Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Pengerupukan Pra Hari Raya Nyepi di Kecamatan Wonosari
Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu sosial Universitas Negeri Gorontalo 2014 ABSTRAK I Kadek Muliasa: 2014, “Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Pengerupukan Pra Hari Raya Nyepi di Kecamatan Wonosari”. Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Di bawah bimbingan Drs. Surya Kobi, M.Pd dan Rudy Harold, S.Th,M.Si. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat yang bukan beragama Hindu terhadap pelaksanaan upacara pengerupukan masyarakat Hindu-Bali di Kecamatan Wonosari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data melalui tiga proses yakni: reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Simpulan penelitian sesuai dengan hasil analisis dan pembahasannya bahwa persepsi masyarakat yang bukan beragama Hindu terhadap pelaksanaan upacara pengerupukan terdiri beberapa tanggapan yakni masyarakat yang bukan beragama Hindu menganggap upacara pengerupukan merupakan salah satu upacara yang sakral. Upacara pengerupukan juga dianggap salah satu upacara doa bersama yang dilakukan masyarakat Hindu. Selain doa bersama, yang bukan beragama Hindu menganggap upacara pengerupukan merupakan salah satu upacara yang menggunakan sesajen, simbol iblis atau ogoh-ogoh dalam ritual ini. Dibalik pelaksanaan upacara pengerupukan menimbulkan suatu persepsi bahwa upacara pengrupukan dinilai sebagai pemborosan karena banyak menghabiskan biaya, tapi disisi lain ada anggapan bahwa suatu upacara harus wajib dilaksanakan karena sebagai umat beragama. Upacara pengerupukan juga tidak terlalu mebebankan masyarakat Hindu karena sudah dari jauh hari mereka menyediakan dana untuk ritual tersebut. Kata Kunci: Persepsi, Masyarakat yang bukan beragama Hindu, Upacara Pengerupukan
1
I KADEK MULIASA, 231 410 067, JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL, SURYA KOBI, RUDY HAROLD.
Indonesia merupakan negara yang besar dan kaya akan nilai-nilai budaya, setiap masyarakat memiliki beranekaragam budaya sebagai ciri khas dari masyarakat tersebut. Dari ciri khas yang dimiliki masyarakat itu dapat terlihat perbedaan-perbedaan budaya yang dimiliki antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat sangat berguna untuk mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan dan dapat menjadi adat istiadat yang diwujudkan masyarakat dalam bentuk upacara. Wonosari adalah salah satu kecamatan yang masih memiliki nilai budaya tersebut. Wonosari adalah kecamatan yang berada dalam wilayah Provinsi Gorontalo, Kabupaten Boalemo. Wonosari merupakan kecamatan multi etnis, karena Kecamatan Wonosari memiliki masyarakat dari berbagai etnis seperti suku Jawa, Bali dan Gorontalo. Kemajemukan masyarakat yang memiliki berbagai etnis di atas menjadikan Kecamatan Wonosari kaya akan kebudayaan yang beragam. Masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis tersebut masing-masing memiliki tradisi dan upacara-upacara ritual yang sampai saat ini masih dipertahankan, salah satunya ialah masyarakat Hindu-Bali. Masyarakat Hindu-Bali merupakan salah satu etnik yang terdapat di Kecamatan Wonosari dan memiliki beragam tradisi serta upacara-upacara ritual. Sejak dahulu masyarakat Hindu-Bali terbiasa melaksanakan upacara yang memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Hindu-Bali. Upacara yang masih dilaksanakan masyarakat Hindu-Bali ini menimbulkan suatu persepsi dari masyarakat yang bukan beragama Hindu terhadap upacara yang berhubungan dengan kepercayaan umat Hindu terhadap Tuhan ( Ida Sang Hyang Widi) dan bhuta kala yang ada dilingkungannya. Salah satu upacara ritual yang dimaksud adalah upacara pengerupukan. Upacara pengerupukan adalah, suatu upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Hindu-Bali sebagai salah satu wujud yadnya yang di kenal dengan istilah “Bhuta Yadnya” yaitu korban suci yang dipersembahkan kepada para Bhuta (unsur alam) yang meliputi air, api, tanah, cahaya, udara. Dalam upacara Pengerupukan disertai dengan ogoh-ogoh sebagai simbol ritual Nyepi. Simbol ini
digunakan sebagai definisi upacara Bhuta Yadnya yang ditujukan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai bhuta kala. Upacara pengerupukan merupakan salah satu upacara pemujaan terhadap tuhan atau para dewa, sehingga dulu sampai sekarang upacara pengerupukan dianggap sakral oleh sebagian masyarakat yang bukan beragama Hindu. Karena kepercayaan masyarakat Hindu-Bali di dalam ajaran Agama Hindu upacara pengerupukan adalah sebagai salah satu wujud yadnya yaitu korban suci yang dipersembahkan kepada Tuhan (Sang Hyang Widi) dan bhuta kala. Kedua penghormatan ini sebagai elemen terpenting bagi umat Hindu, terutama bagi kehidupan sehari-hari. Selain itu juga upacara pengerupukan dianggap sebagai kegiatan berdoa bersama dan ucapan rasa syukur
atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan oleh
masyarakat yang bukan beragama Hindu. Karena doa bersama merupakan kewajiban yang harus dilakukan setiap upacara. Tujuan dari doa ini untuk mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta agar diberikan perlindungan. Dalam melakukan doa bersama selalu disertai persembahan sesajen. Upacara pengerupukan juga dianggap salah satu upacara bersaji oleh masyarakat yang bukan beragama Hindu. Karena masyarakat Hindu pada saat melakukan ritual menyembelih ayam untuk sesajen. Dalam kehidupan sehari-harinya, setiap manusia mempunyai suatu pandangan yang berbeda-beda. Bagi sebagian masyarakat yang bukan beragama Hindu, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Tapi disisi lain masyarakat yang bukan beragama Hindu mempunyai pandangan bahwa upacara pengerupukan
merupakan suatu upacara yang wajib terus dilakukan oleh
masyarakat Hindu meskipun dana yang dikeluarkan banyak. Karena itu tidak membebankan masyarakat Hindu karena sudah jauh hari mempersiapkan sedemikian rupa biaya yang akan digunakan pada saat upacara pengerupukan tersebut. Akan tetapi seiring perkembangan zaman sentuhan teknologi modern telah mempengaruhi kebudayaan masyarakat Hindu-Bali. Di sini sebagian masyarakat
yang bukan beragama Hindu menganggap masyarakat Hindu indentik menggunakan simbol iblis atau simbol ogoh-ogoh dan sekaligus gambelan untuk mengiringi upacara pengerupukan. Dalam agama Hindu, antara agama dan adatbudaya terjalin hubungan yang selaras/erat antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi. Karenanya tidak jarang dalam pelaksanaan upacara keagamaan disesuaikan dengan keadaan setempat. Penyesuaian ini dapat dibenarkan dan dapat memperkuat budaya setempat. Sehingga menjadikan kesesuaian adat-agama ataupun budaya-agama, artinya penyelenggaraan agama yang disesuaikan dengan budaya setempat. Sehingga sebagian dari masyarakat yang bukan beragama Hindu menganggap upacara pengerupukan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Karena kebudayaan Hindu merupakan warisan dari hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat Hindu itu sendiri. Penelitian ini menggunakan konsep kajian pustaka yakni kebudayaan, upacara keagamaan, upacara pengerupukan, dan persepsi. Adapun pengertian dari masing-masing kajian pustaka tersebut yakni: Pertama, Menurut E.B. Tylor (dalam Soerjono Soekanto 2007: 150) mengemukakan
bahwa”
Kebudayaan
adalah
kompleks
yang
mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyrakat. Secara harafiah kata budaya berasal dari bahasa sansekerta buddhaya, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Budaya dapat di artikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Setiap kebudayaan yang dimiliki manusia mencangkup adat istiadat, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, dan ilmu pengetahuan serta kemampuankemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyrakat. Kedua, Upacara di dalam masyarakat Hindu sering dikenal dengan dengan yajna (yadnya). Yajna merupakan korban suci yang tulus iklas tanpa pambrih, sebagai pernyataan rasa bakti terhadap objek yang dituju. Dalam agama Hindu terdapat lima jenis yadya ( panca yadnya) meliputi: (1) Dewa Yadnya ( pemujaan
serta persembahan yang dilakukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan sinar-sinar sucinya yang disebut dewa-dewi), (2) Rsi Yadnya ( korban cuci yang dilakukan kepada orang-orang suci), (3) Pitra Yadnya (korban suci yang dilakukan kepada orang tua), (4) Manusia Yadnya (pemeliharaan, pendidikan, serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terbentuknya jasmani dan didalam kandungan sampai akhir hidupnya), dan (5) Bhuta Yadnya (persembahan suci yang tulus iklas kehadapan unsure-unsur alam). Namun di dalam pelaksanaan yadnya (korban suci) di dukung oleh upacara (pelaksanaan), upakara (perbuatan) dan Uparengga (perantara). Ketiga, Suatu upacara pengerupukan merupakan sebagai salah satu wujud yadnya yang dikenal dengan istilah “Bhuta Yadnya” yaitu korban suci yang dipersembahkan kepada para Bhuta (unsur alam) yang meliputi air, api, tanah, cahaya, udara. Dalam upacara Pengerupukan disertai dengan ogoh-ogoh sebagai simbol ritual Nyepi. Simbol ini digunakan sebagai definisi upacara Bhuta Yadnya yang ditujukan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai buta kala. Dalam pelaksanaan upacara Pengerupukan juga ritual selalu ada binatang yang dijadikan kurban. Semakin besar upacara ritualnya yang digelar maka semakin banyak binatang yang dikurbankan. Menurut kepercayaan Hindu hewan-hewan serta tumbuhan yang digunakan untuk upacara ritual atau kurban akan mendapatkan kehidupan yang lebih tinggi di kehidupannya mendatang. Keempat, Berbicara mengenai persepsi tidak lepas dari para ahli yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Yang menyebabkan pandangan yang berbeda karena tidak sesuai dengan ruang lingkup kajian disiplin ilmu masingmasing ahli serta objek kajian yang hendak diamati untuk mekaji masalah penelitian ini, penulis mencoba menganalisis berdasarkan teori-teori dan kajian psikologi sosial. Menurut Rivai (Desi Amanda 2013:10) mengemukakan bahwa” Persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka. Awal munculnya persepsi dimulai dari penglihatan hingga terbentuk suatu tanggapan atau pandangan yang terjadi dalam diri seseorang
sehingga orang tersebut dapat memberikan suatu arti dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya”. Persepsi juga suatu pengalaman tentang obyek yang di dapat dalm bentuk peristiwa, kemudian hubungan- hubungan yang diperoleh dari objek tersebut di simpulkan kedalam informasi dan menafsirkan dalam bentuk pesan. Persepsi setiap individu berbeda-beda walaupun yang diamati benar-benar sama. Sehingga persepsi merupakan penafsiran suatu obyek, peristiwa atau informasi yang dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang melakukan penafsiran itu. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa persepsi adalah hasil pikiran seseorang dari situasi tertentu. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan membuat suatu rekonstruksi sosial selanjutnya menggambarkan secara sistematis objek penelitian. Dalam penelitian ini, kehadiran peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti baik oleh subyek maupun informan. Hal ini karena teknik pengumpulan
data
yang
digunakan
berupa
observasi,
wawancara
dan
dokumentasi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sumber data primer yaitu informan-informan yang mengetahui informasi-informasi penelitian seperti kalangan penjabat, petani, pedagang, dan masyarakat luar Bali lainnya yang mengetahui dan pernah melihat pelaksanaan upacara pengerupukan. Sumber data sekunder yaitu dokumen berupa buku-buku dan data dari Kecamatan Wonosari. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.2.1 Pelaksanaan Upacara Pengerupukan Upacara pengerupukan adalah, suatu upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Hindu-Bali sebagai salah satu wujud yadnya yang dikenal dengan istilah “Bhuta Yadnya” yaitu korban suci yang dipersembahkan kepada para Bhuta (unsur alam) yang meliputi air, api, tanah, cahaya, udara. Dalam Upacara pengerupukan dilaksanakan dengan cara ritual mempersembahkan berupa sesaje
untuk dipersebahkan kepada tuhan yang maha esa agar mereka terhindar dari marabahaya.
4.2.2 Makna Upacara Pengerupukan Bagi Masyarakat Hindu-Bali Upacara pengerupukan merupakan salah satu upacara yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Upacara ini rutin dilaksanakan oleh masyarakat HinduBali yang ada di Kecamatan Wonosari. Sarana dan prasarana yang digunakan pada tingkatan-tingkatan tersebut berbeda namun makna dari pelaksanaan caru atau tawur dalam upacara pengerupukan itu sebenarnya sama saja, yakni menetralisir kekuatan-kekuatan negatif alam semesta yang ada dilingkungan masyarakat Hindu. 4.2.3 Persepsi Masyarakat Luar Bali Terhadap Upacara Pengerupukan Menurut Rivai (Desi Amanda 2013:10) yang mendefenisikan persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka. Awal munculnya persepsi dimulai dari penglihatan hingga terbentuk suatu tanggapan atau pandangan yang terjadi dalam diri seseorang sehingga orang tersebut dapat memberikan suatu arti dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Persepsi juga merupakan pandangan masyarakat mengenai sesuatu yang tidak lepas dari pengetahuan masyarakat tersebut. Sesuatu yang dimaksud ialah suatu objek yang dipengaruhi oleh kebudayaan setempat. Pandangan itu sendiri bukan merupakan bagian dari kebudayaan tetapi suatu hal yang terdapat dalam akal pikiran dan jiwa masing-masing individu atau warga masyarakat. Masyarakat merupakan sejumlah orang yang hidup dan tinggal di dalam suatu lingkungan atau daerah secara bersama. Mengenai beberapa tanggapan dari tokoh masyarakat yang bukan beragama Hindu, yakni kalangan penjabat, petani dan pedagang terhadap
pelaksanaan upacara pengerupukan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu-Bali di Kecamatan Wonosari yaitu: 1. Upacara pengerupukan adalah bagian dari upacara sakral Upacara pengerupukan merupakan suatu upacara yang sakral, karena kepercayaan masyarakat Hindu-Bali di dalam ajaran Agama Hindu upacara pengerupukan adalah sebagai salah satu wujud yadnya yaitu korban suci yang dipersembahkan kepada Tuhan (Sang Hyang Widi) dan bhuta kala. Selain upacara pengerupukan sebagai ucapan terimakasih dalam hal tuhan telah menjaga dan melindungi lingkungan mereka dari marabahaya. Upacara pengerupukan juga diyakini dapat mengusir buta kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Upacara ini dilakukan dengan cara menyebar-nyebarkan nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Dengan melakukan upacara tersebut agar semua roh-roh jahat atau sifat-sifat negatif yang ada di alam semesta dapat terusir dan tidak mengganggu masyarakat Hindu. 2. Upacara pengerupukan merupakan kegiatan berdoa bersama dan ucapan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Setiap upacara atau ritual pada umumnya mengucapkan doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa. Begitu juga dengan Masyarakat Hindu pada saat melakukan upacara pengerupukan selalu melakukan doa bersama yang dipimpin oleh seorang pemangku atau pemimpin agama. Mereka melakukannya secara khusyuk, ikhlas, rendah hati dan penuh keyakinan bahwa doanya akan dikabulkan oleh tuhan. Selain itu, melalui doa mereka tidak terpancang pada tempat dan bahasa,yang terpenting bagi mereka memahami akan arti doa yang mereka ucapkan. Doa yang diucapkan dalam upacara pengerupukan adalah doa-doa yang isinya memohon keselamatan terhadap diri sendiri dan masyarakat secara umum. Semua doa yang diucapkan saat pengerupukan intinya memohon kepada Tuhan agar masyarakat dan desanya selalu diberi keselamatan dari berbagai gangguan dan bencana yang terjadi, serta diberikan kebahagian dan kesejahteraan di dunia
dan akhirat. Adapun ucapan syukur terkandung maksud ucapan terima kasih kepada Tuhannya atas segala kenikmatan dan karunia yang telah diterima selama ini, guna menyambung hidup dan bekal untuk berbakti dan selalu melakukan persembahan kepada Tuhannya. 3. Upacara pengerupukan merupakan bagian upacara bersaji Dalam hal ini masyarakat Hindu mempersembahkan binatang untuk digunakan pada saat upacara pengerupukan. Binatang ini dipotong dan diambil darahnya untuk dipersembahkan kepada para dewa. Selain itu juga, hasil bumi berupa buah-buahan juga mereka persembahkan kepada para dewa. Masyarakat Hindu menganggap semua yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan para dewa atau tuhan yang maha esa. Sehingga setiap melaksanakan upacara mereka selalu melakukan upacara sesaji sebagai tanda bakti terhadap para dewa atau tuhan yang maha esa. Dalam hal ini, masyarakat Hindu-Bali hewan-hewan serta tumbuhan yang digunakan untuk upacara ritual atau kurban akan mendapatkan kehidupan yang lebih tinggi di kehidupannya mendatang. Selain itu juga, Setiap pelaksaan upacara pengerupukan masyarakat Hindu-Bali mempersembahkan sesajen berupa buah-buahan dari hasil bumi yang mereka dapatkan. Masyarakat Hindu melakukan upacara ini sebagai tanda penghormatannya kepada tuhan, karena telah memberikan semua hasil bumi yang mereka dapatkan selama ini. Dalam hal ini masyarakat Hindu selalu melakukan upacara sesaji atau sesajen
dalam
melakukan
suatu
upacara.
Menyembelih
hewan
dan
mempersembahkan buah-buahan kepada para dewa itu merupakan sudah kewajiban umat Hindu pada saat melakukan suatu upacara. Masyarakat Hindu melakukan persembahan kepada para dewa karena masyarakat Hindu mengenal banyak dewa yakni brahma sebagai pencipta, wisnu sebagai pemelihara, dan siwa sebagai pelebur. Ketiga dewa ini disebut dengan tri murti dalam ajaran agama Hindu. Sehingga dalam upacara keagamaan dalam hal ini upacara pengerupukan selalu melakukan persembahan karena tuhan atau dewa telah menciptakan alam dan memelihara isi alam semesta ini. Agar alam ini tetap
terjaga dan para dewa tidak meleburnya maka setiap melakukan upacara pengerupukan masyarakat Hindu selalu melakukan persembahan kepada para dewanya. 4. Menggunakan simbol iblis dalam upacara pengerupukan Dalam kehidupan sehari-hari Simbol merupakan gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja misalnya dalam ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Tidak lepas dari kehidupan sosial manusia selalu menggunakan simbol. Simbol ini digunakan sebagai interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat maupun beragama. Di dalam masyarakat Hindu selalu mengunakan simbol sebaagai perlengkapan ritual. Simbol yang digunakan oleh masyarakat Hindu yakni berupa simbol iblis. Ini menimbulkan suatu tanggapan dari masyarakat luar Bali yang melihat setiap pelaksanaan upacara pengerupukan masyarakat Hindu pasti menggunakan simbol tersebut. Selain itu juga, bagi sebagian yang bukan beragama Hindu Hindu-Bali mencoba memahami atau bahkan membela penggunaan simbol-simbol dalam agama Hindu oleh lembaga Kristen di Bali. Mereka membenarkan pemakaian simbol-simbol Hindu oleh lembaga Kristen, karena dalam pandangan mereka apa yang dipraktekkan oleh orang-orang bali dewasa ini hanyalah budaya masyarakat Hindu. 5. Upacara pengerupukan tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Adapun setiap upacara pengerupukan masyarakat Hindu setelah melakukan ritual selalu di isi dengan arakan ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh ini merupakan salah satu kebudayaan Hindu dari hasil karya yang digunakan pada saat upacara pengerupukan oleh masyarakat Hindu yang diturunkan kepada generasi ke generasi agar dapat berkembang. Ogoh-ogoh ini diciptakan dengan berbagai wujud dan sifat yang dipergunakan dalam upacara pengerupukan.
Kemudian selanjutnya, ogoh-ogoh dianggap salah satu cerminan sifat-sifat negatif pada diri umat Hindu. Agar pada saat keliling desa sifat-sifat negatif yang ada pada diri umat Hindu hilang bersama ogoh-ogoh. Selain itu, ogoh-ogoh diarak keliling desanya bertujuan agar kekuatan negatif yang ada di sekitar desa mereka ikut bersama ogoh-ogoh tersebut. Masyarakat Hindu selain menggunakan ogoh-ogoh merupakan salah satu hasil karyanya yang digunakan pada saat upacara pengerupukan, gambelan juga merupakan salah satu kesenian umat Hindu yang digunakan pada saat upacara pengerupuka. Gamelan berfungsi mengiringi upacara ritual Hindu. Semua ritual keagamaan menggunakan gambelan untuk mengiringi upacara tersebut. Dalam hal ini masyarakat Hindu menggunakan gambelan pada saat upacara pengerupukan untuk mengeringi ogoh-ogoh keliling desa agar suasananya menjadi lebih ramai. Selain itu juga gambelan merupakan suatu elemen terpenting dalam melakukan upacara agar terlihat nilai relegiusnya. Selajutnya, gambelan dalam upacara pengerupukan merupakan suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan, karena memiliki nilai relegius dimana keberadaan gambelan sebagai pengiring upacara yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur masyarakat Hindu. Selain itu juga, bunyi gambelan yang digunakan pada saat mengiringi suatu ritual adalah untuk membimbing pikiran agar terkonsentrasi pada kesucian, sehingga pada saat persembahyangan pikiran dapat diarahkan atau dipusatkan kepada tuhan. Gambelan digunakan pada saat upacara sebagai sarana pengiring upacara karena ensensinya adalah untuk membimbing pikiran umat ketika sedang mengikuti prosesi agar terkonsentrasi pada kesucian. 6. Biaya anggaran yang digunakan pada saat upacara pengerupukan Setelah masyarakat Hindu melakukan berbagai macam ritual dalam upacara pengerupukan sudah pasti biaya atau anggaran yang dikeluarkan cukup banyak dari persiapan upacara sampai dengan selesai. Dari persiapan membeli hewan untuk dikorbankan kemudian sarana atau simbol yang digunakan juga banyak sehingga membutuhkan banyak biaya. Tapi disisi lain itu merupakan suatu kewajiban yang dilakukan oleh masyarakat Hindu. Sehingga masyarakat
hindu tetap melaksanakan upacara kendatipun biaya yang dikeluarkan cukup banyak. Selain itu juga, setiap upacara pengerupukan masyarakat Hindu selalu menggunakan berbagai sarana atau simbol. Dalam pengadaan tersebut membutuhkan banyak biaya untuk membelinya. Kita juga sebagai umat beragama harus wajib melakukan suatu upacara. Tapi upacara ini tidak terlalu membebankan masyarakat Hindu karena sudah jauh hari mempersiapkan sedemikian rupa biaya yang akan digunakan pada saat upacara pengerupukan tersebut. Dari penjelasan diatas masyarakat yang bukan beragama Hindu memandang tradisi upacara pengerupukan ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Upacara ritual ini membutuhkan banyak hewan dan tumbuhan untuk dijadikan kurban. Semakin besar ritualnya semakin banyak memotong hewan dalam upacara pengerupukan. Tapi disisi lain sebagai umat beragama harus wajib melakukan suatu upacara. Selain itu tidak membebankan masyarakat Hindu karena masyarakat Hindu sudah dari jauh hari menyediakan biaya untuk upacara tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Upacara pengerupukan merupakan suatu upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Hindu-Bali sebagai salah satu wujud yadnya yang dikenal dengan istilah “Bhuta Yadnya” yaitu korban suci yang dipersembahkan kepada para Bhuta (unsur alam) yang meliputi air, api, tanah, cahaya, udara. Selanjutnya makna yang terkandung dalam upacara pengerupukan yakni untuk menetralisir kekuatan-kekuatan negatif alam semesta sekaligus untuk mengusir bhuta kala atau sejenis yang suka mengganggu kehidupan manusia.
2. Persepsi masyarakat yang bukan beragama Hindu terhadap pelaksanaan upacara pengerupukan hampir semua mempunyai pandangan yang positif dan menganggap upacara pengerupukan bagian dari upacara yang sakral. Di balik kesakralannya masyarakat Hindu melakukan doa bersama yang dpimpin oleh pemangku yang disertai dengan persembahan sesajen kepada para dewa dan bhuta kala. Selain itu sebagian masyarakat yang bukan beragama Hindu simbol yang digunakan pada saat upacara pengerupukan ada yang menganggap simbol iblis dan simbol ogoh-ogoh. Tujuan digunakan simbol ini untuk menetralisir dan mengusir sifat-sifat negatif yang ada pada alam semesta. Sehingga simbol dalam upacara harus dipertahankan karena upacara pengerupukan tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan dan simbol merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Hindu. 3. Persepsi masyarakat yang bukan beragama Hindu terhadap upacara pengerupukan dianggap sebagai pemborosan dalam melakukan upacara melihat banyak binatang dan simbol digunakan dalam upacara ini. Tapi sebagian masyarakat yang bukan beragama Hindu menganggap meskipun biaya
yang
dikeluarkan
banyak
masyarakat
Hindu
harus
tetap
melaksanakannya karena sudah merupakan kewajiban sebagai umat beragama untuk melakukan upacara.
B. SARAN Setelah melakukan penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan upacara pengerupukan di Kecamatan Wonosari. Kemudian diperoleh data-data serta informasi sesuai dengan yang dibutuhkan dalam tujuan penelitian, maka beranjak dari hasil yang diperoleh tersebut. Dalam hal ini peneliti mencoba memberi suatu gambaran berupa saran yang mudah-mudahan dapat berguna bagi perkembangan pemikiran demi lancarnya suatu proses persatuan dan kesatuan bangsa. Khususnya hubungan antara suatu etnis dengan etnis lain yang menjadi satu diantara kekayaan ciri khas bangsa indonesia. Maka akan dikemukakan beberapa saran yaitu :
1. Kebudayaan itu merupakan sebuah warisan yang di berikan serta diajarkan oleh nenek moyang kita. Maka dari itu, ada baiknya jika kita sebagai pewaris dari
kebudayaan
tersebut
untuk
mempertahankan
dan
melestarikan
kebudayaan yang kita miliki. Walaupun terkadang kebudayaan tersebut bertentangan dengan ajaran agama yang kita anut. Karena dapat dilihat sekarang ini, jarang sekali generasi muda yang mengetahui dan paham tentang kebudayaan-kebudayaan yang di milikinya. 2. Orang tua sebaiknya mengajarkan anaknya tentang kebudayaan yang mereka miliki, agar anak dapat mengetahui dan menghargai kebudayaan yang mereka miliki. Serta si anak menganggap bahwa kebudayaan tersebut penting untuk dilestarikan dan dipertahankan serta diwariskan ke generasi berikutnya.
DAFTAR RUJUKAN Abu Ahmadi. 1986. Antropologi Budaya. Surabaya: CV. Pelangi. Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat. (1972). Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat. Joko Tri Prasetya DKK. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Supartono. 2001. Ilmu Budaya Dasar.Jakarta: PT Ghalia Indonesia. Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: C.V Andi Offset Soerjono Soekanto. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lexy.J. Moleong. 2005. Metonologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakaya. Sugiono.2009. Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suarjaya, DKK. 2008. Panca Yajna. Denpasar: Widya Dharma. Jelantik Oka, DKK. 2009. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar: Widya Dharma Denpasar. Ngakan Made Madrasuta. 2010. Hindu Akan Ada Selamanya. Jakarta: Media Hindu. Triguna, Yudha. 2011. Himpunan Dharma Wacana & Dharma Tula. Jakarta: Direktorat Jendral Bimas Hindu. Jelantik Sutanegara dan Sagung Martini. 2012. Upakarana Pedanda Buddha di Bali. Denpasar: PT Mabhakti.
Made I Sujana dan Nyoman I Susila. 2012. Manggala Upacara. Denpasar: Widya Dharma. Riyani, Ni Kadek. 2011. (Skripsi). Upacara Metatah Pada Masyarakat HinduBali Di Kecamatan Toili. Universitas Negeri Gorontalo. Desi Amanda Br Sitepu. 2013. (Skripsi). Persepsi Masyarakat Karo Tentang Upacara Mesai Nini. Universitas Negeri medan. Renold Hasan, 2008. (Skripsi). Persepsi Masyarakat Terhadap Adat Perkawinan. Universitas Negeri Gorontalo.