PERSOALAN HARTA AGAMA ( PENGELOLAAN INFAQ) Oleh: Muhammad Maulana, S.Ag, M.Ag1 Infaq dan shadaqah sering juga disebut sebagai nafkah, bedanya dalam lintas sosial, infaq dan shadaqah dikatagorikan sebagai nafkah umum, sedangkan pengeluaran untuk diri sendiri dan keluarga disebut nafkah khusus. Konsep tersebut di atas didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, ”telah bersabda Rasulullah SAW, satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk orang miskin, atau satu dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan kepada keluargamu. Menurut Wahbah al-Zuhayli, infaq adalah pemberian harta benda untuk kebaikan,2 misalnya menolong orang-orang sengsara, fakir miskin dan anak yatim piatu yang terlantar atau uintuk kemaslahatan umum dan kepentingan keagamaan. Dari beberapa definisi di atas maka dapat ditegaskan kembali bahwa Infaq memiliki arti lebih luas dari zakat sebagai kewajiban personal terhadap harta yang dimiliki, karena infaq adalah mengeluarkan atau menafkahkan harta yang dimiliki baik terhadap keluarga yang menjadi tanggung jawab akibat perkawinan maupun untuk masyarakat yang mmebutuhkan nafkah. Infak ada yang wajib, sunnah dan mubah. Infak wajib di antaranya adalah zakat, kafarat, infak untuk keluarga dan sebagainya. Infak sunnah adalah infak yang sangat dianjurkan untuk melaksanakannya namun tidak menjadi kewajiban, seperti infak untuk dakwah, pembangunan masjid dan sebagainya. 1 2
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islam, waAdillatuh, Dar al-Fikr, Cet. III, 1989, hal. 765.
Sedangkan infak mubah adalah infak yang tidak masuk dalam kategori wajib dan sunnah, serta tidak ada anjuran secara tekstual ayat maupun hadits, diantaranya seperti infak untuk mengajak makan-makan dan sebagainya.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 215, Allah menyatakan bahwa infaq dapat ditujukan:
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim berdasarkan periwayatan dari Suddi, bahwa ayat tersebut turunnya lebih dahulu dari pada ayat tentang zakat, sehingga ayat ini kemudian dinasakhkan oleh ayat-ayat tentang zakat. Sedangkan menurut Hasan, ayat ini tetap muhkamat, tidak dinasakhkan. Hal ini disebabkan oleh pertanyaan yang diajukan oleh Amr Ibn Jumuh kepada Rasulullah :”Apa yang akan kami nafkahi dari harta kami? dan kepada siapa kami berikan? Maka kemudian turunlah ayat ini. Oleh sebab itu posisi ayat ini tetap dalam ke-muhkamat-nya meskipun turun ayat tentang zakat yang posisi hukumnya adalah wajib. Menurut Aziz, yang dimaksudkan dalam ayat ini hanyalah sedekah yang sifatnya sunnah, maka orang yang bermaksud untuk berinfaq, maka berikanlah kepada orangorang yang telah disebutkan dalam ayat tersebut. Dengan demikian infaq itu dapat diberikan kepada ibu bapak, karib kerabat yang miskin, anak-anak yatim dan orang
miskin serta orang-orang yang terlantar dan terlunta-lunta di jalan. Anak-anak yatim yang miskin lebih utama dibantu dari pada orang miskin, karena orang miskin itu masih dapat berusaha sendiri. Dalam beberapa kajian, infaq itu diberikan dengan 2 tujuan (QS. Al-Baqarah 265) yaitu mardhatillah (memperoleh ridha Allah) dan tatsbitan min anfusihim (pengukuhan dan keteguhan jiwa). Infaq yang diberikan oleh orang mukmin sebagai pengasah dan pengasuh jiwa, sehingga mendapat kelapangan dada dan kesabaran dalam menjalankan perintah-perintah agama. Dengan demikian memberikan sesuatu yang didasarkan pada kemantapan jiwa yang menghujam di dalam kalbu, maka dapat diibaratkan sebagai sebuah benih yang ditanam dikebun yang subur dan memiliki kecukupan air.3 Kemampuan memberikan apa yang dimiliki sebagai bukti pengukuhan jiwa akan mampu terealisasi sikap kepedulian dan jaminan sosial terhadap masyarakat terutama dalam komunitas lingkungannya. Perlu dinukilkan karena bila mengandalkan bahwa pemberian infaq hanya sebagai sesuatu pemberian yang didasarkan sikap suka rela maka yang muncul adalah sikap apatis dari masyarakat untuk memberi sekedarnya. Orang sering tidak merasa bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial walau telah memiliki harta yang banyak. Oleh karena itu dengan infak akan muncul urgensi penetapan hak dan kewajiban bagi orang yang memiliki harta, dengan
demikian semakin menegaskan
pentingnya ketetapan hak dan kewajiban bagi orang yang mampu di luar konteks zakat agar tanggung jawab sosial dapat terlaksana dengan baik. Hak dan kewajiban terhadap komunitas bukan hanya sekedar menunaikan zakat, namun lebih dari itu yaitu menafkahkan harta untuk masyarakat yang kurang beruntung.
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Jilid 1, Ciputat: Lentera Hati, 2000, hal. 536.
Dengan hak dan kewajiban tersebut akan melahirkan kekuatan tersendiri, karena – menurut bahasa yang digunakan oleh Quraisy Shihab – dapat menimbulkan ”paksaan” kepada yang berkewajiban melaksanakan.4 Bukan hanya paksaan dari lubuk hatinya, tetapi juga atas dasar bahwa pemerintah – dalam hal ini tugas pemaksaan diamanahkan untuk diemban oleh Baitul Mal – dapat menggunakan powernya untuk memerintahkan kalangan masyarakat yang mampu untuk menunaikan kewajiban nafkah melalui infaqnya kepada pemilik hak yaitu golongan orang-orang yang tidak mampu minimal dalam katagori sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah 215 di atas. Perlu dilakukan langkah konkrit untuk meningkatkan keinginan dan motivasi masyarakat yang mampu untuk berinfaq terhadap harta yang mereka miliki, dan mengikis sifat kikir ataupun berlaku kikir secara terus menerus dan seakan menyembunyikan nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada orang yang mampu. Pendapatan harta agama selain zakat dapat diandalkan dari infaq sebagai instrumen untuk jaminan sosial terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Dengan infaq yang pengeluarannya tidak mesti dihabiskan setiap tahun memberi peluang dana infaq digunakan pada masa-masa yang sangat dibutuhkan. Islam menjamin penghidupan orang-orang faqir dan orang yang berkebutuhan khusus yang tidak mampu menghidupi diri sendiri, harus memiliki finansial yang kuat yang tidak mungkin diandalkan dari sekedar kemurahan hati. Jaminan sosial tersebut merupakan hak bagi setiap orang fakir dan miskin. Bila kemampuan berinfaq semakin sedikit di kalangan umat Islam, maka dapat dipastikan perbendaharaan harta di baitul mal akan semakin menipis. Jika pendapatan baitul mal hanya bertumpu pada zakat, maka langkah-langkah realisasi pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Jilid 1, Ciputat: Lentera Hati, 2002, hal.
umat terutama kalangan masyarakat faqir dan miskin serta di masa emergency dan rehabilitasi di kala terjadi force majeur tidak akan mampu dilakukan secara maksimal, karena secara konseptual pendapatan zakat harus dihabiskan dalam masa setahun yang menghabiskan seluruh pendapatan dari sumber zakat. Lantas bila hak mereka tersebut tidak terpenuhi maka harus ada upaya paksa yang lantaran hak tersebut tidak ada siapapun yang menunaikan secara baik sehingga terhambat untuk mendistribusikan hak-hak orang yang kurang beruntung tersebut.
SHADAQAH
Pengertian Shadaqah Sebelum dibahas lebih lanjut tentang shadaqah, pada tahap awal urgen dijelaskan definisi shadaqah, supaya dapat dibedakan secara baik antara zakat, infak, dan shadaqah karena bila dibuka kembali dalam beberapa literature fiqh pembahasan tentang zakat dan shadaqah cenderung dipahami sama, hal ini disebabkan penggunaan literal dalam bebearapa ayat dan hadist yang menggunakan kata shadaqah sebagai zakat. Padahal antara zakat dan shadaqah secara eksistensinya berbeda, karena zakat merupakan kewajiban atas sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu dan untuk kelompok tertentu. Shadaqah menurut etimologi berasal dari shaddaqa bermana sama dengan tashadaqa, timbangan kata fa’ala yang bermakna tafa’ala yang berarti apa yang engkau berikan kepada fakir karena Allah ta’ala.5 Dan menurut Al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi, benar di sini adalah benar dalam hubungan dengan sejalannya perbuatan dan ucapan serta keyakinan. Dalam makna seperti inilah, shadaqah diibaratkan dalam hadits: “Dan
5
Ibrahim Muhammad al-Dhabi’i, Al-Shadaqat wa Atsaruha’ala al-fard wa al-Mujtama’, Kairo: 1988,hal. 1
shadaqah itu merupakan burhan (bukti).” (HR. Muslim). Secara umum shadaqah memiliki pengertian menginfakkan harta di jalan Allah swt, baik ditujukan kepada fakir miskin, kerabat keluarga, maupun untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Dalam al-Quran, kata shadaqah disebutkan dalam bentuk tunggal dan jama’ di tujuh belas tempat. Makna shadaqah memang sering menunjukkan makna memberikan harta untuk hal tertentu di jalan Allah swt., sebagaimana yang terdapat dalam banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Al-Baqarah (2): 264 dan Al-Taubah (9): 60. Kedua ayat di atas menggambarkan bahwa shadaqah memiliki makna mendermakan uang di jalan Allah swt. Bahkan pada ayat yang kedua, shadaqah secara khusus adalah bermakna zakat. Bahkan banyak sekali ayat maupun hadits yang berbicara tentang zakat, namun diungkapkan dengan istilah shadaqah. Secara syar’i shadaqah didefinisikan sebagai pemberian yang diniatkan untuk mendapatkan pahala di sisi Allah.6 Menurut al-Alamah al-Asfahani, shadaqah adalah harta yang dikeluarkan manusia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah seperti zakat, tetapi shadaqah pada dasarnya dinamai untuk membedakan dengan zakat sebagai ibadah tathawu’. Shadaqah lebih luas dari sekedar zakat maupun infak. Karena shadaqah tidak hanya berarti mengeluarkan atau mendermakan harta. Namun shadaqah mencakup segala amal atau perbuatan baik. Dalam sebuah hadits digambarkan, “Memberikan senyuman kepada saudaramu adalah shadaqah.” Makna shadaqah yang terdapat dalam hadits di atas adalah mengacu pada makna shadaqah di atas. Bahkan secara tersirat shadaqah yang dimaksudkan dalam hadits adalah segala macam bentuk kebaikan yang dilakukan oleh setiap muslim dalam rangka mencari keridhaan Allah swt. Baik dalam bentuk ibadah atau perbuatan yang secara lahiriyah terlihat sebagai bentuk taqarrub kepada Allah swt., Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti arti yang sebenarnya yang secara taklifi hukumnya sunnah, dengan demikian shadaqah dalam lafald ini adalah shadaqah bukan zakat bukan zakat. 6
Al-Jurjani, At-Ta’rifat
Shadaqah baru bermakna zakat bila ada qarinah yang menunjukkan bahwa lafald shadaqah itu wajib dan tidak bersifat mutlak yang menunjukkan bahwa kata shadaqah tersebut tidak bersifat tathawwu’ yang dikatagorikan dalam hukum taklifinya sunnah. Misalnya firman Allah SWT : “Sesungguhnya shadaqah itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60) Sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman : “…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan shadaqah atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadist tersebut kata ”shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat. Menurut alJurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat, shadaqah adalah segala pemberian yang mengharap pahala dari Allah SWT. Dalam Qs. An-Nisa ayat 114, Allah berfirman: Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang-orang yang menyuruh memberi shadaqah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dengan demikian shadaqah penting dilakukan dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kebersihan hati dan kesucian niat, shadaqah akan dengan mudah diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Bila keikhlasan, kerelaan hati dan kebenaran dalam tujuan tidak ada maka dapat dipastikan shadaqah tersebut tidak akan memiliki nilai yang berarti, yaitu ketaqwaan dan kedekatan dengan Allah tidak akan terwujud sebagaimana telah ditegaskan Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 263, 264).
Bentuk ragam shadaqah
Dari beberapa literatur fiqh yang menginterpretasikan hadist Nabi Muhammad SAW, diperoleh gambaran tentang ragam shadaqah, yang menjelaskan bahwa shadaqah urgen dilakukan dengan berbagai cara. Di antara hadist yang menjelaskan bentuk shadaqah yang memiliki pahala terbesar yaitu bershadaqah dengan kedudukan, menyelesaikan kebutuhan orang lain, menolong orang yang sedang membutuhkan terutama di masa-masa yang sulit. Sabda Rasulullah SAW: Artinya: Sesungguhnya Allah memiliki makhluk yang diciptakannya untuk membantu kebutuhan orang lain, dan orang-orang berhamburan kepada mereka untuk berbagai keperluannya, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dari azab Allah (HR. Thabrani). Orang muslim yang ideal adalah orang yang tidak menampakkan kesulitannya kepada orang lain, orang fakir dan miskin yang tidak menampakkan kefakiran dan kemiskinannya untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain. Orang-orang seperti ini tetap tidak mau menghinakan diri untuk mendapatkan shadaqah dan pertolongan dari orang lain, maka alangkah kasihan orang-orang yang dalam kesusahan tersebut bila tidak ada yang membantu dan menolong mengatasi kesulitan hidup yang mendera. Hanya dengan shadaqah maka sebagian kesukaran hidup untuk memenuhi kebutuhan dapat tertutupi. dengan demikian wajar bila Nabi SAW sangat menganjurkan bershadaqah bagi golongan masyarakat muslim yang mampu. Seruan bershadaqah tersebut dapat dipahami dari dalil-dalil berikut ini: 1. Shadaqah yang dilakukan oleh kaum muslim harus bersumber dari harta yang diperoleh secara halal dan baik, karena Allah tidak menerima shadaqah kecuali harta yang baik. Hadits Nabi, Artinya: Hadist dari al-Qasim bin Mukhaimarah, Siapa saja mendapatkan harta dari usaha yang haram,lalu ia menyambung silaturrahmi dengannya, menyedekahkan
atau menginfaqkannya di jalan Allah, maka Allah mengumpulkan semua itu lalu mencampakkannya ke dalam neraka (HR. Abu Daud). 2. Shadaqah diberikan dengan ikhlas karena Allah, tidak ternoda dengan riya dan sum’ah. 3. Bershadaqah secara sembunyi-sembunyi dan dapat juga secara terang-terangan sesuai dengan kebutuhan. Beberapa hadist Nabi menyatakan bahwa shadaqah secara sembunyi-sembunyi lebih utama, demikian juga Nabi melakukan shadaqah secara terang-terangan untuk menunjukkan kepada shahabat dan kaum muslimin sebagai hadits fi’linya. 4. Tidak menganggap shadaqh itu banyak atau terlalu perhitungan dalam berderma.
Pengelolaan Infaq dan Shadaqah. Kaum muslimin memiliki potensi yang besar dalam melakukan penggalangan Infaq dan shadaqah dapat menjadi sumebr pendapatan negara atau fiskal, bila dikelola oleh Baitul Mal. Oleh karena itu penting sekali dilakukan manajemen pengelolaan yang maksimal dalam memberdayakan harta baitul mal yang bersumber dari infaq dan shadaqah.