk dewasa. Fertilisasi tejadi secara ekstemal dimana sperma dan telur dilepaskan ke perairan (Helm and Bourne, 2004) (Gambar 3). Menurut Allan (1962) larva menempel sampai berukuran 2 cm dengan bantuan alat penempelan yang disebut byssus. Setelah melebihi ukuran ini lnaka kerang muda tadi akan jatuh ke dasar perairan, inenempel pada substrat berupa batu dan karang dan hidup sainpai dewasa. Hal ini karena fungsi byssus sebagai penempel mulai berkurang.
Turnbuh Dewasa
Juvenll Awal
Stadia Akhir
Gambar 3. Daur hidup Scallop Sumber : Helm and Bourne (2004) Spat scallop inenetap didasar perairan, pediveliger berkembang dan
memiliki bysszrs yang tebal dan kuat dan bergerak sangat lambat.
Spat
menggabungkan diri dengan pecahan cangkang dan material padat di dasar perairan.
Tingkah laku ini munglan dilakukan untuk melindungi spat dari
predator epibenthik seperti kepiting (Culliney, 1974 in Mullen and JR. Moring, 1986). Menurut Dow (1969) in Mullen and JR. Moring (1986) spat atau juvenil berukuran lebih besar dari 10 mm panjangnya, berada di substrat sebagai
epibellthlk dan menempatkan &ri di dasar perairan. Spat atau juveilil tinggi cangkangnya berukuran 20 - 30 mm (Bourne, 2000 in Christophersen, 2005). Di Eropa spat atau juvenil umumnya tumbuh dari ukuran tingg cangkang kira-kira 2
mm hingga ukuran 15 - 20 mm (Millican, 1997; Dao et al., 1999; Bergh and Strand, 2001 in Christophersen, 2005). Menurut Dharmaraj (2004) pertumbuhan dari telur spat menjadi larva pada suhu 28 - 30 'C dan salinitas 34,6 - 35,2 ppt, tergolong sangat cepat yaitu selama 10 hari. Setelah 10 hari telur spat mulai menetas (Tabel 1). Tabel 1. Pertulnbuhan larva P. placenta
Sumber : Dharmaraj (2004) 2.2. Distribusi Populasi Simpiug
2.2.1. Distribusi Geografi Genus P. placenta memiliki distribusi geografi terbatas dl perairan tropis dan terutama wnumnya disekitar Pulau Filipina (Allan, 1962). Selain itu silnpiilg ini berlimpah di Teluk Thailand dan Teluk Pattani (Swennen, 2001). Di Indonesia terdapat di Tuban, Gresik, Banten, dan Pulau Seribu. Untuk kawasan lain juga ditenlukan tetapi dalam jumlah yang terbatas.
2.2.2. Distribusi Habitat Kerang mempakan organisme yang dominan di ekosistem lithoral (wilayah pasang surut) d m sub lithoral yang dangkal, termasuk pantai berbatu di perairan terbuka maupun estuaria (Setyobudiandi, 2000).
Mereka hidup di
perairan dangkal dengan kedalainan 50 meter, tetapi ada juga yang hidup pada kedalaman inaksimwn 80 meter. Di daerah estuaria ada juga yang diteinukan
pada kedalaman 1 - 2 meter pada saat air pasang atau air sumt terendah (Swennen, 2001).
P. placenta hidup di daerah dengan substrat berlwnpur atau berpasir di perairan
dangkal.
Kerang
ini
terdapat
di
teluk
dan
estuaria
(www.ma1acsoc.ore.uk). Tetapi dari hasil penelitian pendahuluan di ketahui bahwa hstribusi kerang simping banyak ditemukan di perairan dekat pantai.
2.3. Parameter Populasi 2.3.1. Struktur Populasi Populasi didefinisikan sebagai kelompok koiektif organisme-organisme dari spesies yang sama yang menduduki ruang atau telnpat tertentu, melnililu berbagai ciri atau sifat yang unik dari kelompok itu (Odum, 1971). Beberapa sifat itu adalah kepadatan, natalitas (laju kelahiran), mortalitas (laju kematian), penyebaran umur, potensi biotik, dispersi dan bentuk pertumbuhan.
Dalam
menganalisis populasi di perairau tidak akan terlepas dari perairan itu sendiri sebagai ekosisteni dengan komponen-komponennya yang membentuk ekosistem itu yang terdiri dari unit biologi dan unit benda inati di sekelilingnya. Menurut Krebs (1972) kepadatan diberi batasan sebagai ju~nlahper unit area. Kepadatan populasi suatu habitat tertentu dipengaruhi oleh imigrasi dan natalitas yang memberi penambahan jumlah kepada populasi.
Sedangkan emigrasi dan
mortalitas yaitu pengurangan jumlah dari populasi. Setiap populasi mempunyai struktur atau penyusunan individu yang dikenal dengan pola distribusi. Pola hstribusi individu dalan populasi dapat terbagi menurut tiga pola yaitu acak, seragam, dan mengelompok. Penyebaran secara acak relatif jarang di alam.
Penyebaran seragam dapat terjadi jika
persaingan diantara individu sangat keras dan terdapat antagonisme positif yang mendorong pembagian ruang yang sama (Odum, 1971).
Effendie (1997)
menyatakan bahwa pola distribusi merupakan hasil dari seluruh jawaban tingkah laku individu-individu di dalam populasi terhadap kondisi lingkungan disekitamya.
Jika kondisi berflukh~asi, maka ada kecenderungan populasi
tersebut akan mengelompok.
Menurut Effendie (1997) natalitas dan mortalitas yang terjadi pada populasi menghasilkan suatu set kelompok umur. Antara satu kelompok dengan kelompok lain jurnlahnya tidak sama. Struktur umur populasi yang ada dalam perairan itu, tergantung kepada mortalitas masing-masing kohort. Dalam populasi yang stabil proporsi tiap kelompok umur pada suatu saat adalah sama dengan proporsi masing-masing yang menunjukan umur dalam kehidupan kohort. Kepadatan populasi dipengaruhi oleh aktivitas penangkapan. Aktivitas penangkapan akan berpengaruh terhadap besar kecilnya ukuran dan jumlah populasi di alam (Faizah, 2001). 2.3.2. Biomassa Biomassa umxunnya diartikan sebagai banyaknya zat hidup per satuan luas atau per volume pada suatu saat tertentu. Istilah stunding stock dan standing crop sering pula digunakan untuk menyatakan kuantitas dala~n ha1 mempunyai pengertian yang sama dengan biomassa (Wetzel, 1975). Dalam kenyataannya banyak ditemui kesulitan untuk menentukan biomassa ini.
Diantaranya, satuan apa yang hams digunakan.
Tak ada
pembakuan menyebabkan timbulnya berbagai satttan yang dilaporkan dalam berbagai pustaka hingga
sering menyulitkan
untuk
menafsirkan atau
n~embandingkandata yang didasarkan pada pendekatan atau satuan yang berbeda. Beberapa metode pendekatan untuk penentuan biomassa dapat dilakukan, yaitu antara lain dengan pencacahan sel, pengukuran volume, berat bersih, berat kering, kandungan karbon, klorofil, dan ATP (adenosin triphosphate). Tampaknya tidak satupun metode yang dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan dengan lainnya. Tiap metode mempunyai kelebihan dan kelemahan hingga sulit untuk inenlbuat pembakuan metode penentuan biomassa ini (Lund and Talling, 1957; Strickland, 1960; Westlake, 1965b; Vollenweider, 1969b; Edmonson and Winberg, 1971; Stein, 1973 in Wetzel, 1975). Menurut Wetzel (1975) pendekatan dengan metode berat terbagi atas berat segar dan berat kering. Berat segar adalah berat atau beban dari organisma tanpa air penganut, setara dengan berat basah dengan tindakan pendekatan yang sesuai. Oleh karena berhubungan dengan hampir semua organisme yang memiliki
kandungan air maka berat basah adalah suatu ukuran yang hhindari.
Jika
tindakan pencegahan rumit diambil, maka analisa berat basah dapat dikonversi ke berat kering pada suatu dasar spesies dari lingkungan tertentu . Berat kering adalah variabel pada temperatur d~bawah 105 OC. Walaupun berat kering dipergunakan secara luas didalan analisa produksi, berat kering organik, layak ditentukan di (dalam) kebanyakan situasi karena umumnya akan kehilangan berat setelah pengapian pada 550 OC. Penentuan biomassa antar organisme lebih besar, lebih disukai secara umum karena kesukaran dalam pemisahan bakteri, ganggang, dan jasad renik kecil lain dan hanya meinbatasi aplikasinya kepada organisme yang lebih besar (Wetzel, 1975). Berbagai faktor lingkungan dapat mempenganh besarnya biomassa, produktivitas primer maupun struktur koinunitas kerang simping, baik faktor yang bersifat memacu (misalnya hara mineral) maupun yang menghainbat (misalnya berbagai zat pencemar). Faktor-faktor lingkungan perairan berupa faktor fisikakiinia bersifat sangat dinamis. Perubahan-perubahan musiin sangat berpengaruh pada lingkungan fisika-kimia. Deinikian pula inasukan berbagai zat dari darat antara lain limbah perkotaan, industri atau pertanian. Perubahan lingkungan fisika-lamia ini selanjutnya akan mempengaruhi penampilan biota perairan (Nontji, 1984).
2.4. Alat Tangkap 2.4.1. Alat Tangkap Garok Brandt (1972) menerangkan bahwa alat tangkap seperti garok dapat dimasukkan kedalam kelas dredge gear, yaitu suatu jenis alat tangkap yang cara pengoperasiannya ditarik secara aktif menyusuri suatu area perairan tertentu.
Dredge uinumnya digunakan untuk lnengambil kerang dari dasar perairan dengan cara menarik alat tangkap tersebut untuk menggaruk kerang yang nantinya ditampung ke dalam sebuah kantong sebeluin diangkat ke perahu untuk diambil hasilnya (Sainsbury, 1986). Dredge yang mempunyai struktur tali temali juga mengeruk dasar laut lebih dalain untuk mencari moluska, crustacea, ikan, dan lainya (Fridman, 1986).
Brandt (1972) inenyatakan bahwa dredge gear dapat dibedakan inenjadi tiga golongan besar yaitu (Gambar 4): 1. Hand dredge atau hand-operated scratcher, yaitu jenis dredge yang dalam
operasi penangkapannya dilakukan dengan menggunakan tangan atau tenaga inanusia. 2. Boat dredge, yaitu jenis dredge gear yang dalan operasi penangkapannya dilakukan dengan menggunakan perahu.
3. Trawl tennasuk beam trawling, yaitu jenis dredge yang dalam operasi penangkapannya menggunakan kapal dan pada umuinnya truwl mempunyai ukuran yang besar dan konstruksi jaringannya sudah dilengkapi dengan pembuka mulut (otter hoard) serta sayap, uinumnya digunakan untuk inenangkap ikan demersal dan udang dari bermacainmacam spesies.
Hand dredge
Garok
Gambar 4. Jenis alat tangkap dasar populasi benthik Surnber : Brandt (1972) Einpat karakter alat tangkap kerang yang ada di Indonesia umumnya memiliki kesamaan dalam teknik pengoperasiannya tetapi berbeda daliun ha1 penamaan disetiap daerah. Menurut Hidayati (1994), terdapat berbagai macam alat tangkap kerang dan alat bantu yang diantaranya adalah: 1. Garok Menyerupai kantong yang bagian mulutnya diberi bingkai yang terbuat dari besi berbentuk segitiga sama sisi. Bagian bawahnya diberi gigi-gigi dari besi
(gig garok). Operasi penangkapan dilakukan pada kedalaman 3 - 6 meter dari atas perahu dengan alat bantu semacam gardan (alat penggulung tali). 2. Garok Panggul
Prinsipnya sama dengan garok hanya ukurannya lebih kecil dan dilengkapi dengan tangkai ba~nbuyang panjangnya sekitar 4 - 5 meter. Alat ini biasanya digunakan pada kedalaman 3 - 5 meter dengan perahu. Alat ini dioperasikan di perairan Panimbang dan Bondet, Cirebon. 3. Tangguk atau Raga
Alat ini terbuat dari anyaman kawat berbentuk setengah lingkaran. Kelebihan alat ini dibandingkan alat-alat yang telah dijelaskan sebelunnya adalah kerang dapat langsung dibersihkan di dalam alat.
4. Campalan Alat ini merupakan alat bantu untuk melakukan pemanfaatan kerang darah, berbentuk hampir empat persegi panjang dengan dasar rata, terbuat dari kayu tipis dan ringan serta tidak mudah pecah. Kerangka terbuat dari kayu pulantan (Och~omasp) dengan ukuran panjang 2,5 meter; lebar 0,75 meter; dan dalarn 0,l meter. Jumlah campalan sama dengan jumlah awak perahu. Fungsi dari campalan untuk penahan tubuh nelayan agar tidak terbena~ndala~nlu~npur ketika dioperasikan. Setibanya di lokasi penangkapan perahu ditambatkan pada tonggak yang telah ditancap sebelumnya, apabila air laut telah surut lnaka kegiatan penangkapan dapat dilakukan.
2.4.2. Intensitas dan Upaya Penangkapan Intensitas penangkapan adalah jumlah penangkapan dala~nsatu satuan waktu baik dalam jangka waktu jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Intensitas peilangkapan secara umum berbanding lurus dengan penurunan stok simping. Makin tinggi penangkapan, maka sediaan simping akan makin cepat menurun, begitu juga sebaliknya jika intensitas penangkapan dilnuangi dan atau dibatasi, maka stok akan tetap terjaga. Sediaan stok sangat dipengaruhi oleh intensitas eksploitasi yang kemudian mempengaruhi struktur sumberdaya simping tersebut. Miller et al., (1973) in Bahtiar (2005) menyatakan bahwa apabila suatu populasi bentik yang tereskploitasi, pemulihan stok baru tergantung pada jumlah
induk yang menghasilkan telur atau tepat menyamai ketersediaan populasi induk yang menghasilkan telur dan upaya penangkapan yang dilakukan. Bila upaya penangkapan begitu besar atau tepat menyamai ketersediaan populasi induk yang tersedia maka populasi ini akan mengalami penurunan secara terus menems dan pada tingkat tertentu organisme ini akan mengalami kepunahan, sedangkan bila ketersediaan populasi induk lebih besar sedang yang tertangkap dalam jumlah yang kecil maka akan memberikan kesempatan kepada penainbahan individu bam untuk tumbuh menjadi dewasa. Suatu tingkat pemanfaatan yang optimal adalah tingkat peinanfaatan dimana juinlah populasi yang ditangkap sebanding dengan tambahan jumlahkepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami (Parson et al., 1993 in Bahtiar, 2005).
2.5. Pengaruh Faktor-faktor Fisika dan Kimia Perairan Faktor fisika kiinia perairan yang sering berpengaruh bagi kehidupan gastropods dan bivalvia antara lain, suhu, derajat keasaman (pH), kekeruhan,
oksigen terlarut, salinitas dan kondisi substrat. 2.5.1 Suhu
Suhu meinpunyai pengaruh yang besar terhadap ekosistem pantai (Clark, 1974 in Alfitriatussulus, 2003). Keanekaragaman jenis dan keadaan seluruh
kehidupan pantai cendemng bervariasi dengan berubahnya suhu. Distribusi suhu di perairan estuari sehagian besar dipengaruhi oleh kedalaman yang merupakan efek masukan air dari sungai dan pengaruh pentbahan pasang sun~t. Pengaruh suhu ini dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dapat terjadi pada proses metabolisme, distribusi dan kelimpahan beberapa jenis, sedangkan secara tidak langsung terjadl pada proses kematian organisme akibat kehabisan air yang disebabkan oleh meningkatnya suhu di perairan (Nybakken, 1992). Di perairan estuari terjadi dinamika suhu yang kompleks dimana kisaran salinitas di perairan payau sekitar 0960 sampai 25960 atau lebih, konsentrasi dari garatn terlarut meningkat maka suhu di perairan inengalami penurunan (Reid, 1961 in Alfitriatussulus, 2003). Suhu di estuari dipengaruhi ole11 suhu air tawar,
masukan dari sungai dan air laut serta pengaruh dari pasang surut.
2.5.2. Derajat keasaman (pH) Effendi (2003) menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7,O
-
8,5.
Tabel 2
mengemukakan pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan. Tabel 2. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan Nilai pH
Pengaruh Umum
6,O-6,5
1. Keanekaragaman plankton dan benthos inengalami sedikit penurunan
5,5-6,O
II
2.
Kelimpahan total, biomass dan produktivitas mengalami perubahan
1.
Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan benthos semakin tampak
2.
Kelimpahan total, biomass dan produktivitas inasih belum mengalami perubahan yang berarti
1 3. 5,O-5,5
Algae hijau berfilamen mulai nampak pada zona litoral
-
I
1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan benthos semakin besar 2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan benthos semakin besar 3. Algae hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses nitrifikasi terhambat I
1. Penurunan keanekargalnan dan komposisi jenis plankton, perifiton dan benthos seinakin besar
4,5-5,O
2. Penunman kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan benthos selnakin besar
I
1 3.
Algae hijau berfilamen semakin banyak
4. Proses nitrifikasi terhambat
1
Suinber : Modifikasi Barker et al., (1990) in Novotny and Olem (1994)
2.5.3. Kekeruhan Kekeruhan menggainbarkan sifat optik air yang dtentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 in Effendi, 2003).
Menurut Lloyd (1985) in Effendi (2003) peningkatan nilai
kekeruhan pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25 NTU dapat meilgurangi 13% - 50% produktivitas primer. Menurut Ewusie (1980) in Alfitriatussulus (2003) kekeruhan it^^ penting daxi s e g biologi. Karena melibatkan jugs bahan terlarut dan sebagai perangkap zat inakanan terbentuk, dimaila kadar garam anorganiknya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di lautan bebas ataupun sungai yang mengalir masuk. 2.5.4. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen-DO)
Kandungan oksigen terlarut mempenganihi keanekaragaman organisme dalam suatu ekosistein perairan. Perairan dengan kandungan oksigen yang cukup stabil akan memiliki jumlah spesies yang lebih banyak. Pada suatu area diinana kandungan oksigen terlarutnya sebesar 1,O - 2,O ppm maka organisme moluska masih dapat bertahan hidup karena mereka mampu beradaptasi pada kandungan oksigen yang rendah, seperti halnya bivalvia dari famili Ostreidae. Pada pasang surut, mereka akan menutup cangkang dan inelakukan respirasi anaerob, karena kandungan oksigen yang rendah (Aksornkoae, 1993 in Alfitriatussulus, 2003). 2.5.5. Salinitas
Nontji (1987) mendefinisikan salinitas sebagai jumlah berat semua garam (gram) yang terlarut dalanl satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan permil atau gram permil. Fluktuasi salinitas di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal, yaitu hujan yang lebat dan penguapan yang besar. Aktivitas inanusia dapat meningkatkan salinitas tenrtama di daerah pesisir dekat lnuara sungai. Salinitas m e ~ p a k a n salah satu faktor yang berpengamh terhadap organisme dalam ineinpertahankan tekanan osmotik antara protoplasma organisme dengan air
sebagai lingkungan hidupnya
(Effendi, 2003).
Keanekaragaman dan jumlah spesies organisme perairan mencapai maksimum pada perairan samudera dengan kisaran 30,OO
-
40,00%0. Menurut Effendi
(2003) nilai salinitas perairan tawar biasanya < 0,5%0,payau 0,5 - 30,00%0 dan perairan laut 30,OO - 40,00%0. Shumway (1991) melaporkan bahwa siinping ineinpunyai toleransi yang luas terhadap salinitas, yaitu dari 10 sampai 38%0.
2.5.6. Substrat
Jenis substrat sangat menentukan kepadatan dan komposisi hewan benthos. Substrat itu sendiri didefinisikan sebagai campuran dari fraksi lumpur, pasir dan liat dalan tanah (Brower et al., 1990). Odum (1971) menjelaskan bahwa di perairan yang arusnya kuat, lebih banyak diteinukan substrat yang kasar (pasir atau kerikil), karena partikel kecil akan terbawa ke tempat yang lebih akibat aktivitas arus dan gelombang, sedangkan partikel besarnya akan mengendap. Nybaklcen (1992) rnenyebutkan bahwa tipe substrat berpasir dibagi inenjadi dua, yaitu tipe substrat berpasir halus dan tipe substrat berpasir kasar. Tipe substrat berpasir kasar memiliki laju pertukaran air yang cepat dan kandungan bahan organik yang rendah, sehingga oksigen terlarut selalu tersedia, proses dekomposisi di substrat dapat berlar~gsungsecara aerob serta terhindar dari keadaan toksik. Sementara itu, tipe substrat berpasir halus kurang baik untuk pertumbuhan organisrne perairan, karena memiliki pertukaran air yang lambat dan dapat inenyebabkan keadaan anoksik, sehingga proses dekomposisi yang berlangsw~gdi substrat pada kedalaman anaerob, dapat meninlbulkan bau serta perairan yang tercemar (Tabel 3). Tabel 3. Kategori ukuran partikel substrat Kategori Liat (Clay)
Diameter Partikel (inm)
< 0,002
Debd Lumpur (Silt)
0,002 - 0,050
Pasir sangat halus (Very kindsand)
0,050 - 0,100
Pasir halus (Fine sand)
0,100 - 0,250
Pasir sedang (Medium sand)
0,250 - 0,500
Pasir kasar (Course sand)
0,500 - 1,000
Pasir sangat kasar (Very coarse sand)
1,000 - 2,000
Sumber : Soil Survey Staff (1951) in Brower et al., (1990) Drscoll and Brandon (1973) in Prakni (2005) menyatakan bahwa distribusi dan kelirnpahan jenis moluska dipengaruhi oleh diameter rata-rata butiran sedimen, kandungan debu, dan liat, adanya cangkang-cangkang organisme yang telah mati clan kestabilan substrat. Kestabilan substrat dipengaruhi oleh
penangkapan kerang secara tems-menems, dikarenakan substrat teraduk oleh alat tangkap.
Kelimpahan dan keanekaragaman jenis epifauna ineningkat pada
substrat yang banyak mengandung cangkang organisme yang telah mati. Jenisjenis dari kelas gastropoda dan bivalvia dapat tumbuh dan berkembang pada sedimen halus, karena ~nemilikialat-alat fisiologis khusus untuk dapat beradaptasi pada lingkungan perairan yang memiliki tipe substrat berlumpur (seperti siphon yang panjang).
Ukuran partikel substrat bervariasi, mulai dari liat yang
berdiameter < 0,002 mm hingga pasir sangat kasar yang berdiameter 1,O - 2,O 1m.
2.5.7. Kedalaman
Kedalaman adalah faktor penting yang inempengaruhi beberapa aspek dari biologi spesies scallop, tetapi pengamh ekologi biasanya digabungkan dengan variasi dalam temperatur, ketersediaan makanan atau tipe substrat (Shumway, 1991).
Pengurangan ketersediaan inakanan meningkat seiring dengan
meningkatnya kedala~nan. Kedalaman perairan akan mempengaruhi distribusi bivalvia. Valikily (1989) in Bahtiar (2005) menyatakan bahwa dengan bertambahnya kedalaman maka ketersediaan makanan menjadi faktor peinbatas bagi fitoplankton yang inenjadi makanan kerang muda (spat) sehingga kerang banyak tuinbuh dekat pennukaan air. 2.5.8. Padatan Tersuspensi Total (Total Suspended Solid-TSS)
Padatan tersuspensi total (Total Suspended Total - TSS) adalah bahanbahan tersuspensi (diameter > 1 pin) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 pm. TSS ter&ri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutarna disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Bahan-bahan tersuspensi pada perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan, yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis di perairan.
2.5.9. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxyger~Dernnnd - COD)
Kebutuhan oksigen kimiawi merupakan jwnlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi COz dan H20 (Effendi, 2003). Jika pada perairan terdapat bahan organik yang resisten terhadap degradasi biologis, inisalnya selulosa, tanin, lignin, fenol, polisakarida, benzena, dan sebagainya, inaka lebih cocok dilakukan pengukuran nilai COD dibandingkan nilai BOD. Nilai COD dapat menggambarkan kandungan bahan organik di suatu perairan sebesar 98%, sehingga penentuan nilai COD dianggap lebih baik dalatn mnggambarkan keberadaan bahan organik baik yang dapat didekomposisi (biodegradable) maupun yang sukar didekomposisi secara biologis (non biodegradable) (Effendi, 2003). Nilai COD menggambarkan juinlah bahan-bahan organik yang sukar diuraikan secara biologis seperti yang terukur dalarn uji BOD. Nilai COD umumnya lebih besar dari nilai BOD, karena jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi secara kimia lebih besar dibandingkan oksidasi secara b i o l o ~ .Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat mencapai lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri kandungan nilai COD dapat mencapai 60.000 mg/l (UNESCOIWHOIUNEP, 1992 in Effendi, 2003).
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama bulan Mei 2007. Pengambilan sarnpel dilakukan pada 3 stasiun dengan jumlah pengarnbilan contoh yang berbeda-beda (Gambar 5). Sampel simping (P. placenta) diambil dengan alat tangkap garok yang bersifat mengaduk dasarlsubstrat perairan. Analisa sampel simping dilakukan di laboratorium, meliputi pengukuran morfoinetrik, penghitungan jumlah simping dewasa serta kegiatan yang berkaitan dengan analisis degradasi biomassa untuk mengetahui perubahan struktur populasi dan kepadatan dari siinping tersebut akibat penangkapan.
Gambar 5. Peta Lokasi Stasiun Pengambilan Contoh Sumber : htt~:llwww.googleart.com(2008)
3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah kerang simping (P. placenta) baik yang hidup maupun yang mati. Bahan kimia yang digunakan adalah formalin 10%. Untuk alat-alat yang digunakan dalani penelitian ini antara lain adalah alat tangkap garok, wadah plastik, jangka sorong, tiinbangan, kertas label dan alat-alat tulis, dan kamera. 3.3. Metode Kerja
3.3.1. Penentuan Stasiun Penelitian Penentuan stasiun penelitian berdasarkan stasiun yang telah ditentukan kepadatannya.
Garok disapukan
Masing-masing stasiun bejarak 500 m.
sepanjang 10 meter di setiap stasiun pengamatan (Gambar 6).
Jumlah
pengambilan contoh dibatasi sampai jumlah contoh yang terainbil hampir nlendekati 20 - 30%.
7 Muara
7 Muara
Gambar 6. Ilustrasi pengambilan sampel 3.3.2. Pengambilan Contoh Simping Pengambilan sampel simping dilakukan dengan menggunakan alat tangkap
gawk di setiap stasiun yang telah ditentukan kepadatannya. Pengambilan sainpel dilakukan dengan menggunakan metode sapuan (swept area method) sampai diperkirakan simping di area tersebut tersisa sekitar 20% habis atau nol. Individu
yang tertangkap kemudian disortir, dan dipisahkan biota yang lain ikut tertangkap. Keinudian sampel simping dimasukkan ke dalam polybag yang telah diberi label dan diawetkan dengan formalin
untuk kemudian diamati selanjutnya di
laboratorium. 3.3.3. Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan
Pengambilan data parameter fisika kimia perairan sesuai dengan pengambilan contoh kerang simping berdasarkan lokasi penelitian (Tabel 4). Tabel 4. Analisis Parameter Kualitas Air
1 COD
mgA
I Refluks Terbuka
1 Laboratorium
Sumber : APHA (1998) 3.4. Analisa Data 3.4.1. Analisa Deskriptif Kualitas Air
Analisis kualitas air dilakukan dengan cara membandingkan nilai dari masing-masing parameter fisika dan kimia perairan dengan literatur yang ada untuk inelihat kualitas perairan secara deskriptif. 1. Mencari rata-rata dari masing-masing parameter dan standar deviasinya pada
setiap stasiun selama tiga kali pengamatan, dengan rumus (Walpole, 1990) :
Dimana :
Keterangan :
s2
=
Xi
=
p
= =
n
Standar deviasi Data ke-i Nilai rata-rata Jumlah data
2. Menyajikan dalam bentuk grafik untuk distribusi secara spasial
3. Membandingkan data dengan literatur yang ada untuk melihat kualitas perairan. 3.4.2. Kepadatan Populasi
Kepadatan adalah jumlah individu persatuan luas atau volume (Brower et al., 1990). Kepadatan kerang simping persatuan luas dapat dihitung dengan mnus :
Keterangan : D
X
= Kepadatan populasi (individu/meter2) = Jumlah individu yang diukur (individu)
in
= Luas pengambilan contoh (m2)
3.4.3. Biomassa Populasi
Nilai bioinassa sering digunakan untuk mengetahui nilai kepadatan populasi berdasarkan berat (Brower et al., 1990). Biomassa dapat dihitung dengan nnnus :
Keterangan :
B CW D
n
= Biomassa (kg) = Jumlah berat individu contoh (g) = Kepadatan (individdmete?) = Jumlah individu contoh (individu)
3.4.4. Kemampuan Penangkapan (Catchability Coefficient - q) Dalam metode Leslie (Aziz, 1989) pendugaan penangkapan per satuan usaha terhadap kepadatan populasi dihubungkan dengan persamaan yaitu hasil tangkapan persatuan upaya (c/o selama waktu t sama dengan kemampuan penangkapan (catchability) q dikalikan dengan populasi sekarang pada permulaan waktu itu.
Keterangan :
Ct ft 9 Nt
= Hasil tangkapan pada
waktu itu itu = Kemampuan penangkapan(catchabi1ity) = Jumlah populasi pada waktu itu = Upava pada waktu A
-
A
Populasi pada waktu mulai t adalah sama dengan populasi awal hkurangi hasil tangkapan kumulatif. Nt = N o - c disubstitusikan ke dalam persamaan (1) menghasilkan
Keterangan :
Ct f 9 No c
= Hasil tangkapan
pada waktu itu
= Upaya
= Kemampuan penangkapan(catchabi1ity) = Jumlah populasi awal = Satu unit
usaha penangkapan
Persamaan (2) adalah hubungan liniear yang menunjukkan jika hasil tangkapan per satuan usaha diplotkan terhadap tangkapan kumulatip sampai waktu itu, hasilnya mempakan garis lurus dengan sudut sama dengan catchability dan titik perpotongannya (intercept) sama dengan populasi awal dikalikan dengan catchability
=
penangkapan.
fraksi populasi yang diambil dengan satu unit satuan usaha
3.4.5. Rasio Berat Cangkang Kosong dan Isi
Rasio berat cangkang dihitung dengan rumus:
E Rasio Berat Cangkang =
Keterangan : A B
A
jumlah berat cangkang kosong (gram) = juinlah berat cangkang isi (gram) =
Keseragaman sebaran rasio berat cangkang dianalisis dengan uji Chi-Square (Gomez and Gomez, 1976).
Keterangan : o; e;
= =
X2 =
frekuensi yang diamati, frekuensi harapan yaitu frekuensi yang diainati dibagi dua, nilai peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya mendekati sebaran Chi-square.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Tangerang secara geografis memiliki luas wilayah sekitar 1.110,38 km2 dengan jumlah penduduk 3.324.949 jiwa dengan ibukota Tigaraksa yang memiliki luas 1,110 kin2. Kabupaten ini terletak dataran rendah tepatnya di lintang 6' 6' - 6' 13' LS dan 106" 36'- 106'42' BT. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tangerang adalah fhtto, 2007):
* Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Serang
* Sebelah timur berbatasan dengan DKI Jakarta * Sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat * Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa Kabupaten Tangerang terdiri 26 kecamatan, salah satunya adalah Kecainatan Kronjo.
Kecamatan ini terletak di sebelah barat Kabupaten
Tangerang, sekitar 42 km dari ibukotanya, Tigaraksa.
Kecamatan Kronjo
meiniliki luas wilayah 4.334.712 ha. Secara adininistrasi, batas-batas wilayah Kecamatan Kronjo adalah (Pemerintah Daerah Kecamatan Kronjo, 2007) :
* Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mekar Baru * Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kemeri * Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sukamulya * Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang (2001) in Fatmawati (2003), Kabupaten Tangerang memiliki dua musim, yaitu musim hujan pada bulan November-April dan musim kemarau pada bulan Mei-Oktober. Rata-rata curah hujan mencapai 1.620 imn/tahun. Curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Juli. Suhu rata-rata mencapai 23,2 OC - 33,l OC dengan keleinbaban rata-rata 74,3%. Menurut laporan rutin bulanan umum Kecamatan Kronjo pada bulan April 2007, rata-rata curah hujan per bulan 1.063 min dan suhu rata-rata 22,l 'C - 32,7 "C.
4.2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Parameter fisika dan kimia perairan yang diukur meliputi 9 parameter, yaitu : kedalaman, substrat/sedimen dasar, suhy kekeruhan, pH, oksigen terlarut (dissolved oxygen-DO), padatan tersuspensi total (totul suspended solid-TSS), kebutuhan oksigen kimiawi (chemical oxygen demand-COD) dan salinitas. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan disajikan dalam Tabel 5. Pengukuran ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan di lokasi tersebut serta pengaruhnya terhadap kelayakan kehidupan simping. Tabel 5. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika-kimia di semua stasiun pengamatan
Stasiun Parameter
II Satuan
I
I
I
I
I1 I
In I
Fisika Kedalaman Salinitas Kekeruhan
1
cm
%O
I
1
NTU
I
TSS
I
29,OO
27
39
I
10,OO
29,67
I
4,87 I
I
6,67
lnfl
I
1
10
29,67 833
I
25,OO
17,67
Kimia
COD
ingll I
144,OO I
190,67
125,33 I
I
I
3umber : Data Olah (2007)
4.2.1. Kedalaman Kedalainan perairan yang didapatkan berkisar antara 10 - 39 cm. Kedalainan t e r t i n g ~terdapat pada di stasiun I1 yaitu sekitar 39 cm, sedangkan yang terendah terdapat di stasiun I yaitu sebesar 10 cm (Tabel 5 dan Gambar 7). Dari grafik terlihat bahwa standar deviasinya cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman data rendah atau relatif seragam. Rendahnya kedalaman di stasitm I disebabkan terjadinya pendangkalan akibat sedimentasi
yang tinggi. Perbedaan kedalaman ini mengakibatkan adanya perbedaan kepadatan kerang simping. Kepadatan tertinggi terdapat di stasiun 111, sedangkan di stasiun I yang mempunyai kedalaman terendah, kerang simping jarang ditemukan.
-
z!.
-5 ?I
3
4.5 4 3.5 3 25
1.5 I 0.5 0 1
2 Stasiun
3
Gambar 7. Nilai kedalaman di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan
4.2.2. Suhu Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap ekosistern pantai (Clark, 1974 in Alfitriatussulus, 2003). Keanekaragaman jenis dan keadaan seluruh kehidupan pantai cenderung bewariasi dengan berubahnya suhu. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, sebaran nilai rata-rata suhu di perairan Kronjo berkisar antara 29,OO "C sampai dengan 29,67 "C (Tabel 5 dan Gambar 8).
Gambar 8. Nilai suhu di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan
Nilai rata-rata suhu terendah pada stasiun I sebesar 29,OO "C, rata-rata suhu tertinggi ditemukan pada stasiun I1 dan stasiun I11 masing-masing sebesar 29,67 "C. Kisaran suhu tersebut bersifat optimum untuk kehidupan moluska khususnya simping karena umumnya moluska dapat hidup dengan suhu antara 20,OO - 30,OO "C (Hamidah, 2000). Dari grafik terlihat bahwa standar deviasinya cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman data rendah atau relatif seragam. Distribusi suhu di perairan estuari sebagian besar dipengaruhi oleh kedalaman yang merupakan efek masukan air dari sungai dan pengaruh perubahan pasang surut. 4.2.3. Kekemhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 in Effendi, 2003).
Gambar 9. Nilai kekeruhan di p&an
Kronjo di semua stasiun pengamatan
Kekeruhan perairan di tiga stasiun sangat bewariasi, antara 4,87 NTU sampai 10,OO NTU. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat di stasiun I yaitu sebesar 10,OO NTU (Tabel 5 dan Gambar 9), sedangkan yang terendah terdapat di stasiun
II yaitu sebesar 4,87 NTU. Rendahnya kekeruhan di stasiun I11 diduga karena daerah tersebut merupakan perairan tanpa aktivitas sehingga sediit mendapat
pengaruh dari lingkungan disekitarnya dengan tidak adanya aktivitas manusia. Dari grafik terliiat bahwa standar deviasinya cenderung rendah.
Hal ini
menunjukkan bahwa keragaman data rendah (cenderung seragam), kecuali di stasiun I yang keragaman datanya besar, diduga stasiun I merupakan perairan dengan adanya aktivitas manusia berupa buangan limbah organik sehingga banyak mendapat pengaruh dari lingkungan sekitarnya.
4.2.4. Padatan Tersuspensi Total (Total SuspendedSolid-TSS) Padatan tersuspensi total (Total Suspended Total - TSS) adalah bahanbahan tersuspensi (diameter > 1 pm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 pm. TSS terdii atas lumpur clan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Padatan tersuspensi total (TSS) yang didapatkan berkisar antara 6,67 mg/l sampai 25,OO mgll (Tabel 5 dan Gambar 10). Nilai TSS tertinggi terdapat di stasiun I1 yaitu sebesar 25,OO mg/l, sedangkan terendah di stasiun I yaitu sebesar
6,67 mg/l. Dari grafik terliiat bahwa standar deviasinya cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman data rendah (cenderung seragam), kecuali di stasiun I1 yang keragaman datanya besar, diduga disebabkan oleh banyaknya partikel lumpur yang terbawa masuk ke perairan akibat kegiatan-kegiatan di bagian hulu sungai menuju perairan Kronjo.
Gambar 10. Nilai TSS di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan
4.2.5. Derajat Keasaman (pH) pH perairan sangat dipengaruhi oleh dekomposisi tanah, dasar perairan dan keadaan lingkungan sekitamya.
Nilai rata-rata pH di semua stasiun
pengamatan berkisar antara 6,67 sampai 7,OO. Nilai pH tersebut masih dapat ditolerir untuk pertumbuhan biota khususnya simping (P. placenta). Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap p e ~ b a h a npH dan menyukai nilai pH sekitar 7,O sampai 8,5. Nilai pH relatif rendah terdapat pada stasiun I1 dan 111, sedangkan pH tertinggi terdapat pada stasiun I.
Gambar 11. Nilai pH di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan
Dari gragk terlihat bahwa standar deviasinya cenderung rendah, ha1 ini menunjukkan bahwa keragaman data rendah (cenderung seragam). Nilai pH yang relatif sama di setiap stasiun pengamatan diduga disebabkan karena perairan air laut mempunyai kemampuan sebagai buffer (penyangga) yang baik sehingga fluktuai pH yang tajam jarang terjadi pada perairan laut, sesuai dengan pendapat Nybakken (1992) yang menyatakan bahwa nilai pH di liigkungan perairan laut relatif stabil dengan kisaran yang sempit. 4.2.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen-DO) Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut untuk semua stasiun pengamatan berkisar antara 4,27 mg/l sampai 4,88 mg/l (Tabel 5 dan Gambar 12).
Dari hasil pengukuran terlihat bahwa kelarutan oksigen tertinggi di stasiun II sebesar 4,88 mg/l, sedangkan kelarutan oksigen terendah terdapat di stasiun III
sebesar 4,27 mgll. Dari gafik terlihat bahwa standar deviasinya cenderung tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman data tinggi (tidak seragam). Kelarutan oksigen yang rendah di stasiun 111 disebabkan oleh penambahan masukan bahan tersuspensi yang tinggi dan adanya limbah rumah tangga dan pertanian. Oksigen terlarut akan dikonsumsi untuk respirasi hewan air dan penguraian bahan organik bakteri dan dekomposer lainnya. Kandungan oksigen terlarut yang didapatkan di perairan Kronjo masih dalam kisaran yang sesuai bagi kehidupan kerang simping. Menurut Fuller (1983) in Hamidah (2000), kebanyakan gastropods membutuhkan kandungan oksigen terlarut berkisar antara 2 - 7 mg/l, sedangkan kerang tidak dapat hidup di perairan dengan kandungan oksigen terlarut kurang dari 3 mg/l.
Gambar 12. Kandungan oksigen terlarut di perairan Kronjo di semua stasiun selama pengamatan 4.2.7. Salinitas
Nontji (1987) mendefinisikan salinitas sebagai jumlah berat semua garam (gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan permil
atau gram permil. Nilai rata-rata salinitas yang terukur berkisar antara 29,00%0 sampai 29,67% (Tabel 5 dan Gambar 13). Nilai saliitas tertinggi terdapat di stasiun I1 dan I11 yaitu masing-masing sebesar 29,67%, sedangkan nilai salinitas terendah terdapat di stasiun I yaitu sebesar 29,00%0. Nilai salinitas tersebut termasuk dalam kisaran perairan payau yaitu 0,50
-
30,00%0 (Effendi, 2003).
Dari grafik terlihat bahwa standar deviasinya cenderung tinggi.
Hal ini
menunjukkan bahwa keragarnan data tinggi (tidak seragam). Fluktuasi salinitas di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal, yaitu hujan yang lebat dan
penguapan yang besar. Aktivitas manusia dapat meningkatkan salinitas terutama
di daerah pesisir dekat muara sungai.
Gambar 13. Nilai salinitas di p e r h Kronjo di semua stasiun selama pengamatan 4.2.8. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand - COD)
Kebutuhan oksigen kirniawi me~pEikaTIjumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi C02 dan Hz0 (Effendi, 2003).
Gambar 14. Nilai COD di perairan Kronjo di semua stasiun pengamatan Hasil pengamatan didapat kisaran nilai rata-rata untuk COD berkisar antara 125,33 mg/l sampai 190,67 mg/l (Tabel 5 dan Gambar 14). Nilai terendah terdapat di stasiun I1 sebesar 125,33 mg/l dan nilai tertinggi di stasiun 111 sebesar 190,67 mg/l. Dari grafii terlihat bahwa standar deviasinya cenderung rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa keragaman data rendah (cenderung seragam), kecuali di stasiun 111 yang keragaman datanya besar, diduga disebabkan oleh banyaknya bahan organik yang dapat dioksidasi secara kimia dibandiian dengan bahan organik yang dapat dioksidasi secara biologis.
4.2.9. Tipe Substrat (Fraksi Sedimen) Substrat merupakan tempat tinggal tumbuhan dan hewan yang hidup di dasar perairan atau di permukaan benda yang ada di kolom perairan. Jenis substrat di dasar perairan biasanya berupa campuran pasir, debu dan liat dalam tanah. Hasil pengamatan tipe substrat selama waktu pengamatan ditunjukkan pada Tabel 6 clan Gambar 15. Tabel 6. Tipe substrat (fiaksi sediien) di perairan Kronjo selama pengamatan Stasiun pasir (%) I 10,64 I1 47,80 111 41,57 Surnber : Data Olah (2007)
Tekstur debu (%) 30,92 31,72 37,37
liat (%) 43,29 30,69 26,02
Gambar 15. Tipe substrat (fraksi sedimen) di perairan Kronjo selama pengamatan Dari Tabel 6 dan Gambar 15 dapat diliiat bahwa pada stasiun I sedimen yang dominan di perairan Kronjo adalah fraksi liat, sebaliknya pada stasiun I1 dan 111 sediien yang dominan adalah fraksi pasir. Tingginya W s i liat di stasiun I
diduga disebabkan banyaknya masukan bahan organik maupun bahan tersuspensi dari muara sungai, sehingga memungkinkan pengendapan lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan.
4.2.10. Hubungan Substrat dengan Kepadatan Rata-rata Simping (P.placenta) Jenis substrat sangat menentukan kepadatan dan komposisi hewan benthos. Substrat itu sendiri didefinisikan sebagai campuran dari fiaksi lumpur, pasir dan liat dalan tanah (Brower et al., 1990). Hasil pengamatan hubungan substrat dengan kepadatan rata-rata selama waktu pengamatan ditunjukkan pada Gambar 16 dan Lampiran 2.
Substrat
Gambar 16. Hubungan tipe substrat dengan kepadatan di masing-masing stasiun pengamatan Dari gambar 16 dan Lampiran 2 dapat dilihat bahwa presentase kepadatan tertinggi terjadi pada stasiun 111 sebesar 69,68% seiring dengan tingginya presentase pasir sebesar 41,57%, debu 37,37% dan rendahnya presentase liat yaitu sebesar 26,02 %. Sebaliiya presentase kepadatan terendah terjadi pada stasiun I sebesar 7,77% seiring dengan rendahnya presentase pasir sebesar 10,64%, debu 30,92% dan tingginya presentase liat yaitu sebesar 43,29 %. Hal ini menunjukkan simping (P. placenta) lebih menyukai tipe substrat berpasir. Menurut Nybakken (1992) tipe substrat berpasir memiliki laju pertukaran air yang cepat dan
kandungan bahan organik yang rendah, sehingga oksigen terlarut seldu tersedia, proses dekomposisi di substrat dapat berlangsung secara aerob serta terhindar dari keadaan toksik ditunjukkan dengan tingginya kepadatan di stasiun 111. 4.3. Parameter Biologi Perairan
4.3.1. Komposisi Hasil Tangkapan Simping (P. placenfa) Berdasarkan Ukuran Komposisi hasil tangkapan kerang simping yang didapatkan dicantumkan pada Gambar 17. Frekuensi simping (P. placenta) yang tertangkap selama penelitian berjumlah 2.856 individu, terdiri dari 2.327 (81,48%) individu mati, masing-masing 665 individu spat, 1.548 individu muda dan 114 individu dewasa. Dan 529 (18,52%) individu hidup masing-masing 382 individu spat, 147 individu
muda dan individu dewasa kosong . P
K o m p i s i H u i l Taogkspan Simping (P. plannm) Hidup
I
I1
111
Kompmisi H.sil Tanglupn Simpiag (Rplnnnfa) Mati
I
I1 Shl~iun
OSpat OMuda O h a s v
Gambar 17. Jwnlah Simping (P. placenta) yang tertangkap berdasarkan ukuran di stasiun pengamatan.
Berdasarkan Gambar 17, frekuensi tertinggi pada simping hidup terdapat pada stasiun 111pada ukuran spat sebesar 233 dan frekuensi terendah pada stasiun I, I1 dan I11 pada ukuran dewasa masing-masing sebesar 0 individu. Untuk simping mati frekuensi tertinggi terdapat pada stasiun 111 pada ukuran muda sebesar 1.187 individy dan frekuensi terendah pada stasiun 111 pada ukuran dewasa sebesar 4 individu. Perbedaan dishibusi frekuensi diduga disebabkan pengaruh kondisi lingkungan, musim dan iklim di perairan Kronjo serta ketersediaan makanan. Hal ini sesuai dengan pemyatan Effendie (1997) yang menyatakan bahwa pola dstribusi merupakan hasil dari seluruh jawaban tingkah laku individu-individu di dalam populasi terhadap kondisi lingkungan disekitamya.
Jika konlsi
berfluktuasi, mnaka ada kecenderungan populasi tersebut akan mengelompok.
4.3.2. Kepadatan Rata-rata Kerang Simping (P. plncentn) Menurut Krebs (1972) kepadatan diberi batasan sebagai jumlah per unit area. Kepadatan populasi suatu habitat tertentu dipengaruhi oleh imigrasi dan natalitas yang memberi penambahan junlah kepada populasi.
Sedangkan
emigrasi dan mortalitas yaitu pengurangan jumlah dari populasi. Kepadatan ratarata kerang sin~pingyang didapatkan dicantumkan pada Garnbar 18. Dari garnbar 18, dapat dilihat bahwa nilai kepadatan rata-rata yang diperoleh dari spat mati mempunyai nilai kepadatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan nilai kepadatan rata-rata yang diperoleh dari spat hidup. Kepadatan rata-rata tertinggi pada simping mati terdapat di ukuran spat di stasiun I11 yaitu 79,13 ind./m2, sedangkan yang terendah terdapat di h a n dewasa di stasiun I yaitu 0,27 ind./m2. Untuk sirnping hidup kepadatan rata-rata tertinggi terdapat di ukuran spat di stasiun I11 yaitu 15,53 ind./mn2, sedangkan yang terendah terdapat di ukuran
dewasa di stasiun I, I1 dan I11 masing-masing 0 ind./m2. Tingginya kepadatan rata-rata simping (P. placenta) di stasiun I11 diduga disebabkan banyalcnya inasukan bahan organik dari muara sungai yang masuk ke perairan sebagai suinber makanan bagi simping. P. placenta memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap berbagai kondisi lingkungan perairan dimana di stasiun I11 terlihat bahwa P. placenta masih mainpu hidup dengan kekeruhan
yang tinggi dengan TSS yang juga tinggi serta kandungan oksigen terlarut yang rendah
(Tabel
5),
karena kandungan
oksigen terlarut
mempengaruhi
keanekaragaman organisme dalam suatu ekosistem perairan dan perairan dengan kandungan oksigen yang cukup stabil akan memiliki jumlah spesies yang lebih banyak.
Kepdatan Rata-rala K-g
59
E
jg 3"
S
Simping (P. plocenm) Mali
90.0 80.0 70.0 60.0 -
79.13
50.00 40.00 30.00 20.W 10.0 . 0.00,
7.07 5.67
I
1**-,*-.?I I
0.27
I1
III
Kcpadatan Rata-lafa KemgSimping(P. plocenla) Hidup
I
I1
I11
Stasiun
OSpat mMuda UDewosn
Gambar 18. Kepadatan Simping (P. placenta) berdasarkan ukuran di stasiun pengamatan. Drscoll and Brandon (1973) in Pratami (2005) menyatakan bahwa distribusi dan kelimpahan jenis moluska dipengaruhi oleh diameter rata-rata butiran sedimen, kandungan debu dan liat, adanya cangkang-cangkang organisme yang telah mati dan kestabilan substrat. Kestabilan substrat dipengaruhi oleh penangkapan kerang secara terus-menerus, dikarenakan substrat teraduk oleh alat
tangkap.
Kelimpahan dan keanekaragaman jenis epifauna meningkat pada
substrat yang banyak mengandung cangkang organisme yang telah mati. Jenisjenis dari kelas gastropoda dan bivalvia dapat tumbuh dan berkembang pada sedimen halus, karena memiliki alat-alat fisiologis khusus untuk dapat beradaptasi pada lingkungan perairan yang meiniliki tipe substrat berlumpur (seperti siphon yang panjang).
4.3.3. Rasio Cangkang Kosong dan Isi Kerang Simping (P. placeirta) Secara morfologi dari 7.317,23 gram kerang simping yang diamati, diperoleh 6.694,82 gram cangkang kosong dan 622,41 gram berisi, sehingga rasio berat cangkang kosong dan isi adalah 1:10,76. Dari uji Chi - Square pada selang kepercayaan 95 (a = 0,05) diperoleh rasio berat cangkang kosong dan cangkang isi kerang simping dalam kondisi tidak seimbang (Lampiran 5).
Gambar 19. Rasio berat cangkang kosong dan cangkang isi simping (P. placenta) pada semua stasiun pengamatan. Rasio berat cangkang kosong dan cangkang isi tertinggi terdapat pada stasiun I11 sebesar 25,28 gram dan terendah pada stasiun I1 sebesar 2,25 grain (Gambar 19 dan Lampiran 4). Perbedaan rasio berat cangkang kosong dan cangkang isi diduga karena perbedaan tingkah laku, penyebaran kerang simping tidak merata serta faktor penangkapan.
4.3.4. Biomassa Populasi Simping (P. placenta) Biomassa umurnnya diartikan sebagai banyaknya zat hidup per satuan luas atau per volume pada suatu saat tertentu. Dalam penelitian ini nilai biomassa diukur berdasarkan kepadatan (ind./m2) dan jumlah berat individu contoh (g).
Nilai tersebut diestimasi untuk setiap ulangan dala~npengambilan sampel untuk masing-masing ukuran kerang simping berdasarkan stasiun pengamatan. Untuk
menghitung
nilai
rata-rata
biomassa
simping dilakukan
pengelompokan pada pengambilan contoh di masing-masing stasiun, yaitu pada stasiun I dikelompokkan menjadi pengambilan ke-1.2.3 dan 4.5, stasiun 11 pengambilan ke-1.2,3.4 ,5.6 dan 7.8 dan stasiun I11 pengambilan ke-1.2, 3.4 dan 5.6.7. Berdasarkan hasil analisis rata-rata biomassa untuk masing-masing ukuran kerang simping di masing-masing stasiun, seperti pada Gambar 20 dan Lampiran 3, tampak bahwa nilai rata-rata biomassa untuk ukuran spat mati di stasiun I mengalami penunman.
Nilai rata-rata biomassa tertinggi terjadi pada
pengambilan ke-I yaitu sekitar 3,09 gram/m2 dan setelah itu mengalami penurunan hingga pengambilan ke-I1 yaitu sekitar 0,64 gram/m2. Kondisi berbeda terjadi pada stasiun 11, dimana nilai rata-rata biomassa cendemng mengala~nifluktuatif, kecenderungan penurunan terus terjadi sejak pengambilan ke-I, I1 dan 111 yaitu masing-masing sekitar 1,27 gram/m2; 0,82 g ~ a m / mdan ~ 0,16 gram/m2,setelah itu cenderung inengalami pada pengambilan ke-IV yaitu sekitar 0,67 gram/m2. Kondisi yang sama pula terjadi pada stasiun 111, dimana penurunan nilai rata-rata biomassa mengalami fluhatif, dimana kecenderungan penurunan nilai rata-rata bio~nassaterus terjadi sejak pengambilan ke-I, I1 yaitu masing-masing sekitar 4,12 gran1/m2; 1,48 gram/mn2, setelah itu cendemng mengala~nipeningkatan pada pengambilan ke-I11 sekitar 2,07 gram/m2.
40
~ i m s r s aPopllui Simpole (P. p l ~ c ~Vang ~ r Tertangkap ~ ) pds U k m n S p t Mntidi Stnsiun I
Bio-ss
Popolnji Simp@ (P. placenta) Yang Tcrtanghp pda Ukunn S p t Mati di StsJiun U
Biamsln Populssi S i n g (P. plocrnla) Yang Tcrtaagksp pda Ukursn S p t Mati di Stssiun IU
Gambar 20. Biomassa populasi simping (P,plocenfa) yang tertangkap berdasarkan ukuran di masing-masing stasiun. Berdasarkan kerang simping yang ditangkap di perairan Kronjo, diperoleh hasil analisis rata-rata biomassa populasi simping dari kepadatan (ind./m2) dan jumlah berat individu contoh (g), pada masing-masing ukuran dan stasiun pengamatan. Secara grafik tampak pada Gambar 21.
41
Biomssrs h p b i Shnpiog (P. placenta) Yaog Telgogkappda Ukuno S p t liiispdi SUJivn l
11
I
Bioinassa P o p h i Siolpiw (P. plocenla) Yaog T c ~ o g k a p p dWum s Spat Hidup di Sbsim 11
I
U
m
Bmmssn Popllssi Sinyriog (P. placenta) Yaog TcMogkap pads Ukuren S p t Widup di Stariun UI 3.50
I
U
nr
Pedi!an
Gambar21. Biomassa populasi simping (P. placenta) yang tertangkap berdasarkan ukuran di masing-masing stasiun. Untuk menghitung nilai rata-rata biomassa simping pada ukuran spat hidup dilakukan pengelompokan pada pengambilan contoh di masing-masing stasiun, yaitu pada stasiun I dikelompokkan menjadi pengambilan ke-1.2.3 dan 4.5, stasiun I1 pengambilan ke-1.2.3, 4.5.6 dan 7.8 dan stasiun 111 pengambilan ke-1.2.3,4.5 dan 6.7.
Berdasarkan hasil analisis, seperti pada Gambar 21 dan Lainpiran 3, tampak bahwa nilai rata-rata biomassa untuk ukuran spat hidup di seinua stasiun cenderung mengalami penurunan.
Untuk stasiun I nilai rata-rata biomassa
tertinggi terjadi pada pengambilan ke-I yaitu sekitar 0,23 gram/m2 dan setelah itu mengalami penurunan hingga pengainbilan ke-I1 yaitu sekitar 0,12 gram/m2. Kondisi yang saina untuk nilai rata-rata biomassa stasiun 11, dimana kecenderungan penurunan nilai rata-rata biomassa terus terjadi sejak pengambilan ke-I, I1 dan I11 yaitu masing-masing sekitar 0,71 gram/m2; 0,56 gram/m2 dan 0,53 gram/in2. Seinentara kondisi yang sama juga terjadi pada stasiun 111 nilai ratarata biomassa cenderung mengalami penurunan, &mana kecenderungan penurunan nilai rata-rata biomassa tents terjadi sejak pengambilan ke-I, I1 dan 111 yaitu masing-masing sekitar 1,79 gram/m2;0,41 gram/m2dan 0,24 gram/m2. Berdasarkan kerang simping yang ditangkap di perairan Kronjo, diperoleh hasil analisis rata-rata biomassa populasi simping dari kepadatan (ind./m2) dan juinlah berat individu contoh (g), pada inasing-inasing ukuran dan stasiun pengamatan. Secara grafik tampak pada Gambar 22. Untuk menghitung nilai rata-rata biomassa simping pada simping muda mati dilakukan pengelompokan pada pengambilan contoh di masing-masing stasiun, yaitu pada stasiun I dikeloinpokkan menjadi pengambilan ke-1.2.3 dan 4.5, stasiun IS pengambilan ke-1.2.3 dan 4.5.6.7.8 dan stasiun 111 pengambilan ke-1.2, 3.4 dan 5.6.7. Berdasarkan h a i l analisis rata-rata biomassa untuk masing-masing ukuran kerang simping di masing-masing stasiun, seperti pada Gambar 22 dan Lampiran 3, tampak bahwa nilai rata-rata biomassa untuk ukuran muda mati di stasiun I cenderung mengalami penurunan. Nilai rata-rata bioinassa tertinggi terjadi pada pengambilan ke-I yaitu sekitar 3,12 gram/m2dan setelah itu mengalami penurunan hingga pengambilan ke-I1 yaitu sekitar 1,61 gram/m2. Kondisi yang sama terjadi pada stasiun 11, dimana kecenderungan penurunan nilai rata-rata biomassa terus terjadi sejak pengambilan ke-I dan I1 yaitu masing-masing sekitar 6,73 gram/in2 dan 5,84 gram/m2. Kondisi yang sama pula terjadi pada stasiun 111, dimana penurunan nilai rata-rata biomassa terus terjadi sejak pengambilan ke-1.2, 3.4 dan
5.6.7 yaitu masing-masing sekitar 64,61 gram/m2; 31,28 gram/m2 dm 29,39 gram/m2. P
BiO-sa
7
3.5 3 2.5
.3
2 1.5
.e
I 0.5 0
m
l%PY(LliShnping (P. plmcnI~1)Y q TcRnegbp pda IklupoM& M~tidiStuirml
I Blomassa Popllasi S
m (P. plaecnla) Yaag Teriaqkapprdt Ukunn M a Msti di Stasiun I1
7.00
E g
-9
m
6.80 6.60 6.40 6.20 6.W 5.80
5.a 5.40 5.20
11
I
B b m s e lbpllaoi S i n g (P. plocenlo) Yaw Ttriaagkapp d a Ukuma Muds Mnti di Stasilrn It1
I
I1
m
Pew"6b"
Gambar 22. Biomassa populasi simping (P. placenta) yang tertangkap berdasarkan ukuran di masing-masing stasiun. Berdasarkan kerang simping yang ditangkap di perairan Kronjo, diperoleh hasil analisis rata-rata biomassa populasi simping dari kepadatan (ind./m2) dan
jumlah berat individu contoh (g), pada masing-masing ukuran dan stasiun pengamatan. Secara grafik tampak pada Gambar 23.
Biomsss P o p h i S i n g (P. placenta) Y n q Tergagknp pdn Uktnan Muds Hidup di Sfasion 11
Biomsss Ropulnri Simping (P. ploee,~tcr)Yeng Tertaogkap psda Ukwan Muds Hid~pdiStssiun111
Gambar 23. Biomassa populasi simping (P. placenta) yang tertangkap berdasarkan ukuran di masing-masing stasiun. Untuk menghitung nilai rata-rata biomassa simping pada simping muda hidup dilakukan pengelompokkan pada pengambilan contoh di masing-masing stasiun, kecuali pada stasiun I tidak bisa dikelompokkan, karena hanya ada satu nilai saja yaitu 0,22 gram/m2. Pada stasiun I1 nilai rata-rata biomassa dikelompokkan menjadi pengambilan ke-1.2.3, 4.5.6 dan 7.8 dan stasiun I11 menjadi pengambilan ke-1.2.3 clan 4.5.6.7. Berdasarkan hasil analisis rata-rata biomassa untuk masing-masing ukuran kerang simping di masing-masing stasiun, seperti pada Gambar 23 dan Lampiran 3, tampak bahwa nilai rata-rata biomassa untuk ukuran muda hidup di stasiun II
cenderung mengalami fluktuatif, kecenderungan peningkatan nilai rata-rata biomassa terus terjadi sejak pengambilan ke-I dan I1 yaitu masing-masing sekitar 2,56 gram/m2 dan 2,69 gram/m2, setelah itu cenderung mengalami penurunan pada pengambilan ke-111 yaitu sekitar 2,67 gram/m2. Kondlsi berbeda terjadi pada stasiun 111, dimana penurunan nilai rata-rata biomassa terus terjadi sejak pengambilan ke-I dan I1 yaitu masing-masing sekitar 1,61 gram/m2 dan 0,95 gram/m2. Berdasarkan kerang simping yang ditangkap di perairan Kronjo, diperoleh hasil analisis rata-rata biomassa populasi simping dari kepadatan (ind./m2) dan jumlah berat individu contoh (g), pada masing-masing ukuran dan stasiun pengamatan. Secara grafik tampak pada Gambar 24. Untuk menghitung nilai rata-rata biomassa simping pada simping dewasa mati dilakukan pengelompokkan pada pengambilan contoh di masing-masing stasiun, kecuali pada stasiun I tidak dikelompokkan, karena datanya terbatas yaitu pada pengambilan ke-3, 4 dan 5 masing-masing 1,01 gram/n12; 0,61 gra1n/m2 dan 0,49 gram/m2. Pada stasiun 11 nilai rata-rata biomassa dikelompokkan menjadi pengambilan ke-1.2.3, 4.5 dan 6.7.8 dan stasiun 111 menjadi pengambilan ke-1.2, 3.4 dan 5.6.7. Berdasarkan hasil analisis rata-rata biomassa untuk masing-masing ukuran kerang simping di masing-masing stasiun, seperti pada Gambar 24 dan Lampiran 3, tampak bahwa nilai rata-rata biomassa untuk ukuran dewasa mati di stasiun 11 mengalami penurunan, dimana kecenderungan penurunan nilai rata-rata biomassa terus terjadi sejak pengambilan ke-1.2.3, 4.5 dan 6.7.8 yaitu masing-inasing sekitar 1,35 gram/m2; 1,32 gram/m2 d m 0,56 gram/m2. Kondisi sama terjadi pada stasiun 111, dimana kecenderungan penurunan nilai rata-rata biomassa terus terjadi sejak pengambilan ke-1.2, 3.4 dan 5.6.7.8 yaitu masing-masing sekitar 14,72 gram/m2; 8,89 gram/rn2 dan 6,01 gram/1n2.
46
Bbmsss P o p h s i S i m p h (P.p l a m t a ) Ysng Tclbllglinp pads Ukuran
Dewnss Mnti di SluiunI 1.2
-s
i
j ! 3
0.8
0.6 0.4
Ei
0.2
0
Bamsje Popbsi S
i (P. plocmla) Y a q TerfaqkaR nada i k w n D e w s MatidiStnslm 11
I
I1
Bamsss Popuhsl S
-
3 f 5
m
i i (P.plnewla) Yang Tertsogbp pa& Ukmn D e w s Ma6 diSluiun Ill
16.W 14.M) l2.W 1O.W 8.W 6.00 4.W 2.W 0.W I
n
N
P e h h
Gambar 24. Biomassa populasi simping (P. placenta) yang tertangkap berdasarkan ukuran di masing-masing stasiun. Biomassa adalah jumlah populasi pada satuan berat individdkelompok. Secara proporsional biomassa akan mengalami peningkatan seiring dengan peningkatanltinggi ukuran populasi.
Populasi dengan biomassa yang tinggi
cenderung memiliki ukuran yang l e b i dari satu populasi tersebut. Berdasarkan hasil analisis biomassa populasi simping di wilayah penangkapan perairan Kronjo, seperti pada Gambar 20 - 24 diperoleh bahwa
terjadi penurunan nilai biomassa pada masing-masing stasiun dan masing-masing ukuran kerang siinping, kecuali di stasiun I1 dan I11 pada spat mati (Gambar 20) dan stasiun I1 pada inuda hidup (Gambar 23), dunana nilai rata-rata biomassa mengalami fluktuatif, dimana kecenderungan peningkatan terjadi
pada
pengambilan ke-IV, I11 dan 11, masing-masing sekitar 0,67 gradm2; 2,07 gradm2 dan 2,69 gram/m2. Hal ini diduga terjadi pergeseran lokasi pada saat pengambilan sampel
simping, sehmgga menyebabkan nilai biomassanya inengalami
peningkatan. Dan berdasarkan Gambar 20 - 24 tersebut terjadi peningkatan dalam upaya penangkapan yang akan berdampak terhadap penurunan sumberdaya (degradasi) melalui penurunan biomassanya.
Karena upaya penangkapan secara umum
berbanding lurus dengan p e n m a n stok simping. Makin tinggi penangkapan, maka sediaan siinping akan inakin cepat menurun, begitu juga sebaliknya jika upaya penangkapan dikurangi dan atau dibatasi, maka stok akan tetap terjaga. Sediaan stok sangat dipengaruhi oleh intensitas eksploitasi yang keinudian mempengaruhi struktur sumberdaya simping tersebut. Berbagai faktor lingkungan dapat ineinpengaruhi besarnya biomassa, produktivitas primer maupun struktur komunitas biota perairan, baik faktor yang bersifat inemacu (misalnya hara mineral) inaupun yang menghambat (misalnya berbagai zat pencemar). Faktor-faktor lingkungan perairan berupa faktor fisikakimia bersifat sangat dinamis. Perubahan-perubahan musiin sangat berpengaruh pada lingkungan fisika-kiinia. Demikian pula masukan berbagai zat dari darat antara lain limbah perkotaan, industri atau pertanian. Perubahan lingkungan fisika-kiinia ini selanjutnya akan meinpengaruhi penampilan biota perairan (Nontji, 1984). 4.3.5. Simulasi Biomassa Populasi Simping (P.Placenta) Simulasi biomassa populasi siinping dihitung untuk melihat trend penurunan bioinassa populasi simping, hasil ini didapatkan dari laju penurunan total bioinassa populasi. P e n m a n total biomassa populasi untuk kerang simping mati di stasiun I mengikuti model persamaan Y
=
1 0 , 8 6 ~ - ,' ~stasiun ~ ~ I1 Y
=
Gambar 25.
Simulasi biomassa populasi simping (P. tertangkap berdasarkan stasiun pengainatan
placenta) yang
Dari ketiga model tersebut dapat dilihat bahwa persarnaan untuk stasiun 111 memiliki nilai koefisien determinasi ( R ~ )lebih besar yaitu 0,85 dibandingkan
persamaan di stasiun I dan I1 yaitu masing-masing sebesar 0,84 dan 0,58. Nilai koefisien determinasi ( R ~ )menjelaskan besainya pengaruh dari pengambilan terhadap biomassa (Lampiran 3). P e n m a n total biomassa populasi untuk simping hidup di stasiun I mengikuti model persainaan Y
=
0,03x2
- 0,25X + 0,67 ,di stasiun I1 Y = -
0,35Ln(X) + 3,72 dan di stasiun 111mengikuti model persainaan Y = -2,39Ln(X) + 4,96 (Gambar 26). -
SimdasiBinmosslPopirhsiKcmg SmphgHdup pndn Stviun 1
,
0.5 0-45 0.40.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 40
-
3
<
E
g .
1 1 0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
S i ~ ~ & Bamrsa si Popubsi K e m g Sinping Hidup pndr Stasiun 11 3.8 -
-
3.7 -
"i 3.6 -
3
-E, g
3.5 3.4
2 3.3 3.2 3.17 0
t
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
SimthsiBbm~ssnPopulssiKemg Simping HLfup pads Stnsiw,Ill
-
6 5-
1-
4-
.-E
2-
3
3-
D
1
-
0 70
0.5
7 1
1.5
2
P e2.5 ~ m b h3
3.5
4
Ganbar 26. Simulasi biomassa populasi silnping (P. tertangkap berdasarkan stasiun pengamatan
4.5
5
placerzta) yang
Dari ketiga model tersebut dapat dilihat bahwa model persamaan di stasiun I memiliki nilai koefisien detenninasi ( R ~ )lebih besar yaitu sebesar 0,95 dibandingkan persamaan di stasiun I1 dan I11 yaitu inasing-masing sebesar 0,10 dan 0,88 (Lampiran 3). Berdasarkan hasil analisis simulasi biomassa populasi simping di inasingmasing stasiun, diperoleh nilai persentase simulasi penurunan biomassa tertinggi terdapat di stasiun 111 yaitu sebesar 37,62. Hal ini diduga disebabkan semakin intensifnya pengambilan siinping maka akan inenyebabkan penurunan dalam biomassa populasinya. Intensitas penangkapan secara uinum berbanding lurus dengan penurunan stok simping.
Malan tinggi penangkapan, maka sediaan
simping akan makin cepat m e n m , begitu juga sebaliknya jika intensitas penangkapan dikurangi dan atau dibatasi, maka stok akan tetap terjaga. Sediaan stok sangat dipengamhi oleh intensitas eksploitasi yang kemudian mempengaruhi struktu stunberdaya simping tersebut. Miller et al., (1973) in Bahtiar (2005) menyatakan bahwa apabila suatu populasi bentik yang tereskploitasi, pemulihan stok baru tergantung pada jumlah induk yang menghasilkan telur atau tepat menyamai ketersediaan populasi induk yang inenghasilkan telur dan upaya penangkapan yang dilakukan. Bila upaya penangkapan begitu besar atau tepat inenyamai ketersediaan populasi induk yang tersedla maka populasi ini akan mengalami p e n m a n secara terus menerus dan pada tingkat tertentu organisme ini akan mengalami kepunahan, sedangkan bila ketersediaan populasi induk lebih besar sedang yang tertangkap dalam jurnlah yang kecil maka akan memberikan kesenlpatan kepada penambahan individu baru untuk tu~nbuhmenjadi dewasa. Suatu tingkat pemanfaatan yang optimal adalah tingkat pemanfaatan dimana jumlah populasi yang ditangkap sebanding dengan tarnbaban jumlahkepadatan karena perkembangbiakan dan pertumbuhan serta penyusutan karena kematian alami (Parson et al., 1993 in Bahtiar, 2005). 4.3.6. Kemampuan Penangkapan (Catcltabili@ Coefficient - q) simping (P. placerzta)
Keinainpuan penangkapan (Catchability Coeflcient
-
q), diukur
berdasarkan nilai-nilai koefisien penangkapan, seperti hasil tangkapan persatuan
upaya (c/o, koefisien tangkap ((1) dan populasi sekarang (Nt). Dihubungkan dengan persamaan hasil tangkapan persatuan upaya (ctf) selama waktu t sama dengan keinampuan penangkapan (catchability) q dikalikan dengan populasi sekarang pada permulaan waktu itu (Nt). Nilai koefisien tangkap (q) dapat dilibat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai koefisien tangkap ((1) simping pada semua stasiun pengamatan
Suinber : Data Olab (2007) Berdasarkan Tabel 7, diperoleh nilai koefisien tangkap (q) terbesar untuk simping inati terdapat pada stasiun I11 yaitu sebesar 0,21 (21%), dan terendah terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 0,13 (13%). Sedangkan nilai koefisien tangkap (q) terbesar untuk simping hidup terdapat pada stasiun I1 yaitu sebesar O,11 (11%) dan terendah pada stasiun I yaitu sebesar 0,04 (4%). Untuk nilai koefisien tangkap (q) total di masing-inasing stasiun disajikan pada Tahel8. Tabel 8. Nilai koefisien tangkap (q)total simping pada semua stasiun pengamatan
Sumber : Data Olah (2007) Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai koefisien tangkap (q) total terbesar untuk simping terdapat pada stasiun I11 yaitu sebesar 0,19 (19%), dan terendah terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 0,12 (12%).
Kondisi ini
menunjukkan penangkapan yang mlakukan belum maksimal, artinya kemampuan 'garok' dalam menangkap simping tidak optimalttidak efisien. Hal ini karena
pada saat pengambilan simping tidak hanya simping yang tertangkap, tetapi biota
lain ikut tertangkap. Berikut ini contoh biotalorganisme lain yang tertangkap selain simping, disajikan dalam gambar di bawah ini. Berdasarkan Gambar 27 dan Lampiran 6, dapat dilihat bahwa Anadara sp. mendominasi ketiga stasiun. Pada stasiun I sekitar 706 ind., stasiun II sekitar 137 ind. dan stasiun 111 sekitar 77 ind, kemudian disusul oleh Turricula sp. di stasiun I sekitar 142 ind., stasiun 11 sekitar 82 ind. dan di stasiun I11 sekitar 1 11 ind.
Biots yang hrt.ngk~p~~Inimsimpiag (P. @peeoh) m
5
m
OPhdiurnsp.
7w
Ia Amhastcr
i .o a #t
OTt~rritclLncormunis
mMedhrh OsabyloniapaUida
400
*h 3W
=E 200 - 1W
mudang mmrcntrapn OPaphiatoPk
.m
a
5
0
0
I
U
m
rtaiiun
Gambar 27. Jumlah biota selain simping (P. placenta) yang tertangkap di semua stasiun pengamatan
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Dari hasil pengukuran parameter kualitas air, secara m u m kondisi perairan Kronjo masih relatif baik dan illenunjang bagi kehidupan simping. Na~nunada kecenderungan nilai kebutuhan oksigen kimiawi (COD) tinggi di semua stasiun disebabkan ole11 banyaknya bahan organik yang dapat dioksidasi secara kimia dibandingkan dengan bahan organik yang dapat dioksidasi secara biologis. Frekuensi simping (P. placenta) yang tertangkap selama penelitian berjumlah 2.856 individu, terdiri dari 2.327 (81,48%) individu mati, masingmasing 665 individu spat, 1.548 individu muda dan 114 individu dewasa. Dan 529 (18,52%) inmvidu hdup masing-masing 382 individu spat, 147 individu muda dan individu dewasa kosong. Dari tiga stasiun pengamatan diperoleh kesimpulan bahwa terjadi penurunan nilai biomassa pada masing-masing stasiun dan masing-masing ukuran kerang simping, kecuali dl stasiun I1 dan 111 pada spat mati dan stasiun I1 pada muda htdup, dimana nilai rata-rata bio~nassa nlengalami fluktuatif, dimana kecenderungan peningkatan terjad pada pengainbilan ke-IV, 111 dan 11. Hal ini diduga terjadi pergeseran lokasi pada saat pengambilan sampel simping, sehingga menyebabkan nilai biomassanya mengalami peningkatan. Untuk si~nulasibiomassa populasi kerang simping terjadi penurunan sangat cepat di stasiun III jika dibandingkan dengan stasiun-stasiun yang lain, ha1 ini diduga karena semakin intensifnya pengambilan kerang simping maka akan menyebabkan penurunan dalam biomassa populasinya.
5.2. Saran
Dengan melihat kondisi kerang simping di perairan Kronjo yang merupakan salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat di Tangerang dikhawatirkan akan mengalami penurunan produksi (hasil) akibat pengambilan yang dilakukan secara terus menerus dan tidak terkontrol. Untuk lnengantisipasi ha1 ini diperlukan upaya pengelolaan lebih lanjut terl~adapbiota tersebut dengan pembatasan kegiatan penangkapan atau dengan pergiliran lokasi penangkapan. Penambahan intensitas banya menyebabkan populasi inenjadi kritis. Informasi tentang batas produksi yang dianggap kritis diperlukan dan dapat dijadikan sebagai bahan penelitian lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1998. Mollusca The Southern Synthesis Part A Fauna of Australian vol5. Australian Biological Resources Study. Australia. Alfitriatussulus. 2003. Sebaran Moluska (Bivalvia dan Gastropoda) di Muara Sungai Cimandiri, Teluk Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilinu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Allan, J. 1962. Australian Shells with related animals living in the sea, in freshwater and on the land. Georgian House, Melbourne. Australia. 487p. APHA. 1976. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. 4 th edition. American Public Health Association. Washington D.C. APHA. 1998. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. 20 %d. APHA (American Public Health Association), AWWA (American Water Works Association), and WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington D.C. Aziz, K. A. 1989. Pendugaan Stok Populasi &an Tropis. Bahan pengajaran. Deoartemen Pendidikan dan Kebudavaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. hal:17 Bahtiar. 2005. Kajian Populasi Pokea (Batissa violucca celebensis Marten, 1997) di Sungai Pohara Kendari Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Brandt, V. A. 1972. Fish catching methods of the world. London. Fishing news Book Ltd. 418p. Brower, J., J. Zar., and C. Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Third edition. Wm. C. Brown Publishers, Dubuque, Iowa. 45-183p. Christophersen, G. 2005. Effect of Environment Condition on Culturing Scallops Spat (Pecten maximus). Department of Biology. University of Bergen. Bergen, Norway. 9-13p. Dharmaraj, S., Shanmugasundaraman K, and Suja CP. 2004. Larva Rearing and Spat Production of The Windowpane Shell Placuna placenta. Aquaculture Asia, 9 : 20-28; http://www.malacsoc.org[ll Maret 20071 Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258p.
Effendie, M. I. 1997. Biolog Perikanan. Yogyakarta. 106-109p.
Yayasan Pustaka Nusatanla.
Faizah, R. 2001. Struktur populasi (kepadatan, distribusi dan rasio kelamin) Keong Macan di Teluk Pelabuhan Ratu. [Skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Fatmawati, D. 2003. Studi Pengelolaan PPI Kronjo Kabupaten Tengerang, [Skripsi]. Departemen Prospek dan Strategi Pengembangannya. Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Fridrnan, A. L. 1986. Calculation for fishing gear design. Roma. FAO. 214p. Gomez, K. A,, and A. A. Gomez. 1976. Statistical procedurs for agricultural research, with emphasis on rice. International Rice Research Institute, Los Baiios, Philippines. 171-178p. Hamidah, A. 2000. Keragaman dan Kelimpahan Komunitas Moluska di Perairan Bagian Utara Danau Kerinci, Jambi. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Helm, M. M., and N. Bourne. 2004. Hatchery Culture of Bivalves. A practical manual. FA0 Fisheries Technical Paper. No. 471. Rome, FAO. 19-29p. Hidayati, N. 1994. Eksplorasi kerang (Anadara sp.) yang didaratkan di TPI Desa Rawa Meneng, Keca~natanBlanakan, Kabupaten subang, Jawa Barat. [Sknpsi]. Fakcfitas Perikanan dan Ilmu Kela~ttan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Krebs, C. J. 1972. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Rows Publisher. London. 694 p. Mullen, D. M., and J. R Moring. 1986. Species Profile: life histories and environmental requirements of coastal fishes and invertebrates (North Atlantic) Sea Scallop. U.S. fish wildl. sen. Biol. Rep. 82(11.67). U.S. Army Corps of Engineers. TR EL-82-4. 13 pp. Napitupulu. 2003. Analisis Usaha Perikanan Alat Penggaruk Kerang'Dredge Gear'dan Kemungkinan Pengembangannya di Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Sumatra Utara. [skripsi]. Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Nontji, A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairail Teluk Jakarta serta Kaitannya dengan Parameter-parameter Lingkungan. [Disertasi]. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta : Jambatan. ha1 : 68 Novotny, V. and H. Olem. 1994. Water Quality: Prevention, identification, and management of diffuse pollution. Van Nostrans Reinhold, New York. 802806p. Nybakken, J. W. 1992. Marine Biology : An ecological approach (Biologi laut suatu pendekatan ekologis). Alihbahasa : H.M. Eidman, Koessobiono, Dietrich G.B, Hutomo, M. dan Sukristijono. PT Gramedia. Jakarta. 539p. Odum, P. E. 1971. Fundamental of ecology. Third edition. W. B. Saunders Company. Philadelphia. 255-260p. Pratami, C. E. 2005. Sebaran Moluska (Bivalvia dan Gastropods) di Perairan Teluk Jobokuto, Pantai Kartini Jepara, Jawa Tengah. [Skripsi]. Departeinen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sainsbury, J. C. 1986. Commercial fishing methodas: An introduction to vessel and gear. Second edition. farnham, Surrey. Fishing News Books Ltd. Inggris. 207p. Setyobudiandi, I. 2000. Sumberdaya Hayati Moluska Kerang Mytilidae. Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan. Institut Pertanian Bogor. Shumway, S. E. 1991. Scallops : Biology, Ecology and Aquaculture. Fisevier Science publishing. Company inc. New York. 1095p. Swennen, C. R. D. 2001. The Molluscs of The Southern Gulf of Thailand. Thai Studies in Biodiversity. Bangkok, Thailand. No. 4 : 1-210p. Walpole, R. E. 1990. Introduction to Statistics (Pengantar statistika). Third edition. Alihbahasa : Ir. Bambang Sumantri. PT Gramedia. Jakarta. p 23-24,35-38. Wetzel, R. G. 1975. Lunnology. Pennsylvania. 3 17-322p.
W. B. Saunders Co.
http://www.depdagri.go.id [4 November 20071
http://www.poonleart.com [19 Januari 20081
Philadelphia,
Lampiran 1. Data lengkap jumlah simping mathidup pada pengamatan Bulan Mei 2007
1. Data pengamatan jumlah individu mati si~npingberdasarkan ukuran di masing-masing stasiun pengamatan
I ~tasiun
Spat
Muda
Dewasa
Jumlah
I I1 111 Jumlah
106 129 43 0 665
85 276 1.187 1.548
4 7 103 114
195 412 1.720 2.327
2. Data pengamatan jumlah individu hidup simping berdasarkan ukuran di masing-masing stasiun pengamatan Stasiun I II
III Jumlah
Spat
Muda
Dewasa
Jumlah
26 123 233 382
1 109 37 147
0 0 0 0
27 232 270 529
3. Data pengamatan kepadatan rata-rata (ind./m2)berdasarkan ukuran di stasiun I SPAT (stasiun I) I
3
1
MUDA (stasiun I) 2
DEWASA (stasiun I) 0
0
4. Data pengamatan kepadatan rata-rata (ind./m2)berdasarkan ukuran dl stasiun 11
Lampiran 1 (Lanjutan) 5. Data pengamatan kepadatan rata-rata (ind./m2)berdasarkan ukuran di stasiun I11 pengambilan 1 2
SPAT (stasiun 111) N(mati) N(11idup) 9 4 6 4
MUDA (stasiun 111) N(hidup) N(mati) 26 1 1 11
DEWASA (stasiun m ) Nfmati) N(hidup) 3 0 1 0
6. Data pengamatan kepadatan rata-rata (ind./m2) simping mati berdasarkan ukuran & masing-masing stasiun pengamatan stasiun I 11
m jumlah
spat 7,07 8,6 28,67 44,33
muda 5.67 18,4 79,13 103,2
dewasa 0,27 0,47 6,87 7,6
jumlah 13 27,47 114,67 155,13
7. Data pengamatan kepadatan rata-rata (ind./m2) simping hidup berdasarkan ukuran di masing-inasing stasiun pengamatan stasiun I II
m iumlah
spat 1,73 8215,53 25,47
muda 0,07 7,27 2,47 9,s
dewasa 0 0 0 0
jumlah 1,s 15,47 18 35,27
Lampiran 2.
Data lengkap parameter fisika kimia perairan Kronjo pengamatan Bulan Mei 2007
1. Data pengainatan tipe substrat berdasarkan kepadatan rata-rata di masingmasing stasiun pengamatan Tekstur Debu (%) 30,92 31.72 37,37
Pasir (%) 10,64 47,SO 41,57
Stasiun I
II
m
Kepadatan (%) 7,77 22,55 69,68
Liat (%) 43,29 30.69 26,OZ
2. Hasil pengukuran parameter fisika-lumia perairan di semua stasiun penganatan pada Bulan Maret - Mei 2007 Maret Parameter I Fisikn Kedalaman
pH
DO COD
April Stasiun
m
I1
II
I
Mei 111
I
III
I1
1
3,9
3
1
4,2
2,2
1
3.5
3
7 7,26 56
6 8,47 64
65 7,57 72
7 2,39 184
6,5 2,99 136
6,5 2,87 324
7 3,19 192
7,5 3.19 176
7 2,39 176
3. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika-kimia perairan di senlua stasiun pengainatan
Ia Parameter Satuan m / Kedalaman Suhu Kekeruhan Salinitas TSS Kimia pH DO COD
cm "C NTU mdl
1 29 10 29 6.67
3,87 29,67 4,87 29,67 25
2,73 29,67 8,83 29,67 17,67
mdl mgll
7 4,28 144
6.67 4,88 125,33
6,67 4,27 190,67
Yi
Lampiran 3. Data lengkap biomasssa populasi simping pengainatan Bulan Mei 2007
1. Data pengainatan biomassa (gram/m2) berdasarkan *an
2. Ganlbar juinlah total biomassa mati di stasiun I
3. Gambar juinlah total biomassa hidup di stasiun I
di stasiun I
Lampiran 3 (Lanjutan).
4. Data pengamatan biomassa (gramlm2) bedasarkan ukuran di stasiun I1
5. Gambar jumlah total biomassa mati di stasiun I1
6. Gambar jumlah total biomassa hidup di stasiun I1
1
JmL& TotalBb~nassaHidup pada Stash D
1
Lampiran 3 (Lanjutan). 7. Data pengamatan biomassa (gramlm2)berdasarkan ukuran di stasiun 111
8. Gainbarjumlah total biomassa mati di stasiun 111
9. Gambar jumlah total biomassa hidup di stasiun I11 1w11hliTotalBb~iu~ss;l Hidup pndn Stasiu~rIIl
Lampiran 3 (Lanjutan). 10. Data pengamatan penwunan biomassa rata-rata di stasiun I
dewasa I 11 I11
1,Ol 0,61 0,49
11. Data pengamatan penurunan biomassa rata-rata di stasiun II
dewasa I
1,35
12. Data pengainatan penurunan biomassa rata-rata di stasiun III
Lampiran 4. Rasio berat cangkang kosong dan isi kerang simping (P. placenta) di semua stasiun pengamatan.
Stasiun I 11
m
Berat cangkang kosong 378,29 877,ll 5.439,42
Berat cangkang isi 17,04 390,lS 215,18
Stasiun I Rasio berat
=
C D
=
378,29 = 22,20 17,04
Rasio Berat ( C D ) 22,20 2,25 25,28
Lampiran 5. Uji Chi-square terhadap rasio berat kerang simping (P. placenta) di perairan Kronjo, Tangerang, Banten. 1. Data pengainatan rasio berat cangkang simping (P. placenta) di stasiun I
HC: Cangkang Kosong : Cangkang Isi = 1 : 1 HI : Cangkang Kosong : Cangkang Isi f 1 : 1
Kesimpulan : Rasio berat kerang simping selanla penelitian dalain kondisi tidak seimbang (lf 1).
Lampiran 5 (Lanjutan). 2. Data pengamatan rasio berat cangkang simping (P. placenfa) di stasiun II
6: Cangkang Kosong : Cangkang Isi = 1 : 1 HI : Cangkang Kosong : Cangkang Isi 8 1 : 1
= 235,97
2 x2tobe/ = X o.os(F~-I)= 14,07
Keputusan : x~J,~,,, >x
-
~
Tolak ~ Ho/Terima ~ ~ HI ~
I
Kesimpulan : Rasio berat kerang simping selama penelitian dalam kondisi tidak seimbang (181).
Lampiran 5 (Lanjutan). 3. Data pengamatan rasio berat cangkang simping (P. placenta) di stasiun 111
Ho : Cangkang Kosong : Cangkang Isi = 1 : 1 HI : Cangkang Kosong : Cangkang Isi # 1 : 1
x2mb,/ = X
2
o.o~(F~-I,= 1239
Keputusan : X ~ I , ; , , ,>
x2,&,l+ Tolak &/Terima
HI
Kesimpulan : Rasio berat kerang simping selama penelitian dalam kondisi tidak seimbang (lfl).
Lainpiran 6 .
Jumlah biota yang tertangkap selain simping (P. placenta) oleh 'garok' pada pengamatan Bulan Mei 2007.
Lampiran 7. Beberapa foto stasiun pengambilan sarnpel di perairan Kronjo
Stasiun I
Stasiun I1
Stasiun 111 Sumber : Dokumentasi Pribadi (2007)
Lampiran 8. Beberapa foto alat-alat yang digunakan pada saat penelitian
Timbangan ohauss
Jangka sorong
Alat tangkav - - Garok Sumber : Dokurnentasi Pribadi (2007)
Lampiran 9. Beberapa foto sampel simping yang didapatkan di perairan Kronjo
Spat Simping (P. Placenta)
Simping (P. Placenta) dewasa
Simping (P. P1acenta)muda
Anatomi Dalam simping (P. Placenta)
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2007)
Penulis dilahirkan d i Tasikmalaya pada tanggal 26 Mei 1985, merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pada keluarga Bapak H. Ali Mansur dan Ibu Hj. Onah Yuhanah.
Tahun 2003 penulis lulm dari MAN Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya dan pada tahun yang sama lulus seleksi mas& Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis rnemilii Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan d m Ilmu Kelautan. Selma mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (2004-2005) serta sebagai panitia dalam beberapa kegiatan yang diselenggarakan di lingkungan Institut Pertanian
Bogor. Penulis menyelesaikan penelitian dengan judul "Perubahan Populasi Simping (Placuna placenta, Lmn, 1758) Dari Upaya Tangkap di Perairan Kronjo, Tangerang, Banten" sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan diyatakan lulus ujian pada tanggal 14 Januari 2008.