PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PAKAN DI BAWAH NAUNGAN PERKEBUNAN PISANG Mansyur, Nyimas P. Indrani, Iin Susilawati, dan Tidi Dhalika Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Abstrak Ketersediaan hijauan merupakan masalah dalam peningkatan produksi ternak ruminansia. Sistem intergrasi tanaman-ternak telah dikembangkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Suatu sistem yang baik harus dapat diterima secara sosial, menguntungkan secara ekonomi, dan ramah lingkungan. Salah satu intergrasi yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah intergrasi ternak dengan tanaman pisang.. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis-jenis hijauan yang dapat tumbuh dan dikembangkan dibawah naungan perkebunan pisang. Rancangan Acak Kelompok digunakan dalam penelitian ini. Perlakuan adalah penanaman rerumputan dibawah naungan tanaman pisang, rumput yang ditanam antara lain seperti rumput signal (Brachiaria decumbens), rumput benggala (Panicum maximum), rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput humidicola (Brachiaria humidicola), dan rumput setaria (Setaria sphacelata). Setiap pelakuan diulang sebanyak tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumput gajah dan rumput benggala dapat dikembangkan untuk pertanaman sela pada tanaman pisang. Diharapkan adanya studi yang lebih komprehensif dan periode yang lebih lama untuk melihat produksi rumput dan kualitasnya, serta pengaruhnya terhadap tanaman pisang. Kata kunci: tanaman pakan, perkebuan pisang
GROWTH AND PRODUCTIVITY OF FORAGE CROPS UNDERSTOREY BANANA PLANTATION. Abstract Availability of forage is a problem in improvement of ruminant production. Integration crop–livestock system have been developed to solve the problem. A good system must be social acceptable, economically feasible, and environmentally tolerance. One of integration systems possible to be developed is banana - livestock integration. The aims of this research were to know kinds of forage crops that able to grow and developed understorey banana plantation.. Completely Randomized Block Design used in this research. The treatment is cultivation of forage crops understorey banana plantation. The forage crops that planted were signalgrass (Brachiaria decumbens), guineagrass (Panicum maximum), elephantgrass (Pennisetum purpureum), koronoviagrass (Brachiaria humidicola), and setariagrass (Setaria sphacelata). Each treatment was replicated three times. The research result indicated that guineagrass (Panicum maximum), elephantgrass (Pennisetum purpureum) can be developed for alley cropping in banana plantation. For the future, there are study more comprehensive and for long term to know production and quality of that forage, and also the influence of them to banana crops. Key words: forage crops, banana plantation
Pendahuluan Membuat padang penggembalaan untuk penyediaan sumber pakan di Eropah, Amerika, Australia, dan Selandia Baru merupakan suatu hal. yang sudah biasa dan konvensional. Kegiatan. tersebut untuk di Indonesia, terutama di Jawa Barat masih sering menjadi perdebatan dikarenakan tingginya nilai lahan untuk
1
pertanaman dan belum adanya pemahaman yang mendalam bahwa tanaman pakan sebagai tanaman yang mempunyai nilai ekonomis (Djuned dan Mansyur, 2005). Para petani akan menggunakan lahan pertaniannya biasanya untuk tanaman pangan dan hortikultura. Pada sisi yang lain, kegiatan peternakan terus berlangsung dan berkembang dikarenakan permintaan akan produk-produk yang dihasilkan. dari peternakan terus mengalami kenaikan. Data FAO (2002) menunjukkan konsumsi protein dari daging dan susu masyarakat Indonesia terus meningkat. Pada saat sekarang, banyak peternak menggunakan produks sampingan dan kegiatan pertanian sebagai sumber bahan pakan, yang kadang kala. bahan pakan mempunyai nilai nutrisi yang rendah. Walaupun demikian, kebutuhan akan tanaman pakan sebagai sumber hijauan makanan temak ruminansia akan tetap penting. Penanaman tanaman pakan dengan pola integrasi merupakan jawaban sekaligus tantangan dengan adanya keterbatasan kepemilikan lahan. Menurut Delgado et al., (1999) menyatakan salah satu teknologi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah melakukan sistem, pertaman campuran atau mtegrasi temak dengan tanaman. Pola Integrasi tanaman ternak mempunyai banyak keuntungan diantaranya tersedianya sumber pakan, menekan biaya pengendalian gulma, meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan hasil tanaman utama, membagi resiko kerugian. Hal itu semua tentunya akan meningkatkan produktivitas lahan yang lebih tinggi, sehingga akan memberikan keuntungan yang lebih besar bagi petani-peternak. Beberapa pola intergrasi seperti dengan tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan telah banyak dikembangkan, karena. subsektor-subsektor tersebutlah yang banyak mempunyai lahan yang relatif sangat luas. Banyak penelitian telah dilakukan. untuk menelaah kemungkinan pengembangan integrasi temak dan tanaman. Penelitian Mansyur dkk., (2005a) menunjukkan bahwa integrasi penanaman tanaman pakan sebagai penutup lahan pada tanaman pangan meningkatkan produksi dan kualitas hijauan yang dihasilkan dengan tidak mengurangi hasil panen dari tanaman. utama. Salah satu integrasi ternak-tanaman yang memungkinkan untuk dikembangkan di daerah Jawa Barat adalah intergrasi ternak ruminansia dengan perkebunan pisang rakyat, dimana lahan diantara tanaman pisang dapat ditanami hijuan pakan, dan limbah tanaman. pisang dapat digunakan untuk sumber hijauan. Selain itu, penyebaran kebun pisang rakyat yang ditanam pada lahan-lahan kering pertanian cukup luas. Penelitian Mansyur dan Tidi Dhalika (2005) menunjukkan bahwa terdapat beberapa tanaman pakan yang mampu hidup dibawah nuangan kebun pisang, dengan mengandalkan vegetasi alami yang hidup di kebun pisang sebagai sumber pakan ternak dimungkinkan untuk dapat dikembangkan ternak 1.62 satuan ternak untuk setiap hektar kebun pisang. Selanjutnya, penelitian tersebut melaporkan bahwa dibawah naungan. kebun pisang dapat tumbuh beberapa nimput unggul seperti Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput Signal (Brachiaria decumbens). Hal ini menandakan bahwa rumput rumput tersebut dapat beradaptasi dengan baik dengan lingkungan tersebut, dan perlu pengkajian yang lebih lanjut lagi. Langkah awal yang perlu dilakukan ekspolarasi tentang jenis-jenis tanaman pakan yang mampu hidup dengan produksi bahan kering yang tinggi dan kualitas yang baik. Oleh karena itu, kami tertarik untuk melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan produktivitas tanaman pakan di bawah naungan. kebun pisang.
2
Metode Penelitian Lokasi penelitian Lokasi penelitian berada di Desa Cijeruk Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang. Lokasi penelitian tersebut berada pada ketinggian 850 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan tahunan lebih dari 3000 mm. Lahan yang digunakan merupakan lahan milik petani yang khusus ditanami pisang secara monokultur. Luasan lahan yang diperbolehkan oleh petani untuk dipergunakan sebagian lahan penelitian seluas 2 Ha. Umur tanaman pisang pada kebun pisang rakyat tersebut adalah 3 tahun. Jarak tanaman pisang dengan tanaman pisang lainnya adalah 2 x 4 meter. Manajemen yang dilaksanakan untuk pemeliharaan kebun pisang tersebut, antara lain: melakukan pemupukan untuk pisang dengan menggunakan urea sebanyak 500 kg/tahun/hektar; pupuk kandang domba sebanyak 5 ton/ha/tahun yang diberikan pada awal musim penghujan; selain itu dilakukan perawatan tanaman berupa pemotongan daun pisang yang tua secara rutin setiap dua minggu. Setiap, rumpun pisang dipertahankan mempunyai 3 pohon pisang. Metode penelitian Penelitian dilakukan secara eksperimental. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 5 (lima) perlakuan dan setiap perlakuan diulang dalam blok ulangan sebanyak 3 (tiga) kali. Jenis rumput sebagai perlakuan, adapun jenis-jenis rumput yang diteliti antara lain: rumput benggala (Panicum maximum var Hamilton) (pl), rumput setaria (Setaria sphacelata var kuzungula) (p2), rumput Signal (Brachiaria decumbens) (p3), rumput humidicola (Brachidfia humidicola) (p4), dan rumput gajah (Penniselum purpureum) (p5). Peubah-peubah yang diamati pada penelitian ini, antara lain : proporsi batang, daun, bunga, dan serasah tanaman; produksi segar dan produksi bahan kering hijauan, kandungan protein kasar, dan kandungan serat kasar. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis varian, dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan. Alat dan bahan Jenis-jenis tanaman pakan yang digunakan adalah rumput benggala (Panicum maximum var Hamilton), rumput setaria (Setaria sphacelata var kuzungula), rumput Signal (Brachiaria decumbens), rumput Humidicola (Brachiaria humidicola), rumput afiika (cynodon nemfluensis), dan rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang diperoleh dari Balai Pembibitan Ternak dari Hijauan Makanan Ternak Cikole. Bahan tanam yang digunakan berupa sobekan rumpun untuk rumput benggala, setaria, signal, dan humidicola, sedangkan rumput gajah meaggunakan stek sebagai bahan tanam. Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat untuk pengolahan tanah, seperangkat alat untuk metode Kjedhal dan analisis proximat merode AOAC. Hasil dan Pembahasan Proporsi hijauan dan serasah Proporsi antara hijauan dan serasah dari jenis-jenis hijauan yang ditanam pada bawah naungan kebun pisang dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
3
Tabel 1. Proporsi hijauan dan serasah masing-masing tanaman pakan Proporsi Jenis hijauan Hijauan Serasah % Rumput signal (Brachiaria decumbens) 92,01 7,90 Rumput benggala (Panicum maximum) 93,60 6,40 Rumput gajah (Pennisetum purpureum) 97,22 2,78 Rumput humidicola (Brachiaria humidicola) 94,62 5,38 Rumput setaria (Setaria sphacelata) 91,93 8,07 Pada Tabel 1 menunjukkan produksi hijauan tertinggi ditunjukkan oleh rumput gajah, selanjutnya diikuti oleh rumput humidocola, rumput benggala, rumput signal, dan rumput setaria. Sedangkan proporsi serasah tentunya berbanding terbalik dengan proposi hijauan, yang dimaksud dengan serasah pada penelitian ini adalah bagain atas tanaman yang sudah tua dan kering, baik yang masih menempel dengan tanamannya maupun yang sudah terlepas dari tanamannya. Hal yang menarik dari hasil penelitian diatas adalah proporsi hijauan yang dihasilkan dari rerumputan yang ditanam dibawah naungan tanaman pisang lebih besar dari 90% atau serasah yang tidak lebih dari 10%. Namun begitu serasah yang dihasilkan masih lebih besar daripada jenis tanaman pakan yang sama yang ditanam dibawah naungan perkebunan kelapa (Kaligis dan Momanto, 1990). Hasil analisis menunjukkan tidak adanya perbedaan dari hijauan dan serasah yang dihasilkan dari masing-masing tanaman pakan yang ditanam dibawab naungan tanaman pisang. Kelima jenis hijauan ini tidak mempunyai periode tumbuh kembali yang berbeda. Proporsi batang dan daun hijauan Proporsia ntara daun dan batang dari hijauan yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini. Tabel 2. Proporsi batang dan daun hijauan masing-masing tanaman pakan Jenis Rumput Proporsi Proporsi Ratio Daun batang Daun:Batang .............%.............. Rumput signal (Brachiaria decumbens) 77,09 ab 22,91 cd 3,40 ab Rumput benggala (Panicum maximum) 73,03 c 28,97 b 2,49 b Rumput gajah (Pennisetum purpureum) 79,33 a 20,67 d 3,81 a R. humidicola (Brachiaria humidicola) 31,66 d 68,34 a 0,46 c Rumput setaria (Setaria sphacelata) 73,03 bc 26,97 bc 2,77 b Keterangan: huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan pengaruh yang berbeda diantara perlakukan (P<0,05)
Rumput humidicola mempunyai ratio daun dan batang yang paling rendah, selanjutnya diikuti oleh rumput benggala, rumput setaria, rumput signal, dan rumput gajah. Kecilnya nilai proporsi daun dan batang dari rumput humidicola disebabkan oleh karakteristik pertumbuhan dari rumput itu sendiri. Mansyur dkk (2005b) menyatakan bahwa rumput humidicola ini pada saat awal
4
pertumbuhannya akan berusaha melakukan menutupi permukaan lahan dengan cara memperbanyak stolon, setelah stolon saling bertemu, baru akan terjadi pertumbuhan untuk memperbanyak daun. Selama permukaan tanah belum tertutup semua oleh tanaman, nilai proporsi daun dan batang dari rumput humidicola akan selalu rendah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata dari setiap jenis tanaman pakan yang ditanam dibawah naungan tanaman pisang terhadap proporsi daun dan batang hijauan. Proporsi daun dan batang ini yang dihasilkan dalam tanam pakan merupakan salah satu parameter yang penting dalam menilai kualitas hijauan. Tanaman yang mempunyai bagian daun lebih banyak dibandingkan dengan bagian batang akan mempunyai akan kualitas yang lebih baik, yaitu kandungan nutrisi yang tinggi dan pada akhirnya kecernaan yang lebih besar. Salah satu kriteria yang perlu diperhatikan dalam untuk memilih dan menaman tanaman pakan adalah tanaman yang mempunyai daun yang lebat atau lebih banyak (Djuned dkk, 1980). Hal ini berdasarkan pada hasil analisis yang telah dilakukan bahwa kandungan protein dan nutrisi lainnya yang baik untuk pertumbuhan ternak lebih banyak terdapat pada daun. Bagian helai daun mempunyai konsentrasi total abu dan beberapa mineral essensial bagi ternak dibanding bagian tanaman lainnya. Bagian helai daun juga umumnya mempunyai konsentrasi fraksi serat yang rendah, dan protein yang lebih tinggi, serta total karbohidrat nonstruktural yang lebih tinggi, sehingga pada akhirnya kecernaannya pun lebih tinggi dibanding bagian lain tanaman (Smith dkk, 1986). Produksi hijauan Produksi segar hijauan yang dihasilkan dari beberapa jenis hijaun yang ditanam di bawah naungan perkebunan pisang dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Produksi segar hijauan masing-masing tanaman pakan Jenis Rumput Produksi segar hijauan Gram per 5 m2 Rumput signal (Brachiaria decumbens) 175,94 b Rumput benggala (Panicum maximum) 790,00 a Rumput gajah (Pennisetum purpureum) 892,33 a R. humidicola (Brachiaria humidicola) 150,35 b Rumput setaria (Setaria sphacelata) 273,85 b Keterangan: huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan pengaruh yang berbeda diantara perlakukan (P<0,05)
Produksi segar hijauan tertinggi diperlihatkan oleh rumput gajah, dan ikuti oleh rumput benggala, rumput setaria, rumput signal, dan rumput humidicola. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat adanya perbedaan respon dari setiap jenis rumput yang ditanam dibawah naungan terhadap produksi segar hijauan. Prosuksi segar rumput gajah mempunyai respons yang tidak berbeda dengan rumput benggala, tetapi keduanya mempunyai respons produksi segar yang berbeda dengan ketiga jenis rumput lainnya.
5
Penelitian ini selain menjawab tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis rumput yang tahan terhadap kondisi naungan dibawah perkebunan pisang, ada hal yang menarik selama penelitian di lapangan, yakni tentang kondisi iklim wilayah penelitian. Pada saat lima bulan terakhir penelitian, di daerah penelitian tidak terjadi turun hujan, sehingga penelitian ini juga dapat melihat ketahanan tanaman pakan terhadap kondisi kekeringan. Tanaman pakan yang ditanam relatif tahan terhadap kondisi kekeringan dibandingkan dengan jenis-jenis rerumputan lokal yang ada, karena rerumputan lokal, pada saat akhir penelitian sudah mengalami kekeringan, bahkan sudah ada yang mati dan dorman, sedangkan tanaman pakan yang ditanam masih relatif hijau. Walaupun dari segi produksi hijauan sangat menurun drastis bila dibandingkan dengan produksi pada musim penghujan. Kandungan bahan kering dan produksi bahan kering hijauan dari tanaman pakan yang ditanam dibawah naungan perkebunan pisang dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4.
Kandungan bahan kering dan produksi kering hijauan masingmasing tanaman pakan Jenis Rumput Kandungan BK Produksi Kering Hijauan % gram per 5 m2 Rumput signal (Brachiaria decumbens) 29,12 a 46,99 b Rumput benggala (Panicum maximum) 19,83 bc 146,51 a Rumput gajah (Pennisetum purpureum) 16,92 c 146,64 a R. humidicola (Brachiaria humidicola) 30,37 a 43,19 b Rumput setaria (Setaria sphacelata) 20,59 b 53,04 b
Keterangan: huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan pengaruh yang berbeda diantara perlakukan (P<0,05)
Pada Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa kandungan bahan kering yang ada pada hijauan relatif tinggi. Kandungan bahan kering tertinggi ditunjukkan oleh rumput humidicola, dan selanjutnya diikuti oleh rumput signal, rumput setaria, rumput benggala, dan rumput gajah. Rumput gajah dan rumput benggala masih mempunyai kandungan air yang lebih tinggi dari 80%, hampir sama dengan kondisi di musim penghujan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis rumput ini masih relatif dapat mempertahankan reaksi fisiologi di dalam tubuhnya. Kondisi lingkungan seperti kelembaban, cahaya, dan suhu baik pada tanah dan udara akan mempengaruhi mempengaruhi proses fisiologi pada tanaman (Miller, 1984). Tingginya kandungan bahan kering pada tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan dan karakteristik morfologi dari rumput sendiri. Kondisi lingkungan yang ekstrim akan membuat tanaman melakukan suatu mekanisme fisiologi dalam tubuhnya agar tetap dapat bertahan untuk hidup. Selama penelitian, selain tidak terjadi hujan, kondisi temperatur udara sangat panas. Tanaman akan berusaha mempertahankan proses metabolisme dalam tubuhnya dengan cara melakukan transpirasi, sehingga kadar air yang terkandung pada tanaman tidak begitu banyak, dan akan menurunkan produksi karbohidrat nonstruktural. Karakteristik morfologi juga akan mempengaruhi kandungan bahan kering hijauan tanaman pakan. Pada tanaman yang lebih banyak mempunyai batang akan lebih banyak
6
mempunyai kandungan bahan kering tanaman. Bagian batang tanaman akan lebih banyak mengandung fraksi serat yang merupakan komponen dinding sel tanaman, dibanding dengan komponen isi sel. Fraksi serat merupakan struktur kerangka bagi tanaman. Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan produksi bahan kering antara rumput gajah dan rumput benggala, tetapi kedua rumput tersebut mempunyai produksi bahan kering yang berbeda dengan rumput setaria, rumput signal, dan rumput humidicola. Produksi bahan kering dari rumput gajah dan rumput bengala mencapai sekitar tiga kali lipat produksi kering rumput yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa rumput gajah dan benggala sangat potensial untuk dikembangkan sebagai rumput yang dapat ditanam di bawah nuangan perkebunan pisang. Kualitas hijauan Kandungan protein kasar dan produksi protein kasar dari hijauan tanaman pakan yang ditanam di bawah naungan perkebunan pisang dapat dilihat Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5.
Kandungan protein kasar dan produksi protein kasar hijauan masing-masing tanaman pakan Jenis Rumput Kandungan PK Produksi PK hijauan % gram per 5 m2 Rumput signal (Brachiaria decumbens) 13,58 b 6,40 b Rumput benggala (Panicum maximum) 16,23 a 23,71 a Rumput gajah (Pennisetum purpureum) 12,63 b 18,70 a R. humidicola (Brachiaria humidicola) 10,02 c 4,32 b Rumput setaria (Setaria sphacelata) 14,13 ab 7,33 b
Keterangan: huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan pengaruh yang berbeda diantara perlakukan (P<0,05)
Kandungan protein kasar tertinggi ditunjukkan oleh rumput benggala, dan selanjutnya diikuti oleh rumput setaria, rumput signal, rumput gajah, dan terakhir rumput humidicola. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan kandungan protein kasar dari setiap rumput hijauan pakan yang ditanam di bawah naungan tanaman pisang. Hal ini tentunya lebih disebabkan oleh pengaruh spesies tanaman. Coleman dan Henry (2002) menyatakan bahwa kualitas tanaman salah satunya dipengaruhi oleh variasi genetik yang dipunyai oleh spesies-spesies tanaman tersebut. Hal yang menarik dari kandungan protein kasar pada tanaman pakan yang ditanam di bawah naungan adalah mempunyai kandungan nitrogen yang lebih tinggi dibanding dengana tanaman pakan yang ditanam pada lahan yang terbuka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan protein kasar dari rumputrumput tersebut lebih tinggi dibandngkan dengan kandungan protein kasar rumput sejenis yang pernah penulis teliti sebelumnya pada lahan yang terbuka, seperti rumpur setaria (Mansyur dkk, 2005c) dan rumput humidicola (Mansyur dkk, 2005d). Hasil yang sama dikemukan oleh Norton dkk (1990) menyatakan tanaman pakan yang ditanam di bawah naungan mempunyai kandungan nitrogen
7
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada lahan terbuka. Tingginya kandungan nitrogen disebabkan kondisi naungan yang membuat ketersediaan nitrogen dalam tanah mudah diserap oleh tanaman yang pada akhirnya akan meningkatkan kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman (Wilson dan Ludlow, 1990; Wong dan Wilson, 1980). Masing-masing tanaman pakan yang ditanam dibawah naungan perkebunan pisang menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Produksi protein kasar rumput gajah tidak berbeda dengan produksi protein kasar dari rumput benggala, dan produksi PK keduanya berbeda dengan produksi protein kasar pada rumput setaria, rumput signal, dan rumput humidicola. Dilihat dari produksi protein kasar nampaknya rumput benggala dan rumput gajah potensial untuk dikembangkan sebagai hijauan yang dapat ditanam dibawah naungan tanaman pisang. Kandungan serat kasar dari hijauan tanaman pakan yang ditanam di bawah naungan tanaman pisang dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Kandungan serat kasar hijauan masing-masing tanaman pakan Jenis Rumput Kandungan serat kasar % Rumput signal (Brachiaria decumbens) 21,99 bc Rumput benggala (Panicum maximum) 20,53 c Rumput gajah (Pennisetum purpureum) 23,26 bc R. humidicola (Brachiaria humidicola) 30,82 a Rumput setaria (Setaria sphacelata) 24,24 b Keterangan: huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan pengaruh yang berbeda diantara perlakukan (P<0,05)
Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan serat kasar hijauan tanaman pakan yang ditanam dibawah naungan tanaman pisang menunjukkan pengaruh yang berbeda. Perbedaan ini sebagai akibat dari perbedaan variasi genetik diantara spesies. Smith dkk (1986) menyatakan bahwa perbedaan dapat terjadi diantara spesies dalam kandungan selululosa, hemuselulosa, lignin, komponen sel yang terlarut, dan kandungan sel lainnya,seperti mineral. Kandungan serat kasar menggambarkan karbohidrat yang tidak terlarut seperti selulosa (Swift dan Sullivan, 1963). Rumput benggala mempunyai kandungan serat kasar yang paling rendah diantara rumput lainnya, walaupun tidak berbeda nyata dengan rumput gajah dan rumput signal. Kesimpulan 1. Rerumputan seperti rumput signal (Brachiaria decumbens), rumput benggala (Panicum maximum), rumput gajah(Pennisetum purpureum), rumput humidicola (Brachiaria humidicola), dan rumput setaria (Setaria sphacelata) yang ditanam dibawah nuangan pohon pisang mempunyai proporsi hijauan yang lebih besar dari 90%. 2. Rumput humidicola (Brachiaria humidicola) mempunyai proporsi daun dan batang yang paling rendah dibandingkan dengan empat jenis rumput lainnya. 3. Produksi segar dan kering dari rumput bengala (Panicum maximum) dan rumput gajah (Pennisetum purpureum) menunjukkan hasil yang sama tinggi dibandingkan dengan rumput yang lainnya. 8
4. Kandungan protein kasar rumput benggala tertinggi dibanding dengan rumput lainnya, tetapi produksi protein kasarnya yang dihasilkan antara rumput benggala dan rumput gajah menunjukkan hasil yang sama. 5. Perlu adanya studi lebih mendalam dan kurun waktu yang lebih lama untuk melihat produksi dan kualitas hijauan, serta pengaruhnya terhadap tanaman pisang. 6. Rumput benggala dan rumput gajah dapat dikembangkan untuk hijauan tanaman sela yang ditanam dibawah naungan perkebunan pisang. Ucapan terima kasih Penulis ucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Padjadjaran, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Pengelola Dana Penelitian Dosen DIPA Universitas Padjadjaran telah menberikan kepercayaan dan bantuan dana kepada penulis untuk melakukan penelitian ini. Daftar Pustaka Coleman, S.W. and D.A Henry. 2002. Nutritive value of herbage. In M. Freer and H Dove. Sheep Nutrition. CAB International. Wallingford. UK. 1 – 26. Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfeld, S. Ehui, and C. Sourbius. 1999. Livestock to 2020: The Next Food Revolution. food, Agriculture, an Environment Discussion Paper 28. International Food Policy Research Institute.72. Djuned, H., M.D.H. Wiradisastra, T. Usri, T. Aisjah, A.R. Tarmidi. 1980. Tanaman Makanan Ternak. Bagian Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung. Djuned, H, dan Mansyur. 2005. Berbagai masalah pengembangan tanaman pakan dalarn usaha ternak komersil. Prosiding Lokakarya Tanaman Pakan Ternak. Bogor. 16 September 2005 Pusat Pengembaangan dan Penelitian Peternakan. Badan Litbang Pertanian. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nation. 2002. Some issue associated with livestock industries of the Asia - Pacific region. Published by Food and Agriculture Organization of the United Nation Regional Office for Asia and the Pacific, and Animal Production and Health Commission for Asia and Pacific. RAP Publication No 2002/06. Kaligis, D.A., and S. Momamto, 1990. Intake and digestibility of some forages for shaded environments. In: H.M. Shelton and W.W. Stur. Forages for Plantation Crops. Proceeding of Workshop. Sanur Bali. 89 – 91. Mansyur dan Tidi Dhalika. 2005. Analisis vegetasi hijauan kebun pisang. Jurnal 11mu Ternak. 5 (2) Juli 2005: 22 - 27 Mansyur, Nyimas Popi Indrani, dan lin Susilawati. 2005a. Peranan Leguminosa Tanaman Penutup pada sistem pertanaman Jagung untuk penvediaan Iii auan Pakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005. Bogor 12 - 13 Sepetember 2005. Mansyur, Tidi Dhalika, dan Luki Abdullah. 2005b. Pengaruh interval pemotongan rumput Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik (in vitro). Jurnal Protein. 12 (2) : 195 – 202.
9
Mansyur, H.K. Mustafa, dan A. Rahman, 2005c. Penggunaan pupuk kandang kambing pada rumput setaria (Setaria sphacelata (Schum.)) pada lahan kering. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Lustrum Fapet UGM. 100 – 108. Mansyur, Harun Djuned, Tidi Dhalika, S. Hardjosoewignyo, dan Luki Abdullah, 2005d. Pengaruh interval pemotongan dan invasi Gulma Chromolaena odorata terhadap produksi dan kualitas rumput Brachiaria humidicola. Media Peternakan. Agustus 2005. 28 (2): 77 – 85. Miller, D. A., 1984. Forage Crops. McGraw – Hill Book Company. New York. Norton, B.W., J.R. Wilson, H.M.Shelton, and K.D. Hill, 1990. The Effect of shade on forage quality. In: H.M. Shelton and W.W Sturs (eds.). Forages for Plantation Crops. Proceeding of workshop, Sanur, Bali, Indonesia. 83 – 88. Smith D, RJ Bulla, RP Walgenbach. 1986. Forage Management. 5th Edition. Dubuque – Iowa. Kendall/Hunt Publishing Company Swift, R.W., and Sullivan, 1963. Composation and nutrive value of forage. In: H.D. Hughes, M.E. Heath, and D.S. Metcalfa. Forages: The Science of Grassland Agriculture. The Iowa State University Press. Iowa. Wilson, J.R. and M.M. Ludlow, 1990. The environment and potensial growth of herbage under plantations. In: H.M. Shelton and W.W Sturs (eds.). Forages for Plantation Crops. Proceeding of workshop, Sanur, Bali, Indonesia. 10 – 24. Wong, C.C., and J.R. Wilson, 1980. Effect of shading on growth and nitrogen content of green panic and siratro in pure and mixed swards defoliated at two frequencies. Australian Journal of Agriculture Research. 31: 269-285.
10