PERMASALAHAN-PERMASALAHAN SOSIAL PADA MASA ORDE BARU DALAM LIMA PUISI WIJI THUKUL oleh Ria Maha Putri, M. Yoesoef
[email protected] Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ABSTRAK Judul Skripsi: Protes-Protes atas Permasalahan Sosial dalam Lima Puisi Wiji Thukul Skripsi ini mendeskripsikan lima puisi Wiji Thukul di tahun 1986-1996 yang terdapat dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru. Lima puisi itu berjudul “Apa yang berharga dari puisiku, “Peringatan”,” Nyanyian Akar Rumput”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, dan Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa”. Dalam skripsi ini, penulis menganalisis struktur instrinsik dapat merepleksikan keadaan yang dianalisis dari segi bahasa pengarang dalam membuat puisi. Penulis juga menganalisis struktur ekstrinsik yang ada dalam puisi, yakni analisis protes sosial yang dijelaskan pengarang.
Dalam skripsi ini juga menjelaskan
keterkaitan antara struktur instrinsik dan ekstrinsik. Kata Kunci: Wiji Thukul, Lima Puisi, Protes Sosial. ABSTRAC Title : The reactions toward The Social Problems in the poems Wiji Thukul This paper describes the five phoems of Wiji Thukul’s poem in 1986-1996 which was taken from the poem collection of Aku ingin jadi Peluru. The five poems titled “Apa yang Berharga dari puisiku”, “Peringatan”, “Nyanyian Akar Rumput”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, and “Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa”. In this paper, the writer analyses the intrinsic elementsby investigating social reflection through the research of figurative language and the image of the poems. The writer also analyses the extrinsic elements by investigating the problems toward social protest reflection in the poems Wiji Thukul, and the explanation of the social condition of the author. In other words, the paper explains the relationship between intrinsic and extrinsic elements when a work is created. Keywords : Wiji Thukul, Five Poems, Social Reaction. PENDAHULUAN Karya sastra merupakan hasil rekaan yang dibuat manusia, baik lisan maupun tulisan.Karya sastra, seperti novel, puisi, dan cerpen diciptakan salah satunya untuk dipahami dan dijadikan bahan pembelajaran. Menurut Damono (1978:1), karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan. Sebuah karya sastra dapat memberikan gambaran mengenai berbagai segi kehidupan masyarakat.Melalui karya sastra, pengarang dapat
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
menggambarkan situasi yang terjadi pada diri atau lingkungannya.Karya sastra juga biasadigunakan pengarang sebagai sarana untuk mengomunikasikan berbagai gagasannya. Dalam proses pembuatan karya sastra, pengarang dapat terinspirasi dari peristiwa di sekelilingnya. Sebagai contoh, dalam kumpulan sajak Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul, pengarang banyak menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia yang sangat memprihatinkan pada masa Orde Baru karena terinspirasi dari keadaan masyarakat Indonesia pada saat itu. Dalam kumpulan sajak tersebut, disiratkan berbagai permasalahan masyarakat Indonesia pada masa itu, seperti banyak anak Indonesia yang putus sekolah, sulitnya orang mendapatkan pekerjaan, dan kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai untuk masyarakat. Penulis puisi pamflet antara lain, W.S Rendra, Taufik Ismail, Soe Hok Gie, dan Wiji Thukul (Waluyo, 1995:62). Wiji Thukul merupakan salah satu tokoh demonstrasi yang juga diketahui menulis sajak-sajak pamflet ataupun sajak demonstrasi.Selama ini, Wiji Thukul dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakkan PRD (Partai Rakyat Demokratik).Wiji Thukul adalah seorang sastrawan yang menciptakan karya-karyanya dengan bahasa yang lugas dan frontal. Dalam sajak-sajaknya tersebut ia banyak mengkritisi sebuah pemerintahan yang otoriter. Berbicara mengenai pemerintahan apalagi yang otoriter memang tidak ada habisnya.Ada cukup banyak karya sastra yang mengangkat mengenai hal ini.Menarik untuk melihat bagaimana karya sastra, khususnya puisi, mengangkat persoalan pemerintahan yang otoriter. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk menganalisis persoalan-persoalan yan terjadi pada masa Orde Baru pada lima puisi Wiji Thukul, yakni “Apa yang Berharga dari Puisiku”, “Peringatan”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “ Nyanyian Akar Rumut”, dan “ Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa” dalam kumpulan puisi yang berjudul Sajak Aku Ingin Jadi Peluru yang menggambarkan keadaan masyarakat pada masa Orde Baru Gambaran Keadaan Rakyat Indonesia pada Masa Orde Baru Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu (terj.), (2013: 267), mengungkapkan pada tahun 1976-1978 terjadi persoalan kemiskinan di Indonesia, yakni 40% penduduk berpenghasilan kurang dari 90 USD per tahun, pengangguran naik hingga dua juta jiwa setiap tahun. Tingkat konsumsi 40% penduduk miskin pendesaan turun hingga tiga persen per tahun. Masyarakat Indonesia mengalami masa-masa sulit hal ini disebabkan karena pemerintah mengutamakan pembangunan di kota dibandingkan di desa. Pemerintah banyak melakukan pembangunan di kota sedangkan di desa kurang diperhatikan, sehinggat terjadilah
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
ketimpangan antara di kota dan di desa. Terutama membangun masyarakat desa dan memberikan kesempatan belajara dan mengenyam pendidikan yang tinggi bagi masyarakat desa agar masyarakat dapat mengelola sumber daya alam daerahnya masing-masing. Namun, pada kenyataannya membangun masyarakat desa secara mandiri belum berhasil dilakukan pemerintah, bahkan pada kenyataannya banyak anggaran pendidikan dan beberapa anggaran daerah untuk mensejahterakan rakyatnya banyak yang dikorupsi. Masyarakat desa tidak dapat mengelola sumber daya alam disebabkan karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki sehingga sumber daya alam yang harusnya dikelola oleh masyarakat jadi dikelola oleh pihak asing karena banyak penduduk desa tidak memiliki pendidikan yang tinggi disebabkan biaya sekolah mahal seperti yang dikatakan Utomo (2005: 2) biaya sekolah yang mahal makin lama tak terjangkau sehingga semakin sulit menyekolahkan anak sampai pendidikan tinggi. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam seharusnya dapat dikelola secara mandiri oleh penduduk setempat. Namun, kenyataanya pemerintah Orde Baru yang terkenal dengan pembangunannya, realitanya tidak dapat membangun desa dengan baik. Masyarakat desa yang tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi tidak ahli dalam mengelola daerahnya, alhasil masyarakat desa yang bodoh karena tidak ada soft skill mengelola daerah tempat tinggalnya, sehingga yang mengelola kekayaan sumber daya alam indonesa seperti tambang emas, nikel, tembaga, dll dikelola oleh pihak asing dan yang untung adalah pihak asing. Sumber daya alam seperti tambang yang ada di Papua dikelola pihak asing karena masyarakatnya tidak dapat mengelola sumber daya alam yang ada, karena tidak memiliki pendidikan yang menunjang dalam mengelola sumber daya alam di daerah asalnya. Akibatnya, banyak masyarakat di desa berpindah ke kota (urbanisasi). Masyarakat desa masih beranggapan bahwa hidup di kota besar seperti Jakarta, mereka akan mendapatkan kehidupan yang layak. Namun, setelah sampai kota banyak rakyat miskin yang sulit mencari pekerjaan yang layak karena pendidikan mereka biasanya hanya tingkat SD atau paling tinggi tingkat SMP. Sehingga sampai di kota besarpun seperti di Jakarta mereka hanya dapat bekerja sebagai buruh atau kuli, dengan penghasilan yang sangat kecil. Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu (terj.), (2013: 268), pada 1979 upah standar adalah Rp 350 (0,56 dolar) untuk delapan jam kerja, sementara buruh perempuan dan anak-anak dibayar kurang dari itu. Kepala Federasi Buruh Seluruh Indonesia yang dikontrol KOPKAMTIB, Agus Sudono, menyatakan 60% buruh Indonesia dibayar lebih rendah dari kebutuhan hidup mereka.
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Menurut Sediono (2010: 249), pada zaman Orde Baru banyak anak yang putus sekolah dan kesempatan kerja terbatas, sulitnya mencari pekerjaan sehingga banyak yang bekerja menjadi kuli, calo, pengamen, polisi gadungan, pengemis, dan tukang parkir. Akibatnya mereka tidak mampu untuk membeli tanah untuk membangun rumah sehingga banyak yang mendirikan rumah di pinggir rel kereta api atau bantaran sungai seperti sungai ciliwung. Penduduk miskin yang berada di kota tinggal di bangunan tambal-sulam, di pinggir jalan, bantaran sungai, dan di bawah jembatan, banyak dari mereka yang mendirikan rumah yang terbuat dari karton, potongan kardus bekas, dan terkadang papan besi, bahkan mereka terpaksa pindah karena digusur oleh pemerintah daerah, petugas militer, atau kepolisian karena didirikan tanpa izin atau didirikan secara ilegal. Padahal Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa yang dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan penduduknya di masing-masing daerah dengan potensi yang ada di daerahnya. Padahal apabila desa itu melaksanakan sistem kuat mengenai cultur dan kembali lagi direvitilisasi secara membudaya, maka urbanisasi bisa menjadi terbalik dari kota ke desa. Hal ini, dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dari berbabagi pihak, yakni pemerintah, swasta, dan juga masyarakat setempat. Menurut Mr Kazuhisa Matsui, dalam kuliah Jepang Kontemporer Antar Disiplin di pusat Studi Jepang FIB, ia mengatakan untuk membuat penduduk desa sejahtera, pemerintah daerah dan pusat dapat melaksanakan program revitalisasi, cara-cara revitalisasi, yakni dapat memanfaatkan orang luar kemudian galakkan (volunter) komunitas pencinta desa, membuat produk banggaan, dan berupaya untuk meningkatkan perhatian luar dengan promosi melalui media sosial. Oleh sebab itu, perlunya kerjasama antar berbagai elemen, pemerintah, swasta, pihak asing, dan masyarakat untuk menaikan devisa daerah khususnya di tempat tersebut, dalam harmoni Kebhinekaaan menuju Masyarakat Sejahtera dan Mandiri. Menurut Mr Kazuhisa Matsui, dalam perubahan paradigma pertumbuhan ekonomi di Jepang, ada kaum muda yang menuju Desa.Mereka diharapkan menjadi pelopor untuk meningkatan nilai Desa dengan bentuk bisnis komunitas atau sosial yang baru dan berkelanjutan.Pengembangan produk dapat dilakukan awalnya dengan memanfaatkan sumber daya lokal dengan memenuhi aspek kearifan lokal daerah setempat.Pembangunan desa dapat dilakukan mengutamakan “only one” atau lokalitas yang hanya ada di desa kita, dan meningkatkan mutunya secara berkelanjutan yang dapat meningkatkan lapangan pekerjaan di desa sehingga desa dapat diibaratkan seperti gula didatangi semut (didatangi turis asing dan lokal) yang otomatis dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Faktanya banyak masalah yang terjadi di Indonesia karena pemerintah kurang cakap mengelola alam yang Tuhan berikan, Pemerintah hanya mengutamakan kepentingan pribadi sebagian kalangan tertentu dibandingkan kepentingan rakyatnya. Sehingga tidak heran banyak jabatan pemerintah digunakan secara sewenang-wenang untuk mementingkan ego para kaum borjuis di atas segalanya dibandingkan kepentingan rakyat. Hal inilah menimbulkan berbagai masalah, seperti masalah pendidikan, kelaparan, kesehatan, penggusuran, pekerjaan, dan masalah hukum seperti yang tercermin di dalam lima puisi Wiji Thukul. Lima Puisi Wiji Thukul tersebut merefleksikan keadaan situasi pada masa Orde Baru. Refleksi Keadaan Situasi Pada Masa Orde Baru Sajak-sajak Wiji Thukul tahun 1986-1997 yang dapat merefleksikan situasi pada masa Orde Baru “Apa yang Berharga dari Puisiku”, “Nyanyian Akar Rumput”, “Peringatan”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Aku Masih Utuh dan kata-kata Belum Binasa” Penjabaran refleksi keadaan sosial, adalah sebagai berikut. Permasalahan-Permasalahan pada masa Orde Baru yang direfleksikan dari Lima Puisi Wiji Thukul Masalah Pendidikan dan Kelaparan Puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku“ bait demi baitnya merupakan protes rakyat kepada pemerintah terhadap berbagai persoalan hidup. Sejak 1970 jumlah penduduk Indonesia miskin mencapai angka 60% dari total penduduk Indonesia (Zon, 2004: 3). Rakyat yang mengalami kemiskinan di Indonesia semakin meningkat. Hal ini menyebabkan rakyat sulit memenuhi kebutuhan hidup sehingga terjadi berbagai persoalan, seperti masalah pendidikan dan kelaparan. Menurut Utomo (2005: 2) biaya sekolah mahal dan semakin lama semakin tak terjangkau sehingga semakin sulit menyekolahkan anak sampai pendidikan tinggi sama halnya dengan yang ada pada kutipan apa yang berharga dari puisiku kalau adikku tak berangkat sekolah karena belum membayar uang spp dan jika yang dimakan tidak ada?
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Kutipan di atas menggambarkan pada masa Orde Baru banyak rakyat miskin yang putus sekolah karena biaya sekolah mahal, jangankan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok seperti makan saja rakyat mengalami kesulitan. Pada masa Orde Baru banyak rakyat miskin yang mengalami kelaparan karena harga-harga bahan pokok mahal. Pada masa itu memenuhi kebutuhan pokok saja sulit apalagi memenuhi kebutuhan yang lain. Masalah Pekerjaan Puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” dan Puisi yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” sama-sama membicarakan tentang masalah pekerjaan. Menurut Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu (terj.), (2013: 267) penduduk miskin Indonesia harus bekerja lebih keras dan lebih lama untuk dapat bertahan hidup. Salah satu kutipan dari puisi “Apa yang Berharga dari Puisiku” berbunyi Padahal becak-becak terdesak oleh bis kota kalau bis kota lebih murah siapa yang salah Dari kutipan tersebut tergambar persoalan-persoalan tarif yang tidak adil pada masa itu. Harga bus lebih murah dibandingkan becak, sehingga orang-orang lebih memilih naik bus dibandingkan becak. Pada sajak itu aku lirik mengungkapkan kekecewaannya yang ditunjukkan pada pemerintah karena pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab mengatur negara agar sejahtera, sehingga tidak terjadi permasalahan
dalam
pekerjaan.
Pada
sajak
ini
sebenarnya
Wiji
Thukul
menggambarkan kehidupan di sekitarnya karena ayahnya Wiji Thukul adalah tukang becak (Suyono, dkk. dalam Tempo, 2013:108). Menurut Zon (2004 :5—7) pada masa Orde Baru tahun 1998 tingkat pengangguran melonjak hingga 20 juta orang, sama seperti yang ada pada kutipan dari puisi yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” berikut di majalaya ada kawan eman buruh pabrik handuk dulu kini luntanglantung cari kerjaan Kutipan tersebut dapat diartikan bahwa pada masa Orde Baru rakyat miskin sulit untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga pada masa itu banyak orang yang menjadi
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
pengangguran. Rakyat sulit mendapatkan gaji yang sesuai dengan kerja keras yang dilakukan, seperti pada kutipan di cigugur ada kawan siti punya cerita harus lembur sampai pagi pulang lunglai lemas letih membungkuk 24 jam ya 24 jam. Selanjutnya, permasalahan gaji yang tidak sesuai dengan kerja keras sehingga banyak buruh yang melaksanakan aksi mogok, seperti pada kutipan di lembang ada kawan Sofyan jualan bakso kini karea dipecat perusahaan karena mogok karena ingin perbaikan karena upah yak karena upah
Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa buruh sulit melaksanakan mogok untuk kenaikan gaji karena apabila melaksanakan mogok kerja buruh tersebut akan dipecat. Kutipan ini merefleksikan keadaan pada masa Orde Baru memang terdapat peraturan mengenai pemogokkan kerja. Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu (terj.), (2013: 268) pada 1979 upah standar adalah Rp. 350 (0,56 dolar) untuk delapan jam kerja; buruh perempuan dan anak-anak dibayar kurang dari ini. Kepala Federasi Buruh Seluruh Indonesia yang dikontrol KOPKAMTIB, Agus Sudono, menyatakan 60% buruh Indonesia dibayar lebih rendah dari kebutuhan hidup mereka. Pada Orde Baru pemerintah mengeluarkan peraturan untuk buruh yang mogok lebih dari enam hari maka buruh tersebut dianggap mengundurkan diri dari pekerjaannya. Peraturan mengenai pemutusan tenaga kerja, yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 04/Men/1986, selanjutnya digantikan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 03/Men/1996 tentang cara pemutusan hubungan kerja. Dalam peraturan ini diberikan batasan kepada buruh untuk menolak melakukan pekerjaan dengan cara mogok, yaitu selama-lamanya enam hari berturut-turut, apabila buruh melakukan aksi mogok lebih dari enam hari, buruh tersebut dianggap mengundurkan diri. Peraturan ini semakin membuat buruh tersubordinasi. Masalah Kesehatan
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” dan puisi yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” sama-sama membicarakan tentang masalah kesehatan. Pada puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” tergambar masalah kesehatan pada kutipan Apa yang berharga dari puisiku kalau orang sakit di rumah karena rumah sakit mahal? Makna dari puisi ini adalah rakyat miskin sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena biaya rumah sakit mahal. Oleh karena itu, rakyat miskin lebih memilih tinggal di rumah dan tidak berobat. Puisi ini merupakan protes terhadap pemerintah yang mengelola negara. Seharusnya pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan biaya rumah sakit yang murah untuk rakyat miskin sehingga rakyat miskin dapat berobat ke rumah sakit. Pendapatan rakyat miskin yang rendah pun mengakibatkan rakyat sulit memenuhi kebutuhan hidupnya seperti berobat di rumah sakit. Pada puisi berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” masalah kesehatan terdapat pada kutipan di cimahi ada kawan udin buruh sablon kemarin kami datang dia bilang umpama ronsen pasti nampak isi dadaku ini pasti rusak/ karena amoniak ya amoniak Kutipan ini merupakan refleksi dari keadaan buruh yang bekerja di pabrik berbahan kimia. Amonia adalah gas tajam yang tidak berwarna dengan titik didih 35,5 derajat celcius cairannya mempunyai panas penguapan yang bebas yaitu 1,37 Kj/g pada titik didihnya dan dapat ditangani dengan peralatan laboratorium yang biasa. Cairan Nitrogen (NH3) mirip air dalam perilaku fisikanya bergabung dengan sangat kuat melalui ikatan hidrogen. Tetapan dielektriknya -22 pada -34 derajat celcius kira-kira 81 untuk H2O pada 25 derajat cukup tinggi untuk membuatnya sebagai pelarut pengion yang baik (Cotton dan Wilkinson, 1989). Amonia dan garamgaramnya bersifat mudah larut dalam air. Ion amonium adalah bentuk transisi dari amonia. Amonia banyak digunakan dalam proses produksi urea, industri bahan kimia, serta industri bubur kertas dan kertas (pulp dan paper). Tinja dari biota akuatik yang
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik. Amonia apabila terhirup oleh manusia dengan jumlah yang besar, sangat berbahaya bagi kesehatan manusia terutama kesehatan paru-paru. Buruh pabrik rentan sekali terkena zat kimia berbahaya. Oleh sebab itu, sangat disarankan bagi pengusaha yang mendirikan pabrik, pengolahan limbahnya harus sudah baik agar masyarakat sekitar dan para buruh pekerja tidak terkena dampak dari bahan-bahan kimia yang sangat berbahaya bagi tubuh. Kutipan ini merupakan refleksi dari keadaan buruh pada masa Orde Baru dan keadaan sekitar Wiji Thukul. Selain menanggapi hal ini dengan membuat puisi, pada tahun 1992, Wiji Thukul juga pernah membantuk masyarakat yang protes terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli. Masalah Penggusuran Puisi yang berjudul “Nyanyian Akar Rumput” dan puisi yang berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” sama-sama membicarakan tentang masalah penggusuran. Pada puisi berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” tergambar masalah penggusuran pada kutipan jalan raya dilebarkan kami terusir mendirikan kampung digusur kami pindah-pindah menempel di tembok-ditembok-tembok tercabut terbuang kami rumput/butuh tanah. Dalam puisi yang berjudul “Apa yang Berharga dari Puisiku” terdapat kutipan berikut Kalau kami terdesak mendirikan rumah Di tanah-tanah pinggir selokan Sementara harga tanah semakin mahal Kami tak mampu membeli
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
yang merefleksikan keadaan masa Orde Baru. Dari kutipan tersebut tergambar bahwa pada masa itu harga tanahnya mahal, masyarakat tidak mampu membeli tanah sehingga banyak yang mendirikan rumah di pinggir rel kereta api atau di pinggiran sungai, tetapi keadaan tersebut menyalahi aturan sehingga banyak juga yang terkena penggusuran. Menurut Southwood dan Flanangan dalam buku Teror Soeharto, Komunitas Bambu (terj.), (2013: 267) pada masa Orde Baru, penduduk miskin yang berada di kota banyak yang tinggal di bangunan tambal-sulam, di pinggir jalan, bantaran sungai, dan di bawah jembatan karena harga tanah mahal. Rumah-rumah mereka terbuat dari karton, potongan kardus bekas, dan terkadang papan besi, bahkan mereka terpaksa pindah karena digusur oleh pemerintah daerah, petugas militer, atau kepolisian. Bukan hanya
masyarakat yang berada di wilayah pinggiran rel atau
sungai yang digusur, tetapi masyarakat yang berada di wilayah perkotaan atau pesisir perkotaan juga ikut tergusur. Jika rumah mereka berada di tempat pemukiman yang strategis untuk mendirikan mal atau proyek-proyek pemerintah yang lain, mereka harus merelakan rumah mereka digusur kalau pemerintah memintanya. Menurut Anggota IKAPI yang berjudul Masih(kah) Indonesia (2000: 49—50) (2007: 49—50) mengungkapkan bahwa Orde Baru telah menjadi bagian sistem ekonomi global yang berwatak dasar eksploitatif—kapitalistik dekatnya pengusaha— dan pengusaha menyebabkan terjadi investasi luar biasa pada proyek-proyek pembangunan gedung, seperti Dragon Tower, pembangunan Sudirman Central Business District (CBD), Mega Kuningan, BNI City, Waterfront Development, dan lain-lain. Presiden Soeharto juga mencanangkan Jakarta Waterfront City, sebuah megaproyek yang mentransformasikan daerah pesisir ibukota menjadi kota terpadu dengan kantor, apartemen, dan hotel berbentuk pencakar langit di atas ekstensi lahan buatan. Menurut Yoesoef (2003: 63—64), pemerintah sebagai pihak yang menentukan kebijakan
pembangunan
bebas
melaksanakan
berbagai
langkah
yang
bisa
mengamankan dan menyukseskan pembangunan. Dalam hal ini rakyat adalah pihak yang diabaikan.Meskipun ada wakil rakyat di DPR,sebagian besar mereka tidak menjadi perwakilan rakyat yang sesungguhnya. Dalam melaksanakan proses perencanaan, sudah diketahui secara jelas bahwa pemerintah dipastikan mendapat persetujuan tentang proyek pembangunan yang mereka rencanakan dan mendapat legitimasi yang kuat dari wakil-wakil rakyat yang sebenarnya tidak mewakili kepentingan rakyat, tetapikepentingan pribadi dan kalangannya.
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Masalah Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) Menurut Iskandar, dkk. (2007: 128) Rezim Orde Baru telah melakukan tindakan antidemokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM).Amnesty International pun dalam laporannya pada 10 Juli 1991, menyebutkan bahwa Indonesia dan beberapa negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur, sebagai negara pelanggar HAM. Dalam tahun yang sama, Human Development Report yang disusun oleh United Nation Development Program menetapkan Indonesia berada pada urutan ke-77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong d.k.k, 2005: 190). Pada puisi berjudul “Peringatan” tergambar masalah pelanggaran hak asasi manusia.Masyarakat yang mengeluarkan pendapat dianggap melawan pemerintah dan banyak dari mereka yang melawan pemerintah hilang atau meninggal secara misterius seperti pada kasus-kasus di atas. Di dalam puisi, hal tersebut tercermin pada kutipan dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan menganggu keamanan. Maknanya dari kutipan tersebut adalah rakyat pada masa Orde Baru dilarang mengeluarkan kritikan dan saran karena akan dinilai subversif (melawan pemerintah). Pemerintah membuat peraturan perundang-undangan subversif yang diatur oleh Peraturan Presiden No.11 tahun 1963.Pada pemerintahan Orde Baru undang-undang ini sering dijadikan landasan dalam menangkap orang-orang yang dianggap melawan pemerintahan seperti yang pernah terjadi pada pada saat melaksanakan aksi buruh PT Siritex.Pada aksi ini, Wiji Thukul ditangkap dan dipukuli hingga matanya hampir buta. Hal ini juga yang menyebabkan Wiji Thukul menulis di salah satu bait sajak yang berjudul “Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa” /ia tak mati-mati meski bola mataku diganti/. Menurut Sunyono, dkk (2013: 100), Wiji Thukul menggelar demonstrasi tersebut bersama aktivis Partai Rakyat Demokratik lainnya dari Pusat Perjuangan Buruh Indonesia dan Solidaritas Mahasiswa untuk Buruh. Pada saat itu ribuan buruh melakukan pemogokkan kerja pada tanggal 11 Desember 1995 untuk menuntut kenaikan gaji buruh yang dibayar hanya Rp 1.600 per hari, jauh dari gaji minimal provinsi Rp 2.600 per hari. Pada saat menuntut kenaikan gaji PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di Desa Jetis, Kabupaten Sukoharjo ketika itu datang Kodim
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
(Komando Distrik Militer) yang memukuli Wiji Thukul ke kap mobil aparat militer hingga matanya hampir buta. Pada puisi “Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa” terdapat kutipan /meski bercerai dengan rumah/ ditusuk-tusuk sepi/ kutipan tersebut bermakna tentang perasaan Wiji Thukul yang sedang dirasakannya ketika menjadi buronan dan harus berpisah dengan keluarganya,Wiji Thukul merasakan kesepian yang sangat sebagai refleksi dari peristiwa kehidupan Wiji Thukul yang menjadi buronan, sehingga harus berpisah dengan keluarga
karena dianggap dalang dari kerusuhan 27 Juli 1996.
Penguasa Orde Baru sangat otoriter dan melarang segala bentuk keritik dan saran. Hak mengeluarkan pendapat tidak ada, ruang gerak media mempublikasikan sesuatu yang berkaitan dengan penguasa harus diperiksa dan bila tidak sesuai yang diinginkan penguasa akibatnya dapat fatal seperti pelarangan penerbitan yang lebih parah dapat dihentikannya izin terbit seperti yang dipaparkan berikut ini. Menurut Asia Watch (dalam Semma, 2008:134) masa Orde Baru adalah masa pemerintahan yang sangat jelas menonjolkan ideologi diktator-otoriter. Ini tercermin pada saat pemerintah mencabut izin 14 penerbitan termasuk tujuh surat kabar utama di Jakarta selama dua minggu. Kemudian, sepanjang tahun 1980-an pers Indonesia terus mengalami pelarangan demi pelarangan. Sebagai contoh, Jurnal Ekuin yang dilarang terbit akibat menulis tentang keputusan pemerintah Indonesia untuk mengurangi harga minyak yang dapat merugikan negara. Selanjutnya pada tahun 1983, saat terjadinya permasalahan kesenjangan antara kaum borjuis dan proletar, tiga buah majalah dilarang terbit karena menerbitkan masalah kesenjangan tersebut yang dianggap sensitif oleh pemerintah. Damono
(1978:34)
mengungkapkan
bahwa
pemerintah
sebenarnya
menganggap bahwa tulisan atau karangan dari sastrawan seperti Wiji Thukul memiliki peran yang penting bahkan dapat mempengaruhi sistem kekokohan yang ada di pemerintahan. Oleh sebab itu, tulisan-tulisannya dikontrol oleh penguasa, apabila dianggap melawan dan mengkritik pemerintah maka izin penerbitan akan dicabut. Hal serupa sebenarnya sudah pernah terjadi di negara Rusia dan Cina yang memiliki pandangan umum tentang hubungan antara sastra dan Marxisme. Di beberapa negara komunis tersebut, pemerintah akan mengarahkan karya-karya sastrawan untuk menuruti garis partai sehingga di negara-negara tersebut dapat diketahui partailah
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
yang menentukan segala-galanya. Apabila ada karya sastra yang melenceng dari garis partai, akan dianggap tidak sesuai untuk masyarakat dan akan disingkirkan. Menurut Hisyam (2003:58), bukan hanya keotoriteran yang sangat mendominasi pada kepemimpinan Soeharto, tetapi rezim Orde Baru memang sangat antikritik. Hal ini terlihat ketika ada orang yang mengkritik dan melawan sistem pemerintahan, maka orang tersebut akan berhadapan langsung dengan aparat militer, seperti yang dialami para mahasiswa yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Selain itu seperti kasus kerusuhan Malari, banyak mahasiswa yang ditangkap dan dianggap dalang pada kerusuhan tersebut di zaman Orde Baru. Wiji Thukul yang banyak menulis tentang sajak-sajak yang berisi protes terhadap pemerintahan Orde Baru juga menjadi buronan. Pelarangan yang dilakukan pemerintah tersebut membuat Wiji Thukul tidak gentar bahkan semakin sering menulis puisi-puisi yang berisi protes. Selanjutnya, penulis memaparkan permasalahan Indonesia pada masa Orde Baru dalam bentuk tabel. Refleksi dari Situasi Sosial dan Sosial Pengarang Pada Masa Orde Baru No 1
Sajak
Refleksi dalam Sajak
“Apa yang Berharga dari Apa yang berharga dari puisiku Puisiku” kalau adikku tak berangkat sekolah karena belum membayar uang spp dan jika yang dimakan tidak ada?
Realitas Sosial Pengarang Pada 1978 terjadi persoalan kemiskinan di Indonesia, yakni 40 % penduduk berpenghasilan kurang dari 90 USD per tahun sehingga masyarakat banyak yang putus sekolah.
2
“Nyanian Akar Rumput” jalan raya dilebarkan kami terusir mendirikan kampung digusur kami pindah-pindah menempel di tembokditembok-tembok tercabut terbuang kami rumput butuh tanah
Pada 1978 terjadi persoalan kemiskinan di Indonesia, yakni 40 % penduduk berpenghasilan kurang dari 90 USD. Realitas yang terjadi pada masa Orde Baru adalah penduduk miskin banyak yang tinggal di bangunan tambal-sulam, di pinggir jalan, bantaran
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
sungai, dan di bawah jembatan karena harga tanah mahal. Rumah-rumah mereka terbuat dari karton, potongan kardus bekas, dan terkadang papan besi, bahkan mereka terpaksa pindah karena digusur oleh pemerintah daerah, petugas militer, atau kepolisian. 3
4
“Peringatan”
“Satu Mimpi Satu Barisan”
dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan menganggu keamanan
Pada masa pemerintahan
di lembang ada kawan Sofyanjualan bakso kini karena dipecat perusahaankarena mogok karena ingin perbaikankarena upah yak karena upah
Pada
Orde Baru kritikan merupakan tindakan pelarangan, apabila melaksanakan kritikan akan dianggap subversif akan ditindak dengan Peraturan Presiden No.11 tahun 1963. 1979
upah
standar
adalah Rp 350 (0,56 dolar) untuk delapan jam kerja; buruh perempuan dan anakanak dibayar kurang dari ini. Menurut Buruh
Kepala Seluruh
Federasi Indonesia
yang. KOPKAMTIB Agus Sudono buruh
menyatakan Indonesia
60%
dibayar
lebih rendah dari kebutuhan hidup. 5
“Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum
aku bukan artis Refleksi dari kehidupan Wiji pembuat berita Thukul yang menjadi tapi aku memang
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Binasa”
selalu kabar buruk bagi penguasa puisiku bukan puisi tapi kata-kata gelap ia tak mati-mati meski bola mataku diganti meski bercerai dengan rumah ditusuk-tusuk sepi ia tak mati-mati kau masih utuh dan kata-kata belum binasa
buronan, berpisah
sehingga dengan
harus keluarga
karena dianggap dalang dari kerusuhan 27 Juli 1996. Menurut
Sunyono,
dkk
(2013: 100),Wiji Thukul juga pernah
menggelar
demonstrasi bersama aktivis Partai Rakyat Demokratik lainnya
dari
Pusat
Perjuangan Buruh Indonesia dan Solidaritas Mahasiswa untuk Buruh. Pada saat itu ribuan
buruh
pemogokkan
melakukan kerja
pada
tanggal 11 Desember 1995 untuk gaji
menuntut buruh
kenaikan
yang
dibayar
hanya Rp 1600 per hari, jauh dari
gaji minimal provinsi
Rp 2.600 per hari. Pada saat menuntut kenaikan gaji PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di Desa
Jetis,
Kabupaten
Sukoharjo ketika itu datang Kodim
(Komando
Distrik
Militer) yang memukuli Wiji Thukul ke kap mobil aparat militer
hingga
matanya
hampir buta. Berdasarkan tabel di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa ternyata kelima puisi itu saling berkaitan satu sama lain. Kelima puisi itu mengangkat permasalahan yang sama, yakni mengenai rakyat Indonesia yang mengalami berbagai kesulitan diakibatkan dari
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
keotoriteran pemerintahan Orde Baru, yakni masalah kelaparan, kesehatan, pekerjaaan, pendidikan, penggusuran, dan hukum. Semua permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah tanggung jawab pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki wewenang dan kekuasaan dalam membuat kebijakan seharusnya pemerintah dapat dengan cakap mengatur dan mengelola Indonesia yang sangat kaya sumber daya alamnya. Namun, pada kenyataannya yang terjadi pemerintah tidak melakukan kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya hanya mementingkan kepentingan segelelintir golongan saja, yakni para kaum borjuis (kalangan menengan atas), akibatnya terjadinya ketimpangan ekonomi dan timbulnya berbagai permasalahan bangsa karena pemerintah pada pasa Orde Baru tidak pernah mau mendengar keluhan yang terjadi kalangan rakyat miskin, mementingkan kepentingan pribadi. Gambaran Permasalahan Indonesia Pada Lima Puisi Wiji Thukul No 1
Judul Puisi
Permasalahan
“Apa yang Berharga dari Puisi yang ditulis tahun 1986 ini menggambarkan Puisiku”
pertanyaan-pertanyaan batin Wiji Thukul tentang kontribusi apa yang ia dapat ia berikan untuk bangsa Indonesia
yang
sedang
kesulitan
memenuhi
kebutuhan sandang, pangan, dan papan karena dipimpin penguasa yang zalim. 2.
“Peringatan”
Puisi yang ditulis pada tahun 1986 menggambarkan situasi Indonesia yang semakin bobrok karena dipimpin oleh pemimpin yang otoriter dan antikritik.
3.
“Nyanyian Akar Rumput”
Puisi yang ditulis tahun 1988 ini menggambarkan keadaan Indonesia yang semakin sulit, rakyat Indonesia disimbolkan seperti rumput yang diinjakinjak pemerintahan yang zalim.
4
“Satu Mimpi Satu Barisan”
Puisi yang ditulis tahun 1992 ini menggambarkan kesenjangan sosial yang dialami buruh dan gambaran kesewenangan-wenangan presiden dalam memimpin Indonesia.
5
“Aku Masih Utuh dan Kata- Puisi yang ditulis tahun 1997 ini berfungsi sebagai
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
kata Belum Binasa”
alat untuk memprovokasi masyarakat Indonesia agar berani
bergerak
bersama
melawan
kezaliman
pemerintahan Orde Baru Berdasarkan tabel di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa ternyata kelima puisi karya Wiji Thukul tersebut saling berkaitan satu sama lain. Kelima puisi itu sama-sama mengangkat permasalahan yang sama, yakni mengenai rakyat Indonesia yang mengalami kesulitan hidup pada masa pemerintahan Orde Baru. Selain itu, kelima puisi tersebut semuanya sama-sama menggambarkan kesewenang-wenangan presiden yang otoriter, diktator, dan antikritik dalam memimpin rakyat Indonesia. Selanjutnya pada tabel di bawah ini digambarkan keseluruhan dari situasi sosial pengarang dan realitas yang terjadi pada masa Orde Baru. KESIMPULAN Setelah menganalisis lima puisi Wiji Thukul dalam kumpulan sajak Aku Ingin Jadi Peluru, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan pertama adalah unsur-unsur intrinsik dalam lima puisi Wiji Thukul, yakni “Apa yang Berharga dari Puisiku”, Nyanyian Akar Rumput”,”Peringatan”,” Satu Mimpi Satu Barisan”, “Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa” dipengaruhi oleh hal-hal di luar teks, seperti latar belakang sosial atau peristiwa dan pandangan Wiji Thukul terhadap sebuah masalah atau pengetahuan. Salah satu unsur intrinsik dari kelima puisi Wiji Thukul tersebut adalah penggunaan majas atau gaya bahasa yang terdiri atas penggunaa majas metafora, personifikasi, sinisme, hiperbola, dan ironi. Tingkat kemunculan paling sering ada pada majas personifikasi dan hiperbola. Unsur intrinsik lainnya yang terdapat dalam kelima puisi tersebut adalah pencitraan, baik dari segi pengelihatan dan pendengaran. Namun pencitraan yang ada dalam puisi Wiji Thukul lebih banyak imaji penglihatan dibandingkan dengan imaji pendengaran karena hanya imaji pendengaran hanya ditemukan satu buah. Unsur intrinsik yang selanjutnya adalah tema. Tema dari lima puisi ini semuanya bertemakan protes. Oleh sebab itu, penulis menyimpulkan puisi Wiji Thukul merupakan puisi pamflet. Sarena seperti yang diungkapkan Pradopo (1987: 142) bahwa puisi pamflet adalah puisi yang mengungkapkan protes sosial, puisi ini merupakan puisi-puisi demontrasi. Puisi Wiji Thukul menggunakan imaji pendengaran dan imaji penglihatan untuk dapat dengan mudah mengimajinasikan peristiwa yang terjadi pada Orde Baru. Hal ini bertujuan untuk membuat pembaca merasakan hal yang sama yang dirasakan Wiji Thukul, ketika
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
rakyat dapat merasakan hal yang sama maka rakyat akan tergerak dan terpengaruh dengan yang Wiji Thukul inginkan, yakni mempengaruhi rakyat untuk melaksanakan perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru yang sangat otoriter dalam memimpin negeri. Wiji Thukul menggunakan berbagai majas dalam lima puisinya, di dalam puisi pertama yang berjudul “Apa yang Berharga daru Puisiku” Wiji Thukul menggunakan majas metafora, sinisme, dan personifikasi, selanjutnya dalam puisi kedua yang berjudul “Peringatan” majas yang digunakan dalam puisi kedua ini terdapat majas personifikasi, metafora, sinisme, dan ironi, kemudian dalam puisi ketiga yang berjudul “Nyanyian Akar Rumput” Wiji Thukul mengguanakan majas personifikasi dan hiperbola. Dalam puisi keempat yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan” terdapat majas personifikasi dan hiperbola dan pada puisi kelima yang berjudul “Aku Masih Utuh dan KataKata Belum Binasa” terdapat majas hiperbola dan personifikasi. Dalam kelima puisi Wiji Thukul majas personifikasi adalah majas yang banyak digunaka dalam lirik-lirik Wiji Thukul dalam ke lima puisi tersebut selalu ada personifikasi, posisi terbanyak kedua ada pada majas hiperbola yang terdapat dalam tiga puisi, yakni “Nyanyian Akar Rumput”, “ Satu Mimpi Satu Barisan”, “Aku Masih Utuh dan Kata-kata belum Binasa”, tersebut, majas sinisme dan metafora hanya terdapat dalam dua puisi Wiji Thukul, yakni terdapat dalam pusi yang berjudul “Apa yang berharga dari puisiku” dan “Peringatan”, sedangkan majas ironi hanya tedapat dalam satu pusi Wiji Thukul yang berjudul “Peringatan”. Dalam lima puisi Wiji Thukul banyak menggunakan majas personifikasi, yakni benda mati dianggap hidup untuk memberikan dramatis dalam puisi tersebut yang dapat dibayangkan pembaca dengan mudah, Wiji Thukul juga menggunakan majas hiperbola untuk melebih-lebihkan sesuatu agar pembaca dapat dengan mudah dipengaruhi dengan kejadian-kejadian yang dibuat secara berlebihan, majas metafora dan majas sinisme adalah bentuk kiasan yang dibuat Wiji Thukul serta sindiran untuk menyindir pemerintah Orde Baru, dan majas ironi digunakan Wiji Thukul untuk menunjukkan ke ironisan yang terjadi di masyarakat, yakni sindiran halus yang dibuat Wiji Thukul bahwa semua permasalahan yang terjadi adalah tanggung jawab dari pemerintah pada masa itu, yakni masa Orde Baru, semua majas yang terdapat dalam lima puisi Wiji Thukul beserta imaji yang dibuatnya, bertujuan untuk membuat pembaca dapat mengimajinasikan dan merasakan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter sehingga masyarakat dapat tersentuh hatinya untuk bergerak bersama melawan pemerintahan Orde Baru jadi inti dari lima puisi Wiji Thukul secara tersurat memang tentang ketidakadilan berbagai permasalahan bangsa
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Indonesia, tetapi makna tersiratnya Wiji Thukul ingin mengajak masyarakat Indonesia bersama-sama untuk melaksanakan perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru. Kesimpulan dari segi ekstrinsik puisi-puisi Wiji Thukul dari kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru adalah bahwa kelima puisi tersebut dapat dijadikan sebagai cermin yang dapat merefleksikan situasi sosial masyarakat dan situasi sosial pengarang ketika karya tersebut dibuat. Kelima puisi itu mengangkat permasalahan yang sama, yakni mengenai rakyat Indonesia yang mengalami berbagai kesulitan diakibatkan
pemerintah yang sewenang-
wenang dalam memimpin negeri ini, akibatnya timbul berbagai permasalahan yang terjadi, yakni masalah kelaparan, kesehatan, pekerjaaan, pendidikan, penggusuran, dan hukum. Semua permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah tanggung jawab pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki wewenang dan kekuasaan dalam membuat kebijakan seharusnya pemerintah dapat dengan cakap mengatur dan mengelola Indonesia yang sangat kaya sumber daya alamnya. Namun, pada kenyataannya yang terjadi pemerintah tidak melakukan kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya hanya mementingkan kepentingan segelelintir golongan saja, yakni para kaum borjuis (kalangan menengah atas), akibatnya terjadinya ketimpangan ekonomi dan timbulnya berbagai permasalahan bangsa karena pemerintah pada pasa Orde Baru tidak pernah mau mendengar keluhan yang terjadi di kalangan rakyat miskin, hanya mementingkan kepentingan pribadi. Selain itu, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan mancusuar ekonomi yang besar dan membuka seluas-luasnya penanaman modal dan kerjasama dengan pihak asing, seandainya saja pemerintah mengutamakan pemerataan kesempatan belajar untuk seluruh anak di Indonesia mendapatkan hak yang sama mendapatkan kesempatan pendidikan hingga perguruan tinggi, tentunya permasalahan bangsa dapat diatasi karena masyarakat akan dapat mengelola sumber daya alam secara mandiri di daerahnya masing-masing. Masyarakat akan mandiri tidak ada lagi penggusuran, kelaparan, pengangguran, dan orang sakit yang tidak dapat berobat. Namun, pada kenyataannya yang mengelola sumber daya alam Indonesia bukan masyarakat setempat, melainkan pihak asing alhasil banyak anak Indonesia menjadi buruh di negerinya sendiri dan ini sangat ironis negeri yang kaya namun penduduknya banyak yang tidak sejahtera.
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014
Daftar Referensi: Anggota IKAPI, 2007. Masih(kah) Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Cotton dan Wilkinson.1989.Dasar Kimia Anorganik . Jakarta:UI-Press Djoko Damono, Sapardi. 1978. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan. Gonggong, Anhar, Musa Asy’arie, ed. 2005.
Sketsa Perjalanan Bangsa
Berdemokrasi: 60 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika. Hisyam, Muammad. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Iskandar, Mohammad, dkk. 2007. Sejarah Indonesia dalam Perkembangan Zaman. Bekasi: Ganeca Exact. Peraturan Presiden No. 11 tahun 1963. Pasal Subversif. Pradopo, Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang. No. 04 Tahun 1999 tentang Peraturan Pemutusan Tenaga Kerja. Menteri Tenaga Kerja. Jakarta. Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Studies. Southwood dan Flanangan. 2013. Teror Soeharto. Depok: Komunitas Bambu (terj). Suyono, Seno Joko, dkk. 2013. Teka-Teki Wiji Thukul. Jakarta: Tempo. Suyono, Seno Joko, dkk. 2013. Teka-Teki Wiji Thukul. Jakarta: Tempo. Utomo, Tatag. 2005. Mencegah dan Mengatasi Krisis Anak. Jakarta: Grasindo. Waluyo, Herman. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yoesoef, M. 2007. Sastra dan Kekuasaan: Pembicaraan atas Drama-drama Karya W.S. Rendra. Depok: Wedatama Widya Sastra. Zon, Fadli. 2004. Politik Huru-Hara Mei 1998. Jakarta: Institute for Poicy
Permasalahan-permasalahan sosial pada ..., Ria Maha Putri, FIB UI, 2014