ANALISIS STOCK SPLIT SIGNAL PADA FUTURE PROFITABILITY PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK JAKARTA Asih P. Sari, SE., M.Si., dan Dr. Djoko Susanto, MSA., Akuntan PERSEPSI KEPUASAN TERHADAP KESUKSESAN KARIR DOSEN PERGURUAN TINGGI SWASTA (PTS) DI KOPERTIS WILAYAH V DIY Ani Muttaqiyathun, SE., M.Si. PELUANG DAN TANTANGAN TENAGA KERJA DI KABUPATEN SLEMAN DALAM PERPEKTIF SEKTORAL DAN SPASIAL Dra. Mufidhatul Khasanah, M.Si. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN PEDAGANG PASAR TRADISIONAL DI KOTA YOGYAKARTA Dra. Salamatun Asakdiyah, M.Si. dan Tina Sulistiyani, SE., MM. AUDIT VALUE FOR MONEY MENUJU AKUNTABILITAS PUBLIK Julianto Agung Saputro, SE., S.Kom., M.Si. PENGARUH KELOMPOK INDUSTRI, BASIS PERUSAHAAN, DAN TINGKAT RETURN TERHADAP KUALITAS PENGUNGKAPAN SUKARELA DALAM LAPORAN TAHUNAN: STUDI EMPIRIS DI BURSA EFEK JAKARTA Inge Gunawan, SE., M.Si. dan Dr. Djoko Susanto, MSA., Akuntan
ISSN 0853-1269 - Akreditasi No. 118/DIKTI/Kep/2001
Rp7.500,-
Editorial Staff Jurnal Akuntansi Manajemen (JAM) Editor in Chief Djoko Susanto STIE YKPN Yogyakarta Managing Editor Sinta Sudarini STIE YKPN Yogyakarta Editors Al. Haryono Jusup Universitas Gadjah Mada
Indra Wijaya Kusuma Universitas Gadjah Mada
Arief Ramelan Karseno Universitas Gadjah Mada
Jogiyanto H.M Universitas Gadjah Mada
Arief Suadi Universitas Gadjah Mada
Mardiasmo Universitas Gadjah Mada
Basu Swastha Dharmmesta Universitas Gadjah Mada
Soeratno Universitas Gadjah Mada
Djoko Susanto STIE YKPN Yogyakarta
Su’ad Husnan Universitas Gadjah Mada
Enny Pudjiastuti STIE YKPN Yogyakarta
Suwardjono Universitas Gadjah Mada
Gudono Universitas Gadjah Mada
Tandelilin Eduardus Universitas Gadjah Mada
Harsono Universitas Gadjah Mada
Zaki Baridwan Universitas Gadjah Mada
Editorial Secretary Rudy Badrudin STIE YKPN Yogyakarta Editorial Office Pusat Penelitian STIE YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 Fax. (0274) 486081 (http://v2.stieykpn.ac.id/jurnal)
DARI REDAKSI
Pembaca yang terhormat, Selamat berjumpa kembali dengan Jurnal Akuntansi Manajemen (JAM) STIE YKPN Yogyakarta Edisi April 2004. Kami telah melakukan beberapa perubahan tampilan dan isi JAM. Di samping perubahan-perubahan tersebut, kami juga memberikan kemudahan bagi para pembaca dalam mengarsip dalam bentuk file artikel-artikel yang telah dimuat pada edisi JAM sebelumnya dengan cara mengakses artikelartikel tersebut di website STIE YKPN Yogyakarta (www://stieykpn. ac.id). Semua itu kami lakukan sebagai konsekuensi ilmiah dengan telah Terakreditasinya JAM berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 118/DIKTI/ Kep/2001. Dalam JAM Edisi April 2004 Ini, Disajikan 6 Artikel Sebagai Berikut: Analisis Stock Split Signal pada Future Profitability Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta; Persepsi Kepuasan Terhadap Kesuksesan Karir Dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Kopertis Wilayah V DIY; Peluang dan
Tantangan Tenaga Kerja di Kabupaten Sleman dalam Perspektif Sektoral dan Spasial; Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Pedagang Pasar Tradisional di Kota Yogyakarta; Audit Value For Money Menuju Akuntabilitas Publik; dan Pengaruh Kelompok Industri, Basis Perusahaan, dan Tingkat Return Terhadap Kualitas Pengungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan: Studi Empiris di Bursa Efek Jakarta. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi pada penerbitan JAM Edisi April 2004 ini. Harapan kami mudah-mudahan artikel-artikel pada JAM tersebut dapat memberikan nilai tambah informasi dan pengetahuan dalam bidang Akuntansi, Manajemen, dan Ekonomi Pembangunan bagi para pembaca. Selamat menikmati sajian kami pada edisi ini dan sampai jumpai pada edisi Agustus 2004 dengan artikel-artikel yang lebih menarik. REDAKSI.
DAFTAR ISI
ANALISIS STOCK SPLIT SIGNAL PADA FUTURE PROFITABILITY PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK JAKARTA Asih P. Sari, SE., M.Si., dan Dr. Djoko Susanto, MSA., Akuntan 1 PERSEPSI KEPUASAN TERHADAP KESUKSESAN KARIR DOSEN PERGURUAN TINGGI SWASTA (PTS) DI KOPERTIS WILAYAH V DIY Ani Muttaqiyathun, SE., M.Si. 23 PELUANG DAN TANTANGAN TENAGA KERJA DI KABUPATEN SLEMAN DALAM PERPEKTIF SEKTORAL DAN SPASIAL Dra. Mufidhatul Khasanah, M.Si. 33 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENDAPATAN PEDAGANG PASAR TRADISIONAL DI KOTAYOGYAKARTA Dra. Salamatun Asakdiyah, M.Si. dan Tina Sulistiyani, SE., MM.
55 AUDIT VALUE FOR MONEY MENUJU AKUNTABILITAS PUBLIK Julianto Agung Saputro, SE., S.Kom., M.Si. 67 PENGARUH KELOMPOK INDUSTRI, BASIS PERUSAHAAN, DAN TINGKAT RETURN TERHADAPKUALITAS PENGUNGKAPAN SUKARELA DALAM LAPORAN TAHUNAN: STUDI EMPIRIS DI BURSA EFEK JAKARTA Inge Gunawan, SE., M.Si. dan Dr. Djoko Susanto, MSA., Akuntan
75
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
Analisis Stock Split Signal ......
ABSTRACT Small businesses in Indonesia have already proved that SPLIT SIGNAL
ANALISIS STOCK ANALISIS PENGARUH TEKANANPERUSAHAAN KETAATAN PADA FUTURE PROFITABILITY TERHADAP JUDGMENT YANG TERDAFTAR DI BURSA AUDITOR EFEK JAKARTA Hansiadi Yuli Hartanto1) *) P. Sari Indra Asih Wijaya Kusuma2) Djoko Susanto **)
Berbagai penelitian mengenai stock split telah banyak dilakukan, namun demikian hasil-hasil penelitian tersebut belum menjawab pertanyaan mengapa perusahaan melakukan stock split (Huang et al, 2002). Selain itu, secara empiris hanya terdapat sedikit bukti yang mendukung bahwa pengumuman stock split memberikan kandungan informasi tentang peningkatan profitabilitas masa depan perusahaan. Lakonishok dan Lev (1987) mengungkap bahwa perusahaan yang melakukan stock split memiliki pertumbuhan laba jangka pendek lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan stock split. McNichols dan Dravid (1990) menemukan hubungan signifikan antara excess return pada saat pengumuman split dan error peramalan laba satu tahun berikutnya. Namun fokus kedua penelitian tersebut hanyalah pada laba jangka pendek, sehingga tidak jelas apakah informasi laba masa depan perusahaan untuk jangka waktu yang lebih panjang sudah tercakup dalam keputusan manajemen untuk melakukan stock split. Secara teoritis, harga saham cenderung meningkat setelah perusahaan melakukan stock split. Penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa perusahaan memecah sahamnya untuk memberikan sinyal informasi mengenai laba masa depan yang akan diperoleh perusahaan. Dalam signaling hypothesis
*) **)
dikatakan bahwa stock split berhubungan dengan kelebihan laba karena manajer melakukan tindakan tersebut sebagai sarana untuk mengungkap informasi privat mengenai prospek perusahaan di masa depan. Hartono (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengaruh stock split memiliki sinyal positif dalam menyampaikan prospek perusahaan dengan kinerja yang baik kepada publik. Apabila pasar bereaksi pada saat pengumuman split, hal ini bukan berarti bahwa pasar bereaksi karena informasi tersebut memiliki nilai ekonomis, tetapi pasar bereaksi karena mengetahui prospek masa depan perusahaan yang disinyalkan melalui stock split. Copeland (1979) mengungkap bahwa dalam stock split terkandung biaya yang harus ditanggung, sehingga hanya perusahaan yang memiliki prospek baik saja yang dapat menanggung biaya ini dan sebagai akibatnya pasar bereaksi positif terhadap sinyal stock split. Begitu pula sebaliknya, pasar akan bereaksi negatif pada sinyal stock split bila prospek perusahaan dianggap tidak baik karena perusahaan tidak dapat menanggung biaya tersebut. Apabila pasar dinilai cukup kompetitif untuk mengetahui kondisi tersebut, maka sinyal stock split tidak akan menaikkan harga namun sebaliknya akan menurunkan harga saham perusahaan.
Asih P. Sari, SE., M.Si., adalah alumni Magister Akuntansi Program Pascasarjana STIE YKPN Yogyakarta. Dr. Djoko Susanto, MSA., Akuntan adalah Dosen Tetap STIE YKPN Yogyakarta.
1
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto Ikenberrry et al, (1996) menganalisis kinerja perusahaan yang melakukan stock split tiga tahun setelah pengumuman dengan menggunakan excess return. Huang et al, (2002) menguji hubungan antara stock split dan profitabilitas masa depan. Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa hanya terdapat sedikit bukti yang mendukung bahwa stock split memiliki hubungan positif dengan profitabilitas masa depan, bahkan stock split secara umum memiliki hubungan negatif dengan profitabilitas masa depan pada tahun-tahun setelah pengumuman, sehingga dapat dikatakan bahwa stock split bukanlah sinyal atas prospek laba perusahaan di masa depan (Huang et al., 2002). Di Indonesia penelitian tentang stock split di Bursa Efek Jakarta telah banyak dilakukan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh stock split terhadap: harga saham (Ewijaya dan Indriantoro, 1999), laba dan dividen (Anggraini, 1999 dan Marwata, 2000), keuntungan saham (Zulfikar, 1999), likuiditas (Sukardi, 1998, Fatmawati dan Asri, 1999, Susanti, 2000, Herawati, 2001, dan Nuryanti, 2001), risiko saham (Kurniawati, 2001), dan harga saham intra industri (Tobing, 2001). Begitu juga penelittian mengenai reaksi pasar terhadap stock split telah dilakukan oleh Sukardi (1998), Julita (2001) dan Kurniawati (2001). Berbeda dengan penelitianpenelitian di atas, studi ini dimaksudkan untuk meneliti kembali pengaruh stock split yang diproksikan sebagai split factor signal terhadap laba dan perubahan laba masa depan dalam konteks pasar modal di Indonesia dengan mengacu pada penelitian Huang et al., (2002). PENELITIAN TERDAHULU Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Huang et al. (2002) mengambil sampel 635 pengumuman stock split dari tahun 1982 hingga 1997. Sampel penelitian difokuskan pada pengumuman split yang memiliki split factor rendah, yaitu sama dengan atau kurang dari 0.5. Sebagaimana penelitian-penelitian terdahulu, sampel penelitian menunjukkan excess returns positif dalam kurun waktu lima hari menjelang pengumuman stock split. Temuan penelitian tersebut mengindikasikan adanya pertumbuhan laba negatif dua tahun setelah pengumuman stock split. Penelitian tersebut juga mengamati perusahaan-perusahaan yang menaikkan
2
Analisis Stock Split ......
pembayaran dividen sebelum tahun pengumuman split atau perusahaan-perusahaan yang mempertahankan pembayaran dividen pada tingkat yang sama dengan pembayaran sebelumnya. Bagi perusahaan-perusahaan yang tidak membayarkan dividen baik pada tahun sebelum pengumuman stock split atau perusahaan yang mengalami penurunan dividen menunjukkan pertumbuhan laba positif pada tahun pertama dan kedua, namun untuk tahun ketiga menunjukkan hasil yang berlawanan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa stock split memiliki hubungan negatif dengan laba masa depan. Hal yang menarik dari penelitian Huang et al. (2002) adalah bahwa perusahaan-perusahaan yang melakukan stock split pada tahun pengumuman memiliki pertumbuhan laba jauh lebih tinggi dibandingkan beberapa tahun setelahnya. Temuan ini mengindikasikan bahwa manajer mengambil keputusan untuk melakukan stock split didasarkan atas informasi kinerja perusahaan pada masa sekarang atau masa yang lalu dan dalam hal ini manajer cenderung merasa optimis mengenai laba perusahaan jangka panjang. Ada kemungkinan bahwa manajer cenderung tidak memberikan sinyal tetapi justru mereka melakukan stock split agar dapat menarik perhatian investor (Grinblatt et al., 1984), atau kemungkinan lain manajer melakukan split untuk menambah tingkat kepemilikan saham (Baker dan Powel, 1993). Hasil penelitian Huang et al. (2002) menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif antara split factor signal dengan tiga pengukuran profitabilitas masa depan, yang meliputi perubahan laba, laba, dan laba abnormal, sehingga penelitian tersebut bertujuan untuk menjelaskan bahwa stock split bukan merupakan sinyal yang dapat dipercaya untuk menilai kinerja laba masa depan. Stock Split Stock split atau pemecahan saham merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan go public untuk menaikkan jumlah lembar saham beredar (Brigham dan Gapenski, 1994). Pada dasarnya, stock split dikelompokkan dalam dua kategori yaitu split-up (pemecahan naik) dan split-down atau reverse split (pemecahan turun). Split-up adalah penurunan nilai nominal per lembar saham yang mengakibatkan bertambahnya jumlah lembar saham beredar. Misalnya
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto stock split dengan split factor 2:1, 3:1 atau 4:1 menunjukan bahwa jumlah lembar saham beredar setelah split naik menjadi masing-masing dua kali, tiga kali, atau empat kali lebih besar dibandingkan sebelum split. Split-down adalah peningkatan nilai nominal per lembar saham dan mengurangi jumlah lembar saham beredar. Split-down dengan split factor 1:2, 1:3, atau 1:4 menunjukkan bahwa jumlah lembar saham beredar setelah split masing-masing menjadi dua kali, tiga kali atau empat kali lebih kecil dibandingkan sebelum split. Dalam hal ini, split factor diartikan sebagai perbandingan antara jumlah lembar saham beredar setelah split dengan jumlah lembar saham beredar sebelum split (Swevezyk dan Tsetsekos, 1993). Pengaturan stock split belum tercakup dalam Standar Akuntansi Keuangan, meskipun demikian praktik stock split di Indonesia telah banyak dilakukan oleh emiten. Stock split yang umumnya dilakukan adalah split-up. Berbeda dengan Indonesia, di pasar modal Amerika yaitu New Stock Exchange (NYSE), praktik stock split diatur dengan membedakan stock split menjadi dua yaitu partial stock split dan full stock split (McGough, 1993). Partial stock split adalah bertambahnya distribusi saham yang beredar sebesar 25% atau lebih tetapi kurang dari 100% dari jumlah lembar saham lama yang telah beredar. Misalnya, stock split dengan split factors 1,25:1 atau 1,5:1. Full stock split adalah bertambahnya distribusi saham yang beredar sebesar 100% atau lebih dari jumlah saham lama yang telah beredar, misalnya 2:1, 3:1, atau 4:1. Stock split biasanya dilakukan setelah harga saham tertentu dianggap terlalu tinggi oleh pasar. Tingginya harga saham akan mengurangi minat investor membeli saham tersebut. Untuk meningkatkan minat investor terutama investor kecil sekaligus mempertahankan harga sahamnya agar tetap barada dalam kisaran perdagangan yang optimal, para emiten melakukan penurunan nilai nominal saham dengan cara melakukan stock split (McGough, 1993). Menurut Ballmore dan Blucher (1956) dalam Anggraini (1999) ada beberapa alasan seorang manajer melakukan stock split, antara lain: (1) meningkatkan daya pasar saham, (2) memberikan informasi mengenai kesempatan yang lebih besar untuk berinvestasi. Alasan pertama menjelaskan bahwa stock split dapat menguntungkan pemegang saham dengan meningkatkan popularitas dan daya pasar (marketabil-
Analisis Stock Split Signal ......
ity) sekuritas dengan membawa harga-harga saham pada kisaran pardagangan yang lebih baik (Johnson, 1966 dalam Anggraini, 1999). Pada umumnya literatur keuangan memusatkan pada alasan kedua yaitu argumentasi kandungan informasi sebagai motivasi yang kuat untuk memecah saham. Stock split memberikan informasi mengenai keuntungan yang akan datang kepada pemegang saham. Informasi tersebut dapat berupa informasi keuangan yang lebih baik seperti kesempatan investasi yang lebih besar yang diharapkan menghasilkan peningkatan laba pada masa mendatang (Bar dan Brown, 1977 dalam Anggraini, 1999). Teori Sinyal Teori sinyal menunjukkan masalah asimetri informasi di pasar. Asumsi yang mendasari teori ini yaitu bahwa manajer mempunyai informasi akurat tentang prospek perusahaan, yang tidak diketahui oleh investor dan analis keuangan sebagai individu yang selalu berusaha memaksimalkan insentif yang diharapkan. Asimetri informasi terjadi jika manajer tidak secara penuh menyampaikan semua informasi yang dimilikinya tentang semua hal yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan di pasar. Jika manajer menyampaikan suatu informasi ke pasar maka pada umumnya pasar akan merespon informasi tersebut sebagai suatu sinyal terhadap adanya peristiwa tertentu yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dari perubahan harga dan volume perdagangan saham yang terjadi. Sebagai implikasinya, pengumuman perusahaan untuk memecah saham akan direspon oleh pasar sebagai suatu sinyal informasi yang dikeluarkan oleh pihak manajer, yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai saham perusahaan dan aktivitas perdagangan Dalam teori sinyal juga disebutkan bahwa stock split merupakan suatu tindakan yang digunakan oleh manajemen untuk menyampaikan informasi mengenai laba masa depan ke pasar. Doran (1984) menjelaskan bahwa stock split dianggap sebagai sinyal yang diberikan oleh manajer kepada publik bahwa perusahaan memiliki prospek yang baik di masa depan. Analis akan menangkap sinyal tersebut dan kemudian menggunakannya untuk memprediksi laba jangka panjang perusahaan. Reaksi pasar tidak disebabkan oleh tindakan stock split, melainkan oleh prospek
3
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto perusahaan di masa depan yang disinyalkan oleh stock split tersebut. Lakonishok dan Lev (1987) memberikan beberapa bukti yang mendukung teori sinyal. Penelitian mereka menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan stock split menghasilkan pertumbuhan laba sebesar 16,31% pada tahun pertama setelah stock split, tetapi bagi perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan stock split mengalami pertumbuhan laba sedikit lebih kecil sebesar 13.28%. Meskipun demikian, hasil dari penelitian Lakonishok dan Lev (1987) menyimpulkan bahwa perusahaan melakukan stock split disebabkan karena perusahaan ingin menyesuaikan harga sahamnya agar berada pada tingkat harga yang optimal. Penelitian lain yang mendukung hasil di atas dilakukan oleh Asquith et al. (1989) yang melakukan penelitian terhadap 121 perusahaan yang melakukan stock split selama periode 1970-1980 dan tidak melakukan pembayaran dividen. Hal yang cukup menarik dari penelitian ini adalah perusahaan yang digunakan sebagai sampel ternyata tidak membagikan dividen selama 5 tahun terakhir menjelang stock split. Hasil penelitian ini adalah bahwa pasar bereaksi positif terhadap stock split, tetapi hal ini tidak disebabkan karena adanya informasi mengenai perusahaan yang akan membagikan dividen, namun lebih disebabkan kerena adanya peningkatan laba yang signifikan selama beberapa tahun sebelum stock split. Begitu juga penelitian yang dilakukan McNichols dan Dravid (1990) yang menemukan bahwa earnings forecast errors atau kesalahan peramalan laba selama satu tahun ke depan menunjukkan korelasi positif dengan pengumuman abnormal returns. Selanjutnya penelitian Ikenberry et al. (1996) serta Desai dan Jain (1997) memberikan hasil bahwa terdapat excess returns dalam tiga tahun setelah pengumuman stock split. Hasil penelitian mereka mendukung pendapat yang mengatakan bahwa stock split dapat menggambarkan optimisme manajemen di masa depan. Penelitian tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh Ikenberry et al. (1996) yang menemukan excess returns negatif selama tiga tahun setelah melakukan stock split terhadap 52 perusahaan yang memiliki harga saham negatif sebelum melakukan stock split. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian sinyal stock split memiliki dampak yang buruk terhadap
4
Analisis Stock Split ......
perusahaan. Walaupun demikian, Ikenberry et al. (1996) dan Desai dan Jain (1997), karena tidak menganalisa laba masa depan, maka hasil penelitian mereka tidak mengindikasikan adanya hubungan positif antara stock split dan profitabilitas masa depan. Bukti-bukti yang terdapat dalam penelitian Ikenberry dan Ramnath (2002) menunjukkan bahwa penyimpangan yang positif selama satu tahun setelah pengumuman stock split dihubungkan dengan kurangnya reaksi pasar. Secara khusus, penemuan mereka menyimpulkan bahwa para analis keuangan cenderung mengabaikan laba perusahaan yang melakukan stock split dan pendapat para analis ini secara bertahap akan hilang pada saat diumumkannya laba yang sesungguhnya (actual). Meskipun hasil penelitian Ikenberry dan Ramnath (2002) menunjukkan dugaan terhadap laba yang diharapkan oleh para analis, tetapi hal ini belum memperoleh kejelasan mengenai apakah stock split dapat mengindikasikan kinerja operasional perusahaan yang semakin meningkat di masa depan. Penelitian lain yang mendukung hasil dari penelitian Ikenberry dan Ramnath (2002) dilakukan oleh Lakonishok dan Lev (1987) yang melaporkan bahwa angka pertumbuhan laba pada perusahaan yang melakukan stock split selama satu tahun sebelum pengumuman stock split mengalami penurunan dari 26,35% menjadi masing-masing 16,31%, 8,61%, dan 8,02% dalam tiga tahun sesudah pengumuman stock split. Banyak penelitian tentang perusahaanperusahaan yang melakukan stock split dan juga penelitian mengenai perusahaan yang mengumumkan dividen yang dihubungkan dengan stock split, tetapi sampai saat ini belum dapat menjelaskan seberapa banyak kandungan informasi yang terdapat dalam pengumuman stock split dan pengumuman dividen. Berbagai usaha telah dilakukan untuk dapat menjelaskan seberapa besar kandungan informasi dividen yang dihubungkan dengan stock split, seperti penelitian yang dilakukan oleh Nayak dan Prabala (2001). Hasil penelitian Layak dan Prabala (2001) menunjukkan bahwa sekitar 54% pengaruh pengumuman stock split diberikan terhadap informasi yang terkandung pada stock split. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengumuman stock split dan pengumuman dividen merupakan informasi yang saling
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto dapat menggantikan satu sama lain (substitutes). Berbagai penelitian memberikan sedikit bukti yang mendukung pernyataan bahwa stock split dapat menghasilkan informasi yang menyenangkan mengenai pendapatan masa depan. Hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Grinblatt et al. (1984) yang menyatakan bahwa dengan cara menarik perhatian terhadap suatu perusahaan maka stock split dapat mengurangi asimetri informasi yang ada di pasar. Penelitian Brennan dan Hughes (1991) konsisten dengan penelitian Grinblatt et al. (1984), yang menyebutkan bahwa jumlah analis sekuritas yang mengikuti suatu perusahaan memiliki hubungan positif dengan besaran stock split. Selanjutnya Admati dan Pfleiderer (1988) menjelaskan bahwa informasi stock split bukan hanya menarik para traders tetapi para noise traders juga lebih tertarik terhadap informasi stock split disebabkan karena harga saham dinilai lebih rendah setelah stock split. Sebuah penjelasan alternatif mengenai stock split menyatakan bahwa perusahaan lebih tertarik jika saham-sahamnya diperdagangkan dalam kisaran harga tertentu (Copeland, 1979). Hal ini menunjukkan bahwa manajemen perusahaan memiliki kecenderungan untuk selalu mempertahankan harga sahamnya agar berada di kisaran harga tertentu sehingga apabila terdapat harga saham yang dinilai terlalu tinggi dapat menyebabkan para investor kecil atau investor yang belum diberi informasi tidak dapat memperdagangkan harga sahamnya dalam jumlah besar, maka ini semua akan dapat mempengaruhi likuiditas saham. Saham yang dipecah dapat meningkatkan likuiditas dengan menambah jumlah pemegang saham dan dapat juga mengurangi biaya perdagangan saham. Penelitian yang dilakukan oleh Baker dan Gallagher (1980) menunjukkan bahwa 94% dari sampel yang mereka teliti merupakan kepala bagian keuangan dari beberapa perusahaan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa mereka melakukan stock split agar mereka dapat mengembalikan harga saham perusahaan agar berada dalam kisaran perdagangan optimal. Meskipun demikian, terdapat bukti empiris yang membingungkan mengenai likuiditas yang semakin meningkat setelah stock split. Sebagai contoh, beberapa penelitian yang dilakukan oleh Copeland (1979), Lamoureux dan Poon (1987), Conroy et. al.
Analisis Stock Split Signal ......
(1990), dan Dubofsky (1991) yang menemukan hasil bahwa terdapat peningkatan signifikan dalam penelitian tentang likuiditas, seperti perubahan stock returns atau bid-ask spread yang proposional. Hasil yang sebaliknya ditunjukkan dalam penelitian Easley et al. (2001), yang dalam penelitiannya menemukan bahwa terjadi peningkatan jumlah investor yang tidak diberi informasi, meskipun mereka juga menemukan adanya peningkatan biaya perdagangan secara keseluruhan dari para investor yang tidak diberi informasi. Easley et al. (2001) menunjukkan bahwa hasil temuannya konsisten dengan trading range hypothesis. PENGEMBANGAN HIPOTESIS Hubungan Antara Split Factor Signal dan Perubahan Laba Menurut signaling hypothesis, para manajer yang melakukan stock split memiliki harapan agar dapat memberikan informasi khusus mengenai peningkatan laba perusahaan di masa depan. Dalam menguji signaling hypothesis, para analis keuangan harus mengetahui bukan hanya laba namun juga perubahan laba perusahaan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa stock split merupakan sinyal yang dapat dipercaya, maka setiap laba harus mencerminkan laba yang sesungguhnya (actual) dari perusahaan yang melakukan stock split sehingga investor tidak menggunakan semua informasi yang tersedia di pasar pada saat pengumuman stock split. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa investor perlu mengestimasi laba yang diharapkan dan laba yang tidak terduga. Huang et al. (2002) dalam penelitiannya mengestimasi laba yang cenderung tidak pasti sehingga laba yang diharapkan pada masa yang akan datang memiliki kecenderungan yang sama terhadap laba pada tahun ini. Konsekuensi yang diambil oleh Huang et al. (2002) adalah bahwa perubahan laba yang tidak terduga dapat diukur dengan perubahan laba yang direalisasikan. Hasil penelitian Huang et al. (2002) menyimpulkan bahwa pengumuman stock split dapat memprediksi perubahan laba di masa depan, tetapi sinyal stock split yang ditimbulkan bertentangan dengan prediksi model signaling. Penelitian ini juga
5
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto menyebutkan bahwa perusahaan yang mengalami penurunan dividen justru memberikan sinyal stock split yang positif selama tiga tahun dan tidak menemukan korelasi yang positif antara sinyal stock split dan perubahan laba dalam tiga tahun setelah pengumuman stock split pada perusahaan yang membagikan dividen. Untuk dapat mengendalikan dampak yang ditimbulkan dari perubahan dividen pada tahun pengumuman stock split maka penelitian ini menggunakan perubahan dividen yang dibandingkan dengan book value of equity pada awal tahun perusahaan yang melakukan stock split (ROE). Penggunaan ROE dalam persamaan regresi sebagai variabel kontrol dimaksudkan untuk mengontrol profitabilitas perusahaan pada tahun sebelumnya, dalam menjelaskan kandungan informasi pengumuman stock split. Huang et al. (2002) dalam penelitiannya juga menggunakan split factor signal sebagai informasi khusus perusahaan yang tidak diketahui oleh pasar pada saat perusahaan melakukan stock split. Penggunaan split factor signal dimaksudkan sebagai proksi untuk sinyal informasi khusus yang menguntungkan manajemen dalam meningkatkan profitabilitas perusahaan. Untuk menguji apakah stock split dapat digunakan untuk memprediksi laba yang tidak terduga di masa yang akan datang, maka hipotesis alternatif dapat disusun sebagai berikut: H1 : Split factor signal berpengaruh positif terhadap perubahan laba masa depan. Hubungan Antara Split Factors Signal dan Laba Masa Depan Penelitian yang dilakukan oleh Asquith et al, (1989) menguji apakah pengumuman stock split mengandung informasi laba masa depan. Sampel data yang digunakan sebanyak 121 perusahaan yang melakukan pengumuman stock split minimal 25% selama periode tahun 1970 hingga 1980 dan tidak membayarkan dividen. Mereka menyimpulkan bahwa reaksi positif pasar dengan adanya stock split tidak disebabkan oleh informasi bahwa kemungkinan perusahaan akan membagi dividen, namun lebih disebabkan oleh kemungkinan adanya peningkatan laba. Kesimpulan yang hampir sama juga dikemukakan oleh Lakonishok dan Lev (1987) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan
6
Analisis Stock Split ......
laba perusahaan yang melakukan stock split hanya berlangsung hingga tahun pertama setelah split. Hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (1999) terhadap kandungan informasi laba dan dividen yang dibawa oleh pengumuman stock split. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa stock split berhubungan negatif dengan perubahan laba sebelum dan setelah pengumuman stock split serta tidak terdapat peningkatan laba yang signifikan sebelum dan setelah pengumuman stock split. Hal tersebut tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Asquith et al. (1989) dan Lakonishok dan lev (1987). Marwata (2000) dalam Julita (1999) melakukan penelitian dengan menggunakan sampel perusahaan yang melakukan stock split antara tahun 1996-1997. Data laba yang digunakan adalah laba bersih, Earning Per Share (EPS), Price Earning Ratio (PER), dan Price to Book Value (PBV). Hasilnya membuktikan bahwa terjadi peningkatan laba dari tahun ketiga hingga tahun pertama sebelum pengumuman split. Dalam penelitian yang menganalisis informasi yang terkandung dalam hipotesa dividen, Nissim dan Ziv (2001) menyatakan bahwa perubahan laba memiliki kesalahan pengukuran yang lebih besar dibandingkan tingkat laba yang sesungguhnya (actual). Dalam hal ini alasan yang mendukung pendapat mereka adalah bahwa manajer akan meningkatkan dividen perusahaan pada saat mereka memiliki harapan terhadap peningkatan laba yang terjadi tanpa mereka duga sebelumnya. Bagaimanapun juga tingkat keyakinan para manajer tersebut kemungkinan tidak sama ketika menetapkan keputusan untuk meningkatkan laba pada saat sebelum mereka meningkatkan dividen perusahaan. Dalam kenyataannya, laba yang diharapkan oleh manajer perusahaan tidak dapat diketahui, sehingga untuk memperoleh laba yang diharapkan, manajer harus melakukan estimasi. Penelitian yang dilakukan oleh Nissim dan Ziv (2001) menggunakan laba yang sesungguhnya sebagai estimasi dari laba yang diharapkan dengan asumsi bahwa laba perusahaan pada setiap saat tidak akan berubah. Penelitian yang dilakukan oleh Huang et al. (2002) menyimpulkan bahwa stock split signal tidak dapat menjelaskan laba untuk tahun-tahun yang akan datang. Hasil ini menunjukkan bahwa stock split
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto mempunyai pengaruh negatif jika dihubungkan dengan laba masa depan pada tahun pertama dan ketiga setelah pengumuman stock split. Di samping itu, untuk perusahaan yang mengalami penurunan dividen, sinyal stock split yang ditimbulkan berpengaruh negatif pada tahun pertama dan kedua, sedangkan untuk tahun ketiga berpengaruh positif. Sehingga dalam hal ini signaling hypothesis diharapkan dapat memberikan informasi khusus yang dimiliki manajemen untuk menjelaskan laba masa depan. Pada perusahaan yang memiliki peningkatan dividen atau pembayaran dividennya sama dengan tahun sebelum pengumuman stock split, maka hal ini dapat memberikan pengaruh positif terhadap laba masa depan. Meskipun demikian, karena dampak dari sinyal stock split sangat mempengaruhi pengumuman dividen, maka cukup beralasan jika sinyal stock split berpengaruh positif disebabkan oleh perubahan dividen pada saat pengumuman stock split (Nayak dan Prabhala, 2001). Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disusun hipotesis alternatif sebagai berikut: H2 : Split factor signal berpengaruh positif terhadap laba masa depan. METODE PENELITIAN Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana yang digunakan dalam Huang et al. (2002) meliputi variabel yang ditujukan untuk menguji kedua hipotesis penelitian yang dikembangkan di atas. Variabel dependen adalah perubahan relatif laba tahun ke t terhadap laba tahun split dan laba pada tahun ke t dengan variabel independen adalah split factor. Variabel-variabel kontrol dalam penelitian ini adalah ROE, perubahan dividen, nilai buku ekuitas, harga saham, dan laba pada tahun split Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini didefinisikan dan diukur sebagai berikut : 1. Perubahan relatif laba tahun ke t terhadap laba tahun split (Et - Et-1) yaitu untuk t = 1, 2, 3, dimana Et-Et-1 adalah laba pada tahun ke t relatif terhadap laba tahun pengumuman stock split. Definisi laba
Analisis Stock Split Signal ......
yang digunakan dalam penelitian ini adalah laba sebelum pos luar biasa. 2. Laba pada tahun ke t (Et) yaitu untuk t = 1, 2, 3, dimana E t adalah laba pada tahun setelah pengumuman stock split. Sebagaimana dalam poin (1) di atas, untuk membuktikan apakah stock split memiliki kandungan informasi mengenai laba perusahaan di masa depan, maka laba dihitung untuk tahun pengumuman (tahun ke-0) hingga tiga tahun setelah pengumuman stock split (tahun pertama hingga tahun ketiga). 3. Split factor signal (spfac) merupakan informasi privat yang dimiliki manajemen mengenai laba masa depan perusahaan. Sebagaimana dalam Huang et al. (2002), variabel ini merupakan nilai residual dari persamaan berikut : SPLi = a0 + a1PR_PRICE + a2MVi + a3RUNUPi + spfaci ……………… (1) Di mana : SPLi
: adalah ukuran split factor perusahaan i, PR-PRICEi : adalah harga saham perusahaan i pada lima hari perdagangan menjelang split. Variabel ini dimasukkan karena perusahaan dengan harga saham yang tinggi lebih cenderung melakukan stock split; MVi : merupakan logaritma natural dari nilai pasar perusahaan pada lima hari perdagangan menjelang split. Variabel ini digunakan sebagai variabel kontrol, karena perusahaan besar cenderung untuk mempertahankan sahamnya pada harga yang tinggi; RUNUPi : adalah peningkatan harga, yang merupakan rasio antara harga saham perusahaan pada lima hari menjelang split dan harga saham satu tahun sebelum split; spfaci : merupakan nilai residual, yang dapat dipandang sebagai informasi privat perusahaan i yang tidak diketahui oleh pasar ketika perusahaan
7
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
4. 5.
6.
7.
8.
melakukan split, dan digunakan sebagai proksi untuk sinyal informasi privat yang menyenangkan (favorable) yang dimiliki manajemen. Variabel ini dimasukkan karena pada umumnya split dilakukan oleh perusahaan yang memiliki peningkatan harga saham tinggi; ROEt-1 adalah rasio laba terhadap nilai buku ekuitas pada awal tahun split (Et-1/Bt-1). Perubahan dividen (DDIV-1) adalah perubahan dividen dalam tahun menjelang tahun pengumuman stock split Nilai buku ekuitas (B-1) adalah nilai buku ekuitas pada awal tahun split, sebagai variabel penjelas yang mengkontrol untuk sumber-sumber informasi yang paling mungkin mengenai laba masa depan. Harga saham (P-1) adalah harga saham pada awal tahun pengumuman stock split yang juga merupakan variabel penjelas yang mengkontrol sumber-sumber informasi yang paling mungkin mengenai laba masa depan. Laba pada tahun split (E0) merupakan variabel penjelas yang mengkontrol laba dalam tahun pengumuman split.
Teknik Sampling Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh perusahaan publik yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan melakukan pemecahan saham dalam periode antara tahun 1993 hingga 1998. Metode pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling, dimana sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan, sebagai berikut: 1. Mempunyai split factor kurang dari atau sama dengan 0,5. 2. Data harga saham, jumlah lembar beredar dan return tersedia dari satu tahun sebelum dan lima hari di sekitar tanggal pengumuman stock split. 3. Data dividen sebelum dan sesudah tahun stock split. 4. Tersedia data laporan keuangan satu tahun sebelum dan tiga tahun sesudah stock split. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber diantaranya Bursa Efek
8
Analisis Stock Split ......
Jakarta, Indonesian Capital Market Directory, Indonesia Security Market Data Base, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan website www.bi.go.id. Data dan Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data mengenai tanggal pengumuman stock split, data mengenai pembayaran dividen, data harga saham dan data laporan keuangan tahunan seluruh perusahaan go public yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Periode penelitian mencakup tahun 1993 hingga tahun 1998. Periode ini relatif panjang karena jumlah perusahaan yang melakukan stock split untuk masingmasing tahun sangat sedikit dan untuk menghindari kekurangan data pada saat analisis. Dipilihnya Bursa Efek Jakarta sebagai sumber perolehan data karena Bursa Efek Jakarta merupakan pasar saham terbesar dan paling representatif di Indonesia. Model Analisis dan Uji Hipotesis Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda. Karena penelitian ini dilakukan untuk menguji dua variabel dependen yang berbeda, maka terdapat dua persamaan regresi, yaitu: 1. Hipotesis pertama, yang menyatakan bahwa split factor signal berpengaruh terhadap perubahan laba masa depan, diuji dengan persamaan regresi: (Et - Et-1)/B-1 = a0 + a1spfac0 + a2ROEt-1 + et ……………………..(2) ROE dimasukkan sebagai variabel kontrol karena dapat menjelaskan perubahan laba (Freeman, Ohlson, and Penman, 1982 dalam Huang et al., 2002); spfac merupakan proksi untuk split factor signal yang diperoleh dari persamaan (1), karena dalam signaling hypothesis manajer menggunakan stock split untuk mengungkap informasi privat yang menyenangkan (favorable) mengenai peningkatan laba perusahaan di masa depan. Model tersebut memasukkan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan stock split dan untuk membuktikan apakah stock split memiliki kandungan informasi mengenai laba perusahaan di masa depan,
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto maka perubahan laba dihitung untuk tahun pengumuman (tahun ke-0) hingga tiga tahun setelah pengumuman stock split (tahun pertama hingga tahun ketiga). Sebagaimana dalam Huang et al. (2002) perubahan laba tersebut dibagi dengan nilai buku ekuitas pada awal tahun split (B-1). 2. Hipotesis kedua, menyatakan bahwa split factor signal berpengaruh terhadap laba masa depan, diuji dengan persamaan berikut: Et = b0 + b1spfac0 + b2E0 + b3B-1 + b4P-1 + b5DDIV-1 + et ……………………. (3) Untuk menguji apakah split factor signal berpengaruh positif terhadap perubahan laba dan laba di masa depan digunakan uji t yaitu dengan melihat nilai t statistik. Sedangkan untuk melihat signifikansi dapat dilihat dari nilai probabilitasnya. Jika nilai probabilitas menunjukkan nilai kurang dari 0.05 maka dapat dinyatakan bahwa variabel independen berpengaruh signifikan pada level 5% terhadap variabel dependennya. Berdasarkan hasil uji t juga akan diperoleh hasil apakah variabel kontrol yang digunakan dalam model persamaan regresi juga mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependennya (perubahan laba dan laba masa depan). Lebih jauh lagi untuk mengetahui pengaruh secara simultan yaitu bagaimana semua variabel independen yang diikutkan dalam penelitian ini berpengaruh terhadap variabel dependennya (perubahan laba dan laba masa depan) dapat dilihat berdasarkan hasil uji F. Jika probabilitas pada uji F menunjukkan nilai lebih kecil dari 0.05 maka dapat dikatakan semua variabel independen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Populasi Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan melakukan stock split pada tahun 1993 hingga 1998. Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data sekunder, dan dari data yang ada
Analisis Stock Split Signal ......
diperoleh populasi sejumlah 153 perusahaan. Berdasarkan populasi tersebut kemudian dilakukan seleksi sampel, dan setelah melalui beberapa kriteria pemilihan sampel diperoleh sampel awal sebanyak 100 perusahaan selama periode pengamatan. Berdasarkan sampel awal tersebut kemudian dilakukan uji asumsi klasik yaitu normalitas, dan diperoleh hasil bahwa data yang digunakan tidak memenuhi asumsi normalitas. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan prosedur trimming yaitu dengan mengeluarkan data yang dianggap outlier, yaitu data dengan z-score lebih besar dari +1,96 atau lebih kecil dari –1,96 sehingga diperoleh distribusi data yang normal. Dari prosedur tersebut diperoleh sampel akhir sejumlah 38 split, dimana hal tersebut ditunjukkan dengan rasio skewness dan kurtosis yang berada dalam kisaran +2 dan –2. Profil Perusahaan Sampel Klasifikasi perusahaan berdasarkan tahun split. Tabel 1 menyajikan pengelompokan perusahaan berdasarkan tahun split selama periode pengamatan yaitu dari tahun 1993 hingga 1998. Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan sampel melakukan stock split pada tahun 1997 (16 perusahaan) dengan persentase sebesar 42.11%, disusul tahun 1996 (15 perusahaan) dengan persentase sebesar 39.47%. Sedangkan sisanya (7 perusahaan) melakukan split pada tahun 1995 dan 1998 (18.42 %). Tabel tersebut juga mengungkap bahwa selama dua tahun pertama pengamatan (tahun 1993 dan 1994) ternyata tidak terdapat perusahaan yang melakukan stock split. Tabel 1 Klasifikasi Perusahaan Berdasarkan Tahun Split Tahun Split 1993 1994 1995 1996 1997 1998 Jumlah
Jumlah Perusahaan 0 0 4 15 16 3 38
Persentasi (%) 0 0 10,53 39,47 42,11 7,89 100
9
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
Analisis Stock Split ......
Klasifikasi perusahaan berdasarkan ukuran split. Tabel 2 menggolongkan perusahaan sampel menurut ukuran split. Dari tabel tersebut terlihat bahwa seluruh perusahaan sampel ternyata memiliki ukuran split yang
sama sebesar 0.50, yaitu bahwa seluruh perusahaan sampel melakukan pemecahan saham dari 1 menjadi 2 saham.
Tabel 2 Klasifikasi Perusahaan Berdasarkan Ukuran Split Tahun Split <0,25 = 0,25 >0,25 dan <0,50 = 0,50 Jumlah
Jumlah Perusahaan 0 0 0 38 38
Klasifikasi perusahaan berdasarkan jenis usaha. Berikut ini disajikan pengelompokan sampel menurut jenis usaha dalam Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa sebagian besar perusahaan sampel
Persentasi (%) 0 0 0 100 100
berasal dari industri perdagangan, jasa dan investasi (23.69%), disusul dengan industri keuangan dan aneka industri masing-masing sebesar 21.05 %, sedangkan sisanya berasal dari industri lain.
Tabel 3 Klasifikasi Perusahaan Berdasarkan Jenis Usaha No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Industri Keuangan Perdagangan, Jasa dan Investasi Infrastruktur, Utulitas dan Transportasi Industri dasar dan Kimia Industri barang konsumsi Aneka industri Properti dan Real Estate Pertanian Jumlah
Klasifikasi perusahaan berdasarkan pembagian dividen. Tabel 4 memberikan gambaran mengenai pengelompokan perusahaan yang didasarkan atas pembagian dividen. Berdasarkan tabel tersebut maka dapat diketahui bahwa sebagian besar perusahaan sampel mengalami penurunan dalam hal pembayaran dividen yang dibagikan kepada investor dengan persentase masing-masing sebesar 42,11% dan 13,16%
10
Jumlah 8 9 2 7 1 8 2 1 38
Persentase (%) 21,05 23,69 5,27 18,42 2,63 21,05 5,27 18,42 100
dengan jumlah keseluruhan sebanyak 21 perusahaan. Selain itu terdapat 4 perusahaan yang mengalami kenaikan dalam pembagian dividen dengan persentase masing-masing sebesar 5,26%. Sedangkan perusahaan sampel dengan pembayaran dividen yang konstan (tidak berubah) berjumlah 4 perusahaan dengan persentase 10,53% dan yang tidak membagikan dividen sebesar 2,63% atau satu perusahaan.
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
Analisis Stock Split Signal ......
Tabel 4 Klasifikasi Perusahaan Berdasarkan Pembagian Dividen Keterangan Kenaikan > 100% Kenaikan = 100% Kenaikan < 100% Tidak ada kenaikan (tetap) Penurunan = 100% Penurunan < 100% Tidak membagikan dividen Jumlah
Statistik Deskriptif Variabel Penelitian Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa penelitian ini ditujukan untuk menguji dua
Jumlah 2 2 8 4 5 16 1 38
Persentasi (%) 5,26 5,26 21,05 10,53 13,16 42,11 2,63 100
hipotesis mengenai pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen selama 3 tahun. Tabel 5 menyajikan hasil statistik deskriptif variabel yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
Tabel 5 Ringkasan Statistik Deskriptif Variabel EC1 EC2 EC3 Spfac ROE E1 E2 E3 E0 B0 P0 DC
Maksimum 1,0248 1,0482 1,6112 0,0270 25,05000 96.806.000.000 140.156.000.000 192.924.000.000 60.213.000.000 310.315.000.000 7,200 1,9375
Pada tabel tersebut tampak bahwa perubahan laba tahun ketiga setelah split memiliki nilai terbesar yaitu 1,6112 jika dibandingkan dengan perubahan laba pada tahun pertama dan kedua dimana laba dari masing-masing tahun tersebut menunjukkan nilai 1,0248 dan 1,0482. Hasil yang tidak jauh berbeda terjadi pada laba tahun ketiga setelah split yaitu sebesar 192,924 milyar rupiah jika dibandingkan dengan laba pada tahun pertama dan
Minimum -0,7972 -0,8454 -1,0026 -0,0008 -2,0500 -115.231.000.000 -123.380.000.000 -112.748.000.000 -35.046.000.000 23.845.000.000 425 -1,0000
Rata-rata -0,0609 -0,0265 0,1086 0,0086 1,7616 4.147.736.842 2.752.000.000 22.543.552.632 16.271.473.684 124.826.315.789 2884,215 -0,0696
kedua setelah split dengan jumlah masing-masing sebesar 96,806 milyar dan 140,156 milyar rupiah. Nilai rata-rata tertinggi juga terjadi pada laba pada tahun ketiga setelah split yaitu sebesar 22,543 milyar rupiah. Sedangkan untuk perubahan dividen, nilai tertinggi sebesar 1,9375 dan terendah sebesar –1,0000 dengan rata-rata –0,0696.
11
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
Analisis Stock Split ......
Hasil Uji Asumsi Klasik Regresi Pengujian asumsi normalitas. Uji asumsi normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan dalam penelitian ini memiliki distribusi normal. Uji normalitas data dilakukan dengan melihat rasio skewness atau rasio kurtosis seperti tampak dalam Tabel 6. Rasio skewness dan kurtosis diperoleh dengan membagi nilai skewness dan nilai kurtosis dengan standart error masing-masing nilai tersebut. Apabila
nilai skewness dan nilai kurtosis berada diantara –2 dan +2 maka data dikatakan telah memenuhi asumsi klasik normalitas. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa semua rasio, baik skewness maupun kurtosis menunjukkan angka lebih kecil 2 dan lebih besar dari – 2 kecuali rasio skewnes untuk perubahan dividen. Meskipun demikian rasio kurtosis untuk perubahan dividen (DC) menunjukkan angka kurang dari +2, sehingga dari keseluruhan uji normalitas dapat dikatakan bahwa seluruh variabel penelitian telah memenuhi asumsi normalitas.
Tabel 6 Hasil Pengujian Normalitas Variabel Penelitian Perubahan Laba tahun ke-1 (EC1) Perubahan Laba tahun ke-2 (EC2) Perubahan Laba tahun ke-3 (EC3) Split Factor (Spfac) Return On Equity (ROE) Laba tahun pertama (E1) Laba tahun kedua (E2) Laba tahun 3 (E3) Laba pada awal tahun Split (E0) Nilai buku ekuitas pada awal tahun split (B0) Harga saham awal tahun split (P0) Perubahan Dividen (DC)
Rasio Skewnes 1,18 1,26 0,85 1,99 0,41 -1,80 -0,40 0,55 -0,52 1,14 1,67 2,63
Pengujian asumsi multikolinearitas. Pengujian asumsi klasik multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). Secara umum jika VIF lebih besar dari 10 maka variabel tersebut memiliki persoalan multikolinearitas dengan variabel
Rasio Kurtosis 1,33 1,72 -0,27 -0,23 0,20 1,30 0,59 1,01 0,84 -1,03 -0,52 1,17
bebas lainnya, dan suatu variabel dikatakan bebas multikolinearitas apabila nilai VIF mendekati 1, yang berarti bahwa tidak terdapat kolinearitas diantara variabel-variabel independen yang diregresi. Berikut ini disajikan tabel hasil pengujian multikolinieritas:
Tabel 7 Hasil Pengujian Multikolinearitas Model Regresi Model Regresi I Model Regresi II
12
Keterangan Normalitas Normalitas Normalitas Normalitas Normalitas Normalitas Normalitas Normalitas Normalitas Normalitas Normalitas Normalitas
Variabel Independen Spfac ROE Spfac E0 B0 P0 DC
Nilai VIF 1.008 1.008 1.605 1.159 1.935 1.020 1.024
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
Analisis Stock Split Signal ......
Dengan melihat pada Tabel 7 di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh nilai VIF tidak satupun yang lebih besar dari 10, sehingga hal tersebut menunjukkan tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas. Multikolinearitas dapat juga dilihat dari nilai korelasi, dan apabila dilihat pada lampiran besaran korelasi masing-masing variabel kurang dari 80% sehingga
dapat ditarik kesimpulan tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas. Pengujian asumsi autokorelasi. Pengujian autokorelasi dilakukan dengan melihat hasil Durbin Watson pada analisis regresi. Gambar 1 menyajikan hasil untuk pengujian autokerelasi pada model persamaan pertama, sebagai berikut:
Gambar 1 Hasil Uji Autokorelasi Persamaan Regresi I
Positive Autocorelation
Indecision
No Autocorelation
Indecision
Negative Autocorelation
0
dl = 1.28
du = 1.50
4-du = 2.50
4-dl = 2.72
s
s DW = 1.955 s DW = 1.768 DW = 1.642
Berdasarkan hasil analisis regresi untuk model persamaan pertama diperoleh hasil masing-masing untuk DW hitung pada EC1 sebesar 1.955, EC2 sebesar 1.642, dan EC3 sebesar 1.768. Sedangkan untuk DW tabel untuk n = 38 dan k = 2 pada tingkat signifikansi 5% dapat diperoleh nilai dL = 1.28; dU = 1.50; 4-dL = 2.72; dan 4-dU = 2.5. Dengan demikian berdasarkan hasil
pengujian autokorelasi ini dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi pada model pertama telah bebas dari masalah autokorelasi karena semua model berada pada daerah no autocorrelation. Uji autokorelasi pada model persamaan kedua disajikan pada Gambar 2 sebagai berikut:
Gambar 2 Hasil Uji Autokorelasi Persamaan Regresi II Positive Autocorelation
Indecision
No Autocorelation
Indecision
Negative Autocorelation
0
dl = 1.12
du = 1.64
4-du = 2.36
4-dl = 2.88
s
s DW = 2.358 s DW = 1.946 DW = 1.673
13
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto Untuk uji autokorelasi pada analisis regresi model persamaan kedua diperoleh hasil untuk DW hitung masing-masing pada E1 sebesar 2.358, E2 sebesar 1.946, dan E3 sebesar 1.673. Sedangkan untuk DW tabel pada n = 38 dan k = 5 pada tingkat signifikansi 5% diperoleh nilai dL = 1.12; dU = 1.64; 4-dL = 2.88; 4-dU = 2.36. Hasil uji autokorelasi atas persamaan regresi kedua tersebut menunjukkan hasil yang sama dengan pengujian terhadap model persamaan pertama yaitu bebas dari masalah autokorelasi karena model ini juga berada pada daerah no autocorrelation. Pengujian asumsi heteroskedastisitas. Pengujian asumsi heteroskedastisitas dilakukan dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat (ZPRED) dengan residualnya (SREZID). Dalam mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SREZID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi dan sumbu X adalah residual yang telah di-studentized. Berdasarkan uji tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat pola yang jelas, seperti titik-titik yang menyebar di atas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada sampel yang digunakan. Perumusan Model Persamaan Regresi Model yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Huang et al. (2002) yaitu pengaruh stock split yang diproksikan sebagai split factor signal terhadap laba dan perubahan laba. Huang et al. (2002) menggunakan split factor signal sebagai informasi khusus perusahaan yang tidak diketahui oleh pasar pada saat perusahaan melakukan stock split. Split factor signal digunakan sebagai proksi atas sinyal informasi khusus yang menguntungkan manajemen dalam meningkatkan profitabilitas perusahaan. Untuk mengutip informasi khusus manajemen mengenai kinerja perusahaan yang terdapat dalam split, terdapat beberapa variabel yang dapat mempengaruhi keputusan manajemen dalam melakukan split. Menurut McNichols dan Dravid (1990) dalam Huang et al. (2002) beberapa variabel tersebut merupakan nilai residual dari persamaan berikut:
14
Analisis Stock Split ......
SPLi = a0 + a1PR_PRICE + a2Mvi + a3RUNUPi + spfaci
(4)
Nilai spfac yang merupakan residual error dari hasil persamaan regresi digunakan sebagai proksi dari split factor signal untuk masing-masing perusahaan sampel. Model analisis regresi linier berganda yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu (1) pengaruh split factor terhadap perubahan laba masa depan untuk tahun pertama, kedua dan ketiga setelah split yang diformulasikan sebagai berikut: (Et - Et-1)/B-1 = a0 + a1spfac0 + a2ROEt-1 + et
(5)
dan (2) pengaruh split factor terhadap laba perusahaan di masa mendatang untuk tahun pertama, kedua dan ketiga setelah split, dan dirumuskan dalam persamaan berikut: Et = b0 + b1spfac0 + b2E0 + b3 B-1 + b4P-1 + b5DDIV-1 + et
(6)
Berdasarkan dua model persamaan tersebut diperoleh hasil persamaan matematis model regresi dari hasil uji t, yaitu: 1. Model matematis persamaan regresi I: Perubahan laba tahun 1 = -0,098 + 0,328 spfac – 0,159 ROE (7) Perubahan laba tahun 2 = 0,183 – 0,049 spfac – 0,242 ROE (8) Perubahan laba tahun 3 = 0,256 – 0,318 spfac + 0,119 ROE (9) 2. Model matematis persamaan regresi II: Laba masa depan tahun 1 = 0,000000047 + 0,502 spfac0 + 0,267 E0 + 0,111 B-1 + 0,018 P-1 – 0,023 DDIV-1 (10) Laba masa depan tahun 2 = 0,000000046 + 0,455 spfac0 –0,254 E0 + 0,403 B-1 – 0,100 P-1 – 0,023 DDIV-1 (11) Laba masa depan tahun 3 = 0,000000035 – 0,212 spfac0 + 0,170 E0 + 0,099 B-1 – 0,143 P-1 + 0,026 DDIV-1 (12) Berdasarkan persamaan regresi pertama diketahui bahwa konstanta untuk perubahan laba tahun
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
Analisis Stock Split Signal ......
pertama, kedua, dan ketiga masing-masing adalah – 0,098; 0,183; dan 0,256. Hal ini berarti bahwa dengan asumsi variabel independen konstan, maka perubahan laba masa depan perusahaan untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga adalah sebesar nilai konstanta tersebut. Koefisien regresi spfac untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga masing-masing sebesar 0,328; –0,049; dan –0,318. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan dalam split factor signal sebesar 1 untuk masing-masing tahun tersebut akan menyebabkan kenaikan dalam perubahan laba pada tahun pertama dan menyebabkan penurunan dalam perubahan laba pada tahun kedua dan ketiga sebesar nilai koefisien tersebut. Sedangkan koefisien regresi ROE untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga masing-masing adalah sebesar –0,159; –0,242; dan 0,119. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan ROE sebesar 1 maka akan menyebabkan penurunan dalam perubahan laba untuk tahun pertama dan kedua, dan kenaikan untuk tahun ketiga sebesar koefisien tersebut.
Persamaan regresi kedua menunjukkan bahwa konstanta untuk laba tahun pertama, kedua, dan ketiga masing-masing adalah 0,000000047; 0,000000046; dan 0,000000035. Hal ini berarti bahwa dengan asumsi variabel independen konstan, maka laba masa depan perusahaan untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga adalah sebesar nilai konstanta tersebut. Koefisien regresi spfac untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga masing-masing sebesar 0,502; 0,455; dan –0,212. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan dalam split factor signal sebesar 1 untuk masing-masing tahun tersebut akan menyebabkan kenaikan dalam laba pada tahun pertama dan kedua, serta menyebabkan penurunan dalam perubahan laba pada tahun ketiga sebesar nilai koefisien tersebut. Pengaruh Split Factor Terhadap Perubahan Laba Berikut ini disajikan hasil analisis regresi untuk menguji hipotesis pertama, yaitu pengaruh split factor terhadap perubahan laba, sebagai berikut:
Tabel 8 Hasil Pengujian Split Factor Terhadap Perubahan Laba Variabel Independe Variabel Dependen
Spfac Adjusted R2
t
Sig
Keterangan
EC1
0,093
2,087
0,044
H1 terima
EC2
0,005
-0,297
0,769
H1 tidak dapat dit
EC3
0,072
-2,000
0,053
H1 tidak dapat dit
Hasil dalam penelitian ini konsisten dengan temuan Huang et al. (2002) dalam hal arah hubungan split factor signal terhadap perubahan laba masa depan untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga setelah split.
Sedikit berbeda dengan temuan Huang et al. (2002) yang menemukan adanya hubungan positif yang tidak signifikan untuk tahun pertama dan hubungan negatif yang tidak signifikan untuk tahun kedua dan ketiga,
15
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto temuan dalam penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan pada tahun pertama, sedangkan temuan yang lain konsisten dengan Huang et al. (2002). Hasil ini mengindikasikan bahwa pengumuman stock split bukan saja tidak dapat memprediksi perubahan laba di masa mendatang, namun juga bahwa dua dari tiga arah hubungan yang dihasilkan bertentangan dengan prediksi model signaling, dimana model tersebut menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan stock split secara tidak langsung ingin memberikan sinyal ke pasar bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang baik. Hal tersebut juga ditunjukkan dalam penelitian Lakonishok dan Lev (1987), yang mendokumentasikan bahwa perusahaan yang melakukan stock split memiliki pertumbuhan laba dalam jangka pendek yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak melakukan stock split. Dengan kata lain hasil penelitian ini mengungkap bahwa terdapat pertumbuhan laba negatif dua tahun setelah perusahaan melakukan stock split. Sebagai variabel kontrol, ROE ditemukan memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap perubahan laba, baik untuk tahun pertama, kedua,
Analisis Stock Split ......
maupun tahun ketiga setelah split. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai signifikansi yang jauh di atas level signifikansi (a) 5%. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa ROE dimasukkan sebagai variabel kontrol karena ROE dapat menjelaskan perubahan laba (Freeman et al., 1982 dalam Huang et al., 2002). Namun demikian, dalam kurun tiga tahun setelah split variabel split factor signal dan ROE apabila digabungkan hanya mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap perubahan laba masa depan untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga masing-masing sebesar 9,3%; 0,5%; dan 7,2%. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai Adjusted R2 yang tidak lebih dari sepuluh persen, yaitu sebesar 0,093; 0,005; dan 0.072 masing-masing untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga, sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain di luar variabel penelitian. Pengaruh Split Factor Terhadap Laba Masa Depan Hipotesis kedua dalam penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara split factor signal terhadap laba masa depan setelah perusahaan melakukan stock split. Tabel 9 berikut ini menyajikan hasil analisis untuk hipotesis tersebut.
Tabel 9 Hasil Pengujian Split Factor terhadap Laba Masa Depan Variabel Dependen
16
Variabel Independen E0
Spfac
Adjusted 2 R
t (sig)
E1
0,116
E2
E3
Keterangan
t
2,563 (0,015)
H2 diterima
1,602 (0,119)
0,075
2,271 (0,030)
H2 diterima
-1,491 (0,146)
0,021
-1,028 (0,312)
H2 tidak dapat diterima
0,973 (0,338)
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto Berdasarkan hasil analisis sebagaimana terangkum dalam Tabel 9 di atas terlihat bahwa split factor signal memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap laba perusahaan di masa depan untuk tahun pertama dan kedua setelah split, yang ditunjukkan dengan tingkat signifikansi masing-masing sebesar 1,5% dan 3%, sehingga dengan kata lain hipotesis kedua diterima untuk tahun pertama dan kedua. Namun tidak demikian halnya dengan laba pada tahun ketiga setelah split, yang menunjukkan adanya hubungan negatif yang tidak signifikan, sehingga hipotesis tersebut tidak dapat diterima. Variasi laba setelah split dapat dijelaskan oleh variasi dari variabel-variabel independen sebesar 11,6%; 7,5%; dan 2,1% masing-masing untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga setelah split. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai Adjusted R2 untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga masing-masing sebesar 0,116; 0,075; dan 0,021. Sedangkan sisanya sebesar 88,4%; 92,5%; dan 97,9% masing-masing untuk tahun pertama, kedua, dan ketiga setelah perusahaan melakukan stock plit dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam variabel penelitian. Split factor signal memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap laba pada tahun pertama dan kedua setelah perusahaan melakukan stock split. Hal tersebut berarti bahwa split signal dapat menjelaskan laba untuk tahun pertama dan kedua setelah split, namun tidak untuk tahun ketiga. Hasil ini bertentangan dengan temuan Huang et al. (2002) yang menyatakan bahwa split signal memiliki hubungan negatif dengan laba masa depan, bahkan split signal tidak berpengaruh terhadap laba masa depan, baik untuk tahun pertama, kedua, maupun tahun ketiga setelah split. Huang et al (2002) menemukan bahwa split signal memiliki hubungan negatif dengan laba masa depan untuk tahun pertama dan ketiga setelah split, serta hubungan positif untuk tahun kedua setelah split. Namun tidak satupun dari hubungan tersebut yang memiliki pengaruh signifikan. SIMPULAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sinyal stock split dapat mempengaruhi profitabilitas perusahaan-perusahaan di masa yang akan datang. Jika
Analisis Stock Split Signal ......
sinyal stock split ini dianggap sebagai informasi yang kuat bagi pasar maka hal ini dapat memberikan optimisme pihak manajer terhadap pertumbuhan laba perusahaan di masa yang akan datang. Penelitian ini secara khusus menguji karasteristik sinyal stock split dengan menggunakan pengukuran profitabilitas masa depan yaitu perubahan laba masa depan dan laba masa depan. Hasil pengujian hipotesis pertama (H1) dan kedua (H2) ini secara umum menunjukkan kesamaan pada hasil-hasil penelitian sejenis sebelumnya, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Lakonishok dan Lev (1987) dan McNichols dan Dravid (1990) yang mengatakan bahwa perusahaan yang melakukan pemecahan saham memiliki pertumbuhan laba jangka pendek jika dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan stock split. Pendapat yang sama juga kemukakan oleh Huang et al. (2002) bahwa terdapat peningkatan laba pada saat perusahaan mengumuman split sedangkan untuk tahun-tahun mendatang sinyal stock split tidak membantu menjelaskan adanya peningkatan laba. Akan tetapi, hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Anggraini (1999) terhadap kandungan informasi laba dan dividen yang dibawa oleh pengumuman stock split. Peneliti menyimpulkan bahwa stock split berhubungan negatif dengan perubahan laba sebelum dan setelah pengumuman stock split serta tidak ada peningkatan laba yang signifikan sebelum dan setelah pengumuman stock split. Pengaruh split factor (spfac) terhadap perubahan laba tahun pertama menunjukkan hasil yang signifikan dan memiliki arah hubungan positif. Hasil pengujian ini memberikan simpulan bahwa spfac secara signifikan berhubungan positif atau dapat mempengaruhi perubahan laba tahun pertama. Tahun kedua memiliki hasil yang berbeda yaitu spfac dan perubahan laba memiliki hasil yang tidak signifikan dan mempunyai arah hubungan negatif, sehingga dapat disimpulkan bahwa spfac berhubungan negatif atau tidak berpengaruh terhadap perubahan laba tahun kedua. Tahun ketiga menunjukkan hasil bahwa spfac dan perubahan laba pada tahun ketiga menunjukkan arah hubungan negatif dan signifikan sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa spfac berpengaruh negatif atau tidak berpengaruh terhadap perubahan laba tahun ketiga.
17
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto Pengaruh split factor terhadap laba masa depan pada tahun pertama memiliki arah hubungan yang positif dan signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa spfac secara signifikan berhubungan positif atau dapat mempengaruhi laba masa depan tahun pertama. Hasil yang tidak jauh berbeda juga terdapat ditahun kedua yang menunjukkan bahwa spfac dan laba masa depan berpengaruh secara signifikan dan memilki hubungan yang positif, sehingga dapat disimpulkan pula bahwa spfac secara signifikan berhubungan negatif atau tidak berpengaruh terhadap laba masa depan di tahun kedua. Spfac dan laba masa depan pada tahun ketiga memiliki hasil berbeda yang menunjukkan adanya arah hubungan yang negatif dan tidak signifikan, sehingga hasil ini menyimpulkan bahwa spfac berhubungan negatif atau tidak mempengaruhi laba masa depan tahun ketiga . Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa bukti yang penting bagi pelaku pasar modal di Bursa Efek Jakarta sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan investasi pada perusahaan yang melakukan stock split. Namun demikian hasil penelitian ini haruslah diinterpretasikan dengan hati hati mengingat beberapa keterbatasan yang melekat pada penelitian ini. Rentang waktu yang panjang dengan data dari tahun 1996 sampai dengan 1998 meliputi masa sebelum krisis ekonomi dan pasca krisis ekonomi berpeluang besar memberikan hasil yang bias terhadap hasil penelitian. Hal ini terutama apabila perilaku investor yang tercermin dari aktivitas perdangangan di lantai bursa berbeda antara masa sebelum krisis dan sesudah
18
Analisis Stock Split ......
krisis ekonomi, sehingga terdapat kecenderungan aktivitas di lantai bursa bukan lagi sebagai aktivitas alternatif keputusan investasi. Dalam melakukan pengujian penelitian ini tidak mempertimbangkan size effect. Lakonishok dan Lev (1987) serta Ikenberry et al. (1996) mengemukakan bahwa ukuran perusahaan yang ditunjukkan dalam hipotesa trading range dapat memberikan informasi terhadap perusahaan yang melakukan stock split khususnya bagi perusahan yang berukuran sedang untuk dapat mengembalikan harga saham mereka pada kisaran yang normal. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Han dan Suk (1998) bahwa ukuran perusahaan dapat menunjukkan adanya informasi asimetri. Penelitian ini tidak memasukkan pengujian terhadap laba abnormal masa depan seperti pada penelitian Huang et al., (2002). Ketidakcukupan informasi terhadap data real equity premium menambah kesulitan untuk memberikan hasil dan kesimpulan yang tepat dan akurat. Keterbatasan data khususnya pada pengelompokkan harga saham perusahaan-perusahaan yang mendekati nilai median dan pengkategorian kreteria sampel penelitan terhadap split factor yang tidak mungkin dilakukan oleh mengingat kondisi perusahaan yang melakukan stock split tidak begitu banyak. Beberapa keterbatasan tersebut di atas diharapkan dapat mendorong penelitian lebih lanjut untuk mempertajam hasil penelitian ini di masa yang akan datang dengan mengeliminir keterbatasan tersebut.
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
DAFTAR PUSTAKA Admati, A. R. and P. Pfleiderer (1988), “A Theory of Intraday Patterns: Volume and Price Variability”, Review of Financial Studies 1, 3-40. Anggraini, W. (1999), “Penelitian Tentang Informasi Laba dan Dividen Kas yang Dibawa oleh Pengumuman Pemecahan Saham”, Tests, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Asquith, Asquith, O., P. Healy, dan K. Palepu (1989), “Earnings and Stock Split”, Accounting review 64, 387-403. Baker, H. K. dan P. L. Gallagher (1980), “Management’s View of Stock Split”, Financial Management 9, 73-77. Baker, H. K. dan Powel, G. E. (1993), “Futher Evidence on Managerial Motive for Stock Splits”, Quarterly Journal of Business & Economics 32, 20-23. Boehme, D. R. dan S. M. Sorescu (2002), “Reexamining the Long-run Stock Split Anomaly Puzzle”. Brennan, M. J. dan T.E. Copeland (1988), “Stock Split, Stock Prices, and Transaction Costs”, Journal of Finance Economics 22, 83-101. Brennan, M. J. dan P. J. Hughes (1991), “Stock Price and The Supply of Information”, Journal of Finance 46, 1665-1691. Brigham, E. F. dan L. C. Gapensiki (1994), “Financial Management: Theory and Practice, Orlando, The Dryden Press.
Analisis Stock Split Signal ......
Spread”, The,Journal of finance 45, 1285-1295. Copeland, T. E. (1979), “Liquidity Change Following Stock Split”, The Journal of Finance (march), 115-141. Desai, N. S., M. Nimalendran, dan S. Venkataraman (1998), “Change in Trading Activity Following Stock Split and Their Effect on Volatility and AdverseInformation Component of The Bid-ask spread”, The Journal of Financial Research (summer), 159-183. Doran, D. (1994), “Stock Split Test Earnings Signaling and Attention Derecting Hypothesis Using Analysis Forecast and Revision”, Journal of Accounting,Auditing and Finance 9, 411-422. Dubofsky, D.A. (1991), “Volatility Increases Subsequent to NYSE and AMEX Stock Splits,’ ^Journal of Finance 46, 421-431. Easly, D., M. O’Hara, dan G. Saar (2001), “How Stock Splits Affect Trading: A Microstructure Approach, “Journal of Finance and Quantitative Analysis 36, 2551. Ewijaya dan N. Indriantoro (1999), “Analisis Pengaruh Pemecahan Saham terhadap Perubahan Harga Saham”, Journal Riset Akuntansi Indonesia Vol II no.l (Januari): 53-65. Fatmawati, S, dan Marwan Asri (1999), “Pengaruh Stock Split Terhadap Likuiditas Saham yang diukur dengan Bid Ask Spread di Bursa Efek Jakarta”, Jurnal Ekonomi dun Bisnis Indonesia, Vol 14, no. 4.
Conroy, J. S., R. S. Harris dan B. A. Benet (1990), The Effects of Stock Split on Bid-ask
19
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
Grinblatt, M, S., R. W. Masulis, dan S. Titman (1984), The Valuation Effects of Stock Splits and Stock Dividends” Journal of Financial Economics 13, 461-490. Han, K. C. dan D. Y. Suk (1998), “Insider Ownership and Signals: Evidence from Stock Split Announcement Effects”, The Financial Review 33, 1-24. Hartono, J. M. (1998), “Teori Portofolio dan Analisis Investasi”, edisi II Yogayakarta, BPFE. Herawati, D. S. (2001), “Analisis Pengaruh Saham Terhadap Volume Perdagangan dan Harga Saham”, Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Huang, G., Liano, K, dan Pan, M. (2002), “Do Stock Split Signal Future Profitability”. Ikenberry, D. L., G. Rankine, dan E. K. Slice (1996), “What Do Stock Splits Really Signal?” Journal of Financial and Quantitaive Analysis 31, 357-375. Ikenberry, D. L., dan S. Ramnath (2002), “Underreaction to Self-selected News Events: The Case of Stock Split”, Review of Financial Studies 15, 489-526. Indonesian Capital Market Directory. Julita (2001), “Reaksi Pasar Terhadap Pengumuman Pemecahan Saham”, Tests,Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Kurniawati, I. (2001), “Analisis Kandungan Informasi Stock Split Menggunakan Beta Koreksi dan Perbedaan Beta Seputar Stock Split di Bursa Saham Jakarta”, Tests, Untversitas Gajah Mada, Yogyakarla.
20
Analisis Stock Split ......
Lakonishok, J. dan B. Lev (1987), “Stock Splits and Stock Dividends: Why, Who, and When,” Journal of Finance 42, 913-932. Lamoureux, C. G. dan P. Poon, 1987, ‘The Market Reaction to Stock Splits”, Journal of’Finance 42, 1347-1370. Marwata (2000), “Kinerja Keuangan, Harga Saham, dan Pemecahan Saham”, Makalah yang dipresentasikan pada SNA III di Jakarta. McGough, E. F., (1993), “Anatomy of Stock Split”, Management accounting. McNichols, M. dan A. Dravid (1990), “Stock Dividends, Stock Splits and Signaling”, Journal of Finance 45, 857-879. Murray, D. (1985), “Futher Evidence on The Liquidity Effects of Stock Split and Stock Dividends”, Journal of Financial Research 8, 59-67. Nayak, S. dan N. R. Prabhala (2001), “Disentangling The Dividend Information in Splits: A Decomposition Using Conditional Event-study Methods”, Review of Financial Studies 14, 1083-1116. Nissim, N. dan A. Ziv (2001), “Dividend Changes and Future Profitability”, Journal of Finance 56, 2111-2133. Nuryanti (2001), “Peruhahan Lukuiditas Saham Akibat Penumuman Stock Split di Bursa Efek Jakarta Periode 1998-2000", Tesis, Universitas Gajah Mada,Yogyakarta. Sukardi (200!), “Reaksi Pasar Terhadap Stock Split Analisis di Bursa Saham Jakarta”, Tests, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
Analisis Stock Split Signal ......
Susanti, M. (2002), “Pengaruh Stock Split terhadap Likuiditas Saham yang diukur dengan Presentase Bid Ask Spread Selama Periode Krisis (1997-1999)”, Tesis,Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Szewezyk, S., dan Tsetsekos, 1993, “The Effect of Managerial Ownership on Stock Split Induced Abnormal Return”, Financial Review 12, 0732-8516. Tobing, B. R. L. (2001), “Pengaruh Pengumuman Stock Split Terhadap Harga Saham Intra Industri”, Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Zulfikar (2001), “Pengaruh Tingkat Kepemilikan Insider terhadap Tingkat Keuntungan Saham pada Perusahaan Pemegang Saham”, Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
21
Jam STIE YKPN - Asih P. Sari dan Djoko Susanto
22
Analisis Stock Split ......
Jam STIE YKPN - Ani Muttaqiyathun
Persepsi Kepuasan ......
ABSTRACT Small businesses in Indonesia have already proved that TERHADAP KEPUASAN
PERSEPSI ANALISIS PENGARUH KARIR TEKANAN KETAATAN KESUKSESAN DOSEN TERHADAP TINGGI JUDGMENT AUDITOR PERGURUAN SWASTA (PTS) DI KOPERTIS WILAYAH 1)V DIY Hansiadi Yuli Hartanto Indra Wijaya Kusuma2) Ani Muttaqiyathun, SE., M.Si. *)
ABSTRACT Everyone wants to be successful in his or her career. To get that, they usually develop some plans and try to reach them by improving their job performance that is appropriate for global markets. Every member organization needs to improve their readiness for the ideal position by upgrading their skill needed to reach their success. This objective research is to know how their perception satisfaction about career successfully.. This research involves 117 male and female lecturers in 6 private universities located in Yogyakarta. This research proves that: there is no any career satisfaction difference between lecturers of their institution ,there is no any career satisfaction difference between male and female lecturers, but there are difference between senior and yunior lecturers in their career satisfaction. Keywords: career, satisfaction. PENDAHULUAN Pekerjaan seorang dosen ternyata bukan merupakan hal yang mudah. Dosen tidak hanya sekedar mentransfer ilmu yang telah dimiliki kepada mahasiswanya, tetapi juga harus secara produktif
*)
mengembangkan ilmu dan kemampuannya dalam mengemban misi Tri Dharma Perguruan Tinggi yang merupakan tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh dosen. Tugas pokok ini diatur dalam bab II pasal 3 Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara No.38/Kep/MK.WASPAN/ 8/1999 yang berbunyi: “Tugas pokok dosen adalah melaksanakan pendidikan dan pengajaran pada perguruan tinggi, melakukan penelitian serta pengabdian kepada masyarakat”. Selain melaksanakan tugas pokok tersebut, tentu seorang dosen juga ingin mengembangkan karirnya. Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya merupakan suatu bagian dari rencana karir yang disusun demi meraih kesuksesan dan kepuasan karirnya. Karir yang selalu berkembang atau meningkat sering diartikan dengan kesuksesan seseorang yang kemudian akan menimbulkan kepuasan. Dengan berdasar itulah, maka penelitian ini akan mengupas persepsi kepuasan karir dosen PTS. Belakangan ini juga terlihat bahwa wanita yang memilih profesi sebagai dosen memperlihatkan adanya peningkatan. Belum diketahui secara pasti seberapa besar signifikansi peningkatan gejala tersebut dan penelitian tentang hal tersebut belum pernah peneliti temui, karena masih terbatasnya data-data yang bisa
Ani Muttaqiyathun, SE., M.Si adalah Dosen Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
23
Jam STIE YKPN - Ani Muttaqiyathun dihimpun. Untuk itu, dilakukan penelitian tentang ada tidaknya perbedaan kepuasan terhadap kesuksesan karir antara dosen pria dan dosen wanita. Kesuksesan serta kepuasan dalam melaksanakan tugas Tridharma Perguruan Tinggi sangat tergantung juga pada kinerja masing-masing orang dan sarana pendukungnya. Sarana pendukung sebagian besar merupakan penyediaan fasilitas, waktu, dan dana dari instansi mereka. Untuk itu maka penelitian ini juga akan meneliti ada tidaknya perbedaan kepuasan terhadap kesuksesan karir dosen berdasar instansi tempat mereka bekerja. Dalam penelitian ini juga akan menguji kembali pendapat Nicholson (1996) yang menyatakan bahwa umur dan senioritas juga dapat berpengaruh pada karir seseorang, dalam hal ini senioritas dilihat dari masa kerjanya. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: pertama, sejauhmana persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir dosen PTS saat ini, kedua, apakah ada perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir antara dosen pria dan wanita, ketiga, apakah ada perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir antara dosen berdasar instansi tempat mereka bekerja, keempat, apakah ada perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir antara dosen senior dan yunior. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi populasinya adalah seluruh dosen pada enam PTS terbesar di DIY tahun 2002. Kriteria enam besar disini, adalah berdasarkan rangking satu sampai dengan enam (urutan terbanyak) jumlah mahasiswa yang terdaftar berdasar laporan Kopertis Wilayah V DIY pada Desember tahun 2002. Pembatasan ini dilakukan dengan alasan bahwa peneliti menganggap keenam PTS terbesar tersebut merupakan PTS yang telah berusia lebih dari 20 tahun sehingga telah mempunyai pengalaman-pengalaman yang cukup banyak dan lebih baik dalam pembinaan dan pengembangan bagi dosendosennya. TINJAUAN TEORI DAN HIPOTESIS Organisasi yang fleksibel, flat dan lean telah menjadi trends pada era 1990-an (Walker, 1993). Struktur
24
Persepsi Kepuasan ......
organisasi cenderung mengarah pada bentuk network dengan alasan lebih tanggap terhadap berbagai persaingan dan perubahan baik domestik maupun internasional. Kondisi ini semakin menuntut adanya perubahan bentuk organisasi yang lebih cepat dan fleksibel mengatasi berbagai perubahan terutama pada abad 21 yang mengarah pada bentuk organisasi seluler. Bentuk organisasi ini secara bertahap menghilangkan unsur hirarki perusahaan (Allred, dkk., 1996). Dengan struktur seperti ini tentu saja memiliki konsekuensi pengelolaan karir yang berbeda dengan struktur tradisional. Dengan struktur ini memungkinkan karyawan berkarir di luar perusahaannya sesuai dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki. Setiap karyawan mempunyai tanggungjawab terhadap karir mereka sendiri. Mereka bebas berkreasi sesuai dengan kesempatan dan ketrampilan yang mereka kembangkan sendiri. Sedangkan perusahaan berfungsi bukan sebagai majikan tetapi sebagai penyedia atau pemberi untuk mengembangkan pengetahuan anggotanya. Karir mengalami perubahan makna, dari makna lama yang artinya suatu arah kemajuan yang tercermin dari pencapaian dalam hierarki formal seperti layaknya manajer dan profesional sebagaimana dijelaskan Cascio (1978), telah beralih ke makna baru sebagai tahap-tahap perkembangan pengalaman kerja seseorang selama masa kerjanya (Greenberg dan Baron, 1995). Dengan demikian kesempatan karir bukan berarti menunggu giliran atau menanti adanya pengurangan tenaga kerja dalam suatu organisasi, tetapi merupakan karir tanpa batas, dinamis dan didukung oleh pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Arti tenaga kerja juga berubah, dari artinya semula sebagai suatu keadaan atau pekerjaan atau bisnis yang ditekuni secara reguler, berubah menjadi status sesaat atau manifestasi dari keadaan dipekerjakan untuk jangka panjang. Sehingga diharapkan setiap individu hendaknya memahami keahlian apa yang diperlukan untuk tumbuh secara profesional (Summers, 1999), memahami situasi yang berkembang di lingkungan karirnya, selalu meningkatkan kompetensi, memperluas kolaborasi dan tanggungjawab serta memelihara kelenturan karir. Dengan demikian, karir benar-benar ditentukan oleh individu itu sendiri, tidak ditentukan oleh organisasi yang diciptakan dari waktu ke waktu sesuai dengan
Jam STIE YKPN - Ani Muttaqiyathun perubahan yang terjadi pada individu dan perubahan yang ada. Makna karir diatas sering disebut dengan karir protean (Hall, 1996). Namun demikian, organisasi tidak bisa lepas tangan begitu saja, tetapi tetap harus memberikan kesejahteraan bagi anggotanya di era fleksibilitas ini (Bernhardt dan Balley, 1998). Organisasi harus memberikan kesempatan dan keleluasaan yang tinggi bagi anggotanya untuk meningkatkan kemampuannya dalam menghasilkan produktivitas dan komitmen yang baik terhadap tujuan organisasi, serta memberikan lingkungan yang mendukung sepanjang anggota berada dalam organisasi tersebut. Hal ini berarti karir individu harus didukung oleh karir organisasi atau sebaliknya, sehingga harus ada kesesuaian (fit) antara keduanya. Berdasarkan makna baru, karir tidak diukur dari bertambahnya usia secara kronologis dan tingkatan kehidupan, tetapi dicapai melalui pembelajaran secara berkelanjutan dan perubahan-perubahan identitas yang dicapai. Karir terbentuk dari serangkaian tahap-tahap pembelajaran yang singkat. Kesuksesan secara psikologis merupakan tujuan tertinggi dari karir seseorang, yaitu perasaan bangga atas prestasi seseorang yang didapatkan ketika tujuan terpenting dalam kehidupannya tercapai. Hal ini bertolak belakang dengan keberhasilan vertikal yaitu meniti piramida korporat sebagaimana dalam kontrak karir lama. Ciri pencapaian kesuksesan telah berubah menjadi bagaimana mempelajari sesuatu dengan selalu bercermin pada kekurangan-kekurangan yang dimiliki dan berusaha sendiri untuk mengeliminir kekurangankekurangan tersebut. Seseorang juga harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan adaptasi terhadap tuntutan pasar kerja atau lingkungan kerja yang berubah secara terus menerus. Dengan demikian setiap individu harus mengembangkan ketrampilan metaskills. Meskipun terjadi perubahan dalam fungsi organisasi, individu dan pasar kerja, perencanaan karir tetap diperlukan. Para karyawan akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang merupakan suatu bagian dari rencana karir yang disusunnya secara hati-hati. Mereka akan melakukan eksplorasi untuk mendapatkan hal-hal yang mendukung kesuksesan karir sehingga dapat meningkatkan pengetahuan mengenai karir serta keahlian dan perilaku yang dibutuhkan untuk dikembangkan demi kesuksesan karir (Noe, 1986).
Persepsi Kepuasan ......
Menurut teori goal setting, tujuan atau cita-cita seseorang akan mempengaruhi perilaku melalui direct attention, stimulating dan maintaining effort serta memfasilitasi strategi pengembangan (Locke dan Latham, 1990). Sedangkan menurut Greenhaus (1987), karir akan berhubungan dengan hasil yang ingin dicapai oleh seseorang seperti promosi, peningkatan gaji dan peningkatan keahlian. Fokus terhadap tujuan atau cita-cita yang diinginkan seseorang, menunjukkan pentingnya pencapaian tujuan karir, kepuasan terhadap kemajuan karir dan partisipasi dalam aktifitas yang berhubungan dengan tercapainya tujuan karir (Stevens, 1973; Sugalski dan Greenhaus, 1986). Sedangkan fokus terhadap tujuan atau cita-cita diartikan sebagai keyakinan seseorang mengenai tujuan karir atau preferensi tentang tugas, pekerjaan atau jenis organisasi dimana individu tersebut bekerja (Stumpf, Colarelli, dan Hartman, 1983). Karyawan sebagai anggota organisasi perlu meningkatkan kesiapannya untuk posisi yang diinginkan melalui peningkatan keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mencapai sukses. Penelitian terdahulu beranggapan bahwa definisi dari kesuksesan karir seseorang merupakan persepsi orang tersebut tentang kesuksesan karirnya. Hasil pemikiran Nicholson (1996) menyebutkan beberapa sistem karir yang salah satunya adalah mechanistic ladder system, umur dan senioritas sangat berpengaruh terhadap karir. Sistem ini ada pada public service, pendidikan dan perbankan. Individu dalam lembaga-lembaga tersebut mengakumulasikan kemampuan dan keahliannya lewat pengalaman kerja. Jadi kemajuan karir diperoleh lewat pengabdian. Pandangan terhadap gender (pria/wanita) dihubungkan dengan sifat positif dan negatif. Sifat pria dipandang memiliki sifat kuat dan keras yang dikonotasikan nilai positif, sedangkan sifat wanita dipandang memiliki sifat lemah dan lembut yang dikonotasikan nilai negatif di lingkungan pekerjaan. Apabila sifat wanita ini sesuai dengan kondisi lingkungan pekerjaan akan menjadi sangat terbatas sekali, misalnya hanya cocok untuk pekerjaan sebagai sekretaris, perawat rumahsakit dan administratif (Abdurahim, A.,1999). Dalam beberapa hasil penelitian ditunjukkan bahwa pegawai wanita lebih emosional dibanding pria, sedangkan pegawai pria menunjukkan kemampuan
25
Jam STIE YKPN - Ani Muttaqiyathun kerjasama yang tinggi dalam organisasi. Hook (1992) sebagaimana dikutip Abdurrahim (1999) dalam penelitiannya menyatakan bahwa diskriminasi secara langsung terhadap wanita dalam rekruitmen dan kompensasi mungkin saja terjadi. Oleh karena itu, perlu adanya tekanan yang mendorong upaya secara sadar untuk mengurangi bias yang dilakukan melalui perubahan cara pandang terhadap perilaku. Perbedaan juga dapat muncul akibat kecenderungan pria pada sifat assertiveness, task mastery (penguasaan terhadap tugas) dan sikap individual. Misalnya dalam pekerjaan, pegawai pria lebih cenderung bertindak untuk dapat menyelesaikannya sendiri, sebaliknya wanita cenderung kepada sifat membutuhkan bantuan pihak lain, sifat patuh, acquiescence (diam-diam menyetujui) dalam pekerjaannya sehingga cenderung adanya ketergantungan kepada pihak lain. Di tempat kerja, pegawai pria sering memiliki posisi penting dan bertindak secara lebih otoriter dan dominan, sedangkan wanita akan lebih tunduk dan patuh. Ketundukan dan kepatuhan wanita ini terlihat lebih konsisten pada aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan, sehingga hal tersebut membuat wanita lebih sulit untuk melakukan penyesuaian dalam hubungan antara kinerja dan distress. Dalam pengamatan sosial diperoleh gambaran bahwa secara umum cara pandang terhadap wanita sering dihubungkan dengan sifat emosional, lemah, tergantung, kurang kompetitif, cenderung mengalah dan kurang merasa yakin. Berdasarkan uraian tersebut memunculkan hipotesis berikut : H1 : Terdapat perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir antara dosen pria dan dosen wanita Betapapun baiknya suatu rencana karir yang telah dibuat oleh seorang karyawan disertai dengan suatu tujuan karir yang wajar dan realistik, rencana tersebut tidak akan menjadi kenyataan tanpa adanya pengembangan karir yang sistematik dan programatik. Hal ini berarti bahwa seseorang yang sudah menetapkan rencana karirnya, perlu mengambil langkahlangkah tertentu guna mewujudkan rencananya. Berbagai langkah yang perlu ditempuh itu dapat diambil atas prakarsa sendiri, atau dapat pula berupa kegiatan yang disponsori oleh organisasi atau gabungan dari keduanya. Meskipun sesungguhnya yang paling bertanggungjawab dalam pengembangan atau
26
Persepsi Kepuasan ......
pencapaian tujuan karir adalah masing-masing karyawan sendiri, tetapi bagian pengelola sumberdaya manusia organisasi tempat mereka bekerja juga turut berperan dalam hal tersebut. Usaha menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karirnya, seorang pegawai berangkat dari keinginan memuaskan berbagai jenis kebutuhannya, baik kebutuhan primer, sekunder dan bahkan tertier. Dengan demikian tujuan, sasaran dan kepentingan organisasi bisa saja ditempatkan pada peringkat pemuasan yang lebih rendah. Oleh karena itu, persepsi seorang pekerja tentang kemungkinan meniti karir dalam suatu organisasi akan sangat diwarnai oleh pandangan sampai sejauhmana kebutuhan dan kepentingan pribadinya itu akan terpenuhi. Sesungguhnya persepsi itulah yang menjadi dasar keputusan seseorang apakah akan terus berkarya dalam organisasi tertentu ataukah pindah ke organisasi yang lain di mana kepentingan pribadinya itu diperhitungkan akan lebih terjamin. Kenyataan di muka menuntut para manajer perlu memberikan dukungan kepada program yang diselenggarakan oleh bagian kepegawaian dan bagian pendidikan dan pelatihan untuk bersikap proaktif dalam pengembangan karir para anggota organisasi. Organisasi harus memberikan kesempatan dan keleluasaan yang tinggi bagi anggotanya untuk meningkatkan kemampuannya agar menghasilkan produktivitas dan komitmen yang baik terhadap tujuan organisasi serta memberikan lingkungan yang mendukung sepanjang anggota berada dalam organisasi tersebut. Dengan demikian karir individu harus didukung oleh organisasi dan sebaliknya. Beberapa instansi tentu saja sangat dimungkinkan adanya perbedaan dalam memberikan fasilitas atau sarana dan prasarana pendukung. Hal ini tergantung kebijaksanaan pimpinan masing-masing instansi, kemampuan dana ataupun dengan berbagai keterbatasan yang ada. Berdasarkan uraian tersebut memunculkan hipotesis sebagai berikut: H2 : Terdapat perbedaan persepsi kepuasan karir antara dosen berdasar instansi tempat mereka bekerja Dosen yunior dicirikan dengan rata-rata usia yang relatif masih muda(kurang dari 40 tahun), kreatif, produktif dan bersemangat tinggi. Sebaliknya dosen senior biasanya usianya sudah banyak (lebih dari 40
Jam STIE YKPN - Ani Muttaqiyathun tahun), sudah mapan secara psikologis maupun secara ekonomi, serta sudah berpengalaman sehingga sudah berkurang motivasinya untuk meningkatkan kinerjanya secara lebih baik lagi, sudah masanya untuk mulai mempersiapkan masa pensiunnya. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa terdapat keyakinan yang tinggi antara pengaruh usia terhadap kinerja. Banyak dari pegawai yang berusia lebih tua yang telah berusaha mempertahankan kemampuannya, ternyata menerima nilai yang lebih rendah. Pembayaran yang tinggi cenderung diberikan kepada pegawai yang lebih muda dengan alasan untuk mengikat mereka tetap dalam organisasi. Bahkan ada klaim dari para pegawai senior yang mengatakan bahwa para supervisor yang masih muda biasanya cenderung menilai rendah kinerja mereka dibanding dengan mereka yang seusia supervisor atau yang lebih muda. Pegawai yang lebih muda dipandang lebih banyak diberi peluang pada posisiposisi yang lebih cepat mendatangkan keberhasilan. Berdasarkan latar belakang tersebut memunculkan hipotesis sebagai berikut: H3 : Terdapat perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir antara dosen senior dan yunior. METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Dalam penelitian ini, populasi didasarkan pada seluruh dosen pada enam PTS terbesar di Kopertis Wilayah V DIY yang sudah memiliki jabatan akademik. Berdasar informasi dari Kopertis Wilayah V dalam Daftar Perkembangan Program Studi, keadaan hingga bulan Desember 2002, bahwa enam PTS terbesar di DIY berdasar jumlah mahasiswanya berdasar rangking adalah UII, UMY, UPN, USD, UAJY, dan UAD. Dalam penelitian ini, pengambilan sampel didasarkan pada teknik convenience sampling, dan diambil sampel minimal 100 responden. Penentuan jumlah sampel ini didasarkan pada pendapat Roscoe, dalam Sekaran (1992) yang menyatakan bahwa jumlah sampel lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 pada sebagian besar penelitian sudah dapat mewakili. Kuesioner yang terkumpul sebanyak 113 eksemplar terdiri dari responden laki-laki 50 eksemplar dan wanita 63 eksemplar.
Persepsi Kepuasan ......
Data yang digunakan dalam analisis penelitian ini adalah data primer, yang berisi tentang persepsi kepuasan karir, gender, instansi tempat mereka bekerja dan masa kerja. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara memberikan daftar pertanyaan (kuesioner) kepada responden yang sudah ditentukan karakteristiknya. Definisi Operasional Definisi operasional ini diadaptasi dari beberapa definisi yang sudah ada dan dikembangkan sendiri oleh peneliti menurut kebutuhan. 1. Kepuasan karir Kepuasan karir dosen diartikan dengan sejauhmana persepsi kepuasan dosen tentang pengalamannya selama menjadi dosen meliputi kesuksesannya, tujuan karir, pendapatan/gaji dan peningkatan/ pengembangan lebih lanjut (Greenhaus, Parasuraman dan Wormley, 1990). 2. Gender Gender diterjemahkan sebagai jenis kelamin yang terdiri dari pria dan wanita. 3. Instansi tempat kerja Instansi tempat mereka bekerja dalam penelitian ini diartikan dengan tempat dimana dosen diakui sebagai dosen tetap yayasan atau tempat dimana dosen ditugaskan jika yang bersangkutan adalah dosen negeri dipekerjakan (DPK). 4. Masa Kerja Masa kerja adalah masa yang dihitung sejak dari diterimanya menjadi dosen pada instansinya sesuai dengan Surat Keputusan Pengangkatan atau sejak ditugaskan sesuai dengan Surat Penempatan. Masa kerja ini dijadikan dasar untuk menentukan kriteria dosen senior dan yunior. Untuk ini peneliti membatasi bahwa dosen senior adalah yang sudah memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun (Susena,1999). Instrumen Penelitian dan Alat Pengukurannya Dalam penelitian ini dipergunakan pengukuran yang telah dipergunakan oleh Greenhaus, Parasuraman dan Wormley (1990) karena yang dianggap lebih luas cakupan pengukurannya serta telah tersedia instrumennya. Instrumen kepuasan terhadap
27
Jam STIE YKPN - Ani Muttaqiyathun kesuksesan karir ini berjumlah lima item pernyataan yang menggunakan skala Likert dari 1 sampai 5 dari sangat tidak puas sampai dengan sangat puas. Pengujian Validitas, Reliabilitas, dan Normalitas Untuk mendapatkan data yang berkualitas, maka instrumen penelitian yang akan digunakan harus diuji validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu. Menurut Hadi, S. (1991), instrumen penelitian dapat dikembangkan menurut teori-teori yang relevan. Apabila bangunan teorinya sudah benar, maka hasil pengukuran dengan instrumen yang berbasis pada teori itu sudah dipandang sebagai hasil yang valid. Sedangkan uji reliabilitas dilakukan untuk menguji kestabilan dan konsistensi instrumen dalam mengukur konsep. Untuk instrumen penelitian ini, setelah diuji validitas, hasilnya adalah semua valid dengan nilai jauh diatas nilai tabel. Sedangkan uji reliabilitasnya menggunakan teknik Cronbach Alpha dengan hasil 0.88 dan dinyatakan reliabel. Hasil uji normalitas dengan alat uji Kolmogorov-Smirnov menyatakan instrumen ini berdistribusi normal karena nilai signifikansinya diatas 0,05. ANALISIS DATA Persepsi Kepuasan Karir Dosen Berdasar jawaban responden atas kuesioner yang disampaikan, tergali ungkapan tentang kepuasan karir mereka sebagai berikut: pertama, secara umum mereka menyetujui bahwa telah memperoleh kesuksesan dalam karirnya. Kedua, mereka menyatakan tentang kepuasannya terhadap kesuksesan yang telah diperoleh yang sesuai dengan tujuan karir yang mereka dambakan. Ketiga, responden mayoritas juga menyatakan kepuasannya bahwa kesuksesan yang telah mereka peroleh sesuai dengan pendapatan/gaji yang didambakan. Keempat, responden menyatakan puas bahwa kesuksesan yang telah mereka peroleh sesuai dengan peningkatan/pengembangan lebih lanjut. Dan yang kelima, mayoritas responden merasa puas atas kesuksesan yang telah diperoleh sesuai dengan pengembangan keahliannya.
28
Persepsi Kepuasan ......
Hasil Pengujian dan Pembahasan Sebagaimana dikemukakan oleh Sugiyono (1997), bahwa teknik statistik yang akan digunakan untuk pengujian hipotesis tergantung pada interaksi antara dua hal yaitu macam data yang akan dianalisis dan bentuk hipotesisnya. Dalam penelitian ini, instrumennya menggunakan skala Likert, sehingga data yang diperoleh adalah data interval dan diambil dari populasi yang berdistribusi normal. Hal ini menunjukkan bahwa pengujian hipotesis dapat menggunakan alat statistik parametrik. Maka untuk pengujian hipotesis 1 digunakan uji t untuk dua sampel independen, sedangkan untuk hipotesis 2 dan 3 akan digunakan uji Anova Pengujian Hipotesis 1 Hipotesis 1 menyatakan bahwa: terdapat perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir antara dosen pria dan dosen wanita. Berdasarkan hasil output perhitungan, diperoleh t-hitung lebih kecil dari ttabel yaitu (0,208 < 1,980) dan p-value 0,835 > 0,05 maka H0 diterima, H1 ditolak. Sehingga kesimpulannya tidak ada perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir antara dosen pria dan dosen wanita. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa dalam hal persepsi kepuasan karir, antara dosen pria dan dosen wanita tidak ada perbedaan yang mencolok. Berdasarkan pekerjaannya, pekerjaan sebagai dosen tidak terlalu banyak diperlukan kekuatan fisik, yang paling penting adalah ketrampilan dan intelektualitas. Nilai-nilai moderen dalam hal kesetaraan gender telah memberikan peluang yang sama bagi setiap individu baik pria maupun wanita untuk berkiprah di bidang pendidikan, pekerjaan dan disertai jaminan promosi yang sama. Tidak ada pembedaan dalam sistem penggajian maupun penugasan bagi dosen pria maupun dosen wanita, semua diserahkan pada kemampuan masing-masing untuk mengelola dirinya. Pengujian Hipotesis 2 Hipotesis 2 menyatakan bahwa: terdapat perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir diantara
Jam STIE YKPN - Ani Muttaqiyathun dosen berdasar instansi tempat mereka bekerja. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil daripada F tabel (1,9 < 2,3) dan P-value lebih besar dari 0,05 (0,099 > 0,050), maka H0 diterima dan H2 ditolak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari hasil pengujian ini tidak terdapat perbedaan persepsi kepuasan karir diantara dosen berdasar instansi tempat mereka bekerja. Hal ini dapat dipahami bahwa rata-rata semua instansi memberikan fasilitas dan kesempatan yang sama untuk semua dosen-dosennya dalam meniti karir, sehingga mengembangkan karir merupakan tanggungjawab masing-masing dosen. Pihak-pihak lain seperti pimpinan, atasan langsung, kenalan dan para spesialis di bidang kepegawaian hanya berperan memberikan bantuan. Dosen yang bersangkutan diberi keleluasaan untuk memanfaatkan berbagai kesempatan untuk mengembangkan diri atau tidak. Berbagai kesempatan tersebut seperti keikutsertaan dalam program pelatihan, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan aktif melakukan berbagai kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi. Hal tersebut tentunya akan berakibat secara positif bukan hanya berupa keuntungan bagi diri sendiri, tetapi juga bagi organisasi. Manfaat psikologis bagi dosen yang bersangkutan ditunjukkan oleh kesediaan memanfaatkan berbagai kesempatan sebagai manifestasi keinginan yang bersangkutan untuk tumbuh dan berkembang. Perolehan informasi tentang berbagai kesempatan pengembangan itu tidak hanya terbatas pada kesempatan yang tersedia di lingkungan instansi tempat seseorang bekerja saja, tetapi juga kesempatan di luar instansi seperti pada kesempatan reuni para alumni, klub olah raga, atau tawaran dari berbagai instansi lainnya. Informasi demikian perlu dimiliki karena dengan aneka ragam informasi tersebut semakin banyak kesempatan yang mungkin dimanfaatkan. Pengujian Hipotesis 3 Hipotesis 3 menyatakan bahwa: terdapat perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir antara dosen senior dan yunior. Berdasarkan hasil perhitungan, ternyata F hitung lebih besar daripada F tabel (3,403 > 2,460) dan p-value lebih kecil dari 0,050 (0,011 < 0,050), sehingga H0 ditolak dan H3 diterima. Dengan demikian dari hasil pengujian ini dapat
Persepsi Kepuasan ......
dikatakan bahwa terdapat perbedaan persepsi kepuasan karir diantara dosen senior dan yunior. Hasil temuan ini bisa dipahami karena dosen yang telah senior yaitu dosen yang telah memiliki masa kerja lebih lama, lebih banyak pengalaman, sudah mapan kondisinya sehingga merasa telah mencapai kepuasan baik dalam hal kemajuan karir yang telah diperoleh, pendapatan / gaji yang didambakan ataupun kepuasan dalam hal peningkatan/pengembangan keahliannya. Sementara dosen yang masih yunior, yaitu dosen yang masa kerjanya lebih sedikit, mereka belum mencapai kepuasannya, rata-rata dari mereka masih dalam taraf eksplorasi terhadap karirnya. Mereka selalu mencari kesempatan aktivitas dan mempunyai kesadaran yang lebih besar tentang ketrampilan apa dan perilaku seperti apa yang dibutuhkan untuk berkembang guna membuat pahatan-pahatan untuk kemajuan, kesuksesan serta kepuasan karir mereka. PENUTUP Simpulan Pertama, tidak ada perbedaan kepuasan terhadap kesuksesan karir antara dosen pria dan dosen wanita. Hal ini ditunjukkan oleh kepuasan terhadap kesuksesan yang telah didapatkan sekarang, kesuksesan karirnya yang sesuai dengan tujuan karir yang didambakan, kesuksesan yang sesuai dengan pendapatan/gaji yang didambakan, kesuksesan yang sesuai dengan peningkatan / pengembangan lebih lanjut dan kesuksesan yang sesuai dengan pengembangan keahliannya. Kedua, tidak ada perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir diantara dosen berdasar instansi tempat mereka bekerja. Hal ini dapat dipahami bahwa rata-rata instansi memberikan fasilitas dan kesempatan yang sama untuk semua dosen-dosennya dalam meniti karir. Pada akhirnya tanggungjawab dalam mengembangkan karir terletak pada masing-masing dosen. Pihak-pihak lain seperti pimpinan, atasan langsung, kenalan dan para spesialis di bidang kepegawaian hanya berperan memberikan bantuan. Ketiga, terdapat perbedaan persepsi kepuasan terhadap kesuksesan karir di antara dosen senior dan yunior. Hasil temuan ini bisa dipahami karena dosen senior dengan masa kerja lebih lama, lebih banyak
29
Jam STIE YKPN - Ani Muttaqiyathun pengalaman, sudah mapan kondisinya sehingga merasa telah mencapai kepuasan baik dalam hal kemajuan karir yang telah diperoleh, pendapatan/gaji yang didambakan ataupun kepuasan dalam hal peningkatan/ pengembangan keahliannya. Sementara dosen yunior yang masa kerjanya lebih sedikit, tingkat kepuasannya masih rendah, sehingga selalu mencari kesempatan aktivitas dan mempunyai kesadaran yang lebih besar tentang ketrampilan apa dan perilaku seperti apa yang dibutuhkan untuk berkembang guna membuat pahatanpahatan untuk kemajuan, kesuksesan serta kepuasan karirnya. Perlu dipahami pula bahwa ukuran keberhasilan/ kemajuan karir setiap orang adalah berbeda-beda. Perbedaan itu merupakan akibat tingkat kepuasan seseorang berbeda pula. Kepuasan dalam konteks karir tidak selalu berarti keberhasilan mencapai posisi tinggi dalam organisasi, melainkan dapat pula berarti bersedia menerima kenyataan bahwa karena berbagai faktor keterbatasan yang dimiliki seseorang, maka ia puas bila dapat mencapai tingkat tertentu dalam karirnya, meskipun tidak banyak anak tangga karir yang berhasil dinaikinya. Keterbatasan Keterbatasan utama penelitian ini adalah pada pengukuran kesuksesan karir dosen yang belum dapat mengukur seluruh atribut dari konsep. Penelitian berikutnya perlu memperbaiki kuesioner penelitian yang dipergunakan. Beberapa faktor kepuasan karir
30
Persepsi Kepuasan ......
yang belum terukur pada kuesioner ini sebaiknya dikembangkan, sehingga faktor-faktor yang belum terukur dapat tercakup dan hasil penelitian menjadi lebih baik. Jumlah item pertanyaan perlu juga ditambahkan, sehingga dari satu faktor tertentu bisa ditanyakan dalam beberapa item pertanyaan. Sampel/responden yang digunakan dalam penelitian ini masih sangat terbatas, karena hanya diambil dari enam PTS terbesar saja sehingga mungkin belum bisa digeneralisir. Oleh karena itu, untuk penelitian mendatang disarankan agar memperluas populasi dan memperbanyak jumlah sampelnya agar bisa digeneralisir. Hasil penelitian kemungkinan akan berbeda jika diterapkan pada sampel yang berbeda misalnya khusus dosen negeri dipekerjakan (DPK) atau dosen di lingkungan Kopertis Wilayah lainnya. Implikasi Terlepas dari keterbatasan yang dimiliki, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) atau para pimpinan PTS dalam menetapkan kebijakan-kebijakan bagi dosen. Dosen adalah salah satu sumber keunggulan kompetitif perguruan tinggi. Kompetensi harus dimiliki apalagi dalam kondisi persaingan yang ketat dan perubahanperubahan yang tidak menentu. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan wawasan bagi para pengambil kebijakan dalam menggali dan mengintegrasikan kompetensi untuk meraih keunggulan kompetitif.
Jam STIE YKPN - Ani Muttaqiyathun
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara No.38/Kep/MK.Waspan/8/1999 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan angka kreditnya, Jakarta. Abdurahim, A., 1999. “Pengaruh Perbedaan Gender terhadap Perilaku Akuntan Pendidik.” Tesis tidak dipublikasikan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alfred, B.B., Snow, C.C dan Miles, R.E. 1996. “Characteristic of Managing Careers in the 21st century.” Academy of Management Executive, vol.10. no.4. As’ad, M., 2001. “Seri Ilmu Sumber Daya Manusia : Psikologi Industri.” Edisi Keempat, Cetakan Keenam, Liberty, Yogyakarta. Bernhardt, A. Dan Balley, T. 1998. “Improving Worker Welfare in the Age of Flexibility.” Challenge, Sept-Oct, vol. 41 Cascio, Wayne. R., 1978. “Applied Psychology in Personnel Management”. Reston, Va, : Reston Publishing. Cooper, Donald R dan Emory, C.W. 1995. “Business Research Methods.” Fifth edition, Richard D. Irwin. Inc. Greenberg, Jeral dan Robert A. Baron. 1995. “Behavior in Organization Understanding and Managing the Human Side of Work”. Fifth edition, Prentice Hall International Edition. Greenhaus, J.H. 1987. “Career Managemen.” Dryden Press, New York.
Persepsi Kepuasan ......
Greenhaus, J.H., Parasuraman, S. dan Wormley, W.M. 1990. “Effect of Race on Organizational Experience, Job Performance Evaluation and Career Outcomes.” Academy of Management Journal, vol.33. Hadi, Sutrisno. 1991. “Analisis Butir untuk Instrumen.” Andi Offset, Yogyakarta. Hall, D.T. 1996. “Protean Careers of the 21st Century.” Academy of Management Executive, vol.10, no.4 Handoko, T.Hani., 2000. “Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia.” edisi 2, BPFE Yogyakarta. Igbaria, M. dan Wormley, W. 1992. “Organizational Experience and Career Success of MIS Profesionals and Managers : An Examination of Race Differences.” MIS Quarterly, Dec. Igbaria, M. dan Baroudi, J.J. 1995. “The Impact of Job Performance Evaluations on Career Advancement Prospects : An Examination of Gender Differences in the IS Workplace.” MIS Quarterly, March. Kilduff, M. dan Day, D.V. 1994. “Do Chameleons Get Ahead? The Effect of Self Monitoring on Managerial Careers.” Academy of Management Journal, 37. Kossek, E.E dan Ozeki, C. 1998. “Work-Family Conflict, Policies and the Job-Life Satisfaction Relationship: A Review and Directions for Organizational Behavior Human Resource Research.” Journal of Applied Psychology, 83. Locke, E.A dan Latham, G.P. 1990. “A Theory of Goal Setting and Task Performance 1969-1980.” Psychological Bulletin, 90.
31
Jam STIE YKPN - Ani Muttaqiyathun
Nicholson, N. 1996. “Careers Systems in Crisis : Change and Opportunity in the Information Age.” Academy of Management Executive. vol.10, no.4 Noe, R.E. 1996. “Is Career Management Related to Employe Development and Performance?” Journal of Organizational Behavior. Noe, dkk. 2000. “Human Resource Management: Gaining a Competitive Advantage.” third edition, Mc Graw Hill. Sekaran, Uma. 1992. “Research Methods for Business : A Skill Building Approach.” Second edition, John Wiley & Sons, Inc Sondang P. Siagian. 2000. “Manajemen Sumber Daya Manusia.” Cetakan kedelapan, Bumi Aksara, Jakarta. Stevens, N. 1973. “Job Seeking Behavior : A Segment of Vocational Development.” Journal of Vocational Behavior, 3. Stumpf, S.A, Colarelli, S.M.dan Hartman, K. 1983. “Development of the Career Exploration Survey (CES).” Journal of Vocational Behavior, 22. Stroh, Breet dan Reilly (1992). “All the Right Stuff : A Comparison of Female and Male Manager’s Career Progression.” Journal of Applied Psychology, vol.77 no.3. Sugalski, T. dan Greenhaus. 1986. “Career Exploration and Goal Setting among Managerial Employees.” Journal of Vocational Behavior, 29. Sugiyono, 1997. “Statistika untuk Penelitian.” Cetakan kedua, Alfabeta, Bandung.
32
Persepsi Kepuasan ......
Summers, J. 1999. “How to Broaden your Career Management Program.” HR Focus, June. Susena. 1999. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja Karyawan Universitas Ahmad Dahlan.” Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan), Universitas Ahmad Dahlan. Turban, D.B. dan Dougherty, T.W. 1994. “Role of Protege Personality in Receipt of Mentoring and Careers Success.” Academy of Management Journal, 37. Walker, J. 1993. “Managing HR in Flat, Lean and Flexible Organizations : Trends for the 1990’s.” Human Resource Planning, 11 (2). Widiyastuti, S.M.,dan Harsiwi, A.M., 2000. “Produktivitas Kerja dan Kesempatan Aktualisasi Diri Dosen Wanita pada PTS di Kopertis Wilayah V : Tinjauan pada Aspek Hukum dan Aspek Manajemen Sumberdaya Manusia.” Laporan Penelitian, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
ABSTRACT Small businesses in Indonesia have already proved that TENAGA KERJA TANTANGAN
PELUANG DAN PENGARUH TEKANAN DIANALISIS KABUPATEN SLEMAN DALAM KETAATAN PERPEKTIF TERHADAP JUDGMENT AUDITOR SEKTORAL DAN SPASIAL Hansiadi Yuli Hartanto1) *) 2) Dra.Indra Mufidhatul Khasanah, M.Si. Wijaya Kusuma
ABSTRAK Pengangguran yang terjadi di berbagai wilayah termasuk Kabupaten Sleman disebabkan oleh adanya penurunan kesempatan kerja. Agar pengangguran yang terjadi di Kabupaten Sleman dapat dikendalikan maka Pemerintah Kabupaten Sleman perlu memberikan fasilitas kepada pelaku ekonomi sehingga pelaku ekonomi dapat memanfaatkan peluang yang dimiliki dan tantangan yang dihadapi tenaga kerja. Oleh karena pengertian kesempatan kerja dalam perspektif spasial menurut paradigma baru adalah perusahaan harus mengembangkan pekerjaan yang sesuai dengan kondisi penduduk daerah sedangkan pada sisi lain ditunjukkan bagaimana peranan desa sebagai penyedia tenaga kerja bagi kota, maka pembahasan tentang tantangan dan peluang tenaga kerja di Kabupaten Sleman dapat pula dilakukan melalui pendekatan sektoral dan spasial. Kata Kunci: Tenaga kerja, sektoral, dan spasial. PENDAHULUAN Ketidakmerataan pembangunan di Indonesia yang berlangsung selama ini terwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi (Dumairy, 1996: 62).
*)
Ketidakmerataan itu terjadi pada kegiatan pembangunan, distribusi pendapatan, spasial atau antarwilayah, dan sektoral. Ketidakmerataan pembangunan yang disertai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi nampaknya menjadi suatu kecenderungan yang terjadi di beberapa negara sedang berkembang. Fenomena yang kontradiktif antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan ketidakmerataan pembangunan yang terjadi di negara sedang berkembang sejalan dengan teori yang dikemukakan Simon Kuznets dengan inverted U curve (Mudrajad Kuncoro, 1997: 105-106). Inverted U curve menyatakan bahwa pada tahap awal pembangunan akan ditandai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang disertai tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi pula. Kondisi tersebut akan berlangsung sampai pada titik krisis tertentu, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan diikuti oleh menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan. Pilihan antara pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sebagai hal yang kontradiktif juga dikemukakan oleh Nicholas Kaldor seperti formulasi berikut ini: r = [ ( sk - sb ) K/Q + sb ] h
Dra. Mufidhatul Khasanah, M.Si., adalah Dosen Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Wangsa Manggala.
33
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
Catatan: r : pertumbuhan ekonomi sk : MPS kelompok kapitalis sb : MPS kelompok buruh K/Q : profit share atau bagian pendapatan nasional yang diterima kelompok kapitalis atau pola distribusi pendapatan antarkelompok masyarakat h : output capital ratio atau efisiensi pengeluaran investasi Berdasarkan persamaan terakhir tersebut, maka dapat dihitung pertumbuhan ekonomi r yang nilainya tergantung nilai K/Q yang menunjukkan profit share atau distribusi pendapatan antar-kelompok masyarakat. Apabila nilai K/Q semakin mendekati angka 1 maka pertumbuhan ekonomi makin meningkat dan apabila nilai K/Q semakin mendekati angka 0 maka per-tum-buhan ekonomi makin menurun. Nilai K/Q yang semakin mendekati angka 0 artinya hampir seluruh pendapatan nasional diterima oleh kelompok buruh dan
nilai K/Q yang semakin mendekari angka 1 artinya hampir seluruh pendapatan nasional diterima oleh kelompok pengusaha. PARADIGMA BARU TEORI PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH Teori-teori pembangunan ekonomi daerah yang ada belum mampu untuk menjelaskan kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi daerah secara tuntas dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pendekatan alternatif terhadap teori pembangunan ekonomi daerah telah dirumuskan untuk kepentingan perencanaan pembangunan ekonomi daerah. Pendekatan ini merupakan sintesa dan perumusan kembali konsepkonsep yang telah ada. Pendekatan ini memberikan dasar bagi kerangka pikir dan rencana tindakan yang akan diambil dalam konteks pembangunan ekonomi daerah. Paradigma baru ditunjukkan pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1 Paradigma Baru Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Komponen
Konsep Lama
Konsep Baru
Kesempatan Kerja
Semakin banyak perusahaan = semakin banyak peluang kerja
Perusahaan harus mengembangkan pekerjaan yang sesuai dengan kondisi pen-duduk daerah
Basis Pembangunan
Pengembangan sektor ekonomi
Pengembangan lembaga-lembaga ekonomi baru
Aset-Aset Lokasi
Keunggulan komparatif didasarkan pada aset fisik
Keunggulan kompetitif didasarkan pada kualitas lingkungan
Sumberdaya Pengetahuan
Ketersediaan angkatan kerja
Pengetahuan sebagai pembangkit ekonomi
Sumber: Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan, Ed. 4, BP STIE YKPN., Yogyakarta, 1999, hal. 302. Dasar pemikiran pewilayahan (regionalisasi) sebenarnya merupakan sesuatu yang nyata, yaitu setiap kegiatan itu pasti terjadi dan mempunyai efek dalam sebuah ruang dan bukan dalam sebuah titik yang statis (Budiono Sri Handoko, 1984, hal. 1). Misalnya, sebidang lahan yang diusahakan untuk sawah, maka kegiatan produksi padi itu tidak terbatas pada lahan itu saja, tetapi ber-dasarkan pemikiran bahwa tata ruang
34
(spasial) kegiatan produksi padi itu berkaitan dengan letak tempat tinggal petani, berapa jauh si petani harus berjalan menuju sawahnya, asal tempat petani mendapatkan input yang di-perlukan, sasaran tempat petani menjual hasil produksinya, sasaran tempat petani akan membelanjakan pendapatannya, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam pendekatan tata ruang, pembangunan yang terjadi di suatu daerah akan
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
mempengaruhi daerah lain, demikian pula sebaliknya. Dalam perkembangan regional selan-jutnya, pendekatan tata ruang ini digunakan untuk membahas hubungan antara pertumbuhan dae-rah perkotaan dengan pedesaan. Hubungan atau kontak yang terjadi antara daerah perkotaan de-ngan pedesaan berserta hasil hubungannya yang berujud tertentu diartikan sebagai interaksi. (R. Bintarto., 1996, hal. 61). Interaksi
antara desa-kota merupakan suatu proses sosial, proses eko-nomi, proses budaya, maupun proses politik yang terjadi karena berbagai faktor atau unsur yang dalam kota, dalam desa, dan di antara desa dan kota, seperti adanya kebutuhan (hubungan) timbal-balik antara desa-kota. Secara garis besar hubungan timbal-balik antara desa-kota ditunjukkan dalam tabel 2 berikut ini:
Tabel 2 Hubungan Timbal-Balik antara Desa-Kota Desa Produksi pangan Konsumen input Sumber tenaga kerja Pasar untuk hasil industri Sumber investasi dalam artian teoritik
Kota Pasar bagi hasil produksi pa-ngan Produsen input untuk industri pa-ngan Pusat layanan kota (sekolah, ru-mah sakit, bank dan sebagai-nya) Sumber penemuan teknologi Pusat kegiatan industri
Sumber: Budiono Sri Handoko, Interaksi antara Desa dan Kota, PPE FE UGM dan Biro Perencanaan Deptan. RI, 1985, hal. 1. Berdasarkan tabel 2 dapat diinterpretasikan berbagai macam hubungan antara kegiatan-kegiatan yang berada di desa dan kota, di antaranya ada yang menyamakan hu-bungan antara desa dan kota dengan hubungan antara pertanian dan industri. Hubungan tim-bal balik itulah yang mengakibatkan munculnya fungsi kota, yaitu antara lain sebagai tempat pengumpulan hasil pro-duksi dari daerah-daerah di belakangnya atau desa-desa di sekitarnya (hinterland), sebagai tempat pengumpulan input yang diperlukan pedesaan (pupuk, bibit, obat-obatan dan sebagainya) dan se-buah pusat administrastif (Kadariah, 1989, hal. 67). Kota tidak dapat tumbuh untuk “dirinya” sendiri, tetapi juga tumbuh untuk desa-desa di seki-tarnya. Dalam pandangan ekonomi regional, pembangunan perkotaan tanpa meng-kaitkan dengan pembangunan pedesaan adalah tidak mungkin terjadi, demikian pula se-baliknya. Nampak tabel 1 menunjukkan bagaimana tentang ketenagakerjaan dalam perspektif spasial menurut paradigma baru, yaitu pengertian kesempatan kerja yang diartikan bahwa perusahaan harus mengembangkan pekerjaan yang sesuai dengan kondisi penduduk daerah. Sedangkan pada tabel 2
ditunjukkan bagaimana peranan desa sebagai penyedia tenaga kerja bagi kota. Berdasarkan penjelasan dua tabel tersebut maka pembahasan tentang tantangan dan peluang tenaga kerja dapat pula dilakukan melalui pendekatan spasial atau keruangan kewilayahan. KONDISI PEREKONOMIAN MAKRO KABUPATEN SLEMAN Berdasarkan interaksi antarwilayah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu antara kota Yogyakarta sebagai pusat dengan empat kabupaten, nampak bahwa interaksi yang paling kuat adalah interaksi antara kota Yogyakata dengan kabupaten Sleman. Model interaksi ini menggunakan dasar hukum Sir Isaac Newton tentang gravitasi yang menyatakan bahwa dua benda akan saling tarik-menarik dengan gaya yang besarnya berbanding lurus dengan perkalian massa kedua benda tersebut dan berbanding terbalik dengan jarak kuadrat antara kedua benda tersebut. Menurut Suwarjoko Warpani (1994, hal. 114), pengembangan model gravitasi dan interaksi antarruang dalam analisis regional adalah:
35
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
I1,2 = a (w1 P1) (w2 P2) / Jb12 yang menunjukkan bahwa: I1,2 : interaksi dalam ruang antara wilayah 1 dan 2 w1 : pendapatan per kapita wilayah 1 w2 : pendapatan per kapita wilayah 2 P1 : jumlah penduduk wilayah 1 P2 : jumlah penduduk wilayah 2 Jb 1,2 : jarak antara wilayah 1 dan 2 a : konstante empirik yang besarnya 1 b : konstante jarak yang besarnya 2 Nilai I1,2 menunjukkan eratnya hubungan antara wilayah 1 dan 2. Semakin besar nilai I1,2 maka semakin
erat hubungannya dan dengan demikian semakin banyak pula perjalanan ekonomi yang terjadi sebagai konsekuensi interaksi kota-desa dalam analisis ekonomi regional. Hasil perhitungan nilai I1,2 menunjukkan bahwa interaksi antara kota Yogyakarta dengan kabupaten Sleman nilainya makin meningkat dari waktu ke waktu, tanpa mengabaikan potensi yang terdapat dalam interaksi antara kota Yogyakarta dengan kabupaten Bantul, Gunungkidul, dan Kulon Progo. Perhitungan nilai I1,2 ditunjukkan dalam tabel 3 berikut ini:
Tabel 3 Indeks Gravity dan Interaksi Antarruang Propinsi DIY, Tahun 1991-1996 Tahun
Yogyakarta Sleman
Yogyakarta Bantul
Yogyakarta Gunungkidul
Yogyakarta Kulon Progo
1991 1992 1993 1994 1995 1996
1.568,1 2.197,9 2.980,7 3.980,7 3.904,2 6.935,3
932,2 1.272,8 1.768,2 2.372,0 3.239,2 4.422,6
103,8 123,8 169,5 224,2 301,6 405,7
103,2 132,1 166,8 204,6 254,5 316,4
Sumber: Biro Pusat Statistik. Propinsi DIY Dalam Angka Tahun 1997. Data diolah.
Hasil perhitungan indeks gravity dan interaksi antara kota Yogyakarta dengan kabupaten Sleman yang semakin meningkat nilainya menunjukkan bahwa mobilitas ekonomi yang dilakukan antarpelaku ekonomi kedua wilayah tersebut cenderung meningkat pula. Dengan demikian, pertukaran output (barang dan jasa) dan input (faktor produksi, misalnya tenaga kerja) antarkedua wilayah tersebut cenderung meningkat pula. Hal ini mengakibatkan penduduk di masing-masing wilayah tersebut akan memperoleh peningkatan kesejahteraan.
36
Analisis perekonomian makro kabupaten Sleman dilakukan dengan menganalisis PDRB kabupaten Sleman tahun 1998-2001 atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan tahun 1993. Analisis yang dilakukan berupa penghitungan kontribusi atau kontribusi sektor dan subsektor terhadap PDRB kabupaten Sleman atas dasar harga berlaku dan penghitungan laju pertumbuhan sektor dan subsektor PDRB kabupaten Sleman atas dasar harga konstan tahun 1993. Data PDRB Kabupaten Sleman tahun 1998-2001 ditunjukkan pada tabel 4 berikut ini:
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
Tabel 4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sleman Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1998-2001 (Ribuan Rupiah) NO.
LAPANGAN USAHA
1
PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan hasilhasilnya d. Kehutanan e. Perikanan PERTAMBANGAN dan PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi (Migas) b. Pertambangan Tanpa Migas c. Penggalian INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas LISTRIK, GAS, & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Minum BANGUNAN PERDAGANGAN, HOTEL, dan RESTORAN a. Perdagangan Besar dan Eceran b. Hotel c. Restoran PENGANGKUTAN dan KOMUNIKASI a. Pengangkutan 1. Angkutan Rel 2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut
2
3
4
5 6
7
1998
1999
2000
2001
478,540,000 408,605,000 9,286,000 47,536,000
599,661,000 522,379,000 10,074,000 51,337,000
704,858,000 610,138,000 15,921,000 58,503,000
784,699,000 638,764,000 30,943,000 85,770,000
3,674,000 9,439,000 11,075,000
4,511,000 11,360,000 13,301,000
3,924,000 16,372,000 14,793,000
4,347,000 24,875,000 17,179,000
-
-
-
-
-
-
-
-
11,075,000 407,319,000 407,319,000 24,228,000 23,201,000 1,027,000 251,927,000 519,002,000
13,301,000 469,529,000 469,529,000 24,891,000 23,752,000 1,139,000 279,037,000 621,673,000
14,793,000 546,511,000 546,511,000 28,667,000 27,429,000 1,238,000 328,170,000 708,549,000
17,179,000 642,310,000 642,310,000 32,671,000 31,035,000 1,636,000 370,996,000 850,109,000
152,990,000
180,597,000
213,193,000
255,102,000
67,638,000 298,374,000 258,264,000
76,690,000 364,386,000 284,986,000
90,812,000 404,544,000 307,520,000
113,972,000 481,035,000 355,902,000
244,091,000 239,832,000 -
266,408,000 261,679,000 -
286,725,000 281,572,000 -
329,124,000 323,428,000 -
37
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah 8
9
KEUANGAN, PERSEWAAN, dan JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan 2. Jasa Pemerintahan b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan dan Rekreasi 3. Perorangan dan Rumahtangga PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO
Peluang dan Tantangan ......
287,939,000
331,826,000
324,290,000
384,869,000
32,851,000 24,629,000
42,568,000 30,555,000
11,121,000 33,200,000
10,028,000 49,037,000
339,000 224,141,000 5,979,000 453,435,000 277,608,000 277,608,000
390,000 252,069,000 6,244,000 550,408,000 362,200,000 362,200,000
361,000 272,816,000 6,792,000 597,627,000 384,013,000 384,013,000
408,000 317,442,000 7,954,000 681,053,000 437,544,000 437,544,000
175,827,000 36,812,000 6,043,000 132,972,000
188,208,000 42,609,000 6,630,000 138,969,000
213,614,000 50,084,000 7,275,000 156,255,000
243,509,000 57,691,000 8,653,000 177,165,000
2,691,729,000
3,175,312,000
3,560,985,000 4,119,788,000
Sumber: Kabupaten Sleman Dalam Angka Berbagai Tahun. BPS Sleman.
Berdasarkan tabel 4, dapat dianalisis perubahan struktur ekonomi yang terjadi di Kabupaten Sleman tahun 1998-2001. Hal ini ditunjukkan pada hasil
38
perhitungan tabel 5 yang menjelaskan tentang kontribusi sektor dan subsektor PDRB Kabupaten Sleman tahun 1998-2001.
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
Tabel 5 Kontribusi Sektor dan Subsektor PDRB Kabupaten Sleman Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1998-2001 NO. 1
2
3
4
5 6
7
LAPANGAN USAHA PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Perkebunan c. Peternakan dan hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan PERTAMBANGAN dan PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi (Migas) b. Pertambangan Tanpa Migas c. Penggalian INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas LISTRIK, GAS, dan AIR BERSIH a. Listrik b. Gas c. Air Minum BANGUNAN PERDAGANGAN, HOTEL, dan RESTORAN a. Perdagangan Besar dan Eceran b. Hotel c. Restoran PENGANGKUTAN dan KOMUNIKASI a. Pengangkutan 1. Angkutan Rel 2. Angkutan Jalan Raya 3. Angkutan Laut 4. Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi
1998
1999
2000
2001
17.78% 85.39% 1.94% 9.93% 0.77% 1.97% 0.41% 0.00% 0.00% 100.00% 15.13% 0.00% 100.00% 0.90% 95.76% 0.00% 4.24% 9.36% 19.28% 29.48% 13.03% 57.49% 9.59% 94.51% 0.00% 92.86% 0.00% 0.00%
18.89% 87.11% 1.68% 8.56% 0.75% 1.89% 0.42% 0.00% 0.00% 100.00% 14.79% 0.00% 100.00% 0.78% 95.42% 0.00% 4.58% 8.79% 19.58% 29.05% 12.34% 58.61% 8.98% 93.48% 0.00% 91.82% 0.00% 0.00%
19.79% 86.56% 2.26% 8.30% 0.56% 2.32% 0.42% 0.00% 0.00% 100.00% 15.35% 0.00% 100.00% 0.81% 95.68% 0.00% 4.32% 9.22% 19.90% 30.09% 12.82% 57.09% 8.64% 93.24% 0.00% 91.56% 0.00% 0.00%
19.05% 81.40% 3.94% 10.93% 0.55% 3.17% 0.42% 0.00% 0.00% 100.00% 15.59% 0.00% 100.00% 0.79% 94.99% 0.00% 5.01% 9.01% 20.63% 30.01% 13.41% 56.59% 8.64% 92.48% 0.00% 90.88% 0.00% 0.00%
0.00% 1.65% 5.49% 4.48% 1.00%
0.00% 1.66% 6.52% 5.48% 1.03%
0.00% 1.68% 6.76% 5.58% 1.19%
0.00% 1.60% 7.52% 6.16% 1.36%
39
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah 8
9
KEUANGAN, PERSEWAAN, dan JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan 2. Jasa Pemerintahan Lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan dan Rekreasi 3. Perorangan dan Rumahtangga PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO
Peluang dan Tantangan ......
10.70%
10.45%
9.11%
9.34%
11.41% 8.55% 0.12% 77.84% 2.08% 16.85% 61.22% 61.22%
12.83% 9.21% 0.12% 75.96% 1.88% 17.33% 65.81% 65.81%
3.43% 10.24% 0.11% 84.13% 2.09% 16.78% 64.26% 64.26%
2.61% 12.74% 0.11% 82.48% 2.07% 16.53% 64.25% 64.25%
0.00% 38.78% 8.12% 1.33% 29.33%
0.00% 34.19% 7.74% 1.20% 25.25%
0.00% 35.74% 8.38% 1.22% 26.15%
0.00% 35.75% 8.47% 1.27% 26.01%
100.00%
100.00%
100.00%
100.00%
Sumber: Tabel 4. Data diolah. Berdasarkan tabel 5, nampak bahwa lima sektor besar memberikan kontribusi dalam PDRB kabupaten Sleman tahun 1998, yaitu terbesar sektor perdagangan, hotel, dan restoran se-besar 19,28%. Sektor-sektor berikutnya adalah sektor pertanian sebesar 17,78%, sektor jasa-jasa sebesar 16,85%, sektor industri pengolahan sebesar 15,13%, serta sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebesar 10,70%. Pada tahun 1999, lima lima sektor besar pemberi kontribusi dalam PDRB kabupaten Sleman, yaitu terbesar sektor perdagangan, hotel, dan restoran se-besar 19,58%. Sektor-sektor berikutnya adalah sektor pertanian sebesar 18,89%, sektor jasa-jasa sebesar 17,33%, sektor industri pengolahan sebesar 14,79%, serta sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebesar 10,45%. Pada tahun 2000, lima sektor besar pemberi kontribusi dalam PDRB kabupaten Sleman, yaitu
40
terbesar sektor perdagangan, hotel, dan restoran se-besar 19,90%. Sektor-sektor berikutnya adalah sektor pertanian sebesar 19,79%, sektor jasa-jasa sebesar 16,78%, sektor industri pengolahan sebesar 15,35%, serta sektor bangunan sebesar 9,22% (sektor perdagangan, hotel, dan restoran hanya sebesar 9,11%). Pada tahun 2001, lima sektor besar pemberi kontribusi dalam PDRB kabupaten Sleman, yaitu terbesar sektor perdagangan, hotel, dan restoran se-besar 20,63%. Sektor-sektor berikutnya adalah sektor pertanian sebesar 19,05%, sektor jasa-jasa sebesar 16,53%, sektor industri pengolahan sebesar 15,59%, serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 9,34%. Apabila diringkas, penjelasan lima sektor besar dalam PDRB kabupaten Sleman tahun 1998-2001 ditunjukkan pada tabel 6 berikut ini.
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
Tabel 6 Perkembangan Kontribusi Lima Sektor Besar PDRB Kabupaten Sleman Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1998-2001 No. 1
Lapangan Usaha Perdagangan, Hotel,
1998
1999
2000
2001
19.28%
19.58%
19.90%
20.63%
Dan Restoran 2
Pertanian
17.78%
18.89%
19.79%
19.05%
3
Jasa-jasa
16.85%
17.33%
16.78%
16.53%
4
Industri Pengolahan
15.13%
14.79%
15.35%
15.59%
5
Keuangan, Persewaan,
10.70%
10.45%
9.11%
9.34%
Dan Jasa Perusahaan
Sumber: Tabel 5. Data diolah. Berdasarkan tabel 6 nampak bahwa sektor di kabupaten Sleman yang memiliki kecenderungan kontribusi semakin meningkat dalam kurun waktu 19982001 adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor pertanian, dan sektor industri pengolahan. Sedang sektor jasa-jasa dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan semakin menurun. Dengan demikian, berdasarkan kecenderungan kontribusi ketiga sektor yang semakin meningkat di
kabupaten Sleman, maka ketiga sektor tersebut merupakan sektor yang berpotensi di kabupaten Sleman dalam waktu-waktu mendatang dengan tidak mengesampingkan potensi sektor-sektor lain. Untuk mengembangkan ketiga sektor tersebut perlu memperhatikan kontribusi subsektor ketiga sektor yang berpotensi di kabupaten Sleman selama kurun waktu tahun 1998-2001. Kontribusi ketiga subsektor tersebut ditunjukkan pada tabel 7 berikut ini.
Tabel 7 Perkembangan Kontribusi Subsektor PDRB Kabupaten Sleman Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1998-2001 NO. 1
2
3
LAPANGAN USAHA
1998
1999
2001
2001
PERDAGANGAN, HOTEL, dan RESTORAN
19.28%
19.58%
19.90%
20.63%
a. Perdagangan Besar dan Eceran
29.48%
29.05%
30.09%
30.01%
b. Hotel
13.03%
12.34%
12.82%
13.41%
c. Restoran
57.49%
58.61%
57.09%
56.59%
PERTANIAN
17.78%
18.89%
19.79%
19.05%
a. Tanaman Bahan Makanan
85.39%
87.11%
86.56%
81.40%
b. Tanaman Perkebunan
1.94%
1.68%
2.26%
3.94%
c. Peternakan dan hasil-hasilnya
9.93%
8.56%
8.30%
10.93%
d. Kehutanan
0.77%
0.75%
0.56%
0.55%
e. Perikanan
1.97%
1.89%
2.32%
3.17%
15.13%
14.79%
15.35%
15.59%
0.00%
0.00%
0.00%
0.00%
100.00%
100.00%
100.00%
100.00%
INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas
Sumber: Tabel 5. Data diolah.
41
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah Berdasarkan tabel 7 nampak bahwa subsektor sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang memiliki kecenderungan kontribusi semakin meningkat dalam kurun waktu 1998-2001 adalah subsektor perdagangan besar dan eceran dan subsektor hotel, sedangkan subsektor restoran memiliki kecenderungan kontribusi semakin menurun. Pada subsektor sektor pertanian yang memiliki kecenderungan kontribusi semakin meningkat dalam kurun waktu 1998-2001 adalah subsektor perkebunan, subsektor peternakan dan hasilhasilnya, dan subsektor perikanan sedangkan subsektor tanaman bahan makanan dan subsektor
Peluang dan Tantangan ......
kehutanan memiliki kecenderungan kontribusi semakin menurun. Pada sektor industri pengolahan, semuanya merupakan sumbangan dari subsektor industri tanpa migas. Oleh karena itu, subsektor industri tanpa migas merupakan salah satu subsektor yang memiliki prospek untuk dikembangkan. Apabila kelima sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap PDRB kabupaten Sleman tahun 19982001 dilakukan penghitungan laju pertumbuhan atas dasar harga konstan tahun 1993 maka diperoleh hasil seperti yang ditunjukkan pada tabel 8 berikut ini:
Tabel 8 Perkembangan Laju Pertumbuhan Lima Sektor Besar PDRB Kabupaten Sleman Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 Tahun 1999-2001 NO.
LAPANGAN USAHA
1 2 3 4 5
PERDAGANGAN, HOTEL, dan RESTORAN PERTANIAN JASA-JASA INDUSTRI PENGOLAHAN KEUANGAN, PERSEWAAN, dan JASA PERUSAHAAN
1998
1999
2000
2,06% 3,57% 2,01% 1,22% 1,37%
4,37% 9,58% 2,42% 5,08% -4,28%
4,83% 3,08% 3,32% 5,39% 4,31%
Sumber: Kabupaten Sleman Dalam Angka Berbagai Tahun. BPS Sleman. Data diolah. Berdasarkan tabel 8 nampak bahwa di antara kelima sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap PDRB kabupaten Sleman dalam kurun waktu yang sama, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor jasajasa, dan sektor industri pengolahan memiliki laju pertumbuhan sektor semakin meningkat, sedangkan sektor pertanian dan sektor keuangan, persewaan, dan
42
jasa perusahaan mengalami laju pertumbuhan sektor yang fluktuaktif. Apabila ketiga sektor yang memiliki kecenderungan laju pertumbuhan sektor yang semakin meningkat, dirinci menurut subsektor maka hasil penghitungan laju pertumbuhan subsektor ditunjukkan pada tabel 9 berikut ini:
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
Tabel 9 Perkembangan Laju Pertumbuhan Subsektor PDRB Kabupaten Sleman Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 Tahun 1999-2001 NO.
LAPANGAN USAHA
1
PERDAGANGAN, HOTEL, dan RESTORAN a. Perdagangan Besar dan Eceran b. Hotel c. Restoran JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1. Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan 2. Jasa Pemerintahan Lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan dan Rekreasi 3. Perorangan dan Rumahtangga INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas
2
3
1999
2000
2001
2,06% 1,19% 3,48% 2,21% 2,01% 1,40% 1,40% 0% 3,44% 9,30% 4,23% 1,40% 1,22% 0% 1,22%
4,37% 7,32% -2,74% 4,52% 2,42% 2,14% 2,14% 0% 3,08% 3,05% 2,30% 3,16% 5,08% 0% 5,08%
4,83% 3,89% 5,25% 5,30% 3,32% 2,56% 2,56% 0% 5,06% 3,85% 6,43% 5,39% 5,39% 0% 5,39%
Sumber: Kabupaten Sleman Dalam Angka Berbagai Tahun. BPS Sleman. Data diolah. Berdasarkan tabel 9 nampak bahwa subsektor sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang memiliki kecenderungan laju pertumbuhan semakin meningkat dalam kurun waktu 1998-2001 adalah subsektor restoran, sedangkan subsektor perdagangan besar dan eceran dan subsektor hotel memiliki kecenderungan laju pertumbuhan yang fluktuaktif. Pada subsektor sektor jasa-jasa yang memiliki kecenderungan laju pertumbuhan semakin meningkat dalam kurun waktu 1998-2001 adalah subsektor administrasi pemerintahan dan pertahanan (pemerintahan umum) dan subsektor perorangan dan rumahtangga (swasta), sedangkan subsektor lainnya pada sektor jasa-jasa memiliki kecenderungan laju pertumbuhan semakin menurun. Pada sektor industri pengolahan, semuanya merupakan
sumbangan dari subsektor industri tanpa migas. Oleh karena itu, subsektor industri tanpa migas merupakan salah satu subsektor yang memiliki prospek untuk dikembangkan karena memiliki kecenderungan laju pertumbuhan semakin meningkat. Apabila perhitungan prospek sektor, subsektor, dan produk Kabupaten Sleman ditambahkan alat analisis location quotient (LQ) maka akan diperoleh hasil analisis yang lebih lengkap. Berikut ini disajikan hasil perhitungan LQ Kabupaten Sleman dan LQ per kecamatan se Kabupaten Sleman pada tabel 10, 11, dan 12: Sektor yang memiliki nilai LQ > 1 berpotensi untuk dikembangkan.
43
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
Tabel 10 Location Quotient (LQ) Kabupaten Sleman, Tahun 1999 NO.
LAPANGAN USAHA
1 2 3 4 5 6 7 8 9
LQ
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa perusahaan Jasa-Jasa
0.8661 0.2747 0.8796 1.1481 1.1867 1.0020 0.9066 1.3451 1.1326
Sumber: Diolah dari Buku Propinsi DIY Dalam Angka tahun 2000.
Tabel 11 Location Quotient (LQ) > 1 Per Kecamatan Se Kabupaten Sleman, Tahun 1999 Kecamatan
Sektor A
Sektor B
Sektor C
Sektor D
Sektor E
Se
Berbah Cangkringan Depok Gamping Godean Kalasan Minggir Mlati Moyudan Ngaglik Ngemplak Pakem Prambanan Seyegan Sleman Tempel Turi
Sumber: Data diolah dari Buku PDRB Kabupaten Sleman Tahun 1999 dan 2000 dan PDRB per Kecamatan se-kabupaten Sleman Tahun 1999.
44
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
Keterangan Tabel 11: Menunjukkan bahwa nilai LQ nya lebih besar daripada 1 Sektor A adalah Pertanian Sektor B adalah Pertambangan dan Penggalian Sektor C adalah Industri Pengolahan Sektor D adalah Listrik, Gas, dan Air Bersih Sektor E adalah Bangunan Sektor F adalah Perdagangan, Hotel, dan Restoran Sektor G adalah Pengangkutan dan Komunikasi Sektor H adalah Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Sektor I adalah Jasa-Jasa
Berdasarkan tabel 11, maka pemerintah Kabupaten Sleman dapat me-ngem-bangkan potensi di masing-masing wilayah kecamatan berdasarkan penghitungan nilai LQ sektor per kecamatan di Kabupaten Sleman yang lebih besar daripada 1. Potensi yang dikembangkan di masing-masing wilayah ke-camatan Kabupaten Sleman memungkinkan terjadinya penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sleman. Urutan lima sektor berdasarkan nilai LQ di masing-masing kecamatan dapat dilihat pada tabel 12 di bawah ini.
Tabel 12 Lima Sektor Teratas Berdasarkan LQ Per KecamatanSe Kabupaten Sleman,Tahun 1999 NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
KECAMATAN Berbah Cangkringan Depok Gamping Godean Kalasan Minggir Mlati Moyudan Ngaglik Ngemplak Pakem Prambanan Seyegan Sleman Tempel Turi
I Listrik, ... Pertamb. ... Jasa-jasa Pengang. ... Pertamb. ... Keu., ... Industri P. Perdag., ... Pengang. ... Bangunan Pertamb. ... Pertanian Pertanian Pertanian Jasa-jasa Pertamb. ... Pertanian
Urutan Berdasa II III Pertanian Pertamb Pertanian Listrik, .. Perdag., ... Pengang Bangunan Listrik, .. Pengang. ... Industri P Listrik, ... Pertania Pertanian Listrik, .. Keu., ... Pengang Industri P. Pertania Industri P. Listrik, .. Pertanian Pengang Bangunan Listrik, .. Perdag., ... Banguna Industri P. Keu., ... Industri P. Banguna Pertanian Industri P Listrik, ... Banguna
Sumber: Data diolah dari Buku PDRB per Kecamatan se kabupaten Sleman Tahun 1999.
45
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
Berdasarkan tabel 10, 11, dan 12 nampak sektorsektor di kabupaten Sleman dan kecamatan se kabupaten Sleman yang berpotensi untuk dikembangkan. Apabila berpotensi untuk dikembangkan maka sektor-sektor tersebut diasumsikan membutuhkan input atau faktor produksi yang salah satunya adalah tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja di masing-masing sektor tentunya tergantung bagaimana pembiayaan sektor-sektor tersebut, serta kemampuan (ability) dan kemauan (willingness) masing-masing tenaga kerja. Pembiayaan sektor menjadi faktor penentu karena modal atau kapital yang tersedia akan mempengaruhi langsung kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Kemampuan dan kemauan tenaga kerja mempengaruhi pilihan sektor mana yang akan dimasuki sebagai tempat bekerja. KONDISI KETENAGAKERJAAN KABUPATEN SLEMAN Interaksi antara kabupaten Sleman dengan daerah-daerah lain yang makin meningkat yang disertai dengan adanya pertumbuhan ekonomi di kabupaten Sleman akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja. Peningkatan penyediaan lapangan kerja akan
meningkatkan kemampuan daerah dalam menyerap tenaga kerja sehingga dapat menjadi solusi bagi masalah pengangguran di kabupaten Sleman. Interaksi antarwilayah yang disertai dengan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu hasil pembangunan daerah yang dilaksanakan. Apabila hasil pembangunan beserta faktorfaktor yang mempengaruhinya diibaratkan seperti kegiatan produksi dalam suatu perusahaan maka dalam membahas pembangunan ekonomi dapat menggunakan pendekatan teori produksi. Salah satu teori pembangunan ekonomi yang menggunakan pendekatan teori produksi dan telah berkembang sejak tahun 1950-an adalah teori pembangunan ekonomi NeoKlasik yang dikemukakan oleh Solow-Swan Menurut teori ini, pembangunan ekonomi tergantung kepada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (tenaga kerja dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Dengan demikian, faktor produksi seperti tenaga kerja akan mempengaruhi hasil pembangunan ekonomi. Berikut ini disajikan tabel 13 tentang indikator ketenagakerjaan kabupaten Sleman tahun 1999-2000.
Tabel 13 Indikator Ketenagakerjaan Kabupaten Sleman Tahun 1999-2001 No. 1 2
3 4 5 6
46
Uraian Penduduk Usia Kerja (15 tahun ke atas) Angkatan Kerja a. Bekerja b. Mencari Pekerjaaan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) (%) Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Bekerja Kurang 35 jam seminggu (%) Bekerja Menurut Lapangan Usaha (%) a. Pertanian b. Industri c. Perdagangan d. Jasa-jasa e. Lainnya
1999 671.021
2000 735.291
2001 732.548
429.517 20.861 67,09 4,81 27,63
436.572 24.238 62,67 5,26 32,01
433.271 17.525 61,54 3,89 27,69
30.19 13.48 22.72 21.37 12.23
27,16 14.70 25.17 16,57 16,40
27.25 13.81 25.35 21.31 12.28
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah 7.
Peluang dan Tantangan ......
Bekerja Menurut Status (%) a. Berusaha sendiri b. Berusaha dengan buruh tidak tetap/ pekerja keluarga c. Berusaha dengan buruh tetap d. Pekerja/buruh e. Pekerja keluarga
19,90 17,21 1,37 45.37 16,16
21,87 20.29 1.02 42.74 14.07
24.24 20.32 3.21 38.71 13.53
Sumber: Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Sleman Tahun 2001, hal. 29-34. Nampak pada tabel 13 angka TPAK dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 mengalami penurunan, yaitu dari 67,09% , 62,67%, dan 61,54%. Penurunan angka TPAK ini disebabkan jumlah angkatan kerja relatif tetap sedangkan jumlah penduduk usia kerja mengalami kenaikan. Untuk meningkatkan angka TPAK kabupaten Sleman dapat dilakukan dengan menambah jumlah penduduk yang bekerja atau penduduk yang mencari pekerjaan. Di samping itu, dapat pula dilakukan dengan menekan angka kelahiran sehingga akan mengurangi jumlah penduduk pada akhirnya. Apabila dilihat pada tabel 13, nampak tingkat pengangguran terbuka memiliki arah trend yang menurun. Hal ini berarti, secara relatif semakin banyak penduduk kabupaten Sleman yang tidak menganggur secara terbuka. Namun apabila dilihat dari jumlah absolut, kemungkinan jumlah penduduk absolut kabupaten Sleman yang menganggur secara terbuka mengalami kenaikan karena terjadinya kenaikan jumlah penduduk. Apabila dilihat pada tabel 13, nampak angka bekerja kurang daripada 35 jam kerja seminggu relatif konstan, yaitu dari 27,63%, 32,01%, dan 27,69%. Namun . Namun apabila dilihat dari jumlah absolut, kemungkinan jumlah penduduk absolut kabupaten Sleman yang bekerja kurang daripada 35 jam kerja seminggu mengalami kenaikan karena terjadinya kenaikan jumlah penduduk yang bekerja. Apabila dilihat pada tabel 13, nampak jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha dari tahun 1999 sampai dengan 2001 terbesar tetap saja di sektor pertanian, kemudian diikuti sektor perdagangan, dan jasa-jasa. Apabila dilihat pada tabel 13, nampak penduduk yang paling banyak bekerja menurut status adalah bekerja sebagai pekerja/buruh, kemudian bekerja sebagai berusaha sendiri, dan berusaha dengan buruh tidak tetap/pekerja keluarga.
PELUANG DAN TANTANGAN TENAGA KERJA DI KABUPATEN SLEMAN Menurut Gunawan Sumodiningrat (1999: 5), untuk menyonsong Otonomi Daerah maka perlu penyiapan sumberdaya manusia di daerah. Sumberdaya manusia di daerah yang antara lain aparat daerah, perguruan tinggi, lembaga pengembang masyarakat, dan berbagai pihak yang peduli dalam pembangunan yang berwawasan pada pemberdayaan masyarakat sangat diharapkan peranannya dalam sumbangan pemikiran pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menempatkan pembangunan pada proporsi sebenarnya. Aparat dituntut untuk mengembangkan kepemimpinan yang merakyat yang mampu memahami aspirasi dan masalah yang dihadapi masyarakatnya. Kepemimpinan yang seperti itu merupakan syarat untuk mengembangkan sumberdaya manusia. Dalam kerangka makro, penyiapan sumberdaya manusia sebagai pelaku ekonomi yang appropriate untuk Otonomi Daerah segera diwujudkan. Dalam kerangka mikro, penyiapan tehnis aparat pelaksana Otonomi Daerah diwujudkan melalui pelatihan dan pemberian kesempatan yang luas kepada pelaku ekonomi di daerah untuk ikut bertanggungjawab dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah. Pelaku ekonomi di daerah sebagai komponen sumberdaya manusia di daerah dalam menyongsong Otonomi Daerah dapat dijelaskan secara teori dengan menggunakan circular flow diagram. Diagram tersebut menjelaskan bagaimana pelaku ekonomi berinterakasi, dengan asumsi bahwa ada lima pelaku yaitu masyarakat, perusahaan, lembaga keuangan bank dan bukan bank, dan pemerintah daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah.
47
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
Masyarakat diasumsikan sebagai pelaku ekonomi yang memiliki faktor produksi (di antaranya tenaga kerja) dan kemudian dijual kepada perusahaan yang oleh karena itu masyarakat akan memperoleh pendapatan. Di samping itu, masyarakat merupakan pelaku ekonomi yang akan mengkomsumsi barang dan jasa -pengeluaran konsumsi masyarakat- yang dihasilkan perusahaan. Perusahaan diasumsikan sebagai pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan produksi menghasilkan barang dan jasa yang dijual kepada masyarakat. Perusahaan dapat menghasilkan
barang dan jasa karena perusahaan membeli atau menyewa faktor produksi yang ditawarkan masyarakat. Lembaga keuangan bank dan bukan bank merupakan lembaga yang mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediation role) dan lembaga pelancar jalannya interakasi ekonomi (transmission role). Pemerintah daerah beserta dewan perwakilan rakyat daerah mempunyai kekuasaan dalam membuat kebijakan-kebijakan untuk melancarkan interaksi ekonomi antarpelaku ekonomi daerah. Circular flow diagram digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1 Circular Flow Diagram Faktor Produksi/Input Pendapatan
s
s s
Perusahaan
Masyarakat
s s
s
s
Pengeluaran Konsumsi Barang dan jasa
s
Tabungan
Lembaga Keuangan Bank dan bukan Bank
Investasi
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Berdasarkan gambar 1 nampak tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi yang diasumsikan dimiliki pelalu ekonomi –masyarakat- memiliki peranan penting dalam proses produksi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi –perusahaan. Peran penting tersebut
48
akan nampak pada hasil produksi yang dilakukan oleh perusahaan yang ditunjukkan pada nilai PDRB. Demikian pula di kabupaten Sleman, kualitas dan kuantitas tenaga kerja akan mempengaruhi nilai PDRB kabupaten Sleman. Berdasarkan penjelasan tabel 6
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah sampai dengan tabel 13 beserta penjelasan hakekat Otonomi Daerah maka tenaga kerja di kabupaten Sleman memiliki peluang dan tantangan. Peluang muncul karena adanya kekuatan dan tantangan muncul karena adanya kelemahan pelaku ekonomi di daerah –tenaga kerja. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran memiliki kontribusi terbesar dalam PDRB kabupaten Sleman pada kurun waktu tahun 1999 – 2001. Disusul kemudian sektor pertanian. Apabila dilihat dari kontribusi masing-masing subsektor kedua sektor tersebut, nampak subsektor restoran memiliki kontribusi terbesar dalam sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sedang subsektor tanaman bahan makanan memiliki kontribusi terbesar dalam sektor pertanian. Berdasarkan angka laju pertumbuhan sektor, nampak sektor pertanian memiliki angka laju pertumbuhan sektor yang paling tinggi, disusul kemudian sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Apabila dilihat dari angka laju pertumbuhan masing-masing subsektor kedua sektor tersebut, nampak subsektor tanaman perkebunan memiliki angka laju pertumbuhan yang paling tinggi, disusul kemudian subsektor restoran. Berdasarkan nilai LQ tahun 1999, sektor perdagangan, hotel, dan restoran memiliki nilai LQ yang lebih besar daripada 1 daripada sektor pertanian yang memiliki nilai LQ kurang daripada 1. Berdasarkan LQ kedua sektor tersebut per kecamatan, nampak sektor pertanian memiliki nilai LQ lebih besar daripada 1 di kecamatan Berbah, Cangkringan, Godean, Kalasan, Minggir, Moyudan, Ngemplak, Pakem, Prambanan, Seyegan, Tempel, dan Turi. Sedang sektor perdagangan, hotel, dan restoran memiliki nilai LQ lebih besar daripada 1 di kecamatan Depok, Kalasan, Mlati, Ngemplak, Pakem, dan Prambanan. Berdasarkan penjelasan sektoral dan spasial sektor-sektor di kabupaten Sleman maka dapat dianalisis bahwa secara sektoral dan spasial, penyerapan tenaga kerja di berbagai kecamatan di kabupaten Sleman hampir merata di sektor pertanian. Oleh karena itu, apabila dilihat pada tabel 13 nampak sektor pertanian banyak menyerap tenaga kerja pada periode pengamatan tahun 1999-2000 (rata-rata sebesar 28,20%) disusul kemudian sektor perdagangan, hotel, dan restoran (rata-rata sebesar 24,41%). Apabila dilihat pada kontribusi sektor-sektor terhadap PDRB kabupaten Sleman, nampak sektor yang
Peluang dan Tantangan ......
memiliki kontribusi terbesar adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Oleh karena itu, apabila penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian tetap dominan hal ini akan menimbulkan masalah mengingat kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB kabupaten Sleman tidak dominan. Masalah ini terjadi karena “wadah” sebagai tempat berlangsungnya kegiatan produksi di kabupaten Sleman makin menyusut. Penyusutan lahan pertanian ini akan berakibat permintaan tenaga kerja di sektor pertanian juga akan mengalami penurunan. Tenaga kerja yang tidak dapat diserap oleh sektor pertanian akan diserap oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Alih penyerapan ini akan berlangsung lancar apabila kualitas tenaga kerja di sektor pertanian dan perdagangan, hotel, dan restoran sebanding. Padahal seperti diketahui kualitas tenaga kerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran tuntutan kualitas lebih tinggi daripada di sektor pertanian sehingga tenaga kerja yang tidak dapat diserap inilah yang akan menambah jumlah pengangguran terbuka. Penambahan jumlah pengangguran terbuka di kabupaten Sleman akan meningkat seiring adanya ketidakmampuan sektor perdagangan, hotel, dan restoran untuk tumbuh seperti pada waktu kasus bom Bali yang menurunkan penerimaan devisa dari sektor pariwisata. Kekuatan yang dimiliki tenaga kerja di kabupaten Sleman nampak pada tabel 13, yaitu bekerja menurut status yang menunjukkan jiwa kewirausahaan pada berusaha sendiri atau berusaha dengan buruh tetap maupun tidak tetap yang persentasenya makin meningkat pada tahun 1999-2001. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok masyarakat tersebut memiliki kekuatan modal dan manajerial yang memadai. Hal ini menjadi peluang bagi tenaga kerja tersebut untuk berkembang tanpa bergantung kepada pihak lain. Kelompok masyarakat ini sebgaian besar bergerak di sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor industri pengolahan. Kekuatan lain adalah nampak pada bekerja menurut status pada pekerja/ buruh yang persentasenya makin menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa kelompok masyarakat ini telah melakukan alih status pekerjaan dari status sebagai buruh ke status berusaha sendiri atau berusaha dengan buruh tetap maupun tidak tetap. Kelemahan yang dimiliki tenaga kerja di kabupaten Sleman nampak pada tabel 14 berikut ini:
49
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
Tabel 14 Penduduk 10 Tahun ke atas yang Mencari Pekerjaan Menurut Jenjang Pendidikan yang Ditamatkan, Tahun 2001
Sumber:
BPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat dan Standar Indikator Kesra, Kabupaten Sleman, Tahun 2001, hal. 35. Data diolah.
Pada tabel 15 nampak sebagian besar penduduk 10 tahun ke atas yang mencari pekerjaan sebagian besar memiliki jenjang pendidikan yang ditamatkan adalah SMU dan SMK ke bawah (63,59%). Dengan demikian, ± 63% penduduk 10 tahun ke atas yang mencari pekerjaan memiliki jenjang pendidikan SMU dan SMK ke bawah. Dengan tingkat pendidikan yang relatif kurang tersebut dapat dihitung kemana kelompok masyarakat tersebut akan mencari pekerjaan dan berapa tingkat pendapatan yang diperoleh. Hal ini mengakibatkan pencari kerja di kabupaten Sleman memiliki kualitas yang rendah sehingga alih penyerapan tenaga kerja tidak akan berlangsung lancar. Tidak lancarnya alih penyerapan ini disebabkan karena kualitas tenaga kerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran memiliki tuntutan kualitas lebih tinggi (tamat minimum D IV atau S-1) daripada di sektor pertanian sehingga akan menambah jumlah pengangguran terbuka. Belum lagi apabila gap antara kualitas yang dimiliki tenaga kerja penduduk kabupaten Sleman dengan yang dibutuhkan perusahaan di kabupaten Sleman semakin lebar sehingga kesenjangan ini dimanfaatkan oleh tenaga kerja dari penduduk luar kabupaten Sleman. Hal inilah yang mengakibatkan masyarakat kabupaten Sleman hanya sebagai
50
“penonton” yang menonton adegan “sinetron” yang berjudul pembangunan kabupaten Sleman.
Laki-Laki Perempuan Jenjang Pendidikan yang Ditamatkan KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI KABU-Absolut Absolut Relatif Re
PATEN SLEMAN
1. SLTP ke bawah
252
2,21%
751
Berdasarkan uraian sebelumnya maka 2. SMU 4.128 36,24% pemerintah daerah kabupaten Sleman perlu melakukan 877 beberapa kebijakan dalam bidang ketenagakerjaan, 3. SMK 4.758 41,77% 378 yaitu:
12, 14, 6,1
D III 126 1,11% saing 1.502 1.4. Menyiapkan tenaga kerja yang berdaya melalui dunia pendidikan
24,
2.602
42,
11.391 (Pusat 100,00% Jumlah Menurut Mochtar Buchori Data dan 6.134
100
5. D IV / S 1
2.127
18,67%
Informasi Pendidikan, 2003) ada tiga aspek penting yang harus dimiliki tenaga kerja Indonesia agar mampu bersaing dengan tenaga kerja asing, yaitu pengetahuan, skill, dan karakter. Pengetahuan dibutuhkan untuk menopang skill yang terus berubah, dan harus berkarakter agar tahan banting dalam menghadapi persiangan. Dunia pendidikan di Indonesia sekarang ini banyak menjejali anak didik dengan pengetahuan tanpa memberikan waktu kepafa anak didik untuk menyerap makna dari pengetahuan itu.
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah Hal ini mengakibatkan pengetahuan menjadi tidak bermakna (meaningless knowledge) dan tidak dapat menjadi topangan dari suatu skills yang bersifat dinamis. Selain itu, banyak pelajaran yang sifatnya hafalan, sampai matematika pun dihafalkan, sejarah pun dihafalkan tanpa dipahami, begitu juga agama dihafalkan tanpa diresapi. Oleh karena itu, Departemen Pendidikan Nasional segera menarik suatu garis kebijaksanaan yang akan membuat seluruh institusi pendidikan mulai memperhatikan cara menanamkan meaningfull knowledge dan akhirya meaningfull readjust, sehingga dapat melahirkan manusia Indonesia yang sanggup bersaing dengan tenaga kerja asing. Untuk mencapai hal tersebut perlu segera dimulai membangun dasarnya, yaitu pendidikan guru. Lembaga pendidikan guru saat ini telah diredusir menjadi School administration atau bahkan class room managers. Kondisi ini harus segera diubah sehingga dapat menghasilkan tenaga-tenaga pendidik yang mampu memberikan meaningfull knowledge. 2. Membangun tenaga kerja bersendikan penduduk Menurut Pusat Informasi Keluarga Berencana (2003), untuk mengatasi masalah pengangguran, mempengaruhi sisi supply dan demand tenaga kerja adalah pekerjaan yang yang harus dilakukan. Pada sisi demand, perlu diupayakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar mampu menyerap tenaga kerja. Pada sisi supply, perlu dihambat laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada elemen laju pertumbuhan angkatan kerja, terkait di dalamnya soal laju pertumbuhan penduduk. Maka, pada sisi supply, hal yang perlu dilakukan adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk dan laju angkatan kerja, memang ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Atau ibarat hidup secara simbiose mutualisme, saling memetik manfaat – dalam hal penduduk dan angkatan kerja, manfaat yang dipetik bisa positif, bisa pula negatif. Proses keterkaitan itu, bisa disimak misalnya dari menurunnya pertumbuhan penduduk. Kondisi ini, yang diyakini para pakar kependudukan akan menurunkan jumlah penduduk struktur muda (0-15 tahun), memang bakal mendongkrak jumlah penduduk struktur umur di atasnya, meski hanya untuk beberapa saat. Masalahnya pada penduduk berstruktur muda seperti Indonesia,
Peluang dan Tantangan ......
pertumbuhan penduduk usia kerja (15-64) menjadi lebih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan antara tahun 1990-1995 penduduk usia kerja tumbuh rata-rata 2,7 persen per tahun, meski trend-nya kemudian menurun menjadi 2,4 persen per tahun antara tahun 1995-2000, dan diproyeksikan menurun lagi menjadi 1,1. persen antara tahun 2015-2020. Angka tersebut melebihi angka pertumbuhan penduduk itu sendiri, misalnya pada kurun waktu 1995-2000 ratarata pertumbuhan penduduk hanya mencapai 1,48 persen, sementara penduduk usia kerja tumbuh 2,7 persen. Data lain memperlihatkan, secara absolut jumlah angkatan kerja di Indonesia pada 2000 mencapai 95,6 juta orang, meningkat menjadi 100,8 juta pada 2002. Pada periode yang sama, penduduk yang mencari kerja juga meningkat dari 5,8 juta (6,1 persen) menjadi 9,1 juta (9,1 persen). Di antara para pencari kerja tersebut, diperkirakan sekitar 2,1 juta orang adalah pencari kerja pertama kali. Dengan jumlah penduduknya yang besar dan kompleks, sudah semes-tinya Indonesia menyadari perlunya membangun kebijakan kependudukan yang berpihak pada pembangunan berkelanjutan. Semestinya pula indikator-indikator yang ada dicermati dan disikapi dengan kritis untuk mendapatkan jalan keluar yang tepat dari krisis yang tengah melilit saat ini. Di samping itu, perlu disadari bahwa investasi yang substansial dan berkelanjutan dalam upaya pembangunan manusia merupakan jalan utama meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia. Kualitas penduduk yang tinggi di antaranya akan meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing di era globalisasi. Kondisi suram itu bisa menjadi nyata kalau melihat perkembangan sektor industri di Indonesia yang lebih mengarah ke industri padat modal. Jenis industri ini memang akan memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan nasional, termasuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, kemampuan menyerap angkatan kerja sangat terbatas. Akibatnya, surplus angkatan kerja di sektor pertanian tidak dapat terserap di sektor industri. Tambahan pula, kesempatan kerja di sektor industri adalah untuk ang-katan kerja terdidik. Keterbatasan penyerapan angkatan kerja di sektor industri inilah yang menjelaskan mengapa banyak
51
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah angkatan kerja terdidik tidak terserap di pasar kerja. Kondisi tersebut secara jelas memberikan indikasi, bahwa Indonesia masih menyimpan segudang persoalan tentang penyediaan kesempatan kerja, walaupun pembangunan ekonomi menunjukkan performance baik. Dengan demikian, menjadi penting untuk mengintegrasikan aspek kependudukan ke dalam perencanaan pembangunan nasional, yaitu dengan memandang bahwa kebijakan ke arah pertumbuhan dan stabilitas ekonomi memang penting, tetapi kebijakan pembangunan yang mengarah pada kualitas penduduk jauh lebih penting. 3. Menciptakan pasar tenaga kerja sesuai kebutuhan pasar (http://www.detik.com) Tenaga kerja yang berkualitas merupakan permasalahan utama dalam menyusun kebijakan yang menyangkut pengembangan ekonomi wilayah, oleh karenanya, tingkat kemampuan usaha-usaha kecil dan menengah di wilayah ekonomi ini (Klaten dan sekitarnya) perlu ditingkatkan. Hal ini jelas akan meningkatkan daya saing dan pertumbuhan sektor UKM. Oleh karena itu, bidang utama ini ditujukan untuk lebih menekankan bahwa pengembangan ekonomi dan sumber daya manusia memberikan konstribusi yang signifikan dalam pembangunan daerah khususnya dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas melalui peningkatan pendidikan kejuruan yang bersifat formal dan non formal. Secara garis besar, program ini dimaksudkan untuk meningkatkan kerjasama antara majelis pendidikan, lembaga pelatihan dan sektor swasta supaya bisa menyediakan jasa pelatihan yang berorientasi pada permintaan dan dapat memenuhi kebutuhan pelatihan keterampilan yang diinginkan oleh UKM di wilayah ini. Pengembangan kapasitas bagi para pelaku utama di bidang pendidikan menjadi aspek lain dalam rangka pengembangan sumber daya manusia di wilayah ini. Sumber informasi mengenai peluang peningkatan kompetensi dan pelatihanpelatihan juga akan dikembangkan. Bidang utama ini memberikan dukungan bagi lembaga-lembaga pelatihan untuk mengembangkan best pratices di tempat pendidikan dan tempat magang yang menyangkut masalah keterampilan kejuruan, menjalin linkage secara aktif antara lembaga-lembaga pendidikan dengan dunia usaha. Best practices ini akan tercermin dalam bentuk
52
Peluang dan Tantangan ......
dukungan dalam rangka membentuk suatu sistem sertifikasi dan standardisasi daerah dan juga membantu skema keuangan yang inovatif bagi pendidikan kejuruan. 4. Mengembangkan kursus ketenagakerjaan Karena output dunia pendidikan di Indonesia kurang memperhatikan kualifikasi sebagaimana yang dituntut dunia kerja, maka perlu memberi bekal kepada para lulusan agar mereka menjadi “siap untuk dipakai”. Bekal yang diberikan kepada mereka adalah materi yang tidak diajarkan di dunia pendidikan tetapi dibutuhkan oleh dunia kerja. Materi tersebut berupa kursus ketenagakerjaan yang diajarkan oleh para praktisipraktisi dari berbagai lintas sektoral perusahaan. Tujuan pemberian materi ini agar para lulusan memiliki nilai plus dalam bersaing maupun dalam bekerja di perusahaan nantinya. Bahkan dapat pula menjadikan para lulusan memiliki kemampuan untuk menciptakan pekerjaan. 5. Mengembangkan jaminan sosial tenaga kerja Menurut Prijono Tjiptoherijanto (2003), jaminan sosial yang menjadi harapan bagi seluruh pekerja untuk menunjang hidup para pekerja tersebut, baik pada saat masih bekerja maupun setelah purna karya, perlu terus menerus diperhatikan dan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Apabila pemerintah maupun para pengusaha tidak memperhatikan masalah ini, akan timbul reaksi keras dari publik dan para pekerja itu sendiri. Akhirakhir ini banyak pekerja menuntut kenaikan biaya jaminan sosial melalui tindakan demonstrasi dan pemogokan. Dampaknya akan merugikan kedua belah pihak. Bagi pengusaha hal itu berarti terjadinya penurunan produktivitas baik dari segi kualitas maupun kuantitas hasil produksi, sedangkan bagi para pekerja bisa berupa penurunan penghasilan karena tidak masuk kerja, serta lebih parah lagi apabila sampai terjadi pemutusan hubungan kerja. Meskipun menjadi harapan bagi semua pekerja agar jaminan sosial ditingkatkan, namun dengan adanya kondisi ekonomi yang tidak semakin membaik belakangan ini, agaknya harapan tersebut hanya tinggal harapan. Karena justru banyak usaha-usaha yang belakangan ini terpaksa harus tutup. Bagi usaha yang
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Peluang dan Tantangan ......
masih dapat dijalankan, secara terpaksa pula tidak dapat memberikan gaji secara penuh. Pemotongan yang bahkan hampir mencapai separuhnya terpaksa harus dilakukan. Besarnya jaminan sosial dengan berbagai sistem dan aturannya berkaitan erat dengan besarnya dana yang dapat dihimpun. Pada saat ini jaminan sosial yang berupa tunjangan pensiun tidak hanya dapat dinikmati oleh para pegawai negeri sipil dan BUMN namun juga telah diberikan kepada para pekerja swasta. Kebanyakkan di antaranya dilakukan melalui pemotongan gaji para pegawai tersebut semasa aktif bekerja, dan merupakan tabungan bagi hari tua para pekerja. Kebijaksanaan ini hanya diberlakukan di beberapa usaha swasta seperti perbankan. Meskipun telah dianggap menjadi suatu kemajuan, namun perlu pula diingat bahwa masih banyak segmen penduduk lainnya yang seharusnya menerima jaminan sosial, sesuai dengan kondisi yang dimilikinya. Seperti misalnya, di beberapa negara maju telah diberikan tunjangan perumahan (housing subsidy) dan makanan (food stamp) yaitu berupa rumah penampungan bagi
penduduk yang menganggur. Sesuatu yang masih merupakan ‘mimpi-mimpi panjang’ bagi para pekerja dan kelompok bawah dalam masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
___________________.Indikator Kesejah teraan Rakyat dan Standar Indikator Kesra, Tahun 2001.
BPS Kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman Dalam Angka. Berbagai Tahun. ___________________. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Sleman Tahun 1999 dan 2000. ___________________. Produk Domestik Regional Bruto per Kecamatan se Kabupaten Sleman Tahun 1999. __________________.Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Sleman Tahun 2001.
SIMPULAN Agar peluang dapat dimanfaatkan dan tantangan dapat diatasi maka perlu melakukan beberapa tindakan sebagai berikut: 1. Menganalisis sektoral dan spasial sebagai perspektif dalam pengambilan keputusan (kebijakan) yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di kabupaten Sleman, baik kebijakan yang dilakukan oleh swasta maupun pemerintah. 2. Membenahi kurikulum pendidikan menengah dan tinggi agar mampu menyiapkan lulusannya siap pakai. 3. Membangun tenaga kerja bersendikan penduduk. 4. Menciptakan pasar tenaga kerja sesuai kebutuhan pasar. 5. Mengembangkan kursus ketenagakerjaan. 6. Mengembangkan jaminan sosial tenaga kerja.
BPS Propinsi DIY. DIY Dalam Angka 1997 dan 2000. Bernas, 17 Oktober 2003. Budiono (1992), Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 4: Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE. Budiono Sri Handoko (1984), Pembangunan Regional, PPE FE UGM dan Deptan RI, Yogyakarta. __________________ 1985), Interaksi antara Desa dan Kota, PPE FE UGM dan Deptan RI, Yogyakar-ta.
53
Jam STIE YKPN - Mufidhatul Khasanah
Dumairy (1996), Perekonomian Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jurnal Ekonomi Pembangunan FE UII, Vol. 4, No. 2, Desember, h. 171.
Gunawan Sumodiningrat (1999), Agenda Pemantapan Otonomi Daerah: Suatu Pokok Pikiran. Seminar Nasional Otonomi Daerah, Yogyakarta: ISEI Yogyakarta.
Suwarjoko Warpani (1994), Analisis Kota dan Daerah, Bandung: Penerbit ITB.
http://www.detik.com Kadariah (1989), Ekonomi Perencanaan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Lincolin Arsyad (1999), Ekonomi Pembangunan, Edisi 4, Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN Yogyakarta. Mahbub ul Haq (1983), Tirai Kemiskinan: Tantangan-tantangan Untuk Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mudrajad Kuncoro (1997), Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan, Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Payaman J. Simanjuntak, (1985), Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Prijono Tjiptoherijanto (2003), Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, Fakultas Ekonomi Unicversitas Indonesia. Pusat Data dan Informasi Pendidikan. 2003 Pusat Informasi Keluarga Berencana. 2003. Rudy Badrudin (1999), “Pengembangan Wilayah Propinsi DIY (Pendekatan Teoritis)”,
54
Peluang dan Tantangan ......
Sekretariat Negara Republik Indonesia (1999), Undang-Undang Otonomi Daerah 1999, Bandung: Penerbit Kuraiko Pratama.
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani
Analisis Faktor-faktor ......
ABSTRACT Small businesses in Indonesia have already proved that FAKTOR-FAKTOR
ANALISIS ANALISIS PENGARUH TINGKAT TEKANAN PENDAPATAN KETAATAN YANG MEMPENGARUHI TERHADAP PASAR JUDGMENT AUDITOR PEDAGANG TRADISIONAL DI KOTA YOGYAKARTA 1) Hansiadi Yuli Hartanto Indra Wijaya Kusuma*)2) Salamatun Asakdiyah Tina Sulistyani **)
ABSTRACT This research was to know income level of traditional market sellers in city of Yogyakarta, analyzing factors that influence toward level of income of the sellers, and knowing about dominant factor that influence toward the seller’s incomein city of Yogyakarta. Sample was taken by purposive sampling method of 100 respondents. This research was conducted in four traditional markets that located at city of Yogyakarta, that is Demangan, Kranggan, Sentul, and Prawirotaman market. This research used multiple regression analysis method. This research showed that level of income of the traditional sellers was influenced by some factors including working capital, working hours, number of workers, and length of business. Working capital was the most influencing factor toward level of income. Result of test on regression coefficient individually showed that working capital, number of workers, ,and length of business variables positively and significantly influenced toward level of income of the sellers. Meanwhile working hours variable did not influenced significantly toward level of income of the traditional sellers in city of Yogyakarta. Working capital, working hours, number of work, and length of business variables can
explained level of income about 69,7% and the rest of 30,3% was caused by other variables which were not included in this model. Keywords: Traditional market sellers, Income of the sellers, working capital, working hours, number of workers and length of business. PENDAHULUAN Dampak dari proses globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia telah memacu terjadinya perubahan-perubahan yang drastis terhadap lingkungan bisnis. Hubungan antarnegara dan bangsa tidak lagi mengenal batas-batas teritorial, baik dalam segi investasi, industri, individu, terlebih lagi informasi. Selanjutnya semua penghalang terjadinya lalu lintas perdagangan antarnegara dihilangkan. Dalam situasi ini maka persaingan bisnis menjadi lepas kendali dan dikenal dengan istilah hypercompetition (D’Aveni, 1994). Persaingan lepas kendali ini diindikasikan dengan munculnya dinamika manuver yang semakin agresif di pasar dan tidak ada satupun pasar yang selamanya bebas dari persaingan. Di Indonesia, salah satu bidang usaha yang merasakan imbas dari perkembangan ekonomi global
*) Dra. Salamatun Asakdiyah, M.Si. dan **) Tina Sulistiyani, SE., MM., adalah Dosen Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
55
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani tersebut adalah sektor bisnis eceran. Fenomena hiperkompetisi pada sektor ini mulai terlihat sejak masuknya pelaku-pelaku bisnis eceran asing pada tahun 1990-an. Hal ini dimulai dengan kehadiran raksasa bisnis eceran Sogo, yang selanjutnya disusul perusahaan eceran internasional lainnya seperti Metro, Makro, Seibu, Wal-Mart, Price Mart, Mack and Spencer, JC Feny dan Yaohan. Setidak-tidaknya terdapat 20 perusahaan eceran asing yang telah beroperasi di Indonesia. Mereka bersaing ketat dengan 153 perusahaan eceran nasional yang terdiri dari 84 pasar swalayan dengan 297 outlet dan 64 departement store dengan outlet berjumlah 265 buah (Goni, 1996). Persaingan ketat antara bisnis eceran internasional dengan bisnis eceran nasional telah makin memperburuk kondisi pasar-pasar tradisional, yang selama ini telah menghadapi tekanan berat akibat pertumbuhan pasar-pasar modern lokal. Hasil studi Departemen Dalam Negeri pada beberapa kota besar menunjukkan fakta bahwa kehadiran pasar modern mempunyai dampak negatif terhadap usaha pasar tradisional dalam bentuk penurunan omzet penjualan. Pada jarak 3 km dari pasar modern, omzet pedagang pasar tradisional mengalami penurunan 25-35%. Sedangkan pada jarak 2 km dari pasar modern, penurunan omzet pedagang pasar tradisional bisa mencapai 45% (Parawangsa, 1994). Guna merespon ancaman dari bisnis eceran besar, maka pasar tradisional perlu berbenah diri dengan menyesuaikan dirinya sesuai dengan tuntutan selera konsumen. Perkembangan selera konsumen menginginkan tempat berbelanja yang bersih, nyaman, dengan harga yang relatif murah, serta mutu barang yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk tujuan ini maka diperlukan adanya program peremajaan atau renovasi pasar tradisional. Kios pasar perlu ditata dengan jarak yang cukup lega bagi konsumen untuk bergerak. Fasilitas kebersihan, keamanan, dan tempat parkir perlu disediakan dengan kondisi yang memadai. Lingkungan sekitar pasar perlu dibenahi agar menarik dan terhindar dari kesan kumuh. Proses marjinalisasi pedagang pasar tradisional memerlukan kajian serius dari pelbagai pihak. Harus disadari dengan seksama bahwa pasar tradisional merupakan lahan usaha pedagang yang sebagian besar terdiri dari golongan ekonomi lemah. Meskipun belum ada pencacahan “resmi” tetapi pedagang berskala kecil
56
Analisis Faktor-faktor ......
ini diduga persentasenya mencapai 90% dari populasi unit usaha yang bergerak di sektor perdagangan eceran (Hidayat, 1987). Selain itu, kedudukan pada pedagang pasar sebagai penggerak ketahanan ekonomi rakyat merupakan salah satu pilar ketahanan nasional (Depkop, 1986). Dengan demikian, maka tergusurnya pedagang pasar tradisional akan dapat menciptakan situasi kerawanan sosial. Melalui pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa tergusurnya para pedagang pasar tradisional dari lahan berdagangnya lebih disebabkan karena kurangnya kemampuan investasi para pedagang pasar. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan kondisi tingkat pendapatan yang diperolehnya. Semakin tinggi tingkat pendapatan usahanya maka akan semakin besar pula peluangnya melakukan investasi. Oleh karena itu, pemikiran yang timbul adalah bagaimana agar para pedagang pasar tradisional dapat memperoleh pendapatan pada tingkat yang memungkinkan untuk diinventasikan guna membeli kios apabila suatu saat pasar di pugar atau direnovasi. Berdasarkan kondisi tersebut maka dibutuhkan adanya kepedulian dan komitmen semua pihak, utamanya pemerintah, guna menciptakan pelbagai peluang agar pedagang pasar tradisional lebih mampu meningkatkan pendapatannya. Dalam hal ini pemerintah, khususnya pemerintah daerah, diharapkan memiliki kepekaan dalam merumuskan kebijakan agar dapat selaras dengan kondisi obyektif ekonomi pasar tradisional. Dalam rangka memenuhi harapan tersebut maka dibutuhkan masukan informasi yang relevan tentang pelbagai faktor yang kondusif terhadap kemampuan pedagang pasar dalam meningkatkan pendapatannya. Melalui pemahaman yang komprehensif terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar maka diharapkan dapat dijadikan konsideransi akademik dalam formulasi kebijakan publik menyangkut penataan pasar dan pusat perbelanjaan. TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Pasar Tradisional Salah satu fungsi penting dari pasar adalah sebagai fasilitas umum untuk melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat. Meskipun secara fisik suasana berbelanja
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani di pasar tradisional kurang menyenangkan, namun pasar tradisional mempunyai jangkauan pelayanan yang luas kepada masyarakat. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pengecer dan Pusat Pertokoan Indonesia (AP31) di Jakarta setiap hari hampir sejuta orang yang berbelanja ke pasar tradisional. Bahkan pangsa pasarnya mencapai 50% dari seluruh konsumen (Sinungan, 1987). Sebagai pusat perdagangan kota, pasar merupakan unsur penggerak kegiatan perekonomian kota dan sebagai unsur utama pembentuk struktur tata ruang kota. Oleh karena itu, kawasan perdagangan kota pada umumnya tumbuh dan berkembang dari adanya pasar, dimana intensitas kegiatannya semakin meningkat sesuai dengan perkembangan kota dan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, pasar dapat berkembang lebih luas lagi sebagai pusat perdagangan yang melayani seluruh kota atau bahkan kawasan regional. Namun demikian pasar dapat pula berfungsi hanya sebagai pusat pelayanan lingkungan kota (Ali, 1994). Dikaitkan dengan perkembangan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat, pasar telah meningkat pula fungsinya sebagai stabilitas harga, tempat pembentukan harga eceran bagi berbagai komoditas, dan menyediakan peluang untuk memperoleh pendapatan. Selain penjual eceran, banyak kelompok masyarakat yang dapat memperoleh pendapatan dari aktivitas ekonomi pasar baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung pasar memberi kesempatan pekerjaan dan berusaha kepada mantri pasar, tukang parkir, pemasok barang, buruh angkut, penjaga malam, rentenir, pengemis, dan pemulung. Selain itu, pasar juga memberi kesempatan usaha kepada penjahit, pandai besi, tukang reparasi, tukang sepatu, dan tukang cukur (Sinungan, 1987, Chandler, 1985). Karakteristik Pasar Tradisional Ditinjau dari perspektif ekonomi, pasar adalah wahana pertemuan antara penjual dengan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli. Dalam hal ini, pasar dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu pasar modern, pasar campuran, dan pasar tradisional (Parawangsa, 1994). Masing-masing pasar memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi bangunan fisik maupun manajemen operasinya.
Analisis Faktor-faktor ......
Karakteristik fisik dari pasar modern dicirikan oleh keberadaan bangunan yang menarik, menggunakan teknologi modern, dan menyediakan pelbagai fasilitas kenyamanan sebagai salah satu cara untuk menarik konsumen. Pasar ini dapat berbentuk pasar swalayan (supermarket) ataupun toko serba ada (departement store) yang dimiliki oleh pemodal kuat dan dikelola dengan manajemen profesional, sedangkan pangsa pasarnya adalah golongan masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Sementara yang dimaksud pasar campuran adalah perpaduan antara pasar modern dengan pasar tradisional. Pada umumnya pasar campuran dibangun sebagai hasil renovasi pasar tradisional dengan mengikutsertakan pemodal besar atau kerjasama dengan pihak swasta. Pasar ini dimaksudkan untuk melayani kebutuhan seluruh strata masyarakat yang berbeda. Kondisi fisik pasar campuran secara umum cukup baik. Meskipun demikian, lingkungan bagian pasar swalayan cenderung lebih terawat dibandingkan bagian pasar tradisionalnya. Sedangkan pasar tradisional merupakan sarana tempat berlangsungnya transaksi jual beli, dimana pedagang secara langsung dan kontinyu memperdagangkan aneka barang dan jasa. Sebagian besar yang diperdagangkan terdiri dari barang-barang kebutuhan sehari-hari dan dengan harga yang relatif murah. Bentuk fisik pasar tradisional biasanya terdiri dari bangunan los dan kios sederhana, relatif kurang terawat dan terkesan kumuh. Suasana pasar kurang menyenangkan, ruang belanja sempit, penerangan kurang baik, tempat parkir kurang memadai, dan pelayanan kurang memuaskan (Sinungan, 1987). Salah satu karakteristik yang menonjol dari pasar tradisional adalah banyaknya pedagang yang menjual jenis barang dan jasa yang sama. Selain itu, penentuan harga dilakukan melalui proses tawar menawar. Walaupun harga barang relatif murah namun kualitas dan kebersihan barang kurang diperhatikan. Kebanyakan pedagang pasar tradisional tidak mempunyai catatan penjualan. Biaya produksi maupun ongkos-ongkos lainnya jarang sekali dihitung dengan seksama. Didalam mengelola usaha dan khususnya dalam menyediakan persediaan barang dagangan, para pedagang pasar berjalan sendiri-sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan modal biasanya berhubungan
57
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani dengan sumber perkreditan informal (Sinungan, 1987 dan Alexander, 1987). Determinan Pendapatan Pedagang Pasar Salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha perdagangan adalah modal. Di dalam persepsi pedagang pasar yang dimaksud dengan modal atau biasanya disebut pawitan (bahasa Jawa) adalah sejumlah barang dagangan dan bukannya dalam pengertian uang (Alexander, 1987). Beberapa hasil penelitian terhadap pedagang sektor informal menunjukkan terdapatnya kaitan langsung antara modal dengan tingkat pendapatan pedagang (Tjiptoroso, 1993; Jafar, 1994; Santayani, 1996). Modal yang relatif besar akan memungkinkan suatu unit penjualan menambah variasi komoditas dagangannya. Dengan cara ini berarti akan makin memungkinkan diraihnya pendapatan yang lebih besar. Selain faktor modal, tingkat pendapatan pedagang juga ditentukan oleh lamanya waktu operasi. Hasil penelitian Jafar (1994) dan Tjiptoroso (1993) membuktikan adanya hubungan langsung antara jam kerja dengan tingkat pendapatan. Setiap penambahan waktu operasi akan makin membuka peluang bagi bertambahnya omzet penjualan. Jam kerja pedagang pasar tradisional sangat bervariasi. Di daerah pedesaan, khususnya di pulau Jawa pedagang pasar beroperasi menurut hari pasaran Jawa seperti Kliwon, Pahing, dan seterusnya (Chandler, 1985 dan Alexander, 1987). Sedangkan di daerah perkotaan tidak dikenal adanya hari pasaran dan jam kerja pedagang pasar relatif cukup panjang antara 12 hingga 15 jam perhari (Widaningroem, Sunaryo, dan Djasmani, 1992).
Analisis Faktor-faktor ......
Penggunaan tenaga kerja dapat pula meningkatkan jumlah pendapatan pedagang pasar. Santayani (1996) dan Syahruddin (1987) membuktikan bahwa dengan tambahan jumlah tenaga kerja akan memungkinkan adanya pelayanan yang lebih baik kepada konsumen, baik dalam arti kualitas maupun kuantitas layanan. Melalui cara ini maka akan dapat memikat jumlah pelanggan yang lebih banyak dan lebih memungkinkan terpeliharanya loyalitas pelanggan. Pengaruh pengalaman berusaha terhadap tingkat pendapatan pedagang telah dibuktikan dalam penelitian Tjiptoroso (1993) maupun dalam studi yang dilakukan. Sri Edi Swasono et.al (1986). Lamanya seorang pelaku bisnis menekuni bidang usahanya akan mempengaruhi kemampuan profesionalnya. Semakin lama menekuni bidang usaha perdagangan akan makin meningkatkan pengetahuan tentang selera ataupun perilaku konsumen. Ketrampilan berdagang makin bertambah dan semakin banyak pula relasi bisnis maupun pelanggan yang berhasil dijaring. HIPOTESIS PENELITIAN Kesimpulan sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tingkat pendapatan pedagang pasar tradisional dipengaruhi oleh faktor modal usaha, jam kerja, jumlah tenaga kerja, dan lama usaha. 2. Masing-masing faktor tersebut memiliki derajat pengaruh yang berbeda. 3. Salah satu dari faktor-faktor tersebut mempunyai tingkat pengaruh yang lebih besar dibandingkan faktor-faktor lainnya.
Gambar 1 Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Pendapatan Pedagang Pasar Jumlah Tenaga Kerja Jam Kerja s
Modal Usaha Lama Usaha
58
Tingkat Pendapatan
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang pasar tradisional yang beroperasi di dalam pasar tradisional yang ada di Kota Yogyakarta. Adapun unit analisisnya adalah unit usaha (the enterprises) dan bukan perorangan maupun keluarga. Responden penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling. Sampel diambil berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan terlebih dulu (Cooper dan Emory, 1995; Babbie, 1995). Penentuan kriteria sampel dimaksudkan agar lebih tinggi tingkat homogenitasnya. Adapun kriteria responden adalah sebagai berikut: a. Pedagang pasar yang beroperasi di dalam pasar dan bukannya di emperan pasar. b. Jenis mata dagangangannya ditentukan di dalam kelompok sebagai berikut : (1) sembilan bahan pokok; (2) pakaian dan (3) kelontong. Jumlah responden ditentukan dengan tingkat presisi melalui error maksimum sebesar 0,20 dengan tingkat keyakinan 95%, sehingga jumlah sampel dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Djarwanto dan Subagyo, 1994) : 1,96
2
Analisis Faktor-faktor ......
berlokasi di Jalan Parangtristis yang mewakili daerah Kota Yogyakarta bagian selatan. Keempatnya dipilih karena dipandang cukup mewakili fenomena pasar tradisional di Kota Yogyakarta bila dilihat dari variasi jenis mata dagangan dan skala besarnya pasar. Sedangkan pasar yang ada di Kota Yogyakarta berjumlah 13 pasar. Berdasarkan jumlah 125 kuesioner yang dibagikan kepada para pedagang pasar tradisional di Kota Yogyakarta, ternyata responden yang mengembalikan kuesioner sebanyak 100 pedagang. Dengan demikian, tingkat pengembaliannya (respon rate-nya) sebesar 80%. Adapun perincian pengembalian kuesioner dapat disajikan melalui tabel sebagai berikut: Tabel 1 Perincian Pengembalian Kuesioner Pasar
Jumlah (orang)
Persentase
Demangan Kranggan Sentul Prawirotaman Jumlah
25 25 25 25 100
25% 25% 25% 25% 100%
Sumber: Data Primer.
n = Metode Pengumpulan Data
E 1,96
2
n = 0,20 n =
100
Lokasi penelitian dilakukan di empat pasar tradisional yang berada di Kota Yogyakarta yaitu: (1) Pasar Demangan berlokasi di Jalan Demangan mewakili daerah Kota Yogyakarta bagian utara, (2) Pasar Kranggan berlokasi di Jalan Diponegoro yang mewakili daerah Kota Yogyakarta bagian barat, (3) Pasar Sentul berlokasi di Jalan Sultan Agung mewakili daerah Kota Yogyakarta bagian tengah, dan Pasar Prawirotaman
Data primer untuk penelitian ini dikumpulkan melalui daftar pertanyaan yang diajukan kepada pedagang pasar. Data primer digunakan untuk menghitung variabel penelitian. Data primer yang dikumpulkan meliputi pendapatan usaha, modal usaha, jam kerja, jumlah tenaga kerja, dan lama usaha. Data primer yang telah diperoleh diolah dengan menggunakan bantuan program SPSS. Sementara itu data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan yang digali baik dari buku, jurnal ilmiah, maupun hasilhasil penelitian. Sumber data sekunder lainnya adalah kantor-kantor instansi pemerintah seperti Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan, Kantor Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah, dan Dinas Pasar.
59
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani Identifikasi Variabel dan Skala Pengukuran Untuk menguji hipotesis penelitian variabel yang digunakan terdiri dari: a. Variabel Terikat Variabel terikat dari penelitian ini adalah tingkat pendapatan, yaitu hasil yang diterima dari jumlah seluruh penerimaan selama satu hari setelah dikurangi pengeluaran biaya operasi. Tingkat pendapatan ini dihitung dalam waktu seminggu atau mingguan. b. Variabel Bebas Dalam penelitian ini variabel bebasnya meliputi: 1) Modal Usaha, yaitu jumlah uang yang digunakan untuk mengusahakan unit usaha dan dinyatakan dalam rupiah. 2) Jam Kerja, yaitu lamanya waktu yang digunakan untuk menjalankan usaha. Di mulai sejak persiapan sampai pasar tutup. Jam kerja dihitung dalam waktu seminggu. 3) Jumlah Tenaga Kerja, yaitu banyaknya tenaga kerja yang digunakan untuk mengoperasikan usaha. Dalam hal ini tidak dibedakan antara pekerja upahan dengan pekerja keluarga. 4) Lama Usaha, yaitu lamanya berkarya pada usaha perdagangan pasar yang sedang dijalani saat ini. Metode Analisis Untuk melakukan pembuktian hipotesis, penelitian ini menggunakan metode analisis statistik. Analisis statistik digunakan untuk membuktikan adanya pengaruh dari modal, jam kerja, jumlah tenaga kerja, dan lama usaha terhadap pendapatan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan model regresi berganda dengan metode kuadrat terkecil biasa yang dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + ei Dimana : Y = Tingkat Pendapatan X1 = Jumlah Modal Usaha X2 = Jam Kerja X3 = Jumlah Tenaga Kerja
60
Analisis Faktor-faktor ......
X4 = Lama Usaha ei = Kesalahan Pengganggu b0 = Intersep b1, b2, b3, b4 = Koefisien Regresi X1, X2, X3, X4 Untuk menguji hipotesis yang dikemukakan, maka digunakan uji t dan uji F. Uji t dimaksudkan untuk mengetahui variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas (terikat) secara individual. Sedangkan uji F digunakan untuk mengetahui apakah secara bersama-sama variabelvariabel bebas tersebut dapat menjelaskan variabel terikat. Model regresi berganda dapat digunakan apabila tidak terjadi penyimpangan asumsi-asumsi klasik. Guna mengetahui ada tidaknya penyimpangan atau pelanggaran asumsi klasik, model regresi berganda ini akan diuji dengan tiga asumsi klasik, yaitu: uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi (Gujarati, 1995; Sumodiningrat, 1995). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Variabel Analisis Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar tradisional di Kota Yogyakarta digunakan variabel analisis yang terdiri dari variabel terikat dan variabel bebas. Dalam penelitian ini tingkat pendapatan digunakan sebagai variabel terikat, sedangkan jumlah modal usaha, jumlah jam kerja, jumlah tenaga kerja, dan lama usaha digunakan sebagai variabel bebas. Untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pendapatan pedagang pasar dapat dicari dengan cara menghitung rata-rata tingkat pendapatan dari ketiga kelompok pedagang pasar di Kota Yogyakarta yang meliputi: Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Sentul, dan Pasar Prawirotaman. Demikian pula untuk mengetahui seberapa jauh jumlah modal usaha yang digunakan, jam kerja yang dijalankan, jumlah tenaga kerja yang digunakan, serta lama usaha yang telah ditekuni pedagang pasar. Hal ini dapat dicari dengan cara menghitung rata-rata dari masing-masing variabel. Adapun hasil perhitungan masing-masing variabel analisis dapat dijelaskan sebagai berikut:
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani 1. Tingkat Pendapatan Pedagang Pasar Berdasarkan data yang dikumpulkan sebanyak 100 responden, maka hasil perhitungan dari tingkat pendapatan rata-rata dari pedagang pasar di Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Sentul, dan Pasar Prawirotaman rata-rata sebesar Rp. 479.000,00 perminggu. Hal ini berarti bahwa rata-rata tingkat pendapatan pedagang pasar di Kota Yogyakarta memperoleh pendapatan bersih rata-rata sebesar Rp. 68.428,57 per-hari. 2. Modal Usaha Modal usaha yang digunakan pedagang pasar merupakan jumlah uang yang digunakan untuk mengusahakan unit usaha. Jumlah modal usaha yang digunakan dapat dicari dari rata-rata jumlah modal usaha yang digunakan pedagang pasar di Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Sentul, dan Pasar Prawirotaman. Hasil perhitungan ratarata jumlah modal usaha yang digunakan pedagang pasar di Kota Yogyakarta sebesar Rp. 3.583.000,00. Hal ini berarti bahwa rata-rata jumlah uang yang digunakan untuk mengusahakan unit usaha di Kota Yogyakarta rata-rata sebesar Rp. 3.583.000,00. 3. Jam Kerja Jam kerja merupakan lama waktu yang digunakan untuk menjalankan usaha, yang dimulai sejak persiapan sampai pasar tutup. Hasil perhitungan dari rata-rata jam kerja yang dijalankan oleh pedagang pasar di Kota Yogyakarta selama 46 jam per-minggu. Hal ini berarti bahwa rata-rata jam kerja pedagang pasar di Kota Yogyakarta selama 6,5 jam per-hari. 4. Jumlah Tenaga Kerja Jumlah tenaga kerja merupakan banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan untuk mengoperasikan usaha. Dalam hal ini tidak dibedakan antara pekerja
Analisis Faktor-faktor ......
upahan dengan pekerja keluarga. Hasil perhitungan rata-rata jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh pedagang pasar di Kota Yogyakarta berjumlah 2 orang. Hal ini berarti banyaknya tenaga kerja yang digunakan untuk mengoperasikan usaha pedagang pasar di Kota Yogyakarta rata-rata berjumlah 2 orang. 5. Lama Usaha Lama usaha merupakan lamanya pedagang pasar berkarya pada usaha perdagangan pasar yang sedang dijalani saat ini. Hasil perhitungan dari ratarata lama usaha yang ditekuni pedagang pasar di Kota Yogyakarta selama 6 tahun. Hal ini berarti bahwa pedagang pasar di Kota Yogyakarta ratarata telah mempunyai pengalaman usaha dengan berkarya pada perdagangan pasar selama 6 tahun. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Pedagang Pasar Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar di Kota Yogyakarta digunakan variabel modal usaha (x1), variabel jam kerja (x2),variabel jumlah tenaga kerja (x3), dan variabel lama usaha (x4) sebagai variabel-variabel bebas. Sedangkan tingkat pendapatan pedagang pasar sebagai variabel terikat (y). Dalam penelitian ini, responden yang diambil sebagai sampel berjumlah 100 orang pedagang pasar di Kota Yogyakarta yang meliputi Pasar Demangan, Pasar Kranggan, Pasar Sentul, dan Pasar Prawirotaman. Sedangkan alat analisis yang digunakan adalah Analisis Regresi Berganda. Berdasarkan data yang dikumpulkan dan hasil perhitungan dengan komputer, maka dapat disajikan hasil analisis regresi sebagai berikut:
61
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani
Analisis Faktor-faktor ......
Tabel 2 Hasil Analisis Regresi Berganda Variabel
Koefisien
Nilai T
Probabilitas
Konstanta
-112.531,4
-1,146
0,255
Modal Usaha (x1)
0,084
7,96
0,00
Jam Kerja (x2)
1.009,57
0,51
0,609
Jumlah Tenaga Kerja (x3)
79.302,76
3,35
0,001
Lama Usaha (x4)
13.017,40
2,37
0,020
R = 0,835; R2 = 67,7%; F = 54,645; Sig. F = 0,000 Sumber: Data Primer, diolah. Berdasarkan tabel yang telah disajikan, maka dapat dijelaskan bahwa hasil pengujian koefisien regresi secara individual dengan uji t menunjukkan bahwa variabel modal usaha (x1), variabel jumlah tenaga kerja (x3) dan variabel lama usaha (x4) secara signifikan mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar di Kota Yogyakarta (P < 0,05). Sedangkan variabel jam kerja (x2) tidak signifikan mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar di Kota Yogyakarta (P > 0,05). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa di antara beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar tradisional di Kota Yogyakarta, maka variabel modal usaha merupakan variabel yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap variabel tingkat pendapatan pedagang pasar. Hasil pengujian koefisien regresi secara serempak dengan uji F menunjukkan nilai F hitung sebesar 54,645. Sedangkan dengan a = 5% nilai F tabel sebesar 2,46. Nilai F hitung lebih besar dari F tabel. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel-variabel besar secara serempak atau bersama-sama mempengaruhi variabel terikat. Hal ini berarti variabel modal usaha, variabel jam kerja, variabel jumlah tenaga kerja, dan variabel lama usaha secara bersama-sama mampu menjelaskan variabel tingkat pendapatan pedagang pasar. Nilai R2 sebesar 0,697 menunjukkan bahwa variabel modal usaha, variabel jam kerja, variabel jumlah tenaga kerja, dan variabel lama usaha dapat
62
menjelaskan variabel tingkat pendapatan pedagang pasar sebesar 69,7%, sedangkan sisanya yang sebesar 30, 3 % disebabkan oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian. Berdasarkan hasil pengujian ini, dapat diketahui bahwa variabel modal usaha mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat pendapatan pedagang pasar di Kota Yogyakarta. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu (Tjiptoroso, 1993; dan Jafar, 1994; Santayani, 1996). Hal ini berarti modal usaha merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan pendapatan pedagang pasar. Dengan modal yang relatif lebih besar, maka akan memungkinkan pedagang pasar untuk menambah variasi komoditas dagangannya, sehingga memungkinkan para pedagang memperoleh pendapatan yang lebih besar. Variabel jam kerja tidak signifikan mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar. Hal ini berarti lamanya waktu operasi pedagang pasar tidak mempengaruhi besarnya tingkat pendapatan pedagang pasar yang diperoleh. Hal ini disebabkan para pembeli yang berbelanja di pasar hanya dalam jam tertentu saja, sehingga bertambahnya waktu operasi pedagang tidak meningkatkan pendapatan pedagang pasar. Variabel lama usaha secara signifikan mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Edi Swasono et. al (1986). Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama pedagang pasar menekuni bidang usahanya, semakin banyak
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani pengalaman dalam berdagang. Oleh karena itu, semakin banyak pengalaman dalam berdagang semakin besar tingkat pendapatan yang diperoleh. Variabel jumlah tenaga kerja secara signifikan mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Santayani (1996). Hal ini menunjukkan bahwa tambahan jumlah tenaga kerja memungkinkan pemberian pelayanan yang lebih baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dengan kualitas pelayanan yang meningkat akan memuaskan pelanggan. Tercapainya kepuasan pelanggan akan meningkatkan pendapatan pedagang pasar. Uji Asumsi Klasik Model regresi berganda dapat digunakan apabila tidak terjadi penyimpanan asumsi-asumsi klasik. Guna mengetahui ada tidaknya penyimpanan atau pelanggaran terhadap asumsi klasik, maka model regresi berganda ini diuji dengan tiga asumsi klasik, yaitu: uji multikolinearitas, uji heteroskedastistas, dan uji autokorelasi. Berdasarkan hasil uji multikolinearitas dengan analisis korelasi Person, maka dapat diketahui bahwa korelasi antarvariabel bebas x1, x2, x3 dan x4 menghasilkan koefisien korelasi di bawah 0,8. Dengan demikian, pada model regresi yang digunakan tidak terjadi masalah multikolinearitas yang serius untuk semua variabel bebas. Hasil uji heteroskedastistas dengan analisis korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa baik untuk x1, x2, x3 dan x4 menghasilkan probabilitas >0,05. Hal ini berarti bahwa pada data pengamatan tidak terdapat heteroskedastisitas. Sedangkan hasil uji autokorelasi dengan metode Durbin Watson Test Disturbance menghasilkan nilai Durbin Watson hitung sebesar 1,829. Nilai hitung tersebut merupakan daerah bebas autokorelasi. Dengan demikian, tidak ada autokorelasi dalam sampel pengamatan tersebut. Berdasarkan uji asumsi klasik dapat diketahui bahwa tidak adanya gejala multikolinearitas, menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar variabel bebas yang digunakan. Selain itu, tidak adanya gejala heterokedastisitas menunjukkan bahwa varians gangguan dari suatu observasi ke obsevasi lainnya tidak berbeda, sedangkan tidak adanya gejala
Analisis Faktor-faktor ......
autokorelasi menunjukkan bahwa gangguan pada suatu observasi tidak berkorelasi dengan gangguan observasi yang lain. SIMPULAN Tingkat pendapatan yang diperoleh pedagang pasar tradisional di Kota Yogyakarta rata-rata sebesar Rp.479.000,00 per-minggu. Sedangkan jumlah modal usaha yang digunakan rata-rata sebesar Rp.479.000,00 per minggu. Sedangkan jumlah modal yang digunakan rata-rata sebesar Rp.3.583.000,00. Pedagang pasar tradisional di kota Yogyakarta beroperasi atau menjalankan usaha yang dimulai sejak persiapan sampai pasar tutup rata-rata selama 46,02 jam per-minggu atau rata-rata selama 6,57 jam per-hari. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata waktu operasi pedagang pasar tradisional sudah cukup wajar bila dikaitkan dengan tingkat pendapatan yang diperoleh. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang digunakan pedagang pasar rata-rata berjumlah 2 orang. Hal ini menggambarkan bahwa usaha perdagangan di pasar tradisional cukup memberi kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja. Pedagang tradisional di kota Yogyakarta telah menekuni usahanya rata-rata selama 6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha perdagangan pasar cukup prospektif sebagai sumber penghidupan yang memungkinkan pelakunya memperoleh pendapatan yang layak, sehingga merasa betah untuk menekuni usahanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang tradisional di kota Yogyakarta adalah jumlah modal usaha yang digunakan, jumlah tenaga kerja, dan lama usaha yang dijalankan. Di antara ketiga faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar, maka modal usaha merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang pasar.
63
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani DAFTAR PUSTAKA
Alexander, J. (1987), “Batas Minimum Kredit Untuk Pedaganb Kecil” Prisma, No. 7 Th. XVI, h. 49-81. Ali, T.H. (1994), “Keterpaduan Pembangunan Pasar dengan Penataan Kota di Indonesia,” dalam Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusahaan Kecil, Pola Pikir Penataan Pasar dan Pedagang Kaki Lima, Jakarta. Arjana, IG.B. (199 7 ), Faktor-faktor yang Menentukan Peningkatan Pendapatam Rumah Tangga. Disertasi Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta (tidak dipublikasikan). Babbie, E. (1995) The Practice of Social Research, th. 1d. Belmonth : Wadsworth Publishing Company. Chandler, G. (995), “Wanita Pedagang di Pasar Desa di Jawa”, Prisma No. 10 Th. XIV. H. 50-58 .
Analisis Faktor-faktor ......
Goni, R. (1996), “Store Layout Strategy”, Usahawan, No. 40, Th. XXV, Oktober, h. 36-39. Gujarati, D. (1995), Ekonometrika Dasar, a.b. Sumarno Zain, Jakarta : Erlangga. Hidayat (1978) “Peranan dan Profil serta Prospek Perdagangan Eceran,” Prisma, No. 4, Desember, h. 415-445. Muhammad, F. (1994), “Pasar Masa Depan dan Peranan Kopearsi”, dalam Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Pola Pikir Penataan Pasar dan Pedagang Kaki Lima, Jakarta. Jafar, M.I. (1991), Implikasi Program Keluarga Berencana terhadap Partisipasi Wanita pada Sektor Informal di Kecamatan Soreang Kotamadya Pare-pare, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang (tidak dipublikasikan). Kedaulatan Rakyat, 18 Agustus 1997. Kontan, No. 2, Th. 1, 3 Maret 1997.
Cooper, D.R. dan C.W. Emory (1995) Business Research Methodes, 5 th. Ed. Chicago : Irwin. D’Aveni, R.A. dan R. Gunther (1994), Hypercompetition : Managing the Dynamics of Strategic Mancuvering, New York : The Free Press. Departemen Koperasi, (1996), Pola Pembinaan dan Pengembangan Usaha Koperasi Pedagang Pasar, Koperasi Serba Usaha, dan Koperasi Unit Desa Yang Mengelola Toko/Waserda, Jakarta. Djarwanto, dan P. Subagyo (1994), Statistik Induktif, Yogyakarta : BPFE.
64
Parawangsa, H.M. (1994), “Manajemen Pembangunan Pasar”, dalam Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil,” Pola Pikir Penataan Pasar dan Pedagang Kaki lima, Jakarta. Prospek, 11 Maret 1997. Santayani (1996), Peranan Pendidikan dan Pengalaman Berusaha Pada Sektor Informal ; Studi Kasus PKL Makanan dan Minuman di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani
Analisis Faktor-faktor ......
Sinungan, J.A. (1987), “Kelemahan dan Kekuatan Retail Business”, Prisma, No. 7. Th. XVI, Juli, h. 19-22. Sumodiningrat, H. (1995), Ekonometrika Pengantar, Yogyakarta : Erlangga. Swasono, S.E., et. Al. (1987), Laporan Penelitian Studi Kebijakan Pengembangan Sektor Informal, Jakarta : PPPP dan LSP. Syahruddin, et. al (1987),Laporan Penelitian Pengembangan Sektor Informal : Beberapa Alternatif Kebijaksanaan, Padang : PSK Universitas Andalas.
65
Jam STIE YKPN - Salamatun dan Tina Sulistyani
66
Analisis Faktor-faktor ......
Jam STIE YKPN - Julianto agung S.
Audit Value For Money ......
ABSTRACT Small businesses in Indonesia have already proved that
AUDIT VALUE TEKANAN FOR MONEY ANALISIS PENGARUH KETAATAN MENUJU AKUNTABILITAS PUBLIK TERHADAP JUDGMENT AUDITOR Julianto Agung Saputro *)1) Hansiadi Yuli Hartanto Indra Wijaya Kusuma2)
ABSTRACT Government auditors should consider how they can best bring about improved quality of reporting so as to enhance public accountability, which is the obligation to answer publicly for discharge of responsibilities that affect the public in important ways. When auditors understand what type of information the governing bodies need most for their accountability role, they will know what needs to be audited. Value for money audit is an expanding and exciting area for auditor, who are naturally well placed to provide this service. The auditor should consider value-for money points in all work. Auditor should carry out reviews of individual services to ensure that there are proper arrangenments for ensuring value for money. Keyword: audit, value for money, akuntabilitas. PENDAHULUAN Pemerintah sebagai penerima wewenang untuk mengelola dana publik dalam bentuk penyediaan fasilitas dan layanan, jasa publik, serta pengelolaan berbagai sumber daya negara harus dapat mempertanggungjawabkan pengelolaannya kepada publik. Berbagai aktivitas serta alokasi dan pemakaian
*)
sumber daya tersebut harus dihitung dengan tepat dan efisien. Jalannya aktivitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pemakaian sumber daya tidak bisa lepas dari peran publik yang memberikan dukungan dana yang salah satunya berbentuk pembayaran pajak. Jadi, alasan mengapa publik menuntut transparansi pertanggungjawaban kinerja pemerintah, karena publik merupakan penyangga utama berjalannya roda pemerintahan. Value for money (VFM) bagi penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu keharusan sebagai wujud tanggung jawabnya kepada publik yang dapat mewujudkan akuntabilitas publik. Wujud akuntabilitas publik dapat terlihat dengan keberpihakan berbagai rencana dan anggaran pemerintah kepada publik serta didukung oleh transparansi pelaksanaan rencana dan anggaran pemerintah. Audit VFM merupakan cara untuk menilai VFM penyelenggaraan pemerintah. Sebagaimana diatur dalam Standar Audit Pemerintahan (SAP) 1995, audit kinerja mencakup audit tentang ekonomi, efisiensi, dan efektifitas. Audit ekonomi dan efisiensi bertujuan untuk mengetahui apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan menggunakan sumber dayanya secara hemat dan efisien; menentukan apa penyebab ketidakhematan dan ketidakefisienan; dan menentukan apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundangundangan yang berlaku.
Julianto Agung Saputro, SE., S.Kom., M.Si., adalah Dosen Tetap STIE YKPN Yogyakarta.
67
Jam STIE YKPN - Julianto Agung S.
Audit Value For Money ......
Sedangkan audit efektifitas digunakan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil program yang diinginkan atau manfaat yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau badan lain yang berwenang; untuk menentukan efektifitas kegiatan entitas, pelaksanaan program, kegiatan, atau fungsi instansi yang bersangkutan; dan untuk menentukan apakah entitas yang diaudit telah mematuhi peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan program atau kegiatan. Dengan kata lain tujuan audit VFM adalah untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga-lembaga sektor publik. Tuntutan untuk dilakukannya audit VFM tersebut mendesak seiring dengan adanya perubahan tatanan politik, ekonomi, serta sosial (Mardiasmo, 2000). VFM dicapai ketika suatu badan publik melakukan tugasnya dengan standar tinggi dan biaya rendah (Malan, 1984). Dengan kata lain, segala tugas yang ada dilaksanakan secara ekonomi, efektif, dan efisien. Ekonomi dan efisiensi berkaitan dengan penghematan sumber daya. Ekonomi berarti meminimalkan input, efisiensi berarti mencapai output maksimum dengan tingkat minimum agar menjadi efektif. Jasa publik seharusnya dapat menunjukkan apa saja yang telah diperoleh dengan uang publik dan berapa banyak uang yang telah digunakan. Audit VFM merupakan audit yang tepat untuk diterapkan di lembaga-lembaga pemerintahan, karena tidak hanya melihat aspek ketaatan dan keuangan saja, melainkan sudah mengarah pada hubungan input dan output suatu aktivitas, serta pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Dengan diterapkannya audit VFM, tindakan-tindakan yang mengarah pada berbagai perbuatan yang merugikan publik seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, penyelenggaraan
Nilai Input (Rp)
Ekonomi (hemat)
68
Input
Proses
pemerintahan yang tidak ekonomi, tidak efisien dan tidak efektif, dan tindakan lainnya yang merugikan kepentingan publik, diharapkan dapat terdeteksi sedini mungkin, dapat diantisipasi secara cepat dan segera dapat dilakukan tindakan perbaikan. Tulisan ini menjelaskan mengenai konsep value-for-money, memberikan gambaran mengenai nilai tambah audit VFM sebagai dukungan untuk menuju akuntabilitas publik dari lembaga sektor publik. Pada akhir tulisan ini akan dibahas mengenai peran auditor dalam audit VFM, terutama peranannya dalam menciptakan akuntabilitas publik. KONSEP VALUE-FOR-MONEY VFM merupakan ekspresi pelaksanaan lembaga sektor publik yang mendasarkan pada tiga elemen dasar, yaitu: ekonomi, efisiensi dan efektivitas yang merupakan bagian dari performance auditing (Mardiasmo, 2000). Ekonomi merupakan perolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang termurah. Ekonomi merupakan perbandingan input dengan input value. Efisiensi menunjukkan tercapainya output yang maksimum dengan input tertentu. Efisiensi merupakan perbandingan output/input yang dikaitkan dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Sedangkan efektivitas menggambarkan tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Secara sederhana, efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output (target/result). Ketiga elemen tersebut memberikan rerangka bagi pelaksanaan audit kinerja pada lembaga pemerintahan. Ketiga elemen dasar ini sangat terkait satu dengan lainnya. Keterkaitan ini digambarkan sebagai berikut (Mardiasmo, 2002):
Output
Efisiensi (berdaya guna)
Outcome
Efektivitas (berhasil guna)
Tujuan
Jam STIE YKPN - Julianto agung S. Ketiga elemen dasar ini dijadikan pedoman untuk melakukan penilaian kinerja. Untuk dapat digunakan sebagai penilaian kinerja, maka pengukuran ketiga elemen ini penting untuk dilakukan. Pengukuran ekonomi mempertimbangkan masukkan yag digunakan, pengukuran efisiensi dilakukan dengan membandingkan antara output dengan input, dan pengukuran efektivitas melihat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Sedangkan outcome merupakan dampak kegiatan atau program yang akan dirasakan oleh masyarakat NILAI TAMBAH AUDIT VALUE FOR MONEY Konsep VFM penting bagi pemerintah sebagai pemberi layanan kepada masyarakat, karena implementasi tersebut akan memberi manfaat bagi efektifitas layanan publik, meningkatkan mutu layanan publik, menggunakan sumber daya dan ekonomi secara ekonomis, efisien dan efektif, meningkatkan kesadaran atas uang publik dan mengelola serta mengembalikan kembali dana yang dipercayakan dari publik kepada publik, dalam bentuk berbagai aktivitas, sarana, sumber daya dan layanan yang bermutu kepada publik. Audit VFM memiliki kaitan erat dengan performance auditing. Ekonomi, efisiensi, dan efektivitas memberikan rerangka bagi pelaksanaan audit VFM pada sektor publik. Audit VFM mencakup audit tentang ekonomi, efisiensi, dan efektivitas (Jones, 1996): 1. Audit tentang ekonomi dan efisiensi bertujuan untuk menentukan apakah: a. Suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan menggunakan sumber daya secara hemat dan efisien. b. Penyebab ketidakhematan dan ketidakefisienan. c. Entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kehematan dan efisiensi. 2. Audit efektivitas mencakup penentuan: a. Tingkat pencapaian hasil program yang diinginkan atau manfaat yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau badan lain yang berwenang. b. Efektivitas kegiatan entitas, pelaksanaan program, kegiatan, atau fungsi instansi yang bersangkutan. c. Apakah entitas tersebut telah mematuhi
Audit Value For Money ......
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan program / kegiatan. Ada empat tipe audit VFM, yaitu by-product VFM work, arrangement review, performance review dan follow up review (jones, 1990). By-product VFM work merupakan produk sampingan dari penugasan audit lainnya yang dilakukan untuk alasan lain. Tipe ini biasanya dilakukan untuk menghitung nilai penghematan pada manajemen dengan perubahan yang kecil di dalam praktik pekerjaan tetapi pertimbangan biaya-manfaatnya besar. Arrangement review adalah pekerjaan yang dilakukan untuk memastikan bahwa klien melakukan perencanaan administratif yang diperlukan sebagai alat untuk mencapai VFM. Tahap-tahap arrangement review adalah tahap penunjukkan, perencanaan pemeriksaan, penelaahan tujuan kebijakan dan manajemen, penelaahan prosedur manajemen, dan pelaporan. Performance review membantu untuk menaksir tujuan VFM yang dicapai oleh klien ketika dibandingkan dengan kinerja masa lalu, dengan target yang ditetapkan, atau dengan kinerja organisasi sejenis lainnya. Tahap-tahap performance review adalah melakukan performance review, menggali data statistik kinerja dan pembanding, membandingkan data statistik kinerja dengan data statistik pembanding, pemilihan contoh tentang prosedur yang baik dan buruk, dan pembuatan laporan. Follow up review dilakukan dengan cara menaksir sejauh mana klien menindaklanjuti hasil telaah masa lalu yang direkomendasikan. Prosedur yang dilakukan adalah membuat perencanaan, mengumpulkan data yang relevan, menganalisis data yang diperoleh, menentukan opini, dan selanjutnya membuat laporan. Pada audit VFM, auditor menyelidiki dan melaporkan dari segi ekonomi, efisiensi, dan efektifitas pemakaian sumber daya dan hubungan dengan informasi manajemen dan sistem pengendalian. Audit VFM merupakan faktor utama yang sangat penting dan tepat bagi sektor publik, karena kinerja yang tidak dapat dilakukan dengan hanya menggunakan satu dasar pengukuran saja, seperti misalnya profitabilitas. Audit VFM berbeda dengan pemeriksaan laporan keuangan yang biasa dilakukan oleh auditor.
69
Jam STIE YKPN - Julianto Agung S. Perbedaan-perbedaan yang ada antara lain (Keenan,1992): a. Auditor diberi keleluasaan untuk menentukan tujuan dan luas audit. b. Auditor harus mengidentifikasi kriteria dan menilai apakah sudah tepat dengan keadaan sekitarnya, karena tidak ada suatu kriteria berterima umum yang jelas, tidak seperti prinsip akuntansi yang berterima umum. c. Diperlukan anggota tim audit dari berbagai disiplin ilmu, karena masalah yang dihadapi berbeda dan lebih kompleks dibandingkan audit laporan keuangan. d. Laporan auditor tidak berbentuk pendek (short form), tetapi lebih rinci dengan menjelaskan tujuan dan luas audit, temuan-temuan audit, kesimpulan dan rekomendasi. e. Auditor melaporkan secara langsung kinerja organisasi, sebagai ganti bukti untuk pernyataan manajemen. Hal penting yang membedakan audit VFM berbeda dengan audit laporan keuangan adalah dalam hal perencanaan audit (termasuk penyiapan tujuan dan cakupan audit dan penilaian ketepatan dengan kriteria yang telah ditentukan), pengetahuan mengenai entitas untuk perencanaan audit, dan pemakaian tenaga specialist. Dalam perencanaan audit, tujuan dan cakupan audit memberikan kerangka kerja untuk audit dengan mendefinisikan apa yang akan diperiksa. Ini merupakan hal yang penting dalam VFM dengan mempertimbangkan faktor-faktor signifikansi, risiko, kemampuan untuk diaudit, kebutuhan sumber daya dan waktu. Signifikansi dan risiko dalam audit VFM lebih sulit, karena subyek pada umumnya dinyatakan secara kualitatif daripada kuantitatif, dalam beberapa kasus dapat dinilai secara kuantitatif tetapi tidak dalam satuan uang. Pengetahuan mengenai entitas (entitas yang dimaksud disini adalah lembaga atau departemen atau fungsi yang ada dalam pemerintahan) merupakan hal penting yang harus dipahami dalam perencanaan VFM. Auditor perlu memahami hal ini karena digunakan sebagai dasar untuk membangun dan menilai tujuan dan cakupan audit serat untuk mengidentifikasi dan menentukan kriteria yang tepat untuk entitas yang akan
70
Audit Value For Money ......
diperiksa. Sifat dari entitas akan berpengaruh pada hubungan akuntabilitas. Hubungan akuntabilitas pada sektor publik sangat kompleks karena adanya lembaga konstitusional, politik, hukum, dan komponen administratif lainnya. Adanya hubungan akuntabilitas yang kompleks ini dapat menyebabkan adanya konflik kepentingan yang berakibat pada ketidakmampuan lembaga pemerintah untuk mencapai VFM. Lingkungan eksternal seperti ekonomi, keuangan, teknologi, politik, dan pengaruh sosial, juga menciptakan kebutuhan untuk memperkenalkan program baru dan berbagai risiko yang muncul. Sebagai contoh perubahan teknologi dapat menyebabkan pemanfaatan tenaga kerja menjadi tetap atau bahkan berkurang. Atau kondisi ekonomi yang buruk akan meningkatkan risiko kerugian pemerintah atau meningkatnya utang, seperti yang sedang dialami Indonesia saat ini. Berbagai aspek inilah yang seharus masuk dalam audit VFM, sehingga dalam melakukan penilaian tidak terjadi bias atau kesalahan, yang semuanya akan berdampak luas terhadap akuntabilitas publik. Keterbatasan kemampuan auditor dalam menghadapi kompleksitas masalah pada audit VFM menyebabkan diperlukannya seorang ahli khusus (specialist) yang memiliki pengetahuan dan kompentensi yang memadahi. Specialist dapat terlibat sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan disusun laporan audit. Keterlibatkan spesialist dapat sebagai penasehat tim audit atau juga dapat sebagai anggota tetap. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemakaian specialist adalah pertimbangan konsistensi dalam pengetahuan entitas dan bukti serta temuan lainnya. Jika ternyata ditemukan ketidakkonsistenan kompetensi dan pengetahuan specialist, auditor dapat mempertimbangkan untuk mencari sumber bukti yang lain yang dapat memenuhi tujuan audit atau memakai specialist yang lain. Pemakaian specialist hanya diperbolehkan sejauh tidak melakukan semua tanggung jawab auditor, seperti penyiapan laporan audit. Hal lain yang membedakan audit VFM dengan audit konvensional adalah dalam laporan audit. Dalam audit VFM laporan audit tidak hanya menyatakan kewajaran laporan keuangan dengan standar dan kriteria yang telah ditetapkan tetapi juga dilengkapi dengan rekomendasi-rekomendasi perbaikan yang sebaiknya dilakukan.
Jam STIE YKPN - Julianto agung S. MENUJUAKUNTABILITAS PUBLIK Akuntabilitas publik adalah kewajiban untuk menjawab kepada publik mengenai pelaksanaan tanggung jawab yang berpengaruh kepada publik. Kewajiban untuk melakukan tanggung jawab dan kewajiban untuk melaporkan tanggung jawabnya (McCandless, 1993). Pelaporan akuntabilitas memberikan informasi untuk penilaian kinerja dan meyakinkan bahwa agenda berbagai tanggung jawab kepada publik telah dilakukan dengan baik. Pemerintah sebagai penerima pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola dana publik, harus diikuti dengan transparansi penggunaan dana sebagai wujud tanggung jawabnya. Dengan memperhatikan VFM, maka pengelolaan dana publik harus dilaksanakan secara transparan, yaitu dengan didukung adanya peraturan yang jelas dan audit secara periodik. Audit VFM merupakan salah satu cara untuk menjamin dikelolanya dana publik secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dapat dipercaya, dan berorentasi pada kepentingan publik. Akuntabilitas keuangan pemerintah adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan penerimaan dan penggunaan uang publik kepada publik. Prinsip akuntabilitas keuangan pemerintah meliputi (Mardiasmo, 2001A): 1. Adanya suatu sistem akuntansi dan sistem anggaran yang mendapat menjamin bahwa keuangan pemerintah dilakukan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pengeluaran pemerintah dilakukan dengan orientasi pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan manfaat yang akan dicapai, yaitu manfaat yang baik dan berkualitas kepada publik. Peraturan pemerintah juga perlu dikeluarkan untuk mendukung dan memberikan keleluasaan dalam memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan VFM, serta menggutamakan orientasi anggaran pada kepentingan publik sesuai dengan prinsip-prinsip anggaran publik. Transparansi dalam penyelesaian siklus anggaran diperlukan agar tercipta akuntabilitas publik dan kepedulian masyarakat pada proses yang terjadi di pemerintahan. Oleh karena itu,
Audit Value For Money ......
diperlukan perspektif perubahan dalam pemerintahan pada kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang pemerintah yang berasal dari publik, dengan didasarkan pada kaidah mekanisme pasar, VFM, transparansi, dan akuntabilitas (Mardiasmo, 2000). Akuntabilitas publik merupakan pemberian informasi dan pengungkapan atas aktivitas dan kinerja pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan informasi tersebut, terutama publik. Pemerintah menjadi subyek pemberi informasi sebagai pemenuhan hak-hak publik, yaitu hak untuk diberi informasi, didengar inspirasinya dan diberi penjelasan. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana masyarakat yang mendasarkan pada VFM, maka perlu didukung dengan pola kinerja VFM yang mengarah pada kepentingan publik. Wujud nyata dari VFM yang dilakukan oleh pemerintah adalah transparansi dalam pengelolaan dana masyarakat dan audit VFM yang menjadi bukti keperpihakan pemerintah kepada publik. PERAN AUDITOR Peran auditor untuk melakukan pekerjaan VFM disebabkan karena auditor mempunyai akses untuk seluruh informasi keuangan, mempunyai akses untuk seluruh informasi manajemen, independen, dan auditor sebagai seorang profesional yang terlatih (Jones, 1990). Kelemahan utama auditor untuk melakukan pekerjaan value-for-money bahwa auditor kurang ahli dalam banyak jasa-jasa yang disediakan. Peran auditor dalam VFM tidak terbatas hanya dalam menilai kinerja, tetapi juga meningkatkan keahlian organisasi di bidang manajemen, personalia, akuntansi, pemrosesan data, teknologi informasi, riset pasar dan pemasaran serta memberikan saran pada sikap pelayanan yang baik kepada publik selama menjalankan pekerjaannya. Peran lain yang cukup penting dari auditor adalah mengenalkan perlunya perubahan mind set dalam pengelolaan dan pelayanan kepada publik. Pemerintah tidak lagi sebagai pihak yang berusaha ‘menghabiskan’ dana publik dengan berbagai pembangunan yang tidak tertata tanpa misi dan visi. Tetapi, pemerintah adalah lembaga yang dapat memberdayakan sumber daya manusia untuk dapat
71
Jam STIE YKPN - Julianto Agung S.
Audit Value For Money ......
mengelola dana publik dengan pelayanan yang bermutu dan terarah dengan misi dan visi yang jelas. Perlu disadarkan bahwa pemerintah dan publik adalah dua pihak yang saling sinergi untuk mencapai tujuan kemakmuran dan kesejahteraan. Semboyan yang sering kita dengar dengan kalimat ‘kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah’ perlu secara radikal diganti dengan ‘kalau bisa berkualitas dan mudah mengapa tidak’. Perubahan mind set ini juga perlu diterapkan auditor untuk mempengaruhi perubahan sikap adalah dengan merencanakan dan mencari ide-ide baru manajemen, yaitu dengan memberikan rekomendasi yang terinci dalam penyusunan dan pelaporan kinerja, menyediakan nasihat khusus untuk klien yang
memerlukan panduan, serta meningkatkan dedikasi bentuk struktur manajemen untuk memperbaiki kinerja. Peran yang paling penting dari auditor adalah menyajikan laporan hasil audit VFM yang dipublikasikan kepada publik sebagai dasar penilaian akuntabilitas kepada publik. Laporan ini dapat memberikan dampak yang cukup penting atas hubungan pemerintah dan publik, yaitu landasan kepercayaan publik. Publik menilai apakah pemerintah benar-benar dapat memberikan VFM bagi publik atas dana yang dipercayakan kepada pemerintah. Hubungan antara auditor dengan pihak-pihak yang terkait dalam audit VFM ditunjukkan pada gambar di bawah ini (Mardiasmo, 2002).
Auditor Fungsi atestasi
Pihak yang menuntut adanya akuntabilitas
Fungsi audit
Fungsi akuntabilitas
PENUTUP VFM bagi sektor publik merupakan suatu keharusan sebagai bentuk akuntabilitas publik, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan yang profesional. Kepercayaan publik terhadap pemerintah merupakan modal yang sangat berharga, karena publik tidak akan pernah ragu untuk membantu dan
72
Entitas yang diaudit
mendukung penyelenggaraan pemerintahan, yaitu salah satunya dengan membayar pajak secara sadar. Sejalan dengan tuntutan dilaksanakan akuntabilitas publik, pelaksanaan berbagai aktivitas pemerintahan perlu dilakukan berbagai pembenahan dan pembaharuan. Konsep VFM harus benar-benar dilakukan dalam mewujudkan pelayanan yang terbaik bagi publik. Audit VFM merupakan cara untuk memacu percepatan dilakukannya pemerintahan yang ekonomi, efisien dan efektif.
Jam STIE YKPN - Julianto agung S.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pemeriksa Keuangan (1995). Standar Audit Pemerintahan. BPK Jakarta. Buchman, Thomas A., Philip E. Tetlock, dan Ronald O. Reed (1996). Accountability and Auditor’s Judgments about Contigent Events. Journal of Business Finance and Accounting. Vol. 23. April: 379-398. Elliott, Robert K dan Peter D. Jacobson (1997). Adding Value Auditing. CA Magazine.Vol. 130, November: 35-37. Fischer, Michael J., dan John P. McAllister (1993). Enhancing Auditing Efficiency With New Technologies. CPA Journal. Vol. 63. November:58-62. Jones, P.C. dan J.G. Bates (1990). Public Sector Auditing: Practical Techniques For An Integrated Approach. Chapman And Hall. Hongkong. Jones, Rowan dan Maurice Pendlebury (1996). Public Sector Accounting. Pitman Publishing. London. Keenan, Joy (1992). Adding Value to VFM Audits. CA Magazine. Vol. 125. November: 53-55. Kirk, Donald J., dan Arthur Siegel (1996). How Directors and Auditors Can Improve Corporate Governance. Journal of Accountancy. Vol. 181., Januari: 5357. Mackenzie, Craig (1998). Ethical Auditing and Ethical Knowledge. Journal of Business Ethics. Vol. 17. Oktober: 13951402.
Audit Value For Money ......
Malan, Roland, M., James R. Fountain, Jr., Donald S. Arrowsmith, dan Robert L. Lockridge II (1984). Performance Auditing In Local Goverment. Government Finance Officers Association. Chicago. Mardiasmo (2000). Value For Money Audit Dalam Pemeriksaan Keuangan Daerah Sebagai Upaya Memperkuat Akuntabilitas Publik. Makalah Seminar “Strategi Pemeriksaan Keuangan Daerah yang Ekonomis, Efisien, dan Efektif dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”. Diselenggarakan oleh BEPEKA RI, April di Yogyakarta. ____________ (2000). Reformasi Kelembagaan dan Paradigma Baru Perencanaan Strategik dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Jurnal Akuntansi dan Manajemen. STIE YKPN Yogyakarta. Edisi Februari: 45-57. ____________ (2001A). Reinventing Government: Menciptakan Model Pemerintahan Daerah Masa Depan. Makalah Seminar “Reinventing Government”. Diselenggarakan dalam Rangka Diklat “Transforming Yogyakarta Into World Class Region”. ____________ (2001B). Pengawasan, Pengendalian dan Pemeriksaan Kinerja Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Artikel Belum Dipublikasikan. ____________ (2002). Akuntansi Sektor Publik. Andi Offset. McCandless, Henry E. (1993). Auditing to Serve Public Accountability. International Journal of Government Auditing. Vol. 20, April: 14-16.
73
Jam STIE YKPN - Julianto Agung S.
McCrindell, James dan Paul-Emile Roy (1998). Public Needs, Public Purse. CA Magazine. Vol 131. Desember: 37-38. Office of the Auditor General of Canada (2000). Value-for-Money Audit Manual. OAG/ CESD. Desember. Zadek, Simon (1998). Balancing Performance, Ethics, and Accountability. Journal of Business 17: 1421-1441.
74
Audit Value For Money ......
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto
Pengaruh Kelompok Industri ......
ABSTRACT Small businesses in Indonesia have already proved
PENGARUH KELOMPOK that INDUSTRI, BASIS PERUSAHAAN, DAN TINGKAT RETURN TERHADAP KUALITAS PENGUNGKAPAN SUKARELA DALAM LAPORAN TAHUNAN: STUDI EMPIRIS DI BURSA EFEK JAKARTA Inge Gunawan *) Djoko Susanto **)
PENDAHULUAN Laporan tahunan adalah media utama untuk mengkomunikasikan informasi keuangan dan informasi lainnya dari pihak manajemen kepada pihak-pihak di luar perusahaan. Laporan tersebut menjadi alat utama manajemen untuk menunjukkan efektivitas kinerja dan pelaksanaan fungsi pertanggungjawaban dalam perusahaan. Pengungkapan dalam laporan tahunan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu, pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi yang diharuskan dalam laporan keuangan yang diatur oleh suatu peraturan pasar modal yang berlaku. Sedangkan pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan informasi yang tidak diwajibkan atau sukarela, karena dipandang relevan dengan kebutuhan pemakai laporan keuangan (Meek, Roberts, dan Gray, 1995). Keuntungan perusahaan dalam memberikan pengungkapan sukarela sampai saat ini masih merupakan isu yang kontroversial. Tidak adanya bukti empiris mengenai hal itu membuat terjadinya perdebatan di antara para praktisi berkaitan dengan pembuatan dan pengembangan pengungkapan sukarela. The Special Committee on Financial Reporting of the American Institute of Certified Public Ac-
*)
countants (1994) melalui Jenkins Committee menyatakan bahwa keuntungan utama dari adanya pengungkapan yang lebih luas adalah semakin rendahnya cost of equity capital. Keuntungan tersebut diperoleh karena pengungkapan informasi oleh perusahaan akan membantu investor dan kreditur dalam memahami risiko investasi. Manajemen yang mengungkap informasi secara sukarela tentunya harus mempertimbangkan faktor biaya dan manfaat (trade-off antara cost dan benefit). Manajemen akan mengungkap informasi secara sukarela apabila manfaat yang diperoleh dari pengungkapan tersebut lebih besar dari biayanya. Besarnya biaya dan manfaat pengungkapan informasi berbeda antara perusahaan satu dan lainnya. Trade-off antara biaya dan manfaat pengungkapan informasi secara sukarela dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, yang berpengaruh pada perbedaan kualitas pengungkapan dalam laporan tahunan antara perusahaan yang satu dan perusahaan yang lain. Pengaruh karakteristik perusahaan terhadap kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan telah dilakukan dalam beberapa penalitian sebelumnya. Dalam sebagian besar penelitian sebelumnya, kualitas pengungkapan sukarela diukur dengan cara tanpa pembobotan yaitu hanya melihat jumlah item pengungkapan sukarela. Artinya, semakin banyak item
Inge Gunawan, SE., M.Si. dan **) Dr. Djoko Susanto, MSA., Akuntan adalah Dosen Tetap STIE YKPN Yogyakarta.
75
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto pengungkapan sukarela yang diungkap, semakin luas pengungkapan sukarela tersebut. Penelitian terhadap kualitas pengungkapan sukarela di Indonesia yang diukur dengan cara pembobotan dilakukan dalam Susanto (1992). Dalam studinya, Susanto melakukan penelitian terhadap 98 laporan keuangan perusahaan tahun 1990 untuk melihat pengaruh karakteristik perusahaan tertentu terhadap kualitas pengungkapan sukarela. Kualitas pengungkapan sukarela diukur dengan suatu indeks yang dihitung berdasarkan bobot dari hasil wawancara kepada berbagai pihak yang terkait dengan laporan tahunan. Penelitian yang dilakukan oleh Subiyantoro (1997) dengan menambahkan variabel industri ke dalam model penelitian yang diklasigikasikan ke dalam industri manufaktur dan non-manufaktur. Demikian pula Suripto (1998) melakukan penelitian sejenis dengan mengelompokkan perusahaan ke dalam perusahaan bank dan non-bank. Berbeda dengan kedua penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan variabel industri yang dikelompokkan ke dalam sektor jasa dan sektor riil. Perusahaan di sektor jasa diperkirakan membutuhkan tingkat kepercayaan masyarakat lebih besar dibanding perusahaan di sektor riil, maka diasumsikan bahwa perusahaan di sektor jasa akan memberikan pengungkapan sukarela yang lebih berkualitas dibandingkan dengan perusahaan di sektor riil. Penelitian ini juga mengukur kualitas pengungkapan dengan menggunakan hasil wawancara terhadap beberapa pejabat BAPEPAM sebagai wakil badan pembuat regulasi. Penelitian ini menguji kembali variabel basis perusahaan dan tingkat return serta mengontrol variabel size perusahaan dan rasio leverage yang ditemukan selalu signifikan dalam penelitian sebelumnya. KUALITAS PENGUNGKAPAN DAN PENGUKURANNYA Kualitas pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan dikenal dengan berbagai konsep yaitu adequacy (Buzby, 1975), comprehensiveness (Barret, 1976 dan Imhoff, 1992), informativeness (Alford et.al., 1993), dan timelines (Courtis, 1976 dan Whittred, 1980). Sedangkan Singhvi dan Desai (1971) menggunakan terminology comprehensiveness, accuracy, dan reliability sebagai karakteristik kualitas pengungkapan.
76
Pengaruh Kelompok Industri......
Pada umumnya penelitian penelitian tersebut menggunakan indikator kualitas pengungkapan berupa indeks pengungkapan (disclosure index) yang menunjukkan rasio antara jumlah butir informasi yang ditemukan dalam laporan tahunan dengan jumlah butir informasi yang mungkin tersedia dalam suatu laporan tahunan. Makin tinggi angka indeks pengungkapan, makin tinggi pula kualitas pengungkapan. Salah satu cara untuk mengukur kualitas pengungkapan yang digunakan dalam penelitianpenelitian sebelumnya adalah berdasarkan daftar item pengungkapan yang terdapat dalam laporan tahunan. Pengukuran kualitas pengungkapan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu memberi bobot kepada setiap item dan tanpa memberi bobot kepada item pengungkapan tersebut. Pengukuran kualitas pengungkapan tanpa pembobotan telah dilakukan oleh beberapa peneliti misalnya Cooke (1989, 1992, 1993), Meek et.al. (1995), Subiyantoro (1997), dan Suripto (1998). Pengukuran kualitas pengungkapan yang dilakukan dengan pembobotan, pemberian bobot setiap item akan didasarkan pada hasil wawancara atau kuesioner yang ditujukan kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan laporan tahunan. Cara pengukuran kualitas pengungkapan dengan pembobotan tersebut telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, misalnya Cerf (1961), Singhvi dan Desai (1971), Buzby (1975), dan Susanto (1992). Alasan peneliti untuk melakukan pengukuran kualitas pengungkapan dengan pembobotan adalah untuk menilai kualitas (seberapa pentingnya) pengungkapan sukarela, bukan hanya kuantitas (luasnya) saja. Susanto (1992) melakukan penelitian mengenai corporate disclosure dalam laporan tahunan perusahaan publik yang terdaftar di BEJ, dengan menggunakan daftar item pengungkapan sukarela yang diukur dengan pembobotan. Pihak penilai terdiri dari wakil para analis sekuritas berbagai kelompok investor institusional (seperti institusi keuangan non-bank, brokerage houses, dan perusahaan asuransi) dan wakil badan pembuat regulasi (BAPEPAM). Penelitian ini mendefinisikan pengungkapan sebagai kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan. Pengungkapan wajib diatur dengan adanya aturan dan pengawasan sehingga tidak terjadi variasi kualitas pengungkapan wajib. Variasi pengungkapan sukarela terjadi karena pengungkapan sukarela
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto tersebut dilakukan melebihi pengungkapan yang diwajibkan. Pengukuran kualitas pengungkapan sukarela dilakukan dengan pembobotan. Item pengungkapan sukarela diperoleh dengan cara melakukan survey literature (Susanto, 1992; Choi dan Mueller, 1992; Meek et. al., 1995), kemudian dilanjutkan dengan membandingkan daftar item pengungkapan sukarela tersebut dengan daftar item informasi pengungkapan wajib yang dikeluarkan oleh Pemerintah melalui Keputusan Ketua Bapepam No Kep-38/PM/ 1996. Setelah mengeluarkan seluruh item informasi pengungkapan wajib dari daftar item pengungkapan sukarela, maka diperoleh daftar item informasi pengungkapan sukarela yang akan digunakan dalam penelitian ini. Langkah selanjutnya adalah meminta anggota BAPEPAM, dalam hal ini para kepala bagian biro penilaian keuangan perusahaan sektor jasa dan sektor riil, untuk memberikan bobot (rating) pada daftar item informasi pengungkapan sukarela yang telah tersedia. Berdasarkan hasil rating tersebut, dibuat indeks pengungkapan sukarela untuk data yang tersedia. KUALITAS PENGUNGKAPAN DAN KARAKTERISTIK PERUSAHAAN Cerf (1961) menguji secara empiris beberapa faktor yang kemungkinan mempengaruhi kualitas pengungkapan perusahaan dalam laporan tahunan. Pengukuran kualitas pengungkapan dilakukan dengan mengembangkan indeks pengungkapan yang mungkin ada dalam laporan tahunan berdasarkan studi terhadap proses keputusan investasi, telaah literature, wawancara dengan para analis sekuritas, dan pengujian terhadap laporan analis. Daftar pengungkapan terdiri dari 31 item yang kemudian diterapkan pada sejumlah sampel laporan tahunan. Indeks skor pengungkapan tersebut kemudian dihubungkan dengan tiga karakteristik perusahaan, yaitu besarnya aktiva, jumlah pemegang saham, dan status pendaftaran. Cerf menemukan bahwa besarnya aktiva, jumlah pemegang saham, dan status pendaftaran (listing status) berkaitan secara positif dengan skor indeks pengungkapan. Singhvi dan Desai (1971) meneliti variabelvariabel yang memiliki pengaruh terhadap kualitas pengungkapan menunjukkan bahwa besar perusahaan,
Pengaruh Kelompok Industri ......
jumlah pemegang saham, tingkat return, margin laba, status pendaftaran, dan kantor akuntan publik yang mengaudit, berhubungan secara signifikan dengan kualitas pengungkapan. Oleh karena hasil penelitian sebelumnya tidak konsisten, maka Buzby (1975) melakukan penelitian yang sama dengan menguji pengaruh dua karakteristik perusahaan yaitu size dan status pendaftaran terhadap luas pengungkapan dalam laporan keuangan. Hasilnya menunjukkan bahwa kualitas pengungkapan tidak dipengaruhi oleh status pendaftaran tetapi berkaitan secara positif dengan size perusahaan. Chow dan Wong-Boren (1987) meneliti praktik pengungkapan sukarela perusahaan Meksiko dan menghubungkan luas pengungkapan tersebut dengan variabel size perusahaan, rasio leverage dan proporsi aktiva. Hasil pengujian yang diperoleh adalah size perusahaan memiliki pengaruh signifikan terhadap luas pengungkapan sukarela sedangkan rasio leverage dan proporsi aktiva tidak berpengaruh secara signifikan. Cooke (1989) menguji pengaruh status pendaftaran terhadap kualitas pengungkapan dan sekaligus melihat hubungan antara kualitas pengungkapan tersebut dengan sejumlah karakteristik perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kualitas pengungkapan antar perusahaan dan terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas pengungkapan dengan status pendaftaran. Hasil lainnya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara size perusahaan dengan kualitas pengungkapan. Cooke (1992) meneliti pengaruh size, status pendaftaran, dan jenis industri terhadap kualitas pengungkapan dalam laporan tahunan di perusahaan Jepang yang terdaftar di bursa. Hasil analisis menunjukkan bahwa size perusahaan dan status pendaftaran merupakan variabel penting yang menjelaskan kualitas pengungkapan dalam laporan tahunan. Sedangkan untuk jenis industri, ditemukan bahwa perusahaan manufaktur berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas pengungkapan dibandingkan jenis industri lainnya. Bradbury (1992) meneliti hubungan antara pengungkapan sukarela pada perusahaan di Selandia Baru dengan earning volatility, unexpected earnings dan firm size. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengungkapan sukarela berkaitan secara signifikan dengan earning volatility.
77
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto McKinnon dan Dalimunthe (1993) melakukan penelitian untuk menguji insentif ekonomik yang memotivasi perusahaan yang terdiversifikasi untuk mengungkapkan informasi segmen secara sukarela. Hasil yang didasarkan pada sampel yang terdiri dari 65 perusahaan terdiversifikasi yang terdaftar di bursa Australia menunjukkan bahwa terdapat insentif ekonomik (difusi pemilikan, tingkat pemilikan minoritas dalam perusahaan anak, size perusahaan, dan kelompok industri) yang berpengaruh terhadap informasi segmen secara sukarela. Mitchell, Chia, dan Loh (1995) meneliti insentif perusahaan-perusahaan di Australia untuk melaporkan informasi segmen secara sukarela. Hasil analisis membuktikan bahwa pengungkapan informasi segmen secara sukarela berhubungan signifikan dengan size, leverage dan keterlibatan dalam aktivitas pertambangan dan minyak. Meek et.al. (1995) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sukarela dalam tiga tipe informasi (strategik, non keuangan dan keuangan) dalam laporan tahunan perusahaan multinasional US, UK dan Daratan Eropa. Hasil yang diperoleh menjelaskan bahwa secara keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pengungkapan sukarela adalah size perusahaan, negara asal perusahaan, status pendaftaran dan tipe industri. Penelitian mengenai hubungan antara karakteristik perusahaan dengan pengungkapan, baik wajib maupun sukarela, dalam laporan tahunan perusahaan telah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Susanto (1992) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh basis perusahaan, waktu pendaftaran (listing) dan tingkat pembatasan pemilikan saham kepada investor asing terhadap kualitas pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Penelitian tersebut menggunakan daftar item pengungkapan dengan pembobotan yang terbatas pada pengungkapan sukarela. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kualitas pengungkapan sukarela dipengaruhi oleh basis perusahaan (lebih besar untuk perusahaan berbasis asing) dan waktu pendaftaran (lebih besar untuk perusahaan yang mendaftarkan sahamnya sebelum PAKTO 1987). Akan tetapi kualitas pengungkapan sukarela tidak berkaitan dengan tingkat pembatasan pemilikan saham kepada investor asing.
78
Pengaruh Kelompok Industri......
Subiyantoro (1997) melakukan penelitian yang sama dengan yang dilakukan oleh Wallace et.al. (1994) untuk kasus di Indonesia. Penelitian dilakukan untuk perusahaan publik non keuangan di BEJ, menggunakan daftar item pengungkapan tanpa pembobotan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya ada tiga karakteristik perusahaan yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kelengkapan pengungkapan wajib laporan tahunan, yaitu total aktiva, rasio leverage dan rasio likuiditas. Suripto (1998) meneliti pengaruh karakteristik perusahaan terhadap luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan. Karakteristik atau variabel yang diteliti meliputi size, rasio ungkitan, rasio likuiditas, basis, waktu terdaftar, penerbitan sekuritas, dan kelompok industri. Penelitian ini dilakukan terhadap 68 sampel laporan tahunan perusahaan-peruasahaan yang ada di BEJ pada tahun 1996. Hasilnya menunjukkan bahwa luas pengungkapan sukarela masih rendah, namun variasinya bersifat sistematik. Hutami (1999) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa total aktiva, margin laba, laba per lembar saham dan basis perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap luas pengungkapan wajib dalam laporan tahunan. Sedangkan margin laba, tingkat return ekuitas dan likuiditas berpengaruh secara signifikan terhadap luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan. Na’im dan Rakhman (2000) menguji hubungan antara kelengkapan pengungkapan laporan keuangan, struktur modal perusahaan dan tipe pemilikan saham. Hasil menunjukkan bahwa rasio leverage secara signifikan berkaitan positif dengan kelengkapan pengungkapan laporan keuangan perusahaan. Sedangkan tipe pemilikan saham secara lemah berkaitan dengan kelengkapan pengungkapan laporan keuangan. Marwata (2001) meneliti hubungan antara karakteristik perusahaan dan kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan perusahaan publik di Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa size perusahaan dan penerbitan sekuritas pada tahun berikutnya berkaitan positif secara statistik signifikan dengan kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan. Karakteristik perusahaan yang akan diuji dalam penelitian ini adalah karakteristik yang dalam penelitian sebelumnya tidak konsisten berpengaruh terhadap
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto kualitas pengungkapan, yaitu: basis perusahaan dan tingkat return. Selanjutnya penelitian ini memasukkan variable industri yang dikelompokkan ke dalam sektor jasa dan sektor riil. Model penelitian ini juga memasukkan berbagai variabel yang dalam penelitianpenelitian sebelumnya telah terbukti berpengaruh signifikan terhadap kualitas pengungkapan, yaitu size perusahaan dan rasio leverage. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu (1) membuat dan mengembangkan daftar item informasi pengungkapan sukarela, (2) melakukan wawancara terhadap anggota BAPEPAM, untuk memberi bobot pada daftar item informasi pengungkapan sukarela, dan (3) mengukur kualitas pengungkapan sukarela sampel laporan tahunan perusahaan. Daftar item informasi pengungkapan sukarela mula-mula dibuat dengan cara telaah literatur (Susanto, 1992; Choi dan Mueller, 1992; dan Meek et.al., 1995). Dari telaah literature tersebut diperoleh 111 item pengungkapan sukarela. Selanjutnya mengeluarkan dari 111 item tersebut, item-item yang merupakan item informasi pengungkapan wajib di Indonesia berdasarkan peraturan BAPEPAM tentang laporan tahunan (Kep-38/PM/1996), yaitu Peraturan BAPEPAM VIII.G.2. Setelah mengeluarkan seluruh item informasi pengungkapan wajib, maka akan diperoleh daftar item informasi pengungkapan sukarela yang terdiri dari 28 item informasi yang diungkapkan oleh manajemen perusahaan secara sukarela dalam laporan tahunan. Berdasarkan daftar item pengungkapan sukarela tersebut, dilakukan wawancara terhadap anggota BAPEPAM (para kepala bagian biro penilaian keuangan perusahaan). Pendekatan untuk penentuan kualitas pengungkapan sukarela dilakukan dengan memberikan bobot berupa skor satu sampai dengan lima terhadap setiap item informasi. Sebuah item informasi diberi skor satu jika informasi tersebut tidak penting, skor dua jika informasi tersebut kurang penting/penting hanya untuk kasus tertentu, skor tiga jika informasi tersebut pada umumnya cukup penting, skor empat jika informasi tersebut penting, dan skor lima jika informasi tersebut sangat penting. Hasil pembobotan yang dilakukan oleh para “dewan juri”
Pengaruh Kelompok Industri ......
digunakan untuk mengukur kualitas pengungkapan sukarela sampel laporan tahunan perusahaan. Populasi penelitian meliputi semua perusahaan yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tahun 2000. Sampel dipilih dengan metode proportionate stratified sampling untuk menjamin variabelvariabel yang akan diuji dalam penelitian ini terwakili. Untuk masing-masing kelompok industri kemudian ditentukan sejumlah sampel secara proporsional dan dipilih secara random. Berdasarkan metode proportionate stratified sampling tersebut, diperoleh 4 perusahaan sektor jasa berbasis asing, 32 perusahaan sektor jasa berbasis non asing/domestik, 11 perusahaan sektor riil berbasis asing, dan 40 perusahaan sektor riil berbasis non asing/domestik. VARIABEL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS PENELITIAN Terdapat tiga variable yang akan diuji dalam penenlitian ini, yaitu: Kelompok Industri, Basis Perusahaan, dan Tingkat Return. Di samping ketiga variabel tersebut, model ini juga meliputi variabel size perusahaan dan rasio leverage sebagai variabel kontrol. Berikut ini adalah uraian mengenai masing masing variabel independen tersebut. Subiyantoro (1997) memasukkan variabel industri yang dikelompokkan ke dalam perusahaan manufaktur dan non-manufaktur tetapi hasilnya tidak signifikan. Suripto (1998) membagi kelompok industri ke dalam perusahaan bank dan non-bank. Hasil penelitiannya tidak membuktikan bahwa perusahaan bank mengungkap lebih banyak informasi dibanding dengan perusahaan non-bank. Dalam penelitian ini, variabel tersebut akan diuji kembali tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok perusahaan sektor jasa dan perusahaan sektor riil. Perusahaan sektor jasa pada umumnya dituntut lebih besar dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Oleh karena itu, perusahaan sektor jasa mungkin memberikan pengungkapan sukarela lebih luas dibandingkan perusahaan sektor riil. Terdapat beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk kemungkinan perusahaan yang berbasis asing memberikan pengungkapan yang lebih luas dibandingkan dengan perusahaan domestik
79
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto (Susanto, 1992). Pertama, perusahaan berbasis asing mendapatkan pelatihan yang lebih baik, misalnya dalam bidang akuntansi, dari perusahaan induknya di luar negeri. Kedua, perusahaan berbasis asing mungkin mempunyai sistem informasi manajemen yang lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan pengendalian internal dan kebutuhan informasi perusahaan induknya. Terakhir, kemungkinan juga terdapat permintaan informasi yang lebih besar kepada perusahaan berbasis asing dari pelanggan, pemasok, analis dan masyarakat pada umumnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan ada hubungan yang positif antara tingkat pengungkapan dengan tingkat return (Singhvi dan Desai, 1971). Manajemen cenderung untuk mengungkap informasi secara detil ketika perusahaannya mengalami tingkat return tinggi. Sebaliknya, ketika tingkat return rendah, manajemen akan mencoba untuk menyembunyikan alasan turunnya tingkat return tersebut dengan mengungkap sedikit informasi (Susanto, 1992). Dalam penelitian ini, tingkat return dihitung sebagai rasio dari laba bersih terhadap total aktiva perusahaan. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, terbukti bahwa perusahaan yang besar cenderung mengungkapkan lebih banyak informasi dibanding perusahaan yang kecil. Terdapat beberapa penjelasan mengenai pengaruh size terhadap kualitas pengungkapan. Perusahaan besar mungkin mempunyai biaya produksi informasi yang lebih rendah atau mereka mempunyai biaya competitive disadvantage lebih rendah yang berkaitan dengan pengungkapan mereka. Perusahaan besar mungkin juga lebih kompleks dan lebih mempunyai dasar pemilikan yang luas dibanding perusahaan kecil (Cooke, 1989). Perusahaan besar lebih mungkin mempunyai beragam produk dan beroperasi di berbagai wilayah, termasuk luar negeri. Perusahaan besar lebih mungkin merekrut karyawan dengan ketrampilan tinggi yang diperlukan untuk menerapkan sistem pelaporan manajemen yang canggih sehingga dapat mengungkapkan informasi yang lebih luas. Lebih banyak pemegang saham perusahaan juga memerlukan lebih banyak pengungkapan karena tuntutan dari para pemegang saham dan analis. Semua alasan tersebut menunjukkan bahwa perusahaan besar mempunyai insentif untuk memberikan pengungkapan sukarela lebih luas dibanding yang kecil (Suripto, 1998). Variabel size perusahaan merupakan variabel yang paling
80
Pengaruh Kelompok Industri......
konsisten berpengaruh signifikan terhadap luas pengungkapan dalam penelitian-penelitian sebelumnya (Meek, Roberts dan Gray, 1995). Leverage keuangan ditunjukkan sebagai variabel penting dalam pembentukan tingkat pengungkapan perusahaan (Leftwich et. al., 1981 dan Malone, 1987). Pemikiran dasar yang mengatakan bahwa kos keagenan akan lebih tinggi untuk perusahaan yang memiliki leverage keuangan tinggi dalam struktur modalnya, menemukan adanya hubungan yang positif antara luas pengungkapan sukarela dan leverage (Chow dan Wong-Boren, 1987). Semakin besar leverage perusahaan, semakin besar kemungkinan transfer kemakmuran dari kreditur kepada pemegang saham dan manajer (Meek, Robert dan Gray, 1995). Oleh karena itu, perusahaan yang mempunyai leverage tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk memenuhi kebutuhan informasi kreditur jangka panjang (Wallace et. al. 1994). Untuk mengetahui kemampuan variabelvariabel yang diteliti secara bersama-sama dalam menjelaskan perilaku kualitas pengungkapan sukarela, dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis alternatif sebagai berikut: Kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan dipengaruhi secara bersama-sama oleh kelompok industri, basis perusahaan, tingkat return, size perusahaan, dan rasio leverage. Apabila hipotesis tersebut diterima, hal itu menunjukkan bahwa beberapa variabel independen (tidak harus semua) yang diteliti dalam penelitian ini dapat menjelaskan perilaku kualitas pengungkapan sukarela. Untuk menentukan variabel-variabel independen yang dapat menjelaskan perilaku variabel dependen diperlukan pengujian variabel independen secara individu (Mason dan Lind, 1996). Adapun rumusan hipothesis alternatif untuk menguji pengaruh Kelompok Industri, Basis Perusahaan, dan Tingkat Return terhadap Pengungkapan Sukarela dalam penelitian ini dinyatakan sebagai berikut: H1: Perusahaan sektor jasa memiliki kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan yang lebih tinggi daripada perusahaan sektor riil.
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto H2:
H3:
Pengaruh Kelompok Industri ......
Perusahaan berbasis asing memiliki kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan yang lebih tinggi daripada perusahaan domestik.. Semakin tinggi tingkat return, semakin tinggi kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan.
MODEL PENELITIAN Model regresi yang digunakan untuk menguji hubungan antara Pengungkapan Sukarela (variabel dependen) dengan variabel Kelompok Industri, Basis Perusahaan, Tingkat Return, Size Perusahaan, dan Rasio Leverage (variabel independen) di atas dirumuskan dengan bentuk persamaan sebagai berikut: INDEKSi = β0 + α1KEL + α2BAS + β1RETURN + β2SIZE + β3LEV + e
Y merupakan variabel dependen, sedangkan X1 sampai dengan X5 merupakan variabel independen dan variabel kontrol. Untuk tujuan penelitian ini, hubungan fungsional antara Y dan X dioperasionalisasikan dengan dua asumsi. Pertama, hubungan antara masingmasing variabel independen dengan variabel dependen diasumsikan bersifat langsung, yang berarti setiap independen variabel memiliki pengaruh langsung terhadap variasi dalam variabel dependen. Kedua, hubungan statistik bentuk fungsional dapat didekati dengan fungsi regresi linier. Dengan pendekatan tersebut, fungsi regresi dimodelkan sedemikian rupa sehingga tidak ada parameter yang akan muncul sebagai suatu eksponen atau akan dikalikan atau dibagi dengan parameter yang lain. HASIL PENELITIAN
Keterangan: INDEKS : indeks skor pengungkapan KEL : dummy kelompok industri BAS : dummy basis asing/domestik RETURN: tingkat return SIZE : size perusahaan LEV : rasio leverage a : konstanta atau parameter variabel dummy b : konstanta atau parameter variabel kontinyu e : error Hubungan fungsional antara variabel dependen dan variabel-variabel independen serta variabelvariabel kontrol dapat dinyatakan dalam rumus matematik sebagai berikut: Y = f (X1, X2, …, X5)
Berdasarkan 347 perusahaan yang terdaftar di BEJ pada tahun 2000 telah dipilih 87 perusahaan sebagai sampel penelitian. Cara pemilihan 87 buah perusahaan sampel tersebut adalah sebagai berikut: 1):Perusahaan dalam populasi dikelompokkan ke dalam empat kelompok, perusahaan sektor jasa/perusahaan sektor riil dan perusahaan berbasis asing/perusahaan berbasis domestik; 2) Dari masing masing kelompok perusahaan ditentukan jumlah perusahaan yang mewakili kelompok yang bersangkutan secara proporsional sebagai sampel; dan 3) Perusahaan perusahaan sampel untuk setiap kelompok dipilih dengan cara random. Hasil yang diperoleh dengan menerapkan prosedur pemilihan sampel tersebut adalah 4 perusahaan sektor jasa berbasis asing, 32 perusahaan sektor jasa berbasis domestik, 11 perusahaan sektor riil berbasis asing, dan 40 perusahaan sektor riil berbasis domestik. Distribusi frekuensi perusahaan sampel menurut kelompok industri, basis perusahaan, rasio leverage, dan statistik variabel dependen disajikan secara berturut turut dalam Tabel 1, 2, dan 3 berikut ini.
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Menurut Basis Perusahaan Basis Perusahaan
Jumlah
Asing Domestik
15 72
Indeks Pengungkapan Rerata 0,33 0,30
Min. 0,16 0,12
Mak. 0,73 0,63
81
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto
Pengaruh Kelompok Industri......
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Menurut Kelompok Industri Kelompok Industri
Jumlah
Sektor Jasa Sektor Riil Total
36 51 87
Indeks Pengungkapan Rerata Min. Mak. 0,36 0,15 0,73 0,26 0,12 0,5 0,30 0,12 0,73
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Menurut Tingkat Return Kelompok Industri -0,7550 -0,0900 0,0100 0,0920
s.d -0,1000 s.d 0,0099 s.d 0,0900 s.d 1,0200
INDEKS PENGUNGKAPAN PERUSAHAAN SAMPEL Daftar item informasi pengungkapan sukarela yang diperoleh digunakan untuk mengukur kualitas laporan tahunan perusahaan-perusahaan sampel. Indeks pengungkapan untuk setiap laporan tahunan ditentukan dengan cara membagi jumlah item informasi yang ditemukan dalam laporan tahunan dengan jumlah semua item informasi yang dapat diterapkan untuk laporan tahunan yang bersangkutan. Semakin tinggi indeks pengungkapan sukarela suatu perusahaan, semakin tinggi kualitas pengungkapan sukarela perusahaan tersebut. Rerata indeks pengungkapan perusahaan sampel sebesar 0,30 dengan nilai minimum 0,12 dan nilai maksimum 0,73. Indeks pengungkapan sukarela untuk setiap sampel perusahaan digunakan sebagai variabel dependen dalam penelitian ini. Menarik untuk diperhatikan bahwa dari 28 item informasi pengungkapan sukarela, terdapat tiga item informasi yang sama sekali tidak ditemukan pada laporan tahunan perusahaan sampel, yaitu: 1. Informasi mengenai jumlah kompensasi tahunan yang dibayarkan kepada dewan komisaris dan direksi. 2. Informasi mengenai distribusi tenaga kerja secara geografis dan berdasarkan line-of-business serta kategori tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin.
82
Jumlah 22 21 22 22
Indeks Pengungkapan Rerata Min. Mak. -0,25 -0,76 -0,099 -0,027 -0,086 0,0096 0,041 0,01 0,09 0,224 0,092 1,018
3. Informasi mengenai pihak-pihak yang mencoba memperoleh kepemilikan substansial terhadap saham perusahaan. HASIL ANALISIS REGRESI Sebelum melakukan analisis regresi, tiga asumsi (multikolinieritas, homoskedastisitas, dan autokorelasi) yang mendasari model regresi klasik diuji. Metode korelasi berpasangan antar regresor digunakan untuk menguji tidak terdapatnya multikolinieritas antar variabel-variabel independen dalam model regresi penelitian. Pengujian dilakukan dengan menggunakan covariance matrix dan collinierity diagnostics. Hasil yang diperoleh menunjukkan nilai VIF untuk seluruh variabel adalah sekitar 1, angka TOLERANCE mendekati 1, dan koefisien korelasi antar variabel independen lemah (di bawah 0,5) yang menunjukkan tidak terdapat multikolinieritas dalam model regresi penelitian ini. Scatterplot menunjukkan adanya titik-titik yang menyebar di atas dan di bawah sumbu Y. Plot ini menunjukkan bahwa model regresi penelitian ini bebas dari heteroskedastisitas atau terpenuhinya asumsi homoskedastisitas. Untuk menguji autokorelasi dalam model regresi penelitian ini, digunakan metode DurbinWatson d test. Hasil pengujian menggunakan SPSS for
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto
Pengaruh Kelompok Industri ......
Windows (SPSS 10.00 for Windows) diperoleh angka Durbin-Watson sebesar 1,908. Oleh karena angka DW berada di antara –2 sampai +2 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa model regresi penelitian ini bebas
dari autokorelasi. Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan model regresi linier dengan hasil analisis regresi yang disajikan dalam Tabel 4 berikut.
Tabel 4 Hasil Analisis Regresi Model Summary
Model
R .582
R Square .338
Adjusted R Square .297
Std. Error of the Estimate .1003
Durbin-Watson 1.908
a Predictors: (Constant), LEVERAGE, SIZE, BASIS, SEKTOR, RETURN b Dependent Variable: INDEKS
ANOVA
Model 1
Sum of Mean df F Squares Square 1 Regression .416 5 8.326E-02 8.277 Standardized Residual .815 81 1.006E-02 t Sig. Coefficients Total 1.231 86 Beta 9.936 .000 SIZE, BASIS, SEKTOR, RETURN Predictors: (Constant), LEVERAGE, Dependent .394 Variable:4.207 INDEKS .000 .210 2.282 .025 .376 4.095 .000 -.026 -.268 .790 -.067 -.670 .505 Model
Coefficients
(Constant) SEKTOR BASIS SIZE RETURN LEVERAGE
Unstandardized Coefficients B .252 9.510E-02 6.622E-02 2.606E-09 -1.422E-02 -1.564E-02
Std. Error .025 a .023 b .029 .000 .053 .023
a Dependent Variable: INDEKS
Hasil analisis regresi dalam penelitian ini menunjukkan koefisien basis positif dengan p-value 0,025. Dengan menggunakan tingkat alpha sebesar 0,05, hipotesis nol berhasil ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa perusahaan berbasis asing memiliki kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan lebih tinggi daripada perusahaan domestik.
Hipotesis variabel ketiga dalam penelitian ini dinyatakan dalam hipotesis sebagai berikut: H3: Semakin tinggi tingkat return, semakin tinggi kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan. Hasil analisis regresi dalam penelitian ini menunjukkan koefisien negatif, tidak seperti yang
83
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto dihipotesiskan dan nilai p-value yang cukup besar yaitu 0,790. Oleh karena itu, dengan tingkat alpha 0,05, hipotesis nol yang menyatakan bahwa kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan tidak lebih tinggi dengan semakin tingginya tingkat return, tidak berhasil ditolak. Variabel kontrol dalam penelitian ini terdiri dari size perusahaan dan rasio leverage. Dalam penelitianpenelitian sebelumnya, hasil yang diperoleh hampir selalu menunjukkan bahwa size perusahaan dan rasio leverage berpengaruh secara signifikan positif terhadap kualitas atau luas pengungkapan. Pada penelitian ini, hasil analisis regresi dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa variabel kontrol size perusahaan memiliki koefisien positif dengan p-value 0,000. Artinya variabel size perusahaan tersebut berpengaruh secara signifikan positif terhadap model regresi penelitian. Sedangkan rasio leverage menunjukkan koefisien negatif dengan p-value cukup besar yaitu 0,505. Hasil tersebut bertentangan dengan hasil penelitian sebelumnya. Ada indikasi bahwa adanya krisis moneter telah menyebabkan hasil rasio leverage yang bertentangan dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Akan tetapi dengan adanya kedua variabel kontrol tersebut, model regresi penelitian ini berhasil menolak hipotesis nol penelitian yang menyatakan bahwa kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan tidak dipengaruhi secara bersama-sama oleh kelompok industri, basis perusahaan, tingkat return, size perusahaan, dan rasio leverage. PENUTUP Penelitian ini menguji pengaruh karakteristik perusahaan terhadap kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan. Pengukuran kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan dilakukan dengan cara pembobotan. Pemberian bobot dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap wakil badan pembuat regulasi (BAPEPAM). Item pengungkapan sukarela diperoleh dengan cara melakukan survey literatur (Susanto, 1992; Choi dan Mueller, 1992; Meek et. al., 1995), yang dilanjutkan dengan membandingkan daftar item pengungkapan sukarela tersebut dengan daftar item informasi pengungkapan wajib yang dikeluarkan oleh Pemerintah
84
Pengaruh Kelompok Industri......
melalui Keputusan Ketua Bapepam No Kep-38/PM/ 1996 (Peraturan VIII.G.2), yang di dalamnya termasuk peraturan untuk laporan keuangan (Peraturan VIII.G.7). Setelah mengeluarkan seluruh item informasi pengungkapan wajib dari daftar item pengungkapan sukarela, maka diperoleh 28 item informasi pengungkapan sukarela untuk menetapkan indeks pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini menguji kembali variabel basis perusahaan dan tingkat return serta mengontrol variabel size perusahaan dan rasio leverage yang ditemukan selalu signifikan dalam penelitian sebelumnya. Satu variabel yang berbeda dalam penelitian ini adalah variabel kelompok industri yang dibagi ke dalam perusahaan sektor jasa dan sektor riil. Ada tiga pertanyaan yang mendasari hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Pertama, apakah perusahaan sektor jasa memiliki kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan lebih tinggi daripada perusahaan sektor riil. Kedua, apakah perusahaan berbasis asing memiliki kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan lebih tinggi daripada perusahaan domestik. Ketiga, apakah semakin tinggi tingkat return, kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan juga semakin tinggi. Sebanyak 87 perusahaan yang terdaftar di BEJ pada tahun 2000 dipilih sebagai sampel dalam penelitian ini. Hasil pengujian empiris terhadap sampel menunjukkan bahwa perusahaan sektor jasa memiliki kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan lebih tinggi daripada perusahaan sektor riil dan bahwa perusahaan berbasis asing memiliki kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan lebih tinggi daripada perusahaan domestik. Penelitian ini telah membuktikan bahwa ada perbedaan yang sistematik pada kualitas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan antar perusahaan yang terdaftar di BEJ. Dengan demikian, pengungkapan item informasi dalam laporan tahunan adalah keputusan pihak manajemen perusahaan setelah mempertimbangkan antara manfaat dan biaya pengungkapan. Manajemen perusahaan akan mengungkap informasi jika manfaat yang diperoleh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan pengungkapan tersebut.
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto
DAFTAR PUSTAKA Alford, Andrew, Jennifer Jones, Richard Leftwich dan Mark Zmijewski, 1993, “The Relative Informativeness of Accounting Disclosure in Different Countries”, Journal of Accounting Research, 31, Supplement, pp. 183-223. Buzby, S.L., 1975, “Company Size, Listed versus Unlisted Stocks and the Extent of Financial Disclosure”, Journal of Accounting Research, 13, Spring, pp. 1637. Choi, Frderick D.S. dan Gerhard G. Mueller, 1992, International Accounting, Second Edition, London: Prentice-Hall, Inc. Chow, C. W. dan A. Wong-Boren, 1987, “Voluntary Financial Disclosure by Mexican Corporation”, Accounting Review, 62, July, pp. 533-541. Cooke, T. E., 1989, “Disclosure in the Corporate Annual Reports of Swedish Companies”, Accounting and Business Research, 19, Spring, pp. 113-124. __________, 1992, “The Impact of Size, Stock Market Listing and Industry Type on Disclosure in the Annual Reports of Japanese Listed Corporations”, Accounting an Business Research, 22, Summer, pp. 229-237. __________, 1993, “Disclosure in Japanese Corporate Annual Reports”, Journal of Business Finance and Accounting, 20, June, pp. 521-535. Hutami, Yuanti Adi, 1999, “Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Tingkat Pengungkapan Laporan Tahunan”, Skripsi S1, UKSW, Salatiga.
Pengaruh Kelompok Industri ......
Imhoff Jr., E. A., 1992, “The Relation Between Perceived Accounting Quality and Economic Characteristics of the Firm”, Journal of Accounting and Public Policy, 11, Summer, pp. 97-118. McKinnon, Jill L., Dalimunthe, Lian, 1993, “Voluntary Disclosure of Segment Information by Australian Diversified Companies”, Journal of Accounting and Finance (ACF), Vol 33, May, pp. 33-50. Meek, Gary K., Clare B. Roberts, Sidney J. Gray, 1995, “Factors Influencing Voluntary Annual Report Disclosure by U.S., U.K. and Continental European Multinational Corporations”, Journal of International Business Studies, Third Quarter, pp. 555572. Mitchell, Jason D., Chia, Chris W L, dan Loh, Andrew S., 1995, “Voluntary Disclosure of Segment Information: Further Australian Evidence”, Journal of Accounting and Finance (ACF), Vol 35, Nov, pp. 1-16. Na’im, Ainun dan Fu’ad Rakhman, 2000, “Analisis Hubungan Antara Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan dengan Struktur Modal dan Tipe Kepemilikan Perusahaan”, Journal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 15, No.1, pp. 70-82. Singhvi, Surendra S., dan Harsha B. Desai, 1971, “An Empirical Analysis of the Quality of Corporate Financial Disclosure”, The Accounting Review, January, pp. 129138. Subiyantoro, Edy, 1997, “Hubungan Antara Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan dengan Karakteristik Perusahaan Publik di Indonesia”, Tesis S2, UGM, Yogyakarta.
85
Jam STIE YKPN - Inge Gunawan dan Djoko Susanto
Suripto, Bambang, 1998, “Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Luas Pengungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan”, Tesis S2, UGM, Yogyakarta. Susanto, Djoko, 1992, An Empirical Investigation of the Corporate Disclosure in Annual Reports of Companies Listed on the Jakarta Stock Exchange, Tim Koordinasi Pengembangan Akuntansi Jakarta, Disertasi S3, University of Arkansas, USA. Wallace, R. S., Olusegun, Kamal Naser dan Aracelu Mora, 1994, “The Relationship Between the Comprehensiveness of Corporate Annual Reports and Firm Characteristics in Spain”, Accounting and Business Research, Vol. 25, No. 97, pp. 41-53.
86
Pengaruh Kelompok Industri......
KEBIJAKAN EDITORIAL Jurnal Akuntansi & Manajemen Format Penulisan 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
8.
Naskah adalah hasil karya penulis yang belum pernah dipublikasikan di media lain. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar. Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (8.5 x 11 inch.) dengan jarak 2 spasi pada satu permukaan dan diberi nomor untuk setiap halaman. Naskah ditulis dengan menggunakan batas margin minimal 1 inch untuk margin atas, bawah, dan kedua sisi. Halaman pertama harus memuat judul, nama penulis (lengkap dengan gelar kesarjanaan yang disandang), dan beberapa keterangan mengenai naskah dan penulis yang perlu disampaikan (dianjurkan dalam bentuk footnote). Naskah sebaiknya diawali dengan penulisan abstraksi berbahasa Indonesia untuk naskah berbahasa Inggris, dan abstraksi berbahasa Inggris untuk naskah berbahasa Indonesia. Abstraksi berisi keyword mengenai topik bahasan, metode, dan penemuan. Penulisan yang mengacu pada suatu referensi tertentu diharuskan mencantumkan bodynote dalam tanda kurung dengan urutan penulis (nama belakang), tahun, dan nomor halaman. Contoh penulisan: a Satu referensi: (Kotler 1997, 125) b. Dua referensi atau lebih: (Kotler & Armstrong 1994, 120; Stanton 1993, 321) c. Lebih dari satu referensi untuk penulis yang sama pada tahun terbitan yang sama: (Jones 1995a, 225) atau (Jones 1995b, 336; Freeman 1992a, 235) d. Nama pengarang telah disebutkan dalam naskah: (Kotler (1997, 125) menyatakan bahwa ....... e. Referensi institusi: (AICPA Cohen Commission Report, 1995) atau (BPS Statistik Indonesia, 1995) Daftar pustaka disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomor urut. Contoh penulisan daftar pustaka: Kotler, Philip and Gary Armstrong, Principles of Marketing, Seventh Edition, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1996 Indriantoro, Nur. “Sistem Informasi Strategik; Dampak Teknologi Informasi terhadap Organisasi dan Keunggulan Kompetitif.”KOMPAK No. 9, Februari 1996; 12-27. Yetton, Philip W., Kim D. Johnston, and Jane F. Craig.”Computer-Aided Architects: A Case Study of IT and Strategic Change.”Sloan Management Review (Summer 1994): 57-67. Paliwoda, Stan. The Essence of International Marketing. UK: Prentice-Hall, Ince., 1994.
Prosedur Penerbitan 1. 2. 3. 4. 5.
Naskah dikirim dalam bentuk print-out untuk direview oleh Editors JAM. Editing terhadap naskah hanya akan dilakukan apabila penulis mengikuti kebijakan editorial di atas. Naskah yang sudah diterima/disetujui akan dimintakan file naskah dalam bentuk disket kepada penulis untuk dimasukkan dalam penerbitan JAM. Koresponden mengenai proses editing dilakukan dengan Managing Editor Pendapat yang dinyatakan dalam jurnal ini sepenuhnya pendapat pribadi, tidak mencerminkan pendapat redaksi atau penerbit.Surat menyurat mengenai permohonan ijin untuk menerbitkan kembali atau menterjemahkan artikel dan sebagainya dapat dialamatkan ke Editorial Secretary.