PERKEMBANGAN POPULASI HAMA PADA PERTANAMAN PADI ORGANIK SISTEM KONVENSIONAL DAN SRI
RETNO KUSUMAWARDANI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERKEMBANGAN POPULASI HAMA PADA PERTANAMAN PADI ORGANIK SISTEM KONVENSIONAL DAN SRI
RETNO KUSUMAWARDANI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRAK RETNO KUSUMAWARDANI. Perkembangan Populasi Hama pada Pertanaman Padi Organik Sistem Konvensional dan SRI. Dibimbing oleh HERMANU TRIWIDODO. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan tanaman padi, populasi hama penting, dan musuh alami pada pertanaman padi organik sistem konvensional dan SRI (System of Rice Intensification). Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai Maret 2009 di Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap 4 perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali, masing-masing pada petak seluas 600 m2. Perkembangan tanaman, populasi hama, dan musuh alami dipelajari dengan mengamati 10 rumpun tanaman contoh yang ditentukan secara acak pada setiap petak perlakuan. Pengamatan hama dan musuh alami tanaman padi dilakukan sejak tanaman padi berumur 3 minggu setelah tanam (MST) hingga padi berumur 13 MST dengan interval dua minggu. Kelimpahan hama wereng batang coklat ditentukan dengan menghitung populasi nimfa dan imago pada 10 rumpun tanaman contoh. Kelimpahan Orseolia oryzae ditentukan dengan cara menghitung anakan yang menunjukkan gejala ganjur pada 10 rumpun tanaman contoh. Sedangkan untuk mengetahui serangan hama penggerek batang padi dilakukan dengan cara menghitung anakan yang menunjukkan gejala sundep dan beluk pada 10 rumpun tanaman contoh. Kelimpahan Paederus fuscipes ditentukan dengan menghitung keberadaan imago pada 10 rumpun tanaman contoh. Sedangkan kelimpahan labalaba dilakukan dengan cara menghitung populasi laba-laba tersebut pada 10 rumpun contoh yang diamati. Pengamatan agronomis tanaman padi dilakukan pada 3 MST, 7 MST, dan 11 MST dengan cara menghitung jumlah anakan per rumpun, tinggi tanaman, jumlah malai, dan produksi tanaman padi. Pola pertanaman padi organik sistem konvensional dan SRI tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan populasi hama maupun musuh alami. Secara umum, perkembangan jumlah anakan pada pertanaman organik SRI diawal tanam lebih rendah dibandingkan pada pertanaman organik sistem konvensionl, akan tetapi produksi tanaman padi pada pertanaman organik SRI tidak berbeda nyata dengan pertanaman organik sistem konvensional.
PERKEMBANGAN POPULASI HAMA PADA PERTANAMAN PADI ORGANIK SISTEM KONVENSIONAL DAN SRI
RETNO KUSUMAWARDANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul skripsi
: Perkembangan Populasi Hama pada Pertanaman Padi Organik Sistem Konvensional dan SRI
Nama mahasiswa : Retno Kusumawardani NIM
: A44104032
Disetujui Pembimbing
Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc NIP. 195701221981031002
Diketahui Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Dr. Ir. Dadang, M.Sc NIP. 196402041990021002
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1986 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak H. Cecep Nandang Kurnia, S.Pd dan Ibu Hj. Tating Suryani. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri Sukamaju Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Negeri 1 Sukaraja dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMU Negeri 5 Tasikmalaya. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Proteksi Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan skripsi berjudul Perkembangan Populasi Hama pada Pertanaman Padi Organik Sistem Konvensional dan SRI. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Lembaga Studi Islam Fakultas Pertanian (eL SIFA) sejak tahun 2006. Jabatan yang pernah diduduki adalah sebagai staf biro dana usaha Departemen Keputrian eL SIFA pada tahun 2006-2007. Selain itu, penulis sering mengikuti berbagai kegiatan lain yang dapat menunjang perkuliahan seperti seminar dan motivation training.
PRAKATA Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai Maret 2009 di Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan diakhiri dengan penulisan skripsi. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari perkembangan tanaman padi, populasi hama, dan musuh alami pada pertanaman padi organik sistem konvensional dan SRI. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. beserta keluarga yang telah memberi saran dan arahan dari awal sampai penyelesaian penulisan skripsi ini 2. Apa, Ibu, dan adik-adikku tercinta yang telah memberikan dukungan sepenuhnya 3. Mas Adzwar suami tercinta dan Najwa Farhatunnisa yang selalu memberi dukungan dan motivasi kepada penulis 4. Mamah dan Papah tercinta 5. Keluarga besar Bapak Ismail.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTARI ISI ...........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
x
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................
2
Tujuan Penelitian .............................................................................
2
Manfaat Penelitian ...........................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
3
Tanaman padi ..................................................................................
3
Syarat Tumbuh ........................................................................
3
Sistem Budidaya Tanaman Padi ......................................................
3
Sistem Pertanian Organik Konvensional ................................ Metode SRI (System of Rice Intensification) ..........................
3 5
Sarana Pertanian Organik ................................................................
7
Moretan ................................................................................... Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan (PGPR) .................. Ekstrak Guano ........................................................................
7 7 8
Hama Penting Tanaman Padi ...........................................................
11
Wereng Batang Coklat (WBC) ................................................ Penggerek Batang Padi ........................................................... Ganjur .....................................................................................
11 12 14
Musuh Alami Hama Tanaman Padi ..................................................
15
Paederus fuscipes ................................................................... Laba-laba ................................................................................
15 16
BAHAN DAN METODE .........................................................................
17
Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................................
17
Metode Penelitian ............................................................................
17
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
19
Perkembangan Tanaman Padi ..........................................................
20
Jumlah Anakan Tanaman Padi ............................................... Produksi Tanaman Padi ..........................................................
24 26
Hama Penting Tanaman Padi ...........................................................
27
Wereng Batang Coklat (WBC) ................................................ Penggerek Batang Padi ........................................................... Ganjur .....................................................................................
27 29 31
Musuh Alami ...................................................................................
32
Paederus fuscipes ................................................................... Laba-laba ................................................................................
32 33
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
34
Kesimpulan ......................................................................................
34
Saran ................................................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
35
LAMPIRAN ..............................................................................................
37
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
2.
3. 4. 5. 6. 7.
8.
Pengolahan tanah pada petak organik konvensional dan SRI pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ............................................................................................
19
Petak penyemaian benih padi organik konvensional pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ...........................................................................................
21
Petak penyemaian benih padi organik SRI pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 .................................
21
Penanaman bibit padi organik konvensional pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 .................................
22
Penanaman bibit padi organik SRI pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 .................................................
22
Penyiangan pada petak pertanaman organik pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
23
Petak pertanaman padi organik konvensional (kanan) dan SRI (kiri) 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ...................................................................
25
Gambar 8 Petak pertanaman padi organik konvensional (kanan) dan SRI (kiri) pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ...................................................................
25
DAFTAR TABEL Halaman 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan jumlah anakan tanaman padi pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 .........................................................
24
Pengaruh pola pertanaman terhadap produksi tanaman padi pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ...........................................................................................
26
Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan populasi WBC pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ............................................................................................
28
Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan populasi sundep dan beluk pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ....................................................................
30
Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan populasi ganjur pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ...........................................................................................
31
Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan populasi Paederus fuscipes pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ....................................................................
32
Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan populasi laba-laba pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ........................................................................
33
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Daftar sidik ragam populasi WBC 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
38
Daftar sidik ragam populasi WBC 5 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
38
Daftar sidik ragam populasi WBC 7 MST pada percobaan pengaruh pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................
38
Daftar sidik ragam populasi WBC 9 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
38
Daftar sidik ragam populasi WBC 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
39
Daftar sidik ragam populasi WBC 13 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
39
Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
39
Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 5 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
39
Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
40
Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 9 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
40
Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
40
Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 13 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
40
Daftar sidik ragam populasi Ganjur 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
41
Daftar sidik ragam populasi Ganjur 5 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
41
Daftar sidik ragam populasi Ganjur 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
41
Daftar sidik ragam populasi Ganjur 9 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
41
Daftar sidik ragam populasi Ganjur 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
42
18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Daftar sidik ragam populasi Ganjur 13 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
42
Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
42
Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 5 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
42
Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
43
Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 9 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
43
Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
43
Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 13 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ................
43
Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
44
Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 5 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
44
Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
44
Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 9 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
44
Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
45
Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 13 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
45
Daftar sidik ragam jumlah anakan 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
45
Daftar sidik ragam jumlah anakan 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ...................................
45
Daftar sidik ragam jumlah anakan 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
46
Daftar sidik ragam produksi tanaman padi pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 ..................................
46
PENDAHULUAN
Latar Belakang Tanaman padi merupakan tanaman pangan terpenting di Indonesia karena sebagian besar penduduk Indonesia menggunakan beras sebagai makanan pokok. Ketergantungan pada beras tidak hanya dimiliki penduduk Indonesia saja melainkan sebagian penduduk Asia, Afrika, juga Amerika Latin. Beras dikonsumsi oleh sekitar 1,75 miliar dari 3 miliar penduduk Asia, termasuk 210 juta penduduk Indonesia dan 100 juta dari 1,2 miliar penduduk Afrika dan Amerika Latin (Andoko 2002). Kebutuhan akan pangan semakin lama semakin meningkat. Oleh karena itu, produksi pertanian khususnya padi sebagai sumber makanan pokok harus ditingkatkan agar kebutuhan pangan setiap orang dapat terpenuhi. Salah satu cara meningkatkan produksi beras adalah dengan memperbaiki produktivitas tanaman padi, namun usaha ini sering mendapat hambatan. Hama merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas padi (Siregar 1981). Usaha untuk mengendalikan hama tanaman padi tersebut, strategi awal yang dilakukan oleh petani yaitu dengan sistem budidaya pertanian secara konvensional. Pada sistem budidaya pertanian konvensional petani mengunakan pestisida sintetik secara intensif untuk mengendalikan hama. Penggunaan pestisida sintetik secara intensif dan tidak bijaksana dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, resistensi dan resurjensi hama, serta matinya musuh alami hama. Budidaya padi organik metode SRI (System of Rice Intensification) mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan dan mendukung pemulihan kesehatan tanaman dan kesehatan pengguna produk tanaman. Pertanian organik pada prinsipnya menitikberatkan prinsip daur ulang hara melalui panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa ke dalam tanah, dan konservasi air, sehingga mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Oleh karena itu, sistem budidaya
pertanian organik konvensional dan pertanian organik SRI dapat dijadikan sebagai usaha pengendalian alternatif untuk mengendalikan hama tanaman padi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan tanaman padi, populasi hama, dan musuh alami pada pertanaman padi organik sistem konvensional dan SRI.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang perkembangan populasi dan ancaman serangan hama pada sistem budidaya pertanian organik konvensional dan sistem budidaya pertanian organik SRI.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi
Syarat Tumbuh Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam famili Graminae, sub famili Oryzoideae, suku Oryzae, dan genus Oryza. Padi merupakan tanaman pangan yang dihasilkan dalam jumlah terbanyak di dunia dan menempati daerah terbesar di wilayah tropika. Keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yaitu organ vegetatif dan organ generatif. Bagian vegetatif meliputi akar, batang, dan daun. Sedangkan bagian generatif terdiri dari malai, gabah, dan bunga. Sejak berkecambah sampai panen tanaman padi memerlukan waktu 3-6 bulan, yang keseluruhannya terdiri dari dua fase pertumbuhan, yaitu vegetatif dan generatif. Fase reproduktif selanjutnya terdiri dari dua, yaitu pra-bunga dan pasca-berbunga (Manurung & Ismunadji 1988). Padi memerlukan hara, air, dan energi untuk pertumbuhannya. Hara dan air diperoleh padi dari tanah. Tanah merupakan salah satu faktor produksi dalam usaha tani. Sifat fisik, kimia, dan biologi tanah akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi. Sifat fisik tanah yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi antara lain tekstur tanah, daya pegang air, dan kandungan mineral liat. Sifat biologi tanah yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi antara lain kapasitas tukar kation, reaksi tanah, ketersediaan hara, dan bahan organik tanah (Fagi & Lass 1988).
Sistem Budidaya Tanaman Padi
Sistem Pertanian Organik Konvensional Di Indonesia, pertanian organik baru dikenal pada awal tahun 1990-an. Pertanian organik semakin menemukan momentumnya seiring munculnya krisis ekonomi tahun 1997 yang melambungkan harga saprotan (sarana produksi pertanian) seperti pupuk dan pestisida kimiawi. Harga-harga saprotan mencapai tingkat ekonomis dalam kegiatan pertanian. Padahal sebenarnya pertanian organik
di Indonesia bukan lagi hal yang baru. Sudah sejak lama para leluhur kita bercocok tanam secara alami tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi (Andoko 2002). Menurut Salikin (2003), sistem pertanian organik merupakan salah satu alternatif solusi atas kegagalan sistem pertanian industrial. Secara teknis, sistem pertanian organik merupakan suatu sistem produksi pertanian dengan bahan organik berasal baik dari makhluk hidup maupun yang sudah mati. Hal ini menjadi faktor penting dalam proses produksi usaha tani tanaman, perkebunan, perikanan, dan kehutanan. Penggunaan pupuk organik (alami atau buatan) dan pupuk hayati serta pemberantasan hama, penyakit, dan gulma secara biologi adalah contoh-contoh aplikasi sistem pertanian organik. Ada beberapa kriteria sistem pertanian organik yang diberikan oleh IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement) setidaknya harus memenuhi enam prinsip standar (Seymour 1997 dalam Warti 2006): 1. Lokalita (localism) Pertanian organik mendayagunakan potensi lokal dengan memanfaatkan bahan-bahan baku atau input dari sekitarnya. 2. Perbaikan tanah (soil improvement) Pertanian organik berupaya menjaga, merawat, dan memperbaiki kualitas kesuburan tanah melalui tindakan budidaya lahan yang baik. 3. Meredam polusi (pollution abatement) Pertanian organik dapat meredam terjadinya polusi air dan udara dengan menghindari pembuangan limbah dan pembakaran sisa-sisa tanaman yang dapat menjadi sumber polusi. 4. Kualitas produk (quality of product) Pertanian organik menghasilkan produk-produk pertanian berkualitas yang memenuhi standar mutu gizi dan aman bagi lingkungan serta kesehatan. 5. Pemanfaatan energi (energy use) Pengelolaan pertanian organik menghindari sejauh mungkin penggunaan energi dari luar yang berasal dari bahan bakar fosil yang berupa pupuk kimia, pestisida dan bahan bakar minyak.
6. Kesempatan kerja (employment) Dalam mengelola usaha tani, para petani organik harus memperoleh kepuasan dan mampu menghargai pekerja lainnya dengan upah yang layak.
Metode SRI (System of Rice Intensification) System of Rice Intensification (SRI) adalah cara budidaya tanaman padi yang efisien dengan proses manajemen perakaran yang berbasis terhadap tanah, tanaman, dan air. Metode SRI mulai dikembangkan sejak awal tahun 1980 di Madagaskar oleh biarawan Yesuit asal Perancis bernama Fr. Henri de Laulanie, S.J. Sistem intensfikasi padi ini memungkinkan petani yang mempunyai lahan sempit dapat meningkatkan hasil padi sampai 50 atau 100% dengan merubah cara pengelolaan tanaman, air, dan hara (Suryanata 2007). Secara umum keuntungan metode SRI yaitu meningkatkan jumlah anakan, pertumbuhan akar yang besar, meningkatkan jumlah gabah, kualitas gabah yang lebih tinggi dan lebih berat, cepat panen, hemat air, tidak mudah rebah, mengurangi serangan hama dan penyakit, dan tidak memerlukan pupuk kimia (Suryanata 2007). Menurut Berkelaar (2001 dalam Rafika 2009), terdapat beberapa komponen penting dalam penerapan SRI, yaitu meliputi: 1. Bibit dipindah lapangan (trasplantasi) lebih awal (bibit muda) Bibit padi ditransplantasi saat dua daun telah muncul pada batang muda, biasanya saat berumur 8-15 hari. Trasplantasi saat bibit masih muda dapat mengurangi gunjangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga batang yang muncul dalam satu rumpun dan bulir padi yang dihasilkan oleh malai jumlahnya lebih banyak. Disamping itu juga agar mendapatkan jumlah anakan dan pertumbuhan akar maksimum. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat trasplantasi, yaitu akar pada bibit padi yang akan ditanam tetap utuh, bulir padi yang ada pada bibit tidak terlepas dari batang padi, penanaman bibit tidak terlalu dalam karena dapat memperlambat pertumbuhan dan mengurangi jumlah anakan, posisi akar dan batang berbentuk huruf L.
2. Bibit ditanam satu-satu Hal ini dimaksudkan agar tanaman memiliki cukup ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, atau hara dalam tanah sehingga sistem perakaran menjadi sangat baik. 3. Jarak tanam lebar SRI menganjurkan jarak tanam lebar dengan jarak minimal 25 cm x 25 cm agar akar tanaman tidak berkompetisi dan mempunyai cukup ruang untuk berkembang sehingga anakan maksimum dapat dicapai. 4. Kondisi tanah tidak tergenang air tetapi tetap lembab (irigasi berselang) SRI menganjurkan teknik irigasi berselang agar tercipta kondisi perakaran yang teroksidasi, untuk meningkatkan kesuburan tanah dan mendapatkan akar tanaman yang panjang dan lebat. Dengan SRI, kondisi tergenangi hanya dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif. Selanjutnya setelah pembungaan, sawah digenangi air 1-3 cm (seperti praktek konvensional). Petak sawah diairi secara tuntas mulai 25 hari sebelum panen. 5. Pendangiran Pendangiran dapat dilakukan dengan tangan atau alat sederhana, selain untuk membersihkan gulma, dapat juga memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan aerasi tanah. Pendangiran dilakukan tiga kali, yaitu pada saat tanaman berumur 10 HST, 30 HST, dan 45 HST. 6. Bahan organik Pupuk organik merupakan hasil akhir dan atau hasil antara dari perubahan atau penguraian bagian sisa-sisa tanaman dan hewan, misalnya bungkil, guano, tepung tulang, dan sebagainya. Pupuk organik berasal dari bahan organik yang mengandung banyak unsur baik mikro maupun makro. Pemakaian bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah sehingga padi dapat tumbuh baik dan hara tersalurkan kepada tanaman secara baik.
Sarana Pertanian Organik Moretan Moretan merupakan singkatan dari mikroorganisme rekan petani. Moretan bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri penyebab penyakit, menguraikan bahan organik, dan mengeluarkan cairan yang mampu melarutkan mineral (Anonim 2009). Cara membuat moretan adalah sebagai berikut: Bahan: •
moretan biang 0,5 liter
•
gula merah 0,5 kg atau tetes tebu 0,5 liter
•
air 20 liter
Cara pembuatan: •
gula merah dilarutkan dalam 1 liter air
•
setelah itu ditambahkan 20 liter air dan diaduk hingga merata
•
kemudian ditambahkan moretan biang dan diaduk lagi hingga merata
•
lalu larutan disimpan didalam derijen, ditutup rapat, dan simpan selama satu minggu
•
setelah seminggu tutup jerigen dibuka dan gas yang tidak sedap dibiarkan keluar lebih dahulu selama 5 menit
•
bila larutan moretan berbau masam atau seperti bau tapai (peuyeum) maka moretan telah jadi
•
sebelum diperbanyak sebaiknya moretan diberi makanan dengan buahbuahan dan apabila disimpan sebaiknya diberi buah-buahan secara rutin setiap 2-4 minggu sekali.
Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan (PGPR) PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobakteria) adalah bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman yang merupakan agens pengendali hayati yang menjanjikan yang dapat menekan penyakit di lapangan serta maningkatkan pertumbuhan (Widodo 2006).
Menurut Widodo (2006), mekanisme PGPR dalam meningkatkan kesehatan tanaman dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu: •
menekan perkembangan hama penyakit (bioprotektan): mempunyai pengaruh langsung pada tanaman dalam menghadapi pengaruh hama dan penyakit
•
memproduksi fitohormon (biostimulant): IAA (Indole Acetic Acid); Sitokonin; Giberelin; dan penghambat produksi etilen
•
meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman (biofertilizer) Aplikasi PGPR dapat dilakukan melalui perendaman benih dalam suspensi,
pencelupan akar tanaman saat pindah tanam, dan penyiraman suspensi PGPR ke dalam tanah pada saat bibit tanaman pindah tanam. Nawangsih (2006) menyimpulkan bahwa isolat PGPR yang digunakan untuk merendam akar bibit tanaman tomat dapat menekan penyakit layu bakteri (R. solanacaerum) di rumah kaca dan di lapang (Widodo 2006). Menurut Widodo (2006), beberapa PGPR yang telah dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai agens pengendali biologi adalah Actinoplanes,Alcaligenes, Agrobacterium, Amorphosporangium, Arthrobacter, Bacillus, Cellulomonas, Enterobacter, Erwinia, Flavobacterium, Hafnia, Micromonospor, Pseudomonas, Rhizobium dan Bradyrhizobium, Serratia, Streptomyces, dan Xanthomonas. Pseudomonas Flourescens efektif mengurangi infeksi pathogen tular tanah, antraknosa; dan Bacillus sp. dapat menekan infeksi Cucumis Mosaic Virus (CMV) dan Tomato Mosaic Virus (ToMV) pada tanaman tomat. Sedangkan campuran beberapa strain Bacillus dapat menekan infeksi CMV, Colletotricum, dan Rhizoctonia (Widodo 2006).
Ekstrak Guano Guano adalah kotoran kelelawar dan sisa-sisa fisik yang diperoleh secara alami dari kehidupan kelelawar dalam gua, biasa digunakan secara tradisional sebagai pupuk organik. Guano dapat diaplikasikan secara umum pada budidaya tanaman. Kandungan bahan organik dan nutrisi yang terdapat dalam guano sangat tinggi, yaitu sekitar 30-65%, sehingga dapat digunakan dengan dosis yang rendah dibandingkan dengan pupuk organik lainnya.
Menurut Rasantika (2009), kandungan mineral dari pupuk guano adalah unsur utama seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan sulfur dengan jumlah yang bervariasi. Manfaat dari pupuk guano adalah sebagai berikut: • memperbaiki dan memperkaya struktur tanah karena 40% pupuk guano mengandung material organik • mengandung bakteria dan mikrobiotik flora yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman dan sebagai fungisida alami • sangat baik jika digunakan pada pertumbuhan rumput dengan dosis dan prosedur pemupukan yang tepat • mengontrol nematoda merugikan yang ada di dalam tanah • dapat digunakan sebagai aktifator dalam pembuatan kompos • mempunyai daya kapasitas tukar kation (KTK) yang baik sehingga tanaman mudah menyerap unsur yang bermanfaat dalam pupuk • menguatkan batang dan mengoptimalkan pertumbuhan daun baru dan proses fotosintesis pada tanaman • kaya akan unsur makro fosfor (P) dan nitrogen (N) • kandungan mercury dan zat berbahaya lainnya rendah • dapat digunakan pada semua jenis tanaman baik yang berada di dalam atau di luar ruangan • produk pupuk yang ramah lingkungan. Setiap pupuk sebaiknya digunakan pada waktu yang tepat. Guano sebaiknya digunakan pada saat menjelang masa panen, menjelang pembungaan dan pembentukan buah. Kelemahan dari pupuk guano adalah harganya lebih mahal dibandingkan jenis pupuk organik lainnya. Selain itu, pertumbuhan kandungan biji yang terdapat pupuk yang dorman, akan tumbuh menjadi gulma setelah perlakukan pemupukan. Penggunaan pupuk guano ini relatif sama dengan penggunaan pupuk organik lainnya. Pemberian dengan dosis yang cukup rendah, yaitu berkisar 2-3 sendok makan per tanaman dapat dilakukan sebulan sekali. Atau untuk lebih optimumnya, lihat dan lakukan sesuai dengan dosis dan cara yang tertera pada label produk.
Pembuatan larutan guano dapat dilakukan dengan cara mengencerkan 100 gram guano dalam 6 liter air dan didiamkan selama 3 hari. Setelah tiga hari larutan siap digunakan untuk pembuatan kompos, namun sebelumnya harus di encerkan 10 kali (1 liter larutan guano + 9 liter air) dan dapat digunakan untuk 60 kg bahan kompos (Rasantika 2009). Pembuatan kompos guano dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Bahan: •
jerami 65 kg
•
kotoran hewan 25 kg
•
bekatul 8 kg
•
urea 0.5 kg
•
gula 0.5 kg
•
kapur bangunan 1 kg
•
larutan guano 2 liter
•
air 15 liter
Cara pembuatan: •
larutan guano, air, gula, dan urea dicampurkan kedalam ember dan diaduk sampai merata (campuran 1)
•
jerami, kotoran hewan, bekatul, dan kapur dicampurkan dan diaduk sampai merata dengan cangkul (campuran 2)
•
campuran 1 disiramkan ke campuran 2 sambil diaduk dengan cangkul sampai merata.
•
setelah itu ditutup dengan plastik untuk menghindari hujan dan panas, tetapi tidak di tutup rapat sehingga memungkinkan adanya sirkulasi udara
•
media kompos diaduk setiap lima hari sekali dan jika media kompos kelihatan kering perlu disiram dengan air (biasanya sekali saja)
•
setelah dua minggu kompos telah jadi dan siap untuk digunakan
Pupuk guano juga ada yang berbentuk pupuk cair. Pembuatan pupuk cair guano dilakukan dengan cara mengencerkan 100 gram guano dalam satu liter air dan didiamkan selama tiga hari. Setelah tiga hari larutan siap digunakan untuk
pemupukan, namun sebelumnya harus diencerkan dua kali atau 50% ( satu liter larutan guano + satu liter air)
Hama Penting Tanaman Padi
Wereng Batang Coklat (WBC) Wereng batang coklat, Nilaparvata lugens Stal. termasuk dalam famili Delphacidae, ordo Hemiptera. Daerah penyebaran wereng batang coklat ini selain di Indonesia juga terdapat di Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan, dan Kepulauan Pasifik (Harahap &Tjahjono 1988). Wereng batang coklat ini sebelumnya termasuk hama sekunder. Berubahnya wereng batang coklat menjadi hama penting karena adanya penyemprotan pestisida yang tidak tepat pada awal pertumbuhan tanaman, sehingga dapat membunuh musuh alami (Syam & Wurjandari 2003). Pada imago wereng batang coklat terjadi dimorfisme, yaitu terbentuknya makroptera (sayap panjang) dan brakhiptera (sayap pendek). Makroptera berfungsi untuk melakukan pemencaran sedangkan brakhiptera berfungsi untuk berkembangbiak (Kalshoven 1981). Panjang tubuh imago jantan 2-3 mm dan imago betina 3-4 mm. Imago betina mempunyai abdomen yang lebih gemuk daripada imago jantan. Imago mampu meletakkan telur sebanyak 300-350 butir (Harahap & Tjahjono 1988). Telur berbentuk lonjong dan diletakkan berkelompok seperti sisiran pisang di dalam jaringan pelepah daun yang menempel pada batang. Telur berwarna transparan keputihan dengan panjang 1,3 mm. Telur akan menetas 7-10 hari setelah diletakkan (Harahap & Tjahjono 1988). Nimfa terdiri dari 5 instar yang berlangsung selama 12-15 hari. Nimfa instar pertama berukuran panjang 1,6 mm dan berwarna putih keabu-abuan, sedangkan instar 5 berukuran panjang 2 mm berwarna coklat (Harahap & Tjahjono 1988). Menurut Syam dan Wurjandari (2003), stadia tanaman yang rentan terhadap serangan wereng batang coklat dimulai dari pembibitan sampai fase matang susu. Gejala kerusakan yang terlihat pada tanaman berupa kelayuan dan mengeringnya daun, mulai dari daun tua kemudia meluas dengan cepat ke seluruh bagian
tanaman dan akhirnya tanaman mati (Harahap & Tjahjono 1988). Ambang ekonomi hama ini adalah 15 ekor per rumpun. Pengendalian yang dapat dilakukan yaitu pengaturan pola tanam melalui penanaman serentak, pergiliran tanaman dan menanam varietas tahan, eradikasi tanaman terserang, dan pengendalian hayati dengan laba-laba predator Lycosa pseudoannulata (Harahap & Tjahjono 1988).
Penggerek Batang Padi Hama penggerek batang secara umum dianggap sebagai hama penting pada tanaman padi. Hama ini menyebabkan kerusakan berat di Taiwan, Cina, dan Jepang. Hama ini dapat merusak tanaman pada semua fase tumbuh, baik pada saat di pembibitan, fase anakan, maupun fase berbunga. Bila serangan terjadi pada pembibitan sampai fase anakan, hama ini disebut sundep dan jika terjadi pada saat berbunga, disebut beluk (Syam & Wurjandari 2003). Terdapat empat spesies penggerek batang padi, yaitu penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas, penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata, penggerek batang padi bergaris Chilo supressalis, penggerek batang padi merah jambu Sesamia inferens. Keempat jenis penggerek batang padi ini mempunyai cara hidup yang hampir sama dan gejala kerusakan yang ditimbulkan juga persis sama (Harahap & Tjahjono 1988). Penggerek batang padi kuning. Menurut Kalshoven (1981) penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas termasuk ordo Lepidoptera, famili Pyralidae. Daerah penyebarannya terdapat di negara-negara Pakistan, India, Srilangka, Asia Tenggara, Cina, dan Jepang. Telur berbentuk seperti cakram, diletakkan dalam kelompok 50-150 butir per kelompok dan ditutupi oleh rambut-rambut berwarna coklat. Stadium telur 4-9 hari. Larva berwarna kekuningan dan kepala berwarna jingga. Di dalam tiap batang terdapat satu larva (Harahap & Tjahjono 1988). Larva dapat langsung menggerek atau menyebar dengan melalui benang sutra lalu disebarkan oleh angin (Kalshoven 1981). Pupa berwarna kuning putih dan dapat ditemukan pada bagian batang terbawah atau di bawah permukaan tanah. Stadium pupa 7-11 hari. Lama hidup
imago 5-7 hari. Sayap imago jantan berwarna coklat terang atau kuning jerami dengan bintik-bintik hitam yang samar-samar. Sayap depan imago betina berwarna kuning jerami dengan bercak hitam yang jelas pada bagian tengahnya (Harahap & Tjahjono 1988). Penggerek batang padi putih. Penggerek batang padi putih Scirpophaga innotata termasuk ordo Lepidoptera, famili Pyralidae. Penyebarannya di Indonesia terbatas di daerah dataran rendah sampai ketinggian 200 m dpl dengan musim kemarau yang jelas dan musim hujan kurang dari 200 mm (Kalshoven 1981). Telur diletakkan secara berkelompok pada permukaan bawah daun, ditutupi oleh rambut-rambut coklat. Pada persemaian, kelompok telur dapat ditemukan pada bagian atas daun (Kalshoven 1981). Larva yang baru menetas pada waktu dini hari langsung menggerek pelepah daun dan jaringan daun. Larva juga sering kali menyebar lebih dahulu melalui benang sutra dan terbawa aliran air menuju ke tanaman padi lainnya (Kalshoven 1981). Kepompong berada didalam batang, berwarna pucat dan lunak. Masa kepompong berkisar 7-11 hari. Imago aktif malam hari dan tertarik cahaya lampu. Imago berwarna putih, ukuran ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan (Hill 1972). Penggerek batang padi bergaris. Penggerek batang padi bergaris Chilo supressalis termasuk ordo Lepidoptera, famili Pyralidae. Hama ini tersebar di negara Spanyol, India, Pakistan, Bangladesh, Asia Tenggara, Cina, Korea, Papua New Guinea, dan Australia Utara (Harahap & Tjahjono 1988). Telur berbentuk seperti cakram, berwarna kuning pucat dan diletakkan secara tumpang tindih didalam kelompok telur. Stadium telur 5-6 hari (Harahap & Tjahjono 1988). Larva berkembang penuh pada umur 3 hari, ukuran panjang larva 26 mm dan lebar 2,5 mm. Larva berwarna putih abu-abu dengan lima garis memanjang pada bagian pungung (Harahap & Tjahjono 1988). Menurut Harahap dan Tjahjono (1988) pupa berwarna coklat kemerahan dengan panjang 15 mm. Letak pupa kira-kira setengah jengkal di atas permukaan
tanah. Stadium pupa kira-kira 6 hari. Panjang tubuh imago 13 mm dan rentang sayapnya 23-30 mm dan lama hidup 3-5 hari. Penggerek batang padi merah jambu. Penggerek batang padi merah jambu Sesamia inferens termasuk ordo Lepidoptera, famili Noctuidae. Hama ini tersebar di negara India, Pakistan, Bangladesh, Asia Tenggara, Cina, Korea, Papua New Guinea, Kepulauan Salomon, dan Srilangka (Harahap & Tjahjono 1988). Telur berbentuk seperti manik-manik, diletakkan dalam barisan-barisan di dalam seludang daun dan ditutupi oleh rambut-rambut. Telur mula-mula berwarna putih kuning, kemudian menjadi merah jambu. Telur menetas 7-8 hari setelah diletakan (Harahap & Tjahjono 1988). Pupa berwarna merah coklat dengan panjang 18 mm. Stadium pupa kirakira 10 hari. Pupa terdapat diantara seludang daun dan batang
(Harahap &
Tjahjono 1988). Menurut Harahap dan Tjahjono (1988) pengendalian hama penggerek batang padi dapat dilakukan dengan cara kultur teknis, menanam varietas yang cepat tumbuh, menanam serempak, menghindari pemakaian pupuk yang berlebihan, membuang bibit padi yang mengandung telur penggerek sebelum penanaman, dan penggunaan varietas tahan.
Ganjur Hama ganjur ini disebabkan oleh Orselia orizae (Diptera: Cecidomyiidae). Serangga menyerupai bentuk seperti nyamuk dengan sepasang sayap serta perutnya berwarna merah terang. Orselia orizae biasanya aktif pada malam hari di musim penghujan dan biasanya bertelur pada helaian daun sebelah bawah atau pada pelepah (Handoyo 2009). Menurut Handoyo (2009), telur diletakkan secara berkelompok atau satusatu. Satu kelompok telur sekitar 12-25 butir. Peletakkan telur dimulai sore hari hingga malam. Larva merayap ke pelepah daun menuju titik tumbuh dan masuk ke dalam pucuk daun. Biasanya hanya terdapat satu larva dalam gejala tersebut. Gejala khas ganjur adalah tunas padi yang tumbuh menjadi bentuk seperti pentil atau daun bawang, dengan panjang bervariasi 15-20 cm. Anakan yang
terserang ganjur tidak mampu menghasilkan malai. Serangga dewasa Orseolia oryzae menyerupai nyamuk kecil, tidak kuat terbang, sehingga penyebarannya sangat terbatas. Serangga ini aktif pada malam hari dan sangat tertarik cahaya.
Musuh Alami Hama Tanaman Padi
Paederus fuscipes P. fuscipes termasuk dalam ordo Coleoptera, famili Staphylinidae. Serangga ini memiliki panjang tubuh 6,5 sampai 8 mm, kepala berwarna hitam, abdomen berwarna merah kecoklatan dengan ujung abdomen berwarna hitam. Ciri khas serangga ini adalah elitra yang pendek berwarna hitam kebiruan, tidak menutupi semua ruas abdomen. Sayap belakang berwarna bening trasparan, panjang, dan dalam keadaan istirahat sayap terlipat dan tersembunyi dibawah elitra (Taulu 2001). Siklus hidup P. fuscipes meliputi telur, tiga instar larva, pupa, dan imago. P. fuscipes hidup di tempat-tempat dengan kelembaban yang tinggi terutama pada tanah yang banyak mengandung bahan organik (serasah) dibawah bebatuan atau pada tunggul kayu. Hal ini berhubungan dengan tempat perkembangbiakkan dan kehidupan serangga pradewasa P. fuscipes yang berada di tanah. Tubuh serangga ini mengandung pederin yaitu suatu toksin dalam darah yang berguna untuk melumpuhkan mangsa atau musuh. Pederin merupakan sarana pertahanan P. fuscipes terhadap musuh alami di lapangan (Herlinda 2000). Kumbang dewasa lebih sering berada pada tajuk tanaman untuk mencari mangsa, sangat gesit, dan berlari sangat cepat bila diganggu, kumbang ini menyebar dengan cara berjalan diatas tanah atau pindah ke tanaman lain melalui tajuk tanaman (Taulu 2001). P. fuscipes merupakan predator yang penting dan mempunyai peranan yang cukup besar dalam menekan populasi hama di pertanaman padi terutama wereng batang coklat, wereng punggung putih, dan wereng hijau (Soekarno & Soetisna dalam Taulu 2001).
Laba-Laba Laba-laba dapat berperan sebagai musuh alami hama hampir disemua ekosistem pertanian, walaupun kadang-kadang tidak mampu mengimbangi peningkatan kerapatan mangsa. Laba-laba merupakan predator yang memiliki beberapa kelebihan, yaitu mempunyai kemampuan memencar yang baik, mampu lebih awal mengkolonisasi ekosistem pertanian semusim, memakan mangsa baik yang terdapat dipermukaan tanah maupun yang terdapat pada tajuk tanaman, dan memakan mangsa pada siang hari dan malam hari (Busniah 1995). Laba-laba dapat dibedakan berdasarkan model penangkapan mangsanya, yaitu laba-laba pemburu dan laba-laba pembuat jaring. Secara proporsional biasanya jumlah laba-laba pemburu di pertanaman padi lebih banyak dibanding dengan laba-laba pembuat jaring (Agnew dan Smith dalam Busniah 1995). Laba-laba pemburu yang umum terdapat pada pertanaman tergolong dalam famili
Oxyopidae,
Lycosidae,
Thomisidae,
Salticidae,
Anyphaenidae,
Philodromidae, Clubionidae, dan Gnaphosidae (Busniah 1995). Berdasarkan strategi penangkapan mangsa, laba-laba pemburu dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu (a) pemburu berlari, diantaranya Anyphaenidae, Lycosidae, Clubionidae, Gnaphosidae, dan sebagian besar Philodromidae; (b) penerkam mangsa dari jarak tertentu, diantaranya Salticidae dan Oxyopidae; dan (c) penunggu sampai mangsa tersebut masuk ke dalam daerah tangkapannya, misalnya Thomisidae (Agnew & Smith dalam Busniah 1995).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2008 hingga Maret 2009 bertempat di lahan pertanian Kelompok Tani Karangmalang, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
Metode Penelitian
Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap 4 perlakuan. Keempat perlakuaan tersebut adalah: 1. Pertanaman padi organik secara SRI dengan perlakuan PGPR dan ekstrak guano 2. Pertanaman padi organik secara SRI 3. Pertanaman padi organik konvesional dengan perlakuan PGPR dan ekstrak guano 4. Pertanaman padi organik konvesional Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali ulangan, masing-masing pada petak seluas 600 m2. Pertanaman
padi
organik
SRI maupun
pertanaman
padi
organik
konvensional menggunakan benih padi varietas Ciherang. Benih padi yang akan di tanam terlebih dahulu disemai di tempat persemaian. Bibit padi pada pertanaman padi organik SRI ditanam saat berumur 14 hari setelah semai sebanyak satu bibit per lubang. Sedangkan bibit padi pada pertanaman padi organik konvensional ditanam saat berumur 22 hari setelah semai sebanyak 3-5 bibit per lubang. Penanaman bibit padi menerapkan sistem tanam legowo 5, jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 25 cm. Pupuk yang digunakan adalah bokashi dan moretan. Bokashi diaplikasikan pada saat pengolahan tanah atau dua hari sebelum pindah tanam dan pada saat tanaman berumur 25-30 HST. Sedangkan moretan diaplikasikan pada saat tanaman berumur 3 HST, 10 HST, 20 HST, 30 HST, 45 HST, 60 HST, dan 75 HST. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemupukan adalah: moretan
diaplikasikan pada pagi atau sore hari, penyebaran pupuk bokashi atau penyemprotan moretan harus merata benar, kondisi air dalam lahan tidak tergenang atau macak-macak, pemberian pupuk Bokashi tidak melebihi usia tanaman 30 HST karena dikhawatirkan akan mempengaruhi pertumbuhan malai. Penyiangan dilakukan sebanyak tiga kali selama musim tanam pada pertanaman padi organik SRI. Pengairan pada pola tanam SRI adalah bursat atau pengairan diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman dan tanah pada lahan sawah. Sedangkan pada pertanaman padi organik konvensional, pengairan dilakukan seperti pertanaman tradisional. Perlakuan PGPR
diaplikasikan pada saat dua hari setelah penyiangan
dengan konsentrasi 7 cc per Liter atau satu tutup botol per Liter atau 14 tutup botol per tangki. Sedangkan ekstrak guano diaplikasikan pada daun pada 3 MST, 5 MST, dan 7 MST. Perkembangan tanaman, populasi hama, dan musuh alami dipelajari dengan mengamati 10 rumpun tanaman contoh yang ditentukan secara acak pada setiap perlakuan. Pengamatan hama dan musuh alami tanaman padi dilakukan sejak tanaman padi berumur 3 minggu setelah tanam (MST) hingga padi berumur 13 MST dengan interval dua minggu. Kelimpahan hama wereng batang coklat ditentukan dengan menghitung populasi nimfa dan imago pada 10 rumpun tanaman contoh. Kelimpahan Orseolia oryzae ditentukan dengan cara menghitung anakan yang menunjukkan gejala ganjur pada 10 rumpun tanaman contoh. Sedangkan untuk mengetahui serangan hama penggerek batang padi dilakukan dengan cara menghitung anakan yang menunjukkan gejala sundep dan beluk pada 10 rumpun tanaman contoh. Kelimpahan Paederus fuscipes ditentukan dengan menghitung keberadaan imago pada 10 rumpun tanaman contoh. Sedangkan kelimpahan labalaba dilakukan dengan cara menghitung populasi laba-laba tersebut pada 10 rumpun contoh yang diamati. Pengamatan agronomis tanaman padi dilakukan pada 3 MST, 7 MST, dan 11 MST dengan cara menghitung jumlah anakan per rumpun, tinggi tanaman, jumlah malai, dan produksi total.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Tanaman
Pengolahan tanah pada pertanaman padi organik SRI tidak berbeda dengan cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhindar dari gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air (Gambar1).
Gambar 1 Pengolahan tanah pada petak organik konvensional dan SRI pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009
Persemaian untuk pertanaman padi organik konvensional dilakukan di lahan seperti persemaian pada pertanaman konvensional pada umumnya (Gambar 2). Bokashi diberikan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada pertanaman organik SRI, yaitu sebanyak 5 kg/m2. Setelah persemaian berumur 4 hari setelah semai dan 6 hari setelah semai, dilakukan penyemprotan dengan menggunakan moretan untuk pertumbuhan tanaman. Sedangkan persemaian untuk pertanaman padi organik SRI dilakukan didalam pipiti atau nampan plastik (Gambar 3). Media semai terdiri dari campuran bahan organik dan tanah berpasir, dengan perbandingan 1 : 3. Persemaian dalam pipiti atau nampan plastik ini bertujuan untuk mempermudah bibit dibawa ke lapang dan bibit tidak tidak tergenang oleh air. Bibit padi pada pertanaman padi organik konvensional ditanam saat berumur 22 hari setelah semai sebanyak 3-5 bibit per lubang. Kondisi sawah pada saat penanaman tergenang oleh air (Gambar 4). Sedangkan pada pertanaman padi organik SRI bibit ditanam lebih awal, yaitu saat berumur 14 hari setelah semai. Kondisi sawah pada saat penanaman dalam keadaan macak-macak (Gambar 5). Bibit yang ditanam pada saat bibit masih muda dapat mengurangi gunjangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga batang yang muncul dalam satu rumpun dan bulir padi yang dihasilkan oleh malai jumlahnya lebih banyak. Disamping itu juga agar mendapatkan jumlah anakan dan pertumbuhan akar maksimum. Bibit padi pada pertanaman SRI ditanam sebanyak satu bibit per lubang Hal ini dimaksudkan agar tanaman memiliki cukup ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, atau hara dalam tanah sehingga sistem perakaran menjadi sangat baik.
Gambar 2 Petak penyemaian benih padi organik konvensional pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009
Gambar 3 Petak penyemaian benih padi organik SRI pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009
Gambar 4 Penanaman bibit padi organik konvensional pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009
Gambar 5 Penanaman bibit padi organik SRI pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009
Penyiangan pada petak organik konvensional maupun SRI dilakukan sebanyak tiga kali penyiangan dengan cara manual menggunakan tangan atau alat sederhana (Gambar 6). Penyiangan dilakukan untuk membersihkan gulma, selain itu dapat memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan aerasi tanah. Gulma hasil penyiangan dibenamkan pada lahan sawah untuk dijadikan sebagai tambahan bahan organik. Pada pertanaman SRI, setelah penyiangan ke tiga, lahan sawah harus dikeringkan selama 15 hari. Hal ini bertujuan untuk menghentikan pertumbuhan anakan sehingga memaksimalkan anakan produktif. Setelah dikeringkan 15 hari, lahan digenangi air kembali setinggi 1-3 cm untuk pembentukan malai. Kemudian dikeringkan kembali ketika malai sudah mulai mengisi sampai masa panen.
Gambar 6 Penyiangan pada petak pertanaman organik pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009
Jumlah Anakan Tanaman Padi Tabel 1 menunjukkan bahwa pada 3 MST (minggu setelah tanam) jumlah anakan padi organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano berbeda nyata dengan petak pertanaman yang lainnya. Pada petak organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano bibit ditanam sebanyak 3-5 bibit per lubang, sehingga jumlah anakan lebih besar pada saat awal tanam. Selain itu, penambahan PGPR dan ekstrak guano dapat memicu pertumbuhan tanaman. Gambar 7 menunjukkan perbandingan antara petak pertanaman organik konvensional dan SRI. Pertanaman padi organik SRI secara umum pada 3 MST masih terlihat lebih kurus, pendek, dan jumlah anakan lebih sedikit dibandingkan petak pertanaman padi organik konvensional.
Tabel 1 Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan jumlah anakan tanaman padi pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Pola pertanaman
Jumlah anakan 3 MST
7 MST
11 MST
Organik SRI + PGPR dan ekstrak guano
20.27b
36.27a
18.03b
Organik SRI
21.23b
36.13a
17.73b
Organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano
25.67a
30.60a
22.57b
Organik konvensional
22.37b
32.57a
23.17a
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang Ganda Duncan taraf nyata 5%
Akan tetapi, pada 7 MST jumlah anakan tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8. Pertumbuhan padi organik SRI hampir sama dengan padi organik konvensional. Pada budidaya SRI, bibit padi ditanam saat bibit masih muda untuk mengurangi gunjangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhann vegetatif, sehingga batang yang muncul dalam satu rumpun jumlahnya lebih banyak, dan dapat mengimbangi pertumbuhan padi organik konvensional.
Petak Organik Konvesional
Petak Organik SRI
Gambar 7 Petak pertanaman padi organik konvensional (kanan) dan SRI (kiri) 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009
Petak Organik Konvesional
Petak Organik SRI
Gambar 8 Petak pertanaman padi organik konvensional (kanan) dan SRI (kiri) pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009
Produksi Tanaman Padi Tabel 2 menunjukkan bahwa pola pertanaman tidak berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman padi. Perkembangan tanaman petak organik SRI + PGPR dan ekstrak guano lebih besar dibanding petak yang lainnya, yaitu sebesar 5936,9 kg gabah basah/ha. Sedangkan produksi padi pada sistem budidaya tanaman padi organik SRI, organik konvesional + PGPR dan ekstrak guano, dan organik konvesional masing-masing adalah 5569,4 kg gabah basah/ha, 5341,6 kg gabah basah/ha, dan 4989,7 kg gabah basah/ha. Berdasarkan jumlah anakan, secara umum lahan organik SRI memiliki nilai yang rendah dibanding lahan organik konvesional, namun produksi tanaman tidak berbeda nyata dengan pertanaman padi organik konvensional. Hal ini terjadi karena pengaruh cara budidaya SRI yang menghasilkan bulir padi yang lebih berat.
Tabel 2 Pengaruh pola pertanaman terhadap produksi tanaman padi pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Pola pertanaman Organik SRI + PGPR dan ekstrak guano
Hasil (kg gabah basah/ha) 5936.90a
Organik SRI
5569.40a
Organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano
5341.60a
Organik konvensional
4989.70a
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Selang Ganda Duncan taraf nyata 5%
Hama Penting Tanaman Padi Berbagai jenis hama yang ditemukan selama pengamatan padi pada empat sistem budidaya antara lain gejala serangan penggerek batang padi yang berupa sundep dan beluk, hama putih palsu Cnaphalocrosis medinalis, walang sangit Leptocorisa oratorius, wereng hijau Nephotettix virescens, wereng batang coklat Nilaparvata lugens, hama ganjur Orseolia oryzae, ulat grayak Mythimna separata, keong mas Pomacea canaliculata, burung, dan tikus.
Wereng Batang Coklat (WBC) Wereng batang coklat memiliki dimorfisme bentuk imago, yaitu imago yang bersayap rudimenter (brakhiptera) dan imago yang bersayap sempurna (makroptera). Imago dengan sayap sempurna akan muncul jika kerapatan populasi wereng semakin meningkat. Saat populasi wereng meningkat maka akan terjadi migrasi. Menurut Saputra (2007), makroptera lebih banyak terdapat pada tanaman tua daripada tanaman muda dan tanaman setengah rusak dibanding dengan tanaman sehat. Wereng batang coklat merupakan hama penting yang dapat menimbulkan kerusakan parah pada tanaman padi. Pada populasi yang tinggi, hama ini dapat mengakibatkan tanaman padi menjadi kering atau disebut dengan istilah hopperburn. Wereng batang coklat memiliki tipe alat mulut menusuk mengisap. Alat mulut berupa stilet digunakan untuk menusuk jaringan tanaman dan kemudian mengisap cairan makanan. Tabel 3 menunjukkan bahwa pola pertanaman tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan populasi wereng batang coklat. Perkembangan populasi wereng batang coklat sudah terlihat sejak 3 MST (minggu setelah tanam). Serangan pertama wereng batang coklat 3 MST pada petak organik SRI + PGPR dan ekstrak guano, organik SRI, organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano, dan organik konvensional masing-masing adalah 1.67, 1.33, 2.67, dan 2.33 ekor per 10 rumpun. Secara umum populasi wereng batang coklat terus meningkat setiap minggunya. Hal ini dikarenakan lokasi penelitian berada berdekat-dekatan dengan lahan konvesional yang menggunakan pestisida. Perkembangan populasi
wereng batang coklat pada petak petani konvensional cukup besar dibandingkan pada petak percobaan. Berdasarkan
hasil
pengamatan
pada
petak
petani
konvensional,
perkembangan populasi wereng batang coklat pada 11 MST berbeda nyata dengan petak lainnya, yaitu sebesar 112.67 ekor per 10 rumpun. Hal ini terjadi karena padi ditanam dengan jarak tanam yang lebih rapat, tanpa sistem legowo dan selalu tergenang, sehingga kondisi pertanaman lebih lembab. Wereng batang coklat lebih menyukai tempat dengan kelembaban tinggi. Tanaman padi yang memiliki jumlah anakan yang banyak sangat membantu perkembangan wereng dengan baik karena faktor kelembaban yang tinggi.
Tabel 3 Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan populasi WBC pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Populasi WBC (ekor per 10 rumpun) Pola pertanaman
3 MST
5 MST
7 MST
9 MST
11 MST
13 MST
Organik SRI + PGPR dan ekstrak guano
1.67a
2.67a
11.00a
32.67a
31.00a
14.00a
Organik SRI
1.33a
2.33a
12.67a
31.67a
22.67a
19.33a
Organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano
2.67a
6.00a
27.33a
9.67a
36.00a
18.67a
Organik konvensional
2.33a
10.00a
30.67a
27.00a
30.00a
20.67a
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Selang Ganda Duncan taraf nyata 5%
Penggerek Batang Padi Penggerek batang padi merupakan hama yang umum ditemui pada tanaman padi yang dapat menyerang dari tahap persemaian hingga pada usia dewasa. Pada areal pertanian padi di jalur Pantai Utara, jenis penggerek batang padi yang umum menyerang adalah hama penggerek batang padi putih S. innotata dan hama penggerek batang padi kuning S. incertulas yang juga menjadi hama penting di daerah yang menanam padi lebih dari satu kali dalam setahun seperti halnya daerah Pantai Utara (Soehardjan 1976 dalam Warti 2006). Keberadaan hama ini tidak dapat dilihat secara langsung karena stadia hama yang merusak adalah stadia larva. Keberadaan hama ini hanya dilihat dari gejala serangan yang ditimbulkan. Namun, imago serangga ini berupa ngengat terkadang dapat pula ditemui hinggap di batang atau daun tanaman padi. Aktivitas makan berupa gerekan oleh larva pada lipatan daun menimbulkan gejala berupa perubahan warna daun menjadi keputihan yang luas dan memanjang dan bisa menyebabkan helai daun kering dan menggulung. Sekitar seminggu setelah menetas, larva dari lipatan daun menggerek ke dalam batang, dan makan pada bagian permukaan dalam jaringan. Gerekan larva penggerek seringkali terjadi pada bagian titik tumbuh tanaman. Jika serangan seperti ini terjadi pada fase vegetatif, daun-daun muda akan menggulung dan tidak terbuka, warna daun berubah kecoklatan dan mengering. Gejala seperti ini dikenal dengan sebutan sundep atau mati pucuk dan anakan yang terserang tidak dapat menghasilkan malai. Setelah malai terbentuk, larva yang baru menetas akan menggerek ke dalam batang padi dan memutus translokasi air dan hara dari akar tanaman ke bagian atas tanaman. Hal ini menyebabkan malai yang terbentuk menjadi hampa dan berwarna putih pucat. Gejala serangan hama penggerek batang padi pada fase generatif ini disebut beluk atau malai hampa. Tabel 4 menunjukkan bahwa pola pertanaman tidak berpengaruh nyata terhadap populasi sundep dan beluk. Serangan penggerek batang padi mulai terjadi 5 MST (minggu setelah tanam) pada petak organik SRI sebanyak 0.33 anakan per 10 rumpun. Sedangkan pada petak lainnya belum terjadi serangan. Serangan pertama petak organik SRI + PGPR dan ekstrak guano, dan organik
konvensional terjadi pada 9 MST masing-masing sebanyak 0.67 dan 0.33 anakan per 10 rumpun. Sedangkan serangan pertama petak organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano terjadi pada 11 MST sebanyak 1.33 anakan per 10 rumpun. Perkembangan populasi sundep dan beluk selalu mengalami peningkatan setiap minggunya. Populasi sundep dan beluk pada 13 MST lebih besar dibandingkan minggu sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada 13 MST terdapat banyak gulma yang menjadi tempat bersarang untuk imago penggerek batang padi. Berdasarkan hasil pengamatan pada petak petani konvensional, serangan penggerek batang padi baru terjadi 5 MST dan tidak berbeda nyata dengan petak pengamatan yang lain. Perkembangan populasi sundep dan beluk pada 5 MST, 7 MST, 9 MST, 11 MST, dan 13 MST masing-masing adalah 1.67, 0.33, 0.67, 1.33, dan 4.33 anakan per 10 rumpun.
Tabel 4 Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan populasi sundep dan beluk pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Populasi sundep-beluk (anakan per 10 rumpun) Pola pertanaman
3 MST
5 MST
7 MST
9 MST
11 MST
13 MST
Organik SRI + PGPR dan ekstrak guano
0.00a
0.00a
0.00a
0.67a
5.33a
10.33a
Organik SRI
0.00a
0.33a
1.00a
1.00a
5.00a
7.67a
Organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
1.33a
3.00a
Organik konvensional
0.00a
0.00a
0.00a
0.33a
2.67a
4.33a
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Selang Ganda Duncan taraf nyata 5%
Ganjur Keberadaan hama ganjur tidak dapat dilihat secara langsung karena stadia hama yang merusak adalah stadia larva. Keberadaan hama ini hanya dilihat dari gejala serangan yang ditimbulkan, yaitu tunas padi yang tumbuh menjadi bentuk seperti pentil atau daun bawang. Biasanya hanya terdapat satu larva dalam gejala tersebut. Tabel 5 menunjukkan bahwa pola pertanaman tidak berpengaruh nyata terhadap populasi ganjur. Serangan hama ganjur mulai terjadi 5 MST (minggu setelah tanam) pada petak organik SRI + PGPR dan ekstrak guano, organik SRI , dan organik konvensional masing masing sebanyak 0.33, 0.67, dan 1.33 anakan per 10 rumpun. Sedangkan pada petak organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano gejala serangan hama ganjur terjadi pada 7 MST sebanyak 7.67 anakan per 10 rumpun. Secara umum gejala serangan hama ganjur selalu mengalami peningkatan setiap minggunya.
Tabel 5 Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan populasi ganjur pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Populasi ganjur (anakan per 10 rumpun) Pola pertanaman
3 MST
5 MST
7 MST
9 MST
11 MST
13 MST
Organik SRI + PGPR dan ekstrak guano
0.00a
0.33a
5.00a
26.33a
49.33a
53.33a
Organik SRI
0.00a
0.67a
6.67a
35.67a
61.00a
63.67a
Organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano
0.00a
0.00a
7.67a
26.00a
52.67a
60.00a
Organik konvensional
0.00a
1.33a
5.67a
25.67a
56.67a
61.00a
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Selang Ganda Duncan taraf nyata 5%
Berdasarkan
hasil
pengamatan
pada
petak
petani
konvensional,
perkembangan populasi ganjur pada 11 MST dan 13 MST berbeda nyata dengan petak pengamatan yang lainnya, yaitu sebesar 194.33 dan 206 anakan per 10
rumpun. Hal ini terjadi karena jarak tanam pada petak petani konvensional lebih rapat sehingga pertanaman menjadi lebih lembab..
Musuh Alami
Paederus fuscipes Tabel 6 menunjukan bahwa pola pertanaman tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan populasi P. fuscipes. Populasi P. fuscipes pertama terjadi pada petak organik SRI , organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano, dan organik konvensional masing masing sebanyak 0.67, 0.33, dan 0.67 ekor per rumpun. Sedangkan populasi pertama pada petak organik SRI + PGPR dan ekstrak guano terjadi pada 5 MST sebanyak 1.00 ekor per rumpun. Perkembangan populasi P. fuscipes 11 MST pada petak organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano lebih besar dibangding petak yang lain. Hal ini karena pada 11 MST, populasi wereng batang coklat juga tinggi. Widya (2005) melaporkan bahwa populasi kumbang P. fuscipes akan meningkat pada saat populasi wereng juga meningkat.
Tabel 6 Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan populasi Paederus fuscipes pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Populasi P. fuscipes (ekor per 10 rumpun) Pola pertanaman
3 MST
5 MST
7 MST
9 MST
11 MST
13 MST
Organik SRI + PGPR dan ekstrak guano
0.00a
1.00a
0.00a
0.67a
1.00a
0.67a
Organik SRI
0.67a
0.67a
0.00a
1.00a
2.00a
1.33a
Organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano
0.33a
1.33a
0.67a
1.33a
4.00a
1.33a
Organik konvensional
0.67a
2.33a
0.33a
1.33a
3.67a
1.67a
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Selang Ganda Duncan taraf nyata 5%
Laba-Laba Tabel 7 menunjukkan populasi laba-laba terjadi mulai pada 3 MST di semua sistem budidaya tanaman padi. Populasi rata-rata pada petak organik SRI + PGPR dan ekstrak guano, organik SRI , organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano, dan organik konvensional masing-masing 2.33, 2.33, 5.00, dan 3.00 ekor per 10 rumpun. Populasi rata-rata laba-laba setiap minggunya mengalami peningkatan. Perkembangan populasi laba-laba 11 MST pada petak organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano lebih besar dibangding petak yang lain, yaitu sebanyak 40 ekor per 10 rumpun. Hal ini karena pada 11 MST, populasi wereng batang coklat juga tinggi. Laba-laba merupakan pemangsa wereng batang coklat. Ketika mangsa tersedia dalam jumlah yang tinggi, maka laba-laba dapat berkembangbiak dengan baik. Berdasarkan
hasil
pengamatan
pada
petak
petani
konvensional,
perkembangan populasi laba-laba pada 13 MST berbeda nyata dengan petak pengamatan yang lainnya, yaitu sebesar 36.67 ekor per 10 rumpun. Hal ini terjadi karena populasi hama sebagai mangsa laba-laba pada petak petani konvensional juga tinggi.
Tabel 7 Pengaruh pola pertanaman terhadap perkembangan populasi laba-laba pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Populasi laba-laba (ekor per 10 rumpun) Pola pertanaman
3 MST
5 MST
7 MST
9 MST
11 MST
13 MST
Organik SRI + PGPR dan ekstrak guano
2.33a
2.33a
4.33a
18.33a
19.33a
19.00a
Organik SRI
2.33a
1.33a
4.00a
21.67a
20.00a
23.33a
Organik konvensional + PGPR dan ekstrak guano
5.00a
6.67a
5.00a
7.00a
40.00a
30.00a
Organik konvensional
3.00a
4.67a
7.00a
10.67a
29.67a
29.00a
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Selang Ganda Duncan taraf nyata 5%
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Pola pertanaman padi organik sistem konvensional dan SRI tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan populasi hama maupun musuh alami. Berdasarkan hasil pengamatan pada petak petani konvensional, perkembangan populasi hama wereng batang coklat dan ganjur lebih besar dibandingkan dengan pola pertanaman padi organik konvensional dan SRI. Secara umum, perkembangan jumlah anakan pada pertanaman organik SRI diawal tanam lebih rendah dibandingkan pada pertanaman organik sistem konvensionl, akan tetapi produksi tanaman padi pada pertanaman organik SRI tidak berbeda nyata dengan pertanaman organik sistem konvensional Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh sistem budidaya tanaman padi terhadap hama tanaman padi.
DAFTAR PUSTAKA
Andoko A. 2002. Budi Daya Padi Secara Organik. Jakarta: Penebar Swadaya. [Anonim]. 2009. Bakteri Moretan. http://pupukalam.blogspot.com/2009/06/bakteri-moretan.html [7 September] Busniah M. 1995. Pengaruh Kerapatan dan Jenis Gulma Terhadap Arthropoda Predator Pada Pertanaman Kedelai [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Fagi MA, Lass I. 1988. Dalam: Ismunadji M, Partohardjono, Syam M dan Widjono A. Lingkungan Tumbuh Padi. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hal: 167-213. Handoyo. 2009. Pengendalian Hama Ganjur. http://www.tanindo.com/abdi8/hal4601.htm Harahap IS, Tjahjono B. 1988. Pengendalian Hama Penyakit Padi. Jakarta: Penebar Swadaya. Herlinda S. 2000. Analisis Komunitas Arthropoda Predator Lanskap Persawahan di Daerah Cianjur, Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hill DS. 1972. Agriculture Insect Pests of the Tropics and their Control. Second Edition. Sidney : Cambrige, London, New York New Rochole, Melbourne. Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Laan PA Vaan der, penerjemah. Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Ho eve. Terjemahan dari: De plagen van de Cultuurgewasse in Indonesia. Manurung SO, Ismunadji M. 1988. Morfologi dan Fisiologi Padi, hal 55-102. Dalam: Ismunadji M, Partohardjono, Syam M dan Widjono A. Lingkungan Tumbuh Padi. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Nawangsih. 2006. seleksi dan Karakterisasi Bakteri Biokontrol untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) pada Tomat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Rafika. 2009. Pengaruh Perbedaan Karakteristik Kimia dan Mineral serta Penambahan Bahan Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi yang Ditanam dengan Metode SRI [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rasantika. 2009. Guano, Kotoran Burung yang Menyuburkan. http://www.ideaonline.co.id/iDEA/Blog/Taman/Guano-Kotoran-Burungyang-Menyuburkan. [7 September 2009] Reijntjes C, Bertus, Bayer AW. 1999. Pertanian Masa Depan. Sukoco Y, penerjemah. Yogyakarta: Kanisius. Terjemahan dari: An Introduction to Low External Input and Suistainable Agriculture.
Saputra AT. 2007. Hama dan Musuh Alami Penting pada Tanaman Padi Hibrida di Balonggandu, Jatisari, Karawang [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Salikin KA. 2003. Sistem Petanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius. Siregar H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta: sastra Husada. Semangun H. 1990. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suastika IBK. 2005. Kumbang Jelajah Paederus fuscipes Curt. (Coleoptera: Staphylinidae): Pengaruh Jenis Mangsa Terhadap Perkembangan dan Reproduksi Serta Kajian Pemangsaan pada Ulat Grayak [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suryanata ZD. 2007. Pengembangan System of Rice Intensification, Sistem Budidaya Padi Hemat Air Irigasi dengan Hasil Tinggi. Di dalam: Prosiding Simposium, Seminar, dan Kongres IX Perhimpunan Agronomi Indonesia; Bandung, 15-17 November 2007. Bandung: Perhimpunan Agronomi Indonesia. 130-136 Syam M, Wurjandari D. 2003. Masalah Lapangan Hama Penyakit Hara pada Padi. www.knowledgebank.irri.org/regionalsites/indonesia/PDF%20files/buklet% 20hapen%203rd%20ed.pdf. (17 Januari 2009) Taulu LA. 2001. Kompleks Arthropoda Predator Penghuni Tajuk Kedelai dan Peranannya dengan Perhatian Utama pada Paederus fuscipes Curt. (Coleoptera: Staphylinidae) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Warti. 2006. Perkembangan Hama Tanaman Padi pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Situ Gede, Bogor Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Widodo. 2006. Peran MIkroba Bermanfaat dalam Pengelolaan Terpadu Hama dan Penyakit Tanaman.. Apresiasi Penanggulangan OPT Tanaman Sayuran; Nganjuk, 3-6 Oktober 2006. Widya W. 2005. Kelimpahan Kumbang Jelajah Paederus fuscipes Curt. (Coleoptera: Staphylinidae) pada Empat Ekosistem Pertanaman di Kecamatan Ciranjang, Cianjur [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar sidik ragam populasi WBC 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 3.333
Kuadrat tengah 1.111
Galat
8
14.667
1.833
Total
11
18.000
F hitung
Pr>F hit
0.61
0.61
Lampiran 2 Daftar sidik ragam populasi WBC 5 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 114.917
Kuadrat tengah 38.306
Galat
8
333.333
41.667
total
11
448.250
F hitung
Pr>F hit
0.92
0.4740
Lampiran 3 Daftar sidik ragam populasi WBC 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 904.917
Kuadrat tengah 301.639
Galat
8
904.000
113.000
total
11
1808.917
F hitung
Pr>F hit
2.67
0.1187
Lampiran 4 Daftar sidik ragam populasi WBC 9 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 1026.250
Kuadrat tengah 342.083
Galat
8
1952.000
244.000
total
11
2978.250
F hitung
Pr>F hit
1.40
0.3114
Lampiran 5 Daftar sidik ragam populasi WBC 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 272.250
Kuadrat tengah 90.750
Galat
8
2084.667
260.583
total
11
2356.917
F hitung
Pr>F hit
0.35
0.7916
Lampiran 6 Daftar sidik ragam populasi WBC 13 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 75.667
Kuadrat tengah 25.222
Galat
8
384.000
48.000
total
11
459.667
F hitung
Pr>F hit
0.53
0.6770
Lampiran 7 Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 0
Kuadrat tengah 0
Galat
8
0
0
total
11
0
F hitung
Pr>F hit
-
-
Lampiran 8 Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 5 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 0.250
Kuadrat tengah 0.083
Galat
8
0.667
0.083
total
11
0.917
F hitung
Pr>F hit
1.00
0.4411
Lampiran 9 Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 2.250
Kuadrat tengah 0.750
Galat
8
2.000
0.250
total
11
4.250
F hitung
Pr>F hit
3.00
0.0951
Lampiran 10 Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 9 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 1.667
Kuadrat tengah 0.556
Galat
8
3.333
0.417
total
11
5.000
F hitung
Pr>F hit
1.33
0.3300
Lampiran 11 Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 32.917
Kuadrat tengah 10.972
Galat
8
124.000
15.500
total
11
156.917
F hitung
Pr>F hit
0.71
0.5738
Lampiran 12 Daftar sidik ragam populasi Sundep dan Beluk 13 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 98.667
Kuadrat tengah 32.889
Galat
8
162.000
20.250
total
11
260.667
F hitung
Pr>F hit
1.62
0.2591
Lampiran 13 Daftar sidik ragam populasi Ganjur 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 0
Kuadrat tengah 0
Galat
8
0
0
total
11
0
F hitung
Pr>F hit
-
-
Lampiran 14 Daftar sidik ragam populasi Ganjur 5 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 2.917
Kuadrat tengah 0.972
Galat
8
14.000
1.750
total
11
16.917
F hitung
Pr>F hit
0.56
0.6588
Lampiran 15 Daftar sidik ragam populasi Ganjur 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 12.250
Kuadrat tengah 4.083
Galat
8
66.000
8.250
total
11
78.250
F hitung
Pr>F hit
0.49
0.6958
Lampiran 16 Daftar sidik ragam populasi Ganjur 9 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 210.917
Kuadrat tengah 70.306
Galat
8
2526.000
315.750
total
11
2736.917
F hitung
Pr>F hit
0.22
0.8780
Lampiran 17 Daftar sidik ragam populasi Ganjur 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 228.917
Kuadrat tengah 76.306
Galat
8
3520.000
440.000
total
11
3748.917
F hitung
Pr>F hit
0.17
0.9114
Lampiran 18 Daftar sidik ragam populasi Ganjur 13 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 173.667
Kuadrat tengah 57.889
Galat
8
2941.333
367.667
total
11
3115.000
F hitung
Pr>F hit
0.16
0.9219
Lampiran 19 Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 0.917
Kuadrat tengah 0.306
Galat
8
6.000
0.750
total
11
6.917
F hitung
Pr>F hit
0.41
0.7520
Lampiran 20 Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 5 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 4.667
Kuadrat tengah 1.556
Galat
8
16.000
2.000
total
11
20.667
Sumber Keragaman Perlakuan
F hitung
Pr>F hit
0.78
0.5386
Lampiran 21 Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 0.917
Kuadrat tengah 0.306
Galat
8
1.333
0.167
total
11
2.250
F hitung
Pr>F hit
1.83
0.2192
Lampiran 22 Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 9 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 0.917
Kuadrat tengah 0.306
Galat
8
8.000
1.000
total
11
8.917
F hitung
Pr>F hit
0.31
0.8209
Lampiran 23 Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 18.000
Kuadrat tengah 6.000
Galat
8
26.667
3.333
total
11
44.667
F hitung
Pr>F hit
1.80
0.2250
Lampiran 24 Daftar sidik ragam populasi Paederus fuscipes 13 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 1.583
Kuadrat tengah 0.528
Galat
8
16.667
2.083
total
11
18.250
F hitung
Pr>F hit
0.25
0.8569
Lampiran 25 Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 14.333
Kuadrat tengah 4.778
Galat
8
69.333
8.667
total
11
83.667
F hitung
Pr>F hit
0.55
0.6614
Lampiran 26 Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 51.583
Kuadrat tengah 17.194
Galat
8
54.667
6.833
total
11
106.250
F hitung
Pr>F hit
2.52
0.1320
Lampiran 27 Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 16.250
Kuadrat tengah 5.417
Galat
8
166.667
20.833
total
11
182.917
F hitung
Pr>F hit
0.26
0.8523
Lampiran 28 Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 9 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 410.917
Kuadrat tengah 136.972
Galat
8
450.000
56.250
total
11
860.917
F hitung
Pr>F hit
2.44
0.1398
Lampiran 29 Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 850.917
Kuadrat tengah 283.639
Galat
8
865.333
108.167
total
11
1716.250
F hitung
Pr>F hit
2.62
0.1226
Lampiran 30 Daftar sidik ragam populasi Laba-laba 13 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 238.000
Kuadrat tengah 79.333
Galat
8
416.667
52.083
total
11
654.667
F hitung
Pr>F hit
1.52
0.2814
Lampiran 31 Daftar sidik ragam jumlah anakan 3 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 49.750
Kuadrat tengah 16.583
Galat
8
19.867
2.483
total
11
69.617
F hitung
Pr>F hit
6.68
0.0143
Lampiran 32 Daftar sidik ragam jumlah anakan 7 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 69.769
Kuadrat tengah 23.256
Galat
8
167.840
20.980
total
11
237.609
F hitung
Pr>F hit
1.11
0.4008
Lampiran 33 Daftar pengaruh pola tanam terhadap jumlah anakan 11 MST pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 75.176
Kuadrat tengah 25.059
Galat
8
25.667
3.208
total
11
100.843
F hitung
Pr>F hit
7.81
0.0092
Lampiran 34 Daftar sidik ragam produksi tanaman padi pada percobaan pengaruh pola tanam di Indramayu tahun 2009 Sumber Keragaman Perlakuan
Derajat bebas 3
Jumlah kuadrat 1423774.934
Kuadrat tengah 474591.645
Galat
8
3292242.233
411530.279
total
11
4716017.167
F hitung
Pr>F hit
1.15
0.3854