PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA Oleh: Hasma Dosen tetap pada Jurusan Syari’ah Sekolah STAIN Watampone
Abstrak: This paper discusses the perspective of marriage in Islam and law in Indonesia. Marriage in Islam has no basis, objectives, requirements, and rukunnya. It was based on God's revelation and explanation of His Messenger, Muhammad Ibn 'Abd Allah. God's revelation has been successfully recorded his companions to be reading the book. He is popularly called the Koran. The explanation of the Prophet have been successful also collected the Companions and their followers recorded (Tabi'in) to become a book. He pupuler called by al-Hadith. In Indonesia marriages were strictly regulated by law in this case Act No. 1 of 1974 on Per¬kawinan. Before this law was enacted, many women are reluctant to sue him in court, most of them prefer silence to endure that endless. The presence of ¬Undang Marriage Act is expected to protect women in order to live in accordance with legal norms and customs regulations. Similarly, the principle contained in Law No. 1 of 1974 on Marriage. Therefore, the principles contained in this legislation is very positive, then all Indonesian citizens must execute consistently. Tulisan ini membahas tentang pernikahan dalam perspektif Islam maupun perundangundangan di Indonesia. Pernikahan dalam Islam mempunyai dasar, tujuan, syarat, dan rukunnya. Hal itu berdasar wahyu Allah dan penjelasannya dari Rasul-Nya: Muhammad Ibn ‘Abdillah. Wahyu Allah telah berhasil dibukukan para sahabatnya sehingga menjadi kitab bacaan. Ia populer disebut dengan al-Qur’an. Penjelasannya dari Rasulullah telah berhasil pula dikumpulkan para sahabat dan dibukukan para pengikut mereka (Tabi’in) sehingga menjadi sebuah buku. Ia pupuler disebut dengan al-Hadist. Di Indonesia pernikahan diatur ketat oleh undang-undang dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelum Undang-Undang ini diberlakukan, kebanyakan kaum perempuan segan menuntut suaminya ke pengadilan, kebanyakan mereka memilih diam dengan menanggung derita yang tidak habis-habisnya. Kehadiran Undang-Undang Perkawinan ini diharapkan dapat melindungi kaum perempuan agar dapat hidup sesuai dengan norma-norma hukum dan adat istiadat yang berlaku. Demikian asas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena prinsip-prinsip yang terkandung dalam undang-undang ini sangat positif, maka seluruh warga negara Indonesia harus melaksanakannya secara konsekuen. Kata kunci: pernikahan, Perspektif Islam, undang-undang perkawinan, Indonesia I. PENDAHULUAN Menikah dan berumah tangga adalah di satu sisi adalah ibadah namun secara bersamaan memuat nilai-nilai mu’amalah, karena terjadi hubungan antara manusia dengan manusia ( suamiiseteri ) dan sekaligus dalam rangka mengikuti tugas mulia yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasul-Nya, yakni: Menikah, berumah tangga dan memiliki keturunan saleh dan solehah. Rasulullah sangat mengharapkan keluarga muslim-muslimah itu mempunyai keturunan yang saleh dan salehah. Rasulullah, dalam perjalanan hidupnya, untuk pertama kalinya menikah
dengan siti Kahdijah. Ia janda kaya raya. Rasulullah mempunyai keturunan: Ruqayah, Zainab, dan Fathimah al-Zahrah. Ketika akan nikah berlangsung, usia Nabi Muhammad 25 tahun sedangkan Khadijah 40 tahun. Khadijah memiliki harta keayaan yang jauh lebih banyak dari pada suaminya (Muhammad). Khadijah memiliki berbagai perusahaan sementara Muhammad, tidak. Jadi, dapat diduga keras bahwa nafkah material bersumber dari Khadijah lebih banyak dari pada dari Muhammad sebagai suaminya. Pernikahan yang sah harus ditandai denan Akad Nikah bukan akad jual-beli yang berorientasi keuntungan antara dua belah pihak yang bertransaksi. Akad nikah, meskipun di dalamnya terdapat mahar dan nafkah dari suami untuk isteri, namun tidak berarti isteri menjual dirinya untuk meraih keuntun gan material dari suaminya. Dan juga sebaliknya, dengan akad nikah, tidak berarti suami telah membeli isterinya sehingga bebas melakukan apa saja terhadap isterinya. Akad Nikah adalah transaksi yang berdasar atas ketulusan guna menta’ati Allah, Rasul dan ketentuan pemerin tah yang berlaku. Dengan kata lain, akad nikah adalah untuk beribadah kepada Allah. Tujuannya adalah guna menghalalkan hubungan mawaddah dan rahmah antara suami-isteri. Dan lebih lanjutnya, guna meraih keturunan yang saleh dan salehah. Akad nikah itu bertolak dari suka-sama suka atau kerelaan. Tentu saja, baik suami maupun isteri terikat konsekwensi untuk saling memenuhi kewajiban dan haknya masingmasing. Ketentuan mengenai pernikahan diatur dalam Islam baik dalam al-qur’an maupun hadis juga Undang-undang. Tulisan ini mencoba melihat bagaimana pernikahan dalam kedua perspektif tersebut baik Islam maupun perundang-undangan di Indonesia. II. PEMBAHASAN A. Pernikahan dalam Perspektif Islam Pernikahan dalam Islam mempunyai dasar, tujuan, syarat, dan rukunnya. Hal itu berdasar wahyu Allah dan penjelasannya dari Rasul-Nya: Muhammad Ibn ‘Abdillah. Wahyu Allah telah berhasil dibukukan para sahabatnya sehingga menjadi kitab bacaan. Ia populer disebut dengan al-Qur’an. Penjelasannya dari Rasulullah telah berhasil pula dikumpulkan para sahabat dan dibukukan para pengikut mereka (Tabi’in) sehingga menjadi sebuah buku. Ia pupuler disebut dengan al-Hadist. Di antara isinya berkenaan dengan hukum pernikahan. Legalitas Ijtihad dalam hukum Islam adalah pernyataan Rasulullah ketika akan mengutus sahabatnya Mu’adz Ibn Jabal yang akan menjadi gubernur Yaman. Ketika itu Rasullah menanyakan kepada Mu’adz Ibn Jabal tentang dasar keputusannya jika tidak secara tektual dimuat al-Qur’an dan al-Hadist. Jawaban mu’adz yang akan melakukan ijtihad dengan menggunakan pendapatnya sendiri mendapatkan apresiasi positip dari Rasulullah. Hasil ijtihad mereka lebih bersifat detail (praktis) dibandingkan al-Qur’an dan al-Hadist yang bersifat umum. Secara redaksional baik al-Qur’an, al-Hadist, maupun al-Ijtihad meliputi Pernyataan, Perintah, dan Larangan. Di antara ayat al-Qur’an yang meliput pernyataan dan perintah adalah tentang pernikahan adalah sebagaimana pada ayat 1 hingga 3 al-Nisa. Pada ayat itu terdapat pernyataan bahwa melalui pernikahan, manusia yang asalnya satu jenis menjadi berkembang biayak (berabak pinak ) menjadi lelaki dan perempuan. Hal ini sebagaimana dinyatakannya :
ﻖ ِﻣ ْﻨﮭَﺎ زَ وْ َﺟﮭَﺎ َوﺑَ ﱠ ﺚ ِﻣ ْﻨﮭُ َﻤﺎ ِر َﺟ ًﺎﻻ َﻛﺜِﯿﺮًا َوﻧِ َﺴﺎء َ َاﺣ َﺪ ٍة َوﺧَ ﻠ ِ ﺲ َو ٍ ﯾَﺎأَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﻨﱠﺎسُ اﺗﱠﻘُﻮا َرﺑﱠ ُﻜ ُﻢ اﻟﱠ ِﺬي ﺧَ ﻠَﻘَ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ﻧَ ْﻔ
Artinya:
(Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak). Jadi, pernikahan adalah medium untuk melahirkan keturunan. Oleh karenanya, maka secara tersirat, tujuan pernikahan itu adalah untuk mendapatkan keturunan.1 Selain keturunan, tujuan pernikahan itu adalah untuk mencipatakan kebahagiaan hidup antara suami-isteri dalam berumah tangga. Sejalan ayat 21 surat al-Rum dalam al-Qur’an: Terjemahnya: (Di antara tanda kekuasaan-Nya menciptakan kamu dari dirimu sendiri berpasangpasangan agar kamu mencapat ketenteraman dan Allah menjadikan kamu mawaddah dan rahmah) Sejalan dengan pernyataan itu, maka kemudian muncul pula pernyataan tentang ketidakadilan kaum lelaki dalam menikahi para wanita Yatimah. Di antara penyebab ketidak-adilan dimaksud karena mereka tidak memberikan mahar yang menjadi hak para isteri. Oleh sebab itu, maka dengan nada yang murka Allah memerintahkan para lelaki untuk menikahi para wanita yang bukan anak yatim dua, tiga atau empat dengan cacatan harus bersikap adil. Dan jika tidak, maka tidak perlu menikahi wanita yang disukai lelaki itu lebih dari satu. Hal ini sebagaimana dimuat ayat 3 surat al-Nisa.
َ ﺎب ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﻣﻦَ اﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء َﻣ ْﺜﻨَﻰ َوﺛُ َﻼ ث َو ُرﺑَﺎ َع ﻓَﺈ ِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ أَ ﱠﻻ ﺗَ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا َ َإِ ْن ِﺧ ْﻔﺘُ ْﻢ أَ ﱠﻻ ﺗُ ْﻘ ِﺴﻄُﻮا ﻓِﻲ ْاﻟﯿَﺘَﺎ َﻣﻰ ﻓَﺎ ْﻧ ِﻜﺤُﻮا َﻣﺎ ط ْ اﺣ َﺪةً أَوْ َﻣﺎ َﻣﻠَ َﻜ (3)ﺖ أَ ْﯾ َﻤﺎﻧُ ُﻜ ْﻢ َذﻟِﻚَ أَ ْدﻧَﻰ أَ ﱠﻻ ﺗَﻌُﻮﻟُﻮا ِ ﻓَ َﻮ Terjemahnya: (Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya ).2 Meskipun ayat al-Qur’an itu membuka peluang kepada mu’minin untuk menikahi lebih dari 1 orang mu’minat dan dia akan berusaha berbuat adil, namun keadilan itu tak akan pernah akan tercapai menurut Allah sendiri dalam ayat 129 surat al-Nisa:
ﻖ َ ﻟَ ْﻦ ﺗَ ْﺴﺘ َِﻄﯿﻌُﻮا أَ ْن ﺗَ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا ﺑَ ْﯿﻦَ اﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء َوﻟَﻮْ َﺣ َﺮﺻْ ﺘُ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَ ِﻤﯿﻠُﻮا ُﻛ ﱠﻞ ْاﻟ َﻤﯿ ِْﻞ ﻓَﺘَ َﺬرُوھَﺎ َﻛ ْﺎﻟ ُﻤ َﻌﻠﱠ Terjemahnya: 1
Banyak kisah al-Quran memuat seorang suami yang berdo’ kepada Allah untuk dikaruniai anaknya yang saleh. Misalnya: Ibrahim As sebagaimana dalam ayat al-Qur’an 2 Departemen Agama RI., op.cit., h. 115
(Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung ).3 Bersamana pernyataan dan perintah yang dimuat ayat di atas, ayat al-Qur’an ada yang mememerintahkan untuk menikahi orang yang sendirian dan orang-orang yang layak dinikahi dari kalangan para hamba sahaya baik lelaki maupun perempuan. Hal ini sebagaimana dimuat ayat 32 surat al-Nur:
……َوأَ ْﻧ ِﻜﺤُﻮا ْاﻷَﯾَﺎ َﻣﻰ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َواﻟﺼﱠﺎﻟِ ِﺤﯿﻦَ ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَﺎ ِد ُﻛ ْﻢ َوإِ َﻣﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ Terjemahnya: (Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba yang baik-baik sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan).4 Ayat ini kemudian diperkuat oleh ayat 221 surat al-Baqarah tentang larangan menikahi kaum musyrikini sehingga mereka beriman. Teks ayat itu berbunyi:
ْ َوﻻَ ﺗُﻨ ِﻜﺤ ُﻮا ا ْﻟ ُﻤ ِﺸ ِﺮ ِﻛﯿﻦَ َﺣﺘﱠﻰ ﯾ ُْﺆ ِﻣﻨُﻮا Terjemahnya: (Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman). 5 Demikian pula seperti yang dikemukakan pada ayat 232 alBaqarah .. اﺟﮭ ﱠُﻦ ُ …ﻓَﻼَ ﺗَ ْﻌ.. َ ﻀﻠُﻮھ ﱠُﻦ أَن ﯾَﻨ ِﻜﺤْ ﻦَ أَ ْز َو Ayat-ayat itu kemudian dikonfirmasi Rasulullah melalui sanbda dan parktek pernikahannya. Di antara sabdanya bertalian dengan betapa pentingnya pernikahan itu dilakukan oleh mu’minin dan mu’minat guna meraih keturunan. Dalam hal ini berlaiy bersabda :
ْ َ ْﺼ ِﺮ َوأَﺣ ج َو َﻣ ْﻦ ﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَ َﻌﻠَ ْﯿ ِﮫ َ َب َﻣ ِﻦ ا ْﺳﺘَﻄَﺎ َع ﻣﻨﻜﻢ ْاﻟﺒَﺎ َءةَ ﻓَ ْﻠﯿَﺘَﺰَ ﱠوجْ ﻓَﺈِﻧﱠﮫُ أَﻏَﺾﱡ ﻟِ ْﻠﺒ ِ ﯾَﺎ َﻣ ْﻌ َﺸ َﺮ اﻟ ﱠﺸﺒَﺎ ِ ْﺼ ُﻦ ﻟِﻠﻔَﺮ :6ﺑِﺎﻟﺼﱠﻮْ ِم ﻓَﺈِﻧﱠﮫُ ﻟَﮫُ ِو َﺟﺎ ٌء Artinya: (Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu kawin, hendaklah dia kawin, karena sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan mata (tidak lagi mata 3
Ibid.., h. 143 Departemen Agama RI, Al-Qur’an, op.cit., h. 549 5 Ibid., h. 53 6 Abiy ‘Abdullah Buhammad bin Isma’il al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy, Jilid III (Beirut-Libanon: Dar al-Ma’rifah, t.th.), h. 238 4
keranjang terhadap orang yang tidak halal dilihatnya) dan akan memeliharanya dari godaan syahwat (nafsu sex), dan barangsiapa yang tidak mampu kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa nafsu birahinya terhadap perempuan akan berkurang ).” Bersama dengan sabda tersebut, Rasulullah pun mengemukakan tentang praktek pernikahannya kepada para pemuda yang berhasrat untuk tidak makan daging, tidak akan tidur di kasur sebagaimana yang diriwayatkan Anas Ibn Malik dari salah seorang sahabat Nabi. Teks hadist itu adalah sebagai berikut:
ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ْ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻋ َْﻦ َﻋ َﻤﻠِ ِﮫ َ اج اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ َ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠ ﱠ َﻢ َﺳﺄَﻟُﻮا أَ ْز َو َ ب اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ ِ ﺲ أَ ﱠن ﻧَﻔَﺮًا ِﻣ ْﻦ أَﺻْ َﺤﺎ ٍ َﻋﻦ أَﻧ ش ﻓَ َﺤ ِﻤ َﺪ ﱠ ُ ﺎل ﺑَ ْﻌ ُ ﺎل ﺑَ ْﻌ ُ ﺎل ﺑَ ْﻌ َ َﻀﮭُ ْﻢ َﻻ آ ُﻛ ُﻞ اﻟﻠﱠﺤْ َﻢ َوﻗ َ َﻀﮭُ ْﻢ َﻻ أَﺗَﺰَ ﱠو ُج اﻟﻨﱢ َﺴﺎ َء َوﻗ َ َﻓِﻲ اﻟﺴﱢﺮﱢ ﻓَﻘ َﷲ ٍ ﻀﮭُ ْﻢ َﻻ أَﻧَﺎ ُم َﻋﻠَﻰ ﻓِ َﺮا ﺐ ﻋ َْﻦ َ ﺻﻠﱢﻲ َوأَﻧَﺎ ُم َوأَﺻُﻮ ُم َوأُ ْﻓ ِﻄ ُﺮ َوأَﺗَﺰَ ﱠو ُج اﻟﻨﱢ َﺴﺎ َء ﻓَ َﻤ ْﻦ َر ِﻏ َ ُﺎل َﻣﺎ ﺑَﺎ ُل أَ ْﻗ َﻮ ٍام ﻗَﺎﻟُﻮا َﻛ َﺬا َو َﻛ َﺬا ﻟَ ِﻜﻨﱢﻲ أ َ ََوأَ ْﺛﻨَﻰ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ ﻓَﻘ 7
ْﺲ ِﻣﻨﱢﻲ َ ُﺳﻨﱠﺘِﻲ ﻓَﻠَﯿ
Artinya: (Dari Anas bin Malik ra., (katanya): “Bahwasanya sekelompok dari sahabat nabi saw. datang bertanya kepada istri Nabi saw. tentang amalan yang dikerjakannya secara diamdiam. Maka sebahagian mereka berkata saya tidak akan menikahi perempuan, dan sebahagian mereka berkata saya tidak akan makan daging, dan sebagian lagi mengatakan saya tidak akan tidur di atas kasur (berjaga pada waktu malam) dengan senantiasa memuji dan menyanjung-Nya. maka Nabi saw bersabda: Apa yang dihendaki kaum tersebut? Mereka mengatakan begini dan begitu,? Padahal, saya sendiri salat, saya juga tidur, berpuasa, makan dan mengawini beberapa orang perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia bukan termasuk ummatku). Dan terdapat pula sabdanya yang bertalian dengan tujuan nikah itu adalah guna melahirkan keturunan. Oleh sebab itu maka beliau memerintahkan untuk menikahi wanita yang berpotensi memiliki keturunan. Dalam hal ini beliau bersabda:
()رواه اﺣﻤﺪ8 ِﺗَ َﺰ ﱠو ُﺟﻮا اﻟْ َﻮ ُدو َد ْاﻟ َﻮﻟُﻮ َد إِﻧﱢﻲ ُﻣ َﻜﺎﺛِ ٌﺮ ْاﻷ َ ْﻧﺒِﯿَﺎ َء ﯾَﻮْ َم اﻟْﻘِﯿَﺎ َﻣﺔ Artinya: (Nikahilah perempuan-perempuan yang pencinta dan yang subur karena saya akan berbangga dengan jumlahmu kepada nabi-nabi lain di hari kiamat). Dengan demikian tujuan pernikahan itu adalah dalam rangka menta’ati perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya. Dengan pernikahan yang sah penyalurkan hasrat seksual antara lelaki dan perempuan yang saling mencintai bukan hubungan seksual yang berdasar atas zina yang bertolak dari hawa nafsu belaka. Dengan menikah maka akan lahir keturunan yang saleh dan salehah yang akan membawa bahagia bukan hanya ketika bersenggama melainkan ketika membina putera-puteri itu tumbuh-berkembang dan berprestasi sehingga akan menjadi anak yang disinyalir Rasulullah, yakni: Anak Saleh yang akan mendo’akan orang tua setelah ia mati. Dalam hal ini Rasulullah bersada:
7
Imam Abiy al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim, al-Jami’ al-Shahih, Juz III, op.cit., h. 128 Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah al-Syaibani, “Musnad Ahmad Juz 3” ,op..cit., h. 158
8
ُ اﻹ ْﻧ َﺴ ُﺢ ﯾَ ْﺪ ُﻋﻮ ﻟَﮫ َ ﺎرﯾَ ٍﺔ أَوْ ِﻋ ْﻠ ٍﻢ ﯾُ ْﻨﺘَﻔَ ُﻊ ﺑِ ِﮫ أَوْ َوﻟَ ٍﺪ َ ﺎن ا ْﻧﻘَﻄَ َﻊ َﻋ ْﻨﮫُ َﻋ َﻤﻠُﮫُ إِ ﱠﻻ ِﻣ ْﻦ ﺛَ َﻼﺛَ ٍﺔ إِ ﱠﻻ ِﻣ ْﻦ ِ ْ َإِ َذا َﻣﺎت ِ ﺻ َﺪﻗَ ٍﺔ َﺟ ٍ ِﺻﺎﻟ
9
Artinya: (Jika manusia wafat, putuslah amalnya kecuali tiga: Shadaqah jariayah, atau llmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang selalu mendo’akannya ). Bertolak dari teks al-Qur’an dan al-Hadist tentang legalitas pernikahan dalam Islam, maka para ulama dan umara telah melakukan rumusan tentang syarat dan rukun nikah itu. Jika syarat berada di diluar akad nikah, maka rukun bertalian dengan akad nikah. Syarat nikah bertalian dengan keadaan bakal calon suami-isteri. Calon pasangan disyaratkan : 1. Bukan adik-kakak atau satu persusuan 2. Masing-masing tidak terpaksa 3. Mahar 4. Harus Sekufu dalam keyakinan atau agama 5. Mempelai laki-laki beragama Islam; 6. Terang bahwa mempelai laki-laki betul adalah laki-laki, 7. Orangnya diketahui dan tertentu; 8. Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon mempelai perempuan; 9. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu bahwa calon istrinya halal baginya; 10. Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan. 11. Tidak sedang melakukan ihram; 12 Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istrinya; Tidak sedang mempunyai istri empat Sementara pada mempelai perempuan syaratnya, antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Beragama Islam atau Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani); Terang bahwa ia perempuan bukan khunsa; Perempuan itu tertentu orangnya; Halal bagi calon suami; Perempuan itu bukan dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah; Tidak dipaksa ; Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.10
Dari beberapa syarat yang telah disebutkan di atas, bagi calon mempelai perempuan masih terdapat pertimbangan lain yang penting,di antaranya yakni masalah nasab, susuan, muzaharah,11 sumpah li’an12 yang merupakan larangan kawin buat selama-lamanya. Di samping itu ada juga larangan kawin buat sementara, di antaranya mengumpulkan dua orang bersaudara 13 maupun saudara sepersusuan dalam waktu yang bersamaan, dan perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan dengan laki-laki lain14, perempuan yang sedang menjalani iddah baik iddah cerai maupun iddah yang ditinggal mati oleh suaminya15, perempuan yang ditalak tiga,16 serta 9
Imam Abiy al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim, al-Jami’ al-Shahih, Jilid, 3, Juz V , op.cit., h.
73 10
Ibid. h.54 Lihat Q.S. al-Nisa’ (4) : 23 12 Lihat Q.S. al-Nur (24) : 6-9 13 Lihat Q.S. al-Nisa’ (4) :23 14 Lihat Q.S. al-Nisa’ (4) :24 15 Lihat Q.S. al-Baqarah (2) : 228, dan 234 11
perempuan yang sedang melakukan ihram. Bahkan termasuk perempuan yang musyrik.17 Sementara rukunnya adalah harus melalui suatu akad ( perjanjian) nikah untuk menjadi sepasang suamai isteri. Dalam pelaksanaannya akan melibatkan: (1) Calon suami-isteri (2) wali sebagai Aqid ( yang menikahkan ) (3) mahar (4) Sigat. (5) Masing-masing telah cukup umur dan tidak sakit atau gila18 B. Undang-Undangan Pernikahan di Indonesia 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk diseluruh luar Jawa dan Madura Undang-undang ini merupakan peraturan yang diperlakukan di daerah-daerah luar Jawa dan Madura kecuali Sumatera yang telah ditetapkan berlakunya Undang-Undang No.22 Tahun 1946 tersebut oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan surat keputusannya tanggal 14 Juni 1949 No.1 pdri/ka,masih berlaku “Huwelijksordonantie Buitengewesten” (Staatsblad 1932 No.482) yang mempunyai sifat-sifat yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini.19 Berhubung karena di daerah-daerah Swapraja di luar Jawa dan Madura, yang tidak sedikit jumlahnya “Huwelijksordonantie Buitengewesten” pada umumya tidak berlaku, sehingga cara pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di daerah Swapraja tersebut beraneka warna adanya, menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk tiap-tiap Swapraja masing-masing. Di daerah-daerah yang dulu masuk Negara Bagian sebagai Negara Sumatera Timur, Pasundan, Negara Jawa Timur dan sebagainya. Sehubungan dengan pergantian-pergantian pemerintah mungkin masih ada daerah-daerah yang masih menjalankan peraturan-peraturan tentang pencatatan Nikah, Talak Rujuk yang lain dari pada Undang-undang No.22 tahun 1946 tersebut di atas. Dengan adanya Undang-undang No.22 Tahun 1946 tersebut, dengan sendirinya menghilankan keragu-raguan mengenai berlakunya peraturan tersebut untuk seluruh Indonesia. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 dikenal istilah Pegawai Pencatat Nikah,Talak dan Rujuk ,yang lazim disingkat PPN. Untuk di luar Jawa dan Madura dibantu oleh tokoh-tokoh agama di desa-desa yang dianggap mampu dan cakap, mereka itu bukan Pegawai Negeri, diangkat menjadi Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Tujuk, hal ini diatur dengan surat ketetapan Menteri Agama No. 14 Tahun 1955, sedang Pembatu Pencatat Pegawai Nikah, Talak dan Rujuk yang disingkat menjadi P3NTR. 16
Lihat Q.S. al-Baqrrah (2) : 230 Lihat Q.S. al-Baqarah (2) : 221 18 lihat Abd. Al-Rahman al-Jaziriy, op.cit., h. 12. ; lihat juga Muhammad Husain al-Zahabiy, al-Syari’ah al-Islamiyah (Cet. II; Mesir: Matba’ah Dar al-Ta’lif, 1968), h. 50. Menurut Ulama Syafi’iyah, rukun perkawinan adalah; 1) calon mempelai laki-laki, 2) calon mempelai perempuan, 3) wali, 4) dua orang saksi, 5) siqat.18 Sedangkan Ulama Hanafiyah, rukun perkawinan adalah; 1) calon mempelai laki-laki, 2) calon mempelai perempuan, 3) dua orang saksi, 4) siqat , 5) ijab-qabul. 19 Lihat, Lampiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946, pada Buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN, (Departemen Agama RI Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji , Jakarta, 2003), 78 17
2. Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura; Keberadaan Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya UndangUndang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura; merupakan penyempunaan tentang aturan pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku khusus di Jawa dan Madura, Olehnya itu, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 hanya mengatur tentang pencatatan Nikah,Talak dan Rujuk saja bagi seluruh Warga Negara Republik Indonesia tidak mengenai prosedurnya. Untuk melengkapi aturan tersebut, pemerintah besama dengan Wakil rakyat menelorkan Undang-undang No.1/1974 tentang Perkawinan yang belaku secara Nasional bagi warga Negara Republik Indonesia.baik yang beragama Islam maupun non Islamndang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; C. Undang-Undang No.1/1974 tentang perkawinan merupakan undang-undang yang mengatur perkawinan bagi Warga Negara Republik Indonesia, yang berlaku secara nasional baik yang beragama Islam maupun non Islam. Dalam undang-undang ini memuat asas-asas perkawinan, sebagai berikut: 1.Asas Sukarela Dalam Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membenuk keluarga yang sejahtera, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.20 Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu 21 Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar perkawinan terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.22 Agar suami istri dapat membentuk keluarga bahagia dan sejahtera serta kekal, maka diwajibkan kepada calon mempelai untuk saling kenal terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud di sini adalah perkenalan atas dasar moral dan tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya. Orang tua dilarang memaksa anak-anaknya untuk di jodohkan dengan laki-laki atau perempuan pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan menuntut anak-anaknya agar memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran agama yang mereka peluk, Dengan demikian kawin paksa dilarang. Batas umur yang dikehendaki Undang-Undang Perkawinan ini yaitu minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.. Penyimpangan dari batas umur ini harus mendapat dispensasi
20
H.Zainal Abidin Abubakar,Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama (Cet.3:Yayasan al-Hikmah; Jakarta, 1993), h. 123 21 Lihat, Pasal 2 ayat (1) Ibid. 22 Lihat, Pasal 6 ayat (1), Ibid.125
terlebih dahulu dari pengadilan.23 Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai batas umur minimal sebagaimana tersebut di atas. Antara kedua calon mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka harapkan. 2. Asas Partisipasi Keluarga Meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya berdasarkan asas sukarela, tetapi karena perkawinan itu merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, maka partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan tersebut. Pihak keluarga masing-masing pihak diharapkan memberikan restu perkawinan yang dilaksanakan itu. Hal ini adalah sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang penuh etika sopan santun dan religius. Sehubungan dengan hal tersebut di atas bagi para mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tuanya, 24 jika ia hendak melangsungkan akad pernikahannya. Dalam keadaan orang tuanya tidak ada atau tidak mampu menyatakan kehendaknya. maka izin itu dapat diperoleh dari walinya, atau keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas.25 Seandainya pihak-pihak tersebut itu menyatakan keberatannya maka izin untuk melangsungkan perkawinan dapat diperoleh dari Pengadilan Umum bagi orang-orang nonmuslim dan Pengadilan Agama bagi orang Islam.26 Partisipasi keluarga yang diharapkan dalam hal peminangan dan dalam hal pelaksanaan perkawinan. Dengan demikian, diharapkan dapat terjalin hubungan silaturahim antar keluarga pihak mempelai laki-laki dengan keluarga pihak mempelai perempuan. 3. Perceraian Dipersulit
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha semaksimal mungkin perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka perceraian kepada titik yang paling rendah. Pembuat undang-undang ini menyadari bahwa perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada pasangan suami istri tersebut, tetapi juga kepada anak-anak yang mestinya harus diasuh dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah menikah secara sah harus bertanggung jawab dalam membina keluarga agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat utuh sampai hayat dikandung badan. Kebanyakan sosiolog mengemukakan bahwa berhasil atau tidaknya membina suatu masyarakat sangat ditentukan oleh masalah perkawinan yang merupakan salah satu faktor di antara beberapa faktor yang lain. Kegagalan membina rumah tangga bukan saja membahayakan rumah tangga itu sendiri, tetapi juga sangat berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Hampir separuh dari kenakalan remaja yang terjadi beberapa negara diakibatkan oleh keluarga yang berantakan. Di suatu masyarakat yang banyak terjadinya perceraian merupakan ukuran kondisi dari masyarakat tersebut.27 Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu hak suami harus segera dihilangkan. Pemikiran yang keliru ini harus segera diperbaiki dan dihilangkan 23
Lihat, Pasal 7 ayat (1,2) Ibiid Lihat Pasal 6 ayat (2) Ibid. 25 Lihat Pasal 6 ayat (4) Iibid. 26 Lihat Pasal 1 ayat (b) PP. No9/1975 tentang Pelaksanaan UUP. No.1/1974 tentang Perkawinan., Ibid., 24
h. 150 27
Lihat Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata slam di Indoneia (Ed.1, Cet.I; Kencana Media Group: Jakarta, 2006), h. 8
dalam masyarakat. Hak cerai tidak dipegang oleh suami saja, tetapi istri pun dapat menggugat suami untuk meminta cerai apabila ada hal-hal yang menurut keyakinannya, bahwa rumah tangga yang dibina itu tidak mungkin diteruskan. Untuk itu, undang-undang ini merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan.28 Perceraian yang dilaksanakan di luar sidang pengadilan dianggap tidak mepunyai landasan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya. Pengadilan berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan agar rukun kembali, hal ini dilakukan pada setiap sidang dilaksanakan. Undang-Undang Perkawinan tidak melarang perceraian, hanya dipersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan terjadinya perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, itu pun harus dilaksanakan dengan secara baik di hadapan sidang pengadilan. Perceraian yang demikian ini rnerupakan hal baru dalam masyarakat Indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepeuuhnya berada di tangan suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara semaunya. Pelaksanaan yang seperti ini sungguh sangat memprihatinkan pihak istri, biasanya pihak suami setelah menceraikan istrinya sama sekali tidak memperhatikan hak-hak istri dan anak-anaknya. 4. Poligami Dibatasi dengan Ketat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pernerintah Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah "Poligami" yang sudah populer dalam masyarakat. Menurut UndangUndang Perkawinan ini adalah perkawinan yang bersifat monogami, namun demikian beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari istri melalui Pengadilan Agama. Dalam Pasa1 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus ada alasan-alasan yaitu (1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. 29 Tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan alasan-alasan tersebut diserahkan kepada hakim. Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakah atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif yaitu (1) Persetujuan dari istri atau istri-istrimya, kalau ada harus diucapkan di muka majelis hakim; (2) kemampuan dari material dari orang bermaksud menikah lebih dari satu orang; dan (3) jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya30 apabila ia sudah menikah, jaminan berlaku adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim. Apabila syarat-syarat ini sudah terpenuhi secara kumulatif, maka barulah Pengadilan Agama memberi izin kepada pemohon untuk melaksanakan perkawinan lebih dari satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak berdasarkan hukum dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 45 PP. No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang No.1/1974 tentang Perkawinan ini.31 Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap kaum perempuan. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu 28
Lihat Pasal 39 ayat (1),H.Zainal Abidin Abubakar, op.cit., h. 132 Ibid., h. 124 30 Lihat Pasal 5 ayat (1) Ibid. 31 Pasal 45 ayat (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perudang-undangan yang berlaku, a. Barangsiapa yang melanggar ketentaun yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (Tujuh ribu lima ratus rupiah. Ibid. h. 163 29
orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubumgan dengan istri muda (madunya istri tua) rnenjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. hal ini biasanya terjadi kaIau ayah telah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang kawin lebih dari satu orang, maka Undang-Undang Perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-Undang Perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul membawa manfaat kepada mereka yang melaksanakannya. 5. Kematangan Calon Mempelai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinau mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur pernikahan baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki diharapkan lajunya kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin, dengan demikian program Keluarga Berencana Nasional dapat berjalan seiring dan sejalan dengan undang-undang ini. Sehubungan dengan hal tersebut, perkawinan di bawah umur dilarang keras dan harus dicegah pelaksanaannya. Pencegahan ini semata-mata didasarkan agar kedua mempelai dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan yang mereka langsungkan itu dari perkawinan yang telah mencapai batas umur maupun rohani. Sebagaimana telah dikemukakan pada poin terdahulu, bahwa Undang-Undang Perkawinan membatasi umur untuk melaksanakan perkawinan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Penyimpangan dari batas umur minimal umur perkawinan ini harus mendapat dispensasi pengadilan terlebih dahulu, 32 setelah itu baru perkawinan dapat dilaksanakan. Pihak-pihak berkepentingan dilarang keras membantu melaksanakan perkawinan di bawah umur. Pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan itu dapat dikenakan sanksi dengan peraturan yang berlaku. Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai dalam rumah tangga yang selalu mendapat taufik dan hidayah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Agar hal ini dapat terlaksana, maka kematangan calon mempelai sangat diharapkan, kematangan dimaksud di sini adalah kematangan umur perkawinan, kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan sebagaimana tersebut di atas dapat terlaksana dengan baik. 6. Memperbaiki Derajat Kaum Perempuan Kehadirau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum perempuan. Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan ini, banyak suami yang memperlakukan istrinya dengan tindakan sewenang-wenang, menceraikan istrinya begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Tindakan suami yang demikian itu, banyak kaum perempuan mengalami penderitaan yang tidak putus-putus. Mereka harus mencari nafkah hidup untuk membiayai dirinya dan juga anak-anaknya yang seharusnya terjadi tanggung jawab pihak suami. Banyak suami meninggalkan begitu saja istrinya tanpa memikirkan biaya hidup yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Secara lahiriah, perempuan makhluk yang paling banyak memerlukan perlindungan, pengayoman, dan kasih sayang. Tindakan suami yang tidak bertanggung jawab kepada istrinya merupakan pukulan moril bagi seorang istri dan ia akan menanggung penderitaan sepanjang hidupnya. 32
Lihat Pasal 7 ayat (1,2) , loc.cit.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diharapkan pada masa yang akan datang suami harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap istri dan anak-anaknya di dalam hal pemeliharaan dan perlindunganya. Perceraian tidak boleh dilakukan oleh seorang suami secara sembarangan, tetapi harus dengan cara yang baik setelah mendapat persetujuan pengadilan. Di dalam sidang pengadilan akan ditetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipikul oleh suami baik sebelum dan sesudah perceraian dilaksanakan. Demikian juga dalam kawin lebih dari satu orang, harus dilakukan secara tertib sehingga istri-istri dalam keluarga itu dapat perlindungan dan tidak merasa dirugikan sebagai akibat dari perkawinan itu. Oleh karena itu, kawin lebih dari satu orang baru dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari Pengadilan Agama. Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan, kebanyakan kaum perempuan segan menuntut suaminya ke pengadilan, kebanyakan mereka memilih diam dengan menanggung derita yang tidak habis-habisnya. Kehadiran Undang-Undang Perkawinan ini diharapkan dapat melindungi kaum perempuan agar dapat hidup sesuai dengan norma-norma hukum dan adat istiadat yang berlaku. Demikian asas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena prinsip-prinsip yang terkandung dalam undang-undang ini sangat positif, maka seluruh warga negara Indonesia harus melaksanakannya secara konsekuen. Apabila Undang-Undang Perkawinan ini dilaksanakan secara bertanggung jawab, maka keluarga bahagia dan sejahtera yang dicita-citakan akan terlaksana dengan baik dan selalu mendapat ridha dari Tuhan Yang Mahakuasa. Tidak lagi terjadi kekacauan dalam masyarakat, asal usul anak menjadi jelas, perlindungan kepada kaum perempuan menjadi lebih baik, dan hak-hak asasi manusia dihormati sesuai dengan normanorma yang berlaku.
D. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa RUU tentang Perkawinan diterima dengan suara bulat dalam sidang paripurna pada tanggal 22 Desember 1973 yang bertepatan dengan hari Ibu. Diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setelah mengalami beberapa proses selama 15 bulan lamanya, maka pada tanggal 1 April 1975 diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah ini dimuat dalam LN Nomor 12 Tahun 1975, Tambahan LN Nomor 3050 Tahun 1975. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini terdiri dari 49 pasal dan 10 bab. Pelaksanaan yang diatur dalam peraturan ini terdapat dua bagian yaitu (1) pelaksanaan yang berhubungan dengan pelaksanaan nikah yang menjadi tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan (2) pelaksanaan yang dilaksanakan oleh pengadilan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Peradilan Umum bagi warga negara yang non-muslim dan Peradilan Agama yang muslim. Pelaksanaan terhadap hal terakhir ini dilaksanakan terhadap beberapa persoalan hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian.33 Adapun materi pokok dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Ketentuan Umum Dalam ketentuan umum peraturan ini dikemukakan hahwa yang dimaksud dengan undang-undang adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, .33Abdul Mannan, op.cit., h.13
sedangkan yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Negeri dan pengadilan Tinggi yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum, sedangkan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Yang dimaksud dengan Pegawai pencatat Nikah (PPN) adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian pada KUA kecamatan bagi umat Islam dan catatan sipil bagi nonmuslim. 2. Pencatatan Perkawinan Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku 34 Di negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan penceraian (dan ruju’). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah: a.) Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Ruju' bagi orang beragama Islam (lihat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954). b) Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk kepada: (1) Stb. 1933 Nomor 75 jo. Stb. Nomor 1936 Nomor 607 tentang Peraturan Pencatatan Sipil untuk orang Indonesia, Kristen, Jawa, Madura, Minahasa, dari Ambonia. (2) Stb. 1847 Nomor 23 tentang Peraturan Perkawinan dilakukan menurut ketentuan Stb. 1849 Nomor 25 yaitu tentang Pencatatan Sipil Eropa. (3) Stb. 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan Stb. 1917 Nomor 130 jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang Peraturan Pencatatan Sipil Campuran. (4) Pencatatan Sipil untuk Perkawinan Campuran sebagaimana diatur dalam Stb. 1904 Nomor 279. (5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang Kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas, pencatatan perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil berdasarkan ketentuan Pasal 3 sampai dengan 9 peraturan ini.35 Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan di wilayahnya masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan ini dapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan dari pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan konkret tentang data NTR. 3. Tata Cara Perkawinan dan Akta Perkawinan Bagi seseorang yang bermaksud melangsungkan perkawinan terlebih dahulu memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat nikah.36 Pemberitahuan ini boleh dilakukan oleh orang tua atau walinya. Pegawai pencatat perkawinan setelah menerima laporan tersebut segera meneliti syarat-syarat perkawinan apakah telah terpenuhi atau belum, apakah ada halangan kawin menurut agama dan undang-undang, demikian surat-surat yang dijadikan syarat administrasi sudah terpenuhi atau belum. Jika belum cukup syarat-syarat yang diperlukan, maka Pegawai Pencatat Nikah segera memberitahukan kepada yang bersangkutan untuk segera dipenuhi, kecuali dalam hal terdapat halangan kawin menurut agama dan undangundang, maka Pegawai Pencatat Nikah baru menolaknya. Jika syarat-syarat nikah telah memenuhi ketentuan yang telah diatur oleh peraturan yang berlaku, maka Pegawai Pencatat Nikah membuat 34
Lihat Pasal 2 ayat (1,2) ,H.Zainal Abidin Abubakar, op.cit,. h. 123-124 Ibid., h.14-15 36 Lihat (Psl. 3 ayat (1) PP. No.9/1975) Ibid., h. 151. 35
pengumuman tentang pemberitahuan yang sudah dibaca oleh khalayak ramai (umum). Pengumuman yang serupa juga barus ditempelkan pada Kantor Pegawai Pencatat Nikah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman masing-masing calon pengantin/ mempelai jika mereka berlainan tempat tinggal. Perkawinan baru dapat dilaksanakan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman tersebut ditempelkan37 Ketentuan ini dimaksud untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang menurut pendapatnya perkawinan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena ada halangan menurut agama dan undang-undang atau tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh peraturan perundangan yang berlaku. Perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Perkawinan harus dihadiri oleh saksi dan dihadiri pula oleh Pegawai Pencatat Nikah. 38 Bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, akad nikahnya dilaksanakan oleh wali nikah atau orang yang mewakilinya. Sesaat sesudah berlangsungnya pernikahan tersebut, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, seterusnya diikuti pula oleh saksi-saksi, wali nikah, dan pegawai pencatat yang bertugas untuk mencatat perkawinan tersebut. Dengan selesainya penandatanganan akta perkawinan tersebut, maka perkawinan yang telah dilaksanakan itu telah dianggap sah dan telah tercatat secara resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku 39 Akta perkawinan adalah sebuah daftar besar yang memuat identitas kedua mempelai, orang tua atau walinya atau juga wakilnya. Juga memuat tanda-tanda surat yang diperlukan, seperti izin kawin, dispensasi kawin, izin poligami, izin Panglima TNI/ Menteri HANKAM bagi anggota TNI dan Kapolri bagi anggota Polri. Kepada suami dan istri yang telah melangsungkan perkawinan diberikan kutipan akta nikah yang berbentuk buku dan disebut dengan "Buku Nikah". Kutipan akta perkawinan inilah yang menjadi bukti autentik bagi kedua suami dan istri. Apabila pencatatan sudah selesai, maka petugas pencatat nikah segera menyerahkan kutipan akta nikah yang disebut buku nikah kepada laki-laki dan juga untuk mempelai perempuan. Harus diteliti dengan saksama apakah buku nikah itu telah diisi/ ditulis identitas dengan benar, telah dipasang pasfoto kedua mempelai dan sudah ditandatangani oleh yang berwenang. Dalam buku akta nikah dimuat perjanjian ta'lik yang biasanya materi ta'1ik talak itu diucapkan oleh mempelai pria sesaat akad nikah dilaksanakan. Perjanjian ta'lik talak ini mempunyai tujuan untuk melindungi kaum perempuan (istri) dari perlakuan sewenangwenang pihak suami. Apabila perjanjian ta'lik talak itu dilanggar oleh pihak suami, maka pihak istri diberi wewenang untuk menggugat cerai kepada Pengadilan Agama. Agar perjanjian ta'lik talak mempunyai dasar hukum yang kuat, maka setelah pihak mempelai pria mengucapkan ta'lik talak itu petugas pencatat pernikahan segera meminta tanda tangan rnempelai laki-laki untuk dibubuhkan pada lembar perjanjian ta'lik talak itu. Ta'lik talak yang tidak ada tanda tangan mempelai laki-laki dianggap tidak sah dan karenanya dianggap tidak pernah mengucapkannya. III. PENUTUP Pernikahan dalam Islam mempunyai dasar, tujuan, syarat, dan rukunnya. Hal itu berdasar wahyu Allah dan penjelasannya dari Rasul-Nya: Muhammad Ibn ‘Abdillah. Wahyu Allah telah berhasil dibukukan para sahabatnya sehingga menjadi kitab bacaan. Ia populer disebut dengan al-Qur’an. Penjelasannya dari Rasulullah telah berhasil pula dikumpulkan para sahabat dan
37
Lihat (Psl.3 (2) PP. No.9/1975). Ibid Lihat, (Psl. 10 (3) PP.No.9/1975) Ibid., h.153 39 Lihat (Psl. 11 (1,2,3) PP.No.9/1975). Ibid., h. 154 38
dibukukan para pengikut mereka (Tabi’in) sehingga menjadi sebuah buku. Ia pupuler disebut dengan al-Hadist. Tujuan pernikahan itu adalah dalam rangka menta’ati perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya. Dengan pernikahan yang sah penyalurkan hasrat seksual antara lelaki dan perempuan yang saling mencintai bukan hubungan seksual yang berdasar atas zina yang bertolak dari hawa nafsu belaka. Dengan menikah maka akan lahir keturunan yang saleh dan salehah yang akan membawa bahagia bukan hanya ketika bersenggama melainkan ketika membina putera-puteri itu tumbuh-berkembang dan berprestasi sehingga akan menjadi anak yang disinyalir Rasulullah, yakni: Anak Saleh yang akan mendo’akan orang tua setelah ia mati. Pernikahan di Indonesia selain berpedoman kepada al-qur’an dan hadis juga diatur oleh Undang-undang pernikahan yang hingga kini banyak aturan yang mengikat, namun sejak tahun 1975berpedonan kepada No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana undang-undang ini dalam pelaksanaannya diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 salah satu bagian penting yang harus diperhatiakan adalah pendaftaran pernikahan dan pelaksanaanya serta akta perkawinan semua ini harus diperhatikan oleh kedua belah pihak agar pernikahannya meraih hidup bahagia dunia dan akhiran jangan sekali-kali menikah dibawah tangan tanpa status jelas, akibatnya akan merugikan semua pihak terutama istri dan anak dari hasil perkawinan yang tidak terdaftar karena mereka tak berhak memperoleh harta warisan dan harta gono gini, dll. DAFTAR RUJUKAN Abubakar, Zainal Abidin. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama (Cet.3:Yayasan al-Hikmah; Jakarta, 1993. Bukhariy, Abiy ‘Abdullah Buhammad bin Isma’il. Shahih al-Bukhariy, Jilid III (Beirut-Libanon: Dar al-Ma’rifah, t.th. Jaziriy, Abd. Al-Rahman. Mannan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata slam di Indoneia (Ed.1, Cet.I; Kencana Media Group: Jakarta, 2006 Muslim, Imam Abiy al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin al-Jami’ al-Shahih, Juz III. Syaibani, Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah. “Musnad Ahmad Juz 3” Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946, pada Buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Departemen Agama RI Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji , Jakarta, 2003. Zahabiy, Muhammad Husain. al-Syari’ah al-Islamiyah Cet. II; Mesir: Matba’ah Dar al-Ta’lif, 1968.