Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2
Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat Pada Program Konservasi Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Oleh: Alfitri
Abstract
P
ersepsion of society on the existence of Hutan Marga in research rural areas described that the potencial of Hutan Marga in each rural area is still exist. During this time, the rural government taking over Hutan Marga management. The institution of Hutan Marga institution is consist of Pasirah and Dewan Marga, and member of society. Society member is the main pranata holding right to manage Hutan Marga. It is the time for the society to be involved as a subject to build and to pioneer forest conservation program of TNKS through local institution of Hutan Marga as a social foresty model. The model will involves three elements, namely rural government and county government involved, such as TNKS and PPL, and society element as a core working in model system will be developed. Key Word: Hutan Marga, social forestry, society, local institution.
Pendahuluan Hutan dan lingkungan bagai dua sisi keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Ketika hutan makin rusak, lingkungan terancam, dan bencana pun
terjadi; banjir, longsor, terjadi di mana-mana. Hal ini tidak saja merusak rumah, harta benda dan infrastruktur lainnya, tetapi juga mengancam jiwa manusia, bahkan ketika bencana itu t e r j a d i t i d a k s e d i k i t ya n g Hal 29
Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat menelan korban jiwa. Di sini tergambar bahwa fungsi hutan menjadi sangat vital bagi kehidupan manusia, tidak hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sebagai sarana pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati. Dalam arti, hutan sebagai pengendali kerusakan ekosistem. Jika h u t a n n ya r u s a k m a k a a k a n cepat sekali berpengaruh terhadap perubahan ekosistem. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia setelah Brazil, disebut sebagai paruparu dunia. Pentingnya hutan tropis sebagai paru-paru dunia sudah menjadi perhatian banyak pihak. Daya tarik hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, telah mengakibatkan kerusakan hutan yang semakin parah, karena setiap hari hutan d i t e b a n g , t a n p a a d a u p a ya untuk menjaga pelestariannya. Kondisi hutan Indonesia sekarang sangat kritis, akibat ulah kelompok pengusaha dan m a s ya r a k a t ya n g tidak menyadari arti penting hutan bagi keseimbangan lingkungan dan kelangsungan kehidupan manusia. Kondisi kritis ini, d i a n t a r a n ya a k i b a t k e g i a t a n manusia yang suka menebang Hal 30
hutan atau yang disebut illegal l o g g i n g , t a n p a m e n a n a m n ya kembali. Nilai strategis hutan dapat didefenisikan dalam artian ekonomis dan sosial. Fungsi ekonomis hutan adalah untuk m e n j a m i n m a s u k n ya p e n d a p a t a n , t i d a k d a p a t d i p e rtahankan untuk jangka panjang, karena tingkat penurunan cadangan hutan di Indonesia ya n g s a n g a t p e s a t a k a n mengurangi regenerasi hutan. L a h a n h u t a n I n d o n e s i a b e rdasarkan data tahun 1995 dan 1997, mengalami penurunan, yaitu berkurang 1,8 juta hektar setiap tahun (Atje, 2001). Fungsi hutan dari sudut sosial adalah sebagai sarana adaptasi (adaptation) masyarakat sekitar hutan yang kaya akan nilai-nilai hakiki, pengetahuan lokal (local genius), kultural, rekreasi, dan estetika yang dikaitkan dengan hutan. Jika hutan mengalami kerusakan maka keberadaan p o t e n s i m a s ya r a k a t i t u j u g a akan makin terancam. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada gangguan keseimbangan ekologis yang dilakukan oleh manusia, serta dapat mengganggu harmonisasi kehidupan masyarakat di sekitar hutan.
Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2 Di Sumatera Selatan, kerusakan hutan terjadi secara cepat yang mengakibatkan semakin m e n u r u n n ya d a ya d u k u n g hutan sebagi kawasan penyangga, terutama sebagai daerah resapan air. kawasan ini membentang di sepanjang Bukit Barisan, salah satunya Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Hutan TNKS selain sebagai kawasan resapan air di hulu sungai, juga ditetapkan sebagai paru-paru dunia, oleh karena itu keberadaan dan kelestariannya harus dipertah a n k a n . U p a ya p e l e s t a r i a n hutan TNKS tidak hanya menj a d i t a n g g u n g j a wa b p e m e rintah saja, tetapi juga harus melibatkan masyarakat, dalam bentuk partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan, terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar hutan. K e s a d a r a n m a s ya r a k a t a k a n pentingnya memelihara hutan masih sangat rendah. Untuk itu diperlukan upaya guna menumbuhkan kesadaran masyarakat agar peduli terhadap kelestarian dan kelangsungan hutan sebagai mitra kehidupan masyarakat dalam bentuk aksi penanaman kembali (reboisasi), pengelolaan hutan dan penyelamatan hutan. Selama ini
penelitian tentang kerusakan hutan TNKS masih terbatas pada pemberdayaan kelompok m a s ya r a k a t ya n g b e r a d a d i s e k i t a r k a wa s a n k o n s e r va s i . Penelitian yang memfokuskan pada pengembangan model perhutanan sosial berbasis partisipasi masyarakat melalui pendakatan kelembagaan tradisional telah banyak dilakukan, seperti pada kasus Khepong Damar pada kelompok masyarakat Lampung Krui yang telah m e m b u k t i k a n b a h wa r a k ya t dapat mengelola sumber daya hutan secara lebih lestari ( Awa n g , 2 0 0 3 ) . D i S u m a t e r a Selatan, konsep pemerintahan m a r g a t e l a h l a m a t e r k u b u r, sejak diberlakukannya Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor: 124/KPTS/III/ 1983, tanggal 24 Maret 1983, sejalan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Ta h u n 1 9 7 9 t e n t a n g p e m e rintahan desa. Salah satu aset ya n g m a s i h t e r s i s a s e b a g a i warisan pemerintahan marga adalah Hutan Marga. Keberadaan hutan marga masih diakui oleh sebagian masyarakat, terutama bagi masyarakat yang berada di sekitar hutan TNKS. Pa d a b e b e r a p a d e s a , h u t a n marga masih tetap dijaga sebagai lembaga tradisional yang Hal 31
Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat berfungsi sebagai pelestarian hutan milik pemerintahan desa. Konsep hutan marga perlu direvitalisasi dalam suatu program perhutanan sosial yang melibatkan partisipasi masyarakat desa. Penelitian ini berangkat dari suatu pemikiran bahwa pentingn ya p a r t i s i p a s i m a s ya r a k a t dalam menjaga pelestarian hutan menjadi salah satu unsur ya n g s a n g a t p e n t i n g d a l a m u p a ya p e n ye l a m a t a n h u t a n T N K S . P r a n a t a s o s i a l ya n g masih ada dimanfaatkan untuk menyelaraskan antara kemampuan pengetahuan lokal masyarakat dengan program formal yang dilaku k a n p e m e r i n t a h , yaitu program konservasi hutan kawasan TNKS, dalam bentuk model perhutanan sosial berbasis partisipasi masyarakat TNKS yang diharapkan menjadi salah satu paru-paru dunia, sekarang ini kondisinya sangat kritis dan mengkhawatirkan. Penebangan liar yang dilakukan m a s ya r a k a t d a n k e l o m p o k pengusaha telah mempercepat laju kerusakan hutan tropis ini dari tahun ke tahun. Untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah diperlukan
Hal 32
u p a ya a g a r t e t a p m e n j a g a p e l e s t a r i a n h u t a n s u p a ya keseimbangan ekologis dapat dipertahankan. Program pelestarian hutan selalu menemui berbagai hambatan yang sangat kompleks, salah satunya adalah sulitnya meningkatkan peran m a s ya r a k a t d a l a m m e n a n g gulangi kerusakan hutan. Untuk itu, lembaga yang menangani p r o g r a m k o n s e r va s i h u t a n harus melibatkan masyarakat setempat melalui pendekatan kearifan lokal, agar sasaran program dapat lebih dicapai. Hutan marga yang merupakan salah satu pranata yang masih diakui eksistensinya oleh masyarakat setempat dapat dijadikan suatu modal perhutanan sosial pada program konservasi hutan TNKS. Berbekal pranata yang masih tumbuh dan dipatuhi o l e h m a s ya r a k a t d i s e k i t a r k a wa s a n T N K S , k o n s e r va s i hutan marga perlu direvitalisasi d a l a m p e n g e m b a n g a n p e rhutanan sosial, agar kerusakan hutan TNKS dapat ditekan, tentunya melalui mekanisme kelembagaan tradisional yang dilegitimasi oleh pemerintah sebagai salah satu mata rantai program pelestarian hutan.
Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2
Persepsi Masyarakat tentang Hutan Marga Persepsi masyarakat tentang keberadaan hutan marga di desa-desa penelitian mengg a m b a r k a n b a h wa p o t e n s i hutan marga di setiap desa masih ada. Sekarang ini pengelolaan hutan marga diatur oleh pemerintahan desa, setelah terlebih dahulu meminta izin tertulis kepada kepala desa. B a g i m a s ya r a k a t ya n g i n g i n membuka hutan marga dan m e n g e l o l a n ya , m e n g a j u k a n kepada kepala desa, kemudian akan diputuskan oleh kepala desa siapa saja keluarga yang berhak mengelola hutan marga. Oleh karena keputusan ditetapkan oleh kepala desa, t a n p a a d a n ya m u s ya wa r a h terlebih d a h u l u , m a s ya r a k a t beranggapan jika keputusan kepala desa kurang proporsional dan bijak. Dalam beberapa kasus, hutan marga banyak digarap oleh keluarga dekat kepala desa, dan juga keluarga yang membayar upeti kepada kepala desa. Dengan demikian prinsip hutan marga ya n g s e s u n g g u h n ya , s u d a h mulai bergeser karena ada kepentingan kepala desa di dalamnya. Padahal, pada masa pemerintahan marga, keluarga
yang menggarap dan mengelola hutan marga adalah keluarga yang berhak karena memang l a ya k d i l i h a t d a r i t i n g k a t kehidupannya yang berada di bawah garis kemiskinan. Masyarakat senantiasa berharap agar mereka bisa mengoptimalkan penggarapan hutan marga untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. M i s a l n ya h u t a n d i b u k a d a n ditanami secara massal dengan bergotong-royong, tetapi hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat, bukan monopoli kepala desa, seperti yang terjadi selama ini. Dengan cara ini menurut mereka, partisipasi masyarakat dapat tumbuh dan kepercayaan kepada pemerintah akan berangsur-angsur dapat dipulihkan. Masyarakat menginginkan jika hutan marga dapat dik e m b a l i k a n p e n g e l o l a a n n ya k e p a d a m a s ya r a k a t . Pe n g e lolaan hutan marga juga dapat diubah dengan melakukan penanaman pohon jenis keras, tidak seperti pada zaman p e m e r i n t a h a n m a r g a ya n g justru dilarang menanam pohon keras. Perubahan ini diharapkan agar hutan marga dapat menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat dalam jangka waktu lama. Pengelolaan hutan marga Hal 33
Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat ya n g diserahkan kepada m a s ya r a k a t s e b a i k n ya j u g a melibatkan struktur pemerintahan desa, dan unsur pemerintahan kabupaten, serta instansi terkait, seperti Balai TNKS dan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL).
Pengelolaan Hutan Marga oleh Masyarakat Hutan marga adalah kawasan h u t a n ya n g d i j a d i k a n h u t a n larangan melalui keputusan masyarakat a t a s d a s a r k e s e pakatan bersama. Pengawasan k a wa s a n i n i d i l a k u k a n o l e h kepala desa sebagai pemimpin kekuasaan setelah pemerintahan marga dihapus. Pada masa lalu, disaat pemerintahan marga masih diakui eksistensinya hutan marga dijadikan sebagai asset marga yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan berladang guna memenuhi kepentingan ekonomi keluarga berupa kebutuhan hidup seharihari. Oleh sebab itu masyarakat yang ingin memanfaatkan hutan marga, terlebih dahulu harus melapor dan mendapatkan izin d a r i Pa s i r a h s e b a g a i k e p a l a pemerintahan marga.
Hal 34
Hutan marga pada prinsipnya dikelola oleh pemerintahan marga dengan aturan sebagai berikut:
• Semua keluarga yang ingin
membuka hutan marga berhak atas pengeloaan lahan seluas kemampuan membabat (cecar) hutan. Jika suatu keluarga mampu membuka lahan seluas dua hektar, tetap diizinkan oleh kepala marga.
• K e l u a r g a ya n g m e m b u k a
hutan tidak boleh menanam tanaman keras (tahunan) d e n g a n a l a s a n b a h wa tanaman tersebut berumur pendek, sehingga bisa dilakukan penggiliran bagi keluarga yang lain.
• Hasil dari tanaman dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bukan untuk dijual atau memperoleh keuntungan ekonomi.
• Hutan marga yang sudah
beberapa tahun (empat sampai lima tahun berturutturut) ditanam oleh masyarakat harus dihutankan kembali (dibiarkan menjadi
Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2 hutan) agar tanah hutan menjadi subur kembali.
• Keluarga
ya n g m e n g gunakan hutan marga diwajibkan membayar pajak marga dalam satu tahun, jika ingin melanjutkan kembali diharuskan mengajukan pengusulan ulang kepada Pasirah.
• Keluarga yang melanggar
aturan dapat dikenakan sanksi adat sesuai dengan kitab Undang-Undang Simboer Cahaya ya n g ditetapkan oleh rapat dewan marga.
Dari keenam prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa pengelolaan hutan marga, ternyata memiliki kearifan lokal yang berdimensi ekonomi, sosial, b u d a ya , h u k u m a d a t , d a n lingkungan. Dari dimensi ekonomi, secara eksplisit bahwa lahan hutan bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat yang tidak memiliki tanah guna untuk ditanami tumbuhan yang menghasilkan komoditi pertanian agar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Suatu keluarga bisa membuka s e l u a s - l u a s n ya l a h a n , t e t a p i s e m a t a - m a t a h a n ya u n t u k
pemenuhan kebutuhan hidup, jika lahan yang dibuka untuk kepentingan bisnis maka akan dikenakan sanksi tegas. Artinya a t u r a n ya n g d i t e r a p k a n i n i mengandung nilai-nilai yang memperjuangkan kepentingan m a s ya r a k a t m i s k i n . D a r i dimensi sosial, tampak adanya p r i n s i p e g a l i t a r i a n , ya i t u hubungan kesetaraan antar masyarakat yang memanfaatkan lahan hutan tanpa pandang bulu. Hal ini tercermin dari aturan penggiliran keluarga yang menggunakan lahan hutan marga, sehingga di sini sudah muncul upaya untuk menegakkan nilai-nilai keadilan. Keluarga yang sudah memanfaatkan lahan hutan lebih lima tahun harus diganti kepada k e l u a r g a l a i n ya n g l e b i h membutuhkan. D a r i d i m e n s i b u d a ya d a p a t d i u n g k a p k a n b a h wa p r i n s i p yang mengatur tentang hutan marga telah membentuk keb i a s a a n m a s ya r a k a t u n t u k saling menghormati kesempatan setiap keluarga untuk mengolah lahan. Keteraturan ini mencerminkan bahwa sistem budaya yang terbentuk sudah mengindikasikan bahwa masyarakat sangat patuh kepada ketertiban umum, sehingga Hal 35
Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat pemerintah marga dapat mengatur masyarakat dalam mengelola hutan marga untuk kepentingan publik, bukan perorangan dan individu. Dari dimensi hukum adat ternyata prinsip hutan marga mengandung norma-norma adat yang dijunjung tinggi melalui kesepakatan bersama guna menjaga kelestarian hutan. Penegakan hukum adat sangat d i p a t u h i o l e h m a s ya r a k a t , karena dapat mempengaruhi harga diri setiap keluarga yang dikenakan sanksi. Selain itu prinsip pelestarian lingkungan cukup menonjol jika ditafsirkan bahwa setiap keluarga harus dapat memperhatikan siklus lingkungan dalam waktu lima tahunan. Hal ini sangat penting karena lingkungan dijaga jangan sampai jenuh, oleh sebab itu siklus penanaman harus diperhatikan agar tetap lestari.
Kelembagaan Hutan Marga Kelembagaan hutan marga terdiri dari Pasirah dan Dewan Marga, serta anggota masya r a k a t . A n g g o t a m a s ya r a k a t merupakan pranata inti, yang memegang hak untuk mengelola hutan marga. Keluarga yang berhak mengelola hutan Hal 36
marga, tentunya harus melalui prosedur yang ditetapkan oleh Pasirah. Prinsip yang dianut dalam penentuan pengelola hutan marga adalah keadilan bersama. Artinya keluarga yang akan diprioritaskan untuk mendapatkan hal pengelolaan adalah mereka yang berasal dari golongan tidak mampu, dengan harapan jika mereka mengel o l a n ya d a p a t m e m p e r b a i k i k e h i d u p a n n ya . S e l a i n i t u k e l u a r g a ya n g m e n g e l o l a d i wa j i b k a n m e m b a ya r i u r a n kepada pemerintah marga. Hal ini merupakan salah satu upaya mencari pemasukan uang kas marga. Jadi antara keluarga pengelola hutan dengan pamerintah marga memiliki h u b u n g a n ya n g s e t a r a d a n saling memberikan keuntungan. D i satu sisi akan membantu masyarakat miskin, tetapi di sisi lain dapat menunjang pemasukan pemerintah marga. Salah satu komponen penting dalam kelembagaan hutan marga adalah Pasirah sebagai kepala pemerintahan marga yang bertindak sebagai eksekusi dari penentuan hasil rapat dewan marga terhadap keluarga ya n g a k a n m e n g e l o l a h u t a n marga. Pasirah akan memutuskan setelah menerima saran dari
Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2 Dewan Marga dari berbagai sisi. Biasanya yang direkomendasik a n o l e h Pa s i r a h u n t u k mengelola hutan marga setelah melalui berbagai pertimbangan yang cukup matang. Interaksi ya n g t e r j a d i a n t a r a Pa s i r a h D e wa n M a r g a d a n a n g g o t a m a s ya r a k a t m e n j a d i s a n g a t penting dalam hubungan kelembagaan. Ketiganya dapat melakukan kontrol dan pengawasan satu sama lain, agar pengelolaan hutan dapat berlangsung baik seperti yang diharapkan. Keputusan Pasirah akan dihormati jika memang memperjuangkan kepentingan masyarakat, dan masyarakat akan memberikan penghormatan yang layak sebagai seorang pemimpinnya. Kewib a wa a n Pa s i r a h menjadi petaruhannya di mata masyarakat karena memang memperj u a n g k a n n a s i b r a k ya t n ya . S e b a l i k n ya j i k a k e p u t u s a n Pasirah tidak memihak rakyat, maka secara otomatis wibawa Pa s i r a h a k a n p u d a r, d a n kepemimpinanya akan semakin tidak populer di mata rakyatnya. Dalam konteks ini biasanya p a r t i s i p a s i m a s ya r a k a t a k a n t u m b u h d e n g a n s e n d i r i n ya , mengingat masyarakat sudah merasakan keadilan pemimpinn ya d a l a m m e n g a m b i l k e -
p u t u s a n ya n g m e m i h a k d a n mendukung kepentingan bersama. K o m p o n e n p e n t i n g l a i n n ya a d a l a h k e b e r a d a a n d e wa n marga yang berfungsi sebagai p e n g a wa s d a l a m s t r u k t u r pemerintahan marga. Saransaran yang diajukan kepada Pasirah dilakukan melalui suatu rapat Dewan Marga yang bera n g g o t a k a n p e r wa k i l a n d a r i berbagai desa yang diambil dari para tokoh masyarakat. Dewan ini melakukan rapat setahun sekali, terutama dalam memasuki tahun awal. Selain itu kedudukan Dewan Marga yang sejajar dengan Pasirah dapat melakukan kontrol, baik kepada Pa s i r a h ya n g m e n g a m b i l keputusan penentuan pengelolaan hutan marga, maupun pengawasan terhadap keluarga yang mengelola hutan marga. Jika terjadi pelanggaran aturan, Dewan Marga akan bersidang untuk menentukan sanksi apa yang akan diberikan kepada p e n g e l o l a h u t a n ya n g m e langgar Undang-Undang Simboer Cahaya. Struktur kelembagaan hutan marga yang dijelaskan di atas dapat diterapkan dalam pembentukan kelembagaan Hal 37
Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat baru untuk mengelola perhutanan sosial. Bentuknya bisa berupa kelembagaan modern dengan menggunakan pendekatan kelembagaan tradisional hutan marga, sehingga nilai-nilai kepatuhan masyarakat dapat dibentuk melalui proses pembinaan kelompok, dan kontrol masyarakat akan menjadi faktor penentu keberhasilan.
Model Perhutanan Hutan Marga Model perhutanan sosial mengacu kepada konsep perhutanan sosial yang diadopsi, supaya dapat dikembangkan dengan memadukan pendekatan kearifan lokal dalam hutan marg a d e n g a n k e l e m bagaan modern yang sekarang masih berlaku di pedesaan sekitar TNKS. Model ini akan melibatkan tiga unsur, yaitu pemerintah desa dan pemerintah kabupaten, kelembagaan terkait, seperti Balai TNKS dan PPL, serta unsur masyarakat sebagai inti yang bekerja dalam s i s t e m m o d e l ya n g a k a n dikembangkan. Kelembagaan hutan marga yang masih eksis di desa, harus mengacu kepada norma dan tata Hal 38
nilai yang masih dipatuhi oleh masyarakat setempat, utamanya nilai-nilai yang berlaku pada saat pemerintahan marga masih berkuasa. Norma dan tata nilai ini menjadi sangat penting untuk dibina kepada masyarakat dan kelompok agar kearifan budaya lokal dapat dipertahankan. Berdasarkan pengalaman masa lalu, ternyata nilai lokal ini cukup efektif dalam menjaga keseimbangan hubungan pemerintah dengan rakyatnya. Pilar yang pertama, adalah unsur kepala desa, Badan Perwakilan Desa, dan pemerintah kabupa t e n M u s i R a wa s . U n s u r i n i akan bertindak sebagai pengawas program konservasi, mulai dari tahap perencanaan, pelaks a n a a n , d a n e va l u a s i . Pa d a tahap awal unsur pemerintah ini dapat menetapkan lokasi pilot projek program konservasi yang berkoordinasi dengan unsur dari Balai TNKS. Pilar kedua, terdiri dari unsur masyarakat yang membentuk kelompokkelompok, dan setiap kelompok terdiri dari sepuluh keluarga. K e l o m p o k m a s ya r a k a t i n i dibentuk melalui perencanaan yang matang dan memegang prinsip keadilan sebagaimana ya n g d i t e t a p k a n p a d a m a s a
Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2 p e m e r i n t a h a n m a r g a . Pe m bentukan kelompok dapat memakai sistem hubungan kerabat agar lebih memudahkan pengelompokan pada setiap desa. Pilar ketiga, adalah unsur pendukung, yaitu berasal dari B a l a i T N K S ya n g b e r t i n d a k sebagai pengawas dan sekaligus s e b a g a i n a r a s u m b e r, s e r t a Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) yang bertugas sebagai pendamping kelompok dalam implementasi program konservasi. D a l a m p r o g r a m k o n s e r va s i hutan TNKS, sasaran utamanya adalah bagaimana bisa memanfaatkan hutan marga bagi kesejahteraan masyarakat sekitar, dengan melakukan penanaman pohon tertentu oleh kelompokkelompok masyarakat. Selain ditanami pohon keras untuk jangka panjang, kelompok masyarakat juga bisa menanam tanaman sela untuk kebutuhan hidup sehari-hari, seperti padi, d a n s a y u r- s a y u r a n . A d a p u n p e m b i a ya a n d a l a m p r o g r a m konservasi ini, sebagai tahap awal dapat diambil dari komponen dana APBD kabupaten ya n g b e k e r j a s a m a d e n g a n instansi terkait seperti dinas pertanian, dinas kehutanan, dan Bappeda kabupaten. Untuk
seterusnya pemerintah kabupaten bisa bekerjasama dengan pihak swasta untuk memberikan keuntungan perusahaan guna mendukung program konservasi. Dalam program pengawasan, harus melibatkan kelompok yang tergabung dalam tokoh masyarakat, yaitu orang-orang yang memiliki pengalaman dan kompetensi untuk mengembangkan masyarakat pedesaan. Dapat juga melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang kehutanan, sehingga bisa memantau perkembangan program dan sekaligus juga bertindak sebagai pengawas program. Model Perhutanan Sosial pada program konservasi hutan TNKS digambarkan pada skema 1.1 berikut ini:
Hal 39
Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat Skema 1.1 Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat Melalui Revitalisasi Hutan Marga pada Program Konservasi Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat NORMA DAN TATA NILAI PELESTARIAN HUTAN
KEPALA DESA
HUTAN MARGA
KESATUAN MASYARAKAT ADAT
BADAN PERWAKILAN DESA
MATAN PASIRAH MANTAN KERIO KETUA ADAT MANTAN
KELOMPOK TNKS SUNGAI PENUH
MODEL PERHUTANAN
KELOMPOK TNKS SUNGAI PENUH JAMBI
PEMERINTAH KABUPATEN MUSI RAWAS
PROGRAM KONSERVASI DAN PELESTARIAN HUTAN TNKS
Inti dari model ini adalah bagaimana menumbuhkan kepercayaan masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dan terlibat secara langsung dalam p r o g r a m k o n s e r va s i , k a r e n a selama ini pendekatan selalu dilakukan secara top down, dan bersifat formalistik, sehingga p r o g r a m k o n s e r va s i k u r a n g didukung masyarakat. Seyogyan ya , j i k a m a s ya r a k a t s u d a h mulai tumbuh kepercayaannya terhadap program konservasi, maka pembinaan tentang perhutanan sosial ini akan dapat Hal 40
berjalan baik, sehingga akan berdampak kepada peningkatan p e n g h a s i l a n ya n g b e r u j u n g pada peningkatan kesejahteraan m a s ya r a k a t s e c a r a u m u m , k h u s u s n ya m a s ya r a k a t ya n g berada di sekitar kawasan hutan TNKS. Penegakan hukum juga harus menjadi perhatian utama dalam program konservasi ini agar semua unsur akan saling mengawasi dan saling kontrol untuk keberhasilan program. Jangan sampai terjadi para
Indonesian Journal For Sustainable Future Vol. 1 No. 2 penegak hukum justru menjadi contoh yang kurang baik kepada m a s ya r a k a t , m i s a l n ya p a r a polisi hutan yang seharusnya m e n g a wa s i h u t a n , m a l a h sebaliknya mengambil hutan. Hal ini sangat riskan dalam program perhutanan sosial yang bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat agar bisa tumbuh partisipasinya terhadap pembangunan di bidang konservasi hutan di tanah air, khususnya hutan TNKS.
Kesimpulan
• Persepsi masyarakat tentang
keberadaan hutan marga di desa-desa penelitian menggambarkan bahwa potensi hutan marga di setiap desa masih ada. Selama ini
p e m e r i n t a h d e s a ya n g mengambil alih pengelolaan hutan marga.
• Kelembagaan hutan marga
t e r d i r i d a r i Pa s i r a h d a n Dewan Marga, serta anggota masyarakat. Anggota masyarakat merupakan pranata inti, yang memegang hak untuk mengelola hutan marga.
• Model perhutanan sosial ini
akan melibatkan tiga unsur, yaitu pemerintah desa dan pemerintah kabupaten, kelembagaan terkait, seperti Balai TNKS dan PPL, serta unsur masyarakat sebagai i n t i ya n g b e k e r j a d a l a m sistem model perhutanan sosial.
Daftar Pustaka Agus Halim Wardana, et al. 2001 Invertarisasi Kearifan Lokal yang Mendukung Konservasi di Desa-desa dalam Wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat Sumatera Selatan. Ringkasan Penelitian, Yayasan Keragaman Hayati: Jakarta. Awang, San Afri. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana: Yogyakarta. Atje, Raymond, et al. 2001. Hutan sebagai Aset Strategis, dalam Analisis CSIS Tahun XXX/No.2: Jakarta.
Hal 41
Model Perhutanan Sosial Berbasis Partisipasi Masyarakat Ellen, Roy. 2002. Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: K e t i d a k p a s t i a n Po l i t i k , S e j a r a h , E k o l o g i , d a n Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah, dalam Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan Obor: Jakarta. Falconer, Yulia dan Arnold, Mike, J.E. 1988. Forest, Tries and Household Food Security. Wiarter: Nerwork paper 7a. Hutabarat, Silver. 2001. Perkembangan Kehutanan Indonesia pada Era Reformasi, dalam Analisis Tahun XXX/No.2. Jakarta: CSIS. Marzali, Amri. 1990. Perhutanan Sosial, dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat Volume 2, Jakarta: FISIP Universitas Indonesia. Mely, G. Tan. 1990. Masalah Perencanaan Penelitian, dalam Metodemetode Penelitian Masyarakat. Gramedia: Jakarta. Monica, Sabato Della. 2003. Eu Indonesia Relations-A Personal Experience and Future Perpective. Paper dalam Seminar on the European Union, Jakarta: 15/16 Desember 20003. Syahrasaddin, et al. 2001. Kearifan Lokal Masyarakat di Daerah Interaksi TNKS Wilayah Kerinci Provinsi Jambi. Dalam Kumpulan Ringkasan Penelitian. Jakarta: Yayasan Kehati. Suparna, Nana. 2001. Penguasaan Hutan di Era Otonomi Daerah, dalam Analisis Tahun XXX/No.2 Jakarta: CSIS. Tahyudin, Didi, et al. 2000. Pandangan dan Keinginan Anggota Masyarakat terhadap Program Peningkatan Konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat. Laporan Penelitian. I n d e r a l a ya : P u s a t Pe n e l i t i a n S o s i a l B u d a ya Universitas Sriwijaya. Majalah Tempo, bulan Oktober 2002.
Hal 42