PERUBAHAN PANDANGAN MODERNISM DAN POSTMODERNISM DALAM KONSEP KONSUMSI DAN KONSUMEN Berta Bekti Retnawati Fakultas Ekonomi Universitas Soegijapranata
[email protected] Abstract: In this article, there is elaborate on various key ideas about consumption and consumer a theoretical position that we have labeled ‘postmodernism’. By unmasking the limitations of modernism that have to do with the onerous nature of its narrow conventionalism, it show that postmodern developments offer alternate visions of consumption prosesses that have an emancipatory potential. Postmodernism views both production and consumption are problematized simultaneously, and the consumer should now be viewed as a producer, as well as a consumer, of symbols and meanings that are incorporated into the symbolic system, which all human activity has become.There are many faces of the consumer at different times during consumers’ live in the postmodernism perspective. Pendahuluan Dalam sejarahnya, istilah modern muncul pada awal abad Pencerahan (Aufklarung) awal abad 18, yang dipahami sebagai suatu proses yang berkembang dan menyebarnya rasionalitas Barat ke segenap segi kehidupan manusia dan tingkah laku sosial. Menurut Best dan Kellner (1991) kehadiran manusia diakui sebagai aku, identik dengan rasio (kesadaran) yang diyakini mampu mengatasi, ada pengalaman yang bersifat partikular dan menghasilkan kebenaran mutlak, universal, tidak terikat oleh waktu. Hoksbergen (1994) menyatakan bahwa asumsi-asumsi mutlak tersebut mulai dipertanyakan oleh gerakan potsmodern, dimana ada usaha membebaskan diri dari dominasi konsep dan praktek ilmu, filsafat, dan kebudayaan modern. Pandangan ini menyadari bahwa seluruh budaya modernitas yang bersumber pada iptek pada titik tertentu tidak mampu lagi menjelaskan kriteria atau ukuran epistimologi bahwa yang ‘benar’ itu selalu ideal, dan yang ‘real’ itu selalu rasional. Dikatakan oleh Lyotard (1984), semangat postmodern dapat diartikan sebagai keterbukaan untuk melihat nilai dari hal-hal baru, yang berbeda, yang ‘lain’, sambil menolak kecenderungan dogmatis dan ketaatan pada satu otoritas, tatanan ataupun kaidah baru. Gerakan postmodern menitikberatkan pluralisme yang berusaha mencari visi lain di luar paradigma kemoderenan. Postmoder telah timbul tidak hanya sebagai suatu kritikan terhadap
116
perspektif modernism saja, namun telah tumbuh sebagai suatu filosofi baru dan adanya perkembangan budaya di dalamnya. Dalam konteks pemasaran, Borgmann dalam Firat dan Venkatesh (1995) menyatakan penelitian konvensional antara konsumen dengan perusahaan lebih banyak didasarkan pada perspektif modernism, didasarkan pada seperangkat asumsi tertentu akan kondisi dan perilaku pasar dan akses untuk memahami situasi tersebut (fenomena pasar berasal dari keputusan rasional yang teridentifikasi dengan baik dan diamati sebagai proses pengukuran yang jelas). Asumsi-asumsi dikembangkan dalam dan untuk dunia produksi masal yang mekanistik dalam pasar yang stabil. Bagaimanapun situasi yang berubah dengan cepat menuntut perspektif pandangan baru, yakni adanya masyarakat postmodern. Dalam artikel ini akan melihat bagaimana postmodernism menunjukkan keterbatasan modernism dan mempelajari konsumsi serta konsumen dalam perubahan paradigma tersebut. Pembahasan akan diawali dengan filosofi yang mendasari perspektif modernism; modernisasi, mass consumen society, dan munculnya konsumen modern; beberapa kritikan terhadap pandangan modernism, pendekatan perspektif postmodernism; budaya yang mengawali adanya konsumsi potsmodern; kondisi-kondisi
konsumsi
postmodern;
pentingnya
pemahaman
konsumen
postmodern; perubahan konseptual pada konsumsi dan konsumen dari modern ke postmodern; dan beberapa facet of the consumer dalam perpektif postmodern. Filosofi yang mendasari perspektif modernism Konsep modernisasi secara umum berkenaan dengan periode sejarah Barat pada abad 18 sampai sekarang ini. Borgmann dalam Firat dan Venkatesh (1995) mengatakan modernisasi kadang berkenaan pada periode waktu dan mencakup ide-ide filosofis dan sosiokultual yang meliputi kondisi-kondisi: peran alasan dan membangun pemikiran secara rasional; pentingnya pemikiran secara kognitif; munculnya peran science dan penekanan pada kemajuan material melalui aplikasi teknologi pengetahuan/scientific; realisme, representasi, dan keseragaman tujuan; munculnya kapitalisme industrial; dan pemisahan bidang produksi yang dikontrol secara institusional dan publik, dengan bidang konsumsi yang cenderung lebih domestik dan private. 117
Meskipun terjadi kesuksesan evolusi di dunia Barat karena pengetahuan, teknologi, dan mateial pendukung, namun tetap terdapat pertanyaan skpetis dan kritikan dari pandangan postmodern terhadap filosofi, budaya, dan dasar-dasar empiris dari perspektif modernism. Postmodern menawarkan pandangan yang berbeda dari modernism. Modernisasi, mass consumen society, dan munculnya konsumen modern Konsep modern akan konsumsi sebagai pembedaan dari fenomena lain yang berakar dalam pembedaan-pembedaan lainnya, seperti: pembedaan rumah dengan workplace, pembedaan waktu untuk kerja dan waktu untuk leisure, pembedaan kegiatan dalam wilayah public berbeda dengan wilayah private. Dengan pemisahan-pemisahan ini menjadikan pembeda antara konsumsi dengan produksi. Konsumen dianggap sebagai bentuk sekunder pada produksi, yang tidak menciptakan suatu nilai yang signifikan (seperti ekonomi) untuk masyarakat atau kemanusiaan. Di sisi lain produksi merupakan penciptaan nilai karena menambah nilai kehidupan manusia, sehingga dipandang sebagai aktifitas yang ‘keramat’ (sacred). Dalam aspek pertumbuhan masyarakat konsumen, pada saat terjadi pembedaan produksi dan konsumsi yang dipahami dalam konsep ekonomi, suatu bentuk paralel akan pengetahuan yang memperhitungkan konsumsi sebagai suatu proses sosiokultural mulai tampak. Menurut Campbell dalam Firat dan Venkatesh (1995), bentuk revolusi konsumen perlu analog pada revolusi industri. Timbulnya masyarakat konsumen didorong oleh empat pergerakan utama: Pembedaan wilayah public dan private (identifikasi konsumsi dengan private domain dan produksi pada public domain). Konstruksi dari masyarakat konsumen melalui beragam praktek dan public discourses dan dengan inisiatif media. Pembedaan peran laki-laki dan perempuan, pria pada domain produksi dan perempuan pada domain private yang menguasai aktifitas berkaitan dengan konsumsi (peran perempuan menjadi konsumen dalam proses pasar kapitalis). Perubahan dari konsumen menjadi pembelanja dengan menggunakan teknikteknik dalam pemsaran. Melalui periklanan, jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih tinggi, terciptalah ‘a consuming family’ menggantikan ‘a working family’.
118
Beberapa kritikan terhadap perspektif modernism Menurut Brown (1993), membahas beberapa kritikan terhadap pandangan modernism, diantaranya adalah: Dimana ada pandangan bahwa seorang individu/masyarakat modern dibentuk oleh kekuatan-kekuatan historikal utama yakni science, rasionalitas, dan teknologi. Postmodernist menyatakan apa yang dilihat di sekitar manusia tidak hanya produk dari sciense atau teknologi, tapi juga proses budaya yang mencakup estetika, bahasa, wacana, dan praktek-praktek. Postmodern melihat perspektif modern akan menjadi dangkal, dogmatic, dan unidimensi dalam menjalankan filosofisnya, dan memiliki keterbatasan pandangan akan individu (konsumen) yang memiliki agen kognitif. Perspektif modern gagal dalam melepaskan konsumen dari represifitas pemikiran rasional/teknologikal, dan kurang memaknai sisi kehidupan manusia, dan hilangnya nilai yang memaknai hidup. Pandangan ini dianggap membuat konsumen menjadi seorang partisipan yang malas dalam suatu sistem ekonomi yang rasional tapi tidak mmpu memaknai hidup dengan simbol, emosi, dan spiritual pada konsumen. Modernism menyederhanakan dunia menjadi kategori dikotomi yang simple, semisal:
subyek/obyek,
laki-laki/perempuan,
produsen/konsumen.
Setiap
pasangan tersebut menggambarkan suatu perbedaan dan kadang memberi status pada salah satu menjadi superior dibanding yang lain. Dalam postmodern dinyatakan bahwa dikotomi tersebut tidak selalu menunjukkan keberhasilan dan mencoba melegitimasi kebenaran secara parsial. Postmodern merupakan suatu gerakan ke depan untuk membentuk kembali ‘filosofi perbedaan’ yang ada dalam dogma modern. Adanya paradoksial dari modernism yakni ketidaksamaan antara idealitas dan realitas, yang memberi pandangan berbeda mengenai konsumen:
▪
Penempatan konsumen berlawanan dengan produsen, dimana produsen mencipta nilai sedang konsumen mengurangi/merusaknya.
▪
Konsumen dipandang sebagai komoditi, pemujaan pada obyek, namun pada saat yang bersamaan ada slogan pemasaran yang mengatakan bahwa ‘konsumen adalah raja’ atau ‘konsumen selalu benar’. Dalam pandangan
119
postmodern ada penjajaran konsumen dengan produsen, dimana konsumsi dipandang sebagai suatu aktifitas yang menghasilkan nilai. Modernist dipandang sangat represif karena mengutamakan pada rasionalitas, fungsionalis, dn universalitas. Pandangan postmodern mencoba mendekatkan pada ekspresi bentuk, simbol, dan mencampur beberapa aliran. Hal ini membuka kemungkinan-kemungkinan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Kritikan dari kaum feminist, dinyatakan oleh Bristor dan Fischer (1993), pandangan modern cenderung mengekspos konstruk modern dari konsumen sebagai suatu bagian yang dapat dipisah dari tubuh, individu dipisahkan dari konteks sosial dan masalah manusia hanya dikontrol sebatas sebagai obyek. Postmodern dianggap membuka pikiran konsep paradox dalam konstruksi modern konsumen, dan juga menunjukkan perspektif yang berbeda secara radikal mengenai siapakah konsumen itu.
Pendekatan dalam postmodernism Arias dan Acebron (2001), mengatakan inti dari postmodernism adalah adanya ide-ide dari budaya, bahsa, estetika, naratif, model, simbol, dan kebebasan berekspresi dan melakukan ‘meaning’. Dalam modernism, hal ini dipertimbangkan sebagai tataran sekunder pada ekonomi, science, konstruk analitis, essences, dan representasi metaphorical. Modernism dalam prosesnya dipandang memiliki kontinyuitas, progresifitas, tujuan-tujuan yang stabil, dan harmonis. Sedangkan postmodern memandang poses akan menjadi ilusi dan fiksional dan menyatakan bahwa terjadi micropractises dalam kehidupan setiap hari, adanya diskontinyuiti, pluralitas, chaos, instabilitas, perubahan-perubahan yang selalu terjadi, ketidakstabilan, dan paradoks dalam mengartikan secara lebih baik akan kondisi-kondisi manusia. Postmodern menolak dengan tegas pembatasan yang ada dan lebih bersifat memilih dalam pemikiran dan praktek. Dalam konteks ekonomi, ditambahkan oleh Thomas (1997) postmodern memperhatikan kedua simbolik produksi dan konsumsi menjadi wilayah utama dari partisipasi bersama. Disamping memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan berpikir secara kognitif, juga memandang manusia sebagai subyek komunikatif yang dibantu bahasa dan pemikiran rasional. Perspektif ini sangat mempertimbangkan estetika dari budaya kontemporer dan signifikansi budaya dalam 120
kehidupan kontemporer. Postmodern memandang dunia dibangun secara sosial dan subyektif, pengamat menjadi bagian yang diamati, dan science ‘didrive’ dengan dengan human interest. Bila modernism fokus pada fakta, melihat hubungan kausalitas dan hukum fundamental, mengurangi fenomena untuk menyerderhanakan elemen-elemen, membuat hipotesa dan mengujinya, maka dalam postmodernism lebih fokus pada ‘meaning’, mencoba memahami apa yang sedang terjadi, dan mengembangkan ide-ide melalui induksi. Pandangan ini memperhatikan nature of knowledge dan mendasarkan pada academic discourse. Budaya dan konsumsi postmodernism Thomas (1997) menyatakan dalam postmodernism pada proses konsumsi yang berlaku adalah liberatory, secara paradoks menggabungkan antara real dan imaginary, dimana seseorang dapat mengkonsumsi obyek, simbol, dan image secara bersamaan. Jika dalam perspektif modernism konsumsi dilakukan dengan mempertukarkan uang dengan barang dan jasa, namun dalam postmodernism persepsi pada produk yang bergantung pada pandangan yang dinyatakan dalam hal keunikan, kegunaan, dan nilai akan semakin berkurang. Pemahaman bahwa tidak ada obyek yang memiliki fungsi dan nilai yang melekat tergantung pada simbol produk dan memungkinkan konsumen untuk secara aktif menggunakan estetika dari pengalamanpengalaman hidup. Tumbuhnya kesadaran inilah dalam konsumsi akan lebih banyak melibatkan banyak imaginasi, dan masyarakat semakin banyak menjadi a society of spectacles. Lyotard (1984) mencatat istilah-istilah kunci postmodern yang biasa muncul yaitu pluralisme, fragmentasi, heterogenitas, indeterminasi, skeptisisme, dekonstruksi, ambiguitas, ketidakpastian, dan perbedaan. Budaya konsumen menjadi suatu cara untuk membedakan dirinya dari orang lain dengan membangun identitas dirinya unik tanpa merasa takut akan pengaruh sanksi sosial dan ‘moral obligation’. Beberapa kondisi dalam konsumsi postmodern Firat dan Venkatesh (1995), memberikan gambaran beberapa kondisi perspektif postmodernism:
Hyperreality -
Realitas sebagai bagian dari dunia simbolik 121
-
Pentingnya simbolik dan spectacles sebagai dasar realitas
-
Gagasan bahwa waktu dicakup secara konstan dalam penciptaan lebih banyak realitas
-
Adanya kekaburan perbedaan antara real dan nonreal
Fragmentation -
Sifat pengalaman dalam konsumsi adalah multiple, tidak terpisah-pisah
-
Subyek manusia memiliki devided self
-
Konsep authentic self dan centered connection dapat dipertanyakan
-
Pemasaran adalah suatu aktifitas yang memisahkan konsumen dan lingkungan serta merekonfigurasi keduanya dalam style dan fashion
Reversal of production and consumption -
Postmodern mendasari budaya konsumsi, modernism mendasari budaya produksi
-
Menolak pernyataan bahwa produksi mencipta nilai sedangkan konsumen merusaknya
-
Adanya consumer paradox:
Dimana konsumen merupakan penghasil yang aktif akan simbol dan tandatanda dari konsumsi, seperti halnya pemasaran.
Konsumen juga obyek dalam proses pemasaran, saat produk-produk menjadi ‘active agents’.
Decentered subject - Pandangan modernism dari subyek manusia:
Subyek manusia sebagai a self knowing, seorang agen yang independen.
Subyek manusia sebagai subyek kognitif.
Subyek manusia sebagai suatu kesatuan subyek.
- Pandangan postdernism dari subyek manusia:
Subyek manusia dibangun secara historis dan budaya.
Bahasa, bukanlah kesadaran, adalah dasar untuk subyektifitas.
Selain suatu subyek kognitif, ada juga suatu subyek komunikatif.
Membuang anggapan bahwa subyek dari modernism sebagai suatu subyek laki-laki.
Juxtaposition of opposites
122
- Pengalaman konsumsi tidaklah berarti menyatukan perbedaan dan paradoks nya tapi untuk menerima situasi untuk tetap eksis secara bebas. - Adanya penerimaan dan pengakuan bahwa fragmentasi dibanding unifikasi lebih menjadi dasar dalam konsumsi.
Pentingnya pemahaman konsumen postmodern Firat dan Venkatesh (1995) dan Boje (1995), sama-sama menyatakan bahwa pemahaman akan konsumen dalam pespektif ini sangatlah penting. Kondisi-kondisi postmodern yang paling baik dalam menggambarkan konsumen adalah fragmentasi dan decenteredness. Dalam fragmentasi tidak berarti bahwa konsumen terpaksa dalam memakai suatu ‘personal space’, namun di dalamnya mencakup kebebasan dalam merespon totalizing logic dari pasar. Konsumen postmodern berusaha merestruktur identitasnya dalam menghadapi serbuan kekuatan-kekuatan pasar. Fragmentasi menurut Patricia Waugh dalam Belk dan Bryce (1993), adalah suatu serangan yang gencar pada perbudakan pemikiran seperti keseragaman dan kebenaran. Kedua kondisi tersebut membangun gerakan yang lebih besar pada emansipasi. Bila dalam pandangan modernism emansipasi/kemerdekaan dalam bentuk histories yang linier, evolusioner, dan progresif, hanya untuk mengikat individu dalam ‘binary oppositions’ dan ‘repressive uniformities’.
Pandangan konvensional dari
konsumen dituliskan dalam bentuk hirarkikal kebutuhan, poses pembuatan keputusan dengan dua pilihan (ya/tidak, terus/berhenti, dan seterusnya), dikatakan memilih atau tidak ada pilihan. Dalam pandangan postmodern membebaskan individu dalam pandangan dan praktek yang nonlinier, dalam perilaku yang tidak memungkinkan, kontingensi, dan diskontinyuiti, yang menempatkan konsumen dalam area emansipasi/kemerdekaan. Konsep fragmentasi dalam kehidupan nyata menjadi menarik karena gaya kehidupan kontemporer yang memberi seseorang banyak pilihan dibandingkan sebelumnya. Dalam suatu periode sistem produksi modern keinginan konsumen postmodern, terkadang konsumen menghadapi dilema, sebagian besar mengalami tingkat stress yang tinggi.Kecemasan menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya konsumsi. Thomas (1997), mengatakan bahwa dalam konsep pemasaran, mass market diganti dengan micromarket, dengan niche market, dengan segmen pasar yang lebih 123
kecil yang meningkatkan homogenitas karakter. Seiring peningkatan teknologi, komunikasi, analisis real time, memungkinkankan adanya customizing produk individual konsekuensinya dalam penawaran produk dan kategori produk. Konsekuensi pada loyalitas merek, adanya individualitas yang baru mensyaratkan kebebasan dalam memilih. Perilaku konsumen menjadi lebih sulit diprediksikan. Pada hegemoni pasar yang menurun dan budaya postmodern yang bertambah, konsumen sebagai penghasil image diri dan (hyper) reality, akan menemukan suatu kebebasan baru. Perubahan-perubahan konsep dari modernism menuju postmodernism Ada beberapa konsep yang ditekankan dalam perubahan dua paradigma tersebut yang meliputi sistem filosofis, sistem konsumsi, konsumen/subyek, dan sistem signifikansi. Firat dan Venkatesh (1995) memberi gambaran dalam tabel berikut : Tabel 1 Perubahan-perubahan konsep dari modernism menuju postmodernism Perubahan konsep Sistem filosofis
Modernism
Postmodernism
Realitas (tunggal). Alasan
yang
Hyperreality. bersifat Realitas yang bersifat jamak.
logocentric.
Realitas yang bersifat virtual.
Pengetahuan (esensial).
Alasan
Kebenaran (tujuan).
hermeneutic.
Pikiran saja.
Pengetahuan (multivocality).
Universal.
Kebenaran (dibangun).
yang
bersifat
Pikiran dan tubuh. Regionalisasi. Sistem konsumsi
Produksi Konsumen
Konsumsi. sebagai Konsumen sebagai konsumen
konsumen.
sekaligus produsen.
Sistem konsumen sebagai Konsumsi sistem ekonomi.
simbolik.
Ekonomi.
Riset
sebagai
konsumen
Perubahan dari penggunaan pengetahuan nilai menuju perubahan nilai
sistem sebagai yang
membangun. Budaya dan ekonomi budaya. Perubahan
dari
pertukaran
nilai menuju tanda-tanda nilai.
124
Subyek/konsumen
Subyek kognitif Subyek
Sistem siginifikasi
yang
Subyek simbolik. memiliki Subyek komunikatif.
karakter sama/unified.
Subyek yang terfragmentasi.
Subyek yang terpusat.
Subyek yang tidak terpusat.
Totalized subject.
Liberated subject.
Represntasi.
Signifikasi.
Obyektifikasi.
Simbolisasi.
Science.
Science/bahasa/mitos/humanis.
Nine facets of the customer in postmodernism Bila ada pertanyaan mengapa konsumen membeli dalam perspektif postmodern? Untuk memecahkan suatu masalah, konsumen akan merasa memerlukan barang/jasa tertentu, mereka berpikir keperluan yang dimiliki, untuk efisiensi, dan yang lain mencerminkan karakter personal yang dimiliki. Oleh karenanya ada beberapa facet dari seorang konsumen pada waktu yang berbeda-beda dalam kehidupannya, dinyatakan dalam Thomas (1997), meliputi:
As shopper
Seringkali konsumen berbelanja tanpa menentukan target yang akan dibeli dalam benaknya. Karakter ‘window shopping’ dan ‘malling’ menggambarkan banyak waktu yang dipakai dalam berbelanja. Exploring dan shopping telah menjadi satu kesatuan. Hal ini bisa dilakukan di rumah melalui majalah dan katalog. Teleshopping akan berkembang sepat menjadi seperti konsep shopping. Shopping di media internet makin tersedia, shopping malls, dan teleshopping, menciptakan postmodern dalam suatu bentuk virtual reality. Akan terdapat pseudo explorer dalam virtual pseudorealities, mengubah konsumen dari masyarakat ‘postmodern spectacle’ dan menjadikan banyak konsumen dalam cyberspace.
As chooser
Pilihan diartikan sebagai hal dimana produk atau jasa tidak pernah secara nyata mendapatkan/menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa dan bagaimana mengkonsumsi. Pilihan akan mencakup dilema dan moralitas, yang sebelumnya konsumen dijauhkan untuk merasakan, bertindak, dan berkeinginan untuk mengalami perbedaan dari orang lainnya.
As communicator
125
Postmodernism telah memfokuskan pada kegiatan konsumsi sebagai komunikator dalam ‘meaning’ atau pengartian. Semua budaya yang ada menunjukkan bahw konsumen adalah seorang pemain yang memiliki pembelian dan bersinggungan dengan proses budaya yang sedang berjalan. Esensi dari konsumsi adalah cumulative spending dan display. Timbul konsep trend setting dalam fashion, dalam makanan, dalam mainan anak, dan lainnya. Konsumen sebagai komunikator dari image dirinya dan akan membentuk institusi utama dalam masyarakat postmodern.
As character explorer
Banyak konsumsi kontemporer yang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan ‘siapakah aku’? kehidupan para urban, organisasi yang anonim, impersonal work, produksi masal, pergerakan sosial dan fisikal, banyaknya pilihan, semuanya bersamasama melawan identitas yang sudah ada (eksis). Konsumsi mengisi kevakuman identitas diri. Dengan masa remaja yang lebih awal, setiap pilihan secara virtual yang dibuat oleh anak-remaja ‘didrive’ oleh kebingungan image, merokok, miumn, makanan, persahabatan, musik, dan lain-lain. Kesemuanya membuat kondisi lebih buruk dengan adanya targeting pada nak-remaja oleh para pemasar. Remaja menjadi pionir gaya hidup yang baru. Industri ‘leisure’ akan tumbuh pesat (misal: industri perawatan tubuh, industri training pertumbuhan pribadi) dipakai untuk memuaskan ekspektasi diri. Sehingga timbul pertanyaan: apakah konsumerisme secara nyata membantu penyembuhan atau menambah sikap narsisme (cinta diri berlebihan)?
As pleasure seeker
Hedonisme merupakan sarana mencari kesenangan, bila konsumsi didrive oleh pencarian kesenangan, maka pleasure merupakan suatu pengalaman emosional secara total. Budaya yang ada didominasi oleh pasar, peraturan-peraturan pasar mengkaitkan antara individu, perhitungan hedonis untuk kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan kontemporer, eksprsi diri melalui akuisisi.
As rebel
Ada cakupan icon-icon dari pemberontakan dan ketidakpuasan: cara melihat, cara berbicara, cara berjalan, gaya rambut, perhiasan di badan, motor Harley Davidson dengan piranti-pirantinya, semuanya sebagai symbol pemberontakan.
As victim
126
Dalam tindakan untuk memperbaiki kehidupan dengan berkonsumsi, sering memperburuk kondisi psikis seseorang. Secara jelas pemasaran selalu memiliki sisi lain (dalam arti negatif). Dalam ekonomi Barat ada beberapa institusi yang mengatur secara efektif dan hukum-hukum untuk melindungi konsumen dari eksploitasi perusahaan-perusahaan yang tidak mengindahkan moral.
As citizen
Konsumen sebagai homoeconomicus, mencari kehidupan yang baik dalam pasar. Jika pandangan modernism
dari
konsumen adalah rasional, sedang
pandangan
postmodernism memandang konsumen adalah irasional, incoherent, inkonsisten, mungkin juga immoral.
As activist
Tumbuhnya konsumen alternative, seperti green consumerism, recycling, ethical consumerism, semuanya menggambarkan usaha untuk meredefinisi konsumen sebagai warga, individual yang bertindak secara bersama/kolektif (kadang sendiri) dalam mencoba
memperbaiki
(recover)
beberapa
kendali
yang
didominasi
oleh
konsumerisme.
Penutup Perubahan perspektif modernism menuju postmodernism dalam konsumsi dan konsumen
memerlukan
pemahaman
secara
mendalam.
Pendekatan
modern
menempatkan konsumsi sebagai lawan/berseberangan dengan produksi yang secara praktikal menempatkan konsumen tidak sebagai bagian yang aktif dari logika pasar. Pandangan ini memandang konsumen dan konsumsi semata-mata dalam pengertian logika pasar saja. Dari aspek konsumen, pandangan modern konsumen sebagai seorang agen kognitif bukan sebagai komunikator yang mampu menghasilkan dan mengartikan simbol, sehingga dalam postmodern dipandang sebagai produsen yang membuat simbol dan arti. Pandangan postmodern konsumen sebagai seorang yang tidak hanya mencari kepuasan sebagai akhir suatu kebutuhan, tapi sebagai seseorang yang mencari untuk menghasilkan/membuat symbol dan bebas memilih tujuan konsumsi yang diinginkan (self image, lifestyle, atraktive personality, expert, a healty environtmen). Dalam pandangan ini tidak sepenuhnya membuang pandangan modern, hanya saja 127
menambahkan kontribusi dalam menawarkan perspektif yang mencakup kondisi, kognisi, keputusan, dan perasaan yang dialami konsumen, serta adanya beberapa facet dalam kehidupan konsumen. Ini semua akan bergantung pada budaya yang dibangun, budaya dnegan komunitas yang mendasarinya yakni scientific community. Konsumsi dalam perspektif modern, kosumen individu melakukan konsumsi yang merupakan aktifitas yang lebih didorong oleh kebutuhan, aktifitas yang dibimbing secara natural. Dalam kehidupan kontemporer, konsumen individu tidak didrive oleh kebutuhannya saja, namun oleh organisasi dari sistem obyek di sekitarnya. Melalui konsumsi, konsumen dihasilkan, dan melibatkan konsumen untuk berpartisipasi, membangun simbol dengan mitos, narasi, dan simulasi dari proses yang signifikan dan representative. Konsumen mengartikan customizing dirinya sendiri sebagai suatu entitas yang bermakna, untuk mengartikulasikan visi kehidupannya. Konsumen tidak lagi dipandang sebgaia suatu kesatuan subyek, karena konsumen akan semakin banyak tinggal dalam dunia yang penuh kontradiksi dengan keinginan dirinya. Kontradiksi tersebut justru dipakai untuk memaknai hidupnya. Asumsi-asumsi inti dari pandangan modernism dari konsumsi adalah memiliki pengartian, kohesif, dan transparan, sumber daya yang tidak terbatas, lingkungan alam tidak membatasi toleransi perusakan, dan dunia akan diperbaiki dan menjadi tempat yang lebih baik bagi setiap orang yang telah mengalami untuk merasa hidup senang. Postmodernism
memandang
konsumen
tinggal
dalam
suatu
dunia
yang
membingungkan, ambigu, dan tidak pasti. Dunia dalam realitas yang membutuhkan perbaruan sumber daya, dan memerlukan pendekatan lingkungan dan ecological.
128
Referensi Belk, Russell W. and Wendy Bryce (1993), Christmas shopping scenes: from modern miracle to postmodern mall, International Journal of Marketing Research, 10 (August), 277-296. Best,
Steven and Douglas Kellner (1991), Postmodern Theory: Intterogations, Macmillan Education Ltd: Hamsphire and London.
Critical
Boje, D.M. (1995), Stories of the storytelling organizations: a postmodern analysis of Disney as ‘Tamara-Land”, Academy of Management Journal, Vol. 38 No. 4, 997-1035. Bristor, Julia m. and Eileen Fischer (1993), Feminist tought: implication for consumer research, Journal of Consumer Research, 19 (March), 518-536. Brown, Stephen (1993), Postmodern marketing, European Journal of Marketing, 27 (4), 19-34. Firat, A. Fuat (1990), The consumer in modernity, Advances in Consumer Research, Vol. 17, 70-76. -------- (1992), Fragmentation in the postmodern, Advances in Consumer Research, Vol. 19, 203-206. -------- and Alladi Venkatesh (1995), Liberatory postmodernism and the reenchantment of consumption, Journal of Consumer Research, Vol. 22 (December), 239-267. Hoksbergen, R. (1994), Postmodernism and institutionalism: toward a resolution of the debate on relativism, Journal of Economic Issues, Vol. 28 (3), 679-713. Lyotard, J. Francois (1984), The postmodern condition: A report on knowledge, Minneapolis: University of Minnesota Press. Thomas, Michael J. (1997), Consumer market research: does it have validity? Some postmodern thoughts, Marketing Intelligence Planning, 15 (2), 54-59.
ALAMAT PENULIS: Berta Perum Gedang Asri Baru Jl. Kalimantan Raya No 388 Ungaran 50519
129
130