PERUBAHAN SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA
DITULIS OLEH: Dra. HERISTINA DEWI NIP. 132 089 425
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA MEDAN 2007
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
DAFTAR ISI
Daftar isi……………………………………………………………………..i 1 Pendahuluan………………………………………………………………1
2.Pembatasan Masalah……………………………………………………...2
3.Pembahasan……………………………………………………………….2
a. Bentuk Perubahan……………………………………………………..3
b. Dampak Perubahan…………………………………………………..10
c. Faktor Perubahan…………………………………………………….13
4. Kesimpulan………………………………………………………………15
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
PERUBAHAN SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA
1. Pendahuluan
Seni pertunjukan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia, yang sebagian besar berasal dari tradisi pertunjukan tradisional yang terdapat pada berbagai etnis (suku bangsa) yang ada di Indonesia. Istilah seni pertunjukan dapat diartikan sebagai “tontonan” yang bernilai seni, seperti drama, tari, dan musik, yang disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton. Seni pertunjukan ini bermula dari tradisi pertunjukan yang biasanya adanya didapati dari dalam sebuah kerajaan atau dari etnis tertentu, di dalam perkembangannya diubah menjadi seni pertunjukan yang dipertontonkan untuk masyarakat umum. Hampir setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kesenian atau seni pertunjukan yang merupakan ciri khas masyarakatnya. Dalam suatu masyarakat kesenian yang berakar dari tradisi memiliki makna tersendiri bagi anggota masyarakatnya serta diwariskan secara turun temurun di lingkungan keluarga ataupun dalam komunitasnya.. Seni pertunjukan (tradisi) pada umumnya, kehadiran serta perjalanan hidupnya selalu tidak dapat membebaskan dirinya dari masyarakat pendukungnya, ia tidak sekedar hadir sebagai tontonan, tetapi juga terkait dengan pandangan dan kebutuhan hidup di dunia keseharian (nyata) , ritual, maupun dunia simbolis dari masyarakatnya. Perubahan (orentasi dan sikap) sosial budaya yang begitu cepat dari berbagai kelompok kelompok masyarakat di Indonesia sekarang ini juga membawa konsekuensi pada kehidupan kesenian perbedaan derajat, kecepatan, dan kondisi masyarakat menimbulkan permasalahan yang berbeda, majemuk serta gradasi yang berfariasi pula terhadap kesenian dibagi empat. Hal tersebut menyangkut pewarisan, pelestarian, pengolahan,dan bersikap kesenian. Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Salah satu masalah yang juga yangjuga dirisaukan oleh beberapa pihak yang terlibat dalam kehidupan kesenian, dalam era perubahan social budaya yang cepat sekarang ini, termasuk usaha pelestarian serta kekaryaan baru adalah masalah identitas . terutama terkait dengan satu cakupan kultur tertentu. Perkembangan yang ada membuat “seni pertunjukan” yang masih bermakna religius bias hilang dengan diarahkanya bahwa “seni pertunjukan” hanya sebagai hiburan saja. Diharapkan seni harus mampu membantu terbentuknya manusia yang utuh, manusia seutuhnya, manusia yang arif, manusia yang bijak, yang mampu menghargai keindahan, manusia yang mampu memanusiakan dirinya. Dari hal tersebut diatas tulisan ini ingin melihatkan, apa yang mendorong hal tersebut, dan bagaimana bentuk perubahannya.
2.Pembatasan Masalah Masalah yang dilihat dari seni pertunjukan tersebut, mengapa seni pertunjukan mengalami perubahan, bagaimanakah perubahan itu terjadi dan apa akibatnya?
3. Pembahasan Kesenian yang ada dewasa ini merupkan perkembangan dari warisan budaya masa lampau yang bergulir dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Waktu dan masa itu sudah barangtentu akan ikut dipengaruhi oleh budaya yang dilintasinya. Kehadiran kesenian akan memberi makna tersendiri dalam kehidupan. Keberadan seni yang dihasilkan oleh suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti; proses enkulturasi tradisi, migrasi,ekologi, fungsi dan kegunaan, struktur social masyarakat pendukungnya, dan sebagainya.
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Menurut umar kayam (2000), seni pertunjukan Indonesia memiliki sifat yang lentur
Sifat yang demikian karena lingkungan masyarakatnya selalu berada dalam
kondisi yang berubah-ubah. Kondisi tersebut berada pada suatu kurun waktu tertentu, mapan dan mengembangkan suatu sosok yang tumbuh sebagai suatu “tradisi”. Di sini “tradisi dimaksudkan sebagai suatu “hasil budaya” yang dialihteruskan selama bergenerasi. Seni pertunjukan Indonesia berangkat dari suatu keadaan di mana ia tumbuh dalam lingkungan etnik yang berbeda-beda satu sama lain. Peristiwa keadatan merupakan landasan yang utama pegelaran-pegelaran atau pelaksanaan seni pertunjukan. Dalam lingkungan etnik etnik di Indonesia dapat berfungsi sebagai pemanggil kekuatan gaib, pelengkap upacara dan perwujudan dari pengungkapan keindahan (Sedyawati, 1981). Pada masyarakat tradisional Indonesia kedudukan seni merupakan bagian yang integral dari kehidupan secara keseluruhan sebagai masyarakat agraris. Seni disajikan sebagai bagian dari berbagai upacara-upacara yang sebagian besar merupakan upacara pertanian dan adat istiadat. Pada masyarakat tradisional Indonesia kesenian belum bersifat ekonomis. Menghadirkan kesenian lebih sebagai pengungkapan batin, estetis dan kebersamaan. Kehadiran kesenian sesungguhnya bukanlah dirancang sebagai bentuk tontonan belaka, akan tetapi lebih dari pada itu adalah sebagai perwujudan dari suatu peristiwa budaya yang mencerminkan rasa kebersamaan. Selain hal tersebut kesenian juga berfungsi sebagai lambang status sosial..
a. Bentuk Perubahan Seni pertunjukan yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat mengalami perkembangan maupun perubahan baik yang hidup di tengah-tengah masyarakat biasa pada umumnya maupun yang terdapat di tengah-tengah kaum bangsawan. Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Seni pertunjukan yang lahir dan tumbuh pada jaman feodal kerajaan biasanya dianggap “maha karya” atau seni “adi luhung” karena wibawa aura sang raja dan elit politiknya, yaitu para bangsawan dan pejabat tinggi birokrasinya. Sementara itu, seni pertunjukan tradisi tumbuh pula bersama dengan system kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat pertanian tradisi yang erat berhubungan dengan berbagai ritus sistem kepercayaan. Seni pertunjukan macam ini juga berkembang menjadi seni pertunjukan “rakyat tradisi”. Kedua macam seni pertunjukan tersebut sama-sama disebut seni pertunjukan “lokal” karena sama-sama tumbuh dan berkembang di wilayah kepulauan Indonesia. Akan tetapi, karena wilayah kepulauan Indonesia luasnya terdiri dari wilayah-wilayah budaya, jumlah etnisitas yang beratus jumlahnya serta mengalami sejarah perkembangan sosialnya sendiri, maka sosok seni pertunjukan di masing-masing wilayah itu juga berlainan-lainan. Wilayah-wilayah budaya yang mengembangkan system kekuasaan yang feodal absolute, seperti Aceh, pesisir Melayu, Mataram, Makasar, Bugis, Bali dan sebagainya mengembangkan seni pertunjukan mereka yang bernafaskan aura wibawa system kekuasaan feudal absolut. Wilayah-wilayah budaya yang tidak mengembangkan system kekuasaan kerajaan yang feodal absolute, tetapi hanya mengembangkan sosial yang terjalin dalam keturunan geneologis, dapat juga canggih dan rumit (seperti masyarakat Minangkabau dan Batak), mengembangkan seni pertunjukan mereka di bawah aura ikatan kerakyatan.
Pada waktu tahun 1945 bangsa Indonesia berhasil mengikat wilayah-wilayah budaya di kepulauan Indonesia menjadi suatu Negara kesatuan yang berbentuk republik, suatu dialetika budaya baru bergulir. Budaya lama yang bernafaskan feodalisme-kolonialisme, menjadi budaya demokrasi dan kerakyatan yang berdasarkan Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
asumsi suatu kehidupan egaliter dari penduduk dan rakyatnya. Maka sistem-sistem lama yang hadir dalam masyarakat pun harus mengalami peninjauan kembali untuk mendukung budaya baru itu. Pertama kali tentulah sistem kekuasaan mesti diganti dan dikembangkan suatu sistem kekuasaan republik yang demokratis, sistem ekonomi modern kerakyatan yang demokratis, sistem kesenian yang mengacu pula pada azas demokrasi, kerakyatan dan modern. Maka mau tidak mau seni pertunjukan kita “terseret” di bawah aura perkembangan anti-tesa dialektika budaya baru tersebut. Seni pertunjukan yang selama ini berada di bawah aura kondisi sosial budaya lama berubah menjadi seni pertunjukan “klasik” atau seni pertunjukan “tradisional”. Antitesis budaya baru yang ditawarkan itu sekarang telah berkembang menjadi suatu sintesis budaya Indonesia yang mengubah kondisi sistem-sistem dalam masyarakat. Sistem kekuasaan yang mengacu pada suatu republik yang demokratis serta sistem ekonomi yang mengacu dan mendorong kepada suatu ekonomi pasar persaingan yang bebas dan terbuka, munculnya ekonomi industri telah memberikan pengaruh yang menentukan kepada kondisi dan dimensi apresiasi seni pertunjukan kita. Seni pertunjukan kita yang lama ada dalam patronase istana atau keraton dan patronase masyarakat (pertanian aatau lainnya), bergeser kepada patronase pemerintah, pasar dan masyarakat. Sintesis budaya baru kita dengan sistem kekuasaan demokratis dan sistem ekonomi pasar dan uang telah membungkus, mengemas seni pertunjukan kita menjadi kemasan-kemasan yang diorganisi dalam unit-unit bisnis besar atau kecil. Seni pertunjukan “adi luhung” yang “klasik” yang dahulu diciptakan dan ditayangkan untuk terutama memperteguh wibawa istana atau sistem kekuasaan feudal di istana, rumahrumah bangsawan, sekarang dikemas menjadi unit-unit produksi pertunjukan yang dibayar khalayak umum. Begitu juga dengan seni pertunjukan rakyat yang semula Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pertanian tradisi atau lainnya, oleh sistem kekuasaan demokratik sistem ekonomi terbuka, persaingan bebas, pasar dan uang mengalami pergeseran yang sama. Seni pertunjukan rakyat atau masyarakat dikemas pula dalam kemasan produksi yang “dijual”. Ada faktor penciptaan seni pertunjukan yang bergeser pula secara prinsipil. Pada waktu lingkungan budaya berada dalam aura wibawa sistem kekuasaan feodal-absolut, penciptaan seni pertunjukan adalah sesungguhnya semacam rekayasa politik secara artistik dari sistem kekuasaan feodal-absolut.
Lewat pencipta tari istana yang dimaksudkan sebagai wahana memperteguh atau melestarikan sistem kekuasaan istana. Di Solo (Mangkunegaran dan Kasunanan) dan Yogya (Pakualam dan Kasultanan), hal ini dapat ditunjukkan pada wayang wong Makuta Rama di bawah wibawa Mangkunegoro VII atau lakon wayang wong Gondowardoyo di bawah wibawa Hamengkubuwono VIII. Di samping itu bermacammacam tarian lepas yang diciptakan oleh berbagai koreografer istana (dengan label sang raja sendiri) diperkenalkan juga ke khalayak ramai. Khalayak ramai menerima tarian-tarian tersebut sebagai ciptaan pribadi sang raja. Pada permulaan tahun 1930-an terjadi pergeseran yang menentukan dari status wayang wong istana gaya Surakarta menjadi pertunjukan wayang wong yang dikemas secara komersial, tetapi wayang wong gaya Yogyakarta tetap mempertahankan statusnya sebagai wayang wong kraton dengan tidak pernah membiarkan gaya tersebut sebagai wayang komersial. Wayang wong gaya Yogyakarta dilestarikan pada pertunjukan-pertunjukan khusus di keraton atau di rumah-rumah bangsawan saja. Tidak pernah ada usaha untuk membentuk wayang wong komersial gaya Yogyakarta (Umar Kayam, 2000). Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Pada waktu jaman penjajahan Belanda di mana ekonomi uang dan pasar dari sedikit mulai memasuki negeri ini, seni pertunjukan juga mendapatkan imbasannya. Wayang wong Sriwedari adalah contoh imbasan ekonomi uang dan pasar seperti di uraikan di atas. Seni pertunjukan gaya keraton Surakarta mengenal kemasan secara komersial. Adapun seni pertunjukan, yang tumbuh dan berkembang di masyarakat di luar aura wibawa sistem kekuasaan istana, tumbuh dan berkembang di masyarakat peralihan, antara masyarakat pertanian yang tradisi dan masyarakat yang mulai bergerak menjadi masyarakat urbanisasi, akibat polotik ekonomi pertanian dan perdagangan pemerintah colonial. Maka banyak macam seni pertunjukan rakyat berkembang pula menjadi seni pertunjukan kemasan. Seni pertunjukan rakyat dan masyarakat pertanian di desa dan masyarakat pertanian di kemas menjadi kesenian yang dibayar oleh khalayak (jaran kepang, jaran dor, reog, atau ketoprak jalanan). Datangnya perubahan sosial budaya yang disebabkan oleh perjalanan kita menuju masyarakat industri dan ekonomi pasar, orientasi kesenian kita secara bertahap akan mulai bergeser, dengan kata lain akan semakin berorientasi ke kota, urban culture. Teater-teater peralihan yang bermain di kota-kota Jawa seperti ketoprak, ludruk, lenong, dan wayang orang komersil adalah pernyataan-pernyataan kesenian yang menjembatani kesenian rakyat dengan kesenian kota, atau dalam kasus wayang orang komersial seperti Sriwedari dan Ngesti Pandowo adalah kesenian dengan kesenian kota.
Khususnya seni pertunjukan jaran kepang yang semula berkaitan dengan religi dan biasanya ditampilkan pada acara bersih desa, panen, sunatan yang masih dipercaya dapat mengusir makhluk-makhluk halus yang mengganggu. Saat ini juga telah berubah Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
menjadi pertunjukan yang dikemas untuk pertunjukan yang bersifat seni saja dan pertunjukan dilakukan untuk menghasilkan uang baik dengan cara mengamen maupun pesanan. Namun, di dalam perkembangannya juga ada himbauan dari Pembina kesenian yang mengarahkan bahwa pertunjukan juga menghilangkan aspek kesurupan (trance) yang merupakan ciri yang mendasar dari pertunjukan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada festival yang dilaksanakan, bahwa kesurupan tidak dibenarkan. Jika melihat hal tersebut, kadang perkembangan ataupun perubahan sebuah seni pertunjukan bukan saja dikehendaki oleh pemilik kesenian tersebut, tetapi juga orang yang berkuasa atau yang mempunyai wewenang dapat turut campur mengubahnya (Heristina , 1992). Perkembangan lain yang terjadi dari salah satu seni pertunjukan daerah Minangkabau seperti randai. Randai merupakan kesenian tradisional yang hidup di tengah-tengah masyrakat yang merupakan permainan rakyat, bentuk kesenian ini pada dasarnya bertolak dari kaba sebagai sumber cerita, langkah dan gerakannya seperti pencak silat, ada dendang dan karawitan sebagai pengiring. Kalau dibandingkan randai yang ada semula dengan randai yang ada sekarang, telah banyak terjadi berbagai perubahan yang dapat diterima masyarakat.
Pada tahun-tahun belakangan ini di Sumatera Barat oleh tokoh-tokoh teater dari generasi muda sendiri telah lahir karya-karya teater modern. Tema cerita maupun dalam pola penampilannya mengandung unsur-unsur randai tersebut dalam pola baru sesuai dengan kebutuhan zaman. Karya-karya tersebut telah melahirkan ungkapan baru dalam dialog dan pola-pola baru dalam penampilannya, jenis yang demikian telah menarik minat generasi muda.
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Bentuk perubahan lain terlihat pada pertunjukan Wayang Orang, wayang orang istana mengalami pergeseran fungsi, menjadi sebuah seni pertunjukan komersial. Di sini diperkenalkan model pentas yang hanya dilihat dari satu arah dengan layar atau dekor realitas dan side wing di kanan kiri panggung untuk keluar masuk penari. Sedangkan sebelumnya dapat dilihat dari berbegai arah (Hersapandi, 1994). Dilihat secara seksama perubahan-perubahan yang terjadi pada kesenian randai terjadi pada bentuk penampilannya, namun hakekat dari randai itu sendiri tidak berubah. Cerita yang dimainkan tidak selalu cerita dari kaba tetapi juga cerita-cerita baru dari kurun waktu yang dekat dengan pengarang yang jelas. Sekarang, kalaupun menampilkan cerita kaba telah diperbaharui sedemikian rupa, cerita-cerita tersebut menjadi lebih pendek. Cerita-cerita sudah diketik alam bentuk naskah drama. Gerakan-gerakan
improvisasi
yang
bermula
dari
gerak-gerak
silat
Minangkabau, sekarang sudah muncul gerak-gerak joget. Pelaku yang pada awalnya semuanya terdiri dari laki-laki, sekarang telah tampil pemain wanita. Begitu juga dengan lamanya waktu pertunjukan, yang semula paling kurang semalam penuh, saat ini di tampilkan dalam tempo satu setengah jam sampai dua jam saja.
b. Dampak Perubahan Hal yang diuraikan di atas berkaitan seperti yang dikemukakan Delor (1996) dalam (Imran Manan, 1997), membangun manusia adalah kunci bagi pembangunan budaya nasional dan global, pembangunan ini masih menjadi masalah. Berbagai bentuk ketegangan perlu menjadi perhatian diantaranya seperti: 1) ketegangan antara hal-hal global dan lokal, 2) ketegangan antara hal-hal yang bersifat universal dan individu, 3) ketegangan antara tradisi dan modernisasi, dan 4) ketegangan antara materialisme dan spiritualisme. Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Di Bali yang sejak tahun 1930-an turisme mulai dihidupkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Denpasar, kesenian puri dan banjar, dari sedikit menjadi seni pertunjukan yang dikemas. Pada waktu sekarang terisme di Bali sudah menjadi industri utama di Bali, dan seni pertunjukan bali memang berkembang secara luas, menjadi seni pertunjukan kemasan yang merata.
Waktu sistem kekuasaan kerajaan feodal masih berkuasa, dan masyarakat pertanian masih “homogen” statusnya, pribadi-pribadi, seniman pencipta, “hilang” terhapus oleh aura wibawa sistem kekuasaan raja atau masyarakat yang homogen. Karya seni pertunjukan tidak “distempel” oleh penciptanya, koreografernya. Karyanya akan diklaim oleh raja atau masyarakat. Seni pertunjukan menjadi seni pertunjukan yang tidak bernama yang kolektif. Sekarang sesudah kita berjalan agak jauh bernegara republik yang demokratis, dimensi penciptaan seni, pertunjukan atau bukan, bergeser jauh. Sistem kekuasaan yang absolute, dan masyarakat pertanian yang homogen sudah diganti oleh suatu sistem plural, lebih individualistik, lebih berorientasi pada ekonomi uang. Suasanasuasana yang egaliter oleh sistem kekuasaan demokratis itu membuat orang lebih sadar akan kemandiriannya. Para pencipta seni sadar akan tanggung jawab hasil karyanya terhadap penilaian khalayak yang
terdiri dari pribadi-pribadi mandiri. Kalau seniman bukan lagi
memperhitungkan aura wibawa raja, atau aura masyarakat desa, dia mungkin misalnya akan memperhitungkan “keindonesiaannya” “kepancasilaannya” atau lebih sederhana “kepopuleran”, “laku secara finansial’ dan sebagainya. Maka kita akan melihat berbagai seni pertunjukan baik klasik, maupun rakyat tradisional, dipentaskan secar komersial atau dalam rangka berbagai even dalam negeri maupun luar negeri. Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Berbagai pementasan seni pertunjukan kini masih banyak meneruskan pementasan seni pertunjukan hasil aura wibawa istana yang sekarang disebut klasik, seni adiluhung yang perlu dipertahankan kelestariannya, dan seni pertunjukan kelanjutan seni pertunjukan masyarakat dengan aura wibawa masyarakat pertanian seperti ketoprak, ludruk, seni pertunjukan rural yang berkembang menjadi seni pertunjukan kota serta berbagai seni pertunjukan lainnya. Seni pertunjukan hasil karya pribadi-pribadi seniman mulai muncul pada senimanseniman teater modern, musik pop, dan film serta sinetron. Maka bila kita mulai berbicara tentang seni pertunjukan yang diciptakan oleh pribadi-pribadi seniman kita sekarang, hampir selalu itu berarti dengan ekonomi pasar. Kepentingan penguasaan pasar berarti maka semakin maraknya pula pertukaran pikiran berbagai ide, konsep, tentang berbagai hal termasuk kepercayaan, kenegaraan, polotik, dan sudah tentu juga kesusasteraan, kesenian, termasuk seni pertunjukan. Menurut Simatupang (2001), Globalisasi juga memberi pengaruh kepada seni pertunjukan Indonesia, karena globalisasi menunjuk pada fenomena berupa gerak meluas ke segala penjuru dunia yang kecendrungannya memberi efek gerak, homogenisasi, standardisasi, dan keseragaman. Musik telah menjadi kendaraan paling efektif dalam pertukaran kebudayaan. Namun, dalam perkembangannya kekuatan pasar dan budaya popular lebih mendominasi selera dan apresiasi masyarakat. Penerapan bidang kesenian dalam konteks sosial dan budaya kebanyakan hanya dilihat atau dinilai dari sudut kegunaannya sebagai hiburan, bahkan hiburan refresentatif. Di samping itu, banyak orang yang berpendapat bahwa seni bersifat fungsional dan bermanfaat bila menguntungkan dari sudut ekonomi.
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Dalam bidang kesenian di Indonesia, sering dilontarkan pendapat bahwa seni tradisional hanya mencerminkan ketinggalan budaya, sedangkan seni modern ala Barat menjamin kemajuan manusia atau budaya pada umumnya. Walaupun sering terdapat penegasan-penegasan sebaliknya, yaitu bahwa seni tradisi perlu dipertahankan demi identitas dan jati diri masing-masing etnik di Indonesia, realitas membuktikan hamper tidak demikian. Dalam rangka pendidikan pun justru telah lama diabaikan pendidikan tentang seni tradisional serta perkembangannya. Tradisi seni pertunjukan di Indonesia seolah dianggap Sesutu yang melawan zaman modern ini. Persoalannya adalah bahwa modernitas di Indonesia di impor, bukan dikembangkan dari akar-akar tradisi masing-masing budaya yang terdapat disini. Hal ini perlu diluruskan dalam rangka pendidikan, khususnya pendidikan seni supaya anak Indonesia berakar pada budayanya sendiri. Hanya dengan latar belakang pemahaman dan kesadaran budaya di sini, dia mampu menghadapi budaya luar dan menjadikan anak-anak yang terampil dalam mengembangkan kebudayaannya sendiri. Menurut Bandem (2000), perubahan memang membawa resiko yang besar dan serius tentang tatanan kehidupan (nilai-nilai masyarakat). Atas nama efektifitas dan efisiensi misalnya, terpaksa harus menggusur tradisi. Sesudah itu lantas muncul problem baru, yakni ketika seni tradisi digusur, terjadi ketidak jelasan arah yang pasti tanpa pijakan. Kita tahu, bahwa arah terlalu kencang menggamit titik sasaran, tetaplah membutuhkan kontrol yang baik. Sebab, sasaran di depan seringkali masih kabur, berupa impian dan angan-angan yang belum jelas sosok dan bentuknya. Sementara itu seni tradisi sudah teruji memberikan nilai kearifan yang dapat dijadikan dasar pijakan. Melangkah dengan pijakan yang kokoh dan jelas akan menghindarkan diri dari kegamangan.
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Sekarang kita berada dalam suatu masa di mana kebudayaan dunia saling berhubungan satu sama lain. Kemajuan teknologi industri media menjadi wahana yang menungkinkan kontak kultural yang tidak mungkin dihindari, harus dihadapi dengan suatu perencanaan yang tepat agar seni pertunjukan Indonesia tetap menjadi tuan di negerinya.
c. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Manusia selalu merasa tidak puas, sehingga mereka selalu berupaya menemukan hal-hal baru. Sumber terjadinya perubahan ada yang berasal dari masyaarakat itu sendiri, ada pula yang berasal dari luar masyarakat tersebut, sebagai pengaruh dari masyarakat lain. Perubahan terjadi sesuai dengan tuntutan zaman yang pernah dilaluinya. Perubahan sosial dan tata nilai pada mulanya melanda kehidupan dikota-kota, karena disanalah kesempatan untuk berkenalan dengan kebudayaan baru lebih cepat dan lebih mudah berlangsung, kemudian merambah sampai ke desa-desa. Ikatan-ikatan sosial mulai longgar dan kesetiaan terhadap tradisi pun berangsurangsur memudar. Beberapa sistem nilai berbenturan antara budaya setempat dengan budaya yang datang. Bentuk seni pertunjukan tradisional tidak saja akan mengalami perubahan, bahkan dapat saja hilang dan musnah, apabila masyarakat merasa bentuk kesenian tersebut tidak relevan dengan kehidupan masyarakatnya. Keadaan yang demikian dialami oleh seni pertunjukan tradisional Indonesia. Dilihat secara seksama kebanyakan perubahan disebabkan oleh perubahan yang datang dari luar, yaitu pengaruh dari budaya luar. Perubahan dalam masyarakat pun ikut mempercepat terjadinya perubahan terhadap bentuk kesenian. Cara berpikir
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
masyarakat, keadaan ekonomi masyarakat turut memdukung perubahan maupun perkembangannya. Indonesia adalah masyarakat yang terbuka sifatnya, maka kesenian rakyat mudah berubah akibat persentuhan dengan kebudayaan lain. Sebagian dari bentuk seni pertunjukan yang suddah dianggap kuno oleh generasi penerusnya dapat berganti atau berubah dengan yang baru sesuai dengan tuntutan zaman generasinya. Tinggi
rendahnya
apresiasi
masyarakat
terhadap
pertumbuhan
dan
perkembangan kesenian dapat menjadikan kesenian tersebut berkembang lebih baik atau akan musnah begitu saja, hal ini dapat terjadi pada pandangan terhadap nilai-nilai dan norma sosial di dalam kehidupan berkesenian. Kesenian di tengah masyarakat dapat berfungsi sebagai media informasi yang bersifat edukatif, yaitu sebagai sarana pelajaran bagi masyarakat, terutama yang menyangkut adat dan budaya yang berguna sebagai pedoman dalam kehidupan seharihari. Namun, hal ini bisa tidak tercapai lagi jika kesenian hanya sebagai hiburan semata. Kebudayaan itu dinamis, bagaimana pun juga kebudayaan itu akan berubah, hanya kecepatan perubahannya yang berbeda (Pelly, 1994). Lebih lanjut Edi Sedyawati (1987) mengungkapkan perubahan-perubahan terjadi karena manusia-manusia pendukung kebudayaan daerah itu sendiri telah berubah, karena perubahan cara hidup dan pergantian generasi.
Teknologi dan informasi yang dapat diterima dengan cepat melalui berbagai media cetak dan elektronik, hamper dapat menyeragamkan selera pasar khususnya dalam hal seni hiburan seperti musik. Secara tidak langsung berdampak pada suguhan
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
hiburan pada acara-acara seputar lingkaran kehidupan seperti acara selamatan dan lain sebagainya. Perubahan keadaan tingkat ekonomi seseorang dapat merubah kehidupan sosialnya. Wilbert Moore (dalam Lauer 1979) kebudayaan selalu berkaitan dengan perubahan social masyarakat.
4. Kesimpulan Seni pertunjukan Indonesia mengalami perubahan atau perkembangan yang beragam dan dengan cara yang beragam pula. Perubahan itu disebabkan oleh keinginan masyarakat pemiliknya atau pendukung seni tersebut, karena sistem kesenian yang mengacu pada azas demokratis, pengaruh permintaan pasar (ekonomi), globalisasi dan pendidikan. Perubahan seni pertunjukan dimaksud diperlukan untuk kebutuhan hidup masyarakat masa kini dan mendatang. Perubahan yang hanya mengutamakan nilai ekonomi saja tanpa mempertimbangkan hal lain perlu diwaspadai.
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
DAFTAR PUSTAKA
Bandem, I Made. 2000. Melacak Identitas Di Tengah Budaya Global, Di dalam Global Lokal. Bandung: MSPI Eri. “Budaya Lokal Harus Terbuka Agar Lestari” (Kliping Koran, Senin 26-11-2001). Media: Media Indonesia Heristina. 1992. “Jaran Kepang Pada Masyarakat desa Cengkeh Turi, Binjai-Sumatera Utara: Suatu Studi Kasus Musik dan Trance dala Dalam Konteks Sosio_budaya. Skripsi pada F. sastra-USU Medan Hersapandi, 1994. “ Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial” Dalam Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: MSPI Imran Manan, 1997. “Globalisasi dan Perobahan Budaya”. Jakarta: Kongres Asosiasi Antropologi Indonesia. Kuswarsantyo, 1996. “Dibalik Pentas Waayang Wong Mataranam”, di Dalam Seni Pertunjukan Indonesia. (Jurnal MSPI). Jakarta: MSPI Lauer, Robert H, 1989. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Bina aksara
Mack, Dieter. 2001. Pendidikan Musik: Antara Harapan dan realitas. Jakarta: MSPI Masduki. 1992. Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan Kebudayaan Nda. “Kebudayaan Berperan Merekatkan Bangsa”. (Kliping Koran, Rabu 3-10-2001). Media; Media Indonesia Pilliang, Yasraf Amir. 2000. “Global/Lokal: Mempertimbangkan Masa Depan”. Di dalam Global Lokal. (Jurnal SPI). Jakarta: MSPI Salmurgianto, 1995. “Cakrawala Pertunjukan Budaya, Mengkaji Batas Dan Arti Pertunjukan” dalam Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: MSPI Simatupang, 2001. “Budaya Sebagai Strategi Dan Strategi Budaya”, di dalam Global Lokal. Jakarta: MSPI Soedarsono, 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Bnadung: MSPI Sri hastanto, “Beberapa Catatan tentang Pengelolaan Kesenian dalam Era Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Otonomi Daerah”, (Kliping Koran, 30-11-2002). Media: Singgalang
Umar kayam, 1991. Kebudayaan Nasional kebudayaan Baru. Jakarta: Depdikbud ---------------- 2000, “Seni Pertunjukan Kita”, di dalam Global Lokal. 9jurnal Seni Pertunjukan Indonesia). Bandung: MSPI
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Gambar 1. Kendhang.
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Gambar 2. Saron
Gambar 3. Demung
Gambar 4. Gong
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Gambar 5. Gong
Gambar 6. Ketuk Kenong
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Gambar 7. Pecut
Gambar 8. Sajen diletakan diatas meja
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Gambar 9. Penempatan Perlengkapan ditempat pertunjukan yang menggunakan badan jalan
Gambar 10. Penempatan perlengkapan ditempat pertunjukan yang menggunakan lapangan
Gambar 11. Pawang sedang mensyarati(dahulu)
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Gambar 12. Pawang sedang mensyarati(saat ini)
Gambar 13. Posisi penari pada awal pertunjukan
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Gambar 14. Posisi penari menghormat kearah empat penjuru
Gambar 15. Posisi penari akan kesurupan
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Gambar 16. Posisi penari yang kesurupan terjatuh ke tanah
Gambar 17. Penari sedang makan kaca
Gambar 18. Posisi penari sedang mengembalikan makhluk halus ke kendhang
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Gambar 19. Anggota Jaran Kepang sedang meminta Saweran
Gambar 20. Pertunjukan Jaran Kepang pada acara pelantikan
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Gambar 21. Penari sedang melakonkan gaya monyet
Gambar 22. Suasana penonton di lapangan
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
LAMPIRAN GAMBAR
Gambar 1. Kendhang Gambar 2. Saron Gambar 3. Demung Gambar 4. Gong Gambar 5. Gong Gambar 6. Ketuk Kenong Gambar 7. Pecut Gambar 8. Sajen Gambar 9. Penempatan perlengkapan ditempat pertunjukan yang menggunakan badan jalan Gambar 10. Penempatan perlengkapan ditempat pertunjukan yang menggunakan lapangan Gambar 11. Pawang sedang mensyarati (dahulu) Gambar 12. Pawang sedang mensyarati (saat ini) Gambar 13. Posisi penari pada awal pertunjukan Gambar 14. Posisi penari menghormat kearah empat penjuru Gambar 15. Posisi penari akan kesurupan Gambar 16. Posisi penari yang kesurupan terjatuh ke tanah Gambar 17. Penari sedang makan kaca Gambar 18. Posisi penari sedang mengembalikan makhluk halus ke Kendhang Gambar 19. Anggota Jaran Kepang sedang meminta saweran Gambar 20. Pertunjukan Jaran Kepang pada acara pelantikan Gambar 21. Penari sedang melakonkan gaya monyet Gambar 22. Suasana penonton di lapangan Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007
Heristina Dewi : Perubahan Seni Pertunjukan di Indonesia, 2007
USU Repository © 2007