PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH BERDASARKAN KONSEP HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (Studi Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah di Sidang Pengadilan Pada Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt)
SKRIPSI
Oleh :
DANI HABIBI E1A011272
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH BERDASARKAN KONSEP HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (Studi Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah di Sidang Pengadilan Pada Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
DANI HABIBI E1A011272
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya : Nama
: Dani Habibi
NIM
: E1A011272
Angkatan
: 2011
Judul
: PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT TERHADAP
TINDAKAN
BERDASARKAN ADMINISTRASI Gugatan
KONSEP NEGARA
Terhadap
Pengadilan
PEMERINTAH
(Studi
Pemerintah
Pada
HUKUM Mengenai di
Sidang
Putusan
No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt) Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat adalah benar merupakan hasil dari karya saya sendiri dan bukan saduran dari karya orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto,
Maret 2015
DANI HABIBI E1A011272
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas semua Karunia, Hidayah, serta Kemudahan-Nya yang selalu diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini sehingga bisa selesai dengan baik dan sempurna. Penulis dalam menulis skripsi dengan judul : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH BERDASARKAN KONSEP HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (Studi Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah di Sidang Pengadilan Pada Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt)
Dalam Proses penyelesaian Skripsi ini, Penulis mendapatkan berbagai semangat, dukungan, dan support dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1.
Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
2.
Bapak Prof. Dr. H. Muh. Fauzan, S.H., M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi I Penulis.
3.
Bapak Weda Kupita, S.H., M.H. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II dan sebagai Dosen Pembimbing Akademik Penulis.
4.
Bapak Dr. Kartono, S.H., M.H. sebagai Dosen Penguji Skripsi Penulis.
5.
Seluruh Dosen-Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan ilmu dan pengalamanan yang berharga kepada Penulis.
6.
Kedua Orang Tua yang Penulis sangat cintai yaitu Papa (Alm. Suhariyono) dan Mama (Rusila Madah) yang tidak henti-hentinya memberikan semangat dan mendoakan Penulis agar sukses dalam menuntut ilmu.
iv
7.
Faradillah Haryani, S.pd. sebagai kakak kandung yang Penulis cintai, yang saat ini studi S2 di Inggris, University of Birmingham.
8.
Sahabat-sahabat terbaik Penulis yang selalu memberikan semangat kepada Penulis dan menjadi tempat keluh-kesah Penulis selama menjadi Mahasiswa hingga saat penyelesaian penulisan Skripsi ini.
9.
All Beloved My Family Justitia English Club yaitu seluruh Organizer dan Members yang terus setia di JEC, Justitia English Club One Big Family.
10. Teman-teman KKN Posdaya 2014 Desa Petarangan Kecamatan Kemranjen yang selalu semangat dan ceria. 11. Teman-teman seperjuangan All PLKH Pidana, PTUN, dan Perdata demi mendapatkan nilai terbaik. 12. Seluruh teman-teman kelas C Angkatan 2011 yang sama-sama berjuang ketika kuliah bersama, l already miss you all... 13. Seluruh Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Hukum (KBMFH) Universitas Jenderal Soedirman. 14. Petugas Transit, Akademik, Satpan dan seluruh Keluarga Besar Fakultas Hukum Univerisitas Jenderal Soedirman. Penulis mengutip sebuah Pepatah yang Penulis sendiri jadikan sebagai suatu pembelajaran untuk lebih baik. yaitu, “Semakin Engkau Mengetahui Ilmu yang Telah Dipelajari, Semakin Pula Engkau Mengetahui Kekurangan yang Terdapat di Dalam Dirimu”. Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini sudah diselesaikan dengan sebaik-baiknya pasti masih terdapat banyak kekurangan, karena kritik dan saran yang membangun Penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan Skripsi yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Purwokerto,
Maret 2015
DANI HABIBI E1A011272 v
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI RAKYAT TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH BERDASARKAN KONSEP HUKUM ADMINISTRASI NEGARA (Studi Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah di Sidang Pengadilan Pada Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt) Oleh : DANI HABIBI E1A011272 ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Terhadap Tindakan Pemerintah Berdasarkan Konsep Hukum Administrasi Negara (Studi Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah di Sidang Pengadilan Pada Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt).Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah di bidang Hukum Administrasi Negara, untuk mengetahui penentuan kewenangan pengadilan untuk mengadili terhadap tindakan hukum pemerintah yang menimbulkan akibat hukum kepada rakyat, dan untuk mengetauhi pertimbangann hukum hakim dalam perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt dalam menentukan kewenangan mengadili sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konsep. Penelitian ini menjabarkan bahwa salah satu perlindungan hukum bagi rakyat yakni dengan cara menggugat pemerintah ke Pengadilan Negeri atas dasar PMH (Pasal 1365 KUH Perdata) yang dilakukan pemerintah, yang merugikan rakyat. Oleh karena yang digugat adalah pemerintah, maka akan bersinggungan dengan tindakan pemerintah yang diatur dalam HAN. Persinggungan hukum tersebut berpotensi pula menimbulkan persoalan yuridis mengenai kewenangan pengadilan. Sebagai bahan analisis penting dikemukakan konsep mengenai kedudukan hukum pemerintah dan konsep mengenai tindakan pemerintahan. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu perlindungan hukum yang diberikan kepada rakyat dapat dilakukan dengan cara menggugat pemerintah ke Pengadilan sesuai dengan kewenangan masing-masing Pengadilan, dan harus memperhatikan konsep kedudukan hukum pemerintah dan konsep tindakan pemerintahan. Berdasarkan kedua hal tersebut, pertimbangan hukum Hakim PN Purwokerto yang menyatakan tidak berwenang mengadili perkara a-quo, sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Tindakan Pemerintah, Hukum Administrasi Negara
vi
LEGAL PROTECTION FOR THE PEOPLE'S ACTION AGAINST GOVERNMENT BASED ON CONCEPT OF STATE ADMINISTRATIVE LAW (Study Regarding Lawsuit Against Government in the Court of Session In Decision No. 73 / Pdt.G / 2013 / PN.Pwt) By : DANI HABIBI E1A011272 ABSTRACT This research, entitled "Legal Protection for the People's Action Against Government Based on Concept of State Administrative Law (Study Regarding Lawsuit Against Government in the Court of Session In Decision No. 73 / Pdt.G / 2013 / PN.Pwt). The purpose of this study is to determine the form of legal protection for people against the government's actions in the law of State Administration, to determine the determination of the court authority to adjudicate against government legal action, which arises the law consequences to people and for knowing the law consideration of judge in the case No. 73 / Pdt.G / 2013 / PN.Pwt in determining whether the jurisdiction used has suited with the applicable legislations or not. This study uses normative juridical approach to legislation and concepts. This research outlines that one of the legal protection for the people is the way to sue the government to the District Court based on Presence of Unlawful Acts (Article 1365 of the Civil Code) by the government, which is detrimental to the people. Therefore, the accused party is the government, then it will intersect with the government's actions set out in the State Administration Law . The law intersection also potentially causes problems on the authority of the court jurisdiction. The important analysis of this case is the concept of the legal position of the government and the concept of government action. The conclusion from this study is the legal protection given to the people can be done in a way to sue the government to court in accordance with the authority of each court, and must pay attention to the concept of the legal position of government and the concept of government action. Based on these two things, the consideration of Navan District Court law that states no authority to hear the case a quo, is in conformity with the relevant legislation Keywords: Protection Law, actions of the Government, the State Administration Law
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv ABSTRAK................................................................................................................ xiv ABSTRACT ............................................................................................................... vi DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ................................................................................ 1 B. Perumusan Masalah ...................................................................................... 8 C. Kerangka Teori ............................................................................................. 8 D. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 11 E. Kegunaan Penelitian ................................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Negara Hukum 1.
Pengertian Negara Hukum ................................................................... 13
2.
Unsur-Unsur Negara Hukum ................................................................ 15
3.
Indonesia sebagai Negara Hukum ........................................................ 19
B. Hukum Administrasi Negara 1.
Pengertian Hukum Administrasi Negara............................................... 21
2.
Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara ....................................... 25
3.
Kedudukan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Lainnya ....... 30
C. Kedudukan Hukum Pemerintah 1.
Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Privat ....................................... 36
2.
Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Publik ...................................... 40
viii
D. Tindakan Pemerintahan 1.
Pengertian Tindakan Hukum Pemerintahan .......................................... 44
2.
Unsur-Unsur Tindakan Hukum Pemerintahan ...................................... 47
3.
Macam-Macam Tindakan Hukum Pemerintahan .................................. 48
4.
Karakteristik Tindakan Hukum Pemerintahan ...................................... 49
E. Keputusan Tata Usaha Negara 1.
Pengertian Keputusan........................................................................... 54
2.
Unsur-Unsur Keputusan ....................................................................... 57
3.
Macam-Macam keputusan.................................................................... 60
F. Perlindungan Hukum 1.
Pengertian Perlindungan Hukum .......................................................... 65
2.
Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata......................................... 67
3.
Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik .......................................... 71
G. Tinjauan Terhadap Kewenangan Pengadilan ............................................... 76
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ..................................................................................... 81 B. Spesifikasi Penelitian .................................................................................. 82 C. Lokasi Penelitian ........................................................................................ 82 D. Sumber Bahan Hukum ................................................................................ 82 E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .......................................................... 84 F. Metode Penyajian Bahan Hukum ................................................................ 84 G. Metode Analisis Bahan Hukum ................................................................... 85
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ........................................................................................... 86 B. Pembahasan .............................................................................................. 163 1. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Terhadap Tindakan Pemerintah Berdasarkan Konsep Hukum Administrasi Negara ............ 159
ix
2. Kesesuaian Antara Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt Dalam Menentukan Kewenangan Mengadili dengan Konsep Hukum Administrasi Negara...................... 192
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................... 214 B. Saran ........................................................................................................ 216
DAFTAR PUSTAKA
x
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah negara Hukum, hal ini telah dijelaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. hal ini mendasarkan pada penjelasan UUD 1945 bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan semata (machstaat). Oleh karena itu negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasar pada hukum.1 di Indonesia pengaturan kepada rakyat yang dilakukan oleh pemerintah mendasarkan pada Hukum Administrasi Negara. Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi negara menjalankan fungsi-fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, dan melindungi administrasi negara itu sendiri.2 Di dalam melakukan suatu hubungan hukum (rechtsbetrekking), subjek hukum selaku pemilik hak-hak dan kewajiban-kewajiban (de drager van de rechten en plichten), baik itu manusia (naturlijke persoon), badan hukum (rechtpersoon), maupun jabatan (ambt), dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan kemampuan (bekwaan) atau kewenangan (bevoegdheid) yang dimilikinya. Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak terjadi 1
C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1986,
hlm. 86. 2
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4.
2
hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum dari subjek hukum itu. Tindakan hukum ini merupakan awal lahirnya hubungan hukum (rechtsbetrekking), yakni interaksi antarsubjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum. Agar hubungan hukum antar subjek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil, dalam arti setiap subjek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan-hubungan hukum tersebut.3 Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum, agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar. Di samping itu, hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum.4 Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hakhaknya harus mendapatkan perlindungan hukum.
3 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 265. 4 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 140.
3
Fungsi hukum sebagai instrumen pengatur dan instrumen perlindungan ini, di samping fungsi lainnya sebagaimana akan disebutkan di bawah, diarahkan pada suatu tujuan, yaitu untuk menciptakan suasana hubungan hukum antarsubjek hukum secara harmonis, seimbang, damai, dan adil. Ada pula yang mengatakan bahwa “Doel van het recht is een vreedzame ordening van samenleving. Het recht wil de vrede... den vrede onder de mensen, bewaart het recht door bepalde menselijk belangen (materiele zowel als ideele), eer vriijheid, leven, vermogen enz. Tegen benaling te beschermen”5 (tujuan hukum adalah mengatur masyarakat secara damai. Hukum menghendaki perdamaian... Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu {baik material maupun ideal}, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya). Tujuan-tujuan hukum itu akan tercapai jika masing-masing subjek hukum mendapatkan hak-haknya secara wajar dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan dengan warga negara adalah Hukum Administrasi Negara atau hukum perdata, tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan tindakan hukum tersebut. Telah disebutkan bahwa pemerintah memiliki dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek rechtpersoon, public legal entity) dan sebagai pejabat (ambtsdrager) dari jabatan 5
Van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie ven het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1966, hlm. 9-10.
4
pemerintahan. Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum, maka tindakan tersebut diatur dan tunduk pada ketentuan hukum keperdataan, sedangkan ketika pemerintah bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat, maka tindakan itu diatur dan tunduk pada Hukum Administrasi Negara.6 Baik tindakan hukum keperdataan maupun publik dari pemerintah dapat menjadi peluang munculnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang melanggar hak-hak warga negara. Oleh karena itu, hukum harus memberikan perlindungan hukum bagi warga negara. F.H. van Der Burg dan kawan-kawan
mengatakan
bahwa,
“De
mogelijkheden
van
rechtsbescherming zijn van belang wanner de overheid iets heeft gedaan of nagelaten of voornemens is bepaalde handelingen te verrichten en bepaalde persoonen of groepen zich daardoor gegriefd achten”7 (Kemungkinan untuk memberikan
perlindungan
hukum
adalah penting
ketika
pemerintah
bermaksud untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu terhadap sesuatu, yang oleh karena tindakan atau kelalaiannya itu melanggar {hak} orang-orang atau kelompok tertentu). Salah satu permasalahan mengenai perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan hukum pemerintah yang merugikan rakyat dapat dijumpai pada perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN. Pwt. Permasalahan perlindungan hukum dalam perkara tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut :
6 7
Ridwan HR, op cit, hlm. 112. Van der Burg et.al., Rechtsbescherming Tegen de Overheid, Nijmegen, 1985, hlm. 2.
5
1. Para pihak dalam perkara tersebut Fransiscus Xaverius Untung Gunawan dan Fransisca Lana Riani berkedudukan sebagai Penggugat, melawan Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) berkedudukan sebagai Tergugat sedangkan Ditjen Dikti, Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas, dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN) Purwokerto masingmasing menjadi Turut Tergugat I-IV. 2. Pokok persoalan yaitu Penggugat mendalilkan dia memiliki sebidang tanah persawahan, di mana tanah tersebut tidak memperoleh akses Jalan HR Bunyamin karena terhalang oleh bangunan milik UNSOED dalam hal ini sebagai Tergugat. Menurut Penggugat, UNSOED telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) karena mendirikan bangunan yang menghalangi akses jalan ke arah milik Penggugat, sehingga Penggugat merasa sebagai pihak yang dirugikan dan merasa berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan pemerintah (UNSOED) yang merugikan kepentingan Penggugat. 3. Dalam posita maupun dalam petitumnya Penggugat mendalilkan bahwa bangunan UNSOED tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), dibangun di atas wilayah jalur hijau dan sempadan jalan serta juga mempermasalahkan keabsahan Sertifikat Hak Pakai dan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas, bahwa kedua produk hukum ini termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara atau Beschikking.
6
4. UNSOED sebagai pihak Tergugat mendalilkan bahwa membantah dalil yang disampaikan oleh Penggugat sebagai berikut : a.
Penggugat tidak mempunyai hubungan hukum dengan bangunan milik UNSOED dan Penggugat adalah bukan pihak yang kepentingannya dilindungi oleh Perda mengenai Garis Sempadan Jalan dan UU tentang Jalan, sehingga Penggugat tidak mempunyai kepentingan (Legal Standing) dalam mengajukan gugatan dalam perkara ini.
b.
Bangunan UNSOED sudah didirikan sebelum Penggugat membeli tanah persawahan, yaitu dimulai sejak tahun 1967, sedangkan Penggugat membeli tanah miliknya sekitar tahun 1986.
c.
Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang mengadili perkara aquo
karena
posita
maupun
petitum
dari
Penggugat
mempermasalahkan mengenai keabsahan suatu KTUN dalam hal ini berupa Sertifikat Hak Pakai dan SK Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas, dan yang berwenang mengadilinya adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). d. Bangunan UNSOED sudah terdaftar dalam bangunan milik negara, sehingga untuk pembongkaran maupun untuk penghapusannya tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penghapusan milik negara. e.
Menurut UU No. 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara dan menurut doktrin Hukum Administrasi Negara, disebutkan bahwa benda milik publik tidak dapat ditempatkan dalam sita jaminan dan tidak dapat diletakkan dalam sita eksekusi.
7
Berdasarkan pokok masalah tersebut di atas, menimbulkan suatu persoalan yuridis dalam kaitannya dengan konsep perlindungan hukum bagi rakyat sebagai salah satu materi bahasan dalam Hukum Administrasi Negara. Persoalan-persoalan yuridis mengenai perlindungan hukum tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh UNSOED adalah Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga konsep Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perdata akan bersinggungan dengan perbuatan hukum pemerintah berdasarkan Hukum Administrasi Negara.
2.
Penggugat mempermasalahkan adanya Perbuatan Melawan Hukum dan menggugatnya ke Pengadilan Negeri, akan tetapi berbarengan dengan itu Penggugat mempermasalahkan keabsahan suatu KTUN sehingga dengan demikian akan menimbulkan persoalan yuridis mengenai pengadilan mana yang berwenang mengadilinya. Berdasarkan persoalan-persoalan yuridis di atas, penulis tertarik untuk
mengadakan suatu penelitian dan menuangkanya dalam bentuk Skripsi dengan judul
“Perlindungan
Hukum
Bagi
Rakyat
Terhadap
Tindakan
Pemerintah Berdasarkan Konsep Hukum Administrasi Negara (Studi Mengenai Gugatan Terhadap Pemerintah di Sidang Pengadilan Pada Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt).
8
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis merumuskan suatu perumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah berdasarkan konsep Hukum Administrasi Negara ? 2. Apakah
pertimbangan
hukum
hakim
dalam
perkara
No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt dalam menentukan kewenangan mengadili sudah sesuai dengan konsep Hukum Administrasi Negara ?
C. Kerangka Teori Pembahasan mengenai pengertian negara hukum dapat dilihat dari pengertian dari negara hukum dalam arti yang sempit (formil) dan negara hukum dalam arti yang luas (materiil).8 Terlepas dari berbagai pandangan di atas, melihat pada Negara kita Indonesia dikenal sebagai negara hukum dalam arti materiil atau Welfare state, yakni suatu negara yang secara intensif mencampuri seluruh perikehidupan individu warganegaranya, dengan tujuan agar para individu yang hidup dalam negara tersebut mencapai derajat hidup yang sejahtera. Indonesia
sebagai
negara
hukum
dengan
tujuan
mencapai
kesejahteraan masyarakatnya membutuhkan suatu hukum yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatur masyarakat tersebut agar tercipta suatu kesejahteraan yang dikehendaki. hukum tersebut yaitu Hukum Administrasi 8
hlm. 18.
Joeniarto, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, 1968,
9
Negara, suatu hukum yang mengatur hubungan hukum antara perangkatperangkat negara dengan warga negara.9 Di dalam pergaulan hukum di masyarakat, pemerintah dapat menempatkan dirinya sebagai subjek hukum yang melakukan hubungan hukum dengan warga negara baik di dalam hukum publik maupun hukum privat. Kedudukan pemerintah dalam hukum privat adalah sebagai wakil dari badan hukum publik, sedangkan kedudukan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik adalah sebagai wakil (vertegenwoordiger) dari jabatan pemerintahan. Kedudukan pemerintah dalam hukum privat sebagai wakil dari badan hukum publik pastinya selalu melakukan hubungan hukum dengan rakyat baik itu berupa melakukan jual beli, sewa menyewa, dan perbuatan hukum perdata lainnya. Ketika perbuatan pemerintah tersebut ternyata merugikan rakyat karena pemerintah melakukan suatu Perbuatan Melawan Hukum (PMH), maka dapat diberlakukan Pasal 1365 KUHPerdata karena muncul tindakan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige overheidsdaad). Pasal 1365 KUHPerdata mengalami pergeseran penafsiran melalui Yurisprudensi yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia terdapat dua Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menunjukkan kriteria perbuatan melawan hukum oleh penguasa; pertama, Putusan MA dalam perkara Kasum (Putusan No. 66K/Sip/1952) dan kedua, Putusan MA dalam perkara Josopandojo (Putusan No. 838K/Sip/1970). Kedua putusan MA ini
9
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm. 2.
10
menunjukkan kriteria perbuatan melawan hukum oleh penguasa adalah : a) Perbuatan penguasa itu melanggar undang-undang dan peraturan formal yang berlaku; b) perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhinya.10 Perlindungan hukum bagi rakyat di bidang hukum perdata terhadap tindakan hukum pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik dilakukan melalui peradilan umum. Kedudukan pemerintah atau administrasi negara dalam hal ini tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata, yaitu sejajar. Pemerintah dalam melakukan suatu hubungan hukum dengan warga negara membutuhkan suatu instrumen hukum yang dibuat agar bisa melaksanakan hubungan hukum tersebut. Hal ini dapat berupa Peraturan (regeling) maupun Keputusan (Beschikking). Ketika pemerintah mengeluarkan instrumen hukum tersebut ternyata menimbulkan kerugian bagi seseorang ataupun badan hukum perdata maka dapat diselesaikan di badan peradilan sebagai konsep perlindungan hukum kepada rakyat. Jika pemerintah mengeluarkan peraturan (regeling) yang menimbulkan suatu kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya peraturan perundang-undangan ditempuh melalui Mahkamah Agung, dengan cara hak uji materiil. Peraturan di sini yaitu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, contohnya Peraturan Pemerintah; 10
Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 28.
11
Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan
jika
pemerintah
mengeluarkan
suatu
Keputusan
(Beschikking) yang ternyata menimbulkan suatu kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata, Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui upaya administratif dan melalui PTUN. Kewenangan Peradilan yang berwenang untuk mengadili tindakan pemerintah yang menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata dilihat apakah kedudukan pemerintah berada dalam hukum privat ataukah berada dalam hukum publik. Jika kedudukan pemerintah dalam hukum privat maka kewenangan peradilan yang berwenang mengadili adalah Peradilan Umum, sedangkan jika kedudukan pemerintah dalam hukum publik maka kewenangan peradilan yang berwenang mengadili adalah Peradilan Tata Usaha Negara. D. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah berdasarkan konsep Hukum Administrasi Negara. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt dalam menentukan kewenangan mengadili sudah sesuai dengan konsep Hukum Administrasi Negara.
12
E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Diharapkan penelitian ini akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu hukum Hukum Administrasi Negara pada umumnya dan khususnya pada hal-hal yang terkait dengan perlindungan hukum bagi rakyat. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi mereka para dosen, hakim, praktisi hukum, dan pengacara.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara Hukum 1. Pengertian Negara Hukum Pembahasan mengenai pengertian negara hukum dapat dilihat dari pengertian dari negara hukum dalam arti yang sempit (formil) dan negara hukum dalam arti yang luas (materiil). Bahwa faham yang kuno dari pada para Sarjana Hukum abad 19, terutama sekali di negara-negara kontinental yang sistem hukumnya adalah tertulis, menganggap bahwa negara hukum adalah negara yang segala sesuatu tindakannya didasarkan semata-mata pada hukum yang tertulis, yaitu hukum formil yang konkretnya diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan saja. Hukum diartikan dalam artian yang sempit, yang formil, yaitu undang-undang.11 Berhubung dengan hal tersebut oleh para Sarjana Hukum, negara yang demikian ini dianggap sebagai “nachtwakerststaat” (negara penjaga malam). Negara kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan ketertiban umum seperti yang telah ditentukan dalam hukum yang tertulis (undang-undang). Oleh karena itu untuk menyebut negara yang demikian ini sebaiknya pergunakan saja nama “Negara Undang-Undang” atau dapat juga disebut “Negara Hukum dalam arti formil atau sempit”. 11
Joeniarto, Ibid., hlm. 19.
14
Tetapi faham negara hukum dalam arti formil ini dalam abad berikutnya, yaitu abad 20, tidak mungkin lagi dapat dipertahankan. Negara yang tidak lagi hanya akan melaksanakan dan menjaga undangundang saja, tetapi akan menyelenggarakan kesejahteraan umum atau disebut “Welfare state”. Di dalam Welfare state ini Freies Ermessen (Kebebasan bertindak dari Pemerintah) mempunyai peranan yang banyak. Di sini dikemukakan bahwa para penguasa itu boleh mengambil tindakan sesuai
dengan
kebijaksanaan
sendiri
sepanjang
itu
belum
ada
peraturannya dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan umum, hal tersebut tidak berarti bahwa dalam mengambil tindakan semau sendiri. Prinsip negara hukum ini dalam mengambil tindakan tentu masih harus didasarkan kepada pedoman-pedoman tertentu yaitu asas-asas umum pemerintahan yang berlaku di dalam negara hukum. Tindakantindakan yang dilakukan oleh pemerintah sekalipun belum diadakan peraturannya, tindakan-tindakan tersebut tentu tidak boleh menyimpang daripada peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis sepanjang itu tidak meninggalkan kebenaran dan keadilan hukumnya serta juga kepatutan. Negara hukum yang demikian ini disebut “Negara Hukum dalam arti luas” atau dapat juga disebut dengan “Negara Hukum dalam arti yang Materiil”. Dalam zaman modern abad 20 ini pada umumnya negaranegara
yang
telah
meningkatkan
menjadi
Welfare
state,
telah
15
meninggalkan faham Negara Hukum yang Formil dan mempergunakan Negara Hukum dalam arti yang Materiil.12 Penjabaran mengenai pengertian negara hukum dikenal di Eropa terdiri dari dua tipe pokok Negara Hukum, yaitu : a. Type Anglo Saxon (Inggris, Amerika), yang berintikan Rule of Law yang dimana harus memenuhi syarat: 1) Supremacy before the law, artinya bahwa hukum diberi kedudukan yang tertinggi, hukum berkuasa penuh atas negara dan rakyat. Konsekuensinya negara tidak dapat dituntut apabila bersalah, karena yang bersalah hanyalah pejabat negara, dan dialah yang dihukum; 2) Equality before of the law, artinya baik orang, baik pejabat pemerintah maupun masyarakat biasa adalah sama statusnya menurut pandangan hukum. b. Type Eropa Kontinental (Jerman, Belanda, Belgia, Skandinavia), yang berdasarkan pada kedaulatan hukum (Rechtsouvereiniteit), jadi berintikan Rechstaat (Negara Hukum). Dalam tipe ini hukumlah yang berdaulat. Negara dipandang sebagai subjek hukum, dan apabila negara salah, maka dapat dituntut di muka pengadilan sebagaimana halnya dengan subjek hukum yang lain.13 2. Unsur-Unsur Negara Hukum Gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia menulis Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya, sementara dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum 12 13
Joeniarto, Ibid., hlm. 20-21. C.S.T. Kansil, op.cit., hlm. 83-84.
16
muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.14 Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan munculnya konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) adalah sebagai berikut : a. Perlindungan hak-hak asasi manusia; b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.15 Pada wilayah Anglosaxson, muncul pula konsep negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, dengan unsur-unsur sebagai berikut : a.
Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;
14 15
Azhary, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1995, hlm. 20-21. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 57-58.
17
b.
Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat;
c.
Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.16 Adanya unsur “peradilan administrasi dalam perselisihan” pada
konsep rechtsstaat, sementara pada konsep rule of law unsur itu tidak ada, menunjukkan adanya hubungan historis anatra konsep negara hukum Kontinental dengan sistem hukum Romawi dan kemunculan Hukum Administrasi Negara. Berkenaan dengan adanya hubungan historis ini, Philipus M. Hadjon mengemukakan sebagai berikut : “Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem yang disebut “common law”. Karakteristik civil law adalah administratif sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahanpengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu besar peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem kontinentallah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “dorit administratif” dan inti dari droit administratif adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat...di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara (Hukum Administrasi dan peradilan administrasi).17
16
Mirian Budiardjo, op.cit., hlm. 58. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 73. 17
18
Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat unsurunsurnya sebagai berikut : a.
Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
b.
Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
c.
Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d.
Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
e.
Adanya
pengawasan
dari
badan-badan
peradilan
(rechterlijke
controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif; f.
Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah; dan
g.
Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.18 Perumusan unsur-unsur negara hukum dalam sistem Kontinental dan
Anglosakson di atas tidak terlepas dari falsafah dan sosio-politik yang melatarbelakanginya, terutama pengaruh falsafah individualisme, yang bertumpu pada kebebasan (liberty) individu dan hanya dibatasi oleh 18
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29-30.
19
kehendak bebas pihak lain termasuk bebas dari kesewenang-wenangan penguasa. 3. Indonesia Sebagai Negara Hukum Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang menganut
desentralisasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan,
sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Sebagai pemerintahan
negara haruslah
hukum,
setiap
berdasarkan
pada
penyelenggaraan hukum
yang
urusan berlaku
(wetmatigheid van bestuur). Sebagai negara yang menganut desentralisasi mengandung arti bahwa urusan pemerintahan itu terdiri atas urusan pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya ada perangkat pemerintah pusat dan ada perangkat pemerintah daerah, yang diberi otonomi yakni kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah. Terlepas dari berbagai pandangan di atas, melihat pada Negara kita Indonesia dikenal sebagai negara hukum dalam arti materiil atau Welfare state, yakni suatu negara yang secara intensif mencampuri seluruh perikehidupan individu warganegaranya, dengan tujuan agar para individu
20
yang hidup dalam negara tersebut mencapai derajat hidup yang sejahtera.19 Dilihat dari fungsi dan tugas negara tersebut, maka unsur terpenting dalam negara hukum material (Welfare state) adalah : 1) 2) 3) 4) 5)
Jaminan terhadap hak asasi manusia; Pemisahan/pembagian kekuasaan; Legalitas pemerintahan; Peradilan Administrasi yang bebas dan tidak berpihak; Terwujudnya kesejahteraan umum warga negaranya;20
Ditemukan menunjukkan
beberapa
bahwa
negara
ketentuan hukum
dalam
UUD
Indonesia
1945
yang
yang
menganut
desentralisasi dan berorientasi kesejahteraan. Pertama, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana terdapat dalam Pasal 28 A sampai 28 J UUD 1945; Kedua, pemencaran kekuasaan negara, yang berbentuk pemencaran dan pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertikal. Pemencaran dan pembagian kekuasaan secara horizontal tampak pada pembentukan dan pemberian kekuasaan kepada DPR (Pasal 19, 20, 21, 22 UUD 1945), kekuasaan Presiden (Pasal 4 sampai 15 UUD 1945), kekuasaan kehakiman (Pasal 24 UUD 1945), dan beberapa suprastruktur politik lainnya. Pemencaran dan pembagian kekuasaan secara vertikal muncul dalam wujud desentralisasi yaitu dengan pembentukan dan pembagian kewenangan kepada satuan pemerintahan daerah (Pasal 18 UUD 1945). Ketiga, prinsip “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan 19
S.F. Marbun, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 7. 20 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 14.
21
dilaksanakan
menurut
Undang-Undang
Dasar”;
Keempat,
penyelenggaraan negara dan pemerintahan berdasarkan atas hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Kelima, pengawasan oleh hakim yang merdeka, yang merupakan implementasi dari Pasal 24 UUD 1945 dan beberapa undang-undang organik tentang kekuasaan kehakiman dan lembaga-lembaga peradilan.; Keenam, pemilihan umum yang dilakukan secara periodik; Ketujuh, tersedianya tempat pengaduan bagi rakyat atas tindakan pemerintah yang merugikan warga negara, yakni upaya administratif, PTUN, dan Ombudsman. Dengan merujuk pada konsep negara hukum yang diselenggarakan melalui mekanisme demokrasi, Indonesia tergolong pula sebagai negara hukum demokratis.21 Hukum yang dijadikan aturan main (spelregel) dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta untuk mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara penyelenggara negara dan pemerintahan di Indonesia adalah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.
B. Hukum Administrasi Negara 1. Pengertian Hukum Administrasi Negara Apa itu hukum pemerintahan (bestuursrecht) ? apakah hukum untuk pemerintahan ataukah hukum dari pemerintah ? , dengan kata lain apakah hukum ini diletakkan (untuk mengatur) pemerintah ataukah 21
Kenyataan bahwa Indonesia adalah sebagai negara hukum demokratis dikemukakan oleh Bagir Manan, Hubungan Anatara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1990, hlm. 245.
22
hukum yang diletakkan oleh pemerintah ? Pertanyaan-pertanyaan ini dikemukakan oleh A.M. Donner, pada halaman awal bukunya.22 Guna memahami secara lebih mendalam terhadap Hukum Administrasi Negara ini, pertanyaan-pertanyaan itu harus diberikan jawaban sebaik-baiknya. Untuk dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, terlebih dahulu dikemukakan mengenai definisi HAN yang dikemukakan oleh para sarjana berikut ini : a. Deskrpisi Hukum Aministrasi Negara oleh J.H.A. Logemaan ialah: hukum administrasi meliputi peraturan-peraturan khusus, yang di samping hukum perdata positif yang berlaku umum, mengatur caracara organisasi negara ikut serta dalam lalu lintas masyarakat. (de bijzondere regels, die naast het voor allen geldende burgerlijk recht, beheersen
de
wijze,
waarop
de
staatsorganisatie
aan
het
maatschappelijk verkeer deelneemt).23 Hukum Administrasi Negara meliputi peraturan-peraturan yang berkenaan dengan administrasi. Administrasi berarti sama dengan pemerintahan. Oleh karena itu HAN disebut juga hukum tata pemerintahan. Perkataan Pemerintahan dapat disamakan dengan kekuasaan eksekutif, artinya pemerintahan merupakan bagian dari organ dan fungsi pemerintahan, yang bukan organ dan fungsi pembuat undang-undang dan peradilan. (Het administratief recht omvat regels, die betrekking hebben op de
22 Soehardjo, Pengantar Hukum Administrasi Negara Pertumbuhan dan Perkembangannya, Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, Semarang, 1994, hlm. 11. 23 Philipus M. Hadjon et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 23.
23
administratie.
Administratie
betekent
hetzelfde
als
bestuur.
Administratief recht wordt daarom ook wel bestuursrecht genoemd. Het woord bestuur pleegt te worden gelijkgesteldmet uitvoerende macht. Het betekent dan het gedeelte van de overheidsorganen en van de overheidsfuncties, die niet zijn wetgevende en rechtsprekende organen en functies).24 b. Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Pemerintahan pada dasarnya dapat dibedakan berdasarkan tujuannya dari hukum tata negara menurut peraturan-peraturan hukum yang menentukan (tugastugas yang dipercayakan) kepada organ-organ pemerintahan itu, menentukan tempatnya dalam negara, menentukan kedudukan terhadap warga negara, dan peraturan-peraturan hukum yang mengatur
tindakan-tindakan
organ
pemerintahan
itu.
(Het
Administratief recht of bestuursrecht-hoofdzakelijk om doelmatigheidsredenen van het staatsrecht te onderscheiden-omvat de rechtsregelen, dei bepalen, aan welke organen het bestuur is toevertrouwd, welke hun plaats is in de staat, tegenover elkander en tegenover de burgerij, en welke rechtsregelen het handelen van die organen beheersen).25 c. HAN sebagai menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdrager) administrasi negara
24 A.D. Belinfante, Kort Begrip van het Administratief Recht, Samsom Uitgeverij, Alphen aan de Rijn, 1985, hlm. 11. 25 Van Poelje, Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde, Samsom, Alphen aan de Rijn, 1964, hlm. 4.
24
melakukan tugas mereka yang khusus. Lebih lanjut Utrecht menyebutkan bahwa HAN adalah hukum yang mengatur sebagian lapangan pekerjaan administarsi negara. Bagian lain diatur oleh Hukum Tata Negara (hukum negara dalam arti sempit), Hukum Privat, dan sebagainya.26 d. Hukum Administrasi Negara, hukum tata pemerintahan adalah keseluruhan hukum yang berkaitan dengan (mengatur) administrasi, pemerintah, dan pemerintahan. Secara global dikatakan, Hukum Administrasi Negara merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk secara aktif terlibat dalam kehidupan kemasyarakatan, dan di sisi lain HAN merupakan hukum yang dapat digunakan oleh anggota masyarakat untuk memengaruhi dan memperoleh perlindungan dari pemerintah. Jadi HAN memuat peraturan mengenai aktivitas pemerintahan. (Administratief recht, bestuursrecht het heft alles te maken met administrare, het besturen. Global gezged; het is het recht dat de overheid die zich actief bemoeit met de samenleving het daardoor nodige, juridische instrumentarium biedt; en tegelijkkertijd het recht dat de leden van de samenleving invloed op en bescherming tegen diezelfde, zich met hen en hun omgeving bemoeiende overheid moet geven. Het recht betreffende de actieve overheidsbemoeiing dus)27
26 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, hlm. 8-9. 27 H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma BV, Utrecht, 1995, hlm. 1.
25
e. Hukum Administrasi Negara adalah hukum mengenai pemerintah di dalam kedudukan, tugas, dan fungsinya sebagai Administrator Negara yang di mana pemerintah adalah “pengurus harian” negara dan pemerintah adalah keseluruhan daripada jabatan-jabatan (pejabatpejabat) di dalam suatu negara yang mempunyai tugas dan wewenang POLITIK NEGARA serta PEMERINTAHAN.28 f. Pendapat kami adalah bahwa Hukum Administrasi Negara berkenaan dengan organisasi dan fungsionalisasi pemerintahan umum dalam hubungannya dengan masyarakat. (Onze opvatting is dat het bestuursrecht betrekking heeft op de organisatie en functioneren van het openbaar bestuur in zijn relatie met de sameleving).29 Mendasarkan beberapa definisi tersebut di atas, tampak bahwa dalam Hukum Administrasi Negara terkandung dua aspek, yaitu: pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya; kedua, aturanaturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara alat perlengkapan administrasi negara atau pemerintah dengan warga negaranya.30 2. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara Berkaitan mengenai pembahasan tentang ruang lingkup dari Hukum Administrasi Negara, Prajudi Atmosudirdjo membagi HAN 28
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994,
hlm. 11. 29
P. De Haan, et al., Bestuursrecht in de Sociale Rechtstaat, deel 1, Kluwer, Devender, 1986, hlm. 21. 30 Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan, loc.cit., hlm. 2.
26
dalam dua bagian; HAN heteronom dan HAN otonom. HAN heteronom bersumber pada UUD, TAP MPR, dan UU adalah hukum yang mengatur seluk-beluk organisasi dan fungsi administrasi negara. HAN otonom adalah hukum operasional yang diciptakan pemerintah dan administrasi negara.31 Sementara penulis HAN lain, membagi bidang HAN menjadi HAN umum (algemeen deel) dan HAN khusus (bijzonder deel).32 HAN
umum
berkenaan
dengan
peraturan-peraturan
umum
mengenai tindakan hukum dan hubungan Hukum Administrasi Negara atau peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip yang berlaku untuk semua bidang Hukum Administrasi Negara,33 dalam arti tidak terikat pada bidang tertentu. Sedangkan HAN khusus adalah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu seperti peraturan tentang tata ruang, peraturan tentang kepegawaian, peraturan tentang pertanahan, peraturan kesehatan, peraturan perpajakan, peraturan bidang pendidikan, peraturan pertambangan dan sebagainya. P. de Haan dan kawan-kawannya mengklasifikasikan HAN yang menurutnya ada bagian-bagian pokok (hoofdgebieden) dari Hukum Administrasi Negara khusus, yaitu hukum ketertiban dan keamanan umum (recht openbare orde en veiligheid), Hukum Administrasi Negara tentang tata ruang (ruimtelijk bestuursrecht), Hukum Administrasi Negara bidang ekonomi (economisch bestuursrecht), Hukum Administrasi 31
Prajudi Atmosudirdjo, op.cit., Cetakan 1, 1981, hlm. 35. Dapat dilihat di H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, op.cit., hlm. 5. dan A.M. Donner, Nedherlands Bestuursrecht, Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan Rijn, 1987, hlm. 56. 33 A.D. Belinfante, op.cit., hlm. 17, P. Nicolai, et.al., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hlm. 8. 32
27
Negara bidang sosial (sociaal bestuursrecht), Hukum Administrasi Negara
bidang
kebudayaan
(cultureel
Hukum
bestuursrecht),
Administrasi Negara bidang kesehatan (medisch bestuursrecht), Hukum Administrasi Negara bidang keuangan (fiscaal bestuursrecht).34 C.J.N Versteden menyebutkan bahwa secara garis besar Hukum Administrasi Negara meliputi bidang pengaturan sebagai berikut : a.
Peraturan mengenai penegakan ketertiban dan keamanan kesehatan, kesopanan, dengan menggunakan aturan tingkah laku bagi warga negara yang ditegakkan dan ditentukan lebih lanjut oleh pemerintah;
b.
Peraturan yang ditujukan untuk memberikan jaminan sosial bagi rakyat;
c.
Peraturan-peraturan
mengenai
tata
ruang
yang
ditetapkan
pemerintah; d.
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas pemeliharaan dari pemerintah termasuk bantuan terhadap aktivitas swasta dalam rangka pelayanan umum;
e.
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemungutan pajak;
f.
Peraturan-peraturan mengenai perlindungan hak dan kepentingan warga negara terhadap pemerintah;
g.
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penegakan hukum administrasi;
34
P. de Haan, et.al., op.cit., hlm. 84-90.
28
h.
Peraturan-peraturan mengenai pengawasan organ pemerintahan yang lebih tinggi terhadap organ yang lebih rendah;
i.
Peraturan-peraturan
mengenai
kedudukan
hukum
pegawai
pemerintahan.35 Philipus M. Hadjon dan kawan-kawan membagi Hukum Administrasi Negara menjadi menjadi 2 bagian, yaitu Lapangan Hukum Administrasi Khusus dan Lapangan Hukum Administrasi Umum. Yang dimaksud dengan hukum administrasi khusus adalah peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan bidang tertentu dari kebijaksanaan seperti contoh : hukum atas tata ruang dan hukum perizinan bangunan. Sebaliknya yang dimaksud dengan hukum administrasi umum adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak terikat pada suatu bidang tertentu dari kebijaksanaan penguasa, seperti contoh : algemene beginselen van behoorlijk bestuur (asas-asas umum pemerintahan yang baik), dan undang-undang peradilan tata usaha negara.36 Di Indonesia Hukum Administrasi Negara Khusus ini telah dihimpun dalam Himpunan Peraturan-Perundang-Undangan Republik Indonesia, yang disusun
berdasarkan sistem
Engelbrecht, yang
didalamnya dimuat tidak kurang dari 88 bidang.37 Mendasarkan dari pemaparan beberapa pendapat sarjana di atas, dapatlah disebutkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum
35 C.J.N. Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan de Rijn, 1984, hlm.16-17. 36 Philipus M. Hadjon et.al., op.cit., hlm. 32. 37 Dapat dilihat di Philipus M. Hadjon et.al., op.cit., hlm. 35-38.
29
yang berkenaan dengan pemerintahan (dalam arti sempit) {Bestuursrecht of administratief recht omvat regels, die betrekking heben op de administratie}; yaitu hukum yang cakupannya - secara garis besar mengatur hal-hal sebagai berikut : a. Perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik; b. Kewenangan pemerintahan (dalam melakukan perbuatan di bidang publik tersebut); di dalamnya mengatur mengenai dari mana, dengan cara apa, dan bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya; penggunaan kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrumen hukum, karena itu diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan instrumen hukum; c. Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan pemerintahan itu; d. Penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidang pemerintahan.38 Sehubungan dengan adanya Hukum Administrasi Negara tertulis, yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan Hukum Administrasi Negara tidak tertulis, yang lazim disebut asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur), maka keberadaan dan sasaran dari Hukum Administrasi Negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang tugas dan kewenangan pemerintahan dalam berbagai dimensinya sehingga tercipta
38
Ridwan HR, op.cit., hlm. 45-46.
30
penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan yang baik dalam suatu negara hukum. Dengan demikian, keberadaan Hukum Administrasi Negara dalam suatu negara hukum merupakan conditio sine quanom. 3. Kedudukan Hukum Administrasi Negara Dengan Hukum Lainnya a. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara Berbagai pendapat para ahli hukum mendapatkan kesamaan pendapat bahwa antara HAN dan HTN itu memiliki keterkaitan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari pendapat J.B.J.M. ten Berge bahwa Hukum Administrasi Negara adalah sebagai perpanjangan dari Hukum Tata Negara atau hukum sekunder dari HTN. Pendapat J.B.J.M. ten Berge ini agaknya dipengaruhi pada abad ke-19 Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara merupakan satu kesatuan, dan Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai tambahan dari Hukum Tata Negara (aanhangsel van het staatsrecht) atau sebagai bagian dari Hukum Tata Negara (als een deelgebied van het staatsrecht).39 Bahsan Mustafa mengatakan bahwa Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara itu merupakan dua jenis hukum yang dapat dibedakan akan tetapi tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lainnya.40 Kalaupun dilakukan pembedaan, pembedaan antara Hukum Tata Negara dan Hukum Adminisgtrasi Negara ini
39
E.M.H. Hirsch Ballin, Rechstaat & Beleid, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1991, hlm.
100. 40
Bahsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 60.
31
sesungguhnya
tidaklah
prinsipil
melainkan
berdasarkan
satu
“doelmatige arbeidsverdeling” akbat perkembangan sejarah.41 Menurut WF. Prins, tidak mungkin untuk menarik garis batas yang tegas antara kedua jenis hukum ini.42 Karena kedua bidang hukum ini memiliki keterkaitan yang erat, maka Kranenburg berpendapat bahwa, “kita tidak mungkin mempelajari Hukum Administrasi Negara, tanpa didahului (dengan pelajaran) Hukum Tata Negara”. Hubungan semacam ini agaknya sama yang terjadi pada Hukum Dagang dan Hukum Perdata, “Geen wetenschappelijke studie van het handelsrecht mogelijk, zal zijn zonder voorafgaande inleiding in het burgelijk recht”, tidak mungkin mengkaji secara ilmiah hukum dagang tanpa didahului dengan (pelajaran) hukum perdata.43 Untuk lebih memahami korelasi antara HTN dan HAN, patut diperhatikan pendapat F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, yang menyebutkan bahwa susunan dan kegiatan organ pemerintahan dan kenegaraan diatur dalam konstitusi yang merupakan hukum tertulis. Lebih lanjut disebutkan sebagai berikut :44 “Naast de geschreven (grond) wettelijke regels bestaan regels van ongeschreven recht die de geschreven grondwet aanvullen... Dit geheel van geschreven en ongeschreven regels wordt wel constitutioneel recht genoemd. Deze term kan men synoniem achten met staatsrecht (in enge zin). Staatsrecht ( in enge zin) en 41
Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 17. 42 WF. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Prandya Paramita, Jakarta, 1983, hlm. 10. 43 Kuntjoro Purbopranoto, loc.cit., hlm. 17. 44 F.A.M. Stoink en J.G. Steenbeek, Inleiding in Het Staats-en Administratief Recht, Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan de Rijn, 1985, hlm. 15.
32
administratief recht worden te zamen ook wel staatsrecht (inruime zin) genoemd”. (Di samping peraturan-perundang-undangan {UUD} tertulis ada peraturan-peraturan tidak tertulis yang melengkapi konstitusi tertulis. Keseluruhan dari peraturan tertulis dan peraturan tidak tertulis ini dinamakan hukum konstitusi. Istilah ini sinonim dengan Hukum Tata Negara {dalam arti sempit}. Hukum Tata Negara {dalam arti sempit} dan bersama-sama Hukum Administrasi Negara dinamakan Hukum Tata Negara {dalam arti luas}). Lebih lanjut disebutkan bahwa, “aan het onderscheid tussen staatsrecht (in enge zin) en administratief recht zijn geen rechtsgevolgen verbonden. Beide delen van het recht zijn nauw bij elkaar betrokken. Staatsrecht (in engen zin) is zonder inzicht in het administratiefrecht niet te begrijpen. Het omgekeerde geldt ook”, (membedakan antara Hukum Tata Negara {dalam arti sempit} dengan Hukum Administrasi Negara tidak menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Kedua bagian hukum {Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, pen.} saling berhubungan erat. Hukum negara {dalam arti sempit} tanpa bantuan Hukum Administrasi tidak dapat dipahami, begitu pula sebaliknya). b. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Perdata Hubungan Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata menurut beebrapa ahli adalah sebagai berikut : 1. Menurut Van Vraag : HAN dan hukum perdata tidak saling berhubungan, jadi berdiri sendiri. 2. Scholten : bagian dari HAN yang dapat dibedakan dari hukum perdata (hukum yang bersifat sendiri) adalah : hukum tentang organisasi masayarakat (hukum konstitusi). Beliau berpendapat bahwa hukum perdata adalah cadangan HAN, dengan artian apa yang belum diatur leh HAN dapat menggunakan peraturan Hukum Perdata. 3. Prins : HAN dapat dilengkapi oleh Hukum Perdata.
33
Dari keterangan para ahli di atas terlihat bahwa sepanjang hukum publik tidak mengadakan aturan-aturan mengenai sesuatu hal, maka hukum perdata dapat diberlakukan sebagai hukum umum atau privat, tetapi bila hukum publik (HAN) mengaturnya, maka yang diapakai adalah ketentuan hukum publik. Terlihat di sini bahwa kedudukan HAN adalah hukum khusus, sedangkan perdata hukum umum, sehingga berlaku asas Lex Specialis Derogate Lex Generalis, yaitu hukum khusus mengesampingkan hukum umum. Jadi bila HAN tidak mengatur maka yang dipakai adalah ketentuan hukum perdata, umpamanya saja seperti peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perjanjian, pemakaian peraturan-peraturan tentang badan-badan hukum perdata seperti PT, CV, dan lain-lain. Bila terjadi suatu peristiwa hukum, maka hakim perdata dapat memutuskan dengan hukum perdata. Dalam hubungan hukum perdata, negara dapat turut campur (Freies Ermessen) yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan negara yaitu negara kesejahteraan. Contohnya saja : Hukum Pajak. Menurut Cluysenaer dalam bidang hukum pajak, hubungan jelas dikuasai oleh hukum publik, tetapi dikuasai pula oleh hukum harta kekayaan (perdata). Ketentuan hukum publik terlihat dari hak untuk menetapkan pajak yang sifatnya adalah menurut hukum publik.45
45
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm. 29.
34
Viktor Situmorang berpendapat, bahwa terjadinya hubungan antara HAN dan hukum perdata diantaranya : 1. Saat/waktu terjadi adopsi/pengangkatan kaidah hukum perdata menjadi kaidah HAN; 2. Badan Administrasi Negara melakukan perbuatan-perbuatan yang dikuasai oleh hukum perdata; 3. suatu kasus dikuasai oleh hukum perdata dan HAN maka kasus ini diselesaikan berdasarkan ketentuan-ketentuan HAN.46 c. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana Hubungan antara HAN dan hukum pidana menurut para ahli adalah sebagai berikut :47 1. H.J. Romeyn, beliau adalah seorang ahli pidana yang menurutnya hukum pidana dipandang sebagai badan pembantu (hulprecht) bagi HAN, karena penetapan sanksi pidana merupakan salah satu sarana untuk menegakkan HAN. Sebaliknya, peraturan-peraturan hukum di dalam peraturan perundang-undangan administrasi dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum pidana. 2. Scholten, berpendapat bahwa hukum pidana memberikan sanksi luar biasa, baik kepada beberapa kaidah hukum umum, maupun kepada peraturan administrasi negara. Scholten membagi hukum pidana menjadi dua yaitu: a. Hukum pidana umum yang mengatur pelanggaran hukum; 46
Viktor Situmorang, Dasar-dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm. 57. 47 Jum Anggriani, op.cit., hlm. 30-31.
35
b. Hukum pidana pemerintahan yang mengatur pelanggaran peraturan perundang-undangan. 3. E. Utrecht, berpendapat bahwa hukum pidana memberi sanksi istimewa baik atas pelanggaran kaidah hukum privat maupun hukum atas pelanggaran kaidah hukum publik yang ada. Contoh Pasal 558 KUHP yang isinya “pegawai cacatan sipil yang alpa menuliskan suatu akta dalam daftar/yang menuliskan suatu akta pada sehelai kertas yang terlepas di pidana dengan denda sebanyak-banyaknya seribu lima ratus rupiah”. 4. Van Kan mengatakan bahwa hukum pidana pada hakekatnya tidak memuat kaidah-kaidah baru, hukum pidana tidak mengadakan kewajban-kewajiban hukum baru, kaidah-kaidah yang telah ada di bagian lain seperti HAN, hukum perburuhan, hukum pajak, HTN dan sebagainya dipertahankan dengan ancaman hukuman atau dengan penjatuhan hukuman yang berat. Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara HAN dengan hukum pidana adalah bila terjadi pelanggaran terhadap HAN, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana. Karena perkembangan HAN begitu cepat sehingga banyak terjadi pelanggaranpelanggaran terhadap administrasi negara (peraturan-peraturan) yang dapat dikenakan sanksi secara pidana. Biasanya berupa sanksi administrasi atau denda administrasi. Badan hukum juga dapat dijatuhi
36
hukuman, yaitu yang dapat dikenakan sanksi adalah anggota pengurus dan kuasanya.48
C. Kedudukan Hukum Pemerintah 1. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Privat Negara, provinsi, dan lain-lain dalam perspektif hukum perdata disebut sebagai badan hukum publik. Badan hukum (rechtspersoon) adalah; “Personen al wat (buiten den enkelen mensch)
zich in het
maatschappelijk leven door wetsbepaling als een persoon voordoet, als zodanig rechten heeft en bevoegdheden bezit, zedelijk lichaam, naamloze vennotschap, rederij, vereeniging, enz”.,49 (kumpulan orang, yaitu yang semua di dalam kehidupan masyarakat {dengan beberapa perkecualian} sesuai dengan ketentuan undang-undang dapat bertindak sebagaimana manusia, yang memiliki hak-hak dan kewenangan-kewenangan, seperti kumpulan orang {dalam suatu badan hukum}, perseroan terbatas, perusahaan perkapalan, perhimpunan, {sukarela}, dan sebagainya). Dalam ungkapan lain, “Wat in wettelijken zin als een persoon beschouwd wordt en waaran alzoo volkomen rechtsbevoegdheidwordt verschaft, om rechtshandelingen te verrichten, in rechten te verschijnen en
vermoegensrechten
uit
te
oefenen,
iedere
vereeniging
die
rechtspersoonlijkheid verkregen heeft”,50 yaitu (apa yang dalam
48
Jum Anggriani, loc.cit., hlm. 31. R.K. Kuipers, Geillusteerd Woordenboek Nederlandsche Taal, Maatschappy “Elssevier”, Amsterdam, 1901, hlm. 1133. 50 Van Dale’s, Groot Woordenboek der Nederlandsche Taal, ‘s-Gravenhage en Leiden, 1914, hlm. 1501. 49
37
pengertian undang-undang dianggap seperti orang dan kepada siapa yang dengan sepenuhnya diberikan wewenang untuk melakukan tindakan hukum dan secara hukum tampil dan bertindak dengan harta kekayaan {terpisah}; badan hukum adalah setiap perhimpunan yang diberi status badan hukum). Menurut Bothlingk, “Dan is rechtpersoon een niet mens zijn plicht-en bevoegdheidssubject”,51 (badan hukum adalah subjek kewajiban dan kewenangan yang bukan manusia). Sebagai subjek hukum bukan manusia, perbuatan badan hukum tidak seperti perbuatan manusia (dat de rechtspersoon derhalve is een niet-menselijk daadsubject). Lebih lanjut Bothlingk mengatakan, “De rechtspersoon, zo kunnen wij besluiten, is de juriese personificatie van een uit de maatschappelijke werkelijkheid geconstrueerde identiteit, die daden kan verrichten”,52 (kita tentukan bahwa badan hukum adalah penjelmaan yuridis dari identitas yang dibentuk dari realitas masyarakat, yang dapat melakukan berbagai tindakan). Bila berdasarkan hukum publik negara, provinsi, dan kabupaten adalah organisasi jabatan atau kumpulan dari organ-organ kenegaraan dan pemerintahan, maka berdasarkan hukum perdata negara, provinsi, dan kabupaten adalah kumpulan dari badan-badan hukum yang tindakan hukumnya dijalankan oleh pemerintah. Menurut J.B.J.M. ten Berge, “De
51 Frederick Robert Bothlingk, Het Leerstuk der Vertegenwoordiging en Zijn Toepassing op Ambtsdragers in Nederland en in Indonesia, Juridische Boekhandel en Uitgeverij A. Jongbloed & Zoon ‘s-Gravenhage, 1954, hlm. 23. 52 Frederick Robert Bothlingk, op.cit., hlm. 26.
38
overheid kan net als natuurlijke personen en privaatrechtelijke rechtspersonen deelnemen aan het privaatrechtelijke rechtsverkeer. De overheid koopt en verkoopt, huurt en verhuurt, pacht en verpacht, sluit overeenkomsten en bezit eigendom”,53 Pemerintah sebagaimana manusia dan badan hukum privat terlibat dalam lalu lintas pergaulan hukum. Pemerintah
menjual dan
membeli,
menyewa
dan
menyewakan,
menggadai dan menggadaikan, membuat perjanjian, dan mempunyai hak milik). Hal senada juga dikemukakan pula oleh C.J.N. Versteden berikut ini : “De overheid-en het bijzonder het bestuur-komt op allerlei wijzen met privaatrecht in aanraking. Soms neemt zij aan het privaatrechtelijke rechtsverkeer deel op gelijke voet als particulieren, zonder dat haar bijzonder positie als overheid en behartiging van het algemeen belang daarbij in het geding. Zo treedt de overheid op als eigenares van gronden en gebouwen.... We zien de overheid ook geldleningen afsluiten, apparaten en machines kopen. In deze gevallen de overheid evenals de particuliere personen aan de regels van het privaatrecht onderworpen”.54 (Pemerintah-dan dalam kedudukannya yang spesifik sebagai pemerintah-menggunakan berbagai ketentuan hukum privat dalam pergaulannya. Kadang-kadang mereka terlibat dalam lalu lintas pergaulan keperdataan dalam kedudukan yang sama dengan pihak swasta, tanpa kedudukan spesifiknya sebagai pemerintah dan yang melindungi kepentingan umum dalam hal terjadi sengketa. Dengan demikian, pemerintah dapat betindak sebagai pemilik tanah dan bangunan.... kita juga menyaksikan pemerintah meminjam uang, membeli mesin-mesin dan peralatan. Dalam hal ini pemerintah seperti halnya seorang swasta tunduk pada peraturan hukum keperdataan).
53
J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door de Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996, hlm. 85. 54 C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 283.
39
Ketika pemerintah bertindak dalam lapangan hukum keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum (publik), bukan wakil dari jabatan. Oleh karena itu, kedudukan pemerintah dalam pergaulan hukum keperdataan tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum privat, tidak memiliki kedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum perdata (equality before the law) dalam peradilan umum. Untuk mengetahui kapan pemerintah bertindak sebagai wakil dari jabatan dan kapan mewakili badan hukum (publik) dapat diperhatikan dari penjelasan sebagai berikut : “Orgaan en rechtspersoon dienen scherp onderscheiden te worden. In verreweg de meeste gevallen vallen zij niet samen. Op gemeentelijk niveau zijn bij voorbeeld de raad, het college van burgemeester en wethouders en de burgemeester organen. De rechspersoon is het openbaar lichaam gemeente. Men kan dus geen privaatrechtelijke contracten afsluiten met het college van burgemeester en wethouders of de gemeenteraad, maar alleen met de gemeente. Voor die gemeente wordt dan privaatrechtelijk beslist door de raad of, krachtens delegatie, door burgemeester en wethouders, terwijl de burgemeester als formele representaant optreedt. Dit onderscheid is onder meer belangrijk voor het procesrecht. In gevallen van administratief beroep of administratief rechtspraak wordt het beroep ingesteld tegen het besluit van het (beschikkende) orgaan. Dit orgaan is dan procespartij (verweerder). Civilrechtelijk is de rechtspersoon procespartij en moet, bij gemeente, de burgeemester aantreden”.55 (Organ dan badan hukum dapat dibedakan dengan tegas. Dalam berbagai hal keduanya tidak sama. Pada wilayah kabupaten terdapat organ-organ seperti DPRD, pemerintahan harian, dan bupati/walikota. Badan hukumnya adalah badan umum kabupaten. Artinya kita tidak dapat membuat perjanjian dengan DPRD, 55
F.A.M. Stoink en J.G. Steenbeek, op.cit., hlm. 34.
40
pemerintahan harian, dan bupati/walikota, tetapi hanya dengan kabupaten. Pembuatan keputusan yang bersifat privat bagi kabupaten dilakukan oleh dewan, atau berdasarkan delegasi, oleh pemerintahan harian. Dalam berbagai hal, bupati/walikota bertindak sebagai wakil {dari kabupaten}. Perbedaan antara organ dengan badan hukum ini sangat penting dalam proses hukum. Dalam hal upaya administratif atau badan peradilan administrasi, gugatan ditujukan terhadap organ yang membuat keputusan tersebut. Organ inilah yang menjadi pihak dalam proses hukum. sementara dalam hal keperdataan, badan hukumlah yang menjadi pihak, misalnya pada kabupaten, bupati tampil bertindak {untuk mewakili badan hukum}, yaitu kabupaten). Berdasarkan keterangan tersebut tampak bahwa tindakan hukum pemerintah di bidang keperdataan adalah sebagai wakil dari badan hukum (rechtspersoon), yang tunduk dan diatur dengan hukum perdata. Dengan demikian, kedudukan pemerintah dalam hukum privat adalah sebagai wakil dari badan hukum (publik). 56 2. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Publik Prespektif hukum publik menyebutkan bahwa negara adalah organisasi jabatan. Di antara jabatan-jabatan kenegaraan ini ada jabatan pemerintahan.
Menurut
pendapat
H.D.
van
Wijk/Willem
Konijnenbelt57 bahwa, “Di dalam hukum mengenai badan hukum kita mengenal perbedaan antara badan hukum dan organ-organnya. Badan hukum adalah pendukung hak-hak kebendaan (harta kekayaan). Badan hukum melakukan perbuatan melalui organ-organnya, yang mewakilinya. Perbedaan antara badan hukum dan organ berjalan paralel dengan perbedaan antara badan umum (openbaar lichaam) dengan organ pemerintahan. 56 57
Ridwan H.R., op. cit., hlm. 90 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op.cit., hlm. 97.
41
Paralelitas perbedaan itu kurang lebih tampak ketika menyangkut hubungan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan dari badan umum (yang digunakan oleh badan pemerintahan). Indroharto menyebutkan bahwa lembaga-lembaga hukum publik itu memiliki kedudukan yang mandiri dalam statusnya sebagai badan hukum (perdata). Lembagalembaga hukum publik yang menjadi induk dari Badan atau Jabatan TUN ini yang besar-besar di antaranya adalah Negara, Lembaga-lembaga Tertinggi
dan
Tinggi
Negara,
Departemen,
Badan-badan
Non
Departemen, Provinsi, Kabupaten, Kotamadya, dan sebagainya dimana menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dapat melakukan perbuatan/tindakan hukum perdata.58 Meskipun organ atau jabatan pemerintahan dapat melakukan hukum perdata, mewakili badan hukum induknya, namun yang terpenting-dalam konteks Hukum Administrasi Negara-adalah mengetahui organ atau jabatan pemerintahan dalam melakukan hukum yang besifat publik. Dalam Hukum Administrasi yang menempatkan organ atau jabatan pemerintahan sebagai salah satu objek kajian utama, mengenal karakteristik jabatan pemerintahan merupakan sesuatu yang tak terelakkan. P. Nicolai dan kawan-kawan menyebutkan beberapa ciri atau karakteristik yang terdapat pada jabatan atau organ pemerintahan, yaitu :59
58 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993. hlm. 65-66. 59 Ciri-ciri organ pemerintahan ini disarikan dari P. Nicolai, et.al., op.cit., hlm. 2-26. Sebagaimana dikutip oleh Ridwan H.R., op. cit., hlm 74 – 75.
42
a. Het bestuursorgaan oefent de beovegdheid uit op eigen naam en verantwoordelijkheid. Dat laatste betekent dat als politiek of ambtelijk verantwoording moet worden afgelegd, of als het bestuur zich tegenover de rechter heeft te veranwoorden voor de wijze van uitoefening van de bevoegdheid, het bestuursorgaan drager is van de verantwoordingsplicht. b. Wordt een bevoegdheidsuitoefening via een bestuursrechtelijke voorziening, dat wil zeggen in bezwaar of beroep, bestreden, dan treedt het bestuursorgaan als verwerende procespartij op. c. Bestuursorganen kunnen, zoals reeds aan de orde is gemoken, in een bestuursrechtelijke voorziening ook als klagende partij optreden. d. Bestuursorganen bezitten in het algemeen geen eigen vermoegen, Wel maken die organen deel uit van een privaatrechtelijke rechtspersoon met vermoegen. Zo zijn de bergemeester, het college van B en W en de gemeenteraad organen van het openbare lichaam “de gemeente”, een lichaam waaraan, zoals we gezien hebben, op grond van art. 2:1 BW privaatrechtelijke rechtspersoonlijkheid toekomt. Besluit de rechter om aan het bestuur een dwangsom op te leggen of om het bestuur tot vergoeding van schade te veroordelen, dan zal hij aan een privaatrechtelijke rechtspersoon (als drager van vermoegen) de vereiste verplichtingen moeten opleggen. Terjemahannya : a. Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggung jawab sendiri, yang dalam pengertian modern, diletakkan sebagai pertanggungjawaban politik dan kepegawaian atau tanggung jawab pemerintah sendiri di hadapan Hakim. Organ pemerintah adalah pemikul kewajiban tanggung jawab. b. Pelaksanaan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma hukum administrasi, organ pemerintahan dapat bertindak sebagai pihak tergugat dam proses peradilan, yaitu dalam hal ada keberatan, banding, atau perlawanan. c. Di samping sebagai pihak tergugat, organ pemerintahan juga dapat tampil menjadi pihak yang tidak puas, artinya sebagai penggugat. d. Pada prinsipnya organ pemerintahan tidak memiliki harta kekayaan sendiri. Organ pemerintahan merupakan bagian (alat) dari badan hukum menurut hukum privat dengan harta kekayaannya. Jabatan Bupati atau Walikota adalah organ-organ dari badan umum “Kabupaten”. Berdasarkan aturan hukum badan umum inilah yang dapat memiliki harta kekayaan, bukan organ pemerintahannya. Olegh karena itu, jika ada putusan hakim yang berupa denda atau uang paksa (dwangsom) yang dibebankan kepada organ pemerintah atau hukuman ganti kerugian dari kerusakan, maka kewajiban membayar dan ganti kerugian itu dibebankan kepada badan hukum (seabgai pemegang harta kekayaan).
43
Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan hanyalah fiksi. Perbuatan
hukum
jabatan
dilakukan
melalui
perwakilan
(vertegenwoordiging), yaitu pejabat (ambtdrager). Pejabat bertindak untuk dan atas nama jabatan. Menurut E. Utrecht, oleh karena diwakili pejabat, maka jabatan itu berjalan. Yang menjalankan hak dan kewajiban yang didukung oleh jabatan ialah pejabat. Jabatan bertindak dengan perantaraan pejabatnya. Jabatan walikota berjalan (= menjadi konkret = menjadi bermanfaat bagi kota) oleh karena diwakili oleh Walikota.60 Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan tugas dan wewenang, karena pejabat tidak “memiliki” wewenang. Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini Logemaan mengatakan : “Het is dan door het ganse staatsrecht heen het ambt, waaraan plichten worden opgelegd, dat tot rechtshandelingen wordt bevoegd gemaakt. Plichten en rechten werken door, ongeacht de wisseling der ambtsdragers”.61 (Berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Hak dan kewajiban terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat). F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek memberikan ilustrasi mengenai perbuatan hukum dari jabatan dan pejabat ini, “De 60 61
hlm. 89.
E. Utecht, op.cit., hlm. 202 J.H.A. Logemaan, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954,
44
overheidsbevoegdheden (rechten en plichten) zijn verbonden aan het ambt. Indien bij voorbeeld een burgeemester een bepaalde beschikking afgeeft, wordt rechtens die beschikking afgegeven door het ambt burgeemester, en niet door naruurlijke persoon die op dat moment dat ambt bekleedt, de ambstdrager”62 (Kewenangan pemerintahan {hak-hak dan kewajiban-kewajiban} itu melekat pada jabatan. Jika-sebagai contohbupati/walikota memberikan keputusan tertentu, maka berdasarkan hukum, keputusan itu diberikan oleh jabatan bupati/walikota, dan bukan oleh orang yang pada saat itu diberi jabatan, yakni bupati/walikota). Mendasarkan uraian di atas, dalam Hukum Administrasi Negara, tindakan
hukum
pemerintah.
jabatan
Dengan
pemerintahan
demikian,
dijalankan
kedudukan
hukum
oleh
pejabat
pemerintah
berdasarkan hukum publik adalah sebagai wakil (vertegenwoordiger) dari jabatan pemerintahan.
D. Tindakan Pemerintahan (Bestuur Handelingen) 1. Pengertian Tindakan Hukum Pemerintahan Pemerintah atau administrasi negara adalah sebagai subjek hukum, sebagai drager van de en plichten atau pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sebagai subjek hukum, pemerintah sebagaimana subjek hukum lainnya melakukan berbagai tindakan baik tindakan nyata (feiterlijkhandelingen) maupun tindakan hukum (rechtshandelingen).
62
F.A.M. Stoink en J.G. Steenbeek, op.cit., hlm. 36.
45
Tindakan
nyata
adalah
tindakan-tindakan
yang
tidak
ada
relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat hukum,63 sedangkan Huisman,64
tindakan-tindakan
tindakan hukum menurut R.J.H.M. yang
berdasarkan
sifatnya
dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu, atau “Een rechtshandeling is gericht op het scheppen van rechten of plichten “,65 (tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban). Istilah tindakan hukum ini semula berasal dari ajaran hukum perdata (het woord rechtshandeling is ontleend aan de dogmatiek van het burgerlijk recht),66 yang kemudian digunakan dalam Hukum Administrasi Negara, sehingga dikenal istilah tindakan hukum administrasi (administatieve rechtshandeling). Menurut H.J. Romeijn, “Een administratieve rechtshandelingis dan een wilsverklaring in een bijzonder geval uitgaande van een administratief orgaan, gericht op het in het leven roepen van een rechtsgevolg op het gebeid van administratief recht”.67 (tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang Hukum Administrasi Negara).
63
C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 55, lihat pula H.D. van Wijk/Willem Konjinenbelt, op.cit., hlm. 177. 64 R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, en Inleiding, Kobra, Amsterdam, tt, hlm. 13. 65 J.B.J.M. ten Berge, op.cit., hlm. 137. 66 A.D. Belinfante, op.cit., hlm. 49. 67 H.J. Romeijn, Administratiefrecht, Hand-en Leerboek, Noorman’s Periodieke Pers N.V., Den Haag, 1934, hlm. 89.
46
Akibat hukum yang lahir dari tindakan hukum adalah akibat-akibat yang memiliki relevansi dengan hukum seperti “het scheppen van een nieuwe,
het
wijzigen
rechtsverhouding”68
of
het
(penciptaan
opheffen hukum
van baru,
een
bestaande
perubahan
atau
pengakhiran hubungan hukum yang ada). Dengan kata lain, akibat-akibat hukum (rechtsgevolgen) itu dapat berupa hal-hal sebagai berikut :69 a.
Indien er een verandering optreedt in de bestaande rechten, verplichtingen of bevoegdheid van sommigen; (jika menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban atau kewenangan yang ada);
b.
Wanner er verandering opteedt in jurisdische status van een persoon of (van) object; (bilamana menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau objek yang ada);
c.
Wanner
het
bestaan
van
zerke
rechten,
verplichtingen,
bevoegdheden of status bindend wordt vastgesteld; (bilamana terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan, ataupun status tertentu yang ditetapkan). Bila dikatakan bahwa tindakan hukum pemerintahan itu merupakan pernyataan kehendak sepihak dari organ pemerintahan (eenzijdige wilsverklaring van de bestuursorgaan) dan membawa akibat pada hubungan hukum atau keadaan hukum yang ada, maka kehendak organ tersebut tidak boleh mengandung cacat seperti kekhilafan (dwaling),
68 69
Ibid., hlm. 90. H.D. van Wijk/Willem Konjinenbelt, op.cit., hlm. 178.
47
penipuan (bedrog), paksaan (dwaang), dan lain-lain yang menyebabkan akibat-akibat hukum yang tidak sah. 2. Unsur-unsur Tindakan Hukum Pemerintahan Muchsan menyebutkan unsur-unsur tindakan hukum pemerintahan sebagai berikut : 1) Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah, dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorganen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri; 2) Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan; 3) Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang Hukum Administrasi Negara; 4) Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.70 Unsur-unsur yang dikemukakan oleh Muchsan ini perlu ditambah, terutama dalam kaitannya dengan negara hukum yang mengedepankan asas legalitas atau wetmaitgheid van bestuur, yaitu perbuatan hukum administrasi negara harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, “Administratiefrechtelijke rechts handelingen kunnen in principe allen verricht worden in de gevallen waarin en op de wijze waaop een wettelijk voorschrift dat heeft voorzien of toelaat”71 (pada prinsipnya, tindakan hukum administrasi hanya dapat dilakukan dalam hal 70
Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 18-19. 71 A.D. belinfante, loc.cit., hlm. 50.
48
dan dengan cara yang telah diatur dan diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan). 3. Macam-macam Tindakan Hukum Pemerintahan Telah jelas bahwa pemerintah atau administrasi negara adalah subjek hukum yang mewakili dua institusi yaitu jabatan pemerintahan dan badan hukum. Karena mewakili dua institusi maka dikenal ada dua macam tindakan hukum, yaitu tindakan-tindakan hukum publik (publiekrechtshandelingen) (privaatrechtshandelingen).
dan Di
tindakan
dalam
ABAR,
hukum
privat
tindakan
hukum
pemerintahan dijelaskan sebagai berikut : “De rechtshandelingen door de overheid in haar bestuursfunctie, kunnen worden onderscheiden in privaatrechtelijke en publiekrechtelijke rechtshandelingen. Onder publiekrechtelijke rechtshandelingen worden hier verstaan de rechtshandelingen die verricht worden op de grondslag van het publiekrecht; onder privaatrechtelijke rechtshandelingen; rechtshandelingen die verricht worden op grondslag van het privaatrecht”.72 (Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya dapat dibedakan dalam tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat. Tindakan hukum publik berarti tindakan hukum yang dilakukan tersebut didasarkan pada hukum publik, sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan) Berkenaan dengan tindakan hukum publik organ pemerintahan ini, A.F.A. Korsten dan F.P.C.L. Tonnaer mengatakan sebagai berikut :73 “Publiekrechtelijke rechtshandelingen, waarvan de overheid voor de uitoegfening van haar bestuursfunctie gebruik maakt, zijn te onderscheiden in eenzijdige en meerzijdige publiekrechtelijke 72
Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Rapport van De Commissie Inzake Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Samsom H.D. Tjeenk Willink B.V., Alphen aan den Rijn, 1984, hlm. 3. 73 A.F.A. Korsten dan F.P.C.L. Tonnaer, Lokale Regelgeving, dalam Lokaal Bestuurin Nederland, Samsom Tjeenk Willink, Alphen aan de Rijn, 1989, hlm. 234-235.
49
rechtshandelingen. Gemeenschappelijke regelingen tussen gemeenten en tussen gemeenten en een provincie zijn voorbeelden van meerzijdige publiekerechtelijke rechtshandelingen”. Eenzijdige publiekerechtelijke rechtshandelingen doen zich voor in de vorm van handeling van een bestuursorgaan waardoor een publiekrechtelijke rechtsgevolg ontstaat. Voorbeelden zijn het verlenen van een bouwvergunning door burgemeester en wethouders, bijstandsverlening, bevel tot on truiming van een onbewoonbaar verklaarde woning” (Tindakan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya, dapat dibedakan dalam tindakan hukum publik yang bersifat sepihak dan tindakan banyak pihak. Peraturan bersama antarkabupaten atau antara kabupaten dengan provinsi adalah contoh dari tindakan hukum publik beberapa pihak. Tindakan hukum publik sepihak berbentuk tindakan yang dilakukan sendiri oleh organ pemerintahan yang menimbulkan akibat hukum publik, contohnya adalah pemberian izin bangunan dari Walikota, pemberian bantuan {subsidi}, perintah pengosongan bangunan/rumah, dan sebagainya). 4. Karakteristik Tindakan Hukum Pemerintahan Di kalangan para sarjana terjadi perbedaan pendapat mengenai sifat tindakan hukum
pemerintahan ini. Sebagian menyatakan bahwa
perbuatan hukum yang terjadi dalam lingkup hukum publik selalu bersifat sepihak atau hubungan hukum bersegi satu (eenzijdige). Indroharto bahkan menyebutkan bahwa tindakan hukum tata usaha negara itu selalu bersifat sepihak. Tindakan tata usaha negara itu dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum tata usaha negara yang memiliki kekuatan hukum itu pada akhirnya tergantung kepada kehendak sepihak dari badan atau jabatan tata usaha negara yang memiliki wewenang pemerintahan untuk berbuat demikian.74
74
Indroharto, op.cit., hlm. 147-148.
50
Pada perjanjian kerja jangka pendek (kortverband contract), yang dijadikan contoh hubungan hukum dua pihak dalam hukum publik, harus dianggap sebagai cara pelaksanaan tindakan pemerintahan bukan esensi dari tindakan hukum pemerintahan itu sendiri. Dengan kata lain, sebagaimana disebutkan W.F. Prins,75 yang lebih lazim terjadi ialah pernyataan
kehendak
pemerintah
dijadikan
titik
berat
dalam
pelaksanaannya, yang melahirkan awal usahanya, menjadi tergeser ke belakang, sekalipun kemudian ditentukan bahwa pihak yang bersangkutan harus menyetujui penawaran yang diberikan pemerintah kepadanya. Dalam
Hukum
Administrasi
Negara,
hubungan
hukum
(rechtsbetrekking) antara pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari jabatan pemerintahan bukan dalam kapasitasnya selaku wakil dari badan pemerintahan, dengan seseorang atau badan hukum perdata tidak berada dalam kedudukan yang sejajar. Pemerintah memiliki kedudukan khusus (de overheid als bijzonder persoon), sebagai satu-satunya pihak yang diserahi kewajiban untuk mengatur dan menyelenggarakan kepentingan umum di mana dalam rangka melaksanakan kewajiban ini kepada pemerintah diberikan wewenang membuat peraturan perundangundangan, menggunakan paksaan pemerintahan, atau menerapkan sanksisanksi hukum.76 Berbeda halnya dengan hubungan hukum berdasarkan hukum perdata, yang bertumpu pada asas otonomi dan kebebasan berkontrak. 75 76
WF. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, op.cit., hlm. 58. Ridwan HR, op cit., hlm. 119-120.
51
Hubungan
hukum
berdasarkan
hukum
perdata
bersifat
sejajar.
Pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum pemerintahan, bukan sebagai wakil dari jabatan pemerintahan, dapat mengadakan hubungan hukum berdasarkan hukum perdata dengan kedudukan yang sejajar atau tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata. Meskipun hubungan hukumnya bersifat ordinatif, pemerintah tidak dapat melakukan tindakan hukum secara bebas dan semena-mena terhadap warga negara. Sebagaimana telah disebutkan, tindakan hukum pemerintah tetap terikat pada asas yang mendasari pada tindakan tersebut yaitu asas legalitas.77 Pada kenyataannya, tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan sendiri oleh organ pemerintahan yang diberi kewenangan untuk menjalankan tugas dan urusan tersebut, serta tidak semua tugas dan urusan pemerintahan dapat dijalankan secara bersama-sama dengan organ pemerintahan lainnya. Hal ini karena ruang lingkup urusan pemerintahan itu demikian luas dan kompleks, sehingga untuk efektivitas dan efisiensi diperlukan pula keterlibatan pihak swasta, yang diwujudkan dengan cara kerja sama atau perjanjian. Tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan dengan melibatkan pihak swasta ini disebut sebagai tindakan hukum campuran (de gemengd rechtshandeling). E. Utrecht menyebutkan beberapa cara pelaksanaan urusan pemerintahan, yaitu :
77
Ridwan HR, loc.cit., hlm. 120.
52
1) Yang bertindak adalah administrasi negara sendiri; 2) Yang bertindak ialah subjek hukum (=badan hukum) lain yang tidak termasuk administrasi negara dan yang mempunyai hubungan istimewa atau hubungan biasa dengan pemerintah; 3) Yang bertindak ialah subjek hukum lain yang tidak termasuk administrasi
negara
dan
yang
menjalankan
pekerjaannya
berdasarkan suatu konsesi atau berdasarkan izin. (vergunning) yang diberikan oleh pemerintah; 4) Yang bertindak ialah subjek hukum lain yang tidak termasuk administrasi negara dan yang diberi subsidi pemerintah; 5) Yang bertindak ialah pemerintah bersama-sama dengan subjek hukum lain yang bukan administrasi negara dan kedua belah pihak itu tergabung dalam bentuk kerja sama (vorm van samenwerking) yang diatur oleh hukum privat; 6) Yang bertindak ialah yayasan yang didirikan oleh pemerintah atau diawasi pemerintah; 7) Yang bertindak ialah subjek hukum lain yang bukan administrasi negara, tetapi diberi suatu kekuasaan memerintah (delegasi perundang-undangan).78 Sepanjang prinsip negara hukum, yaitu asas wetmatigheid van bestuur masih dijadikan sendi utama penyelenggaraan pemerintahan, maka tetaplah bahwa prinsip tindakan hukum pemerintahan yang bersifat
78
E. Utrecht, op.cit., hlm. 86-87.
53
sepihak tersebut tidak dapat dikesampingkan, meskipun tugas-tugas dan pekerjaan pemerintahan dapat dijalankan dengan cara kerja sama (samenwerking), perjanjian (overeenkomst), perizinan (vergunning), konsesi (consessie), dan sebagainya. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari skema tindakan pemerintahan berikut ini : Skema Tindakan Hukum Pemerintahan79 Bestuurshandelingen
Feitelijke Handeling en
Rechtshandelingen
Privaatrechtelijke Rechtshandelingen
Publiekrechtelijke Rechtshandelingen
Eenzijdige Publiekrechtelijke Rechtshandelingen
Besluiten van Algemene Strekking
Keterangan/Terjemah 1. Bestuurshandelingen 2. Feitelijke handelingen 79
Ridwan HR, op.cit., hlm. 123.
Meerzijdige Publiekrechtelijke Rechtshandelingen
Beschikkingen
: Tindakan-tindakan pemerintahan : Tindakan-tindakan nyata
54
3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
Rechtshandelingen : Tindakan-tindakan hukum Privaatrechtelijke rechshandelingen : Tindakan-tindakan keperdataan Publiekrechtelijke rechshandelingen : Tindakan-tindakan hukum publik Meerzijdige publiekrechtelijke : Tindakan-tindakan hukum publik rechshandelingen beberapa pihak Eenzijdige pubkliekrechtelijke : Tindakan-tindakan hukum publik rechshandelingen sepihak Besluiten van algemene strekking : Keputusan yang ditujukan untuk umum (keputusan yang bersifat umum) Bescihkking : Keputusan (yang bersifat konkret,dan Individual)
E. Keputusan Tata Usaha Negara 1. Pengertian Keputusan Keputusan tata usaha negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini diperkenalkan di negeri Belanda dengan nama Beschikking oleh van Vollenhoven dan C.W. van der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, dan lainlain, dianggap sebagai “de vader van het moderne beschikkingsbegrip”,80 (bapak dari konsep beschikking yang modern). Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking merupakan keputusan pemerintahan untuk hal yang bersifat konkret dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu telah dijadikan instrumen yuridis pemerintahan yang utama.81 Menurut P. de Haan dan kawan-kawan,
80
“De
administratieve
beschikking
is
de
meest
F.C.M.A. Michiels, De Arob – Beschikking, Vuga Uitgeverij B.V., ‘s-Gravenhage, 1987, hlm. 23. 81 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op.cit., hlm. 202.
55
voorkomende
en
ook
meest
bestudeerde
bestuurshandeling”,82
(Keputusan administrasi merupakan {bagian} dari tindakan pemerintahan yang paling banyak muncul dan paling banyak dipelajari). Terdapat perbedaan dalam mendefinisikan istilah keputusan. Berikut ini akan disajikan beberapa definisi tentang beschikking.: a. De beschikking is dus de wilsverklaring van een bestuursorgaan voor een bijzonder geval, gericht op het scheppen van een nieuwe, het wijzigen of het opheffen van een bestaande rechtsverhouding.83 (Keputusan adalah pernyataan kehendak dari organ pemerintahan untuk {melaksanakan} hal khusus, ditujukan untuk menciptakan hubungan hukum baru, mengubah, atau menghapus hubungan hukum yang ada). b. Beschikking; een wilsverklaring naar aanleiding van een ingediend verzoekschrift, of althans een gebleken wensch of behoefte.84 (Keputusan adalah suatu pernyataan kehendak yang disebabkan oleh surat permohonan yang diajukan, atau setidak-tidaknya keinginan atau keperluan yang dinyatakan). c. “ ... Eenvoudig geworden een definitie van het begrip beschikking to geven: Een eenzijdige publiekrechtelijke rechtshandeling van een bestuursorgaan gericht op een concreet geval”.85 (... secara sederhana, definisi keputusan dapat diberikan suatu tindakan hukum
82
P. de Haan, et.al., op.cit., hlm. 17. C.W. van der Pot, Nederlandsch Bestuursrecht, Alphen aan de Rijn, 1932, hlm. 198. 84 H.J. Romeijn, op.cit., hlm. 91. 85 C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 60. 83
56
publik sepihak dari organ pemerintahan yang ditujukan pada peristiwa konkret). d. Een beschikking is een individuele of concrete publiekrechtelijke rechts-beslissing: een beslissing van een bestuursorgaan, gebaseerd op een publiek-rechtelijke bevogheid.... Geschapen voor een of meer individuen of met betrekking tot een of meer concrete zaken of situaties. Die beslissing verplicht mensen of organisaties tot iets, geeft ze bevoegdheden of geeft ze aanspraken.86 (Beschikking adalah keputusan hukum publik yang bersifat konkret dan individual: keputusan itu berasal dari organ pemerintahan, yang didasarkan pada kewenangan hukum publik.... Dibuat untuk satu atau lebih individu atau berkenaan dengan satu atau lebih perkara atau keadaaan. Keputusan itu memberikan suatu kewajiban pada seseorang atau organisasi, memberikan kewenangan atau hak kepada mereka). e. Onder ‘beschikking’ kan in zijn algemeenheid worden verstaan: een besluit afkomstig van een bestuursorgaan, dat gericht is op rechtsgevolg.87 (Secara umum, beschikking
dapat diartikan;
keputusan yang berasal dari organ pemerintahan yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum). f. Beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat hukum.88
86
J.B.J.M. ten Berge, op.cit., hlm. 156. R.J.H.M. Huisman, op.cit., hlm. 14. 88 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 230. 87
57
g. Beschikking adalah perbuatan hukum publik bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa).89 h. Beschikking adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa).90 Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara di dalam UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 angka 9 menyebutkan, “Keputusan Tata Usaha Negara dalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.91 2. Unsur-unsur Keputusan Sebelum mengetahui mengenai unsur-unsur keputusan, akan dijabarkan terlebih dahulu mengenai pengertian keputusan berdasarkan Pasal 2 UU Administrasi Negara (AwB) dan menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yaitu sebagai berikut :
89
E. Utrecht, op.cit., hlm. 94. WF. Prins dan Kosim Adisapoetra, op.cit., hlm. 42. 91 Lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 90
58
“De eenzijdig, naar buiten gerichte schriftelijke wilsverklaring van een administratief orgaan van de central overheid, gegeven krachtens een in enig staats-of administatiefrechtelijk voorschrif vervatte bevoegdheid of verplichting en gericht op de vaststelling, de wijziging of de opheffing van de een bestaande rechtsverhouding of het scheppen van een nieuwe rechtsverhouding dan wel inhoudende de weigering tot zodanig vaststellen wijzigen, opheffen of scheppen”. (Pernyataan kehendak tertulis secara sepihak dari organ pemerintahan pusat, yang diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari Hukum Tata Negara atau Hukum Administrasi Negara, yang dimaksudkan untuk penentuan, penghapusan, atau pengakhiran hubungan hukum yang sudah ada, atau menciptakan hubungan hukum baru, yang memuat penolakan sehingga terjadi penetapan, perubahan, penghapusan, atau penciptaan). Berdasarkan definisi ini tampak ada enam unsur keputusan, yaitu sebagai berikut : a. Een naar buiten gerichte schriftelijke wilsverklaring; b. Gegeven krachtens een in enig staats-of administratiefrechtelijk voorschrift vervatte bevoegdheid of verplichting; c. Eenzijdig; d. Met zondering van besluiten van algemene strekking; e. Gericht op de vaststelling, de wijziging of de opheffing van een bestaande rechtsverhouding of het scheppen van een nieuwe rechtsverhouding dan wel inhoudende de weigering tot zodanig vaststellen, wizjigen, opheffen of scheppen; f. Afkomstig van een administratief orgaan.92 Terjemahannya : a. Suatu pernyataan kehendak tertulis;
92
P. de Haan, et.al., op.cit., hlm. 19. Dengan sedikit perbedaan redaksi, unsur-unsur beschikking dapat dilihat pada F.C.M.A. Michiels, op.cit., hlm. 63.
59
b. Diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari Hukum Tata Negara atau hukum administrasi; c. Bersifat sepihak; d. Dengan mengecualikan keputusan yang bersifat umum; e. Yang
dimaksudkan
untuk
penentuan,
penghapusan,
atau
pengakhiran hukum yang sudah ada, atau menciptakan hubungan hukum baru, yang memuat penolakan, sehingga terjadi penetapan, perubahan, penghapusan, atau penciptaan; f. Berasal dari organ pemerintahan. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, keputusan didefinisikan sebagai: “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.93 Berdasarkan definisi ini tampak bahwa KTUN memiliki unsur-unsur sebagai berikut : a. Penetapan tertulis; b. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN; c. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Bersifat konkret, individual, dan final; e. Menimbulkan akibat hukum; f. Seseorang atau badan hukum perdata. 93
Dalam UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, ketentuan Pasal 1 angka 3 ini tidak mengalami perubahan.
60
3. Macam-macam Keputusan Secara teoretis dalam Hukum Administrasi Negara, dikenal ada beberapa macam dan sifat keputusan, yaitu sebagai berikut. a.
Keputusan Deklaratoir dan Keputusan Konstitutif Keputusan deklaratoir adalah keputusan yang tidak mengubah hak dan kewajiban yang telah ada, tetapi sekadar menyatakan hak dan
kewajiban
tersebut
(rechtsvaststellende
beschikking).
Penetapan/keputusan itu dikatakan sifatnya deklaratoir artinya penetapan tersebut dimaksudkan untuk menetapkan mengikatnya suatu hubungan hukum.94 Keputusan yang bersifat konstitutif dapat berupa hal-hal sebagai berikut : 1) Beschikking die een verplichting opleggen om iets te doen, te laten, of te dulden, (keputusan-keputusan yang meletakkan kewajiban untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau memperkenalkan sesuatu); 2) Beschikking welke aan een persoon, een instelling of een zaak een status verlemen, waardoor op die persoon of die zaak bepalde rechtsregel van toepassing worden, (keputusankeputusan yang memberikan status pada seseorang, lembaga, atau perusahaan, dan oleh karena itu seseorang atau perusahaan itu dapat menerapkan aturan hukum tertentu);
94
Indroharto, op.cit., hlm. 181.
61
3) Beschikking welke een prestatie van de overheid in het vooruitzicht stellen, (keputusan-keputusan yang meletakkan prestasi atau harapan pada perbuatan pemerintah = subsidi atau bantuan, pen); 4) Beschikking welke iets toestaan wat tevoren niet geoorlofd was, (keputusan yang mengizinkan sesuatu yang sebelumnya tidak diizinkan); 5) Beschikking welke aan beschikkingen van lagere organen werking verlenen of bestaande werking ontnemen, (keputusankeputusan yang menyetujui atau membatalkan berlakunya keputusan
organ
yang
lebih
rendah
=
pengesahan
{goedkeuring} atau pembatalan {vernietiging}, pen).95 b.
Keputusan yang Menguntungkan dan yang Memberi Beban Keputusan yang bersifat menguntungkan (begunstigende beschikking) artinya keputusan itu memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang tanpa adanya keputusan itu tidak akan ada atau bilamana keputusan itu memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada.96 Juga dikatakan oleh Indroharto,97 bersifat menguntungkan artinya penetapan/keputusan itu memberikan hak-hak yang sebelumnya tidak ada seperti pemberian subsidi, pengangkatan, pemberian SIM dll.
95
C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 68-69. Ridwan HR, op.cit., hlm. 158. 97 Indroharto, op.cit., hlm. 182. 96
62
Keputusan yang memberi beban (belastende beschikking) adalah keputusan yang meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau keputusan mengenai penolakan terhadap permohonan untuk memperoleh keringanan.98 c.
Keputusan Eenmalig dan Keputusan yang Permanen Keputusan Eenmalig adalah keputusan yang hanya berlaku sekali atau keputusan sepintas lalu, yang dalam istilah lain disebut keputusan yang bersifat kilat (vluctige beschikking) seperi IMB atau izin untuk mengadakan rapat umum. Sedangkan keputusan permanen adalah keputusan yang memiliki masa berlaku yang relatif lama. WF. Prins menyebutkan beberapa keputusan yang dianggap sebagai keputusan ‘sepintas lalu’, yaitu : 1) Keputusan yang bermaksudkan mengubah teks keputusan yang terdahulu; 2) Keputusan negatif. Sebab, keputusan semacam ini maksudnya untuk tidak melaksanakan sesuatu hal dan tidak merupakan halangan untuk bertindak, bilamana terjadi perubahan dalam anggapan atau keadaan; 3) Penarikan kembali atau pembatalan. Seperti halnya dengan keputusan negatif, penarikan kembali atau pembatalan tidak membawa hasil yang positif dan tidak menjadi halangan untuk mengambil keputusan yang identik dengan yang dibatalkan itu;
98
Ridwan HR, op.cit., hlm. 159.
63
4) Pernyataan dapat dilaksanakan.99 d.
Keputusan yang Bebas dan yang Terikat Keputusan yang bersifat bebas adalah keputusan yang didasarkan pada kewenangan bebas (vrije bevoegdheid) atau kebebasan bertindak yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara baik dalam bentuk kebebasan kebijaksanaan maupun kebebasan interpretasi. Juga dikatakan bersifat bebas apabila peraturan dasarnya itu memberikan kebebasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk menentukan sendiri bagaimana atau
perlu
tidaknya
ia
mengeluarkan
penetapan
yang
bersangkutan.100 Keputusan yang terikat adalah keputusan yang didasarkan pada kewenangan
pemerintahan
yang
bersifat
terikat
(gebonden
bevoegdheid), artinya keputusan itu hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya ruang kebebasan bagi pejabat yang bersangkutan.101 e.
Keputusan Positif dan Negatif Keputusan positif adalah keputusan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai keputusan, sedangkan keputusan negatif adalah keputusan yang tidak menimbulkan perubahan keadaan hukum yang telah ada. Keputusan positif terbagi dalam lima golongan, yaitu :
99
WF. Prins dan Kosim Adisapoetra, op.cit., hlm. 68. Indroharto, op.cit., hlm. 183. 101 Ridwan HR, op.cit., hlm. 160. 100
64
1) Keputusan, yang pada umumnya melahirkan keadaan hukum baru; 2) Keputusan, yang melahirkan keadaan hukum baru bagi objek tertentu; 3) Keputusan, yang menyebabkan berdirinya atau bubarnya badan hukum; 4) Keputusan, yang membebankan kewajiban baru kepada seseorang atau beberapa orang (perintah); 5) Keputusan, yang memberikan hak baru kepada seseoang atau beberapa orang (keputusan yang menguntungkan).102 Keputusan negatif dapat berbentuk pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd verklaring), pernyataan tidak diterima (nietontvankelijk verklaring) atau suatu penolakan (afwijzing. Keputusan negatif yang dimaksudkan di sini adalah keputusan yang ditinjau dari akibat hukumnya yakni tidak menimbulkan perubahan hukum yang telah ada. f.
Keputusan Perorangan dan Kebendaan Keputusan
perorangan
(prsoonlijk
beschikking)
adalah
keputusan yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi orang tertentu atau keputusan yang berkaitan dengan orang, seperti keputusan tentang pengangkatan atau pemberhentian seseorang
102
WF. Prins dan Kosim Adisapoetra, op.cit., hlm. 60.
65
sebagai pegawai negeri, atau sebagai pejabat negara, keputusan mengenai surat izin mengemudi, dan sebagainya. Sedangkan keputusan kebendaan (zakelijk beschikking) adalah keputusan yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan atau keputusan yang berkaitan dengan benda, misalnya sertifikat hak tanah. Dapat terjadi suatu keputusan itu dikategorikan bersifat perorangan sekaligus kebendaan, misalnya surat izin mendirikan bangunan atau izin mendirikan industri. Dalam hal ini keputusan itu memberikan hak kepada seseorang yang akan mendirikan bangunan atau industri (tertuju pada orang), dan di sisi lain keputusan itu memberikan keabsahan didirikannya bangunan atau industri (tertuju pada benda).103
F. Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Kata perlindungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti tempat berlindung atau merupakan perbuatan (hal) melindungi, misalnya memberi perlindungan kepada orang yang lemah.104 Menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh 103
Ridwan HR, op.cit., hlm. 161. W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan XI, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 600 104
66
dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.105 Jadi perlindungan hukum adalah suatu perbuatan hal melindungi subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi. Menurut Philipus M. Hadjon, Negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa,
Kemanusiaan,
Persatuan,
Permusyawaratan, serta Keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama. Perlindungan hukum di dalam negara yang berdasarkan Pancasila maka
asas
yang
penting
ialah
asas
kerukunan
berdasarkan
kekeluargaan.106 Asas kerukunan berdasrkan kekeluargaan menghendaki bahwa upaya-upaya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan masyarakat
sedapat
mungkin
ditangani
oleh
pihak-pihak
yang
bersengketa. Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang 105
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1991, hlm. 38. 106 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum..., op.cit., hlm. 84.
67
mengedepankan diri sebagai negara hukum. Namun sepeti disebutkan Paulus E. Lotulung, masing-masing negara mempunyai cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum itu diberikan.107 Berkaitan dengan perlindungan hukum di bidang Hukum Administrasi Negara akan dijabarkan mengenai macam-macam perbuatan pemerintah yang memungkinkan lahirnya kerugian bagi masyarakat dan/atau bagi seseorang atau badan hukum perdata. Secara umum ada tiga macam perbuatan pemerintahan yaitu perbuatan pemerintahan dalam bidang pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling), perbuatan pemerintah dalam penerbitan keputusan (beschikking) dan perbuatan pemerintah dalam bidang keperdataan (materiele daad). Dua bidang pertama terjadi dalam bidang publik, dan karena itu tunduk dan diatur berdasarkan hukum publik, dan yang terakhir khusus dalam bidang perdata, dan karenanya tunduk dan diatur berdasarkan hukum perdata.108 2. Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata Kedudukan pemerintah yang serba khusus terutama karena sifatsifat istimewa yang melekat padanya, yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, telah menyebabkan perbedaan-pendapat yang berkepanjangan dalam sejarah pemikiran hukum, yaitu berkenaan dengan apakah negara dapat digugat atau tidak di depan hakim. Pemerintah dalam melaksanakan 107
Paulus E. Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 123. 108 Ridwan HR, op.cit., hlm. 268.
68
tugasnya memerlukan kebebasan bertindak dan mempunyai kedudukan istimewa dibandingkan dengan rakyat biasa.109 Berkenaan dengan kedudukan pemerintah sebagai wakil dari badan hukum publik yang dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dalam bidang keperdataan seperti jual beli, sewa menyewa, membuat perjanjian, dan sebagainya, maka dimungkinkan muncul tindakan pemerintah yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige overheidsdaad). Berkenaan dengan perbuatan pemerintah yang bertentangan dengan hukum ini disebutkan bahwa; “De burgerlijke rechter is-op het gebied van de onrechtmatige overheidsdaad-bevoedg de overheid te veoordelen tot betaling van schadevergoeding. Daarnaast kan hij in veel gevallen de overheid verbienden of gebeiden bepaalde gedragingen te verrichten”.110 (Hakim perdata-berkenaan dengan Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah- berwenang menghukum pemerintah untuk membayar ganti kerugian. Di samping itu, hakim perdata dalam berbagai hal dapat mengeluarkan larangan atau perintah terhadap pemerintah untuk melakukan tindakan tertentu). Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah tersebut merujuk pada pasal yang berlaku terhadap perseorangan, yakni Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi; “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian 109 110
Ibid., hlm. 269-270. J. Spier, Onrechmatige Overheidsdaad, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1987, hlm. 30.
69
tersebut”. Ketentuan Pasal 1365 ini telah mengalami pergeseran penafsiran, sebagaimana tampak dari beberapa yurisprudensi. Secara garis besar munculnya pergeseran penafsiran ini terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum 1919 dan sesudah 1919. Pada periode sebelum 1919 ketentuan Pasal 1365 ditafsirkan secara sempit, dengan unsur-unsur: pertama, perbuatan melawan hukum; kedua, timbulnya kerugian; ketiga, hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian; keempat, kesalahan para pelaku.111 Berdasarkan penafsiran demikian, tampak bahwa perbuatan melawan hukum berarti sama dengan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang (onrechtmatigedaad onwetmatigedaad). Interpretasi perbuatan melawan hukum sama artinya dengan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut disebabkan oleh aliran legisme, yang dominan pada saat itu. Aliran ini menganggap bahwa hukum hanyalah apa yang tercantum dalam undang-undang, di luar undang-undang tidak terdapat hukum. penafsiran yang sempit terhadap unsur-unsur perbuatan melawan hukum ini berakibat pada sempitnya perlindungan hukum yang diberikan kepada warga negara. Setelah tahun 1919 kriteria perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut: pertama, mengganggu hak orang lain; kedua, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; ketiga, bertentangan dengan kesusilaan; keempat, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian 111
N.E. Algra/H.C.J.G. Janssen, Rechtsingan een Orientatie in het Recht, H.D. Tjeenk Willinkn bv, Groningen, 1974, hlm. 85.
70
dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap benda orang lain.112 Dengan adanya perluasan penafsiran ini, maka perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada warga negara juga semakin luas. Adanya perluasan penafsiran ini dalam praktik peradilan mengalami kesulitan. Menurut Indroharto, kesulitan ini muncul karena cara pemerintah ikut dalam pergaulan masyarakat itu dilakukan menurut cara-cara yang serba khusus, sedangkan ukuran kepatutan yang ingin diterapkan tersebut sebenarnya hanya bisa 100% berlaku bagi pergaulan antarwarga masyarakat saja dan sulit dikatakan bahwa telah tumbuh dan berkembang norma-norma kelakuan dalam pergaulan antarwarga masyarakat dengan pemerintah.113 Di Indonesia ada dua yurisprudensi Mahkamah Agung yang menunjukkan pergeseran kriteria perbuatan melawan hukum oleh penguasa; pertama, putusan MA dalam perkara Kasum (putusan No. 66K/Sip/1952), yang dalam kasus ini MA berpendirian bahwa perbuatan melawan hukum terjadi apabila ada perbuatan sewenang-wenang dari pemerintah atau merupakan tindakan yang tiada cukup anasir kepentingan umum; kedua, putusan MA dalam perkara Josopandojo (putusan No. 838K/Sip/1970), yang dalam kasus ini MA berpendirian bahwa kriteria onrechmatige overheidsdaad adalah undang-undang dan peraturan formal yang berlaku, kepatutan dalam masyarakat yang harus dipatuhi oleh 112
P.J.P. Tak, Rechtsvorming in Nedeland, Samsom H.D. Tjeek Willink, Open Universiteit, 1991, hlm. 349. 113 Indroharto, op.cit., hlm. 248.
71
penguasa, dan perbuatan kebijakan dari pemerintah tidak termasuk kompetensi pengadilan.114 Bahwa putusan MA ini jelas menunjukkan bahwa kriteria perbuatan melawan hukum oleh pemerintah adalah : a) perbuatan penguasa itu melanggar undang-undang dan peraturan formal yang berlaku; b) perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhinya.115 Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan hukum pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik, dilakukan melalui peradilan umum. Kedudukan pemerintah atau administrasi negara dalam hal ini tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata, yaitu sejajar. Sehingga pemerintah dapat menjadi tergugat maupun penggugat. Dalam konteks inilah prinsip kedudukan yang sama di deopan hukum terimplementasi. Dengan kata lain, hukum perdata memberikan perlindungan yang sama baik kepada pemerintah maupun seseorang atau badan hukum perdata.116 3. Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan-keputusan pemerintah yang bersifat sepihak. Dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemerintahan 114
Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 118-119. Muchsan, Ibid., hlm. 28. 116 Ridwan HR, op.cit., hlm. 274. 115
72
itu tergantung pada kehendak pihak lain dan tidak diharuskan ada persesuaian kehendak (wilsovereenstemming) dengan pihak lain. Mengapa warga negara harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan pemerintah ? Ada beberapa alasan, yaitu pertama, karena dalam berbagai hal warga negara dan badan hukum perdata tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah, seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan untuk usaha perdagangan, perusahaan, atau pertambangan. Karena itu warga negara dan badan hukum perdata perlu mendapat perlindungan hukum, terutama untuk memperoleh kepastian hukum dan jaminan keamanan, yang merupakan faktor penentu bagi kehidupan dunia usaha; kedua, hubungan antara pemerintah dengan warga negara tidak berjalan dalam posisi sejajar, warga negara sebagai pihak yang lebih lemah dibandingkan dengan pemerintah; ketiga, berbagai perselisihan warga negara dengan pemerintah itu berkenaan dengan keputusan, sebagai instrumen pemerintah yang bersifat sepihak dalam melakukan intervensi terhadap kehidupan warga negara. Perbuatan keputusan yang didasarkan pada kewenangan bebas (vrije bevoegdheid), akan membuka peluang terjadinya pelanggaran hak-hak warga negara.117 Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Pada perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
117
Van Wijk, H.D., en Willem Konjinenbelt, op cit, hlm. 533-535.
73
pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.118 Di Indonesia perlindungan hukum bagi rakyat akibat tindakan hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan, tergantung dari instrumen hukum yang digunakan pemerintah ketika melakukan tindakan hukum. Telah disebutkan bahwa instrumen hukum yang lazim digunakan adalah peraturan perundang-undangan dan keputusan. Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya peraturan perundang-undangan ditempuh melalui Mahkamah Agung, dengan cara hak uji materiil, sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan,
yang menegaskan bahwa
“Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undanagn di bawah undang-undang”. Ketentuan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terdapat pula dalam Pasal 20 ayat 2 huruf b UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
118
Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 2.
74
Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Dalam rangka perlindungan hukum, sebagaimana tampak di atas, terdapat tolok ukur untuk menguji secara materiil suatu peraturan perundang-undangan yaitu bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan bertentangan atau tidak dengan kepentingan umum, “Vernietiging kan plaatsvinden wegens; a) strijd met de het recht, zelfs de wet in formele zin; b) strijd met het algemeen belang”.119 Khusus mengenai peraturan perundang-undangan tingkat daerah, pembatalan sering diterapkan dalam arti pembatalan spontan, yakni pembatalan atas dasar inisiatif sendiri dari organ yang berwenang menyatakan pembatalan, tanpa melalui proses peradilan,120 dan tujuan utama dari pembatalan ini adalah untuk pengawasan jalannya pemerintahan tingkat daerah dan untuk perlindungan hukum (rechtsbescherming).121 Perlindungan
hukum
(beschikking)
ditempuh
administratif
(administratief
akibat
melalui
dua
beroep)
dikeluarkannya kemungkinan, dan
peradilan
keputusan yaitu
upaya
administrasi
(administatieve rechtspraak). Hal tersebut juga diatur di Indonesia berdasarkan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, di mana perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui upaya administartif dan melalui
119
C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 232. Ibid, hlm. 231. 121 Algemene Bepalingen van Administratief Recht, op.cit., hlm. 281. 120
75
PTUN. Ketentuan mengenai upaya administratif ini terdapat dalam Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut: 1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia; 2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Upaya administratif ini ada dua macam, yaitu banding administratif dan prosedur keberatan. Banding administratif, yaitu penyelesaian sengketa tata usaha negara dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang disengketakan, sedangkan prosedur keberatan adalah penyelesaian sengketa tata usaha negara dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004 yang berbunyi; ”Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atu tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”. Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN alasan mengajukan gugatan, yang terdapat pada Pasal 53 ayat (2) ini ada perubahan, yaitu menjadi sebagai berikut.
76
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam penjelasan huruf b disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas : a. b. c. d. e. f. g.
Kepastian hukum; Tertib penyelenggaraan negara; Kepentingan umum; Keterbukaan; Proporsionalitas; Profesionalitas; Akuntabilitas.
G. Tinjauan Terhadap Kewenangan Pengadilan Di Indonesia, pengaturan tentang Kekuasaan Kehakiman telah dirumuskan dalam amandemen Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan : (1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; (2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
77
Juga di dalam Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dari Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tersebut antara lain dapat diketauhi bahwa di Indonesia terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Mengenai relevansi terhadap pembahasan yang akan dibahas lebih lanjut adalah Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. 1.
Lingkungan Peradilan Umum Di dalam ketentuan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 25 ayat (2) menyebutkan bahwa “Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” serta dalam Pasal 50 UU No 2 Tahun 1986 yang menentukan : “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.” Sekarang di Indonesia pengaturan tentang Peradilan Umum diatur dengan UU No. 2 Tahun 1986, kemudian diperbarui dengan UU No. 8
78
Tahun 2004 dan diperbarui kembali dengan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. Peradilan umum meliputi: 1. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota; 2. Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi; 3. Pengadilan Khusus diatur berasarkan Pasal 8 ayat (1) UU No. 49 Tahun 2009, “Di lingkungan Peradilan Umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang. Pengadilan tersebut terdiri dari : a. Pengadilan Anak; b. Pengadilan Niaga; c. Pengadilan Hak Asasi Manusia; d. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi; e. Pengadilan Hubungan Industrial; f. Pengadilan Perikanan. 2.
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Di dalam ketentuan UU No 48. Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (5) menyebutkan bahwa “Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
79
undangan.” Saat ini undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah UU No. 5 Tahun 1986 lalu diperbarui dengan UU No. 9 Tahun 2004, dan diperbarui kembali dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Berkaitan dengan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara terdapat di dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa : “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara”. Pengertian sengketa Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang menyebutkan : “Sengketa TUN adalah sengketa dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara”. Berdasarkan pengertian sengketa Tata Usaha Negara tersebut berarti terjadinya sengketa Tata Usaha Negara disebabkan oleh karena keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara. Adapun pengertian Keputusan Tata Usaha Negara ditentukan dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 yang menentukan bahwa : “KTUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN, yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final dan menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata”.
80
Keputusan
Tata
Usaha
Negara
sebagai suatu
tindakan
pemerintah tentunya dapat menimbulkan kerugian bagi kepentingan orang atau badan hukum perdata, apabila Keputusan Tata Usaha Negara merugikan kepentingan orang atau badan hukum perdata maka pihak yang dirugikan mempunyai hak gugat sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa : “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi. “ Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas,
maka
berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dapat dideskripsikan sebagai berikut : 1) Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu mengadili sengketa Tata Usaha Negara; 2) Sengketa Tata Usaha Negara hanya dapat terjadi sebagai akibat keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara; 3) Subjek hukum Penggugat yakni orang atau badan hukum perdata; 4) Subjek hukum Tergugat yakni badan atau pejabat Tata Usaha Negara; 5) Tuntutan pokoknya yakni agar Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dinyatakan batal atau tidak sah.
81
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian Yuridis Normatif. Menurut Jhony Ibrahim, metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dan sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu normatif, yaitu ilmu hukum yang obyeknya hukum itu sendiri.122 1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk itu peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: a. b.
c.
122
Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang, 2006, hlm. 57.
82
2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach) Konsep memiliki banyak pengertian yang diantaranya adalah unsure-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadangkala merujuk pada hal-hal yang universal yang diabstraksikan dari hal-hal yang partikular.123 Pendekatan ini berfungsi untuk memunculkan suatu objek yang menarik perhatian dari sudut pandang praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu. Dalam menggunakan pendekatan ini, peneliti perlu merujuk pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip ini dapat diketemukan dalam undang-undang maupun padangangan (doktrin) para sarjana.124 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian inventarisasi peraturan perundang-undangan dan penelitian terhadap taraf sinkronisasi C. Lokasi Penelitian Pencarian bahan hukum akan dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Unsoed serta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman dan Pengadilan Negeri Purwokerto. D. Sumber Bahan Hukum Pada penelitian normatif, data sekunder merupakan data pokok atau utama yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan objek 123 124
Ibid., hlm. 306. Ibid., hlm. 318.
83
penelitian. Menurut Soerjono dan Sri Mamudji, data sekunder (bahanbahan pustaka) terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.125 Diantaranya dapat dijabarkan sebagai berikut: 1.
Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki UndangUndang Dasar 1945, Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah(Perda), dan Peraturan Bupati (Perbup). Peraturan perundang-undangan yang digunakan penulis sebagai bahan hukum primer yaitu : a. Undang-Undang Dasar 1945; b. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; c. UU No. 5 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; d. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; e. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; f. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; g. UU No. 2 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; h. UU No. 2 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 8 Tahun 2004 dan diperbarui kembali dengan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum; i. UU No. 5 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan diperbarui kembali dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; j. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2.
Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnaljurnal hukum, kasus-kasus hukum, dan yurisprudensi. Dalam penulisan ini, bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku teks yang 125
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 14
84
berkaitan dengan Hukum Administrasi Negara dari berbagai para ahli Hukum
Administrasi
Negara
serta
Putusan
perkara
No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt. . 3.
Bahan Hukum Tersier, adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.126 Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus umum bahasa Indonesia.
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Data Sekunder yang berupa bahan hukum primer (Peraturan Perundangundangan, bahan hukum yang dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum lainnya), bahan hukum sekunder (hasil penelitian, buku-buku hukum, dan hasil karya ilmiah di bidang hukum) dan bahan hukum tersier (KBBI, kamus hukum, ensiklopedia) dipelajari guna mendapatkan landasan teori berupa pendapat atau tulisan-tulisan para ahli dan juga untuk memperoleh informasi yang ada relevansinya dengan penulis dengan cara mengutip baik itu mengutip peraturan perundang-undangan, buku, doktrin para ahli, serta dari sumber bahan hukum lainnya. F. Metode Penyajian Bahan Hukum Bahan hukum berupa Data Sekunder (primer, sekunder, dan tersier) yang didapat oleh penulis kemudian dilakukan klasifikasi dan inventarisasi terhadap bahan hukum tersebut. Data yang diperoleh akan disusun secara
126
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1981, hlm. 296.
85
sistematis dan logis. Sehingga antara bahan hukum yang satu dengan yang lain memiliki hubungan yang dapat menjawab permasalahan hukum yang ada pada penelitian ini. Peneliti akan menggunakan sistem kartu, dimana bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dipaparkan, disistematisasi, kemudian dilakukan analisis untuk menemukan jawaban permasalahan yang ada dan penelitian ini dapat menjawab dan mengungkap kebenaran yang ada.127 G. Metode Analisis Bahan Hukum Analisis terhadap bahan hukum dalam penelitian ini logika deduktif dengan menggunakan silogisme untuk membangun preskripsi kebenaran hukum. Menempatkan peraturan perundang-undangan, asas-asas, serta doktrin menjadi premis mayor. Sedangkan premis minor menggunakan peristiwa atau fakta hukum yang ada. Analisis tehadap bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.128
127 128
Jhony Ibrahim, op cit., hlm. 296. Ibid, hlm. 393.
86
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN Hasil Penelitian yang berupa Putusan Majelis Hakim Pengadilan Neageri Purwokerto No.: 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt diuraikan secara sistematis sebagai berikut : 1.
Para Pihak yang Berperkara 1.1. Penggugat a. Fransiscus Xaverius Untung Gunawan, Laki-laki, lahir di Banjarnegara, 05 Desember 1944 (± 65 tahun) beragama Katholik, pekerjaan wiraswasta, beralamat di Jln. RA. Wiryaatmaja No. 25 RT. 001/RW. 004 Desa Kedungwuluh, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, sekarang beralamat di Perum Limnas Agung P-5 No. 11 RT. 003 RW. 012 Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah untuk selanjutnya disebut sebagai Penggugat I; b. Fransisca Lana Riani, Perempuan, lahir di Purwokerto 28 Oktober 1946 (± 63 tahun) beragama Katholik, pekerjaan wiraswasta, beralamat di Jln. RA. Wiryaatmaja No. 25 RT. 001/RW. 004 Desa Kedungwuluh, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Basnyumas, Provinsi Jawa Tengah, sekarang beralamat di Perum Limnas Agung P-5 No. 11 RT. 003 RW.
87
012 Kelurahan Bancarkembar, Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah untuk selanjutnya disebut sebagai Penggugat II; 1.2. Tergugat a. Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purowkerto, Jln. Prof. Dr. H. Bunyamin No. 708 Kotak Pos 115 Purwokerto Kabupaten Banyumas 5312, selanjutnya disebut sebagai Tergugat I; b. Pemerintah Republik Indonesia C/q Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia , C/q Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DITJEN DIKTI), berkedudukan di Jakarta, beralamat di Jln. Jenderal Sudirman Pintu I Senayan Jakarta Pusat, selanjutnya disebut sebagai Turut Tergugat I; c. Kantor Pertanahan Kebupaten Banyumas Pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dati II Kabupaten Banyumas; berkedudukan di Purwokerto, beralamat di Jln. Jenderal Sudirman No. 35-358 Purwokerto Kabupaten Banyumas, selanjutnya disebut sebagai Turut Tergugat II; d. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas, berkedudukan di Purwokerto, beralamat di Jln. Alun-alun No. 1 Purwokerto Kabupaten Banyumas selanjutnya disebut sebagai Turut Tergugat III;
88
e. Pemerintah Republik Indonesia C/q. Menteri Keuangan Republik Indonesia; Pada Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Kantor Wilayah Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta, Kantor Pelayanan
Kekayaan
Negara
dan
Lelang
(KPKLN)
Purwokerto, beralamat di Jln. Pahlawan No. 876 Purwokerto 53143, selanjutnya disebut sebagai Turut Tergugat IV. 2.
Objek Gugatan Berdasarkan dalil Penggugat, yang menjadi objek gugatannya yaitu: Tanah seluas ± 122,5 m2 (Kuang lebih Seratus dua puluh dua setengah meter persegi) tersebut masuk dan tertulis dalam Sertifikat Hak Pakai No. 0001/Kel. Pabuaran Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. 00031/Pabuaran /2008 NIB : 11.27.74.05.01645 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta. Dalam gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH), seharusnya yang dijadikan objek gugatan adalah suatu perbuatan, bukan suatu benda (benda tersebut umpamanya berupa sebidang tanah). Dalam perkara aquo, seharusnya yang dijadikan objek gugatan adalah berupa “perbuatan/tindakan Tergugat (UNSOED) mendirikan bangunan” yang menurut dalil Penggugat tindakan berupa mendirikan bangunan tersebut termasuk dalam PMH yang merugikan Penggugat.
3.
Kasus Posisi menurut Pihak Penggugat Kasus posisi menurut Penggugat dapat dijabarkan sebagai berikut :
89
3.1. Bahwa Para Penggugat adalah pasangan Suami Istri dan pemilik yang sah terhadap tanah pekarangan sebagaimana tersebut dalam : a.
Sertifikat Hak Milik No. 02158/Kel. Bancarkembar Surat Ukur tanggal 20-03-1999 No. 1011/BANCARKEMBAR/1999 luas 760 m2 tertulis atas nama Franciscus Xaverius UNTUNG GUNAWAN dengan batas-batas sebagai berikut : -
Sebelah Utara
: Tanah Pekrangan Ny. Lana Riani
-
Sebelah Timur
: Saluran Irigasi dan Objek sengketa /
UPT Percetakan dan Penerbitan UNSOED / Toko Borneo; -
Sebelah Selatan
: Tanah Negara dalam pengelolaan
UNSOED; -
Sebelah Barat
: Sungai Caban;
b. Serifikat Hak Milik No. 02718/Kel. Bancarkembar Suart Ukur tanggal 12-08-2003 No. 00047/2003 luas 2.512 m2 tertulis atas nama FRANSISCA LANA RIANI dengan batas-batas sebagai berikut : -
Sebelah Utara
: Tanah Pekarangan Ariston;
-
Sebelah Timur
: Saluran Irigasi dan Objek sengketa
-
Sebelah Selatan
: tanah pekarangan FX. Untung
Gunawan; -
Sebelah Barat
: Sungai Caban;
3.2. Bahwa disebelah depan atau Timur dari Tanah-tanah Pekarangan Milik Para Penggugat tersebut terdapat Tanah Sepanjang 24,5 m2
90
(Dua Puluh Empat Setengah Meter) dan lebar 5 m (Lima Meter) yang oleh karenanya Seluas ± 122.5 m2 (Kurang Lebih Seratus Dua Puluh Dua setengah meter pesegi) tertulis atas nama Tergugat I (Kesatu) yang dalam pengelolaan Tergugat dan tanpa ijin pemanfaatan dari Turut Tergugat IV (Keempat) yang batas-batasnya adalah : -
Utara
: Awalnya adalah jalur hijau sekarang masuk dalam
Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran Suart Ukur tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis
atas
nama
:
Departemen
Pendidikan
Nasional
berkedudukan di Jakarta; -
Timur
: Jalan Prof. Dr. Boenyamin;
-
Sealatan
:
Gedung
UPT
Percetakan
dan
Penerbitan
UNSOED; -
Barat
: Saluran Irigasi/Tanah Pekarangan Para Penggugat;
Bahwa tanah Seluas ± 122.5 m2 (Kurang Lebih Seratus Dua Puluh Dua setengah meter pesegi) tersebut masuk dan tertulis dalam Serifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran Suart Ukur tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 NIB : 11.27.74.05.01645 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan nasional berkedudukan di Jakarta; Selanjutnya mohon disebut dengan = Objek Sengketa;
91
3.3. Bahwa pada waktu Para Penggugat membeli tanah-tanah miliknya kira-kira pada tahun 1986-an Akses untuk masuk ke Tanah milik Para Penggugat tersebut hanyalah Parit/Selokan Saluran Irigasi yang membatasi bahu dan Sempadan Jalan Prof. Dr. Boenyamin dan pada waktu itu hanya ada satu bangunan paling Selatan yakni : Gedung yang awalnya digunakan untuk Radio Unsoed kemudian dipakai Gedung Menwa dan Sekarang Gedung UPT Percetakan dan Penerbitan UNSOED Purwokerto yang lama-kelamaan di sebelah Utaranya yang merupakan Objek sengketa berdiri bangunanbangunan semi permanen yang dahulu digunakan untuk (dari sebelah utara ke selatan) : a.
Gedung yang disewakan untuk sebagian Kopkun, sekarang sudah tidak digunakan lagi;
b.
Gedung yang disewakan untuk BNI 46 kemudian Warung Ayam Goreng, Warung Kelapa Muda, Warung Pisang Coklat dan sekarang sudah tidak digunakan lagi;
c.
Gedung yang dahulu disewakan untuk Kantor Pos Wilayah Purwokerto Utara sekarang sudah tidak digunakan lagi;
d.
Gedung yang disewakan untuk Wartel sekaranag sudah tidak digunakan lagi.
3.4. Bahwa ternyata bangunan-bangunan Semi permanen di atas Objek sengketa
tersebut
di-daku
Milik
UNSOED/Tergugat
dan
keberadaannya menutup akses Jalan ke tanah Pekarangan milik Para
92
Penggugat sehingga sudah sejak tahun 2004 Para Penggugat mempunyai permasalahan/sengketa dengan pihak Tergugat dan Para Penggugat berusaha untuk menyelesaikan baik dengan Pihak UNSOED (Tergugat) langsung maupun melalui Fasilitator dari Turut Tergugat III (Ketiga) yang hingga Gugatan ini diajukan tidak pernah ada titik temu penyelesaian; 3.5. Bahwa Para Penggugat Inpersona sejak tahun 2004 berusaha mencari tahu dan mencari Solusi penyelesaian atas tanah-tanah yang pada awalnya Para Penggugat Ketahui sebagai Jalur Hijau atau Sempadan jalan dan berdasarkan Keterangan-keterangan Kepala Dinas Cipta Karya pada tanggal 2 Desember 2004 yang semuanya termuat dalam Notulen Resume Rapat di Aula Dinas Cipta Karya memberikan keterangan sebagai berikut : “Lokasi tersebut berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2002 Tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota dengan rencana Kedalaman rencana Detail Tata Ruang Kota Purwokerto Jo. Perda No. 6 Tahun 2002 bahwa sepanjang Jalan Prof. Bunyamin adalah jalan kolektor Primer dengan rencana pemanfaatan ruang di kawasan tersebut merupakan kawasan campuran” 3.6. Bahwa berdasarkan dari Informasi dan Keterangan dari berbagai Instansi terkait yang ada pada Turut Tergugat III (Ketiga) jelas dapat disimpulkan bahwa Pada awalnya kawasan yang merupakan Objek
93
sengketa tersebut adalah Jalur Hijau atau Sempadan Jalan yang ada pada jalan Prof. Dr. Boenyamin Purwokerto; 3.7. Bahwa karena sejak tahun 2004 tidak ada Solusi penyelesaian yang berarti maka sejak 22 Maret 2010 para Penggugat melalui Kami penasehat Hukumnya berusaha mencari tahu dan memohon Konfirmasi atas Objek Sengketa baik mengenai Stastus-nya maupun ijin-ijin yang menyertainya dan baru mendapatkan Konfirmasi dari Kepala Badan Penanaman Modal dan pelayanan PerIjinan (BPMPP) Kabupaten Banyumas melalui suratnya No. 503/999/2010 tertanggal 18 Mei 2010 menjawab dan memberi penegasan bahwa : “Dengan ini kami beritahukan bahwa setelah diadakan penelitian data administrasi dan hasil klarifikasi peninjauan di lokasi terhadap bangunan-bangunan : -
Bangunan Gedung UPT Percetakan dan Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman;
-
Bangunan Kantor Pos Purwokerto Utara;
-
Bangunan Koperasi Mahasiswa;
-
Bangunan Toko Serba Ada;
Terhadap bangunan-bangunan tersebut ternyata belum memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB); 3.8. Bahwa terhadap Kejelasan dan Konfirmasi akan Status hak atas Tanah dalam Objek Sengketa, Kantor Pertanahan Kabupaten banyumas (Turut Tergugat II/KEDUA) tidak pernah menanggapi
94
dan atau memberi Jawaban atas Konfirmasi Kami dan karena tidak pernah mendapat Konfirmasi yang jelas dan tertulis akan Status Tanah yang ada disebelah Timur Tanah Milik Para Penggugat akhirnya Para Penggugat melaporkan dan meminta bantuan dari Pihak Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Tengah dan DIY dimana Turut Tergugat II (KEDUA) selaku Birokrasi dan Administrasi Pemerintah yang Sah dan berwenang untuk itu tidak memberikan Pelayanan publik secara baik dan benar serta transparansi akan Status Hak Kepemilikan Tanah yang ada di sebelah Timur milik PARA PENGGUGAT. Hasilnya Para Penggugat sangat terkejut di mana di sebelah Timur/dekat Tanah-tanah milik Para Penggugat yang diatasnya berdiri bangunan Semi Permanen yang pada waktu itu di-daku milik Tergugat dan tidak pernah mempunyai Ijin Mendirikan Bangunan yang awalnya merupakan Jalur Hijau/Sepadan Jalan dimana bangunan-bangunan tersebut melanggar Garis Sepadan Bangunan (GSB) serta Garis Sepadan Sungai/Saluran Irigasi (GSS) di belakangnya dan pada saat itu sudah tidak digunakan lagi dan sudah sejak tahun 2004 timbul sengketa dan permasalahan dengan Para Penggugat secara diam-diam telah diajukan permohonan oleh Rektor UNSOED dan terbit Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. : SK29/530.3/11.27/2008 yakni Pemberian
95
Hak atas Tanah yang merupakan Jalur Hijau/Sepadan Jalan dan telah terbit sebagaimana dalam : Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Pabuaran
Surat
Ukur
tanggal
09/10/2008
No.
:
00031/Pabuaran/2008 NIB : 11.27.74.05.01645 seluas 1.919 m2 tertulis
atas
nama
Departemen
Pendidikan
Nasional
berkedudukan di Jakarta diterbitkan tanggal 12-03-2009 ttd Ir. YUSWANTO DWI KRISMASTONO NIP. 010164363 di mana di kolom Petunjuk tertulis : a.
Pemberian hak atas Tanah Negara;
b.
Penggunaannya
untuk
Kampus
Universitas
Jenderal
Soedirman Purwokerto. 3.9. Bahwa Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31-12-2008 No.: SK29/530.3/11.27/2008 yang diputuskan berdasarkan Surat Permohonan Rektor Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto sepanjang menyangkut Objek Sengketa adalah didasari Itikad Tidak Baik dan Tidak Sah KARENA jelas bahwa Pemberian Hak tersebut adalah diatas Jalur Hijau/Sepadan Jalan dan pada saat diberikan masih terdapat sengketa dengan Para Penggugat, dimana kalau dilihat dari kolom Petunjuk jelas Penggunaannya Tanah tersebut tidak dapat dipergunakan yakni untuk Kampus Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Karena Tidak mungkin terbit Ijin Mendirikan Bangnan (IMB) Sehingga jelas bahwa terbitnya
96
Sertifikat Hak Pakai No. 0001/Kel. Pabuaran/2008 NIB : 11.27.74.05.01645 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta yang di dalamnya terdapat Objek Sengketa adalah didasari atas Perbuatan yang di manipulasi untuk melegalkan Jalur Hijau/Sepadan Jalan sebagai Tanah Negara yang dikelola oleh UNSOED Padahal secara senyatanya hanya untuk menghalang-halangi masuk ke Tanah Pekarangan milik Para Penggugat dan mengesampingkan Fungsi Tanah sebagai Fungsi Sosial; 3.10. Bahwa telah ternyata Hasil pengelolaan atas Asset Negara tersebut pada Objek Sengketa tersebut telah dilakukan oleh “Oknum-oknum” tertentu yang mempunyai kepentingan pribadi karena nyata-nyata pengelolaan Objek Sengketa telah beberapa kali disewakan kepada pihak ketiga tanpa dapat dipertanggung-jawabkan secara jelas dan transparan. Selain daripada itu Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel.Pabuaran/2008 Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. 00031/Pabuaran/2008 NIB : 11.27.74.05.01645 seluas 1.919 m2 tertulis
atas
nama
Departemen
Pendidikan
Nasional
berkedudukan di Jakarta yang di dalamnya terdapat Objek Sengketa dan berdiri bangunan Semi permanen yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) tersebut tidak dilaporkan dan atau dicatatkan dalam Daftar Inventaris Asset Negara Secara Resmi dan Sah, Namun disamarkan dengan
97
pelaporan atas Sertifikat Hak Pakai No. 00015/Pabuaran Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. : 00030/Pabuaran/2008 seluas 11.965 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta, dimana kalau di lihat dari Gambarnya adalah sama Namun memiliki No. Induk Bidang yang berlainan yakni NIB : 11.27.74.05.01647; 3.11. Bahwa selain daripada itu Turut Tergugat II (KEDUA) dalam memberikan Surat Keputusan yang menerbitkan akan Hak atas Tanah tersebut tidak pernah meminta Keterangan-keterangan dan atau mempertimbangkan keterangan terhadap : a. Pemilik Tanah-tanah yang berbatasan dengan Objek yang akan diberi Keputusan termasuk diantaranya adalah Para Penggugat; b. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas; c. Badan Pemangku Jalan yang Berwenang baik dari Instansi Bina Marga yanga ada pada Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Serta melihat Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Pemerintah lainnya baik tentang Jalan dan atau Peraturan-Peraturan yang berhubungan dengan pemberian Hak tersebut; 3.12. Bahwa karenanya Surat Permohonan Tergugat yang melahirkan Surat
Keputusan
Turut
Tergugat
II
(KEDUA)
Sepanjang
menyangkut Objek Sengketa adalah dilandasi itikad tidak baik (Kwade Trouw), Cacat Yuridis dengan mengandung unsur
98
kekhilafan (Dwaling), kecurangan (bedrog),
tipu daya dan
merupakan Perbuatan Melawan Hukum serta sangat merugikan Para Penggugat dalam Kedudukannya sebagai Pemilik Tanah yang ada di belakangnya yang oleh karenanya harus dinyatakan Batal demi hukum atau mohon dibatalkan dengan segala konsekuensinya; 3.13. Bahwa begitu juga dengan Terbitnya Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel.Pabuaran/2008 Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 Sepanjang menyangkut Objek Sengketa haruslah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berikut dengan segala konsekuensinya; 3.14. Bahwa Objek Sengketa haruslah dikembalikan Fungsinya sebagai Jalur Hijau atau Sepadan Jalan yang mempunyai Fungsi Sosial oleh Tergugat dengan dibantu oleh Para Turut Tergugat; 3.15. Bahwa terhadap Bangunan-bangunan yang berdiri di atas Objek Sengketa karena telah beberapa kali Para Penggugat meminta Baik kepada tergugat dan atau melalui Turut Tergugat III (Ketiga) untuk memberikan Fasilitator untuk mencari Win-Win Solusi penyelesaian, namun tidak didapatkan titik temu dimana Tergugat melalui Wakilnya
selalu
“membuang”
permasalahan
tersebut
pada
Kewenangan Pusat yakni Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia; 3.16. Bahwa Para Penggugat melalui Kami Kuasanya telah Melaporkan dan
Menulis
Suart
Kepada
Menteri
Pendidikan
Nasional
99
Sebagaimana Surat Kami No. 07/B&P/XII/2011 tanggal 10 Desember 2011 dan telah ternyata Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia C/q Dirjen Dikti Republik Indonesia telah menunjuk Tim untuk melakukan Investigasi di Lapangan dan menghasilkan rekomendasi Kepada Rektor UNSOED yang pada pokoknya : “.... Dengan ini Saya sarankan agar Saudara membongkar bangunan gedung seluas 24,5 m X 5 m yang berlokasi di Jln. Prof. Dr. H. Bunyamin sesuai prosedur penghapusan barang milik Negara dan peraturan-perundang-undangan yang berlaku, karena tidak memiliki bukti Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan melanggar Garis Sempadan Bangunan (GSB) serta Garis Sempadan Sungai (GSS) Jika dibiarkan bangunan gedung tersebut berpotensi menjadi temuan Tim Pemeriksa/Auditor yang berwenang .....” 3.17. Bahwa namun demikian Pihak Tergugat tidak mau mengindahkan Suart Rekomendasi tersebut dengan berbagai alasan-alasan yang berbeli-belit yang dibuatnya sendiri untuk menyulitkan Para Penggugat meskipun telah beberapa kali di berikan Somasi baik dari Para Penggugat maupun pendekatan-pendekatan untuk mencari titik temu baik dari pihak DPRD Kabupaten Banyumas, maupun Pihak Turut Tergugat III (KETIGA) Sebagai Pihak pemegang Otoritas atas tanah-tanah dalam Objek Sengketa, Sehingga tidak ada jalan lain
100
bagi Para Penggugat untuk menempuh jalur hukum dengan Putusan Pengadilan agar para Pihak tunduk atas Putusan ini; 3.18. Bahwa berdasarkan pada ketentuan yang ada pada : 1. Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang berisi : a. Bagunan Gedung dapat dibongkar apabila : -
Tidak Laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
-
Dapat
menimbulkan
bahaya
dalam
pemanfaatan
lingkungannya; -
Tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan;
2. Pasal 61 UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang yang berisi : Dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib : a.
Menaati rencana Tata ruang yang telah ditetapkan;
b.
Memanfaatkan ruang sesuai dengan Ijin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c.
Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Ijin pemanfaatan ruang, dan;
d.
Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum;
3. Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Dasar Agraria : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi Sosial;
101
3.19. Bahwa sampai dengan saat ini di atas Objek Sengketa masih berdiri bangunan Semi permanen yang tidak mempunyai Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan melanggar GSB dan GSS serta tidak juga mendapatkan ijin pemanfaatan atas Objek Sengketa dari Turut Tergugat IV (KEEMPAT) yang oleh karenanya Mohon kepada yang terhormat Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk menghukum Kepada Tergugat dengan dibantu oleh Para Tergugat guna memulihkan dan mengembalikan Objek Sengketa pada kedudukan semula dengan membongkar seluruh bangunan yang ada di atasnya selambat-lambatnya 1 (satu) Minggu Setelah Putusan ini dapat dijalankan menurut hukum yang berlaku dengan tanpa syarat dan beban apapun juga dan bilamana perlu dengan bantuan Alat Negara; 3.20. Bahwa selain daripada itu, Apabila Objek Sengketa telah digunakan dan dipakai oleh Tergugat dan atau Orang-orang yang telah mendapat ijin darinya dan atau Siapapun yang berada dan mengelola Objek Sengketa maka Mohon kepada yang Terhormat Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk berkenaan mengosongkan Objek Sengketa dari penguasaan dan pengelolaan Tergugat dan atau Siapapun yang telah mendapat ijin dari Tergugat dan atau Siapapun yang berada dan menguasai serta mengelola Objek Sengketa untuk dikembalikan menjadi Kawasan Jalur Hijau/Sepadan Jalan selambatlambatnya 1 (satu) minggu Setelah Putusan ini dapat dijalankan
102
sebagaimana Ketentuan Hukum yang berlaku dengan tanpa syarat dan beban apapun juga dan bilamana perlu dengan bantuan alat Negara; 3.21. Bahwa dengan terhalangnya Jalan Masuk ke Pekarangan milik Para Penggugat dengan bangunan-bangunan Semi permanen yang tidak akan pernah mungkin mempunyai Ijin Mendirikan Bangunan karena telah melanggar Garis Sepadan Bangunan (GSB) dan Garis Sepadan Sungai (GSS) dan tidak juga mendapatkan ijin pemanfaatan atas Objek Sengketa dari Turut Tergugat IV (KEEMPAT) yang bangunan tersebut didaku milik Tergugat adalah merupakan Perbuatan Melawan Hukum dan sangat merugikan Para Penggugat yang kerugian tersebut apabila diperhtungkan dengan uang terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan diajukannya Gugatan ini adalah tidak kurang dari Rp. 3.700.000.000,- (Tiga Milyar Tujuh ratus Juta Rupiah) dengan perincian sebagai berikut : Kerugian Materiil : Apabila Tanah Pekarangan milik Para Penggugat tersebut digunakan untuk bisnis sejak 1 Januari 2005 sampai dengan diajukannya Gugatan ini (± 9 tahun) adalah sebesar 9 × Rp. 300.000.0000,(Perhitungan Keuntungan @ per-tahun) adalah Sebesar Rp. 2.700.000.000,- (Dua Milyar Tujuh Ratus Juta Rupiah)
103
Kerugian Immateriil : Para Penggugat merasa dipermainkan serta disepelekan sebagai yang berhak
untuk
menggunakan
Fasilitas
Umum
berupa
Jalur
Hijau/Sepadan Jalan sebagaimana Objek Sengketa yang apabila diperhitungkan dengan uang tidak kurang dari Rp. 1.000.000.000,(Satu Milyar Rupiah); 3.22. Bahwa selain kerugian di atas, Para Penggugat juga mengalami kerugian berupa hilangnya Peluang Bisnis apabila tidak terhalang Jalan Masuk ke Pekarangan milik Para Penggugat sebagai miliknya tersebut yang apabila diperhitungkan dengan uang sejak diajukannya Gugatan ini tidak kurang dari Rp. 300.000.000,- (Tiga Ratus Juta Rupiah) setiap tahunnya sampai dengan nanti dikembalikannya Objek Sengketa tersebut menjadi sebagaimana kedudukan semula yaitu sebagai Jalur Hijau/Sepadan Jalan oleh Tergugat; 3.23. Bahwa seiap perubahan atas bentuk dan wujud bangunan pada Objek Sengketa adalah dilakukan Tergugat dengan seenaknya sendiri tanpa harus mendapat ijin dari yang berwenang yakni Turut Tergugat III (KETIGA) sehingga “pembiaran” atas Penegakan Hukum dan Peraturan dianggap hal yang biasa bagi Tergugat yang seharusnya sebagai Universitas Negeri terbesar di Kota Purwokerto berkenan untuk menjaganya dan menjadi contoh yang baik bagi penegakan hukum dan peraturan BUKAN malah menjadi seakan akan “kebal hukum” karen merasa tidak akan ada yang berani untuk
104
mengingatkan apalagi menegurnya dalam membangun bangunan di atas Objek Sengketa tanpa IMB sehingga Norma dan tatanan kehidupan bermasyarakat dengan tetangganya akan “tercoreng” karena adanya budaya “ewuh pekewuh” dalam penegakan hukum dan peraturan yang seharusnya harus “tegas dan tegas” serta memiliki nilai Keadilan dan Kepastian hukum dalam Masyarakat; 3.24. Bahwa untuk menjamin pemenuhan atas isi putusan ini sampai nanti dapat dilaksanakan secara hukum, mohon kepada yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto C/q Majelis Hakim yang memeriksa
perkara
ini
berkenan
meletakkan
Sita
Jaminan
(Conservatoir Beslaag) terhadap Objek Sengketa yakni : Tanah Sepanjang 24,5 m × 5 m = ± 122, 5 m2 (Kurang lebih Seratus Dua Puluh Dua setengah meter persegi) Tertulis atas nama Turut Tergugat I (KESATU) yang dalam pengelolaan Tergugat dan tanpa ijin Pemanfaatan dari Turut Tergugat IV (KEEMPAT) yang batasbatasnya adalah : -
Utara
: Awalnya adalah Jalur Hijau sekarang masuk dalam
Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis
atas
nama
Departemen
Pendidikan
Nasional
berkedudukan di Jakarta; -
Timur : Jalan Prof. Dr. Bunyamin;
-
Selatan : Gedung UPT Percetakan dan Penerbitan UNSOED;
105
-
Barat : Tanah pekarangan Para Penggugat;
Bahwa Tanah seluas ± 122,5 m2 (Kurang lebih seratus dua puluh dua setengah meter persegi) termasuk masuk dan tertulis dalam Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta; Selanjutnya mohon disebut dengan : Objek Sengketa, serta barang-barang bergerak maupun barang-barang-barang tidak bergerak milik Tergugat yang bentuk dan jenisnya akan kami susulkan kemudian; 3.25. Bahwa untuk menjamin agar Tergugat memenuhi isi putusan perkara ini, kepada yang Terhormat Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto C/q Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk mengenakan uang paksa (dwangsom) kepada tergugat sebesar Rp. 1.000.000,(Satu Juta rupiah) setiap hari keterlambatan Kepada Para Penggugat Apabila Tergugat tidak melaksanakan isi putusan ini, terhitung sejak putusan ini dapat dilaksanakan menurut hukum sampai dengan dilaksanakannya oleh Tergugat; 3.26. Bahwa Gugatan ini adalah didasarkan bukti-bukti yang otentik dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan kebenaran serta untuk kepentingan Umum yang lebih luas lagi, mohon kiranya yang terhormat
Majelis
Hakim
Pemeriksa
Perkara
ini
berkenan
menjatuhkan putusan serta merta (Uitvoerbaar bij vooraad)
106
meskipun ada upaya hukum verzet, banding maupun kasasi baik dari Tergugat maupun pihak lainnya; Berdasarkan
hal-hal
tersebut
Penggugat
mengajukan
petitum/tuntutan sebagai berikut : 1.
Menerima dan mengabulkan Gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan sah dan berharga Siata Jaminan (Conservatoir beslaag) terhadap Objek Sengketa yakni : Tanah-Tanah Sepanjang 24,5 m x 5 m = ± 122,5 m2 (Kurang lebih Seratus dua puluh dua setengah meter persegi) tertulis atas nama Turut Tergugat I (KESATU) yang dalam pengelolaan Tergugat dan tanpa ijin pemanfaatan dari Turut Tergugat IV (KEEMPAT) yang batas-batasnya adalah : a. Utara : Awalnya adalah Jalur Hijau sekarang masuk dalam Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta; b. Timur : Jalan Prof. Dr. Bunyamin; c. Selatan : Gedung UPT Percetakan dan Penerbitan UNSOED; d. Barat
: Tanah Pekarangan Para Penggugat
107
Bahwa Tanah seluas ± 122,5 m2 (Kurang lebih seratur dua puluh dua setengah meter persegi) tersebut masuk dan tertulis dalam Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran/ Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta; Selanjutnya mohon disebut dengan : Objek Sengketa. Serta barang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak milik Tergugat yang bentuk dan jenisnya akan kami susulkan kemudian. 3.
Menyatakan secara hukum Bahwa Objek Sengketa dalam perkara A-quo ini adalah Jalur Hijau/Sepadan Jalan yang pengelolaan dan kewenangannya ada pada Turut Tergugat III (KETIGA) dan merupakan Fasilitas Umum yang mempunyai Fungsi Sosial;
4.
Menyatakan secara hukum bahwa Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dan Sangat Merugikan Para Penggugat yakni dengan sengaja mengajukan dan atau memasukkan Objek Sengketa dalam Permohonan Hak yang merupakan Jalur Hijau/Sepadan Jalan dan mendirikan atau membiarkan bangunan-bangunan tanpa ijin di atas Objek Sengketa yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan menghalang-halangi serta menutup jalan ke Tanah Pekarangan milik Para penggugat
108
5.
Menyatakan secara hukum bangunan-bangunan yang berdiri di atas Objek Sengketa adalah Bangunan yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang telah melanggar Garis Sepadan Bangunan (GSB) dan Garis Sepadan Sungai (GSS) dan tidak memiliki Ijin Pemanfaatan dari Turut Tergugat IV (KEEMPAT) yang oleh karenanya harus dibongkar;
6.
Menghukum kepada Tergugat dengan dibantu Para Turut Tergugat lainnya serta atau Siapapun yang berada pada Objek Sengketa untuk memulihkan dan mengembalikan pada kedudukan semula Objek sengketa dengan Membongkar seluruh Bangunan yang tidak sah dan mengembalikan Fungsinya sebagai Jalur Hijau/Sepadan Jalan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu Setelah Putusan ini dapat dijalankan secara hukum dengan tanpa syarat dan beban apapun juga dan bilamana perlu dengan bantuan Alat Negara;
7.
Menghukum kepada Tergugat dengan dibantu Turut Tergugat lainnya serta dan atau Siapapun yang menguasai, menghuni dan mengelola
Objek
Sengketa
untuk
mengosongkan
dan
mengembalikan fungsi semula menjadi Jalur Hijau/Sepadan Jalan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu Setelah Putusan ini dapat dijalankan menurut hukum dengan tanpa syarat dan beban apapun juga dan bilamana perlu dengan bantuan Alat Negara; 8.
Menyatakan secara hukum bahwa Surat Keputusan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. :
109
SK.29/530.3/11.27/2008 sepanjang menyangkut Objek Sengketa adalah Tidak Sah, Cacat Yuridis, Batal Demi Hukum dan atau mohon dibatalkan berikut dengan konsekuensinya; 9.
Menyatakan
secara
hukum
Sertifikat
Hak
Pakai
No.
00016/Pabuaran/2008 Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen
Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta
Sepanjang
menyangkut
Objek
Sengketa
adalah
tidak
membayar
ganti
mempunyai Kekuatan Hukum yang Mengikat; 10. Menghukum
kepada
Tergugat
untuk
kerugian moril dan materiil kepada Para Penggugat sejak 1 Januari 2005 s/d diajukannya Gugatan ini yang apabila diperhitungkan dengan uang tidak kurang dari sebesar Rp. 3.700.000.000,- (Tiga Milyar Tujuh Ratus Juta Rupiah) selambat-lambatnya
satu
minggu
setelah
putusan
ini
mempunyai kekuatan hukum yang tetap; 11. Menghukum kepada Tergugat untuk membayar kerugian atas terhalangnya jalan masuk ke Tanah Pekarangan milik Para Penggugat yang menyebabkan Kehilangan peluang Bisnis yakni sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus Juta Rupiah) setiap tahunnya terhitung sejak dimasukkannya gugatan ini sampai dengan nanti di penuhinya gugatan ini oleh Tergugat;
110
12. Menghukum kepada Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) setiap hari keterlambatan Kepada Para Penggugat apabila tidak membongkar
dan
memulihkan
Objek
Sengketa
dalam
kedudukan dan Keadaan sebagaimana semula Jalur Hijau atau Sepadan Jalan sejak Putusan ini dapat dilaksanakan menurut hukum dan dijalankan oelh Tergugat; 13. Menyatakan secara hukum bahwa putusan perkara ini dapat dijalankan secara serta merta dahulu (Uitoerbaar bij vooraad) meskipun ada upaya hukum Verzet, banding maupun Kasai; 14. Menghukum kepada Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini; 15. Menghukum kepada semua pihak untuk tunduk dan patuh pada putusan ini; 4.
Kasus Posisi menurut Pihak Tergugat Bahwa setelah Penggugat menyampaikan Gugatannya, Tergugat telah mengajukan Jawaban Gugatan yang pada pokonya menerangkan sebagai berikut : 4.1. Jawaban Dalam Eksepsi Sebelum Tergugat menyampaikan jawaban gugatan dalam eksepsi ini, perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi kesalahan yang sangat fatal dan mendasar dalam gugatan Para Penggugat, yaitu :
111
1) Dalam “Hal” Gugatan (Halaman 1) Para Penggugat bermaksud
mengajukan
gugatan
mengenai
“Gugatan
Perbuatan Melawan Hukum”, akan tetapi yang dijadikan “Objek Sengketa” oleh Para Penggugat adalah berupa “tanah” (lihat posita 02 dan 24, serta petitum No. 2). Seharusnya gugatan Perbuatan Melawan Hukum adalah gugatan-gugatan yang ditujukan terhadap suatu “tindakan”, bukan terhadap suatu “benda”; 2) Dalam petitum No. 8 Para Penggugat memohon pembatalan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas No. : SK.29/530.3/11.27/2008; dan dalam petitum No. 9 memohon pembatalan Sertifikat Hak Pakai No. : 00031/Pabuaran/2008
seluas
1.919
m2
atas
nama
Departemen Pendidikan Nasional. Kedua produk hukum tersebut jelas-jelas merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sehingga Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk menyatakan “batal” suatu KTUN, karena yang berwenang adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Berdasarkan hal tersebut di atas, telah menimbulkan kekacauan dan ketidakjelasan dalam menentukan objek sengketa, yakni mengenai : “apa yang sebenarnya akan dijadikan objek sengketa oleh Para Penggugat, apakah berupa suatu benda berupa “tanah” ataukah berupa
112
suatu perbuatan yang berupa “mendirikan bangunan” ? ataukah keabsahan suatu KTUN ?”. Atas kesalahan fatal, kekacauan, dan ketidakjelasan dalam Gugatan Para Pengugat tersebut, dapat disusun Jawaban Gugatan Dalam Eksepsi sebagai berikut : 4.1.1. Eksepsi Mengenai Pengadilan Negeri Purwokerto Tidak Berwenang Mengadili Perkara A-quo; Bahwa Pengadilan Negeri Purwokerto, tidak berwenang mengadili perkra A-quo, berdasarkan hal-hal sebagai berikut : 1) Bahwa menurut Para Penggugat (dalam posita No. 8, 9 dan 10, serta dalam petitum No. 8 dan 9.) yang dipermasalahkan oleh Para Penggugat adalah mengenai keabsahan Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Paburan dengan Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No.
00031/Pabuaran/2008
seluas
1.919
m2
atas
nama
Departemen Pendidikan Nasional yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas, dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas No. SK.29/530.3/11.27/2008; oleh
karena
Sertifikat
Hak
Pakai
dan
SK
No.
SK.29/530.3/11.27/2008 adalah termasuk dalam pengertian KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara), sehingga sengketa yang timbul akibat terbitnya SHP dan SK tersebut adalah merupakan Sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 47 UU No. 5
113
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), Pengadilan
yang
berwenang
memeriksa,
memutus,
dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Bahwa gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat termasuk dalam wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dijelaskan berdasarkan hal-hal sebagai berikut : a. Berdasarkan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 menentukan bahwa
:
“PERATUN
bertugas
dan
berwenang
memerikasa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara (TUN)”. b. Sedangkan oengertian “Sengketa TUN” ditentukan dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa : “Sengketa TUN adalah sengketa dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara”. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 51 tahun 2009 ini, berarti
terjadinya
“sengketa
TUN”
sebagai
akibat
dikeluarkannya KTUN. c. Sedangkan pengertian KTUN ditentukan dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 yang menentukan bahwa :
114
“KTUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN, yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final dan menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata”. Berdasarkan pengertian KTUN sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 ini, maka Serifikat Hak Pakai No. 00061 (yang menjadi objek perkara a-quo) adalah JELAS-JELAS termasuk dalam pengertian KTUN ! d. Bahwa berdasarkan point huruf a, b, dan c di atas, maka dapat disimpukan : - Sertifikat Hak Pakai No. 00061 dan Surat Keputusan No.
:
SK.29/530.3/11.27/2008
termasuk
dalam
pengertian KTUN; - Terhadap suatu perkara yang ditimbulkan oleh terbitnya suatu KTUN, berarti merupakan “sengketa TUN”; - Bahwa yang berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
“sengketa
TUN”
adalah
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA; - Dengan demikian dapat disimpulkan secara PASTI, bahwa
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
TIDAK
115
BERWENANG MEMERIKSA, MEMUTUS, DAN MENYELESAIKAN PERKARA A-QUO. 2) Bahwa menurut Para Penggugat (dalam posita no. 24) meminta sita jaminan atas tanah yang menurut Para Penggugat adalah objek sengketa, hal tersebut tidak benar. Yang benar adalah Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang melakukan sita jaminan terhadap BARANG MILIK NEGARA (Vide Pasal
50 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara). Karena sita pada hakekatnya adalah merupakan tindakan pendahuluan dari eksekusi, maka dengan demikian Pengadilan Negeri Purwokerto juga tidak berwenang melakukan eksekusi atas barang-barang milik negara. 3) Bahwa gugatan Para Penggugat (dalam posita no. 19 dan petitum no. 6) pada hakikatnya adalah memohon agar Pengadilan Negeri Purwokerto menghukum Tergugat dan Turut Tergugat (mungkin yang dimaksud Para Penggugat adalah Turut Tergugat III) untuk membongkar bangunan milik Tergugat. Bahwa dalam ranah Hukum Administrasi Negara, setiap tindakan pemerintah (dalam hal ini Turut Tergugat III) untuk membongkar
suatu
bangunan
harus
didahului
dengan
menerbitkan suatu produk hukum dalam bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), sedangkan mengenai kewenangan
116
memerintahkan terbitnya suatu KTUN adalah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, oleh karena itu maka Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang memerintahkan Turut Tergugat III untuk menerbitkan KTUN yang berisi perintah pembongkaran bangunan milik Tergugat. Bahwa apabila Turut Tergugat III (PEMKAB Banyumas) menerbitkan KTUN tentang pembongkaran bangunan milik Tergugat dengan alasan karena mendirikan bangunan di sempadan jalan/sempadan sungai dan tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB); maka berdasarkan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), PEMKAB Banyumas HARUS memperlakukan hal yang sama terhadap semua bangunan yang berdiri di sepanjang jalan Prof. Bunyamin yang melanggar Sempadan Jalan dan Sempadan Sungai serta tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB); 4) Bahwa dalam petitum No. 3 Para Penggugat memohon agar Pengadilan Negeri Purwokerto menetapkan suatu kawasan sebagai wilayah jalur hijau, hal tersebut adalah tidak benar dan harus ditolak dengan tegas. Bahwa yang benar adalah Pengadilan Negeri tidak berwenang menyatakan secara hukum bahwa tanah yang menurut Para
117
Penggugat sebagai objek sengketa dalam perkara a-quo adalah merupakan Jalur Hijau. Berdasarkan Eksepsi mengenai Kewenangan Pengadilan Negeri Untuk Mengadili tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara a-quo. Dengan demikian gugatan Para Penggugat harus dinyatakan “Ditolak” atau setidaktidaknya
dinyatakan
TIDAK
DAPAT
DITERIMA
(Niet
Onvankelijkeverklaar). Bahwa apabila Pengadilan Negeri Purwokerto berpendapat berwenang memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara a-quo, maka Tergugat akan menyampaikan eksepsi sebagai berikut : 4.1.2. Eksepsi Mengenai Kurangnya Pihak Tergugat (Plurium Litis Consortium); Bahwa menurut Para Penggugat (posita No. 05 mengenai Notulen Rapat di Aula Dinas Cipta Karya, pasda baris ke-3 sampai dengan ke-6, yang dapat Tergugat tulis sebagai berikut : “............bahwa sepanjang jalan Prof Bunyamin adalah jalan kolektor Primer dengan rencana Garis Sepadan Bangunan (GSB) adalah 14 m dari As jalan dengan rencana pemanfaatan ruang di kawasan tersebut merupakan kawasan campuran”, menurut Para Penggugat tindakan Tergugat mendirikan bangunan melanggar Perda No. 6 Tahun 2002 tentang RTRK dan Rencana Detail Kota Purwokerto.
118
Padahal tindakan mendirikan bangunan di lokasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh Tergugat, sehingga apabila pihak lain yang juga mendirikan bangunan di lokasi sepanjang jalan Prof Bunyamin tidak ditarik sebagai pihak dalam perkara a-quo, maka gugatan Para Penggugat harus dinyatakan “kurang pihak Tergugat (Plurium Litis Consortium)”. Bahwa, seharusnya gugatan Para Penggugat tidak hanya ditujukan kepada Tergugat saja tetapi ditujukan kepada siapa saja (temasuk pemilik Toko Borneo) yang memiliki bangunan di lokasi sebagaimana yang ditulis Para Penggugat dalam posita 05. Bahwa termasuk bangunan yang berada dalam lokasi sebagaimana posita Para Penggugat No. 05 yaitu Masjid Nurul Umum yang berdiri di atas tanah Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Pabuaran. Bahwa oleh karena gugatan Para Penggugat “kurang pihak Tergugat” (Plurium Litis Consortium), maka Gugatan Para Penggugat harus dinyatakan “TIDAK DAPAT DITERIMA (Niet Onvankelijkeverklaar)”. 4.1.3. Eksepsi Mengenai Gugatan Penggugat Kabur (Obscuur libel) : Bahwa Gugatan PENGGUGAT kabur (Obscuur libel) sehingga tidak dapat dikongkritisir dalam petitum yang jelas dan tegas. Contohnya :
119
1) Bahwa
mengenai
“hal”
dalam
Gugatan
PARA
PENGGUGAT, terdapat kesalahan yang amat mendasar. Bahwa gugatan Para Penggugat tersebut adalah mengenai hal : Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Pembongkaran Bangunan yang tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), dan mengembalikan Objek sengketa Sebagai Jalur Hijau/Sepadan Jalan. Kesalahan mendasar dalil Para Penggugat tersebut di atas adalah karena yang dimaksud Para Penggugat sebagai Objek Sengketa ternyata BUKAN merupakan Jalur Hijau/Sepadan Jalan. Berdasarkan PERDA No. 6 Tahun 2002,
tanah
tersebut
ternyata
adalah
“kawasan
campuran”. 2) Bahwa dalam posita Gugatan Para Penggugat disebutkan bahwa
gugatan
yang
diajukan
adalah
mengenai
“Perbuatan Melawan Hukum”, akan tetapi yang dijadikan objek sengketa oleh Para Penggugat adalah mengenai “tanah”, serta Para Penggugat juga mengajukan permohonan “pembatalan sertifikat”. Berdasarkan hal tersebut, berarti telah terjadi ketidak jelasan atau kekaburan (obscuur libel) dalam Gugatan Para Penggugat, karena tidak jelas apa yang sebenarnya
120
diinginkan Para Penggugat dengan mengajukan dalam perkara a-quo. 3) Bahwa mengani “hal” dalam Gugatan Para Penggugat, terdapat kesalahan yang amat mendasar yaitu bahwa bangunan-bangunan milik Pemerintah c/q UNSOED (TERGUGAT) yang berdiri di atas tanah yang menurut Para Penggugat sebagai objek sengketa tersebut, oleh Para Penggugat tidak disebutkan sebagai Objek Sengketa. Justru yang oleh Para Penggugat dijadikan objek sengketa adalah
mengenai
“tanah”-nya.
Sehingga
berarti
“tindakan” Tergugat mendirikan bangunan bukan objek sengketa. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum adalah gugatangugatan yang ditujukan terhadap suatu “tindakan”, bukan terhadap suatu “benda”, sehingga dengan demikian Gugatan Para Penggugat harus dinyatakan kabur (obscuur libel) karena tidak jelas mengenai apa yang diinginkan Para Penggugat dengan mengajukan gugatan dalam perkara a-quo. 4) Bahwa tidak benar Tergugat mendirikan bangunan semi permanen di atas tanah yang dimaksud Penggugat sebagai Objek sngketa, sebagaimana yang didalilkan Para Penggugat di dalam gugatannya pada posita 03, posta 04,
121
posita 19 dan posita 21, karena yang Tergugat dirikan adalah bangunan-bangunan permanen. Bahkan Para Penggugat
mendalilkan
bangunan-bangunan
tersebut
sebagai gedung-gedung sebagaimana didalilkan dalam posita 03 gugatannya pada huruf a, b, c dan d. Berdasarkan hal-hal di atas terbukti bahwa Gugatan Para Penggugat kabur, karena tidak ada bangunan semi permanen berupa gedung. 5) Bahwa posita 21 dan 22 Gugatan Para Penggugat mendalilkan bahwa Para Penggugat menderita kerugian sejak 1 Januari 2005 sampai dengan gugatan diajukan, yaitu berupa kerugian materiil sebesar Rp. 2.700.000.000,(dua milyar tujuh ratus juta rupiah) dan immateriil sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), serta kerugian berupa hilangnya peluang bisnis sebesar Rp. 300.000.000,(tiga ratus juta rupiah). Dalam ranah Hukum Perdata, perihal tuntutan ganti rugi adalah didasarkan atas beberapa hal sebagai berikut : a. Adanya
kerugian
yang
nyata-nyata
diderita
(kerugian senyatanya); b. Keugian senyatanya dibuktikan atas perhitungan yang pasti dan riil (schade staad) yang didasarkan
122
atas rincian berkurangnya harta kekayaan dan/atau adanya keuntungan yang diharapkan; c. Yang dimaksud dengan kerugian immateriil adalah kerugian-kerugian
yang
bukan
materi
berupa
kerugian psikis atau moril yang di dalam teori hukum maupun dalam KUH Perdata tidak menjadi dasar tuntutan ganti rugi. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat pada posita 21 dan 22 adalah kabur, karena tidak didasarkan pada parameter dan indikator yang membuktikan adanya kerugian. Misalnya kegiatan bisnis apa, modal berapa, dapat pemasukan berapa sehingga jelas untung stsu rugi, tidak serta merta menyatakan besarnya kerugian sebesar yang disebutkan di atas. Padahal Para Penggugat tidak pernah berbisnis apapun di atas tanah-tanah milik Para Penggugat tersebut, selain pertanian. Kalau ada kerugian, Para Penggugat harus membuktikan berdasarkan audit akuntan publik. Berdasarkan Jawaban Dalam Eksepsi Mengenai Gugatan Penggugat Kabur (Obscuur libel) tersebut di atas, maka Gugatan Para Penggugat HARUS dinyatakan kabur (Obscuur libel), sehingga oleh karenanya Gugatan Para Penggugat harus
123
dinyatakan
TIDAK
DAPAT
DITERIMA
(Niet
Onvankelijkeverklaar). 4.1.4. Eksepsi Mengenai Error in Objecto dalam Gugatan Penggugat : Bahwa Gugatan PARA PENGGUGAT adalah Error in Objecto, berdasarkan hal-hal sebagai berikut : 1) Bahwa pada halaman 3, pada posita 1 huruf a pada baris ke-2 Gugatan PARA PENGGUGAT yang kemudian dirubah oleh PARA PENGGUGAT dalam permohonan renvoinya yang ke-2 pada huruf b tertulis sebagai berikut : “Sebelah Timur : Saluran Irigasi dan Objek Sengketa / UPT Percetakan dan Penerbitan UNSOED / Toko Borneo”. Dalil Para Penggugat tersebut adalah tidak benar karena tanah yang dimaksud oleh Para Penggugat sebagai Objek Sengketa / UPT Percetakan dan Penerbitan UNSOED / Toko Borneo tersebut tidak berbatasan dengan tanah milik Para Penggugat. Tanah milik Para Penggugat tersebut di Sebelah Timur hanya berbatasan dengan saluran air. 2) Bahwa pada halaman 3, pada posita 1 huruf b pada baris ke-2 Gugatan Para Penggugat tertulis sebagai berikut : “Sebelah Timur : Saluran Irigasi dan Objek Sengketa”.
124
Dalil Para Penggugat tersebut adalah tidak benar karena tanah yang oleh Para Penggugat didalilkan sebagai Objek Sengketa ternyata tidak berbatasan dengan tanha milik Para Penggugat. Tanha milik Para Penggugat tersebut di sebelah timur hanya berbatasan dengan saluran air; 3) Bahwa pada halaman 3, pada posita 2 pada baris ke-13 Gugatan Para Penggugat tertulis sebagai berikut : Sebelah Barat : Saluran Irigasi / Tanah Pekarangan Para Penggugat. Dalil Para Penggugat tersebut adalah tidak benar karena tanah yang didalilkan oleh Para Penggugat sebagai objek sengketa ternyata tidak berbatasan dengan tanah milik Para Penggugat. Tanah tersebut di sebelah barat hanya berbatasan dengan saluran air (saluran irigasi). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Gugatan Para Penggugat HARUS dinyatakan Error in Objecto, sehingga oleh karenanya Gugatan Para Penggugat harus dinyatakan TIDAK DAPAT DITERIMA (Niet Onvankelijkeverklaar). 4.1.5. Eksepsi Mengenai Error in Subjecto dalam Gugatan Para Penggugat : Bahwa Gugatan Para Penggugat sudah selayaknya dinyatakan tidak dapat diterima karena Gugatan Para Penggugat error in subjecto, berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
125
1) Bahwa Para Penggugat telah keliru dalam hal menentukan para pihak yang ditarik dalam gugatan tersebut, yakni UNSOED dijadikan sebagai TERGUGAT dan DITJEN DIKTI ditarik menjadi TURUT TERGUGAT I, padahal secara struktural baik UNSOED maupun DITJEN DIKTI adalah sebenarnya merupakan satu entitas di bawah Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
RI,
yang
sebenarnya merupakan satu pihak. Sehingga keduanya tidak dapat didudukan sebagai pihak yang berbeda yaitu sebagai Tergugat dan Turut Tergugat I. Dengan demikian, tidak bisa dalam sebuah gugatan ada 1 (satu) pihak / subjek yang ditarik 2 (dua) kali. 2) Bahwa Para Penggugat tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan Tergugat yang berkaitan dengan tanah yang menurut Para Penggugat sebagai objek sengketa, sehingga Para
Penggugat
tidak
mempunyai
hak
dan/atau
kepentingan apapun terhadap tanah tersebut. Oleh karena itu Para Penggugat tidak mempunyai Kedudukan Hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan dalam perkara a-quo. Bahwa Para Penggugat tidak mempunyai legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan perdata dalam perkara a-quo, karena tanah yang menurut Para Penggugat
126
adalah objek sengketa tersebut ternyata tidak berbatasan secara langsung dengan tanah-tanah milik Para Penggugat. Bahwa oleh karena Para Penggugat tidak mempunyai legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan perdata dalam perkara a-quo, maka Para Penggugat tidak mempunyai hak untuk menggugat agar bangunan milik tergugat dibongkar Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Gugatan Para Penggugat HARUS dinyatakan Error in Subjecto, sehingga oleh karenanya Gugatan Para Penggugat harus dinyatakan TIDAK DAPAT DITERIMA (Niet Onvankelijkeverklaar). 4.2. Jawaban Dalam Pokok Perkara Bahwa sebelum Tergugat menguraikan lebih lanjut mengenai Jawaban Tergugat Dalam Pokok Perkara, terlebih dahulu akan disampaikan hal-hal yang sangat mendasar dan hakiki yang berkaitan dengan persoalan “Perbuatan Melawan Hukum (PMH)”. Bahwa kasus posisi dalam perkara a-quo dapat dideskripsikan secara singkat sebagai berikut : “Para Penggugat membeli dan akhirnya mempunyai sebidang tanah pertanian/persawahan, Para Penggugat mendalilkan bangunan yang didirikan Tergugat menutup akses masuk ke tanah milik Para Penggugat, padahal bangunan tersebut sudah berdiri sejak sebelum Para Penggugat membeli tanah Para Penggugat. Para Penggugat memohon agar bangunan yang didirikan oleh Tergugat tersebut dibongkar, karena menurut Para Penggugat bangunan tersebut melanggar Peraturan Daerah mengenai IMB, dan Peraturan Daerah mengenai Garis Sempadan Jalan. Peraturan Daerah merupakan sekumpulan
127
norma-norma yang berisi norma perintah maupun norma larangan. Peraturan Daerah sebagai suatu norma, dimaksudkan sebagai sarana perlindungan hukum terhadap subjek hukum tertentu (tidak seluruh subjek hukum) “. Para Penggugat salah menafsirkan bahwa seolah-olah ia adalah merupakan oknum yang harus dilindungi oleh norma-norma yang terdapat dalam PERDA-PERDA tersebut, oleh karenanya Para Penggugat mengajukan Gugatan PMH. Anehnya yang dijadikan sebagai objek sengketa oleh Para Penggugat adalah “tanahnya”, bukan “tindakan Tergugat mendirikan bangunan”, serta dalam petitum tidak terdapat permohonan agar Para Penggugat diberi akses jalan masuk ke tanah milik Para Penggugat”. Terdapat kasus posisi sebagaimana diuraikan di atas, dapat dianalisis secara normatif dengan menggunakan Teori Norma Perlindungan (Schutznormtheorie), yang akan diuraikan secara singkat sebagai berikut : 1) Schutznormtheorie digunakan untuk menjawab pertanyaan : “siapa sebetulnya yang hendak dilindungi oleh suatu norma ?”. menurut Schutznormtheorie, yang dapat menuntut ganti rugi atas dasar pelanggaran suatu norma hukum tertentu adalah mereka-mereka, untuk siapa norma itu bermaksud memberikan perlindungan. 2) Menurut pendapat yang luas yang dimaksud dengan Perbuatan Melawan Hukum adalah perilaku : - Yang melanggar hak orang lain;
128
- Yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; - Yang bertentangan dengan kesusilaan; - Yang bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup. 3) Yang dimaksud dengan perilaku “yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku” adalah perilaku yang bertentangan dengan suatu peraturan undang-undang dalam arti yang formil maupun materiil (termasuk Peraturan Daerah) yang bersifat memerintah atau melarang.129 Sehingga apabila subjek hukum yang dianggap berbuat melanggar Peraturan Daerah, maka dapat digolongkan sebagai perilaku “yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku”. 4) Adanya kewajiban hukum yang diletakkan atas diri seseorang, adalah dimaksudkan untuk membatasi perilaku orang yang bersangkutan, agar tidak melanggar hak (subjektif) orang lain. Kewajiban hukum seringkali merupakan kewajiban yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, demi perlindungan kepentingan orang lain. 5) Dalam hal adanya perilaku yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, maka yang dapat menuntut ganti rugi atas dasar pelanggaran suatu norma hukum yang bersifat memerintah
129
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang, Bagian Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1984, hlm. 213.
129
atau melarang, adalah mereka-mereka, untuk siapa norma itu bermaksud untuk memberikan perlindungan. 6) Atas dasar pemahaman yang demikian
maka dalam Ilmu
Hukum Perdata lahir apa yang disebut dengan “Teori Norma”, yang pada intinya menyatakan bahwa : hak untuk menuntut ganti rugi atas dasar pelanggaran terhadap norma hukum (yang memerintah atau melarang) digantungkan dari bunyi norma itu ditujukan
kepada
siapa.
Sebaliknya
ditinjau
dari
segi
perlindungan yang diberikan oleh norma yang bersangkutan, atau segi “siapa yang hendak dilindungi oleh norma itu”, teori tersebut disebut Teori norma Perlindungan (Schutznorm theorie). Dengan teori ini berarti, bahwa perilaku terhadap yang satu bisa merupakan onrechtmatig daad, sedangkan bagi yang lain bukan, inilah yang disebut bahwa perilaku tersebut menjadi “relatif merupakan onrechtmatig daad” (Teori Relativitas). 7) Jadi intinya : pelanggaran atas suatu norma (yang memerintah atau melarang) tidak memberikan hak kepada “setiap orang” untuk menuntut ganti rugi, melainkan hanya orang-orang kepada siapa perlindungan diberikan oleh norma yang bersangkutan. 8) Berdasarkan kasus posisi dan Schutznormtheorie dalam kaitannya dengan perkara a-quo maka dapat diambil deskripsi mengenai siap yang hendak dilindungi oleh PERDA-PERDA tersebut di atas.
130
9) Bahwa norma perintah maupun larangan yang terdapat dalam PERDA-PERDA
yang telah disebutkan di atas adalah
dimaksudkan untuk : a.
PERDA tentang Garis Sempadan Jalan dimaksudkan untuk melindungi mereka para pengguna jalan, agar ketika melalui jalan tersebut ia mendapat perlindungan berupa pandangan yang jelas dan cukup, dan tidak terhalang oleh bangunan-bangunan di sebelah kanan atau kirinya jalan tersebut;
b.
PERDA yang berisi ketentuan mengenai IMB dimaksudkan untuk melindungi mereka yang akan mendirikan dan pemilik bangunan, yakni agar pemilik bangunan terlindung dari konstruksi bangunan yang keliru, agar pemilik bangunan
terlindung
dari
instalasi
listrik
yang
membahayakan, agar pemilik bangunan terlindung dari kesalahan pembuatan saluran air. Ketentuan mengenai IMB sebenarnya merupakan bentuk pelayanan dari Pemerintah terhadap pemilik bangunan, agar pemilik bangunan terlindung dari hal-hal yang telah disebutkan. 10) Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan : a.
Tidak setiap orang mempunyai hak untuk mengajukan Gugatan PMH dan atau tuntutan ganti rugi. Yang dapat mengajukan
gugatan
tersebut
hanyalah
orang
yang
131
termasuk mereka-mereka untuk siapa norma itu bermaksud memberikan perlindungan; b.
PERDA-PERDA perlindungan
tersebut
yang
di
atas
dimaksudkan
berupa
untuk
norma
memberikan
perlindungan kepada pengguna jalan dan pemilik bangunan; c.
Dalam konteks perkara a-quo, Para Penggugat jelas-jelas bukan termasuk orang yang dimaksud diberi perlindungan oleh norma-norma yang terdapat dalam PERDA-PERDA tersebut di atas.
5.
Pendapat Ahli dari Penggugat Pada persidangan perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt, sebelum pemeriksaan pokok perkara, Hakim berketetapan untuk terlebih dahulu membuktikan
apakah
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
mempunyai
kewenangan absolut untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara a-quo. Berdasarkan hal tersebut di atas, Majelis Hakim memerintahkan para pihak untuk mengajukan alat-alat bukti yang berkaitan dengan persoalan kewenangan Pengadilan. Selanjutnya Penggugat mengajukan alat bukti berupa Keterangan Ahli bernama Dr. RIDWAN, S.H., M.Hum yang memberikan pendapatnya yang pada pokoknya sebagai berikut : 5.1. Bahwa mengenai asas legalitas dan hubungan hukum dengan seseorang atau badan hukum perdata, 1. Asas legalitas yang
132
kaitannya dengan pemerintah adalah asas dalam pengertian hukum administrasi bukan asas legalitas dalam hukum pidana. Dalam hukum administrasi asas legalitas berarti setiap tindakan pemerintah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan itu harus berdasarkan wewenang yang diberikan
oleh
undang-undang atau
harus
berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Asas legalitas dalam hukum administrasi ini berkaitan dengan tindakan pemerintah di bidang publik; 2. Hubungan hukum pemerintah dengan seseorang atau badan hukum perdata, hubungan hukum adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang berdasarkan pada aturan hukum tertentu atau hubungan yang menimbulkan itu munculnya hak dan kewajiban, hubungan hukum pemerintah dengan seseorang atau badan hukum perdata dapat bersifat publik (publiek en privaat rechtsbetrekking) sehingga apabila pemerintah melakukan melanggar hukum atau melanggar hak-hak pihak lain dan atau menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata tersebut maka bisa dituntut; 5.2. Bahwa perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah (Onrechtmatige daad) merupakan ajaran hukum perdata yang berarti tindakan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan norma hukum. dalam pengertian umum Onrechtmatige daad adalah setiap perbuatan yang tidak sesuai dengan norma hukum baik hukum pidana, hukum administrasi, hukum perdata dan sebagainya, namun
133
dalam penegakan hukum dalam sistem hukum Kontinental termasuk di Indonesia istilah Onrechtmatige daad diterjemahkan dengan perbuatan melanggar hukum dalam bidang perdata, dengan kata lain Onrechtmatige daad adalah konsep hukum perdata, sedangkan dalam konsep hukum publik khususnya hukum pidana digunakan istilah Wererrechtelijkheid. Apabila pelaku dari Onechtmatige daad itu pemerintah atau badan publik (publiek lichaam) disebut Onrechtmatige overheidsdaad. Onrechtmatige daad
dapat pula
muncul karena tindakan faktual (feitelijke handeling) dari organ pemerintah, pengertian feitelijke handeling adalah tindakan-tindakan yang tidak dimaksudkan untuk suatu akibat hukum. comtoh diantaranya membangun gedung, membuat jalan, menebang pohon di pinggir jalan, namun pemerintah melakukan perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatige overheidsdaad) bisa di bidang hukum perdata, hukum pidana maupun tata negara; 5.3. Bahwa pemerintah dapat terlibat dengan kegiatan yang besifat keperdataan sebagaimana manusia dan badan-badan hukum privat terlibat dalam lalu lintas pergaulan hukum, pemerintah menjual dan membeli,
menyewa
dan
menyewakan,
menggadai
dan
menggadaikan, membuat perjanjian dan mempunyai hak milik, dan juga banyak urusan-urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pihak swasta, contohnya perkumpulan perusahaan dan lembaga pendidikan khusus, dan dalam bidang sosial ekonomi dimana
134
organisasi swasta untuk sebagian dipublikan melalui organisasi perusahaan publik pada bidang pertanian atau perkebunan, pendidikan, pelayanan kesehatan dan angkutan jalan. Dengan demikian pemerintah dapat melibatkan diri dalam kegiatan yang bersifat keperdataan (bestuur als particuleren) dan pihak swasta sering menjalankan urusan-urusan pemerintah tertentu (particuleren als overheid) oleh karena itu muncul istilah teori campuran (oplostheori) yang kadang sering menyulitkan dalam penegakan hukum; 5.4. Bahwa tolok ukur atau kriteria untuk menentukan ada tidaknya onrechtmatige daad adalah norma hukum perdata yaitu Pasal 1365 KUH Perdata yang mana pasal tersebut terjemahan dari Pasal 1410 BW, kriteria untuk menemukan ada tidaknya onrechtmatige daad adalah dengan menganalisis isi Pasal 1365 KUH Perdata yaitu : 1. Perbuatan Melawan Hukum; 2. Timbulnya kerugian; 3. Hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, dan; 4. Kesalahan para pelaku. Bahwa pertanggungjawaban atas Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam Pasal 1410 BW atau 1365 KUH Perdata didasarkan pada prinsip adanya kesalahan si pelaku
atau
pertanggungjawaban
atas
dasar
kesalahan
(schuldaansprakelijkheid), pelaku dari onrechtmatige daad dapat berupa
seseorang
(rechtspersoon),
(natuurlijk
maupun
persoon),
pemerintah
badan
(overheid),
hukum
dalam
hal
135
pelakunya pemerintah (onrechtmatige overheid daad) maka dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata; 5.5. Bahwa contoh perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain : putusan tentang perbuatan melawan hukum (PMH) di antaranya 1. Putusan No. 256/K/Pdt/2002 antara Departemen Agama RI c/q. Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Tengah yang digugat oleh warga karena telah menggunakan tanah milik warga tanpa alas hak; 2. Putusan No. 352 PK/Pdt/2010, Pemerintah RI c/q. Menteri Kesehatan RI c/q. Direktur Utama Rumah Sakit Umum dr. Muhammad Husein Palembang yang digugat Abuyani Roni dalam kasus operasi mata yang gagal; 3. Putusan No. 2975 K/Pdt/2009 dalam perkara susu formula dan putusan-putusan Mahkamah Agung tentang perbuatan melanggar hukum dapat diakses di putusan mahkamahagung.go.id; 5.6. Bahwa asas praduga rechtmatige atau het vermoeden van rechtsmatigheid itu berlaku dalam tindakan pemerintah yang bersifat publik seperti membuat peraturan atau mengeluarkan keputusan tata usaha negara, dengan kata lain setiap tindakan organ pemerintah di bidang publik dianggap sah menurut hukum sampai dibuktikan sebaliknya melalui proses peradilan, tindakan pemerintah di bidang perdata tidak disyaratkan adanya asas legalitas, dalam hubungan hukum keperdataan, asas yang mendasarinya adalah asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid beginsel), asas konsensual (consensuale
136
beginsel), dan asas itikad baik (goede trouw), asas pacta sunt servanda (het principe van pacta sunt servanda) dan asas kepribadian (personaliteisbeginsel); 5.7. Bahwa
konsep
Onrechtamige
daad
atau
Onrechtmatige
overheidsdaad adalah konsep hukum perdata dalam arti tindakan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan norma-norma hukum perdata, adapun istilah penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan tindakan sewenang-wenang (willekeur) merupakan konsep hukum administrasi yaitu tindakan organ pemerintah yang tidak sesuai dengan norma hukum administrasi. Parameter untuk menguji penyalahgunaan wewennag (detournement de pouvoir) adalah asas spesialitas (specialiteitbeginsel) yaitu asas yang menentukan bahwa wewenang itu diberikan kepada subjek hukum dengan tujuan tertentu, yang menyimpang dari tujuan diberikannya wewenang ini dianggap
sebagai penyalahgunaan
wewenang
(detournement de pouvoir), terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan, tetapi dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenangnya itu dengan didasari atas interest pribadi, baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain. Adapun sewenang-wenang (willekeur) adalah tidak dilakukannya perbuatan menimbangnimbang terhadap semua kepentingan yang terkait dengan keputusan yang dikeluarkan atau telah dilakukan perbuatan menimbang-
137
nimbang tersebut yang sedemikian tidak masuk akal, sehingga mengakibatkan dikeluarkannya keputusan yang sama sekali tidak bisa diterima atau dibenarkan. Maka penyalahgunaan wewenang (detournement
de
pouvoir)
dan
tindakan
sewenang-wenang
(willekeur) itu tidak sama dengan perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheid daad) dan norma hukum yang diterapkan juga berbeda; 5.8. Bahwa mungkin saja organ pemerintah melakukan tindakan keperdataan yang menimbulkan akibat hukum di bidang publik, misalnya pegawai pemerintah atau panitia lelang melakukan pelelangan benda-benda publik (publiek domain) kemudian hasil lelangnya tidak disetorkan ke kas negara, pemerintah menyewakan bangunan atau gedung, tetapi uangnya yang merupakan pendapatan negara bukan pajak (PNPB) tidak disetorkan ke kas negara, pejabat pemerintah mengadakan jual beli untuk keperluan sarana dan prasarana instansi pemerintah, yang dalam pelaksanaannya ada unsur kongkalingkong dengan penjual atau pembeli; 5.9. Bahwa ada beberapa jenis atau macam tindakan pemerintah yaitu : 1. Tindakan pemerintah di bidang Regeling, produksinya berupa peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup) atau Peraturan Walikota (Perwal), dans sebagainaya. Jika ada penyimpangan norma
138
hukum, pengujiannya dilakukan melalui Judicial Review dan menjadi kewenangan absolut Mahkamah Agung; 2. Tindakan Pemerintah di bidang Beschkking, produksinya berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), lembaga yang berwenang menguji KTUN adalah instansi yang mengeluarkan KTUN itu atau instansi lain atau instansi atasan (administratief beroep) dan Pengadilan Tata Usaha
Negara
(administratieve
rechtsspraak);
3.
Tindakan
pemerintah di bidang kebijakan, produksinya berupa peraturan kebijakan
(beleidsregel),
dalam
praktik,
keberatan
terhadap
peraturan yang menimbulkan kerugian digugat atas dasar Perbuatan Melawan Hukum yaitu melalui Peradilan Umum; dan 4. Tindakan pemerintahan di bidang perdata (materiale daad) dan tindakan faktual (feitelijke handeling) Lembaga yang berwenang menguji adalah Peradilan Umum; 5.10. Instansi publik dibebani tanggung gugat dan tanggung jawab atas kerugian yang dilakukan organ-organnya, bilamana organ dalam kedudukannya sebagian organ itu telah melakukan perbuatannya demi menunaikan tugas yang diberikan kepadanya, atau dalam lingkungan formil dari wewenangnya, organ yang melakukan perbuatan melanggar hukum dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi, bilamana organ tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan statuta atau peraturan rumah tangga badan
139
hukum itu atau perbuatan yang tidak sesuai dengan sikap kecermatan yang seharusnya dilakukan terhadap pihak yang dirugikan; 5.11. Bahwa sepengetahuan Ahli, tidak ada mata anggaran yang bernama “anggaran untuk ganti kerugian”. Jika ada dan tertulis anggaran untuk ganti kerugian, ada kesan memberikan peluang bagi pejabat publik untuk melakukan pelanggaran hukum. persoalan ganti rugi oleh negara ini memang ada problem. Berdasarkan ilmu hukum, telah menjadi pendapat umum para ahli hukum (communis opinio doctorum) bahwa Negara, Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan badan hukum yang bersifat publik (publiek rechtspersoon), yakni sebagai subjek hukum yang dapat bertindak dalam pergaulan hukum (rechtsverkeer) dalam bidang keperdataan, dapat menuntut dan dituntut,
memiliki
harta
kekayaan,
memiliki
pengurus
dan
sebagainya. Namun dalam hal ganti rugi, menurut beberapa problem. Berbeda halnya dengan badan hukum yang berbentuk seperti PT, yayasan, atau persero, di mana pembayaran ganti rugi itu berasal dari aset atau modal milik badan hukum yang bersangkutan. Persoalan ganti rugi yang berkenaan dengan badan hukum publik seperti Negara, provinsi, Kabupaten/Kota tidak ditemukan kejelasannya seperti darimana sumbernya, apa dan bagaimana wujud kekayaan yang terpisah dari badan hukum publik ini, apakah normanya sama dengan badan hukum pada umumnya, bagaimana pengaturannya dan
140
sebagainya. Oleh karena itu, persoalan ini membutuhkan penelitian hukum tersendiri; 5.12. Bahwa asas yang mendasari Pasal 1365 KUH Perdata , yang dijadikan
dasar
untuk
“schuldaansprakelijkheid”
menuntut
ganti
rugi,
(Pertanggung-jawaban
adalah
asas
atas
dasar
kesalahan). Artinya ganti rugi itu diberikan jika aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah itu ada unsur kesalahan. Dengan kata lain, jika unsur kesalahan itu tidak ada, ganti rugi tidak dapat diberikan meskipun tindakan pemerintah itu merugikan pihak lain. Pemerintah sering menggunakan tanah warga secara terbatas tanpa perlu memberikan ganti rugi bagi pemilik tanah, misalnya untuk pemasangan tiang-tiang listrik, saluran pipa perusahaan air minum milik pemerintah, pemasangan pipa pertamina, dan sebagainya. Dapat ditambahnkan, pemadaman aliran listrik oleh PLN dalam rangka perbaikan instalasi atau pemasangan kabel, kemungkinan besar menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu atau tidak mendapatkan keuntungan yang semestinya diperoleh bagi beberapa perusahaan, pertokoan, dan sebagainya. Dalam hal demikian, PLN tidak dapat dibebani kewajiban memberikan ganti rugi; 5.13. Bahwa dalam pengertian umum, Onrechtmatige daad adalah setiap perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum, baik itu Hukum Pidana, Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan sebagainya. Dengan pengertian umum ini, pemilik bangunan dapat
141
dikategorikan telah melakukan perbuatan melanggar hukum, yakni melanggar Hukum Perijinan (bijzonder deel van bestuursrecht); 5.14. Bahwa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) itu dituangkan dalam bentuk Keputusan. Oleh karena itu, kewenangan penegakan hukumnya terletak pada siapa yang berwenang menerbitkan keputusan ijin itu, apakah ia Pejabat Pusat atau Pejabat Daerah. Pada umumnya, IMB itu diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dan karenanya kewenangan penegakannya ada pada Pemerintah Daerah, melalui perangkatnya; 5.15. Bahwa sanksi yang dapat diberikan terhadap pemilik bangunan tanpa ijin atau yang melanggar syarat-syarat perijinan itu tergantung pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendirian bangunan itu. Pada umumnya dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah dicantumkan macam-macam sanksi yang akan diterapkan sesuai dengan jenis pelanggarannya. Biasanya sanksi yang dapat diterapkan berupa : penundaan pelayanan administrasi, penangguhan pemerintahan
keputusan,
pencabutan
(bestuursdwang),
dan
keputusan,
pengenaan
uang
paksaan paksa
(dwangsom). Berkenaan dengan pelanggaran norma perijinan ini harus dilihat secara kasuistis, artinya harus dilihat apakah pelanggaran itu bersifat substansial atau tidak. Dalam hal pelanggaran bersifat substansial, sanksi berupa penundaan pelayanan administrasi, penangguhan keputusan, dan pencabutan keputusan ijin
142
tidak memadai (ontoereikend), sehingga sanksi yang relevan adalah bestuursdwang atau dwangsom. Dalam hal sanksi berupa pencabutan ijin, berlaku asas contrarius actus, dalam arti kewenangan tentang perubahan dan pencabutan keputusan itu ada pada pejabat yang berwenang menerbitkannya. Adapun sanksi terhadap penegak hukum yang tidak melaksanakan tugasnya atau membiarkan terjadinya pelanggaran, umumnya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Secara teoretik maupun praktik, hal ini merupakan salah satu kelemahan atau kekurangan peraturan perundang-undangan dan karenanya perlu pembenahan sehingga ada jaminan perlindungan hukum yang lebih baik bagi warga negara atau pihak-pihak yang berkepentingan (belang hebben); 5.16. Berdasarkan unsur-unsur yang disebutkan dalam hukum positif terhadap hak pakai 1. Penetapan tertulis; 2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; 3. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4. Bersifat konkret, individual, dan final. Sertifikat hak pakai atau sertifikat hak milik biasanya ditujukan untuk persoon tertentu, namanya sudah tercantum dalam sertifikat; 5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang, sehingga menurut Ahli, suatu Sertifikat Hak Pakai ataupun Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan yang mendasarinya terbitnya sertifikat
143
tersebut telah memenuhi kriteria unsur-unsur tersebut, sehingga termasuk KTUN; 5.17. Bahwa contoh tindakan pemerintah di bidang hukum privat misalnya pemerintah membeli komputer lalu harganya disepakati adanya persyaratan, hal ini terjadi hubungan perdata persesuaian kehendak dan bila terjadi tindakan faktual yang merugikan pihak lain, maka hal itu menjadi kompetensi Peradilan Umum; 5.18. Bahwa apabila ada semacam keberatan dari pihak ketiga dan bukan Pemohon terhadap suatu KTUN, menurut Ahli, pihak ketiga tersebut mengajukan gugatannya ke PTUN; 6.
Penjabaran Ahli dari Tergugat Selanjutnya Tergugat mengajukan alat bukti berupa Keterangan Ahli bernama WEDA KUPITA, S.H., M.H.
yang memberikan
pendapatnya yang pada pokoknya sebagai berikut : 6.1
Bahwa hubungan antara Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Pemerintah di satu sisi dengan Hukum Administrasi Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di sisi lain dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahwa di dalam Hukum Administrasi Negara
dikenal ajaran
tentang tindakan pemerintahan atau
bestuurshandelingen. tindakan pemerintah pada hakekatnya dapat digolongkan
menjadi
feitelijkhandelingen
dan
dua
yaitu
tindakan
tindakan hukum
nyata
atau
pemerintah
atau
rechtshandelingen, tindakan pemerintahan berupa hukum perdata
144
atau privat dan tindakan hukum publik, tindakan hukum publik dapat dogolongkan menjadi dua yaitu yang ditujukan kepada umum yang disebut Besluit atau keputusan yang ditujukan untuk umum atau peraturan contoh peraturan perundang-undangan dan yang kedua hukum publik yang ditujukan untuk individual disebut Beschikking atau penetapan contohnya Keputusan Tata Usaha Negara, apabila pemerintah melakukan suatu tindakan yang merugikan warga negara maka pemerintah dapat digugat bisa melalui PMH atau apabila melakukan tindakan KPUN maka dapat digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan yang terkait dengan masalah perlindungan hukum yang diberikan kepada subjek hukum dalam hal itu tergantung dari kedudukan hukum pemerintah ketika melakukan tindakan tersebut; 6.2
Bahwa dengan perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada rakyat dari tindakan hukum yang merugikan rakyat dari tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, perlindungan hukum apabila atas tindakan hukum yang dilakukan Pemerintah maka kepadanya harus diberikan perlindungan hukum itu tergantung dari tindakan
hukum
pemerintah,
kedudukan
perbuatan
hukum
pemerintah digolongkan menjadi dua yaitu dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum privat. Dalam bidang publik apabila pemerintah melakukan tindakan hukum publik berupa keputusan atau penetapan maka rakyat diberikan satu perlindungan hukum
145
dapat mengajukan gugatan kepadanya, apabila yang dirugikan merupakan KTUN maka digugatnya melalui PTUN, apabila pemerintah kedudukannya sebagai wakil dari badan hukum (publik) maka tindakan hukum pemerintah itu diatur dalam hukum perdata apabila pemrintah melakukan hukum perdata merugikan subjek hukum lain maka subjek hukum yang dirugikan itu dapat mengajukan gugatannya ke Peradilan Umum; 6.3
Bahwa kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UndangUndang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dalam Psal 47 yang menjelaskan bahwa pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa memutus menyelesaikan sengketa tata usaha negara, pengertian sengketa tata usaha negara adalah sengketa antara orang atau badan hukum dengan pejabat hukum tata usaha negara sebagai akibta diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) atau Beschikking sehingga hubungan antara yang digugat dengan pejabat tata usaha negara menyelesaikan suatu sengketa tata usaha negara yang diakibatkan oleh diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara;
6.4
Bahwa pengertian KTUN yang diatur pada Pasal 1 angka 9 UndangUndang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, KTUN
adalah
penetapan
tertulis
yang
dikeluarkan
oleh
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang bersifat konkret, individual dan final. Unsurunsurnya yaitu 1. Tertulis; 2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat
146
Negara; 3. Berisi tindakan hukum TUN yang bersifat konkret dilindungi oleh negara, sifat induvidual, stau KTUN/Beschikking beda
dengan
peraturan
perundang-undangan,
contoh
dalam
kehidupan sehari-hari surat keputusan pengangkatan seseorang sebagai pegawai negeri atau surat keputusan tentang pemberhentian sebagai pegawai negeri, sertifikat hak milik, sertifikat hak guna usaha, sertifikat hak pakai, atau keputusan-keputusan lain yang ditujukan untuk individual dan suatu keputusan sebagai KTUN tidak harus memerlukan suatu golongan tertentu contoh Ijazah, kartu studi seorang mahasiswa; 6.5
Bahwa Sertifikat Hak Pakai jelas termasuk KTUN dasar hukumnya adalah Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang pengertian dari KTUN karena telah memenuhi unsur-unsurnya yaitu 1. Tertulis; 2. Dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara; 3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara; 4. Konkret; 5. Individual; 6. Final (Tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain), dan mengenai kewenangannya apabila diajukan gugatan pembatalam sertifikat hak pakai maka jelas pengadilan yang berwenang mengadili gugatan pembatalan sertifikat hak pakai adalah Pengadilan Tata Usaha Negara;
6.6
Bahwa Surat Keputusan tentang pembongkaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam hal ini Bupati ini jelas merupakan KTUN dan karena telah memenuhi unsur-unsur Pasal 1 angka 9 Undang-
147
Undang No. 51 Tahun 2009, maka yang berwenang mengadili sengketanya tentang penerbitan perintah pembongkaran suatu bangunan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara karena yang diperintahkan itu adalah agar Pemda menerbitkan suatu KTUN berdasarkan Hukum Acara Tata Usaha Negara maupun dalam praktek Tata Usaha Negara. Contohnya Pemda diperintahkan dihukum untuk menerbitkan Surat Ijin Mendirikan Bangunan maka perintah untuk menrbitkan KTUN maka kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara; 6.7
Bahwa ada beberapa Yurisprudensi PTUN Semarang antara lain No. 33 Tahun 2012 putusan sengketa antara seseorang yang menempati suatu bangunan dalam hal ini adalah rumah dinas SMP Negeri 2 Purwokerto melawan Bupati Banyumas, itu mengenai Surat keputusannya tentang pengosongan/pembongkaran bangunan;
6.8
Bahwa instrumen pemerintahan dalam Hukum Administrasi Negara pada hakekatnya dibagi 2 yaitu 1. Instrumen yuridis pemerintahan; 2. Domein Publik atau yang digunakan untuk kepentingan umum. Ad. 1. Instrumen Yuridis Pemerintahan terdiri dari : 1. Peraturan Perundang-Undangan; 2. Ketetapan atau KTUN (Beschikking); 3. Peraturan kebijaksanaan; 4. Perijinan; 5. Insrumen pemerintah yang bersifat hukum privat. Bahwa instrumen peraturan perundangundangan atau instrumen pemerintahan yang berupa Beschikking artinya suatu instrumen yang dapat digunakan oleh pemerintah
148
dalam pemerintah menjalankan tugas-tugasnya yaitu menggunakan instrumen yuridis yang menggunakan barang milik publik atau barang milik negara, contohnya peraturan pemerintah, negara menggunakan barang milik negara sebagai suatu sarana untuk menjalankan tugas dan fungsinya; 6.9
Bahwa yang berwenang menentukan kawasan wilayah jalur hijau atau tidak adalah harus melalui dengan peraturan daerah dan yang berwenang menetapkan peraturan daerah adalah Bupati bersama DPR;
6.10 Bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang berisi aturan pemerintah mengenai bagaimana pemerintah melaksanakan tugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, urusan pemerintahan meliputi mengelola barang milik publik atau barang milik
negara
penghapusannya, Administrasi
mengenai
pembuatannya,
pengaplikasiannya
Negara
bisa
berupa
tunduk
perwujudannya, pada
undang-undang,
Hukum peraturan
pemerintah, peraturan menteri, dan sebagainya hal itu menjadi domein Hukum Administrasi Negara; 6.11 Bahwa Surat Keputusan Kantor Pertanahan yang mendasari terbitnya suatu Sertifikat Hak Pakai merupakan KTUN, dan demikian pula dengan Sertifikat Hak Pakainya tersebut juga merupakan KTUN; 6.12 Bahwa dalam mengajukan suatu gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara ada batasan waktunya yaitu 90 (sembilan puluh) hari, dan
149
menurut Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur gugatan diproses hanya harinya 90 (sembilan puluh) hari sejak KTUN itu diterima dan diumumkan, apabila KTUN itu ditujukan kepada Penggugat maka 90 (sembilan puluh) hari itu dihitung sejak KTUN itu diumumkan, apabila peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN mewajibkan atau mengharuskan suatu KTUN itu diumumkan maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari dihitung sejak KTUN itu diumumkan, yang ketiga Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991 mengenai tenggang waktu penggugat, apabila penggugat bukan pihak yang dituju oleh KTUN itu maka 90 (sembilan puluh) hari itu dihitung sejak penggugat mengetahui dan merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya KTUN tersebut; 6.13 Bahwa pengaturan tenggang waktu tersebut untuk menentukan kepastian hukum, kalu gugatan diajukan telah lampau waktu maka gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijkeverklaar) sehingga sudah tidak ada solusi bagi pencari keadilan untuk mengajukan proses peradilan; 6.14 Bahwa menurut Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang yang
150
berisi tuntutan agar KTUN itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai ganti rugi, berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tersebut dengan petitum pokok dan petitum tambahan, pada petitum pokoknya adalah tentang batalnya atau tidak sahnya suatu KTUN lalu petitum tambahannya berupa ganti rugi atau rehabilitasi; 6.15 Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah, maka ganti rugi tersebut maksimal besarnya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ketika gugatan dikabulkan. Artinya KTUN batal maka kepada Penggugat diberi hak untuk mengajukan gugatan secara keperdataan di pengadilan negeri; 6.16 Bahwa apabila mengajukan ganti kerugian lebih dari lima juta rupiah tetapi yang dikabulkan maksimal hanya lima juta rupiah sesuai peraturan di PTUN, tetapi kalau di Peradilan Umum ganti ruginya obyektif sesuai kerugian; 6.17 Bahwa dalam ajaran hukum tindakan pemerintahan yang berkaitan dengan kedudukan hukum pemerintah, sebetulnya merupakan salah satu materi perlindungan hukum, kedudukan pemerintah itu sebagai wakil dari suatu jabatan, suatu jabatan tindakan pemerintah tunduk dan diatur oleh Hukum Administrasi Negara, apabila pemerintah melanggar Hukum Administrasi Negara maka subjek hukum yang dirugikan dapat diberikan suatu perlindungan hukum dengan kaidah Hukum Administrasi Negara, yang kedua kedudukan dalam hukum
151
privat, pemerintah dalam hal ini sebagai wakil dari badan hukum publik; 6.18 Bahwa pemerintah juga dapat melakukan tindakan dalam hukum privat, contohnya pemerintah melakukan jual beli; 6.19 Bahwa apabila ada asetnya, maka yang memiliki adalah badan hukumnya; 6.20 Bahwa tidak semua Keputusan pejabat Tata Usaha Negara itu termasuk keputusan tata usaha negara, dalam konsep ajaran tindakan hukum pemerintahan, bahwa tindakan pemerintahan bisa tindakan hukum privat dam tindakan hukum publik. Tindakan hukum publik ada yang ditujukan kepada individu, contohnya Beschikking atau KTUN ada yang ditujukan kepada umum (Besluit) contohnya peraturan perundang-undangan, keputusan Bupati mengenai tata cara pengajuan ijin ini Besluit bukan KTUN karena ditujukan untuk umum; 6.21 Bahwa terhadap barang milik negara yang untuk kepentingan umum terhadapnya tidak dapat diletakkan sita jaminan dan berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara No. 1 Tahun 2004 disebutkan larangan melakukan penyitaan terhadap barang milik negara atau barang yang dikuasai oleh Negara; 6.22 Bahwa redaksi tidak sah, pembatalan dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara hukum juga sama artinya
152
7.
Pertimbangan Hukum Hakim
7.1
Menimbang, bahwa eksepsi kewenangan dari Tergugat, Tuurt Tergugat I dan turut Tergugat II adalah sebagaimana tersebut di atas;
7.2
Menimbang, bahwa oleh karena tergugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II mengajukan eksepsi kewenangan mengadili, maka berdasarkan ketentuan Pasal 136 HIR, Majelis terlebih dahulu mempertimbangkan
dan
kemudian
memutus
tentang
eksepsi
kewenangan mengadili tersebut; 7.3
Menimbang, bahwa mencermati dalil-dalil eksepsi kewenangan yang diajukan oleh Tergugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II pada pokoknya adalah sama, yaitu bahwa Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.
7.4
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan menilai apakah eksepsi kewenangan mengadili yang diajukan Para Tergugat tersebut beralasan menurut hukum, ataukah tidak ?
7.5
Menimbang, bahwa sebagaimana posita gugatan angka (2) dan petitum gugatan angka (2) yang menjadi Objek Sengketa adalah tanah seluas ± 122,5 m2 yang masuk dan tertulis dalam Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran, Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. 00031/Pabuaran seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta;
7.6
Menimbang, bahwa selanjutnya dalam posita gugatan angka (13) dan petitum gugatan angka (9) meminta agar Sertifikat Hak Pakai No.
153
00016/Kel.
Pabuaran,
Surat
Ukur
tanggal
09/10/2008
No.
00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta sepanjang menyangkut Objek Sengketa dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 7.7
Menimbang, bahwa di samping itu, dalam posita gugatan angka (8) sampai dengan angka (12), dan petitum angka (8) terhadap Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. SK 29/530.3/11.27/2008 yang menjadi dasar terbitnya Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran tersebut, sepanjang menyangkut objek sengketa, Para Penggugat juga meminta agar dinyatakan tidak sah dan dibatalkan;
7.8
Menimbang, bahwa yang menjadi pertanyaannya adalah : apakah produk hukum yang diminta supaya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan/atau diminta supaya dinyatakan tidak sah dan/atau dibatalkan tersebut, in casu Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten
Banyumas
tanggal
31/12/2008
No.
SK29/530.3/11.27/2008 tersebut merupakan Keputusan Tata Usaha Negara ? dan selanjutnya apakah yang disengketakan para pihak tersebut dikategorikan sebagai Sengketa Tata Usaha Negara ? 7.9
Menimbang, bahwa batasan/pengertian Keputusan Tata Usaha Negara secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1 angka (9) Undang-Undang
154
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu : “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badann hukum perdata”; 7.10 Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “konkret” adalah keputusan tersebut nyata-nyata diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, keputusan tersebut tidak abstrak tetapi berwujud keputusan tertulis, sedangkan “individual” berarti keputusan tersebut tidak ditujukan untuk umum, tetapi ditujukan khusus kepada person hukum tertentu, baik orang atau badan/lembaga, selanjutnya “final” berarti keputusan Tergugat tersebut sudah tidak lagi memerlukan persetujuan instansi lainnya, tetapi telah definitif dan telah menimbulkan akibat hukum kepada person hukum tertentu; 7.11 Menimbang, bahwa apabila batasan-pengertian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dikaitkan dengan produk hukum berupa : Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. SK29/530.3/11.27/2008 sebagaimana tersebut di atas, menurut Majelis Hakim kedua produk hukum tersebut termasuk dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara;
155
7.12 Menimbang, bahwa baik Ahli dari Pihak Tergugat dan Turut Tergugat I maupun Ahli dari Pihak Penggugat, di persidangan juga memberikan pendapatnya, bahwa kedua produk hukum tersebut termasuk dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara; 7.13 Menimbang, bahwa lebih daripada itu, mencermati anasir penetapan tertulis, yang konkret, yang individual, dan yang final dari kriteria Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tersebut, menurut Majelis, kedua produk hukum tersebut juga tidak termasuk produk Keputusan Tata Usaha Negara yang dikecualikan undang-undang, yaitu tidak merupakan keputusan fiktif-negatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan juga bukan Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata, atau Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan, atau Keputusan Tata Usaha Negara yang didasarkan pada peraturan perundangan pidana, atau KTUN yang didasarkan atas hasil pemeriksaan badan peradilan, atau Keputusan Tata Usaha Negara yang terkait dengan Tentara Nasional Indonesia, atau Keputusan Tata Usaha Negara Komisi Pemilihan Umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986; 7.14 Menimbang, bahwa selanjutnya pasal 1 angka (10) Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 menegaskan tentang pengertian Sengketa Tata Usaha Negara, dimana ditentukan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara
156
adalah : “sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan dan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara............”; 7.15 Menimbang, bahwa perihal permintaan sita jaminan, penentuan Jalur Hijau, perintah pembongkaran atas apa yang didalilkan sebagai Aset Negara atau Barang Milik Negara, sebagaimana petitum angka (2), (3), dan angka (6), oleh karena itu merupakan turunan (derivasi) dan bersifat assesoir dari hal-hal pokok tersebut di atas, maka tidak dipertimbangkan lebih lanjut; 7.16 Menimbang, bahwa dari fakta dan uraian pertimbangan tersebut di atas, menunjukkan bahwa materi pokok sengketa antara pihak Penggugat dengan pihak Tergugat dan Turut Tergugat tersebut adalah masuk dalam lingkup sengketa Tata Usaha Negara; 7.17 Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jelas ditegaskan, bahwa : “Peradilan Tata Usaha Negara berwennag memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”; 7.18 Menimbang, bahwa oleh karena pokok sengketa para pihak, sebagaimana diuraikan di atas masuk dalam lingkup “sengketa Tata Usaha Negara”, maka lembaga yang berwenang mengadili perkara aquo adalah Peradilan Tata Usaha Negara, dan dengan demikian, maka
157
eksepsi kewenangan dari Tergugat dan Turut Tergugat I serta Turut Tergugat II tersebut adalah beralasan menurut hukum, dan karenanya harus diterima; 7.19 Menimbang, bahwa pendapat Majelis tersebut di atas, bersesuaian dengan Putusan Mahkamah Agung RI berikut : - Putusan MA RI No. 140 K/tun/2000 tanggal 11 Februari 2002 (Kompilasi Kaidah Hukum, Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Masa Setengah Abad, M. Ali Boediarto); - Putusan Mahkamah Agung RI No. 330 K/TUN/2004 tanggal 10 Mei 2002 (Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2008, Mahkamah Agung RI 2007); - Putusan MA RI No. 213 K/TUN/2007 tanggal 6 November 2007 (Yirsprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2010, Badan Litbang & Diklat Hukum dan Peradilan, MA RI 2010); 7.20 Menimbang, bahwa karena eksepsi kewenangan dari Tergugat dan Turut Tergugat I serta Turut Tergugat II tersebut beralasan menurut hukum dan diterima, maka harus dinyatakan, bahwa Pengadilan Negeri in casu Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang untuk mengadili perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt. ini; 7.21 Menimbang, bahwa karena Pengadilan Negeri in casu Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang untuk mengadili perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt. ini, maka terhadap materi pokok gugatan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Majelis;
158
7.22 Menimbang, bahwa karena Para Penggugat berada di pihak yang kalah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 181 HIR, Para Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini, yang besarnya akan disebutkan dalam amar putusan; 7.23 Menimbang, bahwa karena eksepsi kewenangan tersebut diterima, dan karenanya Pengadilan Negeri in casu Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang untuk mengadili perkara ini, maka berdasarkan ketentuan Pasal 190 ayat (2) HIR, bentuk putusan ini dipandang sebagai PUTUSAN AKHIR; 7.24 Mengingat Pasal 1 angka (9) dan angka (10) Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 47 UndangUndang No. 5 Tahun 1986, Pasal 136 HIR, Pasal 190 ayat (2) HIR, dan pasal-pasal lain dari peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan; 8.
Diktum Putusan Majelis Hakim
8.1. Menerima eksepsi Tergugat dan Turut Tergugat I serta Turut Tergugat II; 8.2. Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut; 8.3. Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 1.521.000,- (satu juta lima ratus dua puluh satu ribu rupiah);
159
B. PEMBAHASAN 1.
Bentuk Perlindungan Hukum bagi rakyat terhadap Tindakan Pemerintah berdasarkan Konsep Hukum Administrasi Negara Abad ke-21 ini mulai berkembang dengan adanya konsep negara hukum yang kini mulai dianut oleh banyak negara di dunia. Konsep negara hukum tersebut juga diterapkan di Indonesia dengan tidak terlepas dari konsep negara hukum kontinental. Hal tersebut dikarenakan Indonesia dijajah oleh Belanda yang menganut konsep negara hukum Eropa Kontinental. Salah satu unsur yang melekat dari negara hukum (rechtstaat) menurut Stahl, yaitu pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan,130 artinya bahwa segala tindakan pemerintahan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut. Pemerintah dalam melakukan hubungan dengan warga negara senantiasa terjadi setiap waktu karena pemerintahan tidak bisa melaksanakan tanpa adanya rakyat. Setiap tindakan pemerintahan haruslah dilandaskan pada suatu peraturan perundang-undangan sebagai bentuk pencegahan pemerintah tidak melakukan perbuatan sewenangwenang terhadap rakyat. Tujuan adanya pemerintahan harus dijalankan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan,
dimaksudkan
untuk
menjamin
perlindungan hak-hak asasi manusia jika tindakan pemerintah tersebut
130
Pendapat ini dikutip dari Miriam Budiardjo, op.cit., 76.
160
ternyata merugikan rakyat. Untuk menjamin hak-hak asasi tersebut konsep negara hukum (rechtstaat) juga memberikan suatu perlindungan hukum kepada rakyat yaitu adanya peradilan administrasi di dalam perselisihan antara pemerintah dengan rakyat yang dirugikan. Berdasarkan konsep Hukum Administrasi Negara (HAN), ajaran perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada rakyat dari tindakan pemerintah yang melanggar hukum dan merugikan rakyat, dapat digolongkan menjadi dua yaitu : 1. Perlindungan hukum dalam bidang hukum publik (publiek rechtsbecherming); 2. Perlindungan hukum dalam bidang hukum privat (private rechtsbecherming). Perlindungan hukum baik dalam bidang hukum publik (dalam hal ini HAN), maupun dalam bidang hukum privat, erat kaitannya dengan konsep kedudukan hukum pemerintah dan konsep tindakan pemerintah (Bestuur handelingen). Berdasarkan
konsep
kedudukan
hukum
pemerintah,
maka
pemerintah memiliki 2 (dua) kedudukan hukum, yaitu : 1. Kedudukan pemerintah dalam bidang hukum publik, maka pemerintah berkapasitas sebagai “pejabat” (ambtsdrager) dari “jabatan pemerintahan” Ketika pemerintah melakukan tindakan dalam kapasitasnya sebagai pejabat, tindakan tersebut tunduk dan diatur berdasarkan
161
ketentuan HAN. Tindakan pemerintah dalam bidang HAN dapat mengakibatkan terjadinya perbuatan yang melanggar/bertentangan dengan HAN, yang merugikan hak-hak warga negara. Apabila terjadi pelanggaran hukum ini, terhadap warga negara diberikan perlindungan hukum berdasarkan HAN. 2. Kedudukan pemerintah dalam bidang hukum privat, maka pemerintah berkapasitas sebagai wakil dari “badan hukum publik” (publiek rechtspersoon/ public legal entity). Ketika pemerintah melakukan tindakan dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum, tindakan tersebut tunduk dan diatur berdasarkan ketentuan hukum keperdataan.
Tindakan
pemerintah dalam bidang hukum keperdataan dapat mengakibatkan terjadinya perbuatan yang melanggar/bertentangan dengan hukum perdata, yang merugikan hak-hak warga negara. Apabila terjadi pelanggaran hukum ini, terhadap warga negara diberikan perlindungan hukum berdasarkan hukum perdata. Dalam pembahasan yang pertama ini yakni mengenai bentuk perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dalam konsep Hukum Administrasi Negara, akan diawali dari perlindungan hukum dalam bidang hukum publik. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dalam bidang hukum publik, kedudukan pemerintah berkapasitas sebagai wakil dari suatu ”jabatan”. Ketika pemerintah melakukan tindakan dalam kapasitasnya
162
sebagai pejabat, tindakan tersebut tunduk dan diatur berdasarkan ketentuan HAN.
Tindakan pemerintah dalam bidang HAN dapat
mengakibatkan terjadinya perbuatan yang melanggar/bertentangan dengan HAN, yang merugikan hak-hak warga negara. Apabila terjadi pelanggaran hukum ini, terhadap warga negara diberikan perlindungan hukum berdasarkan HAN. Perlindungan Hukum yang ditujukan terhadap rakyat juga harus lebih dipahami bahwa suatu tindakan pemerintah tidak hanya didasarkan atas suatu keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau hal ini pejabat atau tata usaha negara. Namun yang harus lebih ditekankan yaitu jenis tindakan pemerintah apa yang dilakukan di dalam melakukan hubungan hukum dengan rakyat. Hal ini penting dengan tujuan mengarahkan pada suatu konsep perlindungan hukum dan bagaimana konsep penyelesaian hukumnya terhadap suatu tindakan pemerintah yang merugikan rakyat. Konsep perlindungan hukum dalam bidang hukum publik, erat kaitannya dengan konsep tindakan pemerintahan (bestuur handelingen), oleh karena itu sebelum membahas konsep Perlindungan Hukum bagi rakyat, terlebih dahulu akan penulis jabarkan mengenai Skema Tindakan Pemerintahan yang akan mengarah pada konsep Perlindungan Hukum bagi rakyat dalam ranah Hukum Administrasi Negara. Tindakan Pemerintah dalam hubungannya dengan rakyat dapat dijabarkan dengan skema Tindakan Hukum Pemerintahan:
163
Skema Tindakan Hukum Pemerintahan131 Bestuurshandelingen
Feitelijke Handeling en
Rechtshandelingen
Privaatrechtelijke Rechtshandelingen
Publiekrechtelijke Rechtshandelingen
Eenzijdige Publiekrechtelijke Rechtshandelingen
Besluiten van Algemene Strekking
Meerzijdige Publiekrechtelijke Rechtshandelingen
Beschikkingen
Keterangan/Terjemah 1. Bestuurshandelingen : Tindakan-tindakan pemerintahan 2. Feitelijke handelingen : Tindakan-tindakan nyata 3. Rechtshandelingen : Tindakan-tindakan hukum 4. Privaatrechtelijke rechshandelingen : Tindakan-tindakan keperdataan 5. Publiekrechtelijke rechshandelingen : Tindakan-tindakan hukum publik 6. Meerzijdige publiekrechtelijke : Tindakan-tindakan hukum publik rechshandelingen beberapa pihak 7. Eenzijdige pubkliekrechtelijke : Tindakan-tindakan hukum publik rechshandelingen sepihak 8. Besluiten van algemene strekking : Keputusan yang ditujukan untuk umum (keputusan yang bersifat umum) 9. Bescihkking : Keputusan (yang bersifat konkret,dan Individual) 131
Ridwan HR, op.cit., hlm. 123.
164
Skema
di
atas
menunjukkan
bahwa
Bestuurshandelingen
(tindakan-tindakan pemerintahan) terdiri dari 2 (dua) yaitu : 1. Feitelijke handelingen (tindakan-tindakan nyata); dan 2. Rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum). Pengertian Feitelijke Handelingen (tindakantindakan nyata) yaitu merupakan suatu tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum.132 Sedangkan
pengertian
Rechtshandelingen
(tindakan-tindakan
hukum) adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu, yaitu menciptakan adanya suatu hak dan kewajiban.133 Di sini penulis akan menjabarkan dari unsur Rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum) dikarenakan unsur ini yang akan menurunkan unsur yang berkaitan dengan tindakan pemerintah dengan kaitannya perlindungan hukum terhadap rakyat. Rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum) dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu : 1. Privaatrechtelijke
rechtshandelingen
(tindakan-tindakan
keperdataan); dan 2. Publiekrechtelijke rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum publik). Baik
Privaatrechtelijke
rechtshandelingen
(tindakan-tindakan
keperdataan) maupun Publiekrechtelijke rechtshandelingen (tindakan132 133
Dikutip dari C.J.N. Versteden, op.cit., hlm. 55. Dikutip dari R.J.H.M. Huisman, op.cit., hlm. 13.
165
tindakan hukum publik) telah penulis uraikan pada Bab II Tinjauan Pustaka, yang pada intinya adalah untuk menentukan apakah tindakan pemerintahan itu diatur oleh hukum privat atau hukum hukum publik adalah dengan melihat kedudukan pemerintah dalam menjalankan tindakan tersebut. Jika pemerintah bertindak dalam kualitasnya sebagai pemerintah, maka hanya hukum publiklah yang berlaku, sedangkan jika pemerintah bertindak tidak dalam kualitas pemerintah, maka hukum privatlah yang berlaku,134 dengan kata lain, ketika pemerintah terlibat dalam pergaulan keperdataan dan bukan dalam kedudukannya sebagai pihak yang memelihara kepentingan umum, ia tidak berbeda dengan pihak swasta, yaitu tunduk pada hukum privat. Contoh dari penjabaran di atas yaitu ketika Kabupaten membeli beberapa mobil bus baru untuk kepentingan perusahaannya, kabupaten melaksanakan perjanjian jual beli yang didasarkan pada hukum perdata. Disebutkan juga bahwa “Als zodanig is de gemeente draagster van privaatrechtelijke rechten en plichten, zij kan deelnemen an het “gewone” rechtsverkeer. En wanner zij dat doet neemt zijn in beginsel dezelfde positie in als elke andere natuurlijke of rechtspersoon” (sebagaimana badan hukum privat, kabupaten adalah pemikul hak dan kewajiban keperdataan. Kabupaten dapat melakukan berbagai tindakan hukum berdasarkan hukum perdata, ia dapat terlibat dalam lalu lintas
134
N.E. Algra, et.al., op.cit., hlm. 173-174.
166
pergaulan hukum “biasa”. Apabila kabupaten melakukan tindakan tersebut, secara prinsip kedudukannya sama dengan seseorang atau badan hukum).135 Berdasarkan contoh dan keterangan tersebut tampak bahwa pemerintah atau pemerintah daerah - sebagai wakil dari negara atau kabupaten – dapat melakukan perbuatan atau tindakan hukum publik dan tindakan hukum keperdataan. Lebih lanjut penulis jabarkan bahwa di dalam Publiekrechtelijke rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum publik) terdiri dari 2 (dua) bentuk macam yaitu : 1. Eenzijdige Publiekrechtelijke Rechtshandelingen (tindakan-tindakan
hukum
publik
sepihak); dan
2.
Meerzijdige
Publiekrechtelijke Rechtshandelingen (tindakan-tindakan hukum publik beberapa pihak). Indroharto berpendapat berkaitan dengan tindakan hukum publik sepihak bahwa : “Tindakan hukum tata usaha negara itu selalu bersifat sepihak, dan tindakan hukum tata usaha negara itu bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum tata usaha negara yang memiliki kekuatan hukum itu pada akhirnya tergantung pada kehendak sepihak dari badan atau jabatn tata usaha negara yang memiliki wewenang pemerintahan untuk berbuat demikian” 136 Pernyataan Indroharto tersebut dapat dijabarkan bahwa inti dari tindakan hukum publik sepihak menurut penulis yaitu hanya adanya satu kehendak untuk dapat terlaksananya tindakan pemerintah itu, yaitu
135 136
W.G. Verkruisen en B.C. Vis, Gemeente en Gemeentewet, Nijmegen, 1987, hlm. 240. Indroaharto, op.cit., hlm. 147-18.
167
kehendak
tersebut
berasal
dsari
pemerintah
yang
berwenang
mengeluarkan wewenang melakukan tindakan pemerintah tersebut. Sedangkan penjabaran mengenai tindakan-tindakan hukum publik beberapa pihak yaitu penulis memberikan pendapat berdasarkan pada Pendapat Indroharto yang pada pokonya tindakan-tindakan hukum publik
beberapa
pihak
(Meerzijdige
Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen) yaitu tindakan Hukum Tata Usaha Negara tersebut berdasarkan pada dua kehendak atau lebih baik dari itu badan atau jabatan tata usaha negara maupun pihak yang berkepentingan untuk dapat terlaksananya tindakan hukum publik tersebut. Penjabaran mengenai tindakan-tindakan hukum publik sepihak (Eenzijdige Publiekrechtelijke rechtshandelingen) mengacu pada turunan dari tindakan hukum publik beberapa pihak ini yang terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu : 1. Besluiten van Algemene Strekking (keputusan yang ditujukan untuk umum/keputusan yang bersifat umum); dan 2. Beschikking (Keputusan yang bersifat konkret dan individual). Baik Keputusan yang bersifat umum / keputusan yang ditujukan untuk umum (Besluiten van Algemene Strekking), maupun Keputusan yang bersifat konkret dan individual (Beschikking) pada hakikatnya merupakan suatu Instrumen Yuridis / Instrumen Hukum yang bertujuan untuk menjalankan kegiatan mengatur dan menjalankan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan. Dalam hal ini berupa peraturan perundang-undangan,
keputusan-keputusan,
peraturan
kebijakan,
168
perizinan,
instrumen
hukum
keperdataan
dan
sebagainya.137
Mendasarkan hal tersebut baik Besluiten van Algemene Strekking maupun Beschikking masuk dalam kategori Instrumen Yuridis / Instrumen Hukum di dalam Hukum Administrasi Negara. Penulis disini akan memulai dengan menjabarkan dua produk Instrumen Hukum tersebut. Pada keputusan yang bersifat umum / ditujukan untuk umum (Besluiten van Algemene Strekking) merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan. Mengenai pengertian peraturan perundang-undangan, A. Hamid S. Attamimi mengemukakan sebagai berikut : “Istilah perundang-undangan (wettelijkeregels) secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusian ataupun delegasian undangundang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundangundangan maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripadanya seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden yang berisi peraturan, Keputusan Menteri yang berisi peraturan, Keputusan Kepala Lembaga Pemerintah NonDepartemen yang berisi peraturan, Keputusan Direktur Jenderal Departemen yang dibentuk dengan Undang-Undang yang berisi peraturan, Peraturan Daerah Tingkat I, Keputusan gubernur Kepala Daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat I, Peraturan Daerah Tingkat II, dan Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Tingkat II”. 138 Menurut
Satjipto
Raharjo,
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
137 138
Ridwan HR, op.cit., hlm. 125. A. Hamid S. Attamimi, op.cit., hlm. 3.
Peraturan
perundang-undangan
169
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas; 2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwaperistiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja; 3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.139 Selanjutnya pengertian peraturan perundang-undangan secara yuridis normatif terdapat dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menjelaskan bahwa peraturan perundang-perundangan adalah : “ semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang mengikat umum. “ Pengertian
peraturan
perundang-undangan
tersebut
dalam
Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tersebut di atas, paralel dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan,
yang
menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau diterapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
139
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 83-84.
170
Berdasarkan pengertian peraturan perundang-undangan tersebut di atas, terlihat bahwa ciri khas atau unsur utama peraturan perundangundangan adalah “mengikat secara umum”. Peraturan perundangundangan yang bersifat mengikat umum (algemeen verbindend voorschrift ) disebut juga dengan istilah undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin), yaitu ieder rechtsvoorschrift van de overheid met algemeen strekking, (semua hukum tertulis dari pemerintah yang mengikat umum). Berdasarkan
kualifikasi
norma
hukum
di
atas,
peraturan
perundang-undangan itu bersifat umum-abstrak. Perkataan bersifat umum-abstrak dicirikan oleh unsur-unsur sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Tijd (een regel geldt niet slechts op een moment); Waktu (tidak berlaku pada saat tertentu); Plaats (een regel geldt niet slechts op een plaants); Orang (tidak hanya berlaku pada tempat tertentu); Persoon (een regel geldt niet slechts voor bepaalde persoon); Orang (tidak hanya berlaku pada orang tertentu); dan Rechtsfeit (een regel geldt niet voor een enkel rechtsfeit, maar voor rechtsfeiten die herhaalbaar zijn, dat wil zeggen zich telkens voor kunnen doen). Fakta hukum (tidak hanya ditujukan pada fakta hukum tertentu, tetapi untuk berbagai fakta hukum yang dapat berulang-ulang, atau untuk perbuatan yang berulang-ulang). 140 Setelah penjabaran mengenai peraturan perundang-undangan
/Regeling atau jenis tindakan pemerintahan yang digolongkan sebagai Besluiten van Algemene Strekking (keputusan yang ditujukan/bersifat umum) di atas, maka penjabaran berikutnya yaitu mengenai Beschikking (Keputusan yang bersifat konkret dan individual). Telah dijabarkan
140
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 131.
171
secara lengkap mengenai Keputusan (Beschikking) di Bab II Tinjauan Pustaka. Pengertian Beschikking atau ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara, secara yuridis normatif dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 ( sebelumnya diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986), yang menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah : “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.
Penetapan tertulis;
2.
Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
3.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4.
Bersifat konkret, individual, dan final;
5.
Menimbulkan akibat hukum;
6.
Seseorang atau badan hukum perdata. Penulis memberikan penjelasan terhadap Instrumen Hukum baik
itu Besluiten van Algemene van Strekking maupun Beschikking. Jika Besluiten van Algemene Strekking (keputusan yang ditujukan/bersifat umum) merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan baik itu berupa undang-undang maupun peraturan di bawahnya, yang mana
172
peraturan-peraturan tersebut bersifat “umum”. Sedangkan Beschikking atau Keputusan Tata Usaha Negara (keputusan yang bersifat konkret dan individual) merupakan suatu penetapan yang dibuat oleh badan/pejabat tata usaha negara yang menimbulkan suatu akibat hukum, yang mana penetapan tersebut bersifat “individual” karena hanya ditujukan kepada seseorang atau badan hukum perdata tertentu saja. Kedua produk hukum tersebut berasal dari pemerintah, dalam arti produk hukum tersebut adalah sebagai alat untuk menjalankan tindakantindakan hukum publik (Publiekrechtelijke rechtshandelingen). Sehingga ketika tindakan hukum publik tersebut ditujukan kepada rakyat maka berlaku hukum publik dalam menjalankan tindakan hukum tersebut. Hubungan antara Konsep Perlindungan Hukum bagi rakyat dengan tindakan pemerintah di bidang Hukum Administrasi Negara baik tindakan hukum keperdataan maupun tindakan hukum publik yaitu melihat tindakan pemerintah itu sendiri. Sedangkan perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada rakyat terhadap tindakan pemerintah dalam bidang hukum publik dapat dibedakan berdasarkan jenis dari tindakan pemerintah ketika pemerintah melakukan hubungan hukum dengan rakyat, tindakan pemerintah tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan atau Regeling yaitu: 1. Suatu tindakan pemerintah yang digolongkan dalam Besluiten van Algemen strekking (keputusan yang bersifat/ditujukan kepada
173
umum), dalam hal ini yakni tindakan berupa menerbitkan peraturan perundang-undangan; 2. Suatu tindakan pemerintah yang digolongkan dalam Beschikking atau ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara (keputusan yang bersifat/ditujukan kepada individu). Di Indonesia perlindungan hukum bagi rakyat akibat tindakan hukum pemerintah ada beberapa kemungkinan, tergantung dari instrumen hukum yang digunakan pemerintah ketika melakukan tindakan hukum. Telah disebutkan bahwa instrumen hukum yang lazim digunakan adalah peraturan perundang-undangan dan keputusan. Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya peraturan perundang-undangan ditempuh melalui Mahkamah Agung, dengan cara hak uji materiil, sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundangundanagn di bawah undang-undang”. Ketentuan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji secara materiil peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terdapat pula dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; “Mahkamah Agung berwenang untuk menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang”. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 5 Tahun
174
2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang menentukan bahwa : (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang. (2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Selanjutnya
mengenai
siapa
(subjek
hukum)
yang
dapat
mengajukan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan /Yudicial Review ditentukan dalam Pasal 31A ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang menentukan : Permohonan (pengujian peraturan perundang-undangan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau c. badan hukum publik atau badan hukum privat. Dalam rangka perlindungan hukum, sebagaimana tampak di atas, terdapat tolok ukur untuk menguji secara materiil suatu peraturan perundang-undangan yaitu bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan pengujian secara formil tolok ukurnya yakni apakah pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Khusus mengenai peraturan perundang-undangan tingkat daerah, pembatalan sering diterapkan dalam arti pembatalan spontan, yakni
175
pembatalan atas dasar inisiatif sendiri dari organ yang berwenang menyatakan pembatalan, tanpa melalui proses peradilan,141 dan tujuan utama dari pembatalan ini adalah untuk pengawasan jalannya pemerintahan
tingkat
daerah
dan
untuk
perlindungan
hukum
(rechtsbescherming).142 Perlindungan hukum bagi rakyat dari suatu peraturan perundangundangan di tingkat Daerah (Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota, serta Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota) dapat dilihat dari adanya ketentuan mengenai pembatalan terhadap peraturan perundang-undangan di tingkat Daerah tersebut, ketentuan tersebut terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adanya
ketentuan
mengenai
pembatalan
suatu
peraturan
perundang-undangan di tingkat Daerah tersebut sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hal ini menunjukan bahwa khusus pembatalan terhadap produk hukum daerah tersebut diatur tersendiri berdasarkan ketentuan yang secara specialis terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang
organik
mengenai
Pemerintahan
Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
141
Ibid, hlm. 231. Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Rapport van De Commissie Inzake Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Samsom H.D. Tjeenk Willink B.V., Alphen aan den Rijn, 1984, hlm. 281. 142
176
Undang-undang ini dapat dikatakan sebagai undang-undang yang relatif masih baru, yang merupakan pergantian dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kaitan hubungan antara UU Nomor 23 Tahun 2014 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, ditentukan dalam Pasal 409 huruf b UU Nomor 23 Tahun 2014 yang menentukan bahwa: “ Sejak mulai berlakunya (diundangkannya) undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.” Dalam UU No. 23 Tahun 2014 terdapat ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi rakyat akibat dirugikan oleh peraturan perundang-undangan daerah yang berupa Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, serta yang berupa peraturan kepala daerah (Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota)). Pasal 249 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur
ketentuan
mengenai
kewajiban
kepala
daerah
untuk
melaporkan/menyampaikan produk hukum daerah kepada pejabat pemerintah yang secara hierarkis lebih tinggi, ketentuan tersebut adalah sebagai berikut : (1) Gubernur wajib menyampaikan Perda Provinsi dan peraturan gubernur kepada Menteri paling lama 7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan.
177
(2) Gubernur yang tidak menyampaikan Perda Provinsi dan peraturan gubernur kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari Menteri. (3) Bupati/Walikota wajib menyampaikan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling lama 7 (tujuh) Hari setelah ditetapkan. (4) Bupati/walikota yang tidak menyampaikan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Berdasarkan hal tersebut di dalam Pasal 250 UU No. 23 Tahun 2014 menyebutkan mengenai kriteria yang dilarang dalam penyusunan peraturan tersebut sebagaimana dijelaskan pada Pasal 249 di atas, diantaranya sebagai berikut : (1) Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. (2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. terganggunya kerukunan antar-warga masyarakat; b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum; d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, dan gender. Berdasarkan isi dari pasal-pasal tersebut di atas, maka jika Perda ataupun Perkada itu ternyata dalam pembuatannya bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan, ketentuan umum, dan kesusilaan sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 250, maka pembatalannya diatur di dalam Pasal 251 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan sebagai berikut :
178
(1) Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri. (2) Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. (3) Dalam hal Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau Peraturan Bupati/Walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau Peraturan Bupati/Walikota. (4) Pembatalan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. (5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. (6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala daerah mencabut Perkada dimaksud. (7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundangundangan, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima. (8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan bupati/wali kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota diterima.
179
Selanjutnya Pasal 252 UU Nomor 23 Tahun 2014 mengatur mengenai adanya sanksi yang dijatuhkan kepada kepala daerah yang tetap memberlakukan produk hukum daerah yang telah dibatalkan. Pasal 252 menentukan sebagai berikut : (1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang dibatalkan oleh Menteri atau oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (4), dikenai sanksi. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. sanksi administratif; dan/atau b. sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda; (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenai kepada kepala Daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 3 (tiga) bulan. (4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterapkan pada saat penyelenggara Pemerintahan Daerah masih mengajukan keberatan kepada Presiden untuk Perda Provinsi dan kepada Menteri untuk Perda Kabupaten/Kota. (5) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota masih memberlakukan Perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang dibatalkan oleh Menteri atau dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, dikenai sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah bersangkutan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, tampak bahwa peraturan perundang-undangan baik itu di tingkat Provinsi dan di tingkat Kabupaten/Kota mempunyai mekanisme pembatalan yang berbeda. Untuk Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur pembatalannya dilakukan oleh menteri, dan jika dapat membuktikan bahwa Perda Provinsi atau Peraturan Gubernur tersebut tidak bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan maka dapat mengajukan keberatannya kepada Presiden paling
180
lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur diterima. Sedangkan untuk Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota pembatalannya dilakukan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, dan jika dapat membuktikan bahwa Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan maka dapat mengajukan keberatannya kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota diterima. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 249, Pasal 250, Pasal 251, dan Pasal 252 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah erat kaitannya dengan konsep perlindungan hukum bagi rakyat dari suatu tindakan pemerintah yang berupa peraturan perundang-undangan di tingkat Daerah yang berupa Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota serta yang berupa Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota. Perlindungan hukum bagi rakyat yang secara implisit terdapat dalam ketentuan-ketentuan Pasal 249, Pasal 250, Pasal 251, dan Pasal 252 UU Nomor 23 Tahun 2014, dapat dideskripsikan sebagai berikut : 1.
Dari ketentuan Pasal 249, terdapat perlindungan hukum bagi rakyat yang berupa mekanisme pengawasan dari pejabat lebih tinggi yang berwenang, mekanisme kontrol tersebut berupa adanya kewajiban
181
melaporkan produk hukum daerah kepada pejabat yang berwenang, dimana apabila kewajiban laporan tersebut tidak dilakukan, maka kepada pejabat yang melanggar akan dikenai sanksi administratif berupa “Tegugran Tertulis”; 2.
Dari ketentuan Pasal 250, terdapat semangat perlindungan hukum bagi rakyat dari suatu produk hukum di tingkat daerah yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Perlindungan hukum bagi rakyat tersebut nampak dari ketentuan yang menentukan bahwa suatu Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Arti penting dari ketentuan ini, dalam perspektif perlindungan hukum bagi rakyat yakni karena suatu produk hukum yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, biasanya bersifat merugikan kepentingan rakyat;
3.
Dari ketentuan Pasal 251, semangat perlindungan hukum bagi rakyat nampak dari adanya pembatalan oleh pejabat yang berwenang terhadap peraturan perundang-undangan di tingkat daerah yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Ketentuan Pasal 251 inilah yang merupakan inti dari upaya perlindungan
182
hukum bagi rakyat, yakni berupa pembatalan suatu peraturan perundang-undangan di tingkat Daerah. Artinya apabila terdapat suatu peraturan perundang-undangan di tingkat Daerah yang merugikan rakyat, maka sebagai bentuk perlindungan hukum, rakyat diberi hak untuk mengajukan permohonan/gugatan kepada pejabat yang berwenang, agar peraturan perundang-undangan tersebut dibatalkan. 4.
Dari ketentuan Pasal 252, terlihat adanya perlindungan hukum bagi rakyat dari tetap diberlakukannya suatu peraturan perundangundangan di tingkat Daerah yang telah dibatalkan oleh pejabat yang berwenang. Karena menurut ketentuan Pasal 252 ini, apabila Gubernur atau Bupati/Walikota serta anggota DPRD yang tetap “nekat” memberlakukan peraturan perundang-undangan tersebut, maka kepadanya dikenai sanksi yang cukup keras yakni berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 3 (tiga) bulan”. Bahkan lebih dari pada itu, dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota masih memberlakukan Perda mengenai pajak daerah dan/atau retribusi daerah yang dibatalkan oleh Menteri atau dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, dikenai sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH bagi Daerah bersangkutan. Sanksi berupa “sanksi penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH” adalah merupakan yang lebih
183
keras dan serius, karena hal tersebut dapat menimbulkan dampak serius bagi keuangan Daerah yang bersangkutan. Pembahasan selanjutnya yakni bentuk perlindungan bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang berupa “ketetapan (Beschikking)” atau Keputusan Tata Usaha Negara. Perlindungan
Hukum
akibat
dikeluarkannya
ketetapan
(Beschikking) ditempuh melalui dua kemungkinan, yaitu melalui peradilan
administrasi
atau
Peradilan
Tata
Usaha
Negara
(administratieve rechtspraak) dan upaya administratif atau banding administrasi (administratief beroep). Dalam konsep Hukum Administrasi Negara, apabila terdapat suatu beschikking yang merugikan subjek hukum, maka subjek hukum yang dirugikan diberi suatu perlindungan hukum dengan cara mengajukan gugatan ke lembaga yang berwenang, lembaga tersebut yakni administratief beroep dan administratieve rechtspraak. Administratief beroep (upaya administratif) merupakan badan yang berwenang
menyelesaikan
penyelesaiannya
dilakukan
(eksekutif)
sendiri.
itu
sengketa masih
Tata dalam
Sedangkan
Usaha
Negara,
lingkungan
administratieve
yang
pemerintah rechtspraak
merupakan suatu penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, yang penyelesaiannya dilakukan oleh suatu peradilan administrasi (di Indonesia disebut Peradilan Tata Usaha Negara ), yakni suatu lembaga yang berasal dari lingkungan kekuasaan kehakiman (yudikatif).
184
Adapun
perbedaan
antara
Administratief
beroep
dengan
administratieve rechtspraak dapat dideskripsikan sebagai berikut : Unsur-unsur Peradilan Tata Usaha Negara / Peradilan Administrasi (Administratieve Rechtspraak), yaitu: 1. Adanya hukum, yakni Hukum Administrasi Negara/Hukum Tata Usaha Negara yang dapat diterapkan terhadap suatu perkara; 2. Adanya sengketa hukum yang konkrit, yang pada dasarnya disebabkan oleh keluarnya KTUN; 3. Adanya minimal 2 (dua) pihak, dan sekurang-kurangnya salah pihak harus administrasi negara; 4. Adanya badan peradilan yang berdiri sendiri dan terpisah, yang berwenang memutuskan perkara secara netral atau tidak memihak; 5. Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum, menemukan ”hukum in concreto” untuk ditaatinya hukum materiil. Unsur-unsur Upaya Administratif (Administratief Beroep), yaitu : 1. Adanya suatu perselisihan yang diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN atau tidak dikeluarkannya KTUN. 2. Penyelesaian sengketa/perselisihan dilakukan di lingkungan pemerintahan sendiri, baik melalui prosedur keberatan maupun melalui banding administrasi;
185
3. Adanya hukum, yakni Hukum Administrasi Negara yang dapat diterapkan terhadap suatu perkara; 4. Minimal dua pihak dan salah satu pihak adalah badan/pejabat administrasi; 5. Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum in concreto untuk menjamin ditaatinya hukum material. Perbedaan yang utama antara Administratief beroep dengan administratieve rechtspraak yakni terletak pada kedudukan lembaganya dan kedudukan hakim yang mengadilinya. Pada Administratief beroep, lembaganya berasal dari kekuasaan eksekutif (pemerintah) dan hakimnya berasal dari pejabat pemerintah (eksekutif), sehingga lembaganya maupun hakimnya bukan berasal dari kekuasaan yang netral atau independen karena merupakan bagian (terpengaruh) dari kekuasaan eksekutif. Bahwa oleh karena tidak berasal dari lembaga yudikatif, maka Administratief beroep disebut juga sebagai “Pengadilan Semu” atau “Quasi
Pengadilan”
atau
diartikan
sebagai
“pengadilan
tidak
sesungguhnya”, karena syarat-syarat untuk disebut sebagai pengadilan sesungguhnya tidak terpenuhi, syarat tersebut yakni “independensi kekuasaan peradilan” atau “kemerdekaan kekuasaan peradilan”. Dalam konsep negara hukum, pilar utama yang harus dipenuhi bagi kekuasaan kehakiman
adalah
adanya
“kemerdekaan
kekuasaan
kehakiman/peradilan”. Sedangkan “peradilan administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara)” dapat disebut sebagai peradilan yang sesungguhnya
186
karena memang berasal dari kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif), bahkan berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 Jo. Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lingkungan peradilan dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang kedudukannya berada di bawah Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi. Eksistensi
upaya
administratif,
sebagai
lembaga
untuk
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara semakin diakui sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Ketentuan mengenai upaya administratif ini terdapat dalam Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Upaya administratif ini ada dua macam, yaitu banding administratif dan prosedur keberatan. Banding administratif, yaitu penyelesaian sengketa tata usaha negara dilakukan oleh instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang disengketakan, sedangkan prosedur keberatan adalah penyelesaian sengketa tata usaha negara dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
187
Selanjutnya ketentuan mengenai penyelesaian sengketa tata usaha negara
melalui
Peradilan
Tata
Usaha
Negara
(administratieve
rechtspraak) terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9Tahun 2004 yang berbunyi : “Seseorang atau hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”. Pasal 53 ayat (1) merupakan ketentuan mengenai hak gugat yang dimiliki oleh orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabata Tata Usaha Negara. Mengenai alasan diajukannya gugatan, Pasal 53 ayat (2) UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan bahwa : Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam penjelasan huruf b disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas : a. b. c. d. e. f. g.
Kepastian hukum; Tertib penyelenggaraan negara; Kepentingan umum; Keterbukaan; Proporsionalitas; Profesionalitas; Akuntabilitas.
188
Berdasarkan keterangan mengenai penyelesaian sengketa terhadap keputusan tata usaha negara yang berlaku di Indonesia tampak bahwa tolok ukur yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hukum tertulis dan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau hukum tidak tertulis. Asas-asas umum tidak tertulis digunakan sebagai batu uji dalam proses peradilan ini terutama sehubungan dengan diberikannya kewenangan bebas (vrije bevoegdheid) kepada pemerintah. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai bentuk perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dalam bidang hukum privat (keperdataan). Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dalam bidang hukum privat, kedudukan pemerintah berkapasitas sebagai wakil dari suatu ”badan hukum (publik)” (publiek rechtspersoon/ public legal entity). Ketika pemerintah melakukan tindakan dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum, tindakan tersebut tunduk dan diatur berdasarkan ketentuan hukum keperdataan. Tindakan pemerintah dlm bidang hukum keperdataan dapat mengakibatkan terjadinya perbuatan yang melanggar/bertentangan dengan hukum perdata, yang merugikan hak-hak warga negara. Apabila terjadi pelanggaran hukum ini, terhadap warga negara diberikan perlindungan hukum berdasarkan hukum perdata. Perlindungan Hukum yang dapat diberikan kepada rakyat terhadap tindakan pemerintah di bidang keperdataan yaitu berdasarkan pada
189
kedudukan pemerintah sebagai wakil dari badan hukum publik dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dalam bidang keperdataan seperti jual beli, sewa menyewa, membuat perjanjian dan sebagainya. Dalam melakukan tindakan pemerintah tersebut, dimungkinkan muncul tindakan pemerintah
yang
bertentangan
dengan
hukum
(onrechtmatige
overheidsdaad). Berdasarkan dengan hal tersebut maka pemerintah dapat digugat di muka persidangan karena di dalam melakukan hubungan dengan warga dalam kapasitasnya sebagai pemerintah yang melakukan hubungan perdata yang menimbulkan adanya tindakan pemerintah yang bertentangan dengan hukum. Perlindungan hukum yang diberikan kepada rakyat ketika pemerintah berkedudukan sebagai wakil badan hukum (publik) dilakukan melalui sarana yangg disediakan oleh hukum perdata. Apabila tindakan pemerintah melanggar hukum perdata, maka warga negara yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Umum dengan menggunakan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal 1365 KUH Perdata menentukan : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Penafsiran perbuatan melawan hukum secara sempit terhadap unsur-unsur pasal tersebut yakni : 1). Perbuatan melawan hukum; 2). Timbulnya kerugian; 3). Hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian; 4). Kesalahan pada pelaku.
190
Sebelum tahun 1919, perbuatan melawan hukum tersebut ditafsirkan secara sempit, hal ini sebagai akibat pengaruh aliran legisme yang dominan pada saat itu. Menurut aliran legisme, hukum dipersamakan dengan undang-undang, sehingga perbuatan melawan hukum disamakan dengan perbuatan melanggar undang-undang. Akibatnya tidak akan pernah ada perbuatan melawan hukum, apabila perbuatan tersebut tidak melanggar undang-undang. Jadi sekalipun ada perbuatan pemerintah yang merugikan orang, akan tetapi apabila perbuatan tersebut tidak melanggar undang-udang, maka perbuatan pemerintah tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum. Konsekuensinya rakyat tidak dapat menggugat perbuatan pemerintah yang seperti itu (yang tidak melanggar uu). Perlindungan hukum dalam bidang hukum perdata yang diberikan kepada rakyat yakni dengan cara menggugat pemerintah di Peradilan Umum. Apabila perbuatan melawan hukum ditafsirkan secara sempit, maka hal tersebut mengakibatkan perlindungan hukum diberikan kepada warganegara menjadi semakin sempit juga. Sesudah tahun 1919, perbuatan melawan hukum ditafsirkan secara luas, sehingga kriteria perbuatan melawan hukum diantaranya adalah sebagai berikut: 1). Mengganggu hak orang lain; 2). Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 3). Bertentangan dengan kesusilaan; 4). Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati yang
191
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap benda orang lain. Di Indonesia kriteria Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh
pemerintah
telah
dikuatkan
di
dalam
Yurisprudensi
dan
menghasilkan patokan-patokan untuk menentukan kriteria Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa Yurisprudensi telah menjelaskan tentang kriteria perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan berdasarkan pada Putusan Mahkamah Agung No. 66K/Sip/1952 dan Putusan Mahkamah Agung No. 838 K/Sip/1970 yang menunjukkan kriteria perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah : a) perbuatan-penguasa itu melanggar undang-undang dan peraturan formal yang berlaku; b) perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masayarakat yang seharusnya dipatuhinya.143 Dengan
berdasarkan
pada
yurisprudensi
tersebut,
maka
Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan hukum pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum publik, yang melaksanakan perbuatan hukum keperdataan dan ketika menimbulkan kerugian bagi rakyat maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Peradilan Umum. Hal ini karena kedudukan pemerintah atau administrasi negara dalam hal ini tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata,
143
Dikutip dari Muchsan, op.cit., hlm. 28.
192
yaitu sejajar. Sejajar dalam arti pemerintah dapat sebagai tergugat maupun penggugat. Sehingga penjabaran mengenai konsep Perlindungan Hukum terhadap tindakan hukum pemerintah di bidang keperdataan, harus dilihat bahwa pemerintah tersebut berkedudukan sebagai wakil badan hukum publik ketika pemerintah tersebut melakukan perbuatan hukum keperdataan dengan rakyat, baik itu nerupa jual beli, sewa menyewa, membuat perjanjian dan sebagainya. Sehingga ketika melakukan hubungan hukum tersebut ternyata pemerintah melakukan tindakan pemerintah yang bertentangan dengan hukum dan merugikan rakyat, maka dapat dituntut pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum dengan berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 66K/Sip/1952 dan Putusan Mahkamah Agung No. 838 K/Sip/1970 mengenai kriteria perbuatan melawan hukum dari pemerintah dan penyelesaiannya di Pengadilan Negeri tempat pemerintah itu berada. 2.
Kesesuaian Antara Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt
dalam
Menentukan
Kewenangan
Mengadili, dengan Konsep dalam Hukum Administrasi Negara Pembahasan
ini
hendak
mendeskripsikan
kesesuian
antara
pertimbangan hukum Hakim dalam menentukan kewenangan mengadili, dengan konsep dalam Hukum Administrasi Negara. Konsep dalam Hukum Administrasi Negara yang dimaksud dalam konteks ini yakni mengenai konsep perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang melanggar hukum dan merugikan rakyat.
193
Menurut Philipus M. Hadjon, ada 2 (dua) macam perlindungan bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang melanggar hukum yaitu perlindungan preventif dan perlindungan hukum represif. Pada perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.144 Perlindungan hukum represif disini dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan hukum dengan cara menggugat atau mempermasalahkan atau memperkarakan pemerintah ke pengadilan (sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman/yudikatif). Untuk lebih memperjelas penelaahan konsep perlindungan hukum bagi rakyat sebagai bagian dari konsep dalam Hukum Administrasi Negara, dapat dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) kriteria yakni: 1.
Kedudukan hukum
pemerintah (bestuur rechtspotitie) dan
tindakan pemerintahan (bestuur handelingen); 2.
Ketentuan
mengenai
kewenangan
mengadili
suatu
badan
peradilan menurut peraturan perundang-undangan. Dengan menggunakan dua ktiteria tersebut di atas, akan dapat diketahui ketepatan mengenai :
144
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum… op.cit., hlm. 2.
194
1.
Kedudukan hukum pemerintah, dalam arti kapasitas pemerintah ketika melakukan suatu tindakan sebagai wakil dari suatu badan hukum (publik) ataukah dalam kapasitasnya sebagai pejabat yang merupakan wakil dari suatu jabatan. Dimana tindakan pemerintah tersebut bersifat melanggar hukum dan merugikan rakyat, sehingga yakyat perlu mendapatkan suatu perlindungan hukum.
2.
Kriteria tindakan pemerintahan dijadikan sebagai sarana untuk menentukan jenis tindakan pemerintah, dalam arti apakah tindakan pemerintah tersebut termasuk dalam tindakan hukum privat ataukah tindakan hukum publik. Bahkan lebih daripada itu, akan dapat diketahui pula apakah tindakan tersebut ditujukan kepada
umum
dikategorikan
sehingga
sebagai
tindakan
pemerintah
besluit/regeling/peraturan
tersebut
perundang-
undangan, ataukah ditujukan kepada individu tertentu sehingga tindakan
pemerintah
tersebut
termasuk
dalam
pengertian
beschikking/ketetapan/Keputusan Tata Usaha Negara. 3.
Berdasarkan
kedudukan
hukum
pemerintah
dan
tindakan
pemerintah tersebut dalam point nomor 1 dan 2 di atas, maka dapat diketahui dengan jelas mengenai jenis tindakan pemerintah tersebut apakah termasuk dalam perbuatan keperdataan, ataukah termasuk dalam jenis tindakan besluit/regeling, ataukah termasuk dalam jenis beschikking/Keputusan Tata Usaha Negara. Setelah diketahui jenis-jenis tindakan tersebut, selanjutnya akan dapat
195
ditentukan secara tepat pengadilan mana yang berwenang digunakan sebagai sarana untuk menyalurkan perlindungan hukum bagi rakyat. Untuk mengetahui pengadilan mana yang berwenang mengadili suatu perkara harus didasarkan pada kriteria mengenai ketentuan tentang kewenangan mengadili suatu badan peradilan menurut peraturan perundang-undangan, dalam arti yang berwenang mengadili perkara tersebut apakah Mahkamah Agung, peradilan umum, ataukah Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, pembahasan ini hendak mendeskripsikan kesesuian antara pertimbangan hukum Hakim dalam menentukan kewenangan mengadili, dengan konsep dalam Hukum Administrasi Negara. Untuk memperjelas hal tersebut, berikut dalam paragraph di bawah ini akan dipaparkan secara singkat mengenai kasus posisi dan pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan PN Purwokerto Nomor : 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt. Para pihaknya yaitu Para Penggugat bernama Fransiscus Xaverius Untung Gunawan dan Fransisca Lana Riani, melawan Universitas Jenderal Soedirman sebagai Tergugat. Juga adanya pihak-pihak yang berkedudukan sebagai Turut Tergugat yaitu Ditjen Dikti sebagai Turut Tergugat I, Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas sebagai Turut Tergugat II, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas sebagai Turut Tergugat III, dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
196
(KPKLN) Purwokerto sebagai Turut Tergugat IV. Perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri Purwokerto. Permasalahan yang muncul antara Peggugat dengan Tergugat di sini adalah bahwa Penggugat mendalilkan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yaitu berupa perbuatan mendirikan bangunan yang menghalang-halangi serta menutup akses jalan ke tanah pekarangan berupa sawah milik Para Penggugat. Bangunan tersebut didirikan oleh Tergugat di atas wilayah Jalur Hijau/Sempadan Jalan, serta tidak dilengkapi persyaratan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Menurut dalil Para Penggugat, Para Turut Tergugat membiarkan bangunanbangunan tersebut, dan tidak menanggapi keberatan dan protes yang telah disampaikan oleh Para Penggugat. Bangunan yang dipermasalahkan oleh Para Penggugat didirikan di atas Tanah seluas ± 122,5 m2, tanah tersebut masuk dan tertulis dalam Sertifikat Hak Pakai (SHP) No. 00016/Kel. Pabuaran/ Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2, tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta. SHP ini diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas (dalam perkara a-quo sebagai Turut Tergugat II). Adapun dasar dari didirikannya bangunan oleh Tergugat tersebut adalah Surat Keputusan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. : SK.29/530.3/11.27/2008 tentang Pemberian Hak atas Tanah yang tersebut dalam SHP No. 00016/Kel. Pabuaran.
197
Para Penggugat pada mulanya memang mempermasalahkan mengenai PMH yang dilakukan oleh Tergugat yakni berupa mendirikan bangunan yang merugikan Para Penggugat, akan tetapi juga dalam posita maupun dalam petitum dipermasalahkan mengenai keabsahan SHP No. 00016/Kel. Pabuaran dan Surat Keputusan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. : SK.29/530.3/11.27/2008 tentang Pemberian Hak atas Tanah. Dan menuntut agar SHP dan Surat Keputusan tersebut agar dinyatakan batal atau tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Padahal kedua produk hukum tersebut merupakan produk hukum yang termasuk dalam jenis Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk lebih jelasnya berikut ini diuraikan sebagian petitum dari Para Penggugat yang relevan dengan pembahasan ini, yaitu : 1. Menyatakan secara hukum bahwa Surat Keputusan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. : SK.29/530.3/11.27/2008 sepanjang menyangkut Objek Sengketa adalah Tidak Sah, Cacat Yuridis, Batal Demi Hukum dan atau mohon dibatalkan berikut dengan konsekuensinya. 2. Menyatakan secara hukum Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Pabuaran/2008 Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. : 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 tertulis atas nama Departemen Pendidikan Nasional berkedudukan di Jakarta Sepanjang menyangkut Objek Sengketa adalah tidak mempunyai Kekuatan Hukum yang Mengikat. Selanjutnya berikut ini diuraikan jawaban gugatan dari Tergugat, dan yang relevan dengan pembahasan ini akan disampaikan jawaban dalam eksepsi, sebagai berikut :
198
1. Para Penggugat telah keliru dalam menentukan “objek sengketa”, karena yang dijadikan sebagai objek sengketa oleh Para Penggugat adalah berupa “tanah”, dan tanah dalam hukum perdata adalah merupakan suatu “benda”. Padahal maksud gugatan Para Penggugat adalah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), seharusnya yang dijadikan objek sengketa adalah berupa suatu “perbuatan”, bukan suatu “benda”. 2. Dalam
posita
maupun
dalam
petitum,
Para
Penggugat
mempermasalahkan keabsahan Sertifikat Hak Pakai dan Surat Keputusan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas , dan menuntut agar kedua produk hukum tersebut dibatalkan atau dinyatakan tidak sah atau agar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Padahal kedua produk hukum tersebut termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga yang berwenang mengadili perkara a-quo adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga PN Purwokerto tidak berwenang mengadilinya. 3. Berdasarkan Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan menurut asas-asas Hukum Administrasi Negara terkait dengan Publik Domein, Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang melakukan sita jaminan terhadap bangunan milik Tergugat, karena bangunan milik Tergugat merupakan benda milik publik (public domein) atau barang milik negara.145
145
Lihat di dalam Ridwan HR, op.cit., hlm. 353 dan Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang PTUN , Buku II, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 244.
199
Dalam pembuktian mengenai kewenangan Pengadilan, masingmasing pihak mengajukan alat bukti berupa surat dan keterangan Ahli. Terhadap pembuktian dalam sidang tersebut, Majelis Hakim menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, pada intinya sebagai berikut : 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Menimbang, bahwa Penggugat meminta agar Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran, Surat Ukur tanggal 09/10/2008 No. 00031/Pabuaran/2008 seluas 1.919 m2 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Menimbang, Penggugat memohon Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. SK 29/530.3/11.27/2008 yang menjadi dasar terbitnya Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran agar dinyatakan tidak sah dan dibatalkan; Menimbang, bahwa yang menjadi pertanyaannya adalah : apakah produk hukum yang diminta supaya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan/atau diminta supaya dinyatakan tidak sah dan/atau dibatalkan tersebut, merupakan Keputusan Tata Usaha Negara ? dan selanjutnya apakah yang disengketakan para pihak tersebut dikategorikan sebagai Sengketa Tata Usaha Negara ? Menimbang, bahwa batasan/pengertian Keputusan Tata Usaha Negara secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1 angka (9) UU No. 51 Tahun 2009 yaitu : “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”; Menimbang, Majelis Hakim berpendapat bahwa kedua produk hukum berupa SHP dan SK Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tersebut termasuk dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara; Menimbang, bahwa baik Ahli dari Pihak Tergugat dan Turut Tergugat I maupun Ahli dari Pihak Penggugat, di persidangan juga memberikan pendapatnya, bahwa kedua produk hukum tersebut termasuk dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara; Menimbang, bahwa selanjutnya pasal 1 angka (10) UU No. 51 Tahun 2009 menegaskan tentang pengertian sengketa Tata Usaha Negara, dimana ditentukan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah : “sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan adan atau pejabat
200
Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara............”; 8. Menimbang, bahwa dari fakta dan uraian pertimbangan tersebut di atas, menunjukkan bahwa materi pokok sengketa antara pihak Penggugat dengan pihak Tergugat dan Turut Tergugat tersebut adalah masuk dalam lingkup sengketa Tata Usaha Negara; 9. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jelas ditegaskan, bahwa : “Peradilan Tata Usaha Negara berwennag memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”; 10. Menimbang, bahwa oleh karena pokok sengketa para pihak, sebagaimana diuraikan di atas masuk dalam lingkup “sengketa Tata Usaha Negara”, maka lembaga yang berwenang mengadili perkara a-quo adalah Peradilan Tata Usaha Negara, dan dengan demikian, maka eksepsi kewenangan dari Tergugat adalah beralasan menurut hukum, dan karenanya harus diterima; 11. Menimbang, bahwa karena eksepsi kewenangan dari Tergugat dan Turut Tergugat I serta Turut Tergugat II tersebut beralasan menurut hukum dan diterima, maka harus dinyatakan, bahwa Pengadilan Negeri in casu Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang untuk mengadili perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt. ini; Berdasarkan kasus posisi dan pertimbangan hukum Majelis Hakim yang tersebut di atas, maka kesesuaian antara kasus posisi dan pertimbangan hukum Majelis Hakim dengan konsep Perlindungan Hukum bagi rakyat, dapat dianalisis dengan menggunakan 2 (dua) kriteria
yaitu
Kriteria
Pertama
mengenai
kedudukan
hukum
pemerintah (bestuur rechtspotitie) dan tindakan pemerintahan (bestuur handelingen); dan Kriteria Kedua mengenai ketentuan mengenai kewenangan mengadili suatu badan peradilan menurut peraturan perundang-undangan. Pembahasan pertama ditujukan terhadap maksud Para Penggugat mengajukan gugatan PMH atas perbuatan UNSOED (Tergugat)
201
mendirikan bangunan yang merugikan Para Penggugat, dengan mengesampingkan bahwa ternyata dalam surat gugatannya Para Penggugat mempersoalkan keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dan menuntut pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Sesuai dengan maksud semula Para Penggugat mengajukan gugatan PMH ke Pengadilan Negeri Purwokerto, dalam surat gugatannya Para Penggugat antara lain mendalilkan adanya PMH yang dilakukan oleh Tergugat (UNSOED) berupa mendirikan bangunan-bangunan yang menutup akses jalan ke arah tanah pekarangan milik Para Penggugat, dimana bangunan tersebut didirikan di atas wilayah jalur hijau/sempadan jalan dan bangunan tersebut tidak memiliki IMB. Dalil Para Penggugat mengenai adanya PMH yang dilakukan oleh UNSOED (Tergugat), apabila PMH tersebut ditafsirkan dalam penafsiran yang luas, maka PMH yang dilakukan oleh Tergugat dapat dikategorikan sebagai sebagai perbuatan yang mengganggu hak Para Penggugat untuk masuk ke tanah pekarangannya dan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (Tergugat). Bertentangan dengan kewajiban hukum si Tergugat maksudnya yakni kewajiban hukum sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Daerah yang berkaitan dengan IMB dan berkaitan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW).
202
Sesuai dengan dalilnya tersebut di atas, maka Para Penggugat mengajukan gugatan PMH berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata ke Pengadilan Negeri Purwokerto. Pasal 1365 KUH Perdata menentukan : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dalam konteks gugatan PMH yang diajukan oleh Para Penggugat di atas, maka berdasarkan konsep perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang melanggar hukum, kedudukan hukum Tergugat (UNSOED) dapat dikategorikan sebagai kedudukan hukum pemerintah dalam bidang hukum perdata. Dalam bidang hukum perdata, kedudukan UNSOED sebagai wakil dari ”badan hukum (publik)”. Sebagai wakil dari ”badan hukum”, tindakan UNSOED tunduk dan diatur oleh hukum keperdataan, apabila tindakan UNSOED melanggar hukum perdata, maka kepada pihak subjek hukum yang dirugikan dapat memperoleh perlindungan hukum berdasarkan hukum perdata. Sesuai dengan kaidah hukum perdata, suatu perbuatan yang melanggar hukum dinamakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), sehingga perlindungan hukumnya berupa mengajukan gugatan keperdataan ke Pengadilan Negeri dalam perkara PMH sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Telah diuraikan di atas mengenai PMH di dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang di dalam perjalanannya perumusan pasal 1365 KUH
203
Perdata menggunakan penafsiran secara luas di antaranya sebagai berikut: 1) Mengganggu hak orang lain; 2) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 3) Bertentangan dengan kesusilaan; 4) Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap benda orang lain. 146 Yang dimaksud dengan perilaku “yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku” adalah perilaku yang bertentangan dengan suatu peraturan undang-undang dalam arti yang formil maupun materiil (termasuk Peraturan Daerah) yang bersifat memerintah atau melarang.147 Sehingga apabila subjek hukum yang dianggap berbuat melanggar Peraturan Daerah, maka dapat digolongkan sebagai perilaku “yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku”. Adanya kewajiban hukum yang diletakkan atas diri seseorang, adalah dimaksudkan untuk membatasi perilaku orang yang bersangkutan, agar tidak melanggar hak (subjektif) orang lain. Kewajiban hukum seringkali merupakan kewajiban
yang
ditujukan
kepada
orang-orang
tertentu,
demi
perlindungan kepentingan orang lain. Dalam hal adanya perilaku yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, maka yang dapat menuntut ganti rugi atas dasar 146
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 272 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang, Bagian Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1984, hlm. 213. 147
204
pelanggaran suatu norma hukum yang bersifat memerintah atau melarang, adalah mereka-mereka, untuk siapa norma itu bermaksud untuk memberikan perlindungan. Berdasarkan uraian mengenai unsur dari PMH secara luas khusus mengenai bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku maka dapat dideskripsikan bahwa Tergugat telah melanggar Peraturan Daerah yang mengatur tentang IMB dan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan Perencanaan Tata Ruang Wilayah. Sehingga menurut Para Penggugat dengan adanya perbuatan Tergugat yang melanggar Peraturan Daerah dan perbuatan tersebut merugikan Para Penggugat, maka wajar jika Para Penggugat mengajukan gugatan PMH berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata ke Pengadilan Negeri Purwokerto karena perbuatan Tergugat itu sendiri sudah memenuhi unsur ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Berkaitan dengan kewenangan mengadili suatu badan peradilan terhadap perkara perdata, hal tersebut dapat ditentukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan
yang
berisi
ketentuan
mengenai
kewenangan mengadili dari suatu badan peradilan. Pengadilan Negeri Purwokerto adalah merupakan pengadilan tingkat I (pertama) yang berada dalam Lingkungan Peradilan Umum. Undang-Undang yang mengatur Peradilan Umum yakni : 1. UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
205
2. UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; 3. UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; Wewenang Peradilan Umum ditentukan dalam Pasal 50 UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menentukan : “Pengadilan Negeri
bertugas
dan
berwenang
memeriksa,
memutus,
dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.” Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, berkaitan dengan maksud semula Para Penggugat untuk mengajukan gugatan PMH terhadap UNSOED (Tergugat), dan apabila dihubungkan dengan konsep perlindungan hukum bagi rakyat (yang merupakan konsep dalam Hukum Administrasi Negara) dari perbuatan pemerintah yang melanggar hukum keperdataan, maka dapat disimpulkan bahwa
sudah tepat jika Para
Penggugat mengajukan gugatan PMH terhadap UNSOED (Tergugat) berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata ke Pengadilan Negeri Purwokerto, karena hal tersebut bersesuaian dengan kriteria kedudukan hukum pemerintah dan tindakan pemerintahan serta bersesuaian pula dengan kriteria kewenangan mengadili suatu badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya
setelah pembahasan
yang pertama
di atas,
Pembahasan kedua dimaksudkan untuk menganalisis kesesuaian antara pertimbangan hukum Majelis Hakim dengan konsep Perlindungan
206
Hukum bagi rakyat (yang merupakan konsep dalam Hukum Administrasi Negara), dapat dianalisis dengan menggunakan 2 (dua) kriteria yaitu Kriteria Pertama mengenai kedudukan hukum
pemerintah (bestuur
rechtspotitie) dan tindakan pemerintahan (bestuur handelingen); dan Kriteria Kedua mengenai ketentuan mengenai kewenangan mengadili suatu badan peradilan menurut peraturan perundang-undangan. Untuk memperjelas mengenai substansi pembahasan ini, berikut ini akan dikutip lagi pertimbangan hukum Majelis Hakim secara singkat, sebagai berikut : 1.
2.
3.
4.
5.
Menimbang, bahwa dalam Posita Gugatan angka 13 dan Petitum Gugatan angka 9, meminta agar Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Menimbang, bahwa dalam Posita Gugatan angka 8 s/d angka 12 dan Petitum Gugatan angka 8, Para Penggugat memohon Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tanggal 31/12/2008 No. SK 29/530.3/11.27/2008 yang menjadi dasar terbitnya Sertifikat Hak Pakai No. 00016/Kel. Pabuaran agar dinyatakan tidak sah dan dibatalkan; Menimbang, bahwa berdasarkan batasan/pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (9) UU No. 51 Tahun 2009, Majelis Hakim berpendapat bahwa kedua produk hukum berupa SHP dan SK Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tersebut termasuk dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara; Menimbang, bahwa sesuai dengan pengertian sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (10) UU No. 51 Tahun 2009, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa materi pokok sengketa antara pihak Penggugat dengan pihak Tergugat dan Turut Tergugat tersebut adalah masuk dalam lingkup sengketa Tata Usaha Negara; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jelas ditegaskan, bahwa : “Peradilan Tata Usaha Negara berwennag memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”;
207
6.
7.
Menimbang, bahwa oleh karena pokok sengketa para pihak, sebagaimana diuraikan di atas masuk dalam lingkup “sengketa Tata Usaha Negara”, maka lembaga yang berwenang mengadili perkara a-quo adalah Peradilan Tata Usaha Negara, dan dengan demikian, maka eksepsi kewenangan dari Tergugat adalah beralasan menurut hukum, dan karenanya harus diterima; Majelis hakim menyimpulkan bahwa Pengadilan Negeri in casu Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang untuk mengadili perkara No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt. ini; Pertimbangan hukum Majelis Hakim di atas pada intinya
menyatakan bahwa pokok sengketa yang dipermasalahkan oleh para pihak adalah mengenai keabsahan SHP dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas (Turut Tergugat II), kedua produk hukum ini termasuk dalam pengertian KTUN, sehingga sengketa mengenai keabsahan suatu KTUN termasuk dalam pengertian sengketa Tata Usaha Negara, dan yang berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga PN Purwokerto tidak berwenang mengedili perkara a-quo. Dalam konteks tindakan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas yang menerbitkan SHP dan Surat Keputusan tentang Pemberian Hak Pakai, maka berdasarkan konsep perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang melanggar hukum, kedudukan hukum Turut Tergugat II (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas) dapat dikategorikan sebagai kedudukan hukum pemerintah dalam bidang hukum publik. Dalam bidang hukum publik, kedudukan hukum Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas sebagai ”pejabat” wakil dari suatu ”jabatan”. Sebagai wakil dari ”jabatan”,
208
tindakan UNSOED tunduk dan diatur oleh hukum publik yang dalam hal ini adalah Hukum Administrasi Negara, apabila tindakan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas melanggar Hukum Administrasi Negara, maka kepada pihak subjek hukum yang dirugikan dapat memperoleh perlindungan hukum berdasarkan Hukum Administrasi Negara.
Sesuai
dengan
kaidah
Hukum
Administrasi
Negara,
perlindungan hukum bagi rakyat disesuaikan dengan jenis tindakan pemerintahan. Tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas yaitu berupa menerbitkan SHP dan Surat Keputusan, yang mana kedua produk hukum ini termasuk dalam pengertian KTUN, sehingga apabila KTUN tersebut merugikan Para Penggugat, maka Para Penggugat dapat diberi perlindungan hukum dengan cara mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara, oleh karena yang digugat adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas, gugatan ditujukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum dari Tergugat. Pendapat Majelis Hakim yang menyatakan bahwa pengadilan yang berwenang mengadili perkara a-quo adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menentukan : “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara”. Adapun pengertian sengketa Tata Usaha Negara ditentukan dalam Pasal 1 angka
209
10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa terjadinya sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya KTUN oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Selanjutnya apabila Para Penggugat merasa dirugikan oleh keluarnya suatu KTUN, maka ia mempunyai hak gugat sesuai dengan ketentuan Pasal 53 Ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang mengatur : “Orang atau badan
hukum perdata
yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi”. Berdasarkan hal-hal sudah disebutkan di atas, terlihat hubungan hukum antara Para Penggugat dengan SHP dan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas, maka apabila Para Penggugat hendak mengajukan gugatan untuk membatalkan SHP dan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas ke PTUN Semarang, maka hal tersebut sudah memenuhi kriteria sengketa Tata Usaha Negara, yaitu : a. Penggugatnya adalah orang yakni Para Penggugat; b. Tergugatnya adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yakni Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas,;
210
c. Objek gugatannya adalah Keputusan Tata Usaha Negara, yakni SHP dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas, ; d. Tuntutannya atau petitumnya adalah batal atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Apabila seseorang hendak mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara, ia harus memperhatikan apakah terhadap sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus melalui Upaya Administrasi terlebih dahulu ataukah dapat langsung menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai pengadilan tingkat I (pertama), hal ini berkaitan dengan adanya ketentuan mengenai upaya administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi: (1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan peraturan perundangundangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Untuk mengetahui apakah terhadap suatu sengketa Tata Usaha Negara harus ditempuh upaya administrasi terlebih dahulu, dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 yang menjelaskan bahwa : “Dari ketentuan dalam peraturan peraturan perundangundangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dapat dilihat apakah terhadap
211
suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya administratif.” Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya SHP dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas adalah UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak terdapat ketentuan yang mengatur adanya upaya administrasi, sehingga apabila Para Penggugat hendak mengajukan gugatan untuk membatalkan SHP dan Surat Keputusan tersebut, maka Para Penggugat bisa mengajukan gugatan langsung ke PTUN Semarang sebagai pengadilan tingkat I (pertama), tanpa harus terlebih dahulu mengajukan upaya administrasi. Adapun Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam konteks perkara a-quo yaitu UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sedangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik meliputi asas :
212
a. b. c. d. e. f.
Kepastian hukum; Tertib penyelenggaraan negara; Keterbukaan; Proporsionalitas; Profesionalitas; Akuntabilitas. Pertimbangan hukum Majelis Hakim yang menyatakan bahwa
pengadilan yang berwenang mengadili perkara a-quo adalah Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang mengadili perkara a-quo adalah didasarkan pula pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan mengadili suatu badan peradilan. Ketentuan tersebut terdapat dalam : 1. Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009 yang menentukan bahwa : “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Masing-masing lingkungan pengadilan tersebut di atas mempunyai kewenangan yang berbeda antara lingkungan peradilan yang satu dengan lingkungan peradilan yang lain. 2. Pasal 25 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 : Peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan. 3. Pasal 25 ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 : Peradilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
213
menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan. 4. Pasal 50 UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menentukan : “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.” 5. Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menentukan : “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara”. Pertimbangan
hukum
Majelis
Hakim
dalam
Putusan
PN
Purwokerto Nomor : 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt yang menyatakan bahwa pengadilan yang berwenang mengadili perkara a-quo yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang mengadili perkara a-quo; telah sesuai dengan konsep perlindungan hukum bagi rakyat, yang juga merupakan konsep dalam Hukum Administrasi Negara. Kesesuaiannya dapat diukur dari Kriteria Pertama
mengenai
kedudukan
hukum
pemerintah
(bestuur
rechtspotitie) dan tindakan pemerintahan (bestuur handelingen), dan Kriteria Kedua mengenai ketentuan mengenai kewenangan mengadili suatu badan peradilan menurut peraturan perundang-undangan.
214
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Bentuk perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah berdasarkan konsep Hukum Administrasi Negara dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Perlindungan Hukum bagi rakyat di bidang Hukum Privat dapat diberikan melalui pengajuan gugatan ke Peradilan Umum, dalam hal ini yaitu pengadilan negeri berwenang memeriksa perkara perdata. Perkara perdata disini yaitu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh pemerintah berdasrkan Pasal 1365 KUH Perdata dan Yurisprudensi MA mengenai kriteria Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh pemerintah yaitu Putusan MA No. 66K/Sip/1952 dan Putusan MA No. 838K/Sip/1970. b. Perlindungan Hukum bagi rakyat di bidang Hukum Publik dapat diberikan dengan melihat tindakan pemerintah itu sendiri. Jika tindakan pemerintah itu berupa Besluit/ peraturan perundangundangan maka dapat mengajukan keberatan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan dapat melakukan permohonan Yudicial Review ke Mahkamah Agung. Sedangkan jika tindakan pemerintah itu berupa Beschikking/Keputusan Tata Usaha Negara maka dapat mengajukan upaya hukum berupa Banding
215
Administratif dam mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. 2. Pertimbangan Hukum hakim dalam perkara di dalam Putusan No. 73/Pdt.G/2013/PN.Pwt yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang mengadili perkara a-quo, dan yang berwenang adalah Peradilan Tata Usaha Negara; sudah sesuai dengan konsep Hukum Administrasi Negara mengenai perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang melanggar hukum dan merugikan rakyat. Adapun yang menjadi alasannya yaitu : a. Sesuai dengan posita dan petitum Penggugat yang mempermasalahkan keabsahan
suatu
Keputusan
Tata
Usaha
Negara
yaitu
mempermasalahkan keabsahan Sertifikat Hak Pakai dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas tentang Pemberian Hak Pakai atas Tanah, dan eksepsi dari Tergugat mengenai kompetensi absolut mengenai kewenangan pengadilan
bahwa
Pengadilan Negeri Purwokerto tidak berwenang memeriksa perkara aquo. b. Sesuai dengan kriteria kedudukan hukum pemerintah dan tindakan pemerintahan. c. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan mengadili suatu badan peradilan, yaitu: 1) Pasal 18, Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
216
2) Pasal 50 UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan 3) Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. B. Saran 1. Perlunya sosialisasi lebih menyeluruh kepada masyarakat luas yang sekarang masih buta mengenai proses peradilan ketika memperoleh suatu perlindungan hukum yang diakibatkan tindakan pemerintah yang melanggar hukum dan merugikan rakyat. Tujuannya yaitu agar bentuk perlindungan hukum kepada rakyat terhadap tindakan pemerintah dapat terealisasi dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Cara menentukan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara yang diakibatkan oleh tindakan pemerintah yang melanggar hukum merupakan suatu kajian teoretis dan konsep yang dilakukan oleh penulis. Diharapkan kedepannya hal tersebut semoga dirumuskan lebih tegas dalam
peraturan
perundang-undangan
yang
akan
datang
untuk
memperjelas kepada rakyat dalam menentukan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara yang diakibatkan oleh tindakan pemerintah yang melanggar hukum. 3. Perkara
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
No.
73/Pdt.G/2013/PN.Pwt menunjukkan kesalahan penerapan hukum dalam hal mengajukan gugatan ke suatu pengadilan terhadap suatu tindakan pemerintah. Sehingga kedepannya khusus Perlindungan Hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah yang merugikan rakyat harus cermat
217
dalam mengajukan gugatan apakah ke Pengadilan Negeri ataukah ke Pengadilan Tata usaha Negara. Harapannya bagi praktisi hukum dalam mendampingi rakyat ketika menggugat tindakan pemerintah harus mengetahui dengan jelas konsep perlindungan mana yang harus dipilih sehingga diharapkan tidak terjadi yang namanya “Gugataan tidak Dapat Diterima” dan “Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili Perkara tersebut”.
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Literatur Algra, N.E./H.C.J.G. Janssen. 1974. Rechtsingan een Orientatie in het Recht. Groningen. H.D. Tjeenk Willink bv. Anggriani, Jum. 2012. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Graha Ilmu. Apeldoorn, Van. 1966. Inleiding tot de Studie ven het Nederlandse Recht. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink. Atmosudirjo, Prajudi. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia. Jakarta: UI-Press. Basah, Sjachran. 1985. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Negara. Bandung: Alumni. 1992. Perlindungan Hukum Administrasi Negara. Bandung: Alumni.
Terhadap
Sikap-Tindak
Budiardjo, Miriam. 1982. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. Belinfante, A.D. 1985. Kort Begrip van het Administratief Recht. Alphen aan de Rijn: Samsom Uitgeverij. Dale’s, Van. 1914. Groot Woordenboek der Nederlandsche Taal. Leiden: ‘sGravenhage. Damen, L.J.A., et.al., 2005. Bestuursrecht, System, Bevoegdheid, Bevoegdheidsuitoefening, Handhaving. Den Haag. BJU Boom Juridische Uitgevers. Twede Druk. De Haan, P., et al., 1986. Bestuursrecht in de Sociale Rechtstaat. deel 1, Kluwer. Devender. Donner, A.M., 1987. Nedherlands Bestuursrecht. Alphen aan Rijn. Samsom H.D. Tjeenk Willink. Hadjon, Philipus M. et. al., 2011. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
--------------1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu. Hirsch Ballin, E.M.H. 1991. Rechstaat & Beleid. Zwolle. W.E.J. Tjeenk Willink. Huisman, R.J.H.M. Algemeen Bestuursrecht, en Inleiding. Amsterdam. Kobra. Ibrahim, Jhony. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia Publishing. Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Joeniarto. 1968. Negara Hukum. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada. Kuipers, R.K. 1901. Geillusteerd Woordenboek Nederlandsche Taal. Amsterdam: Maatschappy “Elssevier”. Korsten, A.F.A. dan F.P.C.L. Tonnaer. 1989. Lokale Regelgeving dalam Lokaal Bestuurin Nederland. Alphen aan de Rijn. Samsom Tjeenk Willink. Logemaan, J.H.A. 195. Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht. Jakarta: Saksama. Lotulung, Paulus E. 1993. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah. Bandung: Citra Aditya Bakti. Manan, Bagir. 1990. Hubungan Anatara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945. Disertasi. Bandung: Universitas Padjadjaran. Mustafa, Bahsan. 1990. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Bandung: Citra Aditya Bakti. Muchsan. 1981. Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 1997. Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Michiels, F.C.M.A. 1987. De Arob – Beschikking. ‘s-Gravenhage. Vuga Uitgeverij B.V. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mertokusumo, Sudikno. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty. …………… 1993. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Purbopranoto, Kuntjoro. 1975. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Bandung: Alumni. Poelje, Van. 1964. Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde. Alphen aan de Rijn: Samsom. Poerwadaminta, W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cetakan XI. Jakarta: Balai Pustaka. Prins, WF., dan R. Kosim Adisapoetra. 1983. Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Prandya Paramita. Ridwan HR. 2013. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Robert Bothlingk, Frederick. 1954. Het Leerstuk der Vertegenwoordiging en Zijn Toepassing op Ambtsdragers in Nederland en in Indonesia. Juridische Boekhandel en Uitgeverij A. Jongbloed & Zoon ‘s-Gravenhage. Romeijn, H.J. 1934. Administratiefrecht, Hand-en Leerboek. Den Haag. Noorman’s Periodieke Pers N.V. Raharjo, Satjipto. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. Satrio, J. 1984. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang, Bagian Pertama. Bandung: Citra Aditya Bakti. Situmorang, Viktor. 1989. Dasar-dasar Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Bina Aksara. Soehardjo. 1994. Pengantar Hukum Administrasi Negara Pertumbuhan dan Perkembangannya. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro. Soehino. 1984. Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan. Yogyakarta: Liberty. Soemantri, Sri. 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni. Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Spier, J. 1987. Onrechmatige Overheidsdaad. Zwolle. W.E.J. Tjeenk Willink. Stoink, F.A.M., en J.G. Steenbeek. 1985. Inleiding in Het Staats-en Administratief Recht. Alphen aan de Rijn. Samsom H.D. Tjeenk Willink. Tak, P.J.P. 1991. Rechtsvorming in Nedeland. Open Universiteit. Samsom H.D. Tjeek Willink. Ten Berge, J.B.J.M. 1996. Besturen Door de Overheid. Deventer. W.E.J. Tjeenk Willink. Utrecht, E. 1988. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Van der Burg et.al., 1985. Rechtsbescherming Tegen de Overheid. Nijmegen. Algemene Bepalingen van Administratief Recht. Van der Pot, C.W. 1932. Nederlandsch Bestuursrecht. Alphen aan de Rijn. Van Wijk, H.D./Willem Konijnenbelt. 1995. Hoofdstukken van Administratief Recht, Utrecht. Uitgeverij Lemma BV. Verkruisen en B.C. Vis, W.G. 1987. Gemeente en Gemeentewet. Nijmegen. Versteden, C.J.N. 1984. Inleiding Algemeen Bestuursrecht. Alphen aan de Rijn. Samsom H.D. Tjeenk Willink. Kitab Undang-Undang/Peraturan Perundang-Undangan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1946 Nomor : 7) Algemene Bepalingen van Administratief Recht. Rapport van De Commissie Inzake. Algemene Bepalingen van Administratief Recht. 1984. Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. Tjeenk Willink B.V. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1960 Nomor : 104) UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Indonesia Tahun 2002 Nomor : 134)
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Indonesia Tahun 2004 Nomor : 5) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Indonesia Tahun 2007 Nomor : 68) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. (Lembaran Negara Indonesia Tahun 2009 Nomor : 157) UU No. 14 Tahun 1985 diperbarui dengan UU No 5 Tahun 2004 dan diperbarui kembali dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1985 Nomor 73) UU No. 2 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 8 Tahun 2004 dan diperbarui kembali dengan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum. (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1986 Nomor : 20) UU No. 5 Tahun 1986 diperbarui dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan diperbarui kembali dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1986 Nomor : 77) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Indonesia Tahun 2014 Nomor : 244) Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Internet http://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_militer http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/sejarah-peradilan-militer-di-indonesia/ http://www.pa-batang.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 118&Itemid=117 http://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_tata_usaha_negara http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/tipologi-penelitian-hukum.html
Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No. 73/Pdt.G/2013/PN. Pwt : mengenai Sengketa Perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) antara Gunawan melawan Universitas Jenderal Soedirman.