II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Analisis Sistem dan Pemodelan Perkembangan ilmu sistem banyak dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu
lain. Salah satunya adalah Kibernetika (Cybernetics) yang telah berkembang beberapa abad yang lalu. Definisi kibernetika yang dapat diterima datang dari konsep yang dikembangkan oleh Norbert Wiener (1948) yang mengartikannya sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kelakuan sistem-sistem dinamis yang dikendalikan
(controlled)
melalui
keterangan-keterangan.
Forrester
(1968)
mendefinisikan sistem sebagai sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Manetsch and Park (1979, dalam Eriyatno, 1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Dalam perkembangannya sistem didefinisikan sebagai himpunan komponen (entitas) yang mempertahankan eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui interaksi komponen-komponennya (O'Connor and McDermott, 1997). Dalam keberagaman definisi sistem itu, secara substansial menunjukkan adanya suatu kesamaan visi dimana sistem memiliki karakteristik keutuhan (wholeness) dan interaksi antar komponen yang membangun sistem (Eriyatno, 1999). Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki oleh sistem dapat dinyatakan sebagai berikut: 1) dibangun oleh sekelompok komponen yang saling berinteraksi; 2) bersifat wholeness; 3) memiliki satu atau segugus tujuan; 4) terdapat proses transformasi input menjadi output; 5) terdapat mekanisme pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa analisis sistem adalah suatu studi tentang sistem dan atau entitas dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah yang dapat menghasilkan suatu konsepsi atau model. Konsepsi dan model tersebut dapat digunakan sebagai landasan kebijakan, perubahan struktur, taktik dan strategi pengelolaan sistem tersebut. Analisis sistem bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai elemen penyusun sistem, memahami prosesnya serta memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem yang terjadi akibat adanya distorsi di dalam sistem
itu sendiri,
sehingga
didapatkan
berbagai aternatif
pilihan
yang
menguntungkan secara optimal. Persoalan alternatif ini sesungguhnya merupakan persoalan "cost-benefit" atau "cost-effectiveness" analysis, yang bermanfaat untuk mengevaluasi alternatif pemodelan. Gejala dunia nyata (real world) seperti kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai di Teluk Benoa Bali, menunjukkan kompleksitas yang tinggi dan sulit dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk mempelajari fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam
model seringkali tidak
konsisten,
hanya
bersifat parsial, tidak
berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh (Eriyatno, 1999). Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keberagaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen, dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata melalui pendekatan sistem. Dengan demikian, kajian mengenai kawasan Tahura ini dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, yang selanjutnya dibangun suatu desain sistem (model) pengembangan pariwisata alam berkelanjutan. Eriyatno (1999) menyatakan bahwa model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan
timbal balik dalam istilah sebab akibat. Dari batasan-batasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa dalam mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variable) penting dan tepat, serta menemukan hubungan-hubungan antar peubah di dalam sistem tersebut. Selanjutnya Eriyatno (1999) menyatakan bahwa model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya. Pada dasarnya jenis model dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1) Iconic Model (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa ha1 baik
dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti foto, peta, atau cetak biru; atau berdimensi tiga seperti prototipe mesin dan alat. Untuk model yang berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksi secara fisik (ikonik), sehingga diperlukan model lainnya. 2) Analogy Model
(model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi
analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan dalam ekonomi, kurva distribusi frekuensi dalam statistika, dan diagram alir. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas.
3) Symbolic Model (model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis (equation). Dalam pendekatan sistern, pengembangan pemodelan merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mepelajari sistem secara keseluruhan. Dalam hubungannya dengan fenomena kompleks seperti kawasan Tahura Ngurah 10
jumlah besar. Salah satu sistem yang menawarkan solusi untuk masalah ini adalah Sistem lnformasi Geografi (SIG). SIG adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (grafis). Banyak sekali aplikasi yang dapat ditangani oleh SIG. Salah satunya yang akan digunakan disini adalah dalam pengembangan pariwisata pesisir dimana dapat menginventarisasi dan menganalisis potensi daerah unggulan untuk pariwisata. Penempatan zonasi objek pariwisata secara terpadu, yang ditetapkan secara akurat itu dapat mengeliminasi deteriorisasi yang eksesif, sehingga optimasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir dapat dilakukan secara berkelanjutan. Ketika berbagai elemen yang teridentifikasi dalam sistem melakukan penetrasi terhadap sumberdaya wilayah pesisir yang bersifat terbatas itu, maka selama itu pula pemodelan ekonomi dan sosial
yang diintegrasikan dengan
teknologi SIG dapat melakukan simulasi model untuk mencari solusi teriiaik, sehingga tujuan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kualitas lingkungan dapat tercapai.
2.3
Aspek Pengelolaan Berkelanjutan
Sumberdaya
Pesisir
Terpadu
dan
Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu dan bekelanjutan dapat memberi makna bahwa wilayah pesisir dengan seluruh isinya perlu dihargai dan secara berencana dapat dieksploitasi, sehingga diperlukan upaya-upaya perlindungan makhluk hidup yang sifatnya hayati dan manusiawi. Untuk menjaga dan melestarikan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang sangat rentan terhadap perubahan ekosistemnya, diperlukan perhatian yang serius
dalam pengembangan dan pengelolaannya agar senantiasa berjalan secara berkelanjutan dan lestari. Adapun arah dan tujuan dari pengembangan dan pengelolaan potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut adalah agar mampu meningkatkan pengelolaannya
secara terpadu untuk mencapai pemanfaatan
sumberdaya secara optimal, efisien dan efektif yang mengarah pada peningkatan upaya pelestarian kemampuan lingkungan. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan suatu pendekatan pengelolaan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir dan laut yang optimal dan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak, melainkan merupakan batas yang luwes yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu (a) dimensi ekologis; (b) dimensi sosial ekonomi dan budaya; (c) dimensi sosial politik; dan (d) dimensi hukum dan kelembagaan (Dahuri et a/., 1996).
Dalam dimensi ekologis, pembangunan wilayah pesisir dan laut haruslah memperhatikan daya dukung lingkungan dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia. Dengan demikian, agar pembangunan wilayah pesisir dan laut dapat berkelanjutan, maka pola dan laju pembangunan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga total permintaannya terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan suplai tersebut. Dalam konteks ini, pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir
secara
berkelanjutan (sustainable development) dapat diartikan cara mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir, agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah termasuk ekosistem pesisir, memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia : (a) jasa-jasa pendukung kehidupan; (b) jasa-jasa kenyamanan; (c) penyedia sumberdaya alam; dan (d) penerima limbah (Ortolano, 1984). Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup berbagai ha1 yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara, dan air bersih serta ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa-jasa kenyamanan (amenity services) yang disedikan oleh ekosistem alamiah adalah berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyenangkan yang dapat dijadikan tempat berekreasi serta pemulihan jiwa.
Ekosistem alamiah menyediakan
sumberdaya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalam proses produksi. Sedangkan fungsi penerima limbah dari suatu ekosistem adalah kemampuannya dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia, hingga menjadi suatu kondisi yang aman (Dahuri et al., 1996). Dari keempat fungsi ekosistem alamiah tersebut, bahwa kemampuan dua fungsi yang pertama sangat bergantung pada dua fungsi yang terakhir. Ini berarti
bahwa jika kemampuan dua fungsi terakhir dari suatu ekosistem alamiah tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsinya sebagai pendukung kehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanan dapat diharapkan tetap terpelihara. Berdasarkan keempat fungsi ekosistem tersebut, secara ekologis terdapat tiga kaidah pokok yang dapat menjamin tercapainya pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan, yaitu: (a) keharmonisan spasial, (b) kapasitas asimilasi, dan (c) pemanfaatan berkelanjutan (Dahuri et al., 1996). Dalam keharrnonisan spasial, kegiatan pembangunan, ruang atau lahan tidak boleh dialokasikan hanya untuk zona pemanfaatan, akan tetapi perlu ada yang digunakan untuk zona presevasi (jalur hijau pantai, sempadan, dan hutan lindung) serta zona konservasi. Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu pengelolaan sumberdaya pesisir sangat penting terutama dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, siklus hidrologi dan unsur hara. Sementara dalam kapasitas asimilasi, dampak dari kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan laut tidak boleh melampaui kemampuan akseptasinya dalam menerima atau menyerap limbah yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan ataupun manusia. Dalam pemanfaatan zona secara berkelanjutan, eksploitasi sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable) di wilayah pesisir dan laut tidak boleh melampaui kemampuan regenerasinya dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui harus dilakukan dengan cermat, sehingga dampak lingkungan yang timbul tidak mengganggu atau merusak ekosistem dan kegiatan pembangunan lainnya. Pemanfaatan harus direncanakan sedemikian rupa, sehingga sebelum sumberdaya tersebut habis sumberdaya substitusinya.
sudah ada
Dalam dimensi
sosial ekonomi dan budaya, konsep pembangunan
berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang ekonomi lemah guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah. Prinsip ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pesisir, misalnya pembangunan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah para pelakunya. Dalam dimensi sosial politik, konsep pembangunan berkelanjutan tersebut haruslah dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan, sehingga eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan tidak hanya ditanggung oleh masyarakat miskin dan lemah melainkan harus ditanggung pula oleh pelaku kerusakan. Dalam dimensi hukum dan kelembagaan, pelaksanaan pembangunan berkelanjutan setiap stakeholders harus dapat mengendalikan diri untuk tidak merusak lingkungan. Hal ini dapat terpenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten. Untuk mengakomodasi keempat dimensi pengelolaan di atas, maka pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu harus dilakukan dalam beberapa tahapan. Terdapat empat tahap dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, yang secara ringkas disajikan pada Gambar 2. Keempat tahap tersebut terdiri dari:
1) perencanaan, yang terdiri dari identifikasi permasalahan dan penetapan tujuan dan sasaran;
2) formulasi, yang terdiri dari adopsi program secara formal dan penyiapan
pendanaan untuk implementasi;
3) implementasi,
merupakan tahap
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan,
penegakan kebijakan dan peraturan, serta pemantauan (monitoring)
4 ) evaluasi, merupakan analisis kemajuan yang akan memberikan arahan dalam pendefinisian kembali ruang lingkup pengelolaan, agar tujuan yang ditetapkan dapat benar-benar tercapai. Dengan demikian, pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dalam ha1 ini akan terjadi suatu proses pembelajaran (learning process) untuk mendapatkan perbaikan secara terus menerus. Sorensen dan McCreary (1990) mengemukakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir terpadu perlu mempunyai lima atribut, yaitu : 1) Merupakan suatu proses yang selalu berkelanjutan di atas pertimbangan waktu.
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu adalah suatu program yang dinamis yang senantiasa diperbaharui, diperbaiki, dan bukan merupakan proyek dengan waktu tertentu,
2) Perlu adanya suatu penataan institusi pemerintah untuk membuat dan menetapkan kebijakan bagi pengambilan keputusan dalam implementasi kegiatan yang ditentukan
3) Penataan institusi pemerintah yang menggunakan satu atau beberapa strategi pengelolaan secara rasional dan sistematis dalam penentuan keputusan
4) Seleksi strategi pengelolaan yang akan digunakan didasarkan pada perspektif sistem-sistem yang dikenal hubungannya antar sistem wilayah pesisir dan laut.
Perspektif sistem ini selalu mempertimbangkan bahwa pendekatan multisektoral digunakan dalam merancang dan melaksanakan strategi pengelolaan. 5) Perlu adanya suatu batas secara geografis dari laut sampai ke pedalaman, sedangkan pulau yang kecil tidak memiliki batas pedalaman.
r
1.PENATAAN & PERENCANAAN
4. EVALUASI
Identifikasi dan analisis perrnasalahan Pendefinisian tujuan dan sasaran Pernilihan strategi Pernilihan struktur irnplernentasi
Analisis kemajuan dan perrnasalahan Redefinisi ruang lingkup untuk pengelolaan pesisir
a
I7
2. FORMULAS1
3. IMPLEMENTASI
Kegiatan pembangunan
Penegakan kebijakan dan peraturan-peraturan Pemantauan
Q
Mengadopsi program secara formal
Pengamanan dana untuk implementasi
Surnber : Sorensen dan McCreary (1990)
Gambar 2.
Tahapan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu dan Berkelanjutan
Konsep yang dikembangkan untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu agar terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan adalah dengan mengembangkan sistem kemitraan antara berbagai stakeholders yang terkait, yang terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), sektor swasta, lembaga donor, organisasi nasional dan internasional, cendekiawan, LSMImedia dan masyarakat, di mana
antara stakeholders tersebut saling berkaitan dan saling mendukung satu dengan yang lainnya. Dengan demikian konsep pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu bukan hanya dipegang oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tetapi ditentukan juga oleh masyarakat setempat (community
base) dan disesuaikan dengan potensi sumberdaya dari masing-masing wilayah (resource base) serta kemampuan pasar (market base) dari produk yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan inventarisasi dan identifikasi sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir Teluk Benoa, baik sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun surnberdaya yang tidak dapat diperbaharui, agar masing-masing stakeholder dapat memerankan perannya dalam pembangunan daerah, khususnya pengembangan pariwisata pesisir untuk mencapai peningkatan pendapatan daerah.
2.4
Aspek Perencanaan Pengembangan Pariwisata Pesisir Pariwisata di pesisir pada umumnya berhubungan dengan beragam variasi
dari aktivitas pembangunan, dampak lingkungan serta problematika pengelolaan pesisir. Dampak lingkungan dapat diklasifikasikan bermacam-macam : lingkungan, ekonomi dan sosial budaya, positif atau negatif, langsung atau kumulatif, serta jangka pendek atau jangka panjang. Wilayah pesisir telah banyak digunakan untuk beragam trendnya
tujuan, dimana
menuju pengelolaan sumberdaya pesisir yang lebih baik, juga termasuk
didalamnya pengembangan pariwisata. Untuk tujuan-tujuan pengelolaan, pesisir telah didefinisikan sebagai sumberdaya atau ekosistem dengan berbagai tipe dari beragam aktivitas.
19
Propinsi Bali adalah salah satu daerah tujuan wisata yang paling penting dan yang paling cepat tumbuh di Indonesia, akan tetapi ada ketimpangan pertumbuhan antar propinsi di Indonesia secara keseluruhan. Propinsi ini memiliki basis sumberdaya untuk pariwisata pesisir, seperti pantai berpasir, terumbu karang dan kekayaan warisan budaya yang saling menunjang untuk pembangunan wisata pesisir. Namun demikian, pembangunan pariwisata di Propinsi Bali, terutama resortresort pesisir di kawasan ini telah tumbuh secara spontan dan tidak terencana untuk memenuhi permintaan pasar. Hal ini digalakkan oleh para developer untuk mencari keuntungan, sebagai respons dari tidak adanya pemberdayaan serta rendahnya perhatian pemerintah terhadap cepatnya pembangunan, walaupun perundangundangannya mungkin saja telah dibuat. Selain dari pada itu ada indikasi para developer resort tidak mengetahui hal-ha1 berkenaan dengan masalah lingkungan serta aspek-aspek sederhana yang dapat mempengaruhi resort mereka. Sebagai konsekuensi dari pembangunan lingkungan pesisir yang tidak terencana ini banyak terjadi : pembangunan yang semrawut (ribbon development) sebagai bentuk pernanfaatan muka pantai yang tidak terencana; degradasi lingkungan ketika ditebangnya pohon-pohon pelindung alami; tanah-tanah basah telah dikonversi menjadi tempat-tempat saluran terbuka pembuangan air kotoran; laut dan pantai terpolusi oleh air-limbah buangan sebagai akibat dari rendahnya infrastruktur pengolah limbah; terumbu karang
menjadi rusak sebagai akibat
aktivitas rekreasi serta air-limbah; erosi pantai telah terjadi karena disain struktur yang tidak baik (Smith, 1992). Polusi pesisir telah merupakan masalah yang penting (Charoenca, 1993). Pemusatan kapal-kapal, pengunjung serta para penjual telah meningkatkan banyak sampah di sepanjang pantai.
Salah satu contoh kawasan yang kurang terencana dengan baik adalah kawasan pesisir Kuta
dan Candi Dasa, merupakan salah satu bentuk
pembangunan yang tidak terencana; khususnya pemindahan karang telah menyebabkan erosi yang sangat serius. Kerusakan terhadap sumberdaya alam itu sesungguhnya tidak hanya permasalahan biofisik semata, akan tetapi lebih merupakan permasalahan ekonomi dan sosial budaya. Sebab secara ekonomis bisa saja sumberdaya alam itu hilang bahkan tidak dapat dipulihkan kembali. Setiap keputusan yang diambil oleh para perencana terhadap pilihan-pilihan membiarkan lingkungan dalam kondisi tak tersentuh atau
mengeksploitasinya, sehingga menimbulkan deteriorisasi yang
eksesif atau bahkan mengkonversinya untuk keperluan lain, akan menimbulkan implikasi manfaat dan kerugian (gain and losses) terhadap masyarakat secara keseluruhan (Syam, 1999). Keputusan tersebut hanya bisa dilakukan dengan tepat apabila aspek-aspek manfaat dan kerugian dianalisis dan dievaluasi secara benar. Pengembangan pariwisata pesisir terintegrasi adalah sebuah model pembangunan pariwisata yang terencana dan didisain untuk menghindari konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan (Stiles, 1991; Inskeep, 1991). Penekanannya adalah pada perencanaan lingkungan sejumlah infrastruktur dan fasilitas-fasilitas hotel. Manfaat hotel dari adanya efisiensi biaya dan skala ekonomi dalam fasilitas, pelayanan dan managemen dengan sistem ini sesungguhnya tidak C
dinikmati sendiri. Penggunaan master plan menjamin pembangunan yang terkontrol dengan penggunaan sumberdaya yang efektif dan menguntungkan semua pihak Walaupun hotel-hotel dibangun oleh para developer yang berbeda dengan kompetisi yang tinggi, tetapi pembangunan resort secara keseluruhan berada dibawah satu management.
Nusa Dua di Bali contohnya, merupakan integrated resod pertama di Asia Tenggara yang telah mengadopsi
beberapa ha1 penting prinsip-prinsip
perencanaan resort (Inskeep, 1991). Secara prinsip beragam
implikasi terhadap
zona pesisir terdiri dari : tahapan pembangunan, orientasi dari letak hotel pada pantai dengan latar belakang yang benar, koridor umum sebagai jalan masuk ke pantai, perlengkapan penampungan kotoran yang terpisah, taman lansekap yang terintegrasi dan berhubungan langsung dengan lepas pantai serta aturan-aturan variasi kawasan. Saat ini pemerintah Indonesia menjadikan Nusa Dusa sebagai contoh model pengembangan kawasan wisata untuk daerah-daerah potensial lainnya. Beragam implikasi yang sering muncul di kawasan pesisir itu kini lazim dianggap termasuk bidang lingkungan hidup menjadi dimensi tambahan yang sering menonjol pada transformasi dan perubahan struktural pembangunan ekonomi. Dalam perkembangan di masa depan, pembangunan ekonomi akan semakin tergantung pada bagaimana melakukan suatu perencanaan dan pengelolaan sumberdaya secara integratif, baik dalam jangka pendek dan sekaligus untuk memeliharanya dan mengamankannya secara berkelanjutan (sustainable) dalam jangka panjang.
2.5
Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
a., Pengertian Dasar Pembangunan adalah suatu konsep normatif yang menyiratkan pilihanpilihan tujuan untuk mencapai realisasi potensi manusia (Bryant dan White 1982 dalam Patria 1999). Pembangunan ekonomi (development) mengandung arti yang lebih luas dibanding pengertian pada pertumbuhan ekonomi (growth). Pembangunan ekonomi mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara
menyeluruh. Oleh karena itu pembangunan merupakan proses transformasi yang dalam perjalanan waktu ditandai oleh perubahan struktural yaitu perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, pembangunan ekonomi di negara-negara maju maupun di negara-negara
berkembang terlalu berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi tanpa berwawasan lingkungan. Dengan pendekatan yang terlalu berorientasi economic growth, dikhawatirkan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan dapat mempercepat penipisan sumberdaya dan pencemaran lingkungan yang eksesif. Keadaan ini akhirnya akan membahayakan kehidupan perekonomian itu sendiri. Untuk menghindari kemungkinan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan itu, khususnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir perlu dicari strategi baru guna menyempurnakan pembangunan yang terlalu berorientasi pada teori pertumbuhan ekonomi konvensional ke arah pembangunan berkelanjutan. Faham tentang pembangunan berkelanjutan
(sustainable development)
bersumber pada sebuah laporan yang berjudul Our Common Future, disusun pada tahun 1987 oleh Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development), komisi tersebut juga dikenal sebagai
Brundtland
Commission.
Penafsiran tentang
pembangunan yang
berkelanjutan diartikan sebagai "daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi kini
tanpa
mengorbankan
(Djojohadikusumo, 1994).
Dalam
kebutuhan konteks
generasi-generasi ini,
mendatang"
pembangunan
ekonomi
berkelanjutan merupakan suatu usaha meningkatkan kemampuan generasi sekarang untuk memenuhi kebutuhannya (terutama kebutuhan dasar bagi golongan miskin dalam masyarakat), tanpa mengurangi kemampuan generasi-generasi masa
depan untuk memenuhi
kebutuhannya pada tahap waktu yang bersangkutan.
Berarti tidak ada pertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya. Dua kebijakan itu harus direncanakan dan dibina sedemikian rupa, sehingga keduanya dapat meningkatkan kesejahteraan manusia dalam lingkungan hidup yang memadai secara wajar.
b. Hubungan Sumberdaya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir pada hakekatnya untuk mencapai tiga tujuan, yaitu pertumbuhan ekonomi, kualitas lingkungan, serta kepedulian antar generasi
(Djajadiningrat,
1997).
Tujuan
pertumbuhan
ekonomi
meliputi
pengoptimalan pendapatan nasional yakni perolehan negara dan bahan-bahan dan jasa. Tujuan kualitas lingkungan adalah memulihkan kembali, meningkatkan dan melindungi kualitas sumber-sumber alam yang ada serta sistem ekologis. Sedangkan tujuan kepedulian antar generasi adalah meyakinkan bahwa keberadaan dan produktivitas sumber-sumber alam yang ada harus dipertahankan dari generasi ke generasi. Tujuan kualitas lingkungan dan kepedulian antar generasi saling mengisi, yaitu pemeliharaan sumber-sumber lingkungan sambil meyakinkan bahwa masih dimungkinkannya tersedia sumber-sumber ini dimasa mendatang (Djajadiningrat 1997). Oleh karena itu, dua tujuan ini sering berbenturan dengan tujuan pertumbuhan ekonomi. Semakin cepat pertumbuhan ekonomi diakselerasi akan semakin banyak barang sumberdaya yang diperlukan dalam proses produksi, yang pada gilirannya akan mengurangi tersedianya sumberdaya yang ada, karena sumberdaya itu perlu
diekstraksi dari sumbernya (stock) di alam. Dengan demikian ada hubungan positif antara kuantitas barang sumberdaya yang diekstraksi dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi sebaliknya ada hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan tersedianya (stock) sumberdaya yang ada. Disamping itu, pembangunan ekonomi yang cepat tanpa perencanaan yang komprehensif dapat meningkatkan pencemaran
lingkungan.
Secara
diagramatis,
fenomena
perilaku
sistem
pengelolaan sumberdaya alam dengan sistem pertumbuhan ekonomi disajikan pada Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5.
Sumberdaya Alam (N)
I
I I
0
Yo
Y1
Pertumbuhan % (Y)
Sumber : Suparmoko (1997)
Gambar 3.
Hubungan Antara Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Persediaan (Stok) Sumberdaya Alam
Pertumbuhan %
0')
I I I
I I
I I
I I
I I 1
I I
I
I I
Ro
0
I I I I
I
R1
Rarann J Sumberdaya Alam (R.)
Sumber: Suparmoko (1997)
Gambar 4.
Perilaku Sistem Pertumbuhan Ekonomi dan Barang Sumberdaya Alam
Pencemaran
Pertumbuhan Cr) Sumber: Suparmoko (I 997)
Gambar 5.
Perilaku Sistem Tingkat Pertumbuhan dan Tingkat Pencemaran
Pengelolaan sumberdaya alam baik yang bersifat pulih (renewable) maupun yang
tidak dapat pulih (nonrenewable) agar tidak terjadi deteriorisasi yang eksesif
itu, maka sebaiknya didasarkan pada dua pola penting yang berwawasan lingkungan yaitu membangun yang didasarkan pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan pola pembangunan yang didadasarkan atas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Perencanaan
tata ruang
perlu didasarkan pada pola
kesesuaian lahannya (suitability), sehingga tidak terjadi malapetaka. Pola ini dipengaruhi oleh lingkungan alam yang menjadi titik tolak dibentuknya zonasi atau kawasan lingkungan. Sedangkan dengan analisis dampak lingkungan harus dilakukan studi kelayakan baik teknis lingkungan, maupun ekonomi dan sosial budaya untuk menentukan ambang batas deteriorisasi jika suatu proyek diimplementasikan. Jadi pengelolaan sumberdaya alam harus melihat ektemalitas positif maupun eksternalitas negatif. Pola-pola pengelolaan sumberdaya itu sesungguhnya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan memerlukan adanya kontinuitas pertumbuhan ekonomi dan bukannya stagnasi karena rusaknya sumberdaya alam dan lingkungan. Untuk itu pembangunan Indonesia yang berwawasan lingkungan lebih tepat untuk mencapai sasaran pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan (Kusumastanto, 1995).
Salah satu prasyarat bagi
terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan itu adalah tersedianya neraca sumberdaya alam dan lingkungan. Terciptanya tingkat penghasilan yang berkelanjutan memerlukan pengetahuan mengenai berapa volume sumberdaya alam dapat dinilai dan bagaimana kualitasnya.
Terdapat enam sistem utama dalam setiap pembangunan ekonomi nasional, yaitu sistem kependudukan, sumberdaya alam, lingkungan dan ekologi, ilmu dan teknologi, serta masyarakat. Namun demikian penduduk dan sumberdaya alam serta lingkungan merupakan sistem-sistem yang paling fundamental, karena sumberdaya alam dan lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan (Suparmoko, 1997).