Laporan Kegiatan
Pertemuan Regional Para Pihak Pemangku Kepentingan Konservasi Orangutan di Provinsi Aceh,Hotel Oasis, Banda Aceh, 29 September 2011
I.PENDAHULUAN Kebijakan Pemerintah Aceh dikenal luas dengan Moratorium Logging telah berjalan selama empat tahun tahun lebih masa Pemerintahan Aceh dimana Pemerintah Aceh yang melaksanakan otonomi khusus melalui Aplikasi Undang Undang Pemerintah Aceh No 11 Tahun 2006, juga otonomi khusus tersebut teraplikasi dalam implementasi sektor kehutanan. Sukses Story Pemeritah Aceh dalam mendisign hutannya tertuang dalam berbagai visioner kebijakan sebuah provinsi walau kebijakan ini masih terdapat kelemahan, kebijakan ini dapat dikatakan pioner bagi provinsi lain di Indonesia untuk ambil aksi dalam melaksanakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Hutan diprovinsi ini masih memilki keragaman hayati yang tinggi diantaranya masih terdapat indikasi bahwa adalah hutan Aceh masih terdapat empat jenis mamalia besar seperti gajah sumatera , Badak Sumatera , harimau dan Orangutan Sumatera, Jumlah pupolasi mamalia besar masih dalam tersebar dikantung kantung populasi di hutan dataran rendah di Aceh, salah satunya adalah satw kebannggana ceh adalah orang utan sumatera, jumlah populasi masih dalam kisaran enam ribuan, setidaknya jumlah ini masih merupakan yang terbanyak di sumatera, Orangutan (Pongo sp) adalah satu-satunya kera besar yang terdapat di Asia Tenggara, sejarah persebarannya mencapai China bagian utara dan selatan, dan paling selatan di Indonesia yaitu Jawa (Hooyer, 1948; von Koeningswald, 1982; cf. Jablonski et al., 2000; Bacon and Long, 2001, dalam Wich, 2007). Saat ini hanya terdapat di Sumatera dan Kalimantan (Borneo). Sampai beberapa waktu yang lalu, orangutan dianggap mempunyai dua sub-jenis yaitu; Pongo pygmaeus pygmaeus di Kalimantan (Borneo), dan Pongo pygmaeus abelii di Sumatera. Saat ini, hasil studi genetik dari dua populasi di kedua pulau tersebut di akui sebagai dua jenis yang berbeda yaitu; Pongo pygmaeus di Kalimantan dan Pongo abelii di Sumatera (Xu & Arnason, 1996; Groves, 2001, Warren et al. 2001, dalam Wich, 2007). Orangutan Sumatera (Pongo abelii) merupakan satwa yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia, termasuk daftar satwa yang yang kritis secara global menurut daftar merah-IUCN, dan tidak boleh diperdagangkan secara global. Populasi di alam saat ini diperkirakan sekitar 7.501 ekor (Singleton dkk, 2004), dari 12.000 ekor (Meijaard & Rijksen,1997).
FORA
1
Orangutan Sumatera (Pongo abelii) adalah salah satu unsur kekayaan hayati dan merupakan jenis kera besar yang saat ini sebarannya di dunia terbatas hanya ditemukan di Pulau Sumatera, khususnya di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta masih dikategorikan dalam IUCN Red List (2007) sebagai jenis satwa paling terancam punah secara global. Hasil pengkajian ilmiah membuktikan bahwa eksistensi dan manfaat ekologisnya secara langsung turut mendukung kelangsungan kehidupan umat manusia pada saat ini maupun masa mendatang. Disisi lain, deforestasi dan degradasi habitat alamiah orangutan Sumatera telah menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam serta peningkatan kemiskinan masyarakat sekitarnya. Hilangnya habitat orangutan Sumatera berarti pula akan menghentikan tersedianya jasa-jasa lingkungan, seperti keteraturan pengadaan air, simpanan karbon, keseimbangan iklim, kesuburan tanah, pembersih udara, ekowisata, pencegah banjir dan longsor. Kendati sudah ada komitmen Presiden Republik Indonesia yang telah mencanangkan Strategi dan Rencana Aksi Orangutan Indonesia sampai tahun 2017 dan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/Menhut-IV/2007 tentang Strategi dan Rencana Aksi Orangutan Indonesia tahun 2007 – 2017 tanggal 3 Desember 2007 , tetapi strategi dan aksi konservasi tersebut perlu dijabarkan lebih terperinci implementasinya disesuaikan dengan kekhasan kondisi Untuk itu, perlu upaya pengembangan konservasi orangutan Sumatera dan habitatnya bagi pembangunan berkelanjutan dan serta penerapan dan pemantauan sistim pendukung pengelolaan konservasi orangutan Sumatera liar dan habitatnya di Aceh. Semua itu mendorong perlu adaya usaha-usaha yang efektif, maksimal dan terarah dari berbagai komponen pelaku dan pendukung konservasi orangutan di Aceh untuk menghimpun, menyatukan dan memperkuat gerak langkah bersama para pihak dalam menghadapi tantangan konservasi orangutan Sumatera dan habitatnya sehingga secara tidak langsung mendorong adanya realisasi implementasi UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bagi stakeholder kunci terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah. Rangkaian Pertemuan para pihak seyogyanya berlangsung selama dua hari penuh untuk membandingkan kondisi yang ada serta menganalisa konservasi keanekaragaman hayati di Aceh yang dilaksanakan di Banda Aceh. Workshop diselenggarakan oleh Forum Orangutan Aceh (FORA), pesertanya adalah gabungan dari LSM lokal yang sudah dikenal dan para pemimpin masyarakat, tapi juga mencakup wakil-wakil kalangan akademisi, DPRD, bupati, industri kehutanan, militer, dan badan-badan yang bertanggung jawab atas kawasan lindung. Namun karena satu dan lain hal, kegiatan tersebut hanya dilangsungkan selama satu hari penuh. Proses ini juga menyertakan kegiatan lokakarya konsultasi bersama para pakar. Sekitar 40 peserta orang telah dikonsultasikan dalam evaluasi dan rencana tindak lanjut peran para pihak terhadap upaya konservasi keanekaragaman hayati di Aceh. Berdasarkan tingkat ancaman tertinggi terhadap kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar, dan pada peluang-peluang yang ada untuk menciptakan kerjasama strategis dan untuk meningkatkan keberhasilan proyek serta program yang telah berjalan.
FORA
2
II.OBJECTIVE Kegiatan Pertemuan Regional Para Pihak Pemangku Kepentingan Konservasi Orangutan di Aceh Darussalam secara umum bertujuan untuk mengevaluasi implementasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 dan membuat rencana tindak lanjut ke depan serta secara spesifik bertujuan : 1. Menyampaikan perkembangan terbaru mengenai status populasi Orangutan di Aceh 2. Konsolidasi para pihak yang berkepentingan dalam upaya konservasi orangutan di Aceh 3. Menilai kesiapan dalam menghadapi sasaran/target tahun 2015 (semua orangutan di Pusat-pusat rehabilitasi orangutan harus dilepasliarkan) antara lain : mencari dan menentukan lokasi pelepasan orangutan ke habitat alaminya (Orangutan release site). 4. Melakukan evaluasi terhadap keberadaan Forum Orangutan di Aceh III. OUT- PUT: OUT-PUT yang diharapkan dalam kegiatan Pertemuan Regional Para Pihak Pemangku Kepentingan Konservasi Orangutan di Aceh secara umum adalah diperolehnya informasi mengenai implementasi dari Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 pada sampai dengan Agustus tahun 2011serta rencana tindak lanjut tahun 2012 dan secara spesifik hasil yang diharapkan. • • • •
Update perkembangan terbaru status populasi orangutan di Aceh Terkonsolidasinya kepentingan banyak pihak yang sejalan dengan upaya konservasi Orangutan Aceh Terkumpulkannya informasi mengenai kesiapan dalam menghadapi sasaran/target tahun 2015 di Aceh ; antara lain ada berapa ou di pusat rehabilitasi ou, berapa yang sudah dilepasliarkan, ketersediaan areal/kawasan untuk pelepsaliaran, rencana pelepasliaran, kendala yag dihadapi. Terevaluasinya keberadaan Forum Orangutan di Aceh (sudah terbentuk atau belum, pergantian pengurus dsb.)
IV. PESERTA : Pertemuan Regional di Aceh dihadiri oleh para pihak penggiat konservasi Orangutan serta unsur terkait lainnya, terdiri dari: instansi Pemerintah, pihak swasta, ahli, pemerhati dan Lembaga Swadaya Masyarakat Tabel 1.Peserta Regional Meeting No.
Nama
Utusan
Asal Daerah
1 Ruskhanidar
Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan
Banda Aceh
2 Agus Halim
YLI
Banda Aceh
3 Ikliludin, S. TP
KARS Aceh
Banda Aceh
4 Azhari. S
Aceh Green Community
Bireun
5 Zulkarnainy
Himapalsa
Aceh Tamiang
6 M. Nur
WALHI Aceh
Banda Aceh FORA
3
7 drh. Triva Lubis, M.P.
FKH Unsyiah
Banda Aceh
8 M. Sirin Lapah Dino Budi Satria, S. 9 Hut
HIMAPAS
Banda Aceh
Balai KSDA Aceh
Banda Aceh
10 Chik Rini
WWF
Banda Aceh
11 Zulfikar Arma
Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh
Banda Aceh
12 Irsadi Aristora
SILFA
Banda Aceh
13 Gemal Bakri
Kuala
Banda Aceh
14 Dr. Suwarno
MIPA Biologi Unsyiah
Banda Aceh
15 Rahmad S.
LPPMP
Banda Aceh
16 Iqbar, S.Si, M.Sc
Biologi FMIPA Unsyiah
Banda Aceh
17 Ardhiyanto
Himpunan Mahasiswa Subulussalam
Banda Aceh
18 Mira Rozanti
YLI
Banda Aceh
19 Kasmawandi
Paguyuban Mahasiswa Aceh Tengah
Banda Aceh
20 Kamsuddin
MAPALA Leuser Unsyiah
Banda Aceh
21 Samsul
Aceh Green
Banda Aceh
22 Hanum Indria
Mahasiswa Unsyiah
Banda Aceh
23 Isna Wirda
Mahasiswa Unsyiah
Banda Aceh
24 Hasmi Ali
Himpunan Mahasiswa Subulussalam
Banda Aceh
25 Zariansyah
Kelautan Unsyiah
Banda Aceh
26 Azhar
FOR A
Banda Aceh
27 Ari Mulyaningsih
Balai KSDA Aceh
Banda Aceh
28 Riswan
WCS
Banda Aceh
29 Ernawaty, SE
WWF
Banda Aceh
30 Ratno
Kuala
Banda Aceh
31 M. Rida
Balai KSDA Aceh
Banda Aceh
32 Syahrial
Balai KSDA Aceh
Banda Aceh
33 Supian
Balai KSDA Aceh
Banda Aceh
34 Bagus Irawan
BPKEL
Banda Aceh
35 Zulkarnain
BPKEL
Banda Aceh
36 Afrizal
YLI
Banda Aceh
37 Alif Ferdian
Paguyuban Mahasiswa A.Timur
Banda Aceh FORA
4
38 Edi Noviar
Paguyuban mahasiswa A. Selatan
Banda Aceh
39 Fakhrurrazi
Paguyuban mahasiswa A. Selatan
Banda Aceh
40 Ferdianto
Paguyuban Mahasiwa A.Singkil
Banda Aceh
V. PUBLIKASI Kegiatan regional meeting ini ini dipublikasikan langsung dalam bentuk siaran pers ke media •
www.globejurnal.com berita online Aceh
•
http:fora-aceh.blogspot.com
VI. REKOMENDASI KEGIATAN VI.1.ADVOKASI KEBIJAKAN 1. Memastikan Orangutan Sumatera masuk sebagai satwa yang dilindungi dan dimasukkan ke dalam Undang-undang No 41 tentang Kehutanan. 2. Memastikan kawasan Rawa Tripa sebagai kawasan perlindungan habitat orangutan Sumatera di Aceh 3. Mendorong adanya alokasi anggaran baik di APBN/ APBA/ APBK untuk Konservasi dan penanggulangan orangutan di Aceh 4. Memastikan adanya Peraturan Gubernur Aceh tentang penanggulangan konflik orangutan Sumatera dengan manusia 5. Memperkuat kelembagaan Forum Orangutan Aceh (FOR A) sebagai forum komunikasi yang membantu pemerintah dalam konservasi orangutan di Aceh 6. Adanya startegi Rencana aksi daerah untuk penyelamatan orangutan 7. Adanya mekanisme Imbal jasa lingkungan (PES) untuk menyelamatkan orangutan 8. Adanya hukum adat di Aceh untuk memperkuat hukum yang ada ditingkat masyarakat. 9. Mendorong kepada Kementrian Kehutanan Dirjen PHKA untuk dalam mengeluarkan izin penelitian agar melibatkan tenaga / peneliti dari lembaga pendidikan Aceh VI. 2 .PARTNERSHIP 1. Membangun kemitraan pihak dan lembaga peneliti orang utan di Aceh (Memfasilitasi ast peneliti menyusun tulisan pengalaman,Memanfaatkan ast peneliti menjadi ast penelitian bagi dunia pendidikan di daerah, Membangun kerjasama dengan lembaga pendidikan) 2. Kemitraan Fora mendorong BPKEL dan Balai Besar TNGL sebagai bagian lembaga Pemerintah mengeluarkan izin penelitian mau mengeluarkan kebijakan bagi semua peneliti diwajibkan mengeluarkan copyan hasil penelitian yang telah dipublikasi.
FORA
5
3. Adanya sistem pendanaan yang diserahkan membangun komunikasi dengan lembaga kamar dan donor untuk menjamin kelanjutan konservasi orang utan. 4. Membangun kemitraan publikasi hasil kerja fora dan membuka orangutan center. 5. Membangun kode etik kemitraan dalam kamar-kamar di FORA agar tidak terjadi miss dan trobel karena ego sektoral lembaga yang bergabung. 6. Membangun kemitraan dengan ICTAP dalam membangun data base dan kegiatan pelatihan. 7. Membuat kebijakan yang mengikat untuk mewajibkan peneliti asing agar melibatkan peneliti lokal dalam melakukan riset VI.3. DATA DAN INFORMASI 1. Data base orang utan yang memuat tentang (Jumlah populasi, Habitat (tata ruang provinsi dan kabupaten, Pelepas liaran CA Jantho, Data penelitian orang utan di wilayah hutan Aceh, Data konflik) 2. Sosialisasi informasi tentang hukum kepada masyarakat sekitar tentang (Kampanye orang utan, Sosialisasi batas wilayah konservasi orang utan) 3. Membangun pusat informasi(web site/majalah/brosure) 4. Membangun pos pengaduan masyarakat untuk mengontrol peredaran, perdagangan, perburuan 5. Menyusun pedoman penanganan konflik orangutan 6. Menyediakan media kampanye dan advokasi orang utan 7. Adanya jaringan komunikasi daerah, nasional dan international
FORA
6
ANNEX .1. PROCEEDING REPORT Susunan Acara 1. Pembacaan Ayat Suci Al-Qur’an oleh Bapak Syahril Mahmud 2. Sambutan Kepala Balai SDA Aceh sekaligus pembukaan acara 3. Pembacaan Do’a dipimpin oleh Bapak Syahril Mahmud Tabel,2, Proceeding Regional Meeting Pembicara Materi Sambutan Kepala Balai Saya menyampaikan permohonan maaf dimana seyogyanya acara ini dibuka oleh Bapak Kepala Balai SDA karena beliau masih di Jakarta, sore ini beliau SDA Aceh sekaligus baru tiba di Banda Aceh. pembukaan acara (Bapak Dino Budusatria Tanggal 26-27 September 2011 di Jakarta Direktorat PHKA dan Balai SDA Mewakili Kepala Balai melanjutkan rencana aksi Orangutan Indonesia. Kegiatan serupa seperti ini SDA) sudah dilakukan di propinsi lain, di Aceh acaranya hari ini. Aceh merupakan suatu wilayah yang memiliki jumlah Orangutan terbesar di Sumatera. Taman Buru Linge Issac Aceh Tengah, banyak terdapat orangutan. Atas kerjasama Pemerintah Aceh, kita membuat stasiun yang dibangun di Cagar Alam Jantho. Kita berhasil melakukan pelepasan orangutan. Ada 4 ekor yang berada di Aceh Tenggara dan akan dikarantina di Sibolangit, kemudian akan dibawa ke Stasiun cagar alam liar di Jantho. Dalam pertemuan ini diharapkan dapat menghasilkan rencana ke depan dari berbagai pihak mengenai cagar alam Orangutan di Aceh. SESI I Pembicara Materi Forum Orangutan Aceh Pembentukan FOR A Forum Orangutan Aceh (FOR A) di bentuk oleh musyawarah (FORA) pembentukan forum orangutan indonesia (FORINA) dalam workshop konservasi orangutan yang diselanggarakan di Banda aceh pada tanggal 20 April 2010. FORA adalah organisasi yang berbasis konstituen Fungsi FOR A Media Pemersatu untuk melakukan tindakan yang sinergis dalam konservasi orangutan. Wahana komunikasi, berbagi informasi,pengalaman dan pengetahuan berkaitan dengan konservasi orangutan Wadah untuk mendorong dan menyatukan gerakan sosial untuk konservasi orangutan. Tujuan FORA Mendorong kerjasama diantara pemangku kepentingan untuk mewujudkan pengelolaan konservasi yang berkelanjutan di Aceh pada khususnya dan regional, internasional. Visi FORA Terjaminnya sinergitas aktivitas konservasi orangutan aceh untuk mewujudkan kelestarian populasi orangutan dan habitatnya dengan peran serta para pihak. FORA
7
Asriadi (SOCP)
Pencapaian visi FOR A ditujukan dengan terjaganya dan berkembangnya populasi orangutan aceh di habitatnya. Misi FORA Mempromosikan konservasi orangutan Aceh. Meningkatkan kesadartahuan konstituen konservasi orangutan di Aceh. Memfasilitasi advokasi kebijakan konservasi orangutan di Aceh Mewujudkan singkronisasi dan sinergitas upaya konservasi orangutan Memfasilitasi pengorganisasian dukungan untuk kegiatan konservasi orangutan. Kuntituen Konstiuen FOR A adalah para pemangku kepentingan dibidang konservasi orangutan Terdiri dari : 1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah 2. LSM dan masyarakat lokal yang hidup di dalam dan atau disekitar habitat orangutan 3. Swasta dan pelaku bisnis 4. Pemerhati/tokoh masyarakat 5. Akademisi dan/atau peneliti dan/atau ahli orangutan. Prinsipnya : FOR A bukan pelaksana kegiatan di lapangan, melainkan forum koordinasi untuk isu-isu orangutan di Aceh. FOR A bukanlah LSM Populasi orangutan. Kebanyakan hutan-hutan di Kalimantan sudah beralih fungsi sebagai kebun sawit dan ini akan berakibat vatal bagi orangutan. Ada beberapa orangutan yang beruntung yang dipeliharan manusia secara illegal, seperti : • Orangutan bernama Robert disita 2008 dari Brimob. • Orangutan benama Marco disita 2009 dari Polres • Orangutan berada di Pendopo Bupati Aceh Barat. Ada orangutan yang disita dan dikarantina di Sibolangit dan sekarang sudah di Jantho. Siapa yang memiliki orangutan disini sangat jelas, seperti :. • TNI sebanyak 6 % • Polisi sebanyak 8 % • Bisnisman / Pejabat sebanyak 14 % • Petani sebanyak 21 % Asal orangutan di Aceh paling banyak disita dan paling banyak populasinya berada di daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Orangutan di Sumut paling tinggi berada di Medan berjumlah 21 orangutan, kemudian di Binjai sebanyak 6 orangutan, Langkat sebanyak 11 orangutan, Deli Serdang sebanyak 6 orang dan Bukit Lawang sebanyak 10 orangutan. Proses karantina semua orangutan di Sibolangit setelah ditahan, harus diperiksa di klinik SOCP. Proses karantina yang dilakukan antara lain : 1. Rontgen thorax 2. Pertatoan/ penomoran 3. Sample darah utk mengetahui penyakit yg diidap FORA
8
4. Sidik Jari 5. Pasang microchip 6. Pemeriksaan gigi utk mengetahui usia orangutan Kebanyakkan orangutan dipelihara ditanah dan dirantai sehingga banyak orangutan yang terkena cacingan. Kadang bayi orangutan diletakkan disamping klinik. Jarang orangutan memiliki anak kembar. Baru 5 orangutan yang memiliki anak kembar. Sebelum tempat konservasi berada di Jantho orangutan dilepaskan di Jambi. Itu disebabkan karena ada konflik di Aceh. Bukit Lawang ada 2 orangutan. Tempat konservasi orangutan di Jantho baru diresmikan pada 28 Maret memiliki jumlah orangutan sebanyak 183 orangutan. Ada beberapa orangutan yang positif terkena hepatitis dan tidak mungkin dilepaskan di alam liar. Orangutan yang dilepaskan di Jantho adalah orangutan hasil sitaan di Aceh, sedangkan orangutan sitaan di Sumut dilepaskan di Jambi. Essential survival skills bagi orangutan sangat penting, seperti : • Di kandang isolisasi dipasang tali sehingga orangutan bisa belajar bergantungan dan dikasih daun-daunan agar mereka dapat membuat kandang sendiri. • Pengenalan buah-buahan kepada orangutan yang ada di hutan berguna agar mereka mengenali mana buah yang bisa dimakan dan mana yang tidak dapat dimakan. • Selama direduksi, orangutan belajar makan. • Mereka mengetahui juga kapan musim buah. Wakiki merupakan orangutan yang pertama kali dilepaskan di Jambi pada tahun 2003. Setelah dilepaskan kita melakukan pemantauan fenologi hutan agar kita tahu makanan apa yang tersedia setiap saat di hutan. Dari tiga yang telah di tangkap: • 3 langsung lepas di hutan tersisa di wilayah HGU Ex-Astra • 1 lepas di Jantho (orangutan Jantho nomor 1) “Keperluan terkunci” calon hutan pelepasliaran orangutan 1. 900 DPL hutan untuk mendukung populasi, dilepas dibawah 900 DPL. Kalau dilepas di atas 900 DPL, populasi dan suhunya sudah berbeda, sehingga orangutan akan turun dan mengganggu pemukiman warga. 2. Tidak ada populasi orangutan sebelumnya. Kalau kita lepaskan maka penyakitnya akan kambuh. 3. Sumber makanan cukup untuk orangutan 4. Bebas dari ancaman/gangguan 5. Tidak akan mewujudkan konflik satwa baru di batasan hutan Di jantho ada kawasan hutan tinggi tapi ada banyak pula hutan dataran rendah. Cagar alam Jantho hampir dibatasi savana, sehingga tipis kemungkinan orangutan turun sampai ke pemukiman. Ada 6 desa di Jantho disosialisasikan mengenai orangutan. Radio telemetry, belum siap dipasang karena ada masalah, radio ini menggunakan citra satelit, sehingga bila digunakan sehingga kita dapat mengetahui pergerakan orangutan. FORA
9
Moderator (FOR A)
Erwin (Asisten Peneliti semenjak 1998-2008 membantu peneliti) 2008-Kades di Keutambe
Moderator (FOR A)
Irzaidi (Silfa)
Cik Rini (WWF)
Kesimpulan : 1. Tingginya penangkapan orangutan 2. Terancamnya populasi orangutan 3. Habitat yang disukai orangutan sama dengan habitat yang disukai manusia 4. Lokasi relokasi cagar alam bagi orangutan dan cagar tersebut dimanfaatkan sebagai lokasi penelitian Keutambe, pada 1998 saya bekerja sebagai peneliti monyet pemakan daun. Untuk meneliti orangutan, Kita harus hadir dilokasi pada jam 5 pagi dan pulang pada jam 7 sore. Kalau di Keutambe, rata-rata orangutan liar tidak ada bekas realisasi. Rata-rata peneliti yang melakukan penelitian orangutan berasal dari Belanda dan dari Universitas Utrecht. Peneliti S1 melakukan penelitian paling lama 1 tahun, S2 paling lama 4 tahun, S3 paling 10 tahun. Banyak suka duka yang dialami sebagai asisten peneliti seperti : • Masa konflik kita mengikuti orangutan, kita harus bangun jam 4 pagi, cuci muka langsung ke dapur sarapan. Jam 5 pagi kita ikuti orangutan dan kita mendengar suara ledakkan, dan mengalami trauma. Tapi apa boleh buat kita sudah terlalu cinta dengan orangutan. • Kenapa orangutan dilindungi? Karena tingkah laku orangutan sama seperti anak manusia yang berumur 5 tahun. • Di Keutambe ada namanya durian hutan, durian daun, warnanya lebih hijau dan durinya lebih tajam dan panjang. Susah dibuka dengan pisau, tapi orangutan bisa membukanya dengan kayu yang diruncingkan dengan giginya. Kayu tersebut digunakan untuk membuka buah tersebut. • Kita melihat cara orangutan menangkap dan memakan kukang. • Orangutan memakan lebah, tetapi sebelumnya orangutan sudah menyiapkan rumah untuk melindungi dirinya dari serangan lebah, tetapi musibah bagi pengikut orangutan karena diserang lebah. • Kami sering komplin juga karena gaji kami dibawah UMR. Tapi mau bagaimana lagi, kami tidak ada kerjaan lain. Kesimpulan : • Ada orangutan yang jinak dan liar, keduanya merupakan actor lapangan. • Asisten memiliki peranan penting untuk membantu peneliti. • Suka dukanya mengambil sampel yang bukan untuk kebutuhan si asisten tetapi untuk kebutuhan si peneliti. • Peneliti luar (internasional) lebih memiliki minat daripada peneliti lokal Pertanyaan : 1. Tentang adanya orangutan di Pendopo Bupati Aceh Barat yang belum diambil, apa masalahnya? 2. Kita harus melakukan kampanye besar-besaran mengenai orangutan di Keutambe yang cukup pintar. 3. Proses riset di Keutambe harus melalui Dinas Kehutanan Asisten peneliti orangutan adalah asset yang perlu dijaga, bagaimana FORA bisa menyatukan orang-orang ahli ini, mereka secara tradisional, mungkin orang-orang seperti ini dapat dijaga kelangsungannya. Ilmu-ilmu mereka FORA
10
M. Nur (Walhi)
Ardianto (Subulussalam)
Erwin (Asisten Peneliti semenjak 1998-2008 membantu peneliti) 2008-Kades di Keutambe
Asriadi (SOCP)
Moderator (FOR A) Asriadi (SOCP)
BKSDA
Rahmad (LPPMP
dapat ditransfer ke anak cucu mereka untuk menjadi benteng menyelamatkan Keutambe. Lain waktu ada kesempatan bagi orang-orang lokal yang mempunyai dedikasi, bukan hanya terhadap orangutan tetapi satwa lain yang dapat diberdayakan Pendamping peneliti seharusnya menulis untuk menjadi catatan agar diulang oleh semua orang. Ada aksi nasional yang disusun tentang konservasi orangutan sebagai penyebab utama terganggunya orangutan adalah konservasi alam. Bagaimana teman-teman menbagi hal ini dengan memberi ide kepada pemangku kepentingan mengenai orangutan Keterlibatan masyarakat itu sendiri terhadap orangutannya bagaimana? LSM lebih focus terhadap orangutan dari pada masyarakat yang tinggal di sekeliling hutan itu sendiri. Bagaimana hutan terjaga apabila masyarakat miskin. Pemerdayaan ekonomi masyarakat diseputaran hutan itu sendiri juga penting. Demi kelangsungan hidup orangutan juga. Masalah riset di Keutambe kita harus mengambil dari mana kita meneliti. BPKEL setiap peneliti akan membawa tembusan untuk kami sebagai lapor diri. Dari peneliti asing maupun local, Simaksi membayar ke BPKES. Asisten merupan asset penting, mungkin sebagian org memiliki tanggapan seperti itu, tapi ada juga org beranggapan habis madu sepah dibuang. Kalau untuk peneliti asing kita sudah memiliki rekomendasi. Tidak harus ada training lagi. Begitu kerja, data tersebut bisa dipakai. Selesai proyek, nasib kita kita jelas lagi. Keterlibatan harus ada. Kesadaran masyarakat tentang hutan dan orangutan cukuptinggi. Orangutan merupakan duit bagi mereka. Tamu-tamu mancanegara utk melihat orangutan saja, mereka harus bayar. Kalau kita dapat menjumpai orangutan otomatis ada tips. Yang jadi masalah, orangorang dari luar desa saya. Mungkin mereka semacam punya ego, dia tidak tau orangutan pandai di pohon, perambah-perambah disana hampir 90 persen, tetapi tinggal pembinaan yang kurang, sampai saat ini bagian ekowisata masih kurang, dan itu merupakan asset. Di Keutambe hak pengelolaan dan pemilikan masih belum jelas. Memang yang berhak menyita orangutan di Pendopo Bupati Aceh Barat adalah BKSDA, sedangkan SOCP hanya mendampingi saja. Kami pihak SOCP tetap memfasilitasi dan mensuport. Ada juga mahasiswa IPB melakukan penelitian orangutan di Jantho. Menangkapan paling besar di Gayo Luwes. Apakah populasi orangutan banyak di gayo lues atau Penyitaan orangutan banyak terjadi di Gayo Lues, karena banyak manusia yang berburu orangutan. Orangutan ada yang berada di Tangse, tetapi tidak ada populasi orangutan disana, bisa jadi orangutan tersebut berasal dari gayo lues. Pemilik orangutan adalah berasal dari kalanganTNI, polisi, pengusaha dan pejabat. BKSDA sendiri telah mengirimkan surat sebanyak 2 kali kepada Bupati Aceh Barat terkait masalah orangutan yang dipeliharanya tetapi belum ada tanggapan apapun dari mereka. Mungkin dari Kepala BKSDA akan lebih jelas lagi menjelaskan masalah tersebut. Edaran masyarakat, di tahun 2005 saya pernah terlibat dalam audit FORA
11
UNMUHA)
Drh. Triva (FKH Unsyiah)
Suwarno (FMIPA Unsyiah)
Joharudin
Moderator (FOR A)
Asriadi (SOCP)
komunikasi di Kalimantan. Dari hasil yang didapatkan memang ternyata masyarakat di Kalimantan kurang peduli dengan keberadaan orangutan. Disisi lain banyak kesalahpahaman tentang populasi orangutan. Apa strategi FORA sendiri mengenai komunikasi untuk mengekspos, bukan hanya actoraktor intelektual terkait masalah orangutan ini? Apa topic-topik penelitian terkait dengan isu kita ini? Apakah lebih fokus terhadap orangutan sendiri atau orang-orang yang terlibat didalamnya? Skema seperti apa yang dimiliki terkait keterlibatan orang kampus terhadap orangutan? Orangutan dikarantina Sibolangit, apakah pernah ditemukan orangutan Kalimantan yang dikawinkan dengan orangutan Sumatera? Kita sudah punya cagaralam Jantho, utk kedepan, orangutan yang disita di Aceh apakah dilepaskan di Jantho juga? Apakah bapak Erwin menulis buku? Ilmu yang Bapak miliki tidak berhenti sampai di bapak saja, mungkin akan dilanjutkan kepada penerus seperti Bapak nantinya. Breeding di Alam, tadi dipaparkan ada orangutan dari Kalimantan yang berada di Sumatera kemudian di kembalikan. Ada baiknya bila orangutan tersebut dibridingkan. Akan ada kemungkinan dikawinkan sehingga menambah keragaman orangutan nantinya. Mungkin ada penelitianpenelitian kearah itu akan dilakukan. Kondisi Bupati Aceh Barat yang tidak mau melepaskan atau belum berhasil melepaskan orangutan. Ada baiknya jika BKSDA melakukan pendekatan persuasive. Datangkan orang pencinta alam dan bicarakan dari hati ke hati. Kalau perlu libatkan juga kelompok NGO dan pihak wartawan untuk mempublis masalah ini ke media. Kesadaran masyarakat di Keutambe tentang hutan dan orangutan. Cuma ada satu ketidaknyamanan dan ketidakpuasan masyarakat. Kesadaran masyarakat tentang lingkungan kita kaitkan dengan ekowisata, Pak Kades bisa membangun link dengan SDA dan pihak kehutanan. Jadikan kawasan hutan untuk ekowisata yang menghasilkan income untuk masyarakat setempat. Sehingga ekonomi akan tumbuh. Apalagi ada suatu publikasi untuk mempromosikan kawasan wisata orangutan. Apakah landingnya pesawat terbang (akibat getaran pesawat) di Keutambe mengganggu habitat orangutan di Keutambe? Ada kasus orangutan Kalimantan berada di Sumatera dan Batam. Mengapa hal itu bias terjadi? Orangutan kalau sudah lama berada disuatu tempat otomatis sudah beradaptasi dengan alam sekitanya. Kenapa tidak dipertahankan saja sehingga dapat dikembangbiakkan lebih lanjut? Kita belum ada formula, komunikasi yang lebih efesien utk digunakan terkait permasalahan orangutan ini. Pendekatan lebih kepeningkatan ilmu pengetahuan Saya pernah komunikasi langsung dengan Bupati Aceh Barat tetapi yang terima Ajudan Bupatinya, mereka bilang akan dilepaskan. Tetapi FOR A bila tidak dapat dilepaskan begitu saja. Harus diserahkan kepada pihak BKSDA untuk dikarantina. Pada pertemuan berikutnya, dikatakan akan diserahkan. Tetapi sampai sekarang belum juga diserahkan. Orangutan breeding tidak ada di Sibolangit. Orangutan di Kalimantan ada di Batam dan sampai di Sumatera. Ada pejabat yang beli orangutan di FORA
12
Erwin (Asisten Peneliti semenjak 1998-2008 membantu peneliti) 2008-Kades di Keutambe
Moderator (FOR A)
Ruskhanidar (STIK)
Iqbal (MIPA Unsiyah)
Kalimatan dan dibawa ke Batam. Masalah breeding bisa atau tidak di dunia konservasi karena masih mempertahankan andemiknya. Banyak topik yang dapat dijadikan objek penelitian. Seperti Bapak Saukani dari Unsyiah meneliti mengenai rayap. Catatan kecil masih ada di rumah. Mengenai skill untuk menulis, saya tidak tahu, apakah saya mempunyai waktu dan skill untuk itu. Karena kalau sudah jadi pak geuchik (Kepala Desa), urusan kelambu putus warga juga dilaporkan ke geuchik. Kalau memang saya bisa menulis, itu menjadi suatu kebanggaan untuk saya. Tetapi tidak tahu, memulai menulisnya dari mana. Bagaimana membangun link dengan dinas-dinas terkait? Kalau di Aceh Tenggara sangat sulit membangun link. Saya pernah coba dengan dinas pariwisata, tetapi terkendala dengan : 1. Mereka belum ada dana 2. Mereka ada masalah. Kita pernah coba dengan OASIS dan SOS bagaiamana menyelesaikan masalah pertanian. Getaran pesawat tidak ada pengaruh karena pesawat kecil yang landing disana jarak tempuhnnya 50 km lebih dari kawasan populasi orangutan, karena berada di pusat kota. Justru yang lebih berpengaruh adalah penebangan hutan. Setelah ada suara dari teman-teman, kalau seandainya orangutan di Aceh dibawa ke Bukit Bulin, agar setiap orangutan di Aceh yang disita harus dikembalikan di Aceh. Masalahnya di Aceh belum ada fasilitasnya. Pada waktu itu kita bingung mau direlokasi kemana orangutan itu. Karena Bukit Bulin statusnya cagaralam, jadi tidak boleh ada pembangunan di lokasi cagaralam tersebut. BKSDA Aceh bertemu langsung dengan Dirjen dan mendapat surat dari Menteri Kehutanan terkait relokasi orangutan. Sudah banyak rencana yang belum terwujud. Bahwa setiap peneliti yang melakukan penelitian di Keutambe. Lembaga penelitian Unsyiah, bagaimana kalau peneliti yang melakukan penelitian, proposalnya dibahas di Unsyiah, ada kemungkinan sampelnya diteliti di Unsyiah. Ada kendala, disana fasilitasnya tidak lengkap, kesulitan mengkoordinir dosen-dosen yang membidangi hal itu. Ada cita-cita untuk membentuk Lembaga Pengetahuan Aceh (LIPA). FORA bisa menyatukan LSM yang ada di Aceh yang konsen terhadap orangutan. Kantor LSM orangutan ada di Medan. FORA mengkoordinir mengenai masalah ini. Orangutan di Aceh yang disita dikarantina di Medan. Kenapa tidak di karantina di Aceh saja? Sehingga masyarakat mendapatkan income dari konservasi ini. Forum kita sangat baik. Tetapi kondisinya seperti ustad yang memberikan dakwa di mesjid. Dakwah kita ini tidak hanya diperuntukkan kepada orangorang yang peduli terhadap orangutan saja. Orang yang melanggar adalah orang penegak hukum itu sendiri. Tetapi tidak kita hadirkan disini. Dakwah kita perlebar, tidak hanya kepada orang-orang yang telah peduli terhadap konservasi orangutan sendiri, tetapi juga kepada orang-orang yang melanggar terhadap perlindungan orangutan itu sendiri. Di Saree terdapat pembukaan lahan. Pengurangan kawasan hutan yang FORA
13
Moderator (FOR A)
Asriadi (SOCP)
Irzaidi (Silfa)
Kepala BKSDA Provinsi Aceh, Ir. Abubakar
dibuat oleh pihak kepolisian. Ekowisata merupakan program pemerintah, Keutambe merupakan salah satu eko wisata yang dibangunan pemerintah. Di Subulussalam, kenapa orang utan yang harus makmur dan mengapa masyarakat di sekeliling hutan tersebut tidak makmur. Informasi orangutan harus dipromosikan untuk pengembangan ekonomi rakyat Dakwah konservasi orangutan harus disosialisasikan juga kepada orang diluar jema’ah. Biasanya yang menemukan orangutan bukan pejabat langsung melainkan masyarakat kecil yang menjualnya kepada pejabat. Pada tahun 2002 Aceh bergejolak, banyak pihak asing yang terlibat langsung. Pihak asing untuk masuk ke Aceh saat sulit, justru itu dipilih Medan sebagai tempat karantina orangutan. Kenapa dipilih Medan? Karena Medan berada di tengah dan lebih dekat antara Gayo Lues dan Aceh Tenggah. Kemungkinan ada untuk membangun karatina di Aceh, tetapi butuh proses dan butuh dana. Karena lumayan besar utk membuat klinik dan perlengkapan lainnya. Selain itu terkendala dengan penyediaan lahan yang dekat dengan sumber mata air. FORA bisa berbuat banyak untuk orangutan karena bantuan dari masyarakat. Perlu dibuat kampanye untuk orangutan. Kalau bisa masyarakat-masyarakat yang berada di kawasan yang berdampingan dengan orangutan dapat dilibatkan. Orangutan akan dijadikan aikon pemanasan global. Ini bisa dijadikan salah satu ajang promosi orangutan juga. Sesi II (Penegakan Hukum dan Penyelamatan Orangutan Sumatera) Kemarin (28/9) pertemuan nasional dalam rangka evaluasi rencana aksi orangutan di Jakarta. Waktu itu satu-satunya yang belum melakukan regional meeting adalah Aceh. Kita terlambat. Salah persepsi karena ada miss komunikasi. Ajang ngobrol ini juga akan dimasukkan dalam rekomendasi ke Jakarta. Yang terkait dengan rencana aksi orangutan adalah: 1. Masalah kebijakan 2. Areal pelepasan habitat 3. Pendanaan atau pemitraan Kita boleh dikatakan jauh lebih maju, 2 hal masalah utama dalam penegakan hukum : Kalimatan tidak tahu mau diletakkan dimana pelepasan orangutan, ada 17.000 orangutan yang masih dikarantina. Sibolangit ada 54 orangutan, dan 34 orangutan berasal dari Aceh. Baru dilepaskan di Jantho sebanyak 10 orangutan. Minimal 200-300 orangutan harus ada, sehingga akan menghasilkan populasi lestari. Habitat orangutan yang bermasalah akan dilepaskan di Jambi, dan itu berjumlah 120 ekor. Disamping itu yang paling dikuatir di Pulau Sumatera adalah habitat alami di Rawa Tripa seluas 4800 Ha yang dijadikan sebagai populasi orangutan. Apakah masih memungkinkan kita tempatkan sebagai habitat atau harus kita pindahkan? Dalam PP No. 7 Tahun 1999, sampai saat ini orangutan Sumatera belum FORA
14
tersebut sebagai satwa liar yang dilindungi. Dalam penegakan hukum baru tahap penghimbauan melihat UU No. 5. Kedepan kita akan coba masukkan kedalam UU No. 41. Direktorat KKH untuk secepatnya merubah, karena dalam lampirannya hanya merubah SK Menteri Kehutanan. Terkait Perlindungan Terhadap Orangutan di Aceh Saat ini kita baru pada tahap himbauan. Saya sudah memberikan surat edaran ke Pemerintah Daerah untuk menyerahkan orangutan secara suka rela, sehingga kita tidak melakukan penegakan hukum. Kendala hukum di kalimatan adalah kalau dilakukan operasi perlindungan terhadap orangutan secara terus menerus, maka orangutannya tidak tahu ditaruk dimana. Masalah kemitraan, kalau pemerintah tidak mampu melakukan hal-hal terkait dengan konservasi orangutan, sehingga semuanya menginginkan adanya kemitraan. Kalau semua terlibat, mudah-mudahan pekerjaan kita akan ringan. Terutama informasi dimana ada orang yang memelihara orangutan. Perlunya contact list agar komunikasi lebih gampang. Kita sudah melaksanakan hampir sebagian besar dari buku rencana aksi. Contohnya adalah tempat pelepas liaran di Jantho. Walaupun kita membutuhkan waktu selama 2 tahun untuk memperjuangkan tempat itu. Gubernur tidak menginginkan satwa kita lari keluar Aceh.
Erdiansyah R (FKH Unsyiah)
Masalah kemitraan, kita sudah bermitra dan bekerjasama dengan FOR A dan lembaga lain yang peduli terhadap keberadaan orangutan. Masalah penegakan hukum kita telah melakukan upaya-upaya terkait dengan konservasi orangutan ini. Kita juga pernah menyelamatkan orangutan yg terisolir. Kita bius dan kita pindahkan ke hutan terdekat. Apabila Rawa Tripa akan menjadi kebun, ini akan membahayakan bagi orangutan. Rawa Tripa akan menjadi kawasan khusus bagi orangutan. Apakah populasinya masih ideal atau orangutannya akan kita pindahkan ke Jantho? Dua Rawa sebagai tempat isolasi orangutan adalah : 1. Rawa Singkil 2. Rawa Klut. Peran Akademisi/ Pemerhati Terhadap Konservasi Orangutan Kenapa kawasan konservasi menjadi idola banyak pihak, ibarat gula yang mengundang banyak semut, disini banyak pemangku kepentingan. Orangutan Sumatera justru paling tinggi tingkat kelangkaannya. Begitu nama taksonomi orangutannya dirubah maka orangutan Sumatera pun berperan sangat rendah, karena sttusnya menjadi tidak jelas lagi didalam peraturan perndangan yang ada. Hal ini merupakan tugas kita bersama jika ingin menyelamatkan dan mau meninggalkan dan memperkenalkan kepada anak cucu kita bagaimana sosok orangutan tersebut. Statusnya harus diperjelas lagi, bagaimana jalan yang akan ditempuh, tentunya dengan jalan yang lebih elegan, apakah dengan mendesak Dirjen KKH untuk merevisi undang-undang dengan mempertimbangkan dan memberi argumentasi yang jelas mengenai status Ou dan lain sebagainya FORA
15
Populasi orangutan di Sumatera diperkirakan berjumlah 6000-an. Paling besar populasinya berada di Aceh yang berjumlah 80% dari populasi yang ada. PP No. 7 Tahun 1999 menyebutkan bahwa 294 jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi termasuk orangutan. PP No. 8 Tahun 1999 mengenai Spesies (termasuk orangutan) dapat Dipertukarkan Atas Persetujuan Presiden Salah satu permsalahan konservasi ini dikarenakan kurangnya informasi dan data terkait dengan orangutan, ataupun jika ada, datanya lebih banyak tersimpan sendiri, dan sangat kurang melakukan sharing data dengan yang lain. Hal ini sangat tidak bagus jika tetap dipertahankan, karena akan menjadi salah satu kendala yang menghambat tujuan konservasi. Ini perlu kita kolaborasikan dengan data yang ada di NGO atau lembaga lainnya sehingga data ini akan lebih bagus dan lengkap untuk kedepannya. Tugas pokok dosen adalah harus melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi. Penelitian nantinya akan diimplementasikan kepada pengabdian masyarakat. Permasalhan yang ada terlihat sepertinya salah satu yang tidak mendukung konservasi orangutan adalah masyarakat sekitar, kita tidak pernah menelaah kenapa hal ini terjadi. Dimana letak akar permasalahan. Mungkin pembinaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang keberadaannya sekitar tempat keberadaan orang utan tidak pernah terperhatikan. Sehingga timbul kesan, hanya orangutan yang diperhatikan, sedangkan masyarakat disekitar hutan terabaikan. Tugas kita bagaimana menyikapi dan mengkondisikan terjadinya simbiosis mutualisme antara kedua makhluk tuhan tersebut. Dan semestinya memang harus terjadi demikian Apabila merunut pada sejarah, kita sudah melaksanakan penelitian. Spesifik penyakit belum dapat kita laksaanakan karena terkendala dengan aturan dan pendanaan. Kalau mau lihat sesuatu di daerah tertentu, seperti Aceh, juga harus melihat dan melibatkan Universitas di Aceh, seperti di Lauser, disana ada Universitas gunung Leusernya. Atau Universitas Syiah Kuala yang nota bene telah lama ada di aceh dan sesuai dengan ikonnya. Universitas Jantung Hati Rakyat Aceh. Sehingga tidak ada lagi alasan, seolah-olah SDM universitas lokal tidak ikut dan tidak mau terlibat, padahal informasinya sangat jarang sampai ke universitas-universitas lokal yang ada di daerah. Alasn peneliti luar Aceh selalu menyatakan bahwa SDM di Aceh jarang mau terlibat. Apa salahnya SDM yang ada di universitas lokal bisa dijadikan konterpart dan melakukan riset bersama, dengan menyamakan hak dan kewajiban bersama. SDM yang ada harus diasah agar dapat terekspos ke publik. Kajian terkait penelitian sudah ada, tetapi informasinya masih disimpan pada masing-masing individu atau lembaga, hal ini mungkin ego sektoral masih sangat tinggi. Padahal dngan kita lakukan bersama, hasilnya juga dipake bersama, dan manfaatnya yang jelas akan lebih bermakna dan lebih akurat. Disini kita punya kekuatan, seperti SDM, SDA, stekholder, NGO local yang peduli terhadap keberadaan orangutan.
FORA
16
Cek Rini (WWF)
Irzaidi (Silfa)
M. Nur (Walhi)
Kepala BKSDA Provinsi Aceh, Ir. Abubakar
Jejaring Terbangun • Pemantauan kedepan yang terkait dengan kajian orangutan. • Boleh dikatakan kondisi saat ini kita punya kajian dan konservasi dan pengetahuan mengenai orangutan. • Kita bangun jejaring yanglebih baik. • Ada satu ajang saling menukarkan informasi. • Dengan adanya jejaring akan membentuk komunikasi. • Bisa kita kolaborasikan bersama untuk mendapatkan hasil yang lebih baik kedepannya. Saya tertarik membahas peran kita untuk memajukan konservasi orangutan di Aceh. Apakah ada peluang di Aceh agar kita membangun pusat studi orangutan? Apakah Kita punya daerah konservartif di Lauser? Sejauh mana upaya ini dirintis oleh pihak Unsyiah? Ada baiknya kita membahas hal ini agar kita tidak ketinggalan. Apakah Kolaborasi penelitian antar universitas dapat dibangun? Bagaimana pembelajaran hukum untuk kasus-kasus pemeliharaan dan perdagangan orangutan di Aceh? Banyak kasus pengurangan habitat dan penjualan orangutan. Di BKSDA butuh pusat informasi untuk pengaduan masyarakat mengenai masalah tersebut. Pada sesi pertama, titik ikat pada moderator bahwa setelah ini akan ada tindak lanjut mengenai hal ini dan aka nada kampanye-kampanye mengenai orangutan. Pertanyaan untuk BKSDA, di Aceh Barat ditemukan orangutan di Pendopo Bupati, sudah 2 kali disurati tapi belum ada penangkapan. Seharusnya ada tekanan dari Departemen Kehutanan, kalau orangutan ini adalah salah satu habitat yang harus dilindungi. Konflik satwa yang sering terjadi adalah harimau dan gajah, jarang terjadi konflik antara orangutan dengan manusia. Konflik orangutan tidak terpublis di media manapun. Dalam data, ada pengurangan jumlah populasi satwa orangutan, kenapa faktor pengurangan itu terus terjadi? Solusi apa yang ditawarkan BKSDA sendiri? Ide-ide dari akademis sangat dinantikan, ada tidak group akademis yang mengurusi satu hal yang lebih terfokus? agar apa yang tidak diinginkan, terjadi. 1. Cek Rini masalah hukum mengacu pada UU No.41 dan No. 5, pertama terkait dengan masalah pengurangan habitat. Sulit untuk bertindak, karena Rawa Tripa tidak termasuk ke dalam kawasan hutan, sehingga pengurangan habitat terus terjadi. Rawa Tripa sudah kita masukan dalam rencana tata ruang/ UU Tata Ruang, untuk dijadikan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Rawa tripa akan dijadikan kawasan esensial. Yaitu kawasan rimbun dengan gambut tebal. Selama ini memang kita mengacu kepada UU No. 5 jadi agak sulit kita proses. Tapi kalau misalnya kasus orangutan ini kita bawa kepengadilan dan si terdakwa adalah orang-orang pintar yang punya pengacara, maka kita akan kalah. Kecuali orang tersebut tertangkap tangan dalam jual beli orangutan. Atau orang itu mengangkut hasil FORA
17
Erdiansyah R (FKH Unsyiah)
Kepala BKSDA Provinsi Aceh, Ir. Abubakar Zulfikar Zarma
hutan tanpa izin. Sekarang yang memegang penelitian orangutan banyak orang dari UNAS atau menggunakan lebel mereka. Coba kalau institusional diikat dengan lebel Unsyiah/Lauser. Asset kita banyak, orangutan, harimau, tapi yang pegang lisensi adalah orang lain. Populasi orangutan yang dirilis sebanyak 7000-an. Sekarang berjumlah 6000-an. Waktu itu kita belum melakukan survey 100% seluruh Aceh. Kita memasukan ulu Masen sebagai salah satu lokasi yang ada orangutan, tetapi setelah kita melakukan penelitian, ternyata disana tidak ada orangutan. Tetapi pengurangan populasi ada. Saya akui, adanya pengurangan populasi orangutan. Orangutan belum pernah ada yang menang melawan manusia. Orangutan sangat setia. Bangkai anaknya yang mati pun masih digendong. Rawa Kuet dan Rawa Tripa sebagai tempat populasi orang hutan di Aceh. Kedepan, Aceh merupakan kawasan yang mempertahankan populasi orangutan terbanyak di Sumatera. 2. Terkait masalah keberadaan Orangutan di Pendopo Bupati Aceh Barat, mereka main kucing-kucingan untuk mempertahankan orangutan tersebut. Terbuka lebar peluang untuk membangun tempat penelitian orangutan. Bagaimana membentuk suatu wadah. Adanya akademisi dan konservasi agar mau duduk bersama dan saling memfasilitasi terkait masalah penelitian orangutan. Kita sudah mempunyai pusat kajian satwa liar. Hanya orang-orang yang memang mau dan peduli terhadap masalah ini. Bagaimana kita menggabungkan kekuatan yang ada untuk membentuk pusat penelitian ini? Ada tidak kolaborasi dengan pihak universitas lain? Kami sedang menjalankan penelitian dengan IPB, Zurich dan Unsyiah, ini boleh kita buat MoU, meskipun dana dari Zurich tetapi kita memiliki peran yang sama. Setelah pertemuan ini diharapkan akan terbentuk suatu wadah untuk konservasi orangutan Mengumpulkan personal untuk membangun komunikasi. FORA bukan LSM tetapi pusat koordinasi. Bagaimana menyeimbangkan orangutan dengan orang yang berada dikawasan hutan? Pemberdayaan perekonomian masyarakat di kawasan hutan juga harus diperhatikan dengan melibatkan masyarakat dalam pelestarian orangutan di kawasan hutan tersebut. Belum ada group akademisi yang fokus terhadap suatu hal, terutama masalah konservasi. Sekarang yang ada lebih kepada personalnya yang focus terhadap suatu hal, misalnya konservasi orangutan, harimau, ataupun gajah. Namun dari personal-personal ini kita harapkan akan menjadi cikal bakal membuat suatu peer group, misalnya peer group peneliti satwa liar. Rekomendasi di Jakarta bahwa KKH yang menangani masalah ini, agar lebih intensif dalam menjaga dan melestarikan orangutan. Ada permasalah yang dibahas dalam rencana aksi mengenai kemitraan. Di FORA
18
Rusnaidar (STIK)
Erdiansyah R (FKH Unsyiah)
Kepala BKSDA Provinsi Aceh, Ir. Abubakar
Moderator
Aceh sudah banyak forum yang dibangun untuk konservasi hutan dan lainnya. Mereka mempunya data lengkap tetapi untuk kalangan pribadi dan tidak dipublis. Apa bisa data tersebut dikolaborasikan? Banyak peneliti yang melakukan konservasi orangutan di Aceh, tetapi datanya tidak dipublis. Bagaimana strategi kita, agar hasil-hasil penelitian orangutan di Aceh dapat dipublis atau dapat disimpan disitusnya? Perlunya qanun utk konservasi orangutan. 1. Kemitraan, sejauh ini yang konsen hanya SOCP saja, mereka juga mencari dana dari funding lain, kalau mereka tidak dapat dana, bagaimana konservasi orangutan ini? 2. Rawa Tripa salah satu kawasan yang berada di luar hutan yang dalam keadaan genting, apakah kawasan konservasi dapat dipindahkan kekawasan lain? 3. Di Aceh banyak perguruan tinggi, seperti STIK dan MIPA Biologi Unsyiah yang melakukan penelitian terkait orangutan. Secara institusi, SOCP telah mengarah kesana, UNAS tidak mendominan lagi, akan tetapi STIK dan MIPA Unsyiah. Kebijakan DIKTI, staf pengajar harus tersertifikasi. Setiap tahun dosen akan dievaluasi, apakah kinerjanya bagus atau tidak? Seperti penelitian dosen. Penelitian tersebut akan dan harus dipublikasi. Tidak ada alasan lagi kalau hasil penelitian tidak terpublikasi, karena jika tidak, staf pengajar itu sendiri akan tereradikasi dari sistemnya. Dapat diakses dimana hasil penelitian itu. Kemudian hasil penelitian dapat diakui sebagai kredit point. SOCP dan FKH Unsyiah sudah mempunyai kerjasama. Akan lebih bagusnya kalau akan berjalan bersama atau terintergrasi. Jawaban pertanyaan Zulfikar satu kelemahan dari kita adalah hampir semua informasi lepas begitu saja. Masing-masing merasa milik sendiri. Sehingga informasi itu tersimpan dalam lemari. Tidak hanya terkait masalah orangutan saja, tetapi semua masalah. Selama ini informasi masih tersebar. Untuk itu, kita perlu coba mengumpulkannya. Ini merupakan satu rekomendasi agar kita dapat membuat pusat data. Kebijakan kalau tidak didukung oleh daerah maka kebijakan ini tidak akan jadi. Seperti kasus di Jantho, kalau bukan Gubernur yang langsung pasang badan, maka daerah konservasi tersebut tidak akan jadi. Qanun No. 14 tentang konservasi, kebijakan daerah diangulir. Bisa saja untuk memperkuat kita. Kemitraan yang paling penting adalah SDA dikuasai oleh Negara, sedangkan kita, mitra adalah sebagai pendukung. Perlu keterlibatan banyak orang untuk membantu. Dana lain pasti akan muncul. Apabila ada NGO atau donor-donor lain yang menangani masalah orangutan. Ada SOCP yang menangani masalah orangutan tetapi kelemahannya adalah satwa lain mereka tidak mau urus. Sehingga tidak ada yang memikirkan keberadaan satwa-satwa lainnya. Kita menentukan tempat konservasi orangutan di Jantho melalui beberapa tahap dengan melakukan survey dari 10 tempat lainnya di Aceh. Jadi tempat terbaik adalah di Jantho. Penelitian sudah banyak, tetapi kita belum mendapatkan hak cipta. Membuat rekomendasi agar konservasi orangutan lebih terpublis dan keberadaannya lebih diperhatikan dan dilindungi. FORA
19
SESI III (Membentuk Kelompok untuk Pembuatan Rekomendasi) Rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh Forum Orangutan Aceh, 3 permasalahan yang diangkat : 1. Kebijakan 2. Kemitraan 3. Data dan informasi 1. Bagaimana memastikan orangutan Sumatera yang masuk sebagai Kelompok I satwa yang dilindungi dan dimasukkan ke dalam Undang-undang (Kebijakan) 2. Konsisten merawat Rawa Tripa sebagai kawasan perlindungan orangutan di Aceh 3. Mendorong adanya alokasi anggaran baik di APBN/ APBA/ APBK untuk penanggulangan orangutan di Aceh 4. Perlunya Peraturan Gubernur Aceh tentang penanggulangan konflik orangutan dengan manusia 5. Ingin memperkuat FORA sebagai forum komunikasi yang membantu pemerintah dalam penanggulangan orangutan 6. Rencana aksi daerah untuk penyelamatan orangutan 7. Adanya mekanisme timbal jasa untuk menyelamatkan orangutan 8. Adanya hukum adat di Aceh untuk memperkuat hukum yang ada ditingkat masyarakat. 9. Membuat kebijakan yang mengikat untuk mewajibkan peneliti asing agar melibatkan peneliti lokal dalam melakukan riset Apakah no. 2 tidak dituliskan secara tajam, “Rawa Tripa dimasukkan sebagai Iqbal (MIPA Unsyiah) kawasan lindung diluar kawasan hutan”. Dalam RTRW yang sedang berjalan kita tidak tahu apa posisi Rawa Tripa, Kepala BKSDA sekarang kita sedang mengusulkan agar Rawa Tripa dijadikan sebagai Provinsi Aceh, kawasan esensial untuk perlindungan orangutan Ir. Abubakar Peneliti internasional apabila melakukan riset di Aceh wajib memasukan/mengikut sertakan peneliti Indonesia. Dalam simaksi pun harus ada peneliti Indonesia. Lembaga asing, izin simaksinya yang meluarkan adalah pihak yang berada di Jakarta. A. Aspek kemintraan yang mendorong dengan isu lokal yang sudah dibangun Kelompok II di tingkat kabupaten. (Kemitraan) • BKSDA • Akademisi • Swasta • LSM • Tokoh masyarakat B. Peran kelembaga belum tersentuh dalam program FORA seperti perguruan tinggi belum terjadi respon kerja dan jalur institusi terarah. Membangun kerja sama dengan institusi pendidikan maupun swasta. Memungkinkan pendidikan membuka unit kan khusus orang utan center. Membangun data base orang utan. Membangun para ast peneliti menulis pengalaman. Asisten peneliti membuat copian kerja kepada Fora. Penelitian orang asing menjadi bagian yang bisa disharing. 1. Membangun kemitraan dengan Ast peneliti orang utan : Memfasilitasi ast peneliti menyusun tulisan pengalaman. Memanfaatkan ast peneliti menjadi ast penelitian bagi dunia pendidikan di daerah Membangun kerjasama dengan lembaga pendidikan. Moderator
FORA
20
M. Nur (Walhi)
Kelompok II
Iqbal (MIPA Unsyiah)
Kelompok III (Data & Informasi)
M. Nur (Walhi) Moderator Rusnidar (STIK)
Kepala BKSDA Provinsi Aceh, Ir. Abubakar
2. Kemitraan Fora meminta BPKEL dan TNGL sebagai bagian lembaga pemerintah yang mengeluarkan izin penelitian mau mengeluarkan kebijakan bagi semua peneliti diwajibkan mengeluarkan copyan hasil penelitian yang telah dipublikasi. 3. Pendanaan diserahkan membangun komunikasi dengan lembaga kamar dan donor untuk menjamin kelanjutan konservasi orang utan. 4. Membangun kemitraan publikasi hasil kerja fora dan membuka orangutan center. 5. Membangun kode etik kemitraan dalam kamar-kamar di FORA agar tidak terjadi miss dan trobel karena ego sektoral lembaga yang bergabung. 6. Membangun kemitraan dengan ICTAP dalam membangun data base dan kegiatan pelatihan. Pembentukan kemitraan harus dibuat sebanyak mungkin, dimana letak media cetak? Teman-teman dari dunia usaha juga harus dimasukkan, bagaimana dunianya para pemburu? Dan bagaimana pendekatan dengan mereka? Peran media adalah dengan dibangunnya Orangutan Center. Orangutan Center merupakan kerjasama dengan pihak media cetak maupun elektronik. Pendekatan dengan pemburu, Perbakin yang akan memfasilitasinya. ICTAP dan lembaga lainnya dibuat untuk melakukan pelatihan. Sampai berapa lama ICTAP akan berada di Indoenesia, sehingga mereka tidak dapat diikat. Justru itu dibutuhkan lembaga lain yang dapat dilibatkan untuk permasalah ini. Sehingga harus dikonsultasikan kepada orang hukum. Untuk dapat dijadikan bahasa resmi/kontrak. 1. Data base orangutan terkait ada poin, jumlah populasi, pelepasan, kerusakan hutan, data konflik, data satelit 2. Informasi sosialisasi hukum - kampanye orangutan - Batas wilayah konservasi orangutan Sosialisasi adalah aktifitas. Perlunya data statistik sesuai dengan tingkat nasional maupun internasional. Perlu adanya data satelit untuk memantau keberadaan orangutan Tambahan untuk rekomendasi Data dan Informasi : • Membangun pusat informasi (infrastruktur) • Pos pengaduan, • Membuat website • SMS Center • Pedoman pelayanan penanganan konflik • Membangun jaringan daerah secara nasional. Penutupan Pada pertemuan ini Kita telah berfikir untuk orangutan. Saya mengucapkan terimakasih banyak terutama kepada teman-teman panitia yang telah berjuang untuk mempersiapkan acara ini, meskipun persiapan hanya satu hari, namun pelaksanaan kegiatan ini sanagat sukses. Ucapan terima kasih juga kepada teman-teman peserta yang dari pagi sampai sore masih semangat. Saya juga memberi penghargaan untuk kalian. Apa yang kita bicarakan ini akan menjadi ibadah, karena kita sudah peduli untuk menyelamatkan alam yang merupakan amanah Tuhan. Rekomendasi dari hasil pertemuan ini, harus masuk ke pusat (Jakarta) pada malam ini. Mari sama-sama kita berfikir dan mengawal untuk konservasi orangutan, faura dan fauna lainnya. FORA
21
ANNEX 2. GAMBAR KEGIATAN
Gambar ,1 Pembukaan Acara regional Meting konservasi Orangutan di Aceh Oleh Bpk Dino Budi Satria.S,hut. Dari BKSDA Provinsi Aceh
Gambar 2, Diskusi Panel Tahap satu, para pemateri sebelah Kiri Bpk Arwin Ariga. Asisten Peneliti Stasiun Riset Ketambe Aceh Tenggara, Bpk Asriadi.S,Hut.Manager Stasiun Pelepasliaran Orangutan Cagar Alam Jantho Aceh Besar /SOCP (Tengah), Badrul Irfan.SH. Ketua FORA
FORA
22
Gambar 3, Peserta seminar melempar gagasan dan pertanyaan seputar isu konseravsi Orangutan Sumatera di Aceh
Gambar 4. Diskusi Panel Tahap dua para Pemateri memaparkan persentasi Ir.Abu Bakar .Kepala BKSDA Provinsi Aceh (kiri), Efendi Isma,S,Hut .Moderator (Tengah) drh, Erdiansyah Rahmi, M.Si. Pengajar Konservasi dan Penyakit Satwaliar, Fakutas Kedokteran Hewan Unsyiah.
FORA
23
Gambar 5. Diskusi kelompok untuk mengahasilkan rekomendasi konservasi Orangutan di provinsi Aceh
Gambar ,6.Persentasi Kelompok menjelaskan hasil diskusi dan input dari peserta
FORA
24