Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 P. Anthonius Sitepu
ISSN: 0216-9290 Perubahan Kekuasaan Presiden di Indonesia
Perubahan Kekuasaan Presiden di Indonesia P. ANTHONIUS SITEPU Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760 Diterima tanggal 8 Januari 2010/Disetujui tanggal 15 Februari 2010 Since independence August 17, 1945 to the present President of the Republic of Indonesia has been changing. In this period the power of the president of Indonesia has also experienced the ups and downs. The study looks at the phenomenon of tidal power is the President of Indonesia to the scope just to see and compare the phenomenon of power, President Soekarno and President Soeharto. The results show if the period of Sukarno's power throughout the power centered on the president, during the Soeharto era, too. Both the authority of President Soekarno and President Soeharto's rule are both supported by the constitution so that it can be said as a constitutional dictator. Can be said to be substantively and procedural powers in the hands of President Sukarno and Suharto was perfect. Both also managed to become the center of power and stick to most existing political elite. Thus the historical record in the history of presidential powers Indonesia's political system in the era of President Sukarno and Suharto's power is the history of executive dominance. Keywords: Executive dominance, Political elite, Constitutional dictator. Pendahuluan Sistem Pemeritahan1 yang dikenal pada umumnya di dunia ada dua yaitu: sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer,2 Sistem Pemerintahan 1
Secara sederhana Mahfud MD yang mengatakan bahwa cara kerja dan berhubungan dengan poros kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif dapat disebut sebagai sistem pemerintahan. Sehingga disebut sebagai sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan cara kerja antara lembaga-lembaga negara. Lihat Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 74. 2 Sistem parlementer adalah sistem yang menekankan parlemen sebagai subjek pemerintahan, sementara sistem presidensial, lebih menekankan peran presiden (eksekutif) sebagai subjek pemerintahan. Keduanya memiliki latarbelakang yang berbeda-beda pula dalam norma dan tatacara penyelenggaraan pemerintahan. Lihat dalam Hendarmin
Presidensial yang secara singkat dapat dirumuskan sebagai suatu sistem politik pemerintahan dengan dua pemilihan umum sekaligus yakni dengan pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara terpisah. Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, sampai sekarang ini, telah terjdi pasang dan surut dalam kekuasaan Presiden Indonesia. Bahkan sistem politik di Indonesia dikenal dalam nama yang berbeda-beda dalam beberapa periode tertentu. Paling tidak terdapat dua sistem politik yang paling terkenal dalam sejarah politik Indonesia yaitu sistem politik orde lama dan sistem politik orde baru. Kedua sistem ini sangat terkenal karena mendapat perhatian banyak ilmuan politik dan menarik minat para ilmuan politik untuk mempelajarinya. Jika pada masa orde lama presidennya Danadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, (Bandung: Fokusmedia, 2007), hal. 100.
108
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 P. Anthonius Sitepu
ISSN: 0216-9290 Perubahan Kekuasaan Presiden di Indonesia
adalah Soekarno maka di masa orde baru presidennya adalah Soeharto. Keduanya merupakan presiden yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat dan memiliki kecenderungan untuk memperbesar kekuasaannya. Studi ini akan menjelaskan secara mendalam tentang bagaimana kekuasaan persiden Soekarno dan bagaimana kekuasaan presiden Soeharto.
fat historikal atau teori-teori yang evolusionistis. Teori-teori spekulatif yang ditelaah dalam hal ini teori-teori perjanjian masyarakat, teori teokratis, teori kekuatan, teori patriarchal serta matriarchal, teori organis, teori alamiah, teori idealistis dan teori historis.
Pendekatan dan Metode Studi ini dilakukan dengan pendekatan kelembagaan dan sejarah politik. Fokusnya pada sejarah kekuasaan dan lembaga kepresidenan di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan metode library research ( studi pustaka). Terutama data yang berasal dari lembaran konstitusi atau UUD’45. Analisis dilakukan dengan metode analisis deskriptif komparatif, yaitu menggambarkan dan membandingkan objek penulisan berdasarkan sumber utama yaitu UUD’ 45. Teori Kekuasaan Kekuasaan (authority) merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman. Pertama, pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua, pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk kepada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan itu berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan tersebut pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan bahkan menerima tekanan pada sisi lainnya. Di dalam bahasa yang sangat sederhana, bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain yang terdapat dalam berbagai lini kehidupan baik dalam kehidupan komunal maupun dalam kehidupan pribadi. Sumber kekuasaan secara teoritik, dipahami sebagai studi tentang atau teori tentang asal-mula negara. Teori-teori itu dapat dikemukakan dalam bentuknya secara konseptual. Menurut F Isjwara3 teori-teori tentang asal-usul negara dapat dimasukkan ke dalam dua golongan pokok, yakni teori-teori bersifat spekulatif, dan teori-teori yang bersi-
Terkait dengan sumber-sumber kekuasaan secara teoritis seperti yang di atas, Ramlan Surbakti4, bicara soal pelaksanaan kekuasaan politik atau penggunaan sumber-sumber kekuasaan. Terdapat empat faktor yang perlu dikaji. Keempat faktor tersebut meliputi bentuk dan jumlah sumber, distribusi kekuasaan, kapan seseorang atau kelompok menggunakan sumber-sumber kekuasaan dan hasil penggunaan sumber-sumber kekuasaan serta bentuk dan jumlah sumber kekuasaan. Termasuk didalam kategori sumber kekuasaan adalah sarana paksaan fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi), normatif, jabatan, keahlian, informasi, status sosial, popularitas pribadi dan massa yang terorganisir. Senjata tradisional, senjata konvensional, senjata modern, penjara, kerja paksa, teknologi dan aparat-aparat yang menggunakan senjatasenjata ini merupakan sejumlah contoh sarana paksaan fisikal. Teori pemisahan kekuasaan (separation of power theory) yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai doktrin “Trias Politica”. Trias Politica juga dikatakan sebagai konsep atau sebagai doktrin klasik yang aktual yang menjadi bahan galian sistem pemerintahan negara, baik dari perspektif politik maupun hukum, khususnya Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Doktrin pemisahan kekuasaan pada dasarnya merupakan teori pemerintahan yang bertujuan untuk melindungi kebebasan dan memfasilitasi pemerintahan yang baik. Karena itu dipahami sebagai doktrin konstitusional yang membagi kekuasaan secara fungsional ke dalam tiga cabang kekuasaan, seperti kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pada awalnya konsep pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan politik negara muncul sebagai kritik terhadap kesewenang4
3
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Dhiwantara, 1967), hal. 119.
109
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), hal. 63-69.
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 P. Anthonius Sitepu
ISSN: 0216-9290 Perubahan Kekuasaan Presiden di Indonesia
wenangan kekuasaan monarki absolut yang kebanyakan di negara-negara Eropa pada umumnya. Untuk pertama kalinya, seorang filosofis Perancis yang bernama CharlesLouis de Baron Montesquieu dengan melalui bukunya yang berjudul The Spirit of the Law menekankan agar kekuasaan negara itu dipisahkan secara fungsional menjadi tiga fungsi. Ketiga fungsi itu antara lain: fungsi legislatif (the rule making policy), fungsi eksekutif (the rule application policy), dan fungsi yudikatif (the rule Adjudication policy). Penekanan ini dilakukan agar kesewenang-wenangan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara tidak terulang. Sebelumnya, John Locke seorang filosof Inggris melalui bukunya yang berjudul Two Treatise on Civil Government juga menekankan suatu pemikiran politik tentang pemisahan kekuasaan politik negara.
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Dalam hal ini UUD ‘45 mendukung menjadikan seorang presiden sebagai diktator atau disebut dengan istilah “diktator konstitusional”.
Menurut Charles F. Andrain5, biasanya para ilmuwan politik menggambarkan distribusi kekuasaan politik ke dalam tiga model, yakni model elite yang memerintah, model pluralis dan model populis. Model yang pertama melukiskan kekuasaan sebagai yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang yang disebut dengan istilah elite. Model pluralis, menggambarkan kekuasaan adalah sebagai yang dimiliki dengan berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat dan berbagai lembaga dalam pemerintahan. Model populis melukiskan kekuasaan sebagai yang dipegang oleh setiap individu warganegara atau rakyat secara kolektif.
Namun demikian, Pasal IV Aturan Peralihan UUD ’45 tadi hanya melihat bahwa KNIP tersebut sebagai pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaannya. Akan tetapi dalam kenyataannya, selama tahun 1945 – 1950 KNIP lebih berperan sebagai badan perwakilan. Hal ini terkesan sangat kuat bahwa kekuasaan presiden adalah bersifat absolut dan diktator. Karena seluruh kekuasaan berpusat pada presiden. Sedangkan KNIP, yang diisyaratkan dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD ’45 berfungsi sebagai pembantu presiden. Itulah pula sistem politik pemerintahan yang diformat oleh UUD ’45 adalah sistem politik yang executive heavy dimana kekuasaan presiden sangat dominan. Presiden menjadi pusat kekuasaan dengan berbagai hak prerogatif. Selain memegang bidang eksekutif, presiden juga memegang setengah dari kekuasaan legislatif, yang dalam prakteknya presiden juga menjadi ketua legislatif dari sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang setelah mendapat persetujuan dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Jikalau itu tidak disetujui oleh presiden maka rancangan itu tidak dapat diajukan lagi, akan tetapi sebaliknya, jika sebuah RUU tentang APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tidak disetujui oleh DPR, maka yang akan dipakai adalah APBN tahun lalu sebelumnya yaitu yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden.
Kekuasaan Presiden Era Orde Lama Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, dengan berdasarkan pada Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 presiden memiliki kekuasaan politik yang sangat besar dan kuat. Karena memegang kekuasaan pemerintahan dalam artian yang luas sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif) dan sebagai Kepala Negara dalam Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 untuk sementara fungsi MPR, DPR dan DPA dijalankan oleh presiden dan dibantu oleh Komite 5
Charles F. Andrain, Political Life and Social Change An Introduction to Political Science, (Belmont, California: Wadsworth Publishing Comp. Inc., 1970), hal. 89-90.
Sebagai penyeimbang kekuasaan Presiden yang terlalu kuat, maka selanjutnya dibentuklah sebuah lembaga yang memiliki fungsi seperti MPR dengan dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang menetapkan KNIP sebagai pengganti MPR. Dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD ’45 yang berbunyi sebagai berikut : “Sebelum MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan DPA (Dewan Pertimbangan Agung) dibentuk menurut Undang-Undang Dasar 1945 ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dan dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat”.
110
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 P. Anthonius Sitepu
ISSN: 0216-9290 Perubahan Kekuasaan Presiden di Indonesia
Namun demikian sejarah Indonesia modern, adalah sejarah dominasi eksekutif sejak terbentuknya the modern state pada zaman kolonial Belanda pada abad 19-an seperti yang ditandai dalam penandasan Pasal IV Ayat (1) UUD ’45 disebutkan, bahwa :
merintahan menurut undang-undang dasar”. Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan (sebagai Kepala Pemerintahan Negara Indonesia) harus berdasarkan UUD ’45.
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR dan menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Maka di sini sangat jelas bahwa persiden yang memegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif). Dalam konteks ini presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang tertinggi di bawah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab berada di tangan presiden dan dibantu oleh seorang wakil presiden. Namun kekuasaan demikian tidaklah bersifat mutlak (absolut). Hal ini, disebabkan karena kekuasaan presiden itu terkait dengan UUD dan Ketetapan MPR. Kekuasaan Presiden Era Orde Baru Dalam Undang-Undang Dasar 1945, kedudukan Presiden ditempatkan pada posisi yang sangat penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Kedudukan Presiden yang sangat penting tersebut terlihat dengan dimilikinya dua fungsi penting presiden, yaitu fungsi sebagai Kepala Negara dan fungsi sebagai Kepala Pemerintahan. Dalam pasal 4 ayat 1 UUD ’45, disebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR dan menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 UUD ’45). Di sini yang menjadi tekanan perhatian adalah mengenai kedudukan presiden setara dengan UUD ’45, yaitu kekuasaan Presiden. Kekuasaan Presiden sebagaimana tercantum dalam BAB III UUD ’45 mengatur tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dalam Pasal 4 ayat (1) ditentukan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pe-
111
Kedudukan dan kekuasaan Presiden memiliki kekuasaan yang sangat absolut bila dibandingkan dengan kekuasaan lembaga tertinggi dan tinggi negara lainnya. Secara empiris, pada masa Orde Baru, presidenlah yang paling menentukan baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan maupun dalam pengendalian militer dan politik. Dan bahkan sejak awal tahun 1980-an, Presiden Soeharto, makin lama makin tampil sebagai penguasa tunggal dalam bidang politik, pemerintahan, militer, ekonomi dan kemasyarakatan. Kekuasaan Presiden yang sangat dominan itu tidak hanya disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden, akan tetapi terutama karena lembaga tertinggi negara dan semua lembaga tinggi negara di luar lembaga kepresidenan, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI dan birokrasi, infra struktrur politik dan para warganegara pada umumnya dibuat tidak berdaya sehingga semua kehendak sang penguasa tunggal.6 Ada beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa kekuasaan lembaga kepresidenan selama rezim Orde Baru (Orba) sangat dominan. Pertama, UUD ’45 sendiri menyatakan secara eksplisit tugas serta kewenangan presiden mencakup tidak hanya bidang eksekutif, tetapi juga legislatif. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dengan persetujuan DPR dan menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.7 Kedua, selain sebagai Kepala Pemerintahan (eksekutif presiden juga memangku jabatan sebagai Kepala Negara. Karena UUD ’45 menganut sistem politik pemerintahan presidensial, maka kedua jabatan tersebut dipegang oleh sang presiden. Sebagai Kepala Negara, Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat (AD), Angkatan 6
Ramlan Surbakti, Reformasi Kekuasaan Presiden, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1998), hal.3. 7 Ibid., hal. 46.
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 P. Anthonius Sitepu
ISSN: 0216-9290 Perubahan Kekuasaan Presiden di Indonesia
Laut (AL), Angkatan Udara (AU), menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain atas persetujuan DPR, menyatakan keadaan bahaya (darurat) dan akibatnya yang ditetapkan dalam undang-undang, mengangkat duta dan konsul, memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.8
monial, diktator pembangunan dan sebagainya).12
Ketiga, berbagai sebutan yang melekat dalam jabatan presiden dalam kenyataannya selama ini telah dijadikan sebagai sumber kekuasaan baru bagi presiden di luar yang disebut oleh UUD ’45. Jenis kekuasaan yang baru itu adalah Presiden sebagai Mandataris MPR, presiden sebagai Panglima Tertinggi (Pangti) ABRI.9 Keempat, baik secara institusional maupun secara pribadi, presiden menguasai sumber keuangan yang cukup besar. Akhirnya dapat dijadikan sebagai atau untuk mempertahankan kekuasaannya. Setidak-tidaknya terdapat empat sumber keuangan yang dikuasai presiden selama Orde Baru yakni APBN, BUMN. Sejumlah yayasan-yayasan seperti Yayasan Dharmais, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Supersemar, Yayasan Dana Kemanusiaan dan Gotong Royong, Yayasan Dana Karya Abadi (DAKAB) dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri.10 Kelima, Pancasila lebih digunakan sebagai alat melakukan hegemoni terhadap rakyat daripada sebagai pedoman dan tolok ukur dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dengan melalui berbagai cara dan sarana, Pancasila digunakan sebagai alat untuk mendapatkan kepatuhan dari rakyat. Rakyatlah yang disuruh melakukan Pancasila sesuai dengan tafsiran penguasa, sedangkan presiden dan pembantunya bertindak sebagai penafsir dan keran itu sebagai sumber kebenaran.11 Keenam, format politik yang dipraktekkan, oleh rezim Orde Baru, dilukiskan oleh para ilmuwan politik dengan cara berbeda (birokratik otoritarian, negara pejabat, neopatri-
Perbandingan Kekuasaan Presiden Sumber kekuasaan (wewenang) atau kewenangan pada umumnya dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu sumber kekuasaan/ kewenangan yang bersifat prosedural dan sumber kekuasaan/kewenangan yang bersifat substantif.13 Sumber kekuasaan (kewenangan) yang bersifat prosedural ialah hak memerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis maupun tak tertulis. Sumber kekuasaan (kewenangan) yang bersifat substantif hak-hak memerintah berdasarkan faktor-faktor, yang melekat pada diri sang pemimpin (berkuasa) seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi dan instrumental. Terkait dengan hal tersebut, Presiden Soekarno pernah menyatakan bahwa baginya rakyat adalah sumber kekuasaan. Atas dasar anggapan itu, Soekarno berupaya mewujudkan kehendak rakyat itu ke dalam sistem pemerintahannya. Mula-mula Soekarno, bereksperimen dengan demokrasi parlementer campuran dengan pemerintahan presidensial, seperti di Belanda (parlementer) atau Amerika Serikat (presidensial) tetapi kurang memberikan hasil yang memuaskan. Citacitanya yang bersifat populis kiranya sulit untuk diwujudkan. Yang menjadi pertanyaan baginya adalah bentuk demokrasi manakah yang cocok untuk Indonesia. Akhirnya, di bawah tekanan situasi dan kondisi, Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin. Dan khususnya pada akhir pemerintahannya, Soekarno bertahan dan memang percaya bahwa ia secara naluriah meraba kehendak rakyat dan aspirasi rakyat. Jadi disinipun muncul kembali unsur yang setengah supranatural. Terbukti dalam kenyataannya, ia juga berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi dan mendamaikan pertentangan yang ada, yaitu : dengan gagasan untuk mempersatukan aliran nasionalis, Agama dan Komunisme (Nasakom). Ternyata ini juga mengalami kegagalan dan pada akhirnya terjadi retakan yang mendalam dan pembunuhan massal. Gagasan bahwa kekuasaan yang bersumber
8
Loc.cit. Ibid., hal. 47. 10 Loc.cit. 11 Ibid., hal. 48. 9
12
Loc.cit. Charles F. Andrain, op.cit., hal. 132, lihat juga Ramlan Surbakti, op.cit., hal. 87-88. 13
112
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 P. Anthonius Sitepu
ISSN: 0216-9290 Perubahan Kekuasaan Presiden di Indonesia
pada rakyat memiliki kelemahan bahwa dalam praktek sehari-hari, sebagian rakyat (besar) tidak memiliki kekuasaan apapun dan berada dalam ketergantungan pada pihak lain sehingga juga tidak akan bisa mewakilkan kekuasaan tersebut secara bebas kepada siapapun.14
dengan kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif. UUD ’45 memberikan kekuasaan legislatif kepada Presiden yang lebih besar dibandingkan dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR dan menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 4 UUD ’45).
Kekuasaan Soeharto, walaupun secara resmi mempertahankan gagasan populis, namun dalam kenyataannya ia mendasarkan posisinya pada aparat militer-birokratis yang diperkuatnya ditopang atas bantuan kredit dan penanaman modal oleh kapitalisme internasional dan cukong Cina perantauan. Di bidang sumber kekuasaan dan kewenangan ditopang oleh keberhasilan pembangunan ekonomi dan modernisasi. Terutama pada tahap awal pemerintahannya. Soeharto ternyata mengandalkan beberapa warisan lama, seperti ideologi Pancasila, yang secara formal dipertahankannya, dan bahkan diindoktrinasikan secara wajib ke seluruh aparatur negara, walaupun dalam pelaksanaannya Pancasila itu, tidak dihiraukan. Jurang antara ideologi dan praktek politik, itu sebagian besar telah merasuki anggota birokrasi pemerintahannya.15 Dalam hal ini kekuasaan seorang presiden, dalam suatu negara modern senantiasa didasarkan pada konstitusi. Dalam hubungan ini Indonesia sejak kemerdekaan, hingga sekarang, telah berganti-ganti konstitusi, mulai dari UUD ’45, Konstitusi RIS 1949, UndangUndang Dasar Sementara 1950 (UUDS ’50) dan UUD ’45 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sampai dengan amandemen UUD ’45 (1999-2002). Keberlakuan dari beberapa konstitusi tersebut paling tidak berpengaruh terhadap kekuasaan Presiden. Seperti terdapat dalam UUD ’45 Pasal 4 Ayat (1) yang mengatakan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menuntut Undang-Undang Dasar”. Di samping kekuasaan Presiden Indonesia berasal dari UUD dibidang penyelenggaraan pemerintahan, juga terkait 14
Ina E.Slamet, Yang Berkuasa, Yang Tersisah, Yang Tak Berdaya: Demokratisasi yang Bagaimana di Indonesia, (Bandung: Yayasan Akatiga, 2005), hal. 20-21. 15 Ibid., hal. 22.
113
Presiden adalah penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah MPR. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab berada di tangan Presiden dan dibantu oleh seorang Wakil Presiden, Menterimenteri Negara dan Dewan Pertimbangan Agung, dengan pengertian, bahwa kekuasaan itu tidak mutlak, karena ia terikat kepada UUD ’45 dan Ketetapan-ketetapan MPR. Untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, Presiden/ Pemerintah dengan persetujuan DPR menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanda Negara (RAPBN) Pasal 23 ayat 1 UUD ’45. Namun dalam hal-ikhwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peratuan Pemerintah sebagai Pengganti UndangUndang (Perpu) dengan kewajiban menyampaikannya kepada DPR. Disamping kedudukan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden juga memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang bersama-sama dengan DPR (Pasal 5 ayat 1 UUD ’45). Untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya ia mempunyai kekuasaan menetapkan Peraturan Pemerintah (Pasal 5 Ayat 2) UUD ’45. Dengan persetujuan DPR, Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta jika, dipandang perlu dapat menyatakan keadaan bahaya (Pasal 11 dan 12) UUD ’45. Presiden mengangkat Duta Besar Negara Sahabat serta Konsul, menerima Duta Negara lain (Pasal 13 ayat 1 dan 2) UUD ’45. Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, rehabilitasi serta memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 14 dan 15) UUD ’45. Dan pada akhirnya Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10 UUD ’45).
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 P. Anthonius Sitepu
Sebagaimana telah disinggung di muka mengenai pembagian kekuasaan (distribution of power) yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar (Konstitusi) yang dianut adalah pembagian kekuasaan secara horizontal atau pembagian kekuasaan berdasarkan fungsinya. Pembagian kekuasaan yang seperti ini menunjukkan pembedaan antara fungsifungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang lebih dikenal sebagai Trias Politika. Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan. Pertama, kekuasaan legislatif, atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making funcion), kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan yang melaksanakan atau disebut sebagai rule application function. Ketiga, kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang mengadili atas pelanggaran undang-undang atau sering disebut sebagai rule adjudication function.16 Dalam konteks UUD ’45, tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin Trias Politica dianut, tetapi karena beberapa Undang-Undang Dasar yang berlaku di Indonesia menyelami jiwa demokrasi konstitusional, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut konsep atau doktrin Trias Politica dalam arti pembagian kekuasaan. Bahwa UUD ’45 tidak menganut sepenuhnya Trias Politica adalah benar. Akan tetapi juga adalah benar, bahwa UUD ’45 mengenal Pembagian Kekuasaan (distribution of power) dengan tidak menekankan kepada pemisahan kekuasaan (saparation of power). Hal ini dapat kita lihat dalam pasal-pasal UUD ’45 sebagai berikut: Bab. III. Kekuasaan Pemerintahan Negara (Kekuasaan Eksekutif), Bab. VIII. Dewan Perwakilan Rakyat (Kekuasaan Legislatif), Bab.IX. Kekuasaan Kehakiman (Kekuasaan Yudikatif).17 Dalam UUD ’45 terlihat bahwa kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersamasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5, 20, 21 dan 22 UUD ’45). Presiden Republik Indonesia menurut Pasal 4 Ayat 1 16
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 281-288. 17 C.S.T. Kansil, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1973), hal. 187-188.
ISSN: 0216-9290 Perubahan Kekuasaan Presiden di Indonesia UUD ’45 memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut undang-undang dasar. Rumusan ketentuan Pasal 4 Ayat 1 ini yaitu, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut Undang-undang Dasar”. Sedangkan kekuasaan yudikatif, dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan-pengadilan di bawahnya (Pasal 26 UUD ’45). Secara operasional, dalam perjalanan sejarah politik Indonesia modern, bahwa mulai dari September 1945 sistem politik pemerintahan Indonesia itu berlandaskan pada sistem politik pemerintahan presidensial. Hal ini terkait dengan pemahaman kita terhadap kekuasaan eksekutif (presiden yang besar dan kuat). Secara keseluruhan periode sistem politik pemerintahan presidensial ini berjalan selama 1945 – 1949. Atas periode inilah kekuasaan politik negara yang sebenarnya, berada di tangan presiden Soekarno. Dengan demikian, kekuasaan politik negara yang sebenarnya (real) adalah berada ditangan Soekarno secara pribadi. Penutup Berangkat dari pembahasan tersebut di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah sebagai berikut: bahwa kekuasaan Presiden Republik Indonesia dengan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, memang cukup besar dan dominan. Hal ini disebabkan memang UUD ’45 itu telah memberikannya kewenangan yang sedemikian rupa. Jika periode kekuasaan Soekarno seluruh kekuasaan berpusat pada presiden, maka pada masa kekuasaan Soeharto juga demikian. Baik kekuasaan Presiden Soekarno maupun kekuasaan Presiden Soeharto samasama didukung oleh konstitusi sehingga dapat dikatakan sebagai diktator konstitusional. Sebagai contoh kekuasaan Presiden Soeharto didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945. Secara substantif maupun secara prosedural kekuasaan yang berada ditangan Presiden Soekarno dan Soeharto cukup sempurna. Keduanya juga berhasil menjadi pusat kekuasaan dan patuhi oleh kebanyakan elit politik yang ada. Jelas terlihat pasang-surut kekuasaan presiden di Indonesia yang dimulai dari masa kemerdekaan. Dengan demikian catatan sejarah kekuasaan presiden dalam
114
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 P. Anthonius Sitepu
ISSN: 0216-9290 Perubahan Kekuasaan Presiden di Indonesia
sejarah sistem politik Indonesia di era kekuasaan Presiden Soekarno dan Soeharto adalah sejarah dominasi eksekutif.
Andrain, Charles F.. 1970. Political Life and Social Change An Introduction to Political Science. Belmont, California: Wadsworth Publishing Comp. Inc. Surbakti, Ramlan. 1998. Reformasi Kekuasaan Presiden. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Slamet, Ina E.. 2005. Yang Berkuasa, Yang Tersisah, Yang Tak Berdaya: Demokratisasi yang Bagaimana di Indonesia. Bandung: Yayasan Akatiga. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kansil, C.S.T.. 1973. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pradnya Paramita.
Daftar Pustaka MD, Mahfud. 2000. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Danadireksa, Hendarmin. 2007. Arsitektur Konstitusi Demokratik. Bandung: Fokusmedia. Isjwara, F.. 1967. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Dhiwantara. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
115