PERSEPSI KEPEMIMPINAN OTENTIK DAN WORK ENGAGEMENT PADA GENERASI X & Y DI INDONESIA Andin Andiyasari, M.Si1 & Ardiningtiyas Pitaloka, M.Si2 Abstract This paper is a pilot study regarding Generation X & Y in terms of work setting in Indonesia. Focus of study is examining the association between perceived-authentic leadershipand work engagement between generation. Also, examine the association based on age. Theory of authentic leadership (Avolio, Walumba, Weber, 2009) stemmed from positive psychology of Seligman in early 2000. An approach of science and application ,that encourages psychological strengths and positive emotion of human being. Authentic leadership consists of: self-awareness, relational transparency, balanced processing, and moral perspective dimensions (Avolio, et al, 2009). Work engagement consists of vigorous, dedication and absorption dimensions (Schaufeli & Baker,2003). Participants are 52 respondents of educational institution and corporate in Jakarta. Using correlation analysis, the results of study are (a) there is significant association of perceived-authentic leadership to work engagement (R = 0.244); (b) there is significant association of age to work engagement (R=0.242); (c) there is no significant influence of perceived-authentic leadership to work engangement between generations. Suggestion for further study is to enlarge sample number in more balance composition to examine difference between generations. Keywords: positive psychology, Generation X & Y, authentic leadership, work engagement
Latar Belakang Konsep loyalitas yang menekankan pada keterikatan jangka panjang antara pegawai dan penyedia kerja (perusahaan) mendapatkan tantangan tersendiri dengan perkembangan teknologi informasi dan lahirnya Generasi Y. Generasi yang lahir di antara tahun 1979 – 1994 (Macleod, 2008) ini telah memasuki dunia kerja dan berinteraksi langsung dengan Generasi X (kelahiran tahun 1965-1978) dan Baby Boomers (kelahiran tahun 1956-1964). Studi sebelumnya menunjukkan bahwa dunia industri masih mencari cara tepat untuk mengelola Generasi Y, terutama terkait dengan sikap terhadap otoritas, pola komunikasi, loyalitas, dan interaksi teknologi informasi (Sprague, 2008). Menurut Rutledge (2009), work engagement mulai menggantikan terma loyalitas dalam dunia kerja. Kedua terma tersebut mengandung komitmen, namun dalam konteks berbeda. Kesetiaan atau loyalitas kerja mengandung komitmen jangka panjang, sementara work engagement mengandung komitmen jangka pendek. Tiga hal utama yang mewakili work engagement adalah (a) merasa tertarik; (b) berkomitmen; (c) bersemangat.
1 2
Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Dosen Program Studi Psikologi, Universitas Paramadina
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Engaged adalah terlibat aktif (involve) dan berkomitmen terhadap sesuatu, baik secara kognitif maupun afektif (emosi). Studi ini mendefinisikan work engagement sebagai kondisi pikiran positif dan merasa terpenuhi (fulfilling). Pegawai dengan work engagement menunjukkan semangat, dedikasi, dan absorption. Konsep Work engagement berkembang dari psikologi positif sebagai lawan dari burnout dan menjadi salah satu aspek positif dari well-being (Schaufeli & Bakker, 2003). Pegawai yang engaged memiliki energi dan koneksi yang efektif dengan aktifitas-aktifitas pekerjaan yang dihadapinya sehari-hari (Schaufeli & Bakker, 2003). Pertanyaannya bagaimana menciptakan kondisi kerja seperti ini? Setting kerja adalah interaksi berbagai individu dalam berbagai kelompok, baik kecil maupun besar sebagai satu entitas bisnis. Dalam hal ini, kepemimpinan menjadi satu faktor yang tidak bisa dipisahkan. Konsep kepemimpinan terus berkembang dari zaman ke zaman dan selalu menarik untuk diteliti sesuai perkembangan zaman. Saat ini kepemimpinan tidak hanya fokus pada diri pemimpin itu sendiri, tetapi juga melibatkan pengikut, rekan, atasan, setting kerja, kultur, aspek individual, juga konteks.. Kepemimpinan tidak hanya dideskripsikan sebagai karakteristik atau perbedaan-perbedaan individual, tetapi telah berkembang menjadi model-model yang dyadic, shared, relasional, strategis, global, dan merupakan dinamika sosial yang kompleks (Avolio 2007, Yukl 2006 dalam Avolio, Walumba, Weber, 2009). Dalam konteks Indonesia, konsep kepemimpinan menjadi hal yang sangat krusial mengingat perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang sarat dengan dinamika. Mulai dari zaman Majapahit yang dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, hingga saat ini menjadi sebuah republik yang dipimpin oleh presiden. Nordholt (2008) menilai selama rezim orde baru, Indonesia tampil sebagai negara otoriter dimana kekuatan terkonsentrasi di pusat, namun secara kuantitatif negara sendiri tidak terlalu besar (Barker & Van Klinken, dalam Nordholt, 2008). Setelah 1998, negara kehilangan kekuatan menjalankan pemerintahan administratif dan menjadi lebih lunak. Hal ini terlihat dari kenyataan banyaknya pengabaian regulasi (Nordholt, 2008). Setelah era otoriter, Indonesia bergerak menuju demokrasi yang memiliki prinsip-prinsip antara lain, partisipasi, inklusif, representasi, transparansi, akuntabilitas, responsif, kompetisi yang bebas dan adil, serta solidaritas (Tjhin, 2005). Alam demokrasi membutuhkan kepemimpinan non otoriter. Lebih jauh lagi, Indonesia mengidamkan pemimpin yang dapat membawa bangsa ini bersaing dengan bangsa besar lainnya, baik pemimpin di lingkup pemerintahan (politik) sperti nasional atau daerah, maupun pemimpin di lingkup yang lebih kecil, misal organisasi atau perusahaan. Terkait dengan dunia kerja dan work engagement, Luthans & Avolio (2003, dalam Avolio dkk, 2008) mendefinisikan kepemimpinan otentik 372
Andin Andiyasari, Ardiningtyas Pitaloka Persepsi Kepemimpinan Otentik dan Work Engagement pada Generasi X dan Y di Indonesia
sebagai proses interaksi antara kapasitas psikologis dan konteks perkembangan organisasi untuk menciptakan positif self-awareness dan positive regulated self pada pemimpin dan pengikutnya. Berdasarkan studi terdahulu, pendekatan kepemimpinan otentik menawarkan perspektif berbeda dari kepemimpinan lain, seperti kharismatik, transaksional, transformasional, dan etik. Pendekatan kepemimpinan otentik berakar dari psikologi positif yang menekankan unsur kekuatan dan human functioning pada diri manusia. Tipe kepemimpinan ini tidak hanya mengkaji aspek diri pemimpin secara personal, tetapi juga pengikut dan konteks yang mendasari kepemimpinan itu sendiri. Snyder & Lopez (2007) menggarisbawahi kata kunci psikologi positif sebagai sains dan aplikasi berfokus pada kekuatan psikologis dan emosi positif. Studi ini mengkaji kepemimpinan dalam konteks yang lebih kecil, yakni dunia kerja. Kepemimpinan seperti apakah yang cocok untuk Indonesia, khususnya dalam konteks kerja dan generasi? Studi membatasi fokus kajian pada kepemimpinan di level mikro, namun tetap memiliki relevansi yang penting bagi Indonesia, dengan mencoba mengaitkan kepemimpinan dengan generasi kerja yang ada saat ini sehingga secara tidak langsung tetap memberikan kontribusi nyata bagi kepemimpinan di Indonesia. Generasi didefinisikan sebagai sekelompok orang berdasarkan identifikasi kelompok usia (tahun kelahiran) yang sama, termasuk kesamaan lokasi, dan kesamaan peristiwa kehidupan yang signifikan dan terjadi selama tahapan perkembangan kritikal dalam hidup seseorang sehingga membentuk cara pandang yang sama atas dunia yang dihadapi. Amerika, Inggris, Australia, dan New Zealand membedakan generasi dunia kerja ke dalam tiga generasi. Berdasarkan Cennamo & Gardner (2008) terdapat tiga generasi yang ada saat ini, yakni Generasi Baby Boomers, orang yang lahir tahun 1946 – 1964, generasi X dimulai tahun 1965 – 1979, dan Generasi Y dimulai tahun 1980 – 1994. Setiap generasi memiliki worldview-nya masing-masing, termasuk Generasi Y di Indonesia. Generasi ini tumbuh dengan akses yang lebih besar terhadap informasi dan perkembangan teknologi, serta memanfaatkan social networking media sebagai bagian dari aktifitas seharihari. Seperti yang dinyatakan dalam studi Sprague (2008), karakter Generasi Y membutuhkan pola manajemen berbeda dari Generasi sebelumnya. Isu ini sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan. Kepemimpinan seperti apa yang tepat bagi Generasi yang juga memiliki sejumlah nama seperti Generasi Millenium, Generasi Next. Berdasarkan data demografi Badan Pusat Statistik (BPS) proyeksi 2009, Indonesia memiliki Generasi Baby Boomers sebanyak 15%, Generasi X sebanyak 23%, dan Generasi Y sebanyak 18% dari total penduduk. Secara total, jumlah usia produktif Indonesia dilihat dari sisi generasi mencapai 52% dari jumlah penduduk. Sebuah angka yang besar, dan 41% diantaranya merupakan Generasi X dan Y. 373
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Mengingat jumlah yang sangat besar dari Generasi X dan Y di Indonesia, tentunya penting untuk memahami karakteristik-karakteristik dari generasi itu sendiri, khususnya pada Generasi Y, yang merupakan generasi termuda dari angkatan kerja yang ada saat ini. Tumbuhnya Generasi Y yang kini mulai memasuki dunia kerja membawa tantangan tersendiri. Dalam beberapa publikasi, Generasi Y dianggap sebagai generasi yang tidak sabar, tidak loyal, tidak menghormati otoritas, terlalu banyak menghabiskan waktu online, juga memiliki ketrampilan komunikasi yang buruk (Sprague, 2008). Memahami persepsi Generasi Y atas pemimpin yang mereka anggap layak disebut pemimpin, akan menjadi landasan signifikan untuk meningkatkan produktifitas kerja mereka. Sementara memahami peran pemimpin melalui pendekatan kepemimpinan otentik, khususnya dalam konteks kerja diharapkan dapat membuka jalan untuk mengelola generasi Y Indonesia dengan lebih baik, terkait dengan aspek engagement. Implikasi yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi bagi dunia kerja sekaligus pengembangan keilmuan psikologi positif dan manajemen SDM di Indonesia. Dengan pendekatan kepemimpinan yang tepat pada generasi Y, yang tumbuh di era digital diharapkan dapat menciptakan engagement untuk meningkatkan produktifitas. Penelitian ini mengkategorikan Generasi X dengan tahun kelahiran antara tahun 1965 – 1978 dan Generasi Y untuk tahun 1979 – 2000. Pemilihan kategori ini memiliki pertimbangan adanya dugaan perbedaan karakteristik yang sedikit berbeda berdasarkan peristiwa nasional di Indonesia sendiri, terutama masuknya era teknologi informasi yang lebih lambat dibandingkan negeri lain dalam studi-studi sebelumnya. Dugaan ini pula yang akan diujikan dalam studi antar generasi di Indonesia. Studi Literatur Psikologi Positif Psikologi positif merupakan kajian tentang kondisi dan proses yang berkontribusi untuk mendorong atau mengoptimalkan fungsi masyarakat, kelompok dan institusi (Gable & Haidt, 2005). Lebih lanjut, Gable & Haidt menggambarkan psikologi positif dalam metafor berikut; “In one metaphor, psychology was said to be learning how to bring people up from negative eight to zero but not as good at understanding how people rise from zero to positive eight.”
Lebih dari setengah abad yang lalu, psikologi menempatkan isu penyimpangan, kekurangan dan semacamnya (disorder) sebagai sentral kajiannya. Gerakan psikologi positif yang dimulai pada akhir tahun 1990 an, menyoroti ketidakseimbangan dan motivasi kuat untuk mendorong tumbuhnya penelitian pada area yang selama ini tersingkirkan dalam psikologi. Meski demikian, psikologi positif tidak memandang negatif area psikologi di luarnya. Pada kenyataannya, mayoritas kajian akademis 374
Andin Andiyasari, Ardiningtyas Pitaloka Persepsi Kepemimpinan Otentik dan Work Engagement pada Generasi X dan Y di Indonesia
psikologi bersifat netral, dan berfokus pada well-being, bukan distress. Psikologi positif tumbuh dari kesadaran akan banyaknya ketidakseimbangan dalam studi psikologi klinis, yang lebih fokus pada gangguan mental (Gable & Haidt, 2005). Linley, Joseph, Harrington & Wood (2006) memandang bahwa melakukan pendekatan/ studi psikologi positif bermakna juga mensintesakan kebutuhan positif dan negatif, membangun fondasi, mengintegrasikan beberapa level analisa, dan menyadari implikasi dari deskripsi versus preskripsi. Secara ringkas, Linley, Joseph, Harrington & Wood (2006) menggambarkan sejarah psikologi dimulai dari studi Martin E.P. Seligman, President Asosiasi Psikologi Amerika, 1998. Dalam pertemuannya dengan Mihalyi Csikszentmihalyi di tahun 1997, Seligman menyadari sejarah psikologi pada misi Perang Dunia II. Isu besar yang telah lama diabaikan adalah; mental health, membantu individu untuk lebih produktif dan mengisi hidupnya, serta mengidentifikasi dan mengembangkan potensi individu. Tercatat dalam Administrasi Veteran di tahun 1946 dan National Institute of Mental Health tahun 1947, psikologi merupakan disiplin healing yang berdasarkan model penyakit dan gangguan ideologi. Sejak menjadi Presiden Asosiasi Psikologi Amerika, Seligman bertekad untuk mengubah arah studi untuk lebih fokus pada psikologi positif. Work Engagement Peningkatan produktivitas sumber daya manusia dan employee enagagement menjadi dua fokus dalam dunia sumber daya manusia. Menurut Fisher, Schoenfeldt & Shaw (2006 dalam Endres & Smoak, 2008), sejumlah faktor yang dibutuhkan organisasi untuk menjadi kompetitif adalah sumber daya fisik, financial, daya pemasaran, dan sumber daya manusia. Di antara semuanya, faktor yang paling potensial menyediakan nilai kompetitif adalah sumber daya manusia dan pola pengelolaannya yang tepat (Endres & Smoak, 2008). Jones, Ni & Wilson (2009) juga menyatakan bahwa konstruk lain yang mendasarkan pada komitmen organisasi adalah employee engagement. Inti dari berbagai pemahaman dari employee engagement adalah “the expression of the self through work and other employee-role activities” (Jones & Harter,2005 dalam Jones, dkk, 2009). Persamaan antara komitmen organisasi dan employee engagement adalah keduanya menekankan pada persepsi pegawai atas diri sendiri, pekerjaannya, dan organisasinya (Harter, dkk dalam Jones, dkk,2009). Penelitian ini menggunakan konstruk work engangement dengan dimensi yang disusun oleh Rutledge (2009). Pemilihan ini berdasarkan cakupan dimensi dan pengujian validitas-relliabilitas dalam UWES (Utrecht Work Engagement Scale) oleh Schaufeli & Baker (2003). Terma dan konsep work engagement mulai sering muncul menggantikan loyalitas kerja. Menurut Rutledge (2009), keduanya samasama mengandung komitmen namun memiliki konteks berbeda. Kesetiaan 375
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
atau loyalitas kerja merupakan komitmen jangka panjang, sementara komitmen work engagement lebih bersifat pendek dan sementara. Tiga hal utama yang mewakili work engagement adalah (a) perasaan tertarik; (b) memiliki komitmen; (c) bersemangat. Kalimat yang mewakili ketiga poin dalam work engagement kurang lebih adalah; (a) “Saya mau melakukan pekerjaan ini!”; (b)“Saya akan menyelesaikan pekerjaan ini dengan professional dan sebaik-baiknya!”; (c)“Saya mencintai pekerjaan ini!”. Work engagement merupakan kondisi yang positif, fulfillment, dan aktivitas mental dengan karakteristik semangat (penuh energi), dedikasi, dan absorption. Kondisi ini kurang lebih menggambarkan individu yang penuh energi dan memiliki resiliensi mental saat bekerja, bersungguhsungguh dalam usaha dan persisten menghadapi kesulitan. Sementara dedikasi menggambarkan keterlibatan yang kuat dalam bekerja serta adanya pemaknaan, antusiasme, inspirasi, rasa bangga, dan merasakan tantangan di dalamnya. Terakhir, absorption menggambarkan kondisi individu yang penuh konsentrasi dan tidak merasakan berlalunya waktu dalam bekerja (Schaufeli & Bakker dalam Bakker, Schaufeli, Leiter, & Taris, 2008). Kepemimpinan Beberapa teori kepemimpinan menekankan pada kemampuan melaksanakan tugas dan memiliki keahlian untuk menyelesaikan masalah. Sementara teori lain menekankan pada paket kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain seperti kemampuan mempengaruhi orang lain. Sebagian teori lain lebih fokus pada kepribadian yang menjadikan seorang pemimpin berkualitas (Messik, 2005). Kepemimpinan sering didefinisikan sebagai proses membimbing orang lain untuk mencapai satu tujuan bersama. Seseorang yang memiliki visi dan berhasil menginspirasi orang lain hingga memberikan keuntungan bagi organisasi atau perusahaan (Hollander, 1985 dalam Magee, Gruenfeld, Keltner, Galinsky, 2005). Seorang pemimpin dianggap berhasil ketika ia mampu membawa organisasi yang dipimpinnya menjadi efektif. Jika ia mampu memberikan dampak paling positif terhadap perilaku banyak orang di perusahaan (Magee, dkk, 2005). Terdapat beberapa tipe kepemimpinan seperti kepemimpinan kharismatik, transaksional, transformasional, etik dan yang sedang berkembang sekarang adalah kepemimpinan otentik. Karakter tiap kepemimpinan tersebut terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan tabel 1, empat dari lima tipe kepemimpinan yakni kharismatik, transaksional, transformasional dan etik lebih menekankan peran individual pemimpin. Pemimpin sebagai pihak yang aktif bergerak untuk mengubah pengikut dengan mendorong, menginspirasi maupun memanfaatkan daya tarik personal. Sementara kepemimpinan otentik menuntut keterlibatan dua pihak yakni pemimpin dan pengikut. Isu utama yang diangkat adalah keterbukaan informasi untuk keputusan bersama. 376
Andin Andiyasari, Ardiningtyas Pitaloka Persepsi Kepemimpinan Otentik dan Work Engagement pada Generasi X dan Y di Indonesia
Keterbukaan ini tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan aktif pemimpin dan pengikutnya. Tabel 1 Karakter tipe kepemimpinan Tipe Kepemimpinan Kharismatik Transaksional Transformasional Etik Otentik
Karakter Mengandalkan karakter dan daya tarik individual (Yukl, 2002 dalam Lagan, 2007) Pertukaran antara penghargaan dan performa (Avolio, dkk, 2009) Mentransformasi & menginspirasi pengikut untuk bertindak sesuai tujuan (harapan), serta melampaui kepentingan diri sendiri untuk kebaikan organisasi (perusahaan) (Avolio, dkk, 2009) Menegakkan norma melalui tindakan individual maupun dalam interaksi dengan orang lain serta mendorong orang lain (pengikut) untuk bertindak sama (Avolio, dkk, 2009) Memiliki kesadaran diri, bertindak transparan dan menjunjung etika untuk mendorong keterbukaan informasi dalam membuat keputusan dengan menerima pendapat tim/anggota (Avolio, dkk, 2009)
Kepemimpinan Otentik Avolio, Walumba, Gardner, Wernsing, Peterson (2008) mengawali teorinya dengan membahas pengertian otentik. Otentik merupakan konstruk yang berasal dari Yunani kuno, bermakna “be true to oneself” (S.Harter dalam Avolio, dkk, 2008). Meski maknanya tidak tergolong baru, penerapan otentik dalam kepemimpinan merupakan jawaban dari berbagai peristiwa yang kurang positif. Pada tingkat makro, banyaknya skandal korporat, penyimpangan manajemen, juga banyaknya tantangan yang harus dihadapi oleh organisasi atau perusahaan publik maupun privat. Sementara konsep otentik dalam lingkup psikologi positif (Seligman,2003 dalam Avolio,dkk,2008) adalah “owning one’s experiences, be they thoughts, emotions, needs, preferences, or beliefs, process captured by the injuction to know oneself”
Luthans & Avolio (2003, dalam Avolio dkk, 2008) mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai proses interaksi antara kapasitas psikologis dan konteks perkembangan organisasi untuk menciptakan positive selfawareness dan positive regulated self pada pemimpin dan pengikutnya, seperti dalam kutipan berikut;
“ a process that draws from both positive psychological capacities and a highly developed organizational context, which results in both greater selfawareness and self-regulated positive behaviors on the part of leaders and associates, fostering positive self development”
Kepemimpinan otentik muncul sebagai perspektif alternatif kepemimpinan dalam berbagai organisasi termasuk lingkungan pendidikan (Bhindi & Duignan, 1997 dalam Smith, Bhind,, Hansen, Riley, Dan & Rall, Johan, 2008). Tipe kepemimpinan ini diyakini dapat memberikan perbedaan fundamental dalam organisasi untuk membantu individu menemukan makna dalam bekerja melalui self-awareness. Sebuah kesadaran yang bersumber dari keyakinan dan harapan, mengutamakan keterbukaan 377
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
dalam interaksi dan proses pengambilan keputusan yang berujung pada pembentukan rasa percaya, komitmen dan persepsi etika di antara pengikut (Avolio, Gardner, Walumbwa, Luthans, & May, 2004 dalam Lagan, 2007) Teori kepemimpinan otentik mengandung kapasitas psikologis positif berupa keyakinan diri, optimisme, harapan dan resiliensi sebagai kekuatan utama seorang pemimpin. Kapasitas inilah yang akan memprediksi tingkat self-awareness dan self-regulatory pada tindakan pemimpin (Lagan, 2007). Tidak hanya kapasitas psikologis, teori kepemimpinan otentik juga melibatkan konteks organisasi sebagai fasilitator hubungan antara kepemimpinan otentik dan performa yang muncul (Avolio & Gardner, 2005). Kapasitas psikologis tersebut akan tercapai dalam konteks organisasi yang positif (Lagan, 2007). Generasi X dan Y Definisi generasi menurut Kupperschmidt adalah suatu identitas kelompok dengan tahun kelahiran, masa (era) dan peristiwa bersejarah yang sama sebagai tahap kritis perkembangannya (Dries, Pepermans, De Kerpel, 2008). Empat generasi yakni Tradisionalis, Baby Boomers, Generasi X dan Generasi Y merupakan isu menarik dari tahun ke tahun dalam berbagai studi, di antaranya psikologi, manajemen, sumber daya manusia juga pedagogi. Tabel 2 merangkum karakter masing-masing generasi dari beberapa studi. Tabel 2. Generasi Tradisionals, Baby Boomer, X dan Y Deskripsi Tahun Kelahiran
Peristiwa Bersejarah
378
Generasi Tradisionalis 1928-1945 (Sprague, 2008)
Generasi Baby Boomers 1946-1964 (Sprague, 2008)
Tumbuhnya pekerja kerah putih dan komitmen kuat pada pendidikan (Sprague, 2008)
-
Perang Vietnam Pergerakan hak asasi manusia Pembunuhan Martin Luther King, John F. Kennedy, & Robert Kennedy (Sprague, 2008)
Generasi X
Generasi Y
1965-1979 (Casey & Denton, 2006) 1964-1981 (Schofield & Honore, 2008) 1965-1979 (Sprague, 2008) 1960-1978 (Macleod, 2008) 1965-1980 (Dries, Pepermans & De Kerpel, 2008) 1962-1979 (Cennamo & Gardner, 2008)
1980-2000 (Casey & Denton, 2006, Sprague, 2008, Cennamo & Gardner 2008) 1982ke atas (Schofield & Honore, 2008) 1979-1994 (Macleod, 2008) 1981-2001 (Dries, pepermans & De Kerpel, 2008)
-
- Perkembangan teknologi yang pesat - Kesejahteraan ekonomi - Kepemimpinan politik yg kuat - Decade anak - Bencana alam - Terorisme - Narkoba & Geng (Sprague, 2008)
-
-
Berakhirnya perang dingin & runtuhnya tembok Berlin Perceraian tertinggi orang tua Banyak orang tua yang kehilangan pekerjaan kare- na resesi 1980-1990 Perttumbuhan internet & kaya
Andin Andiyasari, Ardiningtyas Pitaloka Persepsi Kepemimpinan Otentik dan Work Engagement pada Generasi X dan Y di Indonesia akan global 2008) Karakter
Menghormati otoritas, menghargai nilai finansial dan kemapanan (Sprague, 2008)
-
-
Kurang mempercayai otoritas dibandingkan generasi sebelumnya sbg dampak dr peristiwa Watergate Mewujudkan komitmen utk mewujud kan dunia yang lebih baik (Sprague, 2008)
informasi (Sprague,
Mengandalkan diri & afiliasi keluarga (Sprague, 2008)
- Mendengarkan orangtua, menghormati otoritas, lebih suka dibim-bing oleh Baby Boomers dari pada rekan seusia, orang tua sebagai panutan (Sprague, 2008) - Konvensional & kedekatan keluarga, terutama Ibu (Wilson & Gerber, 2008) - Ambisius, percaya diri, optimis, kerja tim (Strauss & Howe dalam Wilson & Gerber, 2008)
Fokus generasi yang menjadi kajian studi ini adalah Generasi X dan Generasi Y di Indonesia. Mempertimbangkan pentingnya konteks (peristiwa) sebagai masa suatu generasi tumbuh, berikut daftar peristiwa penting nasional (Indonesia) Generasi X dan Y; Tabel 3 Peristiwa Bersejarah Generasi X & Y di Indonesia
Generasi X Sentralisasi pemerintahan Stabilitas struktur pemerintahan Monopoli infrastruktur (telekomunikasi, bahan bakar, televisi) Pembatasan pers Pembatasan 3 partai politik Jatuhnya rezim Soeharto setelah 30 tahun Krisis moneter Krisis social-politik (pemisahan Timor Timor dari Indonesia) Reformasi politik
Generasi Y Desentralisasi Pemerintahan demokratis Struktur pemerintahan yang dinamis Ekpose informasi digital Kebebasan pers Jejaring sosial maya Teknologi digital di keseharian Protes social secara terbuka Global & digital entrepreneur Multi partai lebih dari 3 partai
Menelusuri pembahasan Generasi X dan Y di publikasi Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Publikasi hampir selalu merujuk pada studi luar negeri yang memang telah berkembang. Tantangan ini yang semakin memacu peneliti untuk melakukan studi empirik tentang kedua generasi ini di Indonesia. Satu artikel di Kompas.com menyatakan bahwa Generasi Y cenderung bersikap mandiri, sangat visual dan tidak sabaran terhadap hal379
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
hal yang tidak sesuai dengan selera dan kepribadian mereka yang unik (tekno.kompas.com/Generasi.Platinum.Lekat.dengan.Gadget/ 27 November 2008). Hubungan Antar Variabel Sloan Work & Family Research Network – Boston College (2008) dalam studi Generasi X & Y mendapatkan data; (a) Dua puluh tiga persen pegawai dari Generasi Y lebih menekankan pada self-fulfillment, lingkungan kerja positif dan peningkatan karir dalam bekerja; (b) Generasi Y menggambarkan pemimpin impian mereka adalah seorang yang memiliki ketrampilan manajemen, menyenangkan (mudah bergaul), dapat didekati, mau mengerti, perhatian, peduli, memberikan dukungan, fleksibel, berpikiran terbuka, menghormati nilai-nilai dan menghargai pegawai. Gaddi (2004) dalam publikasinya menyatakan bahwa untuk menciptakan pegawai yang engaged, diperlukan kepemimpinan efektif dan faktor organisasional untuk membantu pegawai menyadari potensinya dan nilai yang dimiliki. Terutama dalam era ekonomi yang tidak menentu, perusahaan perlu berkonsentrasi untuk mengoptimalkan produktivitas pegawai dan sumber daya organisasional yang tersedia. Hipotesis Hipotesis studi awal ini dirumuskan sebagai berikut; 1. Ada hubungan antara persepsi kepemimpinan otentik dengan work engagement 2. Ada perbedaan persepsi kepemimpinan otentik antara Generasi X dan Y 3. Ada perbedaan persepsi work engagement antara Generasi X dan Y 4. Ada perbedaan persepsi kepemimpinan otentik berdasarkan tingkatan usia 5. Ada perbedaan persepsi work engagement berdasarkan tingkatan usia Metode Penelitian Responden dan Pengambilan Data Lima puluh dua responden merupakan staf dan pengajar pada dua institusi pendidikan, dan pegawai perusahaan swasta di Jakarta, yang terdiri dari 40,4 persen laki-laki dan 59,6 persen perempuan. Pengambilan data dilakukan di bulan April 2010. Pengukuran Untuk mengukur kepemimpinan otentik, peneliti menyusun alat ukur berdasarkan teori kepemimpinan otentik Avolio, dkk (2008) yang memiliki memiliki empat dimensi yakni self-awareness, relational transparency, moral perspective, dan balance processing. Alat ukur tersebut
380
Andin Andiyasari, Ardiningtyas Pitaloka Persepsi Kepemimpinan Otentik dan Work Engagement pada Generasi X dan Y di Indonesia
tersusun dalam skala Likert-6 dan mendapatkan reliabilitas tinggi (α= 0.913). Beberapa item dalam skala kepemimpinan otentik di antaranya; Berusaha menunjukkan optimisme di hadapan bawahan. Meminta masukan pada bawahan sebelum mengambil keputusan. Mengutamakan keputusan tim daripada keputusannya sendiri. Berkolaborasi dengan bawahan untuk membuat keputusan penting. Bertindak sesuai konteks dalam penerapan sanksi agar kerja tim tetap berjalan. Meminta bawahan mengkaji alternatif solusi yang ada secara terbuka. Untuk mengukur work engagement, peneliti melakukan tes adaptasi dari alat ukur Utrecht Work Engagement Scale (UWES) yang dikembangkan oleh Schaufeli & Baker (2003) dan mendapatkan reliabilitas tinggi, (α= 0.880). Peneliti juga menguji dengan teknik faktor analisis dan menghasilkan tiga faktor yang sesuai dengan dimensi-dimensi dalam UWES, yakni vigor (semangat), dedikasi, dan absorption. Alat ukur ini juga menggunakan skala Likert-6. Beberapa item dalam skala work engagement di antaranya; Dalam bekerja, saya penuh energi (vigorous) Waktu tak terasa saat saya sedang bekerja (absorption) Saya bangga dengan pekerjaan yang saya lakukan (dedikasi) Pekerjaan saya menginspirasi saya (vigorous) Analisa Data Berikut adalah tabel yang menunjukkan statistik deskriptif dan korelasi dari hasil pengujian kepemimpinan otentik dan work engagement. Analisis ini menggunakan statistik non-parametrik karena asumsi normalitas distribusi data tidak terpenuhi. Tabel 4 Statistik Deskriptif dan Korelasi Panel A – Statistik Deskriptif (n = 52) Variabel Minimum Maksimum Work Engagement (WE) Authentic Leadership (AL) Usia (USIA)
2,73 3,18
5,87 5,91
4,78 4,81
Std Deviasi 0,67 0,60
20,00
40,000
30,94
5,86
Mean
381
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Panel B – Statistik Deskriptif untuk masing-masing Generasi X (n = 26) dan Y (n = 26) Variabel Generasi X Work Engagement (WE) Authentic Leadership (AL) Usia (USIA) Generasi Y Work Engagement (WE) Authentic Leadership (AL) Usia (USIA)
Minimum
Maksimum
Mean
Std Deviasi
3,60 3,94
5,87 5,82
4,87 4,80
0,59 0,54
32,00
40,00
36,12
2,34
2,73 3,18
5,87 5,91
4,70 4,81
0,74 0,66
20,00
31,00
25,77
2,97
Panel C – Korelasi Spearman (n = 52) WE AL USIA AL 0,244 * USIA 0,242 * -0,022 t.s. DGEN -0,127 t.s. 0,051 t.s. -0,868 *** *** signifikan pada tingkat 1 persen, * signifikan pada tingkat 10 persen, t.s. tidak signifikan
Tabel 4 Panel A dan B menunjukkan deskripsi sample yang diuji. Work engagement bernilai 2,73 – 5,87 dengan nilai mean sebesar 4,78. Rentang skala respons mulai dari ‘kadang-kadang’ sampai dengan ‘selalu’ merasakan keterlibatan dalam pekerjaannya. Hasil menunjukkan rata-rata responden mempersepsikan ‘sangat sering’ terlibat dalam pekerjaannya. Kepemimpinan otentik bernilai 3,18 – 5,91 dengan nilai mean sebesar 4,81. Rentang skala respon persepsi kepemimpinan otentik bervariasi mulai dari ‘netral’ sampai dengan ‘sangat penting’. Hasil menunjukkan rata-rata responden menganggap penting aktivitas yang dilakukan pemimpin. Statistik work engagement dan kepemimpinan otentik menunjukkan nilai yang relatif stabil pada saat responden dikelompokkan dalam generasi X dan Y, namun rentang nilai generasi X lebih sempit, dengan usia generasi Y adalah 20 – 31 tahun dan generasi X adalah 32 – 40 tahun. Korelasi Spearman dalam Tabel 4 Panel C memperlihatkan adanya korelasi antara kepemimpinan otentik dan work engagement (R=0.244) dan antara usia dengan work engagement secara signifikan pada tingkat 10 persen (R=0.242). Korelasi antara usia dengan pengelompokan generasi (X dan Y) signifikan pada tingkat 1 persen. Hal ini dapat dipahami karena generasi X dan Y dibedakan berdasarkan usia. Pengujian untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan rata-rata persepsi kepemimpinan otentik dengan work engagement dalam hipotesis 1 menggunakan pengujian Kruskal Wallis. H0: Tidak ada perbedaan antara Persepsi Work engagement dengan kepemimpinan otentik. Ada perbedaan antara persepsi Work engagement dengan H1: kepemimpinan otentik.
382
Andin Andiyasari, Ardiningtyas Pitaloka Persepsi Kepemimpinan Otentik dan Work Engagement pada Generasi X dan Y di Indonesia
Tabel 5 Hasil Uji Beda Kepemimpinan Otentik terhadap Work Engagement Kepemimpinan Otentik
Sampel
3 4 5 Jumlah Chi-Square, df = 2 (Asymp. Sig.) *** signifikan pada tingkat 1 persen
Mean Rank WE 6,30 29,25 27,76
5 28 19 52
9,961(0,007)***
Hasil uji memperlihatkan adanya beda work engagement dengan kepemimpinan otentik secara positif dan signifikan pada tingkat 1 persen. Sesuai dengan korelasi dalam Tabel 4, hasil ini dapat diinterprestasikan sebagai adanya hubungan positif persepsi kepemimpinan otentik dengan work engagement. Pengujian untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan persepsi antara generasi X dan Y terhadap kepemimpinan otentik dalam hipotesis 2 dan work engagement dalam hipotesis 3 dilakukan menggunakan pengujian U Mann-Whitney. Hipotesis 2 H0: Persepsi generasi X terhadap kepemimpinan otentik sama dengan persepsi generasi Y terhadap kepemimpinan otentik. H1: Persepsi generasi X terhadap kepemimpinan otentik berbeda dengan persepsi generasi Y terhadap kepemimpinan otentik. Hipotesis 3 H0: Persepsi generasi X terhadap work engagement sama dengan persepsi generasi Y terhadap work engagement. H1: Persepsi generasi X terhadap work engagement berbeda dengan persepsi generasi Y terhadap work engagement. Tabel 6 Hasil Uji Beda Kepemimpinan Otentik dan Work Engagement berdasarkan generasi AL
Generasi X Y Jumlah
WE
Sampel 26
Mean Rank 25,73
Sum of Ranks
Sum of Ranks
669,00
Mean Rank 28,40
26
27,27
709,00
24,60
639,50
738,50
52
Mann-Whitney (Asymp. Sig.) t.s. tidak signifikan
U
318,00 (0,714) t.s.
288,50 (0,364) t.s.
Hasil uji memperlihatkan bahwa persepsi kedua generasi X dan Y terhadap kepemimpinan otentik tidak berbeda. Sesuai dengan korelasi dalam Tabel 4, hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa perbedaan generasi tidak menyebabkan perbedaan persepsi terhadap kepemimpinan otentik. 383
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Hasil uji memperlihatkan bahwa persepsi kedua generasi X dan Y terhadap work engagement tidak berbeda. Sesuai dengan korelasi dalam Tabel 4, hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa perbedaan generasi tidak menyebabkan perbedaan persepsi terhadap work engagement. Pengujian untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan usia terhadap persepsi kepemimpinan otentik dalam hipotesis 4 dan terhadap work engagement dalam hipotesis 5 dilakukan menggunakan pengujian Kruskal Wallis. Hipotesis 4 H0: Tidak ada perbedaan persepsi kepemimpinan otentik berdasarkan usia. H1: Ada perbedaan persepsi kepemimpinan otentik berdasarkan usia. Hipotesis 5 H0: Tidak ada perbedaan work engagement berdasarkan usia. H1: Ada perbedaan work engagement berdasarkan usia. Tabel 7 Hasil Uji Beda Usia terhadap Kepemimpinan Otentik dan Work Engagement Kelompok Usia Sampel 20 2 22 1 23 3 24 4 25 1 26 4 27 3 28 3 29 2 30 2 31 1 32 1 33 3 34 5 35 1 36 3 37 5 38 5 40 3 Jumlah 52 Chi-Square, df = 18 (Asymp. Sig.) t.s. tidak signifikan
Mean Rank AL 6,75 1,00 43,50 26,38 37,00 27,88 32,17 27,50 24,75 38,25 5,00 8,50 28,50 23,40 27,50 42,50 23,90 20,60 26,83
Mean Rank WE 4,00 1,00 24,17 25,50 3,00 30,25 20,33 43,83 34,75 28,25 13,50 22,00 21,00 33,60 10,50 36,50 23,30 31,50 30,50
20,138 (0,325) t.s.
20,781 (0,291) t.s.
Diskusi Tujuan general studi ini adalah untuk mengetahui persepsi Generasi X dan Generasi Y terhadap kepemimpinan otentik dan work engagement. Lebih spesifik lagi, apakah terdapat perbedaan persepsi antar generasi mengingat sejarah dan karakternya yang berbeda. Peneliti juga menguji hubungan kepemimpinan otentik terhadap work engagement berdasarkan usia dan generasi. Hasil studi membuktikan hipotesa 1 terbukti signifikan, ada hubungan signifikan antara kepemimpinan otentik 384
Andin Andiyasari, Ardiningtyas Pitaloka Persepsi Kepemimpinan Otentik dan Work Engagement pada Generasi X dan Y di Indonesia
terhadap work engagement, dan dikuatkan dengan pengujian korelasi. Studi ini tidak berhasil membuktikan hipotesa 2, 3, 4, dan 5. Namun, dalam pengujian korelasi antara usia dengan work engagement menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terbuktinya hipotesa 5 kemungkinan karena kurangnya jumlah responden, demikian untuk hipotesa 2, 3, dan 4. Terbuktinya hipotesa 1 menjadi landasan empirik yang mendukung beberapa survey sebelumnya (Sloan Work & Family Research Network – Boston College, 2008; Gaddi, 2004). Studi terdahulu memang belum mengujikan secara langsung kedua variabel ini namun telah memberikan gambaran tentang keterkaitan antara kepemimpinan otentik dan work engagement pada Generasi X & Y. Hasil studi ini merupakan landasan empirik untuk melakukan kajian ilmiah lebih lanjut generasi X dan Y di Indonesia, terutama pada setting kerja. Keterbatasan Studi Beberapa kemungkinan yang menjelaskan tidak terbuktinya hipotesa 2, 3, 4, dan 5 dalam studi ini adalah; (a) Jarak usia responden antar generasi. Usia responden terendah adalah 20 tahun dan tertinggi 40 tahun. Hal ini membuat jarak antara Generasi X & Y kurang tajam. Peneliti memprediksi adanya pengaruh usia berdasarkan pembentukan karakter suatu generasi yang salah satunya dibentuk oleh worldview dari peristiwa sejarah pada tahap perkembangan kritikalnya (Dries, Pepermans, De Kerpel, 2008). Jika usia responden Generasi X di atas 40 tahun, kemungkinan akan mendapatkan perbedaan antar generasi yang lebih tajam. (b) Jumlah responden. Sebagai studi pendahuluan, reponden telah mencukupi untuk analisa statistik, namun tetap diperlukan lebih banyak responden dengan komposisi seimbang antar generasi. Pengambilan responden juga perlu diperluas berdasarkan setting kerja karena iklim organisasi mengandung nilai-nilai dan karakter sendiri. Saran untuk studi mendatang Berdasarkan hasil studi awal ini, maka peneliti memiliki beberapa catatan untuk perbaikan di studi mendatang. Selain mengambil data dengan responden dalam komposisi yang seimbang. Sebaiknya studi mendatang juga menggali responden dari lingkungan kerja beragam. Studi juga akan menarik dengan membuat perbandingan antar beberapa daerah di Indonesia, mengingat tingginya angka usia produktif yang ada yakni 23% Generasi X dan 18% Generasi Y dari total penduduk Indonesia pada proyeksi 2009 (www.demografi.bps.go.id). Harapannya, selain memberikan sumbangan ilmiah dengan data Indonesia, juga kontribusi praktis untuk pemanfaatan lebih luas.
385
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Daftar Pustaka Avolio, Bruce J., Walumba, Fred O., Weber, Todd J. (2009) Leadership: current theories, research, and future directions. Annu.Rev.Psychol.2009.60:42149.www.annualreviews.org. Avolio, Bruce J., Walumba, Fred O., Gardner, William L., Wernsing, Tara S., Peterson, Suzanne J. (2008) Authentic leadership: development and validation of a theory-based measure. Journal of management, vol. 34 no.1, February 2008,89-126. Badan Pusat Statistik (2009) Data demografi penduduk Indonesia-proyeksi 2009. www.demografi.bps.go.id Bakker, Arnold B. & Bal, P. Matthjis (2010) A study among starting teachers. Journal of Occupational and Organizational Psychology (2010), 83, 189–206, 2010 The British Psychological Society Casey, Judi & Denton, Barbara (2006) The effective workplace series provides a summary of the generation X/generation. http://wfnetwork.bc.edu/topic.php?id=2 Cennamo, Lucy & Gardner, Dianne (2008) Generational differences in work values, outcomes and person-organization values fit. Journal of Managerial Psychology, vol.23,no.8,2008,pp.891-906 Dries, Nicky., Pepermans, Roland & De Kerpel, Evelien (2008) Exploring four generations’ beliefs about career – is “satisfied” the new “successful”? Journal of managerial psychology, vol.23,no.8,2008,pp.907928 Endres, Grace M. & Smoak, Lolita M. (2008) The human resources craze: human performance improvement and employee engangement. Organization development journal, spring 2008;26,1; ProQuest Psychology Journals pg.69 Gable, S.L. & Haidt, J.What (and why) is positive psychology? Review of General Psychology Copyright 2005 by the Educational Publishing Foundation 2005, Vol. 9, No. 2 Gaddi, Rosandrea R. (2004) Leadership and employee engagement: when employee give their all. The official publication of the personnel management association of the Philippines, February,2004. www.ddiworld.com Jones, James R., Ni, Jinlan, Wilson, David C. (2009) Comparative effects of race/ethnicity and employee engagement on withdrawal behavior. Journal of managerial issues, vol.XXI, number 2, Summer 2009 Lagan (2007) Examining authentic leadership: development of a four-dimensional scale and identification of a nomological network. Dissertation of State University of New York
386
Andin Andiyasari, Ardiningtyas Pitaloka Persepsi Kepemimpinan Otentik dan Work Engagement pada Generasi X dan Y di Indonesia
Linley, A.P., Joseph, S., Harrington, S., Wood, A.M. (2006) Positive psychology: past, present, and (possible) future. The Journal of Positive Psychology, January 2006: 1(1): 3-16 Macleod, Alison (2008) Generation Y: Unlocking the talent of young managers;executive Summary, June 2008. www.telegraph.co.uk/money /main. jhtml?xml=/money/2007/11/29/cmgen29.xml Messik, David M. & Kramer, Roderick M. (2005) The Psychology of Leadership: new perspective and research. New Jersey; Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Nordholt, Henk Schulte (2008) Identity Politics, citizenship and the soft state in Indonesia; an essay. Journal of Indonesian social sciences and humanities, vol. 1. 2008, pp.1-21. Rutledge, Tim (2009) Employee retention and engagement. In Innovations in Human Resource Management: getting the public’s work done in the 21st century. (Ed) Sistare, Hannah., Shiplet, Myra Howze., Buss, Terry F. India; M.E. Sharpe Inc. Schofield, Carina P. & Honore, Sue (2009-2010) Generation Y and learning; The Ashridge Journal. Winter 2009-2010 Smith, Richard., Bhindi, Narottam., Hansen, Jens., Riley, Dan & Rall, Johan (2008) Questioning the notion of ‘authentic’ leadership in education: The perspectives of ‘followers’. Refereed paper presented at the Changing Climates: Education for Sustainable Futures international research conference of the Australian Association for Research in Education (AARE), Brisbane, 30 November – 4 December, 2008. Sprague, Caroline (2008) The silent generation meets generation Y: how to manage a four generation workforce with panache. Human Capital Institute White Paper; February 13,2008 Schaufeli,Wilmar & Bakker,Arnold (2003) Utrecht Work Engagement Scale: preliminary manual, version1,November 2003. Occupational health psychology unit, Utrecht University. Snyder, C.R. & Lopez, S.J. (2007) Positive psychology: the scientific and practical explorations of human strengths. London; Sage Publications. Sloan work and family-research network (2008) Questions and answers about Generation X/Generation Y: A Sloan Work & Family Research Network Fact Sheet. http://www.bc.edu/wfnetwork. Tjhin, Christine Susanna (2005) Menjalin demokrasi lokal dan regional: membangun Indonesia, membangun ASEAN. Centre for strategic and International Studies (CSIS) working paper series, WPS 054.
387
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Wilson, Michael & Gerber, Leslie (2008) How generational theory can improve teaching: strategies for working with the “Millennials”. Currents in teaching and learning,vol.1,no.1,Fall,2008
388