1
PERTUMBUHAN, KEKUATAN TARIK DAN MULUR SERAT RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaudich) DENGAN PEMBERIAN ASAM GIBERELAT (GA3) DAN VARIASI KETERSEDIAAN AIR THE GROWTH, PULLING AND ELASTICITY STRENGTH OF HEMP FIBER Boehmeria nivea (L.) Gaudich WITH APPLICATION OF GIBERELIC ACID GA3 AND WATER AVAILABILITY Shafi Fauzi Rahman, Widya Mudyantini, M.Si., Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Hemp plant Boehmeria nivea is an annual plant which is easy to grow and to reproduce in a tropical region. Hemp fiber has a higher strength than cotton fiber, so that it is not easily broken off. It provides less reduction than another fibers, the humidity of hemp fiber can achieve 12%, and hemp fiber has smooth characteristic, long lasting, and its glint is similar with the silk. This research used complete random design CRD using two factors that were GA3 with 3 concentration variations G, such as 0 ppm, 175 ppm, 200 ppm, and 3 water availability variations A), such as 50%, 75%, 100%. The treatment was given to the rhizome before it was planted and the water availability was given when the shoot was started to form. The measured parameters were parameter of growth and fiber quality. The conclusion of this research is that GA3 treatment has an influence toward the increase of shoot stem height, dry weight, wet weight, fiber pulling test fiber’s strength, but it has no influence in the change of shoot number, leaf number, and elasticity of the fiber. The water availability treatment has no influence toward the entire parameter. The interaction between GA3 and water availability has influence toward hemp B. nivea fiber elasticity. The giving of GA3 in the concentration of 200 ppm shows the best influence toward the entire parameter of growth and fiber quality observed except in wet weight and dry weight. Water availability treatment in SQ 100% shows good influence toward wet weight and dry weight, in SQ 75% it shows a good influence toward the elasticity of the fiber. Key words: Giberelat Acid GA3, water availability, Boehmeria nivea, growth, pulling and elasticity test.
2
PENDAHULUAN Indonesia memiliki industri serat yang terdiri dari industri serat alam, serat buatan dan benang filamen; dan industri pemintalan serta pencelupan (spinning). Saat ini Indonesia merupakan produsen serat buatan ke tujuh terbesar dunia yang memasok 10% kebutuhan serat rayon dunia. Sekitar separuh dari produksi industri pemintalan dikonsumsi di dalam negeri, dan sisanya di ekspor ke luar negeri (Miranti, 2007). Penggunaan serat rami di Indonesia saat ini masih sebatas sebagai campuran serat kapas pada industri tekstil dan produk tekstil (IT-PT). Panjang serat rami disesuaikan dengan panjang serat kapas dengan cara dipotong-potong terlebih dahulu, karena sebagai suplemen kebutuhannya belum begitu besar yaitu sekitar 11 ton per tahun dan hampir seluruhnya dipenuhi dari impor asal China (Deptan, 2007). Tanaman rami (B. nivea) merupakan tanaman tahunan yang mudah tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis. Serat rami merupakan bahan yang dapat diolah untuk kain fashion berkualitas tinggi dan bahan pembuatan selulosa berkualitas tinggi (selulose α) (Tarmansyah, 2007). Serat rami mempunyai kekuatan yang lebih tinggi dibanding dengan serat kapas, sehingga tidak mudah putus. Kekurangan serat rami pada elastisitasnya yang lebih rendah dan kurang fleksibel jika dibandingkan dengan serat kapas (Gossypium sp). Keunggulan pakaian yang dibuat dari kain berbahan serat rami antara lain kemampuan menyerap air tinggi dan mudah dicuci (Saroso dan Sastrosupadi, 2000; Brink dan Escobin, 2003). Menurut Hill (1972), serat rami bersifat halus, tahan lama dan kilatannya seperti sutera. Salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan pada kapas adalah penggunaan serat alami yang berasal dari tanaman rami (B. nivea) yang memiliki karakteristik mirip kapas dan dapat digunakan sebagai bahan baku tekstil (Buxton dan Greenhalg, 1989). Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dikendalikan oleh zat pengatur tumbuh, contohnya adalah Gibberelic acid (GA3) (Kastono, 2005). Menurut Kusumo (1990), giberelin berperan dalam pembelahan sel dan mendukung pembentukan RNA sehingga terjadi sintesis protein. Salah satu aspek yang sangat penting dalam budidaya tanaman adalah air karena air berfungsi sebagai pelarut
3
hara tumbuhan di dalam tanah dan berperan dalam translokasi hara dan fotosintat di dalam tubuh tumbuhan (Gardner et al., 1991). Tersedianya air dalam jumlah yang tepat akan mendukung pertumbuhan tanaman, sebaliknya bila air terlalu berlebih atau kurang, pertumbuhan tanaman juga akan terhambat sehingga hasil panen yang didapatkan tidak optimal (Levitt, 1980). Kekuatan tarik serat mengindikasikan besarnya kekuatan serat yang dapat mendukung sebelum putus, kekuatan mulur serat didefinisikan sebagai panjangnya serat yang dapat mulur sebelum putus (Lee, 1999 dalam Indrawan, 2007). Pemberian GA3 dan ketersediaan air yang tepat dapat meningkatkan kualitas serat. Selulosa dan lignin sebagai penyusun dinding sel akan meningkat jumlahnya seiring peningkatan jumlah floemnya karena pemberian GA3. Selulosa merupakan penentu kualitas serat, sedangkan lignin menambah ketahanan serat. Dengan adanya perlakuan GA3 dan ketersediaan air dalam penelitian ini maka diharapkan dapat meningkatkan uji tarik yang cukup tinggi dan kemuluran yang cukup baik, serta serat yang dihasilkan dari pemungutan hasil yang pertama kali dari tanaman rami tersebut akan memiliki kualitas yang lebih tinggi, sehingga dapat meningkatkan efisiensi waktu tunggu panen.
BAHAN DAN METODE Bahan yang Digunakan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rhizoma rami; air untuk mencuci dan menyiram media; media tanam yang berupa campuran tanah, pasir, dan pupuk kandang; alkohol; GA3 : 175 ppm, 200 ppm. Bahan untuk uji tarik dan mulur berupa serat rami yang telah terpisahkan per helai. Persiapan Media Media dipersiapkan dengan mencampur tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1. Campuran media ditimbang untuk masing-masing polibag ½ kg. Persiapan dan penanaman Rimpang Rami Dalam penelitian ini rhizoma rami dipilih yang seragam kemudian dipotong-potong sepanjang 10 cm, dengan tiap-tiap rhizoma memiliki 1 mata
4
tunas. Potongan rhizoma tersebut kemudian ditanam pada media di dalam polibag sedalam 5 cm dengan posisi agak miring kemudian disiram air. Perlakuan Pemberian GA3 Pemberian GA3 dilakukan sekali sebelum penanaman. Masing-masing rhizoma disemprot dengan hormon sebanyak 5 ml. Setelah penyemprotan, tanaman langsung disimpan di tempat yang gelap dan tertutup sebelum ditanam dalam polibag agar hormon tidak rusak terkena cahaya dan tidak menguap. Penanaman dilakukan 2 hari setelah perlakuan (Mudyantini, 2008). Penentuan kapasitas lapang Campuran media tanam yang telah dikeringanginkan ditimbang seberat 1/2 kg dalam polibag yang telah dilubangi bagian bawahnya. Kemudian disiram dengan air sampai air berhenti menetes dari lubang bawah polibag sehingga dapat diketahui volume air yang digunakan untuk menyiram dan kapasitas lapangnya. Kapasitas lapang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: KL = (Berat tanah + polibag + air) – (Berat tanah + polibag) (Patoni, 2000). Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman setiap 1 hari sekali dengan berbagai variasi ketersediaan air yaitu 50%; 75%; 100% kapasitas lapang. Pengamatan Pertumbuhan Penghitungan jumlah tunas, tinggi batang tunas, dan jumlah daun dilakukan setiap 1 minggu sekali dimulai hari ke-0 semenjak perlakuan selama 2 bulan. Berat basah tanaman diukur dengan penimbangan semua tunas yang muncul pada masing-masing rhizoma pada akhir perlakuan. Berat kering tanaman diukur dengan mengeringkan semua tunas yang muncul pada masing-masing rhizoma dengan cara dikeringanginkan dibawah sinar matahari sampai kering kemudian ditimbang. Pengujian Kekuatan Tarik dan Mulur Serat Serat rami dipisahkan perhelai dengan panjang ± 10 cm. Dibuat media berupa kertas karton (kertas tebal) dengan panjang 10 cm, lebar 2 cm. Pada bagian tengah kertas dilubangi berbentuk persegi panjang, dengan panjang 5 cm dan lebar 1 cm. Serat yang telah dipisahkan perhelai ditempel ditengah media kertas
5
berlubang. Direkatkan ujung-ujung serat dengan isolatip dan lem agar menempel pada media, kemudian diujikan di alat Tenso Lab. yang secara otomatis akan menunjukkan angka kekuatan tarik dan mulurnya dalam nilai statistik (Laboratorium Evaluasi Tekstil, 2008). Analisis Data Data kuantitatif yang diperoleh diuji dengan analisis sidik ragam (Anava) untuk perlakuan awal/satu perlakuan; GA3,
(Ancova) untuk perlakuan
berkelanjutan; variasi ketersediaan air, dan General Linier Model (GLM) Univariate untuk 2 perlakuan; pada analisis kualitas serat. Untuk mengetahui beda nyata di antara perlakuan, dilanjutkan dengan uji Duncans Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman Jumlah Tunas Hasil rerata jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 berumur 32 hari setelah tanam. Perlakuan GA3
Jumlah tunas
G0
4
G175
2
G200
1
Keterangan: G = konsentrasi GA3(ppm), G0=0, G175=175, G200=200.
6
Dari hasil analisis sidik ragam (Anava) diketahui bahwa perlakuan GA3 tidak berpengaruh terhadap perubahan jumlah tunas yang muncul. Jumlah tunas tertinggi B. nivea pada Tabel 1 terdapat pada perlakuan G0 (kontrol) dengan rerata sebesar 4 buah, sedangkan jumlah hasil tunas terendah diperoleh pada perlakuan G175 dan G200 yaitu 2 dan 1 buah. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Konsentrasi yang tidak sesuai tidak akan memacu pertumbuhan, tetapi justru menghambat pertumbuhan. Menurut penelitian Rahman, et al., (2006) pemberian GA3 pada konsentrasi 250 ppm mendorong pertumbuhan Allium sativum 31,67%, sedangkan pada konsentrasi 500 ppm hanya 10,00%. Adanya pengaruh yang tidak signifikan tersebut diduga disebabkan karena jumlah tunas yang muncul ditentukan oleh jumlah mata tunas yang sudah ada pada rhizoma. Jumlah mata tunas pada setiap potongan rhizoma ditentukan oleh jarak antar ruas-ruas pada rhizoma dan merupakan faktor internal dari tanaman rami itu sendiri. Oleh karena itu, antara potongan rhizoma yang satu dengan yang lain dengan panjang yang sama dapat mempunyai jumlah mata tunas yang berbeda, meskipun mata tunas yang sudah muncul telah dipotong sebelum perlakuan. Selain itu, menurut Wahid (1990) dalam Hidayanto dkk., (2003), kandungan karbohidrat yang terdapat pada bahan stek, yaitu rhizoma, merupakan faktor utama untuk perkembangan primordia tunas dan akar. Tabel 2. Rerata jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam. Perlakuan GA3 G0 G1 G2 Rerata
A1 2,67 3,33 3,00
Ketersediaan Air A2 5,33 3,00 4,17
Rerata A3 5,67 6,00 4,33 5,33
Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.
5,67 4,67 3,56
7
Dari hasil analisis sidik ragam (Ancova) pada Tabel 2 diketahui bahwa pada perlakuan GA3 tidak memberikan pengaruh yang signifikan begitu juga dengan perlakuan ketersediaan air juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah tunas B. nivea. Rerata jumlah tunas tertinggi terdapat pada perlakuan G1A3 dan G0A3 (kontrol) yang memiliki jumlah tunas sebesar 6 buah, sedangkan rerata terendah terdapat pada perlakuan G1A1, G2A1 dan G2A2 yang memiliki jumlah tunas sebesar 3 buah. Rerata peningkatan jumlah tunas setiap 1 minggu sekali disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Rerata peningkatan jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali (cm). Perlakuan GA3 dan Air G0 A3 G1 A1 G1 A2 G1 A3 G2 A1 G2 A2 G2 A3
Rerata jumlah tunas minggu ke 1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 1 0 0 0 0 0
1 4 6 6 3 4 10
3 3 6 6 2 4 9
4 2 5 5 2 3 8
4 2 4 4 2 2 5
6 2 4 3 3 2 5
6 3 6 6 4 2 5
6 3 5 6 3 2 5
6 3 5 6 3 3 4
Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200 Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100 Jumlah tunas dihitung setiap 1 minggu sekali. Tabel peningkatan jumlah tunas B. nivea menunjukkan pertumbuhan yang meningkat setiap minggunya. Mulai minggu ke-7 ditunjukkan adanya penurunan pada G1A2, G2A1 dan G2A3, pada minggu ke-8 ditunjukkan adanya peningkatan pada G2A2. Perbandingan peningkatan jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 1.
8
Gambar 1. Rerata peningkatan jumlah tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali. Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100. Konsentrasi GA3 yang diberikan dalam penelitian ini meliputi 0 ppm, 175 ppm dan 200 ppm. Dari ketiga perlakuan jumlah tunas tertinggi B. nivea di hasilkan pada konsentrasi 0 ppm, sedangkan jumlah tunas terendah pada konsentrasi 200 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Konsentrasi yang tidak sesuai tidak akan memacu pertumbuhan, tetapi justru menghambat pertumbuhan. Menurut Wareing dan Phillips (1981), pemberian senyawa IAA pada konsentrasi yang optimum akan menyebabkan pembelahan sel yang bersifat meristematis, sehingga akan menyebabkan jumlah tunas lebih cepat keluar. Namun, pemberian GA3 pada rhizoma rami tidak dapat mempengaruhi perubahan jumlah tunas yang dihasilkan karena tidak dapat meningkatkan jumlah mata tunas yang ada pada rhizoma. GA3 lebih dominan dalam merangsang pemanjangan sel dan IAA lebih dominan dalam merangsang pembesaran sel (Davies, 1995). Variasi ketersediaan air yang diberikan pada penelitian ini meliputi 50%, 75% dan 100% KL. Jumlah tunas tertinggi B. nivea dihasilkan pada perlakuan 100% KL, sedangkan jumlah tunas terendah B. nivea pada perlakuan 50% KL (Tabel 2).
9
Ketersediaan air yang semakin meningkat menyebabkan semakin meningkatnya jumlah tunas tanaman, dan bila ketersediaan air menurun maka jumlah tunas akan menurun. Fitter dan Hay (1998) menyatakan bahwa air berpengaruh terhadap pertumbuhan sel, semakin menurun ketersediaan air maka tekanan turgor akan menurun, hal ini menyebabkan menurunnya laju pertumbuhan. Cekaman air menyebabkan perubahan macam dan jumlah senyawa karbohidrat di dalam tanaman. Pada tanaman yang mengalami cekaman air terjadi penurunan tepung dan peningkatan kadar gula. Penelitian Kramer (1977) dalam Islami dan Wani (1995), menunjukkan bahwa penurunan kadar tepung tidak selalu diikuti kenaikan kadar gula. Bahkan pada tanaman buncis (Phaseolus sp) dan tanaman tomat (Lycopersicon sp) cekaman air yang terjadi berkelanjutan menurunkan kadar tepung, gula dan karbohidrat total pada buncis (Phaseolus sp) dan tomat (Lycopersicon sp). Adanya pengaruh cekaman air terhadap metabolisme karbohidrat dan nitrogen, dapat menghambat pembentukan auksin pada tanaman yang menderita cekaman air. Kegiatan tersebut diikuti oleh penurunan transpor auksin ke kambium sehingga terjadi modifikasi aktivitas kambium. Cekaman air juga menyebabkan penurunan aktivitas sitokinin dan penyediaan giberelin ke batang (Islami dan Wani, 1995). Menurut Mullet dan Whitsitt (1996), efek utama dari kekurangan air adalah laju pertumbuhan batang yang lebih rendah akibat akumulasi asam absisat (ABA).
10
Panjang Tunas Hasil rerata panjang tunas tanaman rami dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rerata panjang tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 berumur 32 hari setelah tanam (cm).
Perlakuan GA3
Panjang tunas (cm)
G0
6,12a
G175
18,13 ab
G200
22,92b
Keterangan: G= konsentrasi GA3(ppm), G0=0, G175=175, G200=200. Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%. Dari hasil analisis sidik ragam (Anava) menunjukkan bahwa perlakuan GA3 berpengaruh nyata terhadap panjang tunas tanaman B. nivea. Rerata panjang tunas selalu meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi GA3. Pertumbuhan panjang tunas tersebut antara lain dipercepat oleh penggunaan hormon GA3 yang sesuai. Hasil ini sesuai dengan pendapat Sumiasri dan Priadi (2003) yang menyatakan bahwa pada pertumbuhan stek cabang sungkai (Peronema canescens Jack) pada konsentrasi GA3 5 mg/l optimum meningkatkan tinggi tunas sungkai. Berdasarkan hasil penelitian ini rerata panjang tunas tertinggi diperoleh pada perlakuan G200 yaitu 22,92 cm dan rerata panjang tunas terendah adalah pada G0 (kontrol) yaitu 6,12 cm. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi GA3 yang sesuai untuk pertumbuhannya. Konsentrasi GA3 yang tidak sesuai tidak akan memacu pertumbuhan, tetapi justru dapat menghambat pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan Salisbury dan Ross (1995) yang menyatakan bahwa zat tumbuh aktif pada konsentrasi rendah dan sampai batas tertentu akan merangsang pertumbuhan. Menurut Gul (2006) bahwa pemberian
11
hormon GA3 300 ppm pada Araucaria heterophylla, berpengaruh pada tinggi tanaman yang maksimum. Aisyah (2004) juga menyatakan bahwa pemberian GA3 pada Allium cepa dengan perendaman cenderung semakin meningkatkan tinggi tanaman seiring dengan meningkatnya konsentrasi GA3 hingga 10 ppm. Namun pada konsentrasi di bawah maupun di atasnya justru semakin rendah. Respon yang khas pada tanaman dengan perlakuan GA3 adalah terjadinya pemanjangan batang akibat adanya aktivitas kambium di internodus; sehingga tanaman menjadi lebih tinggi dari pada tanaman normal. Pemanjangan batang selain di pengaruhi oleh aktivitas kambium juga disebabkan oleh peningkatan mitosis di daerah meristem subapikal batang, sehingga jumlah sel pada masingmasing internodus meningkat. Peningkatan jumlah sel menyebabkan pertumbuhan batang lebih cepat, sehingga dihasilkan batang yang lebih panjang. Respon ini pada batang biasanya hanya berupa peningkatan panjang internodus, dan umumnya tidak meningkatkan jumlah internodus yang terbentuk (Wareing dan Phillips, 1981). Tabel 5. Rerata panjang tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam (cm). Perlakuan GA3 G0 G1 G2 Rerata
A1 16,35 8,04 12,20
Ketersediaan Air A2 9,87 10,99 10,43
Rerata A3 7,48 4,89 10,97 7,78
7,48 10,37 10,00
Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100. Dari hasil analisis sidik ragam (Ancova) pada Tabel 5 diketahui bahwa pada perlakuan GA3 tidak memberikan pengaruh yang signifikan begitu juga dengan perlakuan ketersediaan air juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap panjang tunas B. nivea. Panjang tunas tertinggi terdapat pada perlakuan G1A1 yang memiliki rerata sebesar 16,35 cm, sedangkan rerata terendah terdapat pada perlakuan G1A3 yang memiliki panjang tunas sebesar 4,89 cm. Hasil
12
ini lebih rendah jika dibandingkan dengan G0A3 dengan rata-rata panjang tunas sebesar 7,48 cm. Hal ini diduga berkaitan erat dengan proses pemanjangan sel yang menurun akibat adanya cekaman air. Variasi ketersediaan air yang diberikan pada penelitian ini meliputi 50%, 75% dan 100% KL. Panjang tunas tertinggi B. nivea dihasilkan pada perlakuan 50% KL, sedangkan panjang tunas terendah B. nivea pada perlakuan 100% KL. Pertumbuhan sel merupakan fungsi tanaman yang sensitif terhadap kekurangan air. Nilai potensial air jaringan meristem pada siang hari sering menyebabkan penurunan tekanan turgor dibawah yang dibutuhkan untuk pengembangan sel. Hal ini menyebabkan pengurangan sintesis protein, dinding sel dan pengembangan sel yang berakibat pertumbuhan yang lebih kecil (Gardner, et al., 1991). Berdasarkan penelitian Dewi (1993) terhadap dua kultivar tanaman kedelai (Glycine max (L.)) Merry Willis dan Lompo Batang, setelah berumur 47 hari pada stress air yang paling besar menyebabkan tinggi tanaman mengalami penurunan hampir 50% dan diameter batang mengalami pengurangan 47,7% untuk Willis dan 42,14% untuk Lompo Batang. Menurut Anggarwulan dkk., (2008) bahwa perlakuan ketersediaan air 60% memberikan pertumbuhan kimpul (Xanthosoma sagittifolium) yang terbaik pada semua taraf naungan. Rerata peningkatan panjang tunas setiap 1 minggu sekali disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Rerata peningkatan panjang tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali (cm). Perlakuan GA3 dan Air G0A3 G1A1 G1A2 G1A3 G2A1 G2A2 G2A3
Rerata panjang tunas minggu ke – 1
2
0 0.6 0 0 0 0 0
0.56 2.24 1.18 1.22 3.11 1.79 1.04
3
4
5
6
7
8
9
2.06 4.58 5.23 3.95 5.00 5.79 7,48 6.04 11.44 15.87 15.22 15.32 15.91 16.35 15.22 8.32 10.6 11.35 8.65 9.51 9.87 2.82 4.39 5.97 7.92 4.11 4.44 4.89 10.88 14.89 16.23 12.34 9.87 8.23 8.04 6.96 7.58 16.32 17.82 15.47 13.27 10.99 4.67 6.02 11.74 14.05 13.58 7.42 10.97
Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200 Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100
13
Panjang tunas dihitung setiap 1 minggu sekali. Tabel peningkatan panjang tunas B. nivea menunjukkan pertumbuhan yang meningkat setiap minggunya. Mulai minggu ke-6 ditunjukkan adanya penurunan, kecuali pada G0A3 dan G1A1 yang masih menunjukkan peningkatan sampai minggu ke-9. Perbandingan peningkatan tinggi batang tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Rerata peningkatan panjang tunas B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali (cm). Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100. Konsentrasi GA3 yang diberikan dalam penelitian ini meliputi 0 ppm, 175 ppm dan 200 ppm. Panjang tunas tertinggi B. nivea dihasilkan pada konsentrasi 175 dan 200 ppm, sedangkan panjang tunas terendah pada konsentrasi 0 ppm (Tabel 5). Giberelin eksogen yang dapat diangkut ke apeks tajuk akan memacu pembelahan di apeks tajuk. Giberelin dapat memacu pembelahan sel dengan meningkatkan hidrolisis pati, fruktan dan sukrosa menjadi molekul glukosa dan frukltosa. Giberelin lebih dominan dalam merangsang pembelahan sel dengan meningkatkan plastisitas dinding sel, yang akan menyebabkan terjadinya pemanjangan batang dan perkembangan batang dan perkembangan daun muda (Salisbury dan Ross, 1995). Hal ini didukung oleh Taiz dan Zeiger (1998), bahwa
14
GA3 mempunyai peran dalam mendukung pembelahan sel, pembentangan sel, aktivitas kambium, pembentukan RNA, dan sintesis protein yang menyebabkan peningkatan tinggi batang. Peningkatan kecepatan pertumbuhan dan tinggi tanaman akibat pengaruh GA3 dijelaskan dengan peran fisiologis zat tumbuh ini yang mempercepat tumbuhnya tanaman dengan mendukung perkembangan dinding sel dan merangsang pemanjangan sel karena adanya hidrolisis pati yang mendukung terbentuknya
enzim
amilase,
yang
pada
akhirnya
bisa
mempercepat
perkembangan sel (Wattimena, 1998). Menurut Wuryaningsih dan Sutater (1993) bahwa pemberian GA3 25 ppm menunjukkan beda nyata terhadap tinggi batang dan pembungaan yang lebih cepat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sanjaya (1991) bahwa pemberian GA3 dapat meningkatkan tinggi tanaman dan berpengaruh nyata terhadap panjang tangkai bunga krisan pada konsentrasi optimum 25 ppm yang diberikan dua kali yaitu pada umur 6 dan 8 minggu setelah tanam. Menurut Van Oberbeek (1966) dalam Weaver (1982), penggunaan GA3 akan mendukung pembentukan enzim proteolitik yang akan membebaskan triptophan sebagai prekursor dari auksin. Hal ini berarti bahwa kehadiran giberelin tersebut akan meningkatkan kandungan auksin. Mekanisme lain menyebutkan bahwa giberelin akan menstimulasi pemanjangan sel karena adanya hidrolisis pati yang dihasilkan dari giberelin akan mendukung terbentuknya -amilase. Sebagai akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi gula meningkat yang mengakibatkan tekanan osmotik di dalam sel menjadi naik, sehingga ada kecenderungan sel tersebut berkembang (Weaver, 1972 dalam Abidin, 1990). Ketersediaan air yang terlalu melimpah dalam tanah menyebabkan anoksia/berkurangnya oksigen pada daerah sekitar akar, hal ini dapat mengganggu penyerapan hara dari tanah oleh akar tanaman (Pezehski, 1994). Menurut Suyana dan Widijanto (2002), keberadaan air yang terlalu berlimpah dalam tanah juga dapat berakibat tercucinya hara dalam tanah sehingga kesuburan tanah berkurang.
15
Pencucian unsur hara dari permukaan komplek adsorpsi dan larutan tanah oleh air bersifat memiskinkan tanah. Jumlah Daun Hasil rerata jumlah daun tanaman rami dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 7. Tabel 7.
Rerata jumlah daun B. nivea dengan perlakuan GA3 berumur 32 hari setelah tanam. Perlakuan GA3
Jumlah daun
G0
7
G175
5
G200
3
Keterangan: G = konsentrasi GA3(ppm), G0=0, G175=175, G200=200. Hasil analisis sidik ragam (Anava) menunjukkan bahwa perlakuan GA3 tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Rerata jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan G0 (kontrol) yaitu sebanyak 7 buah, sedangkan nilai terendah pada perlakuan G175 dan G200 yang mempunyai rerata jumlah daun 5 dan 3 buah. Hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Konsentrasi yang tidak sesuai tidak akan memacu pertumbuhan, tetapi justru menghambat pertumbuhan. Adanya peristiwa pengguguran daun juga berpengaruh terhadap jumlah daun. Daun-daun yang sudah tua dan tidak aktif lagi melakukan fotosintesis akan menjadi layu kemudian gugur, yang nantinya akan mengurangi jumlah daun keseluruhan. Pada penelitian yang telah dilakukan Aisyah (2004) melalui perendaman umbi bibit Allium cepa dengan GA3 menyatakan bahwa pada konsentrasi yang tidak sesuai tidak meningkatkan jumlah daun bahkan cenderung menghambat karena semua hasil di bawah kontrol. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya persaingan unsur hara maupun hasil kerja giberelin dengan organ reproduktif lain maupun adanya faktor genetik atau
16
lingkungan lain yang kurang sesuai. Gardner et al. (1991), menyebutkan bahwa jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Posisi daun pada tanaman dikendalikan oleh faktor genetik, posisi daun ini mempengaruhi laju pertumbuhan daun. GA3 diketahui dapat memacu pertumbuhan seluruh tanaman, termasuk daun dan akar. GA3 yang diberikan dengan cara apapun di tempat yang dapat mengangkutnya ke ujung tajuk, maka akan terjadi peningkatan pembelahan sel dan pertumbuhan sel yang mengarah kepada pemanjangan batang dan (pada beberapa spesies) perkembangan daun muda (Salisbury dan Ross, 1995). Pengaruh GA3 terhadap proses pembentukan daun sesuai hasil penelitian Anwarudin dkk., (1996), bahwa GA3 tidak mempengaruhi proses pembentukan daun terhadap pertumbuhan manggis. Tabel 8.
Rerata jumlah daun B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam.
Perlakuan GA3 G0 G1 G2 Rerata
A1 5,00 10,33 7,67
Ketersediaan Air A2 19,33 12,33 15,83
Rerata A3 29,33 17,33 17,00 21,22
29,33 13,89 13,22
Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200 Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100 Dari hasil analisis sidik ragam (Ancova) pada Tabel 8 diketahui bahwa perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah daun B. nivea. Rerata jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan G0A3 (kontrol) yang memiliki jumlah daun sebesar 29 buah, sedangkan rerata terendah terdapat pada perlakuan G1A1 yang memiliki jumlah daun sebesar 5 buah. Rerata peningkatan jumlah daun setiap 1 minggu sekali disajikan dalam Tabel 9.
17
Tabel 9. Rerata peningkatan jumlah daun B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali. Perlakuan GA3 dan Air G0 A3 G1 A1 G1 A2 G1 A3 G2 A1 G2 A2 G2 A3
Rerata jumlah daun minggu ke – 1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 3 0 0 0 0 2
6 23 19 26 12 15 39
14 24 28 37 16 21 38
19 23 32 35 19 21 48
20 20 33 27 19 21 29
28 22 34 25 21 22 28
29 18 40 23 21 17 28
26 9 23 21 13 11 23
29 5 19 17 10 12 17
Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100. Penghitungan jumlah daun dilakukan setiap 1 minggu sekali. Tabel peningkatan jumlah daun B. nivea menunjukkan pertumbuhan yang meningkat setiap minggunya. Mulai minggu ke-7 ditunjukkan adanya penurunan, kecuali pada G0A3 yang masih menunjukkan peningkatan sampai minggu ke-9. Perbandingan peningkatan jumlah daun B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Rerata peningkatan jumlah daun B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air setiap 1 minggu sekali. Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100.
18
Daun sebagai alat fotosintesis akan dapat berperan secara optimal jika didukung oleh ketersediaan air, cahaya dan unsur-unsur hara yang cukup. Air dan hara akan diserap oleh akar. Auksin berperan dalam pembelahan sel dan diikuti dengan pembesaran sel akan menghasilkan primordial daun yang berkembang (Salisbury dan Ross, 1995; Loveless, 1991). Salah satu sifat GA3 adalah mendukung pembentukan enzim proteolitik yang membebaskan triptofan sebagai prekursor auksin sehingga kandungan kadar auksin akan meningkat (Abidin, 1990). Konsentrasi GA3 yang diberikan dalam penelitian ini meliputi 0 ppm, 175 ppm dan 200 ppm. Jumlah daun tertinggi B. nivea dihasilkan pada konsentrasi 0 ppm, sedangkan jumlah daun B. nivea terendah pada konsentrasi 200 ppm (Tabel 8). Jumlah daun B. nivea tertinggi dihasilkan pada perlakuan 100% KL yaitu 29 helai. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut tumbuhan memiliki ketersediaan air yang cukup selain itu peningkatan jumlah cabang juga akan meningkatkan jumlah daun. Ketersediaan air yang cukup akan mendukung peningkatan luas daun sehingga berhubungan dengan tingkat produksi tanaman (Sulistyaningsih dkk., 1994). Jumlah daun yang terendah pada perlakuan 50% KL yaitu 5 helai. Pada kondisi ini terjadi kehilangan air (transpirasi) yang tidak diimbangi dengan ketersediaan air yang cukup sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Kecepatan absorbsi yang tidak dapat mengimbangi kehilangan air melalui proses transpirasi akan menyebabkan cekaman air (Islami dan Wani, 1995). Menurut Fitter dan Hay (1998), air berpengaruh terhadap pertumbuhan sel, semakin menurun ketersediaan air maka tekanan turgor juga akan menurun. Hal ini menyebabkan menurunnya laju pertumbuhan yaitu jumlah daun yang dihasilkan rendah.
19
Berat Basah Hasil rerata berat basah tanaman rami dari penelitian ini disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10. Rata-rata berat basah B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam (gr). Perlakuan GA3 G0 G1 G2 Rerata
A1 5,84 5,40 5,61
Ketersediaan Air A2 9,56 6,40 7,98
Rerata A3 24,54 5,48 6,80 12,27
24,54b 6,96 a 6,19 a
Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100. * Angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%. Dari hasil analisis sidik ragam (Ancova) pada Tabel 10 diketahui bahwa pada perlakuan GA3 memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat basah B. nivea, dengan nilai signifikansi sebesar 0,00. Pada perlakuan ketersediaan air tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat basah B. nivea. Pada Tabel 10 hasil tertinggi ditunjukkan pada perlakuan kontrol (G0A3) sebesar 24,54 gr, sedangkan untuk perlakuan yang lain lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil terendah ditunjukkan pada perlakuan G2A1 sebesar 5,40 gr. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Konsentrasi yang tidak sesuai tidak akan memacu pertumbuhan bahkan bisa menghambat. Perbandingan berat basah B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 4.
20
Gambar 4. Berat basah B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam. Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100. Pada Tabel 10 (Gambar 4) menunjukkan bahwa berat basah tertinggi B. nivea dihasilkan pada GA3 konsentrasi 0 ppm, sedangkan berat basah terendah B. nivea pada GA3 konsentrasi 200 ppm. Untuk ketersediaan air yang diberikan dalam penelitian ini, berat basah tertimggi B. nivea dihasilkan pada perlakuan 100% KL dan berat basah terendah B. nivea pada perlakuan 50% KL. Berat basah tumbuhan dipengaruhi oleh kadar air dalam jaringan. Adanya pembesaran sel mengakibatkan ukuran sel yang baru lebih besar dari sel induk. Pertambahan ukuran sel menghasilkan pertambahan ukuran jaringan, organ dan akhirnya meningkatkan ukuran tubuh tanaman secara keseluruhan maupun berat tanaman. Peningkatan pembelahan sel menghasilkan jumlah sel yang lebih banyak. Jumlah sel yang meningkat, termasuk di dalam jaringan pada daun, memungkinkan terjadinya
peningkatan
fotosintesis
penghasil
karbohidrat,
yang
dapat
mempengaruhi berat tanaman (Wareing dan Phillip, 1981; Salisbury Ross, 1995). Air merupakan komponen yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan sendiri berfungsi sebagai proses yang mengolah masukan substrat yang sesuai untuk menghasilkan produk pertumbuhan. Substrat yang berupa bahan organik dan unsur lain yang diserap tanaman dari lingkungan seperti karbondioksida, unsur hara, air dan cahaya matahari diolah menjadi bahan organik
21
yang dapat diukur dengan penambahan bobot keseluruhan tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Cekaman air akan mengakibatkan perbanyakan dan perbesaran sel menjadi terhambat. Hal ini berkaitan dengan pengaruh tekanan turgor sel. Selain itu, kekurangan air akan mengakibatkan metabolisme sel terganggu termasuk proses fotosistesis. Fotosintesis akan terhambat jika air yang merupakan bahan utama hanya tersedia dalam jumlah sedikit, sehingga hasil dari fotosintesis juga akan berkurang. Fotosintat yang dihasilkan akan terhambat pula dalam peredarannya ke seluruh bagian tumbuhan, yang dapat menurunkan berat tanaman (Harjadi dan Yahya, 1988). Peningkatan jumlah cabang akan meningkatkan jumlah daun. Jumlah daun yang meningkat menyebabkan berat basah tumbuhan juga meningkat. Menurut Kusumo (1990), spesies yang perkembangan daunnya berlangsung cepat dan banyak akan semakin meningkatkan laju fotosintesis yang kemudian menghasilkan peningkatan keseluruhan tanaman. Berat Kering Hasil rerata berat kering tanaman rami dari penelitian ini disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Rata-rata berat kering B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam (gr). Perlakuan GA3 G0 G1 G2 Rerata
A1 2,22 1,88 2,05
Ketersediaan Air A2 2,50 2,19 2,34
Rerata A3 5,46 1,86 2,20 3,18
5,46b 2,19 a 2,09 a
Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100. * Angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.
22
Dari hasil analisis sidik ragam (Ancova) pada Tabel 11 diketahui bahwa pada perlakuan GA3 memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat basah B. nivea, dengan nilai signifikansi sebesar 0,00. Pada perlakuan ketersediaan air tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat basah B. nivea. Berat kering mencerminkan akumulasi senyawa organik yang berhasil disintesis tanaman dari senyawa anorganik, terutama air dan CO2. Tumbuhan dapat memanfaatkan intensitas sinar matahari secara baik sehingga meningkatkan pembentukan karbohidrat yang digunakan untuk pertumbuhan. Ketersediaan air yang melimpah dan unsur hara yang diserap akan memberi kontribusi terhadap pertambahan berat kering tumbuhan. Pada Tabel 11 hasil tertinggi ditunjukkan pada perlakuan kontrol (G0A3) sebesar 5,46 gr, sedangkan untuk perlakuan yang lain lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil terendah ditunjukkan pada perlakuan G1A3 sebesar 1,86 gr. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Konsentrasi yang tidak sesuai tidak akan memacu pertumbuhan bahkan bisa menghambat. Peningkatan berat kering terjadi sebagai akibat bertambahnya protoplasma yang terjadi karena ukuran dan jumlah sel bertambah. Pertambahan protoplasma berlangsung melalui perubahan air, karbondioksida dan garam anorganik menjadi bahan hidup. Proses ini meliputi fotosintesis, absorbsi dan metabolisme yang menghasilkan karbohidrat sehingga meningkatkan berat kering tanaman (Harjadi, 1993; Lakitan, 1996). Perbandingan berat kering B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 5.
23
Gambar 5. Berat kering B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam. Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100. Pada Tabel 11 (Gambar 5) menunjukkan bahwa berat kering tertinggi B. nivea dihasilkan pada GA3 konsentrasi 0 ppm, sedangkan berat kering terendah B. nivea pada GA3 konsentrasi 200 ppm. Untuk ketersediaan air yang diberikan dalam penelitian ini, berat kering tertimggi B. nivea dihasilkan pada perlakuan 100% KL dan berat kering terendah B. nivea pada perlakuan 50% KL. Menurut Delvin dan Withan (1983) dalam Rahardjo dkk., (1999) berat kering tanaman dapat dipakai sebagai petunjuk seberapa besar tanggapan tanaman terhadap cekaman air, karena air merupakan faktor pembatas utama bagi pertumbuhan tanaman. Gardner et al. (1991) menyebutkan kekurangan air yang parah dapat menyebabkan penutupan stomata, sehingga mengurangi pengambilan karbondioksida, akibatnya pertumbuhan terhambat dan produksi berat kering berkurang. Menurut Fitter dan Hay (1998), bahwa air memberi pengaruh terhadap berat kering, hal ini berkaitan dengan proses metabolisme yaitu proses fotosintesis. Berat kering total hasil panen tanaman budidaya merupakan akibat dari penimbunan hasil bersih asimilasi CO2 sepanjang musim pertumbuhan. Pemanfaatan hasil fotosintesis oleh tanaman antara lain untuk pembentukan struktur tubuh dan cadangan makanan. Fotosintesis menambat CO2 untuk
24
produksi heksosa dan respirasi. Cekaman/stress air dapat mengurangi laju fotosintesis yang lambat laun juga akan mengurangi sintesis/pembentukan struktur tubuh dan cadangan makanan sehingga mengurangi berat kering. Meskipun air merupakan salah satu bahan baku dalam proses fotosintesis, namun pengaruh dari pengurangan air dalam daun terhadap kecepatan fotosintesis umumnya terjadi secara tidak langsung. Pengaruh kadar air dalam tanah akan menyebabkan pengurangan dalam
kecepatan
fotosintesis,
hal ini disebabkan karena;
berkurangnya kapasitas difusi dari stomata karena stomata menutup, penurunan hidrasi dari kloroplas dan bagian-bagian lain dari protoplasma sehingga mengurangi efektifitas mekanisme fotosintesis, terjadi akumulasi gula sehingga menghambat proses fotosintesis lebih lanjut (Haddy, 1987). Menurut Fitter dan Hay (1998), menutupnya stomata, mengakibatkan difusi CO2 dari atmosfer ke daun terhenti. Sebagai akibatnya fotosintesis tidak dapat terjadi, dan dalam jangka panjang akan mengganggu proses-proses fisiologi lainnya sehingga pertumbuhan tanaman terhambat.
B. Kualitas Serat Kekuatan Tarik Serat Hasil rerata kekuatan tarik serat tanaman rami dengan perlakuan GA3 dan ketersediaan air disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Rerata kekuatan tarik serat B. nivea dengan perlakuan GA3 dan ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam (gr). Perlakuan GA3 G0 G1 G2 Rerata
A1 102 326 214
Ketersediaan Air A2 148 178 163
Rerata A3 58 82 180 106
58 a 110a 228b
Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100. * Angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.
25
Dari analisis sidik ragam General Linier Model (GLM) menunjukkan bahwa perlakuan GA3 memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan tarik serat, dengan nilai signifikansi sebesar 0,008. Perlakuan ketersediaan air, maupun interaksi antara GA3 dan pemberian ketersediaan air tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan tarik serat. Perbandingan kekuatan tarik serat B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Kekuatan tarik serat B. nivea dengan perlakuan GA3 dan perlakuan ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam. Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200 Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100 Gambar 6 menunjukkan bahwa kekuatan tarik serat paling tinggi ada pada perlakuan GA3 200 ppm dan ketersediaan air 50% (G2A1) yaitu sebesar 326, sedangkan kekuatan tarik terendah ada pada perlakuan GA3 0 ppm dan ketersediaan air 100% (G0A3/kontrol) yaitu sebesar 58. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi pemberian GA3 maka hasil kekuatan tarik serat akan semakin tinggi. Penunjang kekuatan serat yaitu selulosa dan lignin. Semakin tinggi kadar selulosa dan lignin, maka kekuatan serat yang dihasilkan akan semakin baik. Tetapi selulosa sebagai penyusun utama dinding sel lebih berperan memberi kekuatan pada serat. Salah satu sifat penting selulosa adalah kemampuannya bertahan terhadap regangan karena kelenturannya. Lignin menambah ketahanan dinding terhadap tekanan dan mencegah melipatnya mikrofibril selulosa. Arah
26
mikrofibril yang berbeda-beda merupakan faktor penting penentu kekuatan dinding (Mudyantini dkk., 2006). Menurut Salisbury dan Ross (1995) bahwa peningkatan GA3 endogen juga dapat meningkatkan hidrolisis pati, fruktan, dan sukrosa menjadi molekul glukosa dan fruktosa. Selulosa merupakan penggabungan unit-unit glukosa menjadi senyawa makromolekul yang tidak larut dalam semua pelarut yang biasa digunakan (Fengel dan Gerd, 1995). Menurut Abidin (1990) GA3 dapat menghasilkan hidrolisa pati yang akan mendukung terbentuknya α-amilase. Sebagai akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi glukosa akan meningkat. Kekurangan air akan mengakibatkan metabolisme sel terganggu termasuk proses fotosintesis. Fotosintesis akan terhambat jika air yang merupakan bahan utama hanya tersedia dalam jumlah sedikit, sehingga hasil dari fotosintesis juga akan berkurang (Harjadi dan Yahya, 1988). Menurut Islami dan Wani (1995) bahwa cekaman air menyebabkan perubahan macam dan jumlah senyawa karbohidrat di dalam tanaman. Tanaman yang mengalami cekaman air terjadi penurunan tepung dan peningkatan kadar gula. Menurut Hamid (2001) dan Sjostrom (1995) menyebutkan bahwa biosintesis selulosa dimulai dari glukosa. Maka dengan pemberian GA3 dan variasi ketersediaan air kandungan glukosa dalam tanaman meningkat yang dapat digunakan untuk bosintesis selulosa, sehingga kandungan selulosa dalam tanaman juga ikut meningkat. Jalur sintesis selulosa dari glukosa dapat dilihat pada Gambar 7.
27
Gambar 7. Jalur Biosintesis selulosa dari glukosa (Sjostrom, 1995). Glukosil aktif (UDP-glukosa) merupakan prekursor dalam sintesis selulosa. UDP-glukosa dihasilkan dalam sitoplasma dari dua sumber: dari sukrosa oleh sintase sukrosa (1) (reaksi dapat balik) dan dari glukosa oleh reaksi-reaksi berurutan yang dikatalisis oleh heksokinase (2), fosfoglukomutase (3), dan UDPglukopirofosfosilase (4). Setelah penembusan ke dalam selaput plasma, maka UDP-glukosa mentranfer sisa glukosilnya ke rantai pertumbuhan glukan (selulosa) disertai dengan pelepasan UDP. Penggabungan ini dikatalisis oleh tempat-tempat aktif pada subunit-subunit kompleks sintase selulosa yang disimpan dalam selaput plasma. Rantai-rantai glukan yang berasal dari satu kompleks
diperkirakan
terasosiasi
dengan
ikatan
hidrogen
membentuk
mikrofibril, yang ukurannya dapat bervariasi diantara tipe-tipe sel yang berbeda. Ketika sintesis berlangsung orientasi mikrofibril dapat ditentukan dengan gerakan kompleks dalam lapisan ganda cairan lipida. Gerakan seperti ini dapat diarahkan oleh mikrotubula yang terdapat pada permukaan dalam selaput plasma (Sjostrom, 1995). Masuknya bahan-bahan tambahan ke dalam dinding sel dalam rangka selulosa disebut inkrustasi (pengerakan). Proses inkrustasi yang paling penting pada tumbuhan tinggi adalah lignifikasi, tetapi pada banyak sel, bahan-bahan lain
28
seperti suberin, tanin, kutin, lilin kuinin, dan bahan organik serta bahan mineral lainnya dapat pula melapisi dinding sel (Fahn, 1991). Menurut Neish (1968), Sarkanen (1971), Griseboch (1977), Gross (1977) dan (1978) dalam Fengel dan Gerd (1995) menyebutkan bahwa biosintesis lignin dimulai dari glukosa. Maka dengan pemberian GA3 dan variasi ketersediaan air kandungan glukosa dalam tanaman meningkat yang dapat digunakan untuk bosintesis lignin, sehingga kandungan lignin dalam tanaman juga ikut meningkat. Jalur metabolik dari glukosa menjadi senyawa induk lignin dapat dilihat pada Gambar 8. Fenilalanin
Asam prefenat
Asam shikimat
Glkukosa
Tirosin Fenilalanin ammonia liase Tirosin amonialiase
Asam Sinamat Fenolase
Asam p-koumarat
CoA Ligase
p- KoumarilCoA-ester
Reduktase
Fenolase
p-Koumaraldehida Dehidrogenase
p-Koumaralalkohol
Asam kafeat Metiltransferase
Asam ferulat
CoA Ligase
Feruloil-CoA ester
Reduktase
Koniferildehida Dehidrogenase
Fenolase
p-Koniferil alkohol
Asam 5-hidroksi ferulat Metiltransferase
Asam sinapat
CoA Ligase
Sinapoil CoA ester
Reduktase
Sinapildehida Dehidrogenase
Sinapil alkohol
Gambar 8. Jalur metabolik dari glukosa menjadi senyawa induk lignin (Fengel dan Gerd, 1995).
29
Pembentukan makromolekul lignin oleh tumbuhan terdiri atas sistem biologi, biokimia dan kimia yang kompleks. Banyak studi dengan karbon radioktif menegaskan bahwa p-hidroksisinamil alkohol, p-koumaril-alkohol, p-koniferil alkohol dan sinapil alkohol merupakan senyawa induk (prekursor) primer dan merupakan unit pembentuk semua senyawa lignin (Fengel dan Gerd, 1995). Gambar 8 di atas memberikan gambaran secara umum langkah-langkah utama pembentukan senyawa induk lignin. Biosintesis lignin dimulai dari glukosa yang diperoleh dari fotosintesis. Ia diubah menjadi asam shikimat, senyawa antara dari yang disebut jalur shikimat. Dua asam amino aromatik L-fenilalanin dan L-tirosin dibentuk berdasarkan animasi reduktif melalui asam prefenat sebagai senyawa-senyawa akhir dari jalur tersebut. Zat-zat tersebut merupakan zat-zat awal (kelompok asam amino) untuk metabolisme enzimatik fenil propanoid (jalur asam sinamat) yang menghasilkan tiga sinamil alkohol melalui turunan asam sinamat teraktifasi. Asam-asam amino dideaminasi oleh deaminase (fenilalanin ammonia liase dan tirosin aminoliase) menjadi asam sinamat yang sesuai. Langkah-langkah utama lebih lanjut adalah hidroksilasi (oleh fenolase/ hidroksilase) menghasilkan asam p-koumarat, asam kafeat, asam ferulat, asam 5-hidroksi-ferulat, dan asam sinapat. Sinamil alkohol (p-koumaril-alkohol, p-koniferil alkohol dan sinapil alkohol) akhirnya dibentuk oleh aktifasi enzimatik (CoA ligase) dan reduksi (NADP reduktase, NADP hidrogenase) asam-asam yang sesuai melalui koenzim-A trioster (p-koumaril-CoA-ester, Feruloil-CoA-ester dan Sinapoil-CoA-ester) dan aldehida (p-kumaraldehida, koniferal dehida dan sinapildehida) (Fengel dan Gerd, 1995). P-kumaril alkohol, koniferil alkohol dan sinapil alkohol merupakan senyawa induk (precursor) primer dan merupakan unit pembentuk semua lignin (Fengel dan Gerd, 1995; Robinson, 1995). Jalur metabolik senyawa induk lignin menjadi lignin dapat dilihat pada Gambar 9.
30
Lignin
Gambar 9. Jalur metabolik senyawa induk lignin menjadi lignin (Robinson, 1995; Sjostrom, 1995).
Menurut Biemelt et al (2004) bahwa, pemberian GA3 meningkatkan biosintesis lignin dan menstimulasi formasi xilem pada tembakau transgenik. Xinjun Li et al (2003) juga menyatakan bahwa pemberian GA3 selama pembungaan dan induksi anakan mampu meningkatkan kandungan lignin pada Myrica rubra. Mudyantini (2008) juga menyatakan bahwa pemberian GA3 meningkatkan kandungan lignin pada B. nivea.
31
Kekuatan Mulur Serat Hasil rerata kekuatan mulur serat tanaman rami dengan perlakuan GA3 dan ketersediaan air disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Rerata kekuatan mulur serat B. nivea dengan perlakuan GA3 dan ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam (%). Perlakuan GA3 G0 G1 G2 Rerata
A1 0,94 1,74 1,34 a
Ketersediaan Air A2 2,09 1,66 1,87 b
Rerata A3 1,88 1,26 2,23 1,79ab
1,88 1,43 1,88
Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200. Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100. * Angka yang diikuti huruf sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%. Dari analisis sidik ragam General Linier Model (GLM) menunjukkan bahwa perlakuan GA3 dan ketersediaan air tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan mulur serat, sedangkan interaksi antara GA3 dan ketersediaan air memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan mulur serat dengan nilai signifikansi sebesar 0,017. Perbandingan kekuatan mulur serat B. nivea dengan perlakuan GA3 dan variasi ketersediaan air ditunjukkan pada Gambar 10.
32
Gambar 10. Kekuatan mulur serat B. nivea dengan perlakuan GA3 dan perlakuan ketersediaan air berumur 2 bulan setelah tanam. Keterangan: Konsentrasi GA3 (ppm), G0=0, G1=175, G2=200 Ketersediaan Air (%), A1=50, A2=75, A3=100 Gambar 10 menunjukkan bahwa kekuatan mulur serat paling tinggi ada pada perlakuan GA3 200 ppm dan ketersediaan air 100% (G2A3) yaitu sebesar 2,23%, sedangkan kekuatan mulur terendah ada pada perlakuan GA3 175 ppm dan ketersediaan air 50% (G1A1) yaitu sebesar 0,94%. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tumbuhan membutuhkan konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Salah satu sifat penting selulosa adalah kemampuannya bertahan terhadap regangan karena kelenturannya. Lignin menambah ketahanan dinding terhadap tekanan dan mencegah melipatnya mikrofibril selulosa. Arah mikrofibril yang berbeda-beda merupakan faktor penting penentu kekuatan dinding. Sifat mekanik yang luar biasa dari selulosa ialah kekuatan meregang, sedangkan di bawah tekanan kompresif, fibril-fibril selulosa itu membengkok. Sifat fisik dinding sel diantaranya
adalah
regangan,
kekuatan,
ketahanan
terhadap
tekanan,
mengembang, dan sifat permeabilitas ditentukan oleh perbedaan komposisi dan struktur lamela yang bertambah terus selama proses pembentukan dinding. Perbedaan struktur dapat disebabkan karena perbedaan arah dan kerapatan mikrofibril selulosa, perbedaan kandungan lignin dan lain-lain (Fahn, 1991). Pemberian GA3 dan variasi ketersediaan air dapat meningkatkan kandungan glukosa dalam tanaman maka kandungan selulosa juga akan meningkat. Abidin (1990) mengemukakan bahwa GA3 dapat menghasilkan
33
hidrolisa pati yang akan mendukung terbentuknya α-amilase. Sebagai akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi glukosa akan meningkat. Menurut Mudyantini (2008) bahwa perlakuan GA3 dapat meningkatkan kandungan glukosa dalam tanaman yang dapat meningkatkan kandungan selulosa. Perlakuan GA3 yang paling optimal dalam meningkatkan selulosa pada B. nivea yaitu pada konsentrasi 200 ppm dengan nilai kandungan selulosa sebesar 26,33 % b/b. Kekurangan air dapat menghambat laju fotosintesa, karena turgiditas sel penjaga stomata akan menurun (Haryati, 2003). Menurut Harjadi dan Yahya (1988) bahwa fotosintesis akan terhambat jika air yang merupakan bahan utama hanya tersedia dalam jumlah sedikit, sehingga hasil dari fotosintesis juga akan berkurang. Menurut Islami dan Wani (1995) bahwa cekaman air menyebabkan perubahan macam dan jumlah senyawa karbohidrat di dalam tanaman. Tanaman yang mengalami cekaman air terjadi penurunan tepung dan peningkatan kadar gula. Menurut Lee (1999) dalam Indrawan (2007), faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan tarik mulur serat adalah kelembaban. Semakin besar kelembaban semakin besar pula kekuatan mulur serat dan sebaliknya akan cenderung menurunkan kekuatan tarik.
KESIMPULAN 1. Perlakuan GA3 berpengaruh meningkatkan pertumbuhan B. nivea pada panjang tunas dengan konsentrasi 200 ppm, tetapi menurun pada berat basah dan berat kering. Perlakuan GA3 tidak berpengaruh pada jumlah tunas dan daun. Sedangkan perlakuan ketersediaan air, maupun interaksi antara GA3 dan ketersediaan air tidak berpengaruh terhadap semua parameter pertumbuhan B. nivea. 2. Perlakuan GA3 berpengaruh meningkatkan terhadap kekuatan tarik serat pada konsentrasi 200 ppm, tetapi tidak berpengaruh terhadap kekuatan mulur serat. Perlakuan ketersediaan air tidak berpengaruh terhadap semua parameter serat, sedangkan interaksi antara GA3 dan ketersediaan air berpengaruh terhadap kekuatan mulur serat B. nivea dengan KL 75%. DAFTAR PUSTAKA
34
Abidin, Z. 1990. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. CV. Angkasa. Bandung. Aisyah, W. 2004. “Pengaruh Perendaman Umbi Bibit dalam Larutan Giberelin terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Allicin Umbi Bawang Merah Allium cepa var. ascalonicum (L) Back”. Skripsi. Fakultas Biologi. UGM. Yogyakarta. Anggarwulan, E., Solichatun dan W. Mudyantini. 2008. “Karakter Fisiologi Kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) pada Variasi Naungan dan Ketersediaan Air”. Biodiversitas. 9(4): 264-268. Anwarudin, M.J; N.L.P. Indriyani; S. Hadiati dan E. Masyah. 1996. “Pengaruh Konsentrasi Giberelin dan Lama Perendaman Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Biji Manggis”. J. Host. 6(1): 1-5. Biemelt, S., H. Tschiersch and U. Sonnewald. 2004. Impact of Altered Giberelin Metabolisme on Biomass Accumulation, Lignin Biosintesis, and Photosyntesis in Transgenic Tobacco Plants. Plant Physiol 135(1) : 254-256. Brink, M. and R.P. Escobin.(Eds).2003.Plant Resurces of South-East Asia No.17. Fibre Plants. Prosea Foundation. Bogor. Indonesia. Pp.86-91. Buxton, A. and P. Greenhalg. 1989. Ramie, Short live Curiosity or fibre. The future Textile Outlook international, May, 1989. The Economist Intellegence Unit, London. (5): 52-71. Davies, J.P. 1995. Plant Hormone: Their Nature, Occurrence and Function). In P.J. Davies (edt) : Plant Hormones : Phisiology, Biochemistry, and Moleculer Biology. Kluwer Academic Publisher. Boston. Deptan. 2007. Tanaman Rami, Emas Putih http://www.ditjenbun.deptan.go.id [24 Juli 2008].
yang
Terpendam.
Dewi, A.P. 1993. Pengaruh Stress Air terhadap Perkembangan Dua Kultivar Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merry Wilis dan Lompo Batang. http://digilib.bi.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbbi-gdl-s1-1993-anugerahpa-841 [2 Mei 2009]. Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. (diterjemahkan oleh Ahmad Soediarto dkk.). Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Fengel, D and W. Gerd. 1995. Kayu, Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. (diterjemahkan oleh Hardjono S). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
35
Fitter, A.H., R.K.M. Hay. 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman. (diterjemahkan oleh Sri Andani dan E. D. Purbayanti). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitcheli. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. (diterjemahkan oleh Herawati Susilo). UI Press, Jakarta. Gul, H., A.M. Khatak and N. Amin. 2006. Accelerating the Growth of Araucaria heterophylla Seedlings Through Different Gibberellic Acid Concentrations and Nitrogen levels. Journal of Agricultural and Biological Science.1(2): 25-29. Haddy, S. 1987. Biologi Pertanian. Rajawali Press, Jakarta . Hamid, A. 2001. Bandung.
Biokimia : Metabolisme Biomolekul. Penerbit Alfabeta.
Harjadi, S.S. 1993. Pengantar Agronomi. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Harjadi, S.S. dan S. Yahya. 1988. Fisiologi Stres Lingkungan. PAU Bioteknologi IPB, Bogor. Haryati. 2003. Pengaruh Cekaman Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman. Program Studi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. Hidayanto, M., S. Nurjanah., dan F. Yossita. 2003. “Pengaruh Panjang Stek Akar dan Konsentrasi Natriumnitrofenol terhadap Pertumbuhan Stek Akar Sukun (Artocarpus communis F.)”. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 6(2):154-160. Hill, A.F. 1972. Economic Botany. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company Limited. New Delhi. Indrawan, M. 2007. ”Karakter Sutera Dari Ulat Jedung (Attacus atlas L.) Yang Dipelihara Pada Tanaman Senggugu (Clerodendron Serratum Spieng)”. Laporan Penelitian Dosen Muda. Jurusan Biologi Fakultas MIPA UNS. Surakarta. Islami, T. dan H.U. Wani. 1995. Hubungan Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press, Semarang. Kastono, D. 2005. “Pengaruh Jumlah Batang Bawah dan Kadar IAA terhadap Pertumbuhan Bibit Durian Sambung Pucuk”. Agrivet. 9(1): 1-5.
36
Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Penerbit Yusa Guna. Bogor. Pp: 54-61. Laboratorium Evaluasi Tekstil. 2008. Cara Kerja Pengoprasian Alat Uji Tenso Lab./ Mesdan Lab.(Alat Uji Kekuatan Tarik dan Mulur). Jurusan Teknik Industri FTI-Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Levitt, J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stress Volume II. Academic Press, New York. Loveless, A.R. 1991. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Daerah Tropik (diterjemahkan oleh Kusuma Kartawinata). Gramedia. Jakarta. Miranti, E. 2007. Mencermati Kinerja Tekstil Indonesia antara Potensi dan Peluang. Jakarta. Mudyantini, W. 2008. “Pertumbuhan, Kandungan Selulosa, dan Lignin pada Rami (Boehmeria nivea L. Gaudich) dengan Pemberian Asam Giberelat (GA3)”. Biodiversitas. 9(4): 269-274. Mudyantini, W., Suratman, dan Sutarno. 2006. “Kandungan Selulosa dan Lignin pada Rami (Boehmeria nivea L. Gaudich.) serta Limbah Hasil Perendaman Jerami dengan Perlakuan Bakteri Alkalofil”. Enviro. 7(1): 27-31. Mullet, J.E and M.S. Whitsitt. 1996. Plant Cellular Responses to Water Deficit. In: E. Belhassen (edt) Drought Tolerance in Higher Plants. Kluwer Academic Publisher, Netherland. Patoni, 2000. “Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Kandungan Vitamin C Buah Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.)”. Skripsi. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. Pezelshki, S.R. 1994. Plant Response to Flooding. In Wilkinson, R.E. (ed). In Plant –Environment Interaction. Mercel Dekker, Inc., USA. Rahardjo, M., S.M.D. Rosita, R. Fathan, dan Sudiarto. 1999. “Pengaruh Cekaman Air Terhadap Mutu Simplisia Pegagan (Centella asiatica L.)”. Jurnal Littri. 5(3): 92-97. Rahman, M.H., M.H. Haque, M.A. Karim and M. Ahmed. 2006. Effects of Gibberellic Acid (GA3) on Breaking Dormancy in Garlic (Allium sativum L.). Jounal of Agriculture and Biology. 8(1).
37
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata). Penerbit ITB, Bandung. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3 (diterjemahkan oleh Dian Lukman). Penerbit ITB, Bandung. Sanjaya, L. 1991. Pengaruh asam giberelin terhadap pertumbuhan dan kualitas bunga seruni. Prosiding Tanaman Hias. Cipanas, Sub Balithor Cipanas. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sjostrom, E. 1995. Kimia Kayu Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua. (diterjemahkan oleh Hardjono S). Gadjah nada University Press, Yogyakarta. Sulistyaningsih, Y.C., Dorli dan H. Akmal. 1994. “Studi Anatomi Daun Saccarum sp. Sebagai Induk dalam Pemuliaan Tebu”. Hayati. 1(2): 61-65. Sumiasri, N dan D. Priadi. 2003. ”Pertumbuhan Stek Cabang Sungkai (Peronema canescens Jack) dalam Media Cair”. Jurnal Nature. 6(1). Suyana, J. Dan H. Widijanto. 2002. Studi Kualitas Air dan Sumbangan Hara dari Irigasi Sidorejo Jawa Tengah Pada Budidaya Padi Sawah. Sains Tanah. 2(1): 1-5. Saroso, B. dan A. Sastrosupadi. 2000. “Tanaman Rami sebagai Bahan Tekstil, Pulp, Pakan Ternak dan Obat”. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Bogor. Taiz, L. and E. Zeiger. 1998. Plant Physiologi. Massashusetts: Sinauer Assosiattes, Inc. Tarmansyah, U.S. 2007. “Pemanfaatan Serat Rami untuk Pembuatan Selulosa”. Tim Puslitbang Indhan Balitbang Dephan. Buletin Litbang Dephan.10(18): 1-12. Wareing, P.F. and I.D.J. Phillips. 1981. Growth and Differentiation in Plants. 2nd Edition. Pergamon Press. Toronto. Wattimena, G.A. 1998. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas. IPB. Bogor. pp: 12-15, 54-56.
38
Weaver, T.E., C.R. Stocking., M.G. Barbour., and T.L. Rost., 1982. Botany: An Introduction to Plant Biology. 6nd edition. University of California. California. Wuryaningsih, S dan T. Sutater. 1993. Pengaruh zat pengatur tumbuh dan pupuk N terhadap pertumbuhan dan produksi bunga krisan standar warna putih. Buletin Tanaman Hias. 1(1): 47-55. Xingjun Li; Sanyu Li and JinXing Lin. 2003. Effect of GA3 Spraying on Lignin and Auxin Contens and the Corellated Enzyme Activities In Bayberry (Myrica rubra Bieb.) During Flower-Bud Induction. Plant Science. 164(4): 549-556.
39
PERTUMBUHAN, KEKUATAN TARIK DAN MULUR SERAT RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaudich) DENGAN PEMBERIAN ASAM GIBERELAT (GA3) DAN VARIASI KETERSEDIAAN AIR
Naskah Publikasi
Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh : Shafi Fauzi Rahman M0405057
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
40
PERSETUJUAN
Naskah Publikasi
SKRIPSI
PERTUMBUHAN, KEKUATAN TARIK DAN MULUR SERAT RAMI (Boehmeria nivea (L.) Gaudich) DENGAN PEMBERIAN ASAM GIBERELAT (GA3) DAN VARIASI KETERSEDIAAN AIR Oleh: Shafi Fauzi Rahman NIM. M0405057
Telah disetujui untuk dipublikasikan
Surakarta, ………………... Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Widya Mudyantini, M.Si. NIP. 197305051999032001
Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. NIP. 195003201978032001 Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi
Dra. Endang Anggarwulan, M.Si. NIP. 195003201978032001