PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP KEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006
Oleh : Abd. Rohman Nawi 103045228168
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH (KETATANEGARAAN ISLAM) PROGRAM STUDI JINAYAH DAN SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1430 H / 2009 M
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP KEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : Abd. Rohman Nawi NIM. 103045228168 Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH (KETATANEGARAAN ISLAM) PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
berjudul
“Perspektif
Hukum
Islam
Terhadap
Konsep
Kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa, 08 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah. Jakarta, 08 Desember 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP. 19550505 198203 1 012
Panitia Ujian : 1. Ketua
: Dr. (…………..) NIP. 19721010 199703 1 008
Asmawi,
M.Ag.
2. Sekretaris
: Sri (…………..) NIP. 19710215 199703 2 002
Hidayati,
M.Ag
3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SS, MA, MM (…………..) NIP. 19550505 198203 1 012
4. Penguji I
: Prof. Dr. Hj. (…………..) NIP. 150270614
Amany
5. Penguji II
: Drs. Abu (…………..) NIP. 19650908 199503 1 001
B.
Umar
Lubis,
Tamrin,
M.
Lc,
MA
Hum
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 08 Desember 2009
Abd. Rohman Nawi
ـ ا ا ا KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berbagai karunia dan anugerah yang diberikan kepada segenap hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh dengan ikhlas mengharapkan ridha-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada hamba pilihan-Nya yang membawa risalah kebenaran, pemimpin bagi pembawa cahaya keridhaan-Nya yang abadi, yaitu Sayyidina Muhammad SAW, sebaik-baik makhluk dan dipenuhinya dengan akhlak yang sempurna. Penulis bersyukur telah menyelesaikan skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP KEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006”. Penulis menyadari dengan kerendahan hati bahwa dalam setiap tahap penyusunan skripsi ini begitu banyak bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak/Ibu sebagai:
1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA.,MM. 2. Ketua Program Studi Jinayah dan Siyasah, Dr. Asmawi, M.Ag., dan Sekretaris Program Studi Jinayah dan Siyasah, Sri Hidayati, M.Ag., beserta staff dan seluruh dosen yang telah memberi ilmu, membimbing dan mengarahkan penulis sejak masa perkuliahan hingga berakhirnya skripsi ini. 3. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA.,MM. Selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan ilmunya dan bimbingannya serta do’anya dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Pimpinan Perpustakaan, baik Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan fasilitas pada Penulis untuk mengadakan studi kepustakaan. 5. Kedua orang tua penulis, Ayahanda H. Sarmada dan Ibunda tercinta Hj. Hanifah (Almh), bang Sobur, mama Uum, bang Tohir, mpo Idah, bang O.G., mama Ayu, Noer, Yati, ibu Nina yang selalu mendukung penulis dengan sepenuh hati dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Teman-teman seperjuangan, Ahmad Syaifuddin, Ana. M, Ana. P, Ahmad Nazir, Qosim, Iswara, Husen, Bonchu sekeluarga dan my best friend Fikriyah yang telah memberikan semangat disaat penulis membutuhkannya.
Semoga bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian yang diberikan oleh mereka mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis pribadi dan pembaca pada umumnya. Amîn.
Jakarta, 08 Desember 2009
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
ii
LEMBAR PERNYATAAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
7
D. Review Studi Terdahulu
8
E. Metode Penelitian
11
F. Sistematika Penulisan
12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN A. Warga Negara dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia
14
B. Sejarah Perundang-undangan Tentang Kewarganegaraan Indonesia
19
C. Asas Kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
31
D. Syarat Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia Menurut UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006
BAB III ANALISIS
HUKUM
KEWARGANEGARAAN
ISLAM
39
TERHADAP
INDONESIA
DALAM
KONSEP UNDANG-
UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 A. Warga Negara dalam Islam
44
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi Kelahiran
56
C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi Perkawinan D. Syarat Memperoleh Kewarganegaraan dalam Islam
57 70
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan
74
B. Saran
76
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN : UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006
77 80
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan suatu organisasi kemasyarakatan, oleh karena itu di dalamnya pasti dihuni oleh sejumlah penduduk. Dalam pengetahuan hukum tata negara, untuk dapat dipandang sebagai suatu negara haruslah memenuhi tiga hal, yang salah satunya adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional1 yang dalam kajian ilmu politik disebut rakyat. Bahkan menurut berbagai teori yang dikembangkan dalam ilmu negara, negara ada demi warga negara. Terutama jika mengacu kepada paham demokratis, yang dianut oleh berbagai negara modern dewasa ini, termasuk Indonesia. Eksistensi negara adalah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Hal tersebut sudah sepantasnya, sebab maksud adanya negara adalah untuk menyelenggarakan kepentingan warganya. Negara akan menjadi kuat dan sukses bila warga negara sebagai pendukungnya juga kuat. Kuat dalam arti seluas-luasnya, termasuk kuat dalam arti persatuan diantara rakyatnya. Oleh karena itu ketentuan siapa yang akan menjadi warga negara bukanlah persoalan perorangan akan tetapi merupakan persoalan atau wewenang bagi negara yang berdaulat dengan tetap menghormati prinsip-prinsip umum Internasional. Atas
1
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet ke-3, h. 3.
dasar itulah diperlukan pengaturan mengenai kewarganegaraan. Di Indonesia mengenai kewarganegaraan diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Dasar 1945.2 Penduduk atau rakyat suatu negara terdiri dari warga negara, yaitu orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara, yang mempunyai hubungan yang tidak terputus dengan tanah airnya, dengan Undang-Undang Dasar negaranya, sekalipun yang bersangkutan berada di luar negeri, selama yang bersangkutan tidak memutuskan hubungannya atau terikat oleh ketentuan hukum Internasional.3 Selain itu, dalam suatu negara adakalanya dijumpai golongan minoritas yang oleh Wolhoff disebut “minoriteit, yaitu golongan orang yang berjumlah kecil atau disebut juga warga negara asing (WNA)”4, sedangkan hubungannya dengan negara yang didiaminya hanyalah selama yang bersangkutan bertempat tinggal dalam wilayah negara tersebut.5
Dalam wilayah kewarganegaraan Indonesia muncul suatu kendala yang cukup jelas dihadapan kita selama ini, yaitu kendala konsep dalam memahami arti
2
Tim Redaksi Pustaka Pergaulan, UUD 1945, Naskah Asli dan Perubahannya, (Jakarta: Pustaka Pergaulan, 2004), Cet ke-3, h. 74. 3
I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2003), Cet. Ke-2, h. 94. 4
Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busroh, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 169. 5
Mustafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), h. 23.
warga negara. Pertanyaan sederhana yang ada pada kita yaitu, apakah warga negara itu orang yang dalam kartu identitas (KTP, SIM, PASPOR) tertulis kewarganegaraan tertentu ? Dalam wilayah ini saja terkadang pemahaman kita masih simpang-siur tentang warga negara itu sendiri. Ada orang yang asal lahirnya di Indonesia, dia adalah warga negara Indonesia, atau sebaliknya bagi warga negara Indonesia yang melahirkan anaknya di luar wilayah teritorial Indonesia anak tersebut menjadi warga negara asing.6 Sebagai contoh, dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, tidak setiap warga negara dari suatu negara selalu berada di dalam negaranya.7 Tidak bisa kita pungkiri bahwa kita sering menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan. Dalam hal negara tempat asal seseorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi apabila kedua negara yang
6
Mohammad AS. Hikam, dkk, Fiqh Kewarganegaraan, Intervensi Agama-Negara Terhadap Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: CV Adipura, 2000), h. 41-42. 7
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), Cet. Ke-9, h. 82.
bersangkutan memiliki sistem yang berbeda maka dapat terjadi problem mengenai status kewarganegaraan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateles)8. Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara dianut prinsip ‘Ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orang tua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orang tuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anakanaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orang tuanya itu. 9 Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan istri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami istri itu, hubungan hukum antar suami istri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.10
8
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Cet ke- 8, h. 98. 9
Soependri Soeriadinata, Sendi Pokok Tata Negara Indonesia, (Jakarta: CV. Karya Indah, 1974), h. 94-95. 10
T. May Rudy, Hukum Internasional I, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2002), h. 37.
Mengenai masalah kewarganegaraan sistem politik Islam terkandung secara
implisit
dan
dapat
dipahami
dari
al-Quran
dan
al-Sunnah.
Kewarganegaraan sistem politik Islami pertama-tama berdasarkan agama Islam, tetapi apakah ini berarti bahwa semua orang Islam secara otomatis menjadi warga negara sistem politik Islam atau orang bukan muslim tidak dapat menjadi warga negara sistem politik Islam ?11 Dalam hal konsep kewarganegaraan sistem politik Islam-pun masih banyak orang yang belum mengetahui bagaimana Islam mengatur hal tersebut. Meski pada kenyataannya mayoritas warga negara Indonesia adalah beragama Islam. Oleh karena itu, ada baiknya konsep kewarganegaraan Islam dimasukkan dalam pembahasan ini sebagai bahan perbandingan.
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka penulis merasa perlu melakukan penelitian dan mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang berjudul ”PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP KEWARGANEGARAAN
INDONESIA
DALAM
UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 2006”.
11
Abd. Mu'in Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), Cet ke-2, h. 300.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk memudahkan pembatasan masalah dan fokus kajian skripsi ini, penulis akan membatasi masalah dan merumuskan permasalahan. Pembatasan permasalahan merupakan hal yang penting untuk menghindari dari melebar dan meluasnya obyek
kajian,
sedang
perumusan
masalah ditujukan untuk
mengarahkan alur bahasa dan menjawab berbagai permasalahan sebagai suatu substansi dari skripsi ini. Berdasarkan atas pemaparan latar belakang skripsi ini, penulis membatasi permasalahan pada konsep kewarganegaraan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, dan kemudian ditelaah secara komparatif menurut hukum Islam. Dari pembatasan masalah di atas, secara lebih rinci perumusan masalah dalam skripsi ini lebih mengkhususkan pada beberapa pembahasan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep dan aturan hukum mengenai kewarganegaraan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan dalam hukum Islam ? 2. Apakah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesia telah sesuai dengan ajaran hukum Islam ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep dan muatan hukum yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesia dan dalam Islam; 2. Untuk
mengetahui
pandangan
menurut
Islam
terhadap
konsep
kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai aspirasi penulis kepada Pemerintah dan Lembaga yang berwenang untuk semakin baik dan adil dalam pelaksanaannya. Manfaat praktis bagi penulis, pembaca, serta masyarakat pada umumnya, adalah mengetahui bagaimana konsep dan aturan hukum Indonesia mengenai kewarganegaraan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Secara akademis dapat bermanfaat bagi para akademisi Fakultas Syariah dan Hukum pada umumnya dan bagi program studi Jinayah Siyasah Syar’iyyah khususnya, sebagai tambahan referensi tentang studi komparatif mengenai konsep kewarganegaraan baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan dalam hukum Islam.
D. Review Studi Terdahulu Sejauh
penelitian
tentang
topik
yang
mengangkat
masalah
kewarganegaraan baik mengenai konsep, ketentuan-ketentuan, status maupun
masalah lain yang berkaitan dengan kewarganegaraan, baik yang mengkaji secara spesifik masalah tersebut maupun yang menyinggung secara umum. Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut. Tim ICCE UIN Jakarta, yang berjudul ”Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Civic Education)”. Pokok masalah yang dikaji ialah tinjauan terhadap konsep kewarganegaraan dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Temuan pokok dalam masalah ini antara lain asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran yang mencakup asas ius soli dan ius sanguinis, berdasarkan perkawinan yang mencakup asas persatuan hukum dan asas persamaan derajat, karena pengangkatan, karena dikabulkannya permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia, karena pewarganegaraan, karena turut ayah dan atau ibu, dan karena pernyataan. Karya Drs. Mustafa Kamal Pasha, B.E.d., yang berjudul “Pendidikan Kewarganegaraan
(civic
education)”.
Didalamnya
membahas
mengenai
penentuan kewarganegaraan yang meliputi, asas ius sanguinis (law of the blood), asas ius soli (law of the soil), asas pewarganegaraan (naturalisasi), mengenai problem kewarganegaraan yang meliputi, bipatride dan apatride (stateless), mengenai hak dan kewajiban warga negara menurut Undang-Undang Dasar 1945, yang meliputi hak-hak warga negara yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1, 2, 3), Pasal 28, 28A,28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, 28J, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, Pasal 31, Pasal 34. mengenai kewajiban warga negara yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 30.
Karya A. Ubaidillah.- (et all), yang berjudul “Pendidikan Kewargaan (civic education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani”. Yang membahas mengenai unsur-unsur warga negara yang meliputi, asas ius sanguinis, asas ius soli dan asas naturalisasi, problem kewarganegaraan yang meliputi, problem apatride dan bipatride, dan membahas sejarah Undang-Undang kewarganegaraan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947, pasal 5 dan 194 Undang-Undang Dasar RIS, persetujuan KMB (1949), perjanjian Soenarjo-Chou en Lai (1955), Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1976. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”, yang secara umum membahas asas kewarganegaraan, problem yang menyangkut masalah kewarganegaraan Indonesia dalam UndangUndang RI Nomor 3 Tahun 1946, Undang-Undang RI Nomor 62 Tahun 1958, perubahan Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 62 Tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1976, peraturan pelaksanaan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1976 (PP Nomor 13 Tahun 1976) Moh. Kusnardi, S.H., dan Harmaily Ibrahim, S.H., yang berjudul “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”, secara umum pembahasan dalam buku ini tidak jauh berbeda dengan pembahasan buku di atas, yakni sejarah kewarganegaraan sejak proklamasi kemerdekaan dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 mengenai perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Dari beberapa kajian yang telah disebutkan di atas, terlihat bahwa semua hanya membahas mengenai konsep kewarganegaraan Indonesia dan itupun dalam Undang-Undang yang sudah tidak berlaku lagi pada saat ini. Akan tetapi, belum terdapat
suatu
kajian
perbandingan
yang
spesifik
mengenai
konsep
kewarganegaraan dalam sistem ketatanegaraan Islam dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang merupakan perbedaan spesifik dibanding karya tulis yang telah ada. Mengenai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan “Buku Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah & Hukum. Penggunaan dari berbagai macam tinjauan pustaka ini untuk menjadi acuan dalam melaksanakan penulisan agar dapat mencapai tujuannya. Dengan adanya patokan diharapkan dapat membuat penulis dapat lebih mudah dalam melaksanakan penulisan skripsi.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research)
yaitu penelitian dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, artikel-artikel, makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan, yaitu dengan membaca buku atau literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini. 3. Sumber Data a. Data Primer, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penulisan antara lain Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
dan buku-buku lain yang
berkaitan dengan bahasan penulisan. b. Data Sekunder yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu artikelartikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Teknik Analisis Data Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas hingga menemukan jawaban yang diharapkan. 5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007". F. Sistematika Penulisan Untuk lebih memperoleh gambaran yang menyeluruh, skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I
Berisi Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Alasan sub-sub bab tersebut diletakkan pada bab 1 adalah untuk lebih mengetahui alasan pokok kenapa penulisan ini dilakukan dan mengetahui batasan dan metode yang dilakukan sehingga maksud dari isi penulisan ini dapat dipahami.
Bab II
Tinjauan umum tentang kewarganegaraan, yang dibagi kedalam lima sub bab, yaitu: Pengertian Warga Negara dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia,
Sejarah
Perundang-undangan
Tentang
Kewarganegaraan
Indonesia, Asas Kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, Syarat Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Bab ini memberikan penjelasan mengenai pembahasan judul penulisan yang dikupas lebih jauh mengenai konsep kewarganegaraan yang tercantum didalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, sehingga memberikan pemahaman mendalam tentang pokok bahasan penulisan ini.
Bab III Membahas
mengenai
kewarganegaraan
analisis
hukum
Islam
terhadap
konsep
Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006, yang dibagi juga kedalam beberapa sub bab, yaitu: Warga Negara dalam Islam, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi Kelahiran, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi Perkawinan, Syarat Memperoleh Kewarganegaraan dalam Islam.
Bab IV Merupakan bab terakhir yang menjadi penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bertujuan memberikan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya tentang apa dan bagaimana isi pokok bahasan tersebut dan selanjutnya memberikan saran mengenai isi dari penulisan ini.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN E. Warga Negara dalam Hukum Kewarganegaraan Indonesia Istilah warga negara merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “citizen” dan istilah Perancis-nya adalah “citoyen”. Secara harfiyah keduanya berarti warga kota. Hal itu terpengaruh oleh konsep ”polis” pada masa Yunani Purba. Polis mempunyai warga yang disebut warga polis atau warga kota. Kemudian istilah ini disempurnakan kedalam bahasa Belanda ”staatsburger” atau warga negara. Dalam bahasa Indonesia dahulu dikenal pula istilah kaulanegara. Istilah tersebut diambil dari bahasa Jawa yang dalam peraturan perundangundangan Hindia-Belanda mempunyai arti yang serupa dengan ”onderdaan”.12 AS Hikam mendefinisikan bahwa ”Warga negara adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari citizenship, yang menurutnya istilah itu lebih baik ketimbang istilah kawula negara. Karena istilah warga negara dipakai jika bentuk pemerintahan negara itu republik, sedangkan istilah kawula negara dipakai jika bentuk pemerintahan negara itu kerajaan”.13
12
A. Ubaidillah, dkk, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 58. 13
AS Hikam, Pengertian Warga Negara, dalam Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan kewargaaan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1999), h. 74.
Warga negara merupakan salah satu tiang daripada adanya negara, atau dalam kata lain merupakan faktor terpenting dalam hal untuk mendukung terbentuknya suatu negara. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa syarat untuk mendirikan suatu negara yang merdeka dan berdaulat salah satunya adalah dengan adanya warga negara disamping dua syarat yang lain, yaitu wilayah dan pemerintah negara.14 Berdasarkan hubungannya dengan dunia Internasional, maka orang-orang yang bertempat tinggal di dalam suatu wilayah kekuasaan negara harus dibedakan antara warga negara dan penduduk, karena setiap warga negara adalah penduduk dari negara tersebut tetapi tidak setiap penduduk adalah warga negara yang bersangkutan, dalam hal ini disebut penduduk bukan warga negara atau warga negara asing.15 Warga negara yaitu mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh peraturan negara sehingga yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai warga negara dan diperkenankan mempunyai tempat tinggal tetap (domisili). Sedangkan penduduk yang bukan warga negara ialah mereka yang bertempat tinggal di suatu negara tidak untuk selamanya dan tidak ada maksud menetap di wilayah negara tersebut.
14
B.P. Paulus, Kewarganegaraan RI di Tinjau dari UUD 1945: Khususnya Kewarganegaraan Peranakan Tionghoa, (Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 1983), h. 41. 15
Abdul Bari Azed, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, (Jakarta: IND-HILLCO, 1995), h. 1.
Dengan kata lain warga negara adalah sekelompok manusia yang ada dalam kewenangan hukum suatu negara. Warga negara itu sendiri mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya yaitu hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik diantara keduanya. 16 Berbeda dengan warga negara asing, meski mereka memiliki hak dan kewajiban tetapi dalam bebrapa hal tidaklah sama dengan warga negara dari negara yang bersangkutan. Meskipun seseorang mempunyai status sebagai warga negara asing ia tetap mempunyai hubungan dengan negara yang didatanginya tetapi hanya selama ia bertempat tinggal di wilayah negara tersebut. Warga negara menurut hukum kewarganegaraan Indonesia disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Bab 1 Pasal 2, yaitu: “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. 1. Hak dan Kewajiban Warga Negara Wujud hubungan antara warga negara dengan negara pada umumnya adalah berupa peranan (role). Peranan pada dasarnya adalah tugas apa yang dilakukan sesuai dengan status yang dimiliki, dalam hal ini sebagai warga negara.
16
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (T.tp, CV Sinar Bakti, 1988), h. 291.
Hak dan kewajiban warga negara Indonesia tercantum dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 Undang Undang Dasar 1945. Bebarapa hak warga negara Indonesia antara lain sebagai berikut : a. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. b. Hak membela negara c. Hak berpendapat d. Hak kemerdekaan memeluk agama e. Hak mendapatkan pengajaran f. Hak untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan Nasional Indonesia g. Hak ekonomi untuk mendapatkan kesejahteraan sosial h. Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial Sedangkan kewajiban warga negara Indonesia terhadap negara Indonesia adalah : a. Kewajiban mentaati hukum dan pemerintahan b. Kewajiban membela negara c. Kewajiban dalam upaya pertahanan negara Selain itu ditentuakan pula hak dan kewajiban negara terhadap warga negara. Hak dan kewajiban negara terhadap warga negara pada dasarnya merupakan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara. Beberapa ketentuan tersebut, anatara lain sebagai berikut:
a. Hak negara untuk ditaati hukum dan pemerintah b. Hak negara untuk dibela c. Hak negara untuk menguasai bumi, air , dan kekayaan untuk kepentingan rakyat d. Kewajiban negara untuk menajamin sistem hukum yang adil e. Kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara f. Kewajiban negara mengembangkan sistem pendidikan nasional untuk rakyat g. Kewajiban negara memberi jaminan sosial h. Kewajiban negara memberi kebebasan beribadah Secara garis besar, hak dan kewajiban warga negara yang telah tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945 mencakup berbagai bidang. Bidang-bidang ini antara lain bidang politik dan pemerintahan, sosial, keagamaan, pendidikan, ekonomi, dan pertahanan
F. Sejarah Perundang-undangan Tentang Kewarganegaraan Indonesia Sebelum Indonesia merdeka, penduduknya terbagi ke dalam tiga macam golongan, yaitu: 1. Golongan Indonesia atau pribumi (yang pada waktu itu oleh kerajaan Belanda disebut “inlanders”); 2. Golongan Timur Asing; 3. Golongan orang Eropa.17 Setelah Indonesia terbebas dari para penjajah kurang lebih satu tahun setelah diproklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946. Undang-Undang itu mengatur bahwa penduduk negara adalah mereka yang bertempat tinggal di wilayah kekuasaan negara Indonesia selama satu tahun berturut-turut. Selanjutnya disebutkan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia pada pokoknya adalah: 1. Penduduk asli dalam daerah Republik Indonesia, termasuk anak-anak dari penduduk asli itu; 2. Istri seorang warga negara Indonesia;
17
J.S.T. Simorangkir, dkk, Inti Pengetahuan Warga Negara, (Jakarta: Erlangga, 1960), Cet. 3, h. 34, lihat juga Asis Safioedin, Beberapa Hal tentang Burgerlijk Wet Boek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), Cet. VII, h. 7.
3. Keturunan dari seorang warga negara yang dikawin dengan wanita negara asing; 4. Anak-anak yang lahir dalam daerah Republik Indonesia yang oleh orang tuanya tidak diakui dengan cara yang sah; 5. Anak-anak yang lahir dalam daerah Indonesia dan tidak diketahui siapa orang tuanya; 6. Anak-anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya, yang memiliki kewarganegaraan Indonesia, meninggal; 7. Orang yang bukan penduduk asli yang paling akhir telah bertempat tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut, dan telah berumur 21 tahun atau telah kawin. Dalam hal ini bila berkeberatan untuk menjadi warga negara Indonesia, ia boleh menolak dengan keterangan, bahwa ia adalah warga negara dari negara lain; 8. Masuk menjadi warga negara Indonesia dengan jalan pewarganegaraan (naturalisasi). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947 Tentang memperpanjang waktu untuk mengajukan pernyataan berhubung dengan kewargaan negara Indonesia dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang memperpanjang waktu lagi untuk mengajukan pernyataan berhubung dengan kewargaan negara Indonesia.
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949 telah dicapai suatu persetujuan perihal penentuan warga negara antara Republik Indonesia dan kerajaan Belanda. Menurut persetujuan itu yang menjadi warga negara Republik Indonesia adalah: 1. Penduduk “asli” Indonesia yaitu mereka yang dulu termasuk golongan “bumi Putra”, yang berkedudukan di wilayah Republik Indonesia. Apabila mereka lahir di luar Indonesia dan bertempat tinggal di negeri Belanda atau di luar daerah peserta Uni (Indonesia – Belanda), maka mereka berhak memilih kewarganegaraan Belanda dalam kurun waktu dua tahun setelah tanggal 27 Desember 1949; 2. Orang Indonesia, kaulanegara Belanda, yang bertempat tinggal di suriname atau antillen (koloni Belanda). Akan tetapi jika mereka lahir di luar kerajaan Belanda maka berhak memilih kewarganegaraan Belanda dalam kurun waktu dua tahun setelah tanggal 27 Desember 1949. jika mereka lahir di wilayah kerajaan Belanda mereka memperoleh kewarganegaraan Belanda, akan tetapi mereka berhak memilih kewarganegaraan Republik Indonesia dalam kurun waktu dua tahun setelah tanggal 27 Desember 1949; 3. Orang Cina dan Arab yang lahir di Indonesia atau sedikit-dikitnya bertempat tinggal enam bulan di wilayah Republik Indonesia, apabila dalam kurun waktu dua tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 tidak menolak kewarganegaraan kewarganegaraan);
Indonesia
(hak
repudiasi
=
hak
menolak
4. Orang Belanda yang dilahirkan di wilayah Republik Indonesia atau sedikitdikitnya bertempat tinggal enambulan di wilayah Republik Indonesia dalam kurun waktu dua tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 menyatakan memilih warga negara Indonesia (hak opsi = hak memilih sesuatu kewarganegaraan); 5. Orang Asing (kaulanegara Belanda) bukan orang Belanda yang lahir di Indonesia dan bertempat tinggal di Republik Indonesia apabila dalam kurun waktu dua tahun sesudah tanggal 27 Desember 1949 tidak menolak kewarganegaraan Indonesia. Singkatnya orang Indonesia tetap menjadi orang Indonesia, mereka dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia. Untuk orang Timur Asing bagi mereka berlaku yang disebut “sistem passif” (tidak berbuat apa-apa), maka dengan waktu yang ditentukan mereka dengan sendirinya menjadi warga negara kecuali jika mereka menolak kewarganegaraan itu. Sedangkan untuk orang Eropa bagi mereka berlaku yang biasa disebut “sistem aktif”. Maksudnya apabila salah seorang dari mereka hendak jadi warga negara Indonesia maka dia harus memintanya dengan mengajukan permohonan. Selanjutnya setelah kurun waktu kurang lebih 12 tahun lahir UndangUndang baru tentang kewarganegaraan menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946, yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang mulai berlaku sejak diundangkannya pada tanggal 1 Agustus 1958. Undang-Undang ini dinyatakan berlaku surut sampai tanggal 27 Desember 1949.
Menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang dikatakan sebagai warga negara Indonesia adalah: 1. Mereka
yang
telah
menjadi
warga
negara
berdasarkan
Undang-
Undang/Peraturan/Perjanjian, yang terlebih dahulu berlaku (berlaku surut); 2. Mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan UndangUndang tersebut. Selain warga negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih dahulu telah berlaku, maka seorang dapat menjadi warga negara Indonesia, jika ia memenuhi syarat-syarat berikut: 1. Pada waktu lahirnya mempunyai hubungan kekeluargaan dengan seorang warga negara Indonesia (misalnya ayahnya adalah WNI); 2. Lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dan ayah itu pada waktu meninggal dunia adalah warga negara Republik Indonesia; 3. Lahir dalam wilayah Republik Indonesia selama orang tuanya tidak diketahui; 4. Memperoleh kewarganegaraan Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Misalnya: a. Anak asing yang berumur 5 tahun yang dianggkat oleh seorang warga negara Republik Indonesia apabila pengangkatan itu disahkan oleh pengadilan negeri; b. Anak di luar perkawinan dari seorang ibu WNI; c. Menjadi warga negara karena pewarganegaraan, dan lain-lain.
Dengan demikian seorang dapat dikatakan sebagai orang asing jika ia tidak memenuhi syarat-syarat sebagai warga negara seperti yang telah disebutkan.18 Pada perkembangannya Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 khususnya Pasal 18 Undang-Undang tersebut pada tanggal 5 April 1976 Presiden Republik Indonesia Telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 ditegaskan bahwa ”Seorang yang kehilangan kewarganegaraan
Republik Indonesia
termaksud dalam Pasal 17 huruf k memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kembali jika ia bertempat tinggal di Indonesia berdasarkan kartu izin masuk dan menyatakan keterangan untuk itu. Keterangan itu harus dinyatakan kepada pengadilan negeri dari tempat tinggalnya dalam satu tahun setelah orang itu bertempat tinggal di Indonesia”. Pasal 17 huruf k Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 memberikan kewajiban warga negara Republik Indonesia mengajukan pernyataan keinginan untuk tetap menjadi warga negara Republik Indonesia dalam jangka waktu 5 tahun yang pertama dan selanjutnya untuk tiap 2 tahun sekali, yaitu bagi mereka yang bertempat tinggal di luar negeri selain untuk menjalankan dinas negara.
18
CST Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), Cet. Ke-3, Edisi Revisi, h. 220-223.
Pada kenyataannya tidak semua warga negara Republik Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dapat memenuhi kewajiban tersebut bukan dikarenakan lalai melainkan dari suatu keadaan di luar kesalahannya, sehingga mereka terpaksa tidak menyatakan keinginannya tersebut tepat pada waktunya, seperti akibat sengketa Irian Barat yang berakibat pada tidak dapat dilaksanakannya ketentuan Pasal 17 huruf k sama sekali atau sebagian secara keseluruhan oleh Perwakilan Republik Indonesia, dan akibat kasus-kasus lainnya. Guna memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia,
maka dianggap perlu
melakukan
perubahan terhadap Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958, karena pasal tersebut tidak menampung orang-orang di atas. Berdasarkan alasan diatas maka Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1976 menetapkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 diubah sebagai berikut: Pasal 18 1. Seorang yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia termasuk dalam Pasal 17 huruf k memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kembali jika ia bertempat tinggal di Indonesia berdasarkan Kartu Izin Masuk dan menyatakan keterangan untuk itu. Keterangan itu harus dinyatakan kepada pengadilan negeri dari tempat tinggalnya dalam satu tahun setelah orang itu bertempat tinggal di Indonesia.
2. Seorang yang bertempat tinggal di luar negeri, yang telah kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia termaksud dalam Pasal 17 huruf k, karena sebab-sebab yang di luar kesalahannya, sebagai akibat dari keadaan di negara tempat tinggalnya yang menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya kewajiban sebagaimana diatur dalam ketentuantersebut dapat memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia: a. Jika ia melaporkan diri dan menyetakan keterangan untuk itu kepada perwakilan Republik Indonesia di negara tempat tinggalnya dalam jangka waktu 1 tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya undang-undang ini; b. Jika ia melaporkan diri dan menyatakan keterangan untuk itu kepada perwakilan Republik Indonesia di negara yang terdekat dari tempat tinggalnya dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya undang-undang ini. 3. Selain menyatakan keterangan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan republik Indonesia seperti tersebut dalam ayat (2), orang yang bersangkutan harus: a. Menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh untuk menjadi warga negara Republik Indonesia; b. Telah menunjukkan kesetiaannya terhadap negara Republik Indonesia. 4. Seorang yang telah menyatakan sesuai dengan ketentuan dalam ayat (2), memperoleh kembali kewarganegaraan republik Indonesia dalam waktu 1 tahun setelah melaporkan diri dan menyatakan keterangan serta ternyata
memenuhi syarat-syarat tersebut dalam ayat (3) dan setelah mendapat keputusan Menteri Kehakiman. Keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan kembali kewarganegaraan Republik Indonesia mulai berlaku pada hari permohonan menyatakan sumpah atau janji setia di hadapan Perwakilan Republik Indonesia dan berlaku surut hingga hari tanggal Keputusan Menteri Kehakiman tersebut.19 Berdasarkan keterangan di atas, bahwa Republik Indonesia telah mengalami banyak perubahan dalam hal perundang-undangan khususnya undangundang mengenai kewarganegaraan Indonesia. Sampai saat ini Undang-Undang yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesia. Adapun kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 berdasarkan Pasal 2, dinyatakan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Berdasarkan pernyataan di atas, yang dapat disebut sebagai warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli, yaitu orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri dan orang-orang lain yang disahkan
19
Ibid., h. 229.
dengan undang-undang, misalnya dengan cara mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia.20 Adapun perincian mengenai siapa saja yang dapat disebut sebagai warga negara Indonesia dilihat pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang menyebutkan, warga negara Indonesia adalah: a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia; b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia; c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing; d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu warga negara Indonesia; e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
20
Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Cet. Ke-2, h. 313.
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia; g. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indonesia; h. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; i.
Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j.
Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya
tidak
mempunyai
kewarganegaraan
atau
tidak
diketahui
keberadaannya; l.
Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Berdasarkan beberapa hal yang telah disebutkan oleh undang-undang tersebut di atas maka sudah cukup jelas siapa saja yang dapat disebut sebagai warga negara Indonesia. Dengan demikian secara otomatis siapa saja yang tidak dan atau belum memenuhi syarat-syarat peraturan kewarganegaraan yang ditetapkan dalam undang-undang dinamakan bukan warga negara atau orang asing. Setelah kita mengetahui siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai warga negara Indonesia maka untuk selanjutnya kita akan membahas mengenai asas-asas kewarganegaraan yang digunakan negara Republik Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.
C. Asas Kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Asas kewarganegaraan merupakan pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara menurut hukum internasional mempunyai kebebasan untuk menentukan siapa saja yang menjadi warga negara dan asas kewarganegaraan mana saja21 yang hendak dipergunakannya. Adapun asas kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah: 1. Asas kewarganegaraan Indonesia berdasarkan sisi kelahiran Asas kewarganegaraan Indonesia berdasarkan sisi kelahiran adalah asas Ius Sanguinis dan asas Ius Soli. Berikut ini penjelasan mengenai kedua asas tersebut. a. Asas Ius Sanguinis (law of the blood) Asas Ius Sanguinis adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan garis keturunan tanpa perlu mempersoalkan tempat orang tersebut dilahirkan.22
21
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) Cet. Ke-10, h. 116. 22
A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (PT. Refika Aditama, 2005), Cet. Ke-4, h. 50.
Hal ini dapat dibuktikan dari sikap negara kita yang pada hakikatnya baru akan menganggap seorang anak sebagai warga negara Indonesia bila anak tersebut telah memenuhi persyaratan yang oleh negara dapat dinilai sebagai seorang anak yang secara sah dan meyakinkan dapat dibuktikan sebagai keturunan dari ayah dan/atau ibunya yang menjadi warga negara Indonesia. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Anak yang ketika dilahirkan masih mempunyai hubungan hukum keluarga dengan ayah dan/atau ibunya yang menjadi warga negara Indonesia; 2) Anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia, apabila dari status perkawinan yang sah dan ayah itu pada waktu meninggal dunia sebagai warga negara Indonesia; 3) Dalam hal anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah tetapi seorang ayah tidak mempunyai kewarganegaraan atau negara asal ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut, sedangkan ibunya warga negara Indonesia, maka anak tersebut mengikuti kewarganegaraan ibunya; 4) Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan salah satu dari kedua orang tuanya adalah warga negara Indonesia. Berdasarkan asas Ius Sanguinis yang di anut oleh Negara Republik Indonesia maka di negara manapun seorang warga negara Indonesia berdomisli dan melahirkan anaknya, hubungan antara anak yang baru lahir dan negara asal orang tuanya tersebut tidak terputus dan tetap menjadi warga negara dari negara asal orang tuanya yakni Indonesia, selama orang tuanya tidak melepaskan
kewarganegaraan dari negara asalnya. Oleh karena itu asas Ius Sanguinis cukup menguntungkan Negara Republik Indonesia. Sebagai contoh ilustrasi, seorang ibu berinisial F berkewarganegaraan Indonesia melahirkan di negara tetangga, Malaysia. Kemudian dia melahirkan seorang anak di negara itu, oleh karena negara Indonesia menganut asas Ius Sanguinis maka secara otomatis anak tersebut berkewarganegaraan Indonesia. Seperti tertera dalam Pasal 4 huruf (b, c, d, e, f, g, h, l dan m) b. Asas Ius Soli (law of the soil) Terbatas Ius Soli adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran tanpa perlu mempersoalkan keturunan darah orang yang bersangkutan. Asas ini diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. 23 Hal ini dapat dibuktikan dari adanya perlakuan terhadap seorang anak atau setiap anak yang dilahirkan di Indonesia bahwa mereka dianggap sebagai warga negara Indonesia atas dasar: 1) Tidak jelas status kewarganegaraan kedua orang tuanya; 2) Kedua orang tuanya tidak diketahui; 3) Kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau keberadaannya tidak diketahui.
23
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesia, (revisi) / Lian Nury Sanusi, (Jakarta: PT. Kawan Pustaka, 2006), h. 28.
Asas ini dianut terutama oleh yang disebut negara-negara immigrasi diantaranya Amerika Serikat, Australia dan Canada yang memperoleh manfaat dari padanya karena dengan kelahiran anak-anak para immigran di negara tersebut maka terputuslah hubungan anak yang baru lahir itu dengan negara asal orang tuanya. Di Indonesia sendiri asas ini dipakai dengan maksud agar tidak terjadi apatride/stateless yaitu seseorang berstatus tanpa kewarganegaraan yang secara yuridis-formal dia bukanlah warga dari negara manapun juga. 24 Seperti seseorang yang tidak mempunyai atau tidak jelas status kewarganegaraannya, tetapi dia melahirkan anaknya di wilayah negara Republik Indonesia, agar anak tidak menyandang status tanpa kewarganegaraan seperti kedua orang tuanya, maka berdasarkan asas Ius Soli tersebut secara otomatis anak itu mendapat kewarganegaraan Indonesia. Hal itu dapat dilihat pada Pasal 4 huruf (i, j dan k). 2. Asas kewarganegaraan Indonesia berdasarkan sisi perkawinan Perkawinan tidak hanya terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang berkewarganegaraan sama tetapi dapat saja terjadi dari para pihak yang berbeda kewarganegaraan atau biasa disebut juga perkawinan campuran. Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan dan transportasi
24
A. Ridwan Halim, Hukum Tata Negara dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 260.
telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.25 Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia. Dalam
perundang-undangan
di
Indonesia,
perkawinan
campuran
didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 57: ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena
perbedaan
kewarganegaraan
dan
salah
satu
pihak
berkewarganegaraan Indonesia.” Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal (Statuta personalia adalah kelompok kaidah yang mengikuti kemana ia pergi).26 Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).27 Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan,
25
Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, Artikel diakses pada 5 Juni 2009 dari http://www.mixedcouple.com. 26
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, (Bandung: Penerbit Alumni, 1995), hal.3. 27
Ibid., hal.80.
demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.28 Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 tahun 1958.29 Dalam Undang-Undang kewarganegaraan yang baru saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, kewarganegaraan Indonesia mengenal dua asas yang erat kaitannya dengan masalah perkawinan yaitu asas kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda terbatas, dimana masing-masing dari kedua asas ini diterapkan kepada setiap orang dewasa dan diterapkan hanya terbatas pada anak-anak saja. Untuk
lebih
jelasnya
akan
kami
uraikan
permasalahan
kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda di bawah ini: a. Asas Kewarganegaraan Tunggal
28
Ibid., hal.81.
29
Ibid., hal.91.
asas
Yaitu asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Hal ini disebutkan dalam pasal 6 yang mengatakan bahwa terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf (c, d, h, l) dan pasal 5, yaitu: 1) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; 2) anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; 3) anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; 4) anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; 5) anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia; 6) anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Mengakibatkan anak tersebut berkewarganegaraan ganda, namun setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak yang dimaksud harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan
belas)
tahun
atau
setelah
kawin,
dengan
kata
lain
bahwa
kewarganegaraan tunggal dalam undang-undang ini ditujukan bagi setiap orang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. b. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Pasal 4 huruf (c, d, h dan l) dan Pasal 5 ayat (1 dan 2) anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, baik perkawinan itu sah atau tidak sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Akibatnya anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, demikian juga dengan anak yang lahir di luar wilayah Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan dan anak warga negara Indonesia yang belum berusia lima tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan. Pertimbangan kewarganegaraan ganda terbatas diberikan kepada anakanak dengan batasan usia 18 tahun selain karena umur itu merupakan batasan kedewasaan seorang anak yang diamanatkan Konvensi Anak, juga dimaksudkan
karena sebelum usia itu seorang anak dianggap belum cakap melakukan tindakan hukum, yang praktis menghindarkan kemungkinan dampak negatif persoalan hukum yang diakibatkan oleh adanya kewarganegaraan ganda tersebut.30 Sebagaimana telah dijelaskan di atas, secara umum undang-undang Kewarganegaraan saat ini menghindari terjadinya status kewarganegaraan ganda (bipatride), tanpa status kewarganegaraan (apatride), kecuali kewarganegaraan ganda terbatas yang diberikan kepada anak-anak dari Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di negara-negara berasas ius soli seperti Amerika Serikat atau anak-anak dari perkawinan antara Warga Negara Indonesia dan warga negara lain. D. Syarat Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia Memurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Dalam Pasal 2 undang-undang ini menyebutkan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orangorang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Bagi orang-orang bangsa lain yang ingin menjadi warga negara Indonesia dapat diperoleh melalui pewarganegaraan. Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh yang bersangkutan jika memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan dalam undang-undang ini (pasal 9), yaitu: 1. Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin;
30
Artikel diakses pada 15 Mei 2008 dari http://www.kompas.com/kompascetak/0607/25/opini/2823414.html.
2. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut; 3. Sehat jasmani dan rohani; 4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 5. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih; 6. Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda; 7. Mempunyai pekerjaan dan/atau penghasilan tetap; dan 8. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara. Dalam Pasal 10 undang-undang ini mengatur prosedur yang harus ditempuh oleh pemohon kewarganegaraan, antara lain: 1. Permohonan pewarganegaraan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup; 2. Surat permohonan ditujukan kepada Presiden melalui Menteri; 3. Berkas permohonan disampaikan kepada pejabat; 4. Menteri meneruskan permohonan disertai dengan pertimbangan kepada Presidendalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan itu diterima;
5. Kepada pemohon ditetapkan biaya pewarganegaraan yang besarnya akan diatur labih lanjut dalam peraturan pemerintah. (peraturan pemerintah tersebut belum ditetapkan menurut undang-undang ini peraturan pelaksanaannya harus ditetapkan paling lambat 6 bulan setelah undang-undang ini berlaku); 6. Presiden punya hak untuk mengabulkan atau menolak permohonan kewarganegaraan tersebut; 7. Apabila permohonan dikabulkan maka Presiden menetapkan keputusan Presiden yang ditetapkan paling lambat 3 bulan terhitung sejak permohonan diterima oleh Menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14 hari terhitung sejak keputusan Presiden ditetapkan. Keputusan Presiden mengenai pengabulan terhadap permohonan pewarganegaraan baru berlaku efektif terhitung sejak tanggal permohonan mengucapkan sumpah janji setia yang dilangsungkan paling lambat 3 bulan terhitung sejak putusan Presiden dikirim kepada pemohon. Adalah kewajiban pejabat memanggil pemohon untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia; 8. Apabila setelah dipanggil secara tertulis oleh pejabat untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa alsan yang sah, keputusan Presiden tersebut batal demi hukum. Sebaliknya, dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai akibat kelalaian pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia dihadapan pejabat lain yang ditunjuk Menteri.
9. Apabila permohonan ditolak maka penolakannya harus disertai alasan dan diberitahukan oleh Menteri kepda yang bersangkutan paling lambat 3 bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri. 1. Analisis Yang menjadi Warga Negara Indonesia sebagai identitas Bangsa Indonesia Asli sebagaimana dimaksud dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menentukan bahwa “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang Bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara.” Dalam penjelasan Pasal 2 tersebut menerangkan pengertian orang-orang Bangsa Indonesia Asli adalah “Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Kemudian ketentuan Pasal 4 menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia dianggap Warga Negara Indonesia sekalipun status Kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas, hal ini berarti secara yuridis ketentuan ini sedapat mungkin mencegah timbulnya keadaan tanpa kewarganegaraan.
Dengan demikian penjabaran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 mengenai konsep bangsa Indonesia asli tidak didefinisikan berdasrkan etnis, melainkan berdasarkan pada hukum bahwa keaslian Warga Negara Indonesia ditentukan berdasarkan tempat kelahiran dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Tidak peduli etnis Tioghoa, Arab, India dan lain-lain. Semuanya
dianggap Warga Negara Indonesia asli. Konsekuensi yuridisnya semua Warga Negara Indonesia keturunan yang sudah menikah dan mempunyai keturunan yang sudah lahir di wilayah Negara Republik Indonesia demi hukum menjadi orangorang bangsa Indonesia asli karenanya secara yuridis tidak diperlukan lagi membuat Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melainkan cukup menunjukkan akta kelahiran saja. Namun Undang-Undang Kewarganegaraan ini menganut asas Ius soli secara terbatas, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak dan anak-anak tersebut setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin harus menggunakan hak opsinya yaitu anak-anak tersebut harus menentukan kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 memberi penegasan mengenai hak opsi dalam hal penentuan kewarganegaraan seseorang.
BAB III ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP KEWARGANEGARAAN INDONESIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 E. Warga Negara dalam Islam Islam adalah agama yang mementingkan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ajarannya tetap aktual bagi manusia di segala zaman dan tempat. Islam tidak hanya merupakan rahmat bagi manusia, tetapi juga bagi alam semesta. Islam memperlakukan manusia secara adil tanpa membeda-bedakan kebangsaan, warna kulit dan agamanya, seperti ditegaskan Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 13.
"⌧$%& ! -. /01, '(%)*+, 5689 :%;, )204
@ ' <=20/,>0 ? C9 - ! "AB+ EFG 49 @ ' -.%+ {١٣/٤٩: }ااتHI": Artinya: ”Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Berdasarkan prinsip ini maka Islam membuat berbagai ketentuan yang mengatur hubungan antar sesama manusia, baik muslim sendiri maupun nonmuslim.31 Negara Islam merupakan negara ideologis, maka kewarganegaraan sistem politik Islam pertama-tama berdasarkan agama Islam. Meski begitu negara ini membatasi kewarganegaraannya hanya kepada orang-orang yang tinggal di wilayahnya atau bermigrasi ke dalam wilayahnya. Dengan kata lain bahwa Negara Islam bukan negara ekstra-teritorial. Hal ini diungkapkan dalam QS. AlAnfal (8): 72.
<2 !, ;49
@ <L 1, <"1J, -.PQRS+, MNLO,2!
U;49, C9 V6WXY TU <SI\] <,, -._`⌫0 :^ %*+ ' cd0 9,W+ -.%, <2 !,
U;49, ! % ! <"P1 '(hFi gM(⌧C ! .e☺,W %, V@, ' <"P1 VUJ TU -.$I\]jMY 'T kl IM] .RXW0%/ .pq,o , -.o mn-2%; ☺ u9, Hr %st ! {٧٢/٨: }الHI"Pv @20☺0% Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan 31
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 231.
tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi, dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang Telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”. Ayat ini meletakkan prinsip dasar lain dari hukum perundang-undangan Islam, yaitu negara Islam melindungi segenap orang-orang yang berada di tanah tumpah darah negara Islam atau yang berhijrah ke negara Islam yang bersangkutan. Mengenai kaum muslim yang berada di luar wilayah negara Islam, negara tidak akan memberikan perlindungannya. Kaitan antara persaudaraan Islam tetap ada, tetapi tidak ada tanggung jawab legal bagi perlindungannya. Jika mereka berhijrah ke negara Islam yang bersangkutan, maka mereka barulah akan memperoleh perlindungannya. Jika mereka hanya datang sebagai pelancong atau tamu serta tidak melepaskan kewarganegaraannya (dari negara non-Islam), mereka akan dianggap warga negara non-Islam dan tidak berhak atas perlindungan negara Islam. 32 Walaupun kewarganegaraan sistem politik Islam berdasarkan agama Islam, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi warga negara lain yang nonmuslim untuk dapat menjadi warga negara Islam dengan adanya suatu perjanjian dengan pemerintah Islam. Untuk selanjutnya bagi non-muslim tersebut dinamakan ahl-dzimmah.
32
Sayyid Abul A’la Al-Maududi,, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam Abul A’la Al-Maududi, Penerjemah Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-IV, h. 208-211
Islam menggolongkan rakyatnya berdasarkan satu prinsip dan satu ideologi. Dengan demikian di manapun seseorang dilahirkan baik dia itu seorang muslim atau bukan (non-muslim) tetap berstatus kewarganegaraan Dar al-Islam selama mereka berhijrah atau menerima ideologi tersebut sebagai prinsip dasar. Para ulama fiqh membagi kewarganegaraan seseorang kedalam dua macam kelompok yaitu Muslim dan Non-muslim, sedangkan penduduk Dar alIslam terdiri dari Muslim, Ahl al-Dzimmi dan musta’min. Hal tersebut untuk memudahkan urusan pemerintahan dan pengurusan warganya. Pemisahan ini adalah karena berbedanya cara hidup orang Islam dengan yang bukan Islam, ada peraturan yang dikenakan kepada orang Islam tetapi tidak dikenakan pada orang bukan Islam. Misalnya, umat Islam diwajibkan membayar zakat bila cukup nisab dan haulnya, sedangkan umat bukan Islam tidak berzakat. Sebab itu bagi warga negara yang bukan Islam ada beberapa peraturan khusus untuk mereka. Berikut akan kami berikan sedikit definisi mengenai istilah di atas: a. Muslim Istilah Muslim merupakan nama yang diberikan bagi orang yang menganut agama Islam. Seorang muslim meyakini dengan sepenuh hati kebenaran agama Islam dalam kaidah, syariah dan akhlak sebagai aturan hidupnya.
Kata muslim berasal dari bahasa arab, yang berarti “orang yang selamat”. Ini seakar dengan kata “Islam” yang berarti menyelamatkan. Kedua istilah ini
banyak terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits. Sebagaimana yang tertera dalam QS. Al-Hajj (22) :78. Artinya: “ … Dia yang menamakan kamu dengan muslim semenjak masa lalu. Hal ini dimaksudkan supaya Nabi Saw. menjadi saksi atas kamu dan kamu menjadi saksi atas sekalian manusia...”. Berdasarkan tempat menetapnya, muslim dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya, Yaitu: 1) Mereka yang menetap di Dar al-Islam dan mempunyai komitmen yang kuat untuk mempertahankan Dar al-Islam. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah orang Islam yang menetap sementara waktu di Dar al-Islam sebagai musta’min dan tetap komitmen kepada Islam serta mengakui pemerintahan Islam; 2) Muslim yang tinggal menetap di Dar al-Harb dan tidak berkeinginan untuk berhijrah ke Dar al-Islam. Status mereka, menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, sama dengan muslim lainnya di Dar al-Islam. Harta benda dan jiwa mereka tetap terpelihara. Namun menurut Abu Hanifah, mereka berstatus sebagai penduduk harbiyun, karena berada di negara yang tidak dikuasai Islam. Konsekuensinya, harta benda dan jiwa mereka tidak terjamin.
b. Ahl al-Dzimmi
Kata ahl al-dzimmi atau ahl al-dzimmah merupakan bentuk tarkib idhafi (kata majemuk) yang masing-masing katanya berdiri sendiri. Kata “ahl” secara bahasa, berarti keluarga atau sahabat. Sedangkan kata “dzimmi / dzimmah”, berarti janji, jaminan dan keamanan33. Secara sederhana kata ahl al-dzimmi diartikan orang-orang non-muslim yang tidak memusuhi Islam. Menurut Yusuf al-Qardhawi ahl dzimmi adalah orang-orang non-muslim (ahli kitab maupun bukan) yang menjadi warga negara Islam. Menurut Muhammad Dhiya al-Din al-Rais, yang dimaksud dengan alAqalliyyah al-diniyah adalah non-muslim (ahli kitab maupun bukan).34 Secara umum ahl dzimmi diartikan mereka yang mendapatkan perlindungan keamanan, hak hidup dan tempat tinggal di tengah komunitas muslim. Mereka dinamakan dzimmah (yang berarti perjanjian, jaminan dan keamanan) karena memiliki jaminan perjanjian (‘ahd) Allah dan Rasul-Nya serta jamaah kaum muslimin untuk hidup dengan aman dan tenteram dibawah perlindungan Islam. Jadi mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin berdasarkan akad dzimmah. Dengan demikian, dzimmah ini memberikan kepada kaum non-muslim suatu hak yang dimasa sekarang mirip dengan apa yang yang disebut sebagai kewarganegaraan politis yang diberikan negara kepada rakyatnya.
33
34
Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 233.
Khamami Zadah dan Arif R., Diskursus Politik Islam, (Jakarta: LSIP, 2004), h. 54-55.
Dengan ini pula mereka memperoleh dan terikat pada hak-hak dan kewajibankewajiban semua warga negara. Akad dzimmah ini adalah akad
yang
berlaku selama-lamanya,
mengandung ketentuan membiarkan (membolehkan) orang-orang non-muslim tetap dalam agama mereka disamping hak menikmati perlindungan dan perhatian jamaah kaum muslimin, dengan syarat ia membayar jizyah serta berpegang pada hukum-hukum Islam dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan masalah-masalah agama. Dengan ini, mereka menjadi bagian dari Dar al-Islam. 35 a. Musta’min Secara bahasa kata “musta’min” merupakan bentuk isim fail (pelaku) dari kata kerja ista’mana. Kata ini seakar dengan kata amana yang berarti aman. Dengan demikian kata ista’mana mengandung pengertian ”meminta jaminan keamanan”. Menurut pengertian ahli fiqh musta’min adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah setempat, baik ia muslim maupun harbiyun. Menurut Al-Dasuki antara musta’min dengan mu’ahid mempunyai pengertian yang sama. Mu’ahid adalah orang non-muslim yang memasuki wilayah Dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah Dar alHarb.
35
Yusuf Qhardhawi, Minoritas Non-Muslim di Dalam Masyarakat Islam, Penerjemah Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1991), Cet. Ke-2, h. 18-20.
Musta’min yang memasuki wilayah Dar al-Islam bisa sebagai utusan perdamaian, anggota korps diplomatik, pedagang/invertor, pembawa jizyah atau orang-orang yang berziarah.36 Ajaran Islam membolehkan Dar al-Islam menerima permohonan nonmuslim untuk meminta jaminan keamanan berdasarkan QS. Al-Taubah (9) :6.
!
( + @, wx$Iyz☺ '(hFi -"P1%/ ⌧{,>| }MY N0N C9 . ⌧$ G☺M~ :O%& ' i, !/ ! iM-+ 2☺y0 kl H-2%; -._ {٦/٩ :}ا Artinya: ”Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, Kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak Mengetahui.”.
Berdasarkan ayat tersebut, permohonan orang musyrik harbiyun untuk mendapatkan jaminan keamanan di Dar al-Islam harus dikabulkan. Keamanan ini meliputi keselamatan diri, harta, transaksi yang dilakukannya bahkan keluarga mereka juga. Ia tidak hanya dibolehkan menetap di Dar al-Islam tetapi juga
36
Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 236.
melakukan hubungan muamalah dengan umat Islam serta saling menolong. Dengan jaminan ini mereka tidak dibebankan membayar jizyah. Jaminan keamanan untuk mereka berlaku sesuai dengan masa yang ditetapkan dalam perjanjian dengan Dar al-Islam. Mazhab Syafi’i membatasi masa aman tidak melebihi empat bulan, selama musta’min tersebut bukan musafir dan utusan politik. Berakhirnya masa aman bagi mereka terkait dengan berakhirnya kepentingan atau urusan musta’min itu sendiri. Pembatasan masa aman ini dikhususkan hanya bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan tidak dikaitkan dengan waktu tertentu. Menurut Mazhab Maliki, keamanan yang tidak dibatasi oleh waktu dengan sendirinya berakhir setelah melewati masa empat bulan. Sedangkan keamanan yang dibatasi waktu tertentu berakhir sesuai masanya, selama perjanjian tersebut tidak dibatalkan. Mazhab Hanafi dan Syiah Zaidiyah membahas masa aman maksimal selama setahun. Bila lewat masa setahun, maka si musta’min wajib membayar jizyah kepada pemerintah Islam, sebagaimana halnya ahl al-zimmi. Sementara Mazhab Hambali memberi batasan waktu yang lebih luas dan lama, yaitu empat tahun. Ahmad Ibn Hambal merujuk pendapatnya berdasarkan pada kenyataan sejarah bahwa para anggota korps diplomatik memperoleh jaminan keamanan selama tiga hingga empat tahun.37
37
Ibid., h. 237.
Istilah musta’min juga dapat digunakan untuk orang-orang Islam dan ahl al-dzimmi yang memasuki wilayah Dar al-harb dengan mendapat izin dan jaminan keamanan dari pemerintah setempat. Hal ini diakui selama mereka hanya menetap sementara di tempat tersebut dan kembali ke Dar al-Islam sebelum izinnya habis. Status yang bersangkutan masih tetap muslim, selama ia tidak murtad. Bila murtad maka ia menjadi harbiyun. 1. Hak dan Kewajiban Warga Negara Setiap orang Islam, baik yang asli (penduduk setempat) atau mendatang (pendatang, wisatawan, tetamu, pelarian dan lain-lain) mendapat hak asasi yang sama saja. Orang kaya maupun orang miskin tidak dibeda-bedakan dalam urusan mendapatkan hak-hak asasi. Yaitu: 1. Kebebasan untuk memiliki rumah, harta dan lain-lain. 2. Kebebasan bekerja dan berbicara. 3. Peluang belajar di dalam dan luar negeri. 4. Melaksanakan dan mengurus hak-hak agama. 5. Kalau dihina akan dilindungi dan penghina itu akan dihukum. 6. Mempertahankan kehormatan diri, harta, keluarga dan lain-lain. Bahkan dalam jaran Islam seorang yang mati karena mempertahankan dirinya, harga dirinya, keluarganya dan hartanya itu dianggap mati syahid. Rasulullah bersabda: Artinya: “Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka dianggap syahid, dan siapa yang terbunuh karena mempertahankan darahnya maka dia juga syahid, siapa yang terbunuh karena mempertahankan agamanya maka dia syahid
dan siapa yang terbunuh karena mempertahankan keluarganya maka dia juga syahid”. (Riwayat Abu Daud dan At Tarmizi) Itulah dia hak-hak asasi umat Islam secara umum dalam Negara Islam. Mereka dibolehkan, bahkan bebas berorganisasi, beraktivitas, berdagang, mengumpulkan harta, berjuang, menikmati hiburan, menulis, mengeluarkan pendapat dengan syarat tidak melanggar syariat Allah dan tidak melanggar hak asasi orang lain. Juga tidak bertentangan dengan perintah pemimpin bila perintah itu sesuai dengan ajaran Islam, arahan pemimpin yang tidak syar'i tidak wajib ditaati. Rasulullah SAW bersabda: Artinya: “Hormat dan patuh kepada orang Muslim adalah wajib, baik perkara itu disukai atau tidak selama tidak diperintahkan perkara maksiat. Apabila seseorang itu diperintahkan supaya melakukan maksiat maka tidak ada hormat dan ketaatan”. (Riwayat Al Bukhari) Adapun hak bagi warga negara bukan Islam (ahl dzimmi), yaitu: 1. Kebebasan memiliki rumah dan harta. 2. Peluang-peluang belajar di dalam dan luar negeri. 3. Kebebasan bekerja dan berbicara dengan syarat tidak melanggar hak asasi orang lain. 4. Bebas menganut agama apapun. Pemerintah atau umat Islam tidak boleh memaksa mereka menganut Islam. Allah berfirman: Artinya: “Tiada paksaan dalam memilih agama”. 5. Berhak untuk menjadi pemimpin atau menteri-menteri di kalangan mereka.
6. Diberi perlindungan bila mereka dihina. Sekalipun yang menghina itu dari kalangan orang Islam sendiri, pasti dihukum. 7. Berhak mempertahankan harga diri, harta dan keluarga. Berbeda dengan umat Islam, warga negara bukan Islam tidak dikenakan zakat, fitrah, sedekah, berkorban dan lain-lain sebagai sumbangan kepada negara dan masyarakat. Dengan sumbangan tersebut negara akan jadi kuat dan dapat menguatkan individu-individu terutama orang-orang susah. Maka untuk tujuan yang sama di samping kepentingan-kepentingan keselamatan dan pengurusan mereka, Negara Islam menetapkan warganya yang bukan Islam mesti membayar jizyah atau pajak kepala, tidak ada pajak lainnya. Kadar pajak itu menurut taraf hidup dan kemampuan masing-masing seperti yang diputuskan oleh hakim atau ketua negara.38
F. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi Kelahiran Dalam Islam status kewarganegaraan seseorang dapat dilihat berdasarkan dua macam asas, yaitu:
38
Artikel diakses pada 10 Desember 2009 dari
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/690
1. Asas ius sanguinis, Yaitu asas yang menentukan status kewarganegaraan anak berdasarkan garis keturunan. Dengan kata lain bahwa apabila suami istri memeluk agama Islam atau menjadi dzimmi, maka status kewarganegaraan anak-anaknya mengikuti status kewarganegaraan orang tuanya yang beragama Islam atau dzimmi. Hal ini berarti meskipun seorang warga negara Islam melahirkan anaknya di luar wilayah kekuasaan Islam, status kewarganegaraan anak tetap mengikuti mereka, yakni warga negara Islam Namun bila terjadi perubahan kewarganegaraan dari Islam menjadi harbi, maka status kewarganegaraannya tetap tidak berubah. Anak-anak yang belum dewasa tetap dianggap seorang muslim bila ibu dan ayahnya murtad, demikian pula bila salah seorang orang tuanya yang murtad.39 2. Asas ius soli, yaitu asas yang menentukan status kewarganegaraan anak berdasarkan tempat dia dilahirkan. Dalam Islam mengangkat anak, apalagi anak yatim baik karena orang tuanya meninggal atau tidak diketahui, yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah S.W.T. Hal ini sebagaimana dikatakan sendiri oleh Rasulullah S.A.W. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: yang artinya “Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya”. Laqith atau anak yang
39
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan: Interaksi Fiqh Islam dengan Syariat Agama Lain, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), Edisi ke-2, h. 45.
dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Memang sebenarnya konsep kewarganegaraan dalam Islam penulis tidak menemukan penjelasannya secara eksplisit mengenai asas yang berdasarkan kelahiran beserta cakupannya. Namun secara tersirat asas tersebut terkandung di dalam konsep kewarganegaraan Islam sebagaimana telah disebutkan di atas. G. Tinjauan hukum Islam Terhadap Asas Kewarganegaraan Berdasarkan Sisi Perkawinan Dalam hukum Islam dikenal tiga macam perkawinan, yaitu: 1. Perkawinan antara Pria Muslim dengan Wanita Musyrik Dalam Islam menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tak boleh diotak-atik. Semua perangkat syariah dikerahkan untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kalau perlu, nyawapun harus direlakan. Dalam ushul fiqh, term ini disebut hifdz ad-din, yang menempati rangking satu dalam urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam (ad-daruriyat al-khamsah). Keseriusan Islam dalam membentengi umatnya tercermin dari sikap keras Nabi. Sebagaimana sabdanya. Artinya: Diriwayatkan dari Ibni Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
:0/, و-./ %ل ا,ل ر+ :ل+ ()* "& ﺕ%" ا#و ا !س ر {رى9! ا6 }روا6/+7 -*َل دی3 ﻡ Artinya: “Barangsiapa pindah agama, bunuh saja”40 Barangkali persoalan kawin campur dapat dipahami dari segmen ini. Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Oleh karena itulah, ia sama sekali tidak bisa mentolerir perkawinan dengan kaum atheis (orang yang tidak bertuhan). Dalam kehidupan sehari-hari tekadang terjadi sebuah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan agama. Al-quran secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik,41 sebagaimana firmannya dalam QS. AlBaqarah (2): 221.
⌧$Iyz☺ <2%P% 5l, H !s, ' !% '(hFi :⌧$Iyz! ! HI-" E!%! {٢٢١/٢ : }ا!<ة......... -.? X|y+ -2%, Artinya: ”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrikah walapun dia menarik hatimu.....”.
40
Abdul Djalil, dkk, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 280.
41
M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 195.
Para Fuqaha pun menyatakan, seorang muslim tidak boleh menikahi wanita musyrikah, baik wanita itu merdeka atapun budak belian, 42 ayat tersebut juga merupakan suatu peringatan agar jangan sampai hal tersebut terjadi dalam keluarga, terdapat perbedaan akidah antara suami istri. 2. Perkawinan antara Pria Muslim dengan Wanita Ahl Kitab Dalam Islam ahl kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka yang percaya dan meyakini kitab-kitab yang diturunkan Allah (Taurat dan Injil) kepada Nabi-nabi-Nya (Taurat pada Nabi Musa dan Injil pada Nabi Isa).43 Para ulama berbeda pendapat tentang perkawinan campuran ini. Perbedaan itu disebabkan karena adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan wanita ahl kitab. Menurut Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz al-Humaidy, bahwa ada dua pendapat tentang pernikahan ini: a. Pernikahan laki-laki muslim dengan ahli kitab dan ia sebagai penduduk yang berada dalam lindungan negara Islam (ahl dzimmah), diperbolehkan, pendapat ini menurut jumhur ulama, baik mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali;
42
TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 77.
43
Abdur Rahman I. Doi, Inilah Syariah Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991), h. 192.
b. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab dan ahli dzimmah. Pendapat ini menurut golongan Syi’ah Imamiyah, yang menurut mereka dinukil dari pendapat Abdullah bin Amru.44 Golongan pertama yaitu jumhur ulama mendasarkan pendapat mereka pada beberapa dalil: a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah (5): 5.
<20*+ U;49 0%, ..... -4 66i \ ?P < -. 66i -.!0%, ! R
\vM%/n,
!%☺ ! R
\vM%/n, \ ?P <20*+ U;49 {٥/٥ :ة3=( }ا...... -.-X%; ! Artinya: “… Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu….”. b. Diantara sahabat adapula yang pernah melakukan pernikahan ini. Mereka menikahi wanita ahli kitab yang hidup dalam lingkungan pemerintahan Islam. Utsman bin Affan menikahi Na’ilah binti al-Gharamidhah, seorang wanita beragama Nasrani yang kemudian beragama Islam. Hudzifah juga menikahi wanita Yahudi dari Penduduk Mada’in.
44
Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz al-Humaidy, Kawin Campur dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), Cet. Ke-3, h. 23.
c. Jabir ra. pernah ditanya tentang pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Yahudi dan Nasrani. Ia menjawab: ”Kamipun pernah nikah dengan mereka pada waktu penaklukan kufah bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash. d. Sabda Rasulullah SAW mengenai orang-orang Majusi: ”Perlakukanlah bagi mereka sunnah ahli kitab, tanpa harus menikahi wanita-wanita mereka dan tidak pula memakan sembelihan mereka. 45 Sedangkan golongan kedua
yaitu Syiah Imamiyah melandaskan
pendapatnya pada beberapa dalil: a. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2) 221. Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrikah sebelum mereka beriman…” Maksudnya bahwa Allah telah mengharamkan seorang muslim menikahi wanita musyrikah. Sedangkan wanita ahli kitab termasuk orang kafir. Mereka menganggap wanita ahli kitab termasuk orang musyrik berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar ra. bahwa ia pernah ditanya tentang hukum menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Ia menjawab: ”Sesungguhnya Allah mengaharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang mukmin. Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada anggapan seorang wanita (Nasrani) bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal Isa hanya seorang manusia dan hamba Allah”.
45
Ibid., h. 24.
b. golongan ini juga melandaskan firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah (60): 10. Artinya: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir”. Maksudnya bahwa Allah melarang kaum muslimin berpegang kepada perkawinan dengan wanita-wanita kafir. Sedangkan wanita ahli kitab termasuk orang-orang kafir. Larangan disini sebagai pengharaman.46 Masjzuk Zuhdi menjelaskan bahwa kebanyakan ulama berpendapat bahwa pria muslim boleh kawin dengan wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) berdasarkan firman Allah surat al-Maidah ayat (5). Selain itu berdasarkan Sunnah Nabi SAW, Nabi pernah menikah dengan ahli kitab Maria al-Qibtiyah (Nasrani). Demikian pula seorang sahabat Nabi Khuzaifah bin al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedangkan para sahabat tidak ada yang menentangnya.47 Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada sebagian ulama lain yang melarang antara seorang pria muslim kawin dengan wanita Yahudi dan Nasrani, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Yahudi dan Nasrani itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya kepercayaan Uzair putera Allah bagi umat Yahudi, ajaran Trinitas dan mengultuskan Nabi Isa AS dan ibunya, Maryam
46
47
Ibid., h. 25.
Masjzuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Mas Agung, 1991), h. 5.
(Maria) bagi umat Nasrani.48 Ibnu Umar mengatakan, bahwa kebolehan menikahi ahlul kitab adalah rukhsah (dispensasi) karena saat itu jumlah wanita muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang, bahkan jumlah wanita jauh lebih banyak, maka rukhsah itu sudah tidak berlaku lagi. Labih jauh lagi, beliau berkata, ”Saya tidak pernah melihat syirik yang lebih besar dibanding ucapan seorang wanita, ’Tuhan saya Isa’”.49 Imam-imam Mazhab yang empat pada prinsipnya mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikah, sekalipun mereka berkeyakinan bahwa Isa adalah Tuhan atau meyakini kebenaran Trinitas. Hal terakhir ini adalah syirik yang nyata. Tetapi karena mereka mempunyai kitab samawi, meraka halal untuk dinikahi sebagai takhsis50 dari ayat:
u9 560L% %, ....... T
U"S %/ {١٤١/٤ :⌧ }ا*@ءWXY Ux!%/n
Adapun pentakhsisnya adalah ayat:
<20*+ U;49 0%, ....... -4 66i \ ?P 48
49
50
Ibid., h. 4.
Abdul Djalil, dkk, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, h. 282.
A. Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, (Bandung: AlMa’arif, 1972), h. 11.
< -. !
66i -.!0%, R
\vM%/n,
!%☺ ! R
\vM%/n, \ ?P <20*+ U;49 {٥/٥ :ة3=( }ا..... -.-X%; ! Islam memberi kesempatan kepada laki-laki muslim untuk mengawini perempuan ahli kitab, oleh karena adanya titik pertemuan antara ajaran-ajaran agama mereka dengan ajaran Islam. Hal ini terjadi oleh karena berasal dari satu sumber yaitu wahyu Allah, baik Yahudi, Nasrani maupun Islam mengajarkan kepada Allah, kepada akhirat, kepada kitab-kitab Allah, kepada malaikat dan Rasul.51 Yusuf Qardhawi berpendapat, kebolehan nikah dengan kitabiyah tidak mutlak tetapi terikat dengan ikatan-ikatan yang harus dipenuhi: a. Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi; b. Wanita kitabiyah yang mukhshonah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); c. Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum muslimin; d. Dibalik pernikahan itu tidak akan terjadi “fitnah”, yaitu mafsadah dan kemuharatan.52
51
Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh “ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats alAraby, 1969), Juz 4, h. 75.
Menurut Sayyid Sabiq, menikah dengan wanita ahl kitab meskipun jaiz tetapi makruh, karena suami tidak terjamin untuk tidak terkena “fitnah” agama istrinya.53 3. Perkawinan antara Pria Non-Muslim dengan Wanita Muslimah Terhadap masalah ini para ulama sepakat bahwa perempuan muslimah tidak halal kawin dengan laki-laki yang bukan muslim, baik dia musyrik maupun ahl kitab. Berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Mumtahanah (60): 10.
U;49 .RB,9; %& <=2 !, .O "e| L! R
!%☺ .p+ u9 < 0J2P% ?!%/ @%/ < V ☺ 5⌧%/
,!%! 0J2☺}y☺ >mS Tc 0J20P1-"% -.0J 5l, -. 66i 0J 5l < {١٠/٦٠ :*(( }ا.... i @2 % Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu perempuanperempuan mukmin yang berhijrah hendaklah mereka kamu uji terlebih dahulu. Allah lebih mengetahui iman mereka. Jika kamu telah dapat membuktikan bahwa mereka itu benar-benar beriman. Maka jenganlah mereka kembali kepada orangorang kafir. Mereka ini (perempuan-perempuan mukmin) tidak halal bagi lakilaki kafir. Dan laki-laki kafirpun tidak halal bagi mereka...”. Larangan mengawinkan perempuan muslimah dengan non-muslim termasuk pria ahli kitab diisyaratkan oleh al-Quran. Dipahami dari QS. AlBaqarah (2): 221 di atas, hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab dan sedikitpun tidak menyinggung sebaliknya. 52
Yusuf Al-Qardhawi, Huda al-Islam Fatawa Mu’asiroh, (Kairo: Dar Afaq al-Gai, 1978), h. 414. 53
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 1959), h. 101.
Sehingga seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.54 Muhammad
Ali
ash-Shabuni
menjelaskan
bahwa
ayat
tersebut
menunjukkan kepada keharaman perkawinan seorang laki-laki musyrik dengan wanita muslimah. Yang dimaksud dengan musyrik disini adalah setiap orang kafir yang tidak beragama Islam yang mencakup golongan Wassani, Yahudi, Nasrani dan orang yang murtad.55 Islam melarang perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim itu dengan pertimbangan keselamatan agama perempuan yang beragama Islam, jangan sampai dia murtad karena pengaruh suaminya. Demikian pula anakanak yang diperoleh dari perkawinan itu akan lebih tertarik kepada keyakinan hidup atau agama ayah yang non muslim itu.
Pertimbangan lain dari pelarangan tersebut adalah bahwa ditangan suamilah kekuasaan terhadap istri dan bagi istrinya wajib taat kepada suami, berarti pula taat kepada perintahnya yang baik (dalam pengertian maksud dari kekuasaan suami terhadap istri) Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 141. Artinya: “.....Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.
54
55
M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Quran, h. 19.
Ali Al-Shabuni, Rawai al-Bayan Tafsir al-Ayat al-Ahkam min al-Quran, (Makkah: tpp, tt), h. 89.
Terlepas tentang boleh atau tidaknya melaksanakan perkawinan campuran beda agama tersebut di atas, bagi umat Islam yang terpenting adalah menjaga kelestarian iman karena hal itu merupakan prinsip utama yang wajib dilakukan. Oleh sebab itu menerapkan sikap kehati-hatian adalah lebih baik. Adapun dalam Islam, asas kewarganegaraan berdasarkan sisi kelahiran hanya menganut asas kewarganegaraan tunggal. Baik terhadap suami istri yang melakukan nikah campur maupun terhadap anak yang dihasilkan dari orang tua yang melakukan nikah campur tersebut. Oleh karena Islam menganut asas kewarganegaraan tunggal, maka ikatan perkawinan tidak merubah status kewarganegaraan seorang istri maupun seorang suami. Seorang muslim atau dzimmi yang menikahi seorang perempuan harbi di Darul Harbi, sang istri tidak mengikuti status kewarganegaraan suaminya yang muslim atau dzimmi. Kecuali si istri pindah ke Darul Islam. Jika dia mengikuti suaminya ke Darul Islam, karena ikatan perkawinan tersebut, si istri menjadi seorang dzimmiah. Seorang musta’min yang menikah di Darul Islam dengan wanita dzimmi, dia tidak menjadi dzimmi, dan si istri tidak menjadi harbiah karena perkawinan itu, kecuali si musta’min ingin menetap di Darul Islam. Suami istri berstatus dzimmi jika berhijrah ke Darul Islam. Seorang perempuan harbi yang memeluk Islam karena pernikahan dengan seorang muslim, maka status kewarganegaraan perempuan itu adalah Islam tanpa dia harus berhijrah ke Darul Islam. Pernikahan saja tidak mengubah status
kewarganegaraan seseorang. Syarat masuknya seseorang menjadi warga negara Islam adalah memeluk Islam dan bersedia mengikuti ketentuan syariatnya. 56 Bila seorang suami beralih kewarganegaraan karena perpindahan, tidak mempengaruhi status kewarganegaraan si istri. Seorang dzimmi yang berhijrah ke Darul Harbi, beralih menjadi seorang harbi. Bila si istri tidak menyertainya, dia tetap berstatus seorang dzimmi. Seorang muslim yang murtad menjadi seorang harbi, namun jika istrinya tidak ikut murtad, tidak mempengaruhi status kewarganegaraannya. Mengenai status kewarganegaraan anak-anak yang belum dewasa (mumayyiz) dan orang gila, mengikuti status kewarganegaraan ayahnya. Apabila suami istri memeluk agama Islam atau menjadi dzimmi, status kewarganegaraan anak-anaknya tadi mengikuti status kewarganegaraan orang tuanya. Apabila yang memeluk Islam adalah si ibu, menurut Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat, anak-anak mengikuti kewarganegaraan si ibu, namum Imam Malik berpendapat tetap mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Anak-anak yang belum dewasa mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, jika ada perubahan status dari yang rendah ke yang tinggi. Menurut syariat Islam, kewarganegaraan Islam adalah yang tinggi seperti sabda Nabi SAW. 57 Artinya: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya”.
56
Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan: Interaksi Fiqh Islam dengan Syariat Agama Lain, h. 44.
Namun bila perubahan kewarganegaraan dari Islam menjadi harbi, maka status kewarganegaraannya tetap tidak berubah. Anak-anak yang belum dewasa tetap dianggap seorang muslim bila ibu dan ayahnya murtad, demikian pula bila salah seorang orang tuanya yang murtad. Inilah prinsip umum mengenai kewarganegaraan dalam Islam. Prinsip ini kemudian menjadi prinsip yang berlaku secara Internasional. Seseorang yang menetap di suatu negara, secara naturalisasi beralih kewarganegaraan ke negara tempat dia bermukim. Status ini bisa berubah bila dia pindah bermukim ke negara lain dan menetap pula di negara baru itu. Status kewarganegaraan si istri dan anak-anaknya mengikuti kewarganegaraan ayah merupakan prinsip yang berlaku umum.58
H. Syarat Memperoleh Kewarganegaraan dalam Islam Islam merupakan sistem pemikiran dan sekaligus sistem tindakan, dan karena Islam juga bertujuan untuk menciptakan suatu negara berdasarkan ideologinya, maka Islam mengamanatkan dua jenis kewarganegaraan yaitu kaum muslim dan kaum dzimmi. Karena keterusterangan dan kejujuran yang timbul dari intisari dan jiwa Islam, maka gagasan kewarganegaraan ganda dalam struktur politiknya dapat dijelaskan dengan terang tanpa menimbulkan kebingungan.
57
58
Ibid., h. 45. Ibid., h. 46.
Sehubungan dengan kewarganegaraan muslim, al-Quran menyatakan dalam surat al-Anfal (8): 72.
<2 !, ;49
@ <L 1, <"1J, -.PQRS+, MNLO,2!
U;49, C9 V6WXY TU <SI\] <,, -._`⌫0 :^ %*+ ' cd0 9,W+ -.%, <2 !,
U;49, ! % ! <"P1 '(hFi gM(⌧C ! .e☺,W %, V@, ' <"P1 VUJ TU -.$I\]jMY 'T kl IM] .RXW0%/ .pq,o , -.o mn-2%; ☺ u9, Hr %st ! {٧٢/٨ : }الHI"Pv @20☺0% Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang Telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Jelas bahwa menurut ayat di atas, ada dua persyaratan dasar kewarganegaraan sebagaimana ditetapkan oleh al-Quran, yaitu: 1. Ia hendaknya seorang muslim atau non-muslim (dzimmi) yang telah berjanji tunduk kepada sistem Islam yang umum;
2. Ia hendaknya berdiam di Dar al-Islam baik secara de facto maupun de jure, seperti ia berdiam di luar tanah negerinya untuk tujuan sementara, misalnya berdagang atau menuntut ilmu. Namun tempat tinggalnya yang asal dan terakhir di dalam Dar al-Islam. Inilah syarat-syarat untuk menjadi warga negara Islam yang dalam istilah dimasa sekarang dinamakan kewarganegaraan. Syarat pokok adalah Islam dan melakukan baiat secara sungguh-sungguh. Yaitu menerima pemerintahan negara dan sistemnya tanpa berusaha melakukan pemberontakan dan pembangkangan terhadapnya.59
1. Analisis Dalam Islam yang menjadi warga negara pertama-tama adalah berdasarkan orang-orang yang beragama Islam, meski begitu negara ini membatasi kewarganegaraannya hanya kepada orang-orang yang tinggal di wilayahnya atau bermigrasi ke dalam wilayahnya. Dengan kata lain bahwa Negara Islam bukan negara ekstra-teritorial seperti diungkapkan dalam QS. AlAnfal (8): 72. Dan orang-orang warga negara lain yang non-muslim yang
59
Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan dalam Persfektif Islam, h. 119.
melakukan suatu perjanjian dengan pemerintah Islam. Untuk selanjutnya bagi warga negara non-muslim tersebut dinamakan ahl dzimmah. Dengan kata lain, di manapun seseorang dilahirkan baik dia itu seorang muslim atau bukan (non-muslim), tetap berstatus kewarganegaraan dar al-Islam selama mereka berhijrah atau menerima ideologi tersebut sebagai prinsip dasar. Mengenai
asas
kewarganegaraan
dalam
Islam
terhadap
asas
kewarganegaraan yang berdasarkan asas kelahiran dan asas perkawinan beserta cakupannya secara tersirat kedua asas tersebut terkandung di dalam konsep kewarganegaraan Islam. Asas kewarganegaraan berdasarkan sisi kelahiran yaitu: 1. Asas Ius Sanguinis, hal ini berdasarkan bahwa dalam Islam apabila seorang suami dan/atau istri memeluk agama Islam atau menjadi dzimmi, maka status kewarganegaraan anak-anaknya mengikuti status kewarganegaraan orang tua yang beragama Islam atau dzimmi;
2. Asas Ius Soli, dalam Islam mengangkat anak apalagi anak yatim yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah S.W.T. “Laqith” atau anak yang dipungut di jalan yang orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, sama dengan anak yatim. Namun Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa anak seperti itu lebih patut dinamakan ibnu sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Dalam kitab al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa syariat
Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Asas kewarganegaraan berdasarkan sisi perkawinan, dalam Islam hanya mengenal asas kewarganegaraan tunggal, asas ini berlaku baik terhadap semua orang yang telah dewasa maupun anak-anak yang dihasilkan dari orang tua yang melakukan pernikahan campuran. Mengenai status kewarganegaraan anak-anak yang belum dewasa (mumayyiz) dan orang gila, mengikuti status kewearganegaraan orang tuanya. Namun apabila perkawinan terjadi antara seorang muslim dengan seorang nonmuslim menurut mayoritas pendapat ulama empat mazhab, anak tersebut mengikuti kewarganegaraan orang tuanya yang beragama Islam. Begitupun bagi anak-anak yang belum dewasa tetap dianggap seorang muslim bila ibu dan/atau ayahnya murtad. Terhadap pernikahan seorang dzimmi dengan seorang harbi, status kewarganegaraan anak-anaknya mengikuti kewarganegaraan orang tuanya yang dzimmi yakni yang berkewarganegaraan Islam.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari uraian di atas, penulis menarik suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa konsep kewarganegaraan
dalam
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006, dinyatakan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli yang tidak diterapkan berdasarkan etnis manapun dan orangorang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara; 2. Sedangkan
konsep
kewarganegaraan
dalam
Islam
menyebutkan yang menjadi warga negara adalah orang-orang Islam yang tinggal di wilayah atau bermigrasi ke dalam wilayah kekuasaan negara Islam dan non-Islam yang melakukan perjanjian dengan negara Islam untuk menjadi bagian dari negara Islam; 3. Asas
yang
terkandung
di
dalam
undang-undang
kewarganegaraan Indonesia adalah asas yang berdasarkan sisi kelahiran yaitu Asas Ius Sanguinis (law of the blood) yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan garis keturunan, tanpa perlu mempersoalkan tempat orang tersebut dilahirkan dan Asas Ius Soli (law of the soil) Terbatas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, tanpa perlu mempersoalkan keturunan darah orang yang bersangkutan. Sedangkan asas yang berdasarkan sisi perkawinan yaitu Asas Kewarganegaraan Tunggal yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin dan Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin. 4. Asas kewarganegaraan dalam Islam tidak jauh berbeda, samasama menganut asas yang berdasarkan sisi kelahiran dan sisi perkawinan. Asas berdasarkan sisi kelahiran mencakup asas ius sanguinis dan asas ius soli. Namun asas berdasarkan sisi perkawinan hanya mencakup asas kewarganegaraan tunggal saja. Asas ini diterapkan baik bagi orang-orang yang telah dewasa maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dari hasil
perkawinan
campuran,
mereka
hanya
mengikuti
status
kewarganegaraan orang tuanya yang beragama Islam atau yang menyandang status kewarganegaraan Dzimmi. B. Saran Warga negara merupakan faktor penting dalam sebuah negara, karena mereka sebagai penentu maju atau tidaknya sebuah
negara.
Oleh
karenanya
penulis
berharap
kepada
pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang agar segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara baik berupa hak dan kewajiban haruslah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sehingga tidak terjadi persoalan yang berakibat buruk bagi rakyat Indonesia, dalam hal ini mengenai status kewarganegaraan bagi mereka yang melakukan nikah campur beda negara serta anak keturunan mereka dan mereka yang bertempat tinggal di luar negeri sementara untuk berbagai macam hal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, Cet ke-3. Al-Humaidy, Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz, Kawin Campur dalam Syari’at Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993, Cet. Ke-3. Al-Maududi, Sayyid Abul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam Abul A’la Al-Maududi, Penerjemah Asep Hikmat, Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ke-IV. Al-Mubarak, Muhammad, Sistem Pemerintahan dalam Persfektif Islam, Penerjemah Firman Harianto, Solo: CV Pustaka Mantiq, 1995. Al-Shabuni, Ali, Rawai al-Bayan Tafsir al-Ayat al-Ahkam min al-Quran, Makkah: tpp, tt. AS. Hikam, Mohammad, dkk, Fiqh Kewarganegaraan, Intervensi Agama-Negara Terhadap Masyarakat Sipil, Yogyakarta: CV Adipura, 2000. Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971. ______________ Hukum Antar Golongan: Interaksi Fiqh Islam dengan Syariat Agama Lain, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, Edisi ke-2. Azed, Abdul Bari, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, Jakarta: IND-HILLCO, 1995. Basyir, A. Azhar, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, Bandung: AlMa’arif, 1972. Busro, Abu Bakar dan Busroh, Abu Daud, Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Djalil, Abdul, dkk, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LkiS, 2000. Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, Bandung: Penerbit Alumni, 1995.
Halim, A. Ridwan, Hukum Tata Negara dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Hallet, Nuning, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, Artikel diakses http://www.mixedcouple.compada 5 Juni 2009 dari I. Doi, Abdur Rahman, Inilah Syariah Islam, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991. Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Jaziri, Al-, Kitab al-Fiqh “ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Araby, 1969, Juz 4. Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, Cet ke- 8. Kansil, CST dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, Cet. Ke-3, Edisi Revisi. Kansil, CST dan Christine S.T. Kansil, Buku Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005, Cet. Ke- 2 Kusnardi, Moh. dan Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, T.tp, CV Sinar Bakti, 1988. Pasha, Mustafa Kamal, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002. Paulus, B.P., Kewarganegaraan RI di Tinjau dari UUD 1945: Khususnya Kewarganegaraan Peranakan Tionghoa, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 1983. Phartiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 2003, Cet. Ke-2. Pudjosewojo, Kusumadi, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, Cet. Ke-10. Qardhawi, Yusuf, Minoritas Non-Muslim di Dalam Masyarakat Islam, Penerjemah Muhammad Baqir, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1991, Cet. Ke-2.
Rudy, T. May, Hukum Internasional I, Bandung: PT. Refika Aditama, 2002. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 1959. Salim, Abd. Mu'in, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur'an, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995, Cet ke-2. Sanusi, Lian Nury, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Indonesia, Jakarta: PT. Kawan Pustaka, 2006. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-quran: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996. Simorangkir, J.S.T., dkk, Inti Pengetahuan Warga Negara, Jakarta: Erlangga, 1960, Cet. 3. Soeriadinata, Soependri, Sendi Pokok Tata Negara Indonesia, Jakarta: CV. Karya Indah, 1974. Soetami, A. Siti, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT. Refika Aditama, 2005, Cet. Ke-4. Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan kewargaaan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1999. Tim Redaksi Pustaka Pergaulan, UUD 1945, Naskah Asli dan Perubahannya, Jakarta: Pustaka Pergaulan, 2004, Cet ke-3. Ubaidillah, A., dkk, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000. Wahjono, Padmo, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, Cet. Ke-2. Zadah, Khamami dan Arif R., Diskursus Politik Islam, Jakarta: LSIP, 2004. Zuhdi, Masjzuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Mas Agung, 1991.
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2. Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. 3. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. 4. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Kewarganegaraan Republik Indonesia. 5. Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu yang ditunjuk oleh Menteri untuk menangani masalah Kewarganegaraan Republik Indonesia.
6. Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi. 7. Perwakilan Republik Indonesia adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia, Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Konsulat Republik Indonesia, atau Perutusan Tetap Republik Indonesia.
Pasal 2 Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Pasal 3 Kewarganegaraan Republik Indonesia hanya dapat diperoleh berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. BAB II WARGA NEGARA INDONESIA Pasal 4 Warga Negara Indonesia adalah: a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;
e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia; g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; i.
anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j.
anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; l.
anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Pasal 5 1. Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia. 2. Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Pasal 6 1. Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak
tersebut
harus
menyatakan
memilih
salah
satu
kewarganegaraannya. 2. Pernyataan
untuk
memilih
kewarganegaraan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
3. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. Pasal 7 Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing. BAB III SYARAT DAN TATA CARA MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 8 Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan. Pasal 9 Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin; b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh puluh) tahun tidak berturut-turut; c. sehat jasmani dan rohani; d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih; f. jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda; g. mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan h. membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara. Pasal 10 1. Permohonan
pewarganegaraan
diajukan
di
Indonesia
oleh
pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui Menteri. 2. Berkas permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat. Pasal 11 Menteri meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disertai dengan pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima. Pasal 12 1. Permohonan pewarganegaraan dikenai biaya. 2. Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 13 1. Presiden
mengabulkan
atau
menolak
permohonan
pewarganegaraan. 2. Pengabulan
permohonan
pewarganegaraan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
3. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat ditetapkan
paling
lambat
3
(tiga)
bulan
terhitung
(2)
sejak
permohonan diterima oleh Menteri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan. 4. Penolakan
permohonan
pewarganegaraan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disertai alasan dan diberitahukan oleh Menteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri. Pasal 14 1. Keputusan Presiden mengenai pengabulan terhadap permohonan pewarganegaraan
berlaku
efektif
terhitung
sejak
tanggal
pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. 2. Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan Presiden dikirim kepada pemohon, Pejabat memanggil pemohon untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. 3. Dalam hal setelah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa alasan yang sah, Keputusan Presiden tersebut batal demi hukum. 4. Dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai akibat kelalaian Pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia di hadapan Pejabat lain yang ditunjuk Menteri.
Pasal 15 1. Pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dilakukan di hadapan Pejabat. 2. Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat berita acara pelaksanaan pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia. 3. Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pengucapan
sumpah
atau
pernyataan
janji
setia,
Pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia kepada Menteri.
Pasal 16 Sumpah atau pernyataan janji setia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) adalah: Yang mengucapkan sumpah, lafal sumpahnya sebagai berikut: Demi Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
akan
membelanya dengan
sungguh-sungguh
serta akan
menjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepada saya sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas. Yang menyatakan janji setia, lafal janji setianya sebagai berikut: Saya berjanji melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan sungguhsungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepada saya sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas. Pasal 17 Setelah
mengucapkan
sumpah
atau
menyatakan
janji
setia,
pemohon wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat keimigrasian atas namanya kepada kantor imigrasi dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia. Pasal 18 1. Salinan
Keputusan
Presiden
tentang
pewarganegaraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia dari Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) menjadi bukti sah Kewarganegaraan
Republik
Indonesia
seseorang
yang
memperoleh kewarganegaraan. 2. Menteri mengumumkan nama orang yang telah memperoleh kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 19 1. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat. 2. Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturutturut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali
dengan
perolehan
kewarganegaraan
tersebut
mengakibatkan berkewarganegaraan ganda. 3. Dalam
hal
yang
bersangkutan
tidak
memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 20 Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau
dengan
alasan
Kewarganegaraan
kepentingan
Republik
negara
Indonesia
oleh
dapat
Presiden
diberi setelah
memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.
Pasal 21 1. Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia,
dari
ayah
atau
ibu
yang
memperoleh
Kewarganegaraan
Republik
Indonesia
dengan
sendirinya
berkewarganegaraan Republik Indonesia. 2. Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak
oleh
Warga
Negara
Indonesia
memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia. 3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus menyatakan
memilih
salah
satu
kewarganegaraannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengajukan dan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IV KEHILANGAN KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 23 Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; c. dinyatakan
hilang
kewarganegaraannya
oleh
Presiden
atas
permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar
negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing; h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing
atau
surat
yang
dapat
diartikan
sebagai
tanda
kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau i.
bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap
5
(lima) tahun
berikutnya
yang
bersangkutan
tidak
mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan
secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan. Pasal 24 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan di negara lain yang mengharuskan mengikuti wajib militer.
Pasal 25 1. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. 2. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. 3. Kehilangan
Kewarganegaraan
Republik
Indonesia
karena
memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya,
tidak
dengan
sendirinya
berlaku
terhadap
anaknya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. 4. Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan
memilih
salah
satu
kewarganegaraannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 26 1. Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
jika
menurut
hukum
negara
asal
suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. 2. Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
jika
menurut
hukum
negara
asal
istrinya,
kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
3. Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda. 4. Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
Pasal 27 Kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan
yang
sah
tidak
menyebabkan
hilangnya
status
kewarganegaraan dari istri atau suami. Pasal 28 Setiap
orang
yang
memperoleh
Kewarganegaraan
Republik
Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya
oleh
instansi
yang
berwenang,
dinyatakan
batal
kewarganegaraannya. Pasal 29 Menteri
mengumumkan
nama
orang
yang
kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 30 Ketentuan
lebih
kehilangan
dan
lanjut
mengenai
pembatalan
persyaratan
dan
kewarganegaraan
tata
diatur
cara dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB V SYARAT DAN TATA CARA MEMPEROLEH KEMBALI KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 31 Seseorang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui prosedur pewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 18 dan Pasal 22.
Pasal 32 1. Warga Negara Indonesia yang kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf i, Pasal 25, dan Pasal 26 ayat (1) dan ayat 2. 2)
dapat
memperoleh
kembali
Kewarganegaraan
Republik
Indonesia dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri tanpa melalui prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 17. 3. Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia, permohonan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon. 4. Permohonan
untuk
memperoleh
kembali
Kewarganegaraan
Republik Indonesia dapat diajukan oleh perempuan atau laki-laki yang
kehilangan
kewarganegaraannya
akibat
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) sejak putusnya perkawinan. 5. Kepala Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah menerima permohonan.
Pasal 33 Persetujuan atau penolakan permohonan memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia diberikan paling lambat 3 (tiga) bulan oleh Menteri atau Pejabat terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
Pasal 34 Menteri mengumumkan nama orang yang memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 35 Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
persyaratan
dan
tata
cara
memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VI KETENTUAN PIDANA Pasal 36 1. Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini sehingga
mengakibatkan
seseorang
kehilangan
hak
untuk
memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 37 1. Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai keterangan atau surat atau
dokumen
yang
dipalsukan
untuk
memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia atau memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 2. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 38 1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan
korporasi,
pengenaan
pidana
dijatuhkan
kepada
korporasi dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. 2. Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan dicabut izin usahanya. 3. Pengurus
korporasi
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 1. Permohonan pewarganegaraan, pernyataan untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia, atau permohonan memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia yang telah diajukan kepada Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku dan telah diproses tetapi belum selesai, tetap diselesaikan berdasarkan UndangUndang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor
62
Tahun
1958
tentang
Kewarganegaraan
Republik
Indonesia. 2. Apabila permohonan atau pernyataaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah diproses tetapi belum selesai pada saat peraturan
pelaksanaan
Undang-Undang
ini
ditetapkan,
permohonan atau pernyataan tersebut diselesaikan menurut ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 40 Permohonan pewarganegaraan, pernyataan untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia, atau permohonan memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia yang telah diajukan kepada Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku dan belum diproses, diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 41
Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 42 Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun atau lebih tidak melaporkan diri kepada Perwakilan Republik Indonesia dan telah kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia sebelum UndangUndang
ini
diundangkan
kewarganegaraannya dengan
dapat
memperoleh
mendaftarkan
kembali
diri di Perwakilan
Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan sepanjang tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Pasal 43 Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dengan Peraturan Menteri yang harus ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1647) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun
1958
tentang
Kewarganegaraan
Republik
Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3077) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; b. Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang
tidak
bertentangan
atau
belum
diganti
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 45 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 46 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd HAMID AWALUDIN Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63