Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015
PERMAINAN KREATIF UNTUK PERKEMBANGAN FISIK MOTORIK ANAK (KAJIAN INTEGRATIF BERBASIS APE) Nurul Huda Fakultas Ilmu Pendidikan, IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected] Abstrak Konsepsi dasar permainan kreatif adalah permainan tersebut edukatif, transformatif, sekaligus aman bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini tentu saja secara langsung menemukan titik aksentuasinya dengan apa yan disebut sebagai Alat Peraga Edukatif (APE). Oleh karena itu, maka sebuah sebuah permainan kreatif mutlak dibutuhkan dalam pembelajaran di tingkat pendidikan anak usia dini. Aktivitas-aktivitas pembelajaran seyogianya bisa diejawantahkan dalam permainan. Pada titik ini, orangtua dan pendidik atau guru memiliki kewajiban untuk memberikan permainan yang baik, aman, dan edukatif. Melalui permainan ini, anak akan bisa mendapatkan ransuman nilai dan pengetahuan, dan pada saat yang sama, tetap dalam wilayah keamanan yang terjaga. Begitu pula dengan alat peraga, sebab alat peraga tersebut bisa menjadi bagian dari permainan, atau permainan tersebut bisa dikemas dalam alat peraga yang sedang digunakan. Muara dari kombinasi menarik-unik adalah terciptanya dunia yang begitu menyenangkan bagi anak. Anak pun mampu mendapat berjibun kebaikan dan nilai-nilai positif, baik dari alat peraga yang digunakan maupun dari permainan yang sedang ditampilkan atau dilakukan. Apabila diarahkan ke dalam kajian permainan kreatif, maka hal ini pun akan menemukan titik konfirmasinya. Istilah permainan kreatif sebenarnya tidak mengacu pada tipe permainan, tetapi pada pendekatan pembelajaran yang digunakan. Pendekatan permainan kreatif digunakan sebgai dasar untuk meracang sebuah kurikulum yang disebut dengan model kurikulum permiana kreatif. Model ini awalnya dikembangkan di Universitas Tenesse, Knoxville pada tahun 1985. Secara teoretis model ini berbijak pada teori perkembangan Jean Piaget, model pembelajaran konstruktif dan praktik pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan (developmentally appropriate practise) anak usia dini yang dikeluarkan oleh NAEYC. Pendekatan permainan kreatif juga berhubungan erat dengan potensi kreatif yang dimiliki tiap anak. menurut Tegano (1991) seperti yang dikutip oleh Catron dan Allen dalam bukanya, Early Curicullum a Creative Play, model potensi kreatif anak dapat dilihat dari 2 sisi yaitu karakteristik kognitif dan kepribadian. Berdasarkan beberapa analisis di atas, maka kajian ini menitikberatkan pada internalisasi permainan kreatif tersebut pada perkembangan fisik motoric anak, khususnya dalam hal pembelajaran yang dilaluinya, sekaligus berpijak pada analisis APE atau Alat Peraga Edukatif yang ada atau yang bisa dibuat oleh guru atau pendidik. Kata Kunci: permainan kreatif, kurikulum, perkembangan, fisik morotik anak .
PENDAHULUAN Alat Peraga Edukatif (APE) merupakan pranata yang digunakan untuk menunjanng kreativitas, secara umum bagi seorang anak, dan secara khususnya bagi anak dengan usia dini. Fokus pada anak usia dini ini menjadi begitu fundamental pada fungsionalisasi APE sebab pada usia dini, seorang anak sedang berada pada masa keemasannya. Tidak hanya itu, pada usia ini, anak akan dengan semangat berusaha mencari tahu dan mencoba melakukan elaborasi atas semua hal yang ada dan terjadi di dalam dirinya dan di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, APE menjadi sangat penting karena pada usia dini ini ada sedang belajar untuk memahami dirinya dan dunia di sekitarnya. Anak dengan usia ini dengan
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
101
Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015
demikian akan dengan riang mewujudkan usaha tersebut melakukan elaborasinya dalam halhal atau aktivitas-aktivitas yang membuatnya senang. Aktivitas-aktivitas lantas diejahwantahkan dalam permainan. Pada titik ini, orangtua dan pendidik atau guru memiliki kewajiban untuk memberikan permainan yang baik, aman, dan edukatif. Melalui permainan ini, anak akan bisa mendapatkan ransuman nilai dan pengetahuan, dan pada saat yang sama, tetap dalam wilayah keamanan yang terjaga. Begitu pula dengan alat peraga, sebab alat peraga tersebut bisa menjadi bagian permainan, atau permainan tersebut bisa dikemas dalam alat peraga yang sedang digunakan. Muara dari kombinasi menarik-unik adalah terciptanya dunia yang begitu menyenangkan bagi anak. Anak pun mampu mendapat berjibun kebaikan dan nilai-nilai positif, baik dari alat peraga yang digunakan maupun dari permainan yang sedang ditampilkan atau dilakukan. Apabila diarahkan ke dalam kajian permainan kreatif, maka hal ini pun akan menemukan titik aksentuasinya. Istilah permainan kreatif sebenarnya tidak mengacu pada tipe permainan, tetapi pada pendekatan pembelajaran yang digunakan. Pendekatan permainan kreatif digunakan sebgai dasar untuk meracang sebuah kurikulum yang disebut dengan model kurikulum permiana kreatif. Model ini awalnya dikembangkan di Universitas Tenesse, Knoxville pada tahun 1985. Secara teoretis model ini berbijak pada teori perkembangan Jean Piaget, model pembelajaran konstruktif dan praktik pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan (developmentally appropriate practise) anak usia dini yang dikeluarkan oleh NAEYC. Menurut komite kebijakan laboratorium perkembangan anak tahun 1985 seperti yang dikutip Catron dan Allen, pengoptimalan perkembangan anak yang ingin dicapai kelalui permainan kreatif ini secara terperinci meliputi: a) Nilai diri dan kepercayaan diri b) Kepercayaan, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap sesama c) Hubungan interpersonal dan keterapilan berkomunikasi yang efektif d) Kemampuan untuk bersikap atau berfikir secara mandiri dan mengembangkan kontrol diri e) Keterampilan untuk mengmukakan gagasan dan perasaannya f) Pemahaman dan pengelolaan informasi tentang lingkungan fisik dan sosialnya g) Pemerolehn dan penggunaan keterampilan untuk memecahkan masalah h) Rasa ingin tahu tentang dunia disekitar nya dan rasa nyaman dalam belajar dan bereksplorasi Pendekatan permainan kreatif juga berhubungan erat denga potensi kreatif yang dimiliki tiap anak. Menurut Tegano (1991) seperti yang dikutip oleh Catron dan Allen dalam bukanya, Early Curicullum a Creative Play, model potensi kreatif anak dapat dilihat dari 2 sisi yaitu karakteristik kognitif dan kepribadian. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
102
Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015
Karakterisitik kognitif yang mencerminkan kreatifitas tersebut meliputi: a) Fantasi, yang biasanya dikembangkan saat anak bermain sosio drama atau bermain pura-pura b) Berfikir divergen, yaitu dengan munculnya beragam tanggapan, pertanyaan dan gagasan anak c) Rasa ingin tau, yang meliputi bertanya, menyelidik dan menguji coba sesuatu d) Berfikir metaforik, yaitu menghasilkan atau mengelola sesuatu menjadi suatu hal yang baru Adapun karakteristik kepribadian yang mencerminkan kreatifitas meliputi : a) Karakter kreatif, yaitu mudah menyesuaikan diri, daya tahan tinggi, keterlibata yang tinggi dalam kegiatan dan tidak mudah berputus asa b) Tidak terikat dengan kelaziman/ konfensi yang berlaku, dimana anak beriorientasi pada sesuatu yang asli baru dan luwes c) Berani mengambil resiko, yaitu kemauan untuk menerima tantanga atau mengambil resko kesalahan d) Motivasi tinggi, sebagai pendorong dan kontrol dari internal Berdasarkan beberapa analisis di atas, maka kajian ini menitikberatkan pada internalisasi permainan kreatif tersebut pada perkembangan fisik motorik anak, khususnya dalam hal pembelajaran yang dilaluinya, sekaligus berpijak pada analisis APE atau Alat Peraga Edukatif yang ada atau yang bisa dibuat oleh guru atau pendidik. Permainan Kreatif dan Peran Guru/Orangtua di Dalamnya Permaianan kreatif aka mendorong kebutuhan anak untuk secara aktif berinteraksi dan terlibat dengan lingkungan fisiknya. Sejak bayi, anak mulai mempelajari dunia sekitarnya melalui sensori motornya. Kegiatan ini akan terus berkembang seiring dengan kematangan dan keterampilan dari berbagai fungsi tubuhnya. Melalui permainan kreatif, anak berkesempatan memperkaya gerakan-gerakannya. Berbagai gerakan sensori motor, tangan, kaki, kepala, atau bagian tubuhnya yang lain melibatkan baik otot besar maupun otot kecil anak sehingga memungkinkan anak untuk secara penuh mengembangkan kemampuan fisik motoriknya. Singkatnya permainan kreatif akan mendukung perkembangan fisik motorik anak dalam beberapa aspek seperti yang diuraikan berikut ini: a) Koordinasi mata dengan tangan atau mata dengan kaki, meliputi kegiatan menggambar, menulis, memanipulasi atau memainkan objek, latihan ingatan visual, melempar, menangkap dan menendang b) Keterampilan gerakan lokomotor meliputi berjalan, melompat, melonjat, berlari, berguling, merayap, dan meragkak.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
103
Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015
c) Keterampilan gerekan nonlokomotor, meliputi duduk, berdiri, melambaikan tangan, hadap kanan-kiri, merentangkan tangan, membungkuk dan jongkok d) Pengelolaan dan pengendalian tubuh, meliputi pemahaman akan fungsi tubuhnya, pemahaman tentang jarak, irama, keseimbangan, kemampuan untuk memulai atau mengakhiri gerakan dan melaksanakan perintah. Kegiatan yang dapat dilakukan misalnya berjalan diatas dipapan titian, mengikuti jejak, senam irama, mengukur jarak dengan melangkah atau melompat, lomba lari. Bermain merupakan sarana bagi anak untuk mengungkapkan kreatifitasnya. Melalui bermain, anak dapat menganalisis berbagai situsi atau benda dan mencoba menemukan cara baru untuk menatanya kembali. Misalnya, saat bermain bongkar pasang dengan balok, anak bisa membuat bentuk mercusuar, kemudian dibongkar lagi membuat sebuah terowongan bawah tanah, dibongkar lagi, lalu membuat gedung perkantoran. Anak juga dapat menemukan fungsi baru yang berbeda dari suatu benda yang tidak biasanya misalnay kursi ia balikan untuk dijadikan kuda-kuadaan anak juga dapat menjalin hubungan baru dnega teman-temannya yang semula ia tidak kenal. Bermain juga merupakan sarana bagi anak untuk berfantasi, berimajinasi, yang akan membantunya menemukan gagasan baru, misalnya seandainya aku bisa terbang, apa yang akan aku lakukan? Seandainya aku bisa bicara denga semut, apa saja yang akan diceritakan semut itu padaku? Guru dan atau orangtua memegang peranan penting dalam proses kreatif saat anakanak bermain. Guru diharapkan mempunyai kepekaan yang tinggi untuk tidak membuat anakanak ngambek ditengah-tengah proses kreatif mereka. Guru semestinya faham kapan saatnya membiarkan pembelajaran kreatifitas tetap berjalan dan bagaimana menjaga supaya pemikiran dan gagasan anak tetap lancar mengalir. Berikut ini ada beberapa kiat-kiat yang dapat digunakan untuk memotivasi proses kreatif pada anak. a) Guru perlu menanggapi dan menghargai setiap pertanyaan anak meskipun pertanyaan tersebut aneh, unik atau tidak lazim b) Guru perlu mengembangkan kesempatan bagi anak untuk melakukan berbagai kegiatan dengan inisiatif sendiri. c) Anak-anak perlu tau bahwa gagasan-gagasan mereka menarik dan bernilai. d) Guru perlu belajar untuk tidak terkaget-kaget dengan solusi atau gagasan yang tidak lazim yang dikemukakan anak e) Anak semestinya dapat melakukan pemikiran kreatif dalam suasana bebas hukum. f) Guru perlu memahami betul bahwa proses kreatif yang ada dalam pikiran anak lebih penting dari pada kegiatan yang harus dilakukan anak. g) Kreatifitas tidak hanya milik artis atau seniman. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
104
Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015
h) Kadang pengarahan tertentu dari guru akan memotivasi anak untuk meninjau ulang gagasannya, apakah ada yang perlu diubah atau tetap seperti semula. i) Guru selayaknya menghindari penilaian yang terlalu dini terhadap gagasan baru dari anak.
Permainan Sebagai Bagian Integral dari Pendidikan AUD Apa yang dimaksud dengan bermain? James Sully di dalam bukunya, Essay of Laughter (dalam Mayke S. Tedjasaputra) menjelaskan bahwa tertawa adalah tanda dari kegiatan bermain dan tertawa ada di dalam aktivitas sosial yang dilakukan bersama sekelompok teman atau orang. Masih menurut Sully, bermain memang mempunyai manfaat tertentu. Yang penting di dalam kegiatan bermain adalah rasa senang, riang, dan gembira, yang ditandai dengan tertawa, atau ekspresi-ekspresi kebahagiaan lainnya, semisal senyum atau juga perasaan lega dan nyaman. Dengan demikian, dapat diberikan sebuah tanggapan pasti bahwa bermain dan permainan merupakan sesuatu yang penting, apalagi bagi anak. Anak-anak tidak akan terlepas dari permainan. Dengan kata lain dapat diberikan juga sebuah simpulan bahwa dunia anak adalah permainan. Oleh karenanya, memaksakan anak untuk menerima pelajaran sebagaimana orang dewasa tentu tidak tepat dan tidak bisa dibenarkan. Mengharapkan anak bisa menyikapi semua hal dengan hitungan kalkulatif juga merupakan harapan yang tidak akan sampai pada titik muaranya. Anak memberikan respon pada setiap hal yang diterima dan dialami dengan gaya, karakteristik, dan kecakapannya masing-masing. Sebagai bentuk ekspresinya, tidak jarang seorang anak mewujudkan dengan aktivitas-aktivitas sugestif-informastif, dengan harapan memberikan nilai bahagia bagi dirinya. Terkait dengan aktivitas sugestif-informatif, senyatanya hal itu ditujukan kepada orangtua dan guru. Agar mereka menyaksikan apa yang menjadi harapan dan keinginan anak, yaitu bisa bermain, mendapatkan kenyamanan dan kebahagiaan, dan merupakan bentuk apresiasi atas segala dinamika yang berkembang. Seorang anak tentu tidak akan bisa memberikan simpulan tanggapan sebagai orang dewasa kala sedang menumpai dinamika unik bagi dirinya. Masalahnya, tidak semua guru bisa merespon harapan dan keinginan anak semacam ini. Untuk itu, sudah saatnya seorang guru dan orangtua mengubah paradigmanya dalam melihat anak dan dunianya. Bermain sendiri merupakan kegiatan utama yang mulai tampak sejak bayi berusia 3 (tiga) atau 4 (empat) bulan. Secara umum, permainan atau bermain penting bagi perkembangan kognitif, sosial, afektif, dan perkembangan anak.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
105
Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015
Artinya, bermain, selain berfungsi begitu mendasar bagi perkembangan pribadi anak, juga memiliki fungsi sosial dan emosional. Melalui bermain, seorang anak juga akan merasakan berbagai pengalaman emosi; senang, sedih, bergairah, kecewa, bangga, marah, dan sebagainya. Perkembangan dan pengalaman emosional ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika disebutkan bahwa muara dalam sebuah permainan adalah rasa senang dan bahagia, tapi pada tesis di atas disebutkan bahwa pengalaman emosi semisal sedih juga terjadi. Maksudnya, memang tujuan bermain adalah mendapatkan kebahagiaan, tetapi tidak menutup kemungkinan di dalam permainan ada hal-hal yang tidak diinginkan. Menangis, marah, dan sedih merupakan di antara hal-hal tersebut. Meski demikian, rasa-rasa tersebut: marah, menangis, dan sedih, tetap urgen bagi perkembangan anak. Pasalnya, semua rasa tersebut memberikan ransuman nilai dan pengalaman kepada anak. Tidak jarang, dengan rasa tersebut, anak kemudian sudah bisa memberikan balancing atas semua aktivitas yang dilakukan. Sekali lagi, pada titik ketika seorang anak tidak mendapatkan kebahagiaan ketika sedang bermain, peran orangtua dan guru menemukan titik aksentuasinya. Mereka dituntut untuk bisa memberikan ketenangan kepada anak. Selain itu, meraka juga memiliki kewajiban untuk menjelaskan apa hikmah atau pelajaran dari permainan yang tekah dilakukan tersebut, entah yang membuat bahagia dan riang atau yang justru menjadikan seorang anak bersedih. Kebutuhan anak sesungguhnya adalah kebutuhan kasih sayang dan beberapa unsur yang melekat-erat dalam diri anak seperti keterampilan dalam menggunakan pancaindera, konsep diri yang positif, kebutuhan untuk memiliki kesempatan bereksplorasi, belajar dengan teman, mampu menilai diri, dan interaksi dengan lingkungan sekitar yang semakin berkualitas. Alat peraga dengan demikian menjadi pentinga untuk digunakan dalam setiap aktivitas anak. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa seorang anak belum mampu menyikapi dan merespon semua hal sebagaimana orang dewasa. Alat peraga ini berfungsi untuk menjembatani daya-respon tersebut. Tujuannya, supaya apa yang disapa anak tersebut bernilai positif. Walaupun begitu, terkadang alat peraga yang digunakan belum bisa memberikan pengaruh signifikan bagi anak. Apabila itu yang terjadi, maka harus ada cara atau strategi lain agar kelindah nilai bisa diterima anak. Nah, permainan pada titik ini menemukan titik konfirmasinya. Sebab, seperti dijelaskan di atas, anak sangat menggemari permainan, atau bahwa dunia anak adalah dunia bermaian. Kalau menggunakan tesis Vygotsky tentang permainan, ada penjelasan menarik bahwa permainan merupakan contoh sosial atau keteladan sosial untuk membantu perkembangan awal anak. Maksudnya, permainan merupakan produk kebudayaan (termasuk karena diciptakan sebagai respon) yang membawa implikasi bagi perkembangan anak. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
106
Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015
Internalisasi Permainan Alat peraga dengan nilai-nilai pendidikan di dalamnya, agar memberikan tetap memberikan kesan positif pula, maka perlu diberi sepuhan ”pendekatan” lain, supaya tetap berada pada wilayah yang menjadi titik pijak sebuah transformasi dalam diri anak. Pendekatan yang dimaksud adalah permainan. Karena di dalamnya, seorang guru atau orangtua, bisa dengan mudah memasukkan nilai-nilai positif, sebab perkembangan emosi anak usia dini memang labil. Labilitas tersebut memang menunjukkan sebuah gejala bahwa seorang anak sedang berjuang memaknai semua hal. Pola perkembangan emosi, sejatinya telah ada sejak anak lahir. Gejala emosional pertama yang muncul adalah ketarangsangan yang umum terhadap stimulus atau rangsangan yang kuat. Reaksi emosional ini memang belum tampak jelas sebagai reaksi emosional pada umumnya, akan tetapi hanya memberikan kesan sederhana berupa kesenangan dan ketidaksenangan. Dengan demikian, permainan yang diberikan pun hendaknya merupakan permainan yang benar-benar aman, memiliki nilai edukasi, dan membantu perkembangan anak. Tidak bisa tidak, peran guru dan khususnya orangtua, menjadi suatu hal yang subtil. Sebab, seorang anak belum bisa melakukan netralisasi atas gelayut fenomena yang sedang dan akan terjadi. Pemahaman yang benar terhadap anak akan membuat pola dan aksi dalam pendidikan anak usia dini bisa maksimal dan optimal. Mengajak anak untuk senantiasa berpikir juga bisa menjadi media bagi perkembangan anak selanjutnya. Memperlakukan anak sebagai manusia dan juga membiarkan anak tampil sebagai dirinya sendiri pun merupakan pranata pengembangan potensi dan kepribadian anak. Di antara tujuan permainan adalah agar anak begitu asyik terhadap dunia atau kecenderungannya. Hal ini sangat penting bagi perkembangan selanjutnya. Anak akan dengan mantap bisa menyambut masa depan jika sejak kecil ia dibimbing untuk memberikan respon terhadap semua hal. Respon yang dilakukan seorang anak juga bisa disebut sebagai bentuk sikap aktif. Apabila menjadikan permainan sebagai bahan kritisasi, maka permainan edukatif-aktif menjadi semua keniscayaan untuk diberikan kepada anak-anak. Hal ini juga lantaran bermain memberikan manfaat sebagai berikut: bermanfaat untuk berkembangan aspek fisik, untuk perkembangan aspek motorik halus dan kasar, untuk perkembangan aspek sosial, untuk perkembangan aspek emosi dan kepribadian, untuk perkembangan
aspek
kognisi,
untuk
mengasah
ketajaman
penginderaan,
untuk
mengembangkan keterampilan olahraga dan menari. Manfaat dari segi aspek fisik, seorang anak yang sedang bermain akan bisa memperkuat otot-otot pada tubuhnya. Untuk perkembangan motorik halus, hal itu bisa dilihat saat anak sedang mencorat-coret dinding, begitu juga pada perkembangan motorik kasar, hal itu bisa dilihat ketika ia sedang main kejar-kejar dengan temannya, dan ia berhasil MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
107
Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015
menangkapnya, maka ini menunjukkan bahwa ia terampil dalam menangkap sesuatu, dan seterusnya. Apabila ditarik pada alat peraga edukatif, tentu permainan sangat sesuai dan berimplikasi baik bagi anak. Misalnya membuat pesawat terbang dari kertas. Membuat pesawat dari kertas sendiri merupakan jenis permainan yang sangat digemari anak, sebab hasil dari permainan ini bisa langsung dinikmati, selain karena bisa mengembangkan beberapa aspek dalam diri anak. Melalui permainan yang membuat anak kreatif, maka anak pun akan terus terpacu untuk menampilkan karya-karya kreatif lainnya, sebagai tandingan dari keberhasilan yang diperolehnya dari permainan sebelumnya. Jika pun alat peraga yang digunakan terbuat dari kertas atau daun, tetapi apabila dikemas dengan baik dan disampaikan dengan bijak, akan menjadi alat peraga yang sugestif, yang membuat anak terbawa dan senang dengan permainan yang dilakukan, kemudian anak pun berusaha mengaktualisasikan permainan tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Di antara yang dikeluhkan oleh para guru adalah tidak adanya fasilitas permainan yang mendukung kegiatan belajarnya. Padahal, sebenarnya sangat banyak sekali ”alat alami” yang bisa digunakan. Bahkan, diri seorang guru bisa dijadikan media pembelajaran. Bermain tebak rupa juga bisa digunakan untuk mengasah ingatan anak. Permainan ini mengajarkan anak untuk fokus dan tenang, seorang guru pun diajari untuk bersikap jujur. Sebab, daya fokus anak memang masih lemah. Jika permainan ini diberikan dengan perhatian saksama kepada anak, dengan memerhatikan perkembangan dan kecenderungan anak, maka anak akan belajar banyak. Ia akan bisa fokus pada apa yang dilihat, diraba, dan didengar. Dengan lain ungkapan, semua hal yang ada di sekitar tempat proses pembelajaran berlangsung bisa digunakan sebagai alat, sumber, dan media pembelajaran. Semua itu bisa dijadikan alat peraga, yang memiliki berbuntal nilai-nilai edukasi yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Yang diperlukan adalah kesediaan guru dan orangtua untuk mengoptimalkan semua anugerah Tuhan yang ada pada diri mereka. Integrasi Permainan berbasis APE Pembahasan ini dan selanjutnya senyatanya bisa dikatakan sebagai elaborasi dan penjelasan dari beberapa deskripsi di atas. Nah, dari deskripsi dan analisis di atas, dapat diberikan titik pijak bahwa agar pengembangan APE berbasis permainan bisa maksimal adalah dengan fungsionalisasi. Artinya, apa pun yang menjadi alat peraga bisa dijadikan bahan ajar atau sumber ajar dengan berbasiskan permainan. Pada titik ini, bisa diberikan jabaran lain yaitu fungsionalisasi. Misalnya, dan ini seringkali dijadikan alasan oleh sekolah dan guru yang ada di daerah terpencil, sebuah sekolah tidak memiliki alat atau media pembelajaran, sebenarnya ia bisa MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
108
Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015
menggunakan sumber yang ada di sekitarnya. Pelepah pisang atau daun pisang bisa menjadi alat peraga edukatif, dengan menjadikannya sebagai alat permainan ”Payung Bersama”. Awalnya, memang pelepah dan daun pisang tidaklah memberikan banyak arti. Akan tetapi, dengan kreativitas guru, pelepah dan daun tersebut bisa dimaksimalkan menjadi alat peraga edukatif. Tidak hanya itu, atau tidak hanya berhenti sebagai alat peraga edukatif, melainkan juga bisa dijadikan alat bermain anak didik. Di dalam permainan itu pun bisa diselipkan nilai-nilai pendidikan kepada para anak. Apa yang dilakukan ini merupakan bentuk fungsionalisasi. Semua hal yang awalnya belum banyak memberikan arti dan nilai positif, bisa menjadi sebaliknya bila dikemas dengan baik dan tepat. Memang benar, dalam hal fungsionalisasi ini, yang memiliki peran sangat besar adalah seorang guru dan orangtua. Seorang guru berperan ketika anak didik berada di lingkungan sekolah, sedangkan orangtua tentu saja berperan ketika anak berada di rumah, meski untuk anak usia dini, peran orangtua begitu fundamental. Fungsionalisasi memberikan kesan sekaligus penandasan bahwa semua hal bisa memberikan kesan, pesan, dan pengaruh positif, tinggal bagaimana menyiasatinya. Fungsionalisasi menjadi titik pijak untuk senantisa berinovasi memberikan yang terbaik kepada anak didik, khususnya anak usia dini. Menjadikan alat peraga sebagai bahan permainan memberikan penjelasan bahwa, pada dasarnya, alat peraga hanyalah ”benda mati” yang tidak bisa memberikan kesan dan pesan kepada siapa pun. Dengan semangat fungsi atau fungsionalisasi, maka benda mati tersebut dapat diberdayakan, yang dalam hal ini melalui sebuah permainan. Anak-anak akan sangat senang jika alat peraga yang ada bisa dijadikan sumber belajar dan sumber permainan mereka. Selain karena menarik secara fisik, alat peraga tersebut juga memberikan daya tarik secara emosional dan intelektual kepada anak-anak. Proses belajar mengajar pun bisa berjalan dengan sangat menarik-sugestif. Bermain ”Saling Memberi Hadiah” bisa menjadi salah satu cara untuk memberikan atau menyelipkan kristal nilai yang baik kepada anak. Misalnya, dan ini semua anak kebanyakan memilikinya, di rumah terdapat benda atau mainan yang tidak dipakai lagi. Maka, mainan bisa dijadikan bagian dari mainan ”Saling Memberi Hadiah” tersebut. Permisalan dari caranya adalah dengan mengadakan sebuah acara atau lomba kecil untuk anak-anak. Nah, yang berhasil memenangkan lomba tersebut mendapatkan hadiah berupa mainan yang ”tidak terpakai” tersebut. Atau, seorang guru melangsungkan sebuah lomba untuk anak-anak, yang sebelumnya mereka diminta untuk membawa mainan di rumah yang sudah tidak dipakai lagi. Setelah permainan selesai dimainkan, tidak ada juaranya, melainkan semua peserta mendapatkan hadiah. Hadiah tersebut merupakan pertukaran antarsiswa dari mainan-mainan yang dibawanya. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
109
Vol : XXII, No : 3, OKTOBER 2015
Penutup Semua anak memiliki kelebihan, dan keunikan yang sungguh luar biasa. Lebih lanjut, salah satu cara untuk memaksimalkan kelebihan anak adalah dengan menggunakan permainan kreatif sekaligus edukatif. Dengan pola permainan semacam ini, maka anak dan pelbagai macam potensi akan terpayungi dengan maksimal. Selain itu, penggunaan alat peraga juga penting, khususnya alat peraga yang bersifat mendidik atau edukatif. Meski demikian, alat peraga tersebut sebenarnya merupakan ”benda mati”, tidak memberikan manfaat dan pengaruh apa-apa. Agar alat peraga tersebut bisa berdaya gugah, berdaya ubah, dan berdaya guna, maka diperlukan sentuhan halus orangtua dan guru, untuk mengemaskan dalam sebuah aktivitas. Dunia anak-anak adalah dunia bermain, karenanya mereka akan senang jika diajak bermain. Proses pendidikan atau pembelajaran pun akan berjalan dengan begitu mengasyikkan apabila anak-anak menikmatinya, dan ini akan mudah dicapai dengan permainan. Apa jenis dan bagaimana cara memeragakan dan mempraktikkan permainan tersebut, orangtua dan guru berperan sangat penting di sini. Titik simpul dari kesukaan anak pada proses belajar tersebut, tentu saja transformasi nilai dan ilmu akan berjalan dengan maksimal. Anak-anak akan berkembang menjadi pribadi dengan kombinasi anggun antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan juga kecerdasan spiritual. DAFTAR PUSTAKA
Beck, Laura E. 2007. Development Throught the Lifespan. New York: Paerson, fourth edition. Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. Terj. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga, edisi keenam. Khalfan, Mohamed A. 2004. Anakku Bahagia Anakku Sukses. Terj. Taufiqurrahman. Jakarta: Pustaka Zahra. Kuffner, Trish. 2003. Play and Learn: 280 Aktivitas Bermain dan Belajar Bersama Anak. Terj. Emilia Sekti Ariyanti. Jakarta: Gramedia. Nugraha, Ali (2008). Pengembangan Pembelajaran Sains Pada Anak Usia Dini. Bandung Prasetyono, Dwi Sunar. 2008. Biarkan Anakmu Bermain. Yogyakarta: Diva. Sagala, Syaiful (2008). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Soetopo, Helyantini (2009). Pintar Memakai Alat Bantu Belajar. Surabaya: Erlangga Sudono, Anggani. 2006. Sumber Belajar dan Alat Permainan. Jakarta: Grasindo. Tedjasaputra, Mayke S. 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan untuk Anak Usia Dini. Jakarta: Grasindo. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
110