Perkembangan Desain Produk UMKM Industri Kreatif Fashion Yan Yan Sunaryai
I. Pendahuluan Pemahaman tentang desain bukan semata-mata menyimak karya desain sebagai artifak saja, melainkan meliputi nilai-nilai budaya dan perubahan sosial-ekonomi yang menyertainya seperti dalam industri kreatif –termasuk desain produk UMKM fashion. Desain bukan hasilan yang berdiri sendiri; tetapi sebagai tatanan peradaban yang hidup, sebagai bentuk gabungan interaktif-sinergis antara manusia, alam, dan lingkungan sosialnya dalam arti yang luas dan substantif. Desain menurut Agus Sachari dan Yan Yan Sunarya (1999 : 4), sebagai inti karya budaya fisik yang lahir dari berbagai pertimbangan pikir, gagas, rasa, dan jiwa perancangnya (desainer fashion, pen.), yang didukung oleh faktor luar menyangkut penemuan-penemuan di bidang ilmu dan teknologi, lingkungan sosial, tatanilai, dan budaya, kaidah estetika, kondisi ekonomi dan politik, hingga proyeksi terhadap perkembangan yang mungkin terjadi di masa depan. Desain dengan segala perkembangannya, diyakini memiliki makna tersendiri, terutama dilihat dari unsur kesejarahannya. Di negara-negara maju, desain telah dianggap sebagai sesuatu yang mewakili peradaban bangsa, lantas mewahani perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Karya dan kegiatan desain diinterpretasikan sebagai satu atau sekelompok tanda bermakna budaya, sebagai kode dalam konteks kebudayaan. Pemahamannya dapat disimak dari muatan konotatif (karya fungsional) atau muatan denotatif (jejak peradaban). Dengan begitu, perkembangan desain dapat digali ke dalam : a. Latar belakang terjadinya perubahan masyarakat modern, khususnya yang berhubungan dengan nilai-nilai masyarakatnya; b. Penelusuran jejak sejarah desain ditinjau dari aspek sosial, pola pikir, dan peristiwa penting yang berhubungan; c. Pengkajian kemajuan gagas desain dan teknologi beserta dampak sosialnya;
1
d. Pemahaman perkembangan gagas desain serta pengaruhnya terhadap faham estetika, gaya hidup, dan dinamikanya (Sachari dan Sunarya, 1999 : 8). Menurut Imam Santosa (2009 : 1 – 6), setiap benda –dalam hal ini objek desain / desain produk– selain berfungsi praktis berdasarkan manfaat langsung, juga mempunyai muatan-muatan lain yaitu bersifat simbolis atau maknawi. Meskipun begitu, pada hakikatnya setiap benda atau objek selalu mempunyai dua fungsi, yaitu : fungsi praktis dan fungsi estetik. Oleh karena itu, peran desain sebagai salah satu muara dari budaya dan seni, maka memiliki peran strategis yang sarat dengan aneka tatanilai dan ungkapan budaya, yang berfungsi sebagai media yang bertitik tolak pada totalitas hasrat dan keinginan manusia sebagai upaya guna mewujudkan wahana dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun persoalan yang dihadapi dalam perkembangan desain di Indonesia ini amatlah kompleks, karena di samping secara geografis mempunyai tataletak kepulauan yang terpecah-pecah dan tersebar luas, juga amat multikultural. Sehingga diperlukan positioning, berdasarkan benchmarking terhadap perkembangan desain dunia. Beberapa persoalan itu mencakup, sebagai berikut : a.
Makna desain terhadap konteks sosial dengan mempelajari berbagai fenomena sosial dan kebutuhan masyarakat serta menghayati makna kultural yang berkaitan erat dengan hukum-hukum ekonomi;
b. Makna desain dalam mengadopsi berbagai aspek proses manufaktur, sehubungan dengan proses pembuatan desain menjadi produk industri kreatif. Pada titik ini, faktor-faktor : penelitian dan pengembangan, inovasi produk, potensi sumber daya manusia, manajemen, pengetahuan akan alat produksi serta desain rekayasa menjadi area yang menjangkau pengetahuan yang harus dikuasai; c.
Makna desain yang mempunyai antusias tinggi terhadap studi-studi mengenai dampak sosial dari suatu produk;
d. Makna desain berbagai altenatif pilihan sikap konseptual yang dapat dipergunakan, mulai dari sikap konservatif, sikap pragmatis, sikap kontekstual, serta konsep pendidikan yang bermuara pada penerapan tatanilai yang berkaitan dengan simbol status dan jargon-jargon baru pada jamannya. Di dalam bukunya, John A. Walker (1989 : 153) menyatakan, bahwa gaya dalam desain merupakan terjemahan dari ‘style’, berasal dari bahasa Latin ‘stilus’, yang artinya ‘a writing implement’ atau ‘penerapan (cara) menulis’.
2
Cara seseorang menulis merupakan cerminan atau ekspresi karakter seseorang –demikian juga cara seseorang / desainer fashion menghasilkan karya desain produk industri kreatif fashion. Ekspresi seperti ini merupakan cikal-bakal teori eskpresi yang berpengaruh dalam sejarah estetika, yang juga disebut teori tanda tangan, artinya karya seseorang mencerminkan kepribadian (atau karakter) seseorang. Suatu desain adalah ekspresi dari karakter desainernya. Dengan demikian, dalam konteks ini, gaya bersifat publik, tidak individual. Seorang desainer produk industri kreatif fashion dapat memilih gaya yang ada untuk dijadikan selaku media ekspresi karya-karyanya, atau menggabungkan gaya desain yang ada ke dalam bentuk baru. Hal yang terakhir ini melahirkan gaya baru yang sering ditemui dalam sejarah desain seperti neo-klasisisme (menggabungkan desain klasik dengan pendekatan baru), Victorian Gothic (menggabungkan gaya Victoria dengan gaya Gothic) dan seterusnya termasuk bila desainer menggunakan pengaruh gaya desain di luar konteks negara-negara Eropa, seperti dari : Malaysia, Thailand, Cina, India, Jepang, bahkan Korea.
II. Industri Kreatif Industri kreatif dalam konteks ekonomi kreatif kini merupakan salah satu andalan yang diharapkan menjadi penopang perekonomian nasional. Saat ini industri kreatif, terutama usaha industri kecil UMKM paling banyak memberdayakan tenaga kerja, pemanfaatan sumber daya alam lokal dan kekayaan budaya nasional, sehingga patut diberikan perhatian dalam pengembangannya. Adapun permasalahan umum industri kecil UMKM tersebut, terutama yang bermodal kecil dan menengah adalah dalam menciptakan produk baru yang dapat memenuhi tuntutan pasar, selain permodalan, manajemen, dan kebutuhan tenaga kreatif (desainer, dalam hal ini desainer produk industri kreatif fashion secara spesifik). Produk-produk yang dihasilkan oleh industri kecil UMKM ini, relatif memiliki daur hidup pendek dan cepat berubah, sehingga diperlukan model strategi dalam pengembangan desain-desain produk baru. Hal tersebut merupakan salah satu kunci keberhasilan yang menjadi kekuatan industri kreatif nasional untuk bisa memiliki daya kompetitif yang prima di pasar nasional, regional, maupun internasional terutama menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi Asean 2015-2016. Jika kita perbandingkan dengan industri kreatif di negara Thailand atau Malaysia, mereka relatif lebih unggul dibandingkan dengan industri kreatif di Indonesia dalam lima tahun belakangan ini, terutama dalam meraih pasar dan pemantapan usaha secara nasional. Memang ini adalah suatu fakta, bahwa produk-produk yang mereka kembangkan telah memiliki pola pengembangan desain yang mantap. Dimana dalam hukum pasar, produk yang memiliki
3
keunggulan akan menjadi acuan bagi penilaian konsumen. Oleh karena itu, produk yang rendah mutunya akan turun pada tingkat yang lebih bawah. Berarti dalam menghadapi masalah tersebut, industri nasional perlu membuat strategi baru untuk bisa berkompetisi dalam meraih peluang pasar tersebut, khususnya pada peran peningkatan desain produk UMKM industri kreatif. Dalam menyusun strategi pengembangan desain produk industri kreatif yang jitu, semua unsur harus dikaji atas dasar tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Kemudian terdapat fungsi kontrol yang mengintai gejala-gejala perubahan dan perkembangan global. Fungsi ini harus bisa tanggap dan cepat untuk menginformasikan sebagai data olahan dalam upaya evaluasi strateginya. Maka sebagai desainer perlu menyiasatinya untuk mengadopsi sebagai suatu konsep desain produk industri kreatif dengan metode pendekatan secara interaktif dan partisipatif. Oleh sebab itu, melalui strategi pengayaan dan diversifikasi desain produk yang inovatif serta pencangkokan ragam visual Nusantara, diharapkan terjadi upaya-upaya pembukaan segmen pasar baru yang lebih dinamis. Produk-produk baru dari UMKM industri kreatif fashion yang dihasilkan itu akan memiliki keunikan, craftsmanship (‘keprigelan’) yang tinggi dan menjadi ciri khas daerah tempat produk itu dibuat (Sachari, 2009 : 2 – 3).
III. Selayang Pandang : Rona UMKM Secara umum disinyalir masih terdapat kelemahan-kelemahan pada tingkat kemampuan kompetensi perajin UMKM industri kreatif fashion yang diakibatkan antara lain oleh : a.
Mutu produksi, menyangkut kurangnya daya tarik visual / desain dan kualitas ketahanannya;
b. Kurang mempunyai kemampuan membaca situasi pasar; c.
Banyaknya pesaing dengan industri kecil menengah sejenis. Sehingga salah satu aspek yang mesti ditingkatkan adalah kemampuan perajin UMKM agar mampu melaksanakan teknik produksi dalam keterkaitan dengan proses produksi dan perbaikan kualitas desain produk, serta mendiversifikasi desain produknya melalui kemampuan kreatifitas.
Analisis situasi dari desain produk yang dihasilkan perajin UMKM di atas, menunjukkan bahwa produk yang dikembangkan adalah produk industri kreatif fashion dengan sistem pelayananannya yang hanya bergantung pada pesanan sesaat. Untuk melaksanakan strategi diversifikasi desain produk tersebut, kondisi internal sentra UMKM secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :
4
Desain Produk Teknologi Produksi Kapasitas Produksi Mutu Produk Kewirausahaan Keterampilan SDM Sistem Manajemen
Kurang
Cukup -
Baik -
Mengacu kepada riset-riset yang selama ini dilakukan sekaligus investigasi lapangan, maka UMKM industri kreatif ini rata-rata memiliki fakta-fakta sebagai berikut : a.
Sosial-budaya : - Kurangnya keahlian dan keterampilan profesional teknis pada tenaga kerja yang ada (perajin UMKM), menyebabkan banyaknya pesanan desain produk yang tidak dapat ditangani, kemudian ditolak atau dialihkan pengerjaannya kepada industri yang lebih besar (memiliki teknologi dan keahlian yang relatif lebih tinggi dan beragam); - Kurangnya kemampuan untuk menghasilkan produk beragam yang sesuai dengan selera pasar yang dituju karena kurangnya pengetahuan / wawasan keilmuan yang terkait dan memadai.
b. Ekonomi : - Industri kecil UMKM yang merupakan wirausaha ini, lemah dalam permodalan sehingga tidak dapat mengembangkan usahanya secara meluas; walaupun memiliki lingkungan daerah yang amat potensial di dalam mengembangkan usahanya, berhubung terletak di jalur utama lalulintas perdagangan / perekonomian, akan tetapi penanganannya belum terkoordinasikan dengan baik. c.
Manajemen usaha : - Belum ada pembinaan lanjutan yang menyentuh aspek desain, terutama industri kreatif fashion dari para desainer fashion, atau pun akademisi / peneliti perguruan tinggi yang memiliki intensitas pada pengembangan fashion; - Organisasi usaha yang sederhana, berjalan terutama jika mendapatkan pesanan saja.
d. Produk : - Desain yang dihasilkan merupakan produk yang disesuaikan dengan keinginan pemesan, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk berkreasi mengembangkan potensi desainnya secara mandiri sebagai
5
trendsetter, apalagi mengembangkan sesuai dengan tren kini 2014 / 2015 dan ke depan; - Relatif lebih rendahnya mutu desain produk yang dihasilkan, sehingga menurunkan daya saingnya. Hal ini karena kurangnya keterampilan dan keahlian profesional tenaga kerja yang ada yang memang tidak dilatih secara khusus (kebanyakan bukan seorang desainer fashion profesional) (Sunarya, dkk., 2011 : 5 – 7).
IV. Pengembangan Desain Produk Secara keseluruhan permasalahan pengayaan dan diversifikasi desain produk UMKM industri kreatif fashion dengan pertimbangan ke arah fungsi, ergonomi dan keunikan performansi produk, diharapkan dapat dijadikan acuan dasar pemecahan desain produk UMKM ini dalam sekala yang lebih luas dengan penekanan pada pertimbangan antara lain : a.
Pertimbangan fungsi desain produk : - Fungsi utama desain produk sesuai dengan kapasitas dan sasarannya; - Sebagai barang komoditas : wisata, gaya hidup (life style), maupun aneka produk konsumer (consumer goods).
b. Pertimbangan ergonomi desain produk : - Mudah dalam perawatan dan pembersihan. c.
Pertimbangan teknis desain produk : - Sebagian besar desain produk dapat dibuat dengan memanfaatkan teknologi yang ada di dalam negeri; - Penggunaan komponen standar dan mudah dalam pengerjaan; - Meskipun dikerjakan oleh tangan, namun kepresisian desain produk tetap harus dijaga.
d. Pertimbangan ekonomis : - Desain produk yang dibuat umumnya berjumlah terbatas; - Untuk bahan baku mengunakan bahan yang bisa dikerjakan oleh sentra UMKM setempat. e.
Pertimbangan performansi desain produk : - Memiliki daya kompetisi pasar; - Karakter bentuk yang unik selaras dengan pola ragam Nusantara atau kearifan lokal.
f.
Potensi ekonomi desain produk : - Desain produk yang dihasilkan beranekaragam sejalan perkembangan gaya hidup (life style) masyarakat;
6
- Mampu mengisi segmentasi pangsa pasar baru di berbagai pasar dengan harga yang terjangkau, terutama segmentasi masyarakat menengah ke atas lokal-nasional-regional bahkan internasional; - Meningkatkan pendapatan perajin UMKM sehingga kualitas kehidupan setempat meningkat. g.
Nilai tambah desain produk dari sisi IPTEK : - Menghasilkan metode yang tepat untuk pengembangan industri kecil desain produk UMKM industri kreatif fashion baik dari segi desain, tatacara kerja, maupun pengembangan pasar yang kelak diterapkan dalam kondisi yang relatif sama di daerah lain.
h. Dampak Sosiologis : - Mendukung program pemerintah dalam peningkatan taraf hidup masyarakat industri kecil UMKM industri kreatif fashion; - Terjadinya peningkatan wawasan desain produk dan kualitas pada para perajin UMKM; - Meningkatkan kemampuan potensi lokal dalam upaya menerapkan teori dan mencapai optimasi desain produk dalam spektrum yang lebih luas; - Menumbuhkan dan memelihara potensi sosial ekonomi daerah.
V. Budaya Massa : Industri Kreatif Fashion Di satu sisi, budaya massa apabila ditarik ke belakang pada era kesejarahan di situasi awal Modernisme di Barat (Eropa Barat dan Amerika Serikat khususnya) berupa peristiwa ledakan industrialisasi sebagai akibat pemacuan pembangunan selama masa rekonstruksi, kemudian memunculkan masyarakat ‘berlebih’. Terutama masyarakat pekerja atau kelas menengah di negara industri yang meningkat taraf hidup dan daya belinya. Hal ini mengakibatkan mobilitas sosial ke kelas yang lebih tinggi dan merubah aspirasi generasi muda terhadap barang keseharian (consumer goods). Pemilikan barang acapkali dihubungkan dengan status sosial masyarakat. Oleh karena itu, berbagai macam barang yang menciptakan gengsi seperti : televisi, kulkas, radio, mobil, sepeda motor, mebel, mesin cuci, dan berbagai perkakas keseharian (consumer goods) mengalami peningkatan produksi yang amat pesat. Hal itu terbukti dari bermacam-macam komoditas ekspor berbagai negara industri yang meningkat tajam. Sebagai gambaran di Italia antara tahun 1950 hingga 1963, produksi mobil meningkat sampai empat kali lipat, mesin cuci tiga setengah kali lipat, bahkan barang plastik meningkat hingga lima belas kali lipat.
7
‘Wabah konsumerisme’ yang melanda berbagai negara berkembang, menjadi mega-konsumtif dan disadari sebagai akibat logis dari industrialisasi. Tuntutan perputaran ekonomi antara produsen dan konsumen, menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh negara-negara itu. Sejalan dengan unsur persaingan yang menjadi ciri utama dalam produk konsumen. Tuntutannya adalah pengusaha dan industri barang secara kreatif harus menciptakan model pemasaran baru, baik secara pembayaran melalui kartu kredit, kemudahan berbelanja, potongan harga, ‘bujukan’ hadiah, sampai kepada tawaran dengan ‘sejuta impian’. Pada hasil penelitian di Inggris menunjukkan, bahwa dari seluruh penjualan pesawat televisi pada akhir tahun 1950an, lebih dari separuh dibeli secara angsuran, dan model pembelanjaan semacam ini meningkat hingga empat kali lipat. Sejalan dengan perkembangan itu, berbagai terbitan, katalog, majalah, dan iklan, seringkali dibuat oleh produsen dan penjual, sebagai cara untuk membujuk dan memperluas jaringan konsumen –termasuk produk-produk industri kreatif fashion. Iklim kapitalisme di negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat kala itu, cenderung membentuk masyarakat menjadi konsumen yang setia dan fanatik terhadap produk yang ditawarkan. Bahkan berbagai perusahaan besar, secara khusus membangun masyarakat konsumennya secara teroganisir dengan sistem sponsor, donatur, atau binaan yang lain. Gejala kemunculan budaya massa, sebenarnya telah berkembang di Amerika Serikat sejak awal industrialisasi. Sehingga negara ini telah mencapai tahap kapitalisme yang lebih matang. Masyarakat Amerika telah lama mampu menyerap hasil industrinya. Oleh karena itu, profesi desain mengalami kemajuan pesat, terutama di industri-industri raksasa dan biro-biro perencanaan besar, demikian juga desainer fashion pada studio-studio fashion ternama. Pada periode akhir tahun 1950an, ketika pendekatan desain lebih mengarah kepada penggayaan (styling) guna memenuhi selera pasar yang majemuk dan semakin kritis terhadap desain, masyarakat justru mulai bosan dengan desain yang ‘kaku’ dan standar. Sehingga muncul ejekan terhadap desain sebagai ‘keusangan terencana’ atau umur produk yang direncanakan sependek mungkin. Gejala tersebut terlihat dari usaha para pembuat barang / produk untuk memperpendek usia produk dan menerapkan pergantian model yang cepat. Masyarakat terus dibujuk, dipengaruhi, dan dipacu untuk membeli. Gejala ini diamati secara kritis oleh seorang ahli sosiologi Vance Packard dalam buku : The idden Persuader (1957), The Status Seeker (1959), dan The Waste Maker (1960). Packard berusaha menunjukkan, bagaimana dalam iklim kapitalisme bebas, industri memiliki watak untuk memperbesar usaha secara cepat dan sinambung. Dengan cara ini, ‘masyarakat konsumen’ dibentuk menjadi ‘masyarakat konsumtif’ (Sachari dan Sunarya, 1999 : 55 – 57).
8
Di sisi lain, kini menghadapi perubahan zaman dan gaya hidup masyarakat di Indonesia sebagai imbas dari serbuan produk-produk kapitalisme (consumer goods), maka desain produk UMKM industri kreatif ini seyogianya merupakan implementasi dari pasar global sebagai upaya atau strategi dalam menghadapi persaingan kini dan mendatang (lihat : bagan di bawah ini).
POTENSI UMKM
Bagan 1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan desain produk UMKM industri kreatif (Sachari, 1995 : 5). Bagan di atas merupakan bagan yang berisi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan UMKM industri kreatif yang dapat dijelaskan hubungannya dengan perancangan desain produk industri kreatif fashion, sebagai berikut : a. Menganalisis jalan keluar yang paling tepat dari sudut pandang ilmu desain yang integral dengan disiplin ilmu lain, dalam memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sentra UMKM beserta potensinya; b. Menganalisis perilaku dan etos kerja para perajin UMKM setempat, dilanjutkan dengan menganalisis kemampuan dan keterampilan para perajin terutama yang berpotensi untuk dikembangkan dalam memproduksi desain produk industri kreatif fashion;
9
c. Menganalisis peralatan, kinerja alat, suasana kerja, tempat kerja, hubungan sosial dan sumber daya penunjang sekaligus penghambat kemajuan atau perubahan dalam UMKM; d. Melihat peluang pasar baru sebagai wahana pemasaran desain produk UMKM industri kreatif fashion; e. Membuat peningkatan dan perancangan desain produk UMKM yang perlu dilakukan secara berjenjang, agar tidak menciptakan sesuatu yang sulit dicapai dan dipahami oleh perajin UMKM industri kreatif fashion setempat; f. Menawarkan gagasan baru, baik berdasarkan pengembangan desain produk yang ada maupun desain produk yang sama sekali baru melalui metode eksperimen visual. Dalam paparan lain, bahwa telah diakui Indonesia memiliki keanekaragaman warisan budaya yang terbesar, di antaranya memiliki tekstil tradisional dengan aneka makna simbolis, berdasarkan pada falsafah masyarakatnya, berkualitas estetik, dan berfungsi sosial. Tekstil tradisional ini bukanlah pula benda pakai yang estetik saja, melainkan ia mempunyai dimensi spiritual dan dimensi translingual, yang menunjukkan tingkat kebudayaan bangsa Indonesia yang sudah sangat tinggi (Widagdo, 1997 : 2). Namun demikian, tekstil tradisional telah mengalami perubahan akibat faktor teknologi, lingkungan alam, dan kebudayaan yang menentukan bermacam pola dan corak tradisional masyarakat. Adanya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, akan memperluas lingkup percepatan perkembangan di industri tekstil dan fashion Indonesia. Peran desain beserta desainernya, menjadi pelopor dalam mengantisipasi perubahan dan pembaruan. Di sini, desainer harus membantu untuk mendorong perubahan dari persaingan nasional ke arah komunitas global. Bersamaan dengan itu, desainer harus memelihara jatidiri kebudayaan yang berbeda. Peran desainer kemudian menjadi penerjemah antara bidang teknologi, ilmu pengetahuan, dan seni / kriya dalam perimbangan yang tepat (Kudiya, Sunarya, dan Tresnadi, 2005 : 5). Salah satu tema utama dalam globalisasi adalah diakuinya aspek-aspek lokalregional untuk diterapkan pada desain modern seperti pada desain produk industri kreatif fashion, dalam rangka menciptakan desain yang populis sebagai kritik terhadap kondisi yang politis-elitis. Salah satu bentuk pelaksanaannya adalah penerapan sistem PAR (partisipatory) guna meningkatkan peran masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. Kenyataan di Indonesia menunjukkan, bahwa desaindesain baru, terlebih desain produk industri kreatif fashion telah berhasil menggunakan corak / ragam hias tradisional (tekstil tradisional) yang ternyata 10
tetap diproduksi secara elitis-birokratis oleh para pemiliknya serta didukung oleh para desainer fashionnya. Sebenarnya perkembangan industri kreatif fashion lebih bebas dibandingkan dengan perkembangan yang terjadi di wilayah seni murni dan desain lain pada umumnya. Karena perubahan mode busana terjadi dalam suatu gelombang yang dinamis. Perubahan pada busana siap pakai ini sangat bergantung pada tren yang terjadi sekitar setahun sekali atau bahkan lebih cepat dengan tema atau penampilan yang tunggal atau bisa terjadi dalam satu tren terjadi beberapa tema atau penampilan dan perubahan tersebut merupakan kecenderungan yang sesaat sifatnya (fad). Pada dekade akhir 1990an perkembangan fashion di Indonesia dalam mengantisipasi perubahan tren dunia, adalah memunculkan kembalinya kepada batas-batas nasionalisme dan kekuatan ‘pluralism design’ pada dirinya (Sunarya, 1993 : 10), itulah bentuk nyata “revival dalam industri kreatif fashion” itu. Quo vadis!
Gambar 1. Beragam ‘pluralism design’ dalam eksperimen dan eksplorasi desain produk industri kreatif fashion dari kiri ke kanan : (1) Pastische dalam mini skirt 1960an hasil adopsi perancang Alex AB; (2) Pastische karya Ronald V. Gaghana, menampilkan ragam hias sosok wanita pedalaman Afrika; (3) Flamenco Espanola karya Pastische Ghea celana kaos yang dililit ikat pinggang motif songket Aceh dipadankan dengan bolero (aneka sumber). Perkembangan desain produk dalam ranah industri kreatif fashion, tidak terlepas dari perkembangan kebudayaan dalam tataran budaya visual; maka inovasi desain dalam revivalisasi produk dengan terapan tekstil tradisional sebagai langkah pewarisan budaya, adalah menjadi dasar dalam menggali,
11
sekaligus menerapkan kearifan lokal, terutama amat baik dijalankan oleh UMKM yang bergerak dalam bidang industri kreatif fashion. Hal ini perlu dilaksanakan agar diperoleh gambaran kongkrit mengenai upaya pengembangan artifak berbasis kearifan lokal, khususnya yang memacu sektor industri kreatif fashion di Indonesia. Terapan tersebut dapat berupa pendekatan inovasi desain dalam konteks pelestarian budaya tradisional (klasik, identitas) : pendekatan pengembangan atas azas konservasi budaya dan identitas lokal. Pengembangan produk selayaknya bernafaskan identitas lokal dan berbasis pada kekayaan sumber daya alam dan budaya. Konsep ini bermuara dari keprihatinan agar tekstil tradisional tetap hadir diperhitungkan dan bernilai di masyarakat. Kemudian inovasi desain dalam konteks kreatifitas : didasari atas kegiatan eksperimentasi dan eksplorasi terhadap keunggulan dan keunikan material tekstil tradisional untuk dikembangkan menjadi produk fashion yang memiliki originalitas dan nilai fungsi yang baru dalam gaya yang segar juga (Sunarya, dkk., 2012 : 1).
Gambar 2. Beragam ‘pluralism design’ dalam eksperimen dan eksplorasi desain produk industri kreatif fashion dari kiri ke kanan : (1) Gaya busana hippy tahun 1970an (psychedelic color) rancangan Robby Tumewu; (2) Aura motif kitsch memphis dihadirkan dalam bentuk terapan ragam hias pada gaya busana karya Robby Tumewu; (3) Kitsch pada busana beragam hias anyaman Tasikmalaya yang diterapkan wantah oleh Itang Yunasz (aneka sumber).
12
Sanwacana Pada kenyataannya, telah terjadi bauran nilai estetik antara fashion modern dan tekstil tradisional. Hal itu merupakan fenomena baru dalam pemasyarakatan fashion modern. Fenomena ini merupakan pembudayaan produk fashion secara lebih teratur dan bermakna. Maka bila sebelumnya tekstil tradisional dibuat untuk keperluan adat dan budaya internal, lalu juga diproduksi guna pasar eksternal, menjadikannya sebagai komoditas (Anas, 2010 : 3). Perhatian diberikan pada mereka yang berkiprah dalam perspektif pembaruan penerobos kemapanan. Menjelajahi wilayah pendekatan baru di luar konteksnya sebagai warisan budaya yang harus serba pakem (Anas, dkk., 1997 : 65) yang harus dilakukan pula oleh UMKM industri kreatif fashion. Bentuk nyata “revival dalam industri kreatif fashion”, adalah bila kita mampu mempelajari latar belakang sejarah, filsafat, simbol, teknik, ekspresi dan segala aspek penciptaan lainnya untuk mendapatkan secercah wisdom yang dimanfaatkan untuk pengembangan kreatifitas manusia kini, dalam menciptakan bentuk artikulasi simbol baru yang sesuai dengan waktunya (Widagdo, 1999 : 20). Dalam kerangka pikir modern, bila berbicara soal tekstil maka pengertiannya berkisar tentang hubungannya dengan fungsi tekstil sebagai sandang, pelengkap rumah, atau komoditas. Sejarah menunjukkan, selalu ada tarik-menarik antara tradisi dan modernisasi. Dinamika dua kutub ini akan menghasilkan sintesis yang harus kita buat sendiri, sesuai dengan kebutuhan kini dan ke depan (Widagdo, 1997 : 3). Perkembangan desain produk UMKM industri kreatif fashion yang berbasis ekonomi kreatif, tidak terlepas dari perkembangan kebudayaan dalam tataran budaya visual. Ditambah lagi dengan semakin marak saling klaim kepemilikan desain; maka inovasi dalam bentuk eksperimentasi dan eksplorasi desain produk UMKM industri kreatif fashion ini adalah menjadi dasar dalam menggali, sekaligus menerapkan kearifan lokal. Hal ini perlu dilakukan agar diperoleh gambaran kongkrit mengenai upaya pengembangan artifak berbasis kearifan lokal, khususnya yang memacu sektor ekonomi kreatif demi peningkatan kualitas hidup. Pada akhirnya, UMKM industri kreatif fashion harus memiliki misi antara lain : a. Meningkatkan alternatif pengembangan desain produk industri kreatif fashion, dengan cara mendesain tekstil dengan aneka inovasi (eksperimentasi dan eksplorasi) warna, komposisi, dan struktur dari produk yang ada dan hasil perancangan baru, sebagai bagian dari konteks warna, komposisi, dan struktur sebagai gaya serta mengeksplorasi aneka tekstil tradisional sebagai bahan untuk desain produk fashion;
13
b. Mengembangkan desain produk industri kreatif fashion, dalam konteks terapan ragam hias lokal modern; mulai dari kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan produksi yang dihasilkan para perajin UMKM yang bermula dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya; c.
Membuat model percontohan desain produk industri kreatif fashion khas UMKM daerah setempat yang dapat bersaing dengan produk sejenis dalam taraf lokal-nasional-regional dan internasional.
Pustaka Acuan Anas, Biranul, dkk., 1997, Indonesia Indah Buku ke-8, Batik, Jakarta: Yayasan Harapan Kita – BP3 Taman Mini Indonesia Indah, Perum Percetakan Negara RI, cetakan 1, hal. 65. Anas, Biranul, 20 Februari 2010, Serat dan Kain Dalam Ranah Kriya Tradisi Kebanggaan Bangsa, Pidato Ilmiah Guru Besar ITB di Balai Pertemuan Ilmiah ITB, Bandung : Majelis Guru Besar ITB, hal. 3. Kudiya, Komarudin; Sunarya, Yan Yan; Tresnadi, Chandra, 2005, Motif Batik, Batik dan Tenun, Perspektif Industri dan Dagang, Bandung : Rumah Batik Komar dan DEPPERIN RI, cetakan 1, hal. 5. Sachari, Agus, 1995, Laporan Penelitian Diversifikasi Desain Produk Pasirjambu Ciwidey Jawa Barat, LPPM ITB, hal. 5. Sachari, Agus & Sunarya, Yan Yan, 1999, Modernisme : Tinjauan Historis Desain Modern, Jakarta : PT Balai Pustaka, Edisi 1, hal. 4, 8, 55 – 57. Sachari, Agus, 2009, Pengayaan dan Diversifikasi Produk Kreatif Melalui Pendekatan Inovasi Desain dan Ragam Visual Nusantara, pra riset ITB, hal. 2 – 3. Santosa, Imam, 2009, Estetika, Desain, Tradisi dan Identitas Nasional (Tantangan dan Peluang Pengembangan Desain di Indonesia), buku tak dipublikasikan, hal. 1 – 6. Sunarya, Yan Yan, 1993, Bahasa Rupa Posmodernisme : Studi Kasus Gaya Busana di Indonesia, Skripsi, Jurusan Desain, FSRD ITB, 10, 60, 62, 70. Sunarya, Yan Yan, dkk., 2011, Inovasi Desain Produk Mendong Tasikmalaya dengan Metode Diversifikasi Terapan Ragam Hias Priangan Modern Dalam Skala Komersial Industri Kreatif, LPPM ITB, 5 – 7. Sunarya, Yan Yan, dkk., 2012, Inovasi Desain dengan Metode Diversifikasi Terapan Ragam Hias Batik Priangan Modern Dalam Skala Komersial Industri Kreatif, Program Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, SPS – Institut Teknologi Bandung, hal. 1. 14
Walker, John A., 1989, Design History and History of Design, London : Pluto Press, Edisi 1, hal. 153. Widagdo, 1997, Sekilas Tekstil Indonesia, Makalah Seminar Desain Tekstil Indonesia 2000, FSRD ITB, hal. 2 – 3. Widagdo, 1999, Pengembangan Desain Bagi Peningkatan Kriya, Makalah Konferensi Tahun Kriya dan Rekayasa, Bandung : ITB, hal. 20.
i
Dosen Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Doktor Batik Sunda, Sekjen APSI Asosiasi Pendidik Seni Indonesia 2014-2018, Pendiri The Batik Priangan Sundanese Institute (BPSI).
15