PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJAJIAN JUAL BELI DENGAN MENGGUNAKAN KLAUSULA BAKU
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh : ICE TRISNAWATI NIM : 050200206 Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
LEMBARAN PENGESAHAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJAJIAN JUAL-BELI DENGAN MENGGUNAKAN KLAUSULA BAKU SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh : ICE TRISNAWATI NIM : 050200206 Departemen Hukum Keperdataan Perogram Kekhuususan Hukum Perdata BW
Disetujui Oleh : Ketua Bagian
Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS NIP : 131. 764. 556 Pembimbing I
Edy Ikhsan, SH, MA NIP : 131. 796. 147
Pembimbing II
Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum NIP : 131. 961. 354
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala petunjuk rahmat dan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli dengan Menggunakan Klausula Baku”, yang ditulis sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi S1, program studi Hukum Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini
Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, sehingga proses penulisan dapat berjalan lancar dan dapat diselesaikan. Untuk itu Penulis dengan segala ketulusan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS selaku Ketua Bagian Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Syafruddin, SH, MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
6. Bapak Edy Ikhsan, SH, MA selaku Dosen Pembimbing I Penulis. 7. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis. 8. Bapak dan Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik yang positif. 9. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis, dan seluruh dosen dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya dan membantu Penulis selama menjalani perkuliahan, khususnya untuk Bang Anto yang merupakan Petugas Stambuk 2005 yang baik dan selalu membantu Penulis dalam urusan administrasi. 10. Instansi terkait, dalam hal ini Lembaga Konsumen Indonesia (LKI) cabang Medan, yaitu Bapak Abu Bakar Siddiq, SH sebagai Ketua, Bapak Ivan sebagai Humas, serta pejabat dan karyawan lainnya dimana Penulis melakukan wawancara, terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan kepada Penulis selama ini sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 11. Kedua orang tua tercinta A. Aritonang Rajagoek-goek dan M. Tambunan yang senantiasa memberikan kasih sayang, cinta, pengertian, semangat, bimbingan, dan memberikan segala kebutuhan Penulis, serta memberikan bantuan moril dan materil yang tak putus-putusnya, selamanya itu tidak akan pernah bisa terbalas. Terima kasih atas doa dan segala nasehat, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai kalian berdua.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
12. Kepada keluarga Riris Panjaitan, keluarga GZ. Panjaitan, keluarga Beta Manullang, keluarga S. Rajagoek-goek, dan keluarga besar Aritonang, terima kasih atas bantuan moril dan materil yang senantiasa diberikan kepada Penulis, dan terima kasih untuk menjadi keluarga besar terbaik yang pernah Penulis miliki. 13. Kepada kelompok Jehova Syalom (Bang Bob, Anita, Nova, Sandro, Jones) terima kasih atas doa kalian semua. 14. Sahabat-sahabat terbaik ku : Anita, Nova, Liza, Kak Maria, Eka, Echa, Tio, terima kasih atas mimpi, harapan, canda tawa, air mata, dan hentakan kenyataan yang membuat hari-hari lebih berwarna dan bermakna, juga terima kasih atas jalinan doa yang telah diberikan selama ini sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, semoga persahabatan kita akan tetap selamanya. Terkhusus untuk MJ Girls (Anita, Nova dan Liza) terima kasih atas persahabatan yang manis, tempat berbagi suka duka, berverita sambil menangis bersama, terhadap tangan yang selalu terulur, terhadap semangat yang tak kunjung padam. 15. Teman-teman di bagian Hukum Perdata BW Stambuk 2005 tetap semangat dan selalu menjadi yang nomor satu. 16. Teman-teman Penulis di Fakutas Hukum Stambuk 2005 dan yang kenal dengan Penulis. 17. Kepada Senior dan Junior yang kenal dan dekat dengan Penulis. 18. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Mengingat bahwa sifat ilmu pengetahuan adalah dinamis dan akan terus mengalami perkembangan, sementara skripsi ini tidak dapat dikatakan sempurna maka Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun, dan sebelumnya Penulis memohon maaf bilaman terdapat kekurangan dan kesalahan lain yang tidak berkenan di hati. Akhir kata, Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.
Medan, 2009 Penulis
Ice Trisnawati Nim: 050200206
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
ABTRAKSI Permasalahan pada penulisan skripsi ini adalah bagaimana penggunaan klausula baku dilihat dari asas kebebasan berkontrak, bagaimana perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dengan keluarnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan penggunaan klausula baku dalam perjanjian jual beli, serta bagaimana tata cara penyelesaian sengketa konsumen jika terjadi perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha. Metode penelitan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan antara metode penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Teknik penelitian hukum normatif dilakukan melalui kajian terhadap peraturan Perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan. Pendekatan ini dilakukan demi memperoleh data sekunder. Sedangkan pendekatan secara empiris dilakukan demi memperoleh data primer yaitu dengan melakukan penelitian dan wawancara langsung kepada Ketua Lembaga Konsumen Indonesia cabang Medan yaitu Bapak Abu Bakar Siddiq, SH dan wawancara dengan konsumen yaitu Maria Margaretha Simaremare. Dalam menganalisis data yang diperoleh, maka penulis menggunakan analisis kualitatif. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa penggunaan klausula baku tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen sepanjang pelaku usaha tidak mencantumkan hal-hal yang telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang berisikan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, menolak penyerahan kembali barang, pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran, tunduknya konsumen kepada peraturan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya, dan lain-lain. Klausula baku tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, karena kepada konsumen masih diberikan suatu kehendak bebas untuk menerima atau menolak perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku tersebut. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi konsumen adalah pertama, melalui kegiatan pembinaan kepada konsumen dalam bentuk penyuluhan seputar konsumen. Kedua, melalui kegiatan pengawasan terhadap pelaku usaha dalam menjalankan usahanya agar tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Upaya penanggulangan terjadinya sengketa konsumen adalah dengan diubahnya pemikiran pelaku usaha yang menempatkan posisi konsumen sebagai mitra kerjanya yang saling membutuhkan dan adanya iktikad baik dari masingmasing pihak.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia bisnis belakangan ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, ditandai oleh banyaknya produk barang dan/atau pelayanan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha kepada masyarakat selaku konsumen baik melalui iklan, promosi, maupun melalui event penawaran secara langsung, yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa berdasarkan kebutuhan. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta makin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Ketika keputusan konsumen telah dijatuhkan untuk memilih barang dan/atau jasa yang ditawarkan, maka telah terjadi transaksi perdagangan antara pihak pelaku usaha dengan konsumen. Dengan demikian transaksi tersebut merupakan hubungan jual- beli dan didalamnya telah terikat adanya perjanjian. 1 Namun jika konsumen tidak berhati-hati memilih barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepadanya, hal ini dapat menjadikan konsumen sebagai objek eksploitasi para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, 1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani., Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta 2003, hal 51 Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
konsumen menerima begitu saja barang yang diberikan kepadanya tanpa mengetahui apakah produk yang dikonsumsinya itu baik atau tidak. Disamping itu, banyak pelaku usaha yang menggunakan klausula baku untuk mempercepat proses perjanjian jual beli yang isinya terlebih dahulu ditentukan oleh pelaku usaha tanpa ada negosiasi dengan konsumen. Biasanya klausula baku yang ditetapkan pelaku usaha berisi hal-hal yang berkenaan dengan kewajiban konsumen tanpa menjelaskan hak yang akan diperolehnya secara jelas dan bersifat menghilangkan tanggung jawab pelaku usaha, sehingga ketika konsumen merasa tidak puas dengan barang yang dibelinya dari pelaku usaha, konsumen tidak dapat mengembalikannya kepada pelaku usaha karena hal tersebut telah dicantumkan dalam klausula baku perjanjian jual beli yang menyatakan, ”Barang yang sudah dibeli tidak apat dikembalikan lagi”. Ada juga pelaku usaha yang mau menerima kembali barang yang telah dijual tetapi dengan proses yang begitu panjang dan rumit, misalnya konsumen disuruh untuk membuktikan bahwa kerusakan barang memang sudah ada sejak barang tersebut belum berpindah ke tangan konsumen, padahal pelaku usaha mengerti bahwa pengetahuan konsumen seputar produksi barang sangat minim. Dengan kondisi yang seperti ini, konsumen tidak lagi di tempatkan sebagai subjek dalam bisnis, tetapi menjadi objek sasaran pelaku usaha untuk dapat meraih keuntungan yang besar dengan jalan memperdaya konsumen melalui trik-trik bisnis yang etis. Posisi konsumen yang demikian, maka perlu diupayakan suatu perlindungan hukum yang mampu melindungi hak-hak konsumen dari kesewenang-wenangan pelaku usaha.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Disatu sisi, konsumen karena ketidakberdayaannya memerlukan suatu perlindungan yang dapat menyelamatkannya dari kesewenang-wenangan pelaku usaha. Disisi lain, pemerintah juga memiliki kepentingan untuk melindungi semua warga masyarakatnya terhadap tindakan yang dapat merugikan kepentingan warganya. Untuk itu pemerintah Indonesia menerbitkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Diundangkannya UU Perlindungan Konsumen tersebut, diharapkan bahwa konsumen tidak lagi diperlakukan sebagai objek dalam bisnis, tetapi sebagai subjek yang memiliki kedudukan yang seimbang dengan pelaku usaha. Pelaku usaha harus semakin menyadari bahwa masa depan usahanya juga ditentukan oleh konsumen. Usaha pelaku usaha tidak akan berkembang apabila tidak ada konsumen yang membeli barang dan/atau jasa yang diproduksinya, antara pelaku usaha dan konsumen adalah sebuah mitra kerja yang baik dan saling bergantung antara satu dengan yang lain. Bagi
konsumen
di
Indonesia
diundangkannya
UU
Perlindungan
Konsumen merupakan kabar baik yang memberikan kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen dan kepentingannya, disamping itu merupakan suatu upaya hukum yang tegas, dimana konsumen dapat menggugat atau menuntut jika para pelaku usaha melanggar atau merugikan hak-hak dan kepentingan konsumen. Misalnya dengan ketentuan Pasal 18 UU Perlindungan konsumen yang memberikan batasan-batasan yang dapat dituangkan dalam sebuah klausula baku. Hal ini ditujukan agar pelaku usaha tidak seenaknya saja menetapkan isi klausula baku tanpa memperhatikan hak konsumen dan ketentuan
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
hukum yang berlaku. Jika pelaku usaha menetapkan klausula baku bertentangan dengan isi Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen, maka terhadap pelaku usaha akan diberikan sanksi yang telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Adanya peraturan hukum yang baik harus didukung oleh sistem pemerintahan yang jujur dan adil, serta didukung oleh sikap pelaku usaha yang tidak menjalankan perusahaanya secara legal saja, tetapi juga harus menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Artinya, hukum bagi pelaku bisnis adalah standar minimal yang harus dipenuhi. Selanjutnya, dalam menjalankan bisnis pelaku usaha menempatkan konsumen sebagai rekan bisnis yang memiliki kedudukan seimbang. Dengan demikian terciptalah suatu relasi yang saling menguntungkan antara satu dengan yang lain.
B. Pengertian dan Pengesahan Judul Penulis dalam skripsi ini memberi judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJAJIAN JUAL BELI DENGAN MENGGUNAKAN
KLAUSULA
BAKU”.
Untuk
mengantarkan
pada
pemahaman yang benar perlu kiranya penulis menerangkan pengertian dan batasan judul tersebut di atas sehingga jelas bagi kita segala pengertian yang ada di dalamnya. Pertama sekali yang dikemukakan adalah apa yang dimaksud dengan Perlindungan Konsumen. Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka (1), menyebutkan bahwa, ”Perlindungan Konsumen adalah segala upaya Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Artinya, Pemerintah memberikan kepastian hukum kepada konsumen dalam hal perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingannya. Hal ini tentu saja dipicu oleh kedudukan yang tidak seimbang antara para pelaku usaha dengan konsumen, dimana kedudukan pelaku usaha lebih tinggi dan kedudukan konsumen lebih rendah baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, kemampuan, maupun daya bersaing/daya tawar yang sering menyebabkan eksploitasi terhadap konsumen oleh pelaku usaha yang tidak bertangung jawab. Meskipun demikian bukan berarti hak-hak pelaku usaha menjadi diabaikan hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen, karena dalam UU Perlindungan Konsumen ini diatur juga mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Pelaku usaha juga masyarakat yang harus dilindungi oleh pemerintah. Pengertian Perjanjian Jual- Beli adalah : 1. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1457 KUHPerdata, ”Suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. 2. Perjanjian Jual Beli adalah suatu perjanjian bertimbal- balik dalam mana pihak yang satu (sipenjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si penjual) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 2
2
R. Subekti., Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Bandung 1995, hal 1
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Proses jual beli terjadi jika adanya proses serah-terima barang, dimana pihak penjual menyerahkan barang yang diinginkan oleh pembeli dan pembeli membayar sejumlah uang atas barang yang diperolehnya. Jadi di dalam perjanjian jual beli terdapat dua unsur yaitu unsur hak dan unsur kewajiban. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang telah dibeli oleh pembeli dan kewajiban pembeli untuk menyerahkan sejumlah uang kepada penjual sebagai ganti atas harga barang tersebut. Hak penjual untuk menerima uang dari pembeli dan pembeli berhak untuk menerima barang yang sudah dibayarkannya kepada penjual. Pengertian Klausula Baku adalah : 1. Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka (10), “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. 2. Menurut E.H. Hondius 3 Kontrak Standar atau Klausula Baku adalah konsep janji-janji yang tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya, serta pada umumnya dituangkan dalam perjanjian-perjanjian yang tidak terbatas jumlahnya, namun sifatnya tertentu).
3
E.H. Hondius.,” Staandardvoorwaarden”, dalam Syahmin., Hukum Kontrak Internasional, Rajawali Pers, Jakarta 2005, hal 142 Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Jadi
keseluruhan
dapat
disimpulkan
bahwa
penulis
bermaksud
menguraikan tentang PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM
PERJANJIAN
JUAL
BELI
DENGAN
MENGGUNAKAN
KLAUSULA BAKU. Maksudnya adalah bagaimana upaya perlindungan yang diberikan oleh pemerintah kepada konsumen yang melakukan transaksi atau perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku yang dibuat terlebih dahulu oleh para pelaku usaha secara sepihak tentang ketentuan-ketentuan tertentu, dimana klausula-klausula tersebut dibuat tanpa ada kesepakatan para pihak, dan apabila karena penggunaaan klausula baku yang tidak sesuai dengan batasan yang telah diberikan oleh UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) konsumen merasa hak dan kepentingannya dirugikan, maka konsumen dapat menggugat ataupun menuntut pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pada umumnya klausula baku yang disediakan oleh pelaku usaha sering kali hanya menguntungkan para pelaku usaha saja, dan sebaliknya bagi konsumen itu merugikan. Hal ini dikenal dengan istilah “take it or leave it”.
C. Alasan Pemilihan Judul Adapun alasan penulis memilih judul skripsi “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI DENGAN MENGGUNAKAN KLAUSULA BAKU”, adalah penulis melihat banyak sekali dalam ruang lingkup jual beli pelaku usaha menggunakan klausula baku yang bersifat simbiosis parasitisme yakni dimana hanya salah satu pihak saja Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
yang untung dan satu pihak lagi terpojok dalam posisi yang lemah. Ketika terjadi sengketa, acap kali konsumen tidak dapat dengan sempurna menuntut ataupun menggugat pelaku usaha karena kurangnya pengetahuan masyarakat selaku konsumen seputar prosedur penyelesaian sengketa konsumen baik yang ditempuh non litigasi (secara damai) maupun secara litigasi dan upaya perlindungan hukum yang diberikan pemerintah yang terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan pengamatan dan penelaahan penulis terhadap berbagai literatur, Perundang-undangan, maka untuk dapat memahami lebih lanjut tentang pembahasan skripsi ini, kiranya penulis perlu mengemukakan permasalahan yang ada dalam skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana penggunaan klausula baku dilihat dari asas kebebasan berkontrak? 2. Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dengan keluarnya Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan penggunaan klausula baku dalam perjanjian jual beli? 3. Bagaimana tata cara penyelesaian sengketa, jika terjadi perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha dalam penggunaan klausula baku?
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
E. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui penggunaan klausula baku dilihat dari asas kebebasan berkontrak. 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dengan keluarnya Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan penggunaan klausula baku dalam perjanjian jual beli. 3. Untuk mengetahui tata cara penyelesaian sengketa konsumen, jika terjadi perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha. Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Secara Teoritis Untuk
memberikan
manfaat
dibidang
pengetahuan
baik
melalui
pengembangan wawasan dan pemikiran untuk mahasiswa/kalangan akademis serta masyarakat tentang perlindungan hukum yang diberikan pemerintah terhadap konsumen yang dirugikan karena penggunaan klausula baku yang dibuat secara sepihak oleh pengusaha yang sering kali merugikan dan meletakkan konsumen pada posisi yang lemah, yaitu dalam bentuk pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaku usaha dan pembinaan terhadap konsumen seperti memberikan penyuluhan seputar konsumen, serta sejauh mana batasan-batasan yang ditetapkan oleh UU Perlindungan Konsumen terhadap klausula baku agar berlaku sah dan tidak melanggar kaedah-kaedah Hukum Perdata. Adapun yang menjadi peranan UU Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Perlindungan Konsumen adalah melindungi masyarakat selaku konsumen didalam membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia yang dilakukan melalui proses jual beli dalam masyarakat. 2. Manfaat Praktis Untuk memberikan pengembangan wawasan pada masyarakat mengenai tata cara penyelesaian sengketa konsumen. Penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
G. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitan yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif, yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penulisan skripsi ini penulis lakukan dengan menggabungkan antara metode penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum empiris dilakukan untuk memperoleh data primer yaitu dengan melakukan wawancara langsung kepada Ketua Lembaga Konsumen Indonesia cabang Medan yaitu Bapak Abu Bakar Siddiq, SH dan wawancara dengan konsumen yaitu Maria Margaretha Simaremare. Sedangkan penelitian hukum normatif dilakukan melalui kajian terhadap peraturan Perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
2. Data Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data primer adalah dari wawancara langsung kepada Ketua Lembaga Konsumen Indonesia cabang Medan yaitu Bapak Abu Bakar Siddiq, SH dan wawancara dengan konsumen yaitu Maria Margaretha Simaremare. Sedangkan metode pengumpulan data sekunder terbagi atas tiga bagian, yaitu : a. Bahan hukum primer yaitu norma atau kaedah dasar seperti Pembukaan UUD 1945, peraturan dasar seperti peraturan Perundangundangan yang meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. b. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer. c. Bahan hukum tertier adalah kamus, bahan dari internet dan lain-lain bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data yaitu melalui : a. Penelitian kepustakaan (Library Research) Yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi. Penelitian yang dilakukan dengan membaca serta menganalisa peraturan Perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, maupun sumber teoritis lainnya yang berkaitan dengan materi skripsi yang penulis ajukan. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Kegiatan ini penulis lakukan dengan cara turun langsung ke lapangan. Pengumpulan bahan-bahan di lapangan untuk memperoleh data yang akurat, dilakukan dengan mencari informasi langsung dengan mempergunakan instrumen penelitian seperti wawancara (interview) terhadap lembaga yang berhubungan dengan konsumen yaitu Lembaga Konsumen Indonesia dan wawancara langsung terhadap konsumen yaitu Maria Margaretha Simaremare. 4. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu lebih fokus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berasal dari peraturan Perundang-undangan, buku-buku yang berhubungan, dan hasil wawancara langsung. 5. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kantor Lembaga Konsumen Indonesia cabang Medan yang beralamat di Jln. Sena No.58 Medan, dan wawancara
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
langsung kepada konsumen Maria Margaretha Simaremare yang beralamat di Jln. Harmonika No.3 Padang Bulan-Medan.
H. Sitematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini, secara keseluruhan dapat diuraikan yaitu: 1. BAB I
: Pendahuluan yang menjadi sub bab terdiri dari yaitu Latar Belakang, Pengertian dan Pengesahan Judul, Alasan Memilih Judul, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
2. BAB II
: Hukum Perlindungan Konsumen terdiri dari sub bab yaitu Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen yang terdiri dari anak sub bab yaitu Pengertian Konsumen dan Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen, Asas dan Tujuan Perlindungan Hukum Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen serta Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha yang terdiri dari anak sub bab yaitu Hak dan Kewajiban Konsumen, dan Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha.
3. BAB III : Perjanjian Jual Beli yang terdiri dari; A. Teori Umum Tentang Perjanjian Jual Beli terdiri dari sub bab yaitu Pengertian Perjanjian Jual Beli, dan Asas-asas dalam Perjanjian Jual Beli dan Syarat Perjanjian Jual Beli. B. Perjanjian Baku Dalam Praktek terdiri dari sub bab yaitu Pengertian Perjanjian Baku, Latar Belakang dan Perkembangan Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Perjanjian Baku di Indonesia, dan Bentuk dan Ciri-ciri Perjanjian Baku yang terdiri dari anak sub bab yaitu Bentuk-bentuk Perjanjian Baku, dan Ciri-ciri Perjanjian Baku. 4. BAB IV: Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku terdiri dari sub bab Perjanjian Jual Beli dengan Menggunakan Klausula Baku Tidak Bertentangan dengan Asas Kebebasan Berkontrak, Perlindungan Hukum yang diberikan Pemerintah dengan Keluarnya UU No. 8 Tahun 1988 tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan Penggunaan Klausula Baku dalam Perjanjian Jual Beli, dan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 5. BAB V
: Penutup terdiri dari sub bab Kesimpulan dan Saran.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
BAB II HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Setiap hari jutaan unit barang diproduksi oleh pelaku usaha, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin hari kian meningkat. Dalam keadaan demikian dapat dibayangkan betapa banyaknya hubungan hukum yang terjadi yaitu salah satunya adalah jual beli. Berbagai transaksi baik barang dan/atau jasa tersebut dapat menimbulkan peristiwa hukum antara kedua belah pihak. Permasalahan antara pelaku usaha dan konsumen dapat terjadi karena ketidakjujuran pelaku usaha, misalnya keadaan barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha yang tidak sesuai dengan informasi barang dan/atau jasa yang diperoleh konsumen 4 , maupun perilaku konsumen itu sendiri yang tidak memperhatikan kewajibannya melainkan hanya menuntut hak saja. Konsumen sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan yang kurang terhadap kegiatan produksi, pemasaran, kualitas barang dan lain sebagainya maka konsumen perlu dilindungi agar mereka mengerti apa yang menjadi hak dan kewajibannya, demikian juga dengan para pelaku usaha agar tidak menindas konsumen karena posisinya yang lemah. 5
A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Konsumen
4
Wawancara tanggal 26 November 2008 kepada Maria Margaretha Simaremare, Konsumen, Medan. 5 Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris) atau consument (Belanda). Batasan mengenai konsumen menurut AZ. Nasution adalah setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk semua kegunaan tertentu. 6 Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan pengertian konsumen adalah pemakai atau pengguna produksi terakhir dari benda dan jasa. 7 Dari rumusan ini Hondius ingin mengemukakan bahwa ada konsumen akhir dan konsumen bukan pemakai terakhir. Artinya ada konsumen yang membeli barang dan/atau jasa itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarganya melainkan untuk diperdagangkan untuk menambah penghasilan, disamping itu juga terdapat konsumen akhir yaitu konsumen yang membeli barang dan/atau jasa untuk memenuhi hidupnya dan keluarganya dengan tujuan melangsungkan kehidupan. Untuk itu, batasan pengertian konsumen perlu dibedakan, yaitu : 1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu. 2. Konsumen-antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersil). 3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial). 8
Defenisi Konsumen menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak 6
Az. Nasution., Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995, hal 69. Shidarta., Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2006, hal 3. 8 AZ. Nasution., Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta 2002, hal 13 7
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Sehat, ”Konsumen adalah setiap pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”. Pengertian konsumen menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka (2) menyatakan bahwa, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Pengertian konsumen pada UU Perlindungan Konsumen yang memakai istilah “pemakai” sepertinya kurang tepat, kata pemakai disini dapat menimbulkan kesan bahwa barang dan/atau jasa yang sudah dibeli dari pelaku usaha tersebut belum menjadi miliknya pribadi. 9 Dari rumusan ini, terlihat seolah-olah konsumen hanya bersifat sebagai pemakai bukan pemilik dari barang tersebut meskipun telah terjadi transaksi jual beli yang mengakibatkan telah terdapatnya perpindahan kepemilikan antara pelaku usaha dengan konsumen. Disamping itu, cakupan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen adalah sangat sempit. Jika kita telaah kembali pengertian konsumen yang terdapat pada UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka (2) menyatakan yang termasuk pada konsumen itu hanya terbatas pada subjek hukum “Orang”, padahal subjek hukum “Badan Hukum” juga merupakan konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dipakai sendiri dan tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena
9
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo., Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2008, hal 4 Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
itu, lebih tepat bila dalam Pasal ini menentukan setiap orang yang memperoleh barang dan/atau jasa yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum. 10 Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian konsumen adalah: 11 Konsumen adalah : 1. Setiap orang Subjek yang disebut dengan konsumen berarti orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah orang sebenarnya dapat menimbulkan keraguan apakah orang atau termasuk juga badan hukum. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak menyebutkan “produsen” sebagai lawan dari konsumen, tetapi lebih tepat “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas yaitu dalam Pasal 1 angka (3) Undangundang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, ”Pelaku usaha adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang di dirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Jadi pelaku usaha yang dimaksud disini adalah orang alamiah dan badan hukum. 2. Pemakai. Sesuai dengan penjelasan dari Pasal 1 angka (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen, kata konsumen menekankan pada konsumen 10 11
Ibid, hal 5 Shidarta., Op. cit, hal 5.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
akhir. Konsumen tidak hanya setiap orang yang membeli (buyer) tetapi semua orang dan badan hukum yang mengkonsumsi barang dan jasa. 3. Barang dan Jasa. Kata barang dan jasa yang ditentukan oleh UU Perlindungan Konsumen diganti dengan kata Produk. UU Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai benda baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 4. Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran yang dapat dilihat dari rumusan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun pada zaman sekarang tidak lagi dituntut hal yang demikian oleh masyarakat. Misalnya di Indonesia telah banyak berkembang perusahaan pengembang (developer) perumahan, yang mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi yang dikenal dengan istilah ”booking”. 5. Bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Unsur ini berupaya untuk memperluas defenisi dari konsumen dan kepentingannya. Kepentingan akan barang dan jasa itu tidak hanya tergantung pada pemakaian untuk diri sendiri dan keluarga tetapi juga barang dan jasa yang diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
dan keluarga), bahkan untuk makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan. 6. Tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen dipertegas hanya sebatas pemakai akhir yang menggunakan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya yang bersifat non komersial.
2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaedah-kaedah bersifat mengatur, dan melindungi kepentingan konsumen dari pelaku usaha yang bertindak sewenangwenang dan tidak bertanggung jawab yang menempatkan posisi konsumen sebagai objek dari bisnis yang dilakukannya. Artinya usaha untuk melakukan perlindungan hukum terhadap konsumen diatur oleh hukum perlindungan konsumen yang terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab awal yang menyatakan bahwa konsumen itu terdapat pada posisi yang lemah baik dalam hal pengetahuan seputar produk yang dibuat oleh pelaku usaha maupun dalam hal tawar-menawar berkaitan dengan penggunaan klausula baku yang terlebih dahulu ditetapkan oleh pelaku usaha tanpa ada kehendak bebas dari konsumen. Guna menyeimbangkan kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen, maka dirasa perlu adanya suatu
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
hukum yang melindungi kepentingan konsumen yang lemah tersebut yang disebut dengan hukum perlindungan konsumen. 12 AZ. Nasution, SH memberikan batasan dari hukum perlindungan konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. 13
Dengan demikian Hukum
Perlindungan Konsumen digunakan apabila antara konsumen dengan pelaku usaha yang mengadakan suatu hubungan hukum, kemudian terjadi permasalahan yang dipicu oleh kedudukan yang tidak seimbang tersebut. Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka (1), menyebutkan bahwa, ”Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Artinya, Pemerintah memberikan kepastian hukum kepada konsumen dalam hal perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingannya. Meskipun UU Perlindungan Konsumen ini bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen bukan berarti mengabaikan kepentingan pelaku usaha yang mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan dan pemenuhan akan kebutuhan masyarakat.
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Hukum Konsumen 12
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan. 13 AZ. Nasution., Op. cit hal 66. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen, yang merupakan asas-asas dari perlindungan konsumen adalah : 14 1. Asas Manfaat Yaitu segala upaya yang dilakukan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Dengan kata lain, tidak boleh hanya satu pihak saja yang mendapatkan manfaat sedangkan pihak yang lain mendapatkan kerugian yang dikenal dengan istilah tidak boleh memperoleh manfaat di atas kerugian orang lain. 2. Asas Keadilan Hukum perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen maupun pelaku usaha, jadi tidak hanya membebani pelaku usaha dengan tanggung jawab, tetapi juga melindungi hak dan kepentingannya. Tidak hanya pro kepada konsumen. Hal ini dikarenakan tidak selamanya sengketa konsumen itu diakibatkan atas kesalahan pelaku usaha saja, tetapi dapat juga diakibatkan oleh kesalahan konsumen yang terkadang tidak tahu akan kewajibannya atau terburu-buru menyetujui ketentuan-ketentuan yang terdapat klausula baku, contohnya tanpa membaca terlebih dahulu sehingga ketika terjadi sengketa langsung menuduh pelaku usaha yang berbuat jahat padanya.
3. Asas Keseimbangan
14
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo., Op. cit, hal 25.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Asas keseimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban para pelaku usaha, konsumen maupun pemerintah sebagai pengawas dari hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi perdagangan antara pelaku usaha dan konsumen. 4. Asas Keamanan dan Keselamatan Asas ini bertujuan untuk memberikan jaminan dan kepastian keselamatan kepada konsumen dalam menggunakan produk yang diproduksi oleh pelaku usaha yang beredar di pasaran untuk dikonsumsi ataupun digunakan. 5. Asas Kepastian Hukum Asas ini bertujuan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Tanpa harus membebankan tanggung jawab kepada salah satu pihak. Dengan adanya asas kepastian hukum ini, jika salah satu pihak melakukan tindakan hukum yang bersifat merugikan pihak yang lain maka terhadap pihak tersebut dapat dimintakan pertanggung jawaban dan ganti kerugian. Disamping asas-asas yang tersebut di atas, maka terdapat asas lain yang tidak kalah pentingnya yaitu asas iktikad baik. Di zaman reformasi sekarang ini, banyak sekali para pelaku usaha yang menggunakan perjanjian-perjanjian yang bersifat baku yang bertujuan agar dapat memberikan suatu pelayanan yang cepat, efisien, dan efektif dan tidak memakan waktu yang lama. Perjanjian baku yang ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha kebanyakan bersifat menguntungkan kepada satu pihak saja Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
yaitu pelaku usaha, sedangkan bagi pihak konsumen adanya perjanjian baku tersebut merupakan suatu kerugian karena tidak adanya kehendak bebas konsumen dalam menetapkan perjanjian tersebut dan tidak dapat melakukan tawar-menawar apalagi untuk mengubah isi perjanjian. 15 Dalam hal ini konsumen hanya dapat memilih untuk menerima perjanjian berserta konsekuensinya ataupun menolak perjanjian tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dalam melakukan transaksi ataupun hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen baik dalam hal transaksi jual beli barang dan/atau jasa, maka terhadap pelaku usaha tersebut telah ditanamkan prinsip iktikad baik. Tidak hanya mengambil keuntungan sendiri dengan merugikan pihak lain, karena konsumen dalam hal ini merupakan mitra bisnis pelaku usaha yang keduanya saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Berdasarkan rumusan Pasal 1338 KUHPerdata dapat kita ketahui bahwa suatu perjanjian itu hendaklah dibuat dengan suatu iktikad yang baik. Dengan kata lain perjanjian itu tidak berlaku sah apabila dilakukan dengan iktikad buruk yang bertujuan untuk merugikan pihak lain ataupun pihak ketiga yang terkait, yang diperoleh dari pemaksaan, penipuan ataupun kekeliruan. Pelaku usaha tidak boleh mendapat keuntungan dari kebutuhan konsumen yang mendesak tersebut. Adapun yang menjadi tujuan dari diadakannya perlindungan terhadap konsumen tercantum dalam Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen, yaitu : 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
15
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, Ketua LKI cabang Medan Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Guna mewujudkan tujuan UU Perlindungan Konsumen ini, pemerintah mempunyai peranan yang besar, hal dikarenakan dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa negara bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Dalam hal tanggung jawab pemerintah atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen untuk dapat mempertahankan apa yang telah menjadi haknya dan melakukan apa yang menjadi kewajibannya. 16 Prinsip ekonomi “dengan modal yang sekecil-kecilnya mendapatkan untung yang sebesar-besarnya”, yang dianut oleh pelaku usaha dapat menjadikan konsumen menderita kerugian, yaitu konsumen tidak lagi mendapatkan produk dengan kemanfaatan yang maksimal dan aman dikonsumsi. Bisa saja produk yang 16
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
diproduksi oleh pelaku usaha tersebut asal jadi saja. Misalnya naged yang bahan bakunya berasal dari bangkai-bangkai ayam yang sudah mati dan membusuk kemudian dibersihkan dan digoreng lalu di pasarkan kepada masyarakat. Jelas dalam hal ini konsumen sangat dirugikan terutama dalam hal kesehatan. Meskipun memperhatikan
tujuan
dari
kepentingan
UU
Perlindungan
konsumen,
namun
Konsumen bukan
berarti
mayoritas dengan
diterbitkannya UUPK ini justru mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi sebaliknya yaitu untuk menciptakan suatu prinsip positif bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah mitra yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain (saling ketergantungan). Adapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen termuat dalam rumusan Pasal 29 ayat (4) UU Perlindungan Konsumen, yaitu : 1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan
yang sehat antara
pelaku usaha dengan konsumen 2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat 3. Meningkatkannya kualitas sumber daya serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen. Mengenai ketentuan dari Pasal ini dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001, yaitu sebagai berikut : 1. Menciptakan iklim usaha yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, dijabarkan dalam Pasal 4 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi menteri teknis terkait, berupa: a) Penyusunan kebijakan dibidang perlindungan konsumen
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
b) Pemasyarakatan peraturan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen c) Peningkatan peranan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui peningkatan kualitas umber daya manusia dan lembaga d) Peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing e) Peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan f) Penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut perlindungan konsumen g) Peningkatan kualitas barang dan/atau jasa h) Peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha untuk memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa, dan i) Peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku. 2. Berkembangnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, dijabarkan dalam Pasal 5 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi Menteri dengan menteri teknis terkait, berupa : a) Pemasyarakatan peraturan Perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
b) Pembinaan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan 3. Berbagai upaya yang dimaksudkan untuk peningkatan kualitas sumber daya disamping kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen, dijabarkan dalam Pasal 6 bahwa upaya tersebut dilakukan atas koordinasi menteri dengan menteri teknis terkait, berupa : a) Peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil dibidang perlindungan konsumen b) Peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa, dan c) Penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk menjamin diperolehnya hak dan kewajiban baik konsumen dan pelaku usaha secara seimbang dan berdasarkan kepada keadilan yang dianut oleh UU Perlindungan Konsumen.
C. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 1. Hak dan Kewajiban Konsumen Perdagangan bebas yang didukung dengan faktor teknologi yang berkembang semakin pesat merupakan pemicu semakin banyak kebutuhan hidup yang harus dipenuhi baik bersifat primer, sekunder, dan tersier. Disamping kebutuhan yang semakin meningkat, pelaku usaha pun semakin kreatif dengan menyediakan kebutuhan dalam jumlah yang banyak dan bervariasi sesuai dengan permintaan pasar. Hal ini memberikan manfaat kepada konsumen yakni Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
konsumen bebas memilih barang dan/atau jasa yang diinginkannya, tetapi juga dapat memberikan kerugian bagi konsumen yang dijadikan objek bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan keamanan dan kelayakan konsumsi dari barang yang diproduksinya. Dilain sisi, pelaku usaha dalam mempromosikan barang dan/atau jasa sering menggunakan informasi yang bersifat menyesatkan dan menggunakan perjanjian baku dengan alasan agar memberikan pelayanan yang efisien dan efektif. Mengacu kepada hal di atas, ditentukanlah apa yang menjadi hak dan kewajiban konsumen dengan tujuan jika terjadi hal yang tidak adil terhadap dirinya, konsumen dapat menyadarinya dan memperjuangkan haknya. Adapun hal-hal yang menjadi hak dari konsumen tercantum dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak ini dimaksudkan untuk memberikan rasa aman, nyaman dan menjamin keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperolehnya dari pelaku usaha. 2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan Hak untuk memilih ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa yang sesuai dengan kebutuhan atau yang sesuai dengan keinginannya, yang tentu saja barang dan/atau jasa yang ditawarkan tersebut sama kondisi dan kualitasnya
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
dengan yang dipromosikan oleh pelaku usaha. Dan tentu saja pemilihan terhadap barang dan/atau jasa tersebut disesuaikan dengan nilai uang yang dipergunakannya sebagai alat pembayaran. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/ jasa. Informasi yang merupakan hak konsumen adalah informasi mengenai kegunaan produk, efek samping penggunaan produk, tanggal kadaluarsa, identitas produsen yang membuat produk barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannnya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya. 17 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Konsumen mempunyai hak untuk mengeluhkan mengenai kekurangan barang dan/atau jasa yang dibelinya dari pelaku usaha, yang mungkin saja berbeda dengan yang dipromosikan oleh pelaku usaha. Disamping itu, apabila kekurangan dari barang dan/atau jasa tersebut besifat fatal maka konsumen berhak meminta ganti yang baru. Tentu saja hal ini didasarkan pada alasan-alasan yang dapat diterima. 5. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
17
Ibid, hal 41.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Apabila terdapat persengketaan antara pelaku usaha dengan konsumen, maka konsumen berhak untuk didampingi oleh seorang advokat sebagai kuasa hukumnya (dalam litigasi), sedangkan jika ditempuh secara nonlitigasi maka konsumen dapat menyelesaikan sengketanya dengan bantuan instansi yang berwenang yaitu Badan Penyelesaian Sengeta Konsumen (BPSK). 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak yang satu ini ditujukan untuk memberikan kesadaran dan pengetahuan seputar hak dan kewajiban dari konsumen itu sendiri serta pengetahuan tentang tata cara menggugat atau menuntut (litigasi), ataupun mengajukan permohonan kepada BPSK (non-litigasi), sehingga apabila suatu hari konsumen meras dirugikan, ia dapat menggugat atau menuntut pelaku usaha sesuai dengan hukum yang berlaku. 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Konsumen berhak mendapat perlakuan adil yang tidak diskriminatif oleh pelaku usaha terkait kurang mampunya konsumen dalam hal materi. Dengan kata lain, pelaku usaha harus berlaku tidak diskriminatif terhadap pembelinya, yang kaya didahulukan dan yang miskin tidak diacuhkan. 8. Hak untuk mendapatan konpensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Hak untuk memdapatkan garansi dari barang dan/atau jasa yang dibelinya ataupun hak untuk mendapatkan ganti rugi terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan kualitas saat dipromosikan. 9. Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan lainnya. Jika ada hak, maka akan ada kewajiban yang menyertainya. Adapun yang menjadi kewajiban dari konsumen termuat dalam Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen, yaitu sebagi berikut : 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dari pemanfaatan barang dan/ atau jasa. Hal ini wajib dilakukan oleh konsumen, agar tidak ada persengketaan yang muncul dikemudian hari. Dengan membaca dan mengikuti petunjuk pemakaian maka konsumen tahu resiko ataupun hal-hal lain yang melekat pada barang dan/atau jasa tersebut. Bagi konsumen yang tidak dapat membaca, maka ia wajib bertanya kepada pelaku usaha tentang segala sesuatu mengenai barang dan/atau jasa yang akan dibelinya. 2. Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Tidak hanya pelaku usaha saja yang wajib untuk bertikad baik dalam menjalani usahanya, tetapi konsumen juga wajib beriktikad baik dalam bertransaksi seperti tidak adanya keinginan untuk menipu. 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen wajib membayar harga barang dan/atau jasa sesuai dengan harga kesepakatan antara konsumen itu sendiri dengan pelaku usaha.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Dengan mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya, konsumen tidak dapat lagi dijadikan sebagai objek eksploitasi oleh pelaku usaha yang kerap kali tidak memperdulikan hak dari konsumen. Sebagai konsumen yang telah mengerti akan hak dan kewajibannya, dapat menjadikan posisi antara konsumen dengan pelaku usaha menjadi seimbang dan tidak ada yang berada diposisi yang lemah ataupun kuat. Memang pada dasarnya konsumen mempunyai kekurangan dalam hal pengetahuan dibidang produksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha, namun hal ini dapat diatasi dengan bersikap waspada serata menjadi konsumen yang bijak dan mandiri yaitu dengan : 1. Membiasakan diri untuk berbelanja dengan menggunakan rencana 2. Mengkonsumsi barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhan 3. Teliti sebelum membeli 4. Membeli barang dan/atau jasa yang berkualitas sesuai dengan standart kesehatan dan keamanan 5. Memerhatikan lebel, keterangan barang, dan tanggal kadaluarsa. 18
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Sebelumnya telah kita ketahui bahwa UU Perlindungan Konsumen tidak hanya ditujukan semata-mata untuk mengatur hak dan kewajiban konsumen saja, tetapi juga hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal ini maksudkan agar pelaku usaha juga mendapatkan jaminan hukum dari negara, dan untuk menciptakan
18
Happy Susanto., Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta 2008, hal 31.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
kenyamanan dalam berusaha serta menciptakan keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen. Hak-hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen, meliputi : 1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan 2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik 3. Hak untuk mendapat pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen 4. Hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, dan 5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan lainnya. Kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen, mencakup : 1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya 2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
4. Menjamin
mutu
barang
dan/atau
jasa
yang
diproduksi
dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku 5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. Selain hak dan kewajiban di atas pelaku usaha juga mempunyai tanggung jawab yang harus dipikulnya yang disebut dengan istilah “product liability”. Pelaku usaha berkewajiban untuk bersikap hati-hati dalam memproduksi barang dan/atau jasa yang akan di pasarkan kepada konsumen. Menurut Saefullah, Product Liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk, dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk, atau mendistribusikan produk tersebut. 19 Pada dasarnya pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan dari barang dan/atau jasa yang diproduksinya. Hal ini dikarenakan, dapat dipastikan pelaku usaha mengetahui segala sesuatu mengenai barang dan/atau jasa yang diproduksinya baik mengenai keamanan, kesehatan, dan kelayakan untuk dikonsumsi atau digunakan oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen Pasal 19 ayat (1) ditegaskan bahwa, ”Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau
19
Ibid, hal 37
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Jadi jelas tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen yang dirugikan hak dan kepentingannya. Adapun bentuk ganti rugi yang diberikan diatur dalam ketentuan UU Perlindungan Konsumen Pasal 19 ayat (2) yaitu, ”berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku”. Pemberian ganti rugi ini dilakukan dalam jangka waktu tujuh hari setelah terjadinya transaksi jual beli. Namun pemberian ganti rugi ini tidak menghilangkan sanksi pidana apabila di persidangan pengadilan dapat dibuktikannya adanya unsur kesalahan yang disengaja dalam diri pelaku usaha. Disamping
product liability, ada pula “strict liability” yaitu bahwa
produsen seketika itu juga bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen tanpa mempersoalkan kesalahan dari pihak produsen. 20 Dalam hal ini Dann menyebut pelaku usaha dengan produsen yang menghasilkan barang yang beredar di pasaran. Menurut DL Dann, ada beberapa alasan mengapa konsep strict liability perlu untuk diterapkan yaitu beban kerugian atau resiko ditanggung oleh pihak yang memproduksi barang-barang yang cacat atau berbahaya ke pasaran. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang kepasaran, berarti pelaku usaha menjamin barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan.
20
Ibid, hal 39
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
BAB III PERJANJIAN JUAL BELI
A. Teori Umum Tentang Perjanjian Jual Beli 1. Pengertian Perjanjian Jual Beli
Jual beli merupakan suatu perjanjian yang sangat popular dan banyak digunakan oleh orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik jual beli secara besar-besaran maupun jual beli secara kecil-kecilan. Jual beli berasal dari bahasa Inggris yang disebut dengan Sale and Purchase, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Koop en Verkoop. Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerima hak milik orang lain tersebut dengan harga. 21 Perjanjian jual beli banyak dilakukan karena kebutuhan manusia untuk bertahan hidup, yaitu adanya kebutuhan manusia untuk makan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, dan kepentingan-kepentingan lainnya yang bersifat komplementer dan tersier. Kesemuanya ini dapat diperoleh dengan mudah melalui proses jual beli. Sisi lain yang mendorong manusia untuk melakukan proses jual beli adalah kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai (barang dan/atau jasa) dan dia tidak dapat mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut kecuali menggantinya dengan sesuatu yang lain (sejumlah uang sebagai pembayaran dari barang dan/atau jasa yang telah diperolehnya). Sebelum melakukan perjanjian jual beli
21
www.hukum jual beli.com., diakses tanggal 11 Februari 2009, Pukul 15.05 Wib
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
setiap pihak mempunyai hak untuk memilih jenis barang yang akan dibelinya dan menentukan harga yang sesuai dengan barang tersebut. Pada dasarnya perjanjian jual beli sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 1457 KUHPerdata, “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”. Sarjana Munir memberikan defenisi, Jual beli adalah suatu kontrak dimana (satu) pihak, yang disebut sebagai penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak yang lainnya yang disebut dengan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar harga dari benda tersebut sebesar yang telah disepakati bersama. 22 Gunawan, dalam bukuya yang berjudul “Jual Beli”, menyatakan bahwa, Jual Beli adalah suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. 23 Obyek dari perjanjian jual beli adalah barang-barang tertentu yang dapat ditentukan wujud dan jumlahnya serta tidak dilarang menurut hukum yang berlaku untuk diperjualbelikan. Dari rumusan di atas, dapat dilihat bahwa jual beli memberikan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, yaitu: 1. Jual beli melahirkan kewajiban berupa penyerahan barang dari penjual kepada pembeli dan hak untuk menerima barang yang telah dibayar dari penjual kepada pembeli. 22 23
Munir Fuady., Pengantar Hukum Bisnis, Grasindo, Bandung 2005, hal 25 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi., Jual Beli,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
2004, hal 7 Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
2. Kewajiban untuk melakukan pembayaran harga atas barang yang diperoleh dari pembeli kepada penjual dan menerima sejumlah uang atas barang yang telah diperjualbelikan tersebut.
Rumusan di atas memberikan suatu penjelasan bahwa dalam perjanjian jual beli itu terdapat adanya peralihan hak dari satu pihak kepada pihak yang lain yaitu dari pihak penjual yang menyerahkan barangnya dan memperoleh sejumlah uang serta pihak pembeli yang menerima barang yang diinginkan dan menyerahkan sejumlah uang sebagai harga pembayaran yang telah disepakati. Peralihan hak terjadi setelah penyerahan barang oleh si penjual kepada pembeli (levering). Dalam penyerahan barang, terdapat aturan-aturannya yaitu :
1. Bila barang yang diserahkan tersebut adalah barang bergerak maka cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang tersebut. Misalnya jual beli mobil, pihak showroom menyerahkan mobil yang telah disepakati dengan jumlah harga tertentu kepada pihak pembeli. 2. Bila barang yang diserahkan tersebut adalah penyerahan utang-piutang dilakukan dengan cessie. 3. Untuk barang yang tidak bergerak, penyerahannya dapat dilakukan melalui proses balik nama di muka pejabat yang berwenang, dan khusus untuk jual beli tanah dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Penjual tidak hanya dibebani oleh kewajiban untuk menyerahkan barang dan/atau jasa, tetapi juga dibebani suatu kewajiban untuk memberikan jaminan, yaitu: 1. Menjamin bahwa penguasaan benda adalah aman dan tidak ada penguasaan dari pihak ketiga atas barang yang diperjualbelikan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya sengketa konsumen dikemudian hari. 2. Menjamin bahwa pada barang tersebut tidak terdapat cacat yang tersembunyi. Ini dapat dilakukan dengan memberitahukan kelemahan dan kelebihan dari barang tersebut, dan memberikan informasi yang sesungguhnya tentang barang tersebut tanpa ada niat untuk menipu konsumen/pembeli. Proses jual beli dapat dilakukan dalam bentuk perkataan maupun perbuatan, yaitu : 1. Melalui perkataan Jual beli ini dilakukan dengan adanya suatu pernyataan dari penjual yang menyatakan “saya jual” dan terhadap statement tersebut pembeli memberikan respon “saya beli”. Setelah penyataan tersebut barulah dilakukannya proses penyerahan barang dan penerimaan uang atas barang tersebut. 2. Melalui perbuatan Jual beli yang dilakukan melalui perbuatan, biasanya dilakukan dengan perbuatan mengambil dan member, seperti penjual memberikan barang dagangannya kepada pembeli dan pembeli memberikan sejumlah uang sebagai pembayaran yang wajar. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Suatu perjanjian jual beli telah bersifat mengikat ketika diantara pihakpihak yang bersangkutan telah terdapat kata sepakat, baik mengenai jenis barang maupun mengenai harga barang meskipun belum adanya proses penyerahan barang dan belum dilakukannya proses pembayaran. Hal ini diatur dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan, “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Sumber hukum dari perjanjian jual beli adalah sebagai berikut : 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III (tiga) tentang Perikatan. 2. Undang-undang tentang Pertanahan sejauh yang menyangkut dengan jual beli tanah. 3. Hukum Adat setempat terhadap jual beli yang terkait dengan masyarakat adat. 4. Yurisprudensi. 5. Perjanjian
Internasional
sejauh
yang
menyangkut
dengan
jual
beli
internasional. 6. Kebiasaan perdagangan, baik nasional maupun internasional. 7. Doktrin dan pendapat ahli. Secara keseluruhan menuju pada satu sasaran pokok dari diadakannya suatu perjanjian jual beli adalah suatu prestasi. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan, “Prestasi dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah setiap prestasi yang mewajibkan satu atau kedua belah pihak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
diperjanjikan, memberikan sesuatu adalah setiap prestasi yang bersifat memberikan sesuatu baik dalam bentuk penyerahan suatu barang ataupun melakukan pembayaran. Sedangkan tidak melakukan sesuatu adalah dimana satu pihak atau kedua belah secara bersamaan tidak melakukan sesuatu prestasi, prestasi yang demikian disebut sebagai prestasi yang bersifat negatif. Adapun yang menjadi subjek dalam perjanjian jual beli adalah subjek hukum yaitu “orang“ (natuurlijke persoon), dimana orang yang dimaksud adalah orang sudah dewasa, cakap dimata hukum dalam melakukan perbuatan hukum, serta dapat mempertanggung jawabkan segala seuatu yang telah diperbuatnya, dan “badan hukum” (recht persoon) yang telah memenuhi syarat formal dan material dari berdirinya suatu badan hukum. Kedua jenis subjek hukum itu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mengadakan suatu kontrak. Dengan demikian, dalam hukum perjanjian yang dapat menjadi subjeknya adalah perjanjian yang dilakukan oleh individu dengan individu atau pribadi dengan pribadi, badan hukum dengan badan hukum, dan antara individu dengan badan hukum.
2. Asas-asas Perjanjian Jual Beli dan Syarat Perjanjian Jual Beli Dalam mengadakan suatu perjanjian termasuk perjanjian jual beli, dikenal beberapa prinsip atau asas yang secara teori berfungsi untuk mengantisipasi dari hal-hal yang dapat merugikan para pihak tersebut. Adapun asas yang dimaksud adalah :
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
1. Asas Personalia
Asas Personalia merupakan asas yang paling utama dalam mengadakan suatu perjanjian jual beli. Pengaturan mengenai asas personalia terdapat dalam ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan, “Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Secara spesifik ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata ini menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi dan sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Pada setiap perjanjian jual beli sekurang-kurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu pihak penjual yang menyediakan barang objek jual beli, dan pembeli yang membayar harga pembelian terhadap barang objek jual beli.
2. Asas Kebebasan Berkontrak Salah satu asas yang ada dalam hukum perjanjian (perjanjian jual beli) adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Asas kebebasan berkontrak ini lebih cenderung digunakan terhadap transaksi jual beli dalam skala besar, yang dalam pelaksanaannya dibutuhkan suatu naskah kontrak. Artinya dalam membuat suatu naskah perjanjian para pihak dapat dengan bebas mengatur dan menentukan sendiri isi perjanjian tersebut, sepanjang memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang merupakan dasar hukum dari asas kebebasan berkontrak ini, yaitu sebagai berikut:
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
1. Adanya kata sepakat diantara dua belah pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut 2. Kecakapan para pihak yang membuat perjanjian 3. Objek perjanjian adalah suatu hal tertentu, dan 4.
Adanya suatu sebab yang halal.
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian. 24 Asas kebebasan berkontrak memungkinkan para pihak yang mengikat diri mereka antara satu dengan yang lain untuk membuat dan menentukan isi dari perjanjian jual beli sesuai dengan kesepakatan bersama, tetapi bukan berarti hal tersebut dilakukan tanpa ada pembatasan yang jelas dari Undang-undang. Dalam Pasal 1338 KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak dirumuskan sebagai berikut : 1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya, 2. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk itu, dan 3. Persetujuan-persetujuan dilaksanakan dengan iktikad baik. Dasar eksistensi dari asas kebebasan berkontrak terdapat dalam rumusan angka (4) Pasal 1320 KUHPerdata yaitu dimana suatu kontrak itu harus didasarkan pada sebab yang halal. Maksudnya isi perjanjian jual beli yang telah disepakati dan dinyatakan sebagai undang-undang bagi para pihak yang
24
Zulkifli Sembiring, Diktat Hukum Kontrak Dagang, Medan 2008, hal 18
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
membuatnya yang pada akhirnya menimbulkan kewajiban berupa prestasi, dimana prestasi yang harus dilaksanakan tersebut bukanlah hal yang oleh undang-undang dilarang. Dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata mengatakan dengan jelas bahwa, “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik dan ketertiban umum”. Secara prinsip yang dikatakan sebagi sebab yang halal bukanlah suatu sebab atau causa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari yang melatarbelakangi terjadinya hubungan hukum, peristiwa hukum, berubahnya keadaan hukum. Hukum tidak pernah mengetahui apa yang melatarbelakangi diadakannya perjanjian oleh para pihak, melainkan hukum hanya mengatur mengenai prestasi yang diperjanjikan untuk dilaksanakan oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik, dan ketertiban umum. Undang-undang memandang setiap sebab atau causa yang diperjanjikan itu sebagai sesuatu yang halal, sepanjang tidak dapat dibuktikan bahwa sebab atau causa dari isi perjanjian jual beli tersebut merupakan sebab atau causa yang terdapat dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Salah satu prestasi yang harus dilaksanakan dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 1336 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut, “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, ataupun ada sebab lain daripada yang dinyatakan itu, perjanjiannya, namun demikian adalah sah”. Dengan demikian, suatu sebab atau causa adalah suatu alasan yang harus diketahui oleh kedua belah pihak secara
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
bersama-sama yang kemudian di tuangkan dalam suatu isi perjanjian dengan prestasi yang harus dilaksanakan pemenuhannya.
4. Asas Pacta Sunt Servanda Asas Pacta Sunt Servanda ini diatur dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari rumusan Pasal di atas, asas Pacta Sunt Servanda (janji itu mengikat) mengajarkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan hukum yang penuh. Artinya jika isi perjanjian tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan isi perjanjian atau salah satu pihak tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban oleh pihak yang lain, maka bagi pihak yang merasa dirugikan hak dan dirinya dapat memaksa atas pelaksanaan kewajiban tersebut dengan meminta bantuan kepada pejabat yang berwenang untuk itu yang akan memutuskan dan menentukan telah sejauh mana pihak yang bersangkutan dinyatakan wanpretasi baik dengan alasan prestasi itu gagal, tidak sepenuhnya dan tidak sama sekali dilaksanakan, atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, maka bagi pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat memintakan ganti kerugian dengan jaminan harta kekayaan debitor, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Jika ditilik dari isi Pasal 1338 (1) KUHPerdata memberikan batasan yang sangat jelas bagi janji yang bersifat mengikat tersebut, yaitu daya ikat perjanjian hanya berlaku diantara para pihak yang membuatnya. Dengan kata lain, Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
pemaksaan berlakunya dan pelaksanaan kewajiban dari isi perjanjian hanya dapat dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak terhadap pihak lain yang wanprestasi yang merupakan pihak-pihak yang ada didalam perjanjian tersebut. Jadi pemaksaan tidak boleh dilakukan oleh pihak lain diluar pihak-pihak yang ada dalam perjanjian itu.
5. Asas Iktikad Baik Dasar Hukum yang menyatakan agar suatu perjanjian jual beli dilaksanakan dengan iktikad baik terdapat dalan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut, “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Ketentuan Pasal tersebut memberikan arti bahwa semua perjanjian sebagai sesuatu yang telah disepakati bersama dan disetujui oleh para pihak, maka hendaknya perjanjian yang telah dibuat tersebut dalam pelaksanaan prestasinya harus dihormati sepenuhnya sesuai dengan kehendak dan kesepakatan para pihak yang dituangkan kedalam perjanjian tersebut. Dalam hal pemenuhan pelaksanaan kewajiban oleh pihak debitor ada kalanya tidak mudah. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah tidak mudahnya bagi para pihak untuk menjelaskan dan menguraikan kembali kehendak para pihak, terlebih lagi jika pihak yang terkait dengan perjanjian tersebut sudah tidak ada lagi atau meninggal dunia, termasuk badan hukum yang pengurusnya sudah tidak menjabat lagi sebagaimana jabatannya ketika perjanjian dibuat, ataupun terdapatnya pengingkaran oleh salah satu pihak terhadap isi perjanjian. Dalam kasus yang seperti ini, maka hal yang dapat ditempuh adalah Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
melakukan pembuktian yang dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan haknya terkait tidak sesuainya pelaksanaan prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian. Bukti dapat berbentuk bukti tertulis baik berupa perjanjian tertulis, akta yang dibuat oleh atau dihadapan badan yang berwenang, ataupun bukti orang yaitu dengan keberadaan saksi yang turut serta menyaksikan keadaan pada saat perjanjian tersebut dibuat. Tujuan dari adanya asas iktikad baik dalam mengadakan suatu perjanjian jual beli adalah agar suatu perjanjian jual beli yang mulai dibuat sampai dengan selesai dibuat atau ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan dari kedua belah pihak baik pihak kreditor maupun pihak debitor, serta pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian.
8). Asas Ganti Kerugian Pengaturan mengenai asas ganti kerugian diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menentukan, “Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut”. Penentuan mengenai ganti kerugian merupakan kewajiban para pihak yang mengadakan perjanjian untuk memberikan batasan mengenai keadaan yang bagaimana terhadap pelaksanaan prestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mengakibatkan timbulnya kerugian kepada pihak lain. Pasal 1365 KUHPerdata mengatur tentang ganti kerugian yang disebabkan oleh karena adanya satu pihak yang melakukan perbuatan yang melawan hukum Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
karena kesalahan mengakibatkan kerugian pada orang lain, maka Ia harus membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh orang tersebut. Akan tetapi, pernyataan rugi yang dialami oleh pihak yang merasa kepentingannya dirugikan harus terlebih dahulu membuktikan bahwa adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian tersebut, karena tidak ada kerugian jika tidak ada hubungannya dengan perbuatan melawan hukum.
9). Asas Kepatutan (Equality Principle) Asas kepatutan mempunyai koherensi dengan Pasal 1339 KUHPerdata, yaitu yang berkaitan dengan kebiasaan yang ada didalam mayarakat luas yang pada akhirnya menjadi suatu kepatutan. Asas kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja yang dituangkan kedalam suatu perjanjian jual beli yang disepakati para pihak harus memperhatikan prinsip kepatutan (kelayakan/seimbang), sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang menyangkut hak dan kewajiban terhadap suatu prestasi dapat menimbulkan rasa keadilan bagi masyarakat. Dengan demikian, setiap persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. 25
25
Syahmin., Op. cit, hal 7.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
10). Asas Ketetapan Waktu Pada setiap perjanjian jual beli, apapun bentuknya baik perjanjian yang bersifat sepihak ataupun perjanjian timbal balik, harus memiliki batas waktu berakhirnya perjanjian yang sekaligus merupakan penjamin adanya unsur kepastian pelaksaan suatu prestasi yang menjadi objek perjanjian. Dalam setiap perjanjian jual beli para pihak harus memuat secara tegas batas waktu pelaksanaan perjanjian atau jangka waktu berakhirnya perjanjian. Apabila dalam perjanjian tidak dicantumkan batas waktu berakhirnya perjanjian maka para pihak dapat saja dengan sesuka hati melakukan prestasi dan lalai sehingga dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Jadi, jika prestasi tidak dilaksanakan sesuai dengan batas waktu yang telah diperjanjikan maka pihak yang bersangkutan dapat dinyatakan wanprestasi ataupun melakukan cidera janji yang mengakibatkan pihak yang dirugikan kepentingannya dapat menuntut pemenuhan prestasi ataupun memintakan ganti kerugian.
11). Asas Keadaan Darurat (Force Mejuere) Asas Keadaan Darurat merupakan suatu asas yang penting dalam sebuah perjanjian jual beli. Asas ini penting untuk mengantisipasi situasi dan kondisi dari suatu objek perjanjian. Jika dalam suatu naskah perjanjian jual beli asas keadaan darurat ini tidak dicantumkan maka seandainya saja pada saat pelaksanaan dari prestasi yang diperjanjikan terjadi hal-hal yang bersifat diluar kemampuan manusia seperti bencana alam, banjir bandang, gempa bumi, dan lain-lain, maka pihak yang harus dibebankan tanggung jawab tidak tahu siapa. Akibatnya antara Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
satu dengan yang lain pihak dapat terjadi perselisihan mengenai saling membebankan tanggung jawab. Untuk itu, asas ini harus terdapat dalam setiap perjanjian.
12). Asas Pilihan Hukum (Choice of Law) Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita melihat dalam perjanjian para pihak menentukan pilihan hukum yang mereka gunakan jika suatu hari terjadi perselisihan. Pilihan hukum, pada umumnya sering dimuat dalam perjanjian yang berkelas internasional. Dimana para pihak menentukan pilihan hukum suatu negara bagi mereka. Pilihan hukum diadakan untuk menghindarkan ketentuan-ketentuan dari negara yang dianggap kurang menguntungkan mereka. 26 13). Teori Penyelesaian Perselisihan Suatu perjanjian jual beli yang berbentuk tertulis harus memuat ketentuan mengenai klausula penyelesaian perselisihan antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Jika kemudian hari terdapat perselisihan antara para pihak maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui forum arbitrase, mediasi,
ataupun
lembaga peradilan yang memiliki yurisdiksi dan kompetensi untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Semua itu tergantung pada jalur hukum dan pilihan hukum yang telah disepakati oleh para pihak yang bersepakat mengikatkan diri mereka antara satu dengan yang lain yang dituangkan dalam suatu klausula penyelesaian perselisihan dalam perjanjian.
26
Ibid, hal 9
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Adapun syarat atau unsur-unsur yang wajib ada dalam setiap perjanjian jual beli adalah sebagai berikut : 1. Tersedianya barang dan/atau jasa Jual beli timbul apabila adanya kebutuhan manusia akan barang dan/atau jasa. Sehubungan dengan itu, manusia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya tersebut seorang diri sehingga ia membutuhkan orang lain untuk membantunya. Maka dengan uang yang dimilikinya, ia dapat memperoleh barang dan/atau jasa yang diinginkannya. Untuk itu dalam perjanjian jual beli tersedianya barang dan/atau jasa merupakan hal yang sangat penting. 2. Adanya Penjual Barang dan/atau jasa yang ditawarkan di pasaran disediakan oleh penjual. Penjual ini akan menyerahkan barang yang dibutuhkan oleh pembeli apabila keduanya telah sepakat dalam harga. Perjanjian jual terjadi ketika terjadinya penyerahan barang kepada pembeli, dan pembeli menyerahkan sejumlah uang sebagai ganti pembayaraan terhadap barang yang diambilnya kepada penjual sesuai dengan harga yang telah disepakati. 3. Adanya Pembeli Aapabila ada penjual berarti akan ada pula pembeli. Pembeli berhak untuk memilih terlebih dahulu barang yang akan dibelinya yang sesuai dengan kebutuhannya. Pembeli wajib membayar harga atas barang yang telah diambilnya kepada penjual sesuai dengan kesepakatan harga yang telah mereka buat.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Disamping unsur-unsur di atas, rumusan Pasal 1320 KUHPerdata juga mengatur tentang syarat sahnya dari suatu perjanjian, termasuk didalamnya perjanjian jual beli, yaitu : (1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Menurut sistem hukum dimana pun didunia ini, hal yang paling terpenting dalam sebuah perjanjian jual beli adalah adanya kata sepakat dari para pihak ingin mengadakannya yaitu kesepakatan antara penjual yang menyediakan barang dan pembeli yang membutuhkan barang tersebut. Jika tidak ada kata sepakat, maka perjanjian jual beli tidak akan pernah ada. Kesepakatan yang telah dicapai tersebut tidak boleh didasarkan adanya unsur yang terdapat dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa tidak dianggap sah suatu perizinan, jika izin kesepakatan diberikan karena : a. Salah pengertian atau kekeliruan b. Pemerasan atau pemaksaan c. Adanya penipuan (2). Kecakapan Para Pihak Setiap individu berhak untuk melakukan transaksi jual beli, mulai dari anak kecil yang ingin membeli sebuah permen sampai kepada orang yang ingin membeli barang dalam skala besar seperti pembelian mobil. Jual beli yang dilakukan oleh anak-anak yang membeli permen tetap dinyatakan sah meskipun secara hukum anak tersebut tidak cakap, karena hal ini tidak begitu butuh pengaturan hukum selama permen tersebut tidak membahayakan sianak seperti permen kadaluarsa. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Perjanjian jual beli yang membutuhkan pengaturan hukum seperti jual beli dalam skala besar baik bersifat nasional maupun internasional, harus dilakukan oleh subjek hukum yang cakap bertindak dalam melakukan tindakan hukum. Menurut Pasal 330 KUHPerdata, orang yang telah dewasa dan karenanya telah dapat membuat perjanjian adalah : 1. Sudah genap berumur 21 tahun 2. Sudah kawin, meskipun belum genap berumur 21 tahun, dan 3. Sudah kawin dan kemudian bercerai, meskipun belum berumur 21 tahun. Pengaturan mengenai umur 21 tahun yang dinyatakan dewasa oleh KUHPerdata, sekarang tidak berlaku lagi dengan diterbitkannya UURI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini mengatur bahwa seseorang telah dewasa adalah umur 18 tahun dan ketentuan berlaku untuk semua warga negara tanpa melihat golongan penduduknya. Berlakunya umur 18 tahun ini dikuatkan dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung No. 477 K/Sip/1976 pada tanggal 13 Oktober 1976. Menurut Pasal 433 KUHPerdata, yang dimaksudkan dengan orang yang berada dibawah pengampuan sehingga tidak dapat membuat perjanjian yang sah, yaitu: 1. Orang yang dungu 2. Orang gila (tidak waras pikiran) 3. Orang yang mata gelap 4. Orang yang boros.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Kepada mereka di atas tetap diletakkan dibawah pengampuan, meskipun mereka terkadang dapat bertindak secara dewasa dan cakap. Seorang wanita yang sudah bersuami oleh undang-undang tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Rasio dari rumusan ini adalah agar jangan sampai terdapat dua kapal dalam satu nahkoda. Sebab, dalam suatu perkawinan yang dianggap sebagai nahkoda adalah suami (kepala rumah tangga). Akan tetapi, dewasa ini mengenai ketidakcakapan seorang wanita yang sudah kawin dapat dikatakan tidak berlaku lagi dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Dalam Pasal 31 UURI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, meskipun dikatakan bahwa suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga namun diantara keduanya mempunyai kedudukan yang seimbang dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum termasuk mengadakan suatu perjanjian. 2. Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 yang menyatakan seorang isteri tetap cakap berbuat sesuatu dengan mencabut Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata. 3. Perkembangan zaman emansipasi wanita yang menempatka kedudukan antara pria dan wanita adalah sama. Mengenai orang yang dilarang oleh undang-undang melakukan perbuatan hukum sehingga dianggap tidak cakap, hanya untuk suatu perbuatan tertentu saja. Misalnya dalam perjanjian jual beli tidak dapat dilakukan antara suami kepada isterinya, demikian juga sebaliknya.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
(3). Mengenai suatu hal tertentu Secara yuridis dalam sebuah perjanjian jual beli harus terdapat unsur “perihal tertentu”, yang dimaksud dengan perihal tertentu adalah objek dari suatu perjanjian jual beli tersebut. Terhadap objek tertentu, oleh undang-undang diberi persyaratan sebagai berikut: 1. Barang yang menjadi objek perjanjian adalah barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUHPerdata) 2. Pada saat perjanjian dilakukan, minimal terhadap barang tersebut telah dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata) 3. Jumlah barang tersebut harus dapat dihitung dan dapat ditentukan (Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata) 4. Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada dikemudian hari (Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata) 5. Tidak dapat menjadi objek perjanjian terhadap barang-barang yang meruapakan barang warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata. (4). Suatu sebab yang halal Dalam mengadakan suatu perjanjian jual beli harus dimuat mengenai sebab-sebab kenapa suatu perjanjian jual beli itu dibuat oleh para pihak. Adapun sebab yang mendasari suatu perjanjian jual beli itu haruslah suatu sebab yang halal, yaitu sebab yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik, dan ketertiban umum.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Syarat mengenai tentang kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak disebut syarat subjektif, yaitu syarat yang menyangkut subjek hukum yang membuat perjanjian. Apabila syarat subjektif ini dilanggar maka terhadap perjanjian jual beli tersebut dapat dimintakan pembatalan. Sedangkan syarat objek tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat objektif, yaitu syarat yang menyangkut objek dan isi perjanjian. Apabila syarat objektif ini tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian jual beli tersebut dinyatakan batal demi hukum.
B. Perjanjian Baku dalam Praktek 1. Pengertian Perjanjian Baku Perjanjian Baku disebut juga dengan Perjanjian Standar ataupun Klausula Baku. Pengertian Perjanjian Baku adalah : 1. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ”Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. 2. Mariam Darus Badrulzaman 27 Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
27
Ibid.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
3. Drooglever Fontuijn 28 Perjanjian yang bagian isinya yang penting dituangkan dalam susunan janji- janji. Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Perjanjian Baku adalah suatu jenis perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis oleh satu pihak yakni pihak pelaku usaha, dalam bentuk formulir-formulir yang dibuat dalam jumlah yang banyak dan tak terbatas yang kemudian ditawarkan kepada konsumen tanpa melihat kondisi ekonomi masyarakat tersebut selaku konsumen. Pelaku usaha dengan kepercayaan diri yang tinggi mempergunakan perjanjian baku dalam setiap transaksi perdagangan terutama dalam hal perjanjian jual beli, karena mereka percaya hanya para pelaku usahalah yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena keterbatasan yang dimiliki konsumen dan kebutuhan hidup yang kian mendesak mereka tidak dapat menolak adanya perjanjian baku yang sifatnya senantiasa merugikan dan menempatkan konsumen pada posisi yang lemah. Dengan demikian, perjanjian dapat tetap bertahan dalam dunia perjanjian jual beli. Beberapa istilah mengenai perjanjian baku, yaitu : 29 1. Standaardcontracten (Belanda) 2. Allgemenie geschaftsbedingungen (Jerman) 3. Contract d’adhesion (Prancis) 4. Standard from contract (Inggris) 28 29
Ibid, hal 143 Ibid, hal 146
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
5. Adhesion contract (Amerika Serikat) 6. Perjanjian baku (Indonesia)
2. Latar Belakang dan Perkembangan Perjanjian Baku di Indonesia Beberapa
tahun
belakangan
ini,
dunia
perdagangan
mengalami
perkembangan yang sangat pesat baik dalam skala nasional maupun internasional. Hal ini ditandai dengan banyaknya produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan para pelaku usaha kepada masyarakat selaku konsumen. Masyarakat tidak perlu bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan mereka baik yang bersifat primer, sekunder, tersiar dan komplementer. Semua telah disediakan oleh para pelaku usaha. Pelaku usaha dalam memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin meningkat tersebut, tidak mungkin bergerak dengan lambat yang tidak sesuai dengan permintaan. Menyikapi hal ini para pelaku usaha berfikir bagaimana caranya memberikan pelayanan yang efektif dan efisien kepada para konsumen. Untuk itu, para pelaku usaha memikirkan suatu cara yaitu dengan membuat atau menyusun isi dan syarat terlebih dahulu yang dituangkan kedalam bentuk perjanjian baku. Perjanjian baku merupakan suatu aspek perjanjian yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian ini tumbuh dan berkembang untuk memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Akan tetapi, dengan banyaknya konsumen yang harus dipenuhi kebutuhannya, pelaku usaha tidak mungkin membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku untuk orangIce Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
perorangan. Maka untuk memenuhi hasrat konsumen tersebut, pelaku usaha merancang perjanjian yang yang berisi syarat-syarat tertentu yang dapat diberlakukan secara kolektif dan massal. Jadi latar belakang dari perjanjian baku adalah keadaan ekonomi. Di Indonesia tidak secara jelas diketahui sejak kapan mulai timbul perjanjian baku dalam kehidupan sehari-hari, yang pasti sejak dahulu perjanjian ini telah terjadi, misalnya dalam perjanjian jual beli dan cuci cetak film. Biasanya perjanjian baku ini dibuat dalam bentuk formulir dalam jumlah yang tertentu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat selaku konsumen, dimana formulir tersebut diberikan kepada masyarakat yang menginginkannya. Karena isi dari perjanjian baku itu terlebih dahulu dibuat oleh pihak pelaku usaha, maka tidak jarang isi dari perjanjian baku itu bersifat menguntungkan satu pihak saja yaitu pihak pelaku usaha. Mayoritas dari keseluruhan isi perjanjian baku itu adalah mengatur tentang kewajiban konsumen yang harus dipenuhinya. Didalam transaksi perdagangan terutama dalam perjanjian jual beli, perjanjian baku banyak digunakan. Hal ini dikarenakan dengan penggunaan perjanjian baku dalam bentuk formulir ini terbukti dapat memberikan pelayanan yang cepat (efisien) dan sekaligus memberikan kepastian hukum (efektif), yaitu kepastian hukum yang menyatakan klausula baku tersebut berlaku sah dan mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Dengan bentuk dan isi yang ditentukan hanya oleh pihak pelaku usaha saja, maka pihak konsumen tidak dapat melakukan proses tawar-menawar,
sehingga
konsumen
hanya
dapat
melakukan
tindakan
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
“mengambil” atau “menolak” isi perjanjian tersebut terkait dengan kebutuhannya. Istilah ini dikenal dengan istilah “take it or leave it”.
3. Bentuk dan Ciri-ciri Perjanjian Baku a) Bentuk-bentuk Perjanjian Baku Rumusan mengenai pengertian perjanjian baku yang telah dikemukakan di atas, perjanjian baku sebelum ditawarkan kepada masyarakat terlebih dahulu mengenai isi dan ketentuan yang berlaku terhadap perjanjian tersebut ditentukan oleh pihak-pihak. Dengan melihat kenyataan yang terdapat dimasyarakat, berdasarkan perbedaan pihak-pihak yang menyusun perjanjian baku ini, maka bentuk perjanjian baku dapat dibedakan atas empat bentuk, yaitu : 1. Perjanjian baku sepihak Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh satu pihak yang mempunyai kedudukannya paling kuat dalam perjanjian tersebut. Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditor/ pelaku usaha dibandingkan dengan pihak debitor. Dalam perjanjian yang sepihak ini, kondisi atau ketentuan-ketentuan perjanjian ditetapkan secara sepihak oleh pihak kreditor, tanpa melalui proses tawar-menawar terlebih dahulu kepada pihak konsumen, sedangkan pihak debitor hanya bersifat menerima atau menolak isi perjanjian. Perjanjian baku bentuk ini dalam bahasa Prancis disebut dengan Contract d’adhesion. Artinya perjanjian baku yang dengan sengaja dipersiapkan dengan tujuan semata-mata untuk memenuhi keinginan ataupun kebutuhan masyarakat selaku konsumen. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
2. Perjanjian baku timbal balik Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya terlebih dahulu ditentukan oleh kedua belah pihak yang isinya dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis dalam bentuk formulir yang digunakan oleh anggotanya. Perjanjian baku jenis ini biasanya digunakan dalam bidang organisasi. Secara formal debitor ikut serta untuk menetapkan isi perjanjian tersebut, tetapi secara material debitor hanya mengikatkan diri sebagai anggota dari perkumpulan tersebut. Perjanjian baku yang timbal balik ini adalah bersifat relatif, karena apabila perkataan timbal balik diartikan secara absolut atau murni, maka seolah-olah isi perjanjian tersebut ditetapkan dan disepakati oleh kehendak bebas dari para pihak yang terkait dalam perjanjian. Apabila diartikan secara umum, maka salah satu sifat perjanjian baku yaitu tidak terdapat kehendak bebas dari para pihak dalam menentukan isi perjanjian, dimana perjanjian hanya ditetapkan berdasarkan kehendak bebas pihak yang posisinya kuat dalam perjanjian tersebut. 3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan tertentu. Keterlibatan pemerintah dalam perjanjian baku ini adalah hanya sebagai undang-undang atau peraturan-peraturan terhadap warga negara yang menyangkut kepentingan umum.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
4.
Perjanjian baku yang isi perjanjiannya ditetapkan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai orang yang ahli. Perjanjian baku yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga ini, biasanya paling banyak ditemui dalam lingkungan advokad dan notaris,
yaitu
perjanjian yang pertama konsepnya sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokad yang bersangkutan Misalnya seorang notaris yang menyediakan berbagai jenis formulir perjanjian yang dapat dipakai para pihak yang ingin menggunakan jasa mereka. Perjanjian baku tidak hanya ada pada lingkungan advokad atau notaris saja tetapi dalam semua lingkungan profesi yaitu dokter, akuntan swasta, dan lain-lain. Dalam hal perjanjian baku yang ditentukan secara sepihak, para pihak yang melaksanakannya dapat digolongkan atas tiga, yaitu : 1. Perorangan dengan perorangan Perjanjian sepihak yang isinya terlebih dahulu telah ditetapkan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain hanya dapat melakukan prestasi yang bersifat menerima atau menolak perjanjian itu. Perjanjian baku jenis ini banyak ditemukan dalam praktek jual beli, dimana dalam bon/faktur penjualan pada umumnya sering tercantum ketentuan yang bersifat baku yaitu “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar kembali”. Ketentuan dan isi perjanjian baku ini ditentukan oleh pihak penjual atau kreditor.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
2. Badan Hukum Privat dengan perorangan Dimana isi perjanjian terlebih dahulu ditetapkan oleh pihak badan hukum yang akan diberlakukan kepada perorangan, dalam hal ini pihak perorangan tersebut hanya dapat menerima dan menolak perjanjian tersebut baik secara sebagian ataupun secara keseluruhan. Misalnya dalam perjanjian kredit antara Bank dengan pihak Nasabah. 3. Badan Hukum Publik dengan Badan Hukum Swasta. Badan Hukum Publik disini adalah pemerintah. Dimana isi perjanjian ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak pemerintah secara sepihak, sedangkan pihak swasta hanya dapat menerima ataupun menolaknya. Misalnya dalam kontak pemborongan pembangunan instalasi telepon di Medan antara Perum Telkom.
b) Ciri-ciri Perjanjian Baku Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian baku, apabila dalam perjanjian tersebut terdapat ciri-ciri sebagai berikut: 1. Perjanjian baku tertuang dalam bentuk formulir Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan itu dilahirkan dari undang-undang dan karena persetujuan. Undang-undang sifatnya tertulis, sedangkan persetujuan ada yang tertulis dan lisan. Dari bunyi Pasal ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu sifatnya bebas tergantung para pihak yang membuatnya. Perjanjian dapat dibuat secara tertulis maupun dalam bentuk lisan, hal ini dimata hukum Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
adalah sah. Namun, ketentuan mengenai perjanjian baku biasanya ditetapkan dalam bentuk tertulis, oleh karena itu disebut dengan perjanjian baku. 2. Isinya ditetapkan secara sepihak Isi perjanjian ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak yang mempunyai posisi ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak yang lain. Dalam hal ini yang memiliki posisi ekonomi kuat adalah pihak kreditor atau pelaku usaha, sedangkan yang berada dalam posisi ekonomi lemah adalah pihak debitor atau konsumen. Konsumen dalam hal ini tidak dapat melakukan penawaran dan hanya dapat menerima maupun menolak isi perjanjian tanpa dapat melakukan perubahan-perubahan terhadap isi perjanjian tersebut. 3. Perjanjian baku berlaku secara kolektif dan massal. Perjanjian baku yang dibuat secara tertulis dalam bentuk formulir-formulir tersebut diperbanyak atau digandakan dalam jumlah yang tak terbatas. Isi perjanjian tersebut tidak dibuat satu persatu berdasarkan keinginan konsumen, namun berlaku massal tanpa melihat kondisi dan keadaan konsumen baik dari segi ekonomi ataupun yang lainnya. Bersifat kolektif berarti isinya tetap dan tertentu, tidak disesuaikan dengan orang perorangan. Dimana isi perjanjian tidak dapat diubah oleh pihak yang lemah posisinya, dalam hal ini konsumen.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
4. Kebutuhan kreditor sebagai pengikat Dalam hal ini kedududukan kreditor sangat kuat, kebutuhan hidup konsumen yang kian hari kian meningkat itu hanya dapat dipenuhi atau disediakan oleh pihak kreditor atau pelaku usaha sehingga konsumen demi mempertahankan hidupnya terpaksa menerima isi perjanjian karena kebutuhan yang memaksa. Dalam kondisi seperti ini, seolah-olah ketika konsumen menerima perjanjian tersebut seakan tiada paksaan dan merupakan kehendak bebas dari konsumen itu sendiri.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
BAB IV Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku
Dewasa ini, perkembangan mengenai dunia perdagangan berkembang dengan pesatnya sehingga para pelaku usaha berusaha memberikan pelayanan yang terbaik dan efektif agar konsumen yang membeli barang dengan cepat dapat memiliki barang yang diinginkannya. Berkaitan dengan hal tersebut, para pelaku usaha menggunakan suatu formulir yang telah dibuat sebelumnya oleh pihak pelaku usaha yang berisikan hak dan kewajiban konsumen yang kerap disebut dengan “Klausula Baku”, sehingga jika konsumen ingin membeli barang yang diinginkan/dibutuhkannya tidak perlu lagi berlama-lama berdiskusi untuk menyusun perjanjian antara penjual dan pembeli, karena hal ini tidak efisien. Klausula Baku memang bersifat praktis namun tak jarang isi dari klausula baku itu lebih menitikberatkan pada konsumen, sedangkan mengenai tanggung jawab dari para pelaku usaha dihilangkan atau diminimalis. Artinya tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha dihilangkan, seperti hal yang dialami oleh seorang konsumen, yaitu : Maria Margaretha Simaremare. Pada bulan Juli tahun 2008 lalu, Ia membeli sebuah kamera digital di sebuah toko perbelanjaan elektronik di kota Medan, sebelum membeli kamera digital tersebut, Ia telah membaca brosur yang diberikan oleh pelayan toko tempat dimana Ia membeli kamera tersebut. Ketika pelayan toko tersebut menjelaskan informasi seputar kamera digital itu hanya tentang kebaikan dan keunggulan kamera tersebut, setelah beberapa lama dipakai oleh konsumen bersangkutan kamera tersebut rusak dan suku cadangnya sangat sulit untuk diperoleh dan ketika kembali ke toko tersebut, pihak toko tidak mau memberikan Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
service gratis padahal masih dalam tempo garansi. Jadi, jika terjadi ketidakpuasan konsumen terhadap barang yang dibelinya, konsumen tidak boleh mengembalikan barang tersebut dengan alasan bahwa konsumen telah menyepakati isi perjanjian baku yang menyatakan bahwa ”barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan lagi” atau ”barang yang sudah dibeli tidak jadi tanggung jawab kami”. 30 Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dirasa agar seorang konsumen dilindungi hak dan kewajibannya terhadap proses jual beli yang menggunakan klausula baku. Dalam hal ini, perlindungan diberikan oleh pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan dalam suatu negara. Tanggung jawab dari pemerintah bisa dilakukan dalam bentuk pembinaan dan pengawasan. Adapun tujuan dari pembinaan dan pengawasan tersebut adalah untuk memberdayakan konsumen agar mendapat dan mengetahui hak-haknya bukan hanya kewajiban saja, membangun kegiatan usaha yang bersifat positif dan dinamis sehingga hakhak konsumen tetap bisa diperhatikan oleh para pelaku usaha. 31
A. Perjanjian Jual Beli dengan Menggunakan Klausula Baku tidak Bertentang dengan Asas Kebebasan Berkontrak
Secara umum penggunaan klausula baku yang terdapat dalam perjanjian perdata, misalnya perjanjian jual beli, sewa beli, pinjam-meminjam, dan sebagainya yang diadakan oleh para pihak senantiasa ditemukan kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak yang mengandung pengertian bahwa setiap individu 30
Wawancara tanggal 3 Maret 2009 kepada Maria Margaretha Simaremare, Konsumen,
Medan. 31
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kehendak bebas dan kepentingan dari masing-masing pihak yang terkait didalamnya. Adapun kehendak bebas tersebut telah diatur oleh Hukum Perdata, yaitu sebagai berikut : 1. Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia akan membuat suatu perjanjian atau tidak membuat perjanjian. 2. Kebebasan setiap orang untuk memilih dengan siapa ia akan mengadakan suatu perjanjian. 3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk dari perjanjian yang akan dibuatnya. 4. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi dari perjanjian yang akan dibuatnya sesuai dengan kepentingan yang akan menjadi tujuannya. 5. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian. Disisi lain Sutan Remi Sjahdeni menyatakan bahwa, klausula baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 32 Adapun hal-hal tertentu yang belum dibakukan oleh pengguna klausula baku, misalnya yang menyangkut jenis barang, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang ingin diperjanjikan. Menurut para ahli hukum perdata, penggunaan klausula baku dalam perjanjian jual beli bersifat tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata itu sendiri (Pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata tentang asas kebebasan
32
Shidarta, Op. cit, hal 146.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
berkontrak). Artinya, meskipun dalam praktek sehari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam klausula baku itu ditentu dan dibuat hanya oleh salah atu pihak saja yaitu pihak pengusaha, namun dalam hal ini bagaimanapun juga tetap diberikan kepada konsumen untuk menentukan pilihannya yakni adanya hak untuk menerima klausula baku tersebut (take it) ataupun menolaknya (leave it). Semua tergantung kepada konsumen. Oleh karena itulah, klausula baku ini lebih dikenal dengan istilah “take it or leave it contract”. Kehadiran
klausula
baku
dalam
ranah
Hukum
Perdata,
dalam
penggunaannya sama sekali tidak menghapuskan asas kebebasan berkontrak, namun hanya mengurangi ruang gerak asas kebebasan berkontrak, yakni : 1. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian karena klausula baku selalu dalam bentuk tertulis. 2. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian karena dalam perjanjian timbal balik maupun dalam perjanjian baku, isinya telah ditetapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak yakni pihak pengusaha. Jadi, implikasi penggunaan klausula baku dilihat dari sudut hukum perdata tidak melanggar asas kebebasan berkontrak, karena masih diberikan kepada konsumen hak untuk menyetujui ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam klausula baku tersebut atau menolaknya. 33 Klausula baku dinyatakan tidak sah apabila melanggar ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang secara luas menyatakan bahwa suatu perjanjian yang diadakan oleh para pihak, isinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. 33
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
B. Perlindungan Hukum Yang Diberikan Pemerintah Dengan Keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Yang Berkaitan Dengan Penggunaan Klausula Baku Dalam Perjanjian Jual- Beli
Penggunaan klausula baku dalam perjanjian jual beli, memang secara Hukum Perdata diakui sah karena tidak adanya unsur pemaksaan kehendak didalamnya, yakni jika konsumen menyetujui perjanjian maka ia sudah tahu mengenai segala seuatu resiko yang akan ditanggungnya, namun jika ia menolak klausula baku maka para pengusaha tidak akan memaksanya. Prakteknya konsumen demi memenuhi kebutuhan hidupnya tidak jarang juga menyetujui klausula baku yang telah terlebih dahulu ditetapkan oleh pengusaha. 34 Melihat kondisi demikian, acap kali pengusaha membuat isi klausula baku itu cenderung lebih menguntungkan dirinya sendiri, sehingga timbullah ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara pengusaha dengan konsumen. Berdasarkan kondisi yang tidak seimbang ini, pemerintah memberikan perlindungan kepada konsumen dari tindakan sewenang-wenang dari pengusaha terkait pemakaian klausula baku dalam setiap perjanjian jual beli. 35 Dalam hal ini, pemerintah mengatur mengenai ketentuan apa saja yang boleh dimasukkan kedalam klausula baku dan hal yang dilarang untuk dicantumkan, dengan tujuan agar konsumen tidak dirugikan. Pengaturan mengenai klausula baku tersebut 34
Wawancara tanggal 26 November 2008 kepada Maria Margaretha Simaremare, Konsumen, Medan. 35 Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
diatur dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1988 (Pasal 18), yang menyatakan sebagai berikut : (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk perdagangan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila : a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik scara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang dan pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa atauran baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dubeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. Berkaitan dengan hal di atas, pemerintah melindungi konsumen dengan memberikan pengaturan terbatas pada penyusunan klausula baku yakni dilarang adanya suatu bentuk peralihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen (Pasal 18 huruf b). Sebaiknya mengenai larangan ini diberikan jangka waktu yang jelas agar pelaku usaha dalam memproduksi barang dapat dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh konsumen. Dalam hal ini, UU Perlindungan Konsumen dalam Pasal 27 huruf e, memberikan batasan yakni selama 4 (empat) tahun. Jika tidak ada pengaturan yang jelas maka menutup kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawab dengan mencantumkan dalam klausula baku secara lebih cepat dari ketentuan yang diatur oleh undang-undang.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Menyangkut hal ini, larangan mencantumkan klausula baku yang menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, hal ini juga perlu jangka waktunya karena dapat saja dengan alasan dari Pasal ini para pelaku usaha menolak setiap barang yang dibeli konsumen tanpa memperhatikan segala sesuatu, misalnya barang yang baru dibeli satu hari karena ada kerusakan tertentu pelaku usaha menolak dikembalikannya barang tersebut. Pasal 18 huruf b ini merupakan pasangan dari Pasal 18 huruf c, dimana pelaku usaha berhak untuk menolak barang yang dikembalikan oleh konsumen dan tidak mengembalikan uang yang telah dibayar oleh konsumen untuk barang yang sudah diterimanya. Hal ini tidak berlaku secara mutlak, konsumen dapat saja mengembalikan
barang
yang
telah
diterimanya
yang
tentunya
dengan
pengembalian uang pembayaran dari barang tersebut, jika pengembaliannya didasari pada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum. Klausula baku yang berisikan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran adalah bersifat tidak adil. Hal dikarenakan terhadap barang yang diangsur tersebut, seolah-olah konsumen itu sendiri tidak mempunyai hak sebelum barang tersebut lunas dibayar. Disamping itu dapat juga dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan terhadap hak dan keadaan konsumen. Secara jelas pada Pasal 18 huruf e, f, g dan h, pemerintah memberikan perlindungan kepada konsumen terkait dengan pemakaian klausula baku, dimana dikatakan secara tersirat bahwa pelaku usaha tidak boleh meletakkan kedudukan
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
konsumen dibawah sehingga harus taat pada semua peraturan yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha, sehingga pelaku usaha dapat saja menghilangkan tanggung jawabnya terhadap barang yang dijualnya kepada konsumen. Disamping itu, UU Perlindungan Konsumen juga mengatur bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku ditempat yang tersembunyi, ditulis dengan huruf kecil yang tidak keliatan dengan jelas sehingga sulit untuk dipahami oleh masyarakat. Terhadap klausula baku yang memuat Pasal 18 ayat (1) dan (2) ini dinyatakan batal demi hukum. Dengan demikian, tampaklah peranan pemerintah untuk melindungi konsumen terhadap penggunaan klausula baku yang telah terlebih dahulu ditetapkan oleh pelaku usaha dengan memberikan batasan-batasan tertentu yang tidak menghilangkan hak dari konsumen, sehingga terdapatnya keseimbangan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Jika, terhadap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha baik yang berkaitan dengan klausula baku yang menjebak konsumen ataupun hal-hal lain yang merugikan hak dan kepentingan konsumen, maka konsumen dapat mengajukan gugatan dan menuntut pelaku usaha sesuai dengan hukum yang berlaku. 36 Adapun peran pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada konsumen ada dua cara, yaitu : 37 1. Pembinaan Peranan pemerintah dalam melindungi konsumen yang dilakukan melalui pembinaan diatur dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat (1) yang 36
Wawancara tanggal 26 November 2008 kepada Maria Margaretha Simaremare, Konsumen, Medan. 37 Happy Susanto, Op. cit, hal 63 Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
menyatakan
bahwa,
“Pemerintah
bertanggung
jawab
atas
pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”. Pembinaan
ini
diselenggarakan
sebagai
upaya
untuk
menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha, dan memastikan agar setiap pelaku usaha dan konsumen melakukan apa yang menjadi kewajibannya. 38 Agar terdapatnya keseimbangan antara dan kewajiban. Jika hal ini telah tercipta, maka akan mengurangi terjadinya sengketa konsumen. Tugas pembinaan dalam rangka memberikan perlindungan konsumen dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait. Beberapa tugas pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut : (1). Menciptakan iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, yang terdapat dalam Pasal 4 PP No. 5 Tahun 2001, yaitu : a) Menyusun kebijakan dibidang perlindungan konsumen b) Memasyarakatkan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen c) Meningkatkan peran BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga 38
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
d) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing e) Meningkatkan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan f) Meneliti terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut perlindungan konsumen g) Meningkatkan kualitas barang dan jasa h) Meningkatkan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa i) Meningkatkan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standart mutu barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku. (2). Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya mayarakat yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 5, yaitu: a) Memasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen b) Melakukan pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan c) Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen yang dimaksudkan untuk meningkatkan sumber daya manusia.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
2. Pengawasan Upaya perlindungan yang dilakukan pemerintah dalam pengawasan diatur dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 30 ayat (1) yaitu, “Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
Perundang-undangannya
diselenggarakan
oleh
pemerintah,
masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan Lembaga Perlidungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), hal ini dikarenakan banyaknya ragam dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasaran. a) Pengawasan oleh pemerintah Tugas pengawasan pemerintah dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait. Bentuk pengawasan oleh pemerintah diatur dalam PP No.8 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan Konsumen pada Pasal 8, yaitu pengawasan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standart mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label, klausula baku, promosi, periklanan, serta pelayanan purnajual barang dan/atau jasa. Pengawasan dilakukan dalam bentuk mengawasi proses produksi, penawaran, promosi, pengikalan, dan penjualan barang dan/atau jasa. b) Pengawasan oleh Masyarakat Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini, yaitu masyarakat dapat mengawasi barang dan/atau jasa yang beredar dipasaran yang dilakukan melalui cara penelitian, pengujian, atau
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
survei. Aspek pengawasan meliputi pengumpulan informasi tentang resiko penggunaan barang dan/atau jasa, serat pengiklanan yang berlebihan. Hasil dari pengawasan ini dapat diberitahukan kepada masyarakat luas dan dapat disampaikan kepada menteri terkait. 3. Pengawasan oleh LPKSM Bentuk pengawasan yang dilakukan LPKSM sama dengan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Adapun tambahan lain adalah survei yang dilakukan oleh LPKSM mengenai barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan dan kenyamanan, dan keselamatan konsumen. Survei dapat dilakukan berdasarkan laporan dari masyarakat baik perorangan dan kelompok.
C. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UU Pelindungan Konsumen Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa, ”Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Suatu sengketa terjadi apabila terdapatnya ketidakseimbangan posisi yakni apabila yang satu merasa dirugikan sedangkan yang satu lain tidak merasa demikian. 39 Oleh karena itu perlu diberikan batasan yang jelas tentang sengketa konsumen. Sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha
39
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
(publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu. Pihak konsumen yang bersengketa adalah konsumen pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup diri, keluarga, rumah tangganya dan tidak untuk kepentingan tujuan komersial. Adapun produk yang disengketakan adalah produk barang dan/atau jasa yang umum dipakainya, digunakan atau dimanfaatkan bagi memenuhi kepentingan diri, keluarga, dan/atau rumah tangga konsumen. Ada empat kelompok penggugat yang dapat dikatakan yang berwenang menggugat atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu : 1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan Contoh kasus: Pesawat Garuda yang di tumpangi oleh Munir. Kasus ini merupakan kasus yang sangat menguras banyak waktu dan belum tahu penyelesaiannya sampai kapan. Keluarga Munir melaporkan tewasnya Munir di dalam Pesawat Garuda yang di tumpanginya. Dalam hal ini, sangat dipertanyakan bagaimana pihak Pesawat Garuda memperlakukan penumpangnya sebagai konsumen yang mempergunakan jasa mereka. 2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama Contoh kasus : Ada sekelompok orang tua murid yang melaporkan kepada pihak yang berwajib seorang pedagang batagor. Pelaporan ini dipicu karena anak-anak mereka mengalami muntah-muntah setelah memakan batagor tersebut, dan ada satu anak yang mengalami kritis karena
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
mengalami dehidrasi kekurangan cairan tubuh yang diakibatkan terlalu sering muntah. 3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksananakan kegiatan yang sesuai dengan anggaran dasarnya. Contohnya LKI cabang Medan yang sudah banyak membantu konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi di sekitar Sumatera Utara dan bekerjasama dengan BPSK. 40 4. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau yang dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. Contoh kasus : Tidak lama ini, ada kita dengar kasus bahwa permen susu yang diimpor dari China mengandung zat pormalin yang sangat berbahaya untuk kesehatan apabila sering dikonsumsi. Penanganan hal ini langsung dilakukan oleh pemerintah, yang menyatakan langsung bahwa permen susu buatan China tersebut dilarang beredar di Indonesia. Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (2) yang menyebutkan bahwa, “Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
40
Wawancara tanggal 18 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
yang bersangkutan”. Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa bentuk penyelesaian sengketa konsumen itu ada dua, yakni : 1. Melalui Pengadilan Penyelesaian
sengketa
melalui
pengadilan
artinya
menggunakan
ketentuan hukum yang berlaku yang terdapat pada tingkat peradilan umum. Penyelesaian sengketa melalui pengadian ini memiliki kelemahan dan keuntungan tersendiri bagi konsumen dalam proses perkaranya. Dimana pembebanan pembuktian dan biaya perkara diberikan kepada pihak yang menggugat yaitu pihak konsumen yang merasa dirugikan karena tingkah laku pelaku usaha. Keadaan seperti ini sangat melemahkan dan tidak memperdayakan kondisi konsumen, karena kurangnya pengetahuan konsumen mengenai kegiatan produksi, kebijakan promosi, dan pemasaran barang dan/atau jasa. Disamping itu, kesulitan dalam hal membuktikan niat pelaku usaha baik sengaja ataupun tidak sengaja dalam menjalankan usahanya. Dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi konsumen untuk mendapatkan keadilan dalam sengketa yang merugikan hak dan kepentingannya terutama bagi kentingan-kepentingan konsumen yang kecil baik nilai dan jumlahnya. Dalam pengalaman seringkali kita melihat bahwa baik perkara itu bersifat kecil ataupun besar selalu memakan waktu yang lama untuk mendapakan putusan yang berkekuatan tetap yakni antara 403 hari dan 3.919 hari. 41 Dan dibebani pula dengan pembuktian serta biaya perkara.
41
AZ. Nasution., Op. Cit, hal 224
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Hal yang demikian, terkadang konsumen malas mengadukan perkaranya melalui lembaga peradilan, disamping memakan waktu, tenaga, dan biaya yang jumlahnya tidak sedikit, melainkan juga bukan malah menyelesaikan masalah tetapi justru menambah rumit dan berlikunya persoalan yang ada. Maka tidak jarang juga, konsumen lebih memilih penyelesaian sengketa konsumen dengan cara yang kedua yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan. 2. Di luar Pengadilan Penyelesaian secara damai dapat dilakukan melalui cara damai oleh dua belah pihak yang bersengketa yakni pelaku usaha dan konsumen, maupun melalui lembaga atau instansi yang berwenang yakni melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan secara damai memang memerlukan waktu dan tenaga yang banyak juga kesabaran, hal ini dipicu oleh faktor-faktor internal para pihak mulai dari kepribadian, gengsi, ataupun kehormatan. 42 Untuk itu, UU Perlindungan Konsumen menunjuk satu badan yang berwenang menyelesaikan sengketa konsumen yang berada di luar ruang lingkup peradilan yakni BPSK.
Tahap dan Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen Penyelesaian sengketa konsumen yang dimaksud dalam bab ini adalah penyelesaian sengketa di luar ruang lingkup pengadilan, khusunya melalui perantara Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Adapun prosedur
42
Wawancara tanggal 25 November 2008 kepadaBapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
yang pertama sekali dilakukan apabila ingin menyelesaikan sengketa melalui BPSK ini adalah konsumen yang bersengketa bersama-sama dengan pelaku usaha bisa datang langsung ke BPSK yang telah tersedia di setiap provinsi dengan membawa
surat
permohonan
penyelesaian
sengketa,
mengisi
formulir
permohonan pengaduan, dan kemudian menyerahkan berkas-berkas (dokumen yang
mendukung
dalam
berjalannya
sengketa
yang
bertujuan
untuk
mempermudah jalannya penyelesaian sengketa). Surat permohonan tersebut dapat diberikan dalam bentuk tertulis atau secara lisan. Permohonan dapat juga diajukan oleh ahli waris dan kuasanya. Permohonan yang dibuat secara tertulis akan diberikan bukti tanda terima oleh sekretariat BPSK, sedangkan permohonan yang dibuat secara lisan akan dicatat dalam suatu format yang telah dibubuhi tanda tangan atau cap jempol konsumen yang bersangkutan ataupun yang mewakilinya. Berkas yang telah dicatat di sekretariat BPSK kemudian ditulis tanggal dan nomor registrasi. Adapun yang dilampirkan dalam pengajuan permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan secara tertulis dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, yaitu : 1. Nama dan alamat lengkap konsumen (bisa ahli waris atau kuasanya yang disertai dengan surat kuasa bermaterai) 2. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha 3. Rincian barang dan/atau jasa yang diadukan 4. Bukti perolehan barang dan/atau jasa seperti bon, faktur, kuitansi, dan dokumen pembuktian lainnya (jika ada)
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
5. Keterangan tempat, waktu, dan tanggal perolehannya barang dan/atau jasa tersebut, dan 6. Saksi yang mengetahui barang dan/atau jasa. Setelah mengisi formulir dan menyediakan berkas yang diperlukan maka BPSK akan mengundang pihak-pihak yang sedang bersengketa dalam rangka melakukan pertemuan pra sidang. Dalam hal ini, BPSK mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan yang diadukan masingmasing pihak yang bersengketa. Dalam pertemuan pra sidang inilah akan ditentukan bagaimana langkah yang akan ditempuh berikutnya, penyelesaian sengketa diselesaikan dengan jalan damai atau jalan lain. Jika jalan damai yang ditempuh tidak juga memberikan titik terang terhadap permasalahan yang ada, maka berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 ada tiga tata cara penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh, yaitu sebagai berikut : 1. Konsoliasi Dalam
Kepmen
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 Pasal 1 (angka 9) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Konsoliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK, untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak”. Dapat dirumuskan bahwa, dalam hal ini BPSK hanya sebuah fasilitator yang berfungsi untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan untuk menyelesaikan polimik yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha tersebut dilakukan
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
oleh keinginan dan kehendak masing-masing pihak. Dengan kata lain, mereka yang bermasalah, mereka sendiri yang bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari masalah yang ada. Dalam konsoliasi ini, pihak-pihak yang bersengketa dalam setiap pertemuannya didampingi oleh majelis konsoliator yang bertindak fasif. Hal ini dilakukan sampai mendapatkan hasil final. Apapun hasil dari konsiliasi ini, diberitahukan kepada majelis konsoliator agar dicatatkan dalam berita acara konsiliasi yang kemudian hasil final yang mereka dapatkan dari penyelesaian sengketa mediasi ini sama kedudukannya dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 2. Mediasi Penyelesaian sengketa mediasi ini memang diwajibkan disebutkan oleh hakim jika kita menempuh jalur litigasi (jalur pengadilan). Namun dalam Kepmen ini berdasarkan Pasal 1 (angka 10) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dengan cara “Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak”. Dalam hal kedudukan majelis mediator berbeda dengan majelis konsiliator, dimana majelis mediator bersifat aktif.
Majelis
mediator
tidak
hanya
berfungsi
sebagai
media
untuk
mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa namun dapat juga memberikan nasehat-nasehat ataupun masukan-masukan yang dapat memberikan keadilan bagi masing-msing pihak apabila dalam sidang mediasi tidak ditemukannya titik terang atas persoalan yang ada. Namun, nasehat ataupun masukan yang diberikan oleh majelis mediator tidak bersifat mutlak berlaku. Melainkan semuanya hanya
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
bersifat sebagai bahan pertimbangan yang dapat ditolak atau diterima oleh pihak yang bersengketa. Semuanya hasil sidang diserahkan atas kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa. Hasil mediasi akan dicatatkan dalam berita acara sidang mediasi. Putusan mediasi mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 3. Arbitrase Penyelesaian sengketa melalui cara arbitrase berbeda dengan cara penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi dan mediasi. Berdasarkan Pasal 1 angka (11) menyatakan bahwa, “Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kepada BPSK”. Dalam arbitrase ini, badan ataupun majelis yang dibentuk oleh BPSK bersikap aktif dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa, apabila ketika dalam sidang para pihak tidak menemukan kesatuan pendapat. Hal pertama yang akan dilakukan oleh BPSK adalah memberikan penjelasan kepada para pihak yang bersengketa mengenai Perundang-undangan yang berkenaan dengan hukum perlindungan konsumen. Kemudian kepada masing-masing pihak yang bersengketa diberikan kesempatan yang sama baik kepada konsumen maupun pelaku usaha untuk menjelaskan apa saja yang menjadi permasalahan diantara mereka. Setelah menjelaskan duduk persoalannya kepada para pihak diberikan kesempatan lagi untuk menyampaikan unek-uneknya dan apa saja yang diinginkannya untuk tercapainya kata sepakat. Dalam hal ini, BPSK dapat mempertimbangkan keinginan dan unek-unek para pihak untuk dimasukkan sebagai putusan dari
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
sidang arbitrase ini. Keputusan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa ini adlah menjadi wewenang penuh badan yang dibentuk BPSK tersebut. Sekali mereka memutuskan untuk memilih penyelesaian melalui BPSK, maka mereka seharusnya terikat untuk menempuh proses pemeriksaan sampai saat penjatuhan putusannya. 43 Penyelesaian sengketa konsumen dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang dibubuhi dengan tanda tangan kedua belah pihak yang bersengketa dan disaksikan oleh majelis yang dibentuk oleh BPSK. Penyelesaian sengketa harus diselesaikan dalam tempo selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari kerja sejak permohonan diterima.
Pasal 54 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen
menegaskan bahwa putusan majelis dari BPSK itu bersifat final dan mengikat. Artinya terhadap putusan yang diberikan BPSK tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi baik banding ataupun kasasi, yang diperbolehkan adalah mengajukan keberatan yang disampaikan kepada Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari kerja setelah pihak yang bersengketa mengetahui putusan yang diberikan oleh BPSK. Tuntutan dari kedua belah pihak yang tengah bersengketa akan dipenuhi jika memnuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Surat atau dokumen yang diberikan ke pengadilan adalah diakui atau dituntut salah/ palsu 2. Dokumen penting ditemukan dan disembunyikan oleh lawan 3. Penyelesaian dilakukan melalui satu dari tipuan pihak dalam investigasi permasalahan dipengadilan.
43
Shidarta, Op.cit, hal 176
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Jika ada keberatan atas putusan yang diberikan oleh BPSK, maka Pengadilan Negeri yang di limpahkan perkara oleh BPSK wajib menjatuhkan putusan paling lambat 21 hari sejak diterimanya keberatan. Hal ini tentu saja memberikan suatu beban yang tidak kecil, karena sengketa konsumen itu sendiri sangat kompleks dan perlu pengkajian yang lebih diteliti oleh hakim. Berkaitan dengan putusan yang dikeluarkan oleh BPSK terhadap penyelesaian sengketa konsumen, diatur dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 56, yaitu: 1. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut 2. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut 3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen 4. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
5. Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Jika para pihak merasa tidak puas atas putusan Pengadilan Negeri, maka masih diberikan kesempatan untuk mendapatkan penyelesaian hukum dari Pengadilan Tinggi selama 14 hari, kemudia Pengadilan Tinggi wajib menyelesaikan sengketa tersebut dalam jangka waktu 30 hari. Dan apabila para pihak juga merasa belum puas atas putusan di tingkat Pengadilan Ttinggi, maka para pihak yang bersengketa dapat mengajukan keberatannya ke Mahkamah Agung dalam tempo 14 hari. Untuk ini, Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam jangka waktu 30 hari setelah sampainya permohonan atas keberatan terhadap putusan Pengadilan Tinggi. Namun, jika para pihak yang bersengketa baik konsumen maupun pelaku usaha menerima putusan yang dikeluarkan oleh BPSK, maka kepada para pihak diberikan waktu tujuh hari sejak menerima putusan tersebut untuk melakukan eksekusi.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (12), ”BPSK adalah suatu badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Disamping bertugas menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK juga bertugas memberikan konsultasi seputar perlindungan terhadap
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
konsumen ataupun konsultasi terhadap hak dan kepentingan pelaku usaha yang berkaita dengan konsumen, yaitu dalam bentuk : 1. Memberikan penjelasan kepada konsumen dan pelaku usaha tentang hak dan kewajibannya masing-masing 2. Memberi penjelasan tentang bagaimana menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen dan juga pelaku usaha 3. Memberikan penjelasan tentang bagaimana memperoleh pembelaan dalam hal penyelesaian sengketa konsumen 4. Memberikan penjelasan tentang bagaimana bentuk dan tata cara penyelesaian sengketa konsumen. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MP/ Kep/ 12/ 2001 mengatur tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK. Adapun masa jabatan dari BPSK adalah selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikut. Perekrutan anggota BPSK ditetapkan oleh menteri, yaitu melalui daftar nama-nama yang dinyatakan lulus oleh Tim Pemilihan Calon Anggota BPSK yang dibentuk oleh Gubernur masing-masing provinsi dan kemudian diresmikan oleh Menteri Perdagangan. Badan ini mempunyai anggotaanggota yang terdiri dari tiga unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha. Setiap unsur terdiri dari tiga orang atau sebanyak-banyaknya lima orang, yang kesemua anggota tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Mendagri. Artinya dalam satu kali periode pengangkatan BPSK setiap Daerah Tingkat II akan diangkat sebanyak 9 atau 15 orang. Jumlah ini diluar dari kepala sekretariat dan anggota sekretariat yang bertugas untuk membantu BPSK. Adapun
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
susunan keanggotaannya yaitu ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan anggota-anggota yang dibantu oleh sebuah sekretariat (Pasal 50 Jo 51 UUPK). Dalam Pasal 49 UUPK, disebutkan syarat-syarat untuk menjadi anggota BPSK yaitu : 1. Warga Negara Republik Indonesia 2. Berbadan sehat 3. Berkelakuan baik 4. Tidak pernah dihukum karena berkelakuan jahat 5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan konsumen 6. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun. Dalam menyelesaikan setiap kasus sengketa konsumen BPSK dibentuk majelis yang terdiri dari paling sedikit tiga orang yang terdiri dari masing-masing unsur yaitu pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha dan dibantu oleh seorang panitera. BPSK selain bertugas untuk meyelesaikan sengketa konsumen melalui jalur non litigasi, menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 52 tugas dan kewenangan BPSK adalah sebagai berikut : 1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase 2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen 3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
4. Melaporkan kepada pihak penyidik umum jika terjadi pelanggaran dalam ketentuan dalam undang-undang ini 5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen 6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen 7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen 8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini 9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen dan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK 10. Mendapatkan atau meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan. 11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen 12. Memberitahukan
putusan
kepada
pelaku
usaha
yang
melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen 13. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Kewenangan BPSK sangat terbatas. Sanksi yang dapat dijatuhkan oleh BPSK hanya sebatas sanksi administrasi artinya sanksi tersebut hanya berupa penetapan ganti rugi, sedangkan penjatuhan sanksi pidana sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan. 44 Mengenai sanksi yang dikenakan kepada pelaku usaha apabila terbukti secara hukum telah melakukan pelanggaran terhadap hak konsumen, dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. Sanksi Administrasi Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen pada Pasal 60 ayat (2), menyatakan bahwa BPSK dapat menjatuhkan “Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”. 2. Sanksi Pidana Pokok Penjatuhan sanksi pidana dilakukan oleh pengadilan, apabila penyelesaian sengketa konsumen ditempuh melalui jalur litigasi. Sanksi pidana dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : a) Penjara 5 tahun atau denda Rp. 2.000.000.000,- (Untuk pelanggaran Pasal 8,9,10,13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, e, dan Pasal 18 UUPK). b) Penjara 2 tahun atau denda Rp. 500.000.000,- (Untuk pelanggaran Pasal 11, 12, 13 ayat (2), 14, 16, 17 ayat (1) huruf d dan f UUPK)
44
Wawancara tanggal 25 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
3. Sanksi Pidana Tambahan Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 63, terdapat sanksi pidana tambahan apabila melanggar ketentuan Pasal 62 , yaitu sebagai berikut : a. Perampasan barang tertentu b. Pengumuman keputusan hakim c. Pembayaran ganti rugi d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau f. Pencabutan izin usaha Sebenarnya sanksi-sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha yang melanggar hak konsumen sudah cukup berat, namun tetap saja masih banyak kita temui praktek pelanggaran hak-hak konsumen. 45 Jelas ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran pelaku usaha untuk menjadikan konsumen bukan sebagai objek untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi sebagai mitra kerja yang saling menguntungkan dan saling bergantung antara satu dengan yang lain. Penegakan perlindungan terhadap konsumen hanya dapat dilakukan apabila aparat hukum mau bertindak tegas atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha tanpa ada nepotisme didalamnya.
45
Wawancara tanggal 25 November 2008 kepada Bapak Abu Bakar Siddiq, SH, Ketua LKI cabang Medan. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a). Penggunaan klausula baku dalam faktur ataupun bon pembelian dianggap sah dan tidak menghilangkan unsur asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam KUHPerdata, selama tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan pemerintah dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1). Perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku, tidak sepenuhnnya terdapat pemaksaan. Hal ini dapat kita lihat dengan masih diberikannya kepada konsumen untuk menerima ketentuan klausula baku tersebut atau tidak. Jika konsumen tidak setuju dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam klausula baku tersebut, maka konsumen dapat membatalkan perjanjian jual beli karena dalam hal ini berlaku istilah take it or leave it. b). Perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan diterbitkannya UU Perlindungan Konsumen, kiranya kurang diketahui oleh konsumen. Ketika terjadi sengketa seperti barang elektronik yang dibeli tidak sesuai dengan yang dipromosikan oleh pelaku usaha, dan membuat konsumen merasa dirugikan. Berkaitan dengan hal ini sering kali konsumen hanya diam tidak tahu mempertahankan atau memperjuangkan hak-haknya dengan Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
melakukan gugatan ataupun penuntutan secara hukum. Upaya yang diberikan oleh pemerintah terkait dengan perlindungan konsumen dalam penggunaan klausula baku yang bersifat menghilangkan tanggung jawab pelaku usaha adalah dalam bentuk memberikan pengawasan terhadap pelaku usaha dan pembinaan terhadap konsumen, agar apabila terjadi sengketa konsumen dapat mengajukan gugatan ataupun tuntutan sesuai dengan hak dan kepentingan yang dirugikan. c). Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukuan melalui dua cara, yaitu melalui cara non litigasi ataupun melalui cara litigasi (pengadilan). Hal ini tergantung kepada para pihak yang bersengketa. Lebih lanjut, penyelesaian sengketa secara litigasi dalam putusannya dapat menjatuhkan sanksi pidana pokok maupun sanksi pidana tambahan sesuai dengan pelanggaran hak yang dilakukannya, dan harus dibuktikan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan hukum dan prosedur yang berlaku. Sedangkan penyelesaian sengketa secara non litigasi dapat dilakukan dengan bantuan suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah dan mempunyai wewenang untuk itu, yang disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang terdapat di setiap provinsi. Apabila para pihak telah memilih jalur penyelesaian sengketa melalui BPSK, maka mereka tidak boleh lagi megajukan gugatan ke pengadilan. Hal ini dikarenakan keputusan yang dikeluarkan oleh BPSK adalah bersifat final dan mengikat. Adapun sanksi yang BPSK berhak berikan kepada pelaku pelanggaran hak konsumen adalah berupa sanksi administrasi yaitu berupa denda sejumlah uang.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
2. Saran Setelah memperhatikan bahasan di atas, maka saran dari penulis adalah : Meskipun konsumen hanya bisa menerima dan menikmati produk yang dihasilkan oleh pelaku, bukan berarti konsumen dapat dijadikan sebagai objek eksploitasi untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal semacam ini hanya akan menambah antrian atau tumpukan perkara mengenai sengketa konsumen. Sengketa konsumen dapat diredam dengan berpandangan positif, dimana antara pelaku usaha dan konsumen saling mengerti hak dan kewajibannya sehingga terciptanya keseimbangan kedudukan. Dalam hal ini tentu saja memerlukan peran aktif pemerintah dan LPKSM dalam mengawasi barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha, apakah memenuhi standart keamanan, kenyamanan, kelayakan, dan kesehatan atau tidak. Dan memberikan pembinaan kepada masyarakat selaku konsumen berupa pendidikan seputar konsumen, pelatihan,dan keterampilan. Apabila terjadi sengketa konsumen, hendaklah diselesaikan dengan waktu yang telah ditentukan, sehingga tidak memakan banyak waktu, tenaga, dan biaya, sehingga apabila ada sengketa konsumen tidak malas untuk mengajukan gugatan dan tuntutannya kepada pengadilan ataupun instansi yang berwenang untuk itu yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Bintang, Sanusi dan Dahlan, Pokok-pokok Hukum Ekoomi dan Bisnis, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2000. Darwini, T, Diktat Hukum Perdata 1,Medan, 2006. Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung; Grasindo, 2005. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta; Rajawali Pers, 2008. Nasution, AZ, Konsumen dan Hukum, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1995. ----------, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta; Diadit Media, 2002. N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen; Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Jakarta; Panta Rei, 2005. Saefullah, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung; Bnadar Maju, 2000. Satrio, J, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, Bandung; Alumni, 1999. ----------, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, Bandung; Citra Aditya Bakti, 2001. Sembiring, Zulkifli, Diktat Hukum Kontrak Dagang, Medan, 2008. Shatie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pdana Korporasi, Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta; Grasindo, 2006. Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Subekti, R, Aneka Perjanjian, Bandung; Alumni, 1995. ----------, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jaktara; Intermasa, 1996 Susanto, Happy, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta; Visimedia, 2008 Syahmin, AK, Hukum Kontrak Konsumen, Jakarta; Rajawali Pers, 2006. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis, Jakarta; Rajawali Pers, 2000. ----------, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta; Gramedia, 2003. Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, Jual Beli, Jakarta; Rajawali Pers, 2004. B. Undang- undang Kitab Undang- undang Hukum Perdata. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang Nomor Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. C. Internet www.mediakonsumen.com www.solusihukum.com www.hukumperjanjian.com www.hukumjualbeli.com
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008
Ice Trisnawati : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjajian Jual Beli Dengan Menggunakan Klausula Baku, 2009 USU Repository © 2008