BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian yang pesat dan kemajuan teknologi telah menimbulkan perubahan cepat pada produk-produk kosmetik, sehingga banyak berdiri industri-industri produk kosmetik. Dengan menggunakan teknologi modern industri-industri kosmetik kini mampu memproduksi dalam skala yang sangat besar dan dengan kemajuan transportasi maka produkproduk tersebut dalam waktu yang singkat dapat menyebar ke berbagai negara dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat. Saat ini perdagangan merupakan salah satu kegiatan di bidang ekonomi yang memiliki peranan yang strategis, dalam rangka pembangunan yang berwawasan luas. Sektor perdagangan ini berperan dalam mendorong kelancaran penyaluran arus barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kemajuan di bidang industri yang kian pesat berefek pada timbulnya era pasar bebas, yang membuat persaingan antar produsen semakin ketat terutama untuk menarik konsumen terhadap berbagai macam produk yang ditawarkan produsen. Dengan kondisi yang demikian, maka bisnis merupakan kegiatan yang integral dari kehidupan masyarakat yang modern. Kondisi pasar yang diwarnai
persaingan ketat dan bervariasinya produk yang ditawarkan, akhirnya menempatkan konsumen sebagai subyek yang memiliki banyak pilihan. Menghadapi realitas tersebut, konsumen didorong untuk semakin menyadari hak-haknya. Kesadaran tersebut semakin berkembang dengan adanya gerakan konsumen global yang mencoba melakukan protes terhadap pelaku usaha yang merugikan hak-hak konsumen.1 Kosmetik adalah kebutuhan harian yang secara teratur digunakan untuk tujuan perawatan dan kecantikan, makin tinggi tingkat kemakmuran disuatu negara akan makin tinggi kebutuhan akan sediaan kosmetik. Peredaran produk-produk kosmetik sangat luas dan pesat di Indonesia ini, terutama di kota-kota besar. Salah satunya kota Yogyakarta sebagai kota besar yang kebanyakan penduduknya dari kalangan atas menilai kosmetik sudah menjadi suatu kebutuhan. Adanya perubahan gaya hidup dalam masyarakat Yogyakarta menyebabkan kosmetik merupakan produk yang sangat dekat dengan masyarakat di Yogyakarta. Menjadi cantik adalah hasrat alami wanita, segala cara akan mereka lakukan untuk mewujudkan impian tersebut tidak heran apabila berbagai kosmetik ditawarkan produsen kepada konsumen terutama wanita. Di Yogyakarta berbagai produk kosmetik bermunculan dan diimbangi dengan banyaknya yang mengkonsumsi produk kosmetik namun di lain pihak pengetahuan masyarakat di Yogyakarta ini masih belum memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk kosmetik secara tepat, benar dan aman.
1
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.158
Kurangnya keamanan menyebabkan banyak konsumen yang dirugikan dengan penggunaan produk kosmetik. Baru-baru ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (selanjutnya disebut Badan POM) mengumumkan 27 merek kosmetik yang ternyata positif mengandung bahan berbahaya yaitu Merkuri (Hg), Hidroquinon, Asam Retinoat (Retinoic Acid), zat warna Rhodamin (Merah K.10) dan Merah K.3. Merkuri (Hg) merupakan bahan berbahaya yang dapat berdampak buruk pada kesehatan kulit dan bisa menimbulkan keracunan bila digunakan dalam waktu yang lama kendati cuma dioleskan pada permukaan kulit namun Merkuri (Hg) mudah diserap masuk ke dalam darah, lalu memasuki ke saraf tubuh. Maka dari itu Merkuri (Hg) tidak boleh dipergunakan dalam kosmetik, sedangkan Hidroquinon pemakaiannya tidak boleh lebih dari 2 persen itupun harus dibawah pengawasan dokter. Jadi tidak bisa sembarangan digunakan. Salah satu produk kosmetik yang diumumkan mengandung bahan berbahaya yaitu Doctor Kayama yang produknya berupa whitening day cream dan whitening night cream. Padahal Doctor Kayama merupakan produk kosmetik yang cukup terkenal dan harganya pun mahal. Hasil dari penelitian Badan POM mengatakan produk kosmetik tersebut mengandung Merkuri (Hg) yang dapat membahayakan kesehatan. Karena pemakaian dari produk tersebut ada konsumen dari Doctor Kayama mengalami gatal-gatal pada kulit dan timbul bintik-bintik seperti jerawat.yang cukup banyak pada muka. Konsumen telah dirugikan yang harusnya dengan memakai produk kosmetik whitening cream kulit menjadi halus dan cerah
namun yang terjadi sebaliknya kulit menjadi rusak. Kurangnya informasi yang diberikan oleh pelaku usaha telah melanggar hak-hak konsumen. Kurangnya pengawasan dari Badan POM menyebabkan produk-produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya masih beredar dipasaran sehingga mudah ditemukan oleh para konsumen. Banyaknya beredar merek-merek kosmetik yang dijual dipasaran dengan kemasan yang menarik, dan menjanjikan akan mendapatkan hasil dalam waktu singkat perlu diwaspadai oleh masyarakat. Konsumen harus lebih waspada serta jeli sebelum membeli produk kosmetik. Produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya memiliki efek samping yang berdampak pada kerusakan kulit akibat dari pemakaian produk tersebut yang sebelumnya tidak ada keterangan atau petunjuk dokter. Berdasar keputusan presiden dibentuk Badan POM, yang bertugas di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Dibentuknya Badan POM
bertujuan untuk
mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termasuk untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumen. Badan POM memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap produk yang aman dan penegakan hukum yang masih sangat kurang. Implementasi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) juga kurang berjalan dengan baik, ini dapat dilihat dari berkali-kali
dilakukan razia terhadap produk-produk kosmetik yang tidak terdaftar dan mengandung bahan berbahaya, namun di pasaran tetap saja banyak produkproduk tersebut masih terjual bebas. Penanganan perlindungan konsumen selama ini belum dilaksanakan terpadu, sehingga kepentingan konsumen terhadap hak dan kewajibannya masih belum sesuai yang
diharapkan, maka upaya memberdayakan
masyarakat konsumen dipandang perlu penanganan masalah perlindungan konsumen yang terpadu dan komprehensif. Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan “posisi” konsumen dalam tingkat yang terendah dalam meghadapi para pelaku usaha (dalam arti seluas-luasnya).2 Sesungguhnya produk kosmetik sebagai alat kecantikan umumnya secara instan menampakkan hasil berbentuk kemulusan, kecantikan dan kecerahan.
Namun
tanpa
disadari
efeknya
dalam
kesehatan
tubuh
mengakibatkan masalah serius dan permanen. Kepentingan antara dua kubu, produsen dan konsumen, tidak terjembatani dengan baik oleh Badan POM melalui pengawasan ketat. Akibatnya, produk berbahaya tetap beredar yang diakibatkan oleh pengawasan yang lemah, dan hanya bersifat temporer. Standarisasi mutu produk sangat penting dirasakan untuk produk kosmetik, mengingat sangat dekat berhubungan dengan kesehatan, karena efek pemakaian kosmetik yang mengandung bahan berbahaya bisa berdampak buruk pada kesehatan tubuh terutama pada kulit.
2
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Ctk. Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 1.
Akses informasi tentang kualitas suatu produk sangat penting bagi konsumen. Pertama : konsumen memiliki wawasan yang lebih luas, untuk selanjutnya dapat menentukan pilihan satu produk berdasarkan informasi yang dapat dipercaya. Kedua : apabila dilapangan ditemukan produk yang tidak sesuai dengan standar yang telah dikeluarkan pemerintah dan berakibat menimbulkan kerugian dipihak konsumen maka konsumen dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada produsen atau pelaku usaha. Pasal 8 ayat (1) butir a UUPK yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 8 ayat (2) UUPK yang berbunyi: “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”. Konsumen sebagai pemakai barang dan atau jasa tentu saja mempunyai
kepentingan-kepentingan
tertentu.
Kepentingan-kepentingan
konsumen itu perlu dilindungi, oleh sebab itu dalam UUPK diatur hak-hak konsumen yaitu pasal 4 UUPK. Sebenarnya ada hubungan antara konsumen dan pelaku usaha. Dari sisi bisnis, pelaku usaha harus mengakui bahwa konsumen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelangsungan bisnisnya. Disisi lain konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya senantiasa tergantung pada keberadaan barang dan atau jasa yang ada di pasaran sebagai suatu out put dari kegiatan
pelaku usaha. Oleh karena itu, produsen selaku pelaku usaha yang kegiatannya memperdagangkan produk-produk kosmetik harus memperhatikan ketentuan mengenai keamanan produk itu sendiri yang harus memenuhi syarat-syarat dan pengawasan kosmetik yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Faktor keamanan dan tidak merugikan kesehatan merupakan hak konsumen yang sangat penting. Dengan diberlakukannya UUPK dapat membatasi produsen dalam memasarkan barangnya karena mereka hanya mematuhi sejumlah larangan yang ditentukan dalam UUPK, namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. Ditinjau dari hukum perdata, hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dalam arti luas yaitu sebagai penghasil maupun penjual barang adalah merupakan suatu perikatan. Buku III KUHPerdata tentang perikatan, pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Sedangkan pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Menurut Subekti, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak manuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu.3 Pelaku usaha dan konsumen dalam pengertian penjual dan pembeli melakukan perjanjian jual beli untuk memenuhi kebutuhan. Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian, dengan nama pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Apabila penjual dalam melakukan transaksi jual beli tidak melaksanakan prestasinya maka dapat dikatakan bahwa penjual dalam keadaan wanprestasi. Konsumen yang mengalami kerugian dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penjual atau produsen. Konsumen menuntut ganti rugi kepada penjual atau produsen berdasarkan wanprestasi karena ada perikatan yang timbul dari suatu perjanjian. Tuntutan ganti rugi dapat diajukan kepada pelaku usaha karena ada perikatan yang timbul dari Undang-undang berdasarkan perbuatan melawan hukum.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen yang membeli produkproduk kosmetik di Yogyakarta? 2. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen apabila terjadi kerugian sebagai akibat dari penggunaan produk-produk kosmetik di Yogyakarta?
3
Subekti, Hukum Perjanjain, Intermasa, Jakarta, Cet XI, 1987, hal 45.
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini agar adanya, 1. untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen yang membeli produk-produk kosmetik di Yogyakarta. 2. untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen apabila terjadi kerugian sebagai akibat dari penggunaan produk-produk kosmetik di Yogyakarta.
D. Tinjauan Pustaka Perubahan gaya hidup menyebabkan kosmetik menjadi suatu kebutuhan di masyarakat, dengan banyaknya permintaan akan kosmetik maka banyak bermunculan produk-produk kosmetik yang ditawarkan oleh para produsen. Kosmetik yang sekarang ini telah menjadi suatu kebutuhan terutama untuk wanita, dalam mendapatkan kosmetik tersebut pembeli atau konsumen malakukan transaksi jual beli dengan pelaku usaha atau produsen. Adanya jual beli ini, maka menimbulkan perikatan antara penjual dan pembeli, dalam hal ini keterikatan antara keduabelah pihak cukup penting dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Pasal 1233 KUHPerdata disebutkan bahwa perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang. Perikatan oleh Buku III KUHPerdata adalah : “suatu hubungan hukum (mengenai harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan.4 Pasal 1234 KUHPerdata bahwa : “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Apabila penjual dalam melakukan transaksi jual beli tidak melaksanakan prestasinya maka dapat dikatakan bahwa penjual dalam keadaan wanprestasi. Menurut R.Setiawan, ada tiga bentuk wanprestasi atau ingkar janji, yaitu: 1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2. Terlambat memenuhi prestasi. 3. Memenuhi prestasi secara tidak baik.5 Adanya wanprestasi dari penjual, maka pembeli mengalami kerugian. Menurut pasal 1243 KUHPerdata menyebutkan bahwa “penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya satu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberkan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. Pasal 1329 KUHPerdata juga disebutkan siapa yang dapat membuat perikatan, yaitu : “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatanperikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”. Adapun 4 5
17-18.
Ibid R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, Cet X, 1987, hal
orang yang dinyatakan tak cakap dalam undang-undang ini tercantum dalam pasal 1330, yaitu: 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh ditetapan undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Untuk lebih jelas nya mengenai perjanjian ada beberapa pendapat dari para Sarjana Ilmu Hukum, menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikat diri terhadap satu orang atau lebih.6
Sedangkan menurut RM. Sudikno Mertokusumo,
pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.7 Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.8 Dari beberapa pengertian tersebut diatas, maka dapat penulis kemukakan, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk melakukan sesuatu hal tertentu. Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian diterapkan dengan sepenuhnya dalam hubungan hukum antara konsumen
6
R.Setiawan, op.cit, 1987, Hlm. 49 RM, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Yogyakarta,1956, Hlm. 96 8 Subekti, op.cit., hlm 1 7
Hukum,
Suatu
Pengantar,
Liberty,
berada pada posisi yang tidak seimbang dari sisi ekonomi, pendidikan dan daya saing dibandingkan dengan kalangan pengusaha. Oleh karena itu, kiranya asas kebebasan berkontrak diadakan pembatasan. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk melindungi konsumen dari kerugian yang dideritanya. Setiap produsen atau pelaku usaha yang memperdagangkan dan atau memproduksi kosmetik yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat dan merugikan kepetingan umum dapat dikenakan sanksi administrasi dan atau sanksi pidana berdasarkan peraturan yang berlaku. Selaku pelaku usaha, memiliki kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUPK, adapun kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud antara lain: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Menurut UUPK, pasal 3 menyebutkan perlindungan konsumen memiliki tujuan, yaitu:
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen.
Istilah konsumen berasal dari bahasa Belanda “consument”. Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari barang dan atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Banyak batasan tentang pengertian konsumen itu sendiri. Adapun pengertian konsumen menurut UUPK, dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. AZ Nasution menggunakan batasan konsumen sebagai berikut: “Setiap orang yang mendapat secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu dalam hal ini untuk kepentingan pribadi, keluarga dan orang lain tidak untuk diperdagangkan.9 Hak-hak konsumen yang harus diperhatikan, pasal 4 UUPK:
9
AZ Nasution, Konsumen dan Hukum, Ctk. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 69.
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa yang digunakan; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Masalah perlindungan konsumen menjadi suatu permasalahan yang menarik dan mendasar untuk dibahas karena banyak dijumpai pelanggaran dalam hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha dan selalu merugikan konsumen tanpa adanya suatu kepastian hukum tentang apa yang menjadi hak atas informasi yang benar, jujur dan bertanggungjawab. Pengertian perlindungan konsumen menurut UUPK dalam pasal 1 ayat (1) adalah “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Perlindungan yang diberikan konsumen karena konsumen tersebut mangalami kerugian dari barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, oleh sebab itu dalam pasal 8 ayat (1) butir a UUPK menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan” dan ayat (2) UUPK “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”. Berdasarkan pada pasal-pasal tersebut diatas, maka pemerintah selaku pengayom negara menetapkan bahwa setiap produk kosmetik yang beredar di masyarakat harus diperiksa terlebih dahulu oleh Badan POM agar terhindar dari hal yang dapat membahayakan kesehatan. Kosmetik memiliki peluang yang
sangat
besar
untuk
terjadinya
bahaya
bagi
konsumen
yang
mengkonsumsinya. Pemeriksaan terhadap kosmetik oleh Badan POM dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk memberi perlindungan bagi konsumen yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai perlindungan konsumen apabila ada konsumen yang mengalami kerugian terhadap produk kosmetik di Yogyakarta. Target kinerja Badan POM anatara lain terkendalinya mutu, keamanan dan khasiat atau kemanfaatan produk obat dan makanan termasuk klim pada label dan iklan diperedaran serta tercegahnya risiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat pengelolaan yang tidak memenuhi syarat. Badan POM melaksanakan penilaian dan registrasi kosmetik sebelum beredar di Indonesia. Selanjutnya melakukan pengawasan peredaran kosmetik, termasuk penandaan dan periklanan. Penegakan hukum dilakukan dengan inspeksi cara
produksi yang baik, sampling, penarikan produk, public warning sampai pro justicia. Hukum perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk mengatasi kondisi-kondisi bila pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum itu tidak seimbang. Hukum perlindungan konsumen adalah memuat asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang atau jasa konsumen, sekaligus juga memberi kepastian bagi produsen dalam menjalankan usahanya dan pemerintah dalam melakukan pengawasan. Lembaga
Konsumen
Yogyakarta
(selanjutnya
disebut
LKY)
merupakan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dan berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. Ketidaktahuan konsumen dan posisi atau kondisi konsumen yang lemah mengakibatkan kecenderungan menghindari konflik akan segala kerugian dan derita yang menimpanya. Konsumen dengan tingkat daya beli yang berbeda memliki hak yang sama. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, hak konsumen tersebut adalah : 1. hak atas keamanan dan keselamatan; 2. hak untuk mendapatkan informasi; 3. hak untuk memilih; 4. hak untuk didengar pendapatnya; 5. hak untuk mendapat ganti rugi;
6. hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen.10 Selain itu, konsumen mempunyai kewajiban antara lain : 1. bersikap kritis; 2. berani bertindak; 3. kewajiban terhadap lingkungan hidup; 4. memiliki kepedulian social; 5. memiliki rasa kesetiakawanan.11 Berdasarkan pada karakteristik permasalahan konsumen diatas, konsekuensi lebih lanjutnya adalah mekanisme penyelesaian pun juga harus mempertimbangkan hal yang sama. Dalam hal ini sudut pandang mesti dipakai adalah bahwa mekanisme penyelesaian sengketa konsumen harus dapat menjadi sarana untuk menyeimbangkan kedudukan antara pihak. UUPK menyebutkan apabila terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen maka dapat diselesaikan melalui Lembga Swadaya Masyarakat (LSM) atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dari masing-masing lembaga tersebut melakukan berbagai upaya perlindungan konsumen dan penyelesaiannya. BPSK adalah badan penyelesaian konsumen yang dibentuk atas amanat UUPK untuk melindungi konsumen. BPSK hanya menangani kasus perdata saja yang umumnya bersifat ganti rugi langsung yang dialami oleh konsumen atas kesalahan atau kelalaian pelaku usaha.
10
YLKI, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran, Buku I, hal.16 Imam Baehaqie, Abdullah,dkk, Menggugat Hak, hal 12
11
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha yang beritikad tidak baik, hal ini diatur dalam pasal 45 ayat (1) yaitu: “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Cara penyelesaian yang dilakukan masing-masing lembaga konsumen tersebut diatas berbeda-beda pada pasal 44 ayat (3) yaitu: Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan: a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; b. memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindumgan konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen tersebut dapat ditempuh melalui jalur pengadilan atau dapat diluar pengadilan. Pasal 47 UUPK menyebutkan: “Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”, sedang pasal 48 UUPK mengenai penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah: “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”.
Akan tetapi berbeda cara penyelesaian yang dilakukan oleh BPSK. Keberadaan badan ini dimaksudkan sebagai tempat penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 52 butir a mengenai tugas dan wewenang BPSK yaitu “melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi”. Keputusan BPSK bersifat final dan mengikat atau dengan kata lain wajib dan harus dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa.
E. Metode Penelitian 1. Obyek penelitian a. Perlindungan hukum bagi konsumen yang membeli produk-produk kosmetik di Yogyakarta. b. Upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen apabila terjadi kerugian sebagai akibat dari penggunaan produk- produk kosmetik di Yogyakarta. 2. Subyek penelitian a. Balai POM Yogyakarta b. Ketua Lembaga Konsumen Yogyakarta c. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Yogyakarta d. Pelaku usaha ( Doctor Kayama ) e. Konsumen yang dirugikan
3. Sumber data a. Data primer Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh dari penelitian lapangan melalui cara interview atau wawancara secara langsung dengan subyek yang diteliti. b. Data sekunder Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari bahanbahan hukum yang terdiri dari 3 bagian: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari bukubuku, makalah dan hasil penelitian terdahulu. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum. 4. Teknik pengumpulan data a. Studi kepustakaan Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan berbagai data yang terdapat dalam buku-buku literatur, makalah, artikel-artikel ilmiah, dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengn obyek yang akan diteliti.
b. Penelitian lapangan Penelitian yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh data langsung dari responden yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 5. Metode pendekatan Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode yuridis sosiologis, artinya menggunakan sumber-sumber data berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pandangan atau pendapat masyarakat dan para ahli hukum. 6. Analisis data Data yang diperoleh dari penelitian kemudian dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu mengelompokan data yang diperoleh dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian, yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti berdasarkan kualitas serta kebenarannya, kemudian diuraikan sehingga diperoleh gambaran dan penjelasan
tentang
kenyataan
yang
sebenarnya,
guna
permasalahan dan kesimpulan dari permasalahan yang ada.
menjawab