123
Perkembangan budidaya bandeng di pantai utara Jawa Tengah (Anjang Bangun Prasetio)
PERKEMBANGAN BUDIDAYA BANDENG DI PANTAI UTARA JAWA TENGAH (Studi kasus: Kendal, Pati, dan Pekalongan ) Anjang Bangun Prasetio, Hatim Albasri, dan Rasidi Pusat Riset Perikanan Budidaya Jl. Ragunan No. 20, Pasar Minggu, Jakarta Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian dilakukan di Jawa Tengah yang merupakan salah satu sentra budidaya bandeng di Indonesia. Khususnya di wilayah pantai utara yaitu Kendal, Pati dan Pekalongan. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan melakukan desk study dan survai lapangan. Desk study dilakukan dengan mengkompilasi dan mensintesa data-data sekunder yang terkait untuk menjawab tujuan studi. Survai lapangan meliputi wawancara mendalam dengan responden kunci dan observasi kondisi tambak bandeng. Semua data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk menentukan opsi kebijakan pengembangan budidaya bandeng ke depan. Lahan yang berpotensi untuk budidaya tambak di wilayah ini mencapai 12.726 ha dan yang layak untuk budidaya sekitar 6.975 ha. Data Ditjen Perikanan Budidaya menunjukkan bahwa produksi bandeng tahun 2009 untuk Jawa Tengah sekitar 86.000 ton dan mengalami kenaikan sebesar 14,54% per tahun kurun waktu tahun 2005-2009. Demikian juga produksi nasional untuk komoditas bandeng tahun 2009 mencapai 475.000 ton dan mengalami kenaikan rata-rata 13,66% dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun yang sama, kebutuhan bandeng untuk konsumsi dalam negeri sekitar 470.250 ton. Dengan demikian produksi bandeng saat ini masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tulisan ini memberikan informasi tentang permasalahan yang berkaitan dengan budidaya bandeng di pantai utara Jawa Tengah serta opsi kebijakan pengembangan budidayanya.
KATA KUNCI:
budidaya, bandeng, kendala, opsi kebijakan
PENDAHULUAN Bandeng merupakan salah satu jenis ikan laut konsumsi yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia. Berkembangnya teknologi budidaya bandeng di masyarakat, tidak terlepas dari keunggulan komparatif dan strategisnya karena dapat dibudidayakan di air payau, laut, air tawar, toleran terhadap perubahan mutu lingkungan, teknologi pembesaran dan pembenihannya telah dikuasai masyarakat, serta tahan terhadap serangan penyakit. Selain itu, bandeng digunakan sebagai umpan hidup dalam penangkapan tuna dan cakalang, dan telah pula menjadi komoditas ekspor (Kordi, 2009). Adanya diversifikasi bandeng olahan, menjadikan pangsa pasar dalam maupun luar negeri semakin besar. Permintaan pasar dalam negeri di enam kota besar Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Kerawang, dan Bekasi mencapai 30.809 ton/tahun. Demikian juga permintaan dari Jepang dan Timur Tengah terus mengalir. Akan tetapi kita belum dapat memenuhi permintaan tersebut karena daya simpan bandeng olahan yang terlalu singkat, hal ini menjadikan kendala untuk sampai ke negara tujuan ekspor (Anonim, 2007a). Selain diversifikasi olahan, bandeng dapat juga dikembangkan sebagai komoditas ekspor untuk umpan hidup pada penangkapan tuna maupun cakalang (tuna longliner), karena kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan beberapa jenis ikan umpan lainnya. Eropa, Jepang, dan Korea merupakan negara yang dapat dijadikan tujuan ekspor untuk bandeng umpan. Namun hingga kini masih sangat sedikit budidaya bandeng yang memproduksi bandeng untuk tujuan umpan, padahal waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi bandeng umpan relatif singkat dibanding bandeng untuk konsumsi. Sampai saat ini sebagian besar budidaya bandeng masih dikelola dengan teknologi yang relatif sederhana sehingga tingkat produktivitasnya relatif rendah. Jika dikelola dengan sistem yang lebih intensif, maka produktivitas ikan ini dapat ditingkatkan hingga tiga kali lipatnya. Teknologi budidaya bandeng yang sudah berkembang antara lain budidaya tradisional, tradisional plus, semi intensif, dan intensif serta sistem keramba jaring apung (KJA). Terkait dengan tahap budidaya, teknologi yang digunakan dan pola pemeliharaannya maka terdapat berbagai variasi budidaya yang dapat dipilih.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
124
Pola pemeliharaan tradisional umumnya dilakukan secara monokultur dan polikultur untuk berbagai tahap pemeliharaan. Pola pemeliharaan secara intensif dan semi intensif pada umumnya dilakukan secara monokultur, tetapi ditemukan juga pengelolaan secara polikultur. Kabupaten Pemalang merupakan salah satu contoh polikultur antara bandeng dengan rumput laut jenis Gracilaria verrucosa. Demikian juga polikultur bandeng dengan udang windu juga banyak berkembang di Pati. Jawa Tengah merupakan salah satu sentra budidaya bandeng di Indonesia. Khususnya di wilayah pantai utara Jawa yaitu Kendal, Pati, dan Pekalongan. Sistem budidayanya dilakukan dengan memanfaatkan perairan payau dan pertambakan. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah menyebutkan bahwa lahan yang potensial untuk kegiatan budidaya laut di Daerah Pantura diperkirakan mencapai 12.726 ha. Dari potensi tersebut yang layak untuk budidaya bandeng adalah 6.975 ha. Data produksi bandeng tahun 2009 sekitar 86.000 ton dan mengalami kenaikan sebesar 14,54%/ tahun selama kurun waktu lima tahun (2005-2009). Sedangkan pada tahun 2008 produksinya sekitar 73.000 ton. Demikian juga untuk produksi nasional bandeng tahun 2009 mencapai 475.000 ton dan mengalami kenaikan rata-rata 13,66% dari tahun-tahun sebelumnya. Namun pada tahun yang sama kebutuhan bandeng untuk konsumsi dalam negeri sekitar 470.250 ton (Anonim, 2006b). Data di atas menunjukkan bahwa produksi ikan bandeng saat ini masih terbatas untuk memenuhi permintaan dalam negeri, namun melihat potensi dan prospek yang ada, tidak tertutup kemungkinan untuk dikembangkan sebagai komoditas ekspor, sehingga akan menambah pendapatan negara, yang pada akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tulisan ini memberikan informasi tentang permasalahan yang berkaitan dengan budidaya bandeng di pantai utara Jawa Tengah serta opsi kebijakan pengembangan budidayanya. METODOLOGI Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2009, dengan lokasi survai di wilayah Kabupaten Kendal, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Pekalongan. Daerah tersebut merupakan daerah sentra budidaya bandeng untuk wilayah pantai utara Jawa Tengah. Metode pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan melakukan desk study dan survai lapangan. Desk study dilakukan dengan mengkopilasi dan mensintesa data-data sekunder terkait, untuk menjawab tujuan studi. Survai lapangan meliputi wawancara mendalam dengan responden kunci dan observasi kondisi tambak. Beberapa karakter yang digunakan dalam penilaian yaitu kondisi lahan, ketersediaan sumber air serta kondisi tambak. Kondisi tambak dievaluasi dari karakter teknologi yang diterapkan, yang meliputi sistem pengelolaan air sebelum dan sesudah digunakan, konstruksi tambak, pengelolaan tambak (persiapan tambak, kualitas air, sistem pemeliharaan), permodalan, kelembagaan, produksi, serta pemasaran. KERAGAAN BUDIDAYA BANDENG PANTAI UTARA JAWA TENGAH Keragaan Pertambakan Wilayah Wilayah potensial pertambakan pantai utara Jawa Tengah memanjang dari Barat (Kabupaten Brebes) sampai Timur (Kabupaten Rembang) dengan luas 40.000 ha, areal tambak yang dioperasionalkan sekitar 37.600 ha. Sedangkan potensi tambak yang dikembangkan sekitar 2.399 ha. Tambak-tambak di Jawa Tengah tersebar di beberapa Kabupaten yaitu Brebes, Tegal, Pekalongan, Pemalang, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Jepara, Pati, dan Rembang. Dari kabupaten tersebut yang memiliki tambak terluas yaitu Kabupaten Pati, dengan luas 10.353 ha (Anonim, 2008c). Kondisi dan Pemanfaatan Lahan Budidaya Ketersediaan perairan pantai untuk pengembangan lahan budidaya air payau merupakan hal yang penting, oleh karena itu, perlu dikelola secara tepat karena dapat menimbulkan konflik kepentingan antar pengguna, meningkatnya biaya operasional, dan terlantarnya lahan yang mengarah pada kerusakan lingkungan pantai secara luas.
125
Perkembangan budidaya bandeng di pantai utara Jawa Tengah (Anjang Bangun Prasetio)
Secara umum kualitas tanah di wilayah Pantura Jawa Tengah cukup ideal untuk pengembangan tambak. Kondisi tanah yang ada secara umum memiliki tekstur liat berpasir atau liat berlumpur. Kedua jenis tanah tersebut cukup baik untuk rancang bangun tambak karena bersifat kedap air serta sesuai untuk pertumbuhan pakan alami. Hal ini sesuai yang dikemukakkan Suwidah (2001) bahwa tanah pertambakan yang ideal) adalah tanah yang memiliki tekstur liat berpasir (sandy loam) atau liat berlumpur (silty loam). Dalam pemanfaatan lahan tambak, masyarakat menggunakan lahannya sekitar 70% untuk tambak dan 30% sisanya untuk pematang dan peruntukan lainnya. Sebagai contoh dari luas tambak 20.000 m2 dibagi menjadi empat petak tambak, masing-masing dengan luas tiap petaknya 5.000 m 2. Peruntukannya yaitu satu petak digunakan untuk pendederan dan 15.000 m2 lainnya untuk tambak pembesaran. Sumber Air Umumnya air yang digunakan sebagai sumber pengairan tambak wilayah pantai utara Jawa Tengah memiliki kualitas yang kurang baik, karena sebagian besar sumber air tawar pada wilayah-wilayah tersebut merupakan air irigasi untuk lahan pertanian yang umumnya memiliki unsur anorganik tinggi, terkontaminasi residu pestisida, dan limbah beberapa industri serta limbah domestik yang berada di bagian hulu. Sebagai contoh wilayah tambak di Kabupaten Pati masih banyak ditemukan letak saluran masuk dan saluran buang sangat berdekatan, sehingga air buang belum sampai ke laut lepas sudah tersedot kembali masuk ke petak tambak, atau kedua saluran sungai tersebut bermuara pada satu saluran sungai sehingga menimbulkan akibat yang sama. Adanya kondisi pendangkalan dan penyempitan juga semakin memperparah kondisi saluran pertambakan. Oleh karena itu, perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah setempat. Kondisi ini akan menyulitkan pembudidaya untuk memperoleh air yang berkualitas, karena air buangan bergerak lambat, sebelum sampai ke laut lepas, sudah terbawa lagi ke areal pertambakan bersama arus pasang. Demikian halnya dengan jumlah saluran irigasi juga masih minim dan tidak sebanding dengan beban air yang ke luar masuk dari areal pertambakan, serta pengairan hanya mengandalkan pasang surut dan sungai, mengakibatkan pasok maupun air buangan hanya berputar di wilayah tersebut. Untuk mengatasi masalah pendangkalan dan penyempitan saluran air, beberapa daerah di wilayah Kabupaten Pati berinisiatif memanfaatkan perahu bekas dan mendesainnya sebagai alat pengeruk tanah akibat pendangkalan. Meskipun demikian alat tersebut belum sepenuhnya dapat mengatasi masalah tersebut, karena jumlah alat pengeruk yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah saluran air yang ada. Kabupaten Kendal Budidaya bandeng di Kabupaten Kendal dimulai tahun 1990-an dengan membuka kawasan mangrove secara besar-besaran dan melakukan penebangan secara liar. Sehingga selama sepuluh tahun terakhir ini, terjadi kerusakan yang cukup parah. Di pantai sepanjang 41 km tersebut hanya tersisa 31,7 ha. Cakupan hutan bakau hanya berkisar 1% dari luas tambak di Kabupaten Kendal (3.531,542 ha). Padahal idealnya luas kawasan mangrove adalah 20% dari luasan tambak. Hutan bakau yang masih tersisa di wilayah Kecamatan Kaliwungu, Kendal, Brangsong, Kangkung, Patebon, Cepiring, dan Rowosari. Hutan bakau terluas di Kecamatan Patebon (Anonim, 2004d). Kegiatan budidaya bandeng dilakukan dalam bentuk penggelondongan dan pembesaran. Adapun sumber benih yang digunakan berasal dari Gondol dan Situbondo. Kegiatan budidaya air payau di Kabupaten Kendal tersebar di tujuh kecamatan dengan luas yang bervariasi yaitu Kaliwungu 1.673.661 ha; Brangsong 322.900 ha; Kendal 396.392 ha; Patebon 700.680 ha; Cepiring 174.909 ha; Kangkung 183.000 ha; dan Kecamatan Rowosari dengan luas 80.000 ha. Sedangkan untuk budidaya bandeng banyak dilakukan di Daerah Kaliwungu. Produksi bandeng di Kendal untuk sementara ini hanya mencukupi untuk kebutuhan lokal. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kendal (2008) bahwa produksi bandeng dua tahun terakhir mengalami kenaikan yang signifikan yaitu 3.782.964 kg menjadi 4.057.977 kg dengan nilai produksi Rp 25.480.748.000,- menjadi Rp 35.841.190.000,- (Tabel 1). Namun jika
126
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
dibandingkan tahun 2009, produksi bandeng tidak mengalami kenaikan yang signifikan yaitu sekitar 4.756.666 ton atau 17,22% (Anonim, 2008e). Tabel 1. Produksi tambak Kabupaten Kendal tahun 2007-2008 Tahun 2007 Jenis ikan Bandeng Udang Rucah Total
Tahun 2008
Produksi (kg)
Nilai produksi (Rp 000,-)
Produksi (kg)
Nilai produksi (Rp 000,-)
3.782.964 1.854.689 942.37
25.480.748 55.640.670 5.183.035
4.057.977 1.603.911 989.732
35.841.190 37.501.043 10.647.396
6.580.023
86.304.453
6.651.620
83.989.629
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kendal (2008)
Menurut informasi yang diperoleh, menurunnya produksi bandeng di wilayah ini, disebabkan oleh permasalahan yang banyak ditemukan di lapang, antara lain: masalah permodalan, adanya penyakit berupa jamur pada bandeng, semakin berkurangnya luasan mangrove dalam kawasan budidaya karena rencana pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sedang diinisiasi oleh Pemerintah Jawa Tengah dipusatkan di Kabupaten Kendal, kurangnya informasi teknologi budidaya bandeng hal ini di antaranya disebabkan minimnya tenaga penyuluh, sarana dan prasarana budidaya yang belum memadai, belum adanya tata ruang dan tata wilayah yang jelas. Kabupaten Pati Hampir sebagian besar produksi bandeng dari Pati untuk memenuhi pasar lokal maupun nasional. Masuknya bandeng baik di pasar lokal maupun nasional ini, tentunya tidak terlepas dari wilayah Juana sebagai pusat tambak bandeng terbesar di Daerah Pati. Daerah lain yang juga mempunyai potensi tambak bandeng yaitu tersebar di Kecamatan Batangan, Wedarijaksa, Trangkil, Margoyoso, Tayu, dan Dukuh sekti. Teknologi budidaya yang berkembang di masyarakat lebih banyak tradisional. Dan kini masyarakat tidak hanya mengembangkan budidaya bandeng di air payau, akan tetapi budidaya bandeng di air tawar juga telah berkembang di daerah ini. Polikultur bandeng, ikan mas dan nilem di air tawar telah dikembangkan sejak tahun 1998, terutama di Kecamatan Kajen dan Gabus. Luas lahan tambak bandeng air tawar mencapai sekitar 300 ha. Sejarah perkembangan budidaya bandeng di air tawar diawali dengan pembudidaya melakukan studi banding di Daerah Lamongan, Jawa Timur, kemudian untuk selanjutnya dari teknologi yang diperoleh diterapkan di Daerah Pati. Demikian juga telah berkembang polikutur bandeng dengan udang windu di wilayah Tayu. Wilayah ini merupakan salah satu yang mendapatkan dana pemerintah dari program INBUDKAN. Di wilayah ini pula para pembudidaya sudah menerapkan sistem tandon dalam petakan tambaknya. Pernah dilaporkan Abidin et al. (2005) bahwa tingkat produksi tambak polikultur udang dan bandeng selama kurun waktu lima tahun yaitu 1996–2000, pada musim tanam pertama rata-rata 109.528 kg, sedangkan musim tanam kedua rata-rata 42.529 kg. Terjadi penurunan sebesar 61,17% atau sebesar 66,999.20 kg. Kendala utama budidaya bandeng di air tawar adalah lahan yang digunakan merupakan lahan rawa yang dikonversi menjadi kolam bandeng. Tentunya dalam proses awal pembuatan kolam memerlukan alat berat karena sulitnya kondisi geografis lokasi potensial tersebut. Pemerolehan alat berat menjadikan kendala tersendiri selain harganya mahal, untuk daerah ini sulit diperoleh meskipun untuk sewa. Sehingga akan menambah biaya produksi. Kondisi umum saluran irigasi tambak yang belum memadai, juga model saluran irigasi yang ada belum permanen. Kondisi saluran irigasi yang digunakan untuk tambak belum mencerminkan persyaratan budidaya yang baik yaitu pintu saluran pemasukan dan pembuangan umumnya berdekatan, akibatnya air buangan dapat tersedot kembali, bahkan digunakan oleh tambak sebelah.
127
Perkembangan budidaya bandeng di pantai utara Jawa Tengah (Anjang Bangun Prasetio)
Kondisi seperti ini banyak kita jumpai di daerah ini. Padahal kondisi demikian cukup memudahkan terjadinya penyebaran penyakit di seluruh kawasan. Kendala lainnya yaitu perencanaan yang belum terpadu termasuk RUTR–nya, kuat dugaan bahwa daya dukung lahan tambak sudah dilampaui serta ditambah lagi dengan buruknya pengelolaan tambak, kurangnya pelaporan dan penanggulangan kegagalan panen. Kabupaten Pekalongan Pada tahun 2008 pengusahan lahan tambak di Kabupaten Pekalongan tidak mengalami peningkatan yang cukup berarti. Semula pada tahun 2006 luas lahan tambak yang diusahakan sekitar 625,5 ha menjadi 628,7 ha (tahun 2008) dan demikian juga jumlah pembudidaya 665 orang menjadi 896 orang. Tambak tersebar di Kecamatan Siwalan dan Wonokerto (Anonim, 2008f). Sistem budidaya yang ada di daerah ini secara umum sama dengan wilayah pantura Jawa Tengah lainnya. Budidaya dengan sistem polikultur cukup berkembang di wilayah ini. Polikultur bandeng dengan rumput laut maupun dengan udang, banyak memberikan kontribusi para pembudidaya, apalagi bila lebih memaksimalkan polikultur yang ada. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada tahun 2009 ratusan hektar areal pertambakan di sepanjang pesisir pantai utara Pekalongan khususnya wilayah Wonokerto, Wiradesa dan wilayah Siwalan, kini kondisinya rusak dan tidak lagi produktif. Menurut masyarakat setempat, kerusakan tambak mereka karena air tambak telah tercemar limbah kimia. Limbah tersebut merupakan buangan dari sejumlah pabrik tekstil yang mengalir melalui sungai. Demikian juga puluhan hektar tambak udang dan ikan bandeng di Desa Depok, tercemar limbah batik. Dari beberapa informasi yang diperoleh, hasil tebar benih yang dilakukan hanya mampu bertahan sekitar satu bulan dan mengalami kematian massal. Pada akhirnya kondisi tersebut, sejak setahun terakhir, banyak lahan tambak yang sengaja dibiarkan beberapa petak tambaknya tidak produksi. Dengan demikian pembudidaya mengalami kerugian cukup besar dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Kematian massal juga terjadi, yang disebabkan oleh sedimentasi pada saluran di beberapa muara, yang mengakibatkan akses air baik masuk maupun keluar tambak tidak lancar sehingga kualitas air semakin menurun. Akibatnya ikan menjadi sulit tumbuh besar (kuntet) dan berbagai penyakit dengan mudah menyerang. Kasus kematian massal, pertumbuhan bandeng yang lambat sehingga panen lebih dari tiga bulan, pada akhirnya menurunnya jumlah produksi. Permasalahan tersendiri bagi pembudidaya adalah melonjaknya harga pakan ikan di pasaran, yang mengakibatkan puluhan hektar tambak ikan produktif yang berada di wilayah ini terancam gagal panen. Sehingga hal tersebut mengakibatkan meningkatnya biaya produksi. Adanya banjir ROB mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit, banyak tambak yang telah mengalami abrasi yang disebabkan oleh rusaknya kawasan mangrove di daerah ini. Tambak yang digunakan banyak yang berasal dari rawa-rawa sehingga kurang produktif, kurangnya informasi teknologi budidaya bandeng akibat minimnya tenaga penyuluh, sarana dan prasarana budidaya yang belum memadai, belum adanya tata ruang dan tata wilayah, serta permodalan, merupakan kondisi nyata yang terjadi di lapang dan segera untuk ditangani. PERMASALAHAN DAN ANALISIS Umum Pembesaran bandeng di Jawa Tengah menghadapi beberapa masalah berakitan dengan peningkatan produksi budidaya. Dengan kesediaan lahan tambak yang terbatas dan bahkan makin berkurang, belum lagi banyak tambak yang terkena abrasi, kondisi saluran tambak yang mengalami sedimentasi, tambak banyak yang beralih fungsi untuk kegiatan sentra bisnis, terutama daerah pantura sehingga berpengaruh terhadap produksi bandeng yang relatif menurun. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jateng (2007), terdapat pengurangan luasan tambak sekitar 4.245,8 ha, di mana tahun 2006 jumlah luasan lahan tambak aktif di Jawa Tengah sekitar 42.119,70 ha dan berkurang menjadi 37.873,90 ha di tahun 2007. Pengurangan luasan tambak ini diduga karena banjir ROB dan abrasi sehingga banyak lahan tambak yang sudah tidak dapat dioperasikan lagi
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
128
Adanya rencana pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sedang diinisiasi oleh Pemerintah Jawa Tengah yang bertempat di Kabupaten Kendal, tentunya akan mereduksi lahan tambak yang ada di Kendal seluas 1.000 ha dan akan menekan secara signifikan produksi bandeng di Kendal pada khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya. Selain itu, adanya migrasi para pembudidaya yang tambaknya telah digunakan sebagai kawasan KEK tentunya akan mengurangi pekerja di sektor budidaya bandeng, dan hal ini tentunya cukup berpengaruh terhadap peningkatan produksi bandeng di Jawa Tengah. Lokasi lahan tambak yang pada umumnya berdampingan dengan persawahan menjadi permasalah lain bagi pencitraan budidaya bandeng di Jawa Tengah. Bahan pestisida berbahaya yang sering digunakan untuk kawasan persawahan ini, dapat masuk ke dalam tambak, yaitu melalui penggunaan air secara bersama antara kawasan persawahan dengan pertambakan. Meskipun tidak dilaporkan adanya kematian massal akibat hal ini, namun bahan pestisida dapat mempengaruhi mutu ikan. Masalah ini sebagian sudah dapat terpecahkan dengan membangun saluran “gendong” yang memisahkan pengairan untuk persawahan dan lahan tambak. Namun tidak semua lahan tambak memiliki saluran ini, sehingga ancaman pencemaran terhadap lingkungan perairan sangat mungkin terjadi, dan dapat berakibat kematian massal. Permasalahan ini semua pada akhirnya berpengaruh terhadap produktivitas tambak bandeng di Jawa Tengah. Selain permasalahan umum tersebut di atas, dalam operasional budidaya bandeng, permasalahan lainnya yang bersifat teknis (pengelolaan lahan, saluran irigasi, pendederan/penggelondongan, teknik pembesaran, serta penanganan hama dan penyakit), juga permasalahan untuk aspek pendukung seperti permodalan, kelembagaan, produksi dan pemasarannya, serta data statistik, merupakan permasalahan yang krusial untuk diperhatikan. Oleh karena itu, agar peningkatan produksi bandeng di Jawa Tengah dapat tercapai, diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang ada. Aspek Teknis Pengolahan Lahan Secara umum aktivitas budidaya di Jawa Tengah belum mengikuti kaidah budidaya yang baik (CBIB). Dalam hal pengolahan lahan, tidak semua pembudidaya melakukan pengeringan sebagai tahap awal dalam persiapan budidaya yang berguna untuk menghilangkan unsur-unsur toksik dan penyakit yang berasal dari material yang digunakan pada periode budidaya sebelumnya. Padahal menurut Taukhid et al. (2002), sebaiknya sebelum dilakukan penebaran, perlu dilakukan langkahlangkah berikut: perbaikan pematang melalui keduk teplok, pencangkulan dasar tambak dengan membalik lapisan atas dan meratakannya kembali, dan dilanjutkan dengan pengapuran bila pH tanah kurang dari 7 yaitu dengan dosis 500–1000 kg/ha. Pemupukan lahan juga dilakukan, untuk 1 ha diperlukan campuran pupuk urea 50 kg dan TSP 30 kg, setelah itu, dilanjutkan dengan pengisian air tambak secara bertahap hingga kedalam 60–80 cm dan dibiarkan sampai 7–14 hari sampai tumbuh plankton. Beberapa alasan para pembudidaya belum melakukan pengolahan tambak dengan baik yaitu 1) lokasi tambak yang lebih rendah dari permukaan air laut sehingga tambak sangat sulit untuk dikeringkan kecuali dengan menggunakan pompa air berkekuatan besar dan mahal, 2) adanya banjir ROB tahunan dan abrasi pantai sebagai akibat dari hilangnya green belt mangrove di sepanjang pantai utara Jawa Tengah. Hal ini mengakibatkan konstruksi tambak secara terus-menerus mengalami penggerusan dan kebocoran yang menyebabkan usaha pengeringan semakin sulit untuk dilakukan. Banjir ROB tahunan juga mengakibatkan kerugian yang sangat besar saat tambak siap panen atau bahkan tambak yang baru saja ditebar benih gelondongan tergenang air laut yang menyebabkan ikan bandeng keluar dari tambak. Menurut responden di Kendal, total ikan bandeng yang hilang akibat banjir ROB dapat mencapai 70%–90% dan itu tidak termasuk dengan rusaknya konstruksi pematang tambak. Dari informasi yang diperoleh, sebagai akibat tidak adanya pengolahan tambak yang benar sering munculnya serangan penyakit, selain itu juga, dilaporkan adanya bau lumpur pada bandeng. Kasus-
129
Perkembangan budidaya bandeng di pantai utara Jawa Tengah (Anjang Bangun Prasetio)
kasus bandeng berbau lumpur ini terjadi pada tambak-tambak yang tidak dilakukan pengeringan seperti yang terjadi di Jepara, Pati, Brebes, Pekalongan, dan Juwana. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa terjadinya bau lumpur pada Ikan yang dipelihara di tambak disebabkan oleh geosmin, yaitu senyawa metabolit yang berbau tanah yang disintesa oleh alga hijau jenis oscillatoria spp. (Erungan, 1997). Keterangan lain menyebutkan bahwa ikan yang dipelihara di tambak, banyak mengeluarkan bau lumpur dibandingkan ikan yang dipelihara di KJA (Anonim, 2006g). Dengan adanya bau lumpur tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap menurunnya nilai jual bandeng di masyarakat. Pemberian pupuk yang tidak berlebihan menjadi masalah lain dalam pengelolaan lahan tambak. Hal demikian telah menjadi praktek umum yang dilakukan pembudidaya, untuk meningkatkan produktivitas tambak secara instan. Kebiasaan yang ada yaitu untuk satu hektar tambak, pupuk yang diberikan berkisar antara 400–700 kg, dengan perbandingan Urea dan TSP yaitu 2:1. Pemberian pupuk berlebihan ini tentu saja akan meningkatkan produksi klekap di lahan tambak, namun hanya bersifat sementara. Setelah itu, produksi klekap dan produktivitas tambak akan turun, yang pada akhirnya tambak tidak dapat digunakan karena mengalami proses toxikasi, sebagai akibat pemberian pupuk yang berlebihan. Kesulitan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi menjadi salah satu hambatan dalam peningkatan produksi tambak. Mahalnya harga pupuk non-subsidi, dan kelangkaan pupuk bersubsidi pada periode waktu tertentu merupakan permasalahan yang dihadapi para pembudidaya. Akan tetapi dalam parkteknya para pembudidaya dalam penggunaan pupuk secara berlebihan. Alasan mereka adalah untuk meningkatkan produktivitas tambak. Cara-cara demikian sudah umum dilakukan pada budidaya tambak bandeng di Jawa Tengah. Walaupun demikian PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) sudah mulai memberikan penyuluhan ke petambak, agar mengurangi dosis yang berlebih dalam penggunaan pupuk anorganik (Urea, TSP, dan KCL), dan menganjurkan penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang telah mulai diinisiasi oleh pembudidaya dan kini menunjukkan hasil yang signifikan. Saluran Irigasi Para pembudidaya juga mengeluhkan sistem irigasi yang tidak optimal diakibatkan oleh tingginya laju sedimentasi pada saluran-saluran utama irigasi tambak. Sedimentasi pada saluran irigasi utama ini menyebabkan pemasukkan air bersih menjadi terhambat atau sama sekali tidak dapat dilakukan, yang berakibat menurunnya kualitas air tambak secara signifikan. Khususnya di Kabupaten Pati, saluran air utama dengan lebar sekitar 10–15 m dan kedalaman 4 m, dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan telah mengalami pendangkalan menjadi 1 m. Kurangnya dukungan teknis dari lembaga terkait menyebabkan pembudidaya di Pati melakukan inisiatif sendiri dengan swadaya memodifikasi perahu bermotor (Gambar 1). Fungsi perahu modifikasi ini adalah untuk mengaduk endapan lumpur
Gambar 1. Perahu modifikasi untuk pengeruk sedimen
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
130
dengan memanfaatkan pergerakan pasang surut air laut. Lumpur yang teraduk akan menjadi tersuspensi kembali dan akan terhempas ke laut ketika waktu air surut. Aplikasi teknologi sederhana ini sangat membantu untuk mempertahankan kondisi saluran utama di tambak agar tetap terjaga kedalamannya. Namun jumlah perahu pengeruk yang terbatas, tentunya tidak sebanding dengan jumlah tambak yang ada yaitu 10.604 ha, dengan demikian hanya sebagian kecil dari saluran utama yang dapat di layani oleh perahu modifikasi ini. Berbagai langkah usaha untuk mendapatkan bantuan jumlah perahu ini telah dilakukan, baik kepada pihak pemerintah mapun lembaga non pemerintah, namun sampai saat ini belum mendapatkan tanggapan yang positif. Pendederan/Penggelondongan Dalam rangkaian panjang budidaya ikan. Pemilihan benih merupakan hal yang perlu diperhatikan, yaitu benih harus memiliki kualitas baik, di antaranya sumber benih tersebut (strain induk), bentuk morfologi benih, fase/grade benih dan kesehatan benih. Variasi genetik benih yang tinggi, akan menghasilkan pertumbuhan yang baik dan tahan penyakit. Permasalahan benih menjadi masalah yang belum tertangani. Belum adanya pengontrolan dari pemerintah tentunya menjadikan masalah lain pada penggunaan benih di tingkat pembudidaya. Benih yang diperoleh dari unit pembenihan rakyat (UPR) pada umumnya berasal dari induk yang kualitasnya belum diketahui. Masalah tersebut akan berpengaruh terhadap mutu benih yang dihasilkan. Tidak adanya keseragaman benih yang digunakan menyebabkan pertumbuhan ikan yang tidak seragam. Oleh karena itu, diperlukan pengalaman dalam pemilihan benih sangat diperlukan, hal ini untuk mengetahui kualitas benih yang akan ditebar. Pola usaha yang berkembang di masayarakat pada umunya usaha pendederan dan penggelondongan. Skala pendederan umumnya dilakukan secara intensif atau semi intensif. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengatur waktu panen, selain itu juga, untuk memenuhi permintaan tambak pembesaran. Dalam usaha pendederan dimulai dari nener produksi hatcheri umumnya berumur 20–25 hari dan panjang berkisar 9,1–10,9 mm. Dalam usaha produksi pendederan bandeng ukuran 13,6–19,5 mm dibutuhkan waktu pemeliharaan 7–10 hari dan ukuran 25,6–29,8 mm selama 25–30 hari, sedangkan sintasannya berkisar antara 41,5%–94,8% dan 86,2%–89,8%. Secara fisik besar nener dengan umur tersebut adalah seukuran jarum dan tubuhnya transparan dengan panjang sekitar 12–13 mm. Nener terbiasa berada pada lingkungan terbatas (maksimal volume wadah pemeliharaan 30 ton) dan kadar garam yang relatif konstan (32–35 ppt). Sebelum dilakukan pendederan, nener dari hatcheri memerlukan aklimatisasi. Aklimatisasi pertama dilakukan dengan kantong plastik yang digunakan dalam transportasi yaitu dengan membukannya supaya menyesuaikan tekanan, suhu, dan salinitas. Langkah kedua yaitu dilakukan dalam bak plastik yang diisi 10 L air laut dengan kedalaman 10–20 cm dan ditebari nener sebanyak 10.000 ekor selama 24 jam. Selanjutnya diberi aerasi, sedangkan pakan yang diberikan adalah pelet atau telur rebus yang dihancurkan yaitu sebanyak 100% bobot biomassa. Lakukan penyiponan 2 jam setelah pemberian pakan, untuk selanjutnya nener siap diglondongkan. Sistem pendederan selain dilakukan di tambak, banyak juga di bak beton. Luasan untuk pendederan yang dilakukan di petak hamparan cukup bervariasi, namun untuk mempermudah pemanenan sebaiknya luas petakan kurang dari 200 m2. Dengan kedalaman air dipertahankan kurang dari 50 cm. Hal ini dilakukan untuk memungkinkan klekap dan plankton tumbuh (Ahmad et al ., 1998). Teknologinya untuk pendederan meliputi persiapan wadah, seleksi benih, penyediaan jenis pakan dalam jumlah cukup, pengelolaan mutu air, pengendalian hama penyakit, serta cara panen. Beberapa informasi pembudidaya menyebutkan bahwa benih yang akan digelondongkan harus sehat, yaitu dengan ciri-ciri: tubuh ramping, warna bening dan kelam, gerakan lincah dan ekor telah mengembang, bebas penyakit, serta mempunyai ukuran benih yang seragam. Usaha penggelondongan adalah bagian proses budidaya bandeng yang relatif sangat menguntungkan karena masa pemeliharaan nener yang singkat, dengan tingkat sintasan yang mencapai 70% memberikan marjin keuntungan sebesar 30%–40%. Di wilayah Pantura Jawa Tengah,
131
Perkembangan budidaya bandeng di pantai utara Jawa Tengah (Anjang Bangun Prasetio)
gelondongan dijual dalam berbagai ukuran tergantung permintaan. Namun demikian usaha ini mengalami beberapa kendala di antaranya adanya kualitas air yang cukup mengkhawatirkan, yaitu tingginya tingkat kekeruhan air tambak walaupun sistem tandon sudah diterapkan dalam pengelolaan tambak gelondongan. Serangan hama juga terjadi pada tambak gelondongan yaitu dengan kemunculan gelembung lendir berjumlah banyak pada dasar tambak yang menyebabkan nener tidak leluasa bergerak, sehingga mengalami kematian. Fluktuasi suhu air tambak yang cukup bervariasi juga mengakibatkan kematian nener namun belum mengkhawatirkan. Pada usaha penggelondongan, nener biasanya sudah mencapai ukuran 7–10 cm, setelah masa pemeliharaan 40–60 hari. Ukuran ini merupakan yang tepat sebagai gelondongan untuk penebaran berikutnya baik untuk tujuan bandeng umpan maupun konsumsi. Teknik Pembesaran Ukuran benih yang digunakan dalam pembesaran cukup bervariatif, yaitu ada dimulai dari tebar ukuran nener, ada juga tebar dengan ukuran gelondongan bahkan dalam usaha pembesarannya ada yang melakukan keduanya. Hal ini tergantung dengan banyak dan sedikitnya permintaan pasar atau juga adanya permintaan pasar yang bersifat mendesak pada waktu tertentu. Sementara ini, nener diperoleh dari hacheri Jawa dan Bali, biasanya berukuran rata-rata 4–7 cm. Sumber nener lainnya diperoleh dari hatcheri daerah Brebes, Pemalang, Wonokerto, Lamongan, Gresik, dan Gondol. Semakin jauh lokasi pengambilan benih tentunya akan menambah biaya, sehingga harga benih pun relatif mahal. Mahalnya harga benih ini menjadikan masalah tersendiri bagi pembudiaya. Apalagi adanya produktivitas tambak yang menurun dan biaya investasi yang semakin mahal pada siklus-siklus sebelumnya. Menjadikan para pembudidaya memerlukan subsidi benih dari pemerintah. Namun masalah tersebut hingga kini belum teratasi. Barangkali yang menjadi kendala adalah tidak masuknya bandeng sebagai program komoditas unggulan DKP (Anonim, 2006h). Sehingga sampai saat ini subsidi benih untuk bandeng di masyarakat tidak dapat direalisasikan. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap penurunan produksi bandeng adalah penggunaan pupuk berlebihan sehingga menambah biaya produksi, padat tebar yang sering kali tidak mempertimbangkan luasan tambak. Menurut beberapa responden, praktek penebaran yang seringkali dilakukan oleh pembudidaya adalah dengan menebar sebanyak mungkin gelondongan dengan harapan bahwa jumlah panen akan lebih banyak. Penyebab dari praktek pembesaran yang tidak efisien dan efektif ini adalah kurangnya informasi teknologi budidaya bandeng untuk sampai di tingkat pembudidaya serta kurangnya tenaga penyuluh perikanan yang ada di masing-masing kabupaten. Beberapa responden di Pekalongan juga menginginkan informasi dan teknologi baru dalam budidaya bandeng dapat disampaikan kepada mereka melalui tambak percontohan yang dapat menyediakan informasi real-time. Penanganan Hama dan Penyakit Secara umum, pengaruh hama dan penyakit pada produktivitas tambak bandeng tidak sebesar yang ditimbulkan oleh banjir ROB, abrasi, dan praktek-praktek pembesaran yang tidak efektif dan efisien. Namun kerugian yang dialami oleh pembudidaya dari hama seperti Trisipan, ikan gabus, dan nila yang memangsa benih gelondongan serta adanya serangan jamur pada ikan bandeng yang dipelihara, berpotensi menyebabkan kerugian yang signifikan. Penanganan hama Trisipan yang dilakukan oleh pembudidaya adalah dengan menggunakan pestisida dengan berbagai merek antara lain “Bintan atau Brestan” dengan konsentrasi 400 g/hektar, sedangkan untuk pemberantasan hama ikan gabus dan nila adalah dengan menggunakan pestisida “Dursban” dengan dosis 1,5 L/ha. Meskipun penggunaan “Brestan” telah dilarang oleh pemerintah setempat, dan sebagai solusinya dianjurkan menggunakan saponin (biji teh dan akar kastuba) yang lebih bersifat alami. Namun demikian para pembudidaya masih saja ada yang menggunakan jenis pestisida ini karena sangat efektif untuk membasmi hama Trisipan. Jenis-jenis pestisida ini memang terbukti sangat manjur namun akan sangat berdampak pada citra positif produk ikan bandeng Jawa Tengah, karena penggunaan pestisida dengan kandungan kimiawi yang berbahaya bagi manusia. Pasar internasional juga akan menolak produk-produk ikan yang terkontaminasi bahan pestisida ini.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
132
Berkaitan dengan kasus di atas, maka hendaknya tidak hanya pemerintah pusat akan tetapi pemerintah daerah juga ikut mengawasi mutu hasil perikanan mulai proses budidaya sampai pasca panen. Hal ini untuk menghindari terulangnya kasus-kasus Rapid Alert System (RAS) pada ekspor hasil perikanan Indonesia, yang menyebabkan produk perikanan kita diembargo di pasar Uni Eropa. Kasus itu antara lain ditemukannya kadar logam berat seperti Hg, Cd, dan Pb pada ikan ekspor Indonesia (Anonim, 2006i). Dalam penanganan hama dan penyakit, pencegahan merupakan langkah yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan pemantauan secara teratur terhadap kesehatan ikan yang dipelihara. Sebelum ditemukan gejala serangan penyakit, segera dapat diatasi dengan pengobatan yang tepat agar tidak menyebar ke petakan lainnya. Selain itu, perlu monitoring dan evaluasi terhadap lingkungan, karena munculnya penyakit erat kaitannya dengan lingkungan budidaya yang kurang mendukung. Aspek Pendukung Permodalan Permodalan merupakan masalah klasik yang dihadapi oleh hampir setiap pembudidaya tradisional di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah telah berupaya agar produktivitas bandeng Jawa Tengah terus meningkat, yaitu dengan melakukan pendampingan sekaligus memberi solusi untuk mendapat bantuan permodalan. Di antaranya melalui dana penguatan modal (DPM) bagi pembudidaya bandeng. Namun karena modal yang diberikan belum sebanding dengan tingginya biaya investasi untuk mempersiapkan lahan tambak karena tanah yang kritis/kurang subur, mahalnya nener, pupuk, biaya operasional pemeliharaan sampai ikan siap panen dan biaya pencegahan dan pemberantasan penyakit, maka upaya tersebut belum terlihat signifikan peningkatannya. Sebagian besar pembudidaya bandeng menggunakan modal sendiri untuk memulai satu siklus budidaya yaitu diperoleh dari keuntungan siklus sebelumnya. Ketergantungan ini sedemikian besar, sehingga jika pembudidaya tidak mendapat keuntungan dari proses budidaya sebelumnya, maka peluang untuk tidak melakukan proses budidaya selanjutnya sangat besar terjadi. Selain daripada itu, tidak mudahnya memperoleh kredit dari bank, karena masalah ketiadaan agunan yang memadai, merupakan kendala pula di dalam mengembangkan usahanya. Bank perkreditan rakyat yang beroperasi di Jawa Tengah tidak menetapkan perlakuan khusus bagi pembudidaya dengan pemberian kredit non-komersial yang berbunga rendah untuk memacu produktivitas. Kredit diberikan dengan standar bunga komersial dan syarat agunan berupa lahan tambak ataupun bahkan hak milik pembudidaya termasuk rumah dan barang bergerak lainnya. Kondisi ini sangat menyulitkan pembudidaya, karena insentif yang diperoleh dari pinjaman ini sangat tidak sebanding dengan risiko yang mereka harus terima. Sehingga hanya sejumlah pembudidaya yang dapat mengajukan permintaan kredit di bank sedangkan pembudidaya lainnya hanya menggunakan dana yang terbatas untuk memulai proses budidaya. Sebagai dampak karena minimnya modal, persiapan lahan dilakukan dengan tidak paripurna, termasuk penanganan hama dan penyakit dengan menggunakan bahan yang murah namun berbahaya dan bibit yang digunakan berkualitas rendah serta padat penebaran yang tinggi. Usaha pemerintah untuk meningkatkan produksi tambak telah dilakukan antara lain, kerja sama pemerintah daerah bersama Pusat Pengembangan Penyuluhan - BPSDMKP telah memberikan bantuan langsung berupa benih dan teknologi polikultur. Karena bantuan ini hanya berlangsung pada periode yang singkat dan parsial dan bukan melalui scheme yang sustainable dengan penerapan metode revolving fund, maka hasil dari kegiatan ini belum banyak memberikan dampak yang signifikan bagi para pembudidaya. Kelembagaan dan Keterlibatan Pemerintah Telah terbentuknya kelompok-kelompok pembudidaya, yang dicirikan dengan adanya pertemuan rutin bulanan dan iuran untuk mengatasi permasalahan yang muncul di tambak. Ini merupakan wujud adanya kelembagaan yang positif untuk mengatasi berbagai permasalahan berkaitan dengan budidaya. Kelompok-kelompok pembudidaya dibentuk oleh pemerintah daerah, dan beberapa
133
Perkembangan budidaya bandeng di pantai utara Jawa Tengah (Anjang Bangun Prasetio)
kelompok lain yang terbentuk dari inisiatif para pembudidaya di daerah ini. Dengan terbentuknya kelembagaanyang ada akan lebih memudahkan pemerintah dalam melakukan kontrol dan pembinaan secara langsung kepada masyarakat pembudidaya. Salah satu contohnya adalah program “Prasasti Mina” oleh Pusat Pengembangan Penyuluhan - BPSDMKP yang mendiseminasikan teknologi polikultur (Ikan bandeng air tawar dan ikan mas). Dan dalam prakteknya juga memudahkan dalam pembagian air irigasi antar pembudidaya, karena air melalui saluran utama. Dengan terbentuknya kelembagaan ini semakin memudahkan dalam pemberantasan hama dan penyakit serta penanganan penyakit seperti gabus dan nila. Keterlibatan pemerintah lainnya dalam peningkatan produksi bandeng adalah dalam bentuk capacity building. Kegiatan pelatihan kelompok pembudidaya baik lokal maupun studi banding pada daerah lain yang dianggap berhasil dalam budidaya bandeng juga telah dilakukan antara lain di Lamongan, Jawa Timur. Peningkatan kapasitas baik kuantitas maupun kualitas penyuluh perikanan merupakan salah satu aspek krusial dalam pengembangan budidaya bandeng. Hasil di lapang menunjukkan adanya keterbatasan jumlah penyuluh perikanan dibanding dengan jumlah pembudidaya yang ada. Data Kabupten Pati menunjukkan jumlah pembudidaya sekitar 24.767 rumah tangga atau 10 kelompok pembudidaya, sedangkan jumlah penyuluh perikanan yang ada hanya sekitar 19 orang. Ketimpangan komposisi ini mengakibatkan proses alih ketrampilan dan teknologi budidaya yang tidak maksimal dilakukan. Proses alih pengetahuan juga terjadi hanya sebatas di rapat-rapat kelompok pembudidaya. Pembinaan langsung kepada pembudidaya tidak mungkin dapat dilakukan, atau hanya sebagian kecil yang dapat dikunjungi oleh penyuluh perikanan. Penambahan jumlah tenaga penyuluhan perikanan melalui pengangkatan pegawai baru, atau kontrak kerja dengan sekolah tinggi perikanan maupun dengan model magang mahasiswa perikanan dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga penyuluh perikanan ini. Produksi dan Pemasaran Produksi perikanan budidaya di Jawa Tengah secara umum menunjukkan trend positif dari tahun ke tahun. Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, memproyeksikan bahwa peningkatan hasil budidaya mencapai 4,20% di mana tahun 2004 total produksi perikanan mencapai 84.797 ton dan diharapkan mencapai 100.646 ton. Namun produksi ikan bandeng Jawa Tengah menunjukkan hal yang sedikit bertolak belakang. Produksi bandeng tahunan mulai dari tahun 2003 sampai tahun 2005 mengalami penurunan. Dan produksinya mulai meningkat kembali di tahun 2004. Fluktuasi produksi ini diduga disebabkan oleh perubahan jumlah pembudidaya dan luas lahan tambak yang dibuka atau yang beroperasional kembali (Tabel 2). Dengan rata-rata padat tebar yang banyak dijumpai di lapang yaitu 80 ribu ekor gelondongan/ha, diperoleh hasil panen sekitar 700 kg untuk tambak tradisional dan 3 ton untuk tambak intensif, dengan lama pemeliharaan mencapai 3,5 bulan. Rata-rata sintasan selama waktu pemeliharaan mencapai 70%. Dari data di atas diperoleh angka produksi sekitar ±937 kg/ha/tahun atau hanya 469 kg/ha/siklus, dengan asumsi bahwa dalam satu tahun hanya terdapat dua kali siklus budidaya. Jumlah Tabel 2. Total produksi bandeng, jumlah pembudidaya, dan luas tambak di Jawa Tengah Tahun 2003 2004 2005 2006 2007
Jumlah Produksi
Pembudidaya
36.569,89 35.777,80 33.649,00 36.385,50 36.428,40
24.358 24.885 23.239 23.239 24.767
Sumber: DKP Provinsi Jawa Tengah (2008)
Luas tambak 34.973,10 37.600,30 38.910,70 42.119,70 37.873,90
134
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
produksi bandengan ini menunjukkan produktivitas tambak yang rendah yang ada di Jawa Tengah. Dengan semakin meningkatnya abrasi, frekuensi banjir ROB, dan berkurangnya produktivitas tambak serta pengelolaan tambak yang tidak berkelanjutan maka produksi bandeng di Jawa Tengah diperkirakan akan mengalami stagnasi dan bahkan penurunan yang signifikan di tahun-tahun mendatang. Rantai pemasaran (Gambar 2), diawali dengan pemanenan di tingkat pembudidaya selanjutnya di bawa ke TPI (untuk daerah Pati). Namun untuk daerah lain sistem penjualan dari pembudidaya langsung ke pedagang besar. Bahkan para pedagang besar langsung ke tambak, setelah ada kesepakatan harga bandeng dapat langsung dipanen. Dari pedagang besar, bandeng langsung di pasarkan baik berupa bandeng umpan, bandeng mentah maupun badeng olahan (bandeng presto dan lain-lain), atau juga para pedagang besar menjual ke penampung atau dijual ke pedagang pengecer di pasar ikan. Untuk para pedagang kecil atau pengecer, mereka menjualnya dalam bentuk segar/ beku atau juga diolah terlebih dahulu secara tradisional.
Pembudidaya
TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
Lokal, daerah lain dan ekspor
Pedagang besar
Pedagang eceran
Lokal
- Bandeng mentah - Bandeng umpan (hidup) - Produk olahan: bandeng presto, dan lain-lain
Gambar 2. Rantai pemasaran bandeng di Jawa Tengah Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapang, produksi bandeng dari tambak di Jawa Tengah hanya di pasarkan secara lokal di pasar-pasar tradisional dalam bentuk olahan seperti bandeng presto dan cabut duri. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah (2008) memperlihatkan bahwa dari total produksi budidaya termasuk bandeng yaitu sebesar 101.080 ton, dari total produksi yang ada berhasil menembus pasar ekspor hanya 20% atau 22.036 ton. Jumlah ekspor bandeng sangat kecil sekitar 35% dari total produksi perikanan budidaya Jawa Tengah. Beberapa kendala dalam proses pemasaran bandeng yaitu berfluktuasinya jumlah hasil panen bandeng yang kemudian mempengaruhi harga jual di pasar lokal. Kebiasaan dari para pembudidaya bandeng yang melakukan panen secara bersamaan menjadi penyebab utama menurun drastis harga jual bandeng. Saat dilakukan panen bersama, terjadi penurunan harga badeng yaitu Rp 5.000,-/kg sedangkan saat musim panen terpisah, harga mencapai Rp 13.000,-–Rp 15.000,-/kg. Penurunan harga terjadi juga disebabkan oleh masuknya produk bandeng dari daerah lain ke pasar-pasar di Jawa Tengah. Kendala lain yang menyulitkan pemasaran bandeng di Jawa Tengah adalah diversifikasi pasca panen produk bandeng yang terbatas yang hanya dalam bentuk bandeng presto, cabut duri, dan abon yang umumnya dilakukan secara tradisional (Gambar 3). Oleh karena itu, diperlukan diversifikasi berbagai olahan bandeng dengan tetap memperhatikan nilai gizi yang tinggi, menarik, dan aman dikonsumsi, sehingga akan lebih mempunyai daya tarik tersendiri bagi konsumen. Kurangnya akses ke pasar internasional merupakan kendala yang cukup serius untuk dipecahkan oleh stakeholder budidaya bandeng di Jawa Tengah. Penguasaan jalur perdagangan bandeng baik lokal maupun nasional yang dikuasai oleh “pengusaha besar” juga menyebabkan makin sulitnya
135
Perkembangan budidaya bandeng di pantai utara Jawa Tengah (Anjang Bangun Prasetio)
Gambar 3. Alat pembuat bandeng presto secara tradisional pengusaha tradisional dan kelompok pembudidaya tradisional untuk langsung mengakses pasar mancanegara. Akses ke pasar internasional juga dihambat oleh sulitnya untuk mendapatkan ukuran ikan yang seragam dalam jumlah yang besar, suplai ikan yang tidak dapat dijamin, dan pembuatan dokumen ekspor yang berbelit-belit. Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk bandeng siap ekspor juga belum ada atau belum didapatkan oleh petani maupun pengusaha kecil di Jawa Tengah. Peningkatan jumlah ekspor bandeng dapat dilakukan jika masalah-masalah yang menghambat proses ekspor tersebut dapat dipecahkan oleh stakeholder yang ada di Jawa Tengah terutama campur tangan pemerintah sebagai institusi birokrasi. Higienitas dan kualitas produk bandeng juga menjadi salah satu hambatan dalam ekspor hasil produksi bandeng di Jawa Tengah. Apalagi meningkatnya tuntutan konsumen akan jaminan mutu dan keamanan pangan mendorong pasar tunggal Uni Eropa memperketat ketentuan. Setiap produk perikanan yang mau diekspor harus mengacu pada SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 21/Men/ 2004 tentang Pengawasan Mutu Produk Perikanan yang Dipasarkan ke Uni Eropa. Oleh karena itu, penggunaan pestisida dalam penangangan penyakit dan hama bandeng menjadi ancaman serius untuk dapat membawa produksi bandeng Jawa Tengah ke pasar internasional. Penanganan pasca panen yang secara tradisional, selain akan mengurangi kualitas ikan bandeng, juga membuat citra buruk bandeng Jawa Tengah di pasar Internasional. Bahkan akan diembargo untuk dapat masuk ke pasar internasional. Data Statistik Kondisi ketersediaan data statistik di daerah sangat bervariasi, namun umumnya data tersebut tersebar di berbagai instansi, sehingga dibutuhkan koordinasi dan kerja sama yang lebih intensif untuk dapat mengakses data tersebut. Di beberapa kabupaten, bahkan masih terdapat beberapa data yang belum tersedia. Terutama data-data yang terkait budidaya, seperti data sumber benih, data produksi, data potensi lahan yang layak untuk budidaya. Demikian juga data pengolahan dan pemasaran sangat terbatas. Hal ini dibenarkan Sugama (2005) bahwa data statistik dan informasi pemanfaatan sumberdaya perairan dan data produksi dari sistem budidaya sangat langka dan kalaupun ada akurasinya sangat rendah. Padahal data-data tersebut sangat diperlukan untuk penyusunan kebijakan selanjutnya. Dalam Rumusan Forum Statistik Nasional Kelautan dan Perikanan (2009) disebutkan bahwa keberhasilan penyelenggaraan pembangunan nasional dapat dicapai apabila proses perencanaan pembangunan disusun berdasarkan pada data dan informasi yang cukup dan akurat. Penggunaan data yang akurat dan up to date akan mendorong terlaksananya pembangunan yang efisien dan tepat sasaran. Dengan demikian, minimnya data statistik yang tersedia di daerah/kabupaten, merupakan kendala dalam pengembangan budidaya bandeng di Jawa Tengah. Oleh karena itu, diperlukan
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
136
inventarisasi masalah dan kendala pengelolaan statistik perikanan budidaya, serta menyusun alternatif pemecahannya. Di samping itu juga, untuk mendapatkan konsistensi produk data statistik antara pusat dan daerah sebagai bahan pengambilan kebijakan bagi pembangunan perikanan. KESIMPULAN 1. Tidak maksimalnya produksi bandeng di Jawa tengah Tengah disebabkan belum diterapkan budidaya bandeng secara benar, seperti pengeringan lahan, pemupukan yang baik, serta pemberantasan hama dan penyakit, 2. Kurangnya tenaga penyuluh di tiap-tiap kabupaten merupakan kendala untuk dapat teraksesnya teknologi budidaya di masyarakat, 3. Saat ini telah terjadi pengurangan lahan tambak yang disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah setempat untuk kepentingan pengembangan sentra kawasan bisnis daerah. Padahal lahan tersebut merupakan sebagai sentra tambak yang cukup produktif. 4. Kurangnya modal para pembudidaya sehingga tidak dapat meningkat produksi secara maksimal. 5. Sebagian besar produksi bandeng di Jawa Tengah hanya dipasarkan secara lokal di pasar-pasar tradisional dan hanya sebagian kecil yang dapat dipasarkan secara nasional apalagi ekspor, yaitu dalam bentuk olahan seperti bandeng presto dan cabut duri. 6. Kondisi ketersediaan data statistik di daerah sangat bervariasi, namun umumnya data tersebut tersebar di berbagai instansi, sehingga dibutuhkan koordinasi dan kerjasama yang lebih intensif untuk dapat mengakses data tersebut. Bahkan beberapa kabupaten tidak tersedia data berkaitan dengan pengembangan budidaya. 7. Banyak kendala yang terkait mengapa produk bandeng Indonesia khususnya Jawa Tengah tidak dapat menembus pasar internasional, antara lain: · Kurangnya akses ke pasar internasional merupakan kendala yang paling serius untuk dipecahkan oleh stakeholder budidaya bandeng di Jawa Tengah. · Belum adanya SNI produk bandeng di tingkat pembudidaya · Sulitnya untuk mendapatkan ukuran produk bandeng yang seragam · Belum adanya suplai ikan dalam jumlah yang besar dan berkelanjutan, sehingga hal ini belum dapat menjamin permintaan pasar ekspor · Serta rumitnya pengurusan dokumen ekspor sehingga hal ini menjadi penghambat dalam proses ekspor. Rekomendasi Diperlukan langkah-langkah strategis untuk peningkatan produksi bandeng di Jawa Tengah, antara lain: 1. Menerapkan teknik budidaya yang efisien dan efektif serta ramah lingkungan 2. Revitalisasi lahan tambak yang ditinggalkan, 3. Perlu dukungan scheme pendanaan yang fleksibel dan murah melalui pinjaman lunak non komersil dari perbankan, 4. Perlu peningkatan jumlah PPL, ini terkait dengan luasnya wilayah dan jumlah pembudidaya di tiap-tiap kabupaten, sehingga teknologi budidaya dapat mudah diakses masyarakat, 5. Perlu diseminasi teknologi dan informasi budidaya bandeng dengan memanfaatkan kelompokkelompok budidaya yang telah terbentuk. 6. Penanggulangan banjir ROB/abrasi pantai dengan rehabilitasi jalur green belt mangrove serta bimbingan secara kontinu kepada pembudidaya lewat peningkatan jumlah dan kualitas tenaga penyuluh perikanan yang ada di Jawa Tengah. 7. Perlu dibentuk kelembagaan unit data dan informasi baik di tingkat pusat maupun daerah, yang diformulasikan secara nyata dengan kelengkapan fungsional organisasi perstatistikan yang memadai, sehingga tanggung jawab terhadap kualitas data statistik menjadi lebih besar dan sinkronisasi pusat dan daerah dengan mudah dilakukan.
137
Perkembangan budidaya bandeng di pantai utara Jawa Tengah (Anjang Bangun Prasetio)
8. Serta perlu perhatian khusus agar produksi bandeng dapat menembus pasar internasional, yaitu dengan mengatasi kendala-kendala yang ada. DAFTAR ACUAN Anonim. 2007a. Cara baru konsumsi bandeng. www.Trobos.com, diakses Tanggal 4 April 2010. ————. 2006b. Rencana Strategis Perikanan Budidaya 2005-2009. Ditjen Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, 96 hlm. ————. 2008c. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah tahun 2008. Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, 107 hlm. ————. 2004d. www. Suara Merdeka, diakses tanggal 9 April 2010. ————. 2008e. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kendal tahun 2008. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kendal, 69 hlm. ————. 2008f. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pekalongan tahun 2008. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pekalongan, 63 hlm. ————. 2006g. Mengenal ikan bandeng. www. AsianBrain.com, diakses Tanggal 4 April 2010. ————. 2006h. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.02/2006. Tata cara penyediaan, pencairan dan pertanggungjawaban dana subsidi benih ikan budidaya tahun anggaran 2006. ————. 2006i. Menjawab ancaman embargo Uni Eropa.www.beritaindonesia.co.id, diakses Tanggal 9 April 2010. Ahmad, T., Yakob, M.J.R., Rohaniawan, D., Suparya, M., & Budiman. 1997. Sistem usaha perikanan berbasis bandeng umpan. Laporan Hasil Penelitian ARMP 1996/97. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros, 57 hlm. Abidin, M.Z., Prayitno, S.B., & Soedarsono, P. 2006. Aplikasi teknologi tandon dalam peningkatan produksi tambak polikultur (ub) di Desa Tunggulsari, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati. J. Pasir Laut, 1(2): 1-11. Erungan, A.C. 1997. Geosmin sebagai penyebab citarasa pada lumpur serta kemungkinan penanggulangannya. Buletin Teknologi Hasil Perikanan, 4(2). Ismail, A., Poernomo, A., Sunyoto, P., Wedjatmiko, Dharmadi, & Budiman, R.A.L. 1994. Pedoman teknis usaha pembesaran ikan bandeng di Indonesia. Seri Pengembangan Hasil Penelitian No. 26/1993. Badan Litbang Pertanian, Jakarta, 73 hlm. Kordi, G.M. 2009. Sukses memproduksi bandeng super untuk umpan, ekspor, dan indukan. Penerbit Andi. Jakarta, 148 hlm. Rachmansyah, Tonnek, S., & Usman. 1997. Produksi ikan bandeng super dalam karamba jaring apung di laut. Dipresentasikan pada Seminar Regional Hasil-Hasil Penelitian Berbasis Perikanan, Peternakan dan Sistem- Sistem Usaha Tani Di Kawasan Timur Indonesia, Naibonat-Kupang, 28-30 Juli 1997, 22 hlm. Subani, W. 1982. Ikan umpan hidup sebagai penunjang perikanan cakalang (Pengkajian hasil penelitian ikan umpan hidup di perairan Indonesia Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Indonesia Barat). L. Pen. Perik. Laut, (24): 1-25. Suwidah, Wedjatmiko, Azizi, A., & Rukyani, A. 2001. Pengembangan usaha tambak budidaya udang di Kalimantan Selatan (Eds.). Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan 2001, hlm. 51-61. Sugama, K. 2005. Status teknologi perikanan budidaya untuk mendukung perikanan berkelanjutan. Buku perikanan budidaya berkelanjutan, hlm. 1-5. Taukhid, Suwidah, Sudradjat, A., Taufik, P., Hikmayani, Y., & Murniyati. 2002. Kebijakan pengeloaan tambak udang di pantai utara dan selatan Jawa. Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan 2002. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.