PERKEMBANGAN HISTAMIN SELAMA PROSES FERMENTASI DAN PENYIMPANAN PRODUK BAKASANG JEROAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis, Lin)
RAHMATIA GARWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ” Perkembangan Histamin selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Produk Bakasang Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) ” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2009
Rahmatia Garwan NIM C351060041
ABSTRACT RAHMATIA GARWAN. The Histamine Growth during Fermentation Process and Storaging of Bakasang Produced from Viscera of Skipjack (Katsuwonus pelamis, Lin). Supervised by JOKO SANTOSO and SRI PURWANINGSIH.
Bakasang is a fermented fish product, produced from viscera of skipjack which belongs to scombroid group. Those kinds of fish contains a lot of free histidin on their muscle tissue and easy to change become histamine due to decarboxylation reaction and activity of bacteria. These experiments were carried out to study the histamine growth during fermentation processed and storaging at room temperature of bakasang produced from viscera of skipjack. The viscera of skipjack were obtained from fish auction place at Muara Angke - North Jakarta. There were two main steps of experiment, i.e. fermentation processed of viscera for 8 days (0, 2, 4, 6, 8) and continued by storaging at room temperature for 90 days (0, 30, 60, 90). During fermentation processed, moisture content significance decreased from 75.87 % to71.57 % and the numbers of total microbe (TPC) increased significantly from 104 to 105 Cfu/g; however, the protein content, pH values and histamine content were not affected significantly. There was positive correlation between the numbers of total microbe (TPC) and histamine content of bakasang during storaging. Both of values increased 103 to 106 Cfu/g and from 18.59 to 64.20 ppm respectively; however, the histamine were still under the maximum limit established by Ditjen P2HP DKP (2007). The moisture content of bakasang increased significantly during fermentation and storaging, with values were from 75.93 % to 77.58 %. In opposite, protein contents significance decreased during fermentation and storaging from 49.26 % to 42.48 %. The pH values of bakasang only affected by the storaging and increased from 5.73 to 6.23. Based on organoleptic test, storaging until 90 days at room temperature still produced bakasang in good average level. Combination treatments between fermentation for 4 and 8 days without storaging (0 days) produced the high average values of color, odor, taste and texture; and they also had the higher values of odor and taste in comparison to commercial product. Both of combination treatments also had the highest protein contents and the lowest histamine values. Keywords: bakasang, fermentation, histamine, viscera of skipjack, storaging
RINGKASAN
RAHMATIA GARWAN. Perkembangan Histamin selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Produk Bakasang Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan SRI PURWANINGSIH.
Bakasang adalah produk fermentasi jeroan ikan berupa larutan kental, dibuat dari jeroan ikan melalui fermentasi dengan penambahan garam, yang rasanya asam dan biasanya disajikan untuk pelengkap lauk dengan dibumbuhi cabe dan gula. Bakasang umumnya berasal dari jeroan ikan cakalang yang termasuk golongan ikan scombroid dari famili scombroidae. Jenis ikan tersebut mengandung banyak histidin bebas dalam jaringan dagingnya. Proses penanganan dan pengolahan dilakukan dengan tidak benar menyebabkan histidin bebas tersebut dapat berubah menjadi histamin karena dekarboksilasi dan aktivitas bakteri pembentuk histamin. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari perkembangan histamin selama proses fermentasi jeroan dan penyimpanan bakasang pada suhu ruang. Jeroan diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke, Jakarta Utara. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah proses fermentasi jeroan selama 8 hari (0, 2, 4, 6, 8) dan dilanjutkan dengan proses penyimpanan pada suhu ruang selama 90 hari (0, 30, 60, 90). Selama proses fermentasi terjadi penurunan kadar air secara nyata dari 75,87 % menjadi 71,57 % dan peningkatan total mikroba dari 104 menjadi 105 Cfu/g, sedangkan kadar protein, nilai pH dan histamin tidak berpengaruh nyata. Selama penyimpanan bakasang terjadi korelasi positif antara peningkatan total mikroba dari 103 menjadi 106 Cfu/g dengan jumlah histamin dari 18,59 menjadi 64,20 ppm, meskipun demikian nilainya masih di bawah batas maksimum yang ditetapkan oleh Ditjen P2HP DKP (2007). Kadar air bakasang mengalami peningkatan secara nyata oleh lama fermentasi dan lama penyimpanan dari 75,93 % menjadi 77,58 %, sedangkan kadar protein mengalami penurunan secara nyata oleh lama fermentasi dan lama penyimpanan dari 49,26 % menjadi 42,48 %. Berdasarkan uji organoleptik, penyimpanan bakasang sampai dengan hari terakhir (90 hari) masih menunjukkan karakteristik baik walaupun terjadi penurunan nilai. Dua produk terbaik hasil penilaian panelis didapatkan pada perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F4P0) dan perlakuan lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0) yang memberikan nilai rata-rata tertinggi terhadap parameter bau dan rasa dibandingkan dengan produk komersial. Kedua kombinasi perlakuan tersebut juga mempunyai kandungan protein tertinggi dan kadar histamin terendah.
Kata kunci: bakasang, fermentasi, histamin, jeroan cakalang, penyimpanan
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERKEMBANGAN HISTAMIN SELAMA PROSES FERMENTASI DAN PENYIMPANAN PRODUK BAKASANG JEROAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis, Lin)
RAHMATIA GARWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Iriani Setyaningsih, M.S
Judul Tesis
Nama NIM
: Perkembangan Histamin selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Produk Bakasang Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) : Rahmatia Garwan : C351060041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Ketua
Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 18 Maret 2009
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan nikmat-Nya terutama nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga penulisan tesis dengan judul ” Perkembangan Histamin selama Proses Fermentasi dan
Penyimpanan
Produk
Bakasang
Jeroan
Ikan
Cakalang
(Katsuwonus pelamis, Lin) ” dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahan, kesabaran dan kebijaksanaan, serta masukan kepada penulis sejak rencana penelitian hingga penulisan tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada: 1). Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Ternate (UMMU) yang telah memberikan rekomendasi dan ijin belajar kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2). Sekda Provinsi Maluku Utara Ternate yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 3). Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara Ternate yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. 4). Ir. Iriani Setyaningsih, M.S, selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan guna penyempurnaan tesis ini. 5). Aba dan Ibu tercinta (Hi. Mursjid Garwan dan Hj. Nurchalifah Faroek), kakakku Mb I dan Mas Gembong (suami), Ko Memet dan Mala (istri), adik-adikku Mubarakh dan Mimi (istri), Muchdi dan Nikma (istri) serta si bungsu Muzakkir (Iken) ganteng. Nenek tercinta Hj. Hawa Hakim (alm) dan Hj. Fatmah Faroek juga keenam keponakanku (Mb Lala, Bagus, Sukma, Dhiwa, Reihan dan Daffa); terima kasih atas segala dukungan material, moril, semangat dan doa yang tak terhingga nilainya selama ini kepada penulis.
6). Imran Pattisahusiwa; terima kasih atas perhatian, bantuan dan dukungannya selama ini, semoga Allah SWT membalas kebaikan dan keikhlasanmu. 7). Pa Ikram Sangadji, Pa Hi. Saiful Latif, Pa Hi. Ruslan, Ibu Hj. Ifo; terima kasih atas bantuan dan dukungannya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan keiikhlasannya. 8). Teman-teman S2 THP Angkatan ’06 (Mb Nik, Mb Uci, Mb Poe, Pa Aim, Pa Mad, Pa Max, Mas Candra dan Pa Dani); terima kasih atas bantuan, motivasi, perhatian, semangat, kebersamaan dan kekompakannya yang terjalin sampai saat ini. 9). Teman-teman S2 THP Angkatan ’05 dan ’07 (Mb Chairita, Mb Vita, Pa Adri, Pa Celcius dan Pa Dani); Te Rita, Fitah, Pa Sit, Bu Juhli, Mb Elin, Mb Taty, Krisan, Sevry dan Ulina); terima kasih atas kerjasamanya. 10). Teman-teman S1 THP (Astari, Rijan, Alim, Santy, Agnes, Dede, Juhli, Diaz, Nujul), dan teman-teman Laboratorium Pluit Jakarta (Ayu, Bu Sri, Bu Helma, Bu Yuli, Pa Wahyu, Mas Kur, Mas Adi, Mas Pur, Mas Agung, Mas Kukuh, Mas Woko dan Mas Iyong; terima kasih atas kerjasamanya. 11). Prof. Frans G. Ijong, Prof. Berhimpon dan Nci Henny Dien; terima kasih atas arahan, motivasi dan semangatnya kepada penulis. 12). Teman-teman Dinas DKP Ternate; Ci Waty, Ci Ija, Esti, Ci Marni, Acid, Mad Kaplale, Kris, Jakir, Neni, Ci Mei, Ci Ina, Ci Mila, Ci Anti, Ci Nita, Pa Ismail, Pa Ama Duwila, Ko Buyung, Aba Dullah, Pa Muhlis Baay, Ko Jevo gendut, Pa Ota, Aslun, Su, Ratna, Udin Turuy, Upu, Aisten, Muja, Cahyadi, Pa Ekan dan seluruh staf DKP; terima kasih atas perhatian dan dukungannya. 13). Mas Ismail dan Bu Ema; terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya yang terjalin selama ini. Mas Roes, Mb Endang PAU; terima kasih atas kesabaran dan semangatnya dalam membantu dan memotivasi penulis. 14). Yani (mama Dillah) yang selalu setia mengerti, mendorong dan menguatkan penulis dalam masalah pribadi. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan keikhlasanmu. 15). Teman-teman S2 dari Ternate; Ci Nona Albaar, Ido Raz, Sholli, Aditiawan, Fahmy Djafar, Yuyun, Sartika, Ko Oni, Aziz, Lafdy, Sahlan, Irham dan Pa
Haris, serta teman-teman Departemen IPN IPB; Silvana, Afgan dan Tanty; terima kasih atas kerjasama, perhatian dan dukungannya kepada penulis. 16). Teman-teman kozan Dwi Regina B (Astari, Pritha, Sri, Miaw, Winny, Rara, Lele, Lilik, Ulfa, Sita, Rini, Winda, Pipit, Fira, Vully, Dara, Riri, Tari imoet, dan teh Dede); terima kasih atas semangat, dukungan dan kekeluargaannya yang terjalin selama ini. Semoga jalinan silaturahmi kita selalu terjaga dan kita selalu dalam lindungan Yang Maha Kuasa, amin. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih ada kekurangannya, meskipun demikian diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Mei 2009
Rahmatia Garwan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ternate pada Tanggal 22 November 1980 dari orang tua Hi. Mursjid M. Garwan dan Hj. Nurchalifah Faroek. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Penulis lulus dari SMA N 1 Ternate pada tahun 1998 dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Sam Ratulangi Manado melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan memilih Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pada tahun 2004, penulis dipercayakan mengabdi pada Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate. Tahun 2005 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara Ternate dan Tahun 2006 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui beasiswa BPPS dari Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti pendidikan S2, penulis pernah menjadi anggota Forum Wacana IPB periode 2007-2008.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................
xvii
1. PENDAHULUAN ................................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ......................................................................................
3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................................
4
1.4 Hipotesis .......................................................................................................
4
1.5 Kerangka Pemikiran .....................................................................................
5
2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................
7
2.1 Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). 7 2.2 Kesegaran Ikan dan Proses Kemunduran Mutunya ......................................
9
2.3 Mikrobiologi Ikan Segar ...............................................................................
11
2.4 Protein Ikan ..................................................................................................
12
2.5 Histidin dan Histamin ...................................................................................
14
2.5.1 Kandungan histamin dan pembentukannya pada ikan ......................... 2.5.2 Reaksi fisiologis histamin .....................................................................
15 18
2.6 Fermentasi .....................................................................................................
19
2.6.1 Fermentasi dengan garam .................................................................... 2.6.2 Fermentasi bakasang ............................................................................
20 21
3. METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................................
24
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................................
24
3.2 Bahan dan Alat .............................................................................................
24
3.2.1 Bahan .................................................................................................. 3.2.2 Alat ......................................................................................................
24 25
3.3 Tahapan Penelitian .......................................................................................
25
3.4.1 Preparasi jeroan ................................................................................... 3.4.2 Proses fermentasi jeroan ..................................................................... 3.4.3 Penyimpanan bakasang .......................................................................
25 26 27
xii
3.4 Prosedur Analisis .......................................................................................
29
3.4.1 Analisis kimia ....................................................................................
29
(a) Kadar air (AOAC 1995) ................................................................ (b) Kadar protein (Apriyantono et al. 1989) ...................................... (c) Nilai pH (Fardiaz 1993) ................................................................ (d) Total Volatile Bases (TVB) (AOAC 1995) .................................. (e) Kadar histamin (SNI 01-2360-1991) .............................................
29 29 30 30 31
3.4.2 Analisis mikrobiologi ........................................................................
33
(a) Total mikroba/Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1993) .............. (b) Total kapang (Fardiaz 1993) ........................................................ (c) Escherichia coli (SNI 01-2332.1-2006) ....................................... (d) Salmonella (SNI 01-2332.2-2006) ...............................................
33 34 34 36
3.4.3 Uji organoleptik ..................................................................................
38
(a) Uji skoring (SNI 01-2718-2006) .................................................. (b) Uji perbandingan pasangan (Soekarto dan Hubeis 2000) ............
38 38
3.4.4 Uji pendugaan umur simpan bakasang terhadap kadar histamin ........
39
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ..................................................
39
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
42
4.1 Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) ........................................................................
42
4.2 Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) selama proses fermentasi ..............................
45
4.2.1 Kadar air ........................................................................................... 4.2.2 Kadar protein .................................................................................... 4.2.3 Nilai pH ............................................................................................. 4.2.4 Kadar histamin .................................................................................. 4.2.5 Total mikroba/Total Plate Count (TPC) ........................................... 4.2.6 Escherichia coli ................................................................................. 4.2.7 Salmonella ........................................................................................
45 46 48 49 51 53 54
4.3 Karakteristik Bakasang pada Berbagai Perlakuan Lama Fermentasi dan Lama Penyimpanan ............................................................................
55
4.3.1 Kadar air ........................................................................................... 4.3.2 Kadar protein .................................................................................... 4.3.3 Nilai pH ............................................................................................. 4.3.4 Kadar histamin .................................................................................. 4.3.5 Total mikroba/Total Plate Count (TPC) ........................................... 4.3.6 Total kapang .....................................................................................
56 57 59 60 63 65
xiii
4.4 Karakteristik Organoleptik Bakasang dengan Uji Skoring .....................
67
4.4.1 Penampakan .................................................................................. 4.4.2 Bau ................................................................................................. 4.4.3 Rasa ................................................................................................. 4.4.4 Tekstur ...........................................................................................
67 69 70 72
4.5 Karakteristik Organoleptik Bakasang dengan Uji Perbandingan Pasangan .................................................................................................
73
4.6 Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Bakasang Terpilih dan Bakasang Komersial ............................................................................................... 75 4.6.1 Kadar air ....................................................................................... 4.6.2 Kadar protein ................................................................................ 4.6.3 Nilai pH ......................................................................................... 4.6.4 Kadar histamin .............................................................................. 4.6.5 Total mikroba/Total Plate Count (TPC)) ...................................... 4.6.6 Total kapang .................................................................................
76 77 77 78 79 80
4.7 Penentuan Kombinasi Perlakuan Terbaik Bakasang dari Aspek Kimia..
81
4.7.1 Kadar protein ................................................................................ 4.7.2 Kadar histamin ..............................................................................
82 82
4.8. Uji Pendugaan Umur Simpan Bakasang terhadap Kadar Histamin ......
83
5. KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
85
5.1 Kesimpulan ..............................................................................................
85
5.2 Saran ........................................................................................................
86
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
87
LAMPIRAN.........................................................................................................
100
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Tahapan kemunduran mutu ikan ..................................................................... ....
10
2. Kandungan asam amino dalam protein daging ikan laut, ikan air tawar dan daging sapi ...........................................................................................................
13
3. Bakteri-bakteri yang mendekarboksilasi histidin ................................................
17
4. Karakteristik kimia dan mikrobiologi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) ..................................................................................
42
5. Karakteristik kimia dan mikrobiologi bakasang terpilih dan bakasang komersial (bakasang yang ada di pasaran) ..........................................................
76
6. Penentuan bakasang kombinasi perlakuan terbaik berdasarkan aspek kimia ......
82
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian perkembangan histamin selama proses fermentasi dan penyimpanan produk bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) ....................................................................................
6
2. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) (www.google.image.com) ................
8
3. Reaksi pembentukan histamin (Cheffel et al. 1986).............................................
15
4. Tahapan preparasi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) ..................
26
5. Tahapan proses fermentasi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) ....
27
6. Proses penyimpanan bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). 28 7. Histogram rata-rata kadar air jeroan selama proses fermentasi ............................
45
8. Histogram rata-rata kadar protein jeroan selama proses fermentasi ....................
47
9. Histogram rata-rata nilai pH jeroan selama proses fermentasi ............................
48
10. Histogram rata-rata kadar histamin jeroan selama proses fermentasi ..................
50
11. Histogram rata-rata log total mikroba jeroan selama proses fermentasi ..............
52
12. Histogram rata-rata kadar air bakasang selama penyimpanan .............................
56
13. Histogram rata-rata kadar protein bakasang selama penyimpanan ......................
57
14. Histogram rata-rata nilai pH bakasang selama penyimpanan ..............................
59
15. Histogram rata-rata kadar histamin bakasang selama penyimpanan ....................
61
16. Histogram rata-rata log total mikroba bakasang selama penyimpanan.................
64
17. Histogram rata-rata log total kapang bakasang selama penyimpanan ..................
66
18. Histogram rata-rata nilai penampakan bakasang selama penyimpanan ...............
68
19. Histogram rata-rata nilai bau bakasang selama penyimpanan .............................
70
20. Histogram rata-rata nilai rasa bakasang selama penyimpanan .............................
71
21. Histogram rata-rata nilai tekstur bakasang selama penyimpanan ........................
73
22. Histogram rata-rata uji organoleptik perbandingan pasangan ..............................
75
23. Grafik uji pendugaan umur simpan bakasang terhadap kadar histamin ...............
84
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lembar isian organoleptik bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) (SNI 01-2718-1996) ................................................
101
2. Lembar isian organoleptik bakasang hasil penelitian terbaik dan bakasang komersial ............................................................................................................
103
3. Jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) yang digunakan dalam penelitian ............................................................................................................
104
4a. Analisis ragam kadar air jeroan selama proses fermentasi ................................
104
4b. Uji lanjut Duncan kadar air jeroan selama proses fermentasi ...........................
104
5.
Analisis ragam kadar protein jeroan selama proses fermentasi ..........................
105
6. Analisis ragam nilai pH jeroan selama proses fermentasi ..................................
105
7. Analisis ragam kadar histamin jeroan selama proses fermentasi .......................
105
8a. Analisisi ragam log total mikroba jeroan selama proses fermentasi...................
105
8b. Uji lanjut Duncan log total mikroba jeroan selama proses fermentasi ..............
106
9. Produk bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) selama kombinasi perlakuan lama fermentasi dan lama penyimpanan .............
106
10a. Analisis ragam kadar air bakasang ......................................................................
107
10b. Uji lanjut Duncan kadar air pada lama fermentasi .............................................
108
10c. Uji lanjut Duncan kadar air pada lama penyimpanan ........................................
108
11a. Analisis ragam kadar protein bakasang . .............................................................
108
11b. Uji lanjut Duncan kadar protein pada lama fermentasi ......................................
108
11c. Uji lanjut Duncan kadar protein pada lama penyimpanan .................................
109
12a. Analisis ragam nilai pH bakasang ......................................................................
109
12b. Uji lanjut Duncan nilai pH bakasang pada lama penyimpanan .........................
109
13a. Analisis ragam kadar histamin bakasang ...........................................................
109
13b. Uji lanjut Duncan kadar histamin selama interaksi ...........................................
110
14a. Analisis ragam log total mikroba bakasang.........................................................
110
14b. Uji lanjut Duncan log total mikroba pada lama fermentasi ...............................
111
14c. Uji lanjut Duncan log total mikroba pada lama penyimpanan ...........................
111
15a. Analisis ragam log total kapang bakasang .........................................................
111
15b. Uji lanjut Duncan log total kapang selama interaksi ..........................................
112
xvii
16.
Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari) ..................................
113
Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari) ................................
114
Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari) ...............................
115
Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari) ................................
116
20a. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik bakasang ................................................
117
20b. Uji lanjut Multiple Comparisson penampakan bakasang ...................................
117
17. 18. 19.
21.
Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari) ..................................
118
Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari) ................................
119
Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari) ................................
120
Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari) ................................
121
25a. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik bakasang .................................................
122
25b. Uji lanjut Multiple Comparisson bau bakasang .................................................
122
22. 23. 24.
26.
Data uji penilaian organoleptik rasa bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari) ..................................
123
Data uji penilaian organoleptik rasa bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari) ................................
124
Data uji penilaian organoleptik rasa bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari) ................................
125
Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari) ................................
126
30a. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik bakasang .................................................
127
30b. Uji lanjut Multiple Comparisson rasa bakasang ................................................
127
27. 28. 29.
31. 32. 33. 34.
Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari) ..................................
128
Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari) ................................
129
Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari) ................................
130
Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari) ...............................
131
xviii
35.
Data organoleptik uji perbandingan pasangan bakasang F4P0 ...........................
132
36.
Data organoleptik uji perbandingan pasangan bakasang F8P0 ...........................
133
37a. Hasil uji Kruskal-Wallis bakasang terpilih dan bakasang komersial .................
134
37b. Uji lanjut Multiple Comparisson terhadap bau bakasang terpilih dan bakasang komersial ............................................................................................
134
38.
Analisis ragam kadar air bakasang terpilih dan bakasang komersial .................
134
39.
Analisis ragam kadar protein bakasang terpilih dan bakasang komersial ..........
134
40a. Analisis ragam nilai pH bakasang terpilih dan bakasang komersial ..................
135
40b. Uji lanjut Duncan nilai pH bakasang terpilih dan bakasang komersial .............
135
41a. Analisis ragam kadar histamin bakasang terpilih dan bakasang komersial .......
135
41b. Uji lanjut Duncan kadar histamin bakasang terpilih dan bakasang komersial ..
135
42a. Analisis ragam log total mikroba bakasang terpilih dan bakasang komersial ....
136
42b. Uji lanjut Duncan log total mikroba bakasang terpilih dan bakasang komersial.. 136 43a. Analisis ragam log total kapang bakasang terpilih dan bakasang komersial .....
136
43b. Uji lanjut Duncan log total kapang bakasang terpilih dan bakasang komersial..
136
44.
Analisis ragam kadar protein bakasang terpilih berdasarkan aspek kimia .........
137
45a. Analisis ragam kadar histamin bakasang terpilih berdasarkan aspek kimia ......
137
45b. Uji lanjut Duncan kadar histamin bakasang terpilih berdasarkan aspek kimia ..
137
46.
Data uji pendugaan masa simpan bakasang terhadap kadar histamin ................
138
47.
Rekapitulasi data preparasi jeroan ikan cakalang ..............................................
138
48.
Rekapitulasi data lama fermentasi jeroan ikan cakalang ...................................
139
49.
Rekapitulasi data lama penyimpanan bakasang hasil penelitian ........................
140
50.
Rekapitulasi data bakasang komersial pada penyimpanan 1 bulan (30 hari) .....
142
51.
Perhitungan kadar air, kadar protein, nilai pH, kadar histamin, total mikroba dan total kapang .................................................................................................
143
xix
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu potensi hasil perikanan Kota Ternate Provinsi Maluku Utara yang
cukup
besar
untuk
dikembangkan
adalah
ikan
cakalang
(Katsuwonus pelamis, Lin). Data Statistik Perikanan Tangkap Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara (2007) menunjukkan bahwa jumlah produksi ikan yang ada di Kota Ternate terdiri atas cakalang 40.591,60 ton/tahun, teri 12.687,72 ton/tahun, tuna 7.979,99 ton/tahun, tongkol 7.795,10 ton/tahun dan kakap 541,40 ton/tahun. Ikan cakalang selain sebagai komoditas dalam bentuk ekspor beku juga dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat Kota Ternate. Pengolahan tradisional yang sudah umum dikenal adalah ikan asin, ikan asap dan produk fermentasi seperti kecap ikan, terasi dan bakasang.
Pada umumya proses
pengolahan ikan cakalang seperti pengasapan dan penggaraman hanya memanfaatkan bagian dagingnya saja, sedangkan bagian lainnya seperti jeroan (usus, lambung, hati, jantung, paru dan telur) umumnya dibuang dan sebagiannya dimanfaatkan sebagai produk sampingan. Jeroan ikan merupakan limbah perikanan sumber enzim proteolitik yang cukup tinggi terutama pada bagian pilorikaeka dan usus. Pada pilorikaeka terdapat enzim tripsin dan kimotripsin, sedangkan pada usus terdapat enzim protease (Poernomo 1992), selain itu pada bagian lambung juga terdapat enzim proteolitik seperti pepsin, lipase dan esterase (Hidayat 1994). Jeroan ikan juga merupakan depot penyimpanan lemak dan sumber protein. Terdapat 17 jenis asam amino dalam jeroan ikan yaitu asam aspartat, treonin, serin, asam glutamat, leusin, glisin, alanin, sistein, valin, metionin, isoleusin, tirosin, fenilalanin, histidin, lisin dan arginin (Poernomo 1992). Pemanfaatan limbah perikanan khususnya jeroan secara tradisional telah dilakukan nelayan-nelayan di tepi pantai Indonesia bagian timur seperti Provinsi Sulawesi Utara dan Maluku Utara dengan cara fermentasi menggunakan garam dengan menghasilkan produk yang dikenal dengan nama ” bakasang ”. Pengolahan bakasang dengan cara fermentasi merupakan cara pengawetan yang
2
relatif sederhana dan mudah diterapkan turun temurun, proses pengolahannnya secara
tradisional
berdasarkan
kebiasaan
masyarakat
setempat,
tidak
membutuhkan biaya yang tinggi (mahal), menghasilkan bahan buangan (limbah) dalam jumlah kecil, produk fermentasi mempunyai daya simpan yang lama dan produk dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat (Rahayu et al. 1992). Menurut Brink et al. (1990); Ijong dan Ohta (1995); McLauchlin et al. (2005); Jiang et al. (2007), bakasang merupakan salah satu produk fermentasi oleh mikroba fermentatif golongan bakteri asam laktat.
Bakasang umumnya
dibuat dari jeroan ikan cakalang yang merupakan golongan scombroid yang berasal dari famili Scombroidae. Jenis ikan tersebut mengandung banyak histidin bebas di dalam jaringan daging dan bagian isi perutnya (jeroan) yang dapat diubah menjadi histamin melalui reaksi dekarboksilasi dan aktivitas bakteri penghasil histamin. Proses pengolahan bakasang di Kota Ternate dilakukan secara tradisional dan dipasarkan secara lokal. Segera setelah ikan didatangkan ke tempat pengolahan, ikan langsung ditangani dengan cara merendamnya dengan air es dalam ember besar beberapa menit, kemudian dilanjutkan dengan penanganan isi perut untuk pembuatan bakasang. Penanganan bahan baku, praktek sanitasi dan higiene yang dilakukan menjadi permasalahan penting selama pengolahan bakasang, dimana jeroan ikan yang sudah ditangani tidak diberi es dan masih bercampur dengan kotoran-kotoran lain seperti insang dan isi lambung. Penanganan jeroan (usus, lambung, hati, jantung, paru dan telur) selanjutnya dilakukan pencucian dengan air kran untuk mengeluarkan sisa-sisa darah dan kotoran lain yang masih menempel. Jeroan tersebut kemudian diberi garam 25 % lalu ditutup dengan kain kasa dan difermentasi selama 8 hari pada suhu kamar. Proses selanjutnya adalah pemasakan jeroan selama 30 menit (dalam keadaan mendidih) merupakan tahapan setelah proses fermentasi.
Hasil pemasakan
kemudian didinginkan dan disaring (diambil filtrat atau larutan yang berwarna coklatnya) kemudian dimasukkan ke dalam botol dan dilanjutkan dengan proses penyimpanan pada suhu kamar untuk siap dijual atau dikonsumsi. Daya tahan bakasang yang ada di Kota Ternate dapat mencapai 7 bulan dimana produk belum
3
menunjukkan penyimpangan atau kerusakan dari sisi organoleptik seperti warna, bau, rasa dan tekstur sehingga masih dapat diterima oleh masyarakat1. Sebagai upaya meningkatkan mutu sekaligus menyediakan makanan yang berbasis ikan dan produk olahannya yang aman dan bergizi perlu dilakukan suatu upaya perbaikan dalam pengolahan ikan seperti menjaga sanitasi dan higiene serta menerapkan proses pengolahan yang baik (good processing practices) dalam menghasilkan produk yang aman dikonsumsi.
Terbatasnya
informasi tentang perkembangan histamin pada produk bakasang dalam kaitannya dengan proses fermentasi dan penyimpanan menjadikan alasan pentingnya dilakukannya penelitian ini. Perkembangan histamin dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah lama fermentasi, lama penyimpanan, suhu dan aktivitas mikroorganisme pembentuk histamin.
Pada penelitian ini dipelajari
pengaruh lama fermentasi dan lama penyimpanan terhadap perkembangan histamin pada bakasang jeroan ikan cakalang termasuk karakteristik organoleptik, kimia dan mikrobiologi. 1.2. Perumusan Masalah Proses fermentasi dalam pembuatan bakasang terjadi secara spontan dimana dalam pembuatannya hanya menambahkan garam tanpa penambahan mikroba starter maupun karbohidrat (nasi dan pati), sehingga pertumbuhan dan aktivitas mikroba dapat terangsang karena adanya penambahan garam tersebut. Penambahan garam dalam pembuatan bakasang mengakibatkan hanya mikroba tertentu saja yang dapat tumbuh. Penanganan dan pengolahan bahan baku jeroan (fermentasi) sampai menjadi bakasang yang dilakukan di Kota Ternate belum memenuhi persyaratan sanitasi higiene dan tidak diterapkannya sistem rantai dingin. Kondisi tersebut menyebabkan pembentukan senyawa biogenik amin sebagai hasil dekarboksilasi asam amino bebas seperti histidin menjadi histamin dapat meningkat pada jeroan ikan yang difermentasi sehingga bisa menyebabkan keracunan atau alergi pada manusia.
1
Berkaitan dengan keberadaan histamin yang belum pernah dilakukan
Komunikasi pribadi dengan pemilik usaha pengolahan bakasang di Kota Ternate bulan Oktober 2007
4
uji keamanannya pada pada produk bakasang, maka diperlukan penelitian yang dapat memberikan informasi tentang kandungan histamin dan mutu bakasang terbaik yang dihasilkan pengolah tradisional di Kota Ternate, dalam kaitannya dalam penanganan dan pengolahan bakasang selama proses fermentasi dan selama penyimpanan.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuat produk bakasang dengan cara fermentasi garam dari jeroan ikan cakalang, sedangkan tujuan khususnya adalah: 1) Mempelajari pengaruh lama fermentasi terhadap perkembangan histamin pada jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). 2) Mempelajari pengaruh lama penyimpanan terhadap perkembangan histamin pada bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). 3) Mempelajari
interaksi
antara
pengaruh
lama
fermentasi
dan
lama
penyimpanan terhadap perkembangan histamin pada bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). Manfaat penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi tentang perkembangan histamin selama proses fermentasi dan selama penyimpanan terhadap produk bakasang yang diproduksi pengolah tradisional di Kota Ternate Provinsi Maluku Utara.
1.4 Hipotesis 1) Lama fermentasi diduga berpengaruh terhadap perkembangan histamin pada jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). 2) Lama penyimpanan diduga berpengaruh terhadap perkembangan histamin bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin). 3) Interaksi lama fermentasi dan lama penyimpanan diduga berpengaruh terhadap
perkembangan
(Katsuwonus pelamis, Lin).
histamin
bakasang
jeroan
ikan
cakalang
5
1.5 Kerangka Pemikiran Jeroan merupakan limbah perikanan yang perlu mendapat perhatian, mengingat jeroan merupakan bagian yang digunakan dalam proses pengolahan produk bakasang sehingga perlunya penanganan dan pengolahan sesuai persyaratan dalam sanitasi dan higiene. Jeroan ikan merupakan salah satu limbah perikanan yang memiliki kandungan histamin dalam jumlah tinggi. Keberadaan histamin dalam ikan dan produk perikanan merupakan masalah besar karena dapat menyebabkan alergi dan efek keracunan bagi kesehatan manusia jika kadarnya melebihi 100 ppm. Salah satu produk olahan ikan yang sangat digemari oleh masyarakat Kota Ternate adalah ”bakasang”. Pengolahan bakasang dari jeroan ikan cakalang melalui proses penggaraman dan perebusan menghasilkan bakasang dengan jumlah histamin yang rendah. Teknik lama fermentasi dan lama penyimpanan merupakan salah satu faktor penting dalam menghasilkan produk yang benilai tambah dan bergizi serta aman dikonsumsi sehingga dapat dijadikan alternatif dalam mengurangi jumlah histamin. Tingginya kandungan gizi dan rendahnya jumlah histamin menjadikan produk bakasang berkualitas dan aman, dengan demikian dapat meningkatkan nilai tambah bagi pengolah tradisional di Kota Ternate Provinsi Maluku Utara. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Jeroan ikan cakalang
Penanganan dan pengolahan
Lama fermentasi (0, 2, 4, 6, 8 hari)
Lama penyimpanan (0, 30, 60, 90 hari)
Bakasang
Perkembangan histamin dan karakterisasi
Kualitas bakasang yang terbaik Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian perkembangan histamin selama proses fermentasi dan penyimpanan produk bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Cakalang adalah ikan pelagis perenang cepat (good swimmer) dan mempunyai sifat rakus (varacious). Ikan ini melakukan migrasi jarak jauh dan hidup bergerombol dalam ukuran besar. Bentuk tubuhnya digolongkan dalam bentuk torpedo yaitu badan fusiform, bagian kepala sangat tebal, ramping dan kuat ke arah ekor dan sedikit pipih pada bagian samping. Penangkapan ikan cakalang
dapat
menggunakan
pole
and
line,
hand
line
dan
tonda.
Cakalang memiliki tubuh fusarium, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gill net) berjumlah 53-65 pada helai pertama. Mempunyai 2 sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung pertama terdapat 14-16 finlet dan sirip punggung kedua terdapat 7-9 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada badan dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna gelap disisi bawah dan perut keperakan dengan 4-6 buah garis-garis berwarna kehitaman (gelap) yang memanjang pada bagian sepenjang badan (Matsumoto et al. 1984). Cakalang mempunyai ukuran panjang 50-70 cm dan berat 1500-5000 g, dengan perbandingan rata-rata untuk setiap bagian tubuh adalah sebagai berikut : daging putih 1-2 %, daging merah 10 %, kepala 11-26 %, insang 3,3 %, isi perut 6,6 %, hati 0,9-3,5 %, ekor dan sirip 1,5-2,5 %, tulang 8,1-11,1 % dan kulit 3,8-6,6 % (Kizevetter 1993). Klasifikasi ikan cakalang menurut Matsumoto et al. (1984) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Subfilum
: Craniata
Superkelas
: Gnastomata
Series
: Pisces
Kelas
: Teleostomi
Subkelas
: Actinopterigii
Ordo
: Perciformes
Subordo
: Scombridae
Famili
: Scombridae
8
Subfamili
: Scombrina
Tribe
: Thunnini
Genus
: Katsuwonus
Spesies
: Katsuwonus pelamis, Lin
Daerah penyebaran ikan cakalang adalah perairan tropis dan subtropis pada lautan Atlantik, Hindia dan Pasifik kecuali laut Mediterania. Penyebaran ini dibedakan menjadi dua macam yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan (Matsumoto et al. 1984). Morfologi ikan cakalang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) (www.google.image.com) Daging ikan cakalang segar mempunyai komposisi kimia yang terdiri dari kadar air 70,40 %, kadar lemak 1,81 %, kadar protein 21,45 %, kadar abu 1,27 % dan kadar serat kasar 1,81 %. Ikan cakalang juga mengandung histidin yang tinggi yaitu 13,4 ppm daging (Matsumoto et al. 1984).
9
2.2. Kesegaran Ikan dan Proses Kemunduran Mutunya Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan biologis oleh enzim atau mikroorganisme pembusuk, sehingga memerlukan penanganan yang khusus untuk mempertahankan mutunya. Ikan sebagai bahan mentah yang cepat mengalami pembusukan, maka perlu diterapkan teknik penanganan yang baik meliputi waktu penanganan, temperatur dan kebersihan (Astawan et al. 1993; Soenardi 2005). Mutu kesegaran ikan dinilai berdasarkan sejauh mana ikan tersebut masih segar (Syah 2004). Ikan segar merupakan ikan yang baru saja ditangkap belum disimpan atau diawetkan dan mempunyai mutu tidak berubah serta tidak mengalami kerusakan (SNI 01-2729-1992). Nilai kesegaran ikan ditentukan oleh kondisi tempat penangkapan, metode penangkapan dan penanganan yang dilakukan terhadap ikan. Nilai kesegaran ikan menunjukkan mutu ikan tersebut. Tingkat mutu ikan ditentukan oleh kenormalan semua variabel sensori yang meliputi penampakan, tekstur dan bau. Semua variabel sensori ini memiliki hubungan dengan sifat fisiko-kimia ikan (Botta 1994). Menurut Yunizal dan Wibowo (1998) untuk mengenali segar tidaknya ikan dapat dilakukan pengamatan visual terhadap penampilan ikan secara menyeluruh terutama penampilan fisik, mata, insang dan adanya lendir, meraba adanya lendir dan kelenturan ikan, menekan daging ikan untuk melihat teksturnya dan mencium bau ikan. Setelah ikan
mati, berbagai proses perubahan fisiko-kimia dan
mikrobiologi terjadi dengan cepat.
Semua proses perubahan ini akhirnya
bermuara pada pembusukan. Tahap-tahap kemunduran kesegaran ikan adalah pre-rigor, rigormortis, autolisis dan penyerangan bakteri. Fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian disebut fase pre-rigor. Perubahan pada fase ini ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit ikan yang membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh. Lendir yang dilepaskan tersebut sebagian besar terdiri dari glukomukoprotein (Rahayu et al. 1992). Keadaan ini secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar adenosin triphosphate (ATP) dan keratin fosfat seperti halnya pada reaksi glikolisis (Eskin 1990). Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigormortis
10
ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati sebagai hasil perubahan biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan (FAO 1995). Hilangnya kelenturan ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Setelah itu, ikan memasuki tahap post-rigor yang ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara bertahap. Lamanya tingkat rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor. Fase rigormortis dianggap penting, karena pada fase ini belum terjadi proses pembusukan dan dikenal sebagai petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan segar (Eskin 1990). Rigormortis merupakan salah satu perubahan yang terjadi pada daging ikan segera setelah ikan mati, ditunjukkan oleh perubahan kreatin fosfat menjadi ATP dan dimulai pada saat kandungan ATP mulai berkurang. Senyawa ATP terus terdegradasi dan tingkat rigormortis sempurna terjadi pada saat konsentrasinya mencapai 1 µmol/g (Mazzarano-Manzano et al. 2000). Serabut otot daging ikan hidup mengandung protein dalam gel lunak. Selama rigor, gel menjadi kaku dan bila rigor telah berlalu, otot daging menjadi lunak dan lentur kembali. Keadaan ini berlangsung selama 1–7 jam sesaat setelah ikan mati. Nilai pH ikan pada fase ini sekitar 6–7 (Eskin 1990). Tahapan kemunduran mutu ikan Sakaguchi (1990) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tahapan kemunduran mutu ikan Parameter Penampakan umum Kondisi permukaan Warna insang Bau insang Resistensi daging Penampakan daging
Tahapan kemunduran mutu ikan Pre-rigor Rigormortis Post-rigor Cerah dengan kilauan Kilau metalik menurun Keruh, opaq/ Bersih dan transparan seperti susu Merah cerah atau merah Merah segar kecoklatan Asam atau Bau segar anyir Lembut dan Keras dan Elastisitas elastis elastis menurun
Pembusukan Warna memudar atau pucat Tebal, lengket, kelabu Coklat atau kelabu
Semi transparan
Keruh
Sumber: Sakaguchi (1990)
Sangat asam Lunak dan lembek
11
Marioka et al. (1999) menjelaskan bahwa kondisi post-rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Hal ini terjadi terutama pada ikan yang disimpan tanpa dibuang isi perutnya. Proses autolisis akan menyebabkan penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu peptida, asam amino dan amonia yang akan meningkatkan nilai pH daging ikan. Autolisis ditandai dengan adanya senyawa amonia, yang pada tahap sebelumnya tidak dihasilkan pada jaringan tubuh ikan (FAO 1995). Kemunduran mutu ikan setelah mati disebabkan oleh aktivitas enzimatis dan mikrobiologis yang sudah ada secara alami pada tubuh ikan ketika hidup. Pada suhu di bawah 4 ºC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat, sebab pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah (Clucas dan Ward 1996).
2.3. Mikrobiologi Ikan Segar Keberadaan mikroba pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies ikan, lingkungan air, habitat, cuaca dan cara penangkapan. Pengaruh spesies ikan terhadap populasi mikroorganisme terutama disebabkan oleh perbedaan kandungan lendir pada kulit ikan antara satu spesies dengan spesies lainnya. Lendir yang menutupi ikan mengandung bakteri jenis Pseudomonas, Sarcina, Serattia, Micrococcus, Vibrio dan Bacillus (Kimata 1961). Bakteri yang berhasil diisolasi dari saluran usus ikan segar meliputi Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes, Enterobacter, Flavobacterium, Pseudomonas dan Xanthomonas. Bakteri yang terdapat pada insang, usus dan lendir ikan sebanyak 60 % terdiri dari jenis Pseudomonas dan Achromobacter, 20 % terdiri dari jenis Corynebacterium, Flavobacterium dan Micrococcus. sedangkan sisanya adalah Alcaligenes, Bacillus, Proteus, Seratia, Graffkya dan E. coli (Rahayu et al. 1992).
12
Lingkungan air mempengaruhi mikroorganisme pada ikan. Ikan yang hidup di laut utara membawa banyak bakteri psikrofilik, sedangkan ikan yang hidup di laut tropis lebih banyak membawa bakteri mesofilik. Ikan yang hidup di air tawar membawa bakteri jenis Brevibacterium, Alcaligenes, Streptococcus, dan Lactobacillus. Ikan banyak mengandung bakteri apabila dibiarkan dalam waktu 2-3 jam pada suhu kamar akan cepat mengalami pembusukan. Bakteri yang berperan dalam kebusukan ikan adalah bakteri Gram-negatif berbentuk batang terutama
dari
jenis
Pseudomonas,
Achromobacter
dan
Alcaligenes
(Rahayu et al. 1992). Kepadatan bakteri pada ketiga lokasi insang, kulit, dan usus tidak sama. Kepadatan bakteri masing-masing pada insang berkisar 103-105 Cfu/g, kulit berkisar 102-106 Cfu/g dan pada usus berkisar 103-107 Cfu/g. Bakteri-bakteri tersebut menyerang tubuh ikan mulai dari insang atau luka-luka yang terdapat pada kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam, dari saluran pencernaan menuju jaringan daging dan dari permukaan kulit menuju ke jaringan tubuh bagian dalam dan cara ketiga yang paling sedikit (Hadiwiyoto 1993). Proses pengawetan dan pengolahan ikan ditujukan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Banyak cara yang telah dilakukan untuk mencegah atau menghambat proses perubahan yang disebabkan oleh bakteri, antara lain dengan menyiangi ikan, merendam ikan dalam zat kimia, menggunakan es batu yang telah diberi zat antibakteri atau melalui proses pembekuan (Clucas dan Ward 1996). 2.4. Protein Ikan Ikan mengandung protein yang cukup tinggi dan komposisi asam aminonya tidak sama dengan hewan-hewan darat. Ditinjau dari kandungan asam aminonya, maka protein ikan diklasifikasikan sebagai sumber protein yang bermutu tinggi sebab mengandung asam amino esensial yang lengkap (Zaitsev et al. 1969; Suzuki 1981).
Protein adalah senyawa yang mempunyai
berat molekul besar, yaitu ribuan sampai jutaan dalton.
Protein merupakan
komponen utama dalam sel hidup dan memegang peranan penting dalam proses kehidupan. Hasil-hasil hewani yang umum digunakan sebagai sumber protein
13
adalah daging (sapi, kerbau, kambing, dan ayam), telur (ayam dan bebek), susu dari hasil-hasil perikanan seperti ikan, udang dan kerang (Zaitsev et al. 1969; Winarno et al. 1993). Protein hewani disebut juga protein yang lengkap dan bermutu tinggi karena mempunyai asam amino esensial yang lengkap dan susunannya mendekati apa yang diperlukan oleh tubuh dan daya cernanya tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap oleh tubuh juga tinggi (Sakaguchi 1990). Komponen asam amino ikan laut, ikan air tawar dan daging sapi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi asam amino dalam protein daging ikan laut, ikan air tawar dan daging sapi Ikan air tawar (%) b) Asam amino Ikan laut (%) a) 10,34 5,2 – 7,8 Alanin 18,3 6,2 -11,8 Asam aspartat 3,03 5,9 -15,6 Asam glutamat 8,37 1,0 – 5,6 Glisin 7,8 2,6 – 7,7 Isoleusin 13,34 3,9 – 18,0 Leusin 6,64 1,5 – 3,7 Metionin 1,0 2,5 – 5,4 Serin 7,5 0,6 – 6,2 Treonin 8,2 0,6 – 5,4 Valin 1,1 2,6 – 9,6 Arginin 1,6 4,1 – 14,4 Lisin 5,91 1,2 – 5,7 Histidin 8,56 1,9 – 4,8 Fenilalanin 5,8 3,0 – 7,1 Prolin 1,26 0,4 – 1,4 Triptofan 7,9 1,3 – 5,0 Tirosin Sumber: a) Zaitsev et al. (1969) b) Mahmud et al. (1990) c) Slamet dan Purawisastra (1979)
Daging sapi (%) c) 3 6,05 11,95 3,3 2,23 4,91 2,07 1,76 2,92 2,14 4,07 4,92 1,62 2,71 1,91 5,4 2,30
Pada Tabel 2 dapat dilihat ada beberapa jumlah asam amino ikan yang sama dengan daging sapi, namun demikian jumlah jaringan ikat dalam otot ikan lebih kecil dari pada daging sapi serta serat-serat otot ikan lebih pendek daripada serat-serat otot sapi. Hal ini menyebabkan tekstur daging ikan lebih empuk dari daging sapi (Slamet dan Purawisastra 1979).
14
2.5. Histidin dan Histamin Histidin secara alami ditemukan pada kebanyakan hewan dan tumbuhan terutama yang tinggi proteinnya seperti ikan, unggas, keju dan biji gandum. Histidin adalah salah satu asam amino yang merupakan prekursor histamin (Tjay dan Rahardja 2007). Pada umumnya histidin bebas merupakan histidin yang dihasilkan dari degradasi protein pada saat ikan tersebut mengalami pembusukan (Brink et al. 1990; Stratton et al. 1991; Lehane dan Olley 2000). Ada dua macam histidin dalam daging ikan yaitu histidin bebas dan histidin terikat dalam protein.
Hanya histidin bebas yang dapat mengalami
dekarboksilasi menjadi histamin. Histidin bebas yang terdapat pada daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging ikan yang berwarna merah seperti cakalang, marlin dan sardin, tinggi kandungan histidin bebasnya (Pan 1984). Rossi et al. (2003); Kung et al. 2005; McLauchlin et al. 2005; Veciana et al. (1996); Kuda et al. (2007) menjelaskan bahwa histidin bebas banyak terdapat pada ikan scombroid yang berasal dari famili scombroidae dan jaringan lainnya seperti pada jeroan khususnya pilorikaeka dan usus. Lehane dan Olley (2000); Tsai et al. (2007) menambahkan bahwa histamin adalah senyawa yang terdapat di dalam daging ikan yang menyebabkan keracunan scombroid. Keracunan scombroid merupakan salah satu jenis intoksikasi pangan yang disebabkan
oleh
mengkonsumsi
spesies
ikan
laut
scombroid
dan
sejenisnya. Keracunan histamin (intoksikasi kimiawi) terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. Intoksikasi histamin tersebut terjadi dengan gejala seperti; kemerahan di sekitar leher dan wajah, badan terasa panas dan gatal-gatal. Gejala penderitaan yang dialami konsumen biasanya selama beberapa jam, tetapi pada beberapa kasus gejala tersebut dapat sampai beberapa hari.
15
2.5.1. Kandungan histamin dan pembentukannya pada ikan Histamin merupakan senyawa amin biogenik hasil dekarboksilasi asam amino histidin (ά-amino ß-inidosal asam propionat) (Keer et al. 2002; Tjay dan Rahardja 2007). Kandungan histamin pada ikan segar adalah rendah tetapi pada ikan busuk, kandungannya menjadi tinggi (Tsai et al. 2007).
Nigous et al.
(1990) menyatakan bahwa penyebab reaksi dekarboksilasi adalah berupa enzim, panas
ataupun
suasana
basa.
Reaksi
pembentukan
histamin
menurut
Cheffel et al. (1986) disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Reaksi pembentukan histamin (Cheffel et al. 1986) McLauchlin et al. (2005); Suryanti et al. (2006) melaporkan kandungan histamin pada ikan scombroid yang sudah rendah mutunya bervariasi antara 10-100 ppm bahkan kadang-kadang sampai 700-1000 ppm. Kadar histamin jika melebihi 25 ppm sudah mulai terbentuk kerusakan, kadar >50 ppm sudah berbahaya untuk kesehatan dan kadar >100 ppm sudah bersifat racun pada manusia (SNI 01-2360-1991). Standar yang ditetapkan oleh Ditjen P2HP DKP (2007) kadar histamin untuk hasil dan produk perikanan adalah 100 ppm. Brink et al. (1990) melaporkan kandungan histamin 100-800 ppm sudah toksik, kadar 500 ppm sudah berbahaya bagi kesehatan manusia (Askar dan Treptow 1993), sedangkan kadar histamin produk perikanan yang masih aman untuk dikonsumsi adalah <5 ppm (USDFA 2001).
16
Pada tahun 1998 di New Zaeland, dilaporkan terjadi keracunan histamin pada pengunjung restoran yang memakan steak tuna yang mengandung histamin >50 ppm (Mah et al. 2002). Jumlah histamin yang terbentuk bervariasi pada setiap spesies ikan tergantung pada jumlah histidinnya, tipe dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan aktivitas mikroba dan dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan pH
(Pan 1984; Fardiaz 1993; Kushner 1998; Lehane dan
Olley 2000; Kim et al. 2000). Autolisis pada daging ikan mulai berlangsung secara biokimia segera setelah ikan mati terutama pada daging sekitar rongga perut. Setelah fase rigormortis, enzim di dalam perut ikan aktif menguraikan komponen ikan yang menyebabkan terjadinya perubahan pada rasa, warna tekstur, bau dan penampakan ikan (Hidayat et al. 2006). Menurut Sillasantos et al. (1996); Lehane dan Olley (2000); Tsai et al. (2007) bahwa jumlah histamin yang dihasilkan dari aktivitas bakteri lebih banyak daripada hasil reaksi autolisis.
Jumlah histamin yang
dikandung oleh ikan dipengaruhi oleh jumlah mikroba atau bakteri yang terdapat pada ikan tersebut. Kandungan histamin pada ikan yang berukuran kecil jauh lebih banyak dibandingkan dengan ikan yang berukuran besar (Syah 2004). Bakteri pembentuk histamin lebih banyak dijumpai pada insang dan jeroan ikan daripada kulit karena insang dan jeroan merupakan sumber bakteri (Shewan dan Hobbs 1997). Hasil penelitian Keer et al. (2002); Kim et al. (2000) menyatakan bahwa terdapat hubungan atau korelasi positif antara jumlah bakteri dan kadar histamin yang dihasilkan. Pada jaringan ikan beku yang dithawing, produksi histaminnya dapat terhambat. Hal ini disebabkan oleh rusaknya bakteri penghasil histamin dalam proses pembekuan (freezing) dan thawing sehingga mencegah pembentukan senyawa tersebut. Kim et al. (2004); Tsai et al. (2007) menjelaskan bahwa aktivitas bakteri dan pembentukan histamin dipengaruhi oleh suhu dan waktu inkubasi. Tiap-tiap spesies mempunyai suhu dan waktu optimum yang berbeda. Bakteri pembentuk histamin dapat dikelompokkan menjadi spesies yang mampu memproduksi histamin dalam jumlah besar (>100 ppm) pada suhu di atas 15 0C dengan lama inkubasi < 24 jam dan spesies yang memproduksi histamin dalam jumlah kecil
17
(< 25 ppm) setelah diinkubasi pada temperatur 30 0C selama > 48 jam. Bakteribakteri yang dapat mendekarboksilasi histidin disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Bakteri-bakteri yang mendekarboksilasi histidin Bakteri
Morfologi
Hafnia spp., Hafnia alvei
Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik
Klebsiella spp., Klebsiella pneumonia,
Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik
Escherichia coli Clostridium spp., C. perfringens
Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik
Lactobacillus spp., Lactobacillus 30a
Gram-positif, batang, anaerobik
Enterobacter spp.
Gram-positif, batang, fakultatif anaerobik
Proteus sp., Proteus morganii
Gram-negatif, batang, fakultatif anaerobik
Sumber : Eitenmiller et al. (1981) Hasil penelitian Taylor dan Behling (1982); Tsai et al. (2007) menunjukkan bahwa bakteri Proteus morganii, Klebsiella pneumonia dan Enterobacter aerogenes termasuk penghasil histamin yang paling banyak, sedangkan Hafnia alvei, E. coli dan Clostridium freundii menghasilkan histamin sedikit. Keer et al. (2002); Setiyono (2006) menyatakan bahwa histamin merupakan komponen biogenik amin yaitu bahan aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan seperti ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi. Menurut Orejana (1984) bahwa adanya histamin pada daging ikan berkaitan dengan ”Scombroid poisoning” sehingga histamin dapat digunakan sebagai indikator adanya suatu toksin dalam tuna, mackerel (kembung) dan ikanikan sejenis lainnya.
Istilah ”Scombroid poisoning” merupakan istilah yang
umum digunakan untuk menyebutkan ikan yang secara alami telah mengandung senyawa toksin. Ditambahkan lebih lanjut oleh Veciana et al. (1996); Rossi et al. (2003) bahwa ikan-ikan yang termasuk dalam kelompok ini adalah ikan tongkol, kembung, cakalang, tuna dan bonito. Yatsunami et al. (1994) melaporkan bahwa bakteri pembentuk histamin yang diisolasi dari produk fermentasi ikan sardin adalah Staphylococcus, Micrococcus, Vibrio dan Pseudomonas. Kuda et al. (2001); Kuda et al. (2002)
18
menyatakan bahwa kadar histamin pada ikan mackerel dan ikan sardin berkisar 12,6-30,5
ppm,
sedangkan
bakteri
pembentuk
histamin
yang
paling
dominan adalah bakteri asam laktat berbentuk kokus Tetragenococcus. Kobayashi et al. (2004) melaporkan bakteri pembentuk histamin yang berhasil diidentifikasi dari fermentasi ikan mackerel dan ikan sardin adalah T. mutiaticus. Dapkevicius et al. (2000) melaporkan juga bahwa ditemukan strain Lactobacillus sake yang mendegradasi histidin menjadi histamin dalam pasta ikan sardin yang difermentasi. Mah et al. (2002) melaporkan bahwa peningkatan histamin pada sardin dan mackerel setelah penyimpanan pada suhu 4 0C selama fermentasi 10 hari berkisar 521-751 ppm. 2.5.2. Reaksi fisiologis histamin Histamin mempunyai fungsi penting dalam tubuh yaitu dihubungkan dengan fenomena fisiologis, patologis terutama dengan pelepasan pada reaksi anafilaksis dan alergi.
Alergi berarti masuknya suatu bahan asing yang
menyebabkan reaksi tidak menyenangkan di dalam jaringan tubuh, namun tidak terjadi pada setiap orang. Keracunan adalah efek dari mengkonsumsi pangan tertentu yang melebihi dari yang ditetapkan berlaku pada setiap orang. Secara garis besar reaksi alergi dapat dibagi atas 3 golongan yaitu reaksi pertama terjadi sangat cepat, reaksi ini terjadi sedemikian rupa sehingga bibir, lidah dan tenggorokan langsung membengkak dan menghalangi masuknya makanan. Manifestasi
alerginya
cepat sehingga
mudah
diketahui
makanan
yang
mengandung alergen. Reaksi kedua terjadi lebih lambat perlu waktu berjam-jam lamanya dengan demikian lebih sukar untuk mengetahui makanan mana yang bertanggung jawab atas manifestasi alergi pada seorang penderita. Reaksi ketiga lebih lama lagi, manifestasi klinis dari reaksi ketiga ini biasanya berupa kemerahan pada kulit (Rengganis 2007). Ada 5 gejala kunci alergi yang dapat terjadi apabila seseorang mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung alergen yaitu pembengkakan di sekitar mata, tangan, abdomen dan pergelangan, denyut jantung yang cepat atau berdebar-debar khususnya terjadi setelah makan, keringat yang berlebihan
19
walaupun tidak berolah raga. Reaksi antigen-antibodi menyebabkan pelepasan histamin sehingga terjadi fase dilatasi, gatal dan edema (Mumby 1995). Pelepasan histamin selama terjadi reaksi antigen-antibodi telah dilaporkan oleh para peneliti.
Histamin telah diketahui merupakan perantara
terjadinya fenomena hipersensitivitas (Syamsudin 1990). Keracunan histamin jarang terjadi dan biasanya terjadi karena overdosis. Gejala utama yang timbul yaitu sakit kepala, diare, muntah-muntah, bibir bengkak dan rasa terbakar di tenggorokan (Rice et al. 1976; Ronald et al. 1999). Menurut Lehane dan Olley (2000) keracunan histamin dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu keracunan tingkat lemah apabila mengkonsumsi 8 - 40 ppm, keracunan sedang apabila mengkonsumsi 70 - 100 ppm dan keracunan kuat apabila mengkonsumsi 150 - 400 ppm histamin. 2.6. Fermentasi Proses fermentasi adalah pemecahan karbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida (CO2), tetapi banyak proses yang disebut fermentasi tidak selalu menggunakan substrat karbohidrat sebagai media fermentasi yang menghasilkan alkohol dan CO2 saja. Selain karbohidrat, protein dan lemak dapat juga dipecah oleh mikroba atau enzim tertentu untuk menghasilkan asam amino, asam lemak dan zat-zat lainnya (Rahayu et al. 1992). Fukami et al. (2002); Syah (2004) menjelaskan bahwa pada prinsipnya fermentasi adalah proses perubahan substrat organik yang kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana dengan adanya aktivitas enzim dan mikroba dalam keadaan terkontrol, dimana bahan-bahan atau komponen yang dihasilkan dapat
menghambat
kegiatan
mikroba
pembusuk. Selain
menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, perubahan yang terjadi dapat memperbaiki nilai gizi produk. Gildberg dan Thongthai (2001); Ichimura et al. (2003) menyatakan bahwa fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut.
Hasil fermentasi terutama
20
tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), jenis mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Berdasarkan sumber mikroba yang berpengaruh dalam fermentasi, maka fermentasi makanan dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembang biak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Fermentasi tidak spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya ditambahkan mikroba dalam bentuk kultur atau starter, dimana mikroba tersebut akan berkembang biak dan aktif dalam mengubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan (Fardiaz 1993; Ruddle dan Ishige 2005). 2.6.1. Fermentasi dengan garam Peranan
garam
dalam
fermentasi
adalah
sebagai
penyeleksi
mikroorganisme yang diperlukan. Jumlah garam yang ditambahkan berpengaruh pada populasi mikroorganisme dan jenis mikroorganisme yang tumbuh. Oleh karena itu kadar garam dapat digunakan untuk mengendalikan aktivitas fermentasi apabila faktor-faktor lainnya sama (Winarno et al. 1993; Hermansyah 1999). Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi yaitu meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan, mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan dalam fermentasi dan menghambat pertumbuhan mikroorgansime pembusuk dan patogen (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993; Ijong dan Ohta 1995). Garam
dapat
berfungsi
sebagai
penghambat
pertumbuhan
mikroorgansime pembusuk dan patogen karenanya mempunyai sifat-sifat antimikroba yaitu: garam akan meningkatkan tekanan osmotik substrat; garam menyebabkan terjadinya penarikan air dalam bahan pangan, sehingga aw bahan pangan akan menurun dan mikroorganisme tidak akan tumbuh; garam menyebabkan terjadinya penarikan air dari dalam sel mikroorganisme sehingga sel akan kehilangan air dan mengalami pengerutan; ionisasi garam akan
21
menghasilkan ion klor yang beracun terhadap mikroorganisme dan dapat mengganggu kerja enzim proteolitik karena dapat mengakibatkan terjadinya denaturasi protein (Heruwati 2000; Rahayu et al.1992). Fermentasi menggunakan garam sangat berperan dalam penguraian senyawa-senyawa seperti enzim dari ikannya sendiri, terutama enzim dari isi perut dan mikroorganisme yang berasal dari ikan maupun garam yang digunakan (Rahayu et al. 1992). Ijong dan Ohta (1995) menambahkan bahwa pada proses pembuatan bakasang ikan sardin, garam yang digunakan selain berfungsi untuk mengikat air dan pemberi rasa sedap juga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak dikehendaki. 2.6.2. Fermentasi bakasang Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk. Jika ke dalam bahan mentahnya ditambahkan sumber karbohidrat, misalnya pati atau nasi, maka selama fermentasi akan terjadi pemecahan pati menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana seperti asam dan alkohol (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Produk akhir fermentasi ikan dapat berupa ikan utuh, pasta atau saus. Prinsip pengawetan pada produk fermentasi ikan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penurunan aktivitas air oleh garam, gula, pengeringan dan dikombinasikan
dengan
penurunan
pH
oleh
bakteri
pembentuk
asam
(Rahayu et al. 1992). Bakasang adalah suatu produk fermentasi ikan berupa larutan kental (semisolid) dan dibuat melalui fermentasi dengan medium garam yang rasanya asam dan biasanya disajikan sebagai pelengkap lauk yang sebelumnya dibumbuhi cabe dan gula. Bakasang merupakan salah satu produk fermentasi oleh mikroba fermentatif yang disebut bakteri asam laktat (Gunena 2000; Ijong dan Ohta 1995).
22
Bakasang digolongkan dalam fermentasi spontan, karena dalam pembuatannya dilakukan penambahan garam dan tidak menambahkan starter mikroba maupun karbohidrat. Produk fermentasi yang dibuat menggunakan kadar garam tinggi tidak dapat digunakan sebagai makanan sumber protein karena rasanya yang terlalu asin, sehingga jumlah yang dapat dikonsumsi juga terbatas. Produk-produk semacam ini biasanya hanya digunakan sebagai bahan perangsang makan, penyedap makanan atau bumbu. Proses fermentasi ikan merupakan proses biologis atau semi-biologis yang pada prinsipnya dapat dibedakan atas empat golongan (Rahayu et al. 1992) yaitu: 1). Fermentasi menggunakan kadar garam tinggi, misalnya dalam pembuatan peda, kecap ikan dan bakasang. 2). Fermentasi menggunakan asam-asam organik, misalnya dalam pembuatan silase ikan dengan cara menambahkan asam-asam propionat dan format. 3). Fermentasi menggunakan asam-asam mineral, misalnya dalam pembuatan silase ikan menggunakan asam-asam kuat. 4). Fermentasi menggunakan bakteri asam laktat, misalnya dalam pembuatan bakasang. Daengsubha (1998) melaporkan bahwa dari produk Plaa-ra (produk sejenis bakasang yang berasal dari ikan air tawar di Thailand) dengan waktu fermentasi selama 6 bulan telah ditemukan mikroba seperti Bacillus, Pediococcus halophilus, Micrococcus sp. dan Staphylococcus epidermis dengan komposisi terdiri dari 7,95-20,28 % protein, 11,61-23,82 % garam, pH 4,0-6,90 serta terdapat 0,71-1,94 % asam laktat.
Sumanti (1998) berhasil melakukan isolasi dan
identifikasi bakteri halofilik selama fermentasi jeroan ikan cakalang, ditemukan bakteri seperti Micrococcus, Halobacterium salinarum, Staphylococcus sp dan Bacillus sp. Pada fermentasi bakasang ikan sardin yang diteliti oleh Ijong dan Ohta (1995) ditemukan bakteri asam laktat Lactobacillus pada pH 5,5-5,9 menggunakan kadar garam 20 % dan lama fermentasi 14 hari. Mikroba yang berhasil diisolasi dari bakasang ikan mujair ditemukan Lactobacillus,
Streptococcus,
Staphylococcus,
Bacillus,
Clostridium,
Micrococcus, Enterobacter, Enterococcus dan Streptococcus dengan pH 5-7 selama 2 hari fermentasi (Gunena 2000). Muller et al. (2002) melaporkan bahwa
23
mikroflora yang diisolasi dari produk fermentasi Plaa-som (salah satu produk fermentasi ikan laut (Channas triatus) selama 12 hari fermentasi ditemukan Lactobacillus plantarum, Lalimentarius, Lactococcus garviae, Pediococcus pentosaceus, Staphylococcus dan Zygossacharomycez sp. Komposisi kimia silase jeroan ikan cakalang (produk sejenis bakasang dari Sulawesi Utara) terdiri dari protein 14,82-15,91 %, lemak 0,91-1,37 %, air 69,13-75,38 % dan kadar abu 13,12-15,07 % (Kaseger 1986).
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2008.
Kegiatan preparasi, fermentasi jeroan, perebusan, penyimpanan bakasang,
pengujian Total Volatile Bases (TVB), pengujian kadar histamin, pengujian Salmonella dan Escherichia coli dilakukan di Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPMHP) DKI Pluit, Jakarta Utara. Pengujian total mikroba/ Total Plate Count (TPC) dan total kapang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB untuk pengujian kadar air, kadar protein dan nilai pH.
3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah jeroan (usus, hati, jantung, paru dan telur) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) yang diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara. Bahan pembantu yang digunakan adalah garam yodium cap Jempol yang diperoleh dari pasar tradisional Jakarta Utara. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis TVB meliputi TCA 5 %, larutan K2CO3 dan HCl 0,01 N. Bahan-bahan kimia untuk analisis kadar protein meliputi NaOH, Na2S2O3, NaSO4, CuSO4, K2SO4, H3BO3, H2SO4 dan HCl 0,1 N. Bahan untuk analisis pH yaitu akuades, sedangkan bahan-bahan kimia untuk analisis histamin terdiri atas NaOH 2 N, HCl 0,1 N, HCl 2 N, H3PO4 3,75 N, metanol, resin amberlite, Orto-ptalatdikarboksildehid (OPT) 1 %. Bahan untuk analisis total mikroba dan total kapang adalah NaCl 0,89 %. Media untuk uji total mikroba (TPC) dan total kapang terdiri atas Plate Count Agar (PCA) dan Potatoes Dextro Agar (PDA). Media untuk uji Salmonella terdiri atas Bismuth Sulfite Agar (BSA), Hectoen Enteric Agar (HEA), Xylose Lysine Desoxycholate
25
Agar (XLDA), Tetrathionate Broth (TTB), Lactose Broth (LB), Rappaport Vassiliadis (RV). Media untuk uji Escherichia coli terdiri atas Escherichia coli Broth (ECB), Lauryl Tryptose Broth (LTB), larutan Butterfield’s Phosphate Buffered (BPB), sedangkan bahan-bahan lain yang digunakan adalah kapas, tissue dan alkohol 70 %.
3.2.2. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat preparasi jeroan, alat untuk fermentasi, alat untuk penyimpanan bakasang dan alat-alat untuk analisis kimia dan organoleptik. Alat-alat yang digunakan dalam preparasi jeroan meliputi coolbox, pisau, talenan, gunting, pinset, wadah plastik, wajan (untuk perebusan jeroan), saringan, gelas ukur dan timbangan analitik. Alat-alat yang digunakan untuk proses fermentasi jeroan adalah plastik polyethylene steril dan wadah plastik. Alat yang digunakan untuk penyimpanan bakasang adalah botol pyrex 250 ml. Alat-alat yang digunakan dalam analisis kimia meliputi spektrofotometer, kolom resin, inkubator, waterbath, glasswoll, homogenizer, cawan Conway, cawan porselin, destilasi protein, kompor gas, lampu bunsen, labu ukur, erlenmeyer, labu Kjeldhal, kertas saring Whatman No.01, gelas ukur, gelas piala, pipet, spatula, erlenmeyer, pH meter, vortex, batu stirer dan tabung reaksi, sedangkan alat-alat untuk uji organoleptik terdiri atas lembaran score sheet dan piring stearoform untuk menyajikan bakasang.
3.3. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap preparasi jeroan ikan cakalang, tahap fermentasi jeroan dan tahap penyimpanan bakasang. 3.3.1. Preparasi jeroan Preparasi yang dilakukan dalam tahap ini meliputi pengambilan jeroan (usus, jantung, hati, paru dan telur), pengecilan ukuran, pencucian, penirisan dan penimbangan. Analisis yang digunakan untuk memperoleh informasi komposisi kimia jeroan adalah kadar air, protein, nilai pH, Total Volatile Bases (TVB), kadar
26
histamin dan uji total mikroba/ TPC. Diagram alir proses preparasi jeroan ikan cakalang disajikan pada Gambar 4.
Ikan cakalang
Jeroan (usus, hati, jantung, paru dan telur)
Pengecilan ukuran (dipotong kecil-kecil)
Pencucian
Penirisan
Penimbangan
Analisis: - Kimia: kadar air, protein, nilai pH, TVB dan kadar histamin - Mikrobiologi: total mikroba/ TPC Gambar 4. Tahapan preparasi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)
3.3.2. Proses fermentasi jeroan Jeroan yang telah dilakukan penimbangan kemudian ditambahkan garam 25 % (fermentasi 0 hari) dan dilakukan pengujian. Jeroan tersebut selanjutnya dibagi dalam 4 wadah dan ditutup dengan plastik polyethylene yang sudah disterilkan untuk proses fermentasi pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan pada 2, 4, 6 dan 8 hari dan analisis yang dilakukan meliputi kadar air, kadar protein, nilai pH, kadar histamin, total mikroba/ TPC, Salmonella dan Escherichia coli. Tahapan proses fermentasi jeroan disajikan pada Gambar 5.
27
Jeroan (usus, hati, jantung, paru dan telur)
Penimbangan
Penambahan garam 25 %
Pemisahan dalam wadah plastik dan ditutup dengan plastik steril Proses fermentasi pada suhu kamar (0, 2, 4, 6, 8 hari)
Analisis: - Kimia: kadar air, protein, nilai pH dan kadar histamin - Mikrobiologi: total mikroba/ TPC, Salmonella dan Escherichia coli Gambar 5. Tahapan proses fermentasi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) 3.3.3. Penyimpanan bakasang Jeroan yang sudah difermentasi kemudian dimasak (dalam keadaan mendidih) dan dibiarkan sampai hangat kemudian dilakukan penyaringan. Hasil saringan yang berwarna coklatnya selanjutnya dimasukkan dalam botol steril (bakasang) 250 ml dan dilanjutkan dengan proses penyimpanan pada suhu kamar selama 90 hari. Pengamatan dilakukan pada 0, 30, 60 dan 90 hari untuk setiap lama fermentasi dan analisis yang dilakukan meliputi kadar air, protein, nilai pH, kadar histamin, total mikroba/ TPC, total kapang dan uji organoleptik (uji skoring dan uji perbandingan pasangan). Diagram alir proses penyimpanan bakasang disajikan pada Gambar 6.
28
Proses fermentasi (2, 4, 6, 8 hari )
Pemasakan 30 menit (sampai hancur)
Biarkan sampai hangat
Penyaringan
Filtrat (larutan coklatnya)
Bakasang
Pengisian dalam botol steril
Penyimpanan 3 bulan pada suhu kamar (0, 30, 60, 90 hari)
Analisis: - Kimia: kadar air, protein, nilai pH dan kadar histamin - Mikrobiologi: total mikroba dan total kapang - Organoleptik: uji skoring dan uji perbandingan pasangan (penampakan, bau, rasa dan tekstur) Gambar 6. Proses penyimpanan bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)
29
3.4. Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis kimia, analisis mikrobiologi dan uji organoleptik (uji skoring dan uji perbandingan pasangan). 3.4.1. Analisis kimia (a) Kadar air (AOAC 1995) Prinsip kerja penentuan kadar air adalah mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-110 0C selama 12 jam atau sampai didapatkan berat konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Prosedur penentuan kadar air adalah sebagai berikut: cawan porselin kosong dikeringkan pada suhu 105-110 0C selama 15 menit, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 g dimasukan ke dalam cawan kosong yang sudah ditimbang beratnya, selanjutnya cawan dan sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105 0C selama 12 jam. Cawan yang sudah didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang hingga diperoleh bobot konstan.
Perhitungan nilai kadar air dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut:
Kadar air (%) =
(A - B) x 100 % A
Keterangan: A = berat sampel awal (g) B = berat sampel setelah dikeringkan (g) (b) Kadar protein (Apriyantono et al. 1989)
Prinsip analisis protein adalah pengukuran kadar nitrogen (N) dari sampel dengan menggunakan Metode Kjeldahl.
Cara Kjeldahl digunakan untuk
menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung dengan mengalikan hasil analisis tersebut dengan angka konversi 6,25 diperoleh nilai protein dalam bahan makanan. Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut: Sampel ditimbang sebanyak 1-2 g dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Sebanyak 1,9 g K2SO4 dan 2 ml H2SO4 ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl dan
30
dimasukkan batu didih.
Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan
menjadi jernih dan didinginkan.
Air sebanyak 5-10 ml ditambahkan secara
perlahan-lahan melalui dinding labu Kjeldahl dan didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam destilasi kemudian dicuci dan dibilas sebanyak 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0,2 % dalam alkohol dan metil biru 0,2 % dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor.
Ujung tabung kondensor direndam dalam larutan H3BO3 dan
ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3, kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung kurang lebih 15 ml destilat dalam erlenmeyer.
Tabung
kondensor dibilas dengan air dan bilasan ditampung dalam labu yang sama. Isi labu erlenmeyer diencerkan sampai 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Kadar protein dihitung dengan rumus: Kadar protein (%) =
(ml HCl - ml blanko) x N HCl x 14,007 x 6,25 x 100 % mg sampel
(c) Nilai pH (Fardiaz 1993) Sampel ditimbang seberat 2 g, dihancurkan dengan blender lalu didispersikan kedalam 20 ml akuades dan diaduk selama 2 menit. Alat pH meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer pH standar (pH 4 dan pH 7) dan selanjutnya elektroda yang telah dibersihkan dicelupkan ke dalam sampel yang akan diperiksa. Nilai pH merupakan hasil pembacaan jarum penunjuk pada pH meter selama 1 menit atau sampai angka digital tidak berubah.
(d) Total Volatile Bases (TVB) (AOAC 1995) Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa volatil yang terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan. Komponen-komponen utama TVB adalah amine (NH3), Trimethyl amine (TMA) dan Dimethyl amine (DMA). Prosedur kerjanya adalah sampel ditimbang sebanyak 5 g kemudian dicampur dengan 15 ml TCA 5 % dan diblender, selanjutnya larutan disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh filtrat
31
jernih. Larutan asam borat sebanyak 1 ml dimasukkan kedalam cawan conway pada bagian inner chamber kemudian 1 ml sampel yang dianalisis dimasukkan ke dalam outer chamber. Larutan K2CO3 dimasukkan dalam sisi outer chamber yang berlainan, lalu ditutup rapat (pada bagian tepi cawan sebelumnya diolesi dengan vaselin). Blanko dibuat dengan prosedur yang sama, tetapi sebagai filtrat sampel diganti dengan TCA 3 %. Cawan ditutup, digoyang selama 1 menit agar tercampur selanjutnya diinkubasi selama 2 jam. Setelah diinkubasi, larutan asam borat pada bagian inner chamber dititrasi dengan HCl 0,01 N hingga berwarna merah muda. Kadar TVB ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
TVB (mg N/100 g) =
(a - b) x c x 14,007 x 100 15
Keterangan : a = ml titrasi dari sampel b = ml titrasi dari blanko c = ml total volume filtrat (e) Kadar histamin (SNI 01-2360-1996)
Kadar histamin dianalisis menggunakan alat spektrofotometer. Prinsip pengujian ini adalah histamin diekstrak dari jaringan daging contoh menggunakan metanol dan sekaligus mengkonversi histamin dalam bentuk OH. Zat-zat histamin selanjutnya dimurnikan melalui resin penukar ion dan diubah ke bentuk derivatnya dengan senyawa Orto-ptalatdikarboksildehid (OPT). Besarnya histamin diukur secara fluorometri pada panjang gelombang eksitasi 350 nm dan emisi 444 nm. Pengukuran kadar histamin secara fluorometri terdiri atas beberapa tahapan sebagai berikut: 1). Tahap ekstraksi (preparasi sampel) Sampel sebanyak 10 g ditimbang kemudian ditambahkan dengan metanol sebanyak 50 ml lalu dihomogenkan dengan homogenizer kurang lebih 1-2 menit. Sampel yang sudah dihomogenkan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 60 0C selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Sampel yang sudah didinginkan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan
32
metanol sampai tanda tera dan dikocok agar homogen. Larutan sampel tersebut kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No.01. Hasil saringan tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer untuk pemurnian (clean up). 2). Persiapan resin Sebanyak 3 g resin ditimbang untuk setiap kolom dalam beaker glass 250 ml, kemudian ditambahkan 15 ml NaOH 2 N/g resin dan diaduk-aduk dengan magnetik stirer selama 30 menit. Cairan pada bagian atas dituangkan dan diulangi penambahan NaOH dengan jumlah yang sama. Resin selanjutnya dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali dan disaring pada kertas saring Whatman No. 01 dan dicuci kembali dengan akuades. Resin harus disiapkan dalam kondisi segar setiap minggu dan disimpan dalam refrigerator. 3). Persiapan kolom resin (tahap clean up/elusi) Glasswoll dimasukkan dalam kolom resin setinggi kurang lebih 1,5 cm.
Resin dimasukkan dalam kolom resin setinggi 8 cm dan volume air yang berada di atas resin dipertahankan kurang lebih 1 cm (diusahakan agar resin jangan sampai kering). Labu takar 50 ml yang sudah berisi 5 ml HCl 1 N diletakkan di bawah kolom resin guna menampung elusi contoh yang dilewatkan pada kolom resin. Hasil tampungan (elusi) tersebut kemudian dipisahkan untuk tahap pembentukan (pembacaan). 4). Pemurnian contoh Filtrat sebanyak 1 ml dipipet dan dimasukkan dalam kolom resin dan kran kolom resin dalam posisi terbuka dan dibiarkan aliran menetes dalam labu takar 50 ml. Akuades ditambahkan pada saat tinggi cairan kurang lebih 1 cm di atas resin dan cairan dibiarkan berelusi hingga mencapai 50 ml labu takar. Hasil elusi selanjutnya dapat disimpan dalam refrigerator. 5). Persiapan pembacaan contoh, standar dan blanko Pertama-tama tabung reaksi 50 ml masing-masing untuk contoh, standar dan blanko disiapkan. Masing-masing 5 ml contoh (hasil elusi), standar dan blanko (HCl 0,1 N) dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi tersebut. Selanjutnya ditambahkan berturut-turut 10 ml HCl 0,1 N dan vortex, kemudian
33
ditambahkan 3 ml NaOH 1 N vortex dan dalam waktu 5 menit harus sudah ditambahkan 1 ml OPT 1 % lalu divortex dan dibiarkan selama 4 menit. Campuran tersebut selanjutnya ditambahkan H3P04 3 N dan divortex. Sampel sesegera mungkin dibaca dengan alat spektrofotometer. Nilai konsentrasi dan fluorosensi dari larutan standar dimasukkan dalam program regresi linier. Nilai fluorosensi contoh dimasukkan ke dalam persamaan regresi standar y= a + bx, dimana y= fluorosensi contoh, a = intercept, b= slope dan x = konsentrasi contoh yang akan dihitung. Konsentrasi histamin dihitung dengan rumus: Konsentrasi histamin (ppm) =
(IU - a) / b) x fp bobot sampel (x)
Keterangan: IU a b x fp
= intensitas unit = intercept = slope = bobot sampel (g) = faktor pengenceran
3.4.2. Analisis mikrobiologi (a) Total mikroba/ Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1993)
Analisis TPC bertujuan untuk menentukan secara kuantitatif jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada media Plate Count Agar (PCA). Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut: sebanyak 1 ml contoh dilarutkan ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis steril sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Larutan tersebut dipipet 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi 9 ml larutan fisiologis steril untuk mendapatkan pengenceran 10-2, demikian seterusnya sampai pengenceran 10-5.
Masing-masing pengenceran dipipet 1 ml dan
dipindahkan ke dalam cawan petri steril, selanjutnya setiap pengenceran dipindahkan ke dalam 2 cawan petri steril (duplo). Kemudian ke dalam setiap cawan petri ditambahkan 15 ml media Plate Count Agar (PCA) dan cawan petri digoyang supaya media benar-benar merata dan setelah media membeku, cawan petri disimpan dengan posisi terbalik di dalam inkubator pada suhu 37 °C selama 48 jam.
34
Cara perhitungan hasil analisis TPC sebagai berikut: cawan yang dipilih dan dihitung jumlah bakterinya adalah yang mengandung koloni antara 30-300. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari 2 angka, yaitu angka pertama dan angka kedua menghasilkan koloni kurang dari 30, maka jumlah koloni yang dihitung hanya pada pengenceran yang terendah.
Jika semua pengenceran
menghasilkan lebih dari 300 koloni, maka hanya jumlah koloni tertinggi yang dihitung. Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni antara 30-300 koloni dan perbandingan hasil tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut kurang dari atau sama dengan dua, maka kedua nilai tersebut
dirata-ratakan
dengan
memperhitungkan
pengencerannya. Jika
perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah lebih besar dari atau sama dengan dua maka yang dilaporkan hanya hasil yang terkecil. Apabila menggunakan dua cawan petri (duplo) per pengenceran, maka data yang diambil adalah dari kedua cawan petri tersebut. Perhitungan jumlah koloni menggunakan rumus sebagai berikut: Total mikroba (Cfu/g) = Jumlah koloni per cawan
x
1 Faktor pengeceran
(b) Total kapang (Fardiaz 1993)
Prosedur analisis total kapang sama dengan prosedur analisis pada TPC, hanya media yang digunakan untuk total kapang adalah Potatoes Dextro Agar (PDA). (c) Escherichia coli (SNI 01-2332.1- 2006)
Prinsip kerja dari pengujian Escherichia coli adalah menumbuhkan bakteri dalam suatu media cair dan perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah tabung yang positif setelah diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Prosedur kerja pengujian E. coli adalah sebagai berikut:
35
1). Preparasi contoh Prosedur kerjanya sebagai berikut: contoh sebanyak 25 ml yang akan diuji dipipet, kemudian dimasukkan
ke dalam wadah plastik steril dan
ditambahkan 225 ml larutan Butterfield’s Phosphatase Buffered (BPB), selanjutnya dihomogenkan selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. 2). Uji pendugaan coliform Pertama-tama disiapkan pengenceran 10-2 dengan cara melarutkan 1 ml larutan 10-1 ke dalam 9 ml larutan pengencer BPP. Pengenceran dilakukan sesuai dengan pendugaan kepadatan populasi contoh dan setiap pengenceran dilakukan pengocokan
minimal
25
kali. Sampel
selanjutnya
dipindahkan
dengan
menggunakan pipet steril sebanyak 1 ml larutan dari setiap pengenceran ke dalam 3 seri atau 5 seri tabung Lauryl Tryptose Broth (LTB) yang berisi tabung durham selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 0C. Gas yang terbentuk (positif) setelah inkubasi 24 jam diperhatikan, selanjutnya tabung-tabung yang negatif (tidak adanya gas) diinkubasikan kembali selama 24 jam. Tabung positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham. 3). Uji penegasan coliform Tabung-tabung Lauryl Tryptose Broth (LTB) yang positif diinokulasikan kedalam tabung-tabung Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB) yang berisi tabung durham dengan menggunakan jarum ose. Tabung-tabung BGLBB yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 0C. Tabungtabung BGLBB yang menghasilkan gas diperiksa dan dipisahkan. Tabung positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham. Jumlah tabung-tabung BGLBB yang positif ditentukan berdasarkan Angka Paling Memungkinkan (APM) dan dinyatakan sebagai APM/g coliform. 4). Uji pendugaan E. coli Tabung LTB yang positif diinokulasi ke tabung-tabung Escherichia coli Broth (ECB) yang berisi tabung durham dengan menggunakan jarum ose. ECB
kemudian diinkubasi dalam waterbath selama 48 jam pada suhu 45 0C. Waterbath
36
harus dalam keadaan bersih, air di dalamnya harus lebih tinggi dari cairan yang ada dalam tabung yang akan diinkubasi. Tabung-tabung ECB yang menghasilkan gas selama 24 jam diperiksa, dan jika negatif maka diinkubasi kembali sampai 48 jam. Tabung yang positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham.
Jumlah tabung-tabung BGLBB yang positif ditentukan berdasarkan
Angka Paling Memungkinkan (APM) dan dinyatakan sebagai APM/g faecal coliform.
5). Uji penegasan E. coli Tabung-tabung ECB yang positif digoreskan ke Levine’s Eosin Methylene Blue Agar (L-EMBA) menggunakan jarum ose, lalu diinkubasi selama
24 jam pada suhu 35 0C. Koloni E. coli terduga memberikan ciri yang khas yaitu hitam pada bagian tengah tanpa hijau metalik.
Koloni yang diduga E. coli
kemudian diambil lebih dari satu koloni dari masing-masing cawan L-EMB lalu digoreskan ke media Plate Count Agar (PCA) miring dengan menggunakan jarum tanam, selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 0C. 6). Uji morfologi Uji morfologi dilakukan dengan cara pewarnaan Gram dari setiap koloni yang diduga sebagai E. coli. Biakan/contoh diambil dari PCA yang telah diinkubasi selama 24 jam kemudian dilanjutkan dengan
pengamatan Gram
bakteri menggunakan mikroskop sehingga dapat diketahui bahwa E. coli termasuk bakteri Gram-negatif, berbentuk batang pendek.
(d) Salmonella (SNI 01-2332.2- 2006)
Prinsip kerja dalam pengujian Salmonella adalah contoh yang diuji ditumbuhkan terlebih dahulu pada media pengkayaan kemudian dideteksi dengan menumbuhkannya pada media agar selektif.
Metode ini didasarkan pada
pengujian dengan menggunakan media pengkayaan. Koloni-koloni yang diduga Salmonella (suspect colonies) pada media selektif diisolasi dan dilanjutkan
dengan konfirmasi melalui uji biokimia dan uji serologi untuk meyakinkan ada atau tidaknya bakteri Salmonella. Prosedur kerja pengujian Salmonella adalah sebagai berikut :
37
1). Prapengkayaan Sampel sebanyak 25 g atau contoh cair sebanyak 25 ml dari contoh yang akan diuji, kemudian dimasukkan dalam wadah plastik steril dan ditambahkan 225 ml larutan Lactose Broth (LB). Contoh kemudian dihomogenkan selama 2 menit untuk dianalisis dan secara aseptis larutan contoh dipindahkan dalam wadah steril yang sesuai dan dibiarkan pada suhu ruang selama 60 menit dengan wadah tertutup. Sampel dikocok perlahan-lahan dan bila perlu nilai pH ditetapkan sampai 6,6, kemudian dikocok secara merata dan tutup wadahnya dikendurkan secukupnya. Sampel kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 0C. 2). Pengkayaan Contoh dipindahkan sebanyak 0,1 ml kedalam 10 ml RappaportVassilladis (RV) medium dan 1 ml larutan contoh kedalam 10 ml Tetrathionate Broth (TTB). Media pengkayaan selektif kemudian diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 43 0C (waterbath). 3). Isolasi Salmonella Tabung medium RV dan TTB yang sudah diinkubasi dihomogenkan dengan vortex dan menggunakan jarum loop, kemudian digoreskan RV yang telah diinkubasi ke dalam media pertumbuhan Salmonella yaitu Hectoen Enteric Agar (HEA), Xylose Lysine Desoxycholate Agar (XLDA) dan Bismuth Sulfit Agar (BSA). Hal yang sama dilakukan untuk contoh yang sudah diinkubasi dalam media TTB kemudian digoreskan pada media HEA, XLDA dan BSA dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 0C. 4). Pengamatan morfologi koloni Salmonella yang khas (typical) Koloni Salmonella dari masing-masing media agar selektif setelah diinkubasi 24 jam kemudian diambil 2 atau lebih koloni.
Koloni-koloni
Salmonella yang khas adalah pada HEA, koloni berwarna hijau kebiruan sampai
biru dengan atau tanpa inti hitam.
Umumnya kultur Salmonella membentuk
koloni besar, inti hitam mengkilat atau hampir seluruh koloni berwarna hitam. Media XLDA, koloni berwarna merah jambu (pink) tanpa inti hitam. Kultur Salmonella umumnya membentuk koloni besar, inti hitam mengkilat atau hampir
38
seluruh koloni terlihat berwarna hitam, sementara pada media BSA, koloni coklat abu-abu, hitam, kadang-kadang metalik. Biasanya media di sekitar koloni pada awalnya berwarna coklat kemudian berubah menjadi hitam (haloeffect) dengan makin lamanya waktu inkubasi. Apabila koloni yang khas tumbuh pada BSA setelah 24 jam inkubasi, maka diambil 2 koloni atau lebih dan diinkubasi kembali media BSA selama 24 jam. Pengambilan koloni pada media BSA ini dilakukan jika ada koloni yang tumbuh pada media tersebut.
3.4.3 Uji organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan dalam penelitian produk bakasang ini meliputi uji skoring dan uji perbandingan pasangan. (a) Uji skoring (SNI 01-2718- 1996)
Uji ini berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji skoring diberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji skoring adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu. Pemberian skor dapat dilakukan dengan skala yang jumlah skalanya tergantung pada tingkat kelas yang dikehendaki.
Pengujian
organoleptik meliputi penampakan, bau, rasa dan tekstur dengan nilai berkisar dari 1–9. Lembar penilaian organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1. (b) Uji perbandingan pasangan (Soekarto dan Hubeis 2000)
Bakasang yang terpilih (terbaik) sebagai bakasang yang mempunyai skor tertinggi berdasarkan hasil uji skoring, selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan untuk dibandingkan dengan produk sejenis yang dikomersilkan. Pada uji ini, panelis melakukan penilaian melalui formulir isian yang diberikan berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik/lebih buruk. Penilaian uji perbandingan pasangan ini berupa angka skala, yaitu -3 sampai +3, dimana -3= sangat buruk, -2= lebih buruk, -1= agak lebih buruk dan 0= tidak berbeda, +1= agak lebih baik, +2= lebih baik, +3= sangat lebih baik. Lembar uji perbandingan pasangan dapat dilihat pada Lampiran 2.
39
3.4.4. Uji pendugaan umur simpan bakasang terhadap kadar histamin
Umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara produk mulai diproduksi hingga saat digunakan dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Proses pendugaan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data-data mengenai mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas, unsur-unsur dalam produk yang secara langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk, bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan, mutu produk minimum dari produk yang masih dapat diterima, variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan, resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan, serta sifat sekat lintasan (barrier) pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur lain yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk (Hine 1987).
Pendugaan umur
simpan produk bakasang dilakukan dengan cara regresi linier berdasarkan datadata yang dihasilkan pada kadar histamin bakasang selama penyimpanan (metode pendugaan parameter regresi).
3.5.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah lama fermentasi (A) yang terdiri atas 4 taraf yaitu fermentasi 2 hari (A1), fermentasi 4 hari (A2), fermentasi 6 hari (A3) dan fermentasi 8 hari (A4). Faktor kedua adalah lama penyimpanan (B) yang terdiri atas 4 taraf yaitu penyimpanan 0 hari (B1), penyimpanan 30 hari (B2), penyimpanan 60 hari (B3) dan penyimpanan 90 hari (B4).
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Model
matematika dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993). Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + Єijk
40
Dimana : Yijk
= nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
μ
= nilai tengah umum
Ai
= pengaruh lama fermentasi faktor A taraf ke-i (i = 1, 2, 3, 4)
Bj
= pengaruh lama penyimpanan faktor B taraf ke-j (j = 1, 2, 3, 4)
(AB)ij
= pengaruh faktor interaksi pengaruh lama fermentasi taraf ke-i dan lama penyimpanan taraf ke-j
Єijk
= galat percobaan Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan analisis ragam dan
jika hasilnya menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Jarak Berganda Duncan. Hasil data uji organoleptik diolah dengan uji statistik
nonparametrik Kruskal-Wallis (Steel dan Torrie 1993). Model matematika uji Kruskal-Wallis adalah sebagai berikut:
H=
∑ Ri2
12
ni
n (n+1)
H’ =
- 3 (n+1)
H Pembagi
Pembagi = 1-
∑T
, dengan T = (t-1) (t+1)
(n-1) (n+1) n Keterangan: H Ni n Ri2 T H’ H t
= = = = = = = =
nilai uji Kruskal-Wallis banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i jumlah total data jumlah ranking dalam contoh ke-i banyaknya pengamatan seri dalam perlakuan kelompok H yang terkoreksi H simpangan baku banyaknya pengamatan yang seri
41
Jika hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test yang bertujuan untuk mengetahui apakah antara perlakuan berbeda nyata terhadap parameter yang diukur atau dianalisis. Rumus matematikanya adalah sebagai berikut: Ri − R j >< Z α / 2 o
k (n + 1) 6
Keterangan: Ri Rj k n
= = = =
rata-rata ranking dalam perlakuan ke-i rata-rata ranking dalam perlakuan ke-j banyaknya ulangan jumlah total data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)
Analisis kimia dan mikrobiologi yang dilakukan terhadap jeroan ikan cakalang meliputi kadar air, kadar protein, nilai pH, Total Volatile Bases (TVB), kadar histamin dan total mikroba/ Total Plate Count (TPC). Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui tingkat kesegaran dan komposisi kimia awal jeroan ikan sebelum dilakukan pengolahan (fermentasi), mengingat tingkat kesegaran dan komposisi kimia jeroan sangat berpengaruh terhadap karakteristik bakasang yang dihasilkan. Karakteristik kimia dan mikrobiologi jeroan ikan cakalang disajikan pada Tabel 4 dan jeroan yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 4. Karakteristik kimia dan mikrobiologi jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Komposisi Kadar air (%)
77,38 ± 1,67
Kadar protein (% bk)*)
52,23 ± 1,92
Nilai pH
6,02 ± 0,13
TVB (mg N/100 g)
22,61 ± 10,56
Histamin (ppm)
17,10 ± 4,01
Total mikroba/ TPC (Cfu/g) *)
Nilai
3,43 x 104
Persen basis kering
Umumnya derajat kesegaran bahan pangan mempunyai hubungan dengan air yang dikandungnya. Sebagian besar bahan pangan segar mengandung air sebesar 70 % atau lebih (Winarno et al. 1993). Hasil analisis kadar air jeroan ikan cakalang adalah sebesar 77,38 %.
Nilai ini berbeda dan lebih kecil dari jeroan
ikan tuna yaitu 78 % (Marlina 1998). Perbedaan nilai kadar air ini disebabkan oleh jenis bahan baku, asal bahan baku dan penanganannya. Tingginya kadar air jeroan diduga karena perlakuan pencucian dan penirisan yang kurang sempurna sehingga sisa-sisa kotoran yang terbawa masih ada dan memberikan pengaruh terhadap jeroan yang dihasilkan.
43
Hasil analisis kadar protein jeroan menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu 52,23 %.
Hal ini disebabkan jeroan memiliki enzim protein dan asam
amino yang cukup tinggi.
Menurut Hidayat (1994) tingginya kadar protein
disebabkan jeroan merupakan sumber enzim proteolitik yang cukup tinggi terutama pada bagian pilorikaeka, lambung dan usus seperti enzim tripsin, kemotripsin dan pepsin. Protein selain terdapat pada daging ikan, protein juga terdapat pada sirip, kulit, darah, pigmen otot, sel-sel hati, ginjal serta bagian-bagian isi perut dan hampir seluruhnya adalah berisi protein (Winarno et al. 1993). Nilai pH yang didapatkan dari hasil pengukuran jeroan ikan cakalang adalah sebesar 6,02 namun nilai tersebut masih berada pada kisaran pH ikan segar, dimana ikan yang baru saja mati memiliki pH netral mendekati basa dan mencapai nilai pH terendah sekitar 5,8-6,2 pada saat terjadinya fase rigormortis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahayu et al. (1992) bahwa nilai pH minimal yang dapat dicapai setelah ikan mati tergantung pada kandungan glikogen dan basa-basa menguap yang terdapat dalam daging dan bagian isi perut ikan khususnya lambung dan usus. Berdasarkan tingkat kesegarannya, jeroan ikan cakalang yang digunakan tergolong segar, karena nilai Total Volatile Bases (TVB)-nya < 30 mg N/100 g. Hal ini diduga bahwa perombakan enzim dan aktivitas mikroba belum terjadi secara nyata karena penerapan rantai dingin terus dilakukan.
Hal ini didukung
oleh Brillantes et al. (2002) bahwa pembentukan TVB disebabkan oleh terurainya Trimethyl Amonia (TMA) dan asam amino oleh aktivitas mikroba dan enzim yang
berasal dari bahan baku menjadi senyawa basa nitrogen yang mudah menguap seperti ammonia, monoamin, dimetilamin, trimetilamin dan senyawa biogenik amin lainnya. Mah et al. (2002) menyatakan bahwa batas maksimum untuk produk perikanan dan hasil laut seperti udang, ikan, oyster dan scallop yang bermutu baik adalah 30 mg N/100 g, dengan demikian nilai TVB jeroan hasil analisis masih dapat diterima. Lebih lanjut ditambahkan oleh Gram dan Huss (1996) bahwa pembentukan TVB umumnya berkaitan dengan bakteri perusak seperti Shewanella putrefacians, Photobacterium phosphoreum dan Vibrio.
44
Histamin merupakan senyawa biogenik amin yang terdapat dalam daging ikan dan bagian lainnya seperti pada jeroan yang dapat menyebabkan keracunan. Kandungan histamin yang dihasilkan dari pengujian jeroan ikan cakalang adalah 17,10 ppm dan masih dalam batas aman, dimana batas kandungan histamin yang ditetapkan oleh Ditjen P2HP DKP (2007) adalah 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan.
Diduga terbentuknya histamin pada jeroan berkaitan dengan jumlah
bakteri alami yang terdapat pada jeroan tersebut dan aktivitas enzim histidin dekarboksilase penghasil histamin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Naguib et al. (1995); McLauchlin et al. (2005) hasil penguraian dari protein akan dimanfaatkan oleh bakteri untuk tumbuh, termasuk di dalamnya adalah bakteri yang menghasilkan
enzim
histidin
dekarboksilase.
Bakteri
penghasil
histidin
dekarboksilase dapat tumbuh dengan memanfaatkan asam amino histidin dan merubahnya menjadi histamin. Analisis total mikroba/Total Plate Count (TPC) bertujuan untuk menentukan secara kuantitatif jumlah koloni mikroorganisme yang tumbuh pada produk secara umum. Tabel 9 menunjukkan bahwa total mikroba (TPC) pada jeroan hasil penelitian memenuhi persyaratan kesegaran ikan, dimana total mikroba yang dihasilkan <106 Cfu/g, yaitu 3,43 x 104 Cfu/g. Hal ini disebabkan oleh perairan tempat hidupnya dan mikroflora alami yang terdapat pada jeroan sudah terbentuk sejak ikan ditangkap sampai ditangani, meskipun demikian nilainya masih dibawah batas aman yang ditetapkan. Menurut Rahayu et al. (1992) bahwa ikan dikatakan busuk bila jumlah bakteri seluruhnya sudah mencapai 105-106 Cfu/g dan SNI 01-2729-1991 menetapkan batas maksimum nilai TPC untuk ikan segar adalah 5 x 105 Cfu/g. Lebih lanjut Hadiwiyoto (1993) menambahkan bahwa kepadatan bakteri pada ketiga lokasi; insang, kulit dan usus tidak sama. Kepadatan bakteri pada insang berkisar 103-105 Cfu/g, pada kulit 102-106 Cfu/g dan pada usus berkisar 103-107 Cfu/g. Setelah ikan mati bagian ini merupakan pusat konsentrasi mikroba pengurai dan pembusuk yang akan menyebar dan berpenetrasi ke daging ikan melalui permukaan kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam, dari saluran pencernaan menuju jaringan daging dan dari permukaan kulit menuju ke jaringan
45
tubuh bagian dalam untuk mengurai/merubah komposisi kimiawi daging sehingga menjadi menurun mutunya sampai menjadi busuk.
4.2. Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Jeroan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) selama Proses Fermentasi
Proses fermentasi dilakukan selama 8 hari pada suhu kamar dengan tujuan untuk mengetahui perubahan kimia dan mikrobiologi selama fermentasi berlangsung. Pengujian dilakukan setiap 2 hari lama fermentasi, terhitung mulai 0, 2, 4, 6 dan 8 hari. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui perubahan jeroan ikan cakalang selama proses fermentasi meliputi kadar air, protein, nilai pH, kadar histamin, total mikroba (TPC), uji Salmonella dan Escherichia coli. 4.2.1. Kadar air Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, karena keawetan suatu bahan pangan mempunyai hubungan yang erat dengan kadar air yang dikandungnya. Kadar air bahan pangan juga berperan dalam menentukan kemampuan mikroba untuk tumbuh dan berkembang (Winarno et al. 1993). Hasil analisis kadar air jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 7.
a
ab
bc
c
c
Rataan yang mempunyai huruf superscript yang berbeda (a, b, c) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) untuk faktor lama fermentasi
Gambar 7. Histogram rata-rata kadar air jeroan selama proses fermentasi
46
Gambar 7 menunjukkan bahwa selama proses fermentasi terjadi penurunan kadar air secara nyata dari 75,87 % menjadi 71,57 %. Hasil analisis ragam (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air jeroan. Uji lanjut Duncan (Lampiran 4b) menunjukkan bahwa lama fermentasi pada 8 hari menghasilkan nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan lama fermentasi 2, 4 dan 6 hari. Rendahnya kadar air pada lama fermentasi 8 hari disebabkan oleh garam yang berdifusi ke dalam jaringan jeroan telah berpenetrasi secara sempurna sehingga kadar air mengalami penurunan seiring lamanya fermentasi. Penurunan nilai kadar air jeroan selama fermentasi diduga terkait adanya penambahan garam dalam konsentrasi tinggi (25 %) yang dapat mempengaruhi kesetimbangan dalam bahan menjadi terganggu. Garam merupakan elektrolit yang memiliki tekanan osmotik yang tinggi masuk ke jaringan sel dan mengakibatkan perubahan terhadap komponen jaringan, dimana garam dapat menarik air keluar dari jaringan tersebut sehingga sel akan kehilangan air dan mengalami penurunan (Rahayu et al. 1992).
Ijong
dan Ohta (1995) menambahkan bahwa selama fermentasi, penambahan garam kristal akan menurunkan kadar air dengan pesat dalam periode waktu tertentu. Garam yang masuk ke dalam jaringan akan menggantikan air bebas yang ada dalam daging/jeroan. Garam dapat mengawetkan tubuh ikan dengan cara mengeluarkan air dari tubuh ikan.
4.2.2. Kadar protein Protein merupakan suatu zat makanan yang paling penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun, selain itu protein juga berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh.
Kadar protein dalam makanan
merupakan suatu faktor yang dapat dijadikan bahan pertimbangan tersendiri bagi konsumen (Winarno et al. 1993). Hasil analisis kadar protein jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 8.
47
a
a
a
a
a
Rataan yang mempunyai huruf superscript yang sama (a) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) untuk faktor lama fermentasi
Gambar 8. Histogram rata-rata kadar protein jeroan selama proses fermentasi Kecenderungan yang sama yaitu terjadi penurunan pada hasil analisis kadar protein selama fermentasi dari 51,63 % bk pada awal menjadi 48 % bk pada akhir fermentasi (Gambar 8). Hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa lama fermentasi tidak berpengaruh terhadap kadar protein jeroan. Penurunan nilai protein disebabkan oleh garam yang berdifusi kedalam jeroan dapat menguraikan komponen protein dalam bentuk yang lebih sederhana menjadi basa-basa menguap. Kimura et al. (2001) menyatakan bahwa selama proses fermentasi, garam yang masuk ke dalam jaringan sel ikan akan menimbulkan berbagai perubahan fisika dan kimia yang akan mengakibatkan pemecahan beberapa unsur seperti protein, lemak dan karbohidrat menjadi senyawa lebih sederhana oleh enzim yang terdapat dalam jeroan. Segera setelah penarikan air, protein dalam jaringan ikan akan terlepas dan larut ke dalam cairan garam. Selama fermentasi, garam mempunyai sifat dapat mengabsorpsi air dan protein dari jaringan daging sehingga protein dalam bentuk makromolekul akan terurai menjadi derivatnya seperti peptida, asam amino dan komponen lainnya yang mempunyai berat molekul rendah (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993).
48
4.2.3. Nilai pH Nilai pH merupakan nilai yang menunjukkan derajat keasaman dan kebasaan suatu bahan, dimana pH menunjukkan suatu konsentrasi ion hidrogen yang terdapat di dalam larutan.
Nilai pH juga merupakan salah satu faktor
fisiko-kimia yang sangat mempengaruhi keawetan bahan makanan.
Mikroba
dapat hidup dan berkembang biak di dalam lingkungan dengan suatu kondisi pH tertentu (Rahayu et al. 1992).
Hasil analisis nilai pH jeroan selama proses
fermentasi disajikan pada Gambar 9.
a
a
a
a
a
Rataan yang mempunyai huruf superscript yang sama (a) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) untuk faktor lama fermentasi
Gambar 9. Histogram rata-rata nilai pH jeroan selama proses fermentasi Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai pH jeroan selama proses fermentasi mengalami peningkatan dari 5,66 pada awal menjadi 5,83 pada akhir fermentasi, tetapi kisaran nilai tersebut masih dalam kondisi asam (Gambar 9). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama fermentasi tidak memberikan pengaruh terhadap nilai pH jeroan ikan cakalang (Lampiran 6). Hal ini disebabkan oleh konsentrasi garam yang digunakan sebesar 25 % mampu merangsang beberapa mikroba halofilik, halotoleran dan beberapa bakteri asam laktat untuk tumbuh dan berkembang biak. Selama proses fermentasi, beberapa bakteri asam laktat seperti Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus biovardiacetylactis dapat menyebabkan
49
pH menjadi asam (Surono (2004).
Lebih lanjut
Peralta
et al. (1996);
Shimoda et al. (1996); Fukami et al. (2002); Berna et al. (2005) menambahkan bahwa senyawa yang berperan selama proses fermentasi termasuk asam, karbonil, senyawa nitrogen, komponen sulfur yang dapat memberikan kontribusi terhadap aroma dan bau asam. Hasil penelitian Kiline et al. (2006) menjelaskan bahwa dalam proses fermentasi ikan sardin selama 57 hari pada suhu kamar menunjukkan peningkatan nilai pH dan TPC selama fermentasi hari ke-0 sampai hari ke-22 dan mengalami penurunan setelah fermentasi pada hari ke-22.
Peningkatan nilai pH tersebut
dipengaruhi oleh aktivitas enzim (autolisis) dan degradasi mikroba pembentuk asam laktat dalam jaringan daging.
Berna et al. (2005) melaporkan pada
fermentasi Plaa-som (produk petis ikan yang berasal dari Thailand) terjadi peningkatan nilai pH secara signifikan pada setiap pengamatan lama fermentasi 5, 12, 19 dan 25 hari.
Hal ini disebabkan oleh degradasi enzim dan bakteri
penghasil asam dan bakteri halofilik lainnya.
4.2.4. Kadar histamin Rawles et al. (1996); Lehana dan Olley (2000); McLauchlin et al. (2005) menyatakan bahwa histamin adalah senyawa biogenik amin hasil dekarboksilasi asam amino histidin dan aktivitas mikroba pembentuk histamin yang umumnya terdapat dalam jaringan ikan dan seafood lainnya yang dapat memberikan efek keracunan dan alergi. Paleologos et al.(2004); Kung et al.(2005); Dissaraphong et al.(2006); Jiang et al. (2007) menambahkan, keberadaan histamin dalam jumlah
besar pada ikan-ikan golongan scombroid dapat menyebabkan pembusukan, keracunan, bahkan kematian.
Ikan-ikan tersebut diantaranya adalah skipjack
tuna, mackerel, yellowfin, bluefin dan tuna albacore.
Hasil analisis kadar
histamin jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 10.
50
a a a
a
a
Rataan yang mempunyai huruf superscript yang sama (a) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05) untuk faktor lama fermentasi
Gambar 10. Histogram rata-rata kadar histamin jeroan selama proses fermentasi Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar histamin selama proses fermentasi (Gambar 10) meskipun demikian nilai tersebut masih dalam batas aman berdasarkan batas maksimum nilai yang ditetapkan oleh Ditjen P2HP DKP (2007) yaitu 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan. Peningkatan kadar histamin berkaitan dengan jumlah mikroba khususnya bakteri yang tahan pada garam tinggi dan kondisi pH asam yang mampu mengurai asam amino histidin menjadi histamin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama fermentasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar histamin jeroan yang dihasilkan (Lampiran 7). Leuschner et al. (1998) menyatakan bahwa bakteri asam laktat dan halofilik khususnya Pediococcus acidilactid, Halobacterium dan Staphylococcus sangat potensial dalam fermentasi makanan untuk membentuk histamin. Lebih lanjut Rawles et al. (1996); McLauchlin et al. (2005) menambahkan bahwa jumlah histamin yang dikandung oleh daging ikan dan bagiannya seperti jeroan dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang terdapat pada ikan tersebut. Taylor dan Behling (1982); Tsai et al. (2007) berhasil mengidentifikasi beberapa bakteri pembentuk histamin yang paling banyak yaitu dari golongan Enterobacter sp., Klebsiella pneumonia dan Proteus morganii. Lehane dan Olley
51
(2000); FDA (2001) menyatakan bahwa suhu optimum yang mampu meningkatkan pembentukan histamin adalah pada suhu 27-28 0C. Hasil penelitian Jiang et al. (2007) pada Yu-lu (produk fermentasi ikan dari China) yang difermentasi menggunakan garam 30 % selama 187 hari, terjadi peningkatan histamin pada hari
ke-60 (2 bulan fermentasi). Peningkatan
kandungan histamin tersebut berkorelasi dengan adanya mikroba pembentuk enzim histidin dekarboksilase dalam jumlah yang banyak seperti Staphylococcus pasteur dan Bacillus meganterium. Beberapa bakteri pembentuk enzim histidin
dekarboksilase umumnya lebih banyak terdapat pada jaringan otot, insang dan jeroan diantaranya
adalah
Hafnia
sp.,
E.
coli,
Clostridium
sp.
dan
Enterobacter sp. (Astawan et al. 1993).
4.2.5. Total mikroba/ Total Plate Count (TPC) Di dalam tubuh ikan banyak mengandung bakteri yang terkonsentrasi pada permukaan kulit, insang dan saluran pencernaan. Setelah ikan mati, bagian ini merupakan pusat konsentrasi mikroba pengurai dan pembusuk yang akan menyebar dan berpenetrasi ke daging ikan melalui permukaan kulit yang luka untuk mengurai/merubah komposisi kimiawi daging sehingga ikan menjadi menurun mutunya sampai menjadi busuk (Rahayu et al. 1992; Hadiwiyoto 1993). Selama fermentasi jeroan, terjadi peningkatan log total mikroba dari 4,29 (4,17 x 104 Cfu/g) menjadi log 5,15 (1,42 x 105 Cfu/g). Peningkatan jumlah mikroba bisa disebabkan oleh kesesuaiannya medium tempat tumbuhnya seperti kandungan nutrisi, pH dan suhu. Selain itu fungsi garam disamping sebagai pemberi citarasa, garam juga mampu menekan beberapa mikroba pembusuk dan merangsang mikroba tertentu seperti mikroba golongan halofilik atau halotoleran untuk tumbuh dan berkembang sesuai periode waktu tertentu. Hasil analisis log total mikroba jeroan selama proses fermentasi disajikan pada Gambar 11.
52
a
a
a
a
b
Rataan yang mempunyai huruf superscript yang berbeda (a, b) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) untuk faktor lama fermentasi
Gambar 11. Histogram rata-rata log total mikroba jeroan selama fermentasi Hasil analisis ragam (Lampiran 8a) menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh terhadap log total mikroba jeroan yang dihasilkan.
Uji lanjut
Duncan (Lampiran 8b) menunjukkan bahwa log total mikroba pada lama
fermentasi 0 hari berbeda nyata dengan 2, 4, 6 dan 8 hari. Fermentasi pada 0 hari menunjukkan nilai terendah (4,28 atau 4,17 x 103 Cfu/g) diduga mikroba baru melakukan adaptasi dengan lingkungannya (fase lag). Fase lag atau fase adaptasi adalah fase dimana mikroba belum melakukan pembelahan, tetapi terjadi peningkatan massa volume, sintesis enzim, protein dan peningkatan aktivitas metabolisme (Supardi dan Sukamto 1999). Peningkatan log total mikroba terjadi lagi sampai akhir fermentasi (8 hari), diduga bahwa kondisi mikroba yang telah melalui fase eksponensial (fase log), dimana mikroba melakukan pembelahan secara biner dengan jumlah kelipatan dalam periode tertentu serta beberapa mikroba yang mampu tahan garam dapat berkembang selama fermentasi. Fase log adalah fase dimana terjadi lonjakan peningkatan jumlah biomassa sel, ketersediaan nutrisi dan oksigen yang masih cukup untuk dimanfaatkan oleh mikroba, sehingga bisa diketahui seberapa
53
besar terjadi pertumbuhan secara optimal dan tingkatan produktivitas biomassa sel (Supardi dan Sukamto 1999). Chaiyanan et al. (1999); Paludan et al. (2002); Berna et al. (2005); Killine et al. (2006) menambahkan bahwa semakin tinggi konsentrasi garam, semakin tinggi pula jumlah bakteri asam laktat dan bakteri halofilik. Lebih lanjut Ichimura et al. (2003) menambahkan bahwa fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Keberhasilan dari proses fermentasi tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), jenis
mikroba dan
kondisi lingkungan
yang
mempengaruhi
pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut (Winarno et al. 1993; Hidayat et al. 2006). 4.2.6. Escherichia coli Mikroorganisme yang digunakan sebagai indikator sanitasi dalam pengolahan makanan adalah mikroorganisme yang umum terdapat dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan (Suhartono et al. 1995; Fardiaz 1993). E. coli merupakan bakteri Gram negatif, bersifat motil, tidak membentuk spora
dan bersifat anaerobik fakultatif (Hariyadi 2003). Hasil uji E. coli secara kualitatif pada media selektif Lauryl Tryptose Broth (LTB) setelah diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 0C, menunjukkan
bahwa selama proses fermentasi jeroan dari awal hingga akhir fermentasi (8 hari) masih menunjukkan batas aman karena nilai Most Probably Number (MPN) yang dihasilkan < 3 atau 0 (negatif). Batas MPN E. coli untuk ikan segar adalah 0 (SNI 1-2729-1992). Hasil pada tabung pengenceran (3 tabung seri) tidak menunjukkan adanya kekeruhan dan pembentukan gas dalam tabung Durham (menandakan bahwa mikroba mampu memfermentasi gas), sehingga uji penegasan coliform atau E. coli tidak dapat dilanjutkan sampai uji morfologi dan uji biokimia. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi jeroan menggunakan garam tinggi (25 %) dapat merangsang pertumbuhan bakteri baik dan dapat menghambat pertumbuhan
54
bakteri jahat (patogen) seperti E. coli dan Salmonella.
Hal ini didukung oleh
pernyataan Supardi dan Sukamto (1999); BPOM (2002); Jiang et al. (2007); bahwa selama fermentasi berlangsung, garam akan merangsang beberapa pertumbuhan bakteri baik seperti Bifidobacterium bifidium, Bifidobacterium infantis yang mampu melindungi makanan dari serangan Salmonella dan E.coli.
Kemungkinan lain E. coli tidak dapat tumbuh bisa diduga bahwa air pencucian dan peralatan yang digunakan selama penanganan dan pengolahan jeroan bersih dan tidak tercemari oleh E. coli. Menurut Moehyi (1992) E. coli dapat tumbuh di dalam bahan baku, peralatan yang digunakan, air pencuci maupun pekerja selama pengolahan yang tidak bersih dan sehat. Peralatan dapur harus segera dibersihkan dan diberi disinfektan untuk mencegah kontaminasi silang pada makanan, baik pada tahap persiapan, pengolahan, penyimpanan maupun saat penyajian, karena peralatan dapur seperti alat pemotong, talenan dan alat saji merupakan sumber kontaminan potensial bagi makanan (Purnawijayanti 2001). 4.2.7. Salmonella Salmonella merupakan salah satu mikroba yang paling banyak
mencemari bahan pangan. Salmonella memiliki sifat tidak tahan garam, tidak tahan panas dan perlakuan penggaraman pada bahan pangan dapat membunuh mikroba ini (Supardi dan Sukamto 1999). Salmonella umumnya ditemukan pada ikan, telur, daging, bahan pangan mentah, peralatan dapur, air dan tanah. Penyebab utama kontaminasi Salmonella adalah kurangnya sanitasi dan higiene selama penanganan. Bahaya keamanan pangan yang ditimbulkan oleh Salmonella berupa gangguan pencernaan dan demam tinggi. Gejala lain berupa mual, muntah-muntah dan muntaber (Forsythe dan Hayes 1998). Salmonella merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae,
berbentuk batang, Gram negatif tanpa spora, anaerobik fakultatif, memiliki flagella peritrikous, dapat membentuk H2S dan menggunakan sitrat sebagai sumber karbon (Supardi dan Sukamto 1999).
Hasil uji kualitatif Salmonella
terhadap jeroan ikan cakalang selama fermentasi pada 0 sampai 8 hari menunjukkan hasil negatif, dimana pada media pengkayaan Hectone Enteric Agar
55
(HEA) menunjukkan koloni berwarna coklat, pada media Xylose Lysine Dextro Agar (XLDA) koloni yang tumbuh berwarna kuning, sedangkan pada media Bismuth Sulfit Agar (BSA) koloni yang tumbuh berwarna kehijauan. Artinya
koloni yang tumbuh pada media-media tersebut diduga bukan koloni Salmonella, tetapi mikroba lain yang mampu tumbuh pada media tersebut.
Hal ini
menunjukkan bahwa bahan baku jeroan yang digunakan tidak terkontaminasi Salmonella dan sanitasi pengolahan selama proses fermentasi dipraktekkan
dengan baik. Kemungkinan lain ketidakmampuan Salmonella tumbuh dalam media selektif adalah karena adanya garam tinggi (25 %) sebagai media dalam proses fermentasi jeroan, dimana Salmonella adalah bakteri yang tidak tahan pada kondisi garam tinggi. Menurut Supardi dan Sukamto (1999) Salmonella dapat dihambat pada konsentrasi garam ringan (6 %) dan pH di bawah 4,5. Lebih lanjut ditambahkan Jenie (2000) pengaruh garam selama fermentasi dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Clostridium botulinum dan Salmonella.
4.3. Karakteristik Bakasang pada Berbagai Perlakuan Lama Fermentasi dan Lama Penyimpanan
Jeroan hasil fermentasi selanjutnya dilakukan pemasakan untuk dijadikan bakasang dan disimpan pada suhu kamar selama 90 hari (0, 30, 60, 90), menggunakan bahan pengemas botol gelas/kaca Pyrex 250 ml yang sudah disterilkan (Lampiran 9). Sifat utama dari kemasan ini diantaranya tahan pecah, tembus pandang dan jernih. Penyimpanan bakasang dilakukan selama 90 hari pada suhu kamar dengan tujuan untuk mengetahui perubahan mutu secara kimia dan mikrobiologi terhadap bakasang dalam jangka waktu yang relatif lama. Pengujian dilakukan setiap 30 hari penyimpanan, terhitung mulai 0, 30, 60 dan 90 hari. Analisis kimia dan mikrobiologi yang dilakukan untuk mengetahui perubahan karakteristik bakasang selama penyimpanan meliputi kadar air, protein, nilai pH, kadar histamin, total mikroba dan total kapang.
56
4.3.1. Kadar air Keawetan bahan pangan mempunyai hubungan erat dengan kadar air. Semakin rendah kadar air dalam bahan pangan diharapkan dapat memperpanjang masa simpannya. Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba (Winarno 1997). Hasil analisis kadar air bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 12.
Lama fermentasi (hari ke-)
Gambar 12. Histogram rata-rata kadar air bakasang selama penyimpanan Nilai kadar air bakasang dipengaruhi secara nyata oleh lama fermentasi dan lama penyimpanan, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh (Lampiran 10a ). Gambar 12 menunjukkan terjadi peningkatan kadar air selama fermentasi dan selama penyimpanan.
Uji
lanjut Duncan (Lampiran 10b)
menunjukkan bahwa pengaruh lama fermentasi 8 hari berbeda nyata dengan lama fermentasi 2, 4 dan 6 hari. Hal ini disebabkan selama proses fermentasi garam, terjadi hidrolisis enzimatis senyawa protein menjadi turunan yang lebih sederhana. Selama fermentasi, akan terjadi perubahan secara biokimia yang ditandai dengan penguraian komponen makro seperti protein, lemak dan karbohidrat akan diuraikan oleh mikroorganisme dan enzim-enzim yang terdapat di dalam bahan baku menjadi molekul yang lebih sederhana seperti peptida dan asam amino,
57
lipida dan glukosa yang menghasilkan dan melepaskan molekul air (H2O) (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Hasil
uji
Duncan
(Lampiran
10c)
menunjukkan
bahwa
lama
penyimpanan 0 hari berbeda nyata dengan ketiga lama penyimpanan (30, 60 dan 90 hari). Lama penyimpanan 30 hari berbeda nyata dengan 90 hari, tetapi tidak berbeda nyata dengan 60 hari. Perbedaan ini diduga terkait dengan adanya laju penguapan yang berbeda-beda selama penyimpanan bakasang pada suhu kamar. Hal ini didukung oleh pernyataan Ariningsih (1992); Gunadi (1991); Huffman et al. (1996) meningkatnya kadar air selama penyimpanan suhu kamar disebabkan oleh adanya penyerapan air dari ruang penyimpanan kedalam bahan pangan, dimana pada suhu ruang kelembabannya (RH) menjadi meningkat. 4.3.2. Kadar protein Protein merupakan suatu zat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun, selain itu protein juga berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh (Winarno et al. 1993). Hasil analisis kadar protein bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 13.
Lama fermentasi (hari ke-)
Gambar 13. Histogram rata-rata kadar protein bakasang selama penyimpanan Gambar 13 menunjukkan terjadi penurunan kadar protein bakasang seiring dengan lamanya fermentasi dan lamanya penyimpanan. Hasil analisis
58
ragam menunjukkan bahwa lama fermentasi dan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata, tetapi interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap kadar protein bakasang yang dihasilkan (Lampiran 11a). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar protein seluruh perlakuan jeroan pada lama fermentasi 2 hari berbeda nyata dengan ketiga perlakuan (4, 6 dan 8 hari) (Lampiran 11b). Hal ini ada hubungannya dengan penambahan garam dan aktivitas mikroba proteolitik selama fermentasi, dimana pada fermentasi 2 hari, hidrolisis enzim dan pemecahan makromolekul yang ada pada jeroan belum terjadi secara nyata, dimana mikroba yang berperan dalam fermentasi
sebagai
pengurai
protein
masih
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya. Selama proses fermentasi menggunakan garam, meresapnya garam ke dalam jaringan daging ikan akan menimbulkan berbagai perubahan fisiko-kimia maupun mikrobiologi sehingga pemecahan makromolekul protein, lemak dan karbohidrat berubah menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh enzim proteolitik yang terdapat dalam jeroan (Winarno et al. 1993; Hidayat et al. 2006). Hasil
uji
Duncan
menunjukkan
bahwa
kadar
protein
selama
penyimpanan bakasang pada 0, 30, 60 dan 90 hari berbeda nyata satu dengan lainnya (Lampiran 11c). Hal ini diduga karena proses pemasakan dan penyimpanan pada suhu ruang dapat mempengaruhi perubahan kandungan dalam bahan pangan utamanya protein menjadi senyawa turunannya seperti peptida, oligopeptida dan asam amino. Menurut Kimura et al. (2001); Lopetcharat et al. (2001) pemasakan (perebusan,
pengukusan
dan
pemanggangan)
serta
penyimpanan
dapat
menyebabkan protein, peptida dan asam amino terurai menjadi komponen turunannya yang mempunyai berat molekul rendah dan berkontribusi terhadap nilai flavor (rasa dan aroma).
Lebih lanjut ditambahkan oleh Lenah (1993)
protein daging ikan akan terpecah menjadi miogen, miosin, aktomiosin, peptida dan asam amino pada saat pemasakan. Ajandouz et al. (2001) menyatakan bahwa menurunnya gizi protein selama pengolahan dan pemasakan akibat suhu tinggi dapat menyebabkan penurunan kualitas protein, yaitu hilangnya residu asam amino dan daya cerna.
59
4.3.3. Nilai pH Sifat keasaman dan kebasaan suatu bahan pangan dapat diukur dengan nilai pH (Surono 2004). Nilai pH juga merupakan salah satu faktor kimia yang sangat mempengaruhi keawetan bahan pangan karena berhubungan dengan mikroba, dimana mikroba dapat hidup dan berkembang biak di dalam lingkungan dengan kondisi pH tertentu (Supardi dan Sukamto 1999; Hidayat et al. 2006). Hasil analisis nilai pH bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 14.
Lama fermentasi (hari ke-)
Gambar 14. Histogram rata-rata nilai pH bakasang selama penyimpanan Nilai pH bakasang selama penyimpanan 90 hari berada pada kisaran pH 5,73 sampai 6,23.
Gambar 14 menunjukkan terjadinya peningkatan nilai pH
bakasang seiring dengan lamanya penyimpanan pada setiap lama fermentasi. Kisaran pH pada awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan dalam kondisi asam dan mendekati pH netral (pH 7). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai pH bakasang hanya dipengaruhi oleh lama penyimpanan, sedangkan lama fermentasi dan interaksi keduanya tidak berpengaruh (Lampiran 12a). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama penyimpanan 0 hari berbeda nyata dengan
lama penyimpanan 30 dan 90 hari, tetapi tidak berbeda dengan lama penyimpanan 60 hari. Lama penyimpanan 30 hari berbeda nyata dengan lama penyimpanan 60 dan 90 hari, sedangkan lama penyimpanan 60 hari berbeda nyata dengan lama penyimpanan 90 hari (Lampiran 12b).
60
Gambar 14 menunjukkan terjadi penurunan nilai pH pada awal penyimpanan dari setiap lama fermentasi.
Penurunan nilai pH pada awal
penyimpanan disebabkan adanya aktivitas dari bakteri dan kapang penghasil asam selama proses fermentasi garam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kimura et al. (2001); Berna et al. (2005) selama fermentasi, nilai pH dipengaruhi oleh adanya bakteri halofilik yang menghasilkan metabolit asam seperti bakteri asam laktat Lactobacillus acidophilus dan kapang Aspergillus niger.
Semakin tinggi penggunaan garam, bakteri asam laktat yang terbentuk semakin banyak dan semakin besar pula perubahannya terhadap nilai pH (Surono 2004). Peningkatan nilai pH terjadi lagi setelah awal penyimpanan dan keadaan ini berkaitan dengan tingginya nilai total mikroba (Gambar 16), dimana mikroba tersebut mampu mendegradasi protein, peptida dan asam amino menjadi derivatnya yang bersifat volatil seperti ammonia, indol, H2S, merkaptan, fenol, kresol dan skatol (Aurand et al. 1987; Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Lebih lanjut Berna et al. (2005) menambahkan bahwa pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan dan peningkatan nilai pH berhubungan dengan kandungan nitrogennya. 4.3.4. Kadar histamin Sims (1992); Rawles et al. (1996); Lehana dan Olley (2000); McLauchlin et al. (2005) menyatakan histamin adalah senyawa biogenik amin yang terdapat di dalam daging dan jaringan ikan yang dapat menyebabkan keracunan maupun alergi. Histamin dihasilkan dari perombakan histidin oleh enzim histidin dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri.
Pembentukan
histamin dipengaruhi oleh faktor waktu, suhu, jenis bahan baku dan banyaknya bakteri pembentuk histamin dalam daging dan jaringan ikan Taylor dan Alasalvar (2002) menambahkan bahwa histamin yang telah dihasilkan bersifat tahan panas, walaupun ikan telah dimasak, dikalengkan atau dipanaskan sebelum dikonsumsi, histamin yang ada tidak dapat dihancurkan atau dihilangkan. Nilai kadar histamin bakasang pada awal sampai akhir penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 15.
61
Lama fermentasi (hari ke-)
Gambar 15. Histogram rata-rata kadar histamin bakasang selama penyimpanan Kadar histamin yang dihasilkan oleh bakasang selama penyimpanan 90 hari dari setiap lama fermentasi mengalami peningkatan. Hasil analisis ragam (Lampiran 13a) menunjukkan bahwa lama fermentasi, lama penyimpanan dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar histamin bakasang. Uji lanjut Duncan (Lampiran 13b) menunjukkan bahwa interaksi antara lama fermentasi 2 hari pada lama penyimpanan 0 hari (F2P0) berbeda nyata dengan lama fermentasi 6 hari pada lama penyimpanan 90 hari (F6P0), dan lama fermentasi 8 hari pada lama penyimpanan 90 hari (F4P90) terhadap kadar histamin bakasang. Kadar histamin mengalami peningkatan seiring dengan lamanya fermentasi dan lamanya penyimpanan meskipun nilainya masih relatif kecil yaitu dari 18,59 ppm meningkat menjadi 64,20 ppm. Nilai-nilai tersebut masih aman karena berada di bawah standar yang ditetapkan oleh Ditjen P2HP DKP (2007) yaitu 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan. Adanya kandungan histamin pada setiap lama fermentasi berkaitan dengan adanya bakteri yang mampu mendekarboksilasi asam amino histidin bebas menjadi histamin pada saat penanganan sampai proses pengolahan jeroan (fermentasi), dimana jeroan merupakan tempat akumulasinya bakteri pembusuk.
62
Hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Yatsunami
dan
Echigo
(1991); Yatsunami dan Echigo (1992) menunjukkan bahwa bakteri penghasil histamin yang berhasil diisolasi dari produk fermentasi bergaram seperti kecap ikan adalah Staphylococcus, Vibrio, Escherichia dan Pseudomonas sp. Lebih lanjut Kimura et al. (2001); Kung et al. (2005); Dissaraphong et al. (2006) menambahkan bahwa keberadaan senyawa biogenik amin dipengaruhi oleh keberadaan dan kelimpahan dari asam amino bebas, keberadaan mikrooganisme yang mampu mendekarboksilasi asam amino dan kondisi pH serta suhu yang memungkinkan
bakteri
Hernandez et al. (1999);
dapat
tumbuh
dan
memproduksi
Gildberg dan Thongthai (2001);
enzim.
Kimura et al.
(2001) bahwa bakteri penghasil histamin yang diisolasi dari produk fermentasi lebih banyak berasal dari bakteri asam laktat halofilik (yang tahan terhadap garam tinggi) seperti Staphylococcus epidermidis, S. captitis dan Tetragenococcus muriaticus, sedangkan Ishizuka et al. (1993); Leuschner at al. (1998) melaporkan
pada fermentasi daging tuna yang disimpan pada suhu ruang dapat menghasilkan senyawa histamin lebih didominasi oleh bakteri asam laktat khususnya Pediococcus acidilactid.
Pembentukan histamin selama fermentasi bisa disebabkan oleh penangaan bahan baku yang tidak tepat.
Hal ini sesuai dengan pernyataan
Winarno et al. (1993); Yongsawatdigul et al. (2004) tingginya jumlah histamin dalam produk fermentasi disebabkan karena aktivitas senyawa biogenik amin dengan bahan mentah dan penanganan yang salah. Bahan mentah yang tidak segar dan penanganan yang salah memberikan peluang tingginya aktivitas mikroba pengurai histidin menjadi histamin dalam makanan menjadi tinggi pula. Peningkatan kadar histamin selama penyimpanan 90 hari diduga karena pengaruh suhu ruang penyimpanan dan aktivitas bakteri dekarboksilasi pembentuk histamin, dimana bakteri pembentuk histamin lebih cepat tumbuh pada suhu tinggi daripada suhu rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan FDA (2001) bahwa batas suhu pertumbuhan bakteri pembentuk histamin pada daging dan jaringan ikan yaitu 4,4 0C, sedangkan pada suhu penyimpanan 0 0C hanya sedikit pembentukan histamin.
Lebih lanjut ditambahkan Lehana dan Olley (2000);
63
Suhu optimum yang mampu meningkatkan pembentukan histamin adalah pada suhu 27-28 0C. Menurut Keer et al. (2002) suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 25 0C dan perkembangannya terjadi bila lebih dari suhu optimumnya. Dapkevicius et al. (2000) melaporkan bahwa bakteri pembentuk histamin paling dominan dalam pasta ikan yang mampu mendegradasi histidin menjadi histamin adalah Lactobacillus sake. 4.3.5. Total mikroba/Total Plate Count (TPC) Penyebab utama kerusakan bahan pangan adalah pertumbuhan mikroba, kegiatan enzim dan perubahan kimia.
Mikroba merupakan penyebab utama
kerusakan bahan pangan. Adanya pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan dapat menyebabkan kerusakan dan kemunduran yang ditandai adanya perubahanperubahan seperti penampakan, bau, rasa, tekstur, serta terbentuknya komponenkomponen yang bersifat racun. Kerusakan bahan pangan oleh mikroba menyebabkan bahan pangan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi dan berbahaya bagi kesehatan (Supardi dan Sukamto 1999; Hidayat et al. 2006). Log total mikroba yang dihasilkan pada bakasang berkisar 4,33 (3,74 x 103 Cfu/g) pada awal penyimpanan menjadi log 8,34 (2,17 x 106 Cfu/g) pada akhir penyimpanan (Gambar 16). Mengacu pada standar yang ditetapkan SNI 01-2718-1996 bahwa batas maksimum TPC untuk produk petis udang adalah 105 Cfu/g.
Artinya nilai TPC pada akhir penyimpanan sudah melebihi standar
yang ditetapkan. Hasil analisis ragam (Lampiran 14a) menunjukkan bahwa lama fermentasi dan lama penyimpanan berpengaruh nyata, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap log total mikroba bakasang. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa lama fermentasi 2 hari berbeda nyata dengan lama fermentasi 4, 6 dan 8 hari (Lampiran 14b). Selama proses fermentasi terjadi peningkatan total mikroba (Gambar 16). Hal ini berkaitan dengan karakteristik bahan baku (jeroan), dimana mikroflora alami banyak ditemukan di dalamnya, selain itu pengaruh penambahan garam tinggi (25 %) mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan sebaliknya merangsang pertumbuhan mikroba tertentu untuk berperan selama proses fermentasi.
Hasil
64
uji log total mikroba pada bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 16.
Lama fermentasi (hari ke-)
Gambar 16. Histogram rata-rata log total mikroba bakasang selama penyimpanan Semakin tinggi konsentrasi garam yang digunakan, semakin memicu pertumbuhan beberapa mikroorganisme seperti bakteri asam laktat, beberapa bakteri golongan halofilik (tahan terhadap garam) dan kapang yang bersifat halofilik (Ilyas 1993; Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yatsunami dan Takenaka (1994); Chaiyanan et al. (1999) menunjukkan bahwa jenis bakteri halofilik dan halotoleran yang berhasil diidentifikasi oleh antara lain Staphylococcus dan Halobacterium pada daging sardin yang difermentasi dengan beras. Kimura et al. (2001) berhasil mengidentifikasi Tetragenococcus muriaticus dan T. halophillus pada produk petis, sedangkan Tsai et al. (2007) berhasil mengidentifikasi Corynebacterium dan Micrococcus pada produk kecap, pasta ikan dan pasta udang. Uji lanjut Duncan (Lampiran 14c) terhadap lama penyimpanan menunjukkan bahwa bakasang pada lama penyimpanan 0 hari berbeda nyata dengan bakasang pada lama penyimpanan 30, 60 dan 90 hari.
Pada awal
penyimpanan (0 hari), pertumbuhan mikroba berada dalam fase lag (adaptasi), dimana mikroba belum melakukan pembelahan, tetapi terjadi peningkatan massa volume. Pada fase tersebut, mikroba lebih banyak melakukan adaptasi dengan lingkungan, selanjutnya pada lama penyimpanan 30 hari sampai akhir
65
penyimpanan (90 hari), log total mikroba secara tajam mengalami lonjakan jumlah sel, dimana ketersediaan nutrisi dan oksigen masih cukup untuk dimanfaatkan oleh mikroba. Tingginya kandungan log total mikroba pada lama penyimpanan 30, 60 dan 90 hari diduga oleh berkembangnya bakteri termofilik yang tahan pada suhu tinggi ketika jeroan dimasak dan beberapa mikroba yang tahan terhadap suhu ruang pada saat penyimpanan bakasang. Bakteri yang tahan pada suhu pemasakan adalah golongan bakteri penghasil spora seperti Clostridium dan Bacillus (Winarno et al. 1993; Supardi dan Sukamto 1999).
Lebih lanjut Jenie et al. (2000) menambahkan bahwa
proses pemanasan dapat mengubah tidak hanya komposisi kimia makanan tetapi juga strukturnya dengan melunakkan jaringan, melepaskan atau mengikat air, menghancurkan atau membentuk suspensi koloidal, gel atau emulsi dan mengubah kemampuan penetrasi makanan terhadap air dan oksigen. dapat
terdenaturasi
mikroorganisme.
sehingga
lebih
mudah
digunakan
oleh
Protein sebagian
Pati atau protein dapat tergelatinasi melepaskan air dan
menjadi lebih mudah terdekomposisi.
Sifat-sifat makanan tersebut akan
dimanfaatkan oleh mikroba dan menentukan jumlah dan jenis mikroba yang akan tumbuh.
4.3.6. Total kapang Pertumbuhan dan aktivitas mikroba seperti kapang merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan. Pertumbuhan kapang membutuhkan kondisi fisik tertentu seperti kelembaban, temperatur, pH, nutrisi dan oksigen (Rahyu et al. 1992; Winarno et al. 1993). Hasil analisis total kapang terhadap bakasang menunjukkan terjadi peningkatan dari log 3,28 (1,93 x 102 Cfu/g) pada awal penyimpanan menjadi log 8,39 (2,49 x 106 Cfu/g) pada akhir penyimpanan (Gambar 17). Total kapang pada bakasang dipengaruhi secara nyata oleh lama fermentasi, lama penyimpanan dan interaksi keduanya (Lampiran 15a). Hasil analisis log total kapang pada bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 17.
66
Lama fermentasi (hari ke-)
Gambar 17. Histogram rata-rata log total kapang bakasang selama penyimpanan Uji lanjut Duncan (Lampiran 15b) menunjukkan bahwa interaksi antara bakasang hasil lama fermentasi 2 hari pada penyimpanan 0 hari (F2P0) berbeda nyata dengan bakasang lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 90 hari (F8P90). Perbedaan ini diduga pengaruh suhu selama fermentasi dan selama penyimpanan pada suhu kamar, dimana pada suhu tersebut kapang dapat tumbuh dengan baik. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang antara lain suhu, kebutuhan oksigen dan kebutuhan nutrisi. Kapang dapat tumbuh baik pada suhu kamar, dimana suhu optimum pertumbuhannya sekitar 25-35 0C, tetapi beberapa dapat tumbuh baik pada suhu 35-37 0C atau lebih tinggi seperti Aspergillus. Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas, yaitu
2,0-8,5, tetapi biasanya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah. Kebanyakan kapang memproduksi enzim hidrolitik, misalnya amilase, pektinase, proteinase dan lipase sehinga dapat tumbuh baik pada makanan yang mengandung pati, pektin, protein dan lemak (Hidayat et al. 2006). Penyimpanan
bakasang
pada
suhu
kamar
menunjukkan
terjadi
peningkatan pada awal sampai pada 30 hari penyimpanan (Gambar 17). Hal ini diduga bahwa sokongan nutrisi pada lingkungan masih memadai lagi sehingga akhirnya terjadi peningkatan jumlah. Penurunan
jumlah
sel
terjadi
pada
penyimpanan 60 hari dan meningkat kembali pada penyimpanan 90 hari. Hal ini diduga, pada penyimpanan 60 hari sel mengalami fase stasioner, dimana sokongan
67
nutrisi pada lingkungan sudah tidak memadai lagi dan aktivitas metabolit anti-kapang masih terjadi sehingga kemerosotan jumlah sel pun terjadi akibat banyak sel yang sudah tidak mendapatkan nutrisi lagi dan akhirnya pada titik ekstrim menyebabkan terjadinya penurunan total kapang. Tiga penyebab utama terjadinya penurunan jumlah total kapang pada fase tersebut yaitu ketidaktersediaan nutrisi, penumpukan senyawa metabolit penghambat dan kekurangan ruang gerak (Supardi dan Sukamto 1999; Hidayat et al. 2006).
Peningkatan log total kapang terjadi kembali pada lama
penyimpanan 90 hari. Hal ini diduga bahwa aktivitas senyawa metabolit antikapang tidak reaktif lagi serta komponen organik utamanya protein akan semakin terdegradasi menjadi senyawa turunannya seperti peptida dan asam amino yang akan dimanfaatkan oleh kapang maupun mikroba lainnya dalam periode tertentu sehingga mengalami peningkatan.
4.4. Karakteristik Organoleptik Bakasang dengan Uji Skoring
Uji organoleptik terhadap suatu makanan adalah penilaian dengan menggunakan alat indera yaitu penglihatan, pencicip, pembau dan pendengar. Dengan uji ini dapat diketahui penerimaan terhadap suatu produk (Soekarto dan Hubeis 2000). Hasil uji organoleptik terhadap bakasang selama penyimpanan yang dilakukan meliputi uji penampakan, bau, rasa dan tekstur. 4.4.1. Penampakan Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen.
Pada umumnya
konsumen memilih makanan yang memiliki penampakan menarik. Penampakan suatu produk pangan akan memiliki daya tarik yang kuat bagi konsumen sebelum konsumen
melihat
parameter
lainnya
seperti
rasa
aroma
dan
tekstur
(Soekarto dan Hubeis 2000). Hasil uji organoleptik dan nilai skor hasil penilaian panelis terhadap penampakan bakasang pada setiap kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Gambar 18 dan Lampiran 16, 17, 18, 19.
68
Lama fermentasi (hari ke-)
Gambar 18. Histogram rata-rata nilai penampakan bakasang selama penyimpanan Nilai penampakan tertinggi dari bakasang yang diuji diperoleh pada bakasang kombinasi perlakuan lama fermentasi 2 hari pada penyimpanan 0 hari (F2P0) yaitu 7,83, sedangkan nilai terendah diperoleh pada bakasang kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 90 hari (F4P90) yaitu 6,07 (Gambar 18). Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan, intensitas warna semakin menurun. Hasil
uji
Kruskal-Wallis
menunjukkan
bahwa dari setiap kombinasi perlakuan lama fermentasi dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan bakasang (Lampiran 20a). Uji lanjut Multiple Comparisson (Lampiran 20b) menunjukkan bahwa penampakan bakasang pada kombinasi perlakuan lama fermentasi 2 hari pada lama penyimpanan 0 hari (F2P0) berbeda nyata dengan lama fermentasi 2 hari pada penyimpanan 30 hari (F2P30). Hal ini disebabkan bakasang kombinasi perlakuan F2P0 mempunyai penampakan warna lebih coklat tua, agak cemerlang dan tidak ada kotoran, sedangkan bakasang F2P30 memiliki penampakan coklat agak kehitaman, agak kusam dan sedikit ada kotoran. Warna coklat yang dihasilkan dari kedua bakasang tersebut diduga karena proses hidrolisis enzimatis dan aktivitas mikroorganisme selama fermentasi dan proses perebusan jeroan,
69
sedangkan warna coklat kusam selama penyimpanan berkaitan dengan warna bahan bakunya (jeroan) yaitu coklat kemerahan. Warna coklat yang dihasilkan disebabkan oleh reaksi pencoklatan atau browning yang terjadi akibat adanya perlakuan pemasakan yang kaya akan
kandungan protein dan asam-asam amino (Eskin 1990; Winarno et al. 1993; de Man 1997; Ghozali et al. 2004; Istanti 2005). 4.4.2. Bau Bau makanan dapat menentukan kelezatan dari makanan itu sendiri. Bau menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari produk makanan tersebut (Soekarto dan Hubeis 2000). Bau lebih banyak dipengaruhi oleh indera penciuman.
Umumnya bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak lebih
banyak merupakan campuran 4 macam bau yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno 1997). Hasil penilaian panelis terhadap bau bakasang berkisar antara 6,73 (harum spesifikasi bakasang ikan, agak sedikit enak) pada bakasang lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 60 hari (F4P60) sampai 8,00 (harum spesifikasi bakasang ikan, agak enak) pada bakasang kombinasi perlakuan lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0).
Nilai bau tertinggi dicapai
oleh bakasang F8P0 dan nilai bau terendah dicapai oleh bakasang F4P0. Nilai-nilai tersebut mengalami fluktuatif selama penyimpanan sesuai tingkat penilaian panelis. Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 25a) menunjukan bahwa kombinasi perlakuan lama fermentasi dan lama penyimpanan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap bau bakasang. Uji lanjut Multiple Comparisson menunjukkan bahwa bau bakasang pada kombinasi lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0) berbeda nyata dengan lama fermentasi 2 hari pada penyimpanan 30 hari, (F2P30) (Lampiran 25b). Hasil uji organoleptik dan nilai skor hasil penilaian panelis terhadap bau bakasang selama penyimpanan disajikan pada Gambar 19 dan Lampiran 21, 22, 23, 24.
70
Lama fermentasi (hari ke-)
Gambar 19. Histogram rata-rata nilai bau bakasang selama penyimpanan Bau harum yang dihasilkan diduga bahwa selama fermentasi dan pemasakan jeroan serta penyimpanan menghasilkan terbentuknya senyawasenyawa volatil dan non-volatil. Menurut Shahidi (1998) senyawa volatil yang berperan yaitu karbonil, sulfur, hidrokarbon dan bromofenol, sedangkan senyawa non-volatil yang berperan yaitu asam amino bebas, peptida, nukleotida dan basa organik dari bahan pangan. Lebih lanjut Ijong dan Ohta (1995) menambahkan bahwa bau seperti ikan disebabkan adanya aroma amoniak dan asam amino glutamat yang dikandung bahan pangan.
4.4.3. Rasa Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Faktor rasa memegang peranan penting dalam pemilihan produk oleh konsumen. Rasa adalah respon lidah terhadap rangsangan yang diberikan oleh suatu makanan.
Penginderaan rasa terbagi menjadi empat rasa utama yaitu
manis, asin, pahit dan asam.
Konsumen dapat memutuskan menerima atau
menolak produk dengan empat rasa tersebut (Winarno 1997; Soekarto dan Hubeis 2000).
Hasil uji organoleptik dan nilai skor hasil penilaian panelis
terhadap rasa bakasang selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 20 dan Lampiran 26, 27, 28, 29.
71
Lama fermentasi (hari ke-)
Gambar 20. Histogram rata-rata nilai rasa bakasang selama penyimpanan Hasil rata-rata penilaian panelis terhadap rasa bakasang yang dihasilkan berkisar antara 4,97 (kurang enak, rasa ikan sedikit) pada bakasang pada kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 90 hari (F4P90) sampai 7,10 (agak enak, rasa asin cukup, terlalu manis) pada bakasang kombinasi perlakuan lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0) (Gambar 20). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa rasa bakasang yang dihasilkan masih memberikan karakteristik baik walaupun mengalami penurunan seiring lamanya penyimpanan. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa dari setiap kombinasi perlakuan lama fermentasi dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat penilaian panelis terhadap rasa bakasang yang dihasilkan (Lampiran 30a). Uji Multiple Comparisson menunjukkan bahwa rasa bakasang pada kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F4P0) berbeda nyata dengan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 60 hari (F4P60) (Lampiran 30b). Rasa yang dihasilkan diduga berkaitan dengan penambahan garam dalam proses fermentasi dan kandungan asam amino yang dimiliki jeroan serta proses pemasakan yang menghasilkan senyawa pemberi citarasa, dimana selama pemasakan menyebabkan meresapnya garam yang berfungsi sebagai pemberi citarasa. Selain berfungsi sebagai pemberi cita rasa, garam juga berperan dalam seleksi mikroba yang dikehendaki utamanya golongan proteolitik.
Pemecahan
72
protein disebabkan oleh enzim proteolitik yang terdapat dalam jaringan jeroan itu sendiri atau oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba (Rahayu et al. 1992). Rasa agak enak, enak dan rasa manis juga dipengaruhi oleh dua komponen utama yaitu peptida dan asam amino yang terdapat pada jeroan. Rasa enak dipengaruhi oleh asam amino glutamat dan asam amino aspartat (Lehninger 1993; Rahayu dan Nasran 1995). Lebih lanjut Ijong dan Ohta (1995); Saleha (2003) menambahkan bahwa rasa manis dipengaruhi oleh asam amino glisin, fenilalanin dan lisin. 4.4.4. Tekstur Tekstur merupakan segala hal yang berhubungan dengan mekanik, rasa, sentuhan, penglihatan dan pendengaran yang meliputi penilaian terhadap kebasahan, kering, keras, halus, kasar dan berminyak (Soekarto dan Hubeis 2000). Penilaian tekstur makanan dapat dilakukan dengan jari-jari, gigi dan langit-langit (tekak).
Faktor tekstur diantaranya adalah rabaan oleh tangan,
keempukan dan mudah dikunyah (Meilgaard et al. 1999). Kombinasi perlakuan lama fermentasi dan lama penyimpanan bakasang menunjukkan terjadi penurunan nilai tekstur selama penyimpanan (Gambar 21). Hasil penilaian panelis terhadap tekstur bakasang berkisar antara 5,43 yang berarti agak kental, kurang homogen dan agak kasar. Nilai ini merupakan nilai terendah yang dicapai oleh bakasang pada lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 90 hari (F8P90), sedangkan nilai tertinggi dicapai oleh bakasang pada lama fermentasi 6 hari pada penyimpanan 30 hari (F6P30) yang berarti kental, homogen dan sedikit lembut. Hasil tersebut menunjukkan terjadi kecenderungan penurunan konsistensi nilai tekstur seiring lamanya penyimpanan pada suhu kamar, artinya tekstur semakin lama cenderung encer. Hasil uji organoleptik dan nilai skor hasil penilaian panelis terhadap tekstur bakasang dapat dilihat pada Gambar 21 dan Lampiran 31,32, 33, 34.
73
Lama fermentasi (hari ke-)
Gambar 21. Histogram rata-rata nilai tekstur bakasang selama penyimpanan Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai tekstur bakasang yang dihasilkan. Hal ini berarti bahwa walaupun waktu lama fermentasi dan lama penyimpanan yang berbeda-beda, namun panelis memberikan penilaian yang sama terhadap keseluruhan tekstur bakasang yang dihasilkan. Penurunan konsistensi nilai tekstur disebabkan oleh aktivitas mikroba selama penyimpanan, dimana mikroba akan menguraikan senyawa makromolekul utamanya protein menjadi produk turunannya seperti peptida dan asam-asam amino dengan menghasilkan molekul air (H2O) (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993).
4.5.
Karakteristik Organoleptik Bakasang dengan Uji Perbandingan Pasangan
Uji organoleptik perbandingan pasangan dilakukan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan produk baru apabila dibandingkan dengan produk komersial (Rahayu 2001). Diharapkan produk baru yang dihasilkan dapat lebih unggul atau sama karakteristik mutunya dengan produk komersial yang ada di pasaran, sehingga produk yang dihasilkan dapat diterima dan disukai oleh konsumen.
74
Uji perbandingan pasangan dilakukan terhadap dua produk bakasang terpilih (terbaik) berdasarkan nilai skor tertinggi hasil penilaian panelis yang diperoleh dari uji skoring secara keseluruhan. Dua produk terpilih tersebut yaitu pada kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F4P0) dan lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0). Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dari bakasang yang dibuat dengan bakasang komersial (bakasang yang ada di pasaran). Bakasang komersial yang dijadikan pembanding adalah bakasang yang diproduksi oleh pengolah tradisional ikan di Kota Ternate Provinsi Maluku Utara yang sudah disimpan selama 1 bulan (30 hari). Hasil uji perbandingan pasangan menunjukkan bahwa dari segi penampakan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari memiliki nilai rata-rata -1,07 yang berarti bakasang jeroan ikan cakalang memiliki penampakan agak kurang coklat dibandingkan dengan bakasang komersial. Penampakan pada bakasang kombinasi lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari memiliki nilai rata-rata -0,73 yang berarti bahwa bakasang jeroan ikan cakalang memiliki penampakan agak kurang coklat dibandingkan dengan bakasang komersial, demikian pula untuk bau pada bakasang kombinasi lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari memiliki nilai rata-rata 1,70 yang berarti harum dan bakasang lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari memiliki nilai rata-rata 1,33 yang berarti agak harum dibandingkan dengan bakasang komersial. Bakasang pada lama fermentasi 4 hari penyimpanan 0 hari dan bakasang pada lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari memiliki nilai rasa berturut-turut 1,00 dan 1,40 yang berarti agak enak dibandingkan dengan bakasang komersial, sedangkan hasil penilaian panelis terhadap tekstur bakasang lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari memiliki nilai rata-rata -1,53 yang berarti kurang kental dan lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari memiliki nilai rata-rata -0,50 yang berarti agak kurang kental dibandingkan dengan bakasang komersial. Hasil uji perbandingan pasangan dan nilai skoring bakasang terpilih (F4P0 dan F8P0) dapat dilihat pada Gambar 22 dan Lampiran 35, 36.
75
Gambar 22. Histogram rata-rata uji organoleptik perbandingan pasangan Hasil uji perbandingan pasangan menunjukkan bahwa mutu bakasang kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F4P0) dan lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0) memiliki keunggulan lebih baik dari segi bau dan rasa, sedangkan kelemahannya dalam hal penampakan dan tekstur jika dibandingkan dengan bakasang komersial. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan lama fermentasi dan lama penyimpanan suhu ruang terhadap ketiga bakasang memberikan pengaruh nyata terhadap parameter bau, tetapi untuk parameter penampakan, rasa dan tekstur tidak berpengaruh (Lampiran 37a). Uji lanjut Multiple Comparisson menunjukkan bahwa bau bakasang komersial berbeda nyata dengan bau bakasang kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F4P0) dan lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0) (Lampiran 37b). Hal ini terkait dengan kesegaran bahan baku, proses penanganan jeroan dan pengolahan bakasang.
4.6. Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Bakasang Terpilih dan Bakasang Komersial
Karakteristik kimia dan mikrobiologi bakasang yang dianalisis meliputi kadar air, protein, nilai pH, kadar histamin, total mikroba dan total kapang. Dua jenis bakasang terpilih (F4P0 dan F8P0) yang didapatkan berdasarkan nilai tertinggi
76
dari pengujian organoleptik selanjutnya dibandingkan dengan bakasang komersial (bakasang yang ada di pasaran) yang difermentasi selama 3 hari menggunakan garam dengan konsentrasi 25 % dan telah disimpan selama 1 bulan (30 hari). Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik kimia dan mikrobiologi bakasang terpilih dan bakasang komersial (bakasang yang ada di pasaran) Kombinasi Perlakuan
Parameter
Komersial
F 4 P0
F8P0
Kadar air (%)
74,26 ± 3,09a
75,64 ± 1,67a
74,10 ± 1,29a
Kadar protein (% bk)*)
44,48 ± 2,76a
49,06 ± 1,59a
48,13 ± 0,45a
Nilai pH
6,21 ± 0,02a
5,72 ± 0,11b
5,70 ± 0,13b
303,25 ± 3,73a
22,16 ± 3,87b
26,73 ± 4,08b
Log total mikroba/TPC
7,35 ± 0,06a
4,75 ± 0,04c
5,04 ± 0,07b
Log total kapang
7,36 ± 0,03a
4,54 ± 0,04b
4,69 ± 0,16b
Histamin (ppm)
Angka-angka pada baris yang sama diikuti menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) *) Persen basis kering
huruf
superscript
berbeda
(a,b,c)
4.6.1. Kadar air Air merupakan kandungan penting dalam bahan makanan karena dapat mempengaruhi tekstur, penampakan dan citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan produk (de Man 1997; Winarno 2002). Kadar air bakasang komersial dan bakasang terpilih kombinasi perlakuan F4P0 dan F8P0 yang dihasilkan berkisar antara 74,10 % sampai 75,64 %.
Nilai
kadar air tertinggi dicapai oleh bakasang kombinasi perlakuan F4P0 diikuti oleh bakasang kombinasi perlakuan F8P0 dan bakasang komersial (Tabel 5).
Hasil
analisis ragam (Lampiran 38) menunjukkan bahwa ketiga jenis bakasang pada kombinasi perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air. Perbedaan nilai antara ketiga jenis bakasang tersebut terkait dengan asal perairan, proses penanganan dan pengolahan bahan baku. Nilai kadar air juga dipengaruhi oleh sifat produk akhir bakasang yaitu agak encer.
77
Selama fermentasi, selama pemasakan jeroan serta penyimpanan pada suhu ruang, terjadi hidrolisis enzimatis yang menguraikan komponen-komponen organik yang sifatnya kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana seperti protein menjadi produk turunannya seperti peptida dan asam amino menghasilkan molekul air (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993). 4.6.2. Kadar protein Protein merupakan zat gizi yang sangat penting karena paling erat hubungannya dengan proses-proses kehidupan (Sediaoetoma 2006). Umumnya kadar protein dalam bahan pangan menentukan bahan pangan tersebut (Winarno 2002). Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar protein terendah dicapai oleh bakasang komersial dibandingkan dengan kedua bakasang terpilih. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan terhadap ketiga jenis bakasang tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang dihasilkan (Lampiran 39). Hal ini diduga oleh perubahan fisiko-kimia yang berbeda-beda pada saat pemasakan jeroan dan penyimpanan bakasang. Menurut Farkye et al. (2001) proses browning dalam pengolahan pangan berprotein merupakan suatu reaksi non-enzimatik antara asam amino dalam bahan pangan, sedangkan menurut (Winarno 1997) selama pemasakan dan penyimpanan, denaturasi protein dapat terjadi akibat adanya panas, pH, bahan kimia dan mekanik. 4.6.3. Nilai pH Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan mutu bahan pangan. Derajat keasaman yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri perusak dan patogen adalah lebih dari 4,6 sampai dengan pH netral (7) (Purnawijayanti 2001). Hasil pengukuran nilai pH ketiga bakasang menunjukkan bahwa nilai pH berada pada kondisi asam (Tabel 5).
Hasil analisis ragam (Lampiran 40a)
menunjukkan pengaruh nyata terhadap nilai pH bakasang.
Uji lanjut Duncan
(Lampiran 40b) menunjukkan bahwa bakasang komersial berbeda nyata dengan bakasang terpilih kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan
78
0 hari (F4P0) dan bakasang lama ferementasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0). Perbedaan nilai pH ketiga bakasang tersebut diduga ada kaitannya dengan pertumbuhan mikroba pembentuk asam dan kandungan nitrogennya. Mikroba mampu mendegradasi protein, peptida dan asam amino menjadi derivatnya yang bersifat basa volatil seperti ammonia, indol, H2S, merkaptan, kresol dan skatol (Rahayu et al. 1992; Winarno et al. 1993).
Lebih lanjut
Berna et al. (2005) menambahkan bahwa pengaruh lama penyimpanan terhadap penurunan dan peningkatan nilai pH berhubungan dengan kandungan nitrogennya. 4.6.4. Kadar histamin Lehane dan Olley (2000); Kim et al. (2000) makanan dengan kandungan histamin yang tinggi dapat menimbulkan reaksi alergi atau keracunan dengan gejala sakit kepala, kejang, mual, muka dan leher kemerah-merahan, tubuh gatalgatal, mulut da kerongkongan terasa terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah-muntah. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar histamin bakasang terpilih kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F4P0) dan bakasang lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0) yang dihasilkan masih di bawah batas aman, sedangkan kadar histamin pada bakasang komersial sudah jauh melebihi batas aman (Tabel 5) yang ditetapkan oleh Ditjen P2HP DKP (2007) yaitu 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa
kombinasi
perlakuan
lama
fermentasi
dan
lama
penyimpanan ketiga bakasang tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap kadar histamin yang dihasilkan (Lampiran 41a). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bakasang komersial berbeda nyata dengan bakasang kombinasi perlakuan F4P0 dan bakasang F8P0 (Lampiran 41b). Hal ini diduga karena kondisi awal bahan baku (jeroan) pada bakasang komersial sudah tidak segar dan cara penanganan yang kurang tepat sehingga bakteri yang mampu membentuk histamin pun terbentuk dalam jumlah yang tinggi. Perbedaan kandungan histamin yang begitu mencolok antara bakasang hasil penelitian dan bakasang komersial bisa disebabkan juga karena aktivitas penanganan dan pengolahan ikan.
79
Menurut Sims (1992) bahwa histamin memiliki sifat tahan terhadap panas. Histamin yang sudah terbentuk ketika masih mentah masih tetap ada setelah
pengolahan
dengan
pemasakan.
Lebih
lanjut
ditambahkan
Askar dan Treptow (1993); Rice et al. (1993); Kim et al. (2000); Kim et al. (2004); Dapkevicious
et
al.
(2000),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pembentukan histamin dan senyawa biogenik amin lainnya adalah keberadaan dan kelimpahan dari asam amino bebas, keberadaan mikroorganisme yang mampu mendekarboksilasi asam amino, kondisi pH dan suhu yang memungkinkan bakteri dapat tumbuh dan memproduksi enzim 4.6.5. Total mikroba/Total Plate Count (TPC) Mikroba merupakan salah satu penyebab utama gangguan kesehatan yang berasal dari bahan pangan. Karakteristik mikroba yang dapat dengan cepat berkembang biak dan beradaptasi dengan lingkungan baik pada bahan pangan itu sendiri, peralatan yang digunakan selama pengolahan atau lingkungan asli bahan pangan tersebut, telah menjadikannya agen penyebab gangguan kesehatan yang perlu diwaspadai (Supardi dan Sukamto 1999; Hidayat et al. 2006). Log total mikroba bakasang tertinggi dicapai oleh bakasang komersial diikuti oleh bakasang terpilih kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F4P0) dan lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0) (Tabel 5). Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata terhadap total mikroba bakasang (Lampiran 42a). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama fermentasi dan lama penyimpanan ketiga bakasang tersebut berbeda nyata satu dengan lainnya terhadap total mikroba (Lampiran 42b).
Total mikroba yang
dihasilkan pada bakasang kombinasi perlakuan F4P0 dan F8P0 masih aman dengan nilai berturut-turut sebesar 4,75 (5,68 x 104 Cfu/g); 5,04 (1,11 x 105 Cfu/g), sedangkan bakasang komersial pada penyimpanan 30 hari nilai total mikrobanya sudah mencapai 7,35 (2,27 x 106 Cfu/g), artinya nilai total mikroba untuk bakasang komersial sudah melebihi batas yang ditetapkan oleh SNI 01-2718-2006 dimana batas maksimum nilai TPC untuk produk petis udang adalah 105 Cfu/g. Hal ini disebabkan oleh bahan baku yang digunakan pada bakasang komersial sudah mengandung jumlah mikroba dalam jumlah besar dan lama fermentasi
80
relatif cepat (2-3 hari) serta penggunaan bahas kemas yang tidak steril. Diduga juga karena adanya mikroba yang tahan terhadap suhu pemasakan dan lama penyimpanan, serta kondisi lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah waktu dan suhu inkubasi, pH, kandungan nutrisi, cahaya, medium (garam, gula dan asam) serta oksigen (Fardiaz 1993; Hidayat et al. 2006). Hal lain yang menyebabkan peningkatan
total mikroba diduga pengaruh pemasakan jeroan
yang kurang sempurna sehingga menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme yang ada dalam bahan pangan mengalami luka sebagai akibat pemanasan tersebut. Menurut Jenie et al. (2000) bila bahan makanan disimpan dalam kondisi yang memungkinkan untuk kehidupan mikroba yang mengalami luka tersebut maka akan terjadi proses penyembuhan dari sel-sel yang luka dan untuk selanjutnya terjadi pertumbuhan dan perkembangbiakan kembali sel-sel mikroba dalam bahan pangan selama penyimpanan. Pertumbuhan mikroba tersebut dapat menghasilkan gas, asam atau asam saja.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan baik tekstur, warna, bau,
keasaman
maupun
penyimpangan
lain
yang
tidak
dikehendaki
(Supardi dan Sukamto 1999). 4.6.6. Total kapang Kapang merupakan suatu mikroorganisme eukariotik dan mempunyai ciri adanya inti sel, memproduksi spora, tidak mempunyai klorofil sehinga tidak dapat melakukan fotosintesis, dapat berkembang biak secara seksual maupun aseksual dan mempunyai filamen. Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen dan pertumbuhannya pada makanan akan mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas. Pertumbuhannya mula-mula akan berwarna putih tetapi jika spora telah timbul, akan berbentuk berbagai warna tergantung jenisnya (Fardiaz 1993).
Penambahan garam berfungsi untuk
menyeleksi mikroba yang akan berperan selama proses fermentasi seperti bakteri, kapang dan khamir (Rahayu et al. 1992; Hidayat et al. 1996).
81
Hasil analisis log total kapang bakasang komersial dan bakasang terpilih berkisar antara 4,54 (3,45 x 104 Cfu/g) sampai 7,36 (2,31 x 106 Cfu/g). Nilai kapang tertinggi dicapai oleh bakasang komersial, sedangkan nilai kapang terendah dicapai oleh bakasang kombinasi perlakuan F8P0 (Tabel 5).
Hasil
analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata terhadap total kapang bakasang (Lampiran 43a). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bakasang komersial berbeda nyata dengan bakasang kombinasi perlakuan F4P0 dan bakasang F8P0 terhadap total kapang bakasang yang dihasilkan (Lampiran 43b). Hal ini diduga pada saat proses fermentasi dan proses penyimpanan pada suhu kamar, kapang halofilik yang berperan selama proses tersebut sudah ada dan terus menghasilkan, menguraikan dan memanfaatkan senyawa makro seperti protein, lemak, karbohidrat menjadi turunannya yang berberat molekul rendah. Menurut Fardiaz (1993); Winarno et al. (1993) kebanyakan kapang yang berperan dalam fermentasi garam tinggi yang sering dilaporkan adalah Penicillium, Aspergillus paraciticus, A. tamari, A. ochraceus dan beberapa spesies
lainnya. Lebih lanjut ditambahkan Giyatmi (1998) kapang dapat tumbuh baik pada suhu kamar, dimana suhu optimum pertumbuhannya sekitar 25-35 0C, tetapi beberapa dapat tumbuh baik pada suhu 35-37 0C atau lebih tinggi seperti Aspergillus.
4.7.
Penentuan Kombinasi Perlakuan Terbaik Bakasang dari Aspek Kimia
Selama penyimpanan bakasang, terjadi perubahan secara nyata pada parameter nilai pH, kadar histamin, total mikroba dan total kapang, sedangkan kadar air dan protein tidak berpengaruh. Penentuan dua produk bakasang terbaik berdasarkan parameter utama yang dijadikan sebagai faktor nilai gizi dan keamanan adalah protein dan kadar histamin. Hasil analisis kimia secara keseluruhan menunjukkan bahwa dua produk terbaik yang memenuhi persyaratan nilai gizi dan keamanan didapatkan oleh bakasang kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F4P0) dan lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0) selanjutnya dibandingkan dengan bakasang komersial (bakasang yang ada di pasaran) yang telah melalui proses fermentasi selama 3 hari dan disimpan selama 1 bulan (30 hari) dapat dilihat pada Tabel 6.
82
Tabel 6. Penentuan kombinasi perlakuan terbaik bakasang dari aspek kimia Parameter
Komersial
F4P0
F8 P0
Kadar protein (% bk)*)
44,48 ± 2,77b
49,06 ± 1,59a
48,13 ± 0,45ab
Kadar histamin (ppm)
303,25 ± 13,73a
22,16 ± 3,87b
26,73 ± 4,08b
Angka-angka pada baris yang sama diikuti menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) *) Persen basis kering
huruf
superscript
berbeda
(a,b)
4.7.1. Kadar protein Kadar protein bakasang komersial dan bakasang terpilih kombinasi perlakuan F4P0 dan F8P0 yang dihasilkan berkisar antara 44,48 % sampai 49,06 %. Nilai kadar protein tertinggi dicapai oleh bakasang kombinasi perlakuan F4P0 diikuti oleh bakasang komersial dan bakasang kombinasi perlakuan F8P0 (Tabel 6). Hasil analisis ragam (Lampiran 44) menunjukkan bahwa ketiga jenis bakasang pada kombinasi perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein. Perbedaan nilai antara ketiga jenis bakasang tersebut terkait dengan asal perairan, proses penanganan bahan baku, lama fermentasi dan proses pemasakan sehingga akan berpengaruh terhadap nilai protein yang dihasilkan.
4.7.2. Kadar histamin Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar histamin bakasang terpilih kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F4P0) dan bakasang lama ferementasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0) yang dihasilkan masih dibawah batas aman, sedangkan kadar histamin pada bakasang komersial sudah jauh melebihi batas aman yang ditetapkan oleh Ditjen P2HP DKP (2007) yaitu 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh kombinasi perlakuan lama fermentasi dan lama penyimpanan ketiga bakasang tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap kadar histamin yang dihasilkan (Lampiran 45a). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa bakasang komersial berbeda nyata dengan bakasang kombinasi perlakuan F4P0 dan bakasang F8P0
83
(Lampiran 45b). Hal ini diduga karena kondisi awal bahan baku (jeroan) pada bakasang komersial sudah tidak segar dan cara penanganan yang salah sehingga bakteri yang mampu membentuk histamin pun terbentuk dalam jumlah yang tinggi. Perbedaan kandungan histamin yang begitu mencolok antara bakasang hasil penelitian dan bakasang komersial bisa disebabkan juga karena aktivitas penanganan dan pengolahan ikan.
Menurut Sims (1992)
bahwa histamin
memiliki sifat tahan terhadap panas, oleh karena itu histamin yang sudah terbentuk ketika masih mentah tetapi setelah pengolahan dengan pemasakan masih tetap ada. Dapkevicious et al. (2000); Kim et al. (2000); Kim et al. (2004); menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan histamin dan senyawa biogenik amin lainnya adalah keberadaan dan kelimpahan dari asam amino bebas, keberadaan mikroorganisme yang mampu mendekarboksilasi asam amino, kondisi pH dan suhu yang memungkinkan bakteri dapat tumbuh dan memproduksi enzim.
4.8. Uji Pendugaan Umur Simpan Bakasang terhadap Kadar Hstamin
Berdasarkan persamaan regresi pendugaan umur simpan, maka data-data yang dihasilkan pada kadar histamin bakasang selama penyimpanan 3 bulan (90 hari) digunakan untuk menentukan umur simpan produk bakasang. Hasil menunjukkan bahwa masa simpan bakasang untuk mencapai batas maksimum kadar histamin sebesar 100 ppm untuk hasil dan produk perikanan yang ditetapkan oleh Ditjen P2HP DKP (2007).
Hasil menunjukkan bahwa
pada
kombinasi perlakuan lama fermentasi 2 hari, kadar histamin sebesar 99,38 ppm baru dicapai setelah disimpan 420 hari, lama fermentasi 4 hari, kadar histamin sebesar 100,03 ppm baru dicapai setelah disimpan 330 hari, lama fermentasi 6 hari, kadar histamin sebesar 95,82 ppm baru dicapai setelah disimpan 270 hari, dan lama fermentasi 8 hari, kadar histamin sebesar 95,24 ppm baru dicapai setelah disimpan 180 hari (Lampiran 46). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa batas maksimum histamin yang ditetapkan oleh Ditjen P2HP DKP (2007) baru
84
dapat dicapai pada penyimpanan 330 hari (11 bulan). Hasil uji pendugaan umur simpan bakasang terhadap kadar histamin dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Grafik uji pendugaan umur simpan bakasang terhadap kadar histamin
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Lama fermentasi jeroan ikan cakalang memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kadar air dan peningkatan nilai TPC, sedangkan kadar protein, nilai pH, kadar histamin, Salmonella dan E. coli tidak dipengaruhi. Selama penyimpanan bakasang terjadi korelasi positif antara peningkatan jumlah mikroba dari 103-106 Cfu/g dengan jumlah histamin dari 18,59-64,20 ppm dan meskipun demikian nilainya masih dibawah batas maksimum yang ditetapkan. Nilai organoleptik bakasang hasil penelitian secara keseluruhan selama akhir penyimpanan (90 hari) masih menunjukkan karakteristik baik meskipun terjadi penurunan.
Berdasarkan hasil rata-rata nilai tertinggi dari semua
perlakuan, didapatkan dua produk bakasang terpilih (terbaik) menurut penilaian panelis yaitu pada bakasang kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 0 hari (F4P0) dan bakasang lama fermentasi 8 hari pada penyimpanan 0 hari (F8P0), demikian hal yang sama pada penentuan terbaik dari aspek kimia berdasarkan kadar protein tertinggi dan kadar histamin terendah secara keseluruhan didapatkan oleh bakasang F4P0 dan F8P0. Hasil uji perbandingan pasangan bakasang terpilih memiliki keunggulan karakteristik dalam hal bau dan rasa, sedangkan kelemahannya dalam hal penampakan dan tekstur jika dibandingkan dengan bakasang komersial.
Karakteristik kimia dan
mikrobiologi bakasang terpilih hasil penelitian dan bakasang komersial memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pH, kadar histamin, nilai TPC dan total kapang, sedangkan kadar air dan kadar protein tidak berpengaruh.
Hasil uji
pendugaan umur simpan terhadap kadar histamin bakasang diperkirakan lama penyimpanan bisa sampai 330 hari (11 bulan) untuk mencapai kadar histamin maksimum sebesar 100 ppm yaitu pada kombinasi perlakuan lama fermentasi 4 hari pada penyimpanan 90 hari (F4P90).
86
5.2.
Saran
a.
Perlunya dilakukan penelitian lanjutan tentang isolasi dan identifikasi mikroba (bakteri dan kapang) yang berperan selama fermentasi dalam produk bakasang.
b.
Perlunya penelitian tentang analisis bakteriosin dari produk bakasang sebagai biopreservasi dalam produk fermentasi.
c.
Melakukan uji senyawa bioaktif bakasang seperti peptida yang mempunyai aktivitas penghambatan enzim lipoksigenase dan penghambat enzim pengubah angiotensin I.
DAFTAR PUSTAKA
Ajandouz ZEH, Tchiakpe LS, Ore FD, Benajiba A, Puigserver A. 2001. Effect of pH on caramelization and Maillard reaction kinetics in fructose; lysine model system. Journal of Food Science. 66: 926-931. Amlacher E. 1961. Rigormortis in fish. Dalam: Borgstrom G. (editors). Fish as Food. Vol 1. New York: Academic Press. Anonim. 2007. Ikan cakalang. http://www.image.ikan cakalang [16 November 2007]. [AOAC] Assosiation of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC USA. 185-189. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Ariningsih E. 1992. Pengaruh jenis kemasan dan lama penyimpanan pada suhu ruang terhadap mutu tepung terasi [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Askar A, Treptow H. 1993. Amines: In Encyclopedia of Food Science Food Technology and Nutrition. New York: Academic Press. Astawan M, Sutrisno K, Suliantari. 1993. Teknik meminimalkan histamin dalam pembuatan ikan pindang dan ikan peda [laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Aurand LW, Eoods, AE Wells MR. 1987. Food Composition and Analysis. New York: The Avi Published by Van Nostrand Reinhold Co. Berna K, Sukran C, Sebnem T. 2005. Chemical, microbiological and sensory changes associated with fish sauce process. Journal Food Research and Technology. 22: 604-613. Botta JR. 1994. Freshness quality of seafoods: A review. Di dalam: Seafood,. Chemistry, Processing Technology and Quality. Shahidi F. (editors). London: Blackie Academic & Professional. Brillantes S, Paknoi S, Tatokien A. 2002. Histamine formation in fish sauce production. Food Chemistry. 64: 2090-2094.
88
Brink B, Damirik C, Joosten HMLJ, Huis V. 1990. Occurrence and formation of biologically active amines in foods. Jornal of Food Microbiology. 11: 73-84. [BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2002. Probiotik dan Prebiotik: Mau Kemana? InfoPOM. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Chaiyanan S, Maugel T, Hug A, Robb FT, Colwell RR. 1999. Polyphasic taxonomy of a novel Halobacillus, Halobacillus thailandensis sp., isolated from fish sauce. Journal of Food Microbiology. 23: 360-365. Cheffel JL, Cug JL, Corient. 1986. Amino Acid Peptides of Determinative Bacteriology. Baltimore: The William and Walkine Co. Clucas IJ, Ward AR. 1996. Post-Harvest Fisheries Development: A Guide to Handling, Preservation, Processing and Quality. United Kingdom: Chatman Maritline. Natural Research Institute. Daengsubha W. 1998. Fish Fermentation. Bandung: Paper presented at the ASEAN Workshop on Solid Substrate Fermentation. Danur IAR. 1993. Mempelajari metode reduksi kadar histamin dalam pembuatn pindang tongkol [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dapkevicius MLNE, Nout MJR, Rombouts FM, Hoube JH, Wymenga W. 2000. Biogenic amine formation and degradation by potensial fish silage starter microorganisms. Journal of Food Microbiology. 57: 104-114. de Man TM. 1997. Principles of Food Chemistry. Edisi kedua. Penerjemah: Padmawinata K. Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Program Monitoring Hasil Perikanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen P2HP). [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2007. Laporan Statistik Perikanan Tangkap. Ternate: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara. Dissaraphong S, Benjakul S, Vissesanguan W. 2006. The influence of storage conditions of tuna viscera before fermentation in the chemical, physical and microbiological changes in fish sauce during fermentation. Journal Bioresource Technology. 97: 2032-2040. Eitenmiller RR, Orr JH, Wallis WW. 1982. Production of histidine decarboxylase and histamine by Proteus morganii. Journal of Food Protection. 44: 815-820.
89
Eskin NMA. 1990. Biochemistry of Foods. Sandiego, California: Academic Press. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh Fish. Rome: FAO of the United Nations. Fardiaz S. 1993. Mikrobiologi Pangan. Penuntun Praktek Laboratorium. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakulas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. hlm: 49-77. Farkye N, Smith K, Tracy F. 2001. An overview of changes in the characteristics functionality and nutritional value of skim milk powder (SMP) during storage. United Stated: Dairy Export Council. [FDA]
Food and Drug Administration. 2001. Scombrotoxin (histamine) formation. Di dalam: Fish and Fishery Products Hazards and Control Guide. Washingthon: Department of Health and Human Service, Center for Food Safety and Applied Nutrition.
Forsythe SJ, Hyes PR. 1998. Food Hygiene. Microbiology and HACCP. 3rd ed. Maryland: Aspen Publishers. Inc. Gaithersburg. Fukami K, Ishiyana S, Yaguramaki H, Masazawa T, Nabeta Y, Endo K, Shimoda M. 2002. Identification of distiactive volatile compounds in fish sauce. Food Chemistry. 50: 5412-5418. Gildberg A, Thongthai. 2001. The effect of reduce salt contents and addition of halophilic lactic bacteria on quality and composition of fish sauce made from spact. Journal of Food Product Technology. 10: 77-88. Giyatmi. 1998. Isolasi dan identifikasi kapang pada pembuatan ikan kayu (katsuobushi) cakalang (Katsuwonus pelamis, L) dengan fermentasi alami [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Gozali HT, Dedi M, Yaroh. 2004. Peningkatan daya tahan simpan sate bandeng (Chanos-chanos) dengan cara penyimpanan dingin dan pembekuan. Infomatek. 6 (1): 51-66. Gram L, Huss HH. 1996. Microbial spoilage of fish and fish products. Journal of Food Microbiology. 33: 121-137. Gunadi YN. 1991. Sorpsi Isothermis Starter Cultures for Food. Florida: CRC Press. Gunena M. 2000. Karakteristik biokimia bakteri kokus dan basil yang diisolasi dari fermentasi bakasang [skripsi]. Manado: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi.
90
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid 1. Yogyakarta: Penerbit Liberty. hlm: 138-139. Hariyadi RD. 2003. Bakteri Indikator Keamanan Air Minum. Jakarta: Kompas. [ 11 September 2008 ]. Hermansyah. 1999. Pengaruh konsentrasi garam, karbohidrat dan lama fermentasi terhadap mutu bekasem kering ikan mas (Cyprinus carpio) [tesis]. Bogor : Program Studi Teknologi Pascapanen, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hernandez HMM, Roig SAX, Lopez SEI, Rodrigues JJ, Mora VMT. 1999. Total volatile basic nitrogen and other physicochemical and microbiological characteristics as related to ripening of salted anchovies. Journal of Food Science. 64: 344-347. Hidayat AR. 1994. Pengujian potensi dan karakterisasi protease lambung ikan tuna (Thunnus obesus) sebagai pengganti rennet dalam pembuatan keju [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hidayat NS, Suhartini, Padaga MC. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: Penerbit CV. Andi. hlm: 8-10. Hine DJ. 1987. Shelf Life Prediction. Dalam: Modern Processing, Packaging and Distribution System for Foods. London: Blackie. Huffman DL, Ande CF, Cordary JC, Stainly MH, Eighbert WR. 1996. Influence of polyphosphate on storage stability of restructured beef and pork nuggets. Food Science. 52 (2): 275-278. Ichimura T, Hu J, Duong QA, Maruyama S. 2003. Angiotensin i_ converting enzyme inhibitory activity and insulin secretion stimulative activity of fermented fish sauce. Journal of Bioscience and Bioengineering. 96: 496-499. Ijong FG, Ohta Y. 1995. Amino acid composition of bakasang, a traditional fermented fish sauce from Indonesia. Journal of Microbiological Methods. 25: 236-237. Ilyas S. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid 1. Jakarta: Penerbit CV. Paripurna. Ishizuka H, Horinouchi S, Beppu T. 1993. Putresine oxidase of Micrococcus rubens and Escherichia coli primary structure. Journal of Microbiology. 139: 425-435.
91
Istanti I. 2005. Pengaruh penyimpanan terhadap karakteristik kerupuk ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis) [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Jenie BSL. 2000. Pengembangan produk makanan tradisional rendah garam berbasis ikan melalui aplikasi bakteri asam laktat penghasil bakteriosin [laporan penelitian]. Bogor: Pusat Makanan Tradisional, Institut Pertanian Bogor. Jiang JJ, Qing XZ, Zhi WZ, Li YZ. 2007. Chemical and sensory changes associated Yu-lu – A tradisional Chinese fish sauce. Food Chemistry. 104: 1629-1634. Kaseger BE. 1986. Silase limbah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Keer M, Paul L, Siylvia A, Carl R. 2002. Effect of Storage Condition on Histamine Formation in Fresh and Canned Tuna. California: Comission by Food Safety Unit. Kiline B, Sukran C, Sebnem T, Tolga D. 2006. Chemical, microbiological and sensory changes associated with fish sauce processing. Journal Food Technology. 222: 604-613. Kimata M. 1961. The histamine problem. Dalam : Borgstrom G. (editors). Fish as Food. New York: Academic Press. Kim SH, An H, Price RJ. 1999. Histamine formation and bacterial spoilage of albacore harvested off The US Northwest coast. Journal of Food Sciene. 64: 340-343. Kim SH, Ben-gigirey B, Baeeos VJ, Price RJ, An H. 2000. Histamine and biogenic amines production by Morganella morganii isolated from temperature-abuse albacore. Journal Food Protection. 63: 244:251. Kim SH, Eun JB, Chan TY, Wei CI, Clemens RA, An H. 2004. Evaluation of histamine and other biogenic amines and bacterial isolation in canned anchovies recalled by the USFDA. Journal of Food Science. 69: M157-M162. Kimura B, Konagaya Y, Fujii T. 2001. Histamine formation by Tetragenococcus muriaticus, a halophilic lactic acid bacterium isolated from fish sauce. Journal of Food Microbiology. 70: 71-77. Kizevetter IV. 1993. Chemistry and Technology at Pacific Fish. Jerusalem: Kater Press.
92
Kobayashi T, Kajiwara M, Wahyuni M, Hamada-Sato N, Imada C, Watanabe E. 2004. Effect of culture conditions on lactic acid production of Tetragenococcus species. Journal of Applied Microbiology. 96: 12151221. Kuda T, Miyamoto H, Sakajiri M, Ando K, Yano T. 2001. Microflora of fish nukazuke made in Ishikawa. Fisheries Science. 67: 296-361. ----------, Okamoto K, Yano T. 2002. Population of halophilic bacteria in salted fish product made in Loochoo Island, Okinawa and the Noto Peninsula, Ishikawa. Fisheries Science. 68: 1265-1273. -----------, Mihara T, Yano T. 2007. Detection of histamine and histamine-related bacteria in fish-nukazuke, a salted and fermented fish with rice-bran. by simple colorimetric microplate assay. Journal of Food Control. 18: 677-681. Kuhnert P, Heyberger-Meyer B, Nicolet J, Frey J. 2000. Characterization of PaxA and Its operon: a cohemolytic RTX toxin determinant from pathogenic Pasteurella aerogenes. Journal of Food Microbiology. 68: 6-12. Kung HF, Tsai YH, Hwang CC, Lee YH, Hwang JH, Wei CI. 2005. Hygienic quality and insidence of histamine forming Lactobacillus species in natural and processed cheese in Taiwan. Journal of Food Drug Analysis. 13: 51-56. Kushner DJ. 1998. Halophilic Bacteria. Applied Microbology. Vol 10. London: Academic Press. Lehane L, Olley J. 2000. Histamine fish poisoning revisited. Journal of Systematic Microbiology. 58: 1-37. Lehninger AL. 1993. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 2. Thenawidjaja M. penerjemah. Terjemahan dari Principles of Biochemistry. Jakarta: Penerbit Erlangga. Lenah. 1993. Pembuatan bakso dan sosis dari bahan dasar daging ikan cucut hasil pemasakan ekstrusi serta evaluasi mutunya [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Leuschner RG, Heidel M, Hammes WP. 1998. Histamine and tyramine degradation by food fermenting microorganisms. Journal of Food Microbiology. 39: 1-10. Lopetcharat K, Choi YJ, Park JW. 2001. Fish sauce products and manufacturing. A review: Journal Food Review. 17: 65-88.
93
Mahmud MK, Slamet RR, Apriyantono A, Hermana. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. Mah JH, Hyung KH, Young JO, Man GK, Han JW. 2002. Biogenic amines in Jeotkals; Korean salted and fermented fish product. Food Chemistry. 79: 239-243. Marioka K, Fuji S. Iton Y, Chengchu L, Obatake A. 1999. Recovery of amino acid from protein in the head and viscera of frigate mackerel by autolysis. Journal of Food Science. 65: 588-591. Marlina. 1998. Ekstraksi dan penggunaan protease lambung ikan tuna (Thunus sp.) dalam pembuatan terasi udang dan bakasang jeroan ikan kakap [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Matsumoto WM, Skillman RA. Dizon AE. 1984. Synopsis of Biological Data on Skipjack Tuna, Katsuwonus pelamis. NDAA Technical Report NMFS Circular. Mazzarano-Manzano MA, Aguilar RP, Rojas EI, Sanchez ME. 2000. Postmortem changes in black skipjack muscle during storage in ice. Journal Food Science. 65: 64-70. McLauchlin J, Little CL, Grant KA, Mithani V. 2005. poisoning. Jounal of Public Health. 28: 61-62. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. 3rd eds. Florida: CRC Press.
Scombrotoxic fish
Sensory Evaluation Techniques.
Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Moeljanto R. 1992. Swadaya.
Pengasapan dan Fermentasi Ikan.
Jakarta:
Penebar
Muller CP, Mette M, Pairat S, Lone G, Peter M. 2002. Fermentation and microflora of Plaa-som, a Thai fermented fish product prepared with different salt concentration. Journal of Food Microbiology. 73: 61-70. Mumby. 1995. Alergi. Jakarta: Penerbit Arcan. Nigous VMFC, Vidal CA, Marine F. 1990. A research note histamine and tyramin in preserved and semipreserved fish product. Journal Food Science. 54: 1653-1655.
94
Naguib K, Ayes AM, Shalaby AR. 1995. Studies on determination of biogenic amines in foods. Development of a TLC methode for the determination of eight biogenic amines in fish. Food Chemistry. 43: 134-139. Orejana FM. 1984. Histamine Production In iced Frigate Mackerel (Auxis thazard) and skipjack tuna (Katsuwonus pelamis). Institute of Fisheries Development and Research (IFDR). UPV- CV. Unpublished. Paludan MC, Madsen M, Sophonodara P. 2002. Fermentation and microflora of Plaa-som a Thai fermented fish product prepared with different salt concentration. Journal of Food Microbiology. 73: 61-67. Paleologos EK, Savvaidas IN, Kontominas MG. 2004. Biogenic amines formation and its relation to microbiological and sensory attributes in ice-stored whole gutted and filleted Mediteranean Sea bass " Dicentriarchus labrax ". Journal of Food Microbiology. 21: 547-557. Pan GS. 1984. Effect on histamine formation in tuna, bonito, mackerel. Departemen of Marine Food Science. Taiwan: National Taiwan College of Marine Food Science and Technology Keelung RCC Unpublished. Peralta RR, Shimoda M, Osajima Y. 1996. Further identification of volatile compounds in fish sauce. Food Chemistry. 44: 3606-3610. Poernomo D. 1992. Pengaruh tapioka dan garam dalam fermentasi bakteri asam laktat jeroan ikan tuna (Thunus sp.) [skripsi]. Bogor: Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Purnawijayanti HA. 2001. Sanitasi, Hygiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan. Yogyakarta: Kanisius. Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. hlm. 38-44. Rahayu S, Nasran S. 1995. Ikan kayu (katsuobushi) sebagai penyedap masakan. Jakarta: LIPI Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rawles DD, Lick GJF, Martin RE. 1996. Biogenis amines in fish sauce and shellfish. Journal of Food Nutrition Research. 39: 329-364.
95
Rengganis I. 2007. Alergi Merupakan Penyakit Sistemik. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran. Rice SL, Eitenmiller RR, Koehler PE. 1976. Biologically active amines in foods. A review. Journal of Milk and Food Technology. 39: 353-358. Ronald R, Eitenmiller, Joseph HO, Wallis W. 1999. Histamin in fish microbiology and biochemical condition. Athena: Department of Food Science, University of Georgia. Rossi S, Lee C, Ellis PC, Pivarnik LF. 2003. Biogenic amines formation in bigeye tuna steak and whole skipjack tuna. Journal of Food Science. 67: 2056-2060. Ruddle K, Ishige N. 2005. Fermented Fish Product in East Asia. Hongkong: International Resources Management Institute. Sakaguchi M. 1990. Sensory and non sensory methode for measuring freshness of fish and fishery products. Di dalam: Motohiro TH, Kodota K, Hashimoto M, Kayama M, Tokunaga T. (editors). Science of Processing Marine Food Products. Vol I. Hyogo: Japan International Coorperation Agency (JICA). Saleha S. 2003. Karakterisasi fraksi gurih dari ikan asin, ikan peda dan kecap ikan [tesis]. Bogor: Ilmu Pangan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setiyono IK. 2006. Factor affecting histamine level in Indonesian canned albacore tuna (Thunus alalunga). Norway: Department of Marine Biotechnology, University of Tromse. Shahidi F. 1998. Flavor of Meat and Meat Product. New York: Autama Press. Shewan MJ. 1962. The bacteriology of fresh and spoilage fish and some relatedchemical changes. Dalam buku: Recent Advanced in Food Science Vol 1. London: Butterworths. 167-191. Shewan MJ, Hobbs G. 1997. The Bacteriology of Fish Spoilage and Preservation. London: Pro. Industry Microbiology. Shimoda M, Peralta RR, Osajima Y. 1996. Headspace gas analysis of fish sauce. Food Chemistry. 44: 3601-3605. Siliker JH. 1980. Factor Affecting Life and Death of Microorganisms. Microbial Ecology of Foods Vol. I. London: Academic Press. Sillasantos MH. 1996. Biogenic amines; their important in food. Journal of Food Microbiology. 29: 213-221.
96
Sims GG. 1992. Quality indices for canned skipjack tuna: correlation of sensory attributes with chemical indices. Journal of Food Science. 5: 1112-1115. Slamet DS, Purawisastra. 1979. Komposisi Asam Amino dari Berbagai Makanan Indonesia. Bogor: Pusat Litbang Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. [SNI] Standard Nasional Indonesia. 1991. SNI: 01-2360-1996. Pengujian Kimia Produk Perikanan dan Penentuan Kadar Histamin. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. -----------------------------------------. 1996. SNI: 01-2718-1996. Petis Udang. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. -------------------------------------------. 1992. SNI: 01-2719-1992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Ikan Segar.
--------------------------------------------. 2006. Handbook Standar Nasional Indonesia. Pengujian Ikan dan Produk Perikanan: Cara Uji Mikrobiologi dan Kimia. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. --------------------------------------------. 2007. SNI: 01-2338-2007. Pengujian Mikroba Kontaminan pada Produk Perikanan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. ------------------------------------------. 2006. SNI: 01-2332.1-2006. Penentuan Coliform dan Escherichia coli pada Produk Perikanan. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. ------------------------------------------. 2006. SNI: 01-2332. 2-2006. Penentuan Salmonella pada Produk Perikanan. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional Soediaoetama AD. 1996. Ilmu Gizi : Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid 1. Jakarta: Dian Rakyat. Soekarto ST, Hubeis M. 2000. Metodologi Penelitian Organoleptik. Petunjuk Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Soenardi T. 2005. Manfaat Ikan Untuk Kesehatan. Dalam http://www.kompas.com/swara/index.htm [ 27 Oktober 2007] Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah: Sumantri B. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm 748.
97
Stratton JE, Hutkins RW, Taylor SL. 1991. Biogenic amines in cheese and other fermented foods: A review. Journal of Food Protection. 54: 460-470. Suhartono MT, Chandra KP, Soewanto A, Juaidi B. 1995. Kloning gen protease Bacillus stearothermophillus DSM 297 ke dalam E. coli HDS alfa dan telaah ekspresinya [laporan penelitian]. Bogor: Pusat Antar Universitas, Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sumanti DM. 1998. Mikrobiologi dalam Fermentasi Produk-produk Perikanan. Laboratorium Mikrobiologi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Supardi I, Sukamto M. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung: Penerbit Alumni. Surono IS. 2004. Probotiok Susu Fermentasi dan Kesehatan. Jakarta: Penerbit PT. Tri Cipta Karya. Suryanti, Wikanta T, Indriati N. 2006. Kandungan histamin pada berbagai produk hasil perikanan. Jakarta: Berita Riset Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 5 hlm. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein in Processing Technology. London: Applied Science Publishing. 260 hlm. Syamsudin. 1990. Farmakologi dan Terapi. Edisi 2. Jakarta: Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 5 hlm. Syah SU. 2004. Kajian perkembangan produksi histamin selama penanganan bahan pengolahan dan penyimpanan peda ikan kembung (Rastrelliger spp) [tesis]. Bogor: Program Studi Teknologi Pascapanen, Institut Pertanian Bogor. 110 hlm. Taylor SL, Behling AR. 1982. Bacterial histamine production as a function of temperature and time incubation. Journal of Food Science. 47: 1311-1312. Taylor T, Alasalvar C. 2007. Seafood: Quality, Technology and Neutracitical Applications. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Tjay TH, Rahardja K. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Jakarta: Penerbit PT. Alex Media Sampingnya. Edisi keenam. Komputindo. Tsai YH, Chueh YL, Liang TC, Tsong ML, Cheng IW, Deng FH. 2007. Histamine contents of fermented products in Taiwan and isolation of histamine forming bacteria. Food Chemistry. 98: 64-70.
98
[USFDA] United Stated Food and Drug Administration. 2001. Scombrotoxin (histamine) formation In Fish and Fisheries Products Hazards Control Guide. Washington DC: USFDA. hlm: 73-93. Veciana NMT, Albala HS, Marine FA, Vidal CMC. 1996. Changes of biogenic amines during the manufacture and storage of semi-pressured anchovies. Journal of Food Protection. 59: 1218-1222. Ward DR, Cameron H. 1991. Microbilogy of Marine Food Products. York: Van Nostrand Reinhoald.
New
Wijatur W. 2007. Pengaruh konsentrasi garam terhadap mutu ikan kembung (Rastrelliger sp.) selama fermentasi [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1993. Indonesian Fermented Foods Lecture Presented to Regional Graduate Nutrition Course. Bogor: Southeast Asia Ministers of Education Organization (SEAMEO) Bogor Agricultural University. Winarno FG. 1997. Dasar Teknologi Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. -----------------. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Yatsunami K, Echigo T. 1991. Isolation of salt tolerant histamine-forming bacteria from commercial rice-bran pickle sardine. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries. 57: 1723-1728. --------------------------------. 1992. Occurance of halotolerant and halophilic histamine-forming bacteria in red meat fish products. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries. 58: 515-520. -----------------, Takenaka T. 1994. Change in the number of halotolerant histamine-forming bacteria and contents of non-volatile amines in meat during processing of fermented sardine with rice bran. Journal of Food Microbiology. 41: 840-843. Yongsawatdigul J, Choi YJ, Udompon S. 2004. Biogenic amines formation in fish sauce prepared from fresh and temperature-abused Indian anchovy (Stolephorus indicus). Journal of Food Science. 69: 312-319. Yunizal, Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta : Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi.
99
Zaitsev VP, Kizevetter I, Lagunov, Makarova T, Minder L, Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: Mir Publisher Company.
LAMPIRAN
101
Lampiran 1. Lembar penilaian organoleptik bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) Mengacu pada petis udang (SNI 01-2718-1996) Nama Panelis : ……………………..
Tanggal : ………………………
• Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian • Berilah tanda 9 pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang di uji
Spesifikasi
Nilai
1. Penampakan
- Coklat tua, cemerlang, tak ada kotoran
9
- Coklat tua, agak cemerlang, tak ada kotoran
8
- Coklat tua, agak kusam, tak ada kotoran
7
- Coklat agak kehitaman, agak kusam, sedikit kotoran
6
- Coklat agak kehitaman, kusam, sedikit kotoran
5
- Coklat kehitaman, kusam, banyak kotoran
4
- Coklat kehitaman, tidak menarik, banyak kotoran
3
- Agak hitam, tidak menarik, banyak kotoran, sedikit jamur
2
- Hitam, tidak menarik, banyak kotoran, berjamur
1
2. Bau
- Harum, spesifikasi bakasang ikan kuat, tanpa bau tambahan, enak
9
- Harum, spesifikasi bakasang ikan kuat, tanpa bau tambahan, agak enak
8
- Harum, spesifikasi bakasang ikan sedang, sedikit bau tambahan, agak sedikit enak
7
- Harum, spesifikasi bakasang ikan lemah, sedikit bau tambahan, agak sedikit enak
6
- Harum, spesifikasi bakasang ikan lemah, bau tambahan agak keras, agak busuk
5
Kode contoh 1
2
3
4
5
102
- Tidak ada spesifikasi bakasang ikan, bau tambahan agak keras, tidak enak
4
- Tidak ada spesifikasi bakasang ikan, bau tambahan keras, agak busuk
3
- Tidak ada spesifikasi bakasang ikan, bau tambahan keras, busuk
2
- Tidak ada spesifikasi bakasang ikan, bau tambahan sangat keras, busuk
1
3. Rasa
- Enak, rasa ikan, rasa manis dan asin cukup
9
- Cukup enak, rasa ikan dominan, rasa manis cukup, rasa asin kurang
8
- Agak enak, rasa ikan sedikit berkurang, rasa manis kurang, rasa asin cukup
7
- Kurang enak, rasa ikan sedikit berkurang, rasa manis dan asin kurang
6
- Kurang enak, rasa ikan sedikit, rasa terlalu manis
5
- Tidak enak, rasa ikan sedikit, rasa manis, sedikit pahit
4
- Tidak enak, rasa ikan sedikit, rasa terlalu asin, sedikit pahit
3
- Tidak enak, tidak ada rasa ikan, rasa terlalu asin, sedikit pahit
2
- Tidak enak, tidak ada rasa ikan, rasa terlalu asin, pahit
1
4. Tekstur
- Kental sekali, homogen, lembut
9
- Kental sekali, homogen, sedikit lembut
8
- Kental, homogen, sedikit lembut
7
- Kental, homogen, agak kasar
6
- Agak kental, kurang homogen, agak kasar
5
- Agak kental, tidak homogen, agak kasar
4
- Sedikit kental, tidak homogen, kasar
3
- Padat, tidak homogen, agak kasar
2
- Padat, tidak homogen, kasar
1
103
Lampiran 2.
Lembar isian uji organoleptik bakasang hasil penelitian terbaik dengan bakasang komersial
Nama
:
Hari/Tanggal
:
Produk
: Bakasang
Instruksi
Kode Produk
: Bandingkan Penampakan, Bau, Rasa dan Tekstur produk yang disajikan terhadap produk pembanding, berilah tanda X (silang) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara :
Kode Pembanding
:
Penampakan
Bau
Sangat lebih coklat
+3
Sangat harum
+3
Lebih coklat
+2
Harum
+2
Agak lebih coklat
+1
Agak harum
+1
Tidak berbeda
0
Biasa
0
Agak kurang coklat
-1
Agak kurang harum
-1
Kurang coklat
-2
Tidak harum
-2
Sangat kurang coklat
-3
Sangat tidak harum
-3
Rasa Sangat enak
+3
Tekstur Sangat lebih kental
+3
Enak
+2
Lebih kental
+2
Agak enak
+1
Agak lebih kental
+1
Biasa
0
Tidak berbeda
0
Agak kurang enak
-1
Agak kurang kental
-1
Tidak enak
-2
Kurang kental
-2
Sangat tidak enak
-3
Sangat kurang kental
-3
Komentar panelis:
104
Lampiran 3. Jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin ) yang digunakan dalam penelitian
Lampiran 4a. Analisis ragam kadar air jeroan selama proses fermentasi Sumber
DB
Jumlah Kuadrat
Perlakuan
4
38,18982667 9,54745667
Galat
10
10,54213333 1,05421333
Total
14
48,73196000
Ket: **= sangat beda nyata
Kuadrat Tengah
F Hitung
F table 0.05 0.01
9,06 2,132 3,474 0,0023** 1,812 2,764
DB= derajat bebas
Lampiran 4b. Uji Duncan kadar air jeroan selama fermentasi Perlakuan F0 F2 F4 F6 F8
Rata-rata 75,8667 74,5567 72,7867 72,1367 71,5733
N 3 3 3 3 3
Duncan A AB BC C C
Ket: F0, F2, F4, F6, F8 = Lama fermentasi 0, 2, 4, 6, 8 hari
Nilai P
105
Lampiran 5. Analisis ragam kadar protein jeroan selama proses fermentasi Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
Sumber
DB
Perlakuan
4
18,30009333 4,57502333
Galat
10
13,94066667 1,39406667
Total
14
32,24076000
F tabel 0,05
0,01
Nilai P
3,28 2,132 3,474 0,0580tb) 1,812 2,764
Ket : tb = tidak beda nyata
Lampiran 6. Analisis ragam nilai pH jeroan selama proses fermentasi Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Sumber
DB
Perlakuan
4
0,5356000 0,01339000
Galat
10
0,0453333 0,00453333
Total
14
0,0988933
F Hitung
F table 0,05
0,01
Nilai P
2,95 2,132 3,474 0,0751tb) 1,812 2,764
Ket: tb = tidak beda nyata
Lampiran 7. Analisis ragam kadar histamin jeroan selama proses fermentasi Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Sumber
DB
Perlakuan
4
241,7780933 60,4445233
Galat
10
176,1922000 17,6192200
Total
14
417,9702933
F Hitung
F table 0,05
0,01
Nilai P
3,43 2,132 3,474 0,0518tb) 1,812 2,764
Ket : tb = tidak beda nyata
Lampiran 8a. Analisis ragam log total mikroba jeroan selama proses fermentasi Jumlah Kuadrat
Sumber
DB
Perlakuan
4
Galat
10
9177,76500
Total
14
26414,57100
Ket: * beda nyata
Kuadrat Tengah
17236,80600 4309,20150 917,77650
F Hitung
F table 0,05
0,01
Nilai P
4,70 2,132 3,474 0,0216* 1,812 2,764
106
Lampiran 8b. Uji Duncan log total mikroba jeroan selama fermentasi Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
F0 F2 F4 F6 F8
4,2867 4,8633 4,9867 5,0500 5,1467
3 3 3 3 3
B A A A A
Ket: F0, F2, F4, F6, F8 = Lama fermentasi 0, 2, 4, 6, 8 hari
Lampiran 9. Produk bakasang jeroan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin) pada setiap kombinasi perlakuan lama fermentasi dan lama penyimpanan
Bakasang F2P0, F2P30, F2P60, F2P90
Bakasang F4P0, F4P30, F4P60, F4P90
107
Bakasang F6P0, F6P30, F6P60, F6P90
Bakasang F8P0, F8P30, F8P60, F8P90
Lampiran 10a. Analisis ragam kadar air bakasang Sumber
DB
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Perlakuan
15
95,7902479
6,3860165
F
3
26,93778958
8,97926319
9,39
0,0001**
P
3
65,35832292 21,78610764
22,78
<,0001**
F*P
9
3,49413542
0,38823727
0,41
0,9226tb)
Galat
32
30,6032000
0,9563500
Total
47
126,3934479
Ket: ** = sangat beda nyata F= Lama fermentasi
F Hitung
tb = tidak beda nyata P= Lama penyimpanan
F table 0,05
0,01
Nilai P
6,68 1,753 2,602 <,0001**
1,645 2,326 DB = derajat bebas F*P = Interaksi
108
Lampiran 10b. Uji Duncan kadar air pada lama fermentasi Perlakuan F2 F4 F6 F8
Rata-rata 77,628 77,1783 76,4750 75,6475
N 12 12 12 12
Duncan A AB B C
Ket: F0, F2, F4, F6, F8 = Lama fermentasi 0, 2, 4, 6, 8 hari
Lampiran 10c. Uji Duncan kadar air bakasang pada lama penyimpanan Perlakuan P0 P30 P60 P90
Rata-rata 75,0242 76,4483 77,2467 78,2100
N 12 12 12 12
Duncan C B B A
Ket: P0, P30, P60, P90 = Lama penyimpanan 0, 30, 60, 90 hari
Lampiran 11a. Analisis ragam kadar protein bakasang Sumber
DB
Perlakuan F P F*P Galat Total
15 3 3 9 32 47
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
197,5829979 13,1721999 23,0550396 7,6850132 163,7717063 54,5905688 10,7562521 1,1951391 52,6565333 1,6455167 250,2395313
Ket: ** sangat beda nyata
F table 0,05
0,01
Nilai P
8,00 1,753 2,602 <,0001** 4,67 0,0081** 33,18 <,0001** 0,73 0,6816tb) 1,645 2,326
tb= tidak beda nyata
DB= derajat bebas
Lampiran 11b. Uji Duncan kadar protein pada lama fermentasi Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
F2 F4 F6 F8
47,2942 46,1667 45,9633 45,3833
12 12 12 12
A B B B
109
Lampiran 11c. Uji Duncan kadar protein bakasang pada lama penyimpanan Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
P0 P30 P60 P90
48,6800 46,9767 45,4742 43,6767
12 12 12 12
A B C D
Lampiran 12a. Analisis ragam nilai pH bakasang Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
F table
Sumber
DB
Perlakuan
15
2,15666458 0,14377764
F
3
0,02028958 0,00676319
1,28
0,2976 tb)
P
3
2,11963958 0,70654653
133,84
<,0001**
F*P
9
0,01673542 0,00185949
0,35
0,9492tb)
Galat
32
0,16893333 0,00527917
Total
47
2,32559792
Ket: ** sangat beda nyata
0,05
0,01
Nilai P
27,23 1,753 2,602 <,0001**
1,645 2,326
tb = tidak beda nyata
Lampiran 12b. Uji Duncan nilai pH bakasang pada lama penyimpanan Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
B1 B2 B3 B4
5,71583 5,77833 6,13000 6,19500
12 12 12 12
B C B A
Lampiran 13a. Analisis ragam kadar histamin bakasang Sumber
DB
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
F table 0,05
Nilai P
0,01
Perlakuan
15
6111,292867
407,419524
21,86 1,753 2,602 <,0001**
F
3
1475,900550
491,966850
26,39
<,0001**
P
3
4221,891000 1407,297000
75,49
<,0001**
F*P
9
413,501317
45,944591
2,46
0,0291*
Galat
32
596,538000
18,641812
Total
47
6707,830867
1,645 2,326
110
Lampiran 13b. Uji Duncan kadar histamin bakasang selama interaksi Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
F2P0
18,587
3
K
F2P30
22,527
3
JK
F2P60
28,437
3
FGHIJ
F2P90
36,077
3
CDEF
F4P0
22,157
3
JK
F4P30
27,830
3
GHIJ
F4P60
35,010
3
DEFG
F4P90
43,587
3
BC
F6P0
25,457
3
IJK
F6P30
31,210
3
EFGHI
F6P60
37,737
3
CDE
F6P90
49,840
3
B
F8P0
26,727
3
HIJ
F8P30
34,313
3
DEFGH
F8P60
41,137
3
CD
F8P90
64,197
3
A
Lampiran 14a. Analisis ragam log total mikroba bakasang Sumber
DB
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
Perlakuan
15
74,63571458
4,97571431
129,79 1,753 2,602 <,0001**
F
3
0,64295625
0,21431875
5,59
0,0034**
P
3
73,50968958 24,50322986
639,18
<,0001**
F*P
9
0,48306875
0,05367431
1,40
0,2293tb)
Galat
32
1,22673333
0,03833542
Total
47
75,86244792
Ket: ** sangat beda nyata
tb = tidak beda nyata
F table 0,05
0,01
1,645 2,326
Nilai P
111
Lampiran 14b. Uji Duncan log total mikroba bakasang pada lama fermentasi Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
F2 F4 F6 F8
6,58667 6,78417 6,86833 6,87167
12 12 12 12
B A A A
Lampiran 14c. Uji Duncan log total mikroba bakasang pada lama penyimpanan Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
P0 P30 P60 P90
4,76167 7,07417 7,14000 8,13500
12 12 12 12
C B B A
Lampiran 15a. Analisis ragam log total kapang bakasang Sumber
DB
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Perlakuan
15
104,5467979
6,9697865
F
3
2,17462292
0,72487431
P
3
F*P
9
2,40565208
0,26729468
Galat
32
0,4541333
0,0141917
Total
47
105,0009312
F Hitung
F tabel 0,05
0,01
491,12 1,753 2,602
Nilai P
<,0001**
51,08
<,0001**
99,96652292 33,32217431 2348,01
<,0001**
18,83
<,0001** 1,645 2,326
112
Lampiran 15b. Uji Duncan log total kapang bakasang selama interaksi
Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
F2P0
3,27667
3
H
F2P30
6,66000
3
D
F2P60
6,07333
3
F
F2P90
8,23667
3
A
F4P0
4,53667
3
G
F4P30
6,80000
3
CD
F4P60
6,21667
3
EF
F4P90
8,27667
3
A
F6P0
4,68000
3
G
F6P30
6,94667
3
BC
F6P60
6,20000
3
BF
F6P90
8,34333
3
A
F8P0
4,69000
3
G
F8P30
7,02333
3
B
F8P60
6,33667
3
E
F8P90
8,39333
3
A
113
Lampiran 16.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari)
F2P0 8 9 9 9 8 9 6 7 9 8 8 7 8 9 8 7 7 8 8 7 7 7 7 8 7 7 7 9 8 9 7,8
Bakasang F4P0 F6P0 7 6 6 8 8 7 6 6 6 6 9 8 9 8 8 8 7 7 7 8 7 8 6 8 7 6 6 6 5 6 8 9 7 8 8 7 6 7 6 8 7 9 7 8 8 8 7 8 9 8 9 6 9 8 7 8 9 8 9 8 7,3 7,5
F2P0 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 0 hari F4P0 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 0 hari F6P0 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 0 hari F8P0 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 0 hari
F8P0 8 8 8 6 8 9 8 7 8 8 7 7 8 7 6 8 6 8 6 8 7 6 6 7 6 9 6 7 8 8 7,3
114
Lampiran 17. Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari) Bakasang F2P30 F4P30 F6P30 F8P30 1 7 5 8 7 2 7 8 7 8 3 6 5 8 7 4 9 8 6 7 5 8 8 6 8 6 7 7 6 8 7 5 6 8 8 8 8 8 7 8 9 6 8 8 7 10 6 6 7 6 11 8 8 8 7 12 9 8 8 7 13 9 6 7 7 14 6 7 7 5 15 7 8 7 7 16 8 8 8 5 17 6 6 6 6 18 7 8 8 5 19 6 8 8 6 20 8 8 8 4 21 8 6 5 7 22 7 6 5 8 23 7 8 7 8 24 7 9 7 5 25 8 7 7 5 26 7 6 6 7 27 6 7 7 7 28 7 8 6 8 29 8 5 8 8 30 7 6 7 5 Rata-rata 7,2 7,1 7,0 6,7 F2P0 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 30 hari F4P0 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 30 hari F6P0 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 30 hari F8P0 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 30 hari
Panelis
115
Lampiran 18. Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari) Bakasang F2P60 F4P60 F6P60 F8P60 1 8 7 8 9 2 7 6 9 9 3 7 6 8 9 4 7 6 8 7 5 8 8 8 8 6 8 8 8 8 7 7 7 7 7 8 9 4 6 7 9 9 7 6 6 10 7 7 7 8 11 8 8 9 9 12 7 6 7 6 13 7 8 8 7 14 9 7 8 8 15 8 7 9 8 16 6 7 8 9 17 8 8 9 9 18 7 9 7 6 19 7 4 6 6 20 4 7 6 7 21 8 8 8 9 22 7 8 8 8 23 7 8 7 8 24 7 7 6 9 25 8 5 7 7 26 6 7 6 7 27 7 6 6 9 28 8 5 8 9 29 9 5 9 6 30 8 6 8 7 Rata-rata 7,4 6,7 7,5 7,7 F2P60 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 60 hari F4P60 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 60 hari F6P60 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 60 hari F8P60 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 60 hari Panelis
116
Lampiran 19. Data uji penilaian organoleptik penampakan bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari) Bakasang F2P90 F4P90 F6P90 F8P90 1 7 8 6 4 2 5 4 9 8 3 6 5 7 9 4 7 6 5 7 5 5 5 7 6 6 7 6 7 7 7 7 7 7 7 8 5 4 8 8 9 5 6 6 6 10 4 4 7 4 11 8 7 5 6 12 8 7 5 6 13 8 7 8 8 14 8 8 9 8 15 7 6 7 7 16 7 5 6 4 6 17 7 7 6 18 5 8 9 8 19 4 9 6 5 6 20 6 6 6 21 6 9 5 6 22 7 6 7 7 23 6 5 7 6 24 8 7 5 9 25 7 6 6 9 26 8 7 5 8 27 8 6 7 6 28 7 6 7 4 29 7 3 5 5 5 30 6 2 6 Rata-rata 6,5 6,1 6,5 6,5 F2P90 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 90 hari F4P90 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 90 hari F6P90 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 90 hari F8P90 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 90 hari Panelis
117
Lampiran 20a. Hasil Uji Kruskal-Wallis organoleptik bakasang Parameter
DB
Chisquare Hitung
Penampakan
15
Bau
Chisquare table
Nilai P
0.05
0.01
50,933
24,996
30,578
0,0001**
15
41,384
24,996
30,578
0,0003**
Rasa
15
54,989
24,996
30,578
0,0001**
Tekstur
15
19,980
24,996
30,578
0,1727 tb)
Ket: ** sangat beda nyata
tb= tidak beda nyata
Lampiran 20b. Uji Multiple Comparissson penampakan bakasang Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
F2P0 F2P30 F2P60 F2P90 F4P0 F4P30 F4P60 F4P90 F6P0 F6P30 F6P60 F6P90 F8P0 F8P30 F8P60 F8P90
337,48 262,35 261,87 202,58 278,47 257,17 213,00 167,17 300,97 250,95 217,10 193,27 279,55 220,27 203,50 202,32
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
A ABC BCD CDE ABC BCD CDE E AB BCD CDE DE ABC CDE CDE CDE
118
Lampiran 21.
Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari)
Bakasang F2P0 F4P0 F6P0 F8P0 1 8 9 8 7 2 8 8 8 9 3 9 8 8 9 4 9 8 8 9 5 9 8 9 8 6 8 8 8 9 7 7 9 7 8 8 8 8 5 5 9 7 7 8 7 10 9 7 7 8 11 8 8 7 7 12 8 9 7 9 13 9 8 9 8 14 9 8 7 8 15 8 7 8 7 16 8 9 7 7 17 7 8 6 8 18 8 8 8 8 19 7 7 7 7 20 6 8 7 8 21 6 8 7 7 22 7 8 7 8 23 7 7 7 9 24 7 9 9 9 25 8 8 7 9 26 8 8 8 8 27 7 8 8 9 28 7 6 7 8 29 8 8 8 8 30 8 6 8 9 Rata-rata 7,8 7,9 7,5 8,0 F2P0 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 0 hari F4P0 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 0 hari F6P0 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 0 hari F8P0 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 0 hari Panelis
119
Lampiran 22.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari)
F2P30 7 8 6 8 5 7 4 8 9 9 7 8 6 8 7 8 6 5 6 7 5 7 8 6 8 9 9 8 7 7 7,1
Bakasang F4P30 F6P30 4 9 8 8 4 7 8 8 6 9 8 5 7 8 8 8 8 7 8 6 7 9 7 9 8 7 6 5 7 7 8 8 6 6 7 6 7 8 7 6 6 9 8 5 7 7 8 6 8 7 7 6 6 7 7 7 8 8 8 8 7,1 7,2
F2P30 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 30 hari F4P30 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 30 hari F6P30 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 30 hari F8P30 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 30 hari
F8P30 8 7 4 7 7 8 7 7 8 8 8 7 8 7 7 8 8 4 7 8 4 7 4 8 7 8 4 6 8 7 6,9
120
Lampiran 23.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari)
F2P60 8 7 7 7 8 8 7 9 9 7 8 7 7 9 8 6 8 7 7 4 8 7 7 7 8 6 7 8 9 8 7,4
Bakasang F4P60 F6P60 7 8 6 9 6 8 6 8 8 8 8 8 7 7 4 6 7 6 7 7 8 9 6 7 8 8 7 8 7 9 7 8 8 9 9 7 4 6 7 6 8 8 8 8 8 7 7 6 5 7 7 6 6 6 5 8 5 9 6 8 6,7 7,5
Rata-rata F2P60 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 60 hari F4P60 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 60 hari F6P60 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 60 hari F8P60= Fermentasi 8 hari penyimpanan 60 hari
F8P60 9 9 9 7 8 8 7 7 6 8 9 6 7 8 8 9 9 6 6 7 9 8 8 9 7 7 9 9 6 7 7,7
121
Lampiran 24.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Data uji penilaian organoleptik bau bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari)
F2P90 7 8 8 8 7 8 7 8 8 8 8 7 9 7 7 8 8 7 7 8 8 8 7 6 7 6 8 9 6 7 7,5
Bakasang F4P90 F6P90 8 9 8 8 7 7 7 8 6 8 7 6 7 7 7 8 7 7 7 9 8 9 7 8 9 8 6 7 8 7 8 7 7 6 7 6 5 6 6 7 6 8 8 7 8 6 7 7 7 7 6 6 9 8 9 9 7 9 6 7 7,2 7,4
F8B90 9 8 8 9 7 9 7 8 8 8 8 7 7 6 5 5 5 7 6 5 8 7 7 8 9 7 6 7 8 6 7,2
Rata-rata F2P90 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 90 hari F4P90 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 90 hari F6P90 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 90 hari F8P90 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 90 hari
122
Lampiran 25a. Hasil Uji Kruskal-Wallis organoleptik bakasang Parameter
DB
Chisquare Hitung
Penampakan
15
Bau
Chisquare table
Nilai P
0.05
0.01
50,933
24,996
30,578
0,0001**
15
41,384
24,996
30,578
0,0003**
Rasa
15
54,989
24,996
30,578
0,0001**
Tekstur
15
19,980
24,996
30,578
0,1727 tb)
Ket: ** sangat beda nyata
tb= tidak beda nyata
Lampiran 25b. Uji Multiple Comparisson bau bakasang Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
F2P0 F2P30 F2P60 F2P90 F4P0 F4P30 F4P60 F4P90 F6P0 F6P30 F6P60 F6P90 F8P0 F8P30 F8P60 F8P90
248,68 213,67 244,33 248,93 302,37 206,98 171,18 204,87 249,78 219,38 252,03 233,93 319,15 199,93 279,08 217,68
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
ABC CDEF ABCDEF ABCDE AB CDEF F DEF ABCDE CDEF ABCDE BCDEF A EF ABCD CDEF
123
Lampiran 26.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Data uji penilaian organoleptik rasa bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari)
F6P0 9 9 4 8 4 4 9 7 6 9 7 7 5 2 3 4 7 9 8 6 9 7 3 5 8 4 6 6 9 7 6,4
Bakasang F6P0 F6P0 4 9 9 6 8 7 9 8 4 9 7 7 9 7 8 1 4 8 9 7 7 6 9 8 7 3 8 8 3 9 7 8 7 7 9 8 8 7 8 8 8 8 7 8 4 8 4 3 5 7 5 6 8 9 9 3 7 3 8 8 7,0 6,8
Rata-rata F2P0 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 0 hari F4P0 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 0 hari F6P0 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 0 hari F8P0 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 0 hari
F8P0 8 8 4 9 7 7 8 7 7 8 7 9 3 8 9 7 8 6 7 6 7 8 7 8 7 6 9 4 7 7 7,1
124
Lampiran 27.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Data uji penilaian organoleptik rasa bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari)
F4P30 4 9 3 7 6 7 9 7 7 5 6 7 7 5 8 8 6 6 5 5 7 5 7 3 3 9 5 7 8 7 6,3
Bakasang F4P30 F6P30 9 9 9 9 7 3 7 7 7 7 4 6 7 7 7 3 3 7 3 3 7 8 9 9 7 8 9 9 9 6 7 8 8 8 8 7 6 8 6 7 8 6 8 6 8 7 4 7 8 6 8 6 9 6 3 6 8 7 8 6 7,0 6,7
Rata-rata F2P30 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 30 hari F4P30 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 30 hari F6P30 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 30 hari F8P30 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 30 hari
F8P30 4 7 4 9 7 3 3 2 3 7 4 7 7 9 9 7 8 7 8 7 9 8 4 7 8 8 7 8 7 9 6,6
125
Lampiran 28.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Data uji penilaian organoleptik rasa bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari)
F2P60 7 6 5 7 7 7 7 7 7 4 3 7 7 6 7 6 6 8 8 7 5 6 8 7 6 3 6 6 7 8 6,4
Bakasang F4P60 F6P60 3 8 5 7 2 7 6 7 6 7 7 7 5 8 7 3 4 7 4 7 3 4 6 7 6 4 6 5 7 8 7 4 6 7 9 7 8 7 6 8 4 7 4 7 6 7 7 9 7 9 8 4 8 6 7 3 7 5 8 4 6,0 6,3
Rata-rata F2P60 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 60 hari F4P60 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 60 hari F6P60 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 60 hari F8P60 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 60 hari
F8P60 7 6 7 8 4 8 7 3 7 8 7 9 3 7 7 4 8 7 7 7 7 9 5 4 7 6 6 3 7 6 6,4
126
Lampiran 29.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Data uji penilaian organoleptik rasa bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari)
F2P90 3 7 4 6 4 7 3 7 8 3 4 4 4 3 4 3 3 9 6 8 7 4 7 7 4 8 9 3 6 7 5,4
Bakasang F4P90 F6P90 3 7 7 2 4 7 3 6 4 6 7 3 3 9 7 8 7 4 4 7 3 7 4 3 8 4 1 6 3 6 1 7 3 3 8 3 4 4 6 6 4 4 8 2 9 7 6 6 7 8 7 7 3 8 6 4 6 3 3 9 5,0 5,5
Rata-rata F2P90 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 90 hari F4P90 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 90 hari F6P90 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 90 hari F8P90 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 90 hari
F8P90 6 1 6 7 6 3 8 7 8 6 4 3 7 6 4 6 6 7 6 3 7 6 6 4 2 6 8 1 1 4 5,2
127
Lampiran 30a. Hasil Uji Kruskal-Wallis organoleptik bakasang Parameter
DB
Chisquare Hitung
Penampakan
15
Bau
Chisquare table
Nilai P
0.05
0.01
50,933
24,996
30,578
0,0001**
15
41,384
24,996
30,578
0,0003**
Rasa
15
54,989
24,996
30,578
0,0001**
Tekstur
15
19,980
24,996
30,578
0,1727 tb)
Ket: ** sangat beda nyata
tb= tidak beda nyata
Lampiran 30b. Uji Miltiple Comparisson rasa bakasang Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
F2P0 F2P30 F2P60 F2P90 F4P0 F4P30 F4P60 F4P90 F6P0 F6P30 F6P60 F6P90 F8P0 F8P30 F8P60 F8P90
250,50 232,60 232,37 184,90 300,30 303,65 210,73 161,55 291,00 264,43 244,25 190,92 300,50 272,28 243,02 165,00
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
ABCD ABCDE ABCDE DE A A BCDE E A ABC ABCD CDE A AB ABCD E
128
Lampiran 31.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 0 hari)
F2P0 6 6 6 6 5 5 5 6 7 7 7 8 7 8 5 5 5 6 8 9 8 6 6 7 8 5 5 6 7 6 6,4
Bakasang F4P0 F6P0 6 9 6 5 7 6 6 7 6 5 6 5 6 7 4 7 6 7 7 7 7 7 6 8 6 7 6 6 7 6 7 6 8 6 8 7 6 6 7 7 8 6 6 5 6 7 7 5 7 5 6 6 6 6 5 9 7 5 7 8 6,4 6,4
Rata-rata F2P0 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 0 hari F4P0 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 0 hari F6P0 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 0 hari F8P0 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 0 hari
F8P0 6 5 6 5 5 5 7 7 6 7 8 8 5 7 5 8 6 7 5 7 6 8 7 6 6 8 8 6 7 7 6,5
129
Lampiran 32.
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 30 hari)
F2P30 5 6 5 5 6 7 5 7 6 7 6 6 7 5 7 5 6 7 7 7 5 8 7 8 5 7 5 5 8 4 6,1
Bakasang F4P30 F6P30 5 8 7 6 7 8 6 7 6 7 5 5 8 5 6 5 8 5 7 5 7 8 6 9 8 5 8 7 6 5 5 8 6 8 8 5 8 9 8 7 8 6 5 5 4 5 7 9 3 7 7 8 6 6 5 5 6 9 8 7 6,5 6,6
Rata-rata F2P30 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 30 hari F4P30 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 30 hari F6P30 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 30 hari F8P30 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 30 hari
F8P30 7 6 4 6 5 4 5 7 5 5 5 6 7 8 9 9 8 7 6 6 8 6 9 9 7 4 6 8 8 7 6,6
130
Lampiran 33.
Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 60 hari) Bakasang
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
F2P60 7 7 5 6 5 7 5 5 5 6 2 7 7 5 7 5 4 7 6 7 5 5 6 8 7 5 4 7 7 6 5,8
F4P60 7 5 4 5 5 7 4 4 5 6 2 6 6 5 7 7 4 8 7 7 8 6 8 8 7 6 6 7 4 7 5,9
F6P60 7 4 6 7 3 7 5 7 7 5 7 8 7 6 8 5 5 7 6 5 5 8 3 7 7 7 8 6 6 7 6,2
Rata-rata F2P60 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 60 hari F4P60 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 60 hari F6P60 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 60 hari F8P60 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 60 hari
F8P60 7 2 7 5 4 7 5 8 7 5 7 7 8 6 8 4 5 4 4 7 7 8 6 6 7 8 5 3 6 7 6,0
131
Lampiran 34.
Panelis
Data uji penilaian organoleptik tekstur bakasang kombinasi lama fermentasi dan lama penyimpanan (penyimpanan 90 hari) Bakasang
F2P90 F4P90 F6P90 F8P90 1 6 5 7 6 2 5 5 7 8 3 6 5 2 6 4 7 6 8 5 5 7 6 7 8 6 4 4 5 5 7 5 5 2 5 8 4 4 5 7 9 6 5 6 6 10 8 8 6 5 11 8 8 7 6 12 5 2 8 4 13 4 3 5 7 14 6 7 2 2 15 6 6 5 5 16 7 4 6 6 17 7 6 7 7 18 5 7 5 5 19 6 8 6 2 20 8 7 6 2 21 8 8 5 9 22 5 6 7 8 23 5 5 7 6 24 4 6 8 5 25 6 6 2 6 26 7 4 9 2 27 6 4 5 2 28 5 6 8 7 29 5 7 6 6 30 7 7 5 5 5,9 5,7 5,8 5,4 Rata-rata F2P90 = Fermentasi 2 hari penyimpanan 90 hari F4P90 = Fermentasi 4 hari penyimpanan 90 hari F6P90 = Fermentasi 6 hari penyimpanan 90 hari F8P90 = Fermentasi 8 hari penyimpanan 90 hari
132
Lampiran 35. Data organoleptik uji perbandingan pasangan bakasang F4P0 Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Penampakan -2 -1 -1 -1 -2 -2 -1 -1 -1 -1 -1 -1 2 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -2 -1 -1 -2 -1 -1,1
Parameter Bau Rasa 1 1 2 1 2 1 2 2 2 -2 2 -1 1 1 2 3 2 1 1 3 2 2 0 -1 0 1 1 0 1 0 1 0 3 -1 1 1 1 2 2 3 1 2 2 2 2 3 1 2 3 3 3 -1 3 1 3 0 2 0 2 1 1,7 1,0
Tekstur -2 -2 -2 -1 -3 -3 -1 -1 -1 -2 -1 -2 -1 1 -1 -1 -1 -2 1 -2 -2 -1 -1 -2 -3 -3 -1 -1 -2 -3 -1,5
133
Lampiran 36. Data organoleptik uji perbandingan pasangan bakasang F8P0
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Penampakan 2 -1 -1 -1 2 -2 -1 -1 -1 -2 -2 -1 -1 -1 -1 -1 -2 -2 -1 -1 -1 -1 -2 2 -1 -2 -1 2 2 -1 -0,7
Parameter Bau Rasa -1 2 -1 1 2 1 1 0 -1 -2 -1 2 -1 -1 2 3 2 2 -1 1 1 2 3 2 2 0 2 0 2 0 3 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 3 3 0 1 2 3 3 2 3 2 2 1 1 -1 3 3 2 3 2 1,3 1,4
Tekstur -1 3 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 1 -1 -2 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -2 -2 3 3 3 -1 -1 -0,5
134
Lampiran 37a. Hasil uji Kruskal-Wallis organoleptik bakasang terpilih dan bakasang komersial Parameter
DB Chisquare Hitung
Chisquare tabel 0,05
0,01
Nilai P
Penampakan
2
2,2985
5,991
9,210
0,3169tb)
Bau
2
17,3771
5,991
9,210
0,0002**
Rasa
2
4,5740
5,991
9,210
0,1016 tb)
Tekstur
2
0,9657
5,991
9,210
0,6170 tb)
Ket: ** sangat beda nyata
tb = tidak beda nyata
Lampiran 37b. Uji Multiple Comparisson terhadap bau bakasang terpilih dan bakasang komersial Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
Komersial
30,017
30
B
F4P0
51,333
30
A
F8P0
55,150
30
A
Lampiran 38. Analisis ragam kadar air bakasang terpilih dan bakasang komersial Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Sumber
DB
Perlakuan
2
4,30975556 2,15487778
Galat
6
28,05113333 4,67518889
Total
8
32,36088889
F table F Hitung 0,05 0,01
0,46 5,14 10,92
Nilai P
0,6513 tb)
Ket : tb = tidak beda nyata
Lampiran 39. Analisis ragam kadar protein bakasang terpilih dan bakasang komersial Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Sumber
DB
Perlakuan
2
35,07226667 17,53613333
Galat
6
20,73613333
Total
8
55,80840000
Ket: tb = tidak beda nyata
3,45602222
F Hitung 5,07
F table 0,05
0,01
5,14 10,92 1,943 1,440
Nilai P 0,0513 tb)
135
Lampiran 40a. Analisis ragam nilai pH bakasang terpilih dan bakasang komersial Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
Sumber
DB
Perlakuan
2
0,50106667 0,25053333
Galat
6
0,05833333 0,00972222
Total
8
0,55940000
25,77
F table 0,05
0,01
5,14 10,92
Nilai P
0,0011**
1,943 1,440
Ket: ** sangat beda nyata
Lampiran 40b. Uji Duncan nilai pH bakasang terpilih dan bakasang komersial Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
Komersial
6,21000
30
A
F4P0
5,72333
30
B
F8P0
5,69667
30
B
Lampiran 41a. Analisis ragam kadar histamin bakasang terpilih dan bakasang komersial Jumlah Kuadrat
F Hitung
Kuadrat Tengah
Sumber
DB
Perlakuan
2
Galat
6
440,0143
Total
8
155939,5152
155499,5008 77749,7504 1060,19 73,3357
F table 0,05
0,01
Nilai P
5,14 10,92 <,0001** 1,943 1,440
Ket : ** sangat beda nyata
Lampiran 41b. Uji Duncan kadar histamin bakasang terpilih dan bakasang komersial Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
Komersial
303,250
30
A
F4P0
22,157
30
B
F8P0
26,727
30
B
136
Lampiran 42a. Analisis ragam log total mikroba bakasang terpilih dan bakasang komersial Sumber
DB
Perlakuan
2
Galat
6
Total
8
Jumlah
Kuadrat
F
Kuadrat
Tengah
Hitung
12,14175556 6,07087778 1797,30 0,02026667 0,00337778
F table Nilai P 0,05
0,01
5,14 10,92 <,0001** 1,943 1,440
12,16202222
Lampiran 42b. Uji Duncan log total mikroba bakasang terpilih dan bakasang komersial Perlakuan Komersial F4P0 F8P0
Rata-rata 7,35000 4,75667 5,04000
N 30 30 30
Duncan A C B
Lampiran 43a. Analisis ragam log total kapang bakasang terpilih dan bakasang komersial Sumber
DB
Perlakuan
2
Galat
6
Total
8
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
15,12362222 7,56181111 864,76 0,05246667 0,00874444
F table 0,05
0,01
Nilai P
5,14 10,92 <,0001** 1,943 1,440
15,17608889
Ket : ** sangat beda nyata
Lampiran 43b. Uji Duncan log total kapang bakasang terpilih dan bakasang komersial Perlakuan
Rata-rata
N
Duncan
Komersial
7,36000
30
A
F4P0
4,53667
30
B
F8P0
4,69000
30
B
137
Lampiran 44. Analisis ragam kadar protein bakasang terbaik berdasarkan aspek kimia Sumber
DB
Jumlah
Kuadrat
F
Kuadrat
Tengah
Hitung
Perlakuan
2
35,07226667 17,53613333
Galat
6
20,73613333
Total
8
55,80840000
F tabel 0,05
0,01
Nilai P
Kesimpulan
5,07 5,14 10,92 0,0513
tb)
3,45602222
Keterangan : tb) = tidak berbeda nyata
Lampiran 45a. Analisis ragam kadar histamin bakasang terbaik bererdasarkan aspek kimia F Sumber
DB
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Perlakuan
2
155499,50082222
77749,75041111
Galat
6
440,01433333
73,33572222
Total
8
155939,51515556
Hitung 1060,19
F tabel 0,05
0,01
5,14
10,92
Nilai P
Kesimpulan
0,0001
**
Keterangan: ** = sangat beda nyata
Lampiran 45b. Uji lanjut Duncan kadar histamin bakasang terbaik berdasarkan aspek kimia Perlakuan Komersial
Rata-rata
N
Duncan
303,250
3
A
F4P0
22,157
3
B
F8P0
26,727
3
B
138
Lampiran 46. Data uji pendugaan masa simpan bakasang terhadap kadar histamin Kombinasi perlakuan
Histamin (ppm)
Kombinasi perlakuan
Histamin (ppm)
Kombinasi perlakuan
Kombinasi
Histamin (ppm)
perlakuan
Histamin (ppm)
F2P0
0
18,59
F4P0
0
22,16
F6P0
0
25,46
F8P0
0
26,73
F2P30
30
22,53
F4P30
30
27,83
F6P30
30
31,21
F8P30
30
34,31
F2P60
60
28,44
F4P60
60
35,01
F6P60
60
37,74
F8P60
60
41,14
F2P90
90
36,08
F4P90
90
43,59
F6P90
90
49,84
F8P90
90
64,20
120
41,00
120
50,01
120
55,98
120
71,40
150
46,84
150
57,16
150
63,95
150
83,32
180
52,68
180
64,30
180
71,92
180
95,24
210
58,52
210
71,45
210
79,89
210
107,16
240
64,35
240
78,59
240
87,85
240
119,08
270
70,19
270
85,74
270
95,82
270
131,01
300
76,03
300
92,89
300
103,79
300
142,93
330
81,87
330
100,03
330
111,76
330
154,85
360
87,71
360
107,18
360
119,73
360
166,77
390
93,54
390
114,32
390
127,69
390
178,69
420
99,38
420
121,47
420
135,66
420
190,62
450
105,22
450
128,62
450
143,63
450
202,54
Lampiran 47. Rekapitulasi data preparasi jeroan ikan cakalang Ulangan
Kadar air (%)
Kadar protein (%)
Nilai pH
TVB (mgN/100 g)
Histamin (ppm)
Log total mikroba
1
79,14
2
75,82
54,42
6,1
12,31
12,53
3,74
50,88
6,08
33,41
20,02
4,95
3
77,19
51,38
5,87
22,11
18,75
3,88
Rata-rata
77,38
52,23
6,02
22,61
17,1
4,19
Stdev
1,67
1,92
0,13
10,56
4,01
0,66
139
Lampiran 48. Rekapitulasi data lama fermentasi jeroan ikan cakalang Sampel
Ulangan
Kadar air (%)
Kadar protein (%)
Nilai pH
Histamin (ppm)
Log total mikroba
1
77,1
53,6
5,7
14,6
3,8
2
74,6
50,0
5,6
22,7
5,0
3
75,9
51,4
5,6
22,6
4,0
Rata-rata
75,87
51,63
5,66
19,95
4,29
Stdev
1,2
1,8
0,1
4,7
0,7
1
76,1
51,8
5,8
18,1
4,7
2
73,7
49,0
5,8
25,3
5,0
F0
F2
3 Rata-rata Stdev
73,9
52,1
5,7
24,0
4,9
74,56
50,94
5,76
22,46
4,86
1,4
1,7
0,1
3,9
0,1
1
73,2
51,1
5,9
20,5
4,9
2
73,3
50,8
5,8
26,3
5,0
3
71,9
50,6
5,7
26,9
5,0
Rata-rata
72,79
50,87
5,78
24,56
4,99
Stdev
0,8
0,2
0,1
3,5
0,1
1
73,2
49,8
5,9
24,6
5,0
2
71,9
49,4
5,8
30,2
5,1
3
71,3
48,7
5,7
29,9
5,1
72,14
49,26
5,81
28,26
5,05
F4
F6
Rata-rata Stdev
F8
1,0
0,6
0,1
3,1
0,0
1
71,6
48,9
5,8
25,0
5,1
2
71,0
49,2
5,8
33,2
5,1
71,3
49,0
5,8
29,1
5,1
Rata-rata
3
71,57
48,72
5,83
31,18
5,15
Stdev
0,3
0,2
0,0
4,1
0,0
140
Lampiran 49. Rekapitulasi data lama penyimpanan bakasang hasil penelitian Parameter Sampel
F2P0
Ulangan Kadar air (%)
Kadar protein (%)
Nilai pH
Histamin (ppm)
Log total mikroba
Log total kapang
1
76,2
51,59
5,77
13,68
3,51
3,15
2
75,72
47,91
5,75
21,79
4,69
3,28
3
75,86
48,27
5,66
20,29
4,77
3,39
75,93
49,26
5,73
18,59
4,32
3,27
Ratarata STDEV
0,25
2,03
0,06
4,31
0,71
0,12
1
77,32
50,64
5,83
24,17
4,72
4,49
2
75,63
47,47
5,72
24,61
4,79
4,57
3
73,98
49,06
5,62
17,69
4,76
4,54
Ratarata
75,64
49,06
5,72
22,16
4,76
4,53
STDEV
1,67
1,59
0,11
3,87
0,04
0,04
1
74,81
48,72
5,76
19,45
4,93
4,57
2
74,65
48,92
5,74
28,46
4,89
4,64
3
73,81
47,19
5,65
28,46
4,95
4,83
Ratarata
74,42
48,28
5,72
25,46
4,92
4,68
STDEV
0,54
0,95
0,06
5,20
0,03
0,13
1
75,38
47,98
5,81
22,02
4,96
4,68
2
72,80
48,64
5,73
29,12
5,06
4,54
3
74,13
47,77
5,55
29,04
5,1
4,85
Ratarata
74,10
48,13
5,70
26,73
5,04
4,69
STDEV
1,29
0,45
0,13
4,08
0,07
0,16
1
77,38
48,62
5,79
17,37
6,83
6,62
2
77,07
45,77
5,77
23,61
7,04
6,63
3
77,65
47,15
5,67
26,60
6,98
6,73
77,37
47,18
5,74
22,53
6,95
6,66
F4P0
F6P0
F8P0
F2P30
Ratarata STDEV
0,29
1,43
0,06
4,71
0,11
0,06
1
78,41
48,62
5,85
23,23
6,9
6,69
2
77,98
45,77
5,74
28,61
7,09
6,83
3
75,61
47,15
5,67
31,65
7,08
6,88
Ratarata
77,33
47,18
5,75
27,83
7,02
6,80
STDEV
1,51
1,43
0,09
4,26
0,11
0,10
76,41
47,64
5,82
23,71
7,1
6,92
F4P30
1
141
F6P30 2
76,14
47,64
5,79
34,07
7,17
6,92
3
76,05
47,18
5,76
35,85
7,18
7
Ratarata
76,20
47,49
5,79
31,21
7,15
6,95
STDEV
0,19
0,27
0,03
6,56
0,04
0,05
1
75,57
46,03
5,86
28,62
7,13
6,95
2
74,97
46,49
5,95
35,47
7,17
7,03
3
74,14
45,66
5,67
38,85
7,2
7,09
Ratarata
74,89
46,06
5,83
34,31
7,17
7,02
STDEV
0,72
0,42
0,14
5,21
0,04
0,07
1
77,53
49,53
6,06
24,82
7
6
2
77,93
45,47
6,09
28,80
7,07
6,08
3
78,87
46,62
6,1
31,69
7,04
6,14
Ratarata
78,11
47,21
6,08
28,44
7,04
6,07
STDEV
0,69
2,09
0,02
3,45
0,04
0,07
1
78,61
47,13
6,08
30,8
7,07
6,03
2
78,05
43,09
6,1
35,59
7,15
6,42
3
75,86
45,01
6,17
38,64
7,11
6,19
Ratarata
77,51
45,08
6,12
35,01
7,11
6,21
STDEV
1,45
2,02
0,05
3,95
0,04
0,20
1
78,19
45,19
6,1
34,28
7,14
5,91
2
76,74
44,42
6,16
37,84
7,21
6,29
3
77,13
44,65
6,19
41,09
7,24
6,39
Ratarata
77,35
44,75
6,15
37,74
7,20
6,20
STDEV
0,75
0,40
0,05
3,41
0,05
0,25
1
76,84
45,71
6,19
38,38
7,16
6,29
2
75,35
44,22
6,17
40,78
7,12
6,32
3
75,86
44,65
6,15
44,25
7,25
6,4
Ratarata
76,02
44,86
6,17
41,14
7,18
6,34
STDEV
0,76
0,77
0,02
2,95
0,07
0,06
1
78,35
46,81
6,11
32
7,92
8,12
2
79,39
44,35
6,15
36,1
8,11
8,27
3
79,59
45,44
6,22
40,13
8,07
8,32
Ratarata
79,11
45,53
6,16
36,08
8,03
8,24
STDEV
0,67
1,23
0,06
4,07
0,10
0,10
F8P30
F2P60
F4P60
F6P60
F8P60
F2P90
142
1
79,25
42,26
6,12
40,36
8,13
8,18
2
79,02
42,58
6,18
43,35
8,27
8,27
3
76,42
45,22
6,23
47,05
8,32
8,38
Ratarata
78,23
43,35
6,18
43,59
8,24
8,28
STDEV
1,57
1,62
0,06
3,35
0,10
0,10
1
78,53
42,81
6,18
46,67
8,14
8,24
2
77,81
43,58
6,2
49,48
8,28
8,36
3
77,43
43,62
6,26
53,37
8,42
8,43
Ratarata
77,92
43,34
6,21
49,84
8,28
8,34
STDEV
0,56
0,46
0,04
3,36
0,14
0,10
1
77,25
42,88
6,24
59,64
8,33
8,32
2
76,99
43,06
6,18
63,65
8,34
8,39
3
78,49
41,51
6,27
69,3
8,34
8,46
Ratarata
77,58
42,48
6,23
64,20
8,34
8,39
STDEV
0,80
0,85
0,05
4,85
0,01
0,07
F4P90
F6P90
F8P90
Lampiran 50. Rekapitulasi data bakasang komersial pada penyimpanan 1 bulan (30 hari) Parameter Sampel
Ulangan Kadar air (%)
Bakasang Komersial
Kadar protein (%)
Nilai pH
Histamin (ppm)
Total mikroba (Cfu/g)
Total kapang (Cfu/g)
1
76,63
42,22
6,21
288,05
7,28
7,33
2
70,75
43,65
6,19
306,93
7,39
7,37
3
75,38
6,23
314,76
7,38
7,39
Rata-rata
74,25
44,48
47,57
6,21
303,25
7,35
7,36
Stdev
3,10
2,77
0,02
13,73
0,06
0,03
143
144
Lampiran 51. Perhitungan kadar air, kadar protein, nilai pH, kadar histamin, total mikroba dan total kapang a.
Kadar air untuk lama fermentasi 0 hari (F0):
= 33,06 g Ulangan 1: Diketahui berat cawan 1 berat cawan 2 = 22,35 g berat sampel 1 = 1,66 g berat sampel 2 = 1,69 g bobot sampel + cawan 1 = 34,72 g bobot sampel + cawan 2 = 30,05 g berat kering + cawan setelah di oven 1 = 33,45 g berat kering + cawan setelah di oven 2 = 28,73 g Maka untuk menghitung berat kadar air didapatkan: (34,72-33,45)/1,66 x 100 = 76,51 % (30,05-28,73)/1,69 x 100 = 77,64 % Rata-rata = 77,08 % (ulangan 1) = 33,20 g Ulangan 2: Diketahui berat cawan 1 berat cawan 2 = 28,35 g berat sampel 1 = 1,72 g berat sampel 2 = 1,65 g bobot sampel + cawan 1 = 34,92 g bobot sampel + cawan 2 = 34,10 g berat kering + cawan setelah di oven 1 = 33,62 g berat kering + cawan setelah di oven 2 = 28,89 g Maka untuk menghitung berat kadar air didapatkan: (34,92-33,62)/1,72 x 100 = 75,63 % (34,10-28,89)/1,65 x 100 = 73,56 % Rata-rata = 77,08 % (ulangan 2) = 30,53 g Ulangan 3: Diketahui berat cawan 1 berat cawan 2 = 29,70 g berat sampel 1 = 1,59 g berat sampel 2 = 1,38 g bobot sampel + cawan 1 = 32,13 g bobot sampel + cawan 2 = 31,08 g berat kering + cawan setelah di oven 1 = 30,89 g berat kering + cawan setelah di oven 2 = 30,05 g Maka untuk menghitung berat kadar air didapatkan: (32,13-30,89)/1,59 x 100 = 76,92 % (31,08-30,05)/1,38 x 100 = 77,64 % Rata-rata = 77,08 % (ulangan 3)
145
Jadi rata-rata kadar air pada lama fermentasi 0 hari didapatkan: 77,08 + 74,59 + 75,93 / 3 = 75,87 %, demikian perhitungan yang sama untuk lama fermentasi dan lama penyimpanan lainnya. b.
Kadar protein untuk lama fermentasi 0 hari (F0): Ulangan 1: Diketahui bobot sampel 1 bobot sampel 2 ml titrasi 1 ml titrasi 2 ml N HCl 1 ml N HCl 2
= 0,42 g = 0,43 g = 10, 01 ml = 10,05 ml = 0,13 ml = 0,13 ml
Maka untuk menghitung berat segar kadar protein didapatkan: (14 x 0,13 x 10,01 x 100 x 6,25)/ 0,42 x 1000 x 2,19 = 12,43 % (14 x 0,13 x 10,05 x 100 x 6,25)/ 0,43 x 1000 x 2,19 = 12,11 % Untuk menghitung berat kering kadar protein didapatkan: (100)/(100- berat kadar air ) x berat segar protein, maka: (100)/(100- 76,51) x 12,43 = 52,93 % (100)/(100-77,64) x 12, 11 = 54,20 % Rata-rata = 53,56 % (ulangan 1) (100)/(100- 75,63) x 12,09 = 49,58 % (100)/(100-73,56) x 13,31 = 50,33 % Rata-rata = 49,96 % (ulangan 2) (100)/(100- 76,92) x 11,62 = 50,36 % (100)/(100-74,94) x 13, 12 = 52,35 Rata-rata = 51,36 % (ulangan 3) Jadi berat kering kadar protein didapatkan dari 53,56 + 49, 96 + 51, 36 = 51, 63 % untuk lama fermentasi 0 hari (F0), demikian perhitungan yang sama untuk lama fermentasi dan lama penyimpanan lainnya.
c. Nilai pH untuk lama fermentasi 0 hari (F0):
Diketahui nilai pH 1 = 5,74 pH 2 = 5,72 Rata-rata = 5,73 (ulangan 1) nilai pH 1 = 5,60 pH 2 = 5,62 Rata-rata = 5,61 (ulangan 2)
146
nilai pH 1 = 5,63 pH 2 = 5,65 Rata-rata = 5,64 (ulangan 3) Untuk mendapatkan rata-rata nilai pH maka: 5,73 + 5,61 + 5,64 = 5, 66 (untuk lama fermentasi 0 hari (F0), demikian perhitungan yang sama untuk lama fermentasi dan lama penyimpanan lainnya. d. Kadar histamin untuk lama fermentasi 0 hari (F0): Ulangan 1: Diketahui bobot sampel 1 = 10,12 g bobot sampel 2 = 10,01 g Nilai IU 1 = 284 Nilai IU 2 = 287 A = intercept (220, 77) B = slope (2205,016)
Untuk mendapatkan kadar histamin, maka; ppm = (IU-A)/B x 5000/bobot sampel, sehingga; ppm = (284- 220,77)/ 2205,016 x 5000/ 10,12 = 14,16 ppm ppm = (287-220,77)/ 2205,016 x 5000/ 10,01 = 15,00 ppm Rata-rata = 14,58 ppm (ulangan 1) Ulangan 2: Diketahui bobot sampel 1 = 10,10 g bobot sampel 2 = 10,04 g Nilai IU 1 = 320 Nilai IU 2 = 323 A = intercept (244, 36) B = slope (2166,67)
ppm = (320- 244,36)/ 2166, 67 x 5000/ 10,10 = 22,28 ppm ppm = (323- 244,36)/ 2166, 67 x 5000/ 10,04 = 22,68 ppm Rata-rata = 22,68 ppm (ulangan 2) Ulangan 3: Diketahui bobot sampel 1 = 10,15 g bobot sampel 2 = 10,26 g Nilai IU 1 = 321 Nilai IU 2 = 324 A = intercept (251, 68) B = slope (1829,32)
ppm = (321- 251,68)/ 1829,32x 5000/ 10,15 = 22,39 ppm ppm = (323- 251,68)/ 1829,32 x 5000/ 10,26 = 22,81 ppm Rata-rata = 22,60 ppm (ulangan 3)
147
Maka rata-rata kadar histamin adalah: 14,58 + 22,68 + 22,60 = 19,95 ppm (untuk lama fermentasi 0 hari/ F0), demikian perhitungan yang sama untuk lama fermentasi dan lama penyimpanan lainnya. e. Total mikroba/TPC untuk lama fermentasi 0 hari (F0): Ulangan 1: Diketahui jumlah koloni cawan 1 = 60 Cfu/g jumlah koloni cawan 2 = 68 Cfu/g faktor pengenceran = 10-2 Total mikroba = Rata-rata jumlah koloni x 1/fp , maka: 60+68 =128/2 = 64 x 1/10-2 = 64 x 100 = 6400 atau log10 x 6400 = 3,81 Ulangan 2: Diketahui jumlah koloni cawan 1 = 105 Cfu/g jumlah koloni cawan 2 = 112 Cfu/g faktor pengenceran = 10-3 Total mikroba = Rata-rata jumlah koloni x 1/fp , maka: 105+112 =217/2 = 108,5 x 1/10-3 = 108,5 x 1000 = 108500 atau log10 x 108500 = 5,04 Ulangan 3: Diketahui jumlah koloni cawan 1 = 95 Cfu/g jumlah koloni cawan 2 = 110 Cfu/g faktor pengenceran = 10-2 Total mikroba = Rata-rata jumlah koloni x 1/fp , maka: 95+110 =205/2 = 102,5 x 1/10-2 = 102,5 x 100 = 10250 atau log10 x 10250 = 4,01 Maka rata-rata log total mikroba adalah: 3,81 + 5,04 + 4,01 = 4,28 (untuk lama fermentasi 0 hari/ F0), demikian perhitungan yang sama untuk lama fermentasi dan lama penyimpanan lainnya.
f. Total kapang untuk lama fermentasi 0 hari (F0): Ulangan 1: Diketahui jumlah koloni cawan 1 = 12 Cfu/g jumlah koloni cawan 2 = 16 Cfu/g faktor pengenceran = 10-2 Total mikroba = Rata-rata jumlah koloni x 1/fp , maka: 12+16 =28/2 = 14 x 1/10-2 = 14 x 100 = 1400 atau log10 x 1400 = 3,14
148
Ulangan 2: Diketahui jumlah koloni cawan 1 = 20 Cfu/g jumlah koloni cawan 2 = 18 Cfu/g faktor pengenceran = 10-2 Total mikroba = Rata-rata jumlah koloni x 1/fp , maka: 20+18 =38/2 = 19 x 1/10-2 = 19 x 100 = 1900 atau log10 x 1900 = 3,28 Ulangan 3: Diketahui jumlah koloni cawan 1 = 27 Cfu/g jumlah koloni cawan 2 = 23 Cfu/g faktor pengenceran = 10-2 Total mikroba = Rata-rata jumlah koloni x 1/fp , maka: 27+23 =50/2 = 25 x 1/10-2 = 25 x 100 = 2500 atau log10 x 2500 = 3,39
Maka rata-rata log total kapang adalah: 3,14 + 3,28 + 3,39 = 3,28 (untuk lama penyimpanan 0 hari/ P0), demikian perhitungan yang sama untuk lama penyimpanan lainnya.