PERLINDUNGAN HUKUM PARA PEKERJA DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA (Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
SKRIPSI
OLEH :
FAOZANOLO GULO NPM : 11120002
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015
PERLINDUNGAN HUKUM PARA PEKERJA DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA (Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya
OLEH : FAOZANOLO GULO NPM : 11120002
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015
i
PERLINDUNGAN HUKUM PARA PEKERJA DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA (Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
SKRIPSI
NAMA
: FAOZANOLO GULO
FAKULTAS
: HUKUM
JURUSAN
: ILMU HUKUM
NPM
: 11120002
DISETUJUI dan DITERIMA OLEH :
PEMBIMBING
Dr. TAUFIQURRAHMAN, SH., MHum
ii
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, 01 Agustus 2015
Tim Penguji Skripsi
:
1.
Ketua
: Tri Wahyuni Andayani, SH., CN., MH Dekan
2.
Sekretaris
: Dr. Taufiqurrahman, SH., MHum Pembimbing
3.
Anggota
: 1. Andy Usmina Wijaya, SH., MH (Dosen Penguji I)
2. Dr. Febria Nur Kasimon, SH., MH (Dosen Penguji II)
iii
MOTTO
Keluargamu adalah alasan bagi kerja kerasmu, maka janganlah sampai engkau menelantarkan mereka karena kerja kerasmu
Hidup ini untuk happy dengan yang mau saling mencocokkan diri, bukan untuk bertengkar dengan orang yang merasa benar sendiri.
Keberhasilan adalah sebuah proses, dan niatmu adalah awal keberhasilan perlu keringatmu dan tetesan air mata demi mewujudkan impianmu
iv
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat tuhan yang Maha Esa penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat tugas akhir bagi penulisan untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis merasa sangat banyak mendapat dorongan maupun bantuan dari berbagai pihak, untuk itu perkenalkanlah penulisan menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala bantuan dan perhatian yang telah dicurahkan kepada penulis selama ini. Ucapan terima kasih tersebut penulisan sampaikan kepada yang terhormat : 1.
Kepada Orang Tua Saya, Ibu Yudina Halawa dan Saudara Saya Semua yang selalu memberikan doa dan dukungan disetiap langkah penulis.
2.
Bapak H. Budi Endarto, SH., MHum. selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya.
3.
Kepada Ibu Tri Wahyuni Andayani, SH., CN., MH Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya beserta staf yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan penulisan selama kuliah .
4.
Kepada Ibu Ani Purwati, SH.,MH Selaku Ketua Program Studi, Ilmu Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya
5.
Bapak Dr. Taufiqurrahman, SH.,Mhum. Selaku pembimbingyang telah banyak membantu, memberikan petunjuk-petunjuk serta dengan tulus meluangkan waktu membimbing penulis.
v
6.
Bapak/Ibu Dosen dan seluruh staf Universitas Wijaya Putra Surabaya yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
7.
Teman-teman dan Saudara-saudara yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.
8.
Semua rekan-rekan mahasiswa Universitas Wijaya Putra Surabaya, atas segala kritik dan saran serta komentar yang diberikan selama ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan yang terbaik kepada beliau-
beliau yang penulis sebutkan diatas. Harapan penulis semoga penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan atau menambah pengetahuan bagi semua pihak yang membaca, khususnya bagi penulis. Tiada gading yang tak retak, yang sempurna hanyalah Allah.
Surabaya, 31 Agustus 2015 Penulis
Faozanolo gulo
vi
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................
ii
HALAMAN PENGUJI ...................................................................................
iii
MOTTO .......................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................
v
DAFTAR ISI ................................................................................................
vii
BAB I : PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
2. Rumusan Masalah ..................................................................
10
3. Penjelasan Judul ......................................................................
11
4. Alasan Pemilihan Judul ............................................................
12
5. Tujuan Penelitian......................................................................
12
6. Manfaat Penelitian ...................................................................
13
7. Metode Penelitian.....................................................................
13
8. Sistematika Pertanggung Jawaban .........................................
15
BAB II : ALASAN EFISIENSI DAPAT DIBENARKAN DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1. Defenisi Ketenagakerjaan .........................................................
vii
17
a. Ketenagakerjaan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003...........................................................................
17
b. Pengertian Pengusaha .........................................................
18
c. Pengertian Perjanjian Kerja .................................................
19
2. Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Dan Alasan Efisiensi ....
26
a. Pengertian dan Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja .
26
b. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja ................................
30
3. Perselisihan Hubungan Industrial ............................................
33
a. Pengertian Hubungan Industrial..........................................
33
b. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial ..............................
33
c. Pengertian Perselisihan Hak ...............................................
34
d. Prosedur Penyelesaian Peselisihan Hubungan Industrial ..
34
e. Tinjauan Beberapa Perkara Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Efisiensi ............................................
36
f. Efisiensi Sebagai Bentuk Alasan Ekonomi Yang Tidak Dilarang Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja .......
42
BAB III : BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA SEBAGAI KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1. Defenisi Perlindungan Hukum ..................................................
49
a. Pengertian Perlindungan Hukum .........................................
49
b. Pengertian Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan ............
49
2. Bentuk Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan efisiensi...........................................................
50
a. Pemutusan Hubungan Kerja Bukan Hak Mutlak Pengusaha .......................................................
50
b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 Atas Pengujian Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ..............
viii
55
BAB IV : PENUTUP 1. Kesimpulan ................................................................................
60
2. Saran .........................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
63
ix
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapat biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja pada orang lain. Bekerja pada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut sebagai pegawai atau bekerja pada orang lain (swasta) yang disebut buruh atau pekerja. Pengertian pekerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja merupakan salah satu dari faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Dalam kegiatan produksi tenaga kerja merupakan input yang terpenting selain bahan baku dan juga modal. Di beberapa
negara, tenaga
kerja
juga
dijadikan aset terpenting
karena
memberikan pemasukan kepada negara yang bersangkutan. Sangat beruntung sekali bagi negara-negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, karena negara tersebut pasti memiliki jumlah tenaga kerja yang besar pula. Negara-
1
2
negara yang seperti inilah merupakan salah satu incaran dari perusahaanperusahaan asing untuk menanamkan investasinya. Upah tenaga kerja yang sangat murah semakin mendukung lancarnya investasi masuk ke negara tersebut. Para investor beranggapan bahwa apabila upah buruh dapat ditekan maka dapat mengurangi biaya produksi perusahaan. Sehingga pendapatan perusahaan jauh lebih besar di negara itu dibandingkan apabila perusahaan tersebut menanamkan investasi di negaranya sendiri. Dalam konteks pembangunan, pandangan terhadap penduduk ini menjadi terpecah dua ada yang mengatakan penduduk yang besar akan menghambat pembangunan
serta
menjadi
beban
pembangunan
dan
sebagian
ahli
mengatakan penduduk dianggap sebagai pemicu pembangunan. Oleh sebab itu, tidak selamanya negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar itu menguntungkan. Tenaga kerja merupakan bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan
pembangunan
masyarakat
Indonesia
seluruhnya
untuk
meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga
3
kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.1 Di era globalisasi seperti sekarang ini, permasalahan tentang sumber daya manusia (tenaga kerja) dalam suatu perusahaan menuntut untuk lebih diperhatikan,sebab secanggih apapun teknologi yang dipergunakan dalam suatu perusahaan serta sebesar apapun modal yang diputar perusahaan, tenaga kerja tetap merupakan aset yang paling utama dalam kehidupan perusahaan karna tanpa adanya karyawan maka peralatan dan modal tidak mungkin akan dapat di pergunakan secara maksimal. Tenaga kerja merupakan sebagai salah satu elemen utama dalam suatu sistem kerja, sehingga tenaga kerja masih sangat di butuhkan oleh setiap perusahaan. Salah satu permasalahan yang sedang marak saat ini adalah dampak krisis moneter yang terjadi 1998 masih dapat dirasakan sampai saat ini yang mengakibatkan banyak perusahaan-perusahaan yang tidak mampu bertahan dan berimbas kepada tenaga kerja dampak yang terjadi terhadap tenaga kerja adalah Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana. Masalah PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, khususnya dari kalangan buruh/pekerja karena dengan PHK buruh/pekerja yang bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial (pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja atau serikat buruh, dan pemerintah), dengan segala upaya harus diusahakan agar jangan terjadi pemutusan
1
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Ed. 1, Cetakan. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 6.
4
hubungan kerja Pasal 151 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.2 Segala upaya yang dimaksudkan dalam Pasal 151 ayat 1 Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan memiliki arti bahwa setiap kegiatan yang positif yang secara prinsip menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja, seperti antara lain melakukan pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh. Sehingga dan oleh karenanya upaya pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja adalah
merupakan upaya tindakan terakhir yang dapat dilakukan pengusaha. Bila segala upaya pencegahan telah gagal, baru pemutusan hubungan kerja boleh dilakukan.3 Kondisi inilah yang menyebabkan para tenaga kerja saat ini selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan. Krisis ekonomi yang terjadi hingga saat ini banyak perusahaan di Indonesia harus melakukan restrukturisasi. Perusahaan harus mengurangi karyawannya dengan alasan efisiensi. 4 Penerapan hukum untuk pengakhiran hubungan kerja dengan alasan tersebut lebih dikenal dengan PHK karena efisiensi. Definisi efisiensi tidak dijelaskan dalam ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan5, akan tetapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “efisiensi” diartikan sebagai ketetapan cara usaha, kerja
2
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cet. 11, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2012, hal. 195. 3 Asri Wijayanti, Op. Cit., hal. 159. 4 Asfinnawati S.H., makalah Pemutusan Hubungan Kerja Ditinjau dari Hukum Perburuhan, Jakarta: Universitas Sumatera Utara, 2007, hal. 1. 5 Ferianto dan Darmanto, Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara PHI Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) disertai ulasan hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 263.
5
dansebagainya dalam menjalankan sesuatu, kemampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat.6 Akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang dampaknya masih dapat dirasakan sampai saat ini dan mengakibatkan banyaknya Perusahaan yang melakukan restrukturisasi dan diikuti oleh meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan dengan alasan efisiensi sehingga setiap karyawan yangtidak mempunyai kompetensi (kemampuan) tinggi harus memikirkan alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mengatasinya, banyak dari penduduk di negara-negara dunia ketika memilih berprofesi di sektor apa saja salah satunya adalah sebagai tenaga kerja (buruh), dikarenakan sulitnya dalam mencari lapangan pekerjaan yang layak guna memenuhi kebutuhan hidup tanpa memerlukan pendidikan yang tinggi. Dengan demikian kesenjangan sosial dan perlakukan tidak adil terhadap tenaga kerja akan senantiasa membayangi para tenaga kerja. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan pemenuhan hak dasar yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam 6
Umi Chulsum dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 1, Surabaya: Kashiko, 2006, hal. 207.
6
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas kekeluargaan”. Pelanggaran terhadap hak dasar yang dilindungi konstitusi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.7 Sampai saat ini pemutusan hubungan kerja (PHK) karena alasan efisiensi masih menjadi polemik karena terdapat dua penafsiran berbeda yang disebabkan karena ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan dalam praktik peradilan. Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa,8 “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena kondisi memaksa (force majuer) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”. Ketentuan Pasal diatas yang mengatur mengenai alasan masih melakukan efisiensi maka perusahaan dalam kondisi tutup. Namun ada yang menafsirkan bahwa perusahaan tidak perlu tutup untuk melakukan efisiensi apa bila tindakan perubahan tersebut justru dapat menyelamatkan perusahaan dan sebagian pekerja yang lainnya.9
7
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 (2) dan 33 (1). 8 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Loc. Cit, Pasal 164 ayat 9 Ferianto dan Darmanto, Ibid, hal., 263.
7
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan masalah yang kompleks, karena mempunyai hubungan dengan masalah ekonomi maupun psikologi bagitenaga kerja yang terkena dampak Pemutusan hubungan kerja (PHK). Masalah ekonomi karena Pemutusan hubungan kerja (PHK) akan menyebabkan hilangnya pendapatan yang seharusnya diterima oleh tenaga kerja sebelum terjadinya Pemutusan hubungan kerja (PHK), tentu ini akan menjadi sebuah permasalahan baru bagi tenaga kerja tersebut, mengingat banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi dengan semakin meningkatnya harga kebutuhan pokok yang nantinya sangat berat dilewati oleh pekerja/buruh tersebut apabila ia sudah tidak menerima pendapatan/penghasilan, sedangkan masalah psikologi yang berkaitan dengan hilangnya status seseorang. Dalam skala yang lebih luas, dapat
merambat
kedalam
masalah
pengangguran
dan
kriminalitas.
Pengangguran yang semakin tinggi ditambah dengan meningkatnya jumlah kriminalitas di Indonesia tentunya berdampak buruk bagi Negara kita. Untuk itu sangatlah diperlukan adanya perlindungan terhadap tenaga kerjadi maksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apa untuk mewujudkan
kesejahteraan
pekerja/buruh
dan
keluarganya
dengan
memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Secara sosial ekonomis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain dari itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain. Majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja, mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah dari pada majikan maka perlu adanya campur tangan
8
pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya. Perlindungan hukum menurut Philipus, yakni:10 “Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang menjadi perhatian, yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukumbagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha.” Perlindungan hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu: 11 “Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perUndang-Undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan memaksa majikan bertindak seperti dalam perUndangUndangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis.” Pemberian perlindungan hukum bagi pekerja menurut Imam Soepomo meliputi lima bidang hukum perburuhan, yaitu: 12 1. Bidang pengerahan atau penempatan kerja Bidang pengerahan/penempatan kerja, adalah perlindungan hukum yang dibutuhkan oleh pekerja sebelum ia menjalani kerja. Masa ini sering disebut dengan masa pra penempatan atau pengerahan. 2. Bidang hubungan kerja Bidang hubungan kerja, yaitu masa yang dibutuhkan oleh pekerja sejak ia mengadakan hubungan kerja dengan pengusaha. Hubungan kerja itu didahului oleh perjanjian kerja. Perjanjian kerja dapat dilakukan dalam batas waktu tertentu atau tanpa batas waktu yang disebut dengan pekerja tetap. 3. Bidang kesehatan kerja Bidang kesehatan kerja, adalah selama menjalani hubungan kerja yang merupakan hubungan hukum, pekerja harus mendapat jaminan atas kesehatannya. Apakah lingkungan kerjanya dapat menjamin kesehatan tubuhnya dalam jangka waktu yang relatif lama. 4. Bidang keamanan kerja Bidang keamanan kerja, adalah adanya perlindungan hukum bagi pekrja atas alat-alat yang dipergunakan oleh pekerja. Dalam waktu relatif singkat atau lama akan aman dan ada jaminan keselamatan bagi pekerja. Dalam 10
Asri Wijayanti,Op. Cit,hlm. 10. Ibid. 12 Ibid, hal.11. 11
9
hal ini negara mewajibkan kepada pengusaha untuk menyediakan alat keamanan kerja bagi pekerja. 5. Bidang jaminan sosial buruh. Yang terakhir adalah bidang jaminan sosial bagi tenaga kerja. Dengan telah diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja pada Tahun 1992, maka besarnya kompensasi dan batas maksimal yang diakui oleh PT. Jamsostek dapat dikatakan cukup. Untuk saat ini kompensasi ataupun batas maksimal upah yang diakui untuk pembayaran premi jamsostek sudah saatnya dilakukan revisi penyesuaian. Dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sangat kompleks dan cenderung menimbulkan perselisihan, maka mekanisme prosedur pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur sedemikian rupa agar pekerja/buruh mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan yang mengatur megenai masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti peraturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Perlindungan
pekerja
tersebut
dalam
Bahasa
Belanda
disebut
arbeidsbescherming. Maksud dan tujuan perlindungan buruh atau perlindungan pekerja adalah agar pekerja dapat dilindungi dari perlakuan pemerasan oleh pihak pengusaha. Pemerintah sangat menaruh perhatian terhadap masalah perlindungan pekerja/buruh karena pada umumnya posisi pekerja masih lemah, sehingga perlindungan kerja dan kesalamatan kerja akan dapat mewujudkan terpeliharanya kesejahteraan, kesehatan, kedisplinan pekerja yang berada di bawah pimpinan pengusaha. Seperti dalam kasus yang akan penulis jadikan sebagai objek analisis dimana hal ini tercermin dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 90/PHI.G/2012/PN.JKT.PST, dimana posisi pekerja/buruh yang cenderung tidak memiliki power atau kekuatan, apabila berhadapan dengan pengusaha yang memiliki kekuatan tentunya pekerja/buruh tidak dapat berbuat banyak apabila pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan berdampak
10
buruk pada pekerja/buruh tersebut. pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak pun biasanya dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh yang tidak mencapai kesepakatan dengan pengusaha, apabila dengan cara bipartit (penyelesaiandengan cara musyawarah antara pekerja dan pengusaha) tidak berhasil, maka upaya terakhir yang dapat dilakukan pengusaha yaitu melalui proses hukum, dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Berdasarkan latar belakang masalah seperti di atas, peneliti mengambil judul “Perlindungan Hukum Para Pekerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Di Indonesia
Menurut
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan”.
2. Rumusan Masalah Perumusan masalah diperlukan untuk mempertegas masalah-masalah yang akan diteliti, sehingga akan lebih mudah dalam pengerjaannya serta dapat mencapai sasaran yang diinginkan, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian sebagai berikut: 1. Apakah alasan efisiensi dapat dibenarkan dalam pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh Perusahaan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan? 2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja sebagai kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan efisiensi dilihat
dari
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
11
3. Penjelasan Judul Penulisan skripsi ini mengambil judul “Perlindungan Hukum Para Pekerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan”, maka beberapa kata kunci yang termuat dalam judul tersebut perlu diuraikan sebagai berikut: 1. Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.13 Pada dasarnya pemutusan hubungan kerja (PHK) itu dilarang, akan tetapi diperbolehkan dengan syarat adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). 2. Pekerja/Buruh adalah Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.14 3. Efisiensi yaitu Ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu; kemampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat.15 4. Perlindungan hukum adalah Suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.16
13
Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Loc. Cit, Pasal 1 angka 25. Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, LN No. 6 TLN No.4356, Pasal 1 angka 9. 15 Umi Chulsum dan Windy Novia, Loc.Cit, hlm. 207. 16 Mochtar Kusumaatmadja, Pengertian Perlindunngan Hukum, (On-Line), tersedia dihttp://www.indoeducation.com/2011/02/pengertian-perlindungan-hukum.html (2 Juni 2015). 14
12
4. Alasan Pemilihan Judul Penulisan skripsi ini dengan judul “Perlindungan Hukum Para Pekerja Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan”, diambil karena seringnya terjadi kejahatan perusahaan pada pekerjanya. Kejahatan ini berupa tidak memenuhi hak dari pekerja yang sering kita sebut gaji dan kompensasi ketika pemutusan hubungan kerja terjadi. Perusahaan sering kali menghindar dan tidak memenuhi kontrak kerja yang sudah disepakati di awal sebelum hubungan antara pimpinan dan karyawan terjadi, misalnya soal gaji, insentif dan kompensasi dengan nilai tertentu yang disepakati kedua belah pihak, yaitu: pekerja dan perwakilan dari perusahaan. Semakin besar sebuah perusahaan, semakin panjang birokrasinya sehingga mempersulit pekerja
untuk
meminta
kejelasan
suatu
informasi tentang
kompensasi saat terjadinya pemutusan hubungan kerja. Dan yang sering terjadi kompensasi tidak sesuai dengan kontrak kerja atau pimpinan perusahaan menghilang tanpa memberi informasi yang akurat tentang kompensasi.
5. Tujuan Penelitian Tujuan akademis untuk memenuhi persyaratan studi tahap akhir guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra. Tujuan praktis, dimaksudkan untuk: a. Untuk mengetahui dan menjelaskan apakah alasan efisiensi dapat dibenarkan
dalam
pemutusan
hubungan
kerja
(PHK)
oleh
Perusahaanmenurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
13
b. Untuk menjelaskan bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja sebagai kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan efisiensi dilihat
dari
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan.
6. Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini bermanfaat bagi para pekerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Secara khusus skripsi ini mempunyai manfaat untuk: 1. Mengetahui dan memahami mengenai perlindungan hukum para pekerja, saat terjadi pemutusan hubungan kerja dilihat dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 2. Mengetahui dan memahami alasan efisiensi dapat dibenarkan dalam pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh Perusahaan menurut Peraturan PerUndang-Undangan dilihat dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 3. Mengetahui dan memahami bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja sebagai kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan efisiensi dilihat dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
7. Metode Penelitian Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah : a. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang penulis gunakan untuk menyusun skripsi adalah tipe penelitian hukum normatif. Penelitian Hukum Normatif disebut juga
14
Penelitian Kepustakaan (Library Research), adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menelusuri atau menelaah dan menganalisis bahan pustaka atau bahan dokumen siap pakai, seperti Undang-Undang, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahannya, yaitu mengenai Hukum Ketenagakerjaan.17 b. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perUndangUndangan (statue approach), terhadap peraturan perUndang-Undangan dengan isu hukum yang dihadapi dalam penelitian ini. c. Bahan Hukum Dalam penelitian ini data yang digunakan sebagai bahan penulisan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka atau literatur yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1) Bahan hukum primer (primer source), yaitu bahan hukum yang diperoleh
dari
peraturan
perundang-undangan
diantaranya
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. 2) Bahan hukum sekunder (secondary source), yaitu data yang diperoleh dari buku-buku atau literatur-literatur juga media massa
17
Henry Arianto, Modul Kuliah Metode Penelitian Hukum, Jakarta: UEU, 2011, hal. 7.
15
yang ada seperti koran, majalah, dan jurnal hukum yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
d. Langkah-Langkah Kajian Pertama,
melakukan
pengumpulan
bahan-bahan
hukum
dan
menginventarisasi bahan hukum yang terkait dengan menggunakan studi kepustakaan. Kemudian bahan hukum diklasifikasikan dengan cara memilahmilah bahan hukum dan disusun secara sistematis agar mudah dibaca dan dipahami. Untuk menganalisa bahan-bahan hukum digunakan metode dedukasi yaitu metode penelitian yang diawali dengan menemukan pemikiran atau ketentuanketentuan yang bersifat umum, kemudian diterapkan pada pokok masalah yang dibahas yang bersifat khusus. Untuk sampai pada jawaban permasalahan digunakan penafsiran sistematis, yaitu
penafsran
yang
mendasarkan
pada
hubungan
antara
peraturan
perUndang-Undangan yang satu dengan yang lainnya, pasal yang satu dengan pasal lainnya dalam peraturan perUndang-Undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan yang selanjutnya penulisan ini disebut sebagai Penulisan Hukum Normatif.
8. Sistematika Pertanggung Jawaban Sistematika penulisan skripsi memberikan gambaran dan mengemukakan garis besar skripsi agar memudahkan di dalam mempelajari seluruh isinya. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai arah dan ruang lingkup skripsi ini, maka disajikan sistematika skripsi sebagai berikut:
16
a. Bab I Pendahuluan Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai apa yang menjadi landasan pemikiran yang dituangkan dalam latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika penelitian.
b. Bab II bab ini disajikan dalam bentuk uraian secara teoritis dengan menggunakan bahan hukum primer sebagai dasar pembahasan pada bab berikutnya. Dalam bab II ini akan membahas tentang rumusan masalah pertama: Apakah Alasan Efisiensi Dapat Dibenarkan Dalam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Oleh Perusahaan Menurut UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang meliputi: Defenisi ketenagakerjaan, Tentang Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK) Dan Alasan Efisiensi. c. Bab III
bab ini akan membahas rumusan masalah kedua tentang:
Bagaimana Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Sebagai Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dengan Alasan Efisiensi Dilihat
Dari
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan. Yang meliputi: Defenisi Perlindungan Hukum, dan Bentuk Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Efisiensi. d. Bab IV Penutup Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri dari bagian kesimpulan sebagai jawaban singkat atas rumusan masalah dan bagian saran sebagai sumbangan pemikiran masukan dalam khasanah hukum.
BAB II ALASAN EFISIENSI DAPAT DIBENARKAN DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1. Defenisi Ketenagakerjaan a. Ketenagakerjaan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan, “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, sesudah masa kerja”. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksanaannya, dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga keputusan-keputusan menteri yang terkait, dapat ditarik kesimpulan adanya beberapa pengertian ketenagakerjaan, sebagai berikut. a. Ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan setelah selesainya masa hubungan kerja. b. Tenaga kerja adalah objek, yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa, untuk kebutuhan sendiri dan orang lain. c. Pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja untuk orang lain dengan menerima upah berupa uang atau imbalan dalam bentuk lain.
17
18
d. Pemberi kerja adalah orang perseorangan atau badan hukum yang memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.18 b. Pengertian Pengusaha Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang di maksud pengusaha sebagai berikut : a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. b. Orang peseorangan, persekututan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalani perusahaan bukan miliknya. c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagai mana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia Menurut Whimbo Pitoyo pengertian dari pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya sendiri atau, orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di wilayah Indonesia, yang mewakili perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.19 c. Menurut Abdul Kadir Muhamad, pengusaha adalah orang yang menjalankan perusahaan atau menyuruh menjalankan perusahaan.
18
Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Visi media, 2010,
19
Ibid hal 6
hal 3.
19
Menjalankan perusahaan artinya mengelola sendiri perusahaannya, baik dengan sendiri maupun dengan bantuan pekerja.20 c. Pengertian Perjanjian Kerja a. Pengertian perjanjian kerja Perjanjian
yang
dalam
bahasa
belanda
disebut
arbeldsoverenkoms,
mempunyai beberapa pengertian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni : “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”. Pasal 1601 huruf a KUH Perdata memberikan pengertian sebagai berikut : “Perjanjian kerja adalah perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak lain (simajikan) untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”. Selanjutnya, Pasal 1601 KUH Perdata, menentukan tentang perjanjian perburuhan, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian perburuhan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang majikan atau beberapa perkumpulan majikan yang berbadan hukum dengan suatu atau beberapa serikat buruh yang berbadan hukum mengenai syarat-syarat kerja yang harus di indahkan pada waktu membuat perjanjian kerja.21 Selain pengertian normatif seperti di atas Imam Soepomo berpendapat, bahwa
perjanjian
kerja
adalah
suatu
perjanjian
dimana
pihak
kesatu
(pekerja/buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dan
20
Rocky Marbun, Jangan Mau di PHK Begitu Saja, Jakarta: Visi Media.2010. h. 16 Koko Kosidin, Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan Perjanjian Perusahaan, Bandung: Mandar Maju,1999,h. 6-7 21
20
pihak kedua yakni majikan/pengusaha mengikatkan diri untuk memperkerjakan pekerja dengan membayar upah.22 b. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3) Suatu hal tertentu 4) Klausa yang halal. Pasal 1338 KUH Perdata juga berkaitan dengan suatu perjanjian yaitu berbunyi : Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. c. Unsur-Unsur Dalam Perjanjian Kerja Berdasarkan pengertian perjanjian kerja di atas, dapat ditarik beberapa unsur yaitu: 1) Adanya unsur work atau pekerjaan Suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja tersebut, pekerjaan mana yaitu yang dikerjakan oleh
22
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1983. h. 53
21
pekerja itu sendiri, haruslah berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja.23 2) Adanya service atau pelayanan Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai manifestasi adanya perjanjian kerja tersebut, pekerja haruslah tunduk pada perintah orang lain, yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk dan di bawah perintah orang lain, si majikan. Dengan adanya ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa si pekerja dalam melaksanakan pekerjaanya berada di bawah wibawa orang lain yaitu si majikan. 3) Adanya unsur time atau waktu tertentu Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang telah dilakukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perUndang-Undangan. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya pekerja tidak boleh melakukan sekehendak dari si majikan dan juga boleh dilakukan dalam seumur hidup, jika pekerjaan tersebut dilakukan selama hidup dari pekerja tersebut, di sini pribadi manusia akan hilang sehingga timbullah apa yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian kerja 4) Adanya unsur upah Jika seseorang yang bekerja, dalam melaksanakan pekerjaanya bukan bertujuan untuk mendapatkan upah, akan tetapi yang menjadi tujuannya adalah selain upah, maka pelaksanaan pekerjaan tersebut sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Selanjutnya jika seseorang bagi diri si pekerja dan bukan untuk bertujuan mencari upah
23
Djumadi, Perjanjian Kerja, Jakarta: Radjawali Pers .1995. h. 60
22
maka unsur keempat dalam suatu perjanjian kerja ini, yaitu unsur upah tidak terpenuhi.24 d.
Pembagian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja harus berdasarkan atas pernyataan kemauan yang disepakati kedua pihak.25 Selanjutnya setelah terdapat persetujuan mengenai macam pekerjaan, besarnya upah dan sebagainya pada dasarnya dengan keterangan pekerjaan kepada pengusaha: “saya sanggup bekerja’’ dan ada jawaban pengusaha “baik’’, terjadilah perjanjian kerja yang sah. Karena dengan pernyataan itu, kedua belah pihak telah terikat, walaupun masih diperlukan tanda pengikat seperti panjer dan sebagainya. Pada dasarnya perjanjian kerja dibuat tidak dipersyaratkan dalam bentuk tertentu apakah dalam bentuk tertulis atau tidak tertulis. Jadi seperti perjanjian lainnya, bentuk perjanjian kerja adalah bebas. Dalam KUH Perdata-pun hanya dinyatakan bahwa apabila perjanjian kerja dibuat secara tertulis, segala biaya akte dan biaya tambahan lainya menjadi tanggungan majikan. 26 Memang lebih bermakna jika suatu perjanjian itu dilaksanakan secara tertulisdan diberikan sebuah materai sebagi bahan penguat atas kekuatan hukum dan lebih baik lagi jika setiap melakukan suatu perjanjian apapun atau perjanjian kerja hendaklah dibuat didepan notaris agar perjanjiantersebut menjadi sebuah bukti yang kuat dimata hukum. Selanjutnya perjanjian kerja dapat dibagi menjadi : 1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu Pasal 1603 e ayat 1 KUH Perdata yang mengatur mengenai perjanjian kerja untuk waktu tertentu: “Hubungan kerja berakhir demi hukum jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atas peraturan-peraturan atau 24
Ibid hal.9 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1983. h. 57 26 Ibid hal.6 25
23
dalam peraturan perUndang-Undangan atau jika semua itu tidak ada menurut kebiasaan”. Jelaslah bahwa yang dinamakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibagi pula menjadi 3 yaitu : a)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dimana waktu berlakunya ditentukan menurut perjanjian, misalnya dalam perjanjian kerja tertulis untuk waktu 2 tahun dan sebagainya atau sampai proyek selesai.
b)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dimana waktu berlakunya ditentukan
menurut
Undang-Undang,
misalnya
bila
pengusaha
mempekerjakan tenaga asing, dalam perjanjian kerja tertulis untuk waktu sekian tahun dan sebaginya menurut ijin yang diberikan oleh menteri tenaga kerja atas dasar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang penempatan tenaga kerja asing. c)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dimana waktu berlakunya ditentukan menurut kebiasaan, misalnya diperkebunan terdapat pekerja pemetik kopi, jangka waktu perjanjian kerja ditentukan oleh musim kopi. Musim kopi hanya berlangsung beberapa bulan dan setelah musim kopi selesai maka perjanjian kerja dianggap telah berakhir. 27
2)
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tentu Perjanjian kerja untuk waktu tertentu diatur dalam Pasal 1603 huruf q ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa jika waktu lamanya hubungan kerja tidak ditentukan baik dalam perjanjian atau peraturan majikan, maupun dalam peraturan perUndang-Undangan ataupun pula menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tertentu. Dengan
27
Ibid hal.9
24
demikian yang dinamakan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja dimana waktu berlakunya tidak ditentukana baik dalam perjanjian, Undang-Undang ataupun dalam kebiasaan. Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjaannya adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu yang tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjaanya adalah pekerja tetap.28 Dalam dunia kerja sering kita dengar karyawan kontrak dan karyawan tetap dalam istilah tersebut kita dapat membedakan hak dan kewajiban, istilah tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut : Definisi dan ketentuan yang berlaku untuk karyawan kontrak adalah sebagai berikut: a) Karyawan kontrak dipekerjakan oleh perusahaan untuk jangka waktu tertentu saja, waktunya terbatas maksimal hanya 3 tahun. b) Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan kontrak dituangkan dalam “Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu” c) Perusahaan tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan. d) Status karyawan kontrak hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: 1.
28
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. h. 60
25
2.
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.
3.
Pekerjaan yang bersifat musiman atau
4.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk
tambahan
yang
masih
dalam
percobaan
atau
penjajakan. 5.
Untuk pekerjaan yang bersifat tetap, tidak dapat diberlakukan status karyawan kontrak.
e)
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disepakati bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar gaji karyawan sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
f)
Jika
setelah
kontrak
kemudian
perusahaan
menetapkan
yang
bersangkutan menjadi karyawan tetap, maka masa kontrak tidak dihitung sebagai masa kerja. Sedangkan definisi yang menggambarkan tentang ketentuan yang berlaku untuk karyawan tetap adalah sebagai berikut: a) Tak ada batasan jangka waktu lamanya bekerja. b) Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan kontrak di tuangkan dalam Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu. c) Perusahaan dapat mensyaratkan masa percobaan maksimal 3 bulan. d) Masa kerja dihitung sejak masa percobaan.
26
e) Jika terjadi pemutusan hubungan kerja bukan karena pelanggaran berat atau karyawan mengundurkan diri maka karyawan tetap mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja (bagi karyawan yang bekerja minimal 3 tahun) dan uang penggantian hak sesuai UndangUndang yang berlaku. f)
Mengenai gaji, fasilitas, kesejahteraan, cuti dan lain-lain karyawan kontrak dapat memiliki hak yang sama dengan karyawan tetap tergantung dari perjanjian kerja yang disepakati bersama. Oleh karenanya semua hak dan kewajiban masing-masing pihak harus dicantumkan semua dalam perjanjian kerja dan karyawan harus cermat dan jeli mempelajari perjanjian kerja yang dibuat oleh perusahaa.29
2. Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Dan Alasan Efisensi a. Pengertian dan Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 25 menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dan pengusaha. Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dengan berlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PPHI tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di perusahaan swasta dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P3) dinyatakan tidak
29
Lefi Sofiani, Hubungan Karyawan,
27
berlaku lagi. Namun, untuk peraturan pelaksanaan kedua Undang-Undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PPHI.30 PHK berarti berkaitan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi pekerja dan kondisi keuangan dari perusahaan. Karenanya sangat wajar jika kemudian pemerintah melakukan intervensi, bukan hanya melindungi hak-hak pekerja, tatapi juga memperhatikan kemampuan dari keuangan perusahaan tersebut dengan memberikan pengaturan-pengaturan berpatokan standart, baik secara nasional maupun internasional. Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan, ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam UndangUndang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara, maupun usahausaha sosial dan usaha-usaha lain yang memiliki pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), harus mengikuti ketentuan UUK, sebagai berikut: 1. Badan usaha berbentuk badan hukum. 2. Badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum 3. Badan usaha milik persekutuan 4. Badan usaha milik swasta 5. Badan usaha milik swasta
30
Ibid hal 7
28
6. Badan-badan sosial dan badan usaha lainya yang memiliki pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.31 Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja secara perorangan dengan berbagai alasannya. Dalam perkembangannya ketentuan pemberhentian pekerja berkembang
menjadi
tidak
hanya
terbatas
pada
pemberhentian
yang
mengakibatkan penderitaan pekerja yang telah atau akan diberhentikan, tetapi juga membatasi atau menyerang kebebasan pengusaha untuk melakukan pemberhentian dan menetapkan asas yang lebih umum, yaitu bahwa tiap pemberhentian pekerja harus didasarkan alasan inti yang membenarkan pemberhentian itu. Jadi kesimpulan yang lazim dari asas itu ialah bahwa seorang pekerja yang diberhentikan
berhak
untuk
menentang
pemberhentiannya
bila
ternyata
pemberhentian itu tidak beralasan, melalui suatu cara pengadilan dan jika perlu melalui pengadilan dan atau suatu badan arbitrase atau badan yang tak memihak ataupun suatu badan kerja sama yang berwenang memeriksa dan mengambil putusan terhadap soal yang dijadikan alasan pemberhentian tersebut.32 Pemberhentian Pekerja secara Masal atau Pengurangan Buruh. Dalam hal pemberhentian secara perorangan, berlaku pula pemberhentian secara masal atau pegurangan pekerja berdasarkan
alasan ekonomis. Alasan untuk
mengurangi pekerja yang bersangkutan dengan jalannya perusahaan, biasanyaa bersifat ekonomis dan teknis Adapun alasan-alasan yang dipandang sebagai alasan yang cukup kuat untuk menunjang pembenaran pemutusan hubungan 31
Ibid hal 7 Sri Subiandini Gultom, Aspek hukum hubungan industrial,Jakarta: Inti Prima Promo Sindo, 2008 32
29
kerja yang dilakukan oleh pengusaha atas diri seorang atau beberapa pekerja pada dasarnya ialah sebagai berikut : 1. Alasan Ekonomis a. Menurunnya hasil produksi yang dapat pula disebabkan oleh merosotnya kapasitas produksi perusahaan yang bersangkutan. b. Merosotnya penghasilan perusahaan c. Merosotnya kemampuan perusahaan tersebut untuk membayar upah/gaji dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya. d. Pelaksanaanya rasionalisme atau penyederhanaan yang berarti pengurangan pekerja dalam jumlah besar dalam perusahaan yang bersangkutan. 2. Alasan tentang diri pribadi pekerja yang bersangkutan. a. Tidak memiliki kemampuan kerja dan prestasi yang memadai selaras dengan target yang telah ditentukan, mesikpun bebagai usaha dan waktu yang diberikan untuk memberikannya sudah cukup banyak. b. Tidak memiliki tingkah laku yang baik: tidak jujur, kurang mempunyai rasa tanggung jawab, sering mangkir tanpa alasan dan lain-lain. 3. Tidak memiliki kekuatan jasmani yang sepadan dengan beratnya tugas yang diemban, dan sebagainya. 4. Karena meninggalnya pengusaha dan tidak ada ahli waris yang mampu melanjutkan hubungan kerja dengan pekerja yang bersangkutan.33
33
Ibid hal 20
30
b. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur tata cara pelaksanaan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga ada acuan yang dapat digunakan oleh pekerja untuk mencermati keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan oleh pihak pengusaha/ perusahaan UUK mewajibkan kepada pihak pengusaha/perusahaan untuk terlebih
dahulu
mengajukan permohonan izin melakukan PHK kepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI). Selama masa menunggu keputusan dari LPPH baik pengusaha maupun pekerja tetap menjalankan kewajibannya seperti semula. Kecuali jika pengusaha melakukan skorsing kepada pekerja, pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja tetap menerima upah beserta hak-hak lainya yang biasa diterima. Pasal 154, penetapan atas permohonan izin PHK hanya akan dikeluarkan jika dalam perundingan antara pengusaha dan pekerja mengalami kegagalan. Namun, penetapan izin tersebut tidak diperlukan jika kondisinya sebagai berikut: 1. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bila mana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya. 2. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali. 3. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perUndang-Undangan atau
31
4. Pekerja/buruh meninggal dunia. Prosedur yang harus ditempuh oleh pihak pengusaha dalam mengadakan pemutusan hubungan kerja dengan seorang atau beberapa orang pekerjanya yang pada intinya sebagai berikut: 1. Setiap perselisiahan hubungan industrial yang terjadi di perusahaan pada tingkat pertama harus diselesaikan secara musyawarah antara serikat kerja atau pekerja itu sendiri sebagai langkah awal penyelesaian. Penyelesaian secara bipartit adalah penyelesaian yang paling baik karena penyelesaian dilakukan dikalangan sendiri. 2. Bila perundingan itu menghasilkan kesepakatan maka kesepakatan itu dituangkan menjadi suatu kesepakatan persetujuan bersama. 3. Jika tidak tercapai perundingan/kata sepakat, maka kedua belah pihak/salah satu pihak dapat menyerahkan/memilih diselesaikan melalui perantara, antara lain mediasi, konsiliasi, atau arbitrase. 4. Pegawai perantara mengadakan penyelidikan tentang duduk perkara perselisiahan,
memanggil
pihak-pihak
yang
berselisih,
dan
mengusahakan penyelesaian secara damai. 5. Apabila perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh pegawai perantara, maka salah satu pihak mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. 6. Pengajuan gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. 7. Pengadilan negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah menerima gugatan, harus sudah menetapkan majelis hakim yang terdiri
32
atas 1 orang hakim sebagai ketua majelis dan 2 orang hakim Ad-Hoc sebagai anggota majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan. 8. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak penetapan majelis hakim harus sudah melakukan sidang pertama dengan dihadirin oleh pihak penggugat dan tergugat. 9. Hakim berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. 10. Apabila tidak dapat didamaikan, majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselesaian hubungan industrial dalam waktu selambatlambatnya 50 hari kerja terhitung sejak sidang pertama. 11. Putusan pengadilan hubungan industrial mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada mahkamah agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja.34 Selanjutnya pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa izin pengadilan, bila: a. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilakukan masih dalam masa percobaan kerja. b. Pemutusan hubungan kerja itu didasarkan atas persetujuan pekerja yang bersangkutan. c. Masa kerja yang diperjanjikan memang telah berakhir. d. Pekerja yang bersangkutan sudah memasuki masa pensiun. e. Pemutusan hubungan kerja tersebut telah disetujui oleh serikat pekerja yang bersangkutan. f.
Pemutusan hubungan kerja dilakukan karena keadaan darurat yang memang
34
Ibid hal 20
tidak
memungkinkan
lagi
untuk
terus
dilangsungannya
33
hubungan kerja, misalnya perusahaan yang bersangkutan jatuh pailit, majikan meninggal dunia dan tidak ada ahli waris yang dapat meneruskan hubungan kerja tersebut,dan sebagainya.
3. Perselisihan Hubungan Industrial a.
Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesian hubungan
Perselisihan industrial
pertentangan
Hubungan Industrial menyatakan, “Perselisihan
adalah
antara
perbedaan
pengusaha
atau
pendapat gabungan
yang
mengakibatkan
pengusaha
dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, perselisihan antara serikat pekerja atau serikat buruh dalam satu perusahaan. b. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial Jenis Perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, jenis perselisihan hubungan industrial meliputi: 1. Perselisihan
hak
adalah
perselisihan
yang
timbul
karena
tidak
dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 2. Perselisihan
kepentingan
adalah
perselisihan
yang
timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syaratsyarat kerja yang ditetapkan
34
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama 3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 4. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan. c.
Pengertian Perselisihan Hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhi hak, akibat adanya perbedaan pendapat tentang pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perUndangUndangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama perselisihan hak sering disebut juga sebagai perselisihan yang bersifat normatif,
yaitu
perselisihan
terhadap
permasalahan
yang
sudah
ada
pengaturannya atau dasar hukumya.35
d. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 1. Bipartit Sebelum Perselisihan diajukan kepada lembaga penyelesaian perselisihan, setiap perselisihan wajib diupayakan penyelesaiannya secara bipartit, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. 35
Pendidikan dan Pelatihan Pelaksanaan Undang-undang No 2 tahun 2004 tentangPPHI di jajaran konfederasi SPSI Sejatim,Hal. 1
35
2. Mediasi Penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengah oleh seorang atau lebih mediaotor yang netral. 3. Konsiliasi Lembaga penyelesaian perselisihan yang berwenang untuk menjadi penengah
dalam
perselisihan
kepentingan,
perselisihan
pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja. Yang bertugas sebagai penengah adalah konsiliator, yaitu orang yang memenuhi syaratsyarat sesuai ketetapan menteri dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih, jika proses konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial. 4. Arbitrase Lembaga yang berwenang untuk menjadi wasit dalam perselisihan kepentingan, perselisihan antara serikat pekerja. Yang bertugas menjadi wasit adalah arbirter, para arbiter dapat dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri. 5. Pengadilan Hubungan Industrial Lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua jenis perselisihan. Hakim yang memeriksa dan memutus perselisihan tersebut terdiri dari atas hakim lembaga peradilan dan hakim Ad Hoc. Pada pengadilan ini, serikat pekerja dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum mewakili anggotanya.
36
e. Tinjauan Beberapa Perkara Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan Efisiensi Untuk mengetahui bagaimana pengusaha menjadikan efisiensi sebagai alasan dalam memutuskan hubungan kerja dan bagaimana putusan hakim diambil atas perkara tersebut, dibawah ini dikemukakan dua contoh perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja yang telah diputus oleh pengadilan. 1. Perkara Wilson Epson May Lawan PT. Redpath Indonesia, Jakarta Wilson Epson May adalah seorang pekerja (selanjutnya disebut pekerja) pada PT. Redpath indonesia (selanjutnya disebut pengusaha), jakarta. Pekerja bekerja untuk pengusaha pada pembangunan proyek pembangunan pertambangan tembaga PT. Freeport Indonesia di Tembagapura, Jayapura. Pengusaha adalah perusahaan
kontraktor
pertambangan
untuk
PT.
Freeport
Indonesia
dipertambangan Tembagapura yang lingkup kerjanya adalah melaksanakan pekerjaan proyek pertambangan
dari PT. Freeport Indonesia
didaerah
pernambangan di Tembagapura, Jayapura. Sejak timbulnya krisis ekonomi global pada september 2008, PT. Freeport Indonesia melakukan upaya-upaya efisiensi dengan mengurangi pekerja pertambangan,
termasuk
pekerjaan penambang
yang
diberikan
kepada
pengusaha, menurut pengusaha pengurangan pekerjaan tersebut otomatis mengakibatkan berkurangnya pekerjaan-pekerjaan pengusaha dan secara tak langsung pula mengakibatkan terdapat kelebihan jumlah pekerja, keadaan dimana pengusaha tetap wajib membayarkan upah kepada pekerjaanya. Oleh karena itu, sejak desember 2008 pengusaha memutuskan untuk mengurangi pekerjanya melalui program pemutusan hubungan kerja massal
37
dengan menawarkan pembayaran hak-hak pekerja sesuai Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang terdiri dari: 1. Uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) 2. Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) 3. Dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Selain itu pengusaha juga menawarkan tambahan sebagai penghargaan berupa pembayaran 1 kali Pasal 156 ayat (2) dan 15% x Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pada januari 2009, dari 34 pekerja yang masuk dalam program tersebut, 33 pekerja
diantara
kemudian
menerima
dan
kemudian
menandatangani
kesepakatan pemutusan hubungan kerja. Satu pekerja yang tidak menerima yaitu Saudara. Wilson Epson May. Pengusaha dan Wilson (selanjutnya disebut pekerja) kemudian mengadakan perundingan bipartit, namun tidak tercapai kesepakatan. Oleh karena itu, pengusaha pada tanggal 16 febuari 2009 mencatatkan perselisihan hubungan industri tentang pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja ke Dinas Pemukiman Dan Tenaga Kerja Kabupaten Mimika. Setelah dilakukan mediasi, mediator menebitkan anjuran No. 565/40/2009 tertanggal 8 april 2009 yang isinya menganjurkan agar pekerja dipekerjakan lagi oleh pengusaha. Pengusaha berpendirian bahwa hal tersebut adalah tidak mungkin dilaksanakan karena terjadinya pengurangan pekerja oleh PT. Freeport Indonesia yang berakibat posisi pekerjaan pekerja telah ditiadakan. Selanjutnya, pengusaha mengajukan gugatan kepada PHI Jayapura dan memohon agar
38
majelis hakim menyatakan putus hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja sejak akhir januari 2009. Dari sisi pekerja, pekerja mengemukakan pembelaannya bahwa proses pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha dilakukan secara sepihak, tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas serta tidak sesuai prosedur yang berlaku. Oleh karenanya, menurut pekerja perbuatan pengusaha dapat dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum yang telah mengakibatkan timbulnya kerugian materil maupun moril yang dialami pekerja. Selanjutnya PHI Jayapura mengeluarkan putusan No. 07/G/2009?PHI.JPR. tanggal 12 oktober 2008 yang menyatakan putusnya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dan memerintahkan pengusaha membayar hak-hak pekerja berupa uang pesangon sebesar 2 kali Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang jumlah keseluruhannya Rp 103.120.500,Terhadap putusan tersebut, pekerja mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada
tingkat
kasasi,
Mahkamah
Agung,
melalui
putusan
No.
217
K/Pdt.Sus/2010, tanggal 31 maret 2010, membenarkan putusan PHI Jayapura dengan pertimbangan hukumnya bahwa hubungan antara pekerja dengan pengusaha dinyatakan putus, mengacu pada Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dengan alasan efisiensi guna penyelamatan perusahaan.
39
2. Perkara Arif Maulana Adyasa dan kawan-kawan Lawab Standart Chartered Bank, Jakarta Arif Maulana Adyasa dan kawan-kawan (selanjutnya disebut pekerja) adalah pekerja Standart Chartered Bank Jakarta (selanjutnya disebut pengusaha) pada bagian customer banking. Pengusaha melakukan peutusan hubungan kerja terhadap para pekerja atas dasar efisiensi dikarenakan adanya restrukturisasi dibagian customer banking. Menurut pengusaha, pemutusan hubungan kerja tersebut dilatar belakangi oleh keputusan kantor pusat pengusaha di london yang memberlakukan program restrukturisasi dibagian customer banking terhadap seluruh kantor Standart Chartered Bank, termasuk Standart Chartered Bank Indonesia. Restrukturisasi tersebut berdampak pada diputuskannya hubungan kerja terhadap 92 orang pekerja. Tindakan pemutusan hubungan kerja atas alasan efisiensi ini didasarkan pengusaha pada Pasal 163 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam pertemuan 7 januari 2009, pengusaha memberitahukan serikat pekerja Standart Chartered Bank Indonesia bahwa pengusaha akan melakukan restrukturisasi di bagian customer banking yang berdampak pada diputuskannya hubungan kerja terhadap 92 orang pekerja. Atas
pemutusan
hubungan
kerja
tersebut,
pengusaha
memberikan
penawaran kepada 92 pekerja berupa paket pemutusan hubungan kerja yang perhitungannya lebih besar dari ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dari 92 pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja, 86 pekerja telah menandatangi kesepakatan
40
bersama pemutusan hubungan kerja dan kepada mereka telah dibayakan hakhak mereka sesuai kesepakatan bersama. Kepada yang belum menerima program pemutusan hubungan kerja, pengusaha mengajak perundingan lagi. Namun, perundingan bipatit tetap tidak mencapai kesepakatan, sehingga 15 april 2009, pengusaha mengajukan pemohonan pencatatan perselisihan hubungan industrial tentang pemutusan hubungan kerja ke dinas tenaga kerja dan transmigrasi jakarta selatan. Setelah melakukan mediasi. Mediator dari Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Jakarta Selatan mengeluarkan anjuran tertanggal 19 juni 2009, nomor 2448/-1.835.3, namun
pengusaha
menyatakan
menolak
anjuran
tersebut.
Selanjutnya
pengusaha membawa permasalahan ini ke PHI Jakarta Pusat. Dari sisi pekerja, mereka menilai bahwa tindakan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha atas dasar restrukturisasi untuk efisiensi terhadap 92 pekerjanya yang didasarkan pada Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah tidak berdasar karena alasan perusahaan tutup tidak terjadi. Terhadap gugatan tersebut, PHI Jakarta Pusat menjatuhkan putusan No. 210/PHI.G/2009/PN.JKT.PST. tanggal 5 november 2009 yang menyatakan bahwa hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja putus karena efisiensi sesuai Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung melalui putusan No. 391 K/Pdt.Sus/2010 membenarkan putusan PHI Jakarta Pusat. Perkara-perkara diatas menunjukkan bahwa berkurangnya pekerjaan akibat terjadinya krisis ekonomi dan perlunya restrukturisasi organisasi bisnis agar mampu menghadapi persaingan bisnis yag semakin ketat merupakan alasanalasan ekonomi yang niscaya dalam praktek bisnis. Hakim menilai bahwa
41
pengusaha tidak mungkin membiarkan bisnisnya jatuh tanpa dilakukannya upaya-upaya
penyelamatan,
termasuk
efisiensi
biaya
pekerja.
Sebagai
perundingan, hal tersebut sama dengan yang terjadi di inggris yaitu, kondisikondisi
ekonomi
perusahaan
dapat
secara
langsung
mempengaruhi
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pemutusan hubungan kerja. Hakim cenderung menyetujui pemutusan hubungan kerja atas alasan tersebut.36 Dalam konteks ini, yang perlu dipastikan oleh hakim adalah bahwa terhadap alasan-alasan ekonomi tersebut, pengusaha telah terlebih dahulu melakukan upaya-upaya lain agar pemutusan hubungan kerja tidak terjadi, dalam pengertian pemutusan hubungan kerja merupakan jalan terakhir, sesuai dengan Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, hakim juga perlu menggali dan memastikan maksud sebenarnya dari pemutusan hubungan kerja tersebut. Hal ini diperlukan agar maksud buruk dibelakang alasan pemutusan hubungan kerja dapat dihindari, misalnya pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan dalih efisiensi, padahal ada itikad buruk dibelakang alasan tersebut, yakni pengusaha ingin memutuskan hubungan kerja karena tidak suka dengan kinerja atau pribadi pekerja atau maksud untuk menggantinya dengan pekerja baru. Ditinjau dari penggunaan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan oleh hakim sebagai dasar hukum pemutusan hubungan kerja dalam kedua perkara diatas adalah kurang tepat. Hal ini karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak tutup ketika melakukan pemutusan hubungan kerja, sedangkan sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa kandungan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
36
Joana Marinescu, op.cit. hal 676
42
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah keadaan perusahaan tutup akibat pengusaha melakukan efisiensi yang menimbulkan kewajiban pengusaha untuk membayar sejulah kompensasi kepada pekerja. Sekali lagi, alasan efisiensi memang tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Namun hal itu tidak berarti bahwa tidak ada hukumnya. Peraturan perUndang-Undangan itu sifatnya tidak lengkap. Tidak ada dan tidak mungkin ada peraturan perUndang-Undangan yang lengkap, selengkap-lengkapnya sifatnya serta sejelas-jelasnya. Ketidak lengkapan, ketidak jelasan atau kekosongan hukum tersebut diatasi oleh sistem hukum itu sendiri melalui penemuan hukum.37 Berdasarkan pembahasan dari kandungan Pasal 151 dan 153 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diatas dapat diketahui bahwa alasan efisiensi bukan merupakan alasan yang dilarang dalam pemutusan hubungan kerja karena hal efisiensi merujuk kepada persoalan ekonomi yang dihadapi pengusaha.
f.
Efisiensi Sebagai Bentuk Alasan Ekonomi Yang Tidak Dilarang Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “efisiensi”. Menurut Kamus Bahasa Besar Indonesia, efisiensi diartikan sebagai ketetapan cara usaha dalam menjalankan sesuatu dengan tidak membuang waktu, tenaga dan biaya. 38 Oxford Dictionary mengartikan efisiensi sebagai (1) kualitas sesuatu pekerjaan 37
Sudikno Mertokusumo. 1996. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Hal 26. 38 Pusat Bahasa Kemetrian Pendidikan Dan Kebudayaan RI. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Bandung: Alfabeta. Hal 77.
43
dengan baik tanpa membuang waktu dan uang, (2) cara mengurangi pemborosan waktu dan uang atau cara menghemat waktu dan uang, (3) hubungan antara jumlah pengeluaran dengan jumlah pendapatan.39 Dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam konteks perusahaan, efisiensi adalah hal mengenai upaya perusahaan untuk tidak membuang atau setidak-tidaknya mengurangi pemborosan waktu, tenaga dan biaya dalam menjalankan usaha agar kelangsungan bisnisnya terjaga akibat adanya persaningan bisnis yang semakin kompetitif. Jadi, efisiensi merupakan suatu cara yang dilakukan karena alasan ekonomi perusahaan. Dalam kaitannya dengan pekerja, efisiensi dilakukan dengan cara mengurangi jumlah pekerja (retrenchenment). Sebagaimana diketahui bahwa adanya lapangan pekerjaan merupakan dampak dari berkembangnya kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi dilakukan pengusaha bertujuan untuk menghasilkan keuntungan. Disisi lain, para pencari kerja memerlukan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Disinilah terjadinya simbiosis mutualisme, yakni pengusaha memiliki modal berusaha untuk meningkatkan nilai modal tersebut melalui penciptaan pekerjaan tertentu dan pekerja yang memiliki tenaga, keterampilan, dan pengetahuan tertentu akan mengerjakan pekerjaan tersebut agar dapat memperoleh pendapatan berupa upah untuk memnuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan kontraktual kerja tersebut telah melahirkan kerangka dasar untuk pengalokasian risiko terkait dengan ketidakamanan ekonomi.40 Risiko pada pemilik modal dapat berupa mengalami kerugian atau bahkan hilangnya modal. Risiko pada pekerja dapat berupa hilangnya pekerjaan. Ketidaksamaan ekonomi
39
AS Homby. 2008. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, edisi-9. London: Oxford University Press. Hal.486. 40 Hug Collins, 2003. Employment Law. London: Oxford University Press. Hal 184
44
ini misalnya adanya persaingan pasar dan terjadinya turbulensi ekonomi yang mengakibatkan terus menurunnya jumlah permintaan barang/jasa yang dihasilkan oleh perusahaan, pekerjaan berkurang sehingga terjadi adanya kelebihan pekerja (redundancy).41 Hal ini menuntut perusahaan untuk melakukan efisiensi agar bisnisnya terus berjalan. Dapat dikatakan, perusahaan melakukan efisiensi karena adanya alasan ekonomi. Dipihak lain, risiko ini bisa berdampak lebih luas pada Negara, yaitu munculnya masalah sosial akibat bertambahnya pengangguran dan berkurangnya lapangan kerja. Sehubungan dengan persoalan diatas, kaum liberal menekankan pentingnya bisnis yang efisien dan kompetitif, yang perlu didukung oleh peraturan hukum yang mengoptimalkan kebebasan berkontrak dalam pasar kerja dan melarang hambatan-hambatan
persaingan.
Sebaliknya,
kaum
pluralis
industrial
menekankan pentingnya alasan keadilan dan penghormatan terhadap martabat pekerja melalui pengaturan kelembagaan yang mampu membuat regulasi bersama ditempat kerja atau sektor industri. Namun demikian, kedua aliran tersebut sama-sama berpandangan bahwa pengusaha mempunyai hak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja atas alasan ekonomi merupakan bagian dari hak prerogative managemen, dan konsekuensinya atas keputusannya, managemen akan bersedia untuk berdiskusi dengan perwakilan pekerja. Disisi lain, kaum pluralis industrial menyatakan bahwa serikat pekerja mungkin akan enggan menyetujui perlunya pemutusan hubungan kerja atas alasan ekonomi untuk melindungi para anggotanya dan kalaupun alasan tersebut disetujui,
41
Gabrilla Sebardt. 2006. Redundancy And The Swedish Model In An International Context. The Netherlands: Kluwer Law International. Hal 55.
45
mereka akan menggunakannya sebagai upaya terakhir disertai negosiasi kompensasinya.42 Pandangan diatas juga sejalan dengan konvensi ILO No.158 tahun 1982 dan Rekomendasi ILO No.166 Tahun 1982 tentang pemutusan hubungan kerja atas inisiatif pengusaha. Konvensi ini dibuat dengan mempertimbangkan masalahmasalah serius mengenai pemutusan hubungan kerja akibat kesulitan ekonomi dan perubahan teknologi yang dialami dalam beberapa tahun terakhir dibanyak Negara. Konvensi tersebut telah mengatur mengenai hal-hal yang tidak bisa menjadi alasan yang sah untuk pemutusan hubungan kerja, yakni:43 a. Keanggotaan serikat pekerja atau keikutsertaan dalam kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja atau, dengan persetujuan pengusaha, didalam jam kerja; b. Memegang jabatan sebagai, atau bertindak atau telah bertindak dalam kapasitas sebagai, perwakilan kerja; c. Pengajuan keluhan atau ikutsertakan dalam pengajuan gugatan terhadap pengusaha yang menyangkut dugaan pelanggaran hukum atau peraturan atau memanfaatkan otoritas administrative yang berwenang; d. Ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, tanggung jawa keluarga, kehamilan, agama, politik, kebangsaan atau asal sosial; e. Ketidakhadiran kerja selama cuti melahirkan; f.
Usia, tunduk pada hukum dan praktik nasional tentang pensiun;
g. Ketidakhadiran kerja karena wajib militer atau kewajiban kemasyarakatan lainnya sesuai dengan hukum dan praktik nasional; dan
42
Hugh Collins. Op.cit. hal 190 Lihat Pasal 5 dan 6 Konvensi ILO No. 158 Tahun 1982: angka 5 dan 6 rekomendasi ILO No.166 Tahun 1982. 43
46
h. Ketidakhadiran kerja sementara karena sakit atau cedera
Baik dalam konvensi maupun rekomendasi tersebut, ternyata pemutusan hubungan kerja atas alasan efisiensi tidaklah menjadi larangan. Justru, konvensi dan rekomendasi tersebut secara tegas memperbolehkan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja atas alasan yang bersifat ekonomi, teknologi, struktur atau alasan serupa dengan syarat hal tersebut dilakukan pengusaha dengan:44 a. Memberikan
informaasi yang
relevan terkait rencana pemutusan
hubungan kerja, meliputi alasan pemutusan yang direncanakan, jumlah dan kategori pekerja yang kemungkinan akan berdampak dan masa pemutusan tersebut direncanakan akan dilakukan; b. Memberi kesempatan kepada perwakilan pekerja/serikat pekerja untuk konsultasi mengenai langkah yang akan diambil untuk mencegah untuk meminimalkan pemutusan dan langkah langkah untuk mengurangi dampak buruk pemutusan pada pekerja terkait; c. Memberitahukan kepada pemerintah atas rencana pemutusan hubungan kerja dengan memberikan informasi yang relevan, alasan pemutusan kerja, jumlah dan kategori pekerja yang kemungkinan akan terdampak dan rencana waktu pemutusan hubungan kerja akan dilakukan.
Dalam konvensi tersebut secara tersirat wujud prinsip itikad baik (good faith) yang harus ada jika perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja atas alasan yang bersifat ekonomi. Alasan yang disampaikan harus jelas dan terbuka, tidak mengandung alasan selain karena alasan yang bersifat ekonomi, 44
Lihat Pasal 13 dan 14 Konvensi ILO. No. 158 Tahun 1982: angka 19 – 26 Rekomendasi ILO No. 166 Tahun 1982
47
teknologi, struktur atau hal yang serupa. Alasan tersebut tidak juga digunakan untuk tujuan terselubung memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tertentu, misalnya: pekerja/ pengurus serikat yang kritis terhadap pengusaha, pekerja yang sudah berkurang kemampuan kerjanya dan lain-lain. Konvensi ILO No.158 juga menegaskan bahwa pekerja yang telah diputus pekerjaannya berhak, sesuai dengan hukum dan praktik nasionalnya, atas:45 a. Pesangon atau tunjangan pemisahan lainnya, jumlah yang harus didasarkan antara lain pada masa kerja dan tingkat upah, dan dibayarkan langsung oleh pengusaha atau oleh dana yang dibentuk oleh iuran pengusaha; atau b. Tunjangan dari asuransi pengangguran atau bantuan atau bentuk jaminan sosial lain, seperti tunjangan hari tua atau kecacatan, dibawah kondisi normal yang tunjangan tersebut berlaku atasnya; atau c. Kombinasi pesangon dan tunjangan semacam itu.
Dalam konteks subtansi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, sekali lagi, hal mengenai efisiensi atau keadaan ekonomi bukan merupakan suatu larangan untuk alasan pemutusan hubungan kejra. Jenis-jenis larangan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan hanya merupakan larangan-larangan karena alasan kesehatan, kewajiban
sebagai
warga
Negara,
agama,
ikatan
reproduksi, kebebasan berserikat, ras, gender dan politik.
45
Lihat pasal 12 Konvensi ILO No. 158 Tahun 1982.
perkawinan/keluarga,
48
Ditinjau dari aspek kemanfaatan, jika efisiensi hanya boleh digunakan sebagai alasan pemutusan hubungan kerja, yakni apabila efisiensi perusahaan tersebut dilakukan dengan cara ditutupnya perusahaan, justru hal itu kurang memberi perlindungan kepada pekerja dan bisa membawa dampak sosial ekonomi yang lebih besar. Ditutupnya perusahaan berarti “matinya” kelangsungan bisnis perusahaan tersebut sehingga menyebabkan hilangnya pekerjaan seluruh pekerja tersebut. Tentunnya hal tersebut juga akan menambah masalah baru pengangguran. Bandingkan jika bentuk efisiensi lainnya, perusahaan boleh melakukan pemutusan hubungan kerja dengan cara mengurangi jumlah pekerjanya. Cara tersebut selain dapat mempertahankan jaminan tersebut selain dapat mempertahankan jaminan pekerjaan kepada sebagian pekerjanya, juga dapat member peluang kepada perusahaan untuk membangkitkan usahanya. Jika bisnis perusahaan dikemudian hari normal dan bahkan lebih maju lagi, maka hal ini dapat member peluang pekerjaan baru. Tentu, perlu di prioritaskan pekerja yang
terkena
dampak
pemutusan
dipekerjakan kembali (reinstatement).
hubungan
kerja
sebelumnya
untuk
BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA SEBAGAI KOMPENSASI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 1. Defenisi Perlindungan Hukum a.
Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon adalah “Berpendapat bahwa, perlindungan hukum selalu berkaitan dengan kekuasaan yang selalu menjadi perhatian, yakni kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah) terhadap perintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi si lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi penggarap tanah terhadap pemilik (tuan tanah).46
b.
Pengertian Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan
Berdasarkan pemberian perlindungan hukum bagi pekerja menurut Imam Soepomo meliputi lima bidang hukum perburuhan,yaitu: 1. Bidang pengerahan/penempatan tenaga kerja Perlindungan hukum yang dibutuhkan oleh pekerja sebelum ia menjalani hubungan kerja. Masa ini sering disebut dengan masa pra penempatan atau pengerahan. 2. Bidang hubungan kerja Masa yang dibutuhkan oleh pekerja sejak ia mengadakan hubungan kerja dengan pengusaha. Hubungan kerja itu didahului oleh perjanjian kerja.
46
R. Indiarsoro dan Mj. Saptemo, Hukum Perburuhan ( Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Surabaya: Karunia,1996 Hal.12.
49
50
Perjanjian kerja dapat dilakukan dalam batas waktu tertentu atau tanpa batas waktu yang disebut dengan pekerja tetap. 3. Bidang kesehatan kerja Selama menjalin hubungan kerja yang merupakan hubungan hukum, pekerja harus mendapat jaminan atas kesehatan tubuhnya dalam jangka waktu yang relatif lama. 4. Bidang keamanan kerja Adanya perlindungan hukum bagi pekerja atas alat-alat kerja yang dipergunakan oleh pekerja. Dalam waktu relatif singkat atau lama akan aman dan ada jaminan keselamatan bagi pekerja. Dalam hal ini negara mewajibkan kepada pengusaha untuk menyediakan alat keamanan kerja bagi pekerja. 5. Bidang jaminan sosial buruh Telah diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.47
2. Bentuk Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja Dengan Alasan efisiensi a.
Pemutusan Hubungan Kerja Bukan Hak Mutlak Pengusaha
Dilihat aspek
sejarah, huku perburuhan dibuat untuk lebih memberikan
perlindungan kepada pekerja dalam menentang
pasar kerja yang kapitalis. 48
Disebabkan posisi daya tawarnya yang lebih lemah dibandingkan pengusaha, pembuat kebijakan telah secara khusus memberi perhatian pada perlindungan
47
Asri wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Surabaya: Sinar Grafika,2009, Hal 11. 48 Erick Tuker. Renorming labour law: can we escape labour law’s reccuring regulatory dilemmas?” industrial law journal, vol 39 no 2, juni 2010. Hal. 99
51
kepentingan pekerja dalam hal ini terhadapnya pemutusan hubungan kerja.49 Dalam hal ini pekerja harus memperoleh jaminan pekerjaan yang bermakna bahwa harus dilindungi dari pemutusan hubungan kerja secara sewenangwenang. Pemutusan hubungan kerja harus didasarkan pada alasan yang adil (just cause). Namun demikian, pandangan ini telah mulai dicoba untuk direduksi pengaruhnya dengan dalih ketatnya persaingan bisnis akibat globalisasi ekonomi. “flesibilitas”, deregulasi” dan “globalisasi ekonomi” telah mejadi kata kunci dalam bidang hukum perburuhan dan hubungan industri sejak 1990an. Ketiganya telah menjadi konsep sentral untuk mendukung praktek dan strategi perburuhan yang ditujukan untuk pasar tenaga kerja yang lebih liberal dan fleksibel dengan campur tangan pemerintah yang minimal. Kecenderungan untuk kembali ke filosofi “laisse fair, laisse aller” tersebut diduga diperlukan oleh pihakpihak yang berkepentingan untuk dapat bersaing dipasar yang semakin “global” dengan negara-negara baru yang memperoleh posisi kompetitif dipasar dunia dengan kombinasi teknologi tinggi dan upah rendah.50 Disisi lain, hal tersebut telah menimbulkan resistensi bagi pihak-pihak yang khawatir akan dampak buruk globalisasi
ekonomi
terhadap
pentingnya
perlingungan
aspek
hak-hak
perburuhan.
pekerja
Mereka
sebagai bagian
menekankan penting
dari
perjuangan untuk kemakmuran ekonomi jangka panjang.51
49
Joana Marinescu. Are judges sensitive to economic conditions? Evidence from UK Employmment Tribunals”. Industrial and labor relations review. Vol 64. No. 4 juli 2011. Hal. 637. 50 Lammy Betten. The role of the contract in trasforming labour relations. Kluewer law international, the Hague. Hal 1. 51 Simon deakin et al. Right vs efficiency? The economic case for transnational labour standart, industrial law journal, vol. 23. Nov. 4 desember 2010. Hal 289.
52
Pentinganya perlindungan hak-hak pekerja sebagai bagian penting dari perjuangan untuk kemakmuran ekonomi jangka panjang juga telah menjadi keyakinan bangsa indonesia dalam bidang perburuhan. Hal ini tercermin dari diadopsinya konsep wefare state atau negara kesejahteraan sebagaimana yang terkandung dalam bab XIV UUD 1945.52 Konsep negara kesejahteraaan memunculkan gagasan dalam aspek perburuhan bahwa adanya perbebedaan kelas sosial antara pekerja dan pengusaha menyebabkan diperlukannya campur tangan negara dalam bentuk kebijakan. Campur tangan tersebut diperlukan dalam rangka melindungi hak-hak pekerja dari potensi kesewenang-wenangan pengusaha. Pekerja harus mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaiman dimaksud oleh Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan negara dalam bidang perburuhan harus mengandung unsur perlindungan kepada pekerja agar mereka memperoleh perlakuan yang adil dan layak oleh pengusaha, tak terkecuali dalam aspek pemutusan hubungan kerja atas inisiatif pengusaha. Hal ini sebagaimana tujuan hukum perburuhan untuk melindungi pekerja karena posisi tawarannya yang tidak seimbang dengan pengusaha sehngga tercipta keadilan sosial. 53 Hak untuk bekerja yang di interprestasikan sebagai hak pekerja untuk nyaman dan aman dalam bekerja harus dilindungi melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mencegah atau menunda peutusan hungan kerja.54 Berkaitan dengan aspek pemutusan hubungan kerja dari kandungan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dapat difahami bahwa pekerja tidak boleh dipandang 52
Jimly asshiddiqie. 2010. Konstitusi ekonomi. Penerbit buku kompas jakarta. Hal 340. lalu Husni. 2008. Pengantar hukum ketenagakerjaan indonesia, edisi revisi. Raja grafindo persada. Jakarta. Hal. 11. 54 Bob Hepple.1986. the making of labour law on europe: comparative study of nine countries up to 1945. Mansel publishing limited. London. Hal. 180. 53
53
dari perspektif ekonomi semata, yakni mempunyai nilai guna bila mampu memberikan kontribusi terhadap keuntungan perusahaan, tapi juga harus dipandang dari perspektif. Hak asasi manusia, yakni pekerja adalah manusia yang berneda dengan mesin maupun modal uang, pekerja bukanlah barang. Perkerja harus di perlakukan sebagai manusia dengan cara-cara yang manusiawi. Oleh karena itu, meskipun pengusaha berhak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, namun hak tersebut dibatasi oleh kewajiban pengusaha untuk berlaku adil. Pengusaha tidak boleh sewenang-wenang memutuskan hubungan kerja. Pandangan ini kemudian diwujudkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bab pemutusan hubungan kerja. Prinsip dasarnya dapat disimpulkan dari Pasal 151 ayat (1) dan Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengharuskan pengusaha untuk sedapat mungkin dengan segala upaya menghindarkan terjadinya pemutusan hubungan kerja hanya merupakan jalan terakhir yang ditempuh (last resort). Sebelum diputuskan adanya pemutusan hubungan kerja, pengusaha harus
melakukan
tindakan-tindakan
positif
yang
pada
akhirnya
dapat
menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja. Hal ini misalnya dilakukan pengaturan waktu kerja dan memberikan pembinaan kepada pekerja. Pasal 151 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur lebih lanjut bahwa jika berbagai upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekerja atau dengan pekerja apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi
54
anggota serikat pekerja. Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan kesepakatan, pengusaha hanya boleh untuk memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari pengadilan hubungan industrial. Berdasarkan kandungan Pasal 151 diatas
dapat disariarkan bahwa
pemutusan hubungan kerja pada prinsipnya hanya merupakan jalan terakhir setelah dilakukannya berbagai upaya untuk menghindarinya dan maksud pemutusan hubungan kerja harus dirundingkan terlebih dahulu dengan pekerja atau serikat pekerja sebelum diajukan ke PHI sekiranya perundingan tersebut tidak mencapai kata sepakat. Jadi, Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang
Ketenagakerjaan
ini memberikan
batasan
terhadap
hak
pengusaha untuk melakukan pemutusn hubungan kerja berupa persyaratan prosedur yang harus dipenuhi oleh pengusaha sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja. Prinsip dasar kedua terdapat dalam Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang memuat alasan-alasan yang dilarang digunakan oleh pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja, yaitu alasan kesehatan, kewajiban sebagai warga negara, agama, ikatan perkawinan atau keluarga, reproduksi, kebebasan berserikat, ras gender dan politik. Ketentuan tersebut bersifat imperatif, bersifat memaksa, yakni pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan-alasan tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan. Kandungan Pasal tersebut menyiratkan bahwa hubungan kerja tidak bisa hanya dipandang dari sudut hubungan ekonomi antara pekerja dengan pengusaha, namun juga terdapat aspek hak asasi manusia dialamnya. Pekerja bukan alat
55
produksi yang mudah dibuang jika alat produksi tidak diperlukan lagi. Pekerja adalah manusia yang harus mendapatkan perlakuan yang manusiawi dengan memberikannya kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Oleh karenanya, alasan pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan persoalan hak asasi manusia harus dilarang. Pengusaha harus mematuhi prinsip pembatasan dari segi subtannsi alasan pemutusan hubungan kerja ini. Dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 151 dan 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah membatasi hak pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Pengusaha harus tunduk kepada aspek persyaratan prosedur yang harus dipenuhi maupun aspek subtansi alasan yang dilarang dalam memutuskan hubungan kerja. b.
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
19/PUU-IX/2011
Atas
Pengujian Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (2) dilatarbelakangi oleh adanya perselisihan pemutusan hubungan kerja antara pekerja dengan managemen hotel Papandayan Bandung. Pihak managemen melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya dengan alasan efisiensi yang diakibatkan
hotel
Papandayan
melakukan
renovasi
gedung
dengan
mendasarkan pada Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, sedangkan pekerja menolak hubungan kerja tersebut. Dari pihak para pekerja menilai pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi dengan adanya renovasi gedung itu tidak memberikan keadilan bagi para pekerja. Renovasi yang dilakukan oleh pemilik hotel Papandayan Bandung
56
berdasarkan
kemampuan
financial
dan
bertujuan
untuk
mendapatkan
keuntungan yang semakin besar. Oleh karenanya, hal ini menurut pendapat pekerja pemutusan hubungan kerja tidak sesuai dnegan kandungan Pasal 164 (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang memberikan penekanan pada klausul “perusahaan tutup”, karena pada pasal ini sebenernya mengatur alasan bagi perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena perusahaan tutup bukan alasan lainnya. Dengan kata “efisiensi” yang terdapat dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja atau juga “mengefisiensikan biaya tenaga kerja” dengan cara memutuskan hubungan kerja dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain pengusaha melakukan efisiensi dengan cara menutup perusahaan. Dalam keputusannya, MK terlebih dahulu memberikan pertimbangan bahwa tidak ditemukan efisiensi yang jelas dan rigid atas frasa “perusahaan tutup” dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, apakah perusahaan tutup yang dimaksud adalah tutup secara permanen atau hanya tutup sementara. Pada penjelasan Pasal tersebut sudah menyatalkan “cukup jelas”. Dengan demikian, siapa saja dapat menafsirkan norma tersebut sesuai
dengan
kepentingannya
masing-masing,
misalnya
menganggap
penutupan perusahaan sementara untuk melakukan renovasi merupakan bagian dari efisiensi dan menjadikannya sebagai dasar melakukan pemutusan hubungan kerja. Tafsiran yang berbeda beda tersebut dapat menyebabkan penyelesaian hukum yang berbeda dalam penerapannya, karena setiap pekerja
57
dapat diputuskan hubungan kerjanya kapan saja dengan dasar perusahaan tutup sementara atau operasionalnya berhenti sementara. Hal demikian dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kelangsungan pekerjaan pekerja dalam menjalankan pekerjaannya, yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Mahkamah Konstitusi menimbang pula bahwa memutuskan hubungan kerja merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut: (a) mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas; (b) mengurangi shift ; (c) membatasi/menghapuskan kerja lembur; (d) mengurangi jam kerja; (e) mengurangi hari kerja; (f) meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; (g) tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; (h) memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Karena pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan dalam pengertian renovasi tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat perlunya menghilangkan ketidakpastian hukum yang terkandung dalam norma Pasal 164 ayat (3) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan guna menegakkan keadilan dengan menentukan bahwa frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tetap
58
konstitusional sepanjang dimaknai “perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Dengan kata lain frasa “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutp tidak untuk sementara waktu”. Akhirnya, pihak Mahkamah Konstitusi memutuskan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu” dan pasal tersebut “perusahaan tutup” dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Dapat diketahui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah membenarkan subtansi Pasal tersebut bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena perusahaan tutup yang mana tutupnya tersebut karena perusahaan melakukan kompensasi.
efisiensi
dengan
Mahkamah
ketentuan
Konstitusi
pekerja
hanya
harus
menegaskan
diberi
sejumlah
maksud
frasa
“perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai “tutup permanen atau tutup tidak untuk sementara waktu”. Walaupun demikian, Mahkamah Konstitusi tidak menilai apakah efisiensi dapat dijadikan alasan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha terhadap pekerja. Sikap Mahkamah Konstitusi tersebut beralasan karena selain tidak dimohonkan oleh para pekerja, juga dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak ada satu ketentuan yang secara eksplisit menyatakan boleh tidaknya efisiensi dijadikan alasan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha. Oleh karenanya, masih timbul persoalan apakah perusahaan
59
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi yang bertujuan untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan yang pada akhirnya juga dapat menyelamatkan pekerja lainnya dari penggangguran serta secara tidak langsung membantu pemerintah mencegah persoalan baru penggangguran.
60
BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan a. Pemutusan
Hubungan
Kerja
sebagai
manifestasi
pensiun
yang
dilaksanakan pada kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara lain. Keadaan ini tentu saja berdampak Pemutusan Hubungan Kerja pada karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat dihindarkan. Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program
efisiensi
digulirkan, maka
yang
PHK
dilakukan
masih
oleh
merupakan
para
manajer
fenomena
yang
terus sangat
mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).
61
b. Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan merujuk pada subtansi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang tidak mengandung larangan pemutusan hubungan kerja atas alasan efisiensi, putusan-putusan hakim yang membenarkan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja atas alasan efisiensi. Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Pasal 164 ayat (3) Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan, Konvensi ILO Nomor 158 Tahun 1982, Konvensi ILO Nomor 158 Tahun 1982, Rekomendasi ILO Nomor 166 Tahun 1982, serta aspek pertimbangan kemanfaatan, maka pengusaha dimungkinkan menggunakan hal efisiensi sebagai alasan pemutusan hubungan kerja dengan syarat adanya kelebihan pekerja (redundancy), adanya keterbukaan informasi kepada pekerja dan atau perwakilan pekerja mengenai kondisi perusahaan, adanya upaya pencegahan agar pemutusan hubungan kerja tidak
terjadi, dan
dilakukannya musyawarah dengan perwakilan pekerja serta dilandasi oleh itikad baik (good faith) pengusaha atas maksud pemutusan hubungan kerja tersebut. 2. Saran a. Sehubungan Pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi tanpa tutupnya perusahaan telah menjadi polemik dalam praktek hukum ketenagakerjaan. Pekerja dan serikat kerja sering menolak pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi karena menurut mereka tidak ada Pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan yang mengatur efisiensi tanpa tutupnya perusahaan dapat dijadikan alasan dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh
62
pengusaha, efisiensi sering kali dijadikan alasan oleh pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Misalnya pekerja yang
dianggap
tidak
produktif
atau
dianggap
“melawan”
dan
“membahayakan” perusahaan. Sehingga alangkah baiknya pekerja mengerti hak dan kewajiban isi dalam kontrak kerja sehingga win-win solution bisa terjadi kedua belah pihak. b. Hendaknya dalam melakukan pemutusan hubungan kerja, harus sesuai dengan
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak akan ada pihakpihak yang merasa dirugikan.
63
DAFTAR PUSTAKA
Buku : AS Homby. 2008. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, edisi-9. London: Oxford University Press. Asri wijayanti, 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Surabaya: Sinar Grafika. Asri Wijayanti, 2010.Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Ed. 1, Cetakan. 2, Jakarta: Sinar Grafika. Bob Hepple.1986. the making of labour law on europe: comparative study of nine countries up to 1945. Mansel publishing limited. London. Djumadi, 1995. Perjanjian Kerja, Jakarta: Radjawali Pers .1995 Ferianto dan Darmanto, 2010. Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara PHI Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) disertai ulasan hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Gabrilla Sebardt. 2006. Redundancy And The Swedish Model In An International Context. The Netherlands: Kluwer Law International. Henry Arianto, 2011. Modul Kuliah Metode Penelitian Hukum, Jakarta: UEU. Hug Collins, 2003. Employment Law. London: Oxford University Press. Imam Soepomo, 1983. Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan. Jimly asshiddiqie. 2010. Konstitusi ekonomi. Jakarta: Penerbit buku kompas. Koko Kosidin, 1999. Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan Perjanjian Perusahaan, Bandung: Mandar Maju. Lalu Husni, 2000. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lalu Husni. 2008. Pengantar hukum ketenagakerjaan indonesia, edisi revisi. PT. Raja grafindo persada. Jakarta. Lalu Husni, 2012. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cet. 11, Jakarta: PT. Raja Grafindo. Pusat Bahasa Kemetrian Pendidikan Dan Kebudayaan RI. 2012. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Bandung: Alfabeta. R. Indiarsoro dan Mj. Saptemo, 1996.Hukum Perburuhan ( Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Surabaya: Karunia.
64
Rocky Marbun, 2010. Jangan Mau di PHK Begitu Saja, Jakarta: Visi Media. Sudikno Mertokusumo. 1996. Yogyakarta: Liberty.
Penemuan
Hukum:
Sebuah
Pengantar.
Sri Subiandini Gultom, 2008. Aspek hukum hubungan industrial, Jakarta: Inti Prima Promo Sindo. Umi Chulsum dan Windy Novia, 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 1, Surabaya: Kashiko. Whimbo Pitoyo, 2010. Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Visi media. Jurnal : Asfinnawati S.H., 2007.Pemutusan Hubungan Kerja Ditinjau dari Hukum Perburuhan, Jakarta: Universitas Sumatera Utara. Erick Tuker. Renorming labour law: can we escape labour law’s reccuring regulatory dilemmas?” industrial law journal, vol 39 no 2, juni 2010. Joana Marinescu. Are judges sensitive to economic conditions? Evidence from UK Employmment Tribunals”. Industrial and labor relations review. Vol 64. No. 4 juli 2011. Buku perUndang-Undangan : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P3). Undang-Undang Konvensi ILO Nomor 158 Tahun 1982 dan Rekomendasi ILO Nomor 166 Tahun 1982 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Atas Inisiatif Pengusaha. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Web : Lefi Sofiani, Hubungan Karyawan, http://www.portalhr.com, di akses, pada hari, sabtu, 8 Juni 2015. Mochtar Kusumaatmadja, Pengertian Perlindunngan Hukum, (On-Line), tersedia di http://www.indoeducation.com/2011/02/ pengertian perlindungan hukum.html (2 Juni 2015).