UNIVERSITAS INDONESIA
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN JASA REKREASI (STUDI KASUS: ROBOHNYA WAHANA X DI TEMPAT REKREASI Y)
SKRIPSI
MARIA MONICA B. NAPITUPULU 0806461612
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI REGULER DEPOK JULI 2012
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN JASA REKREASI (STUDI KASUS: ROBOHNYA WAHANA X DI TEMPAT REKREASI Y)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
MARIA MONICA B. NAPITUPULU 0806461612
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI REGULER KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI DEPOK JULI 2012
i Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
:
Maria Monica B. Napitupulu
NPM
:
0806461612
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
6 Juli 2012
ii Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh: Nama
: Maria Monica B. Napitupulu
NPM
: 0806461612
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Skripsi
: Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Jasa Rekreasi (Studi Kasus: Robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Pembimbing/Penguji : Henny Marlyna, S.H., M.H., M.LI.
(
)
Penguji
: Myra Rosana B. Setiawan, S.H., M.H.
(
)
Penguji
: Rosewitha Irawaty, S.H., M.LI.
(
)
Ditetapkan di Tanggal
: Depok : 6 Juli 2012
iii Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan penyertaan-Nya yang tak pernah berkesudahan, Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai dengan penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Kedua Orang Tua Penulis, Jonni Napitupulu dan Senti Sirait, yang telah membesarkan, membimbing, senantiasa mendoakan, dan selalu memberikan dukungan serta semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kelulusan ini dapat membuat Papa dan Mama bangga.
2.
Adik Penulis, Frisca Krista Lidia Napitupulu, yang selalu memberikan semangat bagi Penulis dengan pertanyaannya “Sudah selesai belum skripsinya?”
3.
Ompung dan Sonia Putri Napitupulu yang telah pergi bertemu Bapa di surga. Terima kasih telah mengisi hari-hari Penulis selama ini.
4.
Ibu Henny Marlyna, S.H., M.H., M.LI. selaku Pembimbing Penulis. Terima kasih atas waktu, tenaga, bimbingan, dan semangat yang telah diberikan sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya.
5.
Bapak Brian A. Prastyo, S.H., M.LI. selaku Penasihat Akademis Penulis. Terima kasih atas segala bimbingan dan perhatiannya terhadap nilai-nilai Penulis selama delapan semester ini.
6.
Ibu Myra Rosana B. Setiawan, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan PK IV yang telah bersedia membantu Penulis dalam rangka kelancaran skripsi dan sidang.
7.
Kepala Bagian Hubungan Media PT Z atas kesediaannya untuk diwawancara guna memperoleh data-data terkait dengan skripsi ini. Tak
iv Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada Mas Aldhita yang telah menghubungkan Penulis dengan Beliau. 8.
Ibu Yani Aryanti Putri, S.H. selaku Staf Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jakarta yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Penulis.
9.
Bapak Puspla Dirdjaja, S.H., M.H. selaku Kasubag Peraturan Daerah Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta, yang telah menyediakan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk membantu Penulis untuk mendapatkan data-data terkait dengan skripsi ini.
10.
Bapak Sutrisno selaku Staf BIP Dinas Pariwisata DKI Jakarta, yang telah bersedia untuk diwawancara terkait dengan skripsi ini, khususnya mengenai perizinan tempat rekreasi. Tak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada Bang Bronson Sitinjak yang telah membantu Penulis untuk mendapatkan data-data dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta.
11.
Universitas Indonesia dan Bank Indonesia atas beasiswa-beasiswa yang telah diberikan dari awal hingga akhir kuliah Penulis.
12.
Seluruh staf/pegawai FHUI: Staf Biro Pendidikan (Pak Selam, Pak Indradi, Pak Rifai), Staf Mahalum, Staf Labkom FHUI, Staf Perpustakaan Sudiman Kartohadiprodjo, dan Pak Jon.
13.
Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) The Macee: Anastasia Rentama Sijabat, Dewi Hannie, Destya Lukitasari Pahnael, Yosephine V. Pardede, Debora M. I. Napitupulu, Esther Madonna, Cecilia C. Pasaribu, dan Hospita Simanjuntak. Terima kasih karena kalian telah mengisi hari-hari Penulis selama berkuliah di FHUI. Semoga persahabatan dan kebersamaan kita tetap terjalin walaupun telah lulus dari FHUI tercinta ini dan berkecimpung di dunia kerja masing-masing.
14.
WBO: Junita Rosalina Sirait, Lidya Manalu, Eirene Simbolon, Hestiana Rahayu, Jeanny Gani, Christine Samosir, Henny Pasaribu, dan Trisna Pakpahan. Terima kasih atas “kegilaan” kalian yang tak pernah hentihentinya di hidup Penulis. Semoga kebersamaan kita tetap terus terjaga walaupun nantinya kita tidak tinggal di Depok lagi.
v Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
15.
Persekutuan Oikumene (PO) FHUI yang telah menjadi wadah Penulis untuk semakin mengenal Tuhan, bertumbuh, dan terus melayani-Nya. Terutama untuk KK Holy Chicks: Kak Esther Veronica Parhusip, Destya Lukitasari Pahnael, Gabriella Sirait, dan Revina Ani Yosepa. Walaupun kita tidak sempat menyelesaikan bahan KK, Penulis tetap bersyukur diberikan kesempatan untuk dapat bertumbuh dan memiliki saudara-saudara seperti kalian. Semoga walaupun sudah lulus, kita tetap dapat saling membangun satu sama lain. Sukses untuk kalian! Tak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sepelayanan: Cici Grace, Bang Bian, Bang Sambon, Christina Daeli, Kak Bunga, Kak Silvia Age, Kak Juwita, Hanna Marbun, Ira Sinaga, Jahotman, Dira, Iyo, Darma, Louise Sitorus, dan Pretty.
16.
Rekan-rekan seperjuangan skripsi: Flavia Pinasthika, Selvy Anissa, Robertus Maylando, Elisabeth SNA, Elizabeth Sidabutar, Fahrian Agam, Garry Goud Fillmorems, Roma Rita, dan Aya Sofia.
17.
Seluruh teman-teman di FHUI, khususnya FHUI Angkatan 2008 yang telah membuat hari-hari Penulis menjadi berwarna, penuh dengan kegembiraan, dan pasti akan menjadi kenangan yang terindah.
18.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per-satu, yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan doa untuk penyelesaian skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Skripsi ini tentunya tidak lepas dari segala kekurangan baik dari materi maupun teknis penulisan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Depok, 6 Juli 2012
Maria Monica B. Napitupulu
vi Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Maria Monica B. Napitupulu
NPM
: 0806461612
Program Studi
: Sarjana Reguler
Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty – Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Jasa Rekreasi (Studi Kasus: Robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia /format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal
: 6 Juli 2012
Yang menyatakan
(Maria Monica B. Napitupulu)
vii Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Maria Monica B. Napitupulu : Hukum : Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Jasa Rekreasi (Studi Kasus: Robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y)
Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum bagi pengunjung tempat rekreasi sebagai konsumen jasa rekreasi, yang menjadi korban akibat insiden robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y pada tanggal 25 September 2011. Tempat Rekreasi Y merupakan salah satu unit rekreasi di Taman Rekreasi Z yang memberikan pengalaman rekreasi air yang luar biasa pada setiap pengunjungnya. Namun, dengan terjadinya insiden robohnya Wahana X tersebut seakan menambah bukti akan lemahnya perlindungan terhadap konsumen oleh karena pelaku usaha mengabaikan sejumlah hak yang dimiliki oleh konsumen. Adapun dasar hukum yang dipergunakan untuk menganalisis hal ini terdiri dari UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan. Kata kunci: Perlindungan Konsumen, Tempat Rekreasi.
viii
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Maria Monica B. Napitupulu : Law : Legal Protection for The Customers of Theme Park (Case Study: The Collapse of “X” Ride in “Y” Theme Park)
This thesis discusses about legal protection for theme park visitors as the customers of theme park who become victims of The Collapse of “X” Ride at “Y” Theme Park on September 25th, 2011. “Y” Theme Park is a theme park that gives all visitors a great water experience. But, the fact is that accident shows us about the weak protection to the customers because of the ignorance on the customers’ rights by the entrepreneur. The legal basis of this case’s analysis are Law of The Republic of Indonesia Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection, Law of The Republic of Indonesia Number 10 Year 2009 concerning Tourism, Law of The Republic of Indonesia Number 2 Year 1992 concerning Insurance and DKI Jakarta Province Local Regulation Number 10 Year 2004 concerning Tourism. Keywords: Consumers Protection, Theme Park.
ix
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. iii KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................... vii ABSTRAK .......................................................................................................... viii DAFTAR ISI....................................................................................................... x BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Pokok Permasalahan ......................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................... 6 1.4 Definisi Operasional.......................................................................... 6 1.5 Metode Penelitian.............................................................................. 8 1.6 Sistematika Penulisan........................................................................ 9 BAB 2 TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1 Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen....... 11 2.1.1 Pengertian Perlindungan Konsumen ................................... 11 2.1.2 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ...................... 13 2.2 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ....................................... 15 2.3 Pihak-Pihak Terkait........................................................................... 17 2.3.1Konsumen............................................................................. 17 2.3.2 Pelaku Usaha ....................................................................... 21 2.3.3 Pemerintah ........................................................................... 23 2.4 Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha .......................... 24 2.4.1 Hak dan Kewajiban Konsumen ........................................... 24 2.4.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha....................................... 29 2.5 Tahap-Tahap Transaksi Konsumen .................................................. 30 2.6 Tanggung Jawab Pelaku Usaha ........................................................ 32 2.6.1 Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab ......................................... 32 2.6.2 Tanggung Jawab Pelaku Usaha Berdasarkan UUPK .......... 35 2.6.3 Ganti Kerugian .................................................................... 36 2.6.3.1 Dasar Pertanggungjawaban dan Kerugian yang dapat Dituntut ............................................................................... 36 2.6.3.2 Besarnya Ganti Rugi dan Wujud Pengganti Kerugian...................................................................... 37 2.7 Penyelesaian Sengketa Konsumen ................................................... 38 BAB 3 TINJAUAN UMUM KEPARIWISATAAN 3.1 Tinjauan Umum Undang-Undang Kepariwisataan ........................... 41 3.2 Pengertian, Asas, Fungsi, dan Tujuan Kepariwisataan ..................... 42 3.3 Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan dan PembangunanKepariwisataan ................................................................. 44 3.4 Usaha Pariwisata dan Penyelenggaraan Kepariwisataan .................. 46 3.5 Hak dan Kewajiban ........................................................................... 52 3.5.1 Wisatawan ........................................................................... 52 x
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
3.5.2 Pengusaha Pariwisata/Penyelenggara Kepariwisataan ........ 53 3.5.3 Pemerintah dan Pemerintah Daerah .................................... 55 BAB 4 ANALISIS 4.1 Kasus Posisi....................................................................................... 59 4.2 Bentuk Perlindungan Konsumen bagi Pengunjung Tempat Rekreasi................................................................................ 60 4.3 Hak-Hak Konsumen yang Dilanggar oleh PT Z ............................... 65 4.4 Tanggung Jawab PT Z....................................................................... 70 4.4.1 Analisis Tanggung Jawab PT Z Berdasarkan UUPK.......... 72 BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 76 5.2 Saran.................................................................................................. 78 DAFTAR REFERENSI .................................................................................... 80 LAMPIRAN........................................................................................................ 84
xi
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Sebagai
makhluk hidup, manusia memiliki banyak kebutuhan, dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Dalam menjalani kehidupan, manusia pun dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan
yang
ada dalam
dirinya
sendiri.
Sejalan
dengan
perkembangan zaman, kebutuhan manusia pun semakin bervariasi. Barang-barang yang semula bukanlah menjadi kebutuhan utama kadangkala menjadi semakin terasa penting. Menurut Abraham Maslow kebutuhan manusia itu berjenjang atau membentuk suatu hierarkhi dan terdiri atas lima kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis (physiological needs), kebutuhan akan rasa aman (safety needs), kebutuhan sosial (social needs), kebutuhan akan harga diri (esteem needs), dan kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization).1 Adapun inti dari teori Maslow tersebut adalah bahwa manusia dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan yang belum dicapai/terpenuhi dan kebutuhan-kebutuhan mendasar harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya dapat terpenuhi.2
1
Teori Hierarki Kebutuhan Maslow/Abraham Maslow-Ilmu Ekonomi, http://organisasi.org/teori_hierarki_kebutuhan_maslow_abraham_maslow_ilmu_ekonomi, diunduh pada 9 November 2011. 2
Maslow’s Hierarchy of Needs, http://www.abrahammaslow.com/m_motivation/Hierarchy_of_Needs.asp, diunduh pada 9 November 2011.
1
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
2
Terlepas dari hierarkhi kebutuhan dan penggolongan jenis kebutuhan menurut Maslow di atas, ada satu kebutuhan yang dapat menjadi faktor untuk memotivasi diri, yaitu kebutuhan akan rekreasi. Dilihat dari sifatnya, kebutuhan akan rekreasi dapat dikategorikan dalam kebutuhan manusia yang bersifat rohani. Kebutuhan rohani adalah kebutuhan yang dibutuhkan seseorang untuk mendapatkan sesuatu bagi jiwanya secara kejiwaan.3 Dahulu kebutuhan manusia akan rekreasi masih merupakan kebutuhan yang bersifat tersier/mewah sehingga hanya dapat dinikmati oleh sebagian kalangan saja. Namun saat ini semua lapisan masyarakat, baik lapisan atas, menengah, bahkan lapisan bawah sekalipun membutuhkan rekreasi. Tentu saja kegiatan rekreasi yang dilakukan masyarakat tersebut disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa saat ini rekreasi merupakan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Kebutuhan akan rekreasi muncul sehubungan dengan kehidupan seharihari setiap manusia dan tidak terlepas dari kegiatan rutin yang dijalaninya baik di rumah atau di tempat lain. Kegiatan pada satu titik tertentu di waktu tertentu akan menimbulkan kejenuhan sehingga manusia akan berusaha untuk berhenti dari kegiatan-kegiatan rutinnya itu untuk mencari selingan untuk menghibur diri, memperoleh kesenangan, dan kembali menyegarkan diri. Untuk meringankan beban pikiran dan menumbuhkan semangat dalam menghadapi kegiatan berikutnya maka rekreasi merupakan obat yang sangat ampuh. Pariwisata adalah suatu kegiatan yang menyediakan jasa akomodasi, transportasi, makanan, rekreasi, serta jasa-jasa lainnya. Perdagangan jasa pariwisata melibatkan beberapa aspek, misalnya aspek ekonomi, budaya, sosial, agama, lingkungan, kemanan, dan aspek lainnya. Dari berbagai aspek tersebut, aspek ekonomilah yang mendapat perhatian paling besar dalam pembangunan pariwisata sehingga pariwisata dikatakan sebagai suatu industri.4
3
“Kebutuhan Hidup/Ekonomi Manusia-Kebutuhan Primer, Sekunder, Tersier, Jasmani, Rohani, Sekarang, Masa Depan, Pribadi dan Sosial,” http://organisasi.org/kebutuhan_hidup_ekonomi_manusia_kebutuhan_primer_sekunder_tersier_jas mani_rohani_sekarang_masa_depan_pribadi_dan_sosial, diunduh pada 9 November 2011. 4
I Putu Gelgel, Industri Pariwisata Indonesia dalam Golabalisasi Perdagangan Jasa (GATS-WTO)-Implikasi Hukum dan Antisipasinya, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm. 22.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
3
Indonesia adalah negara yang berpotensi untuk menjadi tujuan pariwisata di dunia. Keanekaragaman flora serta fauna yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, keanekaragaman budaya dan seni, peninggalan purbakala, keindahan alam, pantai, dan laut-lah yang menjadi ciri khas pariwisata Indonesia dan menjadi daya tarik bagi para wisatawan baik mancanegara maupun domestik. Selain itu pariwisata Indonesia juga semakin lengkap dengan tersedianya sejumlah taman rekreasi, baik di luar ruangan (theme park) dan di dalam ruangan (indoor theme park). Setiap manusia adalah konsumen sehingga muncullah apa yang disebut dengan kepentingan konsumen. Sebagai konsumen jasa rekreasi, manusia yang merupakan anggota masyarakat memiliki sejumlah hak yang selama ini tidak disadari. Hal tersebut disebabkan kedudukan yang tidak seimbang antara konsumen dengan pelaku usaha (dalam hal ini adalah penyedia jasa rekreasi) sehingga kondisi konsumen di Indonesia secara umum masih rentan terhadap pelanggaran hak dan selalu berada di posisi yang dirugikan. Salah satu bukti lemahnya perlindungan terhadap konsumen yaitu dengan terjadinya insiden “Robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y pada tanggal 25 September 2011”. Akibat insiden tersebut, sebanyak empat pengunjung mengalami luka yang cukup parah. Tempat Rekreasi Y adalah salah satu unit rekreasi yang berada di Taman Rekreasi Z. Tempat Rekreasi Y dapat dikategorikan sebagai gelanggang renang namun bukanlah gelanggang renang biasa pada umumnya. Tempat Rekreasi Y merupakan tempat rekreasi air yang terlengkap dan terbesar di Indonesia. Tempat Rekreasi Y merupakan theme park kedua yang dikembangkan oleh PT Z dan berdiri di atas lahan seluas 5 Ha. Sebagai theme park, Tempat Rekreasi Y tidak hanya menyediakan fasilitas untuk kolam renang biasa saja melainkan kolam renang dengan tema “Kerajaan Air”, dimana setiap pengunjung akan menikmati petualangan wisata air. Dalam dunia pariwisata, perlindungan terhadap wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun domestik, masih sangat rendah dan terkadang hukum yang berlaku masih malu-malu dan tidak memiliki kekuatan untuk melindungi wisatawan. Sampai saat ini, wisatawan yang datang hanya menjadi obyek oleh
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
4
pelaku bisnis pariwisata yang tidak bertanggung jawab.5 Padahal, kepastian hukum dalam rangka menjamin adanya perlindungan bagi wisatawan sangatlah penting. Adapun kasus yang terjadi di Tempat Rekreasi Y beberapa waktu lalu tersebut hanyalah merupakan salah satu dari sekian banyak kasus pelanggaran hak-hak konsumen jasa rekreasi. Di Indonesia, perlindungan terhadap konsumen diatur secara khusus dalam undang-undang dengan diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 42 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 3821).6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK) dirumuskan mengacu pada filosofi pembangunan nasional Pancasila dan dasar negara, Undang-Undang Dasar
1945,
dimana
pembangunan
nasional,
termasuk
pembangunan hukum, melekat upaya yang bertujuan memberikan perlindungan bagi rakyat Indonesia.7 Adapun tujuan atau alasan logis dibentuknya UUPK yakni untuk menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap produsen dan mendidik produsen bersikap jujur dan bertanggung jawab terhadap konten produk yang dijualnya.8 Untuk menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap produsen karena lemahnya kedudukan konsumen dibandingkan dengan produsen maka di dalam UUPK diatur sejumlah hak yang dimiliki oleh konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. Pengertian konsumen saat ini tidak lagi identik dengan pengertian masyarakat yang menggunakan produksi dari hasil industri dan perdagangan saja, tetapi juga masyarakat pemanfaat jasa. Hal tersebut juga dipertegas dalam UUPK, dimana konsumen diartikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
5
I Putu Armaya, “Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Pariwisata”, http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2007/4/14/o3.htm, diunduh pada 29 Februari 2012 . 6
Sudaryatmo, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Implementasinya di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 30, No. 1, Tahun 2011), hlm. 35. 7
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Perlindungan Konsumen Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Badan Perlindungan Konsumen Nasional, 2006), hlm. 3. 8
“Pertanggungjawaban Produsen Terhadap Publik,” Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 30, No. 1, Tahun 2011), hlm. 4.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
5
orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.9 Oleh karena itu, jelas bahwa setiap orang yang memanfaatkan jasa rekreasi atau wisatawan dapat disebut sebagai konsumen yang perlu dilindungi hak-haknya, terutama dari tindakan pelaku usaha (dalam hal ini adalah penyedia jasa rekreasi) yang merugikan kepentingan konsumen atau menganggap konsumen hanya sebagai obyek bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Insiden robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y beberapa waktu lalu dapat menjadi salah satu bukti lemahnya perlindungan terhadap konsumen di Indonesia, dimana sejatinya para pengunjung datang ke tempat tersebut untuk menikmati setiap wahana yang disediakan dengan membayar sejumlah uang. Padahal di dalam Pasal 4 butir a UUPK telah diatur sejumlah hak konsumen, dimana konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.10 Oleh karena itu, sudah merupakan kewajiban penyedia jasa rekreasi atau pengelola tempat wisata untuk memberikan rasa nyaman, aman, dan selamat bagi konsumennya. Relevan dengan itu, hak-hak konsumen jasa rekreasi/wisata juga diakomodir oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Di dalam Pasal 20 disebutkan bahwa wisatawan memiliki hak yang amat mendasar, yaitu hak untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata, pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar, perlindungan hukum dan keamanan, pelayanan kesehatan, perlindungan hak pribadi, dan perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi.11 Selain itu, perlindungan terhadap konsumen jasa rekreasi telah diatur pula dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No.10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan, dimana dalam Pasal 35 ayat (1) butir a disebutkan bahwa setiap penyelenggara kepariwisataan wajib untuk menjamin dan bertanggung
9
Indonesia (a), Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821, Ps. 1 butir 2. 10
Ibid., Ps. 4 butir a.
11
Indonesia (b), Undang-Undang Kepariwisataan, UU No. 10 Tahun 2009, LN No. 11 Tahun 2009, TLN No. 4966, Ps. 20.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
6
jawab
terhadap
keamanan,
keselamatan,
ketertiban,
dan
kenyamanan
pengunjung.12
1.2
Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat
dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang dihadapi Penulis dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimanakah bentuk perlindungan konsumen bagi pengunjung tempat rekreasi? 2. Pelanggaran hak konsumen apa sajakah yang dilakukan oleh PT Z (Studi Kasus: Robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y)? 3. Apakah PT Z sebagai pelaku usaha telah melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dari diadakannya penelitian ini adalah
sebagai berikut. a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan konsumen bagi pengunjung tempat rekreasi. b. Untuk mengetahui pelanggaran hak konsumen apa sajakah yang dilakukan oleh PT Z sebagai pelaku usaha atas terjadinya insiden robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y. c. Untuk mengetahui apakah PT Z sebagai pelaku usaha telah melaksanakan tanggung jawabnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
1.4
Definisi Operasional Dalam penulisan skripsi ini, Penulis banyak menggunakan istilah yang
akan Penulis sebutkan pengertiannya dalam Definisi Operasional. Istilah-istilah tersebut antara lain:
12
Indonesia (c), Peraturan Daerah Kepariwisataan, Perda Provinsi DKI Jakarta No. 10 Tahun 2004, LD Prov. DKI Jakarta No. 65 Tahun 2004, Ps. 35 ayat (1) butir a.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
7
1. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan13; 2. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen14; 3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi15; 4. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen16; 5. Rekreasi adalah penyegaran kembali badan dan pikiran; sesuatu yang menggembirakan hati dan menyegarkan seperti hiburan, piknik17; 6. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara18; 7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
13
Indonesia (a), Ps. 1 butir 2.
14
Ibid., Ps. 1 butir 1.
15
Ibid., Ps. 1 butir 3.
16
Ibid., Ps. 1 butir 5.
17
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 1, ed. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 942. 18
Indonesia (b), Ps. 1 butir 1.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
8
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.19 8. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.20
1.5
Metode Penelitian Pada penelitian ini, bentuk penelitian hukum yang digunakan adalah
penelitian yuridis normatif/hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.21 Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan.22 Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
bahan hukum primer, yang terdiri dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Parasuransian, dan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan (peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan);
2.
bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku terkait dengan perlindungan konsumen dan hukum perlindungan konsumen di Indonesia, makalah, hasil-hasil penelitian, dan artikel terkait dengan perlindungan konsumen dan kepariwisataan;
3.
bahan hukum tersier, yang terdiri dari kamus, abstrak, dan ensiklopedia. Tipologi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskriptif. Penelitian deskripitif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
19
Ibid., Ps 1 butir 13.
20
Ibid., Pasal 1 butir 14.
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 13. 22
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet. 1, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 28.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
9
tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.23 Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen dilakukan karena bentuk penelitian ini adalah penelitian hukum normatif sehingga metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan. Sementara wawancara untuk menambah informasi dilakukan terhadap Kepala Bagian Hubungan Media PT Z, Kepala Subbagian Peraturan Daerah Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta, Staf Bagian Izin Pariwisata (BIP) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jakarta. Dalam mengolah dan menganalisis data, Penulis menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.24
1.6
Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang juga terdiri dari beberapa
sub-bab. Penulis menyusun skripsi ini dengan sistematika penulisan sebagai berikut. BAB 1
PENDAHULUAN Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB 2
TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Bab ini berisi teori-teori terkait hukum perlindungan konsumen, yang
meliputi
pengertian
hukum
konsumen
dan
hukum
perlindungan konsumen; asas dan tujuan perlindungan konsumen; pihak-pihak terkait; hak dan kewajiban konsumen dan pelaku
23
Ibid., hlm. 4.
24
Ibid., hlm. 67.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
10
usaha; tahap-tahap dalam proses transaksi; tanggung jawab pelaku usaha; dan penyelesaian sengketa konsumen. BAB 3
TINJAUAN UMUM KEPARIWISATAAN Pada bab ini Penulis akan menjelaskan mengenai konsep umum kepariwisataan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Peraturan Daerah Pronvinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan.
BAB 4
ANALISIS Bab ini merupakan analisis atas studi kasus “Robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y”.
BAB 5
PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang berisi kesimpulan dan saran.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
2.1
Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
2.1.1 Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) memberikan definisi yang cukup luas mengenai Perlindungan Konsumen. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.25 Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan
pilihannya
atas
barang
dan/atau
jasa
kebutuhannya
serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.26 Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen yang diperkuat melalui undang-undang khusus memberi harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya UUPK beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hakhaknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.27
25
Indonesia (a), Ps. 1 butir 1.
26
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, ed. 1, cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 4. 27
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, cet. 1, (Jakarta: Visimedia, 2008),
hlm. 4.
11
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
12
Terdapat kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen (A. Zen Umar Purba, 1992: 393-408), yaitu: a. kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha; b. konsumen mempunyai hak; c. pelaku usaha mempunyai kewajiban; d. pengaturan
tentang
perlindungan
konsumen
berkontribusi
pada
pembangunan nasional; e. perlindungan konsumen dalam iklan bisnis sehat; f. keterbukaan dalam promosi barang dan jasa; g. pemerintah perlu berperan aktif; h. masyarakat juga perlu berperan serta; i. perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang; j. konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap. 28 Pemerintah berkewajiban, berlandaskan UUPK, melakukan upaya pendidikan serta pembinaan kepada konsumen, terutama mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran sebagian besar masyarakat akan hak-haknya sebagai konsumen. Melalui instrumen yang sama diharapkan tumbuhnya kesadaran pelaku usaha dalam menjalankan prinsip-prinsip ekonomi dengan tetap menjunjung hal-hal yang patut menjadi hak konsumen.29 Piranti Hukum Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk melindungi konsumen dan tidak untuk mematikan usaha para pelaku bisnis. Perlindungan konsumen justru membangun iklim usaha yang sehat, yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dan berdaya saing. Lebih dari itu, UUPK dalam pelaksanaannya memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah, yang masih menjadi rona perekonomian nasional.30
28
Ibid., hlm. 5.
29
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Perlindungan Konsumen Indonesia,
30
Ibid
4.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
13
2.1.2 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Az. Nasution membedakan antara Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen. Hal tersebut dikarenakan perbedaan ruang lingkup antara keduanya. Az. Nasution berpendapat bahwa Hukum Konsumen terdiri dari rangkaian peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perilaku orang dalam pergaulan hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Orang-orang tersebut terutama terdiri dari (pengusaha) penyedia barang atau penyelenggara jasa yang merupakan kebutuhan hidup manusia serta konsumen pengguna barang atau jasa tersebut.31 Untuk memperjelas ruang lingkup, Az. Nasution pun memberikan batasan mengenai Hukum Konsumen, yakni “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”32 Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu terdapat di dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis; antara lain hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.33 Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.34 Adapun batasan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen menurut Az Nasution, yaitu:
“keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan
31
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995),
hlm. 64. 32
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet. 2, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hlm. 22. 33
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, 64.
34
Ibid., hlm. 65.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
14
produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”35
Hukum Konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah.36 Sementara itu, Hukum Perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.37 Dalam mengatasi masalah perlindungan konsumen, tetap digunakan hukum umum (general law)/hukum yang penerbitannya tidak khusus ditujukan untuk perlindungan konsumen. Penggunaan hukum umum untuk mengatasi masalah perlindungan konsumen memiliki segi-segi positif maupun negatif. Segi positifnya adalah dengan peraturan perundang-undangan yang ada: 1. dapat ditanggulangi hubungan-hubungan hukum dan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumen dan penyedia produk konsumen; 2. berarti kedudukan konsumen dan penyedia produk konsumen adalah sama di depan hukum.38 Sedangkan segi negatifnya adalah: 1. pengertian dan istilah yang digunakan di dalam peraturan perundangundangan yang ada tidak selalu sesuai dengan kebutuhan konsumen dan perlindungan konsumen; 2. kedudukan hukum yang sama antara konsumen dan penyedia produk konsumen (pengusaha) menjadi tidak berarti apa-apa karena posisi
35
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, 22.
36
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, 66.
37
Ibid
38
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, 23.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
15
konsumen tidak seimbang, lemah dalam pendidikan, ekonomis, dan daya tawar, dibandingkan dengan pengusaha penyedia produk konsumen; 3. prosedur dan biaya pencarian keadilannya belum mudah, cepat, dan biaya murah sebagaimana dikehendaki peraturan perundang-undangan yang berlaku.39
2.2
Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Upaya perlindungan konsumen di Tanah Air didasarkan pada sejumlah
asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkat praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, Hukum Perlindungan Konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.40 Berdasarkan Pasal 2 UUPK, asas-asas perlindungan konsumen adalah sebagai berikut. 1. Asas Manfaat Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas Keadilan Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas Keseimbangan Asas
ini
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan
antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material dan spiritual.
39
Ibid
40
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, 17.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
16
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas Kepastian Hukum Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.41 Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dari upaya perlindungan konsumen, yaitu: a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum
dan
keterbukaan
informasi
serta
akses
untuk
mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.42
41
Indonesia (a), Ps. 2.
42
Ibid, Ps. 3.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
17
2.3
Pihak-Pihak Terkait
2.3.1 Konsumen Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (InggrisAmerika) atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada.43 Secara harafiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.44 Sebelum berlakunya UUPK, praktis hanya sedikit pengertian konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1993, kata konsumen disebut dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan, tanpa disertai penjelasan tentang pengertian konsumen. Istilah lainnya yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli”.45 Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dengan mengatakan, “Consumers by definition include us all.”46 Akan tetapi, Anderson dan Kumpt menggambarkan kesulitan merumuskan definisi konsumen seperti berikut ini :
“Some difficulties are encountered if one approaches the wide spectrum of situation in terms of a “consumer”. For example, one does not usually think of a borrower or an inventor as a “consumer”. The pedestrian whom you run over when your car goes out of control is not ordinarily regarded 43
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, 3.
44
Ibid
45
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, 60. 46
Ibid., hlm. 61.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
18
as being a consumer. There is in all these situations, however, a common denominator of protecting someone from a hazard from which he cannot by his own action protect himself.”47
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius, menyimpulkan bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa. Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir.48 Untuk menghindari kerancuan pemakaian istilah konsumen yang mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya, pengertian konsumen dapat terdiri dari 3 pengertian, yaitu: a. konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu; b. konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan/komersial. Melihat pada sifat penggunaan barang dan/atau jasa tersebut, konsumen antara ini sesungguhnya adalah pengusaha, baik pengusaha perseorangan maupun pengusaha yang berbentuk badan hukum atau tidak, baik pengusaha swasta maupun pengusaha publik (perusahaan milik negara), dan dapat terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh konsumen akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual produk akhir seperti supplier, distributor, atau pedagang; c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijke persoon) yang mendapatkan barang dan/atau jasa, yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya, keluarga, dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.49
47
Ibid
48
Ibid
49
Ibid., hlm. 62
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
19
Sebelum UUPK terbentuk, sebenarnya konsumen sudah mendapat perlindungan dalam hukum positif kita. Akan tetapi, belum digunakan istilah konsumen, melainkan dengan memakai istilah lain. Contoh beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah mengadakan perlindungan terhadap konsumen antara lain: 1. Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Barang ini menyebutkan tentang rakyat yang oleh undang-undang
itu
ingin
dijaga
agar
terjamin
kesehatan
dan
keselamatannya. Dalam penjelasan undang-undang ini ditegaskan lagi tentang rakyat yang karena mutu barang kurang atau tidak baik, dibahayakan kesehatannya dan/atau hal-hal merugikan lainnya.50 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-Undang ini tidak menggunakan istilah konsumen untuk pemakai, pengguna barang dan/atau pemanfaat jasa kesehatan. Untuk maksud tersebut digunakan berbagai istilah antara lain “setiap orang” (Pasal 1 angka 1, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 56), juga istilah “masyarakat” (Pasal 9, Pasal 10, Pasal 21). Pengertian masyarakat sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan undang-undang diartikan sebagai termasuk perorangan keluarga, kelompok masyarakat, dan masyarakat secara keseluruhan (Penjelasan Pasal 10).51 3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Istilah yang dipakai untuk menjelaskan pengertian konsumen menurut KUHPerdata, yakni “pembeli” (Pasal 1460, Pasal 1513, dst. Jo. Pasal 1457), “penyewa” (Pasal 1550 dst. Jo. Pasal 1548), “penerima hibah” (Pasal 1670 dst. Jo. Pasal 1666), “peminjam pakai” (Pasal 1743 Jo. Pasal 1740), “peminjam” (Pasal 1744), dan sebagainya. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) digunakan istilah “tertanggung”
50
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, 4.
51
Ibid., hlm. 5.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
20
(Pasal 246) dan “penumpang” (Pasal 393, 394, dst. Jo. Pasal 341).52 Pembeli barang dan/atau jasa, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam, tertanggung, atau penumpang pada satu sisi dapat merupakan konsumen (akhir) tetapi pada sisi lain dapat pula diartikan sebagai pelaku usaha. Kesemua mereka itu, sekalipun pembeli misalnya, tidak sematamata sebagai konsumen akhir (untuk keperluan non-komersial) atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga masing-masing tersebut.53 Setelah diundangkannya UUPK, semakin jelaslah siapa yang disebut dengan konsumen. Konsumen diartikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga,
orang
lain,
maupun
makhluk
hidup
lain
dan
tidak
untuk
diperdagangkan.54 Di dalam bagian penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa konsumen yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir/pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Selain itu yang perlu diperhatikan juga adalah penggunaan terminologi pemakai, pengguna, dan pemanfaat adalah berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaannya adalah: 1. istilah pemakai digunakan untuk pemakaian produk konsumen yang tidak mengandung listrik atau elektronik (misalnya pemakaian bahan pangan, bahan sandang, perumahan); 2. istilah pengguna ditujukan untuk penggunaan produk konsumen yang menggunakan arus listrik atau elektronik (seperti penggunaan listrik penerangan, radio, televisi, komputer); 3. istilah pemanfaat ditujukan untuk pemanfaatan produk konsumen berbentuk jasa (misalnya pemanfaatan jasa asuransi, jasa perbankan, jasa
52
Ibid., hlm. 8.
53
Ibid., hlm. 9
54
Indonesia (a), Ps. 1 butir 2.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
21
transportasi, jasa advokat, jasa kesehatan).55
2.3.2 Pelaku Usaha Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut. 1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, “tengkulak”, penyedia dana lainnya, dan sebagainya. 2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan
usaha
berkaitan
dengan
pangan,
orang/badan
yang
memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan,
orang/usaha
yang
berkaitan
dengan
jasa
angkutan,
perasuransian, perbankan, orang/usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, dan sebagainya. 3. Distributor,
yaitu
pelaku
usaha
yang
mendistribusikan
atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, supermarket, hyper-market, rumah sakit, klinik, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.56 Menurut UUPK, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
55
Az. Nasution, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun 1999-LN 1999 No. 42,” http://www.docstoc.com/docs/32498578/ASPEK-HUKUMPERLINDUNGAN-KONSUMEN-TINJAUAN-SINGKAT-UU-NOMOR-8, diunduh pada 20 November 2011. 56
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 11.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
22
perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.57 Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.58 Dalam bidang periklanan, terdapat beberapa istilah pelaku usaha periklanan, yaitu: 1. pengiklan, yaitu badan usaha yang memesan iklan dan membayar biaya pembuatannya
untuk
promosi/pemasaran
produknya
dengan
menyampaikan pesan-pesan dan berbagai informasi lain tentang produk tersebut kepada perusahaan iklan; 2. perusahaan periklanan, yaitu perusahaan atau biro iklan yang merancang, membuat atau menciptakan iklan berdasarkan pesan atau informasi yang disampaikan pengiklan padanya; 3. media periklanan, yaitu media non-elektronik (koran, majalah, dan sebagainya) atau media elektronik (seperti radio, televisi, komputer, dan sebagainya) yang digunakan untuk menyiarkan dan/atau menayangkan iklan-iklan tertentu.59 Ketiga unsur periklanan tersebut, semua atau masing-masing adalah pelaku usaha periklanan yang bertanggung jawab atas iklan yang dibuat dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Tergantunglah bagaimana BPSK/Hakim di Pengadilan meletakkan beban tanggung jawab atas pelaku usaha yang mana dalam kasus yang dihadapkan kepada mereka. Salah satu pegangan yang dapat digunakan adalah adanya tanda setuju dari salah satu pelaku usaha pada draft iklan yang kemudian disiarkan/ditayangkan. Sekalipun demikian tergantunglah bagaimana penilaian hakim dalam perkara yang dihadapkan kepadanya atas suatu perbuatan periklanan yang menimbulkan kerugian atas konsumen tersebut.60
57
Indonesia (a), Ps. 1 butir 3.
58
Ibid., Penjelasan Ps. 1 butir 3.
59
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, 12.
60
Ibid., hlm. 13.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
23
2.3.3 Pemerintah Pemerintah sebagai stakeholders pembangunan memiliki peran vital dalam pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen, yang pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh dari berbagai unsur pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Adapun tugas dan fungsi pemerintah dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Pemerintah
bertanggung
jawab
atas
pembinaan
penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang dilaksanakan oleh Menteri Perdagangan dan/atau Menteri Teknis terkait.61 Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah meliputi upaya untuk: a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya
lembaga
perlindungan
konsumen
swadaya
masyarakat; c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.62 2. Selain pembinaan, peran pemerintah adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dalam Pasal 30 UUPK disebutkan bahwa pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah pihakpihak yang diberi tugas untuk melakukan pengawasan. Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan LPKSM selain dilakukan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya juga dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Bentuk pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek yang diawasi meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang, pemasangan dan
61
Indonesia (a), Ps. 29 ayat (1) dan (2).
62
Ibid., Ps. 29 ayat (4).
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
24
kelengkapan informasi pada label/kemasan, pengiklanan, cara menjual, dan lain-lain, sebagaimana yang disyaratkan oleh peraturan perundangundangan
dan
praktek
perdagangan.
Hasil
pengawasan
yang
diselenggarakan masyarakat dan LPKSM dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampikan kepada Menteri dan Menteri Teknis. Dalam pasal yang sama ditegaskan, apabila dalam pengawasan ditemukan penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, pemerintah harus mengambil tindakan administratif dan/atau tindakan hukum.63
2.4
Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
2.4.1 Hak dan Kewajiban Konsumen Dalam sejarahnya pada tahun 1962, hak-hak konsumen telah dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, yang disampaikan dalam Kongres Gabungan Negara-Negara Bagian di Amerika Serikat, dimana hak-hak konsumen meliputi: 1. hak untuk memperoleh keamanan (the right to be secured); 2. hak untuk memilih (the right to choose); 3. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 4. hak untuk didengar (the right to be heard).64 Kemudian, pada tahun 1975, hak-hak konsumen yang dicetuskan oleh John F. Kennedy dimasukkan dalam program konsumen European Economic Community (EEC) yang meliputi: 1. hak perlindungan kesehatan dan keamanan; 2. hak perlindungan kepentingan ekonomi; 3. hak untuk memperoleh ganti rugi; 4. hak atas penerangan;
63
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Perlindungan Konsumen Indonesia,
64
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, 49.
6.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
25
5. hak untuk didengar.65 Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi: a. perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; b. promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen; c. tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; d. pendidikan konsumen; e. tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; f. kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.66 Sementara itu, hak-hak konsumen berdasarkan Pasal 4 UUPK meliputi: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang diperolehnya sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.67 b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
65
Ibid
66
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 28. 67
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 41.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
26
Hak ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini, konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya. Hak memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (baik barang maupun jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih tidak akan berfungsi.68 c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak atas informasi ini sangat penting karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk karena dengan informasi tersebut konsumen dapat memperoleh produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.69 d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk atau yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang
68
Ibid., hlm. 42.
69
Ibid., hlm. 41.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
27
berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara perorangan maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu, misalnya melalui YLKI.70 e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak ini memungkinakan konsumen memperoleh keadilan sebab dengan adanya hak ini konsumen akan mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial. Sarana untuk mencapai ini dapat dengan dua cara, yaitu konsultasi hukum yang dapat dilakukan oleh organisasi konsumen dan/atau instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan konsumen dan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class action).71 f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Hak ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk karena dengan pendidikan konsumen tersebut konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.72 g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Dalam penjelasan Pasal 4 huruf g UUPK disebutkan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimintif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya miskin, dan status sosial lainnya.73
70
Ibid., hlm. 43.
71
Sudaryatmo, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Implementasinya di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis, 39. 72
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, 44.
73
Sudaryatmo, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Implementasinya di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis, 39.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
28
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian materi maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.74 i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dicantumkannya hak ini semakin mempertegas bahwa: 1. UUPK adalah undang-undang payung; 2. hak konsumen dalam UUPK tidak bersifat statis tetapi dinamis. Artinya, dimungkinkan adanya hak konsumen tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing.75 Terlepas dari segala hak yang dimiliki, konsumen pun memiliki sejumlah kewajiban yang meliputi : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.76
74
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, 44.
75
Sudaryatmo, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Implementasinya di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis, 39. 76
Indonesia (a), Ps. 5.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
29
2.4.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Hak pelaku usaha berdasarkan Pasal 6 UUPK meliputi: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi
dan
nilai
tukar
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.77 Sementara itu, kewajiban pelaku usaha berdasarkan Pasal 7 UUPK, yaitu: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/dan atau jasa yang diperdagangkan;
77
Ibid, Ps. 6.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
30
g. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.78
2.5
Tahap-Tahap Transaksi Konsumen Mengenai transaksi konsumen dimaksudkan “proses terjadinya peralihan
pemilikan barang dan/atau pemanfaatan jasa dari pelaku usaha kepada konsumen”. Transaksi konsumen terdiri atas tiga tahap, yaitu: a. tahap pratransaksi; Pada tahap ini, transaksi atau penjualan/pembelian barang dan/atau jasa belum terjadi. Dalam tahap ini, yang paling vital bagi konsumen adalah informasi atau keterangan yang benar, jelas, dan jujur, serta akses untuk mendapatkannya dari pelaku usaha yang beritikad baik dan bertanggung jawab (Pasal 3 butir d, Pasal 4 butir c, Pasal 7 butir a, Pasal 7 butir b, dan lain
sebagainya).
Dalam
menyelenggarakan
penyediaan
komoditi
kebutuhan konsumen tersebut, informasi yang disediakan pelaku usaha haruslah benar materinya, artinya ia memberikan keterangan yang benar berkaitan dengan bahan (bahan baku, bahan penolong, dan lain-lain) yang digunakan dalam pembuatan barang dan/atau jasa yang ditawarkannya, mutu dan gizi yang dikandung, jumlah atau berat yang dicantumkan, komposisi sediaan farmasi dan pangan, saat kadaluwarsa, pernyataan halal, jaminan dan/atau garansi yang disediakan tentang barang dan/atau jasa tertentu. Informasi tersebut juga harus jelas pengungkapannya atau pemaparannya keseluruhannya harus demikian jelas sehingga tidak menimbulkan dua pengertian yang berbeda dan dapat dipahami masyarakat, menggunakan (minimal) bahasa Indonesia (Pasal 8 ayat (1) huruf j) atau gambar yang informatif, atau menunjukkan data dan ukuranukuran yang benar dan sesuai ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya penyusun keterangan atau informasi barang atau jasa haruslah jujur atau beritikad baik dalam menjalankan tugasnya (Pasal 7 butir a dan Pasal 7
78
Ibid, Ps. 7.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
31
butir b UUPK). Kejujuran penyusun keterangan itu diperlukan konsumen dalam menentukan pilihannya (informative information) dan bukan sekedar informasi untuk menarik minat beli konsumen belaka.79 b. tahap transaksi Pada tahap ini terjadi proses peralihan kepemilikan barang dan/atau jasa tertentu dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada saat ini, telah terdapat kecocokan pilihan barang dan/atau jasa dengan persyaratan pembelian serta harga yang harus dibayarnya. Pada tahap ini yang menentukan adalah syarat-syarat
perjanjian
pengalihan
pemilikan
barang
dan/atau
pemanfaatan jasa tersebut. Dalam kaitan ini, perilaku pelaku usaha sangat menentukan, seperti penentuan harga produk konsumen, penentuan persyaratan perolehan dan pembatalan perolehannya, klausul-klausul, khususnya klausul baku yang mengikuti transaksi dan persyaratanpersyaratan
penjaminan,
keistimewaan
atau
kemanjuran
yang
dikemukakan dalam transaksi. Informasi itu dapat berupa informasi lisan maupun tulisan atau dengan media elektronik dalam segala bentuknya.80 c. tahap purnatransaksi Tahap ini merupakan tahapan pemakaian, yaitu penggunaan dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang telah beralih pemiliknya atau pemanfaatannya dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada tahap ini, apabila informasi (lisan atau tertulis) dari barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha sesuai dengan pengalaman konsumen dalam pemakaian, konsumen akan merasa puas. Bahkan, bukan tidak mungkin konsumen tersebut akan menjadi “langganan tetap” pelaku usaha itu. Akan tetapi, apabila sebaliknya yang terjadi, artinya informasi produk konsumen yang diperoleh konsumen tidak sesuai dalam kenyataan pemakaian, yaitu penggunaan atau pemanfaatannya oleh konsumen maka tentulah akan
79
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, 17.
80
Ibid., hlm. 18.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
32
timbul “masalah” antara konsumen dan pelaku usaha bersangkutan; timbullah sengketa konsumen.81
2.6
Tanggung Jawab Pelaku Usaha Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban hukum maka haruslah
berbicara mengenai ada tidaknya suatu kerugian yang diderita oleh suatu pihak sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, serta pemakaian oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Dalam asas umum hukum perdata dinyatakan bahwa siapapun yang melakukan tindakan yang dapat merugikan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut.82 Menurut konsep dan teori ilmu hukum, perbuatan yang merugikan tersebut dapat lahir karena: 1. tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (wanprestasi); atau 2. karena perbuatan melawan hukum.83
2.6.1 Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. 1.
Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (Liability Based on Fault) Prinsip ini cukup umum berlaku di dalam hukum pidana dan perdata. Menurut prinsip ini, seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum apabila telah terbukti ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip ini juga diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang
81
Ibid
82
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, 62.
83
Ibid
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
33
biasanya dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum ini mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok, yaitu: 1. adanya perbuatan; 2. adanya unsur kesalahan; 3. adanya kerugian yang diderita; 4. adanya
hubungan
kausalitas
antara
kesalahan
dengan
kerugian.84 2.
Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (Presumption of Liability Principle) Dalam prinsip ini, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada tergugat. Tergugat yang harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Asas ini lazim pula disebut sebagai pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Tetapi konsumen juga tetap tidak dapat sekehendak hatinya mengajukan gugatan karena jika konsumen gagal dalam menunjukkan kesalahan pelaku usaha maka ia dapat digugat balik oleh si pelaku usaha. UUPK menganut teori ini berdasarkan Pasal 19 ayat (5), yang menyatakan bahwa pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab kerusakan jika dapat dibuktikan bahwa kesalahan itu merupakan kesalahan konsumen atau bukan merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha, Pasal 22 (untuk kasus pidana), dan Pasal 28 (untuk kasus perdata).85
3.
Prinsip
Praduga
untuk
Tidak
Selalu
Bertanggung
Jawab
(Presumption of Nonliability Principle) Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab dan hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya menurut akal sehat dapat dibenarkan. Contoh penerapannya ada pada hukum 84
Dian Rizky Amelia Bakara, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Pembelian Unit Apartemen (Studi Kasus: Apartemen Sudirman Park),” Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009), hlm. 27-28 mengutip dari Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Penerbit Grasindo, 2000), hlm. 59. 85
Ibid., hlm. 28.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
34
pengangkutan. Pada hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada tas penumpang menjadi tanggung jawab penumpang tetapi penumpang dapat meminta tanggung jawab dari pengangkut dengan syarat penumpang dapat menunjukkan bukti kesalahan pengangkut. Namun, prinsip praduga tidak selalu bertanggung jawab ini sudah mulai ditinggalkan.86 4.
Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip liability based on fault. Dengan prinsip ini, tergugat (pelaku usaha) harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen tanpa harus membuktikan ada atau tidaknya kesalahan pada dirinya. Prinsip ini menentukan pula adanya pembebasan tanggung jawab si pelaku bila ternyata ada force majeur. Prinsip ini secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha yang merugikan konsumen karena rasionalisasi penggunaan prinsip ini adalah supaya produsen benar-benar bertanggung jawab terhadap kepentingan konsumen. Prinsip ini biasanya diterapkan karena: a. konsumen
tidak
dalam
posisi
yang
menguntungkan
untuk
membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; b. diasumsikan produsen dapat lebih mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi; c. asas ini dapat memaksa produsen untuk lebih berhati-hati.87 5.
Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan (Limitation of Liability) Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam UUPK, klausula baku ini tidak boleh lagi ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha, khususnya diatur dalam Pasal
86
Ibid., hlm. 28-29.
87
Ibid., hlm. 29-30.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
35
18 ayat (1) huruf a dan g. Jika ada pembatasan maka harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.88
2.6.2 Tanggung Jawab Pelaku Usaha Berdasarkan UUPK Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha diatur secara tersendiri/terpisah dari pengaturan tentang kewajiban pelaku usaha maupun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku usaha tersebut diatur dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPK. Inti dari pengaturan tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab pelaku usaha secara umum (Pasal 19) dan secara khusus dalam hal untuk menyediakan suku cadang atau fasilitas purna jual dan jaminan atau garansi (Pasal 25 dan Pasal 26), tanggung jawab pelaku usaha di bidang periklanan dan importasi produk (Pasal 20 dan Pasal 21), beban pembuktian terhadap ada tidaknya kesalahan pelaku usaha (Pasal 22 dan Pasal 28), serta pembebasan pelaku usaha dalam pertanggung jawaban (Pasal 27).89 Beban pembuktian yang ditanggung pelaku usaha untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan konsumen merupakan sistem pembuktian terbalik karena justru pihak yang digugat yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan. Berdasarkan hukum tentang pembuktian pada umumnya, setiap orang yang mendalilkan bahwa orang tersebut mempunyai sesuatu hak atau untuk meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain dengan menunjuk sesuatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak tersebut. Walaupun beban pembuktian dalam perkara ini dibebankan kepada pelaku usaha, tidak menutup kemungkinan bagi pihak Kejaksaan untuk dapat melakukan pembuktian.90 Pembebasan pelaku usaha dari tanggung jawab terhadap kerugian pihak konsumen diatur dalam Pasal 27 UUPK. Menurut Pasal 27 tersebut, pelaku usaha dapat dibebaskan dari kewajiban bertanggung jawab apabila memenuhi persyaratan dibawah ini. 88
Ibid., hlm. 30.
89
Irna Nurhayati, “Pertanggungjawaban Produsen Terhadap Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999,” Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 30, No. 1, Tahun 2011), hlm.30 90
Ibid., hlm. 31.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
36
a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak
diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan. b. Cacat barang timbul dikemudian hari. c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang. d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen. e. Lewatnya jangka waktu penuntutan yaitu 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.91
2.6.3 Ganti Kerugian
2.6.3.1 Dasar Pertanggungjawaban dan Kerugian yang Dapat Dituntut Pelaku usaha mempunyai
tanggung jawab
secara umum untuk
memberikan ganti rugi kepada konsumen akibat dari pengkonsumsian produk yang dihasilkannya. Adapun kerugian yang bagaimanakah yang dapat dituntut dari pelaku usaha berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPK adalah sebagai berikut. a. Kerugian atas kerusakan Kerugian atas kerusakan adalah segala kerugian berupa timbulnya kerusakan pada barang-barang milik konsumen yang ditimbulkan oleh produk yang dipakai/dibelinya. Misalnya, konsumen membeli sesuatu barang lalu disimpan bersama-sama dengan barang lain atau dipakai pada barang lain dan menimbulkan kerusakan pada barang lain itu. b. Kerugian karena pencemaran Kerugian karena pencemaran adalah kerugian berupa pencemaran yang ditimbulkan oleh produk yang dipakai/dibeli. Misalnya, produk yang baru dibeli itu mencemari produk lain yang dimiliki sebelumnya oleh konsumen sehingga barang-barang yang telah ada itu menjadi tidak berguna atau berkurang kegunaannya. Dua jenis kerugian diatas (kerugian atas kerusakan dan kerugian karena pencemaran) dapat digolongkan sebagai economic loss (kerugian berupa hilangnya atau berkurangnya sejumlah harta kekayaan)
91
Ibid., hlm 32.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
37
c. Kerugian konsumen sebagai akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Yang dimaksud dengan kerugian ini adalah kerugian berupa physical harm (berkurangnya kesehatan, misalnya luka-luka, sakit, atau bahkan meninggal dunia).92 Adapun mengenai jangka waktu pemberian ganti rugi tersebut diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UUPK, yakni dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transakasi. Apabila pelaku usaha tersebut menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi maka konsumen yang mengalami kerugian tersebut dapat mengajukan gugatan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau pengadilan di tempat kedudukan konsumen.93 Dalam hukum perikatan, ganti rugi umumnya terdiri dari tiga unsur, yaitu biaya, rugi, dan bunga. Namun dalam setiap kasus, tidak selamanya ketiga unsur tersebut selalu ada. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kerugian yang diderita seseorang dapat dibedakan menjadi kerugian ekonomis (economic loss) dan kerugian fisik (physical harm). Kedua jenis kerugian ini sangat berbeda. Kerugian ekonomis dapat dihitung secara matematis dan diwujudkan dalam bentuk sejumlah uang sedangkan kerugian fisik sulit dinilai dengan uang. Untuk menentukan jumlah kerugian yang berkaitan dengan kerugian fisik, misalnya luka-luka, maka orang terpaksa memperbandingkan dua hal yang tidak sama macamnya dan satu-satunya cara ialah menaksir nilai harga dari keganjilan itu dengan suatu ukuran yang mungkin terpakai, yaitu dengan memperhitungkannya dengan sejumlah uang.94
2.6.3.2 Besarnya Ganti Rugi dan Wujud Penggantian Kerugian Pada dasarnya, bentuk atau wujud ganti kerugian yang lazim dipergunakan ialah uang, yang oleh para ahli hukum ataupun yurisprudensi dianggap paling 92
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cet.2, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), hlm 158. 93
Indonesia (a), Ps. 23.
94
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, 157.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
38
praktis dan paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sengketa. Bentuk lain adalah benda (in natura).95 Adapun dalam UUPK bentuk ganti rugi dapat berupa: a. pengembalian uang; atau b. penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; atau c. perawatan kesehatan; dan/atau d. pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.96
2.7
Penyelesaian Sengketa Konsumen UUPK membagi penyelesaian sengketa konsumen menjadi 2 bagian,
yaitu: 1. penyelesaian sengketa di luar pengadilan a) Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri. Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (2) UUPK tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan konsumen tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari penjelasan Pasal 45 ayat (2) tersebut dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian secara damai merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang bersengketa sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui BPSK atau lembaga peradilan.97
95
Ibid., hlm 160.
96
Indonesia (a), Ps. 19 ayat (2).
97
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, 99.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
39
b) Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrase. Pemerintah membentuk suatu badan baru yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dengan adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja BPSK wajib memberikan keputusannya. Mudah karena prosedur admistratif dan proses pengambilan keputusannya sangat sederhana. Murah terletak pada biaya perkara yang terjangkau.98 Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengadukan masalahnya kepada BPSK baik secara langsung, diwakili kuasanya, maupun oleh ahli warisnya. Pengaduan tersebut dapat disampaikan secara lisan atau tulisan kepada sekretariat BPSK di kota/kabupaten tempat domisili konsumen atau di kota/kabupaten terdekat dengan domisili konsumen.99 2. penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di pengadilan Manakala upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat atau para pihak tidak mau menempuh alternatif perdamaian maka para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketanya melalui pengadilan. Menurut Pasal 48 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herziene Inlands Regeling (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg) yang berlaku bagi daerah luar jawa dan Madura.100 Adapun pihak yang dapat mengajukan gugatan yaitu:
98
Ibid
99
Ibid., hlm. 100.
100
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, 149.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
40
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama (class action); c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi
tersebut
adalah
untuk
kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.101
101
Indonesia (a), Ps. 46 ayat (1).
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
BAB 3 TINJAUAN UMUM KEPARIWISATAAN
3.1
Tinjauan Umum Undang-Undang Kepariwisataan Ketentuan mengenai kepariwisataan di Indonesia saat ini diatur dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 11 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 4966). UndangUndang ini adalah pengganti dari Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara RI Tahun 1990 No. 78 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 3427). Dalam pelaksanaannya, pembangunan kepariwisataan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan masih menitikberatkan pada usaha pariwisata dan masih belum memenuhi syarat untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pembangunan kepariwisataan yang bersifat menyeluruh. Oleh karena itu, dibentuklah undang-undang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 9 Tahun 1990, yakni Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang diundangkan pada tanggal 16 Januari 2009. Materi yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan meliputi antara lain hak dan kewajiban sejumlah pihak (masyarakat, wisatawan, pelaku usaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah), pembangunan kepariwisataan yang komprehensif dan berkelanjutan, koordinasi lintas sektor, pengaturan kawasan strategis, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata, badan promosi pariwisata,
41
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
42
asosiasi kepariwisataan, standardisasi usaha, kompetensi pekerja pariwisata, serta pemberdayaan pekerja pariwisata melalui pelatihan sumber daya manusia.102 Oleh karena undang-undang ini masih tergolong baru dan belum semua peraturan pelaksana dari undang-undang ini terbentuk, maka beberapa peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Adapun dalam skripsi ini peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan yang berkaitan adalah Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan (Lembar Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2004 No. 65) sebagai peraturan lokal mengingat bahwa Tempat Rekreasi Y berkedudukan di Provinsi DKI Jakarta.
3.2
Pengertian, Asas, Fungsi, dan Tujuan Kepariwisataan Kepariwisataan berasal dari kata “wisata” yang secara sederhana dapat
diartikan sebagai bepergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan sebagainya), bertamasya atau piknik.103 Dalam UndangUndang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.104 Orang yang melakukan wisata disebut dengan wisatawan.105 Sementara itu, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintahan Daerah.106 Jadi, kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta
102
Indonesia (b), Penjelasan umum.
103
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1274.
104
Indonesia (b), Ps. 1 butir 1.
105
Ibid., Ps. 1 butir 2.
106
Ibid., Ps. 1 butir 3.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
43
multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.107 Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas: a.
manfaat;
b.
kekeluargaan;
c.
adil dan merata;
d.
keseimbangan;
e.
kemandirian;
f.
kelestarian;
g.
partisipatif;
h.
berkelanjutan;
i.
demokratis;
j.
kesetaraan; dan
k.
kesatuan.108 Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan
intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan
negara
untuk
mewujudkan
kesejahteraan
rakyat.109
Adapun
kepariwisataan bertujuan untuk: a.
meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b.
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c.
menghapus kemiskinan;
d.
mengatasi pengangguran;
e.
melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
f.
memajukan kebudayaan;
g.
mengangkat citra bangsa;
h.
memupuk rasa cinta tanah air;
i.
memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
107
Ibid., Ps. 1 butir 4.
108
Ibid., Ps. 2.
109
Ibid., Ps. 3.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
44
j.
mempererat persahabatan antarbangsa.110
3.3
Prinsip
Penyelenggaraan
Kepariwisataan
dan
Pembangunan
Kepariwisataan Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip: a.
menjunjung
tinggi
norma
agama
dan
nilai
budaya
sebagai
pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan; b.
menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;
c.
memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;
d.
memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;
e.
memberdayakan masyarakat setempat;
f.
menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antarpemangku kepentingan;
g.
mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan
h.
memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.111 Adapun
Kode
Etik
Pariwisata
Global
dalam
penyelenggaraan
kepariwisataan adalah sebagai berikut. a.
Pariwisata memberikan kontribusi untuk saling memahami dan saling menghormati antara manusia dan mayarakat.
b.
Pariwisata sebagai penggerak bagi kepuasan bersama dan individu.
c.
Pariwisata sebagai faktor pembangunan yang berkelanjutan.
d.
Pariwisata sebagai pengguna warisan budaya dan kontributor terhadap peningkatannya.
110
Ibid., Ps. 4.
111
Ibid., Ps. 5.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
45
e.
Pariwisata sebagai aktivitas yang menguntungkan bagi negara, daerah, dan masyarakat lokal.
f.
Pariwisata mendorong kewajiban seluruh sektor pembangunan dalam pengembangan pariwisata.
g.
Pariwisata mendorong pengembangan hak-hak kepariwisataan.
h.
Pariwisata menjamin kebebasan pergerakan wisatawan.
i.
Pariwisata wajib mengembangkan hak-hak tenaga kerja dan wirausahawan dalam industri pariwisata.112 Pembangunan
kepariwisataan
dilakukan
berdasarkan
asas-asas
penyelenggaraan kepariwisataan yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.113 Adapun pembangunan kepariwisataan meliputi aspek sebagai berikut. a.
Industri pariwisata Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan
wisatawan.
Pembangunan
industri
pariwisata
meliputi
pembangunan struktur (fungsi, hierarki, dan hubungan) industri pariwisata, daya saing produk pariwisata, kemitraan usaha pariwisata, kredibilitas bisnis, serta tanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial budaya. b.
Destinasi pariwisata Destinasi pariwisata/daerah tujuan pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik
wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata,
aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Yang dimaksud pembangunan destinasi pariwisata antara lain pemberdayaan masyarakat, pembangunan daya tarik wisata, pembangunan prasarana, penyediaan fasilitas umum, serta pembangunan fasilitas pariwisata secara terpadu dan berkesinambungan.
112
Indonesia (c), Ps. 4 ayat (1).
113
Indonesia (b), Ps. 6.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
46
c.
Pemasaran Yang dimaksud dengan pembangunan pemasaran antara lain pemasaran pariwisata bersama, terpadu, dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta pemasaran yang bertanggung jawab dalam membangun citra Indonesia sebagai destinasi pariwisata yang berdaya saing.
d.
Kelembagaan kepariwisataan. Pembangunan kelembagaan kepariwisataan meliputi pengembangan organisasi Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, regulasi, serta mekanisme operasional di bidang kepariwisataan.114
3.4
Usaha Pariwisata dan Penyelenggaraan Kepariwisataan Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa
bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.115 Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, usaha pariwisata meliputi: a.
daya tarik wisata;
b.
kawasan pariwisata;
c.
jasa transportasi wisata;
d.
jasa perjalanan wisata;
e.
jasa makanan dan minuman;
f.
penyediaan akomodasi;
g.
penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h.
penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
i.
jasa informasi pariwisata;
j.
jasa konsultan pariwisata;
k.
jasa pramuwisata;
l.
wisata tirta; dan
114
Ibid., Ps. 7.
115
Ibid., Ps. 1 butir 7.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
47
m.
spa.116 Sebagai peraturan lokal, Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 10
Tahun
2004
tentang
Kepariwisataan
mengatur dengan
rinci
mengenai
penyelenggaraan kepariwisataan di DKI Jakarta, yakni dalam Bab IV pada Pasal 7-Pasal 22. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan daya saing Jakarta sebagai Kota Jasa dengan pelayanan yang bertaraf internasional. Adapun dalam Peraturan Daerah ini, penyelenggaraan kepariwisataan adalah sebagai berikut. 1. Pengembangan Produk Pariwisata. Produk pariwisata adalah semua komponen dan pelayanan destinasi yang meliputi: a. industri pariwisata; Industri pariwisata meliputi : 1) Usaha akomodasi, terdiri atas: a) hotel; b) motel; c) losmen; d) resor wisata; e) penginapan remaja f) hunian wisata g) karavan; h) pondok wisata; i) wisma. 2) Usaha penyediaan makanan dan minuman, terdiri atas: a) restoran; b) bar; c) pusat jajan; d) jasa boga; e) bakeri. 3) Usaha jasa pariwisata, terdiri atas: a) jasa biro perjalanan wisata;
116
Ibid., Ps. 14 ayat (1).
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
48
b) jasa cabang biro perjalanan wisata; c) jasa agen perjalanan wisata; d) jasa gerai jual perjalanan wisata; e) jasa penyedia pramuwisata; f) jasa
penyelenggara
konvensi,
perjalanan
insentif, dan pameran; g) jasa impresariat; h) jasa konsultan pariwisata; i) jasa informasi pariwisata; j) jasa manajemen hotel; k) jasa fasilitas teater; l) jasa fasilitas konvensi dan pameran; m) jasa ruang pertemuan eksekutif. 4) Usaha rekreasi dan hiburan, terdiri atas: a) klab malam; b) diskotik; c) musik hidup; d) karaoke; e) mandi uap; f) griya pijat; g) spa; h) bioskop; i) bola gelinding; j) bola sodok; k) seluncur; l) permainan
ketangkasan
manual/mekanik/
elektronik; m) pusat olahraga dan kesegaran jasmani; n) padang golf; o) arena latihan golf; p) pangkas rambut; q) gelanggang renang;
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
49
r) taman rekreasi s) taman margasatwa; t) kolam pemancingan; u) pagelaran kesenian; v) pertunjukan kontemporer. 5) Usaha kawasan pariwisata117 b. atraksi pariwisata; Atraksi pariwisata adalah segala sesuatu yang memiliki daya tarik, meliputi: 1) atraksi alam, terdiri atas: a) letak geografi; b) kepulauan; c) laut; d) flora dan fauna; e) sungai; f) danau; g) hutan; h) bentang alam; i) iklim. 2) atraksi buatan manusia, terdiri atas: a) museum; b) situs peninggalan bersejarah dan purbakala; c) gedung bersejarah; d) monumen; e) galeri seni dan budaya; f) pusat-pusat kegiatan seni dan budaya; g) taman dan hutan kota; h) cagar budaya; i) budidaya agro, flora, dan fauna; j) tempat ibadah;
117
Indonesia (c), Ps. 7.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
50
k) bangunan arsitektural kota; l) bandara, pelabuhan, dan stasiun; m) pasar tradisional; n) sentra perbelanjaan modern; o) daya tarik lain yang dikembangkan kemudian. 3) atraksi event, terdiri atas: a) pameran; b) konvensi; c) festival; d) karnaval; e) parade; f) upacara; g) kontes; h) konser; i) pekan raya; j) pertandingan; k) peristiwa khusus.118 c. kawasan destinasi pariwisata; d. dan jasa-jasa terkait yang mendukung kegiatan pariwisata, terdiri atas: 1) transportasi; 2) telekomunikasi 3) perdagangan; 4) perindustrian; 5) pendidikan; 6) ketenagakerjaan; 7) perumahan dan pemukiman; 8) jasa keuangan; 9) perbankan; 10) asuransi;
118
Ibid., Ps. 10.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
51
11) pertanian; 12) perikanan; 13) peternakan; 14) kehutanan; 15) kesehatan; 16) perlindungan hukum; 17) keamanan, ketentraman, dan ketertiban.119 2. Pemasaran Destinasi Pariwisata. Pemasaran destinasi pariwisata diselenggarakan untuk meningkatkan citra kota Jakarta sebagai daerah tujuan wisata yang memiliki daya saing produk pariwisata dalam kompetisi global.120 Pemasaran destinasi pariwisata dilakukan melalui kegiatan: a. peningkatan
kualitas
produk
dan
pelayanan
yang
disesuaikan dengan permintaan pasar dengan dukungan pengembangan citra destinasi; b. penetapan dan pengendalian harga produk yang bersifat kompetitif sesuai dengan nilai dan kepuasan wisatawan; c. pengembangan jaringan distribusi pemasaran di dalam negeri dan di luar negeri; d. pengembangan promosi dan komunikasi terdiri dari kegiatan kehumasan, publikasi, penjualan secara personal, promosi penjualan, pemasaran langsung, pameran dan forum
bisnis,
sponsor,
periklanan,
serta
pemasaran
121
elektronik.
3. Penelitian dan Pengembangan Pariwisata. Penelitian dan pengembangan pariwisata diselenggarakan untuk memperoleh data dan infromasi yang obyektif melalui kegiatan riset, survei, studi, seminar, semiloka, lokakarya, diskusi panel dan kegiatan
119
Ibid., Ps. 17 ayat (1).
120
Ibid., Ps. 18 ayat (1).
121
Ibid., Ps. 19 ayat (1).
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
52
ilmiah lainnya guna mendukung perumusan kebijakan dan strategi pembangunan
kepariwisataan.122
Kegiatan
penelitian
dan
pengembangan pariwisata tersebut meliputi: a. produk pariwisata; b. pemasaran destinasi pariwisata; c. regulasi kepariwisataan; d. kerjasama dan hubungan kelembagaan pariwisata.123
3.5
Hak dan Kewajiban Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
ketentuan mengenai hak, kewajiban, dan larangan pihak-pihak yang terkait dengan kepariwisataan (wisatawan, pengusaha pariwisata, Pemerintah dan Pemerintah Daerah) diatur secara terpisah yaitu dalam Bab VII. Ketentuan mengenai hak, kewajiban, dan larangan ini merupakan hal yang sangat penting, yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Selain itu, Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan juga mengatur mengenai sejumlah kewajiban dan larangan bagi penyelenggara kepariwisataan. Berikut akan disebutkan sejumlah hak, kewajiban, serta larangan bagi wisatawan, pengusaha pariwisata, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
3.5.1 Wisatawan Wisatawan adalah subyek yang berperan sangat penting dalam dunia pariwisata. Wisatawanlah yang menentukan maju-mundurnya atau suksestidaknya dunia pariwisata. Oleh karena itu, perlindungan atas hak dan kewajiban wisatawan perlu mendapat perhatian yang serius.124 Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, hak-hak wisatawan diatur secara rinci dalam Pasal 20. Setiap wisatawan berhak memperoleh: 122
Ibid., Ps. 21 ayat (1).
123
Ibid., Ps. 21 ayat (2).
124
I Putu Gelgel, Industri Pariwisata Indonesia dalam Globalisasi Perdagangan Jasa (GATS-WTO)-Implikasi Hukum dan Antisipasinya, 48.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
53
a.
informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;
b.
pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar;
c.
perlindungan hukum dan keamanan;
d.
pelayanan kesehatan;
e.
perlindungan hak pribadi; dan
f.
perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang bersiko tinggi.125
Selain itu, dalam Pasal 21 juga disebutkan bahwa setiap wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya.126 Sementara itu, yang menjadi kewajiban setiap wisatawan, yaitu: a.
menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilainilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b.
memelihara dan melestarikan lingkungan;
c.
turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan
d.
turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum.127
3.5.2 Pengusaha Pariwisata/Penyelenggara Kepariwisataan Sebagai pelaku usaha dalam bidang kepariwisataan, setiap pengusaha pariwisata (istilah yang digunakan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan) memiliki sejumlah hak dan kewajiban
dalam
menyelenggarakan kegiatan usahanya. Adapun hak-hak yang dimiliki setiap pengusaha pariwisata, yaitu: a.
mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan;
b.
membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan;
c.
mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha;
125
Indonesia (b), Ps. 20.
126
Ibid., Ps. 21
127
Ibid., Ps. 25.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
54
d.
mendapatkan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.128 Sementara itu, yang menjadi kewajiban setiap pengusaha pariwisata, yaitu:
a.
menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilainilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b.
memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;
c.
memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
d.
memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan;
e.
memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;
f.
mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;
g.
mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
h.
meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;
i.
berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;
j.
turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
k.
memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;
l.
memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
m.
menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan
n.
menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.129
128
Ibid., Ps. 22.
129
Ibid., Ps. 26.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
55
Adapun berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan, setiap penyelenggara kepariwisataan wajib untuk: a.
menjamin dan bertanggungjawab terhadap keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kenyamanan pengunjung;
b.
memelihara kebersihan, keindahan, dan kesehatan lokasi kegiatan serta meningkatkan mutu lingkungan hidup;
c.
menjalin hubungan sosial, budaya, dan ekonomi yang harmonis dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar;
d.
mencegah dampak sosial yang merugikan masyarakat;
e.
memberikan kesempatan kepada karyawan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kayakinan masing-masing serta menjamin keselamatan dan kesehatannya;
f.
membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.130 Selain
itu,
diatur
pula
sejumlah
larangan
bagi
penyelenggara
kepariwisataan, yakni: a.
memanfaatkan tempat kegiatan untuk melakukan perjudian, asusila, peredaran dan pemakaian narkoba, membawa senjata api/tajam serta tindakan pelanggaran hukum lainnya;
b.
menggunakan tenaga kerja di bawah umur;
c.
menggunakan tenaga kerja warga negara asing tanpa izin;
d.
menggunakan tempat kegiatan untuk kegiatan lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.
menerima pengunjung di bawah umur untuk jenis usaha tertentu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.131
3.5.3 Pemerintah dan Pemerintah Daerah Selain
wisatawan
dan
pengusaha
pariwisata/penyelenggara
kepariwisataan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga memiliki peran penting
130
Indonesia (c), Ps. 35 ayat (1).
131
Ibid., Ps. 35 ayat (2).
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
56
dalam kepariwisataan di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan diaturnya sejumlah kewajiban serta kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan kepariwisataan. Adapun Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban: a.
menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan;
b.
menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi, dan memberikan kepastian hukum;
c.
memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan
d.
mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.132 Adapun yang menjadi kewenangan Pemerintah, yaitu:
a.
menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional;
b.
mengoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan lintas provinsi;
c.
menyelenggarakan kerja sama internasional di bidang kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.
menetapkan daya tarik wisata nasional;
e.
menetapkan destinasi pariwisata nasional;
f.
menetapkan norma, standar, pedoman, prosedur, kriteria, dan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan kepariwisataan;
g.
mengembangkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan;
h.
memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset naional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali;
i.
melakukan dan memfasilitasi promosi pariwisata nasional;
132
Indonesia (b), Ps. 23.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
57
j.
memberikan kemudahan yang mendukung kunjungan wisatawan;
k.
memberikan informasi dan/atau peringatan dini yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan wisatawan;
l.
meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan potensi wisata yang dimiliki masyarakat;
m.
mengawasi,
memantau,
dan
mengevaluasi
penyelenggaraan
kepariwisataan; dan n.
mengalokasikan anggaran kepariwisataan.133 Sementara itu, kewenangan Pemerintah provinsi, yaitu:
a.
menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisatan provinsi;
b.
mengoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di wilayahnya;
c.
melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata;
d.
menetapkan destinasi pariwisata provinsi;
e.
menetapkan daya tarik wisata provinsi;
f.
memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya;
g.
memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik wisata provinsi; dan
h.
mengalokasikan anggaran kepariwisataan.134 Kewenangan Pemerintah kabupaten/kota, yaitu:
a.
menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota;
b.
menetapkan destinasi pariwisata kabupaten/kota;
c.
menetapkan daya tarik wisata kabupaten/kota;
d.
melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata;
e.
mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya;
133
Ibid., Ps. 28.
134
Ibid., Ps. 29
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
58
f.
memfasilitasi dan melakukan promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya;
g.
memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru;
h.
menyelenggarakan pelatihan dan penelitian kepariwisataan dalam lingkup kabupaten/kota;
i.
memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang berada di wilayahnya;
j.
menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata; dan
k.
mengalokasikan anggaran kepariwisataan.135
135
Ibid., Ps. 30.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
BAB 4 ANALISIS
4.1
Kasus Posisi Wahana X di Tempat Rekreasi Y ambruk pada tanggal 25 September 2011
sekitar pukul 13.45 Wib. Atas insiden tersebut, empat pengunjung menjadi korban, yaitu: 1. AS (31), yang mengalami luka sobek pada kakinya; 2. SU (31), yang mengalami luka lecet pada kaki; 3. RI (31), yang terluka di kepala; dan 4. RA (11), yang terluka di pelipis. Keempat korban tersebut dilarikan ke Rumah Sakit Satya Negara.136 Menurut beberapa saksi mata, pengunjung sedang ramai ketika insiden tersebut terjadi. Wahana X tersebut ambruk dari ketinggian sekitar 5 meter. Terdapat dua pengunjung yang terjepit di reruntuhan dan berteriak minta tolong, namun tidak ada pihak Tempat Rekreasi Y yang segera datang melakukan upaya untuk menolong dua pengunjung tersebut. Oleh karena itu, evakuasi korban dilakukan seadanya oleh pengunjung lainnya sebelum pihak Tempat Rekreasi Y datang.
136
Yuliansyah, “Wahana Tempat Rekreasi Y Ambruk,” Derap Reformasi; Hukum, Ekonomi& Pemerintahan (Vol. 6, Tahun ke XIII, Oktober 2011), hlm. 79.
59
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
60
Berdasarkan hasil penyelidikan sementara dan keterangan sejumlah saksi, insiden ini disebabkan bangunan dekorasi yang terletak di atas Wahana X ambrol. Pecahan semen dari bangunan dekorasi tersebut menimpa Wahana X. Dalam pernyataannya kepada media, Kapolsek setempat menjelaskan bahwa ambrolnya bangunan dekorasi yang merupakan elemen estetika dari Wahana X disebabkan oleh korosi elemen ferrocement (bahan dasar bangunan dekorasi) yang rapuh akibat kadar garam yang tinggi.
4.2
Bentuk Perlindungan Konsumen bagi Pengunjung Tempat Rekreasi Berdasarkan UUPK, Perlindungan Konsumen dapat didefinisikan sebagai
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.137 Adapun bentuk perlindungan konsumen bagi pengunjung tempat rekreasi terwujud melalui diaturnya sejumlah hak konsumen dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Saat ini pengertian konsumen tidak lagi identik dengan pengertian masyarakat yang menggunakan produksi dari hasil industri dan perdagangan saja, tetapi juga masyarakat pemanfaat jasa. Hal itu dipertegas dengan didefinisikannya konsumen dalam UUPK, yaitu sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.138 Berdasarkan hal tersebut, jika dikaitkan dengan kepariwisataan, maka wisatawan (dalam hal ini adalah pengunjung tempat rekreasi) merupakan konsumen karena memanfaatkan jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan dirinya sendiri. Mengacu pada Pasal 4 UUPK maka pengunjung tempat rekreasi sebagai konsumen memiliki sejumlah hak, yaitu: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
137
Indonesia (a), Ps. 1 butir 1.
138
Ibid., Ps. 1 butir 2.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
61
Setiap tempat rekreasi memiliki ciri khas masing-masing. Namun, tujuan utama setiap orang yang datang ke tempat-tempat rekreasi adalah untuk mencari kesenangan dan hiburan. Setiap pengunjung yang datang pun wajib membayar sejumlah uang untuk membeli tiket. Oleh karena itu, sudah selayaknya setiap pengunjung tempat rekreasi berhak atas rasa nyaman, aman, dan selamat ketika sedang berekreasi. b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Setiap orang bebas untuk memilih tempat rekreasi yang akan ditujunya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Tidak boleh ada tekanan atau paksaan dari pihak manapun yang dapat mempengaruhi seseorang untuk memilih tempat untuk berekreasi. Jadi, setiap orang harus dalam kondisi bebas untuk menentukan pilihannya. c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Setiap pengunjung tempat rekreasi berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai tempat rekreasi yang dipilihnya, misalnya persyaratanpersyaratan untuk dapat masuk (dari segi usia, jenis kelamin, penyakit tertentu) dan kelayakan dari tempat rekreasi tersebut. d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Apabila pengunjung tempat rekreasi tidak puas akan pelayanan di tempat rekreasi maka ia berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya. e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Apabila terjadi sengketa antara pengunjung tempat rekreasi dengan pelaku usaha maka pengunjung tempat rekreasi sebagai pihak yang memiliki posisi yang lemah berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
62
Sebagai konsumen, setiap pengunjung tempat rekreasi berhak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen agar dapat terhindar dari kerugian akibat mengunjungi suatu tempat rekreasi karena dengan pendidikan konsumen tersebut konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih tempat rekreasi
yang sesuai dengan
kebutuhannya. g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Setiap pengunjung tempat rekreasi berhak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya miskin, dan status sosial lainnya. h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Apabila pengunjung tempat rekreasi menderita kerugian, baik yang berupa kerugian materi maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) maka ia berhak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi dari pelaku usaha. i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. UUPK merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.139 Hal ini berarti UUPK bukan merupakan satu-satunya perangkat hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen. Terkait dengan hak-hak konsumen, hal itu juga berarti bahwa hak-hak pengunjung tempat rekreasi sebagai konsumen tidak hanya terbatas pada sejumlah hak yang sudah diatur dalam Pasal 4 UUPK saja. Justru Pasal 4 butir i UUPK memberikan kesempatan diaturnya sejumlah hak-hak konsumen dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan merupakan salah satu Undang-Undang yang memberikan perlindungan terhadap konsumen,
139
Indonesia (a), Penjelasan Umum.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
63
yaitu dengan diaturnya sejumlah hak yang dimiliki oleh wisatawan. Undangundang ini menggunakan istilah wisatawan bagi setiap orang yang melakukan wisata. Oleh karena rekreasi merupakan salah satu tujuan dilakukannya wisata maka pengunjung tempat rekreasi dapat disebut sebagai wisatawan yang otomatis memiliki sejumlah hak yang diatur dalam undang-undang ini. Adapun berdasarkan
Pasal
20
Undang-Undang
No.
Kepariwisataan, wisatawan berhak memperoleh
140
10
Tahun
2009
tentang
:
a. informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata; Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.141 Hak atas informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata penting adanya agar wisatawan sebagai konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar mengenai daya tarik wisata tersebut sehingga setiap wisatawan dapat memilih daya tarik wisata yang diinginkannya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab mengenai daya tarik wisata kepada setiap wisatawan. b. pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar; Berdasarkan penjelasan Pasal 20 huruf b Undang-Undang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar adalah pelayanan yang diberikan kepada wisatawan berdasarkan standar kualifikasi usaha dan standar kompetensi sumber daya manusia.142 Namun sayangnya undang-undang ini tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini. c. perlindungan hukum dan keamanan; Wisatawan yang tidak lain adalah konsumen selalu memiliki posisi yang tidak seimbang dengan pelaku usaha. Hal tersebut dikarenakan lemahnya
140
Indonesia (b), Ps. 20.
141
Ibid., Ps. 1 butir 5.
142
Ibid., Penjelasan Ps. 20 huruf b.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
64
kedudukan konsumen dan ketidaktahuan para wisatawan akan sejumlah hak yang dimilikinya. Oleh karena ketidakseimbangan posisi tersebut, sudah selayaknya para wisatawan mendapat perlindungan hukum agar mereka tidak lagi menjadi obyek bisnis para pelaku usaha yang ingin meraup
keuntungan
yang
sebesar-besarnya
tanpa
memperhatikan
kepentingan konsumen. Perlindungan keamanan terhadap wisatawan berarti setiap wisatawan berhak atas rasa aman ketika sedang menikmati daya tarik wisata yang dipilihnya dan hal tersebut otomatis sudah menjadi kewajiban pelaku usaha untuk memberikan rasa aman tersebut. Wujud pemberian rasa aman terhadap wisatawan dapat berupa kelayakan setiap daya tarik wisata agar para wisatawan dapat terhindar dari musibah/kecelakaan yang tentunya tidak diharapkan oleh pihak manapun. d. pelayanan kesehatan; Hak wisatawan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan menjadi sangat penting mengingat bahwa kecelakaan/musibah dapat terjadi di mana saja, termasuk di tempat wisata sekalipun. Untuk mengantisipasi hal yang lebih besar, sudah sewajarnya wisatawan mendapatkan pelayanan kesehatan berupa tersedianya dan kesiagaan tim medis di setiap daya tarik wisata. e. perlindungan hak pribadi; dan Undang-Undang Kepariwisataan tidak memberikan penjelasan mengenai hak setiap wisatawan untuk memperoleh perlindungan hak pribadi. Oleh karena itu, perlindungan hak pribadi ini dapat diartikan bahwa setiap wisatawan berhak untuk mendapatkan perlindungan atas hak milik pribadi/barang-barang pribadinya ketika sedang berwisata. f. perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi. Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
65
tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggunkan.143 Dilihat dari tujuannya, asuransi memiliki tujuan memberikan perlindungan (proteksi) atas kerugian keuangan seseorang yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa yang tidak diduga sebelumnya. Dengan demikian, asuransi mengambil alih risiko yang akan dihadapi oleh seseorang di kemudian hari.144 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengatur mengenai hak setiap wisatawan untuk memperoleh perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi. Namun, yang perlu dikritisi
dari
Undang-Undang
ini
adalah
justru
oleh
karena
kecelakaan/musibah dapat terjadi di mana saja dan menimpa saja, sudah seharusnya perlindungan asuransi tidak hanya disediakan untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi saja, melainkan untuk setiap kegiatan pariwisata yang diselenggarakan oleh pelaku usaha. Oleh karena itu, sebaiknya asuransi merupakan kewajiban yang harus disiapkan oleh setiap pengelola tempat wisata (bersifat mutlak). Dengan
adanya asuransi,
pengunjung tempat wisata akan merasa lebih nyaman dan merasa terlindungi jiwanya. Selain keenam hak diatas, Undang-Undang Kepariwisataan juga mengatur hak setiap wisatawan berkebutuhan khusus. Dalam Pasal 21 diatur bahwa wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya.145
4.3
Hak-Hak Konsumen yang Dilanggar oleh PT Z Kasus robohnya salah satu wahana di Tempat Rekreasi Y dapat
dikategorikan sebagai kecelakaan di tempat wisata (rekreasi). Sesungguhnya, insiden ini telah mencoreng pariwisata Indonesia di dunia internasional,
143
Indonesia (d), Undang-Undang Usaha Perasuransian, UU No. 2 Tahun 1992, LN No 13 Tahun 1992, TLN No. 3467, Ps. 1 butir 1. 144
Neni Sri Imaniyati, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Sengketa Klaim Asuransi” Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 30, No. 1, Tahun 2011), hlm. 48. 145
Indonesia (b), Ps. 21.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
66
khususnya Jakarta sebagai Kota Jasa. Hal ini dikarenakan Taman Rekreasi Z beserta segala unit rekreasi di dalamnya merupakan icon kota Jakarta yang sudah terkenal hingga mancanegara. Setiap pengunjung yang datang ke Taman Rekreasi Z beranggapan bahwa Taman Rekreasi Z merupakan tempat rekreasi yang sangat menyenangkan dan aman. Namun, kenyataannya tidak seperti itu setelah insiden tersebut terjadi. Kecelakaan tersebut telah menambah bukti akan lemahnya perlindungan konsumen karena pelaku usaha telah mengabaikan hak-hak konsumen. Adapun hak-hak konsumen yang telah dilanggar oleh PT Z sebagai pengelola Tempat Rekreasi Y adalah sebagai berikut. 1. Berdasarkan UUPK. Hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa (Pasal 4 butir a). Setelah insiden robohnya Wahana X tersebut terjadi, pihak Kepolisian Sektor (Polsek) setempat langsung melakukan olah tempat kejadian perkara dan menutup Wahana X tersebut untuk umum. Namun, PT Z tetap membuka wahana Tempat Rekreasi Y lainnya. Hasil penyelidikan menyatakan bahwa ambrolnya bangunan dekorasi yang merupakan elemen estetika dari Wahana X disebabkan oleh korosi elemen ferrocement (bahan dasar bangunan dekorasi) yang rapuh akibat kadar garam yang tinggi. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap Kepala Bagian Hubungan Media PT Z, robohnya Wahana X tersebut dikarenakan ambruknya papan/bangunan dekorasi yang terbuat dari bahan ferrocement dan berkontur meliuk-liuk, menimpa Wahana X tersebut. Akibatnya, kontur ferrocement tersebut menutupi Wahana X. Adapun papan/bangunan dekorasi tersebut merupakan elemen estetika yang mendukung Tempat Rekreasi Y sebagai gelanggang renang dengan tema “Kerajaan Air”. Beliau mengatakan bahwa robohnya bangunan dekorasi tersebut disebabkan oleh faktor cuaca atau angin yang cukup kuat yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.146
146
Data diperoleh melalui wawancara terhadap Kepala Bagian Hubungan Media PT Z. Wawancara dilakukan pada tanggal 31 Januari 2012 di kantor PT Z.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
67
Adapun yang perlu dikritisi dari pernyataan tersebut adalah mengenai faktor angin atau cuaca yang menjadi penyebab robohnya bangunan dekorasi. Bangunan dekorasi tidak hanya berada di satu wahana tertentu (dalam hal ini adalah Wahana X) saja. Sebagai elemen estetika yang mendukung tema besar Tempat Rekreasi Y sebagai “Kerajaan Air” terbesar, dekorasi yang terbuat dari bahan ferrocement tersebut ada di seluruh kawasan tempat rekreasi. Oleh karena itu, suatu hal yang tidak mungkin apabila hanya bagunan dekorasi di Wahana X saja yang ambruk oleh karena faktor angin atau cuaca. Namun, apabila memang benar faktor angin atau cuaca yang menjadi penyebab robohnya bangunan dekorasi tersebut, hal ini (perubahan angin dan cuaca) sudah sepatutnya diantisipasi oleh PT Z sebagai pengelola tempat rekreasi yang sudah cukup lama bergerak dalam bidang rekreasi pantai dan laut di Indonesia. Tindakan antisipasif tersebut dapat berupa pengecekan secara rutin sebelum beroperasi dan pengecekan secara berkala mengenai layak atau tidaknya setiap wahana beserta elemen-elemen pendukung Tempat Rekreasi Y, misalnya bangunan-bangunan dekorasi. Selain itu, perawatan setiap wahana juga penting dilakukan mengingat bahwa setiap wahana memiliki masa depresiasi. Selain itu, berdasarkan pemberitaan di berbagai media, ketika bangunan dekorasi tersebut roboh, tidak ada pihak dari Tempat Rekreasi Y yang segera datang seketika itu juga menolong para korban yang terjepit di Wahana X ataupun tertimpa robohan sehingga pengunjung lainlah yang berinisiatif untuk menolong para korban. Secara sederhana hal ini membuktikan mengenai ketiadaan tim penyelamat yang siap sedia (safe guard) di setiap wahana. Padahal safe guard ini penting adanya karena merupakan suatu bentuk konkrit pemberian rasa aman terhadap pengunjung apabila suatu hal yang tidak diinginkan/musibah terjadi. Akibat insiden ini, suasana di Tempat Rekreasi Y pun menjadi tak menentu seketika dan menggangu kenyamanan pengunjung lainnya yang sedang bermain di wahana lainnya.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
68
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap Ibu Yani Aryanti Putri (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), ada beberapa kriteria minimal agar suatu tempat rekreasi dapat dikatakan sebagai sebuah tempat rekreasi yang baik. Tempat rekreasi tersebut wajib mengutamakan keamanan, kelayakan dari setiap wahana, kebersihan, luasnya arena tempat rekreasi, keberadaan informasi mengenai setiap wahana/permainan, adanya hotline pengaduan. Namun, keamanan merupakan kriteria yang paling utama.147 Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa insiden robohnya Wahana X yang telah menyebabkan 4 pengunjung mengalami luka-luka yang cukup serius, membuktikan bahwa PT Z sebagai pelaku usaha telah melanggar hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan ketika sedang berekreasi. Padahal sesungguhnya keempat pengunjung tersebut bersenang-senang dan mendapatkan rasa nyaman, aman, dan selamat ketika sedang menikmati wahana karena telah membayar sejumlah uang untuk tiket masuk. Namun, justru kenyataannya yang mereka dapatkan adalah kerugian fisik (physical harm) berupa luka sobek di kaki dan kepala.
2. Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. a. Hak atas keamanan (Pasal 20 butir c). Serupa dengan penjelasan sebelumnya, insiden tersebut menunjukkan bahwa PT Z sebagai pelaku usaha telah melanggar hak konsumen atas keamanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepariwisataan. Keempat pengunjung sudah seharusnya mendapatkan rasa aman ketika sedang berekreasi. Aman berarti tidak ada suatu apapun yang dapat membahayakan jiwanya dan kesehatannya. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Keempat pengunjung tersebut justru mengalami luka yang serius sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Oleh karena
147
Data diperoleh melalui wawancara terhadap Ibu Yani Aryanti Putri selaku Staf Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jakarta pada tanggal 19 Maret 2012 di kantor YLKI.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
69
itu, jelas bahwa PT Z sebagai pelaku usaha telah melanggar hak konsumen berupa hak atas keamanan. b. Hak atas perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi (Pasal 20 butir f). Tempat Rekreasi Y adalah tempat rekreasi air berupa gelanggang renang. Namun, Tempat Rekreasi Y bukanlah gelanggang renang biasa seperti pada umumnya, melainkan gelanggang renang khusus (theme park) dimana pengunjung dapat merasakan petualangan wisata air. Tempat Rekreasi Y merupakan tempat rekreasi yang memicu adrenalin setiap pengunjungnya sehingga setiap pengunjung dapat merasakan sensasi yang luar biasa. Berdasarkan wawancara terhadap Kepala Bagian Hubungan Media PT Z, PT Z sebagai pelaku usaha di bidang rekreasi tidak menyediakan asuransi bagi setiap pengunjungnya dengan alasan Tempat Rekreasi Y adalah gelanggang renang biasa. Sehingga, setiap tiket yang dibeli oleh pengunjung tidak mencakup asuransi.
Namun, apabila terjadi
musibah, PT Z akan bertanggung jawab.148 Berdasarkan Pasal 26 huruf e, sudah menjadi kewajiban setiap pengusaha pariwisata untuk memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi. Adapun pelaku usaha yang melalaikan kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; dan c. pembekuan sementara kegiatan usaha.149 Tempat Rekreasi Y merupakan tempat rekreasi air yang memicu adrenalin setiap pengunjungnya dengan delapan kolam utama yang memiliki karekteristik yang berbeda-beda. Sehingga dapat dikatakan bahwa Tempat Rekreasi Y merupakan tempat rekreasi dengan kegiatan
148
Data diperoleh melalui wawancara terhadap Kepala Bagian Hubungan Media PT Z.
149
Indonesia (b), Ps. 63 ayat (1), (2).
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
70
yang berisiko tinggi sehingga sudah seharusnya PT Z memberikan asuransi kepada para pengunjungnya, sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang. Oleh karena ketiadaan asuransi/tiket masuk Tempat Rekreasi Y tidak mencakup asuransi maka keempat pengunjung yang menjadi korbanpun tidak mendapatkan santunan sebagai haknya meskipun pihak PT Z bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi berupa perawatan kesehatan. Namun sesungguhnya asuransi berbeda dengan tanggung jawab pelaku usaha, dimana tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi memang sudah merupakan suatu beban yang timbul secara moral, sementara memberikan perlindungan asuransi merupakan kewajiban pelaku usaha berdasarkan undangundang.
4.4
Tanggung Jawab PT Z Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, peristiwa robohnya
Wahana X di Tempat Rekreasi Y pada tanggal 25 September 2011 lalu menyebabkan empat pengunjung yang sedang bermain di wahana tersebut mengalami luka-luka. Keempat pengunjung tersebut, yaitu: 1. AS (31), yang mengalami luka sobek pada kakinya; 2. SU (31), yang mengalami luka lecet pada kaki; 3. RI (31), yang terluka di kepala; dan 4. RA (11), yang terluka di pelipis. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap Kepala Bagian Hubungan Media PT Z, keempat pengunjung dibawa ke Rumah Sakit Satya Negara untuk mendapatkan pengobatan. Rumah Sakit tersebut merupakan rumah sakit rujukan atau dengan kata lain sudah ada kerja sama antara PT Z dengan rumah sakit tersebut.150 Dalam wawancara tersebut Beliau mengatakan bahwa atas terjadinya kecelakaan tersebut, tindakan yang dilakukan oleh PT Z adalah sebagai berikut. 1. Permohonan maaf ke publik melalui media massa.
150
Data diperoleh melalui wawancara terhadap Kepala Bagian Hubungan Media PT Z.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
71
2. Meminta maaf kepada keempat korban. 3. Menyampaikan kronologis peristiwa kecelakaan tersebut dan bekerja sama dengan Kepolisian untuk menindaklanjuti perisitwa tersebut. 4. Perbaikan dan refleksi diri.151 Adapun bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan oleh PT Z atas terjadinya insiden tersebut terhadap para korban adalah sebagai berikut. 1. Keempat korban mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit Satya Negara, mengingat bahwa seluruh korban menderita luka sobek di kaki dan kepala. Biaya pengobatan tersebut ditanggung oleh PT Z seluruhnya. 2. Oleh karena Bapak AS merupakan korban yang paling parah kondisinya, Beliau diberikan fasilitas untuk melakukan medical check up di seluruh rumah sakit di wilayah Jabodetabek yang diingingkan, sepanjang berkaitan dengan luka yang menimpanya di Tempat Rekreasi Y. 3. PT Z memberikan Kartu Keanggotaan Istimewa (VIP Card) untuk berekreasi di Tempat Rekreasi Y selama 1 tahun.152 PT Z sebagai pelaku usaha di bidang rekreasi memiliki kebijakan operasional dalam hal pemberian ganti rugi terhadap pengunjungnya apabila terjadi suatu insiden seperti robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y beberapa waktu lalu. Kebijakan operasional tersebut dinamakan Sisdur Operasional Penanganan Pengunjung, yang bersifat rahasia/tidak dapat dipublikasikan dengan alasan tidak semua pengunjung Taman Rekreasi Z beritikad baik. Adapun inti dari adanya kebijakan operasional tersebut adalah perlakuan (“treatment”-istilah yang dipakai oleh Kepala Bagian Hubungan Media PT Z) terhadap pengunjung apabila mengalami musibah di Taman Rekreasi Z disesuaikan dengan tingkat insidennya. Santunan hanya diberikan apabila ada pengunjung yang meninggal
151
Ibid
152
Ibid
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
72
dunia karena berekreasi di Taman Rekreasi Z, meskipun bukan karena kesalahan PT Z.153
4.4.1 Analisis Tanggung Jawab PT Z Berdasarkan UUPK Tanggung jawab dapat diartikan sebagai keadaan yang menjadikan seseorang wajib menanggung segala sesuatunya (sehingga kalau terjadi sesuatu, orang tersebut boleh dituntut atau dipersalahkan, diperkarakan, dan lain sebagainya). Tanggung jawab (liability atau responsibility) sejatinya merupakan suatu beban yang timbul secara moral, suatu komitmen (what a person ought to do). Ini berbeda dengan dengan kewajiban (obligation), yang merupakan beban yang sifatnya kontraktual atau berdasarkan ketentuan suatu undang-undang.154 Dalam UUPK, tanggung jawab pelaku usaha dibedakan menjadi 2, yaitu tanggung jawab secara umum dan secara khusus. Adapun tanggung jawab pelaku usaha secara umum adalah untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.155 Sedangkan tanggung jawab pelaku usaha secara khusus dalam hal untuk menyediakan suku cadang atau fasilitas purna jual dan jaminan atau garansi (Pasal 25 dan Pasal 26), tanggung jawab pelaku usaha di bidang periklanan dan importasi produk (Pasal 20 dan Pasal 21). Oleh karena itu, secara sederhana dapat dikatakan bahwa tanggung jawab pelaku usaha merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap konsumen. Berdasarkan Pasal 19 UUPK, pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian yang dialami oleh konsumen dapat berupa: a. pengembalian uang; atau b. penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; atau c. perawatan kesehatan; dan/atau
153
Ibid
154
Irna Nurhayati, “Pertanggungjawaban Produsen Terhadap Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999,” 27. 155
Indonesia (a), Ps. 19 ayat (1).
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
73
d. pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Jika melihat perumusan pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bentuk pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha adalah bersifat alternatif/pilihan. Oleh karena itu, apabila pelaku usaha telah memenuhi/memberikan salah satu bentuk ganti rugi saja maka dapat dikatakan bahwa pelaku usaha tersebut telah melaksanakan tanggung jawabnya berdasarkan Pasal 19 UUPK. Sementara dalam menentukan besarnya ganti rugi yang harus dibayar pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti rugi yang harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak tidak terjadi kerugian atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andaikata perjanjian dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi perbuatan melanggar hukum.156 Jika dikaitkan dengan kasus, keempat pengunjung Tempat Rekreasi Y secara nyata telah mengalami kerugian akibat insiden tersebut, padahal seharusnya yang mereka dapatkan adalah kegembiraan dan keceriaan. Luka-luka yang serius di kaki dan kepala yang mereka dapatkan merupakan kerugian fisik (physical harm), dimana kerugian ini tidak dapat dihitung secara matematis dan sulit dinilai dengan uang. Akibat insiden tersebut, keempat korban pun dapat dikatakan belum dapat kembali untuk melakukan aktivitasnya sementara waktu, terlebih lagi untuk Bapak AS yang harus dirawat inap karena luka yang dideritanya adalah yang paling serius dibandingkan dengan ketiga pengunjung lainnya. Melihat tiga poin bentuk tanggung jawab PT Z yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya (pengobatan terhadap keempat korban di Rumah Sakit Satya Negara yang dibiayai seluruhnya oleh PT Z, pemberian fasilitas medical check up di seluruh rumah sakit di wilayah Jabodetabek kepada Bapak AS dan pemberian VIP Card), dapat disimpulkan bahwa PT Z sebagai pelaku usaha tidak melepaskan tanggung jawabnya atas terjadinya insiden tersebut. Apabila dikaitkan
156
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, 134.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
74
dengan Pasal 19 UUPK, PT Z telah melakukan tanggung jawabnya untuk memberikan ganti rugi berupa perawatan kesehatan. Keempat pengunjung dibawa ke Rumah Sakit Satya Negara (rumah sakit rujukan) untuk dilakukan penanganan medis berupa jahitan di kaki dan kepala dan keseluruhan biaya tersebut ditanggung oleh PT Z. Ketiga pengunjung diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing pada hari itu juga, kecuali Bapak AS yang harus dirawat inap karena memerlukan penangan medis yang lebih lanjut. Oleh karena itu, Bapak AS diberikan fasilitas untuk melakukan medical check up di seluruh rumah sakit di wilayah Jabodetabek yang diinginkan, sepanjang berkaitan dengan luka yang menimpanya di Tempat Rekreasi Y. Selain penanganan secara medis, PT Z juga memberikan fasilitas berupa VIP Card untuk keempat pengunjung yang menjadi korban tersebut untuk berekreasi di Tempat Rekreasi Y selama 1 tahun. Dengan diberikannya VIP Card tersebut maka keempat pengunjung dianggap sebagai “tamu kehormatan Taman Rekreasi Z”. Adapun PT Z menganggap pemberian VIP Card tersebut adalah sebagai privilege (hak istimewa) bagi keempat pengunjung tersebut. Oleh karena sifat bentuk ganti rugi oleh pelaku usaha berdasarkan Pasal 19 UUPK adalah alternatif maka PT Z dapat dikatakan telah melaksanakan tanggung jawabnya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi jasa yang disediakannya. Namun, jika ditinjau berdasarkan kerugian yang dialami oleh keempat pengunjung tersebut, perawatan kesehatan
dan
VIP
Card
tentu
saja
tidaklah
cukup
untuk
mengkompensasi/mengembalikan keadaan seperti semula. Luka-luka pada tubuh memang
dapat
disembuhkan
(walaupun
tidak
secara
seketika)
namun
trauma/psikologis yang dialami pengunjung tentu tidak dapat dihilangkan dengan mudah; itulah yang kurang menjadi bahan pertimbangan PT Z dalam memberikan ganti rugi kepada keempat pengunjung yang telah menjadi korban. Sehingga, dari sisi pelaku usaha (bisnis), pemberian VIP Card tersebut dapat pula menandakan bahwa kerugian fisik dan juga trauma yang dialami oleh keempat pengunjung dapat terbayarkan oleh VIP Card tersebut. Oleh karena itu, hal tersebut merupakan salah satu kritikan terhadap Pasal 19 ayat (2) UUPK yang bersifat alternatif/pilihan. Dengan dipenuhinya salah satu
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
75
bentuk ganti rugi oleh pelaku usaha, misalnya saja seandainya PT Z hanya memberikan ganti rugi terhadap konsumen berupa pengembalian uang tiket masuk saja, maka PT Z sudah memenuhi tanggung jawabnya untuk memberikan ganti rugi terhadap keempat pengunjung yang menjadi korban tersebut. Namun tentu saja pengembalian uang sebesar Rp 100.000 sebagai tiket masuk tidak dapat mengkompensasi keadaan seperti semula. Demikian halnya dengan perawatan kesehatan berupa penanggungan keseluruhan biaya penanganan medis keempat pengunjung tersebut. Padahal, inti dari pemberian ganti rugi adalah untuk membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian atau singkatnya mengkompensasi keadaan seperti sedia kala. Sudah selayaknya tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UUPK tersebut bersifat kumulatif dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen dan agar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya selalu beritikad baik dengan tidak menjadikan konsumen sebagai obyek bisnis saja dan mengabaikan hak-hak konsumen.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
BAB 5 PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1.
Pengunjung tempat rekreasi adalah konsumen jasa rekreasi. Adapun bentuk perlindungan konsumen bagi pengunjung tempat rekreasi terwujud melalui diaturnya sejumlah hak konsumen dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Adapun
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur hal tersebut yaitu UUPK dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Mengacu pada Pasal 4 UUPK, hak-hak yang dimiliki oleh pengunjung tempat rekreasi yaitu: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan ketika sedang berekreasi; b. hak untuk memilih tempat rekreasi; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai tempat rekreasi; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas tempat rekreasi yang dipilihnya; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
76
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
77
f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya; Sementara itu, berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pengunjung tempat rekreasi berhak memperoleh: a.
informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;
b.
pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar;
c.
perlindungan hukum dan keamanan;
d.
pelayanan kesehatan;
e.
perlindungan hak pribadi;
f.
perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi;
g.
fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya bagi wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia;
2.
Pelanggaran hak konsumen yang dilakukan oleh PT Z atas terjadinya insiden robohnya Wahana X di Tempat Rekreasi Y, yaitu : a.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa (Pasal 4 butir a UUPK dan Pasal 20 butir c Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan)
b.
Hak atas perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi (Pasal 20 butir f Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan).
3.
UUPK mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi terhadap konsumen yang menderita kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Ganti rugi tersebut bersifat alternatif,
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
78
yaitu dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan dipenuhinya salah satu bentuk ganti rugi saja maka pelaku usaha dikatakan sudah melaksanakan tanggung jawabnya. Oleh karena PT Z telah memberikan ganti rugi berupa perawatan kesehatan melalui penanggungan seluruh biaya penanganan medis bagi keempat pengunjung yang dilarikan ke Rumah Sakit Satya Negara maka secara normatif PT Z telah melaksanakan tanggung jawabnya atas kerugian yang dialami oleh keempat korban tersebut. Namun, jika ditinjau berdasarkan kerugian yang dialami oleh keempat pengunjung tersebut, perawatan kesehatan tentu saja tidaklah cukup untuk mengkompensasi/mengembalikan keadaan seperti semula
5.2
Saran
Adapun dalam skripsi ini Penulis memberikan saran sebagai berikut. 1.
Sifat alternatif/pilihan dalam pemberian bentuk ganti rugi kepada konsumen sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UUPK untuk beberapa situasi kurang berpihak kepada konsumen, apalagi jika kerugian yang dialami oleh konsumen sangat besar/berakibat sangat fatal. Hal tersebut dikarenakan seakan-akan pelaku usaha dapat memilih bentuk ganti rugi mana yang paling menguntungkan/meringankan baginya. Oleh karena itu, perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 19 ayat (2) UUPK sehingga pemberian bentuk ganti rugi oleh pelaku usaha bersifat kumulatif.
2.
Perlindungan asuransi seharusnya tidak hanya disediakan untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi saja, melainkan untuk setiap kegiatan pariwisata yang diselenggarakan oleh pelaku usaha. Dengan
adanya
asuransi, pengunjung tempat rekreasi akan merasa lebih nyaman dan merasa terlindungi jiwanya. Selain itu, dari sisi bisnis, asuransi juga dapat menjadi salah satu faktor untuk meningkatkan gairah usaha karena apabila konsumen tahu bahwa setiap pengunjung tempat rekreasi tersebut akan
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
79
dilindungi dengan asuransi, mereka tidak akan segan-segan untuk berekreasi ke tempat rekreasi tersebut. 3.
PT Z sebagai perusahaan yang bergerak dalam penyediaan jasa rekreasi terbesar di Indonesia sudah selayaknya memberikan asuransi pada setiap pengunjungnya sebagai suatu bentuk/wujud perlindungan terhadap konsumen.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
80
DAFTAR REFERENSI
Peraturan perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Kepariwisataan, UU No. 10 Tahun 2009, LN No. 11 Tahun 2009, TLN No. 4966.
_________. Peraturan Daerah Kepariwisataan, Perda Provinsi DKI Jakarta No. 10 Tahun 2004, LD Prov. DKI Jakarta No. 65 Tahun 2004.
_________. Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821.
_________. Undang-Undang Usaha Perasuransian, UU No. 2 Tahun 1992, LN No. 13 Tahun 1992, TLN No. 3467.
Buku Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Perlindungan Konsumen Indonesia. Cet. 2. Jakarta: Badan Perlindungan Konsumen Nasional, 2006.
Gelgel, I Putu. Industri Pariwisata Indonesia dalam Globalisasi Perdagangan Jasa (GATS-WTO)-Implikasi Hukum dan Antisipasinya. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Cet. 1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Cet. 2. Jakarta: Diadit Media, 2002.
_______. Konsumen dan Hukum. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
81
Nugroho, Susanti Adi. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Ed. 1. Cet. 1. Jakarta: Kencana, 2008.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Cet. 2. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Susanto, Happy. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Cet. 1. Jakarta: Visimedia, 2008.
Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Artikel Imaniyati, Neni Sri. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Sengketa Klaim Asuransi.” Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 30, No. 1, Tahun 2011). Hlm. 48-57.
Nurhayati, Irna. “Pertanggungjawaban Produsen Terhadap Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999.” Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 30, No. 1, Tahun 2011). Hlm. 24-34.
“Pertanggungjawaban Produsen Terhadap Publik.” Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 30, No. 1, Tahun 2011). Hlm. 4
Sudaryatmo. “Hukum Perlindungan Konsumen dan Implementasinya di Indonesia.” Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 30, No. 1, Tahun 2011). Hlm. 3547.
Yuliansyah. “Wahana Tempat Rekreasi Y Ambruk.” Derap Reformasi; Hukum, Ekonomi& Pemerintahan (Vol. 6, Tahun ke XIII, Oktober 2011). Hlm. 79.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
82
Skripsi Bakara, Dian Rizky Amelia. “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Pembelian Unit Apartemen (Studi Kasus: Apartemen Sudirman Park).” Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2009.
Internet Armaya, I Putu. “Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Pariwisata.” http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2007/4/14/o3.htm. Diunduh pada 29 Februari 2012.
“Kebutuhan Hidup/Ekonomi Manusia-Kebutuhan Primer, Sekunder, Tersier, Jasmani, Rohani, Sekarang, Masa Depan, Pribadi dan Sosial,” http://organisasi.org/kebutuhan_hidup_ekonomi_manusia_kebutuhan_pri mer_sekunder_tersier_jasmani_rohani_sekarang_masa_depan_pribadi_dan _sosial. Diunduh pada 9 November 2011.
Maslow’s Hierarchy of Needs. http://www.abrahammaslow.com/m_motivation/Hierarchy_of_Needs.asp. Diunduh pada 9 November 2011.
Nasution, Az. “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun 1999-LN 1999 No. 42,” http://www.docstoc.com/docs/32498578/ASPEK-HUKUMPERLINDUNGAN-KONSUMEN-TINJAUAN-SINGKAT-UU-NOMOR8. Diunduh pada 20 November 2011.
Teori Hierarki Kebutuhan Maslow/Abraham Maslow-Ilmu Ekonomi. http://organisasi.org/teori_hierarki_kebutuhan_maslow_abraham_maslow_ ilmu_ekonomi. Diunduh pada 9 November 2011.
Kamus Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. 1. Ed. 3. Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
83
Wawancara Wawancara terhadap Kepala Bagian Hubungan Media PT Z pada tanggal 31 Januari 2012 di kantor PT Z.
Wawancara terhadap Ibu Yani Aryanti Putri selaku Staf Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jakarta pada tanggal 19 Maret 2012 di kantor YLKI.
Universitas Indonesia
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10.TAHUN 2009...... TENTANG KEPARIWISATAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a.
bahwa keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana
terkandung
dalam
Pancasila
dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.
bahwa
kebebasan
melakukan
perjalanan
dan
memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia; c.
bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung
jawab
dengan
tetap
memberikan
perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional; d.
bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global; e. bahwa . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-2e.
bahwa
Undang-Undang
Nomor
9
Tahun
1990
tentang Kepariwisataan tidak sesuai lagi dengan tuntutan
dan
perkembangan
kepariwisataan
sehingga perlu diganti; f.
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Kepariwisataan; Mengingat
: Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG KEPARIWISATAAN.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. 2. Wisatawan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-3-
2. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata. 3. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. 4. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. 5. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. 6. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum,
fasilitas
pariwisata,
aksesibilitas,
serta
masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. 7. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. 8. Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata. 9. Industri . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-49. Industri
Pariwisata
pariwisata
yang
adalah
saling
kumpulan
terkait
dalam
usaha rangka
menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan
wisatawan
dalam
penyelenggaraan
pariwisata. 10. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi
untuk
pengembangan
pariwisata
yang
mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. 11. Kompetensi
adalah
seperangkat
pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja. 12. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan. 13. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 14. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 15. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kepariwisataan.
BAB II . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-5BAB II ASAS, FUNGSI, DAN TUJUAN Pasal 2 Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas: a. manfaat; b. kekeluargaan; c. adil dan merata; d. keseimbangan; e. kemandirian; f.
kelestarian;
g. partisipatif; h. berkelanjutan; i.
demokratis;
j.
kesetaraan; dan
k. kesatuan. Pasal 3 Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pasal 4 Kepariwisataan bertujuan untuk: a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi; b. meningkatkan kesejahteraan rakyat; c. menghapus . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-6c. menghapus kemiskinan; d. mengatasi pengangguran; e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; f.
memajukan kebudayaan;
g. mengangkat citra bangsa; h. memupuk rasa cinta tanah air; i.
memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
j.
mempererat persahabatan antarbangsa.
BAB III PRINSIP PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN
Pasal 5
Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip: a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan; b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal; c. memberi
manfaat
untuk
kesejahteraan
rakyat,
keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;
d. memelihara . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-7d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup; e. memberdayakan masyarakat setempat; f.
menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antarpemangku kepentingan;
g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan h. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB IV PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
Pasal 6
Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.
Pasal 7
Pembangunan kepariwisataan meliputi: a. industri pariwisata; b. destinasi pariwisata; c. pemasaran . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-8c. pemasaran; dan d. kelembagaan kepariwisataan.
Pasal 8 (1) Pembangunan berdasarkan
kepariwisataan rencana
induk
dilakukan pembangunan
kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan
kepariwisataan
nasional,
rencana
induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan
kepariwisataan
sebagaimana
kabupaten/kota. (2) Pembangunan
dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian integral dari rencana pembangunan jangka panjang nasional.
Pasal 9 (1) Rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan
provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah provinsi. (3) Rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat
(1)
diatur
dengan
Peraturan
Daerah
kabupaten/kota. (4) Penyusunan
rencana
induk
pembangunan
kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan. (5) Rencana . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-9(5) Rencana
induk
pembangunan
sebagaimana
dimaksud
pada
perencanaan
pembangunan
kepariwisataan
ayat
industri
(4)
meliputi
pariwisata,
destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.
Pasal 10
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
mendorong
penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 11
Pemerintah bersama lembaga yang terkait dengan kepariwisataan
menyelenggarakan
pengembangan
kepariwisataan
penelitian
untuk
dan
mendukung
pembangunan kepariwisataan.
BAB V KAWASAN STRATEGIS
Pasal 12
(1) Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek:
a. sumber . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 10 a. sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata; b. potensi pasar; c. lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah; d. perlindungan
terhadap
lokasi
tertentu
yang
mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; e. lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya; f.
kesiapan dan dukungan masyarakat; dan
g. kekhususan dari wilayah. (2) Kawasan strategis pariwisata dikembangkan untuk berpartisipasi kesatuan
dalam
bangsa,
terciptanya keutuhan
persatuan
Negara
dan
Kesatuan
Republik Indonesia serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. (3) Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek
budaya,
sosial,
dan
agama
masyarakat
setempat. Pasal 13 (1) Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas kawasan strategis pariwisata nasional, kawasan strategis pariwisata provinsi, dan kawasan strategis pariwisata kabupaten/kota.
(2) Kawasan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 11 (2) Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian integral dari rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan
rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota. (3) Kawasan strategis pariwisata nasional ditetapkan oleh
Pemerintah,
kawasan
strategis
pariwisata
provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi, dan kawasan strategis pariwisata kabupaten/kota ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota. (4) Kawasan
pariwisata
khusus
ditetapkan
dengan
undang-undang.
BAB VI USAHA PARIWISATA
Pasal 14
(1) Usaha pariwisata meliputi, antara lain: a. daya tarik wisata; b. kawasan pariwisata; c. jasa transportasi wisata; d. jasa perjalanan wisata; e. jasa makanan dan minuman; f.
penyediaan akomodasi;
g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; i. jasa . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 12 i.
jasa informasi pariwisata;
j.
jasa konsultan pariwisata;
k. jasa pramuwisata; l.
wisata tirta; dan
m. spa. (2) Usaha pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15 (1) Untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya terlebih dahulu kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah. (2) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16 Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menunda atau meninjau kembali pendaftaran usaha pariwisata apabila
tidak
sesuai
dengan
ketentuan
tata
cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Pasal 17 Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
wajib
mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara: a. membuat . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 13 a. membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; dan b. memfasilitasi
kemitraan
usaha
mikro,
kecil,
menengah, dan koperasi dengan usaha skala besar.
BAB VII HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN Bagian Kesatu Hak
Pasal 18
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengatur dan mengelola
urusan
kepariwisataan
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
(1) Setiap orang berhak: a. memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata; b. melakukan usaha pariwisata; c. menjadi pekerja/buruh pariwisata; dan/atau d. berperan
dalam
proses
pembangunan
kepariwisataan.
(2) Setiap . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 14 (2) Setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas: a. menjadi pekerja/buruh; b. konsinyasi; dan/atau c. pengelolaan.
Pasal 20 Setiap wisatawan berhak memperoleh: a. informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata; b. pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar; c. perlindungan hukum dan keamanan; d. pelayanan kesehatan; e. perlindungan hak pribadi; dan f.
perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.
Pasal 21 Wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Pasal 22 Setiap pengusaha pariwisata berhak: a. mendapatkan
kesempatan
yang
sama
dalam
berusaha di bidang kepariwisataan;
b. membentuk . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 15 b. membentuk
dan
menjadi
anggota
asosiasi
kepariwisataan; c. mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan d. mendapatkan fasilitas sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Kewajiban
Pasal 23
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban: a. menyediakan perlindungan
informasi hukum,
kepariwisataan,
serta
keamanan
dan
keselamatan kepada wisatawan; b. menciptakan
iklim
yang
kondusif
untuk
perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya berusaha,
kesempatan memfasilitasi,
yang
sama
dan
dalam
memberikan
kepastian hukum; c. memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan d. mengawasi
dan
mengendalikan
kegiatan
kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
(2) Ketentuan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 16 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan pengendalian kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 24
Setiap orang berkewajiban: a. menjaga dan melestarikan daya tarik wisata; dan b. membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih, berperilaku
santun,
dan
menjaga
kelestarian
lingkungan destinasi pariwisata.
Pasal 25
Setiap wisatawan berkewajiban: a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat; b. memelihara dan melestarikan lingkungan; c. turut serta
menjaga ketertiban dan keamanan
lingkungan; dan d. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum.
Pasal 26 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 17 Pasal 26 Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban: a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat; b. memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab; c. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif; d. memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan; e. memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi; f.
mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil,
dan
koperasi
setempat
yang
saling
memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan; g. mengutamakan
penggunaan
produk
masyarakat
setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal; h. meningkatkan
kompetensi
tenaga
kerja
melalui
pelatihan dan pendidikan; i.
berperan
aktif
dalam
upaya
pengembangan
prasarana dan program pemberdayaan masyarakat; j.
turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
k. memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri; l.
memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
m. menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan n. menerapkan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 18 n. menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Bagian Ketiga Larangan Pasal 27 (1) Setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik wisata. (2) Merusak
fisik
daya
tarik
wisata
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah melakukan perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies
tertentu,
mencemarkan
lingkungan,
memindahkan, mengambil, menghancurkan, atau memusnahkan daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
BAB VIII KEWENANGAN PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 28 Pemerintah berwenang: a. menyusun
dan
menetapkan
rencana
induk
pembangunan kepariwisataan nasional;
b. mengoordinasikan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 19 b. mengoordinasikan
pembangunan
kepariwisataan
lintas sektor dan lintas provinsi; c. menyelenggarakan
kerja
sama
internasional
di
bidang kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. menetapkan daya tarik wisata nasional; e. menetapkan destinasi pariwisata nasional ; f.
menetapkan norma, standar, pedoman, prosedur, kriteria,
dan
sistem
pengawasan
dalam
penyelenggaraan kepariwisataan; g. mengembangkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan; h. memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; i.
melakukan dan memfasilitasi promosi pariwisata nasional;
j.
memberikan
kemudahan
yang
mendukung
kunjungan wisatawan; k. memberikan informasi dan/atau peringatan dini yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan wisatawan; l.
meningkatkan
pemberdayaan
masyarakat
dan
potensi wisata yang dimiliki masyarakat; m. mengawasi,
memantau,
dan
mengevaluasi
penyelenggaraan kepariwisataan; dan n. mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
Pasal 29 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 20 Pasal 29 Pemerintah provinsi berwenang: a. menyusun
dan
menetapkan
rencana
induk
pembangunan kepariwisataan provinsi; b. mengoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di wilayahnya; c. melaksanakan
pendaftaran,
pencatatan,
dan
pendataan pendaftaran usaha pariwisata; d. menetapkan destinasi pariwisata provinsi; e. menetapkan daya tarik wisata provinsi; f.
memfasilitasi
promosi
destinasi
pariwisata
dan
produk pariwisata yang berada di wilayahnya; g. memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik wisata provinsi; dan h. mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
Pasal 30 Pemerintah kabupaten/kota berwenang: a. menyusun
dan
menetapkan
rencana
induk
pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota; b. menetapkan destinasi pariwisata kabupaten/kota; c. menetapkan daya tarik wisata kabupaten/kota; d. melaksanakan
pendaftaran,
pencatatan,
dan
pendataan pendaftaran usaha pariwisata; e. mengatur
penyelenggaraan
dan
pengelolaan
kepariwisataan di wilayahnya; f. memfasilitasi . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 21 f.
memfasilitasi dan
melakukan
promosi
destinasi
pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya; g. memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru; h. menyelenggarakan
pelatihan
dan
penelitian
kepariwisataan dalam lingkup kabupaten/kota; i.
memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang berada di wilayahnya;
j.
menyelenggarakan
bimbingan
masyarakat
sadar
wisata; dan k. mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
Pasal 31 (1) Setiap perseorangan, organisasi pariwisata, lembaga pemerintah, serta badan usaha yang berprestasi luar biasa
atau
berjasa
meningkatkan
besar
dalam
pembangunan,
partisipasinya
kepeloporan,
dan
pengabdian di bidang kepariwisataan yang dapat dibuktikan
dengan
fakta
yang
konkret
diberi
penghargaan. (2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah atau lembaga lain yang tepercaya. (3) Penghargaan dapat berbentuk pemberian piagam, uang,
atau
bentuk
penghargaan
lain
yang
bermanfaat. (4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pemberian
penghargaan, bentuk penghargaan, dan pelaksanaan pemberian
penghargaan
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 32 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 22 Pasal 32 (1) Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah
menjamin
ketersediaan dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat
untuk
kepentingan
pengembangan
kepariwisataan. (2) Dalam menyediakan dan menyebarluaskan informasi, Pemerintah
mengembangkan
sistem
informasi
kepariwisataan nasional. (3) Pemerintah Daerah dapat mengembangkan dan mengelola sistem informasi kepariwisataan sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerah.
BAB IX KOORDINASI Pasal 33 (1) Dalam
rangka
meningkatkan
penyelenggaraan
kepariwisataan Pemerintah melakukan koordinasi strategis
lintas
sektor
pada
tataran
kebijakan,
program, dan kegiatan kepariwisataan. (2) Koordinasi
strategis
lintas
sektor
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bidang pelayanan kepabeanan, keimigrasian, dan karantina; b. bidang keamanan dan ketertiban; c. bidang prasarana umum yang mencakupi jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan; d. bidang . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 23 d. bidang transportasi darat, laut, dan udara; dan e. bidang promosi pariwisata dan kerja sama luar negeri.
Pasal 34 Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dipimpin oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, mekanisme, dan
hubungan koordinasi strategis lintas sektor
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 dan Pasal 34
diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB X BADAN PROMOSI PARIWISATA INDONESIA
Bagian Kesatu Badan Promosi Pariwisata Indonesia
Pasal 36
(1) Pemerintah
memfasilitasi
pembentukan
Badan
Promosi Pariwisata Indonesia yang berkedudukan di ibu kota negara. (2) Badan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 24 (2) Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri. (3) Pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 37
Struktur organisasi Badan Promosi Pariwisata Indonesia terdiri atas 2 (dua) unsur, yaitu unsur penentu kebijakan dan unsur pelaksana.
Pasal 38
(1) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 berjumlah 9 (sembilan) orang anggota terdiri atas: a. wakil asosiasi kepariwisataan 4 (empat) orang; b. wakil asosiasi profesi 2 (dua) orang; c. wakil asosiasi penerbangan 1 (satu) orang; dan d. pakar/akademisi 2 (dua) orang. (2) Keanggotaan
unsur
penentu
kebijakan
Badan
Promosi Pariwisata Indonesia diusulkan oleh Menteri kepada Presiden untuk masa tugas paling lama 4 (empat) tahun. (3) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Indonesia dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dibantu oleh seorang sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota.
(4) Ketentuan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 25 (4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
kerja,
persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian
unsur
penentu
kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 39
Unsur penentu kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38
membentuk
menjalankan
tugas
unsur
pelaksana
operasional
Badan
untuk Promosi
Pariwisata Indonesia.
Pasal 40
(1) Unsur
pelaksana
Badan
Promosi
Pariwisata
Indonesia dipimpin oleh seorang direktur eksekutif dengan dibantu oleh beberapa direktur sesuai dengan kebutuhan. (2) Unsur
pelaksana
Badan
Promosi
Pariwisata
Indonesia wajib menyusun tata kerja dan rencana kerja. (3) Masa
kerja
unsur
pelaksana
Badan
Promosi
Pariwisata Indonesia paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya. (4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
kerja,
persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian
unsur
pelaksana
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan
Badan
Promosi
Pariwisata
Indonesia. Pasal 41 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 26 -
Pasal 41
(1) Badan Promosi Pariwisata Indonesia mempunyai tugas: a. meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia; b. meningkatkan
kunjungan
wisatawan
mancanegara dan penerimaan devisa; c. meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan; d. menggalang
pendanaan
dari
sumber
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
selain dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan; dan e. melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata. (2) Badan Promosi Pariwisata Indonesia mempunyai fungsi sebagai: a. koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat dan daerah; dan b. mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 42
(1) Sumber
pembiayaan
Badan
Promosi
Pariwisata
Indonesia berasal dari: a. pemangku kepentingan; dan
b. sumber . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 27 b. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. (2) Bantuan
dana
yang
bersumber
dari
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.
Bagian Kedua Badan Promosi Pariwisata Daerah
Pasal 43
(1) Pemerintah
Daerah
dapat
memfasilitasi
pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah yang berkedudukan
di
ibu
kota
provinsi
dan
kabupaten/kota. (2) Badan
Promosi
Pariwisata
Daerah
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri. (3) Badan
Promosi
melaksanakan
Pariwisata
kegiatannya
Daerah
wajib
dalam
berkoordinasi
dengan Badan Promosi Pariwisata Indonesia. (4) Pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 44 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 28 Pasal 44
Struktur organisasi Badan Promosi Pariwisata Daerah terdiri atas 2 (dua) unsur, yaitu unsur penentu kebijakan dan unsur pelaksana.
Pasal 45
(1) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berjumlah 9 (sembilan) orang anggota terdiri atas: a. wakil asosiasi kepariwisataan 4 (empat) orang; b. wakil asosiasi profesi 2 (dua) orang; c. wakil asosiasi penerbangan 1 (satu) orang; dan d. pakar/akademisi 2 (dua) orang. (2) Keanggotaan Promosi
unsur
Pariwisata
penentu Daerah
kebijakan ditetapkan
Badan dengan
Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota untuk masa tugas paling lama 4 (empat) tahun. (3) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah dipimpin
oleh seorang ketua dan seorang
wakil ketua yang dibantu oleh seorang sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota. (4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
kerja,
persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian
unsur
penentu
kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur/Bupati/ Walikota.
Pasal 46 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 29 Pasal 46 Unsur penentu kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45
membentuk
menjalankan
tugas
unsur
pelaksana
operasional
Badan
untuk Promosi
Pariwisata Daerah.
Pasal 47 (1) Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah dipimpin oleh seorang direktur eksekutif dengan dibantu
oleh
beberapa
direktur
sesuai
dengan
kebutuhan. (2) Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah wajib menyusun tata kerja dan rencana kerja. (3) Masa
kerja
unsur
pelaksana
Badan
Pariwisata Daerah paling lama 3 (tiga)
Promosi
tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya. (4) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
kerja,
persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian
unsur
pelaksana
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Badan Promosi Pariwisata Daerah.
Pasal 48 (1) Badan Promosi Pariwisata Daerah mempunyai tugas: a. meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia;
b. meningkatkan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 30 b. meningkatkan
kunjungan
wisatawan
mancanegara dan penerimaan devisa; c. meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan; d. menggalang
pendanaan
dari
sumber
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
selain dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan; dan e. melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata. (2) Badan Promosi Pariwisata Daerah mempunyai fungsi sebagai: a.
koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat dan daerah; dan
b. mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 49
(1) Sumber
pembiayaan
Badan
Promosi
Pariwisata
Daerah berasal dari: a. pemangku kepentingan; dan b. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. (2) Bantuan
dana
yang
bersumber
dari
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengelolaan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 31 (3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.
BAB XI GABUNGAN INDUSTRI PARIWISATA INDONESIA Pasal 50 (1) Untuk mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang kompetitif, dibentuk satu wadah yang
dinamakan
Gabungan
Industri
Pariwisata
Indonesia. (2) Keanggotaan
Gabungan
Industri
Pariwisata
Indonesia terdiri atas: a. pengusaha pariwisata; b. asosiasi usaha pariwisata; c. asosiasi profesi; dan d. asosiasi
lain
yang
terkait
langsung
dengan
pariwisata. (3) Gabungan
Industri
Pariwisata
Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta wadah komunikasi dan konsultasi para anggotanya
dalam
penyelenggaraan
dan
pembangunan kepariwisataan. (4) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia bersifat mandiri dan dalam melakukan kegiatannya bersifat nirlaba. (5) Gabungan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 32 (5) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia melakukan kegiatan, antara lain: a. menetapkan
dan
menegakkan
Kode
Etik
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia; b. menyalurkan kerukunan
aspirasi
dan
serta
kepentingan
memelihara
anggota
dalam
rangka keikutsertaannya dalam pembangunan bidang kepariwisataan; c. meningkatkan hubungan dan kerja sama antara pengusaha pariwisata Indonesia dan pengusaha pariwisata
luar
negeri
untuk
kepentingan
pembangunan kepariwisataan; d. mencegah persaingan usaha yang tidak sehat di bidang pariwisata; dan e. menyelenggarakan pusat informasi usaha dan menyebarluaskan kebijakan Pemerintah di bidang kepariwisataan.
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, keanggotaan, susunan
kepengurusan,
dan
kegiatan
Gabungan
Industri Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
BAB XII . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 33 BAB XII PELATIHAN SUMBER DAYA MANUSIA, STANDARDISASI, SERTIFIKASI, DAN TENAGA KERJA Bagian Kesatu Pelatihan Sumber Daya Manusia Pasal 52
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan pelatihan sumber daya manusia pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Standardisasi dan Sertifikasi Pasal 53
(1) Tenaga kerja di bidang kepariwisataan memiliki standar kompetensi. (2) Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi. (3) Sertifikasi
kompetensi
dilakukan
oleh
lembaga
sertifikasi profesi yang telah mendapat lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 54 (1) Produk,
pelayanan,
dan
pengelolaan
usaha
pariwisata memiliki standar usaha. (2) Standar . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 34 (2) Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi usaha. (3) Sertifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh lembaga mandiri yang berwenang sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan sertifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Tenaga Kerja Ahli Warga Negara Asing Pasal 56
(1) Pengusaha pariwisata dapat mempekerjakan tenaga kerja
ahli
warga
negara
asing
sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Tenaga kerja ahli warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu mendapat rekomendasi
dari
organisasi
asosiasi
pekerja
profesional kepariwisataan.
BAB XIII . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 35 BAB XIII PENDANAAN Pasal 57
Pendanaan pariwisata menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, pengusaha, dan masyarakat.
Pasal 58
Pengelolaan dana kepariwisataan dilakukan berdasarkan prinsip
keadilan,
efisiensi,
transparansi,
dan
akuntabilitas publik.
Pasal 59
Pemerintah
Daerah
pendapatan
yang
mengalokasikan diperoleh
dari
sebagian
dari
penyelenggaraan
pariwisata untuk kepentingan pelestarian alam dan budaya.
Pasal 60
Pendanaan oleh pengusaha dan/atau masyarakat dalam pembangunan
pariwisata
di
pulau
kecil
diberikan
insentif yang diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 61 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 36 Pasal 61
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan peluang pendanaan bagi usaha mikro dan kecil di bidang kepariwisataan.
BAB XIV SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 62 (1) Setiap wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi
berupa
teguran
lisan
disertai
dengan
pemberitahuan mengenai hal yang harus dipenuhi. (2) Apabila wisatawan telah diberi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak diindahkannya, wisatawan yang bersangkutan dapat diusir dari lokasi perbuatan dilakukan.
Pasal 63 (1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; dan c. pembekuan sementara kegiatan usaha. (3) Teguran . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 37 (3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan kepada pengusaha paling banyak 3 (tiga) kali. (4) Sanksi
pembatasan
kegiatan
usaha
dikenakan
kepada pengusaha yang tidak mematuhi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Sanksi
pembekuan
sementara
kegiatan
usaha
dikenakan kepada pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
BAB XV KETENTUAN PIDANA
Pasal 64
(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00
(sepuluh
miliar
rupiah). (2) Setiap orang yang karena kelalaiannya dan melawan hukum, merusak fisik, atau mengurangi nilai daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
BAB XVI . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 38 BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Badan
Promosi
Pariwisata
Indonesia
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus telah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 66
(1)
Pembentukan
Gabungan
Industri
Pariwisata
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 untuk pertama kalinya difasilitasi oleh Pemerintah. (2)
Gabungan
Industri
Pariwisata
Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah dibentuk dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XVII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 67
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 68 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 39 Pasal 68
Pada
saat
Undang-Undang
Undang-Undang
Nomor
9
ini
mulai
Tahun
Kepariwisataan (Lembaran Negara
berlaku,
1990
tentang
Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3427) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 69
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua peraturan
perundang-undangan
yang
merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 3427), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 70
Undang-Undang
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan.
Agar . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 40 -
Agar
setiap
orang
pengundangan penempatannya
mengetahuinya,
Undang-Undang dalam
Lembaran
memerintahkan ini Negara
dengan Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 11
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. UMUM Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi bangsa Indonesia kekayaan yang tidak ternilai harganya. Kekayaan berupa letak geografis yang strategis, keanekaragaman bahasa dan suku bangsa, keadaan alam, flora, dan fauna, peninggalan purbakala, serta peninggalan sejarah, seni, dan budaya merupakan sumber daya dan modal untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan dicitacitakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sumber daya dan modal tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan nasional, memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperkenalkan dan mendayagunakan daya tarik wisata dan destinasi di Indonesia, serta memupuk rasa cinta tanah air dan mempererat persahabatan antarbangsa. Kecenderungan perkembangan kepariwisataan dunia dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Hal itu disebabkan, antara lain, oleh perubahan struktur sosial ekonomi negara di dunia dan semakin banyak orang yang memiliki pendapatan lebih yang semakin tinggi. Selain itu, kepariwisataan telah berkembang menjadi suatu fenomena global, menjadi kebutuhan dasar, serta menjadi bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dunia usaha pariwisata, dan masyarakat berkewajiban untuk dapat menjamin agar berwisata sebagai hak setiap orang dapat ditegakkan sehingga . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-2sehingga mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat manusia, peningkatan kesejahteraan, serta persahabatan antarbangsa dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. Dalam menghadapi perubahan global dan penguatan hak pribadi masyarakat untuk menikmati waktu luang dengan berwisata, perlu dilakukan pembangunan kepariwisataan yang bertumpu pada keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan bangsa dengan tetap menempatkan kebhinekaan sebagai suatu yang hakiki dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain
itu,
pembangunan
kepariwisataan
harus
tetap
memperhatikan jumlah penduduk. Jumlah penduduk akan menjadi salah satu modal utama dalam pembangunan kepariwisataan pada masa sekarang dan yang akan datang karena memiliki fungsi ganda, di samping sebagai aset sumber daya manusia, juga berfungsi sebagai sumber potensi wisatawan nusantara. Dengan
demikian,
dijadikan
sarana
nasional
dan
untuk
pembangunan menciptakan
kebersamaan
dalam
kepariwisataan
kesadaran keragaman.
akan
dapat identitas
Pembangunan
kepariwisataan dikembangkan dengan pendekatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan yang berorientasi pada pengembangan wilayah, bertumpu kepada masyarakat, dan bersifat memberdayakan masyarakat yang mencakupi berbagai aspek, seperti sumber daya manusia, pemasaran, destinasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, keterkaitan lintas sektor, kerja sama antarnegara, pemberdayaan usaha kecil, serta tanggung jawab dalam pemanfaatan sumber kekayaan alam dan budaya. Dalam
pelaksanaannya,
pembangunan
kepariwisataan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan masih menitikberatkan pada usaha pariwisata. Oleh karena itu, sebagai salah satu syarat untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pembangunan kepariwisataan yang bersifat menyeluruh
dalam
rangka
menjawab
tuntutan
zaman
akibat
perubahan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-3perubahan lingkungan strategis, baik eksternal maupun internal, perlu mengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 dengan undangundang yang baru. Materi yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi, antara lain hak dan kewajiban masyarakat, wisatawan, pelaku usaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pembangunan kepariwisataan yang komprehensif dan berkelanjutan, koordinasi lintas sektor, pengaturan kawasan strategis, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata, badan promosi pariwisata,
asosiasi
kepariwisataan,
standardisasi
usaha,
dan
kompetensi pekerja pariwisata, serta pemberdayaan pekerja pariwisata melalui pelatihan sumber daya manusia.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-4Huruf d Yang
dimaksud
dengan
“lingkungan
hidup”
adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Huruf e Yang dimaksud dengan “masyarakat setempat” adalah masyarakat yang bertempat tinggal di dalam wilayah destinasi
pariwisata
mendapatkan
manfaat
dan dari
diprioritaskan
untuk
penyelenggaraan
kegiatan
pariwisata di tempat tersebut. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional” adalah kode etik dan kesepakatan
internasional
dalam
penyelenggaraan
kepariwisataan yang telah diratifikasi. Huruf h Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan industri pariwisata, antara lain pembangunan struktur (fungsi, hierarki, dan hubungan) industri pariwisata, daya saing produk pariwisata, kemitraan usaha pariwisata, kredibilitas
bisnis,
serta
tanggung
jawab
terhadap
lingkungan alam dan sosial budaya.
Huruf b . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-5-
Huruf b Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan destinasi
pariwisata,
masyarakat,
antara
pembangunan
lain daya
pemberdayaan tarik
wisata,
pembangunan prasarana, penyediaan fasilitas umum, serta pembangunan fasilitas pariwisata secara terpadu dan berkesinambungan. Huruf c Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan pemasaran, antara lain pemasaran pariwisata bersama, terpadu,
dan
berkesinambungan
dengan
melibatkan
seluruh pemangku kepentingan serta pemasaran yang bertanggung jawab dalam membangun citra Indonesia sebagai destinasi pariwisata yang berdaya saing. Huruf d Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan kelembagaan kepariwisataan, antara lain pengembangan organisasi Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat, regulasi,
pengembangan
serta
mekanisme
sumber
daya
operasional
manusia, di
bidang
kepariwisataan. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-6-
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pemangku kepentingan” adalah Pemerintah,
Pemerintah
Daerah,
dunia
usaha,
dan
masyarakat. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 10 Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing yang dilakukan melalui, antara lain pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, kemudahan,
promosi
penanaman
modal,
dan
pemberian
informasi peluang penanaman modal. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kawasan
strategis
yang
memiliki
kekhususan
wilayah
menjadi kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 14 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-7Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “usaha daya tarik wisata” adalah usaha yang kegiatannya mengelola daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan/binaan manusia. Huruf b Yang dimaksud dengan “usaha kawasan pariwisata” adalah usaha yang kegiatannya membangun dan/atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Huruf c Yang dimaksud dengan “usaha jasa transportasi wisata” adalah usaha khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata, bukan angkutan transportasi reguler/umum. Huruf d Yang dimaksud dengan “usaha jasa perjalanan wisata” adalah usaha biro perjalanan wisata dan usaha agen perjalanan wisata. Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Usaha agen perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan. Huruf e Yang dimaksud dengan “usaha jasa makanan dan minuman” adalah usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan dapat berupa restoran, kafe, jasa boga, dan bar/kedai minum. Huruf f . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-8Huruf f Yang dimaksud dengan “usaha penyediaan akomodasi” adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata. Huruf g Yang dimaksud dengan “usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi” merupakan usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa usaha seni pertunjukan, arena permainan, karaoke, bioskop, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan untuk pariwisata. Huruf h Yang dimaksud dengan “usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran” adalah usaha yang memberikan jasa bagi suatu pertemuan sekelompok orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam rangka menyebarluaskan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala nasional, regional, dan internasional. Huruf i Yang dimaksud dengan “usaha jasa informasi pariwisata” adalah usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik.
Huruf j . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
-9Huruf j Yang
dimaksud
dengan
“usaha
jasa
konsultan
pariwisata” adalah usaha yang menyediakan saran dan
rekomendasi
perencanaan,
mengenai
pengelolaan
studi
usaha,
kelayakan,
penelitian,
dan
pemasaran di bidang kepariwisataan. Huruf k Yang dimaksud dengan “usaha jasa pramuwisata” adalah
usaha
yang
menyediakan
dan/atau
mengoordinasikan tenaga pemandu wisata untuk memenuhi
kebutuhan
wisatawan
dan/atau
kebutuhan biro perjalanan wisata. Huruf l Yang
dimaksud
dengan
“usaha
wisata
tirta”
merupakan usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga
air,
termasuk
penyediaan
sarana
dan
prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. Huruf m Yang dimaksud dengan “usaha spa” adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempahrempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 10 -
Ayat (2) Tata cara pendaftaran yang diatur dalam Peraturan Menteri bersifat teknis dan administratif yang memenuhi prinsip dalam penyelenggaran pelayanan publik yang transparan meliputi, antara lain prosedur pelayanan yang sederhana, persyaratan teknis dan administratif yang mudah, waktu penyelesaian yang cepat, lokasi pelayanan yang mudah dijangkau, standar pelayanan yang jelas, dan informasi pelayanan yang terbuka. Penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah (akuntabel). Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Huruf a Yang dimaksud dengan “kebijakan pencadangan usaha pariwisata”
adalah
kesempatan menengah,
memberikan
berusaha dan
untuk
koperasi
perlindungan
usaha
sesuai
mikro,
dengan
dan kecil,
ketentuan
peraturan perundang-undangan. Huruf b Cukup jelas. Pasal 18 Yang dimaksud dengan “mengelola” adalah merencanakan, mengorganisasikan,
dan
mengendalikan
semua
urusan
kepariwisataan. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 11 -
Huruf b Yang dimaksud dengan “konsinyasi” adalah hak setiap orang
atau
masyarakat
untuk
menempatkan
komoditas untuk dijual melalui usaha pariwisata yang pembayarannya dilakukan kemudian. Huruf c Yang dimaksud dengan “pengelolaan” adalah hak setiap orang atau masyarakat untuk mengusahakan sumber daya yang dimilikinya dalam menunjang kegiatan angkutan
usaha di
pariwisata,
sekitar
misalnya
destinasi
untuk
penyediaan menunjang
pergerakan wisatawan. Pasal 20 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar” adalah pelayanan yang diberikan kepada wisatawan berdasarkan standar kualifikasi usaha dan standar kompetensi sumber daya manusia. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 12 Huruf f Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi” meliputi, antara lain wisata selam, arung jeram, panjat tebing, permainan jet coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu, seperti melihat satwa liar di alam bebas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 13 Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “spesies tertentu” adalah kelompok flora dan fauna yang dilindungi. Yang dimaksud dengan “keunikan” adalah suatu keadaan atau hal
yang memiliki kekhususan/keistimewaan yang
menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan, seperti relief candi, patung, dan rumah adat. Yang dimaksud dengan “nilai autentik” adalah nilai keaslian yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan, seperti benda cagar budaya. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 14 Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Ketentuan mengenai koordinasi strategis di bidang pelayanan kepabeanan dilakukan dengan instansi pemerintah yang mengurusi bidang bea cukai dalam hal mempermudah masuk dan keluarnya barang untuk keperluan berbagai kegiatan pariwisata, antara lain untuk keperluan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; untuk promosi pariwisata internasional;
dan
untuk
kegiatan
pariwisata
internasional lainnya. Ketentuan mengenai
koordinasi strategis di bidang
pelayanan keimigrasian dilakukan dengan instansi pemerintah yang mengurusi keimigrasian dalam hal mempermudah: a. pemberian bebas visa kunjungan singkat (BVKS) atau visa free dan visa kunjungan saat kedatangan (VKSK) atau visa on arrival (VOA); dan b. pemberian
visa
kepada
peserta
pertemuan,
perjalanan insentif, konferensi, dan pameran dari negara di luar yang mendapatkan fasilitas BVKS dan VKSK. Ketentuan . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 15 -
Ketentuan mengenai pelayanan
koordinasi strategis di bidang
karantina
dilakukan
dengan
instansi
pemerintah yang mengurusi karantina dan kesehatan dengan prosedur yang jelas dan tegas dalam hal: a. masuk dan keluarnya hewan dan tumbuhan yang terkait dengan kegiatan pariwisata/ pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; dan b. masuk
dan
keluarnya
bahan/barang
untuk
keperluan wisatawan. Huruf b Ketentuan
mengenai
koordinasi
strategis
bidang
keamanan dan ketertiban dilakukan dengan instansi Pemerintah di bidang pemerintahan dalam negeri, Kepolisian Republik Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia dalam hal: a. kebijakan
dan
pelayanan
pengamanan
di
lingkungan objek vital pariwisata nasional dan daerah; b. penetapan standar keamanan dan ketertiban serta pengawasan
perjalanan
kedatangan,
selama
wisatawan
perjalanan,
dan
sejak sampai
kepulangan; dan c. pemberian informasi mengenai kondisi destinasi pariwisata
yang
kondusif
dan
aman
untuk
dikunjungi dengan memberikan peringatan dini terhadap adanya suatu bencana. Huruf c Ketentuan
mengenai
prasarana pemerintah
umum
koordinasi
strategis
dilakukan
dengan
hal
ketersediaan
dalam
bidang instansi dan
keterpeliharaan: a. prasarana
jalan
menuju
dan
di
lingkungan
destinasi pariwisata; b. air . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 16 b. air bersih untuk fasilitas umum dan fasilitas pariwisata di destinasi pariwisata; c. listrik
untuk
fasilitas
umum
dan
fasilitas
pariwisata di destinasi pariwisata; d. sarana telekomunikasi untuk fasilitas umum dan fasilitas pariwisata di destinasi pariwisata; dan e. sistem
pembuangan
air
kotor,
sampah,
dan
sanitasi. Huruf d Ketentuan
mengenai
koordinasi
strategis
bidang
transportasi darat, laut, dan udara dilakukan dengan instansi pemerintah di bidang perhubungan dalam hal: a. peningkatan maskapai
jalur
asing
dan dan
frekuensi
penerbangan
maskapai
nasional
dari
sumber utama pasar wisatawan mancanegara; b. peningkatan kualitas sarana bandara, terminal bus, stasiun kereta api, dan pelabuhan laut yang memenuhi International Ship and Port Security Code (ISPS Code); c. peningkatan kenyamanan sarana transportasi; d. keterpaduan moda transportasi; e. ketersediaan pelayanan transportasi perintis; dan f. ketersediaan rambu/petunjuk perjalanan menuju daya tarik wisata dan destinasi pariwisata. Huruf e Ketentuan promosi
mengenai pariwisata
Pemerintah
yang
koordinasi
strategis
dilakukan
dengan
menangani
bidang
luar
bidang instansi negeri,
perindustrian, perdagangan, penanaman modal, dan Pemerintah Daerah dalam hal promosi terpadu di bidang
pariwisata,
perdagangan,
industri,
dan
penanaman modal dan promosi bersama di bidang pariwisata dengan melibatkan pemerintah daerah, perusahaan penerbangan, dan industri pariwisata. Pasal 34 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 17 Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Yang dimaksud dengan “unsur penentu kebijakan” adalah penentu mengenai
yang
merumuskan
pelaksanaan
tugas
dan
menetapkan
Badan
Promosi
kebijakan Pariwisata
Indonesia. Yang dimaksud dengan “unsur pelaksana” adalah pelaksana kebijakan yang menjalankan tugas operasional Badan Promosi Pariwisata Indonesia. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 18 Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Sertifikasi kompetensi diberikan oleh lembaga sertifikasi profesi yang mendapat lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Sertifikat diberikan setelah lulus uji kompetensi yang dilakukan berdasarkan standar kompetensi yang disusun bersama-sama oleh
instansi
pemerintah
di
bidang
pariwisata,
asosiasi
pariwisata, pengusaha, dan akademisi. Pasal 56 Ayat (1) Ketentuan mengenai tenaga kerja ahli warga negara asing bidang pariwisata dibutuhkan sepanjang keahliannya belum dapat dipenuhi atau belum tersedia tenaga kerja Indonesia selama
tidak
bertentangan
dengan
kesepakatan
internasional. Ayat (2) . . .
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 19 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4966
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
- 20 -
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG KEPARIWISATAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang
Mengingat
:
:
a.
bahwa dengan semakin berkembangnya penyelenggaraan kepariwisataan baik di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional, maka pengembangan, pemberdayaan dan pengendalian kepariwisataan yang diatur dalam Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi,
b.
bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah serta untuk meningkatkan daya saing Jakarta sebagai Kota Jasa dengan pelayanan yang bertaraf internasional, diperlukan pengembangan kepariwisataan yang dilandasi nilai-nilai budaya bangsa sebagai jati diri utama dalam suasana yang kondusif, aman, tertib dan nyaman;
c.
bahwa sehubungan dengan huruf a dan b perlu menetapkan kembali pengaturan kepariwisataan dengan Peraturan Daerah.
1.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427),
2.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501):
3.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3987);
4.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
5.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1599 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
6.
Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3878);
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952V
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4138);
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4139);
10. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1986 Nomor 91). 11. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1991 tentang Bangunan Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1991); 12. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 1992 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia pada Papan Nama, Papan Petunjuk, Kain Rentang dan Reklame di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 13. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1999 Nomor 23),
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
14. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2001 Nomor 66); 15. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2001 Nomor 67); 16. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2004 Nomor 60). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA dan GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG KEPARIWISATAAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1.
Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2.
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
3.
Gubernur adalah Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
4.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DRRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
5.
Dinas Pariwisata adalah Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
6.
Kepala Dinas Pariwisata adalah Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
7.
Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati suatu destinasi.
8.
Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
9.
Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan atraksi pariwisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.
10. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata. 11. Produk pariwisata adalah semua komponen dan pelayanan destinasi yang meliputi industri pariwisata, atraksi pariwisata, kawasan destinasi pariwisata dan jasa-jasa terkait yang mendukung kegiatan pariwisata. 12. Pemasaran Pariwisata adalah upaya memperkenalkan, mempromosikan serta menjual produk dan destinasi pariwisata di dalam dan luar negeri. 13. Industri pariwisata adalah kumpulan jenis usaha yang menyediakan akomodasi, penyediaan makanan dan minuman, jasa pariwisata serta rekreasi dan hiburan 14. Atraksi pariwisata adalah segala sesuatu yang memiliki daya tarik meliputi atraksi alam, atraksi buatan manusia dan atraksi event yang menjadi obyek dan tujuan kunjungan wisatawan. 15. Destinasi adalah daerah tujuan wisata 16. Kawasan Pariwisata adalah suatu wilayah dengan potensi tertentu yang dikembangkan dan dikelola sebagai sentra kegiatan atraksi dan industri Pariwisata. 17. Izin Sementara Usaha Pariwisata yang selanjutnya disingkat ISUP, adalah izin untuk merencanakan pembangunan industri Pariwisata.
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
18. Izin Tetap Usaha Pariwisata yang selanjutnya disingkat ITUP, adalah izin untuk menyelenggarakan kegiatan industri Pariwisata. 19. Izin Pertunjukan Temporer yang selanjutnya disingkat lPT adalah izin untuk menyelenggarakan pertunjukan yang bersifat temporer. BAB II AZAS, TUJUAN DAN KODE ETIK PARIWISATA Bagian Pertama Azas dan Tujuan Pasal 2 Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan azas manfaat, kepentingan umum, inovasi sumber daya, proporsional, profesional, transparan, akuntabilitas dan kepastian hukum. Pasal 3 Penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan: a.
melestarikan, mendayagunakan, mewujudkan dan memperkenalkan segenap anugerah kekayaan destinasi sebagai keunikan dan daya tarik wisata yang memiliki keunggulan daya saing,
b.
memupuk rasa cinta serta kebanggaan terhadap tanah air guna meningkatkan persahabatan antar daerah dan bangsa;
c.
mendorong pengelolaan dan pengembangan sumber daya destinasi yang berbasis komunitas secara berkelanjutan;
d.
memberikan arah dan fokus terhadap keterpaduan pelaksanaan pembangunan destinasi;
e.
menggali dan mengembangkan potensi ekonomi, kewirausahaan, sosial, budaya dan teknologi komunikasi melalui kegiatan kepariwisataan;
f.
memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja;
g.
mengoptimalkan pendayagunaan produksi lokal dan nasional,
h.
meningkatkan pendapatan asli daerah dalam rangka mendukung peningkatan kemampuan dan kemandirian perekonomian daerah;
i.
mewujudkan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan kepariwisataan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat; Bagian Kedua Kode Etik Pariwisata Pasal 4
(1) Penyelenggaraan kepariwisataan didasarkan pada Kode Etik Pariwisata global, sebagai berikut; a.
pariwisata memberikan kontribusi untuk saling memahami dan saling menghormati antara manusia dan masyarakat,
b.
pariwisata sebagai penggerak bagi kepuasan bersama dan individu,
c.
pariwisata sebagai faktor pembangunan yang berkelanjutan;
d.
pariwisata sebagai pengguna warisan budaya dan kontributor terhadap peningkatannya
e.
pariwisata sebagai aktivitas yang menguntungkan bagi negara, daerah dan masyarakat lokal;
f.
pariwisata mendorong kewajiban seluruh sektor pembangunan dalam pengembangan pariwisata;
g.
pariwisata mendorong pengembangan hak-hak kepariwisataan.
h.
pariwisata menjamin kebebasan pergerakan wisatawan
i.
pariwisata wajib mengembangkan hak-hak tenaga Kerja dan wirausahawan dalam industri pariwisata.
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
(2) Implementasi prinsip-prinsip kode etik pariwisata global sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh seluruh pelaku kepariwisataan. BAB III SUMBER DAYA PARIWISATA Pasal 5 Sumber daya pariwisata dalam pembangunan kepariwisataan terdiri atas: a.
sumber daya alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa berupa letak geografi, kepulauan, laut, flora dan fauna, sungai, danau, hutan bentang alam, iklim;
b.
sumber daya hasil karya manusia berupa hasil-hasil rekayasa sumber daya alam, perkotaan, kebudayaan, nilai-nilai sosial, warisan sejarah, dan teknologi,
c.
sumber daya manusia berupa kesiapan, kompetensi, komitmen dan peran serta masyarakat Pasal 6
Pemanfaatan sumber daya pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan dengan memperhatikan: a.
nilai-nilai agama, adat istiadat, kelestarian budaya serta nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat,
b.
potensi ekonomi dan kewirausahaan,
c.
kelestarian dan mutu lingkungan hidup yang berkelanjutan,
d.
keamanan, keselamatan, ketertiban dan kenyamanan wisatawan dan masyarakat,
e.
kesejahteraan komunitas;
f.
kelangsungan pengelolaan sumber daya pariwisata itu sendiri; BAB IV PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN Bagian Pertama Pengembangan Produk Pariwisata Paragraf I Industri Pariwisata Pasal 7
Industri pariwisata meliputi: a.
Usaha akomodasi, terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
b.
Usaha penyediaan makanan dan minuman, terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5.
c.
hotel; motel; losmen; resor wisata; penginapan remaja; hunian wisata; karavan; pondok wisata; wisma.
restoran; bar; pusat jajan; jasa boga; bakeri;
Usaha jasa pariwisata, terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
jasa biro perjalanan wisata; jasa cabang biro perjalanan wisata; jasa agen perjalanan wisata; jasa gerai jual perjalanan wisata, jasa penyedia pramuwisata; jasa penyelenggara konvensi, perjalanan insentif dan pameran; jasa impresariat;
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
8. 9. 10. 11. 12. 13. d.
Usaha rekreasi dan hiburan terdiri dari 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
e.
jasa konsultan pariwisata; jasa informasi pariwisata; jasa manajemen hotel; jasa fasilitas teater; jasa fasilitas konvensi dan pameran; jasa ruang pertemuan eksekutif.
klab malam; diskotik; musik hidup, karaoke; mandi uap; griya pijat; Spa; bioskop; bola gelinding; bola sodok; seluncur; permainan ketangkasan manual/mekanik/elektronik; pusat olah raga dan kesegaran jasmani; padang golf; arena latihan golf; pangkas rambut; gelanggang renang; taman rekreasi; taman margasatwa; kolam pemancingan; pagelaran kesenian; pertunjukan temporer.
Usaha kawasan Pariwisata Pasal 8
Klasifikasi/penggolongan industri pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan dengan keputusan Gubernur. Pasal 9 Untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif Dinas Pariwisata melakukan pembinaan terhadap industri pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, melalui: a.
peningkatan standar kualitas pelayanan
b.
peningkatan daya saing usaha pariwisata. Paragraf 2 Atraksi Pariwisata Pasal 10
Atraksi pariwisata meliputi : a.
atraksi alam, terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
b.
letak geografi; kepulauan; laut; flora dan fauna; sungai; danau; hutan; bentang alam; iklim.
atraksi buatan manusia, terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
museum; situs peninggalan bersejarah dan purbakala; gedung bersejarah; monumen; galeri seni dan budaya; pusat-pusat kegiatan seni dan budaya; taman dan hutan kota; cagar budaya; budidaya agro, flora dan fauna; tempat ibadah; bangunan arsitektural kota; bandara, pelabuhan dan stasiun; pasar tradisional;
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
14. sentra perbelanjaan modern; 15. daya tarik lain yang dikembangkan kemudian. c.
atraksi event terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
pameran; konvensi; festival; karnaval; parade; upacara; kontes; konser; pekan raya; pertandingan; peristiwa khusus. Pasal 11
Setiap atraksi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikembangkan melalui: a.
penampilan khazanah dan kekayaan budaya bangsa;
b.
peningkatan kepatuhan terhadap peraturan-perundangan yang berlaku, norma-norma. dan nilai-nilai kehidupan masyarakat,
c.
peningkatan jaminan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan wisatawan, pengelola, dan masyarakat;
d.
pemeliharaan ketertiban dan harmonisasi lingkungan;
e.
peningkatan nilai tambah dan manfaat yang luas bagi komunitas lokal;
f.
peningkatan publikasi kalender kegiatan pariwisata Pasal 12
Atraksi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikemas sebagai kreasi bernilai dalam bentuk serangkaian aktivitas sesuai dengan minat kunjungan wisatawan yang meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
wisata bisnis; wisata konvensi; wisata belanja; wisata bahari; wisata sejarah; wisata budaya; wisata remaja; wisata lansia; wisata pendidikan; wisata kesehatan; wisata agro; wisata alam dan lingkungan, wisata minat khusus. Pasal 13
Pengembangan atraksi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan oleh masyarakat, industri pariwisata, Pemerintah Daerah atau dalam bentuk kemitraan Paragraf 3 Kawasan Destinasi Pariwisata Pasal 14 (1) Pengembangan kawasan destinasi pariwisata dilakukan melalui : a.
penataan kawasan dan jalur pariwisata;
b.
penyediaan sarana dan prasarana kota;
c.
pemeliharaan kelestarian dan mutu lingkungan hidup.
(2) Pengembangan kawasan destinasi pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh masyarakat, industri pariwisata, Pemerintah Daerah atau dalam bentuk kemitraan. (3) Kawasan-kawasan tertentu sebagai sentra pengembangan aktivitas kepariwisataan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
Pasal 15 (1) Pemerintah Daerah dapat mengembangkan kawasan khusus pariwisata untuk penyelenggaraan jenis industri pariwisata tertentu. (2) Jenis Industri pariwisata tertentu, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. b. c. d.
klab malam; mandi uap; griya pijat; permainan ketangkasan manual/mekanik/elektronik. Pasal 16
(1) Setiap pengembangan kawasan destinasi pariwisata serta industri pariwisata, wajib melakukan upaya pelestarian lingkungan melalui Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) yang telah direkomendasi sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Tata cara penyusunan dokumen AMDAL, UKL dan UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Paragraf 4 Jasa-jasa Terkait Pasal 17 (1) Jasa-jasa terkait terdiri dari : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.
transportasi; telekomumkasi; perdagangan; perindustrian; pendidikan; ketenagakerjaan; perumahan dan permukiman; jasa keuangan; perbankan; asuransi; pertanian; perikanan; peternakan; kehutanan; kesehatan; perlindungan hukum; keamanan, ketentraman dan ketertiban.
(2) Pemerintah Daerah harus mendorong peran aktif jasa-jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pengembangan kepariwisataan. Bagian Kedua Pemasaran Destinasi Pariwisata Pasal 18 (1) Pemasaran destinasi pariwisata diselenggarakan untuk meningkatkan citra kota Jakarta sebagai daerah tujuan wisata yang memiliki daya saing produk pariwisata dalam kompetisi global. (2) Pemasaran destinasi pariwisata berorientasi kepada permintaan, kepuasan dan nilai pasar wisatawan di dalam negeri dan luar negeri berdasarkan segmentasi dan target pasar tertentu. Pasal 19 (1) Pemasaran destinasi pariwisata dilakukan melalui kegiatan : a.
peningkatan kualitas produk dan pelayanan yang disesuaikan dengan permintaan pasar dengan dukungan pengembangan citra destinasi;
b.
penetapan dan pengendalian harga produk yang bersifat kompetitif sesuai dengan nilai dan kepuasan wisatawan;
c.
pengembangan jaringan distribusi pemasaran di dalam negeri dan luar negeri;
d.
pengembangan promosi dan komunikasi terdiri dari kegiatan kehumasan, publikasi, penjualan secara personal, promosi penjualan, pemasaran langsung, pameran dan forum bisnis, sponsor, periklanan, serta pemasaran elektronik.
(2) Kegiatan pemasaran destinasi pariwisata dilakukan berdasarkan rencana pemasaran strategik.
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
Pasal 20 Pemasaran destinasi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dilaksanakan oleh masyarakat, industri pariwisata, jasa-jasa terkait dan Pemerintah Daerah atau dalam bentuk kemitraan. Bagian Ketiga Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Pasal 21 (1) Penelitian dan pengembangan pariwisata diselenggarakan untuk memperoleh data dan informasi yang obyektif, melalui kegiatan riset, survei, studi, seminar, semiloka, lokakarya, diskusi panel dan kegiatan ilmiah lainnya guna mendukung perumusan kebijakan dan strategi pembangunan kepariwisataan (2) Kegiatan penelitian dan pengembangan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a.
produk pariwisata;
b.
pemasaran destinasi pariwisata;
c.
regulasi kepariwisataan;
d.
kerjasama dan hubungan kelembagaan pariwisata.
(3) Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Pasal 22 Penelitian dan pengembangan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. dilakukan oleh Pemerintah Daerah, industri pariwisata, lembaga pendidikan dan penelitian, konsultan pariwisata, asosiasi/lembaga kepariwisataan serta dapat bekerjasama dengan pihak yang terkait di dalam negeri dan luar negeri. BAB V BENTUK USAHA DAN PERMODALAN Pasal 23 (1) Pemerintah Daerah harus mendorong pertumbuhan investasi di bidang kepariwisataan (2) Permodalan dan bentuk usaha industri pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 adalah sebagai berikut : a.
seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Republik Indonesia dapat berbentuk Badan Hukum atau usaha perseorangan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
b.
modal patungan antara Warga Negara Republik Indonesia dan Warga Negara Asing, bentuk usahanya harus Perseroan Terbatas;
c.
seluruh modalnya dimiliki warga negara asing dalam bentuk penanaman modal asing wajib mematuhi peraturan perundangan yang berlaku. BAB VI PERIZINAN DAN REKOMENDASI Bagian Pertama Perizinan Paragraf 1 Izin Sementara Usaha Pariwisata Pasal 24
(1) Setiap industri pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, yang memerlukan bangunan baru, harus memperoleh ISUP dari Kepala Dinas Pariwisata. (2) ISUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun, dan tidak dapat diperpanjang. (3) ISUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya digunakan sebagai dasar untuk mengurus Surat izin Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan (SP3L), Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT), Izin Mendirikan Bangunan (1MB) dan untuk
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
menyusun dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta Izin Tetap Usaha Pariwisata (ITUP). (4) Tata Cara dan persyaratan untuk memperoleh ISUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Paragraf 2 Izin Tetap Usaha Pariwisata Pasal 25 (1) Setiap penyelenggaraan industri pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, harus memperoleh ITUP dari Kepala Dinas Pariwisata. (2) ITUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku sepanjang usaha tersebut masih berjalan dan harus didaftar ulang setiap tahun. (3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh ITUP dan daftar ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Pasal 26 ITUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, tidak dapat dipindahtangankan dengan cara dan atau dalam bentuk apapun. Paragraf 3 Izin Pertunjukan Temporer Pasal 27 (1) Setiap penyelenggaraan pertunjukan temporer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d angka 22 harus mendapat IPT dari Kepala Dinas Pariwisata. (2) IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku hanya untuk 1 (satu) kali pertunjukan. (3) Persyaratan dan tata cara untuk mendapatkan IPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Bagian Kedua Rekomendasi Pasal 28 (1) Setiap perubahan bangunan industri pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari Kepala Dinas Pariwisata. (2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk mengurus perizinan yang diperlukan. (3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. BAB VII WAKTU PENYELENGGARAAN INDUSTRI PARIWISATA Pasal 29 Waktu penyelenggaraan kegiatan industri pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Pasal 30 (1) Untuk menghormati bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha penyelenggaraan industri pariwisata harus tutup satu hari sebelum bulan Ramadhan, selama bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan satu hari setelah Hari Raya Idul Fitri, satu hari sebelum Hari Raya Idul Adha dan Hah Raya Idul Adha, yaitu: a. b. c. d. e. f.
klab malam; diskotik; mandi uap; griya pijat; permainan mesin keping jenis bola ketangkasan; usaha bar yang berdiri sendiri dan yang terdapat pada klab malam diskotik, mandi uap, griya pijat, permainan mesin keping jenis bola ketangkasan.
(2) Usaha karaoke, musik hidup, dan bola sodok dapat menyelenggarakan kegiatan pada bulan Ramadhan dengan pengaturan waktu yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)r tidak berlaku untuk kegiatan yang diselenggarakan di hotel berbintang. (4) Penyelenggaraan kegiatan usaha industri pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), harus tutup pada : a. b. c. d. e. f. g. h.
satu hari sebelum bulan Ramadhan; hari pertama bulan Ramadhan; Malam Nuzulul Qur’an; satu hari sebelum Hari Raya Idul Fitri/Malam Takbiran; hari pertama dan kedua Hari Raya Idul Fitri; satu hari setelah Hari Raya Idul Fitri; satu hari sebelum Hari Raya Idul Adha; Hari Raya Idul Adha. BAB VIII PELATIHAN KETENAGAKERJAAN Pasal 31
(1) Dinas Pariwisata menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan mutu tenaga kerja bidang kepariwisataan; (2) Penyelenggaraan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada standar kompetensi profesi kepariwisataan berdasarkan profesi/jabatan masing-masing. Pasal 32 (1) Setiap tenaga kerja pariwisata wajib memiliki Sertifikat Profesi Kepariwisataan sebagai lisensi kekaryaan berdasarkan profesi/jabatan dibidangnya masing-masing. (2) Setiap tenaga kerja yang memiliki Sertifikat Profesi Kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan Tanda Identitas Profesi yang wajib dipakai pada saat melaksanakan tugas. (3) Sertifikat Profesi Kepariwisataan dan Tanda Identitas Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pariwisata. (4) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh Sertifikat Profesi Kepariwisataan dan Tanda Identitas Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Pasal 33 (1) Setiap pengelola industri pariwisata yang akan memperpanjang izin mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP) wajib mendapatkan rekomendasi dari Kepala Dinas Pariwisata. (2) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. BAB IX PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 34 (1) Masyarakat berperan serta dalam kegiatan kepariwisataan melalui; a.
peningkatan Sadar Wisata;
b.
partisipasi aktif dalam pengembangan kepariwisataan;
c.
penyampaian saran, pendapat dan aspirasi dalam rangka pengembangan kepariwisataan;
d.
penggalian potensi dan sumber daya ekonomi, kewirausahaan, sosial, seni dan budaya, teknologi untuk mendukung kepariwisataan,
e.
pembentukan organisasi, asosiasi industri dan profesi serta lembaga kemasyarakatan lain untuk mendukung pengembangan kepariwisataan,
f.
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kepariwisataan
(2) Dinas Pariwisata harus mendorong peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB X KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
Pasal 35 (1) Setiap penyelenggara kepariwisataan wajib untuk: a.
menjamin dan bertanggung jawab terhadap keamanan, keselamatan, ketertiban dan kenyamanan pengunjung,
b.
memelihara kebersihan, keindahan dan kesehatan lokasi kegiatan serta meningkatkan mutu lingkungan hidup;
c.
menjalin hubungan sosial, budaya dan ekonomi yang harmonis dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar;
d.
mencegah dampak sosial yang merugikan masyarakat;
e.
memberikan kesempatan kepada karyawan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing serta menjamin keselamatan dan kesehatannya;
f.
membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.
(2) Setiap penyelenggara kepariwisataan dilarang : a.
memanfaatkan tempat kegiatan untuk melakukan perjudian, asusila, peredaran dan pemakaian narkoba, membawa senjata api/tajam serta tindakan pelanggaran hukum lainnya,
b.
menggunakan tenaga kerja di bawah umur,
c.
menggunakan tenaga kerja warga negara asing tanpa izin;
d.
menggunakan tempat kegiatan untuk kegiatan lain yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku,
e.
menerima pengunjung di bawah umur untuk jenis usaha tertentu sesuai peraturan perundangan yang berlaku. BAB XI FASILITAS KEPARIWISATAAN MILIK DAERAH Pasal 36
(1) Fasilitas kepariwisataan milik daerah terdiri dari a. b. c. d. e. f. g.
fasilitas usaha akomodasi; fasilitas usaha rekreasi dan hiburan; fasilitas atraksi pariwisata; fasilitas wisata bahari; fasilitas pelatihan kepariwisataan; fasilitas pelayanan informasi pariwisata; fasilitas kepariwisataan lain yang ditetapkan kemudian dengan Keputusan Gubernur
(2) Fasilitas kepariwisataan milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dan dikembangkan oleh Pemerintah Daerah; (3) Tata cara pengelolaan dan pengembangan fasilitas kepariwisataan milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur BAB XII RETRIBUSI Pasal 37 (1) Penggunaan fasilitas kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dikenakan retribusi, (2) Jenis dan besarnya retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah tersendiri. BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 38 (1) Setiap industri pariwisata, jasa-jasa terkait dan masyarakat yang berprestasi, berdedikasi dan memberikan kontribusi dalam penyelenggaraan kepariwisataan, diberikan penghargaan Adikarya Wisata oleh Gubernur.
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
(2) Pemberian penghargaan Adikarya Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata. (3) Persyaratan pemberian penghargaan Adikarya Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Pasal 39 Setiap penyelenggaraan industri pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, harus memasang papan nama dan atau papan petunjuk dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta dapat menggunakan bahasa asing sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Pasal 40 (1) Industri Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b yang menyediakan makanan dan minuman yang diperbolehkan menurut agama Islam harus disertifikasi halal oleh lembaga yang berkompeten. (2) Tanda sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diletakkan pada tempat yang mudah dibaca oleh konsumen. BAB XIV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Pertama Pembinaan Pasal 41 (1) Dinas Pariwisata melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan kepariwisataan. (2) Tata cara pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur, Bagian Kedua Pengawasan Pasal 42 (1) Dinas Pariwisata melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepariwisataan (2) Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 43 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32. Pasal 33, dan Pasal 35 Peraturan Daerah ini diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah), (2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibebani biaya paksaan penegakan hukum. (3) Besarnya biaya paksaan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. BAB XVI SANKSI ADMINISTRASl Pasal 44 (1) Selain dikenakan Sanksi Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, dapat juga dikenakan sanksi administrasi berupa : a. b. c. d.
teguran lisan atau panggilan; teguran tertulis, penghentian atau penutupan penyelenggaraan usaha; pencabutan atas: 1. 2. 3. 4.
ISUP; ITUP; IPT; Rekomendasi perubahan bangunan;
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
5. 6. 7. 8.
Rekomendasi perpanjangan izin kerja Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP); Sertifikat Profesi Kepariwisataan (SPK); Tanda Identitas Profesi Kepariwisataan (TIPK); Pemberian penghargaan Adikarya Wisata,
(2) Tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Gubernur BAB XVII PENYIDIKAN Pasal 45 (1) Selain pejabat penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para pejabat penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang : a.
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana,
b.
melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian perkara dan melakukan pemeriksaan,
c.
menyuruh berhenti seseorang tersangka, dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.
melakukan penyitaan benda dan atau surat;
e.
mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g.
mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara,
h.
mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti pidana, dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum tersangka atau keluarganya;
i.
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik tidak berwenang melakukan penangkapan, penahanan dan atau penggeledahan. (4) Penyidik membuat berita acara setiap tindakan tentang : a. b. c. d. e. f.
pemeriksaan tersangka; pemasukan rumah, penyitaan benda; pemeriksaan surat; pemeriksaan sanksi, pemeriksaan di tempat kejadian, dan mengirimkan berkasnya kepada penuntut umum melalui Penyidik POLRI. BAB XVIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 46
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, semua perizinan usaha industri pariwisata yang telah dikeluarkan masih tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu harus didaftar ulang. (2) Sebelum ditetapkan peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini peraturan pelaksanaan yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. BAB XIX KETENTUAN PENUTUP Pasal 47 Hal-hal yang merupakan pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
Pasal 48 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 1997 tentang Usaha Pariwisata di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 101 tahun 1997) dinyatakan tidak berlaku lagi Pasal 49 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah i n i dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2004 GUBERNUR PROPINSI DAERAH HUSUS IBUKOTA JAKARTA,
SUTIYOSO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2004 SEKRETARIS DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,
H. RITOLA TASMAYA NIP.140091657 LEMBAR DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2004 NOMOR 65
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG KEPARIWISATAAN I.
PENJELASAN UMUM
Penyelenggaraan kepariwisataan memiliki arti strategis dalam mendorong pengembangan ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keamanan dan ketertiban suatu daerah tujuan wisata. Pariwisata sebagai kegiatan Sistematik yang bersifat multi-dimensi, multi-sektoral multi-disipliner dan memiliki tanah internasional, sangat memerlukan dukungan kolektif seluruh pelaku pembangunan dan masyarakat luas. Dengan demikian pengembangan kepariwisataan diposisikan sebagai "visi" dan "fokus" pembangunan "Kota Jasa" Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dan kota metropolitan harus tampil terdepan dan mandiri serta mampu mengemban peningkatan kualitas kesejahteraan seluruh warga kotanya melalui kegiatan kepariwisataan Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, serta dukungan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, maka kewenangan yang dimiliki Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta di bidang kepariwisataan semakin luas. Dengan demikian perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali berbagai ketentuan tentang kepariwisataan yang lebih lengkap, transparan, akuntabel dan demokratis serta disesuaikan dengan perkembangan dan tantangan lingkungan strategis yang aktual Pengaturan kembali ketentuan-ketentuan tentang kepariwisataan dimaksud, selain untuk menampung kewenangan Daerah dan kebijakan pengembangan kepariwisataan itu sendiri, juga diharapkan lebih memberikan kepastian dan kejelasan arah bagi peningkatan kinerja pelayanan publik di bidang kepariwisataan. Selanjutnya upaya pengembangan kepariwisataan perlu tetap memperhatikan segenap potensi dan anugerah sumber daya destinasi, yang dilandasi oleh norma-norma, nilai-nilai, dan kekayaan budaya bangsa, Aktivitas kepariwisataan diharapkan mampu memberikan manfaat yang seluas-luasnya dan berpihak terhadap komunitas lokal. Materi yang diatur dalam Peraturan Daerah Kepariwisataan ini antara lain mengatur azas tujuan, dan kode etik pariwisata, sumber daya pariwisata, penyelenggaraan kepariwisataan, bentuk usaha dan permodalan, perizinan dan rekomendasi, waktu penyelenggaraan industri pariwisata, pelatihan ketenagakerjaan, peran serta masyarakat kewajiban dan larangan, fasilitas kepariwisataan milik Daerah, retribusi, pembinaan dan pengawasan, ketentuan IainIain, ketentuan pidana, sanksi administrasi dan penyidikan Oleh karena itu Peraturan Daerah ini diharapkan mampu mendorong kreasi dan inovasi pembangunan yang seimbang dan harmonis sesuai dengan karakter dan kapabilitas daerah, dengan dukungan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan, guna mewujudkan keunggulan bersaing Jakarta sebagai "Kota Jasa" pada era kompetisi global. II.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan azas manfaat adalah azas yang berorientasi kepada ketepatgunaan dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya atas hasil-hasil pembangunan bagi seluruh pemangku kepentingan pembangunan. Yang dimaksud dengan azas kepentingan umum adalah azas yang mendahulukan dan berpihak kepada kesejahteraan publik di atas kepentingan kelompok atau golongan tertentu Yang dimaksud dengan azas inovasi sumber daya adalah azas yang bertumpu pada kapabilitas dalam mengalokasikan dan mengelola berbagai sumber daya secara berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan dinamika perubahan lingkungan strategis untuk mewujudkan keunggulan posisional. Yang dimaksud dengan azas proporsional adalah azas yang mengutamakan keseimbangan dan harmonisasi antara hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pembangunan. Yang dimaksud dengan azas profesional adalah azas yang mengutamakan kompetensi dan komitmen berlandaskan kode etik yang berlaku. Yang dimaksud dengan azas transparan adalah azas yang berorientasi pada prinsip keterbukaan terhadap hak untuk memperoleh informasi yang obyektif, benar dan jujur Yang dimaksud dengan, azas akuntabilitas adalah azas yang menetapkan pertanggungjawaban penyelenggaraan pembangunan terhadap publik dan seluruh pemangku kepentingan. Yang dimaksud dengan azas kepastian hukum adalah memberikan perlindungan dan penegakan hukum secara adil dan dilaksanakan tanpa memihak. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 ayat(1)
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
Sesuai dengan prinsip-prinsip Kode Etik Pariwisata global yang diterbitkan oleh Organisasi Pariwisata Dunia (World Tourism Organization}, yang menjadi acuan bagi Pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan di seluruh dunia ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 huruf a Kegiatan pariwisata perlu menggali dan mengembangkan potensi budaya Betawi sebagai ciri khas kedaerahan dalam keragaman budaya (melting pot). huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. huruf e Cukup jelas. huruf f Cukup jelas. Pasal 7 huruf a Usaha akomodasi adalah penyelenggaraan pelayanan penginapan yang dikelola oleh suatu badan atau perseorangan, pada suatu tempat atau lokasi tertentu dengan bangunan permanen termasuk didalamnya penyediaan berbagai fasilitas dan jasa penunjang lainnya sesuai kebutuhan tamu dan pengunjung. Jenis dan bentuk pelayanan akomodasi dapat berkembang sesuai dengan kualitas dan tuntutan pasar, seperti: hotel butik, hotel terapung. angka 1 Hotel yaitu jenis usaha akomodasi yang menyediakan tempat dan fasilitas kamar untuk menginap dengan perhitungan pembayaran harian serta dapat menyediakan berbagai jenis fasilitas pelayanan, seperti fasilitas penyediaan makanan dan minuman, fasilitas konvensi dan pameran, fasilitas rekreasi dan hiburan, fasilitas olah raga dan kebugaran, fasilitas jasa layanan bisnis dan perkantoran fasilitas jasa layanan keuangan, fasilitas perbelanjaan, serta pengembangan fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan untuk aktivitas tamu dan pengunjung. angka 2 Motel yaitu jenis usaha akomodasi yang menyediakan tempat dan fasilitas kamar untuk persinggahan dengan perhitungan pembayaran minimal setiap 6 (enam) jam dan menyediakan fasilitas garasi pada tiap-tiap kamar serta dapat menyediakan fasilitas penyediaan makanan dan minuman, fasilitas rekreasi dan hiburan, serta pengembangan fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan angka 3 Losmen yaitu jenis usaha akomodasi yang mempergunakan sebagian dan rumah tinggal atau bangunan permanen khusus untuk penginapan dengan perhitungan pembayaran harian serta dapat menyediakan fasilitas penyediaan makanan dan minuman, serta pengembangan fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan, antara lain seperti home stay angka 4 Resor Wisata yaitu jenis usaha akomodasi pada kawasan tertentu yang menyediakan tempat dan fasilitas kamar pada bangunan permanen tertentu atau terpisah-pisah untuk menginap dengan perhitungan pembayaran harian serta dapat menyediakan berbagai jenis fasilitas pelayanan, seperti fasilitas penyediaan makanan dan minuman, fasilitas konvensi dan pameran, fasilitas rekreasi dan hiburan, fasilitas olah raga dan kebugaran, serta pengembangan fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan untuk aktivitas tamu dan pengunjung. angka 5 Penginapan Remaja yaitu jenis usaha akomodasi yang menyediakan tempat menginap dan fasilitas untuk kegiatan Remaja dengan perhitungan pembayaran harian serta dapat menyediakan berbagai jenis fasilitas pelayanan, seperti fasilitas penyediaan makanan dan minuman, fasilitas konvensi dan pameran, fasilitas rekreasi dan hiburan, fasilitas olahraga dan kebugaran, serta pengembangan fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan, antara lain seperti youth hostel, graha wisata dan sejenisnya. angka 6 Hunian Wisata (service apartemen) yaitu jenis usaha akomodasi untuk tinggal sementara dengan perhitungan pembayaran mingguan atau bulanan, serta dapat menyediakan berbagai jenis fasilitas pelayanan, seperti fasilitas penyediaan makanan dan minuman, fasilitas rekreasi dan hiburan, fasilitas olah raga dan kebugaran, serta pengembangan fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan untuk aktivitas tamu dan pengunjung, angka 7 Karavan yaitu jenis usaha akomodasi yang menyediakan tempat penginapan yang bersifat mobil dan dapat berpindah-pindah lokasi. angka 8
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
Pondok Wisata (cottage) yaitu jenis usaha akomodasi pada kawasan tertentu yang terdiri dari unit-unit bangunan terpisah seperti rumah tinggal yang menyediakan tempat dan fasilitas kamar untuk menginap dengan perhitungan pembayaran harian serta dapat menyediakan berbagai jenis fasilitas pelayanan yang terpisah, seperti fasilitas penyediaan makanan dan minuman, fasilitas konvensi dan pameran, fasilitas rekreasi dan hiburan, fasilitas olah raga dan kebugaran, serta pengembangan fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan untuk aktivitas tamu dan pengunjung. angka 9 Wisma ( g u e st h o u s e) yaitu jenis usaha akomodasi yang mempergunakan seluruh atau sebagian bangunan rumah untuk fasilitas kamar penginapan dengan perhitungan pembayaran harian dan biasa dipergunakan untuk keperluan instansi, perusahaan atau badan serta termasuk melayani umum, serta dapat menyediakan fasilitas penyediaan makanan dan minuman, antara lain seperti wisma. huruf b Usaha penyediaan makanan dan minuman adalah merupakan penyelenggaraan pelayanan dan penjualan aneka jenis masakan dan hidangan yang dikonsumsi secara langsung atau tidak langsung melalui pesanan yang dikelola oleh suatu badan atau perseorangan pada suatu tempat atau lokasi tertentu dengan bangunan permanen atau semi-permanen, termasuk didalamnya dapat menyediakan berbagai fasilitas dan jasa penunjang lainnya sesuai kebutuhan pelanggan. Jenis dan bentuk pelayanan makanan dan minuman dapat berkembang sesuai dengan kualitas dan tuntutan pasar, seperti; restoran mobil, restoran terapung. angka 1 Restoran yaitu jenis usaha penyediaan makanan dan minuman yang melakukan pengolahan bahan-bahan masakan dan hidangan pada suatu tempat atau lokasi tetap tertentu dengan bangunan permanen, termasuk didalamnya dapat menyediakan fasilitas dan atraksi rekreasi dan hiburan serta pengembangan fasilitas lainnya antara lain seperti Rumah Makan, Cafe Coffee Shop, Kantin Kafetaria dan pengembangan fasilitas sejenis lainnya. angka 2 Bar yaitu jenis usaha penyediaan makanan dan minuman yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk menjual minuman beralkohol, minuman non-alkohol dan minuman campuran serta dapat menyediakan makanan ringan, dan biasanya merupakan bagian fasilitas dari Restoran, usaha rekreasi dan hiburan atau sejenisnya angka 3 Pusat jajan ( Fo o d Co u r t) yaitu jenis usaha penyediaan makanan dan minuman pada satu kesatuan tempat atau lokasi tetap tertentu dengan bangunan permanen atau semi-permanen, yang terdiri dan gerai-gerai penyediaan makanan dan minuman. angka 4 Jasa Boga atau Katering yaitu jenis usaha penyediaan makanan dan minuman yang melakukan pengolahan bahan-bahan masakan dan hidangan pada suatu tempat atau lokasi tetap tertentu untuk melayani pesanan sekurang-kurangnya 50 orang. angka 5 Bakeri yaitu Jenis usaha penyediaan makanan dan minuman yang menyediakan tempat untuk pelayanan menjual roti kue-kue snack dan minuman ringan. huruf c Usaha jasa pariwisata adalah penyelenggaraan jasa pelayanan perjalanan jasa penyelenggaraan atraksi pariwisata, jasa konsultansi, manajemen, dan informasi pariwisata, serta jasa penyediaan fasilitas MICE ( me e t in g , in c e n t iv e , c o n v e n t io n , e x h ib it io n ) yang dikelola oleh suatu badan atau perseorangan pada suatu tempat atau lokasi tertentu dengan bangunan permanen termasuk didalamnya penyediaan berbagai fasilitas dan jasa penunjang lainnya sesuai kebutuhan pelanggan. Jenis dan bentuk pelayanan usaha jasa pariwisata dapat berkembang sesuai dengan kualitas dan tuntutan pasar. angka 1 Jasa Biro Perjalanan Wisata yaitu jenis usaha jasa pariwisata yang merencanakan, menyelenggarakan, dan melayani penjualan berbagai jenis paket-paket perjalanan wisata dengan tujuan ke dalam negeri (inbound) dan ke luar negeri (outbound), termasuk didalamnya jasa pengurusan dokumen perjalanan, seperti tiket, paspor, visa atau dokumen lam yang diperlukan. angka 2 Jasa Cabang Biro Perjalanan Wisata yaitu sub unit usaha two perjalanan wisata yang melaksanakan sebagian kegiatan pelayanan kantor pusatnya dan berkedudukan di wilayah administratif yang sama atau di wilayah administratif lain dengan kantor pusatnya. angka 3 Jasa Agen Perjalanan Wisata yaitu usaha jasa perantara untuk menjual paket-paket perjalanan wisata dan atau jasa pengurusan dokumen perjalanan angka 4 Jasa Gerai Jual Perjalanan Wisata yaitu sub unit usaha biro perjalanan wisata yang hanya melakukan penjualan paket-paket perjalanan wisata dan pelayanan informasi tentang kegiatan kantor pusatnya angka 5
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
Jasa penyedia pramuwisata yaitu jenis usaha jasa pariwisata yang mengatur, mengkoordinir dan menyediakan tenaga pramuwisata untuk memberikan pelayanan bagi perorangan, kelompok, organisasi dan badan usaha lain yang melakukan perjalanan wisata. angka 6 Jasa penyelenggaraan konvensi, perjalanan insentif dan pameran atau MICE (Meeting, incentive, Convention, and Exhibition) antara lain seperti PCO (Professional Convention Organizer) dan PEO (Professional Exhibition Organizer), yaitu jenis usaha jasa pariwisata yang merencanakan, menyelenggarakan, dan melayani kegiatan konfrensi, kongres pertemuan, seminar, lokakarya, pameran, dan berbagai kegiatan atraksi event, termasuk didalamnya kegiatan penyediaan sarana dan prasarana pendukung penyelenggaraan kegiatan tersebut. angka 7 Jasa impresariat yaitu jenis usaha jasa pariwisata yang merencanakan, mengatur dan menyelenggarakan kegiatan pertunjukan hiburan, baik mendatangkan, mengirimkan maupun mengembalikan artis atau olahragawan dari dalam negeri atau luar negeri, termasuk didalamnya pengaturan tempat, waktu dan jenis hiburan serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung penyelenggaraan pertunjukan hiburan tersebut angka 8 Jasa Konsultan Pariwisata yaitu jenis usaha jasa pariwisata yang memberikan jasa berupa saran, nasehat dan pendapat tentang perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap pembangunan dan usaha-usaha di bidang kepariwisataan. angka 9 Jasa informasi pariwisata yaitu jenis usaha jasa pariwisata yang merencanakan, menyelenggarakan, dan melayani penyediaan informasi, penyebaran dan pemanfaatan informasi kepariwisataan. angka 10 Jasa Manajemen Hotel yaitu jenis usaha jasa pariwisata yang memberikan jasa konsultansi, jasa waralaba, dan jasa pengelolaan operasional hotel yang memiliki jaringan nasional/internasional. angka 11 Jasa fasilitas teater yaitu jenis usaha jasa pariwisata yang menyediakan tempat, sarana dan prasarana untuk kegiatan pertunjukan seni dan budaya baik di dalam maupun di luar ruangan, serta dapat dilengkapi dengan fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan. angka 12 Jasa Fasilitas konvensi dan pameran yaitu jenis usaha jasa pariwisata yang merencanakan, menyelenggarakan, dan melayani penyediaan tempat, sarana dan prasarana kegiatan konfrensi, kongres, pertemuan, seminar, lokakarya, pameran, dan berbagai kegiatan atraksi event, antara lain seperti Convention and Exhibition Center, Balai Pertemuan. angka 13 Jasa Ruang Pertemuan Eksekutif yaitu jenis usaha jasa pariwisata yang melayani penyediaan tempat, sarana dan prasarana untuk kegiatan pertemuan bisnis yang dapat dilengkapi dengan fasilitas penyediaan makanan dan minuman serta fasilitas penunjang lainnya yang diperlukan. huruf d Usaha rekreasi dan hiburan adalah penyelenggaraan pelayanan rekreasi dan hiburan umum yang dikelola oleh suatu badan atau perseorangan pada suatu tempat atau lokasi tertentu dengan bangunan permanen termasuk didalamnya penyediaan berbagai fasilitas dan jasa penunjang lainnya sesuai kebutuhan pelanggan Jenis dan bentuk usaha rekreasi dan hiburan dapat berkembang sesuai dengan kualitas dan tuntutan pasar. angka 1 Klab malam yaitu usaha yang menyediakan tempat, peralatan musik hidup, pemain musik, tata suara, tata lampu dan fasilitas untuk berdansa, menyediakan jasa pelayanan pramuria, serta pelayanan makanan dan minuman. angka 2 Diskotik yaitu usaha yang menyediakan tempat, peralatan musik rekaman, tata suara, Tata lampu, dan fasilitas untuk arena melantai yang dipandu oleh penata lagu (disc-jockey) serta dilengkapi dengan fasilitas bar; angka 3 Musik Hidup yaitu usaha yang menyediakan tempat, alat musik, tata suara, tata lampu, pemain musik, penyanyi dan fasilitas untuk mengadakan pertunjukan musik secara langsung pada restoran, bar dan sejenisnya. angka 4 Karaoke yaitu usaha yang menyediakan tempat, ruangan, peralatan tata suara dan fasilitas untuk menyanyi yang diiringi musik rekaman serta dapat menyediakan pelayanan makanan dan minuman angka 5 Mandi uap yaitu usaha yang menyediakan tempat, peralatan, dan fasilitas mandi uap dan menyediakan tenaga pemijat terlatih. angka 6 Griya pijat yaitu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas pemijatan yang dilakukan oleh tenaga pemijat terlatih dan berpengalaman dalam keahlian pijat relaksasi dan kebugaran.
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
angka 7 SPA(Sante Par Aqua) yaitu usaha penyediaan tempat dan fasilitas relaksasi, kebugaran dan kesehatan yang menggunakan terapi air, terapi aroma, terapi musik dan terapi sejenis lainnya yang dilakukan oleh tenaga terlatih dan berpengalaman, angka 8 Bioskop adalah usaha yang menyediakan tempat, peralatan pemutar film dan fasilitas untuk pertunjukan film serta dapat menyediakan jenis pelayanan makanan dan minuman angka 9 Bola gelinding ( b ow lin g ) yaitu usaha yang menyediakan tempat, peralatan, dan fasilitas untuk bermain bola gelinding serta dapat menyediakan jenis pelayanan makanan dan minuman, serta fasilitas penjualan dan persewaan peralatan permainan tersebut angka 10 Bola sodok (billiard) yaitu usaha yang menyediakan tempat, peralatan dan fasilitas untuk bermain bola sodok serta dapat menyediakan jenis pelayanan makanan dan minuman angka 11 Seluncur (skating) yaitu usaha yang menyediakan tempat, peralatan dan fasilitas untuk bermain aneka seluncur serta dapat menyediakan jenis pelayanan makanan dan minuman, serta fasilitas penjualan dan persewaan peralatan permainan tersebut. angka 12 Permainan ketangkasan manual/mekanik/ elektronik yaitu usaha yang menyediakan tempat, peralatan, mesin, dan fasilitas untuk bermain ketangkasan yang bersifat hiburan bagi anak-anak dan orang dewasa, serta dapat didukung dengan perkembangan teknologi komputer yang menggunakan perangkat lunak dan perangkat keras tertentu. angka 13 Pusat olah raga dan kesegaran jasmani yaitu usaha yang menyediakan tempat. peralatan dan fasilitas untuk kegiatan olah raga dan kebugaran tubuh serta dapat menyediakan jenis pelayanan makanan dan minuman, serta fasilitas penjualan dan persewaan peralatan olah raga tersebut angka 14 Padang golf yaitu usaha yang menyediakan tempat, peralatan dan fasilitas untuk arena bermain golf serta dapat menyediakan pelayanan makanan dan minuman, serta fasilitas penjualan dan persewaan peralatan permainan tersebut. angka 15 Arena latihan golf adalah usaha yang menyediakan tempat, peralatan, dan fasilitas untuk arena berlatih golf dengan menyediakan tenaga pelatih golf serta dapat menyediakan pelayanan makanan dan minuman, serta fasilitas penjualan dan persewaan peralatan permainan tersebut. angka 16 Pangkas rambut yaitu usaha yang menyediakan tempat, peralatan dan fasilitas untuk memotong, menata dan merias rambut, seperti barbershop dan salon. angka 17 Gelanggang renang yaitu usaha yang menyediakan tempat, dan fasilitas untuk berenang serta dapat menyediakan pelayanan makanan dan minuman serta fasilitas penjualan dan persewaan peralatan berenang. angka 18 Taman rekreasi yaitu usaha yang menyediakan tempat, dan fasilitas untuk memberikan kesegaran jasmani dan rohani yang mengandung unsur hiburan, pendidikan dan jenis atraksi tertentu serta dapat menyediakan pelayanan makanan dan minuman. angka 19 Taman margasatwa yaitu suatu tempat yang menyediakan koleksi penangkaran, dan atraksi satwa serta jenis atraksi lainnya angka 20 Kolam pemancingan yaitu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk memancing ikan, dapat menyediakan pelayanan makanan dan minuman, serta fasilitas penjualan dan persewaan peralatan pemancingan tersebut. angka 21 Pagelaran kesenian yaitu usaha yang menyediakan tempat, peralatan, fasilitas, tata suara, tata lampu dan fasilitas untuk pertunjukan hiburan seni dan budaya serta dapat menyediakan pelayanan makanan dan minuman. angka 22 Pertunjukan temporer yaitu semua jenis keramaian dan hiburan umum berupa penyelenggaraan dan pertunjukan atraksi event yang terbuka untuk umum yang waktunya terbatas 1 (satu) bulan, tidak termasuk undangan perkawinan, ulang tahun, arisan keluarga, perkumpulan, ceramah keagamaan di tempat-tempat peribadatan Huruf e Usaha Kawasan Pariwisata adalah penyelenggaraan berbagai jenis usaha pariwisata yang dikelola oleh suatu badan usaha, badan pengelola, dan atau badan otorita pada suatu lokasi tertentu yang memiliki atraksi pariwisata yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta dapat didukung dengan
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
jenis usaha akomodasi, usaha penyediaan makanan dan minuman, usaha jasa pariwisata, serta usaha rekreasi dan hiburan sesuai dengan kualitas dan tuntutan pasar, seperti Taman Mini Indonesia Indah, Taman Impian Jaya Ancol, Monumen Nasional, Hutan Mangrove, Pulau-Pulau di Gugusan Kepulauan Seribu, Bumi Perkemahan Cibubur Pasal 8 Cukup jelas, Pasal 9 Dalam rangka pembinaan terhadap peningkatan standard kualitas pelayanan dan daya saing usaha pariwisata, Dinas Pariwisata melaksanakan mekanisme monitoring melalui Evaluasi Periodik Bisnis (EPB) yang dilaporkan oleh seluruh jenis usaha pariwisata secara rutin setiap 1 (satu) tahun sekali. Pasal 10 Atraksi pariwisata dikemas untuk mewujudkan keunikan dan kualitas daya tarik destinasi secara berkelanjutan agar dapat meningkatkan pengalaman, lama tinggal dan belanja wisata wan serta mampu mendorong kunjungan ulang Pasal 11 Huruf a Cukup jelas, Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Kalender Kegiatan Pariwisata atau Calendar of events merupakan agenda atraksi unggulan suatu destinasi atau setiap industri pariwisata selama 1 (satu) tahun berjalan yang diterbitkan dan dipublikasikan secara luas selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelumnya. Pasal 12 Huruf a Cukup jelas, Huruf b Cukup jelas, Huruf c Cukup jelas, Huruf d Cukup jelas, Huruf e Cukup jelas, Huruf f Cukup jelas, Huruf g Cukup jelas, Huruf h Cukup jelas, Huruf i Cukup jelas, Huruf j Cukup jelas, Huruf k Cukup jelas, Huruf l Cukup jelas, Huruf m Wisata minat khusus adalah jenis kegiatan wisata dengan atraksi dan peminat tertentu seperti: wisata petualangan, wisata olahraga, wisata ziarah, dan kemasan atraksi lainnya yang dikembangkan kemudian, Pasal 13 Cukup jelas, Pasal 14 ayat (1) huruf a Cukup jelas. huruf b Pengembangan sarana dan prasarana kota diselenggarakan oleh Dinas teknis terkait sesuai Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) huruf c Cukup jelas. ayat (2) Cukup jelas. ayat (3) Gubernur perlu menetapkan dan mengembangkan kawasan tertentu sebagai sentra aktivitas kepariwisataan (tourist center), yang dilengkapi dengan fasilitas pelayanan wisatawan secara terpadu,
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
misalnya ruang terbuka publik, akomodasi. penyediaan makanan dan minuman gerai pelayanan informasi pariwisata, gerai penjualan perjalanan dan paket wisata, gerai cinderamata, fasilitas transportasi, komunikasi, pos, restoran, jasa penukaran uang (money changer), fasilitas parkir, toilet dan fasilitas umum lainnya. Pasal 15 ayat (1) Pengembangan kawasan khusus pariwisata dimaksud bertujuan untuk : a. b. c.
mengurangi berbagai dampak negatif sosial kemasyarakatan; mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban lingkungan; memudahkan tindakan pengawasan dan pengendalian dari penyalahgunaan kegiatan dimaksud,
ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas, Pasal 17 ayat (1) Kegiatan kepariwisataan memiliki ciri multi dimensi, multi sektor dan multi disipliner sehingga berdampak luas terhadap aktivitas ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik, keamanan dan ketertiban, kesehatan Oleh karena itu peran aktif jasa-jasa yang terkait secara langsung maupun tidak langsung mutlak diperlukan dalam pengembangan kepariwisataan ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 ayat (1) Dalam lingkungan kompetisi global diperlukan pengembangan merk ( b o n d i n g ) sebagai identitas tertentu untuk mendukung citra dan posisi destinasi Jakarta ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 ayat(1) huruf a Cukup jelas. huruf b Penetapan harga diperlukan untuk memberikan Kepastian kepada konsumen dengan tetap memperhatikan kesesuaian mutu dan pelayanan produk huruf c Pengembangan jaringan distribusi pemasaran dapat berupa pengoperasian unit-unit pelayanan pemasaran destinasi secara mandiri atau kemitraan. huruf d : Pengembangan promosi dan komunikasi didukung dengan alat-alat promosi cetak, promosi dalam/luar ruang dan promosi multimedia elektronik misal: brosur, leaflet, guide book, kartu poster, CD ROM, billboard, balon udara, dan aneka jenis cinderamata. ayat (2) Rencana Pemasaran Strategik merupakan dokumen cetak biru yang berisi strategi dan taktik pemasaran yang berorientasi Kepada pasar, yaitu: a. fokus kepada kepuasan wisatawan, b. kegiatan intelejen terhadap pesaing, dan, c. mengintegrasikan seluruh fungsi organisasi dalam kegiatan pemasaran. Pasal 20 Pemerintah menyelenggarakan pemasaran citra destinasi dan pelaku bisnis menyelenggarakan pemasaran produk pariwisata. Pasal 21 ayat(1) Cukup jelas. ayat(2) Cukup jelas. ayat(3) RIPPDA memuat visi, misi, tujuan, sasaran, strategi program dan rencana pengembangan kepariwisataan destinasi dalam kurun waktu tertentu, Pasal 22 Cukup jelas, Pasal 23 Cukup jelas, Pasal 24 Cukup jelas, Pasal 25
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
Cukup jelas, Pasal 26 Cukup jelas, Pasal 27 Cukup jelas, Pasal 28 Cukup jelas, Pasal 29 Waktu penyelenggaraan adalah ketentuan tentang jam operasional bagi usaha industri pariwisata. Pasal 30 ayat(1) Cukup jelas. ayat(2) Ketentuan waktu penyelenggaraan pada ayat ini berlaku bagi usaha bar yang terdapat pada karaoke, musik hidup, dan bola sodok. ayat(3) PengecuaIian ini dimaksudkan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar internasional. ayat(4) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas, Pasal 32 ayat(1) Sertifikat Profesi Kepariwisataan adalah jaminan tertulis yang menyatakan bahwa seseorang telah memenuhi standar keterampilan kepariwisataan yang dipersyaratkan yang diberikan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh badan yang berwenang. ayat(2) Tanda Identitas Profesi merupakan bukti bahwa seseorang telah memenuhi persyaratan melaksanakan kegiatan operasional di jabatan kepariwisataan tertentu. Dan Pengujian kompetensi profesi adalah proses pengukuran kinerja yang mencakup kecukupan pengetahuan, [knowledge), sikap perilaku (attitude), dan keterampilan (skill) di bidang jabatan profesi kepariwisataan tertentu. ayat(3) Cukup jelas. ayat(4) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas, Pasal 34 Cukup jelas, Pasal 35 Cukup jelas, Pasal 36 ayat(1) Fasilitas kepariwisataan milk Daerah seperti Graha Wisata, Taman Margasatwa Ragunan, Museum (milik Daerah), Monumen Nasional, Pulau Panjang, Pusat Pelatihan dan Sertifikasi K e p a r i w i s a t a a n d a n Pusat Pelayanan Informasi Pariwisata ayat(2) Cukup jelas, ayat(3) Cukup jelas, Pasal 37 Cukup jelas, Pasal 38 ayat(1) Adikarya Wisata merupakan sistem pembinaan industri pariwisata yang meliputi kegiatan penilaian dan evaluasi kinerja industri pariwisata, serta pemberian penghargaan tertinggi di bidang kepariwisataan kepada industri pariwisata yang memiliki kinerja bisnis unggul, jasa-jasa terkait dan individu yang berprestasi dalam memberikan kontribusi bagi pembangunan kepariwisataan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. ayat(2) Cukup jelas, ayat(3) Cukup jelas, Pasal 39 Cukup jelas, Pasal 40 ayat(1) Yang dimaksud dengan Lembaga yang berkompeten data ayat ini adalah lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah dalam menerbitkan sertifikat halal yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI). ayat(2) Cukup jelas, Pasal 41 Cukup jelas, Pasal 42
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012
Cukup jelas, Pasal 43 Cukup jelas, Pasal 44 Cukup jelas, Pasal 45 Cukup jelas, Pasal 46 Cukup jelas, Pasal 47 Cukup jelas, Pasal 48 Cukup jelas, Pasal 49 Cukup jelas,
Perlindungan hukum..., Maria Monica B. Napitupulu, FH UI, 2012