PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan)
Oleh
DYAH ISTYAWATI A 14202002
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN DYAH ISTYAWATI. PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN M EROKOK (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan). (Di bawah bimbingan DWI SADONO). Rokok memang isu yang tidak pernah bisa tuntas dibahas penanganannya. Rokok telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Di sejumlah negara, baik di negara maju maupun kawasan ASEAN, konsumsi rokok mengalami penurunan, kecuali Indonesia. Maka, salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok, Gubernur DKI Jakarta mencanangkan program “Kawasan Tanpa Rokok” (KTR) di tempat-tempat umum. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : 1) Mendapat gambaran mengenai persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok; 2) Mengkaji faktor- faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok; 3) Mengkaji hubungan antara persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok dengan implementasi (penerapan) perilaku merokok. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Pela Mampang yang terletak di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Responden penelitian ini adalah perokok aktif yang tinggal di wilayah Kelurahan Pela Mampang. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Juli sampai dengan Agustus 2007. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Adapun metode penelitian kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok. Data kualitatif diperoleh dari informan dan beberapa kasus responden terpilih. Data kuantitatif yang diperoleh diolah dan diuji secara statistik dengan menggunakan bantuan program SPSS 12.0 untuk Windows. Uji yang dilakukan adalah Uji Chi-Square (Kai-Kuadrat) dan Uji Korelasi Rank Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar perokok aktif memiliki persepsi tidak setuju terhadap peraturan larangan merokok karena jumlah denda yang terlalu besar dan ancaman pidana yang terlalu berat. Perokok aktif merasa dengan adanya peraturan larangan merokok ruang lingkup untuk merokok dibatasi karena para perokok jika ingin merokok harus berada di ruangan khusus merokok. Karakteristik individu pada jenis kelamin tidak ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan dimana sama -sama memiliki persepsi tidak setuju pada peraturan larangan merokok. Sebagian besar responden memiliki pendidikan akhir perguruan tinggi dimana diharapkan lebih memahami dan mentaati peraturan larangan merokok tetapi mereka umumnya tidak menyetujui diterapkannya peraturan larangan merokok. Tingkat pendapatan tidak mempengaruhi dalam mengurangi kebiasaan merokok dikarenakan merokok bagi responden sudah menjadi kebiasaan. Motif merokok karena pengaruh orangtua merokok dan teman merokok berpengaruh besar terhadap munculnya keinginan menjadi perokok aktif dan motif ini dalam uji statistik berhubungan dengan persepsi peraturan larangan merokok yang ditunjukkan dengan nilai P Value sebesar 0,01 dan 0,032. Tingkat pengetahuan tentang dampak merokok tidak berhubungan dengan persepsi peraturan larangan merokok. Walaupun tingkat pengetahuan perokok aktif tinggi namun tidak berkeinginan untuk berhenti merokok karena merokok sudah menjadi kebiasaan dan untuk menguranginya memerlukan waktu yang cukup lama. Perokok aktif mentaati peraturan larangan merokok jika berada di gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan dikarenakan adanya aparat penegak hukum (pengawas) dan untuk menghindari dari ancaman pidana serta denda yang dirasakan cukup berat. Peraturan larangan merokok tidak dilaksanakan responden di lingkungan tempat tinggalnya dikarenakan tidak adanya aparat penegak hukum.
PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan )
Oleh DYAH ISTYAWATI A14202002
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan Kelulusan untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa
: Dyah Istyawati
No Pokok
: A14202002
Judul
: Persepsi Terhadap Peraturan Larangan Merokok (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Dwi Sadono, M.Si. NIP. 132 009 375
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian :
15 Februari 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK (KASUS : PEROKOK AKTIF DI KELURAHAN PELA M AMPANG,
KECAMATAN
MAMPANG
PRAPATAN,
KOTAMADYA
JAKARTA SELATAN)”. BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI
PADA
PERGURUAN
TINGGI
ATAU
LEMBAGA
LAINNYA. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR
HASIL
KARYA
SENDIRI
DAN
TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Februari 2008
Dyah Istyawati A14202002
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, pada tanggal 15 Agustus 1984, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Ir. Muhammad Yudi Siswanto dan Sri Istatik. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah 12 Pamulang pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Pamulang dan lulus pada tahun 1999. Penulis menyelesaikan sekolah menengah umum di SMU MADANiA Boarding School pada tahun 2002, dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang dapat penulis haturkan selain puji syukur kepada Allah SWT yang
telah
memberikan
rahmat
dan
hidayah-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Skripsi ini berjudul “Persepsi Terhadap Peraturan Larangan Merokok (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan)”. Judul skripsi tersebut dipilih untuk mendapat gambaran mengenai persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok, untuk mengkaji faktor- faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok dan untuk mengkaji hubungan antara persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok dengan implementasi (penerapan) perilaku merokok pada peraturan larangan merokok. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril dan materil se lama proses penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa ada keterbatasan yang terjadi pada saat penulisan skripsi ini.
Bogor, Februari 2008
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis menghaturkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan masukan, dorongan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain: 1. Ir. Dwi Sadono, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan untuk meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis dengan penuh kesabaran dan kesungguhan hati mulai dari proses penulisan proposal, penelitian, dan penulisan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Pudji Muljono, MS, selaku dosen penguji utama dalam ujian siding skripsi. 3. Martua Sihaloho, M.Si. selaku dosen penguji dari departemen. 4. Ir. Bambang S. Utomo, MDS. selaku dosen pembimbing akademik atas semangat, saran dan kesabaran membantu penulis dalam bidang akademik. 5. Ayahku Ir. Muhammad Yudi Siswanto dan Ibuku Sri Istatik dan Nina Alfiana tersayang atas ketulusan cinta, kasih sayang, kesabaran, dukungan dan pengorbanan yang tiada akhirnya serta doa yang tiada hentinya, selalu diberikan kepada penulis. 6. Ibuku Kasmilah tersayang atas ketulusan cinta, kasih sayang, kesabaran, dukungan dan pengorbanan yang tiada akhirnya serta doa yang tiada hentinya, selalu diberikan kepada penulis. 7. Suamiku tercinta Tri Joko Sunaryo atas ketulusan cinta, kasih sayang, kesabaran, dukungan dan pengorbanan yang diberikan kepada penulis. Anakku tercinta Aira Rahmania Saqina yang selalu memberikan keceriaan dan canda tawa kepada ibu.
8. Tim sukses Focus Comp. (Herdy dan Ranto) atas bantuan selama proses pengerjaan skripsi penulis. 9. Seluruh staf pengajar Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan pengetahuan selama penulis mengikuti pendidikan. 10. Untuk teman-teman KPM’39 terima kasih untuk canda tawa dan kebersamaannya. 11. Sahabat-sahabatku tercinta : Mbak Aida, Ida, Ulan, Mbak Desi, yang selalu ada di saat penulis membutuhkan masukan dan saran selama ini. Terima kasih atas semua kebersamaan yang kita lalui. 12. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Februari 2008
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………....
xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xiii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1.1 1.2 1.3 1.4
1
Latar Belakang ……………………………………………….. Perumusan Masalah ………………………………………….. Tujuan Penelitian …………………………………………….. Kegunaan Penelitian …………………………………………..
1 2 4 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN …...
5
2.1 Perokok Aktif ………………………………………………… 2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Merokok 2.1.2 Tipe-tipe Perokok Aktif .................................................. 2.2 Dampak dari Sebatang Rokok ................................................... 2.3 Peraturan Larangan Merokok .................................................... 2.4 Persepsi ...................................................................................... 2.4.1 Pengertian Persepsi ........................................................ 2.4.2 Proses Terbentuknya Persepsi ………… ....................... 2.4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi ................ 2.4.4 Hubungan Antara Persepsi dan Perilaku ...................... 2.5 Kerangka Pemikiran ………….................................................. 2.6 Hipotesa Penelitian …………………………………………… 2.7 Definisi Operasional …………………………………………..
5 9 11 14 16 17 17 19 21 24 24 27 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN …………………………………
32
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6
Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………… Penentuan Sampel …………………………............................ Sumber Data Penelitian ………………………………........... Metode Pengumpulan Data …………………………………. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ………………………. Penafsiran Data ………………………………………………
BAB IV GAMBARAN UMUM …………………………………………… 4.1 4.2
Provinsi DKI Jakarta ………………………………………... Kotamadya Jakarta Selatan …………………………………. 4.2.1 Visi da n Misi Jakarta Selatan ……………………….
32 32 34 34 35 36 37 37 38 40
4.3 4.4
4.2.2 Kelurahan Pela Mampang ………………………….. Gambaran Perokok Aktif …………………………………… Gambaran Umum Responden ………………………………. 4.4.1 Karakteristik Individu Perokok Aktif ………………. 4.4.1.1 Jenis Kelamin Perokok Aktif ………………. 4.4.1.2 Tingkat Pendidikan ………………………… 4.4.1.3 Tingkat Pendapatan ………………………… 4.4.1.4 Motif Merokok ……………………………… 4.4.1.5 Status Perkawinan ………………………….. 4.4.2 Tingkat Pengetahuan ………………………………... 4.4.3 Persepsi Peraturan Larangan Merokok ………………
40 42 43 43 43 44 45 47 48 50 51
BAB V HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU, TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN PERSEPSI PERATURAN LARANGAN MEROKOK ……………………………………………………….. 53 5.1
5.2
Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ………………………………. 5.1.1 Hubungan Antara Jenis Kelamin Individu dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ……………… 5.1.2 Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ……………… 5.1.3 Hubungan Antara Pendapatan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ……………………….. 5.1.4 Hubungan Antara Motif Merokok dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ……………………….. 5.1.5 Hubungan Antara Status Perkawinan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ……………… Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Dampak Merokok dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ……………...
53 53 54 55 56 58 60
BAB VI HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PERATURAN LARANGAN M EROKOK DENGAN PENERAPAN PERILAKU M EROKOK ………………………………………………………
62
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………
66
7.1 7.2
Kesimpulan ………………………………………………… Saran ………………………………………………………..
66 67
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
68
LAMPIRAN ………………………………………………………………..
70
DAFTAR TABEL` Nomor
Halaman Teks
1.
Negara- negara dengan Konsumsi Tembakau Tertinggi …………...
5
2.
Produksi dan Konsumsi Rokok Nasional Tahun 1996 – 2002 ….....
6
3.
Persebaran Kelurahan Kotamadya Jakarta Selatan ………………...
39
4.
Persebaran Kelurahan di Kecamatan Mampang Prapatan …………
40
5.
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin …………………………………………………….............
43
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ………………………………………………………….
45
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan …………………………………………………………
46
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Motif Merokok ……………………………………………………………
47
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Status Perkawinan …………………………………………………………
49
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan ………………………………………………………..
50
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Persepsi Terhadap Peraturan Larangan Merokok ……………………………
51
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Jenis Kelamin …………………………………………………………….
54
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……………………………………………….................
55
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat Pendapatan ………………………………………………................
56
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Motif Merokok …………………………………………………………....
57
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Hubungan Antara Motif Merokok dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ………………………………………………...
58
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Status Perkawinan ………………………………………………………
59
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Mengenai Dampak Merokok ……………………...
61
Lampiran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ………………….
71
Hasil Uji SPSS Tentang Hub ungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok …………………
72
Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Pendapatan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok …………………
73
Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Motif Me rokok dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok …………………
74
Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok …………………
79
Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Status Perkawinan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok …………………
80
Kuesioner ……………………………………………………….
81
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman Teks
8.
Perokok Pria Dewasa Berdasarkan Pendidikan …………………....
7
9.
Usia Mulai Merokok ……………………………………………….
8
10.
Proses Terbentuknya Persepsi ……………………………………...
20
11.
Kerangka Pemikiran Persepsi Perokok Aktif Terhadap Peraturan Larangan Merokok ………………………………………
27
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Rokok tidak pernah bisa tuntas dibahas penanganannya. Ia dibutuhkan bagi
sebagian orang tetapi juga menyimpan bahaya penderitaan dan kematian jika mengkonsumsinya. Rokok telah menjadi bagia n dari budaya masyarakat. Rokok juga dianggap sebagai simbol dari keakraban diantara warga, contohnya di daerah Jawa Barat, bila ada acara selamatan yang disajikan sebelum makanan lain adalah rokok yang ditempatkan di dalam gelas pada saat acara pembacaan do’a telah selesai dilakukan. Sejumlah negara, baik di negara maju maupun kawasan ASEAN, konsumsi rokok mengalami penurunan, kecuali di Indonesia. Pakar penyakit paru FKUI Prof. Dr. Hadiarto Mangunnegoro dalam Singgih (2002) menyatakan jumlah perokok aktif di Indonesia naik dari 22,5 persen pada tahun 1990-an menjadi 60 persen dari jumlah penduduk pada tahun 2000. Lebih menyedihkan lagi, 60 persen diantara perokok adalah kelompok berpenghasilan rendah. Tingginya konsumsi merokok dipercaya menimbulkan implikasi negatif yang sangat luas, tidak saja terhadap kualitas kesehatan tetapi juga menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi. Direktur WHO Kawasan Asia Pasifik Prof. Uton Muchtar Rafei dalam Singgih (2002) menyatakan bahwa kenyataan tersebut menunjukkan masala h rokok di Indonesia tampaknya tidak bisa diselesaikan lagi dengan hanya mengingatkan bahaya
rokok bagi kesehatan, seminar, penyuluhan, kampanye. Cara-cara seperti itu sudah dianggap tidak ampuh sehingga sudah waktunya diperlukan alat lain yang lebih ampuh, yakni alat legalitas hukum atau perundang-undangan. Untuk itu, diperlukan komitmen yang kuat dari para pemimpin baik itu dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tokoh masyarakat, artis, LSM dan sebagainya, yang muaranya menghasilkan Undang-undang (UU) mengenai rokok. Salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok, WHO mencanangkan program “Kawasan Tanpa Rokok” (KTR) di tempat-tempat umum. Program seperti ini lazim diterapkan di berbagai negara, termasuk di ASEAN; Singapura, Malaysia bahkan Vietnam. Di Malaysia, orang merokok di tempat umum didenda 500 ringgit, di Bangkok didenda 2.000 baht. Oleh sebab itu, kebijakan Gubernur DKI Jakarta menjadi rasional dan layak mendapatkan dukungan masyarakat. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok yang digagas oleh Pemda DKI Jakarta, sebenarnya, bukan yang pertama kali. Peraturan Pemerintah No. 81/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang kemudian diubah menjadi PP No. 19/2003; sudah lebih dahulu mengatur tentang larangan merokok di tempat-tempat umum tetapi Peraturan Pemerintah tersebut tidak bisa memberikan sanksi.
1.2
Perumusan Masalah Meski semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok,
perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari
di lingkungan rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hampir setiap saat dapat disaksikan dan dijumpai orang yang sedang merokok. Hal yang memprihatinkan adalah usia mulai merokok yang setiap tahun semakin muda. Dua puluh tahun yang lalu orang mulai berani merokok ketika masih dibangku SMP tetapi sekarang dapat dijumpai anak-anak SD sudah mulai banyak yang merokok secara diam-diam. Kebijakan peraturan larangan merokok ditujukan untuk menekan jumlah perokok aktif dan pasif yang semakin meninggi. Peraturan larangan merokok ini menimbulkan reaksi dan persepsi yang berbeda antara perokok aktif di Jakarta. Pembentukan persepsi terhadap peraturan larangan merokok dapat dilihat kaitannya pada karakteristik perokok aktif dan pengetahuan terhadap dampak merokok. Karakteristik individu yang berbeda-beda dapat dinilai sebagai indikator terbentuknya persepsi, dimana karakteristik tersebut ditunjukkan dengan jenis kelamin, pendapatan, tingkat pendidikan, dan motif merokok. Berdasarkan uraian di atas maka masalah penelitian yang akan dianalisis dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok saat ini? 2. Faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan dengan persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok? 3. Bagaimana hubungan antara persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok dengan implementasi (penerapan) perilaku merokok pada peraturan larangan merokok?
1.3
Tujuan Pene litian Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendapat gambaran mengenai persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok. 2. Mengkaji faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi perokok aktif terhadap peratur an larangan merokok. 3. Mengkaji hubungan antara persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok dengan implementasi (penerapan) perilaku merokok pada peraturan larangan merokok?
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi para pihak, yaitu :
1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan akan lebih mempertajam pengetahuan yang selama ini diperoleh dari proses belajar baik melalui bangku perkuliahan maupun penelaahan sumber-sumber informasi yang relevan. 2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan umum yang memperluas wawasan masyarakat mengenai pengendalian perilaku merokok, khususnya yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perokok Aktif Rokok telah menjadi konsumsi rutin bagi para perokok, dimana mereka
mengkonsumsinya setiap hari. Bagi para perokok, merokok adalah kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Pada Tabel 1 disajikan negara-negara dengan jumlah konsumsi tembakau tertinggi di dunia.
Tabel 1. Negara-negara dengan Konsumsi Tembakau Tertinggi Negara China Amerika Serikat Rusia Jepang Indonesia Jerman Turki Brasilia Italia Spanyol
Konsumsi (dalam miliar batang) 1.697.291 463.504 375.000 299.085 181.958 148.400 116.000 108.200 102.357 94.307
Sumber: WHO (2002)
Dari hasil survai Departemen Kesehatan jumlah perokok pada tahun 2003 sebanyak 59,04 persen laki- laki dan 4,83 persen perempuan. Indonesia menempati urutan kelima negara pengkonsumsi rokok terbesar di dunia setelah China, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tingkat produksi dan konsumsi rokok di Indonesia termasuk sangat tinggi di dunia. Indonesia termasuk memiliki kecenderungan konsumsi rokok yang terus meningkat. Mengacu data dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), produksi dan konsumsi rokok memiliki kecenderungan meningkat. Data tersebut ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi dan Konsumsi Rokok Nasional Tahun 1996-2002 Tahun
Produksi (dalam miliar batang)
Konsumsi (dalam miliar batang)
1996
201,16
196,181
1997
207,64
190,944
1998
196,20
166,345
1999
225,40
187,685
2000
232,46
194,760
2001
210,29
206,354
2002
226,95
214,931
Sumber: GAPPRI (2002)
Keinginan merokok di kalangan orang dewasa meningkat menjadi 31,5 persen tahun 2001 dari 26,9 persen pada tahun 1995. Keinginan merokok di kalangan lakilaki dewasa di pedesaan adalah 67,0 persen dibandingkan dengan 58,3 persen di perkotaan. Sebagian besar penduduk Indonesia banyak yang tidak menikmati pendidikan formal di bangku sekolah. Perokok dengan pendidikan formal rendah
mungkin tidak mengerti sepenuhnya peringatan kesehatan dalam bentuk tulisan, sehingga gambar akan lebih efektif. Keinginan merokok tertinggi (73,3%) terdapat pada laki- laki tanpa pendidikan dan yang tidak lulus SD dibandingkan dengan 44,2 persen pada mereka dengan latar belakang akademik, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Perokok Pria Dewasa Berdasarkan Pendidikan 80
73.3 65.9
70 60
53.3
58.2 44.6
50 40 30 20 10 0 Tidak Sekolah
SD
SMP
SMU
Universitas
S
umber: Depkes (2001) Keterangan : Persentase terhadap jumlah penduduk yang pendidikannya sama.
Anak-anak dan remaja belum mampu untuk menimbang bahaya merokok bagi kesehatan dan dampak adiktif dari nikotin. Kebiasaan merokok yang dimulai pada masa anak-anak lebih sulit dihentikan. Anak-anak yang merokok mempunyai resiko tinggi untuk mengidap penyakit akibat tembakau pada usia paruh baya. Hampir 70 persen perokok Indonesia mulai merokok sebelum mereka berumur 19 tahun, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Usia Mulai Merokok
80 60
59.1
40 20 0
%
23.8 9.4
0.3
5-9 tahun
10-14 tahun
15-19 tahun
20-24 tahun
4.8
2.6
25-29 tahun
30 tahun ke atas
Sumber: Depkes (2001)
Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2001 menyebutkan bahwa : 1. Sejumlah 27 persen penduduk berusia di atas 10 tahun menyatakan merokok dalam satu bulan terakhir. 2. Sejumlah 54,5 persen penduduk laki- laki merupakan perokok dan hanya 1,2 persen perempuan yang merokok. 3. Terdapat peningkatan sebesar 4 persen penduduk umur di atas 10 tahun yang merokok dalam kurun waktu 6 tahun. 4. Sejumlah 92,0 persen dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota keluarga lainnya dengan demikian sebagian besar anggota keluarga lainnya merupakan perokok pasif. 5. Sejumlah 68,5 persen penduduk mulai merokok pada usia 20 tahun meningkat 8 persen dari Susenas 1995 yaitu 60,0 persen. 6. Peningkatan usia muda yang merokok, kelompok umur 25-29 tahun (75 %) dan kelompok umur 20-24 tahun (84,0 %).
2.1.1
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Merokok Departemen
Kesehatan
(2001)
mendapati
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi remaja memulai untuk merokok, yaitu (1) Adanya anggota keluarga yang merokok, seperti orang tua maupun saudara kandung, (2) Teman dan kelompok seusia, kaum remaja pada umumnya ingin sekali diterima oleh kelompok seusia dan tidak ingin merasa dikucilk an karena merasa kurang cocok, (3) Kelegaan dari perasaan negatif, pendapat bahwa merokok menimbulkan rasa santai dan merupakan cara untuk mengatasi stress, (4) Mempunyai tujuan untuk merokok, para pelajar yang menyatakan bahwa mereka ingin merokok kemungkinan besar akan mulai merokok daripada mereka yang menyatakan tidak mempunyai keinginan untuk merokok, (5) Promosi tembakau melalui iklan di televisi, majalah, dan sponsor pada acara konser musik dikalangan remaja. Al-Bachri (1991) menerangkan beberapa alasan para perokok memulai untuk merokok berdasarkan hasil penelitian yang didapatnya, yaitu : 1. Pengaruh Orangtua Remaja yang berasal dari keluarga konservatif yang menekankan nilai- nilai sosial dan agama dengan baik dengan tujuan jangka panjang lebih sulit untuk terlibat dengan rokok, tembakau, obat-obatan dibandingkan dengan keluarga yang permisif dengan penekanan pada falsafah “kerjakan urusanmu sendiri-sendiri”. Paling kuat pengaruhnya adalah bila orangtua sendiri menjadi figur contoh yaitu sebagai perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin sekali untuk mencontohnya. Perilaku merokok lebih banyak didapati pada mereka yang tinggal dengan satu orangtua (single parent). Remaja akan lebih cepat berperilaku sebagai
perokok bila ibu mereka merokok daripada ayah yang merokok, hal ini lebih terlibat pada remaja putri. 2. Pengaruh Teman Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan teman-teman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi perokok. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok. 3. Faktor Kepribadian Orang mencoba untuk merokok karena alas an ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan. Namun satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Orang yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes konformitas sosial lebih mudah menjadi pengguna dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor yang rendah. 4. Pengaruh Ikla n Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut.
2.1.2
Tipe -tipe Perokok Aktif Meski semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok,
perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih dapat ditolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hampir setiap saat dapat dijumpai orang yang sedang merokok. Al-Bachri (1991) membagi empat tipe perokok, yaitu : 1. Perokok sangat berat adalah bila mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang per hari dan selang merokoknya lima menit setelah bangun pagi. 2. Perokok berat adalah bila mengkonsumsi sekitar 21-30 batang sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6-30 menit. 3. Perokok sedang adalah bila menghabiskan rokok sekitar 11-21 batang sehari dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi. 4. Perokok ringan adalah bila menghabiskan rokok sekitar 10 batang sehari dengan selang waktu 60 menit dari bangun pagi. Menurut Silvan Tomkins dalam Al- Bachri (1991) ada empat tipe perilaku merokok berdasarkan Management of Affect Theory, ke empat tipe tersebut adalah : 1. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Dengan merokok seseorang merasakan penambahan rasa yang positif. Tipe perokok ini dibagi dalam 3 sub tipe, yaitu : a. Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah minum kopi atau makan.
b. Stimulation to pick them up, perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan. c. Pleasure of handling the cigarette, kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok. Spesifik pada perokok pipa, perokok pipa akan menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau sedangkan untuk menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja atau perokok lebih senang berlama- lama untuk memainkan rokoknya dengan jari- jarinya sebelum menyalakan dengan api. 2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya bila ia marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok bila perasaan tidak enak terjadi sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak. Perokok yang memiliki perilaku seperti ini digolongkan pada tipe perokok kadang-kadang, karena mereka merokok pada saat perasaan mereka tidak nyaman. Tipe perokok kadang-kadang termasuk perokok aktif, walaupun rutinitas untuk merokok tidak setiap hari. 3. Perilaku merokok yang adiktif, disebut sebagai psychological addiction. Mereka yang sudah adiksi akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok walau tengah malam sekalipun karena khawatir kalau rokok tidak tersedia setiap saat diinginkan. 4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena
benar-benar sudah menjadi kebiasaan rutin. Dapat dikatakan pada orang-orang tipe ini merokok sudah merupakan suatu perilaku yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari. Perokok akan menghidupkan api rokoknya bila rokok yang sebelumnya telah benar-benar habis. Al-Bachri
(1991)
juga
menyatakan
bahwa
tempat
merokok
juga
mencerminkan pola perilaku perokok. Tempat merokok dibedakan berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok, maka dapat digolongkan : 1. Merokok di tempat-tempat umum atau ruang publik, yaitu : •
Kelompok homogen (sama-sama perokok), secara bergerombol mereka menikmati kebiasaannya. Umumnya mereka masih menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smoking area.
•
Kelompok yang heterogen (merokok ditengah-tengah orang lain yang tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dll). Mereka yang berani merokok di tempat tersebut tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan, kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji dan kurang sopan, dan secara tersamar mereka tega menyebar “racun” kepada orang lain yang tidak bersalah.
2. Merokok di tempat-tempa t yang bersifat pribadi, yaitu : •
Di kantor atau di kamar tidur pribadi. Mereka yang memilih tempat-tempat seperti ini sebagai tempat merokok digolongkan kepada individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa gelisah yang mencekam.
•
Di toilet. Perokok jenis ini dapat digolongkan sebagai orang yang suka berfantasi. Menurut Dariyo (2003) bahwa tipe perokok ada dua jenis, yaitu perokok aktif
(active sm ooker) dan perokok pasif (passive smooker) : a. Perokok aktif adalah individu yang benar-benar memiliki kebiasaan merokok. Merokok sudah menjadi bagian hidupnya sehingga rasanya tak enak kalau sehari tidak merokok. Oleh karena itu, ia akan berupaya untuk mendapatkannya. b. Perokok pasif adalah individu yang tidak memiliki kebiasaan merokok, namun terpaksa harus menghisap asap rokok yang dihembuskan orang lain yang kebetulan di dekatnya. Dalam keseharian mereka tidak berniat dan tidak mempunyai kebiasaan merokok. Jika tidak merokok, mereka tidak merasakan apaapa dan tidak terganggu aktivitasnya. Tipe perokok ini dapat ditemui pada mereka yang duduk di halte, di dalam bus kota atau di tempat-tempat umum dimana didekat mereka ada seseorang atau beberapa orang yang sedang merokok. Jadi perokok pasif dianggap sebagai korban dari perokok aktif.
2.2
Dampak dari Sebatang Rokok Departemen Kesehatan (2000) mendapati bahwa kerugian yang ditimbulkan
dari rokok sangat banyak terutama bagi kesehatan tetapi masih banyak orang yang tetap memilih untuk menikmatinya. Dalam asap rokok terdapat 4000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik. Racun dan karsinogen yang timbul akibat pembakaran tembakau dapat memicu terjadinya kanker. Pada awalnya rokok mengandung 8-20
miligram nikotin dan setelah dibakar nikotin yang masuk ke dalam sirkulasi darah hanya 25 persen. Walau demikian jumlah kecil tersebut memiliki waktu hanya 15 detik untuk sampai ke otak manusia. Nikotin itu diterima oleh reseptor asetilkolin- nikotinik yang kemudian membaginya ke jalur imbalan dan jalur adrenergik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan rasa nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Sementara di jalur adrenergik, za t ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin. Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalk an rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika perokok berhenti merokok maka rasa nikmat yang diperoleh dari rokok akan berkurang. Efek dari rokok atau tembakau memberi stimulasi depresi ringan, gangguan daya tangkap, alam perasaan, alam pikiran, tingkah laku dan fungsi psikomotor. Perokok pasif adalah orang yang menghisap asap rokok orang lain. Perokok pasif mempunyai resiko kesehatan yang sama seperti resiko perokok aktif. Ibu hamil yang terpapar asap rokok beresiko keguguran, lahir mati, bayi dengan berat badan lahir rendah, kurang gizi, gangguan pertumbuhan bayi, bayi lahir prematur. Bayi dan anak yang terpapar asap rokok beresiko perkembangan parunya lambat, infeksi saluran nafas, infeksi telinga, kekambuhan asma dan bayi mati mendadak.
2.3
Peraturan Larangan Merokok Rokok merupakan salah satu barang konsumsi yang dikenai tarif cukai oleh
pemerintah, baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah negara-negara lainnya. Dalam UU No.11 tahun 1995 tentang cukai, tujuan dikenakannya tarif cukai pada rokok adalah untuk mengendalikan dan membatasi jumlah konsumsi rokok itu sendiri, dengan alasan mengganggu kesehatan baik kesehatan orang yang tidak mengkonsumsi (perokok pasif). Undang-undang yang ada di Indonesia mensyaratkan peringatan kesehatan untuk rokok, tapi tidak pada produk tembakau lainnya. Tidak ada peraturan tentang ukuran minimum tanda peringatan dan hanya satu pesan saja yang digunakan pada kemasan rokok. Masyarakat begitu terbiasa melihat pesan yang sama di semua merk sehingga pesan itu malah menjadi semacam iklan tembakau. Pemerintah menetapkan dan membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan rokok, seperti tarif cukai sebagai salah satu bentuk kebijakan pemerintah guna mengendalikan konsumsi rokok, serta menetapkan dan mengeluarkan peraturanperaturan, antara lain, PP No.81 tahun 1999, PP No.38 tahun 2000, PP No.19 tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Pemerintah sudah lebih dulu melindungi yang tidak merokok dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 1999 pada pasal 23 yang mewajibkan semua tempat umum serta sarana pelayanan kesehatan, proses belajarmengajar, kegiatan ibadah, dan angkutan umum untuk bebas dari asap rokok. Penerapan PP ini belum berjalan sesuai dengan isinya.
Pada tahun 2005 Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 75 Tahun 2005 dengan tujuan menurunkan angka kesakitan atau angka kematian dengan cara merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula, serta mewujudkan generasi muda yang sehat. Larangan merokok tertuang pada Pasal 13 Perda Nomor 02 Tahun 2005 antara lain berisi tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan dilarang merokok. Perda ini mencantumkan ancaman pidana bagi yang melanggar, dalam pasal 41 ayat 2 bab tentang Ketentuan Pidana disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan beberapa pasal dalam Perda termasuk pasal 13, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp50 juta. WHO dan YKI (Yayasan Kanker Indonesia) melakukan upaya-upaya berupa kampanye -kampanye anti rokok dan menetapkan tanggal 31 Mei sebagai hari bebas asap rokok sedunia. Upaya tersebut dimaksudkan untuk menggugah kesadaran masyarakat agar jangan mulai merokok bagi orang yang belum merokok dan berhenti merokok bagi para perokok.
2.4
Persepsi
2.4.1
Pengertian Persepsi
Persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami (Sarwono, 1999). Veitch dan Arkkelin (1995) dalam Handoko (2003) menyatakan bahwa persepsi merupakan dasar utama dan fundamental dari proses psikologi dalam kehidupan manusia. Proses persepsi tersebut dimulai sejak manusia lahir dan terus berlangsung serta mempunyai peran penting sepanjang hidup manusia. Persepsi ditandai dengan adanya indera manusia yang menangkap stimuli. Persepsi terhadap lingkungan tidak sekedar proses indera yang menangkap stimuli semata, namun persepsi juga merupakan proses “menamai”, melukiskan, menggambarkan serta memberikan arti bagi stimuli atau dunia sekitarnya. Handoko (2003) mendefinisikan persepsi sebagai interpretasi atau penafsiran seseorang akan makna sesuatu baginya di dalam memahami informasi tentang “dunianya” baik melalui penglihatan, pendengaran, perasaan dan penalaran. Pasaribu (1994) dikutip oleh Syahyuni (1999) mengatakan bahwa persepsi adalah pandangan atau sikap seseorang terhadap sesuatu hal, yang menumbuhkan motivasi atau kekuatan, dorongan atau tekanan yang menyebabkan seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Definisi persepsi lainnya dikemukakan oleh Wibowo (1987) dikutip oleh Syahyuni (1999), menyatakan bahwa persepsi adalah suatu gambaran, pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu obyek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan informasi itu dengan dirinya dan lingkungan dimana ia berada. Sadli (1976) sebagaimana dikutip oleh Soesetiyo (1990) mengemukakan bahwa persepsi adalah penilaian seseorang mengenai suatu obyek tertentu berdasarkan perasaannya sendiri. Sementara Kristono (1994) mendefinisikan persepsi sebagai
proses aktif baik mengenai stimuli yang mengenai seseorang, juga mencakup pengalaman, motivasi, dan sikap-sikap yang relevan terhadap stimuli tersebut. Apa yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari caranya mempersepsikan situasi, mengapresiasikannya, atau apa yang ia ingat mengenai hal yang dihadapinya.
2.4.2
Proses Terbentuknya Persepsi Menurut Calhoun dan Acocella (1990) pembentukan persepsi sosial dimulai
pada masa bayi, ketika pertama kali anak menyadari kehadiran manusia lain, pada masa kanak-kanak, hingga berlanjut sampai dengan masa remaja, ketika si remaja itu belajar bersimpati kepada orang lain dan untuk berpikir secara abstrak. De Vito (1997) menyatakan bahwa proses persepsi berlangsung dalam tiga tahap, yaitu stimulasi alat indera, penataan stimulasi, dan penafsiran pengevaluasian stimulasi. Pada tahap pertama alat-alat indera distimulasi (dirangsang). Pada tahap ini seseorang bisa mendengar musik, bisa melihat seseorang, mencium parfum orang yang berdekatan, mencicipi sepotong kue, merasakan telapak tangan yang berkeringat. Meskipun seseorang memiliki kemampuan penginderaan untuk merasakan stimulus (rangsangan), namun stimulus tersebut tidak selalu digunakan. Pada tahap kedua, rangsangan terhadap alat indera diatur menurut berbagai prinsip. Prinsip yang digunakan adalah prinsip proksimitas (proximity), atau kemiripan maksudnya seseorang mempersepsikan pesan yang datang, segera setelah pesan yang lain sebagai satu unit dan menganggap bahwa keduanya tentu saling berkaitan. Prinsip yang lain adalah kelengkapan (closure), maksudnya seseorang
memandang atau mempersepsikan suatu gambar atau pesan yang dalam kenyataannya tidak lengkap sebagai suatu gambar atau pesan yang lengkap. Tahap ketiga dalam proses perseptual adalah penafsiran-evaluasi. Kedua istilah ini sengaja digabungkan untuk menegaskan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Tahap ketiga ini merupakan proses subyektif yang melibatkan evaluasi di pihak penerima. Penafsiran-evaluasi tidak semata- mata didasarkan pada rangsangan luar, melainkan yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan, sistem nilai, keyakinan tentang seharusnya, keadaan fisik dan emosi pada saat itu, dan sebagainya yang ada pada diri seseorang. Proses terbentuknya persepsi secara jelas dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses Terbentuknya Persepsi
Terjadinya stimulasi alat indera
Stimulasi alat indera diatur
Stimulasi alat indera dievaluasiditafsirkan
Sumber : De Vito (1997)
Proses
terbentuknya
persepsi
menurut
Veitch
dan
Arkellin
(1995)
sebagaimana dikutip oleh Handoko (2003) dibedakan menjadi empat tahapan, yakni detection, recognition, discrimination, dan scaling terhadap stimuli yang diterima dari
lingkungan. Proses awal terbentuknya persepsi adalah mendeteksi stimulus berupa perubahan energi dalam lingkungan seperti energi elektromagnetik, mekanik, kimia, atau perubahan suhu lingkungan. Proses deteksi ini merupakan proses mengenali jenis stimuli, tingkat stimuli, intensitas atau jumlah stimuli yang dapat diterima oleh individu. Tahap berikutnya adalah recognition atau proses mengetahui. Setelah mampu mendeteksi objek atau stimuli dari lingkungannya maka proses selanjutnya adalah individu harus mengetahui stimulus atau objek apa yang dideteksi tersebut. Tahap ketiga
adalah
diskriminasi
terhadap
stimuli.
Individu
harus
mampu
mendiskriminasikan atau membedakan antara stimulus yang satu dengan stimulus yang lain. Proses diskriminasi ini juga berkaitan dengan keadaan serba seimbang antara
individu
dengan
lingkungannya,
artinya
ketika
individu
mampu
mendiskriminasikan bahwa stimulus tertentu dapat diterima maka hubungan antara stimulus dengan individu cenderung dipertahankan. Hal ini yang kemudian disebut sebagai kondisi serba seimbang. Namun bila individu telah mendiskriminasikan bahwa stimulus tertentu telah berada di luar batas kemampuan individu untuk menerimanya, maka cenderung akan dilakukan proses adaptasi atau adjustment. Tahap keempat adalah scaling atau kemampuan mengukur dari individu terhadap stimuli di lingkungannya merupakan proses dimana individu mampu mengukur seberapa besar stimuli yang dapat diterima oleh individu tersebut atau bisa juga seberapa besar stimuli yang ada dibutuhkan oleh individu tersebut.
2.4.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Asngari (1984) dikutip oleh Sumitra (2003), persepsi dipengaruhi
oleh karakteristik pengalaman masa silam, selain itu juga dipengaruhi oleh karakteristik responden seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan status kependudukan. Selanjutnya Rakhmat (1994) dikutip oleh Sumitra (2003) mengatakan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi persepsi adalah faktor personal dan faktor situasional. Krech dan Crutchfield (1977) sebagaimana dikutip oleh Rakhmat (1994) dalam Sumitra (2003) menyebut faktor personal sebagai fungsi fungsional dan faktor situasional sebagai faktor struktural. Faktor- faktor tersebut dijelaskan oleh Sumitra (2003) sebagai berikut : 1. Faktor personal atau fungsional Dikatakan bahwa menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik seseorang yang memberikan respon pada stimuli. Faktor fungsional yang lazim disebut kerangka rujukan, faktor ini berkaitan dengan persepsi objek, sehingga para psikolog sosial menerapkan konsep ini untuk menjelaskan persepsi sosial. Dalam kegiatan komunikasi, faktor fungsional ini mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya. 2. Faktor situasional atau struktural Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian (attention getter). Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol seperti : gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan. Faktor struktural berasal semata- mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Kohler et al
(1959) dikutip oleh Sumitra (2003) merumuskan prinsip-prinsip yang bersifat struktural
yang
disebut
Prinsip
Gestalt. Menurut
teori
ini
bila
kita
mempersepsikan sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan untuk memahami seseorang, kita harus bisa melihatnya dalam konteksnya, dalam lingkungannya, dan dalam masalah yang dihadapinya. Selanjutnya Robbin (1988) dikutip oleh Yuniarti (2000) menyatakan ada beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
pembentukan
persepsi
selain
juga
memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi antar individu terhadap objek yang sama. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Keadaan pribadi orang yang mempersepsi Adalah faktor yang terdapat dalam diri individu yang mempersepsikan, misalnya kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu dan karakteristik lain yang terdapat dalam diri individu. Adanya faktor fungsional yang dapat menyebabkan perbedaan persepsi pada setiap orang terhadap suatu objek yang sama. 2. Karakteristik target yang dipersepsi Karena target tidak dilihat sebagai suatu yang terisolasi, maka hubungan antar target dan latar belakang serta kedekatan/kemiripan dan hal- hal yang dipersepsi dapat mempengaruhi persepsi seseorang. 3. Konteks situasi terjadinya persepsi Waktu dipersepsinya suatu kejadian juga dapat mempengaruhi persepsi, demikian pula dengan lokasi, cahaya, panas, atau faktor situasional lainnya. Menurut Sumitra (2003), persepsi pada umumnya dipengaruhi oleh faktorfaktor baik internal maupun eksternal. Dengan kata lain persepsi dipengaruhi oleh
faktor personal dan situasional. Faktor personal meliputi; pengalaman, motivasi, kepribadian. Faktor-faktor situasional terdiri dari deskripsi verbal misalnya efek primasi (primacy effect) dan petunjuk-petunjuk non verbal (proksemik, kinesik, fasial, para linguistic, dan petunjuk artifaktual atau appearance).
Hubungan Antara Persepsi dan Perilaku Pengalaman, tingkah laku, dan persepsi merupakan tiga aspek yang saling berhubungan.
Apa
yang
dilakukan
seseorang
tidak
terlepas
dari
caranya
mempersepsikan situasi, mengapresiasikannya atau apa yang ia ingat mengenai hal yang dihadapi (Sadli (1977) dikutip oleh Yuniarti (2000). Hal yang dikemukakan oleh Rahmat (1991), menurutnya perilaku seseorang dalam melakukan komunikasi interpersonal amat bergantung pada persepsi interpersonal orang tersebut.
2.5
Kerangka Pemikiran Awal kecanduan rokok hampir semuanya berawal dari coba-coba, terkait
dengan kondisi lingkungan masyarakat yang selalu mendukung pemikiran tersebut. Budaya yang terjadi di Indonesia saat ini mendorong anak-anak untuk mencoba rokok. Contoh saja, para remaja akan lebih merasa akrab dan percaya diri saat ia bercengkrama dengan menghisap rokok. Budaya merokok di lingkungan umum yang sebebas-bebasnya juga termasuk faktor yang mendorong seseorang untuk mencoba dan ingin tahu bagaimana rasa dari kenikmatan sebatang rokok. Sebagian orang menganggap bahwa rokok mampu menghilangkan stress, teman dalam kesendirian, bahkan ada yang mengatakan sebagai pemuncul ide atau
perangsang logika. Masih banyak asumsi-asumsi tentang rokok yang tetap mampu mendorong masyarakat mempercayainya. Sebagian besar masyarakat sud ah mengerti bahaya dari merokok, karena dalam setiap bungkus rokok tertulis peringatan kesehatan :”merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Peringatan kesehatan ini tidak hanya dicantumkan pada bungk us rokok tetapi media iklan rokok di televisi juga melampirkan peringatan yang sama. Meskipun demikian masih ada yang tidak tahu akan bahaya rokok yang bisa berdampak pada diri sendiri maupun orang lain yang tidak merokok. Masyarakat DKI Jakarta dibuat kaget dengan kebijakan baru bertajuk larangan merokok di tempat umum, yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah mengeluarkan Perda No.2 Tahun 2005 tentang pencemaran udara dan Peraturan Gubernur (Pergub) No.75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok. Kebijakan peraturan larangan merokok ini bertujuan untuk menekan jumlah perokok aktif yang semakin meninggi, menurunkan angka kesakitan atau angka kematian dengan cara merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok, menurunkan dan mencegah perokok pemula, serta mewujudkan generasi muda yang sehat. Namun, selama ini larangan ini belum berlaku efektif karena masih banyak warga Jakarta khususnya para perokok aktif yang belum mematuhi peraturan tersebut. Munculnya peraturan larangan merokok ini menimbulkan berbagai macam reaksi dan persepsi yang berbeda pada perokok aktif.
Karakteristik individu diduga berhubungan dengan persepsi terhadap peraturan larangan merokok. Karakteristik individu yang dilihat dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, motif merokok dan status perkawinan. Pengetahuan tentang dampak merokok diduga berhubungan dengan persepsi terhadap peraturan larangan merokok. Pemahaman terhadap kandungan yang terkandung di dalam rokok, media komunikasi yang mengiklankan rokok dan peringatan kesehatannya serta dampak dari merokok bagi kesehatan, pemahaman inilah ya ng menjadi ukuran pada tingkat pengetahuan tentang dampak merokok. Persepsi
peraturan
larangan
merokok
diduga
berhubungan
dengan
implementasi (penerapan) perilaku merokok, karena munculnya peraturan larangan merokok menimbulkan berbagai macam reaksi yang berbeda pada perokok aktif. Maka diduga perokok aktif yang memiliki persepsi positif terhadap peraturan larangan merokok akan mematuhi peraturan tersebut sesuai dengan tujuannya. Untuk menunjukkan faktor- faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok yang telah dikemukakan di atas dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Persepsi Perokok Aktif Terhadap Larangan Merokok
Karakteristik Individu
Persepsi Peraturan Larangan Merokok
§
Jenis Kelamin
§
Tingkat Pendidikan
§
Tingkat Pendapatan
§
Tujuan peraturan
§
Motif merokok
§
Isi peraturan
§
Status Perkawinan
§
Kebijakan pemerintah
Peraturan
Pengetahuan Tentang Dampak Merokok §
Kandungan rokok
§
Media Komunikasi
§
Dampak Merokok
Implementasi (Penerapan) Perilaku Merokok
Keterangan :
2.6
: Mempengaruhi
Hipotesa Penelitian Hipotesa menurut Surachmad (1990) dalam Suprayogo dan Tobroni (2003)
merupakan sarana untuk menjelaskan permasalahan yang sedang dicarikan pemecahannya. Oleh karena itu, untuk lebih mengarahkan pelaksanaan penelitian ini sehingga dapat menjawab perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dirumuskan secara khusus hipotesa dalam penelitian ini yaitu:
1. Terdapat hubungan nyata antara jenis kelamin dengan persepsi peraturan larangan merokok. 2. Terdapat hubungan nyata antara tingkat pendidikan dengan persepsi peraturan larangan merokok. 3. Terdapat hubungan nyata antara tingkat pendapatan dengan persepsi peraturan larangan merokok. 4. Terdapat hubungan nyata antara motif merokok dengan persepsi peraturan larangan merokok. 5. Terdapat hubungan nyata antara status perkawinan dengan persepsi peraturan larangan merokok. 6. Terdapat hubungan nyata antara tingkat pengetahuan tentang dampak merokok (kandungan rokok, media komunikasi, dampak merokok) dengan persepsi peraturan larangan merokok. 7. Terdapat hubungan nyata antara persepsi peraturan larangan merokok dengan implementasi (penerapan) perilaku merokok pada peraturan larangan merokok.
2.7
Definisi Operasional Berikut ini diuraikan definisi operasional dari variabel- variabel yang
digunakan dalam penelitian guna memperoleh batasan yang jelas. 1. Karakteristik individu : Suatu kondisi yang menggambarkan kondisi seseorang yang terkait langsung dengan diri individu, terdiri atas variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan dan motif merokok.
•
Jenis kelamin, yaitu perbedaan individu berdasarkan kondisi biologis. Jenis kelamin dibedakan menjadi dua kategori, yaitu : a. Laki- laki, kode 1 b. Perempuan, kode 2
•
Tingkat pendidikan, yaitu pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh seseorang yang diuk ur berdasarkan jenjang pendidikan formal. Tingkat pendidikan diukur dalam skala ordinal : tidak pernah sekolah, SD/sederajat, SLTP/sederajat, SLTA/sederajat, dan perguruan tinggi.
•
Pendapatan, yaitu penghasilan yang diperoleh setelah bekerja selama sebulan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pendapatan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu : a. Pendapatan rendah : < Rp 500.000 b. Pendapatan sedang : Rp 500.000 – Rp 1.000.000 c. Pendapatan tinggi : > Rp 1.000.000
•
Motif, yaitu faktor awal yang mendorong seseorang berkeinginan untuk merokok, dibedakan menjadi lima kategori yaitu : ingin coba-coba, pengaruh orangtua merokok, pengaruh teman merokok, pengaruh iklan/TV dan gaya hidup. Motif merokok ini dipilih sebagai alasan seseorang mulai menjadi perokok, dimana lima kategori ini dipilih salah satunya. Pada kategori yang dipilih diberi skor 1 dan kategori yang tidak dipilih diberi skor 0, kemudian skor untuk setiap kategori tersebut dijumlah.
•
Status Perkawinan, yaitu ikatan rumahtangga yang didasarkan pada undangundang negara dan hukum agama. Status perkawinan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu : a. Belum menikah, kode 1 b. Menikah, kode 2
2. Pengetahuan dampak merokok, menunjukkan tinggi atau rendahnya pengetahuan perokok aktif tentang kandungan yang terkandung dalam rokok dan dampaknya pada kesehatan. Tingkat pengetahuan diukur dengan skala ordinal yang dikategorikan menjadi tinggi, sedang dan rendah, semakin banyak perokok aktif mengetahui tentang rokok dan dampaknya pada kesehatan maka tingkat pengetahuannya akan tinggi, begitu pula sebaliknya jika perokok aktif banyak tidak tahu tentang rokok dan dampaknya pada kesehatan maka tingkat pengetahuannya akan rendah. Pengukuran untuk pengetahuan dampak merokok dilakukan dengan mengajukan 20 pernyataan. Skor setiap pilihan adalah sebagai berikut : T = Tahu
TT = Tidak Tahu
Pada pernyataan yang mengukur nilai positif, “Tahu” diberi skor 3, dan “Tidak Tahu” diberi skor 1. Pada pernyataan yang mengukur nilai negatif, “Tahu” diberi skor 1, dan “Tidak Setuju” diberi skor 3. Pengetahuan dampak merokok dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu : Skor : a. Rendah
: 20-33
b. Sedang
: 34-47
c. Tinggi
: 48-60
3. Persepsi terhadap perda larangan merokok : Pandangan, gambaran, atau penilaian perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok yang meliputi keefektifan dalam pelaksanaan peraturan larangan merokok pada masyarakat. Persepsi diukur dengan 10 pertanyaan dimana responden yang menjawab “Tidak setuju” untuk satu pernyataan diberi skor 1, responden yang menjawab “Setuju” untuk sa tu pernyataan diberi skor 2, kemudian skor untuk setiap pernyataan tersebut dijumlahkan. Skor persepsi terhadap perda larangan merokok dikategorikan menjadi dua, yaitu : a. Tidak setuju, skor 10-14 b. Setuju, skor 15-20 4. Implementasi (penerapan) perilaku merokok, yaitu tindakan responden untuk merokok atau tidak merokok. Penerapan perilaku ini ditunjukkan dengan tindakan responden saat merokok di lingkungan keluarga dan sekitarnya. Implementasi (penerapan) perilaku merokok dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu : a. Mentaati b. Kadang-kadang c. Tidak mentaati
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Kelurahan Pela Mampang yang terletak
di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Wilayah Kelurahan Pela Mampang berbatasan dengan Kelurahan Kuningan Barat di sebelah utara, Kecamatan Kebayoran Baru di sebelah barat, Kelurahan Mampang Prapatan, Tegal Parang dan Kecamatan Pancoran di sebelah timur, dan Kelurahan Bangka di sebelah selatan. Lokasi
penelitian
dipilih
secara
sengaja
(purposive),
berdasarkan
pertimbangan : 1) lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti untuk memperoleh data dan informasi karena keterbatasan pada tenaga, biaya dan waktu; dan 2) wilayah tersebut memiliki jumlah perokok aktif cuk up banyak dan memiliki karakteristik individu yang ragam. Pengumpulan data di lapangan berlangsung selama dua bulan dimulai pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2007.
3.2
Penentuan Sampel Kuesioner diberikan kepada 100 responden khususnya perokok aktif yang
tinggal di wilayah Kelurahan Pela Mampang. Kelurahan Pela Mampang terdiri dari lima lingkungan, yaitu Kemang Raya, Kemang Selatan, Kemang Utara, Kemang Timur, dan Bangka Raya. Kelurahan Pela Mampang memiliki 13 RW, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 8.919. Penentuan sampel diperoleh berdasarkan
daftar nomor urut kependudukan dimana sampel diambil dengan nomor urut kelipatan 10. Jika pada saat pengambilan sampel didapatkan sampel bukan perokok aktif maka nomor urut diteruskan pada nomor berikutnya. Jumlah responden diperoleh berdasarkan rumus Slovin yang dikutip oleh Syahyuni (1999), yaitu :
n =
N 1 + N(e)2
Dimana :
n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih ditolerir atau diinginkan.
Jumlah penduduk di wilayah Kelurahan Pela Mampang sebanyak 8.919 Kepala Keluarga (KK) dengan luas wilayah 1,62 km2 . Persen kelonggaran ketelitian yang diinginkan adalah 10 persen, maka jumlah sampel yang diperlukan :
n = _____8.919_____ = _8.919_ = 98,89 ˜ 100 1 + 8.919(0.1)2
90,19
Dengan demikian, jumlah responden yang diambil sebanyak 100 orang. Sampel sebanyak 100 orang perokok aktif ini dianggap sud ah mewakili populasi yang
ada, karena dalam pengolahan data analisis statistik yang dibutuhkan minimal 30 sampel (Singarimbun dan Effendi, 1995).
3.3
Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian yang dipakai dalam penelitian ini berupa sumber data
primer dan sekunder. Data primer didefinisikan sebagai data yang didapat dari sumber pertama. Data sekunder adalah data primer yang telah diolah dalam bentuk lebih lanjut. Sumber data primer utama dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan kuesioner ya ng meliputi karakteristik individu atau responden, pengetahuan tentang dampak merokok dan persepsi peraturan larangan merokok. Mengingat penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, maka sumber data manusia diistilahkan dengan responden. Selain itu sumber data primer dalam penelitian ini dapat berupa data hasil pengamatan terhadap perilaku merokok para perokok aktif yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Hal ini didasari bahwa melalui pengamatan, peneliti dapat melakukan pemeriksaan silang (cross check) terhadap informasi verbal yang didapat dari responden. Sumber data sekunder penelitian ini berupa data gambaran umum tempat penelitian dilaksanakan, yaitu data dari kantor Kelurahan Pela Mampang. Data sekunder dimaksudkan untuk memenuhi dan melengkapi data.
3.4
Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode penelitian
kuantitatif yang didukung oleh data-data kualitatif. Adapun metode penelitian kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun dan Effendi, 1995). Data kuantitatif diperoleh juga dari data-data dokumen dari instasi terkait. Metode pengumpulan data pendukung dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur, melalui metode ini data diperoleh dengan cara bertanya langsung kepada informan dengan menggunakan panduan pertanyaan (Singarimbun dan Effendi, 1995). Dalam menguatkan hasil penelitian digunakan data kualitatif, yang digunakan untuk menjelaskan lebih lanjut informasi dalam mendukung metode penelitian kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari informan dan beberapa kasus responden terpilih. Setelah diperoleh dua jenis data yaitu data kuantitatif dan data kualitatif, data tersebut dapat dikelompokkan menjadi data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang berupa hasil jawaban responden dan informasi yang diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil kuesioner dan wawancara mendalam, yang diperkirakan peneliti dapat menjawab pertanyaan peneliti atau mendekati keinginan peneliti. Wawancara mendalam dilakukan untuk memperdalam kesimpulan yang diperoleh dari analisa statistik. Data sekunder didapatkan melalui analisa dokumen yang berupa data gambaran umum tempat penelitian dilaksanakan, yaitu data dari kantor Kelurahan Pela Mampang.
3.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan secara manual dan dengan bantuan komputer,
terdiri atas tiga kegiatan yaitu: penyuntingan (editing), dengan memeriksa kembali setiap lembar kuesioner untuk memastikan bahwa setiap pertanyaan telah diisi dengan baik oleh setiap responden, kemudian pengkodean (coding), yaitu melakukan pengkodean pada setiap jawaban responden dalam kuesioner, dan tabulasi (tabulating), yaitu dengan memasukkan data yang telah dikoding ke dalam bentuk tabel-tabel manual dan kemudian diolah dengan menggunakan software komputer berupa program SPSS 12.0 untuk Windows. Untuk menguji ada tidaknya hubungan antar variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh dimana salah satu variabel minimal nominal dilakukan uji statistik Chi-Square atau Kai-Kuadrat. Untuk menguji ada tidaknya hubungan antar variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh dimana salah satu variabel minimal ordinal dilakukan uji korelasi Rank Spearman. Uji statistik Chi-Square dan uji korelasi Rank Spearman diperoleh dengan bantuan program SPSS 12.0
3.6
Penafsiran Data Setelah dianalisis, langkah selanjutnya adalah menafsirkan atau memaknai
hasil analisis tersebut. Penafsiran atau pemaknaan hasil analisis tersebut bertujuan untuk menarik kesimpulan penelitian. Penarikan kesimpulan ini didasarkan atas perumusan masalah yang difokuskan secara lebih spesifik dalam bentuk hipotesa penelitian. Hasil analisis ini merupakan jawaban dari perumusan masalah penelitian
yang telah ditetapkan berupa bab-bab pembahasan masalah yang terepresentasi dalam rancangan outline skripsi.
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1
Provinsi DKI Jakarta Jakarta merupakan Ibukota Republik Indonesia, sebuah negara kepulauan
dengan sekitar 13.000 pulau dan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kebhinekaan dalam suku bangsa, bahasa, budaya, serta adat dan agama. Kebhinekaan tersebut tercermin pula di ibukota negara, Jakarta. Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6°12' Lintang Selatan dan 106°48' Bujur Timur. Luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1227 tahun 1989 adalah berupa daratan seluas 661,52 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2 , terdapat tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu dan terdapat pula sekitar 27 buah sungai/saluran/kanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. Di sebelah utara membentang pantai dari Barat ke Timur sepanjang ± 35 kilo meter yang menjadi tempat bermuaranya sembilan buah sungai dan dua buah kanal, sementara di sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Barat, sebelah Barat dengan Provinsi Banten, sedangkan di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.
Wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima Wilayah Kotamadya dan 1 Kabupaten Administratif yaitu Kotamadya : Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Pembagian wilayah administrasi pemerintahannya adalah sebagai berikut : §
Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2 .
§
Kotamadya Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2 .
§
Kotamadya Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2 .
§
Kotamadya Jakarta Utara dengan luas 142,30 km2 .
§
Kotamadya Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2 .
§
Kabupaten Kepulauan Seribu dengan luas 11,71 km2. Keadaan iklim kota Jakarta secara umum beriklim panas dengan suhu
maksimum 30,8°C pada siang hari dan suhu minimum udara berkisar 26,1°C pada malam hari. Jumlah penduduk Propinsi DKI Jakarta berdasarkan data BPS tahun 2005 sebesar 8.603.776 dengan rincian 4.312.158 orang penduduk Laki- laki, 4.291.618 orang penduduk Wanita, yang tersebar di lima Kotamadya dan satu Kabupaten, 44 Kecamatan, 267 Kelurahan, 2.657 Rukun Warga dan Rukun Tetangga 29.769 serta Rukun Warga Kumuh (slum areas) berjumlah 561. Pertumbuhan penduduk 1,26% per tahun dan tingkat kepadatan penduduk sebesar 13.006 orang per km2 lahan.
4.2
Kotamadya Jakarta Selatan Luas wilayah Kotamadya Jakarta Selatan adalah 145,73 km2 . Wilayah
Kotamadya Jakarta Selatan secara administrasi meliputi 10 Kecamatan yang terdiri
dari 65 Kelurahan. Kelurahan merupakan ujung tombak pelayanan Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta Selatan kepada masyarakat. Persebaran 65 kelurahan tersebut adalah tujuh kelurahan di Kecamatan Tebet, delapan kelurahan di Kecamatan Setiabudi, lima kelurahan di Kecamatan Mampang Prapatan, sepuluh kelurahan di Kecamatan Kebayoran Baru, lima kelurahan di Kecamatan Cilandak, tujuh kelurahan di Kecamatan Pasar Minggu, lima kelurahan di Kecamatan Pesanggrahan, enam kelurahan di Kecamatan Pancoran dan enam kelurahan di Kecamatan Jagakarsa. Nama- nama kecamatan dan jumlah kelurahan di Kotamadya Jakarta Selatan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persebaran Kelurahan Kotamadya Jakarta Selatan LUAS (Km2 ) KELURAHAN Tebet 9,53 7 Setiabudi 9,05 8 Mampang Prapatan 7,74 5 Pasar Minggu 21,91 7 Kebayoran Lama 19,31 6 Cilandak 18,20 5 Kebayoran Baru 12,91 10 Pancoran 8,23 6 Jagakarsa 25,38 6 Pesanggrahan 13,47 5 TOTAL 145,73 65 Sumber : Data Kelurahan Pela Mampang (2007) KECAMATAN
RW 81 49 35 65 74 44 85 42 54 48 577
RT 950 511 396 723 839 461 683 456 537 509 6.065
Kecamatan Setiabudi, Kecamatan Tebet dan sebagian Kecamatan Mampang Prapatan merupakan bagian wilayah Jakarta Selatan yang berkembang sangat pesat sebagai pusat kegiatan perekonomian seperti perdagangan jasa dan perkantoran.
Nama- nama kelurahan yang termasuk dalam kecamatan Mampang Prapatan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Persebaran Kelurahan di Kecamatan Mampang Prapatan KELURAHAN LUAS (Km2 ) Kuningan Barat 0,98 Mampang Prapatan 0,78 Pela Mampang 1,62 Tegal Parang 1,06 Bangka 3,30 TOTAL 7,74 Sumber : Data Kelurahan Pela Mampang (2007)
4.2.1 §
KK 2.400 3.211 8.919 4.290 4.375 23.195
RT 46 71 150 64 65 396
RW 5 6 13 6 5 35
Visi dan Misi Jakarta Selatan
Visi Mewujudkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang sejajar
dengan kota-kota besar Negara maju dunia, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkembang. §
Misi Mempertahankan wilayah bagian selatan Jakarta Selatan sebagai daerah
resapan air serta mewujudkan wilayah bagian utara Jakarta Selatan sebagai pusat niaga terpadu.
4.2.2
Kelurahan Pela Mampang Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Pela Mampang yang terletak di
Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Wilayah Kelurahan Pela Mampang berbatasan dengan Kelurahan Kuningan Barat di sebelah Utara, Kecamatan
Kebayoran Baru di sebelah Barat, Kelurahan Mampang Prapatan, Tegal Parang dan Kecamatan Pancoran di sebelah Timur, dan Kelurahan Bangka di sebelah Selatan. Kelurahan Pela Mampang terdiri dari lima lingkungan, yaitu Kemang Raya, Kemang Selatan, Kemang Utara, Kemang Timur, dan Bangka Raya. Kelurahan Pela Mampang memiliki luas wilayah ± 1,62 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 8.919 kepala keluarga dan terbagi dalam 150 RT dan 13 RW. Kelurahan Pela Mampang merupakan kawasan hiburan dan perkantoran karena sepanjang wilayah ini berdiri restaurant, café dan kantor. Kawasan Kemang merupakan kawasan hiburan karena sepanjang wilayah Kemang dipenuhi tempat-tempat café, bar, restaurant dan boutique. Tempat hiburan di kawasan Kemang dibuka dari jam 9.00 pagi hingga jam 3.00 pagi. Gaya hidup moderenisasi dapat dijumpai di kawasan ini karena warga negara asing banyak yang tinggal sebagai penduduk tetap. Banyaknya warga negara asing yang menetap memberi dampak pada munculnya bar, tempat ini menyediakan minuman alkohol, ruangan khusus untuk clubbing, dan bebas merokok. Munculnya tempat hiburan ini memberi dampak negatif pada penduduk disekitarnya seperti salah satunya meningkatnya jumlah perokok aktif. Berdasarkan keterangan penduduk yang tinggal di Kelurahan Pela Mampang, mulanya kawasan Kemang belum menjadi kawasan hiburan tetapi semenjak warga negara asing mulai banyak yang tinggal sebagai penduduk tetap para penduduk mulai meraup rezeki dengan membuka restaurant. Setelah banyak restaurant yang berd iri diikuti dengan munculnya bar dan boutique, bisnis hiburan ini kebanyakan dikelola oleh penduduk sekitar dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan warga asing.
Kebudayaan barat berbeda dengan kebudayaan di Indonesia karena bisnis ini bercondong pada kebudayaan barat maka munculnya tempat-tempat hiburan di kawasan Kemang memberi dampak negatif pada penduduk di sekitarnya seperti banyak tempat yang menjual minuman keras dan segala macam jenis rokok. Hal ini seperti dikemukakan oleh seorang responden (T) : “Karena disini lingkungannya banyak orang asing makanya Kemang udah seperti kota kecil lengkap dengan pusat hiburan seperti bar, di Kemang kalau mau cari rokok dari luar negeri banyak” (T 65 tahun, Laki-laki).
4.3
Gambaran Perokok Aktif Perokok aktif adalah individu yang benar-benar memiliki kebiasaan merokok.
Merokok sudah menjadi bagian hidupnya sehingga rasanya tidak enak kalau sehari tidak merokok. Penduduk di Kelurahan Pela Mampang sebagian besar adalah perokok aktif, baik laki- laki maupun wanita. Munculnya tempat-tempat hiburan di sekitar kawasan Pela Mampang telah memberi dampak negatif yaitu meningkatnya jumlah perokok aktif. Perokok aktif dapat di jumpai di setiap sudut sarana umum karena tempat khusus untuk merokok tidak ada. Mudahnya para perokok membeli rokok dikarenakan setiap tempat hiburan menjual berbagai jenis rokok dan di setiap sudut jalan terdapat warung rokok. Sebagian besar para perokok menghilangkan stress dan mencari ide dengan cara merokok. Bagi para perokok, rokok adalah penyelamat dalam kebimbangan walaupun hanya sekejap. Para perokok rela mengeluarkan uang cukup banyak untuk membeli rokok asalkan kebutuhan jiwa terpenuhi. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang responden (RT) :
“Kalau sudah ga bisa mikir rokok wajib dihisap biar ide muncul lagi. Kalau ga ngisap bakal linglung kaya’ orang lupa ingatan” (RT 32 tahun, laki- laki).
4.4
Gambaran Umum Responden
4.4.1
Karakteristik Individu Perokok Aktif Responden yang dipilih merupakan perokok aktif yang tinggal di Kelurahan
Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Propinsi DKI Jakarta. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 orang. Ada lima karakteristik individu yang diamati dalam penelitian ini antara lain jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, motif merokok dan status perkawinan. Untuk lebih jelasnya, kelima identitas responden tersebut akan diuraikan di bawah ini.
4.4.1.1 Jenis Kelamin Perokok Aktif Jenis kelamin merupakan perbedaan individu perokok aktif yang dibedakan menjadi laki- laki dan perempuan. Data jenis kelamin perokok aktif pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perokok aktif laki- laki lebih banyak daripada perokok aktif perempuan. Jumlah perokok aktif laki- laki sebanyak 85 orang atau 85 persen, sedangkan jumlah perokok aktif perempuan sebanyak 15 orang atau 15 persen.
Tabel 5. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki- laki
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
85
85
Perempuan
15
15
Total
100
100
Melalui wawancara yang dilakukan pada responden perokok aktif perempuan, diperoleh keterangan alasan responden menjadi perokok aktif dimana responden mengkaitkannya dengan emansipasi wanita bahwa perempuan sejajar dengan laki- laki dalam melakukan hal- hal yang menjadi kebiasaan laki- laki salah satunya yaitu merokok. Responden MS menyatakan merokok merupakan hak asasi manusia baik laki- laki maupun perempuan, seperti yang diungkapkannya di bawah ini : “Zaman moderen sekarang ini zaman emansipasi bagi wanita dan ga ada larangan perempuan untuk tidak merokok. Perempuan dan lakilaki punya hak yang sama untuk merokok dan melakukan tugas yang biasa dilakukan laki- laki” (MS 24 tahun, Perempuan).
4.4.1.2 Tingkat Pendidikan Data tingkat pendidikan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa perokok aktif dengan tingkat pendidikan akhir perguruan tinggi sebanyak 56 orang atau 56 persen. Responden perokok aktif dengan tingkat pendidikan akhir SLTA/sederajat sebanyak 29 orang atau 29 persen sedangkan tingkat pendidikan akhir SLTP/sederajat sebanyak enam orang atau 6 persen. Sisanya sebanyak 5 persen atau lima orang responden dengan tingkat pendidikan akhir SD/sederajat dan 4 persen atau 4 orang responden tidak sekolah. Berdasarkan data Tabel 6 terlihat bahwa sebagian besar responden berlatar pendidikan perguruan tinggi dikarenakan responden menyatakan menjadi perokok aktif saat dibangku kuliah (kampus). Bagi para responden saat menjadi
mahasiswa/mahasiswi beban tigas kuliah yang dihadapi sangat berat dan cara yang dipakai untuk menghilangkan kepenatan dengan merokok, walaupun responden mengetahui akan dampak dari merokok. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh responden (R) : “Jadi perokok waktu masih kuliah, gara-garanya sih sepele, pusing sama tugas kuliah yang bejibun aja. Ya dari pada mabuk-mabukan mending ngerokok aja kan ga terlalu parah banget” (R 27 tahun, Laki-laki).
Tabel 6. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Tidak Sekolah
4
4
SD/sederajat
5
5
SLTP/sederajat
6
6
SLTA/sederajat
29
29
Perguruan Tinggi
56
56
Total
100
100
4.4.1.3 Tingkat Pendapatan Pendapatan merupakan penghasilan yang diperoleh setelah bekerja selama sebulan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa cukup beragam tingkat pendapatan yang diperoleh para responden. Kisaran pendapatan yang dimiliki responden yang terbanyak adalah lebih dari Rp1.000.000 sebanyak 43 orang (43 persen). Responden yang memiliki pendapatan antara
Rp500.000 – Rp1.000.000 sebanyak 40 orang atau 40 persen sedangkan responden berkategori pendapatan rendah di bawah Rp500 ribu per bulannya sebanyak 17 orang atau 17 persen.
Tabel 7. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan Pendapatan
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Rendah (
17
17
Sedang (Rp500.000 – Rp1.000.000)
40
40
Tinggi (>Rp1.000.000)
43
43
Total
100
100
Data Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar perokok aktif memiliki pendapatan tinggi yaitu lebih dari Rp 1.000.000. Melalui wawancara yang dilakukan pada responden, diperoleh keterangan bahwa dengan pendapatan yang tinggi mereka dapat menyisakan uang pendapatan yang lumayan untuk membeli rokok. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh seorang responden (M) : “Harga rokok sekarang makin mahal nggak seperti dulu. Kalau cuma ngandelin uang gaji yang Rp 1 juta mana kuat buat beli rokok makanya saya harus nyari usaha sampingan. Seminggu paling ngga bisa habis Rp 50 ribu buat beli rokok aja”
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa perokok aktif dengan pendapatan rendah sering membeli rokok dalam bentuk eceran (ketengan) karena harga dalam eceran sangat terjangkau bagi perokok aktif yang berpendapatan rendah. Hal ini diungkapkan oleh UD yang berpendapat sebagai berikut :
“Untung warung-warung kecil banyak yang jual rokok ketengan kalo ga ada wah bisa kecut nih mulut, pendapatan sehari aja cuma bisa beli lima batang rokok. Saya sih berharap mudah- mudahan harga rokok ga naik mulu, bingung buat nyisain uang untuk beli rokok. Kalau uang dikantong lagi nipis biasanya saya beli rokok kretek yang ga bermerek, lumayanlah murah yang penting mulut bisa ngisap.”
4.4.1.4 Motif Merokok Motif merokok merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk merokok. Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa 25 orang responden atau 25 persen dari jumlah 100 responden perokok aktif, memilih motif coba-coba. Responden yang memilih motif pengaruh orangtua merokok sebanyak 24 orang atau 24 persen sedangkan responden yang memilih motif pengaruh teman merokok sebanyak 20 orang atau 20 persen dari jumlah 100 responden perokok aktif. Sebanyak sembilan orang (9 persen) dari jumlah 100 responden memilih motif pengaruh iklan/TV dan 22 orang (22 persen) dari jumlah 100 responden perokok aktif memilih motif gaya hidup.
Tabel 8. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Motif Merokok Motif Merokok
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Coba-coba
25
25
Pengaruh Orangtua Merokok
24
24
Pengaruh Teman Merokok
20
20
Pengaruh Iklan/TV
9
9
Gaya Hidup
22
22
Total
100
100
Data tersebut menunjukkan bahwa responden perokok aktif menyatakan mereka menjadi perokok karena keinginan untuk coba-coba, pengaruh orangtua yang merokok dan pengaruh teman yang merokok. Hal ini diungkapkan salah seorang responden (R) yang menjadi perokok aktif karena pengaruh teman merokok : “Pengaruh teman yang merokok lebih cepat ngerubah kita jadi perokok aktif, apalagi pas lagi nongkrong sama teman-teman semuanya pada ngerokok trus salah satunya ga ngerokok pasti diledekin mulu deh. Mau ga mau yang ga ngerokok jadi ikut- ikutan ngerokok.” (R, 24 tahun, Laki- laki).
Bagi para responden rasa ingin coba-coba untuk mulai merokok lebih besar muncul pada individu yang belum pernah merokok dan dalam kesehariannya hidup berdampingan dengan perokok aktif. Selain itu beberapa responden yaitu MS, AP dan AA memberikan pernyataan bahwa mereka menjadi perokok aktif karena pengaruh orangtua yang merokok, seperti yang diungkapkan salah satu responden AA sebagai berikut : “Bapak dan ibu saya merokok di rumah, kami sebagai anak-anaknya tidak pernah dilarang merokok kok. Kata Bapak, Saya kalo merokok boleh saja asal jangan minum-minuman keras.”
Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa motif gaya hidup juga menjadi pilihan pengaruh responden menjadi perokok. Hal ini dikarenakan merokok dikalangan anak muda dianggap sebagai hal yang moderen, mereka menilai bagi yang tidak merokok dianggap sebagai orang yang tidak moderen, seperti yang diungkapkan oleh responden (S) : “Zaman anak muda sekarang beda sama zaman babe gue, merokok pas zaman babe gue jadi hal yang tabu kalau sekarang mah hal yang wajib, kalo kaga ngerokok gak bakal bisa jadi orang moderen kan
moderen itu hidup bebas berekspresi. Anak muda kan kudu bebas berekspresi.”
4.4.1.5 Status Perkawinan Status perkawinan merupakan ikatan rumah tangga yang didasarkan pada undang-undang negara dan hukum agama. Data status perkawinan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa perokok aktif dengan status belum menikah sebanyak 34 orang atau 34 persen dan perokok aktif dengan status menikah sebanyak 66 orang atau 66 persen. Responden dengan status menikah diantaranya menjadi perokok aktif setelah menikah dan sebagian besar responden menjadi perokok aktif sebelum menikah. Melalui hasil wawancara dengan responden yang menjadi perokok aktif setelah menikah diperoleh keterangan dari AD yang menyatakan alasannya menjadi perokok untuk menghilangkan pikiran selama bekerja, seperti yang diungkapkan di bawah ini : “Saya mulai merokok setelah menikah, kalau sudah menikah yang dipikirin tambah banyak ya soal kerjaan, istri dan anak. Pikiran ini yang bikin saya tergoda buat ngerokok. Awalnya teman kantor bilang kalau merokok bisa sedikit membantu menghilangkan pikiran di kepala, setelah saya mencoba merokok memang merokok cukup membantu untuk menghilangkan stress”
Jadi berdasarkan pernyataan tersebut diketahui tujuannya bahwa responden yang menjadi perokok setelah menikah untuk menghilangkan pikiran dan penat setelah beraktivitas.
Tabel 9. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Status Perkawinan Status Perkawinan
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Belum Menikah
34
34
Menikah
66
66
Total
100
100
4.4.2
Tingkat Pengetahuan Data tingkat pengetahuan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar
responden perokok aktif memiliki pengetahuan tentang dampak merokok pada kategori sedang, yaitu sebanyak 89 orang atau 89 persen. Responden perokok aktif dengan kategori pengetahuan rendah sebanyak 4 orang atau 4 persen dan responden perokok aktif dengan kategori pengetahun tinggi sebanyak 7 orang atau 7 persen.
Tabel
10.
Frekuensi dan Persentase Responden Pengetahuan Mengenai Dampak Merokok
Tingkat Pengetahuan
Frekuensi (Orang)
Berdasarkan
Tingkat
Persentase (%)
Rendah
4
4
Sedang
91
91
Tinggi
5
5
Total
100
100
Berdasarkan data Tabel 10 responden perokok aktif sesungguhnya tahu akan bahaya merokok untuk kesehatan tetapi peringatan kesehatan yang terlampir di setiap bungkus rokok tidak bisa menjadi ajakan para responden untuk berhenti merokok. Hal ini seperti dikemukakan oleh responden (S) : “Peringatan bahaya rokok ada dimana- mana, contohnya di bungkus rokok. Tiap beli juga kebaca tulisannya cuma ya mau gimana susah mau berhentinya, paling-paling nanti kalau udah sakit trus dokter nyaranin untuk berhenti ya saya baru berhenti ngerokok”
4.4.3
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Persepsi responden perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok
mencakup pandangan, gambaran dan penilaian terhadap isi dan pelaksanaan pada peraturan larangan merokok yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden perokok aktif memiliki persepsi tidak setuju terhadap peraturan larangan merokok yang berjumlah 77 orang atau 77 persen dan perokok aktif yang memiliki persepsi setuju pada peraturan larangan merokok sebanyak 23 orang atau 23 persen.
Tabel 11. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Perseps i Terhadap Peraturan Larangan Merokok Persepsi
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Tidak Setuju
77
77
Setuju
23
23
Total
100
100
Berdasarkan hasil jawaban responden melalui kuesioner dan wawancara yang diperoleh di lapangan diperoleh keterangan bahwa sebagian besar responden tidak setuju pada peraturan larangan merokok. Hal ini dikarenakan responden merasa dengan adanya peraturan larangan merokok secara tidak langsung ruang lingkup perokok aktif dibatasi. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang responden (OP) : “Sebelum ada peraturan larangan merokok dimana - mana bisa bebas merokok. Nah sekarang kalo mau merokok harus cari ruangan khusus untuk merokok jadi ribet rasanya. Mending ruangannya enak, lha tempatnya aja seperti penjara. Satu gedung kantor ini aja cuma disediain satu ruangan khusus merokok, ya mana muat untuk orang banyak” (OP 32 tahun, Laki- laki). Persepsi tidak setuju responden pada peraturan larangan merokok juga dikarenakan jumlah denda yang terlalu besar serta sosialisasi pemerintah tentang peraturan larangan merokok kepada masyarakat kurang jelas sehingga banyak para perokok aktif kurang mengerti pada maksud dan tujuannya. Hal ini seperti diungkapkan oleh responden (UD): “Saya ini khan kerjanya tidak di kantor cuma wiraswasta di rumah yang pasti dirumah ga ada ruangan khusus buat ngerokok. Ya kalau mau ngerokok cari tempat aja yang jauh dari anak-anak kecil. Saya cuma bingung, tempat mana aja yang dilarang untuk merokok soalnya ga jelas sih pemberitahuannya. Kita-kita ini kan orang awam, nah kita mah taunya gedung-gedung bertingkat aja yang ga dibolehin ngerokok didalamnya. Tapi saya kemaren liat koran kok orang yang lagi jalan di daerah Thamrin didenda ya ma petugas, saya jadi takut kalau mau ngerokok ya takut didenda aja”
BAB V HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU, TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN PERSEPSI PERATURAN LARANGAN MEROKOK
5.1
Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok
5.1.1
Hubungan Antara Jenis Kelamin Individu dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden laki- laki
(77%) cenderung menunjukkan keyakinan tidak setuju terhadap peraturan larangan merokok di tempat umum. Sebagian besar responden perempuan (80%) juga tidak setuju dengan peraturan tersebut. Hal ini menggambarkan keyakinan bahwa perokok aktif laki- laki dan perempuan sama-sama memiliki persepsi tidak setuju terhadap peraturan larangan merokok. Dengan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai P Value sebesar 0,765. Nilai ini lebih besar dari 0,10. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan persepsi peraturan larangan merokok. Perokok aktif laki- laki maupun perempuan cenderung memiliki persepsi tidak setuju karena merasa memiliki hak yang sama untuk merokok dan dengan adanya peraturan larangan merokok hak perokok aktif untuk merokok dibatasi. Hal tersebut dikarenakan perokok aktif belum mengerti sepenuhnya pada tujuan peraturan larangan merokok.
Tabel 12. Persepsi Peratura n Larangan Merokok Berdasarkan Jenis Kelamin Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Total
Jenis Kelamin Laki- laki
65 (77)
20 (23)
85 (100)
Perempuan
12 (80)
3 (20)
15 (100)
77
23
100
Total Keterangan : X2 hitung = 0,765 ; a = 0,10
5.1.2
Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa responden dengan pendidikan akhir
perguruan tinggi sebagian besar cenderung menunjukkan persepsi tidak setuju yaitu sebanyak 43 orang (77%) sedangkan responden yang tidak sekolah cenderung menunjukkan persepsi tidak setuju yaitu sebanyak 100%. Responden perokok aktif dengan pendidikan akhir perguruan tinggi mengerti pada tujuan peraturan larangan merokok sedangkan responden tidak sekolah seluruhnya tidak mengerti pada tujuan peraturan larangan merokok. Hal ini menggambarkan bahwa tidak ada perbedaan antara responden tidak sekolah dengan responden berlatar belakang pendidikan perguruan tinggi dimana sama-sama memiliki persepsi tidak setuju pada peraturan larangan merokok. Dengan uji statistik korelasi Rank Spearman diperoleh nilai probability (P) sebesar 1,00. Nilai ini lebih besar dari 0,10 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hal ini dikarenakan perokok aktif dengan tingkat pendidikan akhir
perguruan tinggi memiliki persepsi tidak setuju pada peraturan larangan merokok karena merokok sudah menjadi kebiasaan dan dengan adanya peraturan larangan merokok perokok aktif merasa ruang lingkup untuk merokok dibatasi.
Tabel 13. Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat Pendidikan Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Total
Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah
4 (100)
0 (0)
4 (100)
SD/sederajat
3 (60)
2 (40)
5 (100)
SLTP/sederajat
4 (67)
2 (33)
6 (100)
SLTA/sederajat
23 (80)
6 (20)
29 (100)
Perguruan Tinggi
43 (77)
13 (23)
56 (100)
77
23
100
Total
Keterangan : Probabilitas = 1,00; koefisien korelasi = 0,00
5.1.3
Hubungan Antara Pendapatan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa responden dengan tingkat
pendapatan rendah, sedang dan tinggi cenderung menunjukkan persepsi tidak setuju yaitu sebanyak 70%, 82% dan 75%. Hal ini menggambarkan keyakinan bahwa perokok aktif memiliki persepsi tidak setuju pada peraturan larangan merokok dan pendapatan yang diperoleh setiap bulan tidak mempengaruhi dalam mengurangi kebiasaan merokok. Merokok bagi responden sudah menjadi kebiasaan dan untuk mengurangi kebiasaan merokok memerlukan waktu yang cukup lama.
Dengan uji statistik korelasi Rank Spearman diperoleh nilai probability (P) sebesar 0,895. Nilai ini lebih besar dari 0,10 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan persepsi peraturan larangan merokok. Hal tersebut menunjukkan bahwa merokok sudah menjadi kebiasaan dan dengan adanya peraturan larangan merokok perokok aktif merasa ruang lingkup untuk merokok dibatasi dan ketentuan mengenai sanksi pidana yang dibuat terlalu berat.
Tabel 14. Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat Pendapatan Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Total
Pendapatan Rendah
12 (70)
5 (30)
17 (100)
Sedang
33 (82)
7 (18)
40 (100)
Tinggi
32 (75)
11 (25)
43 (100)
Total
77
23
100
Keterangan : Probabilitas = 0,895; koefisien korelasi = 0,013
5.1.4
Hubungan Antara Motif Merokok dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok Motif merokok yaitu faktor awal yang mendorong seseorang berkeinginan
untuk merokok. Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa responden dengan motif coba-coba, pengaruh teman merokok, pengaruh iklan/TV dan gaya hidup cenderung menunjukkan persepsi tidak setuju yaitu sebanyak 88% (22 orang), 95% (19 orang), 89% (8 orang), dan 78% (17 orang) sedangkan responden dengan motif pengaruh orangtua merokok cenderung menunjukkan persepsi setuju pada peraturan larangan
merokok yaitu sebanyak 54% (13 orang). Hal ini menggambarkan bahwa responden dengan motif pengaruh orangtua merokok memiliki persepsi setuju pada peraturan larangan karena responden menyadari bahwa merokok memberi dampak yang tidak baik pada anggota keluarga yang tidak merokok sedangkan sebagian besar responden memiliki persepsi tidak setuju karena merokok sudah menjadi kebiasaan dan untuk menguranginya memerlukan waktu yang cukup lama.
Tabel 15. Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Motif Merokok Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Total
Motif Merokok Coba-coba
22 (88)
3 (12)
25 (100)
Pengaruh Orangtua Merokok
11 (46)
13 (54)
24 (100)
Pengaruh Teman Merokok
19 (95)
1 (5)
20 (100)
8 (89)
1 (11)
9 (100)
17 (78)
5 (22)
22 (100)
77
23
100
Pengaruh Iklan/TV Gaya Hidup Total
Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat nilai P Value yang diperoleh dari hasil uji hubungan antara kelima pilihan motif merokok dengan persepsi peraturan larangan merokok lebih besar dari tingkat signifikansi, yaitu 0,131 lebih besar dari 0,10 untuk uji hubungan antara motif coba-coba dengan persepsi peraturan larangan merokok. Begitu juga untuk uji hubungan antara motif pengaruh orangtua merokok dengan persepsi peraturan larangan merokok, yaitu 0,00 lebih kecil dari 0,10, untuk motif pengaruh teman merokok, yaitu 0,032 lebih kecil dari 0,10, untuk motif pengaruh
iklan/TV, yaitu 0,374 lebih besar dari 0,10, serta untuk motif gaya hidup, yaitu 0,973 lebih besar dari 0,10. Adanya hubungan yang signifikanantara motif pengaruh orangtua merokok dan pengaruh teman merokok dengan persepsi peraturan larangan merokok disebabkan merokok memberi dampak yang tidak baik pada anggota keluarga yang tidak merokok dan dengan adanya pera turan larangan merokok perokok aktif menyadari keberadaan perokok pasif di sekitarnya. Tidak terdapatnya hubungan yang signifikan antara motif coba-coba, pengaruh iklan/TV, dan gaya hidup dengan persepsi peraturan larangan merokok dikarenakan merokok sudah menjadi kebiasaan dan untuk menguranginya memerlukan waktu yang lama.
Tabel 16. Hubungan antara Motif Merokok dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok Persepsi Peraturan Larangan Merokok Motif Coba-coba
P Value
Tingkat Signifikansi
0,131
0,10
Motif Pengaruh Orangtua Merokok
0,00*
0,10
Motif Pengaruh Teman Merokok
0,032*
0,10
Motif Pengaruh Iklan/TV
0,374
0,10
Motif Gaya Hidup
0,973
0,10
Keterangan : * Nyata pada taraf nyata 0,10
5.1.5
Hubungan Antara Status Perkawinan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa responden perokok aktif dengan
status menikah dan belum menikah cenderung menunjukkan persepsi tidak setuju yaitu sebanyak 66 persen dan 100 persen. Hal ini menggambarkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi antara perokok aktif yang menikah dan belum menikah. Tetapi hal ini berbanding terbalik dengan hasil uji statistik Chi-Square, dimana untuk mengetahui hubungan antara status perkawinan dengan persepsi peraturan larangan merokok.
Tabel 17.
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Status Perkawinan Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Total
Status Perkawinan Belum Menikah
34 (100)
0 (0)
34 (100)
Menikah
43 (66)
23 (34)
66 (100)
77
23
100
Total
Keterangan : X2 hitung = 0,01; a = 0,10; keputusan = nyata
Dengan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai P Value sebesar 0,01. Nilai ini lebih kecil dari 0,10. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (nyata) antara status perkawinan dengan persepsi peraturan larangan merokok. Adanya hubungan yang signifikan tersebut ditunjukkan dengan adanya persepsi setuju dari perokok aktif yang berstatus menikah karena merokok memberi
dampak yang tidak baik pada anggota keluarga yang tidak merokok dan dengan adanya peraturan larangan merokok perokok aktif menyadari keberadaan perokok pasif di sekitarnya.
5.2
Hubungan antara Pengetahuan Tentang Dampak Merokok dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa responden perokok aktif dengan tingkat pengetahuan mengenai dampak merokok baik tinggi, sedang maupun rendah cenderung menunjukkan persepsi tidak setuju yaitu sebanyak 80%, 77% dan 75%. Hal ini menggambarkan bahwa pengetahuan yang dimiliki responden mengenai dampak merokok tidak mempengaruhi dalam mengurangi kebiasaan merokok. Untuk mengetahui apakah tingkat pengetahuan mengenai dampak merokok berhubungan dengan persepsi peraturan larangan merokok, maka dilakukan uji statistik. Dengan uji statistik korelasi Rank Spearman diperoleh nilai probability (P) sebesar 0,857. Nilai ini lebih besar dari 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang dampak merokok dengan persepsi peraturan larangan merokok, dikarenakan meskipun tingkat pengetahuan perokok aktif tentang dampak merokok tinggi namun hal ini tidak membuat perokok aktif berkeinginan untuk berhenti merokok. Berdasarkan pada jawaban wawancara dimana perokok aktif mengatakan merokok sudah membuat perokok menjadi ketergantungan da n untuk mengurangi kebiasaan merokok memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh seorang responden (MT) :
“Saya yakin semua perokok pasti tahu bahayanya ngerokok tapi mau gimana lagi ya namanya udah ketergantungan susah berhenti dalam sekejap butuh waktu lama. Kalau mau berhenti mah kudu dari niat si perokoknya sendiri kaga bisa dipaksa sama orang lain. Walau udah batuk-batuk mah tetep aja tuh rokok dicari-cari” (M 42 tahun, Lakilaki). Tabel 18. Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Mengenai Dampak Merokok Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Tingkat Pengetahuan Rendah 3 (75) 1 (25) Sedang 70 (77) 21 (23) Tinggi 4 (80) 1 (20) Total 77 23 Keterangan : Probabilitas = 0,857; koefisien korelasi = -0,018
Total
4 91 5 100
BAB VI HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PERATURAN LARANGAN MEROKOK DENGAN PENERAPAN PERILAKU MEROKOK
Pada tanggal 4 Februari 2006 Gubernur DKI Jakarta memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara dan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang merokok. Dalam pasal 41 ayat 2 bab tentang Ketentuan Pidana disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan beberapa pasal dalam Perda termasuk pasal 13, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp50 juta. Perda No. 2 Tahun 2005 sesungguhnya bukan berarti melarang masyarakat merokok tetapi melarang merokok di sembarang tempat. Pengesahan perda ini mengandung pro-kontra. Perda yang salah satunya mengatur tentang etika merokok ditanggapi dingin oleh sebagian besar perokok aktif. Sebagian besar perokok tidak setuju dengan larangan merokok di tempat umum namun perokok pasif menyambut gembira perda ini. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner didapatkan responden perokok aktif di Kelurahan Pela Mampang sebagian besar memiliki persepsi tidak setuju terhadap peraturan larangan merokok. Persepsi tidak setuju perokok aktif pada peraturan larangan merokok karena ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah (Perda) No.2 Tahun 2005 yang tercantum dalam pasal 41 ayat 2. Melalui wawancara yang
dilakukan dengan responden perokok aktif di Kelurahan Pela Mampang sebagian besar mentaati peraturan larangan merokok karena takut terhadap besarnya denda yang harus dibayar. Hal ini diungkapkan oleh B yang berpendapat sebagai berikut : “Pemerintah cuma bisa bikin aturan yang hukumannya denda padahal peraturan larangan merokok menjadi polemik bagi masyarakat karena denda yang ditetapka n untuk pelanggarannya adalah Rp 50 juta sedangkan rakyat kecil Rp1 juta saja mungkin nggak punya” Perokok aktif sebagian besar mentaati peraturan larangan merokok hanya di tempat kerja dan pusat perbelanjaan dikarenakan adanya petugas pengawas peraturan larangan merokok yang selalu bertugas mengawasi jika ada yang merokok. Sebaliknya di lingkungan perumahan perokok aktif terlihat tidak ada yang mentaati peraturan larangan merokok, disebabkan perokok aktif merasa petugas pengawas peraturan larangan merokok tidak mungkin ada. Hal ini diungkapkan oleh R yang berpendapat sebagai berikut : “Kalau daerah tempat tinggal ga mungkin ada petugas yang ngawasin kita ngerokok jadi cuek aja kalau ngerokok tapi kalau di kantor dan di mal-mal pasti ada petugas nah kita ga pasti bisa ngerokok disembarang tempat pasti disuruh ketempat khusus merokok dan pasti didenda” Pasal 41 ayat 2 bab tentang ketentuan pidana disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp50 juta. Pernyataan B juga diperkuat oleh pernyataan dari BR yaitu sebagai berikut : “Saya setuju dengan dibentuknya Peraturan Larangan Merokok tapi yang bikin berat dendanya itu lho yang ga kira-kira, Rp50 juta kalau kita ngelanggar. Uang dari mana buat bayar denda sebanyak itu, beli rokok aja masih ngitung-ngitung dari uang sisa bulanan. Biar ga didenda lebih baik hati- hati kalau ngerokok di luar rumah.” (BR lakilaki, 28 tahun)
Perokok aktif merasa bahwa denda dan ancaman pidana yang dibuat oleh pemerintah tidak masuk akal. Jadi berdasarkan pernyataan-pernyataan responden di atas menggambarkan bahwa perokok aktif di wilayah Kelurahan Pela Mampang mentaati peraturan larangan merokok bukan karena tujuan peraturan itu sendiri, walaupun masih dijumpai perokok yang merokok di depan sekolah, masjid dan TPA. Berdasarkan hasil wawancara pada responden diperoleh alasan merokok di sarana umum masyarakat, seperti yang dikemukakan AS sebagai berikut : “Udah kebiasaan ngerokok dimana aja sih, apalagi kalau mulut rasanya kecut tangan udah reflek ngambil rokok buat dihisap. Kalau udah ngisap rokok udah ga inget yang lain- lainnya.” Banyak dijumpai perokok aktif yang merokok di sarana umum seperti yang tertuang dalam pasal 3 pada Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 yaitu tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar-mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Penyebab banyaknya perokok aktif yang masih merokok di sarana umum dikarenakan kebiasaan merokok sudah berlangsung dengan kontinuitas yang lama sehingga untuk merubahnya memerlukan waktu yang panjang. Berdasarkan hasil wawancara pada responden lainnya diperoleh alasan lain mengapa memilih merokok di tempat umum, seperti yang dikemukakan T seb agai berikut : “Ya abis mau gimana, serba salah juga sih mau ngerokok ditempat umum dilarang sedangkan ruang khusus merokok terbatas jumlahnya dan hanya terdapat ditempat pusat perbelanjaan itupun sedikit sekali yang punya ruang khusus merokok, yah masa untuk merokok kita harus datang kesana dulu mana jaraknya jauh lagi.”
Sebagian besar masyarakat Jakarta meragukan pada pelaksanaan peraturan larangan merokok. Aparat penegak hukum yang ditugasi mengawasi dilapangan masih dirasa kurang sehingga masih banyak perokok aktif yang merokok di tempat-tempat umum. Ruangan khusus merokok yang disediakan disetiap gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan dirasakan tidak nyaman bagi para perokok aktif dikarenakan ruangan yang terlalu kecil dan tidak sesuai dengan jumlah perokok aktif serta ventilasi udara yang terlalu minim sehingga ruangan akan penuh dengan asap rokok. Bagi perokok aktif perempuan ruangan khusus merokok dirasakan tidak nyaman karena bercampur dengan perokok aktif laki- laki sehingga toilet menjadi pilihan untuk tempat merokok. Peraturan larangan merokok hanya ditakuti perokok aktif pada saat peraturan itu dikeluarkan karena pemerintah mengerahkan petugas penegak hukum untuk melakukan pengawasan di lapangan, setelah berjalannya waktu dalam pelaksanaan peraturan larangan merokok tidak disertai petugas penegak hukum yang seharusnya ditugaskan di lapangan untuk mentertibkan para perokok aktif yang melanggar.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Sebagian besar perokok aktif memiliki persepsi tidak setuju terhadap peraturan larangan merokok. Persepsi tidak setuju karena ketentuan sanksi pidana yang tertuang di dalam peraturan larangan merokok dirasakan terlalu berat. Para perokok aktif me laksanakan peraturan larangan merokok dengan tidak merokok di tempat umum bukan berdasarkan tujuannya tetapi karena takut akan sanksi denda. 2. Karakteristik individu pada jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan motif merokok (coba-coba, pengaruh iklan/TV dan gaya hidup) tidak berhubungan dengan persepsi peraturan larangan merokok dikarenakan merokok sudah menjadi kebiasaan dan dengan adanya peraturan larangan merokok perokok aktif merasa ruang lingkup untuk merokok dibatasi serta ketentuan sanksi pidana yang terlalu berat. Motif merokok (pengaruh orangtua dan pengaruh teman) dan status perkawinan berhubungan dengan persepsi peraturan larangan merokok dikarenakan merokok memberi dampak yang tidak baik pada anggota keluarga yang tidak merokok dan dengan adanya peraturan larangan merokok perokok aktif menyadari keberadaan perokok pasif di sekitarnya. 3. Tingkat pengetahuan tentang dampak merokok tidak berhubungan dengan persepsi peraturan larangan merokok. Meskipun tingkat pengetahuan perokok
aktif tentang dampak merokok tinggi namun perokok aktif tidak berkeinginan untuk berhenti merokok karena merokok sudah menjadi ketergantungan dan untuk menguranginya memerlukan waktu yang cukup lama.
Saran 1. Bagi perokok aktif, sebaiknya tidak merokok di tempat sarana umum masyarakat karena asap dari rokok yang dikeluarkan dapat mengganggu kesehatan bagi orang yang tidak merokok (perokok pasif). 2. Bagi orangtua diharapkan dapat menjelaskan akan dampak rokok bagi kesehatan atau perilaku merokok yang sebaiknya tidak mengganggu orang lain. Orangtua yang merokok sebaiknya tidak merokok di dalam rumah dan memberikan contoh yang baik pada anak-anaknya demi masa depan. 3. Penerapan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 Tahun 2005 Pasal 13, perlu didukung dengan penyediaan ruangan khusus merokok yang nyaman serta mudah dijangkau bagi para perokok aktif dan peraturan larangan merokok disosialisasikan kepada masyarakat secara jelas sehingga para perokok aktif dapat mengerti dan melaksanakan peraturan larangan merokok sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bachri. 1991. Dampak dari Sebatang Rokok dalam Buletin RSKO. Juni 1991. Jakarta. Calhoun, James F. & R. Acocella 1995. Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Penerjemah R. S. Satmoko. Edisi Ketiga. IKIP Semarang Press. Semarang. Dariyo, Agoes. 2003. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. De Vito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Penerjemah Agus Maulana. Edisi Kelima. Professional Books. Jakarta. DepKes. 2001. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Departemen Kesehatan. Jakarta. DepKes. 2003. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Departemen Kesehatan. Jakarta. GAPPRI. 2002. Produksi dan Konsumsi Rokok Nasional. GAPPRI. Jakarta. Handoko, Dwi Dharma. 2003. Persepsi Masyarakat Tentang Lingkungan Sungai dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Pemanfaatnya. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kristono, Hidayat. 1994. Studi Migrasi dan Perubahan Nilai Kerja Pekerja Asal Pedesaan pada Sektor Industri di Tangerang. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gubernur DKI Jakarta. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan Merokok. Jakarta. Perda. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta.. Singarimbun, M. & Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. PT Pustaka LP3ES. Jakarta. Singgih, Renie. 2002. Bahaya Perokok Pasif Sama dengan Perokok Aktif. Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3). Jakarta. Soesetiyo, J. Budhy. 1990. Nilai Kerja Tradisi; Telaah pada Masyarakat Pertanian Padi Sawah di Desa Sidorejo Godean, Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Sumitra, Tata. 2003. Hubungan Antara Perilaku Komunikasi dan Persepsi Petani Hutan Kemasyarakatan (HKm dengan Partisipasinya Terhadap Pembangunan HKm). Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2003. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Editor Miftah F. Rakhmat. Remaja Rosdakarya. Bandung. Syahyuni, Tuti. 1999. Persepsi Pekerja Industri Terhadap Tingkat Pendidikan Anak pada Masyarakat Transisi Agraris Ke Industri. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. WHO. 2002. The Tobacco Atlas. Departemen Kesehatan. Jakarta. Yuniarti, Nia Tetin. 2000. Persepsi Masyarakat Nelayan Terhadap Pendidikan Formal. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok Case Processing Summary Cases Valid N Jenis Kelamin * Persepsi
Missing
Percent 100
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 100
100.0%
Jenis Kelamin * Persepsi Crosstabulation Count Persepsi Tidak Setuju Jenis Kelamin
Setuju
Total
Laki-laki
65
Perempuan
12
3
15
77
23
100
Total
20
85
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
.090(b)
1
.765
.000 .092
1 1
1.000 .762
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1sided)
1.000
Linear-by-Linear Association
.089
N of Valid Cases
100
1
.766
a Computed only for a 2x2 table b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.45.
.531
Lampiran 2. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok Nonparametric Correlations Correlations Tingkat Pendidikan Spearman's rho
Tingkat Pendidikan
Correlation Coefficient
1.000
.000
.
1.000
Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient
Persepsi
Sig. (2-tailed) N
Persepsi
100
100
.000
1.000
1.000 100
. 100
Case Processing Summary Cases Valid Percent
N Tingkat Pendidikan * Persepsi
100
N
100.0%
Missing Percent 0
.0%
Total Percent
N 100
100.0%
Tingkat Pendidikan * Persepsi Crosstabulation Count Persepsi Tidak Setuju Tingkat Pendidikan
Total
Tidak Sekolah
Setuju
Total
4
0
4
SD/sederajat
3
2
5
SLTP/sederajat
4
2
6
SLTA/sederajat
23
6
29
Perguruan Tinggi
43
13
56
77
23
100
Lampiran 3. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Pendapatan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Nonparametric Correlations Correlations Pendapatan (Gaji) Spearman's rho
Pendapatan (Gaji)
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
1.000
.013
.
.895
100
100
.013
1.000
.895
.
100
100
N Persepsi
Persepsi
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Case Processing Summary Cases Valid
N Pendapatan (Gaji) * Persepsi
Missing
Percent
100
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 100
100.0%
Pendapatan (Gaji) * Persepsi Crosstabulation Count Persepsi Tidak Setuju Setuju Pendapatan (Gaji)
Rendah Sedang Tinggi
Total
Total
12
5
17
33 32 77
7 11 23
40 43 100
Lampiran 4. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Motif Merokok dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Motif Coba-coba * Persepsi Case Processing Summary Cases Valid N Coba-coba * Persepsi
100
Missing
Percent 100.0%
N 0
Total
Percent .0%
N 100
Percent 100.0%
Coba-coba * Persepsi Crosstabulation Count
Coba-coba
Persepsi Tidak Setuju Setuju 55 20 22 3 77 23
Tidak Ya
Total
Total 75 25 100
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square a Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 2.277b 1.525 2.522
2.255
df 1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .131 .217 .112
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.174
.105
.133
100
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5. 75.
Pengaruh Orangtua Merokok * Persepsi Case Processing Summary Cases Missing
Valid N Pengaruh Orangtua Merokok * Persepsi
Percent
100
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
100
Percent 100.0%
Pengaruh Orangtua Merokok * Persepsi Crosstabulation Count
Pengaruh Orangtua Merokok
Tidak Ya
Total
Persepsi Tidak Setuju Setuju 66 10 11 13 77 23
Total 76 24 100
Chi-Square Tests
1
Asymp. Sig. (2-sided) .000
a Continuity Correction
15.082
1
.000
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
15.566
1
.000
Pearson Chi-Square
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 17.320b
17.147
df
1
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.000
.000
.000
100
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5. 52.
Pengaruh Teman Merokok * Persepsi Case Processing Summary Cases Missing
Valid N Pengaruh Teman Merokok * Persepsi
Percent
100
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
100
Percent 100.0%
Pengaruh Teman Merokok * Persepsi Crosstabulation Count
Pengaruh Teman Merokok
Persepsi Tidak Setuju Setuju 58 22 19 1 77 23
Tidak Ya
Total
Total 80 20 100
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square a Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 4.574b 3.391 5.808
4.528
df 1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .032 .066 .016
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.038
.025
.033
100
a. Computed only for a 2x2 table b. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4. 60.
Pengaruh Iklan/TV * Persepsi Case Processing Summary Cases Missing
Valid N Pengaruh Iklan/TV * Persepsi
Percent
100
N
100.0%
Total
Percent 0
N
.0%
100
Percent 100.0%
Pengaruh Iklan/TV * Persepsi Crosstabulation Count
Pengaruh Iklan/TV
Persepsi Tidak Setuju 69 8 77
Tidak Ya
Total
Setuju
Total 22 1 23
91 9 100
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square a Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .789b .224 .912
.781
df 1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .374 .636 .339
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.680
.339
.377
100
a. Computed only for a 2x2 table b. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2. 07.
Gaya Hidup * Persepsi Case Processing Summary
Gaya Hidup * Persepsi
Cases Missing N Percent 0 .0%
Valid N Percent 100 100.0%
Total N Percent 100 100.0%
Gaya Hidup * Persepsi Crosstabulation Count
Gaya Hidup
Persepsi Tidak Setuju 60 17 77
Tidak Ya
Total
Setuju
Total 18 5 23
78 22 100
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square a Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value .001b .000 .001
.001
df 1 1 1
1
Asymp. Sig. (2-sided) .973 1.000 .973
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
1.000
.610
.973
100
a. Computed only for a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5. 06.
Lampiran 5. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Nonparametric Correlations Correlations Tingkat Pengetahua n Spearman's rho
Tingkat Pengetahuan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Persepsi
Persepsi
1.000
-.018
.
.857
100
100
-.018
1.000
N
.857
.
100
100
Case Processing Summary Cases Valid N Tingkat Pengetahuan * Persepsi
Missing Percent
100
N
100.0%
Total
Percent 0
.0%
N
Percent
100
100.0%
Tingkat Pengetahuan * Persepsi Crosstabulation Count Persepsi Tidak Setuju Tingkat Pengetahuan
Rendah Sedang Tinggi
Total
Setuju
Total
3
1
4
70 4 77
21 1 23
91 5 100
Lampiran 6. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Status Perkawinan dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok Case Processing Summary Cases Valid Percent
N Status Perkawinan * Persepsi
100
Missing Percent
N
100.0%
0
Total Percent
N
.0%
100
100.0%
Status Perkawinan * Persepsi Crosstabulation Count Persepsi Tidak Setuju Setuju Status Perkawinan
Belum Menikah Kawin
Total
Total
34
0
34
43 77
23 23
66 100
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Continuity Correction(a) Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
Asymp. Sig. (2-sided) .010
13.483
1
.000
22.517
1
.000
Value 15.388(b)
df
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
.080 15.234
1
.080
100 a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.82.
.000