Perkawinan Terlarang : Pantangan Berpoligami di Desa-desa Bali Kuno Karya I Made Sujaya Oleh :
SITA T. VAN BEMMELEN (Yayasan Bali Sruti) Tertarik……. Saya menjadi tertarik dengan buku ini, karena judulnya. Saya sudah membelinya sebelum saya tahu akan diadakan acara ini. Rasa tertarik terkait pengamatan saya sebagai outsider sekaligus insider suatu keluarga besar Brahmana di Bali di mana perkawinan poligami bukan kekecualian pada masa yang lalu. Mertua laki-laki yang sudah almarhum punya istri empat, ada dua kakak ipar yang juga punya istri lebih dari satu. Baru pada generasi yang sama dengan suami saya para lelaki dari griya kami sepertinya tidak berminat lagi beristri lebih banyak. Mungkin masih ada yang berminat, tetapi entah mengapa mereka tetap mempertahankan perkawinan dengan istri satu orang saja. Hanya satu orang yang diketahui pernah punya rencana ngemaduang, tapi akhirnya tidak jadi: istrinya minta cerai duluan. Saya juga tertarik karena akhir tahun lalu saya sendiri ikut meramaikan wacana tentang poligami yang menjadi inspirasi bagi penulis buku Perkawinan Terlarang, Pak Made Sujaya. Saya diundang sebagai nara sumber dalam acara interaktif di Bali TV yang disiarkan pada tanggal 19 desember. Waktu itu ada seorang bapak, saya lupa namanya, yang telponnya masuk. Permintaannya agar dilakukan sesuatu untuk mencegah trend yang diamatinya sendiri. Menurutnya, jumlah laki-laki yang mengambil istri kedua di lingkungan desa meningkat. Wah, payah kalau begitu, saya pikir. Dan apa, ya, yang bisa dilakukan?
1
Melihat judul buku Pak Made, saya langsung teringat pada permintaan bapak itu. Rupanya, ada tradisi di Bali yang melarang berpoligami. Mungkin solusinya ada di situ?, saya pikir.
I.
Mengenai Buku Ini
I.1.
Kita Diajak ‘Tamasya’ Setelah mulai membaca, ternyata buku ini tidak hanya tentang larangan
berpoligami saja. Penulis bagai seorang ‘guide’ mengajak kita berkunjung ke desa-desa yang menjadi lokasi kajiannya. Desa pertama adalah Tenganan Pegringsingan di kabupaten Karangasem dekat Candidasa, desa yang pernah saya kunjungi sekian tahun lalu. Empat desa lain yang semuanya letaknya di kabupaten Bangli, yaitu Desa Penglipuran, Bayung Gede, Bonyoh, dan Umbalan. Setiap desa diperkenalkan dengan deskripsi rute jalan kesana, dan alam sekitarnya seolah-olah kami adalah turis yang diajak bertamasya. Kita sepertinya menghirup udara segar di desa-desa itu, menikmati keindahan alam sekitarnya, bentuk khas tata ruang dan bangunan di desa-desa ini. Kita juga menjadi tahu mengenai asal-usul dan sejarah desa itu serta mata pencaharian penduduknya, yang cukup bervariasi sesuai dengan kondisi alam dan tradisi kerajinan setempat. Rasanya asyik sekali, ingin langsung berangkat kesana. Pintar juga, si penulis, mengantar kami jalan-jalan, walau dalam bayangan saja. I.2.
Sejarah Asal-usul Desa Bali Kuno Termasuk perkenalannya dengan desa-desa tempat kajiannya, Pak Made
memberikan keterangan tentang asal-usul nama dan sejarah setiap desa. Leluhur penduduk desa Tenganan Pegringsingan menurut kisah orang setempat berasal dari desa Paneges di daerah Bedulu, Gianyar. Pak Made menceritakan sebuah ‘mitos’ yang menyangkut
pemberian wilayah desa oleh
raja Bedahulu kepada penduduk pertama. Wilayah yang boleh mereka tempati
2
seluas bau busuk bangkai seekor kuda kesayangan Sang Raja dapat dicium! Ini bukan satu-satunya kisah yang berada di antara mitos dan fakta sejarah yang disajikan Pak Made. Memang bijak untuk memasuki kisah-kisah seperti ini karena bagi saya dan pasti juga bagi pembaca lain memberikan nilai tambah pada buku ini. Siapakah yang tidak suka membaca cerita mitos, dongeng, dan lain sebagainya? Empat desa yang lain ternyata memiliki hubungan kekerabatan dari dahulu kala. Desa Bali Kuno yang rupanya menjadi desa induk sejumlah desa Bali Kuno lain, adalah desa Bayung Gede. Namun, entah kenapa, kondisi desa ini terkait topik buku ini dibahas setelah kondisi desa Penglipuran, yang penduduknya diketahui berasal dari desa Bayung Gede penduduknya dan oleh karena itu diduga memiliki banyak persamaan dengannya. Kiranya tepat sekali penulis percaya pada informannya tentang hubungan antar dua desa ini. Bukti yang disebut adalah kebiasaan orang Penglipuran untuk Nunas tirtha ke Bayung Gede. Hubungan yang sejenis dapat saya amati antara griya suami saya di Klungkung dan griya asal keluarga besar di Sidemen. Kami harus nunas tirtha kesana untuk upacara tertentu. Adapun persamaan lain, yaitu orang Bayung Gede ditarik oleh raja Bangli dan diberikan tanah di wilayah yang kemudian dinamakan Penglipuran. Begitu pula ceritanya asal-usul griya kami di Klungkung: katanya seorang pedanda dari Sidemen ditarik oleh raja Klungkung ke Klungkung dan diberi tanah tidak jauh dari puri. Desa Bonyoh kemungkinan besar juga merupakan pemecahan dari Bayung Gede dan letaknya tidak jauh dari desa induk itu, walau juga ada versi mengenai asal-usul desa ini yang lain. Dan desa terakhir, yaitu Umbalan, kelihatannya desa pecahan dari Bonyoh. Hubungan antar dua desa ini dapat dilihat dari kunjungan orang Umbalan ke Bonyoh kalau ada odalan di Pura Klenting di sana dan adanya larangan saling ambil istri (juang kejuang) yang dipertahankan dua desa ini. 1 Mungkin ada cerita mitos di belakangnya? 1
Pantangan ini juga terdapat di masyarakat Toba Batak dimana desa-desa tertentu yang berasal dari leluhur yang sama melestarikannya. Latar belakangnya adalah bahwa tidak boleh menikah dengan orang yang
3
1.3.
Persamaan antar Desa: Ulu-apad dan Pantangan Berpoligami Yang jelas dari buku ini adalah bahwa empat desa yang disebut pertama -
Tenganan, Bayung Gede, Penglingsiran, dan Bonyoh - termasuk kategori Bali kuno karena mengenal sistem sosial dan ritual yang sama, yang disebut Ulu-
apad. Artinya Ulu-apad adalah ‘mendaki tangga sampai ke ujung. Sistem ini menempatkan seluruh krama desa adat memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin atau tetua adat berdasarkan ‘senioritas’ perkawinan, yaitu pasangan yang paling lama menikah menempatkan posisi dalam ritual adat/agama yang paling tinggi, yang kedua ambil posisi di bawahnya dan seterusnya. Sebutan untuk fungsi ritual memang berbeda-beda tapi mendasari prinsip ulu-apad yang sama. Pasangan yang berperan dalam menjalankan fungsi-fungsi ini dikenal dengan istilah bulu-angkep yang etimologinya tidak saya temukan. Semua desa ini juga memiliki persamaan lain, yaitu pelarangan atau pantangan berpoligami. Desa
Umbalan
tidak
mengenal
sistem
Ulu-apad, tapi pantangan
berpoligami berlaku di sana juga. Oleh karena itu penulis Pak Made berpendapat, bahwa budaya desa ini adalah campuran antara budaya Bali kuno dan Bali ‘Majapahit’.
Bukti
lainnya
adalah
bahwa
ada
keluarga
Umbalan
yang
menggunakan tradisi Bali Kuno dalam mengurusi mayat yaitu bea tenam (arti dan etimologinya?), dan juga ada yang berpegang pada tradisi Bali Majapahit, yaitu ngaben. Argumentasi penulis ini cukup masuk akal. I.4.
Sanksi, Efektivitas dan Dampak Menarik pula untuk melihat bagaimana caranya masyarakat setiap desa
tersebut mencoba untuk menghindari terjadinya poligami. Di bawah ini disusun informasi tentang sangsi dan kepercayaan terkait poligami per desa (diambil dari karya Pak Made Sujaya).
leluhurnya sama, walau desa itu sudah merupakan pemecahan dari marga induk yang sama dan larangan menikah tidak perlu dipertahankan lagi.
4
Hukuman niskala
Desa
Sanksi Adat untuk Pelanggar
Tengganan
1. Laki-laki yang termasuk krama desa ngarep
P.
kehilangan status krama desa ngarep dan dapat status krama gumi pulangan (lapisan penduduk kedua). (Kiranya tidak diatur dalam awig-awig).
Penglipuran
1. sama dengan 1. Tengganan 2. larangan diatur dalam awig-awig 3. perkawinan kedua tidak dipuput oleh Jero
Kubayan (?). 4. dikucilkan ke Karang Mamadu (tanah di luar desa yang dianggap leteh di sebelah selatan desa (kurang suci) 5. Tidak boleh sembayang di pura emongan desa (karena dianggap kotor), hanya dirumahnya saja. Pelanggar tidak akan kena sangsi kalau istri pertama diceraikan.
Bayung Gede
1. Keluarga poligamis harus tinggal di luar Musibah
akan
pekarangan desa, di tebenan (hilir), sebelah menimpa selatan
atau
barat.
Tempatnya
adalah yang
pemondokan yang namanya Peludu. Catatan. Tidak ditulis dalam awig-awig
warga menjalani
hidup
berpoligami
(cepat
meninggal
dunia)
kalau
menetap pekarangan
di desa.
Sudah ‘terbukti’.
Bonyoh
1. Pantangan ngemaduang ditulis dalam awig2. (baru oleh kelian yang terakhir) 2. Status krama adat lelaki yang memaduang praktis dicabut
5
3. Tidak
diperkankan
tangkil
ke
desa
(sembahyang di pura emongan) 4. Perkawinan
kedua
tidak
diupacarai
oleh
mangku desa. 5. Hanya saja poligamis tetap berhak dikubur di kuburan desa (setra) Dulu: 6. Dilarang masuk ke pekarangan desa (sudah dihapus) Catatan. Yang dianggap krama desa hanya lakilaki yang beristri dan istrinya harus satu.
Umbalan
1. Status sebagai krama desa lenyap (menjadi Ida
Batara
krama tamiu – krama pendatang/warga dinas Sasuhan tetap)
memberikan
2. Tidak boleh bersembayang di Pura Puseh Agung dan Pura Dalem Pingit. 3. Seluruh
akan
keluarganya
sepekarangan
hukuman niskala
kena
sangsi adat 1 dan 2! Catatan. Pantangan tidak ditulis dalam awigawig. Catatan 2. Laki-laki yang ingin menikah dengan istri lain, harus bercerai dulu dan baru boleh menikah lagi kalau istri pertama telah menikah.
Menarik bahwa pantangan berpoligami tidak dilarang secara formal melalui awig-awig, kecuali di desa Bonyoh dan itupun suatu fenomena baru. Tapi itu tidak berarti bahwa pantangan ini yang merupakan dresta (kebiasaan?) kehilangan gigi. Khususnya sanksi-sanksi sosial dan ritual yang dijatuhkan pada keluarga berpoligami - dikeluarkan sebagai krama desa inti (krama desa
ngarep), larangan bersembayang di sejumlah pura desa, upacara perkawinan tidak dipimpin oleh petinggi adat, dan harus bikin tempat tinggal di luar pekarangan -, jelas sangat berat. Khususnya larangan bersembayang di pura 6
desa tertentu dan keharusan tinggal di luar pekarangan desa akan mengingatkan si pelanggar seumur hidup bahwa dia tidak berkedudukan sederajat dengan yang laki-laki sedesa yang lain. Rupanya toleransi desa hanya sebatas tidak dicopot haknya atas tempat di kuburan desa setelah meninggal dunia. Bagaimana efektivitas dari sanksi-sanksi tersebut? Apakah membuat kaum laki-laki takut atau kapok mengambil istri kedua? Jumlah kasus yang terhitung oleh para informan tidak banyak. Di Tenganan tidak ada menurut informan. Di Penglipuran dulu ada, tapi sejak lama tidak lagi ada kasus. Dua lakilaki di Umbalan yang melarang pantangan berpoligami memilih pindah ke luar desa. Di Bayung Gede paling sedikit ada satu pelanggar yang masih menetap disitu tapi informasi lanjut tidak ada. Kesulitan untuk mempertahankan pantangan ini terlihat dari pengalaman di desa Bonyoh. Belum lama terdapat tiga kasus pelarangan yang tidak dapat restu dari para pemimpin adat (peduluan). Sementara itu pemerintahan dinas mengizinkannya. Hasilnya? Akhirnya bendesa adat sampai memundurkan diri dan terjadi kevakuman selama delapan tahun. Penggantinya memasukkan pantangan berpoligami sebagai awig-awig.2 Aspek yang relevan terkait hal seperti awig-awig yang berisi larangan atau patangan berpengaruh pada komposisi masyarakat desa. Seperti penulis Made Sujaya telak menyebutkan dalam pendahuluan, banyak orang kota berasal dari desa dan mereka tetap pulang dan rindu sama desa asal mereka. Bisa saja itu benar, tapi apakah orang kota asal desa itu masih ingin kembali menetap di desa? Tidak jarang orang yang sukses di kota dan sudah menjadi biasa dengan kebebasan dari serangkaian kewajiban adat di desa, merasa kewajiban adat di desa adalah beban. Belum lagi kontrol sosialnya yang ketat. Fenomena ’braindrain’ dari desa tidak terlihat di Bali saja tapi juga di daerah pedesaan provinsi lain. Akibatnya, masyarakat desa kehilangan ’darah’, tidak bertambah jumlah penduduk. Mungkin itu juga terjadi di 5 desa yang dikaji dalam buku ini yang
2
Hal 60-61.
7
penduduknya tidak banyak.
Perkembangan penduduk hanya tercatat untuk
Tenganan Pegringsingan. Ternyata, banjar yang masih mempertahankan adat secara ketat, Banjar Kauh dan Tengah, pertambahan penduduk hanya sedikit sekali, sedangkan banjar yang menampung pasangan yang tidak dapat mempertahankan aturan endogami saja yang ’subur’.
Desa Tenganan 1. Banjar Kauh 2. Banjar Tengah 3. Banjar Pande
2002 Jiwa 178 129 273 580
KK 56 44 109 209
2005 KK 60 43 112 215
Jiwa 184 124 343 651
I.5. Tafsiran Adanya Pantangan Berpoligami Bagaimana tafsiran para informan lokal Pak Made tentang adanya pantangan /larangan terkait poligami? Sejumlah informan mengaitkannya dengan sistem ulu-apad. Mangku Widia, penglingsir desa adat dari Tenganan: “Krama
desa
dipantangkan
berpoligami
karena
sistem
ulu-apad
yang
mengharuskan mereka yang ikut dalam jajaran krama desa haruslah bulu-
angkep
(sepasang
suami-istri)”.
Informan
ini
juga
menilainya
sebagai
penghargaan yang sama terhadap laki-laki dan perempuan. 3 Pak Suwela dari Bayung Gede memberikan tafsiran yang kurang lebih sama: “Hak dan kewajiban antara krama laki-laki dan perempuan yang ikut dalam keanggotaan ulu-apad sama. Jika orang sudah memiliki istri lebih dari satu akan terjadi kepincangan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban”. 4 Jero Kubayan Mulih, seorang lansia yang berumur 80 tahun dari Penglipuran memberikan tafsiran yang bersifat duniawi. Menurut dia pantangan ini mungkin lahir karena dulu para pemimpin desa ini harus mengurusi orang bertengkar dalam keluarga lantaran masalah adanya istri baru.5 Pandangan I
3
Hal. 11-12. Hal 45. 5 Hal. 32. 4
8
Wayan Nyirma dari Bonyoh juga senada: orang ngemaduang sulit untuk mencapai kebahagiaan seperti yang dirasakan warga yang hanya memiliki seorang istri. 6 Sayang, tidak jelas apa yang secara konkrit dimaksudkan dengan ‘kepincangan’ yang disebut oleh informan Pak Suwela dari Bayung Gede. Mengapa sistem ulu-apad terganggu kalau seorang laki-laki punya istri lebih? Fungsi adat apa yang tidak dapat dikerjakan dengan semestinya dan alasan religiusnya apa? Rupanya penulis Made Sujaya menerima adanya kaitannya antara sistem ulu-upad dan berlakunya pantangan berpoligami apa adanya, tanpa
menelusurinya
lebih
mendalam.
Mungkin
karena
informan
yang
dikonsultasi juga tidak dapat menjelaskannya lebih jauh? Pengamatan saya, banyak orang Bali memang cenderung menerima aturan adat apa adanya, tanpa mempertanyakan mengapa harus begitu. Mungkin Made Sujaya juga merasa tafsiran yang dimaksud bukan tugasnya sebagai seorang wartawan. Dan memang, itu termasuk bidang ilmu antropologi. 1.6. Kaya informasi Etnografis mengenai Pantangan Lain Selain pantangan berpoligami buku ini juga memberikan informasi mengenai serangkaian pantangan dan kebiasaan unik lain yang dilestarikan di lima desa yang diperkenalkan pada pembaca buku ‘Perkawinan Terlarang’. Penduduk desa Tenganan masih diharuskan menikah dengan orang sedesa: yang tidak mematuhi aturan endogami ini tidak dapat ditempatkan lagi sebagai krama desa inti. Perceraian dan pernikahan ulang bagi janda dan duda dilarang (kecuali bagi duda dengan seorang gadis), begitu pula adopsi anak. Gadis yang lahir di luar nikah dibuang dari desa bila tidak laki-laki yang mau bertanggungjawab. Sejumlah rite de passage saat orang menikah diceritakan secara detil. Macam-macam pantangan yang menyangkut larangan lantaran orang atau tempat tertentu dianggap ‘leteh’ (kotor) juga dibahas.
6
Hal. 61.
9
Semua informasi itu membuat buku ini menarik sebagai sumber mengenai kehidupan penduduk desa-desa Bali kuno atau Bali Aga. Boleh dikatakan Pak Made Sujaya telah berhasil mengangkat desa-desa Bali Kuno yang “selama ini kerap terabaikan dalam pembicaraan tentang desa adat atau desa pakraman”7 . I.7.
Sedikit Mengganggu… Secara umum buku ‘Perkawinan Terlarang’ sangat enak dibaca. Gaya tulis
Pak Made mirip gaya tulis wartawan kondang Aryantha Soethama yang mungkin dapat dikatakan ‘mentornya’? Hanya satu hal yang saya merasa mengganggu dan itu menyangkut banjirnya istilah-istilah dalam bahasa Bali yang tidak semuanya dijelaskan arti dan makna, baik yang umum maupun yang mungkin hanya berlaku setempat. Hal tersebut dapat dinilai mengganggu oleh pembaca yang tidak mengenal budaya Bali sama sekali. Saya sendiri yang pengetahuan mengenai istilah adat Bahasa Bali masih terbatas, juga sering bertanya-tanya.8 Mungkin masalah ini dapat diatasi dengan menambah glosari tentang istilah yang termasuk penjelasan etimologis. Hal kedua yang ingin saya kemukakan menyangkut informan yang dipakai sebagai sumber. Rupanya penulis hanya mewawancarai kaum laki-laki yang punya kedudukan dalam pemerintahan atau adat/ritual atau sudah berusia lanjut. 9 Sebaiknya pilihan informan itu dibahas dalam pendahuluan. Informan yang diseleksi memang cocok sebagai sumber kunci mengenai aturan yang diberlakukan di desa. Tetapi sejauh mana orang desa juga mengenalnya? Bagaimana pendapat mereka tentang aturan tersebut dan apa yang membuat mereka mematuhinya? Ada satu orang, Wayan Suwela dari Bayung Gede saja 7
Hal. 89. Bahwa budaya di desa-desa ini terabaikan sebenarnya masuk akal, karena jumlah desa kuno ini sedikit sehingga tidak representatif untuk desa adat di Bali dalam wacana tentang desa adat versus desa dinas. Apalagi dari segi fungsionaris desa, yang dipilih dan bukan ditentukan oleh sistem up pemerintahan 8 Contoh: apa perbedaan antara leteh dan cuntaka? 9 Tenganan: 1) I Nyoman Nuja, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD); 2) Jro Mangku Widia, penglisir Desa Adat dan sekretaris Desa. Penglipuran: 1) I Wayan Supat (Bendesa adat Pakraman Penglipuran; 2) Jero Kubayan Mulih (usia 84). Bayung Gede 1) Jro Mangku Sriman, kelian Desa Pakraman; 2) I Wayan Suwela, orang poligamis. Bonyoh: 1) I Wayan Gandra, bendesa adat; 2) I Wayan Kanta, lansia; 3) I Wayan Nyirma, perbekel. Umbalan: 1) Jero Mangku Wayan Natri, Kelian Dinas Umbalan; 2) I Wayan Tekek, kelian desa adat Umbalan.
10
yang tercantum sebagai pelanggar pantangan berpoligami. Mengingat beratnya sanksi mengapa dia akhirnya memilih menikah dengan satu istri lagi? Pertanyaan itu rupanya tidak diangkat, jawabannyapun tidak ada. Dan bagaimana perasaan dan pengalaman dua istrinya, khususnya yang pertama? Menurut saya, ada baiknya kalau wartawan ikut mematuhi keharusan mutlak bagi seorang antropolog bahwa sumber informasi tidak boleh tetua adat saja, tapi sebaiknya terdiri dari wakil kelompok sosial yang berbeda dan termasuk laki-laki dan perempuan. Barulah dapat dihasilkan suatu gambaran tentang budaya yang bersifat holistik. Secara umum penulis jelas bermaksud untuk memperhatikan tatanan gender di masyarakat Bali kuno dan khususnya kedudukan perempuan (untuk diskusi lihat di bawah). Tapi yang perlu diwaspadai adalah bias gender yang terselip tanpa sadar dalam deskripsi. Contoh yang cukup mengganggu adalah uraian tentang tradisi Tenganan “Materuna Nyoman”. 10 Pada paragraf pertama yang ditampilkan adalah pemuda dan gadis Tenganan Pegringsingan yang diarahkan untuk tidak buru-buru menikah dan wajib ikut organisasi daha-teruna. Kemudian mengenai prosesi Materuna Nyoman keliling desa ditulis bahwa anakanak yang diajak “mengenakan pakaian adat, tidak berdestar, mengenakan kain dan menyelipkan sebilah keris di pingang mereka. Dari deskripsi ini saya ambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan anak-anak hanya anak laki-laki. Anak perempuan tidak pernah berdestar dan keris adalah barang laki-laki. Ataukah saya salah tafsir? Kalau benar inilah contoh ‘seksisme’ dalam bahasa, karena istilah anak-anak yang mencakup baik laki-laki maupun perempuan dan bukan anak laki-laki saja. Buku ini dilengkapi dengan koleksi foto-foto dalam warna hitam putih. Tentunya selalu menarik untuk memandang foto, tapi foto itu sendiri juga dapat menimbulkan banyak pertanyaan mengenai relevansinya terkait teks. Mengapa foto pertama yang ditampilkan dari hampir setiap desa menggambarkan gedung
10
Hal. 13-16.
11
pemerintahan komplit dengan plangnya? Sedangkan gambar itu justru sedikit kaitannya dengan ‘desa Bali kuno’. Lebih baik mungkin foto rapat krama desa. Soalnya saya juga ingin tahu apakah hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam ulu-apad juga terlihat dari kehadiran kedua-duanya atau seperti biasa di desa di Bali, rapat dihadiri kaum laki-laki saja. Sejumlah foto lain membuat penasaran. Foto pasangan pengantin Tenganan (hal. 24) misalnya yang sama sekali tidak kelihatan ciri khas Tenganan dari segi pakaian (mengapa tidak?). Dan foto setra ari-ari Bayung Gede, yang tentunya suatu fenomena menarik, tapi tidak dibahas oleh penulis.
II. Topik Diskusi II.1. Tinggi Nilainya Lembaga Perkawinan? Penulis menutup bagian tentang desa Tenganan dengan cukup yakin: “Setelah berkeluarga (..) lembaga perkawinan yang suci itu patut dijaga. Berpoligami pantang, cerai pun dilarang” (hal 17).
Pertanyaan saya: apakah
perkawinan dalam sistem nilai Bali kuno memang dipandang sebagai hal yang suci? Dan apakah adanya pantangan berpoligami dan larangan bercerai memang adalah buktinya? Alasan mengapa saya angkat pertanyaan ini adalah bahwa ada sejumlah tradisi yang membuat saya bimbang. Misalnya, mengapa upacara perkawinan sangat sederhana di Tenganan dan tidak dipuput oleh sulinggih tapi oleh seorang perempuan yang namanya Tu Genah (rupanya semacam pemangku)? Apakah itu bukan bukti bahwa perkawinan – kalaupun ‘suci’ – tidak memiliki ‘derajat’ kesucian yang tinggi? Selain itu, dari pengupasan sejumlah pantangan seputar perkawinan saya justru dapat kesan bahwa bukan kesucian perkawinan merupakan
concern utama masyarakat Bali kuno, tapi kesucian pekarangan desa dan tempat sembayangnya. Itulah yang sepertinya ada di belakang
12
pantangan berpoligami. Orang berpoligami dianggap bisa membuat ruang suci
leteh, sama dengan seorang gadis yang hamil di luar nikah.11 Pantangan bagi sepasang suami-istri yang baru menikah untuk masuk desa melalui pintu gerbang utama (Bayung Gede) mungkin juga termasuk kategori ini. Mereka mungkin dianggap belum langsung dalam keadaan ‘stabil = bersih’ sehingga dapat mengganggu kesucian pekarangan desa. Analisis
yang
saya
tawarkan
adalah
bukan
kesucian
perkawinan
merupakan kerangka referensi (frame of reference) masyarakat Bali kuno, tetapi kesucian ruang dan manusia. Dengan kata lain konsep ‘perkawinan yang suci’ adalah ‘asing’ bagi masyarakat desa Bali kuno. Mungkin saja konsep ini telah merasuk kedalam mindset orang Bali secara umum, suatu wujud ‘penjajahan kesadaran’ atau imperialisme budaya, entah dari budaya dominan di Indonesia ataupun dari Barat… Kadang-kadang wujud imperialisme budaya sangat dirasakan masyarakat. Contoh, wacana di Bali tentang RUU pornografi yang heboh luar biasa tahun lalu. Atau wacana tentang kesetaraan dan keadilan gender. Tapi wujud imperialisme tersebut tidak selalu terdeteksi atau tercium semudah itu. 12 II.1. Perempuan Sederajat atau Korban? Tidak perlu diragukan bahwa penulis buku ‘Perkawinan Terlarang’ merasa terpanggil untuk memberikan gambaran mengenai kedudukan perempuan di desa Bali Kuno. Sistem ulu-apad yang mementingkan sepasang suami-istri yang ‘utuh’ sebagai kesatuan yang berhak mengisi posisi adat disaji sebagai contoh atau bukti kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pantangan berpoligami kemudian dipresentasikan sebagai bukti posisi terhormat bagi perempuan.
11
Gadis hamil di luar nikah ‘dibuang’ dari desa Tenganan. Saat sebuah seminar beberapa waktu silang dibahas seorang perempuan hamil di luar nikah harus dinikahi, karena membuat desa leteh. Keadaan leteh itu hanya dapat dihapus dengan mengadakan upacara mecaru yang lumayan besar. 12 Ini tidak berarti bahwa pengaruh dari luar selalu buruk, baik kebaikan maupun keburukan untuk masyarakat perlu dinilai dengan kepala dingin alias rasio.
13
Komentar saya menyangkut analisis terhadap hubungan gender dalam sebuah masyarakat yang hanya melihat satu atau dua aspek saja. Suatu kesimpulan tentang itu harus melihat keseluruhan aturan yang berpengaruh pada hubungan itu dan juga praktek implementasinya. Umumnya laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dalam semua bidang kehidupan, tapi sekaligus tidak ada masyarakat yang luput dari pembedaan gender. Boleh saja, perempuan dan laki-yang berstatus menikah ditempatkan sederajat dalam sistem ulu-apad dan bahkan hak warisnya sama seperti di Tenganan. Tapi dalam soal perkawinan, perempuan yang menikah dengan orang dari luar Tenganan tidak diberikan hak huni lagi di desanya dan kehilangan hak warisnya. Sementara itu laki-laki masih diperbolehkan menetap di Tenganan walau bukan dalam banjar tempat krama desa inti (krama desa ngarep) dan tidak kehilangan hak waris. Unsur patrilineal masyarakat Bali yang memberikan hak istimewa pada kaum lakilaki masih terlihat di situ. Ternyata, terkait poligami penulis juga menyadari bahwa perempuan, khususnya istri pertama, bukan dalam posisi setara: “Perempuan tetap saja menjadi korban. Demi menghindari sanksi adat, seorang lelaki akan menceraikan istri pertamanya. (..) Dan masih istri pertama tentu bisa dipastikan menderita secara batin.” (hal 32). Sebenarnya bukan ini saja contoh kerentanan posisi perempuan. Istri pertama, yang suaminya berpoligami juga ikut kena sanksi yang dijatuhkan pada suami. Dia harus ikut pindah ke tempat tinggal di luar desa. Walau tidak diberitahu secara eksplisit, saya menduga dia juga tidak diizinkan lagi bersembahyang di pura desa. Ini jelas bentuk ketidakadilan gender apabila istri pertama tidak ikut andil dalam keputusan suami untuk berpoligami, alias tidak dapat dikatakan ‘bersalah’. 13 Contoh ‘ketidakadilan’ gender lain adalah hanya perempuan yang hamil di luar nikahlah yang dapat dikeluarkan dari desa kalau yang menghamilinya tidak bersedia menikah dengan dia. Laki-laki tidak (Tenganan) akan dikenakan sanksi ini. Dua contoh ini juga menunjukkan bahwa 13
Ada juga kemungkinan istri pertama mendorong suami menikah lagi, misalnya kalau perkawinan mereka tidak menghasilkan keturunan.
14
status perempuan dalam kerangka pikir budaya Bali tradisional cenderung didefinisikan dalam dan tergantung pada hubungannya dengan laki-laki, bukan sebagai manusia yang mandiri (person in her own right). Sebenarnya ini adalah ciri umum dalam masyarakat yang memiliki sistem kekerabatan patrilineal. Maksud saya, dalam penilaian hubungan gender kita harus memakai tolok-tolok ukur yang jelas dan melihat keseluruhan sistem sosial secara holistis. II.3. Pedoman Hidup untuk Masa Depan? Apakah kearifan lokal berupa pantangan berpoligami dapat menjadi panutan
bagi
masyarakat
seBali?
Letak
persoalannya
adalah
bahwa
bagaimanapun juga perolehan keturunan, khususnya keturunan laki-laki, bagi kebanyakan laki-laki Bali adalah prioritas nomor satu. Dan bahkan lebih dipentingkan daripada mempertahankan perkawinan… Kiranya, di masa yang akan datang mencari istri kedua tetap akan dicoba-coba sebagai ‘strategi’ sebagian laki-laki Bali yang tidak dapat keturunan dari istri pertama. Strategi kaum laki-laki yang disebut di atas masih “diterima” oleh maysarakat Bali, termasuk oleh perempuan yang merasa berkepentingan atas keturunan anak laki-lakinya, yaitu mertua perempuan. Lagipula, apabila seorang laki-laki yang sudah beristri menghamili seorang perempuan yang bukan istrinya, masih ada anggapan bahwa dia wajib “bertanggung jawab” dan menikahi perempuan tersebut demi anak yang dikandungnya. Status anak yang lahir di luar nikah yang kurang lebih diakui sebagai ‘astra’ kiranya sudah lenyap dari ingatan, dan sepertinya bukan alternatif lagi. Dalam kasus seperti itu, istri pertama sepertinya tidak dapat berkutik. Siapalah yang pernah mempertanyakan, apalagi mempersoalkan, haknya? Ya, dia seolah-olah dituntut menelan pil pahit saja harus menyesuaikan dengan kondisi hidup dimadu yang pasti tidak pernah diinginkannya. 14 14
Itu tidak berarti bahwa istri pertama di Bali selalu menantang suami yang ingin menikah lagi. Apabila perkawinan tidak harmonius, istri pertama dapat memberikan persetujuan dengan syarat dia akan dibebaskan untuk mengurus suami dan melayaninya secara seksual. Pilihan ini berdasarkan pertimbangan perempuan bahwa kondisi ini lebih baik daripa kondisi sebagai janda cerai karena sebegai istri pertama dia
15
Mengingat ‘solusi-solusi yang sudah berbudaya’ ini yang begitu erat kaitannya dengan kedudukan istimewa laki-laki sebagai purusa kiranya tokoh adat lokal sulit dapat dibujuk untuk mendorong masyarakat desa mencantumkan larangan berpoligami yang dianut masyarakat desa Bali kuno dalam awig-awig desa. Tapi siapa tahu? Sementara itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan semakin luas wawasannya, perempuan Bali akan semakin tidak bersedia menerima bila suami ingin menikah istri lagi. Mereka, khususnya kalau sudah punya penghasilan yang mencukupi, akan cenderung memilih bercerai daripada menerima seorang madu di sampingnya. Betapapun tak menyenangkan kondisi sosial seorang janda cerai… II.4. ‘Romantisasi’ Kearifan Lokal? Topik diskusi relevan yang lain menyangkut ‘pencitraan’ (image
building) masyarakat Bali umumnya dan masyarakat Bali kuno khususnya. Era reformasi telah membuka lebar ruang untuk menekspresikan identitas daerah, agama
dan
kesukuan,
setelah
ancaman
tuduhan
SARA
yang
begitu
mencengkram pada masa Orde Baru telah dibuang ke tempat sampah. Ternyata, keharusan untuk menguburkan identitas tersebut pada waktu itu, menimbulkan semacam haus untuk meraihnya kembali. Pada dasarnya itu kecenderungan yang ‘normal’ dari psikologi masa dan juga positif. Siapa yang bisa hidup tentram tanpa identitas diri yang jelas? Hanya saja, pencitraan yang bersifat romantis dan lugu mengandung bahaya. Solusi yang realistis untuk masalah sosial kekinian tidak selalu dapat digali dari masa lalu waktu kondisi ekonomi, sosial, dan politik begitu berbeda. Yang jelas bagi saya, larangan berpoligami seperti dilestarikan di desa Bali kuno dengan sanksi yang bersangkutan bukan solusi. Masalahnya,
seperti juga
terbukti dari sedikit kasus di desa tersebut, laki-laki si pelanggar dengan relatif tetap akan dihormati oleh keluarga dan masyarakat sekitar dan sebagai janda cerai dia akan kehilangan akses pada anak dan harta bersama. (Informasi dari dua perempuan Bali langsung kepada penulis).
16
mudah dapat menarik diri dari komunitas yang menetapkan pantangan ataupun awig-awig. Dia bisa pindah ke desa lain saja dimana dia bisa mendapat kedudukan sebagai krama adat pendatang. Itulah dampak dari mobilitas yang semakin luas. Boleh saja desa Bali kuno mempertahankan ciri eksklusifnya, tapi untuk komunitas desa di Bali secara umum itu adalah mustahil. Pada penulis ingin saya sampaikan, bahwa saya tidak bermaksud ‘menyindir’ bahwa tujuannya adalah untuk menciptakan citra yang romantis tentang budaya Bali kuno yang kearifan lokalnya patut ditiru di tempat lain. Hanya saja, pembaca yang tidak kritis mungkin dapat memaknai karyanya seperti itu. III.
Kata Penutup Buku
‘Perkawinan
Terlarang’
merupakan
karya
yang
pantas
direkomendasikan kepada siapa saja yang ingin tahu lebih banyak mengenai budaya Bali kuno yang masih dilestarikan masyarakat desa di pedalaman pulau tercinta ini. Pertama, buku ini mengupas banyak fenomena yang khas dan sangat menarik. Kedua, ditulis dengan gaya bahasa yang sangat ‘hidup’ sehingga kita merasa dapat terjun ke dunia yang penuh pesona dan asing, namun sekaligus masih dekat. Ketiga, karya ini jelas merupakan sumbangan yang berarti dan segar pada wacana mengenai budaya Bali. Sebuah wacana yang akan tetap mengalir deras berkat pemikir kreatif dan orang muda yang peduli seperti Made Sujaya.
17