PERKEMBANGAN SUMBERDAYA DAN KECUKUPAN PANGAN DI INDONESIA DALAM TIGA DEKADE TERAKHIR
NESYI FEBI OKTARINA PUTRI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
1
ABSTRACT NESYI FEBI OKTARINA PUTRI. Indonesia Food Resources Situation and Its Sufficiency in the Last Three Decades. Under the guidance of DRAJAT MARTIANTO and YAYUK FARIDA BALIWATI. Food is one of basic need and basic right of every individual in every country. The objective of this study was to learn the trend of food resource in terms of its availability and its sufficiency in Indonesia and its relationship with development of policy and program of food in the last three decades. This is a descriptive study. A set of secondary data be used in the study, and were collected from corresponding institutions. Data was analyzed using trend analysis and content analysis. Policies and programmes for food availability have been developed over 30 years of the period of Repelita III, Repelita IV, Repelita V, Repelita VI, Propenas, and RPJMN 2004-2009. During Repelita III (1979-1983), the goal is to achieve self-sufficiency and Repelita VI, food self-sufficiency achieved in 1984. The trend of food availability per capita in form of energy and protein during the 1981-2010, has exceeded the recommendation of Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII 2004 and sufficiently to meet the people need of food. Energy availability was growing slowly with growth rate of 1.7%, while protein grew 1.5%. Production of some strategic food in Indonesia in the last three decades was fluctuating along with relatively high population growth. Import rate of some strategic food (rice, soybean, wheat flour, beef) considered as high during three last decades.
Keywords: food resource, sufficiency of food, food availability policy, Indonesia
1
RINGKASAN NESYI FEBI OKTARINA PUTRI. Perkembangan sumberdaya dan kecukupan pangan di indonesia dalam tiga dekade terakhir. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan YAYUK FARIDA BALIWATI.
Tujuan
umum
penelitian
ini
adalah
mempelajari
perkembangan
sumberdaya pangan dan kecukupan pangan di Indonesia dan kaitannya dengan perkembangan kebijakan dan program di bidang pangan dan gizi dalam tiga dekade terakhir. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) Mempelajari perkembangan kebijakan dan program di bidang ketersediaan pangan di Indonesia dalam tiga dekade terakhir; 2) Mempelajari perkembangan tingkat ketersediaan energi dan protein di Indonesia dalam tiga dekade terakhir; dan 3) Mempelajari
perkembangan
ketersediaan
sumberdaya
beberapa
pangan
strategis (beras, tepung terigu, ubi kayu, jagung, gula, kedelai, dan daging sapi) dan kontribusinya terhadap ketersediaan pangan strategis untuk dikonsumsi dalam tiga dekade terakhir. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait selama tahun 1981-2010. Pengolahan data dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat pada bulan April-Juli 2011. Jenis data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian seluruhnya merupakan data sekunder yang terdiri atas Neraca Bahan Makanan (NBM) Indonesia tahun 1981-2010, produksi pangan strategis di Indonesia tahun 1981-2010, ekspor dan impor pangan strategis tahun 19812010. Pengolahan data ketersediaan pangan dilakukan dengan cara yakni, menggunakan analisis tren terhadap ketersediaan energi, protein, dan komoditas pangan strategis antar waktu selama tiga puluh tahun terakhir. Analisis yang digunakan untuk menganalisis kebijakan dan program ketahanan pangan dilakukan secara deskriptif menggunakan metode content analysis (metode analisis isi). Perkembangan kebijakan mengenai ketersediaan pangan dalam rangka peningkatan ketahanan pangan di Indonesia memperlihatkan bahwa kebijakan yang pada awalnya hanya mengenai penyediaan dan penganekaragaman pangan saja kemudian mulai mengarah kepada kebijakan mengenai keamanan pangan dan stabilitas harga pangan yang lebih spesifik dan mikro. Kebijakan mengenai ketahanan pangan, khususnya ketersediaan pangan, setiap periode
lima tahunnya atau per dokumen mengenai kebijakan mengalami perbaikan hingga pencapaian yang diinginkan tercapai. Berdasarkan
hasil
analisis
NBM
tahun
1981-2010,
diketahui
perkembangan ketersediaan pangan penduduk Indonesia secara keseluruhan masih berada di atas anjuran ketersediaan energi dan protein Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun 2004, yakni sebesar 2200 kkal/kap/hari dan protein sebesar 57 gram. Ketersediaan energi pangan per kapita per hari, rata-rata kuantitasnya lebih dari cukup, yakni mencapai 2926 kkal/kap/hari, sedangkan ketersediaan protein pangan per kapita per hari selama tiga puluh tahun terakhir, rata-rata kuantitasnya lebih dari cukup, yakni mencapai 68,3 gram. Laju pertumbuhan ketersediaan energi dan protein pada periode 1981-1990 1,9% dan 0,7%, periode 1991-2000 1,2% dan 3,0%, serta periode 2001-2010 2,2% dan 0,7%. Selama kurang lebih tiga puluh tahun perkembangan produksi beras dan jagung meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk Indonesia. Laju pertumbuhan total produksi beras dan jagung berturut-turut sebesar 2,8% dan 6,7% dengan laju pertumbuhan total impor sebesar 140,8% dan 312,0%. Selama tiga dekade terakhir, produksi dan impor gula mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan total produksi dan impor gula yakni 5,2% dan 13,1%. Produksi kedelai dalam negeri meningkat setiap tahunnya. Namun terjadi penurunan produksi kedelai hingga mencapai nilai terendah dan impor tertinggi pada tahun 2007 dengan laju pertumbuhan total produksi dan impor sebesar 3,1% dan 933,8%. Sedangkan untuk daging sapi, produksi dalam negeri setiap tahunnya meningkat dan diiringi dengan peningkatan terhadap impor daging sapi dengan laju pertumbuhan total produksi dan impor sebesar 3,5% dan 20,1%. Produksi tepung terigu dan ubi kayu menunjukkan gejala yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Laju pertumbuhan total produksi dan impor tepung terigu yakni 5,1% dan laju pertumbuhan total produksi ubi kayu sebesar 2,2%. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mencapai kemandirian pangan dikarenakan besaran ketergantungan impor pangan strategis yang masih tinggi setiap tahunnya.
Kata kunci: sumberdaya pangan, kecukupan pangan, kebijakan ketersediaan pangan, Indonesia
Judul
: Perkembangan Sumberdaya dan Kecukupan Pangan di Indonesia dalam Tiga dekade Terakhir
Nama
: Nesyi Febi Oktarina Putri
NIM
: I14070103
Disetujui : Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS
NIP. 19640324 198903 1 004
NIP. 19630312 198703 2 001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Disetujui :
PERKEMBANGAN SUMBERDAYA DAN KECUKUPAN PANGAN DI INDONESIA DALAM TIGA DEKADE TERAKHIR
NESYI FEBI OKTARINA PUTRI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ix
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi
ini
dengan
baik.
Penulisan
skripsi
yang
berjudul
“Perkembangan Sumberdaya Pangan dan Kecukupan Pangan di Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir” ini dilakukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi (S.Gz) pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si dan Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing atas arahan, masukan, kritikan, semangat, dan dorongan serta saran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Yayat Heryatno, SP. MPS selaku dosen pemandu seminar atas segala saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku dosen penguji atas segala saran dan perbaikan yang telah diberikan untuk skripsi ini. 4. Keluarga
tercinta:
Ayahanda
dan
Ibunda,
adik-adikku
M.
Arya
Rahmattullah dan Nanda Putra Kalbu, serta keluarga besar yang senantiasa memberi doa, dukungan, serta semangat kepada penulis. 5. Teman
seperjuangan
penulis:
Devi
Sandy
Ambarpratiwi,
Elfrida
Yuliansari, dan Anak Agung Ayu Widi Utari yang telah berjuang bersama. 6. Teman-teman Wisma Cendrawasih: Eri, Sani, Rita, Eno, mb Asri, mb Fitria, dek Yuli, dek Adisti, dek Kiki Svk, dek Dita, dek Aliya, teh Sarti dan teh Lilis atas semangat, dukungan, dan doanya. 7. Teman-teman Luminaire (Ririe, Ni Made, Riza, Novi-novi, Ima-ima, Anita, Rina, Tina, Muthe, dan semuanya), terkhusus sahabat PrImA (adek Devi Nur, neng Mayang Galih, ceu-ceu Siti Hajar, teh Devi Sandy) yang selalu memberikan semangat, dukungan, bantuan, dan doa kepada penulis. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.
Bogor,
November 2011
Nesyi Febi Oktarina Putri
ix
ix
RIWAYAT HIDUP Penulis, Nesyi Febi Oktarina Putri, dilahirkan di Prabumulih, Sumatera Selatan pada tanggal 07 Oktober 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Bohaki Amien S dan Ibu Fepi Oka Priasni, SKM. Penulis memulai pendidikan di TK Pertiwi Muara Enim pada tahun1993, kemudian melanjutkan ke SD Negeri 7 Prabumulih pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001-2004 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Prabumulih. Penulis menempuh pendidikan SMA di SMA Negeri 3 Prabumulih dan lulus pada tahun 2007. Pada bulan Juli 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Penulis diterima sebagai mahasiswi Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia dengan jalur mayor minor. Selama kuliah, penulis pernah bergabung dalam organisasi kampus yakni HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi) sebagai ketua klub Peduli Pangan dan Gizi periode 2009/2010. Selain itu, penulis ikut dalam kepanitiaan Nutrition Fair 2009, Gizi Bhakti Masyarakat Himagizi, Seminar Keprofesian Himagizi, dan Seminar Gizi Nasional (SENZATIONAL) tahun 2010. Penulis pernah melakukan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi untuk studi mengenai “Revitalisasi Posyandu dengan Peningkatan Partisipasi Masyarakat melalui Aksi Komunikatif”. Selanjutnya penulis melakukan Internship Dietetik yang berjudul “Gizi pada Kasus Penyakit Dalam, Kasus Bedah, dan Penyakit Anak di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong” pada bulan Januari-Februari 2011. Tahun 2011, penulis melakukan penelitian mengenai “Perkembangan Sumberdaya dan Kecukupan Pangan di Indonesia dalam Tiga Dekade Terakhir” di bawah bimbingan Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si dan Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
ix
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................................. 2 Kegunaan Penelitian ........................................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4 Ketahanan Pangan .......................................................................................... 4 Ketersediaan Pangan ....................................................................................... 5 Sumberdaya Pangan........................................................................................ 7 Kecukupan Pangan ........................................................................................ 11 Kebijakan ....................................................................................................... 12 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 15 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 17 Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 17 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................................ 17 Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................... 17 Asumsi dan Keterbatasan Penelitian .............................................................. 18 Definisi Operasional ....................................................................................... 18 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 20 Kebijakan dan Program di bidang Ketersediaan Pangan................................ 20 Ketersediaan Energi dan Protein di Indonesia ................................................ 31 a. Perkembangan rata-rata ketersediaan energi dan protein per kapita per hari ....................................................................................................... 31 b. Ketersediaan pangan strategis di Indonesia ........................................... 35 Ketersediaan Sumberdaya Pangan Strategis (beras, jagung, gula, kedelai, daging sapi, tepung terigu, dan ubi kayu) dan Kontribusinya terhadap Ketersediaan Pangan Nasional Selama Tiga Dekade Terakhir ...................... 45 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 55 Kesimpulan .................................................................................................... 55 Saran ............................................................................................................. 56 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 57 LAMPIRAN........................................................................................................ 60
ix
x
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jenis data yang digunakan, tahun, dan sumbernya................................... 17
2
Kebijakan dan program ketersediaan pangan Indonesia tahun 19811990 .......................................................................................................... 22
3
Kebijakan dan program ketersediaan pangan Indonesia tahun 19912000 .......................................................................................................... 23
4
Kebijakan dan program ketersediaan pangan Indonesia tahun 20012010 .......................................................................................................... 25
5
Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Repelita IIIRepelita IV ................................................................................................ 27
6
Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Repelita VRepelita VI ................................................................................................ 28
7
Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Propenas-RPJMN . 29
8
Ketersediaan dan tingkat ketersediaan energi dan protein di Indonesia .... 34
9
Kecukupan pangan beras, tepung terigu, jagung, dan gula untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di Indonesia pada tahun 2005-2010 ....... 35
10
Kecukupan pangan ubi kayu, daging sapi dan kedelai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di Indonesia pada tahun 2005-2010 ......................... 35
11
Ketersediaan pangan (ribu ton) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia .................................................................................................. 39
12
Ketersediaan untuk konsumsi (kg/kap/th) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia ................................................................................ 39
13
Perkembangan impor (ribu ton) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia .................................................................................................. 40
14
Perkembangan cadangan (ribu ton) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia ................................................................................ 42
15
Perkembangan ekspor (ribu ton) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia............................................................................................... 43
16
Perkembangan luas panen, dan produktivitas beras/padi, jagung, kedelai, dan ubi kayu di Indonesia ............................................................ 45
x
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran mengenai keterkaitan antara perkembangan sumberdaya pangan dan kecukupan pangan di Indonesia dengan perkembangan kebijakan dan program di bidang pangan dan gizi ............ 16
2
Perkembangan ketersediaan energi per kapita per hari ............................ 32
3
Perkembangan ketersediaan protein per kapita per hari ........................... 33
4
Produksi beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia .................... 37
5
Perkembangan
produksi,
impor,
dan
ekspor
beras
terhadap
ketersediaan energi................................................................................... 46 6
Perkembangan
produksi,
impor,
dan
ekspor
jagung
terhadap
ketersediaan energi................................................................................... 46 7
Perkembangan
produksi,
impor,
dan
cadangan
gula
terhadap
ketersediaan energi................................................................................... 49 8
Perkembangan produksi, impor, dan cadangan kedelai terhadap ketersediaan energi................................................................................... 52
9
Perkembangan produksi dan impor daging sapi terhadap ketersediaan energi ........................................................................................................ 52
10
Perkembangan
produksi
dan
impor
tepung
terigu
terhadap
ketersediaan energi................................................................................... 53 11
Perkembangan produksi dan ekspor ubi kayu terhadap ketersediaan energi ........................................................................................................ 53
xi
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Perkembangan kebijakan peningkatan sumberdaya pangan dan ketersediaan energi protein pangan strategis Indonesia ........................... 61
2
Perkembangan
program
kebijakan
ketersediaan
pangan
dan
ketersediaan energi untuk konsumsi pangan strategis Indonesia .............. 62 3
Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Repelita IIIRepelita IV ................................................................................................ 65
4
Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Repelita VRepelita VI ................................................................................................ 66
5
Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Propenas-RPJMN . 67
xii
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat sehingga pemenuhan pangan merupakan hak bagi setiap individu. Food and Agriculture Organization (FAO) (2010) menyatakan bahwa setiap individu berhak memperoleh hak atas pangan yang dicirikan oleh kemampuannya untuk dapat mengakses semua elemen untuk mendapatkan dan memenuhi kebutuhan pangan dan gizi untuk hidup sehat dan aktif. Oleh karena itu, pengabaian atas kewajiban pemenuhan pangan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yang akan menimbulkan dampak serius, baik dalam skala individu maupun pada tatanan stabilitas sebuah negara (Yuniarti 2008). Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, dan terjangkau (Pasal 1 PP No. 68 tahun 2002). Dari segi potensi, Indonesia memiliki banyak sumberdaya untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga menggambarkan kondisi yang cukup baik. Akan tetapi, masih banyak penduduk Indonesia yang belum memenuhi kebutuhan pangan yang mencukupi. Berdasarkan suatu studi, sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada dibawah kebutuhan konsumsi yang semestinya (Anonim 2009). Konsumsi pangan yang rendah yang terjadi secara terus menerus berakibat pada gizi kurang dan pada tingkat yang parah bahkan dapat mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, terpenuhinya ketersediaan pangan setiap individu akan mempengaruhi kecukupan pangan dan kondisi status gizi penduduk (Adicita 2008). Kemampuan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan merupakan hal yang amat penting disamping ketersediaan pangan itu sendiri. Ketahanan pangan suatu negara tidaklah ditentukan dari melimpahnya ketersediaan pangan di negara tersebut, melainkan dari kemampuan masyarakatnya untuk mengakses pangan, baik secara fisik maupun secara ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, baik kualitas maupun kuantitasnya. Akses fisik maupun ekonomi masyarakat terhadap pangan ditentukan oleh beberapa hal. Diantara yang terpenting adalah daya beli masyarakat, dimana daya beli ini sangat tergantung dari pendapatan dan tingkat harga yang berlaku di suatu wilayah dan waktu tertentu. Kebijakan harga dan subsidi, alokasi anggaran untuk program pangan
2
dan perbaikan gizi, kebijakan perdagangan yang dapat menunjang kelancaran distribusi pangan antar wilayah dan antar waktu, serta infrastruktur transportasi, pelabuhan, dan pergudangan merupakan faktor-faktor penting terwujudnya peningkatan akses fisik dan ekonomi masyarakat terhadap pangan. Selama ini, kajian mengenai aksesibilitas masyarakat terhadap pangan lebih banyak ditinjau dari sisi kuantitatif pencapaian tingkat ketersediaan dan konsumsi pangan. Karena tingkat ketersediaan dan konsumsi pangan pada dasarnya merupakan output dari suatu proses yang dipengaruhi oleh kebijakan dan program serta keadaan sosial, ekonomi, dan politik pada masanya, maka sangat
penting
untuk
melakukan
kajian
kualitatif
mengkaitkan
tingkat
ketersediaan dan konsumsi pangan masyarakat tersebut dengan kerangka kebijakan dan program pangan dan gizi pada masanya. Selama 30 tahun terakhir sejak masa orde baru, Indonesia telah mengalami berbagai perubahan di bidang sosial, politik, ekonomi bahkan pada tata kenegaraan dari yang sebelumnya bersifat sentralistik menjadi desentralistik (otonomi daerah). Berbagai perubahan ini tentunya membawa akibat pada berbagai kebijakan dan program serta kondisi ketahanan pangan di tingkat makro (nasional), meso maupun mikro. Bagaimana dampak berbagai perubahan tersebut sangat menarik untuk dikaji sebagai suatu proses pembelajaran (lessons learned) untuk perbaikan penyusunan kebijakan dan program di bidang ketersediaan pangan, khususnya pada perkembangan sumberdaya pangan strategis.
Untuk itu, peneliti akan mengkaji dan menganalisis perkembangan
sumberdaya pangan dan kecukupan pangan di Indonesia selama tiga dekade terakhir. Tujuan Tujuan Umum Tujuan
umum
penelitian
ini
adalah
mempelajari
perkembangan
sumberdaya pangan dan kecukupan pangan di Indonesia dan kaitannya dengan perkembangan kebijakan dan program di bidang pangan dan gizi dalam tiga dekade terakhir. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mempelajari perkembangan kebijakan dan program di bidang ketersediaan pangan di Indonesia dalam tiga dekade terakhir;
3
2. Mempelajari perkembangan tingkat ketersediaan energi dan protein di Indonesia dalam tiga dekade terakhir; 3. Mempelajari perkembangan ketersediaan sumberdaya beberapa pangan strategis (beras, tepung terigu, ubi kayu, jagung, gula, kedelai, dan daging sapi) dan kontribusinya terhadap ketersediaan pangan strategis untuk dikonsumsi dalam tiga dekade terakhir. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang penting mengenai perkembangan sumberdaya pangan, tingkat ketersediaan, dan kecukupan pangan Indonesia serta kaitannya dengan kebijakan dan program ketahanan
pangan.
Informasi
yang
dihasilkan,
disamping
memberikan
pengetahuan mengenai tingkat ketersediaan dan kecukupan pangan juga diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam perencanaan dan perbaikan ketersediaan dan pemenuhan kecukupan pangan di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia (individu). Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu 1) ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability and stability), 2) kemudahan memperoleh pangan (food accessibility), dan 3) pemanfaatan pangan (food utilization). Ketahanan pangan merupakan sistem terintegrasi, terdiri atas subsistem ketersediaan pangan, distribusi pangan, dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan individu merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut dari berbagai level (Baliwati 2007). Ketahanan pangan merupakan salah satu isu utama upaya peningkatan status gizi masyarakat yang paling erat kaitannya dengan pembangunan pertanian. Situasi produksi pangan dalam negeri serta ekspor dan impor pangan akan menentukan ketersediaan pangan yang selanjutnya akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan tingkat wilayah. Sementara ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, akan ditentukan pula oleh daya beli masyarakat terhadap pangan (Syarief 2004). Berdasarkan
UU
No.7/1996
tentang
pangan,
dinyatakan
bahwa
ketahanan pangan adalah terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan mencakup ketersediaan pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, peran pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional. Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek sekaligus. Pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk. Kedua, setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari (DKP 2006). Kondisi ketahanan pangan suatu negara yang diukur dengan berbagai indikator, akhirnya akan bermuara pada status kesehatan dan aktifitas produktif individu rakyatnya. Dengan demikian, tidak ada suatu negara yang dapat
4
5
dikatakan mempunyai status ketahanan pangan yang sempurna jika masih ada bagian masyarakatnya yang tidak mampu memenuhi kebutuahn pangan dan gizi minimal yang diperlukan untuk sehat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi. Secara relatif, tingkat ketahanan pangan suatu negara bisa ditentukan dari status gizi masyarakatnya, sehingga bisa digunakan untuk mengukur kinerja pemerintah dalam menjamin akses rakyatnya terhadap pangan. Walaupun suatu negara mamapu menjamin ketersediaan dan akses setiap warga negaranya terhadap pangan yang bermutu, aman, dan bergizi, namun bisa saja negara masih memiliki potensi kerawanan pangan, terutama dalam kaitannya dengan ketergantungan impor (Hariyadi 2009). Ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting yang dapat digunakan sebagai indikator ketahanan pangan, yaitu: 1) ketersediaan, yang artinya bahwa pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman; 2) distribusi, dimana pasokan pangan dapat menjangkau seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga; 3) konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi sesuai kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya (DKP 2006). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem ketahanan pangan di atas. Secara umum, terdapat empat aspek ketahanan pangan, yaitu: 1) aspek ketersediaan pangan (food availability), makanan yang cukup jumlah dan mutunya, serta aman digunakan; 2) aspek stabilitas ketersediaan/pasokan (stability of supplies), stabilitas pasokan pangan setiap waktu dan lokasi; 3) aspek konsumsi (food utilization), kemampuan tubuh manusia untuk mencerna dan melakukan metabolisme terhadap makanan yang
dikonsumsi dan
kecukupan asupan (intake); dan 4) aspek keterjangkauan (access to supplies), ketersediaan makanan dan kesesuaian dengan preferensi, kebiasaan, budaya, dan kepercayaan. Keempat aspek tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Hariyadi 2009). Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan yang cukup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan serta turunannya, bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang, mulai dari nasional, provinsi (regional), lokal (kabupaten/kota), dan rumah tangga/individu.
6
Ketersediaan pangan dapat diukur pada tingkat makro (nasional), meso (provinsi, kabupaten/kota) maupun tingkat mikro (rumah tangga) (Baliwati & Roosita 2004). Ketersediaan pangan di suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh penduduk. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk. Jika keadaan ini tercapai maka ketahanan pangan (food security) akan berada pada tingkat yang aman. Ketersediaan pangan (food availibility) di suatu daerah atau wilayah ditentukan oleh berbagai faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan dan kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, dan tingkat ekspor/impor pangan (Mahfi 2009). Ketersediaan pangan didefinisikan sebagai rata-rata konsumsi energi, protein, dan zat gizi lainnya per kapita per hari, yang diperoleh dari konsumsi bahan makanan keluarga tiap harinya, baik dalam rumah maupun diluar rumah tanpa memperhitungkan makanan yang terbuang, sisa ataupun yang diberikan kepada binatang peliharaan, yang diperoleh dengan wawancara menggunakan metode pendaftaran makanan dengan kuesioner terstruktur yang memuat daftar makanan utama (Priswanti 2004). Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas, dan tersebar antar wilayah, volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediaannya dari waktu ke waktu (Suryana 2001). Komponen ketersediaan pangan meliputi kemampuan produksi, cadangan, maupun impor pangan setelah dikoreksi dengan ekspor dan berbagai penggunaan seperti untuk bibit, pakan, industri makanan/non pangan, dan tercecer (Baliwati & Roosita 2004). Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah dan jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau yang telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Ketersediaan pangan suatu wilayah dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: produksi dalam negeri, impor pangan, dan pengelolaan cadang pangan. Impor pangan merupakan alternatif terakhir untuk mengisi kesenjangan antar produksi dan kebutuhan pangan dalam negeri (Baliwati 2007). Bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kapasitas penyediaan
7
bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri. Namun sebaiknya, jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitas (Suhardjo 1989). Dalam penelitian Suhardjo (1989), ketersediaan Indonesia meningkat secara makro pada tahun 1993-1996 (2899 kkal menjadi 3208 kkal), namun setelah terjadi bencana kekeringan yang disusul krisis moneter, maka ketersediaan tersebut mengalami penurunan drastis. Tercatat
beberapa daerah di Indonesia
mengalami kekurangan pangan. Daerah-daerah yang rawan mengalami kekurangan pangan adalah daerah-daerah yang secara geografis terisolir atau daerah dengan potensi alam yang rendah. Sumberdaya Pangan Sumberdaya alam merupakan unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun hayati, yang diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan serta untuk meningkatkan kesejahteraan. Sehingga, sumberdaya alam adalah unsur bentang alam yang memiliki komponen biotik dan abiotik yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan manusia, termasuk pangan secara lestari. Sumberdaya alam merupakan faktor produksi yang disediakan oleh alam dan bukan buatan manusia (Zonneveld 1979). Sumberdaya ekologis merupakan segala sesuatu yang terdapat pada lingkungan atau ekosistem yang dibutuhkan oleh makhluk hidup unutk dapat bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang biak secara normal. Sedangkan pangan merupakan salah satu sumberdaya ekologis. Sehingga, sumberdaya pangan merupakan kemampuan suatu ekosistem dalam suatu wilayah dalam menyediakan pangan untuk suatu daerah (Departemen Biologi ITB 2004). Menurut konsep ekologi manusia, sumberdaya pangan dijabarkan berdasarkan klasifikasi lingkungan hidup, yaitu lingkungan alam dan lingkungan sosial. Aneka sumberdaya pangan yang terdapat pada dua kategori tersebut, dibahas mengikuti pola pikir dalam sistem pangan, terutama aspek produksi dan konsumsi pangan serta sistem pertanian. Sumberdaya pangan lingkungan alam lebih
difokuskan
pada
sumberdaya
lahan,
pekarangan,
perairan,
dan
keanekaragaman hayati, termasuk pangan lokal. Sedangkan sumberdaya pangan lingkungan sosial difokuskan padan preferensi pangan dan pangan tradisional.
8
Pangan Strategis Beras. Beras telah berkembang tidak hanya sekedar menjadi komoditas penting tetapi juga strategis di Indonesia dan di negara-negara Asia pada umumnya. Di Indonesia, hanya dalam waktu beberapa dekade saja beras telah diterima sebagai pangan pokok dihampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk di daerahdaerah yang semula pangan pokok masyarakatnya bukan beras, seperti Madura (dominan jagung) atau Maluku dan Irian (dominan sagu dan umbi). Perubahan tersebut terjadi seiring dengan pembangunan pangan nasional yang dimulai sejak tahun 1960-an (Saliem et al. 2005). Beras selain sering digambarkan sebagai komoditas pangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat, beras juga merupakan komoditas politis dan strategis, mengingat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat, tidak kurang dari 2.5 juta ton beras harus disediakan setiap bulannya (sambutan Menteri Pertanian dalam Saliem et al. 2005). Peristiwa penting terkait dengan stabilitas harga beras sebagai pangan pokok pada periode sebelum era 1970-an adalah pergantian rezim pemerintah dari Orde Lama ke Orde Baru yang dikomando oleh Letjen Soeharto pada tahun 1966. Inflasi tidak terkendali yang berdampak pada kenaikan harga pangan semasa rezim Orde Lama memicu demonstrasi besar-besaran yang dikenal dengan peristiwa Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Salah satu dari tiga tuntutan tersebut adalah penurunan harga pangan pokok (beras) (Saliem et al. 2005). Kebijakan harga dasar ditetapkan melalui Instruksi Presiden dan dieveluasi setiap tahun. Meskipun tingkat harga telah mengalami penyesuaian tetapi kebijakan harga dasar tersebut belum dapat berfungsi efektif penuh. Hampir pada setiap musim panen raya terjadi insiden pembelian gabah petani dibawah harga dasar. Terlebih setelah terjadi krisis ekonomi tahun 1997 dan dengan dibukanya pintu impor beras bagi swasta dan dihapuskannya Kredit Likuiditas bank Indonesia atas desakan Internasional Monetery Fund (IMF) pada tahun 1998 (Saliem et al. 2005). Krisis ekonomi telah membuat harga beras di dalam negeri meningkat menjadi lebih tinggi dibandingkan harga paritas impor seiring dengan terjadinya penjarahan dan panic buying yang membuat meningkatnya aliran beras impor. Kondisi menjadi semakin parah karena pemberlakuan tarif impor yang membuat nilai Net Protectioan Rate (NPR) menjadi negatif ternyata tidak membuat berhentinya arus impor beras. Hingga kini faktor spekulasi yang besar terhadap
9
kebutuhan beras di dalam negeri diduga telah membuat pedagang tidak pernah berhenti untuk memasukkan beras impor, termasuk impor illegal melalui selundupan maupun manipulasi dokumen. Selain liberalisasi pasar domestik, tidak efektifnya harga dasar gabah juga dipengaruhi berbagai faktor lain seperti: terbatasnya dana pemerintah untuk menyerap kelebihan produksi saat panen raya, hilangnya captive market Bulog, adanya moral hazard, dan relatif tingginya harga dasar dibanding harga dunia. (Saliem et al. 2005). Jagung. Komoditas jagung dapat memiliki peranan yang ganda, tidak hanya sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga sebagai bahan baku industri (Pasandaran & Kasryno 2005). Jagung dapat berfungsi seperti beras bila dinilai dari kandungan gizinya. Kandungan energi antara beras dan jagung relatif sama dalam setiap seratus gramnya, bahkan protein jagung lebih tinggi daripada beras (Ariani & Pasandaran 2005). Jagung juga merupakan bahan baku utama pakan unggas (sekitar 50% dari ransum), sehingga harga jagung akan sangat berpengaruh pada harga daging unggas (Tangendjaya, Yusdja & Ilham 2005). Ketergantungan impor yang cukup tinggi menyebabkan jagung rentan dengan gejolak pasar luar negeri (Syafa’at et al. 2003). Tepung terigu. Bahan baku utama untuk industri tepung terigu adalah gandum. Dengan melalui proses pengolahan, biji gandum ini menghasilkan tepung terigu. Konversi gandum terhadap tepung terigu setiap pabrik berbeda. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kualitas gandum dan efisiensi mesin pengolah (Afriani 2002). Berdasarkan konversi dari Depperindag tahun 1998, maka kebutuhan gandum untuk tepung terigu terus meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan sekitar 8,2% setiap tahunnya. Peningkatan kebutuhan gandum ini juga diikuti dengan produksi tepung terigu. Kebutuhan gandum untuk pembuatan tepung terigu terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan industri tepung terigu. Besarnya kebutuhan gandum juga tercermin dari perkembangan impornya. Impor tepung terigu di Indonesia sangat berfluktuatif dan memiliki kecenderungan semakin menurun setiap tahunnya. Ini berarti meskipun tepung terigu sudah diproduksi di dalam negeri dalam jumlah besar, tetapi Indonesia masih melakukan impor. Sampai dengan tahun 1998, besarnya impor tersebut sangat kecil dibandingkan dengan produksi di dalam negeri (Afriani 2002). Pengadaan bahan baku industri tepung terigu berupa gandum seluruhnya diperoleh dari impor. Sampai periode tahun 1997, pembelian impor gandum
10
dilakukan oleh Bulog dan masih disubsidi, sehingga hasil pengolahan biji gandum menjadi tepung terigu kembali diserahkan kepada Bulog. Tetapi sejak dikeluarkannya surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 21/MPP/Kep/1/1998, maka pengadaan dan penyaluran tepung terigu di dalam negeri dilakukan secara bebas tanpa campur tangan pemerintah (Afriani 2002). Kedelai. Kedelai merupakan komoditas pangan terpenting ketiga setelah beras dan jagung. Kedelai adalah tanaman yang kaya protein, sehingga mempunyai peranan sangat penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena harganya yang relatif terjangkau (Balitbangtan 2005). Ratarata konsumsi kedelai nasional mencapai 1803 juta ton per tahun, tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri sehingga 60% ketersediaan harus dipenuhi dari impor (Anonim 2008 dalam Mauludyani 2008). Ubi kayu. Ubi kayu adalah tanaman umbi-umbian daerah tropik dan merupakan sumber kalori pangan yang paling murah di dunia. Ubi kayu dikonsumsi sebagai makanan pokok oleh sekitar 400 juta orang di daerah tropik yang lembab di Afrika, Asia, dan Amerika. Ubi kayu berbeda denga bahan-bahan pangan pokok lainnya, sangat mudah busuk dan harus dikonsumsi secara cepat atau diubah menjadi produk yang dapat disimpan. Ubi kayu mulai rusak segera setelah dipanen dan sama sekali membusuk dalam dua atau tiga hari, kecuali jika disimpan dalam gudang pendingin. Keanekaragaman internasional dalam peranan yang dimainkan ubi kayu dalam sistem komoditi, berasal dari pengadaan manfaat akhir ubi kayu. Ubi kayu di Indonesia dimanfaatkan sebagai makanan segar maupun kering, makanan ternak dan aci sebagai makanan dan keperluan industri (Pearson et al. 1986). Ubi kayu dan ubi jalar merupakan komoditas penting dalam program penganekaragaman (diversifikasi) pangan pokok. Program ini mendorong konsumsi umbi-umbian, khususnya ubi kayu dan ubi jalar serta produk olahannya, sebagai substitusi sebagian dari beras dan tepung terigu (Syafa’at et al. 2003). Gula. Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memeliki kedudukan unik yang berbeda dengan komoditi strategis lainnya seperti beras. Gula pasir merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok yang dikonsumsi masyarakat secara luas, namun gula pasir juga termasuk dalam jenis komoditi yang masih terkena cukai (Amang 1993). Gula pasir merupakan pangan yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan makanan dan minuman. Hampir
11
semua masyarakat mengkonsumsi gula, terutama gula pasir. Pada tahun 2002, tingkat konsumsinya mencapai 9,18 kg/kap/th (Ariani 2003). Walaupun kebutuhan gula tidak sebesar pangan lainnya, seperti beras, namun karena proporsi rumah tangga yang mengkonsumsinya sangat tinggi, gula termasuk komoditas strategis. Ketergantungan impor yang tinggi (42,05%) menyebabkan gula rawan terhadap gejolak pasar internasional, sehingga membutuhkan campur tangan pemerintah berupa penetapan harga dasar, izin impor, dan penerapan bea masuk impor (Pakpahan 2003). Kebijaksanaan pemasaran gula pasir yang dilakukan pemerintah pada prinsipnya mempunyai tujuan untuk menjamin tersedianya gula yang continue kapan saja dan dimana saja serta berupaya mengemat penggunaan devisa (Amang 1993). Daging sapi. Daging sapi termasuk salah satu jenis pangan yang perlu mendapat perhatian dalam hal penyediaannya. Konsumen daging sapi adalah masyarakat berpendapatan menengah keatas dan para wisatawan atau pekerja asing. Walaupun rata-rata impor daging sapi masih rendah, namun dalam dasawarsa terakhir terdapat kecenderungan peningkatan nilai impor daging sapi dan sapi hidup. Hal ini disebabkan produksi dalam negeri baru dapat memenuhi sekitar 70% dari kebutuhan domestik (Balitbangtan 2005). Kecukupan Pangan Kecukupan pangan manusia dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, kecukupan pangan umumnya dilihat dari kandungan energi pangan,
sedangkan
secara
kualitatif
dapat
diperkirakan
dari
besarnya
sumbangan protein terhadap nilai energi yang disebut sebagai Rasio ProteinEnegi (R-PE). Jadi dengan demikian, jika kecukupan akan energi dan protein terpenuhi, maka kecukupan zat-zat gizi lainnya pada umumnya sudah terpenuhi atau sekurang-kurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya (Khumaidi 1989). Penilaian situasi pangan dan gizi secara nasional maupun regional adalah suatu langkah awal dari proses perencanaan pangan dan gizi, dimana nantinya dapat dirumuskan langkah untuk menetapkan sasaran dan tujuan dari program, dan selanjutnya disusun strategi pelaksanaan program. Kemudian ditetapkan langkah-langkah pelaksanaan dari program pangan dan gizi baik secara nasional maupun regional (Manggabarani 1995). Menurut Wardoyo 1984 dalam Manggabarani 1995, peningkatan jumlah penduduk menuntut penyediaan pangan yang cukup bagi penduduk untuk
12
dikonsumsi, meskipun tidak selalu ada hubungan antara peningkatan produksi pangan dengan konsumsi pangan, namun menurut Soekirman 1977 dalam Manggabarani 1995, dikemukakan bahwa tidak dapat disangkal peningkatan produksi tersebut akan meningkatkan pula penyediaan energi dan protein penduduk per kapita. Aspek kecukupan pangan menjadi basis kriteria untuk menentukan status ketahanan pangan. Hal ini karena pangan adalah kebutuhan pokok bagi manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Pada mulanya kecukupan pangan hanya dinilai menurut fisik kuantitas sesuai kebutuhan untuk beraktifitas dalam kehidupan
sehari-hari
secara
sehat.
Namun
demikian,
seiring
dengan
perkembangan analisis, kriteria kecukupan kemudian juga mencakup kualitas pangan sesuai kebutuhan tubuh manusia (Saliem et al. 2005). Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah banyaknya asupan (intake) energi dari makananan bagi seseorang yang seimbang dengan pengeluarannya (expenditure) sesuai dengan susunan dan ukuran tubuh, tingkat kegiatan jasmani dalam keadaan sehat dan mampu melakukan tugas-tugas kehidupan secara ekonomi dalam jangka waktu yang lama. Angka Kecukupan Protein (AKP) adalah asupan protein makanan paling sedikit seimbang dengan hilangnnya nitrogen yang dikeluarkan oleh tubuh dalam keseimbangan energi pada tingkat kegiatan jasmani yang dilakukan (Khumaidi 1989). Kebijakan Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai suatu tujuan. Kebijakan muncul karena terjadi silang pendapat diantara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh atau bahkan pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri (Wahab 2004). Kebijakan adalah suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk
dilaksanakan
guna
mempengaruhi
suatu
keadaan,
misalnya
mempengaruhi pertumbuhan, baik besaran maupun arahnya pada masyarakat umum. Kebijakan berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan dalam mempengaruhi
perubahan
secara
sektoral
dalam
masyarakat
termasuk
didalamnya kebijakan pada sektor pertanian (Pratiwi 2008). Bentuk-bentuk kebijakan publik yakni: 1) kebijakan publik yang bersifat makro (umum, mendasar) yaitu peraturan perundang-undangan, antara lain UUD
13
1945,
Undang-undang/Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-udang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah; 2) kebijakan publik yang bersifat meso (menengah, penjelas pelaksanaan) yaitu berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, serta Peraturan Walikota serta dapat pula berbetuk Surat keputusan Bersama (SKB) antar Menteri, Gubernur, Bupati, dan Walikota; 3) kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya. Bentuknya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati, dan Walikota (Dwidjowijoto 2006). Kebijakan ekspor didasarkan pada Program Perencanaan Nasional (Propenas) dan Rencana Jangka Panjang dan Menengah (RJPM) yang pelaksanaannya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Kebijakan ekspor disusun dalam rangka reformasi ekonomi nasional, untuk meningkatkan daya saing, menjamin kepastiaan dan kesinambungan bahan baku industri di dalam negeri, mendukung tetap terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam serta pelaksanaan perjanjian internasional (Depkominfo 2006). Tujuan dari kebijakan impor ialah menekan jumlah dan mengurangi tingkat ketergantungan impor Indonesia. Impor dapat menjadi solusi yang tepat untuk menjaga ketahanan pangan jika dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan jumlah yang tepat. Sehingga impor tidak berakibat menekan harga domestik. Contohnya, selama ini yang terjadi justru harga beras impor beras yang mendikte harga beras dalam negeri (Pratiwi 2008). Kebijakan impor merupakan bagian dari kebijakan perdagangan yang memagari kepentingan nasional dari berbagai pengaruh masuknya barangbarang impor negara lain. Dalam rangka memberikan kepastian usaha kepada investasi PMA/PMDN dan industri di dalam negeri, pemerintah telah melakukan langkah
kebijakan
deregulasi
(mengatur/menyusun
ulang),
diantaranya
Keputusan menteri Keuangan No. 378/KMK.01/1996 (Depkominfo 2006). Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah&Ariani M, 2000 dalam Adicita 2008).
Kebijakan
ketahanan
pangan
adalah
kebijakan
yang
bersifat
menyelaraskan kegiatan-kegiatan yang menunjang ketersediaan, distribusi, dan
14
konsumsi pangan, agar setiap individu dapat mengakses pangan dan mengelola konsumsinya
untuk
memenuhi
kecukupan
gizi.
Dalam
hal
subsistem
ketersediaan pangan, kebijakan yang perlu dilakukan adalah menyelaraskan antara produksi, ekspor, impor, dan konsumsi sehingga terjadi keseimbangan sesuai dengan kebutuhannya pada wilayah yang bersangkutan, dan antar wilayah dari waktu ke waktu pada tingkat harga yang proporsional (Sukari 2009). Ketahanan pangan selalu dikaitkan dengan stabilitas harga pangan khususnya beras, atau bahan pangan pokok utama suatu Negara. Dalam kaitan ini, ketahanan pangan sinonim dengan stabilitas harga, oleh karenanya pandangan
tersebut
menggunakan
pendekatan
stabilitas
pangan
untuk
ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang berkelanjutan perlu dibangun dengan memperhatikan tiga aspek yaitu: 1) prinsip utama program ketahanan pangan harus didasarkan bahwa pangan merupakan hak asasi dan kebutuhan mendasar bagi manusia; 2) ketahanan pangan harus diperlakukan sebagai suatu sistem hierarki, mulai dari tingkat global sampai ketahanan pangan tingkat rumah tangga/individu; serta 3) perlunya peranan strategis dari pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab, pressure group dan adanya kebebasan pers (Simatupang 1999 dalam Sofiati 2009). Konferensi Dewan Ketahanan Pangan (DKP) sebagai lembaga koordinatif telah merumuskan tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan nasional. Pertama, ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju konsumsi akibat masih tingginya laju pertambahan penduduk. Kedua, lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang. Ketiga, masalah keamanan pangan. Keempat, kerawanan pangan dan gizi buruk yang sangat berkaitan erat dengan kemiskinan. Kelima, masalah alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan dan air. Keenam, pengembangan infrastruktur pedesaan. Ketujuh, belum berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural maupun kelembagaan ketahanan pangan masyarakat (DKP 2006). Untuk mengatasi masalah ketahanan pangan sangat diperlukan kebijakan dan
langkah
operasional
terpadu
lintas
sektoral
dan
bahkan
dengan
menyertakan seluruh komponen masyarakat guna mengatasi rawan pangan, gizi buruk, dan kemiskinan. Instansi terkait harus mengarahkan kebijakannya menuju sistem ketahanan pangan yang handal. Sistem ketahanan pangan dan gizi yang handal merupakan salah satu model global dalam melaksanakan Millenium Development Goals (MDGs) (Nainggolan 2008).
KERANGKA PEMIKIRAN Indonesia memiliki banyak sumberdaya untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Ketersediaan pangan di suatu wilayah selain dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam wilayah itu, juga sangat dipengaruhi oleh ketepatan manajemen sumberdaya baik ditingkat makro, meso, maupun mikro. Pemerintah memiliki peranan yang besar dalam hal pengaturan manajemen sumberdaya tersebut melalui kebijakan-kebijakan, program, dan peraturan yang dapat mempengaruhi arah produksi, distribusi, dan konsumsi pangan masyarakat. Kebijakan pemerintah di bidang ketahanan pangan, khususnya mencakup produksi pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, peternakan, perikanan dan kelautan serta perkebunan), distribusi, industri dan perdagangan pangan, serta peningkatan pendapatan dan penanggulangan kemiskinan, akan menentukan arah pengelolaan sumberdaya pangan, akses pangan, dan konsumsi pangan rumah tangga sebagai indikator kecukupan. Dalam studi ini, kecukupan pangan rumah tangga diindikasikan oleh tingkat kecukupan energi, protein, dan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Perubahan yang terjadi di berbagai bidang seperti bidang politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan, kesempatan kerja, tingkat kemiskinan, dan daya beli terhadap pangan. Ketersediaan pangan, tingkat kemiskinan, dan tingkat pendapatan secara langsung berdampak pada pemanfaatan pangan di tingkat rumah tangga. Ketersediaan pangan dapat diketahui dari data produksi pangan, perubahan stok, serta jumlah pangan yang diekspor dan diimpor. Angka kecukupan energi dan protein bagi penduduk di suatu daerah tertentu, adalah data yang memberikan informasi tentang jumlah protein dan energi yang seharusnya dikonsumsi oleh penduduk di daerah tersebut. Kecukupan energi dan
protein
bagi
penduduk
di
suatu
daerah
dapat
dihitung
dengan
mempertimbangkan jumlah penduduk dan tingkat kegiatan penduduk.
15
16
Tingkat konsumsi masyarakat
Akses Pangan Rumahtangga
Kesejahteraan Masyarakat
Kecukupan pangan
Angka Kecukupan Gizi terhadap ketersediaan
Tingkat Pendapatan Tingkat Kemiskinan
Ketersediaan Pangan
Sumberdaya Pangan Produksi Impor Ekspor Penggunaan dalam Negeri
Kebijakan Ketersediaan Pangan Produksi Pengadaan pangan Tarif (ekspor-impor)
Gambar 1 Kerangka pemikiran mengenai keterkaitan antara perkembangan sumberdaya pangan dan kecukupan pangan di Indonesia dengan perkembangan kebijakan dan program di bidang pangan dan gizi Keterangan: = yang diteliti = yang tidak diteliti = hubungan yang diteliti
METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Desain studi ini adalah studi deskriptif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berkaitan dengan ketersediaan dan sumberdaya pangan di Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir (tiga dekade) yang didapat dari berbagai instansi terkait. Kegiatan penelitian dilakukan selama kurang lebih enam bulan mulai Januari 2011 hingga Juli 2011 di Bogor, Jawa Barat. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Pengumpulan data dibedakan berdasarkan sumber data. Penelusuran data atau informasi mengenai pangan dan gizi didapat dari beberapa instansi yang terkait seperti Badan Ketahanan Pangan (BKP), Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanain, dan Perpustakaan Nasional. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Jenis data yang digunakan, tahun, dan sumbernya No 1
Jenis Data Neraca Bahan Makanan (NBM)
Tahun 1981-2010
2
Produksi Pangan
1981-2010
3
Ekspor dan Impor Pangan Kebijakan-kebijakan (UU, PP, Perpres)
1981-2010
Sumber Badan Ketahanan Pangan (BKP) Departemen Pertanian, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Badan Ketahanan Pangan (BKP)
1981-2010
Perpustakaan Nasional
4
Data ketersediaan pangan penduduk diperoleh dari hasil perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM) Indonesia tahun 1981-2010. Data jumlah produksi pangan diperoleh dari Departemen Pertanian dan NBM Badan Ketahanan Pangan. Data yang berhubungan dengan NBM yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi data produksi pangan nasional, data keluar masuk pangan (ekspor dan impor) nasional, dan data perubahan stok akhir tahun nasional. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data ketersediaan pangan dilakukan dengan menggunakan analisis tren terhadap ketersediaan energi, protein, dan komoditas pangan strategis antar waktu selama tiga puluh tahun terakhir. Analisis yang digunakan untuk menganalisis kebijakan dan program ketahanan pangan dilakukan secara deskriptif dengan metode content analysis (metode analisis isi). Metode analisis isi merupakan metode yang digunakan untuk menelaah isi dari kebijakan dan program ketahanan pangan.
17
18
Perhitungan kecukupan pangan dihitung menggunakan rumus: ⁄ ⁄ jika, nilai kecukupan lebih dari 1, maka daerah tersebut defisit pangan serealia serta apabila nilai kecukupan kurang dari 1, maka daerah tersebut surplus pangan serealia (Dewan Ketahanan Pangan-WFP). Sedangkan untuk melihat keterkaitan antara kebijakan dan program ketahanan pangan dengan kondisi ketersediaan energi, protein, dan pangan strategis dilakukan dengan tabulasi silang dan analisis grafis hubungan antara kebijakan dan program ketahanan pangan dengan tingkat kecukupan energi, protein, dan ketersediaan pangan strategis tersebut. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian Peneliti mempunyai keterbatasan yaitu menggunakan data-data sekunder yang seluruhnya benar dari berbagai instansi yang dirancang secara khusus untuk kepentingan masing-masing instansi. Definisi Operasional Angka Kecukupan Energi adalah banyaknya asupan energi dari makanan bagi seseorang yang seimbang dengan pengeluarannya sehingga dapat hidup sehat dan mampu beraktifitas ekonomi dalam waktu yang lama. Angka Kecukupan Protein adalah banyaknya asupan protein yang paling sedikit seimbang dengan hilangnya nitrogren yang dikeluarkan tubuh dalam keseimbangan energi pada tingkat kegiatan jasmani yang dilakukan. Ekspor adalah sejumlah bahan makanan, baik yang belum maupun sudah mengalami pengolahan, yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia. Impor adalah sejumlah bahan makanan, baik yang belum maupun sudah mengalami pengolahan, yang didatangkan/dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia. Kecukupan Pangan adalah jumlah energi sebesar 2200 kkal dan protein 57 gram yang sebaiknya dipenuhi oleh seseorang atau rata-rata kelompok penduduk agar dapat hidup sehat. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein adalah perbandingan antara konsumsi pangan sumber energi dan protein dengan kecukupan zat gizi tersebut yang seharusnya dipenuhi yang dinyatakan dalam persen dalam tiga dekade terakhir.
19
Tingkat Ketersediaan adalah perbandingan antara pangan strategis yang tersedia dengan yang dibutuhkan pada waktu tertentu yang dinyatakan dalam persen. Ketersediaan Pangan adalah jumlah pangan yang tersedia per tahun yang berasal dari produksi, perubahan stok, dan perdagangan (ekspor, impor) untuk mencukupi konsumsi pangan maupun untuk memenuhi kebutuhan pangan di suatu wilayah tertentu pada tahun tertentu yang diukur dalam satuan ribu ton/tahun. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asa yang menjadi garis besar dan dasar rencana atas pelaksanaan suatu pembangunan dalam suatu sistem pemerintahan suatu negara atau daerah yang menjadi acuan tindakan dalam mencapai tujuan. Kebijakan Ketersediaan Pangan adalah suatu hal yang ditetapkan dan diberlakukan sebagai arahan atau dasar tindakan melalui serangkaian pengambilan keputusan mengenai ketersediaan pangan untuk menjamin produksi dan perdagangan pada tingkat makro (nasional) dalam hal Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Pangan Strategis adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati, baik yang diolah maupun tidak diolah antara lain beras, tepung terigu, jagung, ubi kayu/singkong, gula, kedelai, dan daging sapi. Perubahan stok adalah selisih antara stok akhir tahun dengan stok awal tahun. Produksi adalah jumlah keseluruhan hasil masing-masing bahan makanan yang dihasilkan dari sektor pertanian, yang belum mengalami proses pengolahan maupun yang sudah mengalami proses pengolahan. Stok adalah sejumlah bahan makanan yang disimpan/dikuasai oleh pemerintah atau swasta yang dimaksudkan sebagai cadangan dan akan digunakan apabila sewaktu-waktu diperlukan. Sumberdaya Pangan Strategis adalah kondisi kapasitas produksi komoditas pangan strategis dalam satuan ribu ton per tahun.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan dan Program di bidang Ketersediaan Pangan Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam yang sangat potensial, sudah sewajarnya harus mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Selain itu, Indonesia mempunyai potensi sumberdaya alam yang beragam dalam menjamin ketersediaan pangan yang merata di seluruh pelosok tanah air sepanjang waktu. Apabila dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dalam arti luas, Indonesia juga belum mampu mencapai swasembada, apalagi bila dikaitkan dengan pemenuhan sumber karbihidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar dan terus bertambah setiap
tahunnya,
serta
pesatnya
perkembangan
arus
globalisasi
akan
memerlukan ketersediaan pangan nasional yang cukup besar dan semakin beragam.
Pembangunan
ketahanan
pangan
bertujuan
untuk
menjamin
ketersediaan pangan yang cukup dari segi jumlah, mutu, keamanan dan keragaman, sehingga setiap rumah tangga mampu mengkonsumsi pangan setiap
saat.
Pemerintah
menyelenggarakan
pengaturan,
pembinaan,
pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional, maka perlu diupayakan agar terpenuhi dari produksi dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan dan program mengenai ketersediaan pangan menjadi isu dalam pembangunan subsistem ketersediaan yang mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan/perubahan stok, maupun impor dan ekspor. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjelaskan bahwa tujuan dari pembangunan nasional yakni untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib, dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai. Sejak tahun 1969/1970 pembangunan nasional telah dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I).
20
21
Berdasarkan pembangunan ketahanan pangan nasional, subsistem ketersediaan pangan, diperlukan kebijakan sebagai salah satu bagian dari tujuan pembangunan nasional. Hal ini bertujuan agar pemerintah mampu mewujudkan ketahanan
pangan
dengan
kestabilan
ketersediaan
pangan
nasional.
Penyelenggaraan kebijakan pembangunan ketersediaan pangan periode 19812010, pemerintah Republik Indonesia (RI) mengacu pada beberapa kebijakan pembangunan nasional yang telah ditetapkan. Beberapa kebijakan tersebut yang mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yaitu Repelita III, Repelita IV, Repelita V, dan Repelita VI, Program Pembangunan Nasional lima tahun (Propenas) sebagai penjabaran dari GBHN tahun 1999-2004, serta kebijakan yang mengacu pada Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Sedangkan kebijakan yang diatur atau dikeluarkan oleh suatu badan tertentu, antara lain Rencana Aksi Pangan dan Gizi (RANPG) 2001-2005 dan RANPG 2006-2010 oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan (Renstra BKP) 2001-2004 dan Renstra BKP 2005-2009, serta Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2006-2009 oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP). Repelita III tahun 1979/1980-1983/1984 mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan disusun berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1979 tentang rencana pembangunan lima tahun ketiga. Tujuan Repelita III antara lain, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang merata dan adil serta meletakkan landasaan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya. Kebijakan ketahanan pangan yang tercantum dalam Repelita III bidang Pangan dan Perbaikan Gizi tersebut yaitu: 1) mengusahakan agar penyediaan pangan makin meningkat dan merata, dan pada tingkat harga yang terjangkau oleh rakyat banyak serta cukup memberikan gairah bagi petani untuk meningkatkan produksi; dan 2) mengusahakan penganekaragaman
pola
konsumsi
pangan
rakyat
dan
mengurangi
ketergantungan pada beras. Repelita IV tahun 1984/1985-1988/1989 mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan disusun berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1984 tentang rencana pembangunan lima tahun keempat. Tujuan Repelita IV yakni, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan
22
kesejahteraan seluruh rakyat yang semakin merata dan adil, serta meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya. Berdasarkan dua puluh delapan kebijakan yang terdapat di dalam Repelita IV, merupakan kebijakan peningkatan dari kebijakan yang telah tercantum dalam Repelita III. Kebijakan ketahanan pangan bidang Pangan dan Perbaikan Gizi dalam Repelita IV yang tercantum tersebut bertujuan untuk: 1) meningkatkan penyediaan pangan secara merata dan mencukupi kebutuhan gizi serta terjangkau oleh daya beli rakyat; dan 2) menganekaragamkan pola konsumsi pangan rakyat dengan mengusahakan agar konsumsi bahan pangan selain beras semakin meningkat. Tabel 2 Kebijakan dan program ketersediaan pangan Indonesia tahun 1981-1990 Dokumen Repelita III
Kebijakan Peningkatan produksi dan penganekaragaman pangan Pencapaian memantapkan pangan
sasaran swasembada
Penganekaragaman pola konsumsi pangan, peningkatan produksi, dan pengadaan bahan pangan bukan beras akan terus ditingkatkan Repelita IV
Penganekaragaman pangan dan teknologi industri pangan, baik yang bersifat teknis maupun fisik
Pemerataan persediaan/cadangan pangan
Program Membantu dan mendorong pemasaran dan pengolahan bahan-bahan pangan seperti gandum, jagung, sorgum, umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buahbuahan Peningkatan produksi pangan agar penyediaan pangan makin meningkat dan merata serta terlaksana pada tingkat harga yang terjangkau oleh daya beli rakyat dan cukup memberikan jaminan harga bagi para petani produsen untuk meningkatkan pendapatan mereka melalui peningkatan produksi mereka Di daerah-daerah yang penduduknya secara tradisional tidak menggunakan beras sebagai makanan pokok akan didorong untuk mempertahanakan kebiasaan tersebut dan ditingkatkan mutu gizinya dengan menggunakan bahan makanan setempat Disusun peta regional pola produksi dan pola konsumsi bahan pangan pokok seperti beras, jagung, ubi kayu, sagu, dan umbi-umbian Mempermudah penyediaan pangan bukan beras agar terjangkau oleh daya beli rakyat Peningkatan perkembangan industri pengolahan pangan Mendorong usaha-usaha pembangunan industri bahan pangan, khususnya jenis industri yang sesuai dengan potensi daerah, dengan tujuan mengembangkan penganekaragaman pangan serta mengusahakan kecukupan pangan secara lokal di setiap daerah Impor jenis pangan yang diproduksi di dalam negeri tetapi belum mencukupi masih dimungkinkan, tanpa mengabaikan kemungkinanan dampaknya yang dapat merugikan usaha peningkatan produksi dalam negeri
Repelita V tahun 1989/1990-1993/1994 mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan disusun berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1989, dengan tujuan memadukan pertumbuhan ekonomi dan transformasi struktur ekonomi dengan pemerataan pembangunan, khususnya melalui penciptaan lapangan kerja produktif yang makin luas dan merata dengan pengembangan sumberdaya manusia sebagai wahana sentral. Di dalam Repelita V terdapat dua puluh delapan kebijakan untuk mengatasi permasalahan pokok pada saat itu, yakni melakukan pemantapan, konsolidasi, dan peningkatan pembangunan disetiap bidang kehidupan bangsa, agar bangsa Indonesia siap
23
untuk memasuki awal dari tahap tinggal landas dalam Repelita VI. Kebijakan dan langkah-langkah untuk mengatasi berbagai permasalahan pangan dan gizi yang akan ditempuh, terarah pada peningkatan dan penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan yang dilakukan dalam rangka pemantapan swasembada pangan yang disertai dengan peningkatan mutu gizi, stabilitas harga, dan pemerataan. Pada Repelita VI yang mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 terdapat empat puluh dua kebijakan di berbagai bidang untuk mencapai sasaran umum pembanguan lima tahun keenam, yaitu tumbuhnya sikap kemandirian dalam diri manusia dan masyarakat Indonesia melalui peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas rakyat dalam rangka meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan kesejahteraan lahir batin. Repelita VI dipadukan dengan upaya pembangunan pangan dan perbaikan gizi dimaksudkan agar kebijakan dan upaya dalam sistem pangan dapat menjamin adanya ketahanan dan keamanan pangan. Tabel 3 Kebijakan dan program ketersediaan pangan Indonesia tahun 1991-2000 Dokumen
Kebijakan Peningkatan dan penganekaragaman penyediaan & konsumsi pangan
Repelita V
Peningkatan pemerataan penyediaan pangan
Pengembangan kelembagaan
Repelita VI
Peningkatan ketahanan pangan
Program Menciptakan iklim yang mendorong peningkatan produksi, pengolahan, penyaluran dan konsumsi pangan bukan beras melalui kebijaksanaan harga, pemasaran, dan investasi Melanjutkan dan meningkatkan upaya untuk tetap mempertahankan pola konsumsi pangan sebagian masyarakat yang secara tradisional tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok Mengembangkan dan menyebarluaskan penggunaan teknologi pengolahan pangan sederhana dan tepat guna yang murah dan mudah diterapkan Melanjutkan dan mengintensifkan penyuluhan penganekeragaman pangan guna meningkatkan perbaikan gizi masyarakat yang dilaksanakan secara terus-menerus dan terpadu dengan program-program yang telah ada Memperlancar dan meningkatkan daya guna dan hasil guna arus lalu lintas pangan antar daerah Memelihara kemantapan swasemabda pangan Meningkatkan kemampuan penyediaan pangan yang diperlukan, termasuk potensi pangan dari hutan dan laut Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pola pangan yang beraneka ragam untuk meningkatkan mutu gizinya Meningkatkan penyediaan berbagai komoditas pangan dengan mendorong usaha diversifikasi, yang mencakup diversifikasi wilayah dan diversifikasi Meningkatkan pengetahuan dan ketaatan produsen untuk memenuhi ketentuan yang ada mengenai cara produksi yang baik sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan Mendorong pemanfaatan teknologi produksi dan industri pangan berwawasan lingkungan Melakukan pengawasan ketat terhadap mutu hasil produksi pangan dan pemasarannya
24
Rencana Aksi Pangan dan Gizi (RANPG) 2001-2005 sebagai kebijakan yang diatur atau dikeluarkan oleh Bappenas, meliputi bidang pangan dan gizi berdasarkan pada besar dan luas masalah pangan dan gizi yang mengacu pada GBHN, Propenas, dan komitmen global. Tujuan umum penyusunan RANPG 2001-2005 yakni, memberikan panduan dan arahan bagi penentu kebijakan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam menyusun rencana aksi untuk penurunanan dan pencegahan masalah pangan dan gizi. RANPG 2006-2010 sebagai lanjutan dari RANPG 2001-2005, melanjutkan penjabaran kebijakan dan langkah terpadu di bidang pangan dan gizi serta dalam rangka mendukung pembangunan sumberdaya manusia yang berkualitas. Tujuan umum RANPG 2006-2010 yaitu memberikan panduan dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan pangan dan gizi bagi institusi pemerintah, masyarakat, dan pelaku lain yang bergerak dalam perbaikan pangan dan gizi di Indonesia, baik pada tataran nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Renstra BKP 2001-2004 disusun dan diatur oleh Dewan Bimas Ketahanan Pangan yang dibentuk oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia. BKP mempunyai tugas melaksanakan pengkajian, pengembangan, dan koordinasi pemantapan ketahanan pangan untuk mendukung pelaksanaan tugas
dan
fungsi
Departemen
Pertanian.
Upaya
pencapaian
sasaran
pemantapan ketahanan pangan jangka menengah, ditetapkan dua program utama sebagai acuan kerja BKP yakni, program pemantapan koordinasi ketahanan pangan serta program pemberdayaan masyarakat dalam ketahanan pangan. Renstra BKP 2005-2009 sebagai kebijakan yang diatur atau dikeluarkan oleh BKP, disusun dalam rangka menindaklanjuti Peraturan Menteri Pertanian No. 394/Kpts/RC.120/11/2005 tentang Rencana Strategis Departemen Pertanian tahun 2005-2009. Maksud dari penyusunan Renstra BKP adalah harmonisasi perencanaan pembangunan ketahanan pangan secara terpadu, terfokus, dan terprogram dalam mencapai tujuan pembangunan pertanian serta sebagai bahan dalam melaksanakan acuan, kebijakan program strategis pembangunan ketahanan pangan dalam kurun waktu 2005-2009. RPJMN 2004-2009 merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden selama lima tahun serta sebagai kebijakan yang mengacu pada Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, ditempuh melalui strategi pokok dan dijabarkan dalam Agenda Pembangunan Nasional yang memuat
25
sasaran-sasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, dan programprogram
pembangunan.
RPJMN
2004-2009
ditetapkan
berdasarkan
pertimbangan bahwa Presiden terpilih diangkat bulan Oktober 2004 dan ditindaklanjuti oleh Presiden terpilih dengan menyusun program 100 hari yang merupakan bagian dari Agenda Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Tabel 4 Kebijakan dan program ketersediaan pangan Indonesia tahun 2001-2010 Dokumen
RANPG 20012005
Renstra KP 20012004
RANPG 20062010
Renstra BKP 20052009
Kebijakan Pengembangan kelembagaan pangan dan gizi Peningkatan ketahanan pangan Penelitian dan pengembangan pangan dan gizi Pengembangan ketersediaan pangan
Pemberdayaan ketahanan masyarakat
Pemantapan ketahanan pangan
Mensinergikan upaya peningkatan kapasitas produksi pangan Meningkatkan koordinasi pengelolaan ketersediaan, cadangan, dan kerawanan pangan Meningkatkan koordinasi pencegahan penanggulangan rawan pangan
dan
Program Peningkatan kinerja kelembagaan distribusi, cadangan pangan, dan pemantauan situasi pangan Peningkatan kemampuan kelembagaan produksi pangan Pemantapan dan pengembangan kelembagaan koordinasi pangan dan gizi Peningkatan produksi dan ketersediaan aneka pangan Pengembangan agribisnis komoditas pangan Pengembangan agroindustri pendukung ketahanan pangan Pemberdayaan aparat dalam pengembangan ketersediaan pangan Pemantauan produksi ekspor/impor dan stok Pengembangan model kelembagaan cadangan pangan Koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program, serta peningkatan produksi pangan Pengkajian dan koordinasi penanggulangan kerawanan pangan kronis dan transient Penumbuhan pola kemitraan dalam ketahanan pangan Penyebarluasan data dan informasi produksi pangan, penganekaragaman dan konsumsi pangan Menjamin ketersediaan pangan, terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan ragam yang memadai Mengembangkan kapasitas cadangan pangan pemerintah dan masyarakat serta kemampuan pengelolaannya Penyediaan lahan abadi untuk produksi yang dapat mencukupi kebutuhan pangan pokok Mendorong diversifikasi pola konsumsi pangan berbasis pangan lokal
Mensinergikan upaya peningkatan kapasitas produksi pangan Meningkatkan koordinasi pengelolaan ketersediaan, cadangan dan kerawanan pangan Mendorong pengembangan teknologi pengolahan, terutama pangan lokal non beras guna meningkatkan nilai tambah dan nilai sosial Meningkatkan koordinasi pencegahan dan penanggulangan rawan pangan
26
Lanjutan Tabel 4 Kebijakan dan program ketersediaan pangan Indonesia tahun 2001-2010 Dokumen
KUKP 20062009
Kebijakan Menjamin ketersediaan pangan
Program Pencapaian swasembada 5 komoditas strategis (padi, jagung, kedelai, tebu, daging sapi) Peningkatan produksi dan produktivitas Pengembangan cadangan pangan pemerintah (nasional, daerah, dan desa) Pengembangan lumbung pangan masyarakat Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dengan gizi seimbang Pengembangan teknologi pangan Diversifikasi usahatani dan pengembangan pangan lokal Diversifikasi pangan, melalui peningkatan ketersediaan pangan hewani, buah, dan sayuran, perekayasaan sosial terhadap pola konsumsi masyarakat menuju pola dengan mutu yang semakin meningkat, dan peningkatan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif / pangan lokal Pengamanan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, antara lain melalui pengamanan lahan sawah di daerah irigasi, peningkatan mutu intensifikasi, serta optimalisasi dan perluasan areal pertanian
Mengembangkan cadangan pangan
Melakukan diversifikasi pangan
Peningkatan ketahanan pangan
RPJMN 20042009
Pengembangan agribisnis
Pengembangan sumberdaya perikanan
Agenda
pembangunan
Pencegahan penanggulangan masalah pangan, melalui peningkatan bantuan pangan kepada keluarga miskin/rawan pangan, peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan, dan pengembangan sistem antisipasi dini terhadap kerawanan pangan Peningkatan nilai tamabah produk pertanian dan perikanan melalui peningkatan penanganan pasca panen, mutu, pengolahan hasil dan pemasaran serta pengembangan agroindustri di perdesaan
nasional
tahun
2004-2009
antara
lain,
menciptakan Indonesia yang aman dan damai; mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis; serta meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Salah satu kebijakan yang terkait dengan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia yakni, kebijakan bidang revitalisasi pertanian yang diarahkan untuk mendorong
pengamanan
ketahanan
pangan,
peningkatan
daya
saing,
diversifikasi, peningkatan produktivitas dan nilai tambah produk pertanian, peternakan,
perkebunan,
perikanan,
dan
kehutanan
untuk
peningkatan
kesejahteraan petani dan nelayan. Kebijakan nasional lainnya adalah KUKP 2006-2009 memuat butir-butir kebijakan umum ketahanan pangan yang terdiri dari 14 elemen penting yang diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta, dan elemen masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, tingkat wilayah, dan tingkat nasional. Repelita III, Repelita IV, Repelita V, Repelita VI, RANPG, Renstra BKP, dan KUKP, serta RPJMN merupakan bahan acuan untuk menganalisa arah
27
kebijakan ketersediaan pangan di Indonesia, melalui penggunaan analisis isi guna memilih indikator-indikator apa saja yang akan dijadikan arah kebijakan berdasarkan bahan acuan yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, penelitian ini akan menguraikan perbedaan atau perbandingan hasil analisis isi terhadap keseluruhan bahan acuan tersebut. Hasil analisis isi terhadap Repelita III terpilih dua kebijakan dari empat kebijakan yang tersusun dalam bidang Pangan dan Perbaikan Gizi. Kebijakan tersebut yaitu, peningkatan produksi pangan dan penganekaragaman pangan. Bentuk perwujudan dari kebijakan terpilih ini yakni, secara berkala akan ditentukan harga dasar untuk bahan-bahan pangan yang terpenting, membantu dan mendorong pemasaran dan pengolahan bahan-bahan pangan, serta meningkatkan daya guna dan hasil guna sistem pemasaran pangan. Analisis isi terhadap Repelita IV terpilih empat kebijakan dari enam kebijakan yang terdapat dalam Repelita IV bidang Pangan dan Perbaikan Gizi. Empat kebijakan tersebut antara lain: 1) pencapaian sasaran memantapkan swasembada
pangan;
2)
penganekaragaman
pola
konsumsi
pangan,
peningkatan produksi, dan pengadaan bahan pangan bukan beras akan terus ditingkatkan; 3) penganekaragaman pangan dan teknologi industri pangan, baik yang bersifat teknis maupun fisik; serta 4) pemerataan persediaan/cadangan pangan. Tabel 5 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Repelita IIIRepelita IV Dokumen Arah kebijakan Repelita III Mengusahakan (1979-1983) penganekaragaman pola konsumsi pangan rakyat dan mengurangi ketergantungan pada beras Mengusahakan agar persediaan dan konsumsi bahan makanan dalam masyarakat terus meningkat dan semakin beraneka ragam Repelita IV Menuju tercapainya penyediaan (1984-1988) pangan yang memadai, merata dan sesuai dengan kebutuhan gizi penduduk serta terjangkau oleh daya beli rakyat Meningkatkan keanekaragaman pola konsumsi pangan dengan mengurangi ketergantungan pada beras dan meningkatkan mutu gizinya Meningkatkan kewaspadaan/keamanan pangan secara efisien dan pemerataan persediaan
Kebijakan dan program Secara berkala akan ditentukan harga dasar untuk bahanbahan pangan yang terpenting Membantu dan mendorong pemasaran dan pengolahan bahan-bahan pangan Meningkatkan daya guna dan hasil guna sistem pemasaran pangan
Pencapaian Tingkat konsumsi beras rata-rata beras per jiwa 126,7kg
Pencapaian sasaran memantapkan swasembada pangan Pemerataan persediaan/cadangan pangan
Tingkat konsumsi beras rata-rata per jiwa 133,6kg
Penganekaragaman pola konsumsi pangan, peningkatan produksi dan pengadaan bahan pangan bukan beras akan terus ditingkatkan Penganekaragaman pangan dan teknologi industri pangan, baik yang bersifat teknis maupun fisik
Tingkat konsumsi kalori&protein ratarata melampaui jumlah kebutuhan
28
Berdasarkan tabel di atas, kebijakan dan program ketahanan pangan, subsistem ketersediaan pangan, kebijakan pangan pada masa Repelita IIIRepelita IV hanya untuk meningkatkan produksi padi saja tanpa memperhatikan siapa dan golongan mana yang memanfaatkan program tersebut. Selain itu, produksi padi terus meningkat sedangkan pembagian hasil akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar. Pada periode ini, Indonesia mendapatkan penghargaan FAO atas tercapainya swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Sedangkan analisis isi terhadap Repelita V, terdapat empat kebijakan namun
hanya
dua
kebijakan
yang
terpilih
yakni,
peningkatan
dan
penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan, serta peningkatan pemerataan penyediaan pangan. Repelita VI terdapat tujuh kebijakan, hasil analisis isi terpilih dua kebijakan yaitu, peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan kelembagaan. Tabel 6 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Repelita V-Repelita VI Dokumen Repelita V (1989-1993)
Repelita VI (1994-1998)
Arah kebijakan Memantapkan swasembada pangan yang telah dicapai dalam Repelita IV Meningkatkan upaya penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan Terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang antara lain tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dan terjangkaunya harga pangan oleh masyarakat Mantapnya kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan
Kebijakan dan program Pencapaian Peningkatan dan Tingkat Penganekaragaman konsumsi beras penyediaan dan rata-rata per jiwa konsumsi pangan 154kg Peningkatan pemerataan penyediaan angan Menjaga stabilisasi harga pangan Peningkatan Ketahanan Kestabilan harga Pangan pangan tercapai Diversifikasi Konsumsi Pangan dan Peningkatan Keamanan Pangan Pengembangan Kelembagaan Program pokok : pemantapan swasembada pangan dan diversifikasi pangan
Sedangkan pada masa Repelita V-Repelita VI harga beras relatif cukup stabil walaupun canderung meningkat sebagai penyesuaian dengan laju inflasi,
29
namun keberhasilan upaya ini memerlukan ongkos yang besar dan terus meningkat sepanjang tahun. Pada periode ini berbagai instrumen kebijakan digunakan untuk mengamankan harga beras, dimana manajemen stok merupakan instrumen inti dari kebijakan stabilisasi harga beras tersebut. Pada tahun 1997 terjadi perubahan fungsi Bulog hanya untuk mengontrol harga beras dan gula pasir, serta pada tahun berikutnya (1998) terjadi penyempitan peran Bulog yang berfungsi sebagai pengontrol harga beras saja. Hasil analisis isi terhadap RPJMN 2004-2009, diketahui bahwa indikatorindikator ketersediaan pangan yang terpilih, meliputi: 1) peningkatan ketahanan pangan yang diwujudkan salah satunya dalam bentuk diversifikasi pangan melalui peningkatan ketersediaan pangan hewani, buah, dan sayuran, serta perekayasaan sosial terhadap pola konsumsi masyarakat; 2) pengembangan agribisnis, bentuk perwujudan kebijakan ini yakni pengamanan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri melalui pengamanan lahan sawah, peningkatan mutu intensifikasi, serta optimalisasi areal pertanian; dan 3) pengembangan sumberdaya perikanan dengan bentuk kebijakannya adalah pencegahan penanggulangan ketersediaan masalah pangan dan peningkatan nilai tambah produk pertanian dan perikanan. Tabel 7 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Propenas-RPJMN Kebijakan dan program Sebelum Mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan Penyediaan Desentralisasi landasan pembangunan yang lebih kukuh bagi kebutuhan (1998/1999) pembangunan ekonomi berkelanjutan pokok untuk keluarga miskin Dokumen
Arah kebijakan
Setelah Peningkatan mutu sumber daya manusia dan Desentralisasi lingkungan dengan pendekatan paradigma sehat, (1999/2000) peningkatan mutu lembaga dan pelayanan kesehatan, (2000/2004) pengembangan sistem jaminan sosial tenaga kerja, pengembangan ketahanan sosial, peningkatan (Propenas apresiasi terhadap penduduk lanjut usia dan veteran, 1999-2004) peningkatan kepedulian terhadap penyandang masalah sosial, peningkatan kualitas penduduk, pemberantasan perdagangan dan penyalahgunaan narkotik dan obat terlarang, dan peningkatan aksesibilitas fisik dan nonfisik bagi penyandang cacat RPJMN 2004- Mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri 2009 dengan ketersediaan minimal 90% dari kebutuhan domestik, agar kemandirian pangan nasional dapat diamankan Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri. Kebijakan pengembangan peternakan diarahkan untuk meningkatkan populasi hewan dan produksi pangan hewani dari produksi dalam negeri agar ketersediaan dan keamanan pangan hewani dapat lebih terjamin untuk mendukung peningkatan kualitas SDM Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras dengan melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerjasama dengan industri pangan, untuk meningkatkan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif
Pencapaian Konsumsi pangan sumber protein (daging, telur, susu, ikan) meningkat
Peningkatan ketahanan pangan Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan
Konsumsi beras menurun sekitar 6% sedangkan konsumsi jagung dan ubi kayu sedikit meningkat
Program peningkatan ketahanan pangan Program pengembangan agribisnis Program peningkatan kesejahteraan petani Program peningkatan sumberdaya perikanan
Masyarakat mengurangi jenis pangan yang harganya mahal dan mensubsidinya dengan jenis pangan yang relatif murah Konsumsi beras sebagian digantikan dengan umbi-umbian dan jagung
30
Perubahan yang signifikan pada periode ini antara lain, pemerintahan lebih membuka akses ekonomi Indonesia terhadap pasar global, termasuk untuk beras,
serta
perubahan
paradigma
pembangunan
dari
sentralisasi
ke
desentralisasi dan otonomi daerah. Pada periode sebelum desentralisasi (1998/1999) terjadi penghilangan unsur-unsur penopang kebijakan ekonomi beras, serta penugasan kepada Bulog untuk memanajemen logistik beras (penyediaan, distribusi, dan kontrol harga). Sedangkan pada periode setelah desentralisasi (1999-2004), terjadi implementasi otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi yang sejalan dengan paradigma pembangunan ketahanan pangan yang lebih terarah pada tingkat rumah tangga serta tahun 2005 terjadi “revitalisasi pertanian” sebagai komitmen untuk peningkatan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung, serta palawija. Hasil analisis isi terhadap Renstra BKP 2001-2004, terdapat dua kebijakan terpilih untuk mengetahui arah pembangunan ketersediaan pangan. Kebijakan yang dimaksud yakni: 1) pengembangan ketersediaan pangan; dan 2) pemberdayaan ketahanan masyarakat. Sedangkan hasil analisis isi terhadap Renstra BKP 2005-2009 terdapat tiga kebijakan terpilih yakni, mensinergikan upaya peningkatan kapasitas produksi pangan, meningkatkan koordinasi pengelolaan
ketersediaan,
cadangan
dan
kerawanan
pangan,
serta
meningkatkan koordinasi pencegahan dan penanggulangan rawan pangan. Selain itu, dilihat dari acuan terhadap KUKP Nasional 2006-2009, hasil analisis isi diperoleh gambaran bahwa untuk menjamin ketersediaan pangan di Indonesia, kebijakan yang dipilih, meliputi: 1) kebijakan menjamin ketersediaan pangan; 2) kebijakan mengembangkan cadangan pangan; dan 3) kebijakan melakukan diversivikasi pangan. Terkait analisis isi terhadap berbagai bahan acuan seperti tersebut di atas, pelaksanaan kebijakan ketersediaan pangan di Indonesia dibutuhkan partisipasi
semua
instansi
terkait,
termasuk
instansi
yang
mendukung
pembangunan ketersediaan pangan sebagai bagian dari pembangunan ketahanan pangan serta sebagai pelaksana dari kebijakan tersebut. Pada dasarnya kelembagaan ketahanan pangan nasional ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan. Tugas dari DKP antara lain, merumuskan kebijakan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional dan melaksanakan evaluasi
31
dan pengendalian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. DKP Nasional terdiri atas: Ketua (Presiden RI), Ketua Harian (Menteri Pertanian), Sekertaris merangkap anggota (Kepala Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian), dan anggota yang terdiri dari 16 Menteri Kabinet serta 2 Kepala Lembaga Pemerintahan non Departemen. Terbentuknya
kelembagaan
ketahanan
pangan
diharapkan
dapat
memberikan kontribusi bagi perbaikan sistem ketahanan pangan, terutama dalam hal ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan bagi masyarakat sehingga dapat memenuhi pangan dalam negeri tanpa tergantung pada ketersediaan pangan dari luar negeri (impor). Adanya BKP Nasional, maka dalam pelaksanaan tugasnya dibutuhkan komitmen dan sinergi masing-masing instansi terkait guna mendukung terselenggaranya pembangunan ketahanan pangan,
khususnya
ketersediaan
pangan,
ditingkat
nasional,
provinsi,
kabupaten/kota, rumah tangga, dan individu. Ketersediaan Energi dan Protein di Indonesia a. Perkembangan rata-rata ketersediaan energi dan protein per kapita per hari Ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah dan jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau yang telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Salah satu aspek penting dalam mewujudkan ketahanan pangan adalah terpenuhinya ketersediaan pangan yang cukup sepanjang waktu dan aspek ini juga sangat strategis dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Dilihat dari ketersediaan pangan selama tahun 1981 hingga tahun 2010, terjadi peningkatan ketersediaan energi dan protein per kapita per hari dari tahun ke tahun dalam kurun waktu tersebut. Perkembangan
ketersediaan
pangan
penduduk
Indonesia
secara
keseluruhan masih berada di atas anjuran energi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun 2004 yakni sebesar 2200 kkal/kap/hari. Gambaran ketersediaan energi pangan per kapita per hari yang tersedia untuk dikonsumsi selama kurang lebih tiga puluh tahun terakhir, dapat dilihat pada Gambar 2.
32
4000
kkal/kap/hari
3500 3000 2500
2410 2438 2565 2516 2519 2660 2580 2712 2781 2752 2968 2899 2879 3098 3193 2898 3021 3194 3103 2991 3061 3082 3005 2912 2989 3358 3378 3508 3805
4500
2000 1500 1000 500 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0
Sumber: Neraca Bahan Makanan, Diolah oleh BKP
Gambar 2 Perkembangan ketersediaan energi per kapita per hari Berdasarkan hasil analisis NBM tahun 1981-2010, ketersediaan energi pangan per kapita per hari rata-rata kuantitasnya relatif lebih dari cukup, yakni mencapai 2926 kkal/kap/hari dibandingkan rekomendasi angka kecukupan pangan menurut hasil WKNPG VIII tahun 2004 yakni untuk energi sebesar 2200 kkal/kap/hari. Selama rentang waktu 1981-2010, ketersediaan energi meningkat setiap tahunnya dari 2410 kkal/kap/hari pada tahun 1981 menjadi 3805 kkal/kap/hari pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan energi sebesar 1,7% per tahun. Selama tahun 1981-2010, nilai tertinggi ketersediaan energi diperkirakan terjadi pada tahun 2010 yakni 3805 kkal/kap/hari. Namun, ketersediaan energi meningkat pada tahun 1993-1996 yakni pada tahun 1993 sebesar 2899 kkal menjadi 3193 kkal pada tahun 1996. Setelah terjadi bencana kekeringan yang disusul krisis moneter maka ketersediaan energi tersebut mengalami penurunan drastis pada tahun 1997 menjadi 2898 kkal/kap/hari. Pada periode tahun 2005-2010 terjadi peningkatan ketersediaan energi hingga mencapai nilai tertinggi yakni 3805 kkal/kap/hari pada tahun 2010. Nilai tersebut telah mencapai kurang lebih 180% di atas Angka Ketersediaan Energi (AKE) menurut rekomendasi WKNPG VIII tahun 2004. Selain ketersediaan energi, ketersediaan protein juga mengalami peningkatan selama tiga puluh tahun terakhir. Gambaran ketersediaan protein pangan per kapita per hari yang tersedia untuk dikonsumsi selama kurang lebih tiga puluh tahun terakhir, dapat dilihat pada Gambar 3.
83,4 81,7
100,0
80,0
gram/kap/hari
70,0 60,0 50,0
62,4 45,6 53,0 52,8 52,7 58,2 55,3 60,0 61,8 61,3 67,9 66,0 66,8 69,8 71,9 66,8 72,0
90,0
70,8 74,9 75,5 76,2 76,8 73,0 80,1 83,9 89,2 85,8
33
40,0 30,0 20,0 10,0 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0,0
Sumber: Neraca Bahan Makanan, Diolah oleh BKP
Gambar 3 Perkembangan ketersediaan protein per kapita per hari Berdasarkan gambar 3 di atas, ketersediaan protein pangan per kapita per hari selama tiga puluh tahun terakhir rata-rata kuantitasnya relatif lebih dari cukup, yakni mencapai 68,3 gram dibandingkan rekomendasi angka kecukupan pangan menurut hasil WKNPG VIII tahun 2004 yakni sebesar 57 gram. Ketersediaan protein secara kuantitas lebih dari cukup dibandingkan dengan ketersediaan protein nasional yaitu sebesar 57 gram atau mencapai 154% di atas Angka Ketersediaan Protein (AKP) pada tingkat ketersediaan. Selama kurang lebih tiga puluh tahun terakhir, ketersediaan protein meningkat dari 62,4 gram/kap/hari pada tahun 1981 menjadi 85,8 gram/kap/hari pada tahun 2010. Pada periode tersebut, rata-rata pertumbuhan protein 2,2% per tahun. Selama kurun waktu kurang lebih tiga puluh tahun, capaian tertinggi ketersediaan protein dicapai pada tahun 2009 (89,2 gram/kap/hari). Kecukupan energi dan protein yang terjadi di Indonesia, tidak menjamin kecukupan konsumsi energi maupun protein ditingkat rumah tangga ataupun ditingkat individu. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan WKNPG VIII tahun 2004 merupakan standar kebutuhan energi dan protein bagi setiap individu agar mampu menjalankan aktifitas sehari-hari. Seiring dengan fluktuasi ketersediaan pangan, ketersediaan energi dan protein selama tiga puluh tahun terakhir juga berfluktuasi, meski secara umum masih dapat memenuhi, bahkan melebihi angka kecukupan pangan yang dianjurkan. Laju pertumbuhan
34
ketersediaan energi dan protein berturut-turut pada periode 1981-1990 1,85% dan 0,71%, periode 1991-2000 1,23% dan 3,04%, serta periode 2001-2010 2,17% dan 0,70%. Laju pertumbuhan energi dan protein total berturut-turut sebesar 1,75% dan 1,48%. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Ketersediaan dan tingkat ketersediaan energi dan protein di Indonesia
Tahun
1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Keterse diaan (kkal/ kap/hr) 2410 2438 2565 2516 2519 2660 2580 2712 2781 2752 2968 2899 2879 3098 3193 2898 3021 3194 3103 2991 3061 3082 3005 2912 2989 3358 3378 3508 3805
Energi Tingkat Laju keterse pertum diaan buhan (%) * (%) 96.40 97.52 1.16 102.60 5.21 100.64 -1.91 100.76 0.12 106.40 5.60 103.20 -3.01 108.48 5.12 111.24 2.54 110.08 -1.04 118.72 7.85 115.96 -2.32 115.16 -0.69 123.92 7.61 127.72 3.07 115.92 -9.24 120.84 4.24 127.76 5.73 124.12 -2.85 119.64 -3.61 122.44 2.34 123.28 0.69 136.59 -2.50 132.36 -3.09 135.86 2.64 152.64 12.35 153.55 0.60 159.45 3.85 172.95 8.47
Laju pertumbuh an ratarata (%)
1,85
1,23
2,17
Keterse diaan (gr/kap/ hr) 62.38 45.61 52.99 52.79 52.72 58.22 55.26 59.95 61.76 61.25 67.88 66.00 66.76 69.81 71.89 66.75 72.03 83.35 81.68 70.83 74.94 75.52 76.22 76.79 72.99 80.08 83.91 89.15 85.76
Protein Tingkat Laju keterse pertum diaan buhan (%) (%) 109.44 80.02 -26.88 92.96 16.18 92.61 -0.38 92.49 -0.13 102.14 10.43 96.95 -5.08 105.18 8.49 108.35 3.02 107.46 -0.83 119.09 10.82 115.79 -2.77 117.12 1.15 122.47 4.57 126.12 2.98 117.11 -7.15 126.37 7.91 146.23 15.72 143.30 -2.00 124.26 -13.28 131.47 5.80 132.49 0.77 133.72 0.93 134.72 0.75 128.05 -4.95 140.49 9.71 147.21 4.78 156.40 6.24 150.46 -3.80
Laju pertumbuh an ratarata (%)
0,71
3,04
0,70
Sumber: Neraca Bahan Makanan, Diolah oleh BKP
Keterangan: tingkat ketersediaan energi sebelum tahun 2004 dibandingkan dengan AKE 2550 kkal dan setelah tahun 2004 dibandingkan dengan AKE 2200 kkal.
Kecukupan pangan di Indonesia tidak menjamin apakah ketersediaan pangan yang ada telah mencukupi kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi pangan tersebut. Karena porsi utama dari kebutuhan kalori harian berasal dari sumber pangan karbohidrat, yaitu sekitar setengah dari kebutuhan energi per orang per hari, maka yang digunakan dalam menganalisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang bersumber dari produksi pangna pokok serealia, yang digunakan untuk memenuhi tingkat kecukupan pangan.
35
Tabel 9 Kecukupan pangan beras, tepung terigu, jagung, dan gula untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di Indonesia pada tahun 2005-2010 Kons. Normatif (gr/kap/hr)
Ketersediaan (gr/kap/hr) Tahun 390.92 387.92 405.24 420.42 431.35 479.9
Tepung terigu 42.49 43.78 45.96 43.86 46.05 41.22
419.29
43.89
Beras 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Ratarata
Jagung
Gula
Serealia
107.58 2.36 7.21 3.76 2.9 4.07
42.34 36.08 64.72 38.29 44.93 55.66
300
21.31
47.00
-
Kecukupan (%)
30
0.77 0.77 0.74 0.71 0.70 0.63
Tepung terigu 7.06 6.85 6.53 6.84 6.51 7.28
-
0.72
6.85
Gula
Beras
Jagung
Gula
2.79 127.12 41.61 79.79 103.45 73.71
0.71 0.83 0.46 0.78 0.67 0.54
71.41
0.67
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa ketersediaan beras dan gula di Indonesia telah melebihi jumlah pangan yang harus dikonsumsi oleh seseorang setiap harinya untuk memperoleh kilo kalori energi dari serealia (konsumsi normatif). Sedangkan tepung terigu dan jagung, belum mencukupi kebutuhan konsumsi atau ketersediaan kurang dari konsumsi normatif. Kecukupan beras dan gula kurang dari 1, maka ini menunjukkan kondisi surplus pangan (beras dan gula) di Indonesia. Sedangkan tepung terigu dan jagung, kecukupannya lebih dari 1, maka tepung terigu dan jagung mengalami defisit pangan di Indonesia. Tabel 10 Kecukupan pangan ubi kayu, daging sapi dan kedelai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di Indonesia pada tahun 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Ratarata
Ketersediaan (gr/kap/hr) Ubi Daging Kedelai kayu sapi 137.22 2.78 21.2 178.97 3.06 19.5 48.64 2.8 19.41 66.8 3.2 20.72 69.3 3.52 24.25 22.52 3.97 16.39 87.24
3.22
20.25
Kons. Normatif (gr/kap/hr) Ubi Daging Kedelai kayu sapi
100
150
35
-
-
-
Ubi kayu 0.73 0.56 2.06 1.50 1.44 4.44 1.79
Kecukupan (%) Daging Kedelai sapi 53.96 1.65 49.02 1.79 53.57 1.80 46.88 1.69 42.61 1.44 37.78 2.14 47.30
1.75
Daging sapi dan kedelai di Indonesia, nilai kecukupannya lebih dari 1, sehingga kebutuhan konsumsi normatif daging sapi dan kedelai tidak bisa dipenuhi dari produksi bersih seralia yang tersedia di Indonesia. Sedangkan ubi kayu pada tahun 2005-2006, nilai kecukupannya kurang dari 1, maka pada tahun tersebut Indonesia surplus ubi kayu. Namun tahun berikutnya, 2007-2010, nilai kecukupan ubi kayu lebih dari 1, maka pada tahun tersebut Indonesia mengalami defisit ubi kayu atau kebutuhan konsumsi normatif ubi kayu tidak bisa dipenuhi dari produksi bersih serealia yang tersedia di Indonesia.
36
b. Ketersediaan pangan strategis di Indonesia Ketersediaan pangan yang bervariasi merupakan salah satu dasar dalam pemenuhan zat gizi bagi masyarakat. Semakin tinggi variasi jenis pangan yang tersedia di suatu wilayah, kemungkinan terpenuhinya zat gizi masyarakat akan semakin besar (Akmal 2003). Jumlah
penduduk
Indonesia
yang
setiap
tahunnya
mengalami
peningkatan dengan pertumbuhan penduduk pada tahun 1981-1990 yakni sebesar 1,98% dan 1,35% tahun 1990-2010, membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup besar. Selama tiga puluh tahun terakhir, perkembangan produksi beberapa pangan strategis, seperti beras, tepung terigu, ubi kayu, jagung, gula, kedelai, dan daging sapi di Indonesia berfluktuatif setiap tahunnya. Akibatnya, impor pangan cenderung meningkat setiap tahunnya. Selain itu, perkembangan ekspor komoditas pangan strategis menunjukkan adanya fluktuasi jumlah pada setiap tahunnya dalam periode tahun tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa belum cukupnya ketersediaan pangan dalam negeri. Ketersediaan pangan nasional per kapita per tahun dalam kurun waktu 1995-1998 cenderung menurun untuk komoditas beras, kedelai, daging, telur, dan susu. Sebaliknya ketersediaan jagung, ubi kayu, dan ikan relatif tetap. Begitu juga dengan produksi pangan hewani hasil ternak (daging ternak dan unggas, telur, susu) menunjukkan kecenderungan menurun pada kurun waktu tersebut. Menurunnya produksi daging, telur, dan susu disebabkan oleh meningkatnya harga pakan dan obat-obatan akibat krisis moneter, yang mengakibatkan bangkrutnya usaha peternakan kecil dan menengah (Bappenas 2000). Ketersediaan pangan dilihat dari sisi produksi untuk beberapa komoditas tertentu (pangan strategis) terjadi fluktuasi produksi dari musim ke musim dan permintaan akan bahan pangan dari tahun ke tahun selalu meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Sementara penyediaan pangan yang memadai, banyak menghadapi kendala, karena kemampuan produksi pangan yang semakin terbatas. Hal ini antara lain disebabkan oleh berlanjutnya konversi lahan pertanian kepada kegiatan-kegiatan non pertanian, ekosistem lahan pertanian yang terus mengalami degradasi kualitas dan kesuburan, serta semakin langkanya ketersediaan sumberdaya air untuk pertanian karena aktifitas ekonomi lainnya serta fenomena iklim yang semakin tidak menentu (Suryana 2001).
37
Ketersediaan pangan dari sisi impor mempunyai resiko yang sangat besar karena disamping makin terbatasnya devisa yang dimiliki juga adanya ketidakpastian dari segi jumlah dan harga di pasar internasional. Berdasarkan perkembangan produksi, impor, dan ekspor komoditas pangan strategis, maka dapat diperkirakan kemampuan cadangan pangan dan ketersediaan pangan yang implikasinya berpengaruh terhadap ketahanan pangan hingga ketersediaan pangan nasional dan wilayah. Peningkatan produksi beras jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan kebutuhan relatif kecil, hal ini disebabkan terbatasnya penerapan teknologi dan penurunan kapasitas produksi. Sedangkan permintaan jagung akan semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya industri pakan dan industri pangan olahan berbahan baku jagung, sehingga masih memerlukan impor jagung setiap tahunnya walaupun produksi jagung terus meningkat setiap tahunnya. Berbeda halnya dengan kedelai, kurang lebih dua puluh tahun terakhir produksi kedelai terus menurun, tetapi dua tahun terakhir meningkat perlahan yang dikarenakan menurunnya luas areal pertanaman kedelai. Selama periode 1981-2010, produksi beberapa bahan pangan strategis meningkat, seperti beras, tepung terigu, ubi kayu, jagung, gula, kedelai, dan daging sapi. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 mengenai perkembangan produksi beberapa pangan strategis di Indonesia.
beras (10ribu ton)
terigu (ribu ton)
jagung (10ribu ton)
ubi kayu (10ribu ton)
gula (ribu ton)
kedelai (ribu ton)
daging sapi (ribu ton)
Sumber: Neraca Bahan Makanan, Diolah oleh BKP
Gambar 4 Produksi beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
6000 5600 5200 4800 4400 4000 3600 3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 0
38
Laju peningkatan kebutuhan pangan, untuk komoditas pangan strategis, lebih cepat dari laju peningkatan produksi. Dengan demikian, selama tiga puluh tahun terakhir, perkembangan produksi menunjukkan kinerja yang positif, meskipun beberapa komoditi memiliki rata-rata pertumbuhan relatif kecil serta rata-rata pertumbuhan negatif lainnya. Sampai dengan Pelita V, pertumbuhan produksi padi nasional rata-rata lima tahunan masih positif, tetapi setelah itu menjadi negatif. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Pelita III (7,7%/tahun). Pada periode ini rata-rata pertumbuhan produktivitas mencapai 6,6%/tahun. Ini terjadi akibat adanya terobosan yang sangat significant dalam bidang teknologi dan kelembagaan. Laju pertumbuhan produksi beberapa pangan strategis berfluktuasi seiring dengan penurunan dan peningkatan produksi pangan yang tersedia. Laju pertumbuhan produksi beras dan gandum berturut-turut pada periode tahun 1981-1990 yakni sebesar 4,2% dan 4,1%, periode tahun 1991-2000 sebesar 1,5% dan 8,1% serta periode tahun 2001-2010 laju pertumbuhan produksi beras dan gandum sebesar 2,6% dan 3,0%. Laju pertumbuhan produksi beras dan gandum total yakni sebesar 2,8% dan 5,1%. Sedangkan laju pertumbuhan produksi jagung pada periode tahun 1981-1990 sebesar 8,6%, periode 19912000 sebesar 4,7%, dan periode tahun 2001-2010 sebesar 6,7% dengan laju pertumbuhan produksi jagung total sebesar 6,6%. Laju pertumbuhan produksi gula dan kedelai berturut-turut pada periode tahun 1981-1990 yakni sebesar 7,3% dan 12,0%, periode tahun 1991-2000 sebesar 3,1% dan -2,9% serta periode tahun 2001-2010 laju pertumbuhan produksi gula dan kedelai sebesar 5,1% dan 0,3%. Laju pertumbuhan produksi gula dan kedelai total yakni sebesar 5,2% dan 3,1%. Sedangkan laju pertumbuhan produksi daging sapi dan ubi kayu pada periode tahun 1981-1990 berturut-turut sebesar 4,1% dan 2,5, periode 1991-2000 sebesar 3,1% dan 0,4%, dan periode tahun 2001-2010 sebesar 3,3% dan 3,7%. Laju pertumbuhan produksi daging sapi dan ubi kayu total sebesar 3,5% dan 2,2%. Peningkatan
produksi
pangan
juga
diiringi
dengan
peningkatan
ketersediaan pangan strategis. Gambaran ketersediaan pangan beberapa pangan strategis di Indonesia selama kurang lebih tiga puluh tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 11.
39
Tabel 11 Ketersediaan pangan (ribu ton) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia Jenis Pangan Beras Tepung terigu Ubi kayu Jagung 1981 19836 994 9686 3638 1982 21230 1091 1680 2630 1983 22707 1280 8978 4156 1984 22409 988 9695 4372 1985 23387 921 9660 3531 1986 24533 992 8573 4870 1987 24365 1167 8802 4205 1988 26075 1146 8044 5339 1990 26735 1344 7674 5287 1991 26379 1397 8858 5208 1992 27441 1798 10862 6297 1993 28175 1939 10733 5412 1994 28590 2400 9883 6321 1995 29369 2845 10341 6400 1996 31457 2933 12159 6901 1997 29817 2483 12033 7250 1998 29781 2226 11454 8401 1999 34156 2266 12521 8299 2000 30805 3034 12155 9615 2001 29045 2164 12490 7841 2002 29665 3362 7466 7130 2003 30123 2801 14210 8065 2004 30268 3334 10918 8114 2005 31370 3410 11010 8633 2006 31538 3559 14551 4493 2007 33374 3775 4007 9603 2008 35061 3658 5572 11461 2009 36382 3887 5853 12698 2010 38233 3307 6566 13561 Sumber: Neraca Bahan Makanan, Diolah oleh BKP Tahun
Gula 1790 2314 1232 1522 1854 1942 2087 1952 2386 2530 2411 2171 1099 2848 3126 3114 2165 3432 2300 3106 2435 2214 2594 3398 2932 5329 3195 3785 4468
Kedelai 633 470 696 1041 1052 1466 1305 1646 1910 1995 2322 2206 2131 2138 2182 1795 1283 2401 2141 1201 1833 1675 1641 1704 1585 1599 1729 2046 1316
Daging sapi 151 119 120 128 244 141 144 146 161 165 186 214 209 197 226 237 217 199 232 221 199 221 266 223 248 231 267 298 319
Peningkatan ketersediaan pangan juga diiringi oleh peningkatan ketersediaan energi dan protein per kapita. Gambaran ketersediaan pangan beberapa jenis pangan strategis untuk dikonsumsi penduduk Indonesia selama kurang lebih tiga puluh tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Ketersediaan untuk konsumsi (kg/kap/th) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Beras 132.52 138.77 145.21 140.20 143.16 147.36 143.17 150.03 150.05 145.53 148.58 150.20 149.94 151.79 159.84 149.21 146.80 165.88 149.65
Tepung terigu 6.64 7.13 8.19 6.18 5.64 5.96 6.86 6.59 7.54 7.71 9.75 10.34 12.58 14.70 14.90 12.43 10.97 11.01 14.74
Jenis Pangan Ubi kayu Jagung 64.67 24.30 64.40 17.19 57.41 26.58 60.66 27.35 59.13 21.61 51.49 29.25 51.72 24.71 46.28 30.72 43.07 29.68 48.87 28.73 58.87 34.13 57.21 28.85 51.83 33.15 53.45 33.08 61.78 35.06 60.21 36.28 56.46 41.41 60.81 40.31 59.05 46.71
Gula 11.96 15.13 7.88 9.52 11.35 11.66 12.26 11.23 13.39 13.96 13.07 11.57 14.29 14.72 15.88 15.58 10.67 16.67 11.17
Kedelai 4.23 3.07 2.92 6.51 6.44 8.80 7.67 9.47 10.72 11.01 12.59 11.76 11.18 11.05 11.09 8.98 6.32 11.66 10.40
Daging sapi 1.01 0.78 0.77 0.80 1.49 0.85 0.85 0.84 0.90 0.91 1.01 1.14 1.10 1.02 1.15 1.19 1.07 0.97 1.13
40
Lanjutan Tabel 12 Ketersediaan untuk konsumsi (kg/kap/th) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Beras 139.35 140.55 140.95 139.88 142.69 141.59 147.91 153.42 157.25 160.94
Tepung terigu 10.38 15.93 13.11 15.41 15.51 15.98 16.73 16.01 16.80 13.92
Jenis Pangan Ubi kayu Jagung 59.92 37.62 35.37 33.78 66.49 37.74 50.46 37.50 50.08 39.27 65.32 20.17 17.76 42.56 24.38 50.15 25.30 54.88 27.64 57.09
Gula 14.90 11.54 10.36 11.99 15.46 13.16 23.62 13.98 16.36 18.81
Kedelai 5.76 8.68 7.84 7.58 7.75 7.11 7.09 7.56 8.84 5.54
Daging sapi 1.06 0.94 1.03 1.23 1.01 1.11 1.02 1.17 1.29 1.34
Sumber: Neraca Bahan Makanan, Diolah oleh BKP
Sejalan dengan penurunan produksi beberapa pangan strategis seperti pada tabel di atas, impor pangan strategis juga cenderung bertahan bahkan meningkat walau terkadang mengalami penurunan selama kurun waktu 19812010. Situasi ketergantungan impor saat ini dalam jangka panjang akan meningkatkan kerentanan pada masalah pangan dan gizi. Khusus untuk beras, menurunnya rasio ketergantungan impor antara lain menunjukkan efektivitas instrumen
kebijakan
perberasan
nasional
mulai
tahun
2000,
terutama
menyangkut kebijakan perlindungan petani dalam negeri dari dampak negatif perdagangan bebas beras di pasar internasional. Pekembangan impor beberapa jenis pangan strategis dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Perkembangan impor (ribu ton) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Beras 525 311 1172 414 34 28 55 33 48 171 606 24 625 1807 2150 345 2895 4742 1354 637 1786 1425 236 189 438 1405 286 245 200
Laju (%) -40.8 276.8 -64.7 -91.8 -17.6 96.4 -40.0 45.5 256.3 254.4 -96.0 2504.2 189.1 19.0 -84.0 739.1 63.8 -71.4 -53.0 180.4 -20.2 -83.4 -19.9 131.7 220.8 -79.6 -14.3 -18.4
Gandum 1417 1485 1737 1436 1317 1610 1688 1588 1724 2222 2456 2526 3295 4054 4116 3612 3444 2713 3589 2718 4257 3514 4545 4429 4483 4617 4498 4656 3866
Laju (%) 4.8 17.0 -17 -8.3 22.2 4.8 -5.9 8.6 28.9 10.5 2.9 30.4 23.0 1.5 -12 -4.7 -21 32.3 -24 56.6 -18 29.3 -2.6 1.2 3.0 -2.6 3.5 -17
Jagung 2 76 28 60 50 58 221 63 9 323 0 494 1188 969 617 1098 313 618 1265 1036 1154 1345 1089 186 1779 771 404 419 1131
Jenis Pangan Laju Gula (%) 718 3700.0 687 -63.2 164 114.3 -16.7 16.0 162 281.0 129 -71.5 128 -85.7 281 3488.9 309 -100.0 294 0.0 168 140.5 0 -18.4 222 -36.3 1036 78.0 973 -71.5 973 97.4 1998 104.7 1399 -18.1 1130 11.4 794 16.6 681 -19.0 559 -82.9 1256 856.5 918 -56.7 2943 -47.6 1015 3.7 1376 169.9 1235
Sumber: Neraca Bahan Makanan, Diolah oleh BKP
Laju (%) -4.3 -76.1 -100 0.0 0.0 -20.4 -0.8 119.5 10.0 -4.9 -42.9 -100 0.0 366.7 -6.1 0.0 105.3 -30.0 -19.2 -29.7 -14.2 -17.9 124.7 -26.9 220.6 -65.5 35.6 -10.2
Kedelai 1 1 222 401 302 359 287 466 541 673 694 724 800 607 746 343 343 1302 1278 1136 1365 1192 1116 1086 1132 1419 1180 1321 614
Laju (%) 0.0 22100.0 80.6 -24.7 18.9 -20.1 62.4 16.1 24.4 3.1 4.3 10.5 -24.1 22.9 -54.0 0.0 279.6 -1.8 -11.1 20.2 -12.7 -6.4 -2.7 4.2 25.4 -16.8 11.9 -53.5
Daging sapi 3 3 2 2 2 2 2 4 6 3 3 5 7 16 9 9 11 27 17 12 11 12 20 24 39 46 68 75
Laju (%) 0.0 0.0 -33.3 0.0 0.0 0.0 0.0 100.0 50.0 -50.0 0.0 66.7 40.0 128.6 -43.8 0.0 22.2 145.5 -37.0 -29.4 -8.3 9.1 66.7 20.0 62.5 17.9 47.8 10.3
41
Impor kedelai terus meningkat setiap tahunnya dalam tiga dekade terakhir, sehingga perlu dilakukan peningkatan mutu kedelai nasional dan peningkatan produktivitas kedelai dalam negeri. Sama halnya dengan kedelai, gula juga mengalami peningkatan impor setiap tahunnya yang menyebabkan produksi gula nasional mengalami penurunan dan melemahnya daya saing gula nasional dengan gula impor. Kecenderungan impor daging sapi dan sapi hidup terus meningkat setiap tahunnya dalam tiga dekade terakhir. Hal ini disebabkan laju pertumbuhan produksi lebih lambat dari laju kebutuhannya, juga adanya tekanan daging impor dengan harga dan kualitas yang lebih baik. Sehingga diperlukannya penyediaan bibit berkualitas dan pengembangan teknologi budidaya spesifik lokasi. Laju pertumbuhan impor beberapa pangan strategis berfluktuasi seiring dengan penurunan dan peningkatan impor pangan yang tersedia. Laju pertumbuhan impor beras dan gandum berturut-turut pada periode tahun 19811990 yakni sebesar 20,5% dan 3,2%, periode tahun 1991-2000 sebesar 377,4% dan 9,1% serta periode tahun 2001-2010 laju pertumbuhan impor beras dan gandum sebesar 24,4% dan 3,0%. Laju pertumbuhan impor beras dan gandum total yakni sebesar 140,8% dan 5,1%. Sedangkan laju pertumbuhan impor jagung pada periode tahun 1981-1990 sebesar 484,3%, periode 1991-2000 sebesar 368,3%, dan periode tahun 2001-2010 sebesar 83,4% dengan laju pertumbuhan impor jagung total sebesar 312,0%. Laju pertumbuhan impor gula dan kedelai berturut-turut pada periode tahun 1981-1990 yakni sebesar -10,3% dan 2779,2%, periode tahun 1991-2000 sebesar 29,8% dan 26,5% serta periode tahun 2001-2010 laju pertumbuhan impor gula dan kedelai sebesar 19,7% dan -4,2%. Laju pertumbuhan impor gula dan kedelai total yakni sebesar 13,1% dan 933,8%. Sedangkan laju pertumbuhan impor daging sapi pada periode tahun 1981-1990 sebesar 8,3%, periode 1991-2000 sebesar 35,9%, dan periode tahun 2001-2010 sebesar 16,0% dengan laju pertumbuhan impor daging sapi total sebesar 20,1%. Selama kurun waktu 1990-2004, sekitar 42,4 persen atau 3099 juta hektar dari total sawah yang ada di Indonesia telah dikonversi menjadi perumahan dan lain-lain. Hingga kini Indonesia masih mengimpor 195.000240.000 ton beras per tahun, gandum 3,5-5 juta ton per tahun, kedelai 1,1 juta1,3 juta ton/tahun, dan jagung 1,8 juta ton/tahun. Diperlukan upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan luas areal tanam komoditas pangan melalui
42
perbaikan infrastruktur, sarana produksi, dan memantau pemasaran produk pertanian agar member keuntungan bagi petani. Cadangan pangan merupakan salah satu sumber penyediaan pangan selain produksi domestik dan pemasukan pangan (impor dan transfer). Fungsi dari cadangan pangan adalah untuk mengantisipasi masalah pangan yakni keadaan kelebihan pangan, kekurangan pangan, ketidakmampuan rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dan atau keadaan darurat (bencana alam, paceklik). Dengan fungsi seperti itu, cadangan pangan sudah barang tentu harus terukur dalam arti kuantitasnya harus diketahui secara pasti sehingga memudahkan untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaan program penanggulangan masalah pangan (Saliem et al. 2005). Pengadaan beras dalam negeri oleh pemerintah mempunyai fungsi ganda, yakni: 1) pengisian cadangan dengan membeli gabah dari petani untuk mencegah jatuhnya harga pada musim panen; 2) mengisi stok yang dapat digunakan untuk menanggulangi bencana alam; 3) penyaluran beras bersubsidi bagi orang miskin; serta 4) untuk operasi pasar guna menstabilkan harga di tingkat konsumen. Cadangan pangan merupakan salah satu komponen penting dalam ketersediaan pangan. Cadangan pangan terdiri atas cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah selama ini dikelola oleh Perum Bulog. Cadangan beras masyarakat terdiri dari: 1) stok beras di rumah tangga petani; 2) stok rumah tangga konsumen; 3) stok penggilingan; dan 4) stok beras dipedagang. Perkembangan cadangan beberapa jenis pangan strategis dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Perkembangan cadangan (ribu ton) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Beras
Laju (%)
550 -551 -162 1166 -29 -596 -15 -762 -450 -479 1188 -474 -1069 1311 244 -771
-200.2 -70.6 -819.8 -102.5 1955.2 -97.5 4980.0 -40.9 6.4 -348.0 -139.9 125.5 -222.6 -81.4 -416.0
Tepung terigu 5 -20 -61 2 -33 119 -24 -11 -26 35 -1 -11 7 21 -9 6
Laju (%) -500.0 205.0 -103.3 -1750.0 -460.6 -120.2 -54.2 136.4 -234.6 -102.9 1000.0 -163.6 200.0 -142.9 -166.7
Jenis Pangan Laju Jagung (%) -17 26 -252.9 29 11.5 -43 -248.3 1 -102.3 -10 -1100 -2 -80 -100 0 0 0 0 0 0 0 0
Gula
Laju (%)
Kedelai
192 560 35 -177 244 170 170 15 32 189 327 -550 3 188
-100 0 -93.8 -605.7 -237.9 -30.3 0 -91.2 113.3 490.6 73.0 -100 0 -100.5 6166.7
-9 -10 28 29 -16 28 -49 -43 56 7 -4 10 -42 -88 33
Laju (%) 0 11.1 -380 3.57 -155 -275 -275 -12.2 -230 -87.5 -157 -350 -520 109.5 -138
43
Lanjutan Tabel 14 Perkembangan cadangan (ribu ton) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Beras
Laju (%)
764 -876 -197 58 526 58 -179 -678 -135 615 -329 448 -592
-199.1 -214.7 -77.5 -129.4 806.9 -89.0 -408.6 278.8 -80.1 -555.6 -153.5 -236.2 -232.1
Tepung terigu 63 52 62 -
Laju (%) -100.0 0 0 0 0 -17.5 19.2 -100.0 0 0 0 0 0
Jenis Pangan Laju Jagung (%) 0 0 0 0 325 0 367 12.9 370 0.8 -100 0 0 0 0 0
Gula
Laju (%)
Kedelai
252 783 -258 44 44 -13 62 118 0 442 59 -595
34.0 -100 0 -133.0 -117.1 0 -129.5 -576.9 90.3 -100 0 -86.7 -1108.5
141 9 8 8 -
Laju (%) 327.3 -100 0 0 0 -11.1 0 -100 0 0 0 0 0
Sumber: Neraca Bahan Makanan, Diolah oleh BKP
Laju pertumbuhan cadangan beberapa pangan strategis berfluktuasi seiring dengan penurunan dan peningkatan cadangan pangan yang tersedia. Laju pertumbuhan cadangan beras dan tepung terigu berturut-turut pada periode tahun 1981-1990 yakni sebesar 700,5% dan -330,7%, periode tahun 1991-2000 sebesar -156,7% dan 28,9% serta periode tahun 2001-2010 laju pertumbuhan cadangan beras dan tepung terigu sebesar -79,9% dan -9,8%. Laju pertumbuhan cadangan beras dan tepung terigu total yakni sebesar 154,6% dan -103,9%. Sedangkan laju pertumbuhan cadangan jagung pada periode tahun 1981-1990 sebesar -234,0%, periode 1991-2000 sebesar 0%, dan periode tahun 2001-2010 sebesar -8,6% dengan laju pertumbuhan cadangan jagung total sebesar -80,9%. Laju pertumbuhan cadangan gula dan kedelai berturut-turut pada periode tahun 1981-1990 yakni sebesar -144,9% dan -135,3%, periode tahun 1991-2000 sebesar 657,7% dan -114,6% serta periode tahun 2001-2010 laju pertumbuhan cadangan gula dan kedelai sebesar -216,1% dan -11,1%. Laju pertumbuhan cadangan gula dan kedelai total yakni sebesar -216,1% dan -87,0%. Tabel 15 Perkembangan ekspor (ribu ton) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia Jenis Pangan Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1990 1991 1992 1993
Beras 392 206 50 2 1 42 351
Laju (%) 0 0 0 0 -47.5 -75.7 -100 0 -50 4100 735.7
Ubi kayu 1036 616 748 1121 1561 1218 -
Laju (%) -40.5 21.4 49.9 39.3 -22 -100 0 0 0 0 0
Jagung
Laju (%)
Gula
8 1 18 160 4 4 5 7 145 34 150 61
-87.5 1700 788.9 -97.5 0.0 25.0 640.0 291.9 -76.6 341.2 -59.3
1
Laju (%) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kedelai 4 -
Laju (%) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 -100
44
Lanjutan Tabel 15 Perkembangan ekspor (ribu ton) beberapa komoditas pangan strategis di Indonesia Jenis Pangan Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Ratarata
160 2 3 1 4 4 1 2 3 1 2 1 2 -
Laju (%) -54.4 -100 0 0 0 50 -66.7 300 0 -75 100 2050 -97.7 100 -50 100 -100
Ubi kayu -
43,8
222,1
217,2
Beras
Laju (%)
Jagung
Laju (%)
Gula
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
37 79 27 19 625 91 28 90 16 34 34 54 28 102 107 63 2
-39.3 113.5 -65.8 -29.6 3189.5 -85.4 -69.2 221.4 -82.2 112.5 0.0 58.8 -48.2 264.3 4.9 -41.1 -96.8
3 6 6 17 6 5 38 30 1 1 1 2 1 1
Laju (%) 200 -100 0 0 0 183.3 -64.7 -16.7 660 -21.1 -96.7 0 0 -100 0 -50 0
-2,17
71,1
256,3
4,1
19,81
1 1 1 1 2 1 1 -
Laju (%) 0 0 0 0 0 0 0 0 -100 0 0 0 -100 0 -50 0 -100
0,4
-15
Kedelai
Sumber: Neraca Bahan Makanan, Diolah oleh BKP
Indonesia tidak pernah melakukan ekspor tepung terigu dikarenakan tidak memproduksi tepung terigu bahkan mengimpor gandum. Hal yang sama juga terjadi pada daging sapi, Indonesia tidak pernah melakukan ekspor daging sapi, hal ini dikarenakan produksi daging sapi dalam negeri yang relatif tidak terlalu besar setiap tahunnya serta produksi dalam negeri yang baru dapat memenuhi sekitar 70% dari kebutuhan domestik (Balitbang 2005). Sedangkan untuk ubi kayu, pada tahun 1981-1986 Indonesia melakukan ekspor ubi kayu namun tahun berikutnya hingga tahun 2010, Indonesia tidak melakukan ekspor ubi kayu. Hal ini dikarenakan penurunan kapasitas produksi karena berkurangnya areal lahan pertanian (bercocok tanam), produktifitas pertanian yang relatif rendah, serta kegagalan produksi karena faktor iklim dan serangan hama. Laju pertumbuhan ekspor beberapa pangan strategis berfluktuasi seiring dengan penurunan dan peningkatan produksi pangan yang tersedia. Laju pertumbuhan ekspor beras dan jagung berturut-turut pada periode tahun 19811990 yakni sebesar -27,9% dan 407,6%, periode tahun 1991-2000 sebesar 461,5% dan 321,9% serta periode tahun 2001-2010 laju pertumbuhan ekspor beras dan jagung sebesar 232,7% dan 39,4%. Laju pertumbuhan ekspor beras dan jagun total yakni sebesar 222,1% dan 256,3%. Sedangkan laju pertumbuhan ekspor ubi kayu total sebesar -2,2% dan laju pertumbuhan ekspor gula dan kedelai total yakni sebesar 19,8% dan -15%.
45
Determinan dari pertumbuhan produksi adalah pertumbuhan luas panen dan pertumbuhan produktivitas.
Pertumbuhan luas panen berasal dari
pertambahan perluasan areal baru dan atau intensitas tanam, sedangkan pertumbuhan produktivitas ditentukan oleh aplikasi teknologi budi daya yang mencakup pilihan varietas yang dibudi dayakan, teknologi pemupukan, irigasi, pengendalian organisme pengganggu, penanganan panen, pasca-panen, dan lain sebagainya. Perkembangan luas panen (Ha), dan produktivitas (Ku/Ha) komoditas pertanian (beras/padi, jagung, kedelai, dan ubi kayu) dalam tiga dekade terakhir dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Perkembangan luas panen, dan produktivitas beras/padi, jagung, kedelai, dan ubi kayu di Indonesia Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Padi/beras Luas Produkti panen vitas (Ha) (Ku/Ha) 9381839 34.93 8988455 37.36 9162469 38.53 9763580 39.06 9902293 39.42 9988453 39.77 9922594 40.39 10140155 41.1 10502357 43.02 10281519 43.46 11103317 43.45 11012776 43.75 10733830 43.45 11438764 43.49 11569729 44.17 11140594 44.32 11730325 41.97 11963204 42.52 11793475 44.01 11499997 43.88 11521166 44.68 11488034 45.38 11922974 45.36 11839060 45.74 11786430 46.2 12147637 47.05 12327425 48.94 12883576 49.99 12147637 50.15
Jagung Luas Produkti panen vitas (Ha) (Ku/Ha) 2955039 15.26 2061299 15.69 3002227 16.94 3086246 17.13 2439966 17.74 3142759 18.84 2626033 19.63 3405751 19.53 3158092 21.32 2909100 21.5 3629346 22.03 2939534 21.98 3109398 22.09 3651838 22.58 3743573 24.86 3355224 26.14 3847813 26.43 3456357 26.63 3500318 27.65 3285866 28.45 3109448 30.83 3358511 32.41 3356914 33.44 3625987 34.54 3345805 34.7 3630324 36.6 4001724 40.78 4131676 44.36
Kedelai Luas Produkti panen vitas (Ha) (Ku/Ha) 809978 8.69 607788 8.58 639876 8.38 858854 8.96 896220 9.7 1253767 9.78 1100565 10.55 1177360 10.79 1334100 11.15 1368199 11.37 1665706 11.22 1470206 11.62 1406918 11.12 1477432 11.37 1279286 11.86 1119079 12.13 1095071 11.92 1151079 12.01 824484 12.34 678848 12.18 544522 12.36 526796 12.75 565155 12.8 621541 13.01 580534 12.88 459116 12.91 590956 13.13 660823 13.73
Ubi kayu Luas Produkti panen vitas (Ha) (Ku/Ha) 1387536 96 1323700 98 1220808 99 1350448 105 1291845 109 1169886 116 1222151 117 1302581 119 1311564 121 1319143 121 1351324 122 1401640 123 1356580 116 1324259 117 1415101 120 1243366 122 1205353 121.92 1350008 122 1284040 125 1317912 129.41 1276535 132 1244543 149 1255805 155 1213460 159 1227459 163 1201481 166.36 1204933 180.57 1175666 187.46 1183047 -
Ketersediaan Sumberdaya Pangan Strategis (beras, jagung, gula, kedelai, daging sapi, tepung terigu, dan ubi kayu) dan Kontribusinya terhadap Ketersediaan Pangan Nasional Selama Tiga Dekade Terakhir Selama kurang lebih tiga puluh tahun perkembangan produksi beberapa pangan strategis di Indonesia menunjukkan gejala yang cenderung mendatar dan bahkan menurun. Perkembangan mengenai produksi, impor, dan ekspor
46
pangan strategis (beras dan jagung) hubungannya dengan ketersediaan beras
3823
3638
1405
200
ekspor
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
0
1998
1997
1996
1995
1994
impor
3506
3154
3137
3027
637
345
351 1993
1992
1991
1990
1988
1987
produksi (10 ribu ton)
3337
5004
4657 1786
2967 3012
3081
2905
3416
3146
2982 2978
1807
2859 2937
2818
2744
2638
2674
2608
2453
2437
392 1984
1983
1982
0 1981
0
2339
2241
2996
500
1986
1000
525
1500
1985
2000
1172
2500
1984
3000
2123 2271
3500
3229
4500
4275
3816
5000
4000
4062
5500
4686 4533 4497 4655 4742 4754
6000
6146
dan jagung nasional dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
ketersediaan (10 ribu ton)
Sumber: Departemen Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan tahun 1981-2010
1779 811 2004
186
produksi (10 ribu ton)
impor
ekspor
1131
1270
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1993
1992
1991
1987
1986
1985
1984
1983
2
91
313
107
449
404
807 2003
784
713
962
863
1146
1356
1345
1017
1265 725
640 1995
625
931
1098
1188 632 1994
800
646
150 1990
630
673 534
529 323
1988
516
592
487 221
529 433 160 353
416
324
451 364
263 1982
1981
1800 1700 1600 1500 1400 1300 1200 1100 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
1785
Gambar 5 Perkembangan produksi, impor, dan ekspor beras terhadap ketersediaan energi
ketersediaan (10 ribu ton)
Sumber: Departemen Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan tahun 1981-2010
Gambar 6 Perkembangan produksi, impor, dan ekspor jagung terhadap ketersediaan energi
47
Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa produksi beras dan jagung setiap tahunnya meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk Indonesia, walaupun produksi beras dan jagung relatif berfluktuasi. Namun, impor beras dan jagung cenderung meningkat setiap tahunnya sehingga hal ini menunjukkan belum cukupnya ketersediaan beras maupun jagung dalam negeri. Selama tiga dekade terakhir, produksi beras meningkat dari 29955 ribu ton pada tahun 1981 menjadi 61455 ribu ton pada tahun 2010, sedangkan produksi jagung juga meningkat dari 509 ribu ton tahun 1981 menjadi 17845 ribu ton tahun 2010. Penurunan produksi beras secara drastis terjadi pada tahun 1997-1998 akibat dari krisis moneter yang diikuti bencana kekeringan, sehingga untuk mencegah terjadinya kelangkaan pangan dalam negeri maka dilakukan impor beras sebagai pangan pokok di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan drastis impor beras pada tahun 1997-1998 dari 345 ribu ton menjadi 4742 ribu ton dan penurunan produksi beras dari 45333 ribu ton menjadi 44966 ribu ton. Ketersediaan beras yang harus dipenuhi setiap tahunnya juga berfluktuasi mengikuti produksi dan impor beras sebagai pasokan untuk mencukupi ketersediaan. Ketersediaan beras meningkat dari 19836 ribu ton tahun 1981 menjadi 38233 ribu ton pada tahun 2010. Peningkatan
konversi
lahan
pertanian,
khususnya
sawah,
untuk
keperluan nonpertanian terus terjadi. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan nasional. Apalagi konversi lahan pertanian tersebut banyak terjadi di daerah-daerah yang menjadi sentra produksi beras nasional. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional, laju konversi lahan tahun 19992002 rata-rata 110.000 hektar per tahun. Jika rata-rata produktivitas per hektar 4,61 ton Gabah Kering Giling (GKG), dalam setahun produksi GKG nasional berkurang 507.100 ton, atau setara 329.615 ton beras, akibat konversi sawah. Dengan demikian, sepanjang tahun 1999-2002, atau dalam empat tahun pasca reformasi, Indonesia kehilangan potensi produksi beras nasional sekitar 1,31 juta ton dari dampak konversi lahan sawah. Di Kabupaten Badung, Bali, misalnya, tahun 2005 dari 10.121 hektar sawah telah dikonversi 188 hektar dan tahun 2008 dikonversi lagi 18 hektar. Padahal, apabila dibandingkan dengan sarana produksi pertanian lainnya, keberadaan lahan pertanian tidak akan dapat tergantikan. Ketersediaan lahan pertanian menjadi pilar paling penting dalam penguatan ketahanan pangan dan
48
penggerak ekonomi masyarakat. Sejak tahun 1989, sekitar 134 hektar sawah per tahun beralih fungsi. Konversi tampaknya masih akan terjadi, dikarenakan dari 11917 hektar lahan yang disiapkan, 45 persen yang dibangun pabrik dan 58,7 persen perumahan. Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian, sebagian besar konversi lahan sawah untuk perumahan. Konversi sawah di Jawa 58,7 persen untuk perumahan serta 21,8 persen untuk industri, perkantoran, dan pertokoan. Di luar Pulau Jawa, 48,6 persen konversi sawah untuk perkebunan dan sisanya (16,1%) untuk perumahan. Saluran irigasi untuk sekitar 700.000 hektar sawah di seluruh Indonesia tidak berfungsi maksimal. Berkurangnya fungsi saluran irigasi ini disebabkan pendangkalan akibat kurangnya perawatan. Menurut Menteri Pekerjaan Umum (2008), jaringan irigasi di Indonesia yang sudah ada sekarang ini sanggup mengairi sawah sampai 6,7 juta hektar. Namun akibat pendangkalan, saluran untuk sekitar 1,5 juta hektar sawah tidak dapat berfungsi secara maksimal. Pemerintah sudah memperbaiki irigasi untuk 1,2 hektar sawah, sehingga kerusakan saluran yang tersisa tinggal 300.000 hektar sawah. Namun, karena banjir, ada lagi saluran yang rusak. Jumlah lahan pertanian di Jawa pada tahun 2010 berkurang 600 ribu hektar sehingga lahan pertanian menjadi 3,5 juta ha. Sebelumnya pada tahun 2007 jumlah lahan pertanian di pulau Jawa mencapai 4,1 juta ha. Menurut Menteri Pertanian, data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) memperlihatkan adanya konversi lahan yang cukup besar selama tiga tahun. Konversi tersebut cukup tinggi, padahal lahannya paling bagus. Besarnya konversi lahan pertanian ini disebabkan karena fragmentasi lahan pertanian. Fragmentasi lahan ini pada akhirnya membuat para pemilik tanah menjadi buruh di lahannya sendiri. Selain itu, adanya kebutuhan jalan, perumahan, dan pusat ekonomi yang membuat pemerintah kurang peduli terhadap nasib lahan pertanian, sehingga konversi lahan pertanian meningkat hampir setiap tahun. Hal sebaliknya terjadi pada produksi dan impor jagung, pada rentang tahun yang sama (1997-1998), produksi jagung meningkat dari 8771 ribu ton menjadi 10169 ribu ton, sedangkan impor jagung menurun dari 1098 ribu ton menjadi 313 ribu ton. Ketersediaan jagung meningkat dari 3638 ribu ton tahun 1981 menjadi 13561 ribu ton pada tahun 2010. Hal ini diduga untuk mengurangi ketergantungan terhadap pangan tertentu, khususnya bahan pangan pokok (beras dan jagung), dari negara lain. Selain itu, impor pangan sebagai alternatif
49
terakhir untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan pangan dalam negeri, diatur sedemikian rupa agar tidak merugikan kepentingan produsen pangan dalam negeri juga kepentingan konsumen khususnya. Oleh karena itu, disaat negara mengimpor beras, maka impor terhadap jagung dikurangi sehingga kemampuan memenuhi kebutuhan pangan pokok dari produksi dalam negeri terus berlanjut dan ditingkatkan. Laju pertumbuhan produksi beras dan jagung terbesar berturut-turut pada tahun 1992 sebesar 13,0% dan tahun 1983 sebesar 57,3%, hal ini dikarenakan peningkatan produksi beras yang besar pada tahun tersebut kurang lebih 4212 ribu ton dan produksi jagung kurang lebih sebesar 2087 ribu ton. Sedangkan untuk laju pertumbuhan impor jagung terbesar terjadi pada tahun 1982 sebesar 3700% serta laju pertumbuhan ekspor beras dan jagung terbesar berturut-turut pada tahun 1992 sebesar 4100% dan tahun 1998 sebesar 3189,5%. Hal tersebut dikarenakan peningkatan impor jagung serta peningkatan ekspor beras dan jagung yang besar lebih kurang puluhan hingga ratusan ribu ton. Perkembangan mengenai produksi, impor, dan cadangan gula serta
1235 59 2010
2008
2007 0
2006
118 2005
2004
2009
559
918 1015 442
1256
1376
1749 2003
2002
2001
2000
1999
cadangan
2695
3195
3398
2932
2214
2300 783
973 252 1998
1997
1996
188
222
2943
-595
-258
-550 impor
3106
3432
4468 produksi (ribu ton)
1995
327
-177
1994
1993
309 1992
1991
1990
128 1988
1987
1986
1985
1984
244
560
1111
1036
1488
1099
1998
2192
2165
3126
3114
2848 2330
2530
2087
2314
1790 1264 192 718
1232 1983
1982
1981
5400 5200 5000 4800 4600 4400 4200 4000 3800 3600 3400 3200 3000 2800 2600 2400 2200 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 -200 -400 -600
5329
hubungannya dengan ketersediaan gula nasional dapat dilihat pada Gambar 7.
ketersediaan (ribu ton)
Sumber: Departemen Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan tahun 1981-2010
Gambar 7 Perkembangan produksi, impor, dan cadangan gula terhadap ketersediaan energi
50
Berdasarkan gambar di atas, dapat terlihat perkembangan produksi maupun impor gula yang berfluktuasi setiap tahunnya. Selama tiga dekade terakhir, produksi gula meningkat dari 1264 ribu ton pada tahun 1981 menjadi 2695 ribu ton tahun 2010 serta impor yang juga meningkat dari 718 ribu ton pada tahun 1981 menjadi 1235 ribu ton tahun 2010. Penurunan produksi gula secara drastis terjadi pada tahun 1993-1994 dari 2330 ribu ton menjadi 1111 ribu ton serta penurunan cadangan gula dari 327 ribu ton menjadi 0, hal ini diduga akibat adanya serangan hama pada petani tebu yang mengakibatkan gagal panen serta berkurangnnya cadangan gula. Laju pertumbuhan produksi gula pada periode 1981-1990 sebesar 7,3%, periode 1991-2000 sebesar 3,1%, serta periode 2001-2010 sebesar 5,1%. Sedangkan laju pertumbuhan impor gula pada periode 1981-1990 sebesar 10,3%, periode 1991-2000 sebesar 29,8%, serta periode 2001-2010 sebesar 19,7%. Laju pertumbuhan produksi total dan impor total gula berturut-turut yakni sebesar 5,2% dan 13,1%. Laju pertumbuhan cadangan gula pada periode tahun 1981-1990 yakni sebesar -144,9%, periode tahun 1991-2000 sebesar 657,7% serta periode tahun 2001-2010 laju pertumbuhan cadangan gula sebesar 216,1% dengan laju pertumbuhan cadangan gula total yakni sebesar -216,1%. Sedangkan laju pertumbuhan ekspor gula pada periode 1981-1990 sebesar 0%, periode 1991-2000 sebesar 21,7%, serta periode 2001-2010 sebesar 37,6% dengan laju perutmbuhan ekspor total gula sebesar 19,8%. Namun pada tahun 1997-1998 terjadi kembali penurunan yang drastis pada produksi gula, dari 2192 menjadi 1488, hal ini akibat dari krisis moneter dan defisit pangan (gula) yang terjadi di Indonesia, sehingga untuk mencegah terjadinya kelangkaan pangan dalam negeri maka dilakukan impor gula pada rentang tahun 1994-1999. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan drastis impor gula pada tahun 1995-1999 dari 222 ribu ton menjadi 1998 dan penurunan produksi gula yang fluktuatif pada rentang tahun tersebut. Produksi gula terendah terjadi pada tahun 1994 yakni sebesar 1111, sedangkan produksi gula tertinggi diperkirakan terjadi pada tahun 2010 yakni sebesar 2695 ribu ton dengan cadangan gula terendah tahun 2010 yakni -595 ribu ton dan cadangan tertinggi tahun 2000 yakni sebesar 783 ribu ton. Pada periode tahun 2000-2004 terjadi penurunan impor gula dan peningkatan produksi gula dalam negeri, hal ini dikarenakan telah tercukupinya cadangan gula untuk memenuhi kebutuhan
51
masyarakat sehingga mengurangi impor gula yang terlihat dari ketersediaan gula yang juga meningkat pada rentang tahun tersebut. Selama periode tahun 1981-1992, produksi kedelai dalam negeri meningkat setiap tahunnya hingga mencapai nilai produksi tertingginya pada tahun 1992 yakni sebesar 1870 ribu ton. Namun tahun-tahun berikutnya terjadi penurunan produksi kedelai hingga mencapai nilai terendah pada tahun 2007 sebesar 593 ribu ton dan peningkatan impor kedelai hingga mencapai nilai impor tertinggi pada tahun yang sama yakni sebesar 1419 ribu ton. Krisis moneter terjadi disertai dengan defisit pangan (kedalai) di Indonesia mengakibatkan penurunan produksi kedelai dari 1517 ribu ton menjadi 1306 ribu ton dan setelah krisis moneter peningkatan impor kedelai secara drastis dari 343 ribu ton menjadi 1302 ribu ton. Selain itu, ketersediaan kedelai dalam negeri melebihi total produksi dan cadangan kedelai, sehingga dilakukan impor kedelai untuk memenuhi ketersediaan kedelai delam negeri. Hal tersebut dikarenakan cadangan yang tersedia (141 ribu ton) masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, impor kedelai semakin meningkat setiap tahunnya pada peride 2000-2010 yang diakibatkan tidak adanya cadangan pemerintah maupun cadangan masyarakat. Laju pertumbuhan produksi kedelai dan daging sapi terbesar berturut-turut pada tahun 1984 sebesar 43,5% dan tahun 2004 sebesar 21,0%, hal ini dikarenakan peningkatan produksi kedelai yang besar pada tahun 1984 kurang lebih 41 ribu ton dan produksi daging sapi kurang lebih sebesar 160 ribu ton. Sedangkan untuk laju pertumbuhan impor kedelai terbesar terjadi pada tahun 1983 sebesar 22100% serta laju pertumbuhan impor daging sapi terbesar pada tahun 2000 sebesar 145,5%. Hal tersebut dikarenakan peningkatan impor kedelai dan daging sapi yang besar lebih kurang puluhan hingga ratusan ribu ton. Laju pertumbuhan produksi kedelai dan daging sapi pada periode 1981-1990 sebesar 12,0% dan 4,1%, periode 1991-2000 sebesar -2,9% dan 3,1%, serta periode 2001-2010 sebesar 0,3% dan 3,3%. Sedangkan laju pertumbuhan impor kedelai dan daging sapi pada periode 1981-1990 sebesar -2779,2% dan 8,3%, periode 1991-2000 sebesar 26,5% dan 35,9%, serta periode 2001-2010 sebesar -4,2% dan 16,0%. Perkembangan mengenai produksi, dan impor pangan strategis (kedelai dan daging sapi) hubungannya dengan ketersediaan kedelai dan daging sapi nasional dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.
2401
1316 614
905
1321
1180
975
1419 593
1086 808
672 141
343
607 10
56 7
287
1704
1833 1365
1201 1136
746
800
2046
2141 1302
1383
1283
1680
1565
1870
1227 1161
0
1
28
359
401
521
302
633
704
1041
1466 1305
2500 2400 2300 2200 2100 2000 1900 1800 1700 1600 1500 1400 1300 1200 1100 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
2182
2322
52
produksi
impor
cadangan
ketersediaan (ribu ton)
Sumber: Departemen Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan tahun 1981-2010
impor
32
34,8
12
25
30
31,4
31,7
35,8
28,7
27
27 23
11
9
16 7
produksi (10 ribu ton)
24,7
28,3 24
25
27,7 17
13
21
18,8
24 15 15,1 3 0
80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
75
Gambar 8 Perkembangan produksi, impor, dan cadangan kedelai terhadap ketersediaan energi
ketersediaan (10 ribu ton)
Sumber: Departemen Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan tahun 1981-2010
Gambar 9 Perkembangan produksi dan impor daging sapi terhadap ketersediaan energi Laju pertumbuhan cadangan kedelai terbesar pada tahun 1998 yakni 327,3% yang diakibatkan peningkatan cadangan sebesar 110 ribu ton. Laju pertumbuhan cadangan kedelai periode 1981-1990 sebesar -135,3%, periode 1991-2000 sebesar -114,6%, dan periode 2001-2010 sebesar -11,1% dengan laju pertumbuhan total cadangan kedelai sebesar -87,0%. Laju pertumbuhan total produksi dan impor kedelai berturut-turut sebesar 3,1% dan 933,8% serta laju pertumbuhan total produksi dan impor daging sapi berturut-turut sebesar 3,5% dan 20,1%.
53
Sedangkan untuk daging sapi, produksi dalam negeri setiap tahunnya meningkat dan diiringi dengan peningkatan terhadap impor daging sapi. Hal ini disebabkan karena tidak adanya cadangan pemerintah terhadap daging sapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta produksi daging sapi dalam negeri baru dapat memenuhi sekitar 70% dari kebutuhan domestik. Nilai produksi daging sapi tertinggi dicapai pada tahun 2004 sebesar 358 ribu ton dan capaian nilai terendah pada tahun 1982 sebesar 151 ribu ton. Pada periode tahun 20032010 peningkatan impor daging sapi terus meningkat setiap tahunnya hingga mencapai perkiraan nilai tertinggi tahun 2010 yakni sebesar 75 ribu ton. Perkembangan mengenai produksi, ekspor dan impor pangan strategis (tepung terigu dan ubi kayu) hubungannya dengan ketersediaan tepung terigu
produksi (ribu ton)
impor gandum
3658
4656
3775
3866
4617
4498
3559
3887
4483
3410
3307
4545
4429
3334
3514
4257 3362
3034
2164
2483
1798
1344
1397
1167
1146
921
992
988
0
1280
994
700
1091
1400
1939
2100
1317
1417
2800
2400
3500
2801
3589
2266
2718
3444
2713
2226
4116
4200
3612
4054
2933
4900
2845
dan ubi kayu nasional dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11.
ketersediaan (ribu ton)
Sumber: Departemen Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan tahun 1981-2010
657 401
0
produksi (ribu ton)
1455
1421 747
1249
1216
1252
1203
988
1086 767
898
616
1216
1218
1101
1646
1470
1513
1700
1729 1210
1330
1561
1036 969
2250 2100 1950 1800 1650 1500 1350 1200 1050 900 750 600 450 300 150 0
2309
Gambar 10 Perkembangan produksi dan impor tepung terigu terhadap ketersediaan energi
ekspor
0
ketersediaan (10 ribu ton)
Sumber: Departemen Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan tahun 1981-2010
Gambar 11 Perkembangan produksi dan ekspor ubi kayu terhadap ketersediaan energi
54
Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa produksi tepung terigu yang berasal dari impor gandum dan produksi ubi kayu mengalami peningkatan setiap tahunnya, walaupun produksi tepung terigu relatif berfluktuasi seiring dengan peningkatan ketersediaan tepung terigu setiap tahunnya. Laju pertumbuhan produksi tepung terigu dan ubi kayu terbesar berturut-turut pada tahun 2002 sebesar 59,9% dan tahun 1984 sebesar 17,1%. Hal ini dikarenakan peningkatan produksi tepung terigu kurang lebih 2400 ribu ton dan produksi ubi kayu kurang lebih 2 juta ton. Laju pertumbuhan total produksi tepung terigu dan ubi kayu yakni sebesar 5,1% dan 2,2%. Laju pertumbuhan total ekspor ubi kayu sebesar -2,2% dan laju pertumbuhan total impor gandum sebesar 5,1%. Laju pertumbuhan produksi tepung terigu dan ubi kayu pada periode 1981-1990 sebesar 4,1% dan 2,5%, periode 1991-2000 sebesar 8,1% dan 0,4%, serta periode 2001-2010 sebesar 3,0% dan 3,7%. Laju pertumbuhan ekspor ubi kayu pada periode 1981-1990 sebesar -6,5%, periode 1991-2000 dan periode 2001-2010 sebesar 0%, sedangkan laju pertumbuhan impor gandum untuk tepung terigu pada periode 1981-1990 sebesar 3,2%, periode 1991-2000 sebesar 9,1%, dan periode 2001-2010 sebesar 3,0%. Penurunan produksi tepung terigu secara drastis terjadi pada tahun 19961999 akibat dari krisis moneter yang berdampak pada impor dan ketersediaan tepung terigu yang juga menurun pada rentang tahun tersebut. Hal yang sama terjadi pada produksi ubi kayu yang mengalami penurunan drastis pada tahun 1996-1998 yang diakibatkan hal yang sama yakni krisis moneter. Ubi kayu produksi Indonesia diekspor sejak tahun 1981-1986, namun pada tahun 19872010, hal ini diduga karena produksi ubi kayu nasional hanya mencukupi untuk kebutuhan masyarakat Indonesia saja serta cadangan ubi kayu nasional yang tidak ada sejak tahun 1981-2010. Ketersediaan ubi kayu dalam negeri tidak mengikuti tren produksi ubi kayu, hal ini diduga karena berfluktuasinya ketersediaan ubi kayu masyarakat dikarenakan masyarakat yang tidak banyak mengkonsumsi ubi kayu sebagai pangan pokok utama serta kemungkinan kecukupan ubi kayu nasional yang berasal dari produksi dalam negeri. Ketersediaan ubi kayu menurun dari tahun 1981 sebesar 9686 ribu ton menjadi 6566 ribu ton pada tahun 2010.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Perkembangan kebijakan mengenai ketersediaan pangan dalam rangka peningkatan ketahanan pangan di Indonesia memperlihatkan bahwa kebijakan
pangan
pada
awalnya
difokuskan
pada
penyediaan
dan
penganekaragaman pangan saja kemudian mulai mengarah kepada kebijakan mengenai keamanan pangan dan stabilitas harga pangan yang lebih spesifik dan mikro. Namun pada periode RPJMN 2004-2009, kebijakan ketahanan pangan menjadi meluas (makro) dan kurang fokus dalam upaya pencapaian ketersediaan pangan. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi kemunduran dalam penentuan kebijakan mengenai ketersediaan pangan di Indonesia. 2. Dalam kurun waktu 1981-2010, rata-rata ketersediaan energi dan protein penduduk per kapita di Indonesia adalah 2926 kkal/kap/hari dan 68,3 gram dengan laju pertumbuhan total rata-rata sebesar 1,75% dan 1,48%. Ketersediaan energi dan protein tersebut berfluktuasi, meski secara umum masih dapat memenuhi, bahkan melebihi angka kecukupan pangan yang dianjurkan menurut WKNPG VIII tahun 2004. 3. Selama kurang lebih tiga puluh tahun perkembangan produksi beras dan jagung meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk Indonesia. Laju pertumbuhan total produksi beras dan jagung berturut-turut sebesar 2,8% dan 6,7% dengan laju pertumbuhan total impor sebesar 140,8% dan 312,0%. Selama tiga dekade terakhir, produksi dan impor gula mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan total produksi dan impor gula yakni 5,2% dan 13,1%. Produksi kedelai dalam negeri meningkat setiap tahunnya. Namun terjadi penurunan produksi kedelai hingga mencapai nilai terendah dan impor tertinggi pada tahun 2007 dengan laju pertumbuhan total produksi dan impor sebesar 3,1% dan 933,8%. Sedangkan untuk daging sapi, produksi dalam negeri setiap tahunnya meningkat dan diiringi dengan peningkatan terhadap impor daging sapi dengan laju pertumbuhan total produksi dan impor sebesar 3,5% dan 20,1%. Produksi tepung terigu dan ubi kayu menunjukkan gejala yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Laju pertumbuhan total produksi dan impor tepung terigu yakni 5,1% dan laju pertumbuhan total produksi ubi kayu sebesar 2,2%. Hal ini menunjukkan
55
56
bahwa Indonesia belum mencapai kemandirian pangan dikarenakan besaran ketergantungan impor pangan strategis yang masih tinggi setiap tahunnya. Saran 1. Beras merupakan komoditas pangan yang paling dominan dikonsumsi dengan kecenderungan total konsumsi beras nasional meningkat karena pertambahan penduduk. Sehingga perlu dipertahankan eksistensi pangan berpati (sagu, jagung, umbi) serta insentif pengembangan industri pangan lokal yang perlu dikembangkan dan ditingkatkan, sehingga ketergantungan terhadap beras dapat dikurangi guna menyukseskan program diversifikasi pangan dan swasembada pangan serta mengurangi impor beberapa pangan strategis agar tercapai kemandirian pangan di Indonesia. 2. Dalam rangka meningkatkan ketersediaan pangan dan kemandirian pangan di Indonesia, maka pemerintah perlu mengkaji ulang pencapaian dari kebijakan mengenai ketersediaan pangan yang sudah ada serta mengatasi permasalahan yang ada, melalui industri pangan non beras berbasis tepungtepungan dari umbi-umbian dan jagung. Sehingga perekonomian masyarakat Indonesia menjadi meningkat dan keanekaan produk dari pangan non beras tercapai serta lebih mandiri atau tidak bergantung pada impor dan menjadi negera yang berdaulat. Beberapa hal yang perlu dipertajam adalah kebijakan mengenai penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan dan peningkatan mutu dan keamanan pangan.
DAFTAR PUSTAKA Adiacita IF. 2008. Studi perumusan kebijakan perencanaan pangan dan gizi berdasarkan pola pangan harapan di kota Banjar Jawa Barat [skirpsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Afriani I. 2002. Dampak kebijakan pemerintah dan perubahan faktor ekonomi terhadap penawaran dan permintaan tepung terigu di Indonesia [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Akmal S. 2003. Optimasi pemenuhan kecukupan gizi berdasarkan ketersediaan pangan sebelum dan semasa krisis ekonomi di provinsi Lampung [tesis]. Program pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 2009. Pangan untuk Indonesia. Siteresource.worldbank.org [02 Desember 2010]. Ariani. 2003. Perkembangan Konsumsi Gula Pasir Rumah Tangga. Dalam: Simatupang, Editor. Isu Kontemporer Kebijakan Pembangunan Pertanian 2000-2004: Pandangan Peneliti. Sugar Observer. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. _____ dan Pasandaran E. 2005. Pola konsumsi dan permintaan jagung untuk pangan. Dalam: Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. [Balitbangtan] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Departemen Pertanian, Bogor. Baliwati YF dan Roosita K. 2004. Sistem Pangan dan Gizi. Di dalam: Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani M, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. ________. 2007. Analisis ketersediaan pangan wilayah berdasarkan neraca bahan makanan (NBM) dan pola pangan harapan (tingkat pertama). Kerjasama bagian Bina Ketahanan Pangan Biro Bina Produksi Setda Provinsi Jawa Barat dengan tim Bagian Kebijakan Pangan Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi 2001-2005. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI. _______. 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. _______. 2010. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. [BBKP] Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2003. Evaluasi Pemantapan Ketahanan Pangan 2000-2003. Jakarta: Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI.
57
58
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 1981. Neraca Bahan Makanan (NBM) Indonesia Tahun 1981. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian RI. _______. 1991. Neraca Bahan Makanan (NBM) Indonesia Tahun 1991. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian RI. _______. 2010. Neraca Bahan Makanan (NBM) Indonesia Tahun 2010. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian RI. [Depkominfo] Departemen Komunikasi dan Informatika. 2006. Kebijakan Umum Bidang Ekspor dan Impor. Jakarta: Badan Informasi Publik, Pusat Informasi Perekonomian. [Deptan] Departemen Pertanian. 2001. Rencana Strategis dan Program Kerja Pemantapan Ketahanan Pangan Tahun 2001-2004. Jakarta: Badan Bimas Ketahanan Pangan. _______. 2007. Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2005-2009. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. _______. 2011. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. _______. 2009. Panduan Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan di Indonesia: A Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia (FSVA). Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme. Dwidjowijoto RN. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-negara Berkembang: Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Gramedia. Hariyadi P. 2009. Menuju kemandirian pangan: Ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal. Dalam: Ketahanan Pangan sebagai Fondasi Ketahanan Nasional. Southeast Asian Food an Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB, Bogor. Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat (Bahan Pengajaran). PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mahfi T. 2009. Analisis situasi pangan dan gizi untuk perumusan kebijakan operasional ketahanan pangan dan gizi Kabupaten Lampung Barat [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Manggabarani ACM. 1995. Kajian konsumsi dan ketersediaan pangan dengan pendekatan analisis pola pangan harapan di provinsi Sulawesi Tenggara [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mauludyani AV. 2008. Elastisitas Permintaan Pangan Strategis berdasar analisis data Susenas 2005 dan implikasinya terhadap konsumsi dan upaya perbaikan konsumsi pangan masyarakat Indonesia [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nainggolan K. 2008. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Kesehatan dan DPP PERGIZI Pangan.
59
Nur M. 2000. Peran Sosial Ekonomi Istri dalam Menjamin Kecukupan Pangan Keluarga Buruh Tani Padi Sawah [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pakpahan A. 2003. Mengharap “Tangan Dingin” Dewan Gula Indonesia. Dalam: Simatupang, Editor. Isu Kontemporer Kebijakan Pembangunan Pertanian 2000-2004: Pandangan Peneliti. Sugar Observer. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Pasandaran E dan Kasryno F. 2005. Sekilas ekonomi jagung Indonesia: Suatu studi di sentra utama produksi jagung. Dalam: Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Pratiwi P. 2008. Efektivitas dan perumusan strategi kebijakan beras nasional [skripsi]. Departemen Studi manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Priswanti. 2004. Hubungan ketersediaan pangan keluarga dan tingkat konsumsi energi protein, Fe, asam folat, vitamin B12, dengan kejadian kurang energi kronis (KEK) dan anemia pada ibu hamil [artikel penelitian]. Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Saliem et. al. 2005. Manajemen Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Jakarta: Pusat analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian. Sofiati EL. 2009. Analisis kerawanan pangan di tingkat Kabupaten Kota Bogor [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi, Hidayat Syarief, penelaah. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sukari. 2009. Strategi pengembangan kebijakan dan program ketahanan pangan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryana A. 2001. Critical Review on Food Security in Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan: Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Jakarta, 29 Maret 2001. Syafa’at N, Ariani M, Mardiyanto S, Kristyantoadi S, dan Sayaka B. 2003. Analisis Ketahanan Pangan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. Badan Bimas Ketahanan Pangan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Syarief
H. 2004. Masalah Gizi di Indonesia: Kondisi Gizi Masyarakt Memprihatinkan. www.gizi.net [05 Februari 2011].
Tangendjaya B, Yusdja Y, dan Ilham N. 2005. Analisis ekonomi permintaan jagung untuk pakan. Dalam: Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Wahab SA. 2004. Analisis Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara. Yuniarti, N. 2008. Krisis Pangan, Ironi Negeri Ini. www.rudyct.com [01 Desember 2010].
60
LAMPIRAN
Lampiran 1 Perkembangan kebijakan peningkatan sumberdaya pangan dan ketersediaan energi protein pangan strategis Indonesia Periode 1981-1985
Dokumen perencanaan / Sumber Repelita III
1986-1990
Repelita IV
1991-1995
Repelita V
1996-2000
Repelita VI
2001-2005
RANPG 20012005 Renstra KP 2001-2004 RANPG 20062010
Renstra BKP 2005-2009 2006-2010 KUKP 2009
2006-
RPJMN 20042009
Ketersediaan Kebijakan strategis peningkatan sumberdaya pangan Peningkatan produksi dan penganekaragaman pangan Pencapaian sasaran memantapkan swasembada pangan Penganekaragaman pola konsumsi pangan, peningkatan produksi dan pengadaan bahan pangan bukan beras akan terus ditingkatkan Penganekaragaman pangan dan teknologi industri pangan, baik yang bersifat teknis maupun fisik Pemerataan persediaan/cadangan pangan Peningkatan dan penganekaragaman penyediaan & konsumsi pangan Peningkatan pemerataan penyediaan pangan Peningkatan ketahanan pangan Pengembangan kelembagaan Pengembangan kelembagaan pangan dan gizi Peningkatan ketahanan pangan Penelitian dan pengembangan pangan dan gizi Pengembangan ketersediaan pangan Pemberdayaan ketahanan masyarakat
Produksi (ton)
Energi
Protein
Beras
Tepung terigu
Ubi kayu
Jagung
Gula
Kedelai
Daging sapi
2489.6
53.3
32732
1473.6
13323.2
4489.8
1548.6
680
161
2650.4
58.8
38173
1691.3
14742.3
6115.3
2066.5
1286.3
191.8
2919.2
66.3
43479.4
2860.2
16156.8
7155.8
2015.4
1673
249.4
3081.8
75.1
46097.3
3412.6
15876.0
9455.3
1714.8
1266
269
3010.2
74.9
47777.8
3938.2
18247.6
10727.2
1880
740.6
295.2
3407.6
82.4
56224
4389.0
21373.0
15337.8
2527.8
799.4
315.6
Pemantapan ketahanan pangan Mensinergikan upaya peningkatan kapasitas produksi pangan Meningkatkan koordinasi pengelolaan ketersediaan, cadangan dan kerawanan pangan Meningkatkan koordinasi pencegahan dan penanggulangan rawan pangan Menjamin ketersediaan pangan Mengembangkan cadangan pangan Melakukan diversifikasi pangan Peningkatan ketahanan pangan Pengembangan agribisnis Pengembangan sumberdaya perikanan
61
Lampiran 2 Perkembangan program kebijakan ketersediaan pangan dan ketersediaan energi untuk konsumsi pangan strategis Indonesia Periode
Dokumen perencanaan / Sumber
19811985
Repelita III
19861990
Repelita IV
19911995
Repelita V
Ketersediaan Program Kebijakan strategis peningkatan sumberdaya pangan Membantu dan mendorong pemasaran dan pengolahan bahan-bahan pangan seperti gandum, jagung, sorgum, ubi-ubian, kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah-buahan Peningkatan produksi pangan agar penyediaan pangan makin meningkat dan merata serta terlaksana pada tingkat harga yang terjangkau oleh daya beli rakyat dan cukup memeberikan jaminan harga bagi para petani produsen untuk meningkatkan pendapatan mereka melalui peningkatan produksi mereka Di daerah-daerah yang penduduknya secara tradisional tidak menggunakan beras sebagai makanan pokok akan didorong untuk memepertahanakan kebiasaan tersebut dan ditingkatkan mutu gizinya dengan menggunakan bahan makanan setempat Disusun peta regional pola produksi dan pola konsumsi bahan pangan pokok seperti beras, jagung, ubi kayu, sagu, dan umbi-umbian Mempermudah penyediaan pangan bukan beras agar terjangkau oleh daya beli rakyat Peningkatan perkembangan industri pengolahan pangan Mendorong usaha-usaha pembangunan industri bahan pangan, khususnya jenis industri yanmg sesuai dengan potensi daerah dengan tujuan mengembangkan penganekaragaman pangan serta mengusahakan kecukupan pangan secara lokal di setaip daerah Impor jenis pangan yang diproduksi di dalam negeri tetapi belum mencukupi masih dimungkinkan, tanpa mengabaikan kemungkinanan dampaknya yanmg dapat merugikan usaha peningkatan produksi dalam negeri Menciptakan iklim yang mendorong peningkatan produksi, pengolahan, penyaluran dan konsumsi pangan bukan beras melalui kebijaksanaan harga, pemasaran dan investasi Melanjutkan dan meningkatkan upaya untuk tetap mem-pertahankan pola konsumsi pangan sebagian masyarakat yang secara tradisional tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok Mengembangkan dan menyebarluaskan penggunaan teknologi pengolahan pangan sederhana dan tepat guna yang murah dan mudah diterapkan oleh masyarakat Melanjutkan dan mengintensifkan penyuluhan penganekaragaman pangan guna meningkatkan perbaikan gizi masyarakat yang dilaksanakan secara terus-menerus dan terpadu dengan program-program yang telah ada Memperlancar dan meningkatkan daya guna dan hasil guna arus lalu lintas pangan antar daerah
Beras
Tepung terigu
Ubi kayu
Jagung
Gula
Kedelai
Daging sapi
1398.4
66.4
158.8
206.8
110.6
47
4
1456.3
67.5
144.25
250.25
121
83.25
5
1471.4
110
162.2
276.6
134.6
104.4
6
62
Periode
19962000
Dokumen perencanaan / Sumber
Repelita VI
RANPG 2001-2005
20012005 Renstra KP 2001-2004
20062010
RANPG 2006-2010
Ketersediaan Program Kebijakan strategis peningkatan sumberdaya pangan Memelihara kemantapan swasemabda pangan Menigkatkan kemampuan penyediaan pangan yang diperluakn, termasuk potensi pangan dari hutan dan laut Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pola pangan yang beraneka ragam untuk meningkatkan mutu gizinya Meningkatkan penyediaan berbagai komoditas pangan dengan mendorong usaha diversifikasi, yang mencakup diversifikasi wilayah dan diversifikasi komoditas Meningkatkan pengetahuan dan ketaatan produsen untuk memenuhi ketentuan yang ada mengenai cara produksi yang baik sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan Mendorong pemanfaatan teknologi produksi dan industri pangan berwawasan lingkungan Melakukan pengawasan ketat terhadap mutu hasil produksi pangan dan pemasarannya Peningkatan kinerja kelembagaan distribusi, cadangan pangan, dan pemantauan situasi pangan Peningkatan kemampuan kelembagaan produksi pangan Pemantapan dan pengembangan kelembagaan koordinasi pangan dan gizi Peningkatan produksi dan ketersediaan aneka pangan Pengembangna agribisnis komoditas pangan Pengembangan agroindustri pendukung ketahanan pangan Pemberdayaan aparat dalam pengembangan ketersediaan pangan Pemantauan produksi ekspor/impor dan stok Pengembangan model kelembagaan cadangan pangan Koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program, peningkatan produksi pangan Pengkajian dan koordinasi penanggulangan kerawanan pangan kronis dan transient Penumbuhan pola kemitraan dalam ketahanan pangan Penyebarluasan data dan informasi produksi pangan, penganekaragaman dan konsumsi pangan Menjamin ketersediaan pangan, terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan ragam yang memadai Mengembangkan kapasitas cadangan pangan pemerintah dan masyarakat serta kemampuan pengelolaannya Penyediaan lahan abadi untuk produksi yang dapat mencukupi kebutuhan pangan pokok
Beras
Tepung terigu
Ubi kayu
Jagung
Gula
Kedelai
Daging sapi
1529.4
121.4
199.6
349.8
139.2
95.8
6.2
1399.2
128.6
188.2
325.4
128.2
78.6
6
1514
145
115
393.8
171.4
75.4
6.8
Periode
Dokumen perencanaan / Sumber
Renstra BKP 2005-2009
KUKP 2009
2006-
20062010
RPJMN 20042009
Ketersediaan Program Kebijakan strategis peningkatan sumberdaya pangan Mendorong diversifikasi pola konsumsi pangan berbasis pangan lokal Mensinergikan upaya peningkatan kapasitas produksi pangan Meningkatkan koordinasi pengelolaan ketersediaan, cadangan dan kerawanan pangan Mendorong pengembangan teknologi pengolahan, terutama pangan lokal non beras guna meningkatkan nilai tambah dan nilai sosial Meningkatkan koordinasi pencegahan dan penanggulangan rawan pangan Pencapaian swasembada 5 komoditas strategis (padi, jagung, kedelai, tebu, daging sapi) Peningkatan produksi dan produktivitas Pengembangan cadangan pangan pemerintah (nasional, daerah, dan desa) Pengembangan lumbang pangan masyarakat Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dengan gizi seimbang Pengembangan teknologi pangan Diversifikasi usahatani dan pengembangan pangan lokal Diversifikasi pangan, melalui peningkatan ketersediaan pangan hewani, buah, dan sayuran, perekayasaan sosial terhadap pola konsumsi masyarakat menuju pola dengan mutu yang semakin meningkat, dan peningkatan minat dan kemudahan konsumsi pangan alternatif / panganlokal Pengamanan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, antara lain melalui pengamanan lahan sawah di daerah irigasi, peningkatan mutu intensifikasi, serta optimalisasi dan perluasan areal pertanian Pencegahan penanggulangan masalah pangan , melalui peningkatan bantuan pangan kepasa keluarga miskin/rawan pangan, peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan, dan pengembangan sistem antisipasi dini terhadap kerawanan pangan Peningkatan nilai tamabah produk pertanian dan perikanan melalui peningkatan penanganan pasca panen, mutu, pengolahan hasil dan pemasaran serta pengembangan agroindustri di perdesaan
Beras
Tepung terigu
Ubi kayu
Jagung
Gula
Kedelai
Daging sapi
1514
145
115
393.8
171.4
75.4
6.8
1514
145
115
393.8
171.4
75.4
6.8
1514
145
115
393.8
171.4
75.4
6.8
Lampiran 3 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Repelita III-Repelita IV Periode 1981-1988 (Periode Menuju Pencapaian Swasembada Beras)
Dokumen kebijakan Repelita III 1979-1983
Repelita IV 1984-1988
Arah Kebijakan
Kebijakan dan Program
Mengusahakan penyediaan pangan Mengusahakan agar persediaan dan meningkat dan merata dan pada tingkat konsumsi bahan makanan dalam harga yang terjangkau oleh rakyat serta masyarakat terus meningkat dan mencukupi kebutuhan gizi masyarakat semakin beraneka ragam Mengusahakan penganekaragaman pola Secara berkala akan ditentukan harga konsumsi pangan rakyat dan dasar untuk bahan-bahan pangan mengurangi ketergantungan pada beras yang terpenting Meningkatkan daya guna dan hasil guna sistem pemasaran pangan Menuju tercapainya penyediaan pangan Pencapaian sasaran memantapkan yang memadai, merata dan sesuai dengan swasembada pangan kebutuhan gizi penduduk serta terjangkau Penganekaragaman pola konsumsi oleh daya beli rakyat pangan, peningkatan produksi dan Meningkatkan keanekaragaman pola pengadaan bahan pangan bukan beras konsumsi pangan dengan mengurangi akan terus ditingkatkan ketergantungan pada beras dan Penganekaragaman pangan dan meningkatkan mutu gizinya teknologi industri pangan, baik yang Meningkatkan kewaspadaan/keamanan bersifat teknis maupun fisik pangan secara efisien dan pemerataan Pemerataan persediaan/cadangan persediaan pangan
Catatan 1978: Kepres 39/1978, Pengembalian tugas Bulog sebagai pengontrol harga untuk gabah, beras, tepung gandum, gula pasir, dll 1984: Medali FAO atas tercapainya swasembada beras Kebijakan pangan pada masa ini hanya untuk meningkatkan produksi padi saja tanpa memperhatikan siapa dan golongan petani mana yang memanfaatkan dan menikmati program tersebut. Produksi padi harus naik, sedangkan pembagian hasil akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar
Indikator Tingkat konsumsi beras rata-rata beras per jiwa 126,7kg Distribusi pangan masih belum merata Tingkat konsumsi beras rata-rata per jiwa 133,6kg Tingkat konsumsi kalori&protein rata-rata melampaui jumlah kebutuhan
65
Lampiran 4 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Repelita V-Repelita VI Periode 19891998 (Era Stabilisasi Orde Baru)
Dokumen kebijakan Repelita V 1989-1993
Repelita VI 1994-1998
Arah Kebijakan Memantapkan swasembada pangan yang telah dicapai dalam Repelita IV Meningkatkan upaya penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan guna mengurangi ketergantungan pada beras, sekaligus meningkatkan mutu pangan dan gizi rakyat dengan tetap memperhatikan pola konsumsi masyarakat setempat Terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang antara lain tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dan terjangkaunya harga pangan oleh masyarakat Terwujudnya diversifikasi konsumsi pangan, yang tercermin dari tersedianya berbagai komoditas pangan dan pangan olahan Terjaminnya keamanan pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat Mantapnya kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan
Kebijakan dan Program Peningkatan dan Penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan Peningkatan pemerataan penyediaan angan Stabilisasi harga pangan Peningkatan Ketahanan Pangan Diversifikasi Konsumsi Pangan Peningkatan Keamanan Pangan Pengembangan Kelembagaan Program pokok : pemantapan swasembada pangan dan diversifikasi pangan
Catatan
Indikator
Kebijakan yang penting: Tingkat stabilisasi harga beras konsumsi beras rata-rata per jiwa Berbagai instrumen kebijakan 154kg digunakan untuk mengamankan harga beras Manajemen stok merupakan instrumen inti dari kebijakan stabilisasi 1997: Perubahan fungsi Bulog hanya untuk mengontrol harga Kestabilan harga beras dan gula pasir pangan tercapai 1998: Penyempitan peran Bulog yang berfungsi sebagai pengontrol harga beras saja Pada periode ini harga beras relatif cukup stabil walaupun cenderung meningkat sebagai penyesuaian dengan laju inflasi Keberhasilan upaya ini ternyata memerlukan ongkos yang besar dan terus meningkat sepanjang tahun
66
Lampiran 5 Perkembangan kebijakan ketahanan pangan periode Propenas-RPJMN Periode
Dokumen kebijakan 1998 Sebelum 2010 Desentralisasi Reformasi (1998/1999) Setelah Desentralisasi (1999/2000) (2000/2004) (Propenas 1999-2004)
RPJMN 2004-2009
Kebijakan dan Catatan Program Mempercepat pemulihan ekonomi dan Penyediaan Perubahan yang signifikan pada era ini: mewujudkan landasan pembangunan yang lebih kebutuhan pokok Pemerintah lebih membuka ekonomi kukuh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk keluarga miskin Indonesia terhadap pasar global, termasuk untuk beras Peningkatan mutu sumber daya manusia dan Peningkatan Perubahan paradigma pembangunan lingkungan dengan pendekatan paradigma sehat, Ketahanan Pangan dari sentralisasi ke desentralisasi dan peningkatan mutu lembaga dan pelayanan Peningkatan produksi otonomi daerah kesehatan, pengembangan sistem jaminan sosial dan ketersediaan tenaga kerja, pengembangan ketahanan sosial, Sebelum desentralisasi : pangan peningkatan apresiasi terhadap penduduk lanjut Unsur-unsur penopang kebijakan usia dan veteran, peningkatan kepedulian ekonomi beras dihilangkan terhadap penyandang masalah sosial, peningkatan 1998/1999: penjualan pesawat IPTN kualitas penduduk, pemberantasan perdagangan ditukar dengan beras Thailand dan penyalahgunaan narkotik dan obat terlarang, 2000: Penugasan tugas Bulog untuk dan peningkatan aksesibilitas fisik dan nonfisik managemen logistik beras ( bagi penyandang cacat penyediaan, distribusi, dan kontrol harga) Mempertahankan tingkat produksi beras dalam Program peningkatan Setelah desentralisasi: negeri dengan ketersediaan minimal 90 persen ketahanan pangan Implementasi otonomi daerah dari kebutuhan domestik, agar kemandirian Program sebagai wujud desentralisasi sejalan pangan nasional dapat diamankan pengembangan dengan paradigma pembangunan agribisnis Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ketahanan pangan yang lebih terarah ikan dari dalam negeri. Kebijakan pengembangan Program peningkatan pada tingkat rumah tangga peternakan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani 2003: Privatisasi Bulog populasi hewan dan produksi pangan hewani dari Program peningkatan 2004: No-Option Strategy kecualu produksi dalam negeri agar ketersediaan dan sumberdaya Swasembada Beras keamanan pangan hewani dapat lebih terjamin perikanan 2005: “Revitalisasi Pertanian” untuk mendukung peningkatan kualitas SDM komitmen untuk peningkatan Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkan pendapatan pertanian untuk GDP, ketergantungan pada beras dengan melakukan pembangunan agribisnis yang rekayasa sosial terhadap pola konsumsi mampu menyerap tenaga kerja dan masyarakat melalui kerjasama dengan industri swasembada beras, jagung serta pangan, untuk meningkatkan minat dan palawija kemudahan konsumsi pangan alternatif Arah Kebijakan
Indikator Konsumsi beras menurun sekitar 6% sedangkan konsumsi jagung dan ubi kayu sedikit meningkat Konsumsi pangan sumber protein (daging, telur, susu, ikan) meningkat
Daya beli masyarakat menurun Masyarakat mengurangi jenis pangan yang harganya mahal dan mensubsidinya dengan jenis pangan yang relatif murah Konsumsi beras sebagian digantikan dengan umbiumbian dan jagung
67