PERKAWINAN SALEP TARJHA PADA MASYARAKAT KECAMATAN PANGARENGAN KABUPATEN SAMPANG MADURA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM Skripsi diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana syariah (SSY)
Oleh : Siti Rochmah NIM : 108044100060
PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
-\
PERKAWINAN SALEP TARJHA PADA MASYARAKAT MADURA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh SITI ROCHMAH 108044100060
Dibawah Bimbingan
(n-
NIP. 19500306197603
1001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL.SYAKHSIYAII FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYARIF HIDAYATULLAH JAKART A t432HJ20tl
PENGESAHAN PA}IITIA SKRIPSI
Skripsi berjudul PERKAWINAN sALEp TARIHA PADA IvL{SYAIL{KAT KECAMATAN PANGARENGAN KABUPATEN SAMPANG MADURA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM telah diujikan dalam sidang Munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidauatulah Jakarta pada 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai rututt satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. sy) pada Program Studi peradilan Agama. Jakarta, 17 Juni 2011 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
NIP. I 9550505 198203 1 012
Panitia Ujian
1. Ketua 2.
Drs. H. A. Basiq Djalil. S.H. M.A NIP. 1 95003061 97603 1001
Sekretaris
3. Pembimbing 4.
Penguji
I
5. Penguji II
Hj. Rosdiana. M.A NrP. 1 9690 6102003122001 Drs. H. A. Basiq Djalil. S.H. M.A NIP. 1 95003061 97603 1001 DR. Moh. Ali Wafa. S.Ag. M. NIP. 150321584
Ag (.....
p9
KATA PENGANTAR
ِن ال َّرحِ ْيم ِ هلل ال َّرحْ َم ِ س ِم ا ْ ِب Segala puji, dan syukur diucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang telah menuntut umatnya kejalan yang benar. Begitu juga salam sejahtera semoga senantiasa Allah curahkan kepada keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya hingga akhir zaman Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis yang merupakan perjalanan kecil dari balik kehidupan, telah penulis telusuri dengan segala suka dan duka, bahagia bercampur haru mengiringi rasa syukur atas karunia ini tidak dapat penulis sembunyikan dari lubuk hati yang paling dalam. Akhirnya penulis tersadarkan bahwa perjalanan skripsi ini telah memberikan perjalanan hidup yang akan melekat dalam sanubari, sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan, apabila kita hadapidengan penuh penghayatan dan keikhlasan, maka tidak akan menghasilkan kesia-siaan, dan seberat apapun pekerjaan bila kita nikmati sebagai tahapan pelajaran hidup yang harus kita lalu, maka tidak akan terasa sulit. Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai
i
ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak: 1.
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dengan
kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini. 2.
Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., MA., selaku ketua Program Study dan Pembimbing Skripsi. Kemudian Hj. Rosdiana, MA, selaku sekretaris jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3.
Seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan yang banyak membantu penulis memfasiltasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4.
Teristimewa kepada Ayahanda H. Yusuf Muzahdi dan ibunda Hj. Aisyah, serta seluruh skeluarga yang sangat saya cintai dan sayangi. Terima kasih banyak atas bantuan kalian terutama dari segi keuangan, dan dukungan kalian yang tidak terlupakan. Terima kasih juga atas doa dan pengorbanan kalian yang tidak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu sehingga penulis menyelesaikan belajar disini dengan selamat dan sempurna.
ii
5.
Terkhusus kepada suami saya yaitu H. Ahmad Romdoni yang telah membantu dan selalu memberikan semangat serta motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini. Dan teman-teman angkatan 2007/2008 jurusan Akhwalu Syakhsiyyah, terima kasih
atas kebersamaan kalian dalam
menemani penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada para pembaca. Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis akan mendapat imbalan dari Allah SWT. Penulis amat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan, kekhilafan, dan kesalahan. Maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dalam rangka perbaikan, dan kesempurnaan tulisan ini. Kepada Allah SWT penulis memohon dan mendoakan semoga jasa baik yang telah kalian sumbangkan menjadi ladang amal sholeh dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin
Jakarta, 17 Juni 2011 Penulis
Siti Rochmah
iii
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasl karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Srata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
3.
Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Juni 2011 Penulis
Siti Rochmah
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………………………………..….…...i LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………….….......iv DAFTAR ISI……………………………………………………………………..…..vi BAB 1
PENDAHULUAN…………………………………………………….…1 A. Latar belakang masalah..........................................................................1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah.......................................................6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..............................................................7 D. Metode Penelitian..................................................................................7 E. Review Studi Terdahulu…………………………………………….…9 F. Sistematika Penulisan...........................................................................11
BAB ll
PERKAWINAN DALAM ISLAM……………………………………13 A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan…………………………..13 B. Rukun dan Syarat Perkawinan.............................................................20 C. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan..........................................................25 D. Wanita Yang Haram Dinikahi Dalam Islam.........................................28
BAB lll
PERKAWINAN DALAM ADAT MADURA……………………… 35 A. Profil Pulau Madura............................................................................35 B. Sistem Perkawinan Dan Adat Istiadat.................................................41 C. Perkawinan Dalam Adat Madura.......................................................45
v
BAB IV
IMPLIKASI PERKAWINAN SALEP TARJHA………………...….54 A. Aturan Adat Tentang Perkawinan Salep Tarjha................................54 B.
Praktik Perkawinan Salep Tarjha.......................................................60
C. Analisa Penulis....................................................................................62 BAB V
PENUTUP………………………………………………………………66 A.
Kesimpulan......................................................................................66
B.
Saran................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………68 LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………………....72 1.
Wawancara Dengan Sesepuh………………………………………..72
2.
Wawancara Dengan Ulama………………………………………….73
3.
Wawancara Dengan Pelaku Salep Tarjha……………………...……74
4.
Surat Permohonan Wawancara…………………………….………..75
5.
Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi………….….76
6.
Dokumentasi Penelitian……………………………...……………...77
vi
BAB 1 PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Allah menciptakan manusia hanya dua jenis yaitu perempuan dan lelaki untuk dijadikan pasangan, seperti manusia pertama yang diciptakan Allah yaitu Adam dan Hawa. Sehingga dari cikal bakal inilah terbentuk istilah perkawinan yang mana diceritakan bahwa adam menikahkan secara silang antara anakanaknya yaitu sesama saudara kembar tidak boleh menikah.1 Allah SWT menerapkan aturan-aturan tertentu dan melarang hal-hal tertentu pula, karena justru dengan aturan-aturan dan batasan-batasan tertentu inilah manusia menjadi makhluk yang mulia dari makhluk yang lain. Dalam masalah perkawinan misalnya untuk memilih pasangan hidupnya manusia haruslah melalui suatu ikatan (aqad). Perjanjian atau akad ini merupakan cerminan kerelaan antara kedua pasangan serta pihak keluarga sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat. Hal ini sangat penting bagi manusia itu sendiri agar dapat menjaga kemuliaan dan kefitrahannya.2 Mengingat betapa besar dan pentingnya arti sebuah perkawinan tidaklah mengherankan jika berbagai macam aturan muncul demi menjaga tujuan dan
1
Sufiz, “Kumpulan Kisah Teladan Para Sufi”, artikel diakses pada 20 desember 2010 dari web www.sufiz.com. 2
Sayid Sabiq, Fiqh Sunah (Beirut: Dar Al Kutub 1987), cet-8, jilid 3, h. 68.
1
2
eksitensi perkawinan tersebut, baik aturan agama, perundang-undangan Negara, bahkan aturan adat juga mengatur masalah perkawinan ini sedemikin rupa. Terlepas dari permasalahan apakah perundang-undangan atau aturan adat itu bersumber dari hukum agama atau tidak, namun yang jelas ketiga hukum ini sangat berperan penting dalam mengatur masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, heterogenitas suku, budaya, agama, dan adat istiadat sangat mempengaruhi dalam pelaksanaan hukum masyarakat itu sendiri. Keanekaragaman hukum ini akan sangat lebih terasa jika hukum tersebut berkaitan langsung dengan nilai-nilai atau prinsip-prinsip keluarga (hukum keluarga), terutama dalam masalah perkawinan. Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan, bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.3 Dalam aturan adat ataupun aturan agama dijelaskan bahwa dalam masalah perkawinan, seseorang itu dilarang menikah dengan orang-orang tertentu dan
3
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Pt Gunung Agung, 1982), cet-4, h.13.
3
anjuran menikah dengan orang tertentu pula. Larangan ini disebabkan karena adanya hubungan tertentu antara seseorang dengan yang lainnya. Walaupun antara kedua hukum ini memiliki dasar pertimbangan yang berbeda, namun baik dalam agama ataupun istiadat, memperoleh keturunan serta menjaga hubungan kekerabatan merupakan salah satu tujuan penting dari suatu perkawinan.4 Hidup dalam masyarakat juga memiliki berbagai aturan yang berkaitan dengan masalah perkawinan, ada aturan adat yang lebih mengutamakan perkawinan dengan kerabat ada juga yang yang tidak boleh kawin kecuali dengan seseorang di luar klan atau sukunya. keunikan-keunikan aturan ini tidak lain adalah demi untuk menjaga prinsip-prinsip adat yang lainnya. Kendati berbagai macam aturan tentang masalah perkawinan ini telah ditetapkan adat, namun dalam masyarakat tetap saja ditemukan berbagai bentuk pelanggaran terhadap aturan tersebut. Permasalahan ini dapat terjadi bukan hanya karena kurangnya kesadaran masyarakat mengenai fungsi dari larangan adat ini, akan tetapi juga karena keterkaitan mengenai relevansi aturan adat itu sendiri dengan pemahaman serta pola fikir masyarakat yang semakin maju. Perubahan serta perkembangan pola pikir ini akan dapat menyebabkan adanya interpretasi baru mengenai relevansi aturan adat tersebut dengan perubahan yang sedang terjadi didalam masyarakat.
4
h. 22.
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Jakarta: Pt Pradya Paramitha 1987), cet-2,
4
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu bentuk aturan perkawinan dalam adat adalah bahwa seseorang itu dilarang melangsungkan perkawinan dengan kerabat. Contoh larangan adat seperti ini terdapat pada masyarakat Madura yang mana melarang pernikahan Salep Tarjha yakni pernikahan silang antara 2 (dua) orang bersaudara (sataretanan) putra-putri.5 Contoh : Ali dan Arin adalah dua orang bersaudara (kakak-adik) yang dinikahkan secara silang dengan Rina dan Rizal yang juga dua orang bersaudara (kakak-adik). Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa suatu perkawinan itu akan disebut sebagai perkawinan Salep Tarjha, apabila orang yang menikah tersebut adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara kandung yang kemudian keduanya dinikahkan secara silang dengan 2 (dua) orang saudara kandung juga. Jadi, apabila modelnya tidak seperti ini, maka tidak disebut dengan perkawinan Salep Tarjha. Pada dasarnya, larangan terjadinya perkawinan Salep Tarjha berkaitan erat dengan adanya keyakinan masyarakat akan mitos-mitos yang berkaitan dengan perkawinan tersebut. Tentunya mitos-mitos tersebut tidak terlepas dari ajaran dan doktrin yang ditanamkan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun kepada keturunannya. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya.
5
Myhidayah Weblog, “Perkawinan Salep Tarjha”, artikel diakses pada 24 desember 2010 dari web myhidayah wordpress.com.
5
Perkawinan Salep Tarjha dalam Islam dibolehkan hal ini dapat dilihat dari surat An-Nisa ayat 23 tentang wanita yang haram dinikahi karena hubungan kerabat. Yang mana dijelaskan bahwa Diharamkan menikah karena ada hubungan darah, hubungan perkawinan dan hubungan persusuan6 Para ulama di Madura menggunakan ayat tersebut sebagai landasan bahwa pernikahan Salep Tarjha boleh dilakukan karna pernikahan antara saudara ipar tidak ada dalam surat An-Nisa ayat 23. menurut ulama Madura Perkawinan salep tarjha, secara normatif boleh-boleh saja dilakukan, karena di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits maupun menurut pandangan para ulama yang sudah terkodifikasi di dalam kitab-kitab fiqh klasik (kitab kuning) tidak didapatkan satupun adanya larangan terhadap model perkawinan Salep Tarjha tersebut. Oleh karenanya, siapapun yang melakukan perkawinan model tersebut dibenarkan dan tidak dilarang Dari ayat dan pendapat ulama di atas jelas bahwa hukum perkawinan Salep Tarjha dalam Islam adalah boleh, oleh karena itu sehubungan dengan status hukum perkawinan ini terlihat ada pertentangan antara hukum Islam dengan ketentuan adat masyarakat Madura yang melarang perkawinan. Untuk mengetahui permasalahan lebih dalam dan detail maka penulis berkeinginan untuk meneliti permasalahan ini dengan judul: Perkawinan Salep Tarjha Pada Masyarakat Madura Ditinjau Dari Hukum Islam.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media,2007), h. 110-111.
6
B.
Batasan dan Rumusan Masalah 1.
Pembatasan Masalah Dalam penulisan skripsi ini agar dapat dipahami secara mudah dan
diharapkan nantinya dapat memberikan pemahaman yang mendalam penulis lebih menitik beratkan analisa masalah terhadap norma-norma atau aturanaturan adat Madura, yaitu larangan melangsungkan perkawinan bagi mereka yang melakukan Salep Tarjha. Karena larangan dan segala permasalahan yang berhubungan dengan perkawinan menurut hukum Islam itu luas, maka penulis memberi batasan penyusunan skripsi ini adalah pada hal-hal yang hanya berkaitan dengan larangan perkawinan salep tarjha ditinjau dari segi hukum Islam. 2.
Rumusan Masalah Masalah dari penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara teori (das
sollen) dengan praktek (das sein). Menurut Al-Quran, hadist, Fiqh, dan Peraturan Perundang-undangan tidak dilarang model perkawinan Salep Tarjha. Kenyataannya di lapangan pada masyarakat Madura itu di larang. Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a.
Bagaimana aturan adat Madura Kecamatan Pangarengan terhadap perkawinan salep tarjha?
b.
Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap perkawinan Salep Tarjha?
c.
Bagaimana implikasi perkawinan salep tarjha terhadap masyarakat Kecamatan Pangarengan Madura?
7
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui aturan adat Madura Kecamatan Pangarengan tentang perkawinan Salep Tarjha. b. Untuk mengetahui aturan hukum Islam mengenai perkawinan Salep Tarjha. c. Untuk
mengetahui
implikasi
perkawinan
Salep
Tarjha
pada
masyarakat Kecamatan Pangarengan Madura. 1. Manfaat Penelitian a. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan solusi dalam memecahkan permasalahan jika ada pertentangan antara adat dan hukum Islam. Sekaligus dapat memberikan jawaban yang memuaskan bagi masyarakat yang masih belum paham tentang kedua konsep hukum tersebut. b. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sebagai rujukan yang memiliki alasan ilmiah berkaitan dengan status hukum perkawinan tersebut dalam konteks perpaduan antara hukum Islam dan hukum adat. Sekaligus dapat menambah ilmu pengetahuan tentang adat yang beraneka ragam di Indonesia.
8
D.
Metode Penelitian 1.
Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian empiris atau sering juga disebut
penelitian hukum non doctrinal merupakan penelitian yang bertolak pada data primer.7 Yakni data yang diperoleh langsung dari objek penelitian, seperti masyarakat sebagai sumber pertama dalam suatu penelitian. penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografis. Agus Salim dalam bukunya yang berjudul teori dan pradigma penelitian sosial mengatakan bahwa etnografis secara sederhana dapat diartikan sebagai gambaran sebuah kebudayaan yaitu sebuah gambaran kebudayaan dari sebuah masyarakat yang merupakan hasil konstruksi peneliti dari berbagai informasi yang diperolehnya selama melakukan penelitian di lapangan degan fokus permasalahan tertentu.8 2.
Waktu dan Tempat Penelitian Waktu dalam penelitian dimulai pada bulan desember 2010 sampai
dengan selesai. Sedangkan lokasi penelitian ini adalah masyarakat Madura yang bertempat tinggal di Jakarta. 3.
sumber Data a. Data Primer Data primer adalah sumber penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan
7
Yayan Sopyan, Metode Penelitian (Jakarta: 2009), h. 27. Agus Salim, Teori Dan Pradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), cet-1, h. 152. 8
9
melalui keterangan dari sesepuh, tokoh agama, pelaku perkawinan salep tarjha itu sendiri dan orang-orang yang dianggap berkompeten dalam masalah perkawinan tersebut. b. Data Sekunder Data
sekunder
adalah
data
yang
bukan
diusahakan
sendiri
pengumpulannya oleh peneliti jadi berasal dari data kedua, ketiga dan seterusnya. Berkaitan dengan hal ini maka data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa literatur-literatur ilmiah, dokumen-dokumen, maupun buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. 4.
Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini
adalah melalui wawancara mendalam.Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara penulis atau pewawancara dengan informan dengan menggunakan instrument pengumpulan data yang dinamakan interview guide (panduan wawancara)9 5.
Teknik Penulisan Adapun pedoman yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah buku
pedoman penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum yang diterbitkan tahun 2007. 9
Mohamad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia 1989), h. 234.
10
E.
Review Studi Terdahulu Dalam rangka perbandingan kajian skripsi yang penulis bahas dengan beberapa skripsi yang telah dibahas sebelumnya, maka penulis mengambil skripsi-skripsi yang memiliki kesamaan jenis masalah yang diteliti dari skripsi yang ada di perpustakaan fakultas Syariah dan perpustakaan umum. Dari kedua perpustakaan ini, penulis menemukan 3 skripsi yang dapat penulis dijadikan sebagai Review Studi Terdahulu. Skripsi-skripsi tersebut adalah sebagai berikut: Skripsi yang berjudul Larangan Perkawinan Satu Suku Dalam Masyarakat Kampar Timur-Riau Dilihat Dari Hukum Islam, yang ditulis oleh Muhammad Nur. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa menurut adat Kampar perkawinan satu suku bagi orang yang masih dalam satu kenegrian atau satu adat tidak dibenarkan karena mereka ini saudara yang mempunyai ketunggalan leluhur. Perkawinan satu suku ini sangat tabu bagi masyarakat kampar bahkan dianggap dapat mendatangkan malapetaka bagi yang melakukannya. Larangan perkawinan tersebut juga dinilai masyarakat kampar sebagai perluasan dari larangan perkawinan dalam Islam. Skripsi ini tidak jauh beda dengan yang ditulis oleh Muhammad Nur adalah skripsi Rahmat Hidayat yang berjudul Perkawinan Satu Suku Dalam Masyarakat Minangkabau Menurut Pandangan Hukum Islam (Studi Kasus Di Daerah Bamu Hampu). Disini dibahas tentang pelanggaran perkawinan satu suku didasarkan karena hubungan kekeluargaan, juga akan menimbulkan cacat
11
atau lemah keturunan, dan demi menjaga keharmonisan hubungan sosial, baik hubungan antar keluarga maupun dengan masyrakat yang ada di kampong Bamu Hampu. Perkawinan satu suku pada dasarnya boleh akan tetapi untuk menghindari kemudharatan yang muncul dari perkawinan satu suku yaitu menyebabkan lemahnya keturunan maka ada baiknya hal itu ditinggalkan. Skripsi selanjutnya adalah Kajian Hukum Islam Tentang Perkawinan Endogamy Pada Masyarakat Kelurahan Kebon Dalem Cilegon Banten yang ditulis oleh Amarullah. Skripsi ini membahas tentang perkawinan dengan kerabat (endogamy) ala masyarakat Kelurahan Kebon Dalem. Setelah melakukan tinjauan terhadap skripsi-skripsi diatas, maka penulis dapat menemukan perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan dengan skripsi yang penulis bahas sekarang. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Nur dan Rahmat Hidayat secara umum membahas larangan perkawinan satu suku sedangkan skripsi yang ditulis oleh Amarullah membahas tentang kebolehan perkawinan endogamy yang lebih cenderung dilihat dari konteks kafaah dalam tinjauan hukum Islam. Skripsi yang penulis bawa sekarang berbeda dengan yang ditulis oleh skripsi terdahulu. Penulis membawa istilah pernikahan kerabat dengan istilah Salep Tarjha yaitu perkawinan antara dua orang bersaudara dengan dua orang bersaudara lainnya yang dinikahkan secara silang sehingga hanya ada satu mertua. Yang mana diatur dalam adat Madura dilarang sedangkan dalam hukum Islam dibolehkan pernikahan tersebut. Sehingga adanya pertentangan antara hukum Islam dan adat.
12
f.
Sistematika Penulisan Pertama membahas tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan Kedua membahas tentang konsep perkawinan dalam Islam. Yang meliputi arti perkawinan, dasar hukum ,tujuan perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, wanita-wanita yang haram dinikahi dalam hukum Islam. Ketiga membahas perkawinan dalam adat Madura yang menjelaskan sekilas profil pulau Madura, sosial budaya dan adat istiadat, serta perkawinan dalam adat Madura. Keempat membahas tentang implikasi perkawinan Salep Tarjha, yang meliputi aturan adat masyarakat madura tentang perkawinan salep tarjha, praktek dalam perkawinan salep tarjha pada masyarakat Madura, serta analisis penulis. Kelima membahas Penutup yang meliputi tentang Kesimpulan dan Saran.
BAB II HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM A.
Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan 1.
Perkawinan Menurut Bahasa Kata ٌ( َِكَاذnikah) berasal dari bahasa arab
ََٔكْسًا- ر – َكَازَا ُ ِر – ٌَ ُْك َ ََك
yang secara etimologi berarti: ْٔص ُ َ( ان َرضmenikah), ال ط َ ( اإلِخْ ِرbercampur), dalam bahasa arab, lafadz nikah bermakna ُ( انعَقْذberakad), ُطء ْ َٕ ( انbersetubuh) dan
ُإلسْ ِرًْرَاع ِ ( اbersenang-senang).1 Sedangkan Al-Azhari mengatakan akar kata nikah dalam ungkapan bahasa arab berarti hubungan badan. Sementara itu Al-Farisi mengatakan: “ jika mereka mengatakan bahwa si fulan menikah maka yang dimaksud adalah mengadakan akad, akan tetapi, jika dikatakan bahwa ia menikahi isterinya, maka yang dimaksud adalah berhubungan badan.”2 Definisi yang hampir sama dengan diatas juga dikemukakan oleh rahmat hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikahun” yang merupakan mashdar dari “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.3
1
Munawwir, Fi Al- Lughoti Wa Al-A’lam, (Beirut: Dar El-Machreq Sarl, 2002), h. 836
2
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, Alih Bahasa, Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1996), cet ke-1, h. 375 3
Tihami Dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 7.
13
14
Beberapa
penulis
juga
terkadang
menyebut
pernikahan
dengan
perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh”4 2. Perkawinan Menurut istilah Ada beberapa definisi nikah menurut istilah yang dikemukakan para ahli Fiqh, namun pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti kecuali pada redaksinya (phraseologie) saja. Dalam pengertian lain, secara etimologi pengertian nikah adalah: a.
Menurut ulama Hanafiyah nikah adalah:
ك ا ْنًُ ْرعَ ِح قَصْذًا َ ذ عَقْ ٌذ ٌُفٍِْ ُذ ِي ْه ُ َانُِكا
5
Artinya: “Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan” b.
Menurut ulama asy-Syafi„iyah nikah adalah: 6
ط ٍءِ ِتهَ ْفظِ إِ َْكَاذٍ أَ ْٔ َذضٌِْْٔحٍ أَ ْٔ َيعَُْا ًَُْا ْ َٔ ك َ ٍ ِي ْه ُ ًَض َ َذ عَقْ ٌذ ٌَر ُ ان ُِكَا
c.
Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan (wathi‟) disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna”. Menurut ulama Malikiyah nikah adalah:
4
Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1994), h. 456. 5
Wahbah zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu JUZ 7, (Damaskus: Darul Fikr, 1409M/1989H), h. 29 6
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-’Arba‘ah, cet. ke-1 (Mesir: Daar alIrsyad Littiba‟ah Wa Nasyr, 1400H/1979M), juz 4, h. 2
15
7
ٍدشَ ٍد يُ ْرعَ ِح ان َرهَزُ ِر تَا ِديٍَْح َ ُعهَى ي َ ذ عَقْ ٌذ ُ ان ُِكَا
Artinya:
d.
“Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia”.
Menurut ulama Hanabilah nikah adalah:
ِإلسْ ِرًْرَاع ِ عهَى يَُْ َفعَحِ ا َ ح ٍ ٌِْْٔذ عَقْ ٌذ ِتهَ ْفظِ إِ َْكَاذِ أِ ْٔ َذض ُ ان ُِكَا
8
Artinya:
“Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau kawin untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang”.
Dari beberapa pengertian di atas, yang tampak adalah kebolehan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan pergaulan yang semula dilarang (yakni bersenggama). Dewasa ini, sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat pemikiran manusia, pengertian nikah (perkawinan) telah memasukkan unsur lain yang berhubungan dengan nikah maupun yang timbul akibat dari adanya perkawinan tersebut. Definisi-definisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagai mana terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik tersebut diatas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu. Ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan ulama terdahulu. Diantaranya yang disebutkan Ahmad Ghandur dalam bukunya 7
8
Ibid., h. 3 Ibid., h. 4
16
Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fi Al-Tasyri‟ Al-Islamiy:
ق يَا ٌَرَقَاضَا ُِ انّطَثْعَ اإلِ َْسَاًَِ يَذَي ُ م َٔا ْن ًَ ْشأَ ِج ِتًَا ٌُسَ ِق ِخ ُ َششَ ِج تٍٍََْ انش ْ م ان ُع َز ِ عَقْ ٌذ ٌُفٍِْ ُذ ٍَِّْعه َ خ ِ م صَازِثِ ِّ ََٔٔاخِثَا َ م يِ ُْ ًَُٓا زُقُْٕقًا قَ ْث ُ د َع ْ ٌَٔ انْسٍََا ِج Artinya: “Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban”.9 Sedangkan menurut Sajuti Thalib perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.10 Adapun
pengertian
yang
dikemukakan
dalam
Undang-undang
Perkawinan (UU no. 1 tahun 1974), adalah: “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”11 Bunyi pasal 1 UU Perkawinan ini dengan jelas menyebutkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang perinciannya dikandung pasal-pasal lain berikut penjelasan Undang-undang 9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), cet ke-2, h. 39. 10
Muhammad Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta: IND-HILL-CO, 1990), h. 1. 11
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, pasal 1.
17
tersebut dan peraturan pelaksanaannya. Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa membentuk keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, di mana pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. 3.
Dasar Hukum Perkawinan Pernikahan atau perkawinan itu pada dasarnya adalah suci dan mulia, ia
mengandung manfaat yang banyak dalam kehidupan ini baik untuk dunia maupun untuk hari akherat kelak.12 Dasar hukum perkawinan banyak disebutkan dalam Al-Quran dan sunnah rasulullah, diantaranya adalah firman allah dalam surat ar-rum ayat 21 yang berbunyi:
ًٌِ ف َ ِزًَحً إ ْ َم تٍَْ َُكُ ْى يََٕدَ ًج َٔس َ خ َع َ َٔ سكُُُٕا ِإنَ ٍَْٓا ْ سكُىْ َأصَْٔاخًا نِ َر ِ خَهقَ َنكُ ْى يٍِْ أََْ ُف َ ٌ ْ ََٔيٍِْ ءَاٌَرِّ أ ٌَُْٔرَاِنكَ نَآٌََآخٍ نِقَْٕ ٍو ٌَرَ َف َكش Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Dan dari hadits Rasulullah yang menyebutkan :
ع يِ ُْكُ ْى َ ب يٍَِ اسْ َرّطَا ِ ش َش انشَثَا َ قَالَ نََُا َسسُ ْٕلُ انهَ ِّ ص (ٌَا َي ْع:َسعُْٕ ٍد قَال ْ ٍ َي ِ ٍْ عَثْذِانهَ ِّ ت ْ َع ُّ َج َٔيٍَْ نَ ْى ٌَسْ َرّطِ ْع َف َعهٍَْ ِّ تِا نصَْٕ ِو فَإِ َُّ ن ِ ْص ِش َٔأَزْصٍَُ ِنهْ َفش َ َّض ِنهْث ُ َج فَإِ َُّ أَغ ْ ََٔانْثَاءَ َج َفهٍَْ َرض 12
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993) h. 26
18
13
ٍَِّْعه َ ق ٌ ِٔخَاءٌ) يُرَ َف
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas‟ud. Ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw kepada kami: Hai para pemuda, siapa diantara kamu yang mampu untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa sebab puasa itu menjadi penjaga baginya. Muttafaq Alaih”. hukum asal nikah itu sendiri adalah :
ٍَِّْ ُْ َٕ يَُْذُْٔبٌ ِإن: د ًُْْٕٓس ُ ْل ان َ ذ فَقَا ِ زكْ ُى ان ُِكَا ُ فَؤَ يَا
14
Artinya: “adapun hukum nikah itu adalah, para ahli ulama berkata: hukum nikah itu adalah sunnah hukumnya. Perkawinan merupakan kebutuhan alami manusia. Tingkat kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu untuk menegakkan kehidupan berkeluarga berbeda-beda, baik dalam hal kebutuhan biologis (gairah seks) maupun biaya dan bekal yang berupa materi. Dari tingkat kebutuhan yang bermacam-macam ini, para ulama mengklasifikasikan hukum perkawinan dengan beberapa kategori. Yaitu yang biasa disebut dengan ahkamul khamsah, hukum yang lima macam: wajib sunnah, jaiz, makruh, dan haram bisa diterapkan kepada seseorang tertentu secara kondisional dalam kaitan melaksanakan nikahnya.15
13
Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram,Terjemah A. Hassan(Bandung: CV Penerbit Dipenogoro, 2002), h. 431 14
Imam Qadhi Al Qurtubi, Bidayatul Mujtahid Fi Nihayatul Muqtasid, (Semarang: Kuryata Futara, juz 2) h. 2 15
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1995), h. 27
19
jadi hukum perkawinan dengan melihat keadaan orang-orang tertentu sebagai berikut: Wajib : menikah wajib hukumnya bagi orang-orang yang sanggup memberi nafkah lahir dan batin dan khawatir akan melakukan perzinahan. a.
Mandub : menikah mandub (sunnah) hukumnya bagi orang-orang yang menginginkan keturunan tapi tidak pernah khawatir akan berbuat zina jika tidak menikah, baik orang yang bersangkutan menginginkan atau tidak menginginkannya,
walaupun
pernikahan
dapat
membuatnya
meninggalkan ibadah-ibadah yang tidak wajib. b.
Makruh : menikah makruh hukumnya bagi orang-orang yang tidak ingin menikah serta tidak menginginkan keturunan, dan jika orang yang bersangkutan menikah, ternyata pernikahan membuatnya meninggalkan ibadah-ibadah yang tidak wajib.
c.
Mubah : menikah mubah hukumnya bagi orang-orang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau tidak khawatir akan berbuat zina dan jika orang yang bersangkutan menikah, tidak membuatnya berhenti melakukan ibadah yang tidak wajib.
d.
Haram : menikah haram hukumnya bagi orang-orang yang mendatangkan bahaya bagi isterinya, atau jika menikah ia justru akan memberikan nafkah lewat jalan haram.16
16
Syekh Imam Abu Muhammad, Qurratul „Uyun Kitab Seks Islam, Penerjemah Fuad Syaifuddin Nur, (Jakarta: Bismika, 2009), h. 12
20
B. SYARAT DAN RUKUN PERKAWINAN Perkawinan dalam islam memiliki lima unsur yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pemenuhan lima rukun itu dimaksudkan agar perkawinan yang merupakan perbuatan hukum ini dapat berakibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban.17 Dalam upacara pernikahan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali, saksi dan sebagainya. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari hakikat pernikahan, misalnya syarat saksi harus laki-laki, dewasa, baligh, dan sebagainya.18Dengan demikian rukun perkawinan supaya perkawinan tersebut dapat dilangsungkan harus ada lima unsur dan setiap rukun harus disertai oleh syaratnya yang meliputi: 1.
Akad Nikah Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah
17
Lutfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Tanggerang: Cv Pamulang, 2005), h. 4 18
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, (Yogyakarta, Darussalam, 2004), h. 50.
21
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.19 syarat-syarat sahnya akad adalah sebagai berikut: a.
Kedua belah pihak yang mengadakan akad harus mumayyiz.
b.
Ijab dan kabul dilaksanakan di satu tempat dan waktu.20
c.
Akad biasanya harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki.21
d.
Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang di sebutkan
e.
Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
f.
Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan ditujukan untuk selamanya
g.
Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang UU perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan, namun KHI
secara jelas mengatur akad perkawinan dalam pasal 27, 28, dan 29. 19
Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan UndangUndang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 20007), cet ke-2, h.61. 20
Mahmud ash-shabbagh, Keluarga Bahagia Dalam Islam, Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, Zaenal Muhtadin, (Yogyakarta: cv. Pustaka mantiq, 1993), cet 5, h.75-76 21
Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan UndangUndang Perkawinan, h. 62
22
2.
Laki-Laki Dan Perempuan Yang Kawin Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan
tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena ini yang tersebut dalam Al-Quran. Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut:22 a.
Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
b.
Keduanya sama-sama beragama Islam.
c.
Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan. Seperti larangan karena hubungan nasab, musaharah dan persusuan.
d.
Kedua belah pihak setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya.
e.
Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
3.
Wali Wali
memegang
peranan
penting
terhadap
kelangsungan
suatu
pernikahan. Menurut Maliki dan Syafii, bahwa keberadaan wali termasuk salah satu rukun nikah. Maka jika perikahan tanpa dihadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah batal atau tidak sah. 22
Ibid., h. 64.
23
Sedangkan menurut Hanafi dan Hanbali bahwa wali merupakan syarat nikah. Maka wali hanya dikhususkan untuk perempuan yang masih kecil dan belum baligh. Sedangkan perempuan dewasa yang sudah bisa mencari nafkah sendiri boleh menikahkan dirinya sendiri dan tanpa wali.23 syarat-syarat wali a.
Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.
b.
Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
c.
Muslim tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim.
d.
Orang merdeka.
e.
Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih.
f.
Berpikiran baik
g.
Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar.
h.
Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
4.
saksi Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada
kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Dasar hukum kesaksian saksi dalam akad pernikahan ada yang dalam bentuk ayat Al- Quran dan hadis. 23
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, h. 59-63
24
Adapun ayat Al-Quran adalah surat At-Thalaq ayat 2:
َٔ ل يِ ُْكُ ْى ٍ شِٓذُْٔا رََٔي عَ ْذ ْ ف َٔ َأ ٍ ْٔ ٍُ ِت ًَ ْعش َ ٍَُْْٕ ِت ًَ ْعشُ ْٔفٍ أَ ْٔ فَاسِق َ ُُْْٕسك ِ ٍ فََؤ ْي َ ُٓخَه َ َفَإِرَا َتَهغٍَْ أ َِّشَٓادَجَ ِنه َ أَقِ ًٍُْْٕا ان Artinya : "Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah". Adapun hadis nabi adalah dari Muslim Ibnu Khalid dan Sa‟id telah menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Abdullah Ibnu Usman Ibnu Khaitsam, dari Said Ibnu Jubair dan mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan:24
ًٍ ُي ْششِذ ٍ ِل َٔ َٔن ٍ ال ِتشَا ِْذِي عَ ْذ َ ِال َِكَاذَ إ َ Artinya : "tiada nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan seorang wali yang mursyid." Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.
Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
b.
Kedua saksi itu adalah beragama Islam.
c.
Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
d.
Kedua saksi itu adalah laki-laki.
e.
Kedua saksi itu bersifat adil dan tidak pernah melakukan dosa besar.
f.
Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
24
Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafii, Penerjemah Bahrun Abu Baker, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 2006, cet 3, juz 2, h. 980
25
C.
HIKMAH DAN TUJUAN PERNIKAHAN 1.
Tujuan Perkawinan Sebagai lembaga hukum, perkawinan sudah tentu memiliki tujuan yang
diatur oleh pranata hukum. Karena hakikat perkawinan pada dasarnya bukan hanya sebagai media pemenuhan kebutuhan biologis semata, tetapi lebih dari pada itu yakni pemenuhan hak dan kewajiban antar kedua belah pihak (suamiisteri).25Adapun tujuan perkawinan adalah sebagai berikut: a.
Mendapatkan dan melangsungkan keturunan, hidup seseorang akan seperti makanan tanpa garam terasa hambar dan tidak nyaman jika selama hidupnya tidak mempunyai keturunan.
b.
Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
c.
Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan yang ada di muka bumi ini.
d.
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
e.
Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.
25
Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, h. 3
26
f.
Membangun rumah tangga untuk membangun masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. 26
g.
Menciptakan ketenangan jiwa bagi suami dan isteri karena telah ada seseorang yang diharapkan dapat menjadi teman dalam suka maupun duka dalam mengarungi kehidupan di dunia sampai akhirat.
h.
Pendewasaan diri bagi pasangan suami isteri sehingga melalui pernikahan diharapkan suami dan isteri makin mandiri dan makin berprestasi karena keduanya saling mendukung bagi kemajuan masing-masing.
i.
Melahirkan generasi yang jauh berkualitas daripada pasangan suami-isteri itu sendiri. Suami dan isteri dapat sama-sama belajar hal-hal positif dari orang tua masing-masing.27
2.
Hikmah Perkawinan Sesungguhnya pernikahan tidak sekedar memadukan dua orang manusia
berbeda jenis kelamin. Ada banyak hikmah yang terkandung dalam pernikahan. Hikmah seperti tertera dibawah ini terkait dengan kemaslahatan suatu umat atau masyarakat. a.
Melestarikan spesies manusia melalui proses reproduksi yang elegan, yaitu dengan jalan yang halal dan diridhoi Allah.
26
27
Zakiah Darajat Dkk, Ilmu Fikih (Jakarta: Depag RI, 1985) jilid 3 h. 64.
Sururin, Masfufah, Najib, Nur Rofiah, Muzainah Zaen, Panduan Fasilitator & Pelatih Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Calon Pengantin, (Jakarta: Pucuk Pimpinan Fatayat Nadhlatul Ulama, 2006), h. 45.
27
b.
Menyalurkan hasrat libido kepada lawan jenis secara halal sehingga kehormatan manusia terpelihara dengan baik.
c.
Mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita sesuai dengan prinsipprinsip syariah sehingga terjalin kerja sama yang produktif dalam sebuah paying bernama keluarga.
d.
Bahu-membahu mendidik anak-anak sehingga terbentuklah generasi pelanjut yang lebih baik. Selain itu masih ada lagi hikmah pernikahan yang lain. Hikmah
pernikahan ini akan dirasakan langsung oleh yang bersangkutan (suami-istri). Adams, seorang pakar psikologi, mengungkapkan beberapa hikmah pernikahan bagi suami dan istri sebagai berikut.28 a.
Usia orang menikah lebih panjang daripada orang yang tidak menikah. Disebabkan semua hormon yang ada di tubuh manusia berfungsi dengan baik, karena kalau tidak nikah hormon testoron tidak berfungsi.
b.
Kemungkinan orang yang menikah menjadi gila jauh lebih kecil daripada orang yang membujang.
c.
LP (lembaga pemasyarakatan) lebih banyak dihuni oleh orang yang membujang daripada orang yang menikah.
d.
Kasus bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh orang yang membujang daripada orang yang menikah.
28
Mohammad zaka al-Farisi, when I love you Menuju Sukses Hubungan Suami Istri, (Jakarta, Gema Insani, 2008), h. 15.
28
D.
WANITA YANG HARAM DINIKAHI DALAM ISLAM Dalam Islam ditetapkan bahwa laki-laki tidak bebas memilih perempuan
untuk dijadikan isteri. Ada ketentuan yang baku tentang perempuan yang boleh dinikahi dan yang tidak. Perempuan yang boleh dinikahi adalah perempuan yang bukan muhrim bagi laki-laki yang bersangkutan seperti saudara perempuan, anak tiri, anak sendiri, dan sebagainya.29 Perempuan-perempuan yang haram dinikahi dikatagorikan ke dalam dua bagian. yaitu mahram muabbad (larangan perkawinan untuk selamanya) dan mahram muaqqat (larangan perkawinan untuk sementara). 1.
Bagian Pertama Adalah Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Selama-lamanya:
a.
Hubungan Nasab keharaman ini didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 23
yang berbunyi:
د ِ ْش َٔتََُاخُ اُِخ ِ َِعًّآ ِذكُ ْى َٔخآَ ِذكُ ْى َٔتَُآخُ ا َ َٔ عهَ ٍْكُىْ ُايَٓآ ُذكُ ْى َٔتَُآ ِذكُ ْى َٔاَخَٕآ ِذكُ ْى َ د ْ ز ِشيَـ ُ Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan”. Berdasarkan ayat diatas, dapat diuraikan perempuan yang haram dikawini karena hubungan nasab adalah: 29
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, h. 118
29
1)
Ibu: yaitu perempuan yang ada hubungan darah dalam garis lurus ke atas, yakni, ibu, nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas.
2)
Anak perempuan: yaitu perempuan yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya kebawah.
3)
Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.
4)
Bibi: yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik sekandung seayah atau seibu dan seterusnya ke atas.
5)
Kemenakan perempuan: yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya kebawah.30
b.
Hubungan Susuan Hubungan didasarkan pada lanjutan surat An-Nisa ayat 23 di atas:
ِضعْ َُكُ ْى َٔاَخَٕآ ُذكُ ْى يٍَِ انشَضآَعَح َ َْٔ ُايَٓآ ُذكُىُ اََذًِ َاس Artinya: “Ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan”. Hadis Bukhari Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
ًِسمَ ن ِ ُال ذ َ أَََٓا:َز ًْضَج فَقَال َ عهًَ إِتَُْ ِح َ ُاسٌِْ َذ.و.ٌ انَُثًِ ص َ َهلل عَ ُْ ًَُٓا أ ُ ٍ عَثَاط سَضًَِ ا ِ ْعٍَْ إِت )ٍّة (يرفق عه ِ ٍَ ان َُس َ ِسشَ ُو يٍَِ انشَضَاعَ ِح يَا ٌُسشو ي ْ ٌُٔ ,ِأَََٓا إِتَُْحَ اَخًِ يٍَِ انشَضَاعَح Artinya: “dari Ibnu Abbas r.a, bahwa sesungguhnya nabi di ingini oleh anak perempuan (pamannya Hamzah). Maka nabi mengatakan (kepada 30
Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tiggi Agama Iain Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Cv Yulina, 1984), h. 8492
30
Ibnu Abbas) bahwa sesungguhnya dia tidak halal bagiku karena dia adalah saudara perempuanku sepersusuan, dan diharamkan karena saudara sepersusuan hal-hal yang diharamkan karena saudara kelahiran (seketurunan)”. (HR. Muttafaqun Alaihi).31 Oleh karena itu, pada hakikatnya, wanita wanita yang diharamkan karena sebab satu susuan ini sama dengan wanita-wanita yang diharamkan karena faktor keturunan. Hanya saja, dalam sebab satu susu ini ditambahkan bahwa wanita yang menyusui posisinya sama dengan ibu kandung.32 Dengan demikian, wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi lantaran satu susu ini adalah sebagai berikut: 1)
Ibu susuan termasuk dalam ibu susuan ini adalah : ibu yang menyusukan, yang melahirkan ibu susuan, dan seterusnya garis lurus keatas.
2)
Anak susuan ialah: anak yang disusukan isteri, anak yang disusukan anak perempuan, anak yang disusukan isteri anak laki-laki, dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
3)
Saudara susuan ialah : yang dilahirkan ibu susuan, yang disusukan ibu susuan, yang dilahirkan isteri ayah susuan, anak yang disusukan isteri ayah susuan, yang disusukan ibu, yang disusukan isteri dari ayah.
4)
Paman susuan ialah : saudara dari ayah susuan, saudara dari ayahnya ayah susuan.
31
Sayid Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Mesir: Darussalam) juz 3,
32
Asep Saepullah, Serial Fiqh Munakahat, Diakses Pada Minggu 24-04-2011, Dari
h. 217.
Www.Indonesianschool.org
31
5)
Bibi susuan ialah : saudara dari ibu susuan, saudara dari ibu dari ibu susuan.
6)
Anak saudara laki-laki atau perempuan ialah: anak dari saudara susuan, cucu dari saudara susuan, dan seterusnya ke bawah. Orang-orang yang disusukan oleh saudara sesusuan, yang disusukan oleh anak saudara sesusuan, yang disususkan oleh saudara perempuan, yang disusukan oleh isteri saudara laki-laki, dan seterusnya garis lurus kebawah dalam hubungan nasab dan susuan.33
c.
Hubungan Mushaharah. Keharaman itu disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surat An-Nisa:
ٍ فَإٌِْ نَ ْى َذكَُُْْٕٕا َ ِٓخهْرُ ْى ِت َ ٍَ َِسَا ِئكُىُ اََذًِ د ْ ِخ َِسَا ِئكُ ْى َٔسَتآَئِ ُثكُىُ االَذًِ فًِ زُدُ ْٕ ِسكُ ْى ي ُ ََُٔأيَٓآ ٍْ يٍِْ أَصُْ ِتكُى َ ٌِْعهٍَكُ ْى َٔزَُ ِئمُ أَتَُْا ِئكُ ُى انَز َ ذ َ ال خَُُا َ ٍ َف َ ِٓخهْرُ ْى ِت َ َد Artinya: “Ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)” Adapun perempuan yang diharamkan menurut Al-Qur‟an sebab ada hubungan mushaharah34 ada empat orang, ialah: 1)
Isteri ayah, terus keatas.
33
Amir Syarifuddin, Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan UndangUndang Perkawinan, h. 120-121 34
Hubungan mushaharah adalah bila seorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seorang perempuan, maka terjadilah hubungan antara si laki-laki dengan kerabat si perempuan.
32
2)
Ibu isteri terus keatas, baik sebab hubungan nasab atau satu susuan, baik si suami sudah menjimak isterinya atau belum.
3)
Anak tiri, yakni anak perempuan sang isteri, jika memang sudah menjimak ibunya.
4)
Isteri anak laki-laki atau perempuan, terus kebawah.35
2.
Mereka Yang Haram Dikawini Dalam Waktu Tertentu, Tidak Untuk Selama-Lamanya. a.
Dua perempuan bersaudara haram dikawini oleh seorang lelaki dalam waktu yang bersamaan. Maksudnya mereka haram dimadu. Apabila perempuan itu meninggal dunia atau dicerai maka boleh suami menikahi saudara isterinya.36 Keharaman mengumpulkan wanita dalam satu waktu perkawinan itu disebutkan dalam lanjutkan ayat 23 surat An-Nisa:
ٍ ِ ٍَْد ًَعُْٕا تٍٍََْ اُِخْر ْ ٌَ ذ ْ ََٔأ Artinya: “dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara sekaligus”. Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu ikatan perkawinan, juga diperlakukan sama terhadap dua wanita yang mempunyai hubungan keluarga bibi dan kemenakan. Larangan ini 35
Syekh Muhammad Bin Qasim Al-Ghazy, Terjemah Fathul Qarib Jilid 2, Penerjemah Achmad Sunarto, (Surabaya: Alhidayah, 1992), h. 41 36
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, h. 119
33
dinyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:
َعًَ ِرَٓا َٔال َ َٔ ٍ ا ْن ًَ ْشأَ ِج ِ ٍَْدًَ ُع ت ْ ٌَ ال َ :ٌَ انَُثًِ صهً اهلل عهٍّ ٔسهى قَال َ َعٍَْ اَتًِ ُْشَ ٌْشَجَ أ ٍ ا ْن ًَ ْشأَ ِج َٔخَانَ ِرَٓا َ ٍََُْت Artinya: “dari Abu Huraira, sesungguhnya rasulullah saw. Berkata : janganlah mengumpulkan seorang perempuan (sebagai istri) dengan pamannya dan bibinya.” (HR. muttafaqun alaihi)37 b.
Perempuan yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain. Haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Keharaman ini disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 24:
ٍِ ان ُِسَاء َ ِخ ي ُ ََٔا ْنًُسْصَُآ Artinya:
c.
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami”
Perempuan yang sedang berada dalam masa iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditinggal mati berdasarkan firman allah surat albaqarah ayat 228 dan ayat 234.
d.
Perempuan yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suami, kecuali mantan isteri tersebut sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa iddahnya berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 229-230.
37
3, h. 124.
Sayyid Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul Al-Salam, (Mesir: Darussalam), Juz
34
e.
Perempuan yang sedang melakukan ihram, baik umrah maupun haji, tidak boleh kawin atau dikawini. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslaim dari Usman bin Affan:
ُسشِو ْ ًُر ا ْن ُ ِال ٌَ ُْك َ .و.هلل ص ُ قَالَ َسسُ ْٕلُ ا:َهلل عَُْ ُّ قَال ُ ٍ عَفَاٌ سَضًَِ ا ِ ٍْ عُ ْثًٍَ إِت ْ َع )ة (سٔاِ يسهى ُ ُخّط ْ ٌَ ال َ َٔ ر ُ ِال ٌُ ُْك َ َٔ Artinya: “orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak pula boleh meminang”.38
f.
Perempuan musyrik. Maksudnya ialah wanita yang menyembah selain allah. Ketentuan ini kita dapati pada surat Al-Baqarah ayat 24. adapun berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5, wanita ahli kitab yakni nashrani dan yahudi yang boleh dikawini.
g.
Perempuan haram dinikahi oleh seseorang yang telah mempunayi isteri empat orang. Dalam surat An-Nisa ayat 3, seorang laki-laki boleh mempunyai istri maksimal empat orang saja. Haram kawin lagi dengan wanita yang kelima dan seterusnya kecuali salah satu dari mereka itu diceraikan dan telah habis masa iddahnya.
38
An-Nawawi, Shoheh Muslim, (Iskandaria: Dar-Al-Riyan, 1989 M/1407 H),juz 5, h.193.
35
BAB III PERKAWINAN DALAM ADAT MADURA A.
Profil Pulau Madura 1.
Identifikasi Pulau Madura terletak pada parallel 6‟ 45‟ LS – 7‟ 15‟ LS dan pada
meridian 112‟ 15‟ BT – 114‟ 05‟ BT, membujur dari arah barat ke timur ditambah dengan 77 buah pulau-pulau. Pulau itu dipisahkan dari jawa oleh selat madura, yang menghubungkan laut jawa dengan laut bali.1 Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa.2 Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulaupulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di bagian timur Jawa biasa disebut wilayah Tapal kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara, serta sebagian Malang. 1
Hub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan, Ekonomi Dan Islam, Seri Terjemahan KITLV-LIPI, Jakarta: PT Gramedia, 1989, h.3. 2
M. Subhan Zamzami, “Profil Madura”, artikel diakses pada 17 april 2011 dari http://madurastudies.wordpress.com/
35
36
Disamping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta,Tanggerang, Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang Madura senang berdagang, terutama besi tua dan barang-barang bekas lainnya. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan dan buruh, serta beberapa ada yang berhasil menjadi, Tekonokrat, Biokrat, Mentri atau Pangkat tinggi di dunia militer.3 Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat. 2.
Gambaran umum Kecamatan Pengarengan Kabupaten Sampang Kabupaten Sampang secara administrasi terletak dalam wilayah Propinsi
Jawa Timur yang secara geografis terletak di antara 113o08‟ - 113o39‟ Bujur Timur dan 6o 05‟ - 7o13‟ Lintang Selatan. Kabupaten Sampang terletak ± 100 Km dari Surabaya. Batas-batas wilayah Kabupaten Sampang adalah : • Sebelah
3
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Pulau Madura”, artikel diakses 17 april 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Madura
37
Utara : Laut Jawa • Sebelah Selatan : Selat Madura • Sebelah Barat : Kabupaten Bangkalan. • Sebelah Timur : Kabupaten Pamekasan.4 Untuk menyesuaikan penelitian ini maka peneliti mengambil lokasi penelitian
di
Kecamatan
Pengarengan
Kabupaten
Sampang
Madura.
Masyarakat Pengarengan merupakan sekelompok masyarakat yang memegang teguh prinsip hukum-hukum Islam dan norma hukum adat-istiadat a.
Kondisi Penduduk dan Jenis Pekerjaan Atau Mata Pencaharian Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 Kabupaten data agregat per
kecamatan oleh badan pusat statistik Kabupaten Sampang luas wilayah Kecamatan Pengarengan adalah dengan luas hanya 42,7 Km2 atau (3,46 %) dari luas Sampang yang berbatasan dengan Kecamatan Torjun disebelah Utara, sebelah Timur Kecamatan Sampang, sebelah Selatan Selat Madura dan sebelah Barat Kecamatan Jrengik. Sedangkan jumlah penduduk menurut badan pusat statistik Sampang 2010 bisa dilihat pada tabel dibawah ini sebagai berikut. Tabel. 1 Jumlah Penduduk Kecamatan Pangarengan Kabupaten Sampang
No 1 4
kecamatan Pangarengan Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin Laki-laki Perempuan 10.350
10.752 21102
Wikipidea Ensiklopedia Bebas, “Kabupaten Sampang” artikel diakses 19 juni 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten Sampang
38
Dari tabel di atas dapat di simpulkan Sex ratio Kecamatan Pangarengan adalah jumlah penduduk perempuan lebih besar daripada jumlah penduduk laki-laki sebesar 402 orang lebih banyak perempuan.5 Sedangkan
jenis
pekerjaan
atau
mata
pencaharian
Kecamatan
Pangarengan terdiri dari pertanian, perternakan, perikanann, perdagangan, angkutan, industry, penggalian, pertukangan dan jasa. melihat dari kondisi masyarakat Pengarengan secara agraris mereka mengandalkan sawah dan tambak sebagai mata pencahariannya meskipun tanahnya tandus dan sulit untuk ditanami. Adapun masyarakat yang bertani itu masih mengandalkan air hujan sebagai salah satu faktor yang membuat tanamannya hidup. Sedangkan tambak digunakan sebagai produksi garam di musim kemarau dan memasang ikan pada waktu musim penghujan. Suasana kemarau sinar matahari di desa Pengarengan sangat panas karena pohon-pohon sulit untuk tumbuh besar dan bertahan lama.. b.
Kondisi Sosial Keagamaan Desa Pangarengan dengan jumlah penduduk sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas, dapat dikategorikan sebagai desa yang agamis. Hal ini terlihat dari data yang telah diperoleh, bahwa sekitar 41,44 % dan tidak ditemukan agama lain selain agama Islam.
5
Djukdjuk widhilaksana, “hasil sensus penduduk 2010 Kabupaten data agregat per kecamatan oleh badan pusat statistik Kabupaten Sampang” Artikel diakses pada 19 juni 2011 dari web http://docs.google.com
39
sosial masyarakat Desa Pangarengan, seperti yang terlihat dalam cara mereka berpakaian dan berinteraksi. Agama dianggap hal yang suci atau sakral yang harus dibela dan merupakan pedoman hidup bagi manusia. Mereka menganggap, kiyai merupakan sosok seseorang yang harus dihormati setelah orangtua. Di Desa Pangarengan, fanatisme terhadap kiyai sebagai orang lebih memahami agama daripada orang biasa, sehingga hal itu menjadi simbolsimbol yang digunakan untuk menaikkan status sosial seseorang. Seorang kiai (keyae) biasanya dianggap memiliki kelebihan magis spiritual dan sangat dekat dengan Tuhan karena ketakwaan dan ketaatannya dalam menjalankan ibadah. Peranan dan fungsi kiai (keyae), selain sebagai pembina umat atau disebut juga sebagai penerus para nabi, juga mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada para santri dalam suatu lembaga pondok pesantren. Peran Kiai (keyae) adalah pemimpin informal di desa ini, semua masalah keluarga dan masyarakat yang sulit dipecahkan diserahkan padanya untuk diselesaikan.6 c.
Kondisi Pendidikan Kesadaran masyarakat Pengarengan tentang pentingnya arti sebuah
pendidikan semakin bertambah dari waktu ke waktu. pendidikan orangorangtua dahulu tidak sekomplit sekarang, sebab itu pentingnya pendidikan untuk masa depan anak mereka agar mengenyam pendidikan lebih tinggi.
6
Abdur Rozaki, “Peran Kiyai”, artikel diakses pada 19 juni 2011 pada web http://rukib.wordpress.com
40
Bertambahnya sektor pendidikan di desa masyarakat dewasa ini, menandakan tingkat pendidikan formal yang ada dan ditempuh oleh masyarakat Desa Pangarengan semakin berkembang, mulai dari tingkat pendidikan TamanKanak-kanak (TK)/Taman Pendidikan al-Qur‟an, Sekolah Dasar (SD)/Madrasah diniyah/Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), dan Madrasah Aliyah (MA). Bagi keluarga yang menginkan anaknya mengerti tentang agama Islam maka mereka mewakilkan pada lembaga pendidikan non formal seperti memondokkan di pesantren, yang berada diluar Desa Pengarengan. Sedangkan bagi mereka yang hanya menempuh pendidikan seperti ngaji dimushalla secara non formal dengan cara nyolok7 menganggap lebih bisa mengawasi keberadaan anaknya dan juga bisa membentu orangtuanya sewaktuwaktu.
B.
Sistem perkawinan dan Adat istiadat 1.
Sistem kekerabatan Dalam antropologi istilah “kekerabatan” sering dipergunakan dalam arti
kerabat dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan. Kerabat merupakan hubungan darah sedangkan hubungan perkawinan diberi istilah
7
Nyolok adalah istilah yang digunakan untuk santri yang belajar dan mengikuti kegiatan di pondok pesantren atau dimushalla namun tidak menetap (mukim) di asrama pondok pesantren tersebut (pulang-pergi)
41
affinity. Dengan demikian, orang tua dengan anak adalah kerabat sedangkan suami dan istri adalah affines.8 Sistem kekerabatan suku Madura adalah parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu). Sekalipun orang-orang madura menganut prinsip kekerabatan. bilateral/parental (tiap individu dalam masyarakat termasuk kerabat kedua orang-tuanya), tetapi pada umumnya di Madura sepasang suami isteri setelah kawin hidup berkumpul di lingkungan kerabat isteri (uxorilokal). Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat, yaitu taretan dalem (kerabat inti atau batih), taretan semma‟ (kerabat dekat), dan taretan jauh (kerabat jauh). Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan saudara".9 Keluarga batih atau keluarga inti orang-orang Madura adalah terdiri dari sepasang suami-isteri beserta dengan anak-anaknya, yang belum kawin. Dalam keluarga batih orang Madura, suami adalah pemimpin dan penanggung jawabnya. Sedangkan isteri adalah yang mengendalikan, memelihara merawat rumah tangga serta anak-anaknya. Taretan semma (kerabat dekat) orang-orang Madura terdiri dari ayah dan putra, saudara laki-laki dan saudara perempuan, kakek dan nenek, paman dan bibi keponakan laki-laki dan keponakan 8
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1983), cet-
2, h.42. 9
Latif wiyata, “modal rekonsiliasi orang madura”artikel diakses pada 18 april 2011 dari http://kabarmadura07.blogspot.com/2008/07/modal-rekonsiliasi-orang-madura.html
42
perempuan. Dan yang dimaksud taretan jauh (kerabat jauh) adalah terdiri dari sepupu laki-laki dan sepupu perempuan, termasuk kerabat dari hubungan perkawinan seperti ipar dan lain-lain.10 2.
Sistem Perkawinan Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (ethnologi) dilihat dari keharusan
dan larangan mencari calon isteri bagi setiap pria, maka perkawinan dapat berlaku dengan sistim endogamy (harus kawin satu suku) dan sistim exogamy (harus kawin dengan kerabat luar atau beda suku) yang kebanyakan dianut oleh masyarakat adat bertali darah, dan dengan sistim eleutherogami (terserah mau nikah dengan dalam atau luar suku) sebagaimana yang berlaku pada kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum islam.11 Sehingga sistem perkawinan yang dianut adat madura adalah eleutherogami karena masyarakat madura yang mayoritas beragama islam. Dan dalam melakukan sesuatu harus berlandaskan ajaran islam, walaupun dalam kebiasaannya masih endogamy, yaitu harus sesama orang madura. Agar mudah dalam berkomunikasi dan tahu adat. 3.
Sopan Santun Pergaulan Di samping agama Islam, orang Madura sangat mengutamakan adat.
Lebih-lebih dalam adat pergaulan, bahwa yang muda wajib hormat dengan 10
Helene Bouvier, Seni Musik Dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2002, Perpustakaan Nasional h. 364 11
4, h. 68
Hilman hadikusuma, hukum perkawinan adat, Bandung, PT Citra Aditiya Bakti,1990, cet
43
bersopan santun dengan yang lebih tua, telah diadatkan dikalangan orang Madura. Didalam pergaulan di lingkungan kerabat, derajat tingkat yang lebih rendah wajib hormat kepada yang lebih tua seperti (orangtuanya, paman bibi dari pihak ibu atau bapaknya, nenek-kakeknya dan pada juju‟nya).12 Sikap hormat ini di wujudkan dalam bentuk pakaian yang dipakainya, sikap waktu menghadap termasuk mimic dan tutur bahasa. Dilengkapi dengan sembah tata krama khusuz dan dulu kerabat yang lebih rendah harus duduk di bawah lantai melepas alas kaki menyungguhkan makanan dan minuman tidak boleh berdiri tegak tapi harus barsimpuh di lantai. Lebih-lebih kepada Ulama, di kalangan masyarakat Madura di anggap sebagai pemimpin non Formil sebab para Ulama tersebut dianggap menyelamatkan mereka di akhirat, Perasaan lebih hormat kepada yang lebih tua lebih tinggi pangkatnya, sering disertai perasaan sungkan. Makin ke bagian barat Madura keketatan dalam adat Sopan santun pargaulan makin mengendor. 4.
Bahasa Bahasa Madura sekalipun satu, tapi terbagi dalam 3 dialek bahasa Madura
dialèk Sumenep, dialek Pamekasan/Sampang dan dialek bangkalan misalnya orang
Sumenep
menyebut
celana
dengan
“salebbar”
Orang
pamekasan/Sampang mengatakan “Slebbar”dan orang Bangkalan mengatakan “lebbar”. Untuk bahasa Madura didaerah Sumenep dalam pengucapannya
12
Adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur, h. 103-104.
44
berirama, karenanya ke dengarannya halus. Bahasa Madura mengenal tingkattingkat bahasa yaitu:13 1.
tingkat bahasa tertinggi, yaitu bahasa Madura”Keraton‟atau istana sekarang masih banyak dipakai dan divariasi oleh kalangan bangsawan. bahasa ini adalah bahasa yang terhalus.
2.
tingkat bahasa enggi-bunten”yaitu bahasa halus.
3.
tingkat bahasa enggi-enten yaitu bahasa setengah halus
4.
tingkat bahasa iyyah-enje yaitu bahasa tingkat bawah Penggunaan bahasa Madura yang terhalus (bahasa Madura Kraton).
umunmya diergunakan oleh para keluarga bangsawan, digunakan untuk orang yang lebih tua dan lebih tinggi derajatnya. Bahasa Madura halus “enggibunten” digunakan dikalangan priyayi,orang biasa yang sederajat atau. kepada orang yang lebih tua dan lebih tinggi derajat dalam kerabatnya. Bahasa enggienten‟ biasanya dipakai debagai bahasa sopan oleh orang yang lebih Tua lebih tinggi derajatnya kepada yang lebib muda/lebih rendah derajatnya atau kawankawan yang akrab. Sedangkan penggunaan bahasa tingkat “iyyah- enja‟” diantara penduduk kebanyakan, digunakan oleh orang tua/lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih muda dan lebih rendah derajatnya. Atau digunakan antara sahabat karib. Dengan orang yang baru dikenalnya, dipergunakan bahasa “enggi-bunten”.
13
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Bahasa Madura”, artikel diakses pada 19 april 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Madura
45
C.
PERKAWINAN DALAM ADAT MADURA 1.
Adat Sebelum Perkawinan
a.
Pemilihan Jodoh Sebelum menikah harus memilih pasangannya yang benar-benar cocok
dan dapat membimbingnya di dunia dan di akherat agar terciptanya perkawinan yang ideal. Sehingga dalam adat Madura tidak sembarangan dalam menentukan pasangannya. Cara memilih jodoh untuk Perkawinan yang ideal menurut adat Madura apabila: 1)
Seagama (Islam) dan taqwa
2)
Satu suku agar dipermudah dalam berkomunikasi dan beradat.
3)
Menurut pertimbangan bibit, bebet-bobot sudah tepat. Dan harus anak syah, bukan hasil zina, serta tahu adat.
4)
Dalam lingkungan kerabat sendiri, mencegah incest, menghindari umur wanitanya lebih tua.
5)
Usia yang pantas bagi anak perempuan kawin ialah setelah akil baliq (sebab bila agak tua sedikit belum mendapatkan jodoh sudah dipergunjingkan
orang
sebagai
“peraben
towa
ta‟paju
alake”(perawan tua gak laku). 6)
Menurut orang Madura si laki-laki harus “lanceng kepanceng” (Jejaka) dan si perempuan harus “peraben” (perawan).14
14
adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur”, buku diambil dari rumah anjungan jawa timur di taman mini Indonesia indah, h. 120
46
b.
Prosesi Pertunangan Ngangene Kalau sudah ada kecocokan mengenai calonnya maka mulailah ada
seorang dua orang kerabat keluarga pemuda “ngangene”(mencari berita) atau “nyalabar” atau “re-sarean” mencari-cari ) apa si gadis tersebut sudah punya tunangan apa belum. Tapi informasi ini tidak langsung dari orang tua si gadis, tapi tetangga si gadis atau kerabat si gadis.15 a.
Prosesi Pertunangan Nerabas Pagar Bila ternyata si gadis belum ada yang punya, maka tahap kedua yaitu
“Nerabas Pagar” (Menerobos Pagar) dilaksanakan oleh utusan keluarga si pemuda datang menanyakan sendiri kepada orang tua si gadis, apa anak gadisnya sudah ada yang punya artinya apa sudah “abakalan”(tunangan). Dan apabila orang tua si gadis berkenan pada si pemuda anak gadisnya, maka hubungan itu dikonkritkan dengan “Nale‟e Pagar” (mengikat pagar). d.
Prosesi Pertunangan Nale‟e Pagar Acara “nale‟e pagar” ini di tandai dengan dikirimkan utusan resmi pihak
keluarga pemuda dengan membawa surat. Sedangkan isi surat adalah menginginkan anak gadisnya untuk dijodohkan dengan anaknya. Bilamana dalam acara “nale„a pagar” pihak keluarga pemuda tidak berpesan minta balasan, maka pihak keluarga si gadis akan datang ke pihak keluarga pemuda
15
Ibid., h. 123
47
untuk mengantarkan hantaran balasan berupa seperangkat pakaian bagi pemuda serta kue-kue Hal ini disebut “tongkebban” (artinya ditengkurapkan).16 e.
Prosesi Pertunangan Lamaran Setelah acara nale‟e pagar dilanjutkan dengan meresmikan pertunangan
yang disebut oleh orang madura dengan lamaran. Pertunangan ini menjadi resmi Kalau orang tua si pemuda mengirimkan “penyengset” (bahasa tinggi Madura yang berarti ikat pinggang).17 Biasanya dalam penyengset berupa pisang susu maka pihak pemuda minta agar segera (kesusu) disusul dengan perkawinan. Jumlah dari pisang tersebut menandakan jumlah bulan (bila 3 sisir berarti 3 bulan) Sedangkan kue-kue tak boleh lupa disertai kue “ tettel”18 Hal di atas dijalankan oleh keluarga-keluarga madura yang masih berpegang pada adat dan terutama di desa-desa. Kalau di kota-kota sering disertai dengan resepsi pertunangan yang mempertemukan kedua muda-mudi tersebut, lengkap dengan saling mempertukarkan cincin. f.
Nyeddek Temo Setelah resmi bertunangan jika beberapa bulan kemudian pihak laki-laki
ingin ingin melangsungkan perkawinan maka pihak pemuda mengirimkan 16
Tongkebban adalah Upacara balasan berupa kunjungan dari pihak wanita kepada pihak keluarga pria. 17
Penyengset adalah pengikat dalam ikatan tunangan berupa hantaran atau seserahan pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang terdiri dari seperangkat pakaian dan beraneka ragam kue dan buah. 18 tettel” makanan dari beras ketan yang sifatnya rekat yang melambangkan agar hubungan yang rekat atau lengket.
48
utusan yang terdiri dari kaum laki-laki saja guna mengadakan “nyeddek‟ temo” (mendesak pertemuan) untuk membicarakan hari perkawinan kedua muda-mudi itu. Para utusan keluarga pemuda dan pihak si gadis haruslah orang yang ahli dalam perhitungan hari perkawinan yang baik. Masih umum dalam hal ini kedua keluanga tersebut minta pertimbangan Ulama. Setelah hari dan tanggal pernikahan telah ditentukan, sang calon pengantin perempuan akan melakukan persiapan kecantikan di rumahnya. Persiapan kecantikan tubuh dalam adat Madura dilakukan 40 hari sebelum waktu pesta pernikahan. Selama 40 hari, sang calon pengantin perempuan dipingit dirumah. Dipingit berarti tidak boleh keluar rumah selama waktu yang ditentukan untuk perawatan kecantikan kulit sang perempuan. 2.
Upacara-upacara pelaksanaan perkawinan Penyelenggaraan perkawinan dulu di Madura berlangsung selama 3 hari 3
malam sekarang hanya cukup sehari semalam saja, sekalipun ada beberapa daerah dan adat yang harus berlangsung selama 3 hari. 19 Pada hari pertama biasanya dilangsungkan aqad nikah, dan terdapat 3 bentuk akad nikah yaitu: Ada upacara aqad nikah yang diselenggarakan beberapa hari sebelum resepsi perkawinan,
19
Lilik rosida irmawati, “media budaya madura dalam adat pernikahan”, artikel diakses pada 1mei 2011 dari http://budayamadura.blog.com/
49
ada juga yang melangsungkan “kabin moso” yaitu sébelum bersanding dipelaminan, calon mempelai yang baru masuk ruang resepsi melaksanakan aqad nikah dulu, dan ada juga Apabila pagi harinya melaksanakan aqad nikah maka malam hari nya diselenggarakan resepsinya. Di rumah keluarga calon mempelai laki-laki sebelum melangsungkan upacara aqad nikah, maka diadakan rasol kabin (tumpeng untuk selamatan kawin) yang berbentuk pembacaan do‟a dan makan barsama. Peserta upacara tersebut hanya kaum pria, terutama mereka yang akan mengantar calon mempelai laki-laki untuk aqad nikah. Setelah makan bersama rombongan pengantar calon mempelai laki-laki teresebut, dilepas menuju keluarga calon mempelai perempuan. Waktu penyelenggaraan aqad nikah di rumah keluarga calon mempelai perempuaan umumnya pagi hari. sekitar jam O90.O-1O.OO atau setelah sembahyang Dhuhur. Penghulu umumnya diundang ke rumah keluarga mempelai perempuan untuk menikahkan. Penghulu menikahkan si anak gadis dengan calon suaminya sesuai dengan ketentuan agama dan perundangundangan. Akhir dari akad nikah selalu disertai dengan doa dan khotbah nikah.20
20
Adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur, hal. 129
50
Menjelang resepsi malam yang pertama mempelai perempuan di paras oleh penghias. Dulu “pangennyas” (juru rias pengantin) sebelum merias pengantin berpuasa dan bersembahyang hajad untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha kuasa agar mampu memberikan “pangabar” (kemantin yang diriasnya menjadi cantik bercahaya).21 Hiasan di “tarop” selalu ada hiasan lambang-lambang seperti. Janur kuning lambang keperawanan (peraban sonte), dan pohon pisang yang sedang “nongkol” (jantung pisang ) sebagai lambang “lanceng kapaceng” ( jejaka ). Juga hiasan daun beringin sebagai lambang “ rampa„naong baringen korong “ (kehendak mengayomi dan membantu keluarga yang tak punya). Pada resepsi malam yang kedua kesibukan perayaan berpindah ke rumah keluarga pengantin laki-laki Malam kedua tersebut adalah malam “mantan amaen” artinya berkunjung ke rumah keluarga pihak kemantin laki-laki. Kerabat dari kedua pihak hadir ikut meramaikan. Kedua pengantin bersanding di pelaminan dengan berpakaian kraton Pada malam kedua tersebut keduanya masih tidur terpisah dengan pengawasan orang tua. 22 Pada resepsi malam ketiga kedua pengantin bersanding dipelaminan dengan berpakaian bangsawan. Pada malam itu “nangga mamaca”.23Pada
21
Wawancara pribadi dengan perias manten, afiah, Jakarta 16 mei 2011
22
Adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur, h. 130
23
(nangga mamaca) mengundang hiburan panggung dangan cerita-cerita percintaaan, hal ini memang dibuat begitu agar kedua pengantin makin dimabuk asmara
51
malam itu untuk kedua pengantin tidak diadakan lagi kamar yang terpisah atau tempat tidur yang terpisah, tapi cukup satu kamar dan satu tempat tidur beralaskan seprai putih bersih, harum oleh bau dupa dan bunga melati. Malam itu harus sudah jadi hubungan seks antara kedua pengantin tersebut. Pagi harinya diadakan selamatan “nase ponar “ (nasi kuning dan beras ketan), “asambel Nye‟or” (sambal kelapa) ada kue-kue berbentuk kelamin lakilaki dan perempuan diantaranya diantar-antarkan kepada kerabat dan tetangga, seakan-akan suatu pemberitahuan dengan lambang, bahwa kedua pengantin tersebut sudah melaksanakan hubungan seks sebagai suami isteri dengan Sempurna. Sekarang acara tiga malam tersebut dijadikan satu malam saja, tapi berganti pakaian tiga kali, dan “ngonjong mantu”24 yang terpisah beberapa hari dari acara resepsi perkawinan dipihak keluarga pengantin perempuan. 3.
Upacara-Upacara Sesudah Perkawinan. Setelah selesai upacara-upacara perkawinan kedua pengantin baru itu
yang hidup dilingkungan keluarga isterinya melaksanakan tugas sehari-hari. Dulu pengantin baru itu kira-kira 2 sampai 3 bulan tidak boleh bekerja dan belanja sendiri. Semuannya di tanggung orang tua isterinya. Baru setelah orang tua isterinya menganggap kedua pengantin itu sudah bisa berdiri sendiri mulai dilepas untuk bertanggung jawab sendiri.
24
Ngonjong manto adalah kegiatan silaturrahmi yang wajib dilakukan beberapa hari setelah resepsi oleh pengantin baru untuk mengunjungi semua kerabatnya baik pihak suami atau istri.
52
Mengenai hidup perorangan yang segera melibatkan kedua pengantin baru itu terbagi dalam beberapa tahap sesuai dengan kejadian penting dalam usia-usia tertentu yang hanya dijalani sekali saja dalam hidupnya. Tahap-tahap tersebut adalah: 25 a.
Pellet kandung (jawa tingkepan), Pellet kandung yaitu apabila usia kandungan pertama si isteri mencapai 7
bulan. maka perawatan atas diri si isteri itu ditangani oleh orang tuanya. Upacara ini diselenggarakan waktu malam hari, di tempat kerabat isterinya. Yang di undang selain kerabat isterinya, juga kerabat suaminya. Didalam rumah ada acara memijat kandungan untuk membetulkan letak bayinya yang dilakukan oleh nyi dukun bayi, diluar para undangan pria atau wanita (tempat-terpisah) membaca surah Yasin (agar ganteng seperti Nabi yusuf) bila laki-laki dan surah maryam (agar cantik dan baik seperti maryam). Si isteri terus dibawa ke “pakeban‟ (kamar mandi) untuk dimandikan air “kom-koman” (air bunga) ditempatkan dibelanga (penay)26 oleh suaminya dan para“Seppo”.. Semuanya ditujukan untuk kemudahan melahirkan, selamat dan agar bayi adalah calon manusia yang berbudi luhur, taqwa dan berguna. b.
Upacara Kelahiran Begitu bayi lahir maka segera dibersihkan dan dimandikan, Bapaknya
atau kakeknya membisikkan adzan di te1inga kanan bayi dan iqamath di telinga 25 26
Adat dan upacara perkawinan daerah jawa timur, h. 132 (“penay”) adalah wadah tradisional dari tanah, yang melambangkan kesederhanaan
53
kirinya. Ari-ari dan tali pusar yang telah di potong diberi ramuan rempahrempah diberi tu1isan arab dimasukkan kedalam “polo” (periuk kecil bertutup di tanam di belakang rumah) kalau bayi perempuan (agar tidak suka keluar rumah dan betul-betul menjadi ibu rumah tangga) di tanam dimuka rumah kalau bayi laki-laki (agar menjadi penjaga rumah yang baik). Di atas pendaman ari-ari tersebut, ditanam pandan duri dan selama 7 malam diberi lampu.27
27
Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Timur, h. 134
BAB IV IMPLIKASI PERKAWINAN SALEP TARJHA A.
ATURAN ADAT TENTANG PERKAWINAN SALEP TARJHA Masyarakat Madura di satu sisi merupakan masyarakat yang agamis dengan menjadikan Islam sebagai agama dan keyakinannya, Hal ini tercermin dalam ungkapan “Abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah”1, yang menggambarkan bahwa orang Madura itu berjiwa Agama Islam. Akan tetapi di sisi lain mereka juga masih mempertahankan adat dan tradisi yang terkadang bertentangan dengan ketentuan Syari’at Islam, karena adat dan tradisi yang dipertahankan tersebut hanya berlandaskan pada mitosmitos yang tidak dapat dirasionalisasikan dan cenderung bertentangan dengan Aqidah Islamiyah, seperti larangan untuk melakukan perkawinan dengan model Salep Tarjha ini salah satunya. Salep Tarjha ini merupakan salah satu model perkawinan yang benar secara syariat Islam dan ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia, akan tetapi dilarang berdasarkan ketentuan adat-istiadat dan tradisi masyarakat Madura. Karena diyakini dapat membawa bencana dan musibah seperti mengalami sakit-sakitan (ke’sakean), kesulitan dalam mencari rezeki dan akan selalu melarat dalam kehidupannya, atau bahkan bisa meninggal dunia (pendek omor). 1
Abhantal syahadat, asapo iman, apajung Allah adalah ungkapan dalam bahasa Madura yang memiliki arti berbantalkan syahadat, berselimutkan iman, berpayungkan Allah. Ungkapan ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sudah mendarah daging dalam masyarakat
54
55
Dalam hal ini, selama penulis melakukan penelitian di lingkungan orang madura yang berada di Jakarta, mendapatkan informasi dari tokoh agama, tokoh adat/sesepuh2(seperti kakek,nenek) dan beberapa orang masyarakat yang menjadi informan, menerangkan dan menjelaskan kepada penulis bahwa yang dimaksud Salep Tarjha adalah sebagai berikut. 1.
Pengertian Perkawinan Salep Tarjha menurut bahasa madura Salep Tarjha jika diartikan kedalam bahasa
Indonesia maka dapat diartikan sebagai berikut: saling tarik menarik atau, Saling tendang atau, saling mendahului atau, menerobos. Sunarmi yang kerap dipanggil embah endu’ sebagai salah seorang sesepuh Madura mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Salep Tarjha itu apabila ada seorang laki-laki dan perempuan bersaudara/kakak adik yang menikah dengan seorang laki-laki dan perempuan yang juga bersaudara. Jadi, laki-laki dan perempuan tersebut menjadi menantu satu orang, seperti Rohimah dan Mad’sehri yang keduanya menjadi menantu Pak Misnali. Rohimah dan Mad’sehri itu adalah dua orang bersaudara, laki-laki dan perempuan. 3 Dari paparan dan penjelasan tokoh sesepuh Madura di atas, mengenai pengertian Salep Tarjha maka dapat disimpulkan bahwa suatu perkawinan akan disebut sebagai perkawinan Salep Tarjha apabila orang yang menikah tersebut 2
Sesepuh adalah orang yang paling tua di keluarganya seperti kakek atau nenek yang masih memegang teguh adat istiadat madura. dan menjadi penasehat perkawinan agar selamat semua turunannya berdasarkan adat istiadat madura. 3
Sunarmi, wawancara pribadi, Jakarta, tanggal 12 mei 2011.
56
adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara kandung yang kemudian keduanya dinikahkan secara silang dengan 2 (dua) orang saudara kandung juga. Kisah perkawinan Salep Tarjha ini mengingatkan penulis tentang cerita kisah anak nabi adam yaitu Qabil dan Habil. Menurut aturan hukum perkawinan yang berlaku kala itu, Qabil boleh mengawini Labuda, dan Habil harus kawin dengan Iqlima. Dan perkawinan itu harus disilang, antara yang lahir kembar terdahulu dengan yang lahir kembar sesudahnya, asal jangan dengan yang sama-sama lahir atau kembarannya. Namun karena di mata Qabil, wajah Labuda tidak secantik Iqlima, ia menolak aturan itu. Sehingga terjadilah peristiwa pembunuhan pertama yang terjadi di muka bumi. 2.
Pendapat Yang Melarang Salep Tarjha Pada dasarnya, larangan terjadinya perkawinan Salep Tarjha berkaitan
erat dengan adanya keyakinan masyarakat akan mitos-mitos4 yang berkaitan dengan perkawinan tersebut. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya, berupa:
rezekinya akan sulit, sakit-sakitan (ke’sakean) atau
bahkan meninggal dunia. Kenyataan ini kami pahami dari hasil wawancara yang dilakukan dengan sejumlah sesepuh Madura, dimana para sesepuh ini membenarkan hal tersebut, disamping juga menjelaskan bahwa adanya 4
Mitos adalah semacam tahayyul sebagai akibat ketidaktahuan manusia, tetapi bawah sadarnya memberitahukan tentang adanya sesuatu kekuatan yang menguasai dirinya.
57
keyakinan masyarakat tentang mitos-mitos tersebut tidak terlepas dari ajaran dan doktrin yang ditanamkan oleh nenek moyang mereka terima secara turun temurun.5 Salah seorang sesepuh Madura yang bernama Halimatussya’diyeh mengatakan Sesungguhnya Salep Tarjha itu dilarang karena biasanya orang yang melakukan perkawinan Salep Tarjha itu ada yang kalah salah satu dari kedua pasangan tersebut, bisa salah satunya meninggal atau rezekinya melarat/sulit, dan Halimatussya’diyeh tidak tahu kepastiannya karena ini cuma kata orang-orang dulu (nenek moyang). Tapi, menurutnya apa yang dikatakan orang-orang dulu itu benar.6 Dari pemaparan dan penjelasan tentang mitos-mitos Salep Tarjha di atas, dapat dipahami bahwa mitos itu adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Dalam perkawinan Salep Tarjha ini, adanya mitos-mitos yang diyakini oleh masyarakat terkait dengan perkawinan tersebut, pada dasarnya telah memberikan pedoman dan petunjuk kepada masyarakat untuk melarang keluarganya melakukan perkawinan Salep Tarjha karena kekhawatiran atau ketakutan mereka akan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pelanggaran terhadap mitos-mitos yang telah diyakini secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Dan diantara fungsi mitos itu adalah
5
Nurima, Rohimah, Ummi Kultsum, maulana, embah endu, Rifa’I, Halimatussya’diyeh, wawancara terpisah, Jakarta, 12-15 mei 2011 6
Halimatussya’diyeh, wawancara pribadi, Jakarta 12 mei 2011
58
menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib yang mempengaruhi dan menguasai manusia. Adanya kekhawatiran dan ketakutan masyarakat akan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pelanggaran terhadap mitos-mitos Salep Tarjha tersebut, merupakan bentuk kesadaran masyarakat akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib yang mempengaruhi dan menguasai mereka.7 3.
Pendapat Yang Membolehkan Salep Tarjha Kebudayaan sebagai suatu hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia, selalu menarik untuk dikaji dan dipelajari. Dalam hal ini, dilarangnya perkawinan Salep Tarjha berdasarkan ketentuan adat istiadat masyarakat Madura, sangat menarik untuk dikaji dan ditelusuri berdasarkan pandangan dan pemahaman para tokoh agama menjadi penting untuk diwawancarai kerena mereka merupakan representasi masyarakat yang selalu menjadi panutan dan rujukan masyarakat Madura. Setelah dilakukan penelusuran melalui wawancara dengan para tokoh agama setempat, dapatlah dipahami bahwa pada dasarnya model perkawinan Salep Tarjha menurut mereka boleh-boleh saja karena di dalam al-Qur’an dan al-Hadits maupun menurut pandangan para ulama yang sudah terkodifikasi di dalam kitab-kitab fiqh klasik
tidak didapatkan satupun adanya larangan
terhadap model perkawinan Salep Tarjha tersebut.
7
C.A. van Peursen, “Cultuur in Stroomversnelling - een geheel bewerkte uitgave van Strategie Van De Cultuur”, diterjemahkan Dick Hartoko, Strategi Kebudayaan (Cet. IV; Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), hal. 37.
59
Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh salah seorang tokoh agama Pangarengan Sampang Madura, yaitu KH. Zainal Abidin. Pada waktu peneliti mewawancarainya di sela-sela kesibukan aktifitas beliau yang sedang melakukan perjalanan wali songo di Jakarta yang mengatakan Istilah Salep Tarjha itu hanyalah ucapan para sesepuh yang tidak perlu dipercayai karena tidak ada sama sekali pembahasannya di dalam kitab-kitab fiqh, dalam Islam larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan telah diatur dalam surah annisa ayat 23. dan model perkawinan seperti salep tarjha ini di bolehkan. Oleh karena itu, para ulama, para alim, para kiai (keyae) di Madura banyak yang melakukan perkawinan Salep Tarjha ini dalam rangka memberikan contoh dan membuktikan kepada masyarakat bahwa mitos itu tidak boleh dipercayai, sebab apabila percaya terhadap mitos-mitos seperti mitos Salep Tarjha tersebut, rezekinya melarat/sulit, cepat meninggal dunia dan lain sebagainya, maka hal ini bisa merusak terhadap aqidah.8 Demikianlah pandangan dan penjelasan para tokoh agama yang berkaitan dengan perkawinan Salep Tarjha, dimana keseluruhan dari tokoh agama yang menjadi informan dalam penelitian ini sepakat bahwa pada dasarnya istilah Salep Tarjha itu secara normatif boleh-boleh saja karena tidak ada satupun ketentuan hukum baik dari al-Qur’an, al-Hadits, kitab-kitab fiqh maupun pendapat para ulama yang melarang seseorang untuk melakukan perkawinan
8
KH. Zainal Abidin, wawancara pribadi, jakarta 15 mei 2011.
60
dengan model Salep Tarjha. Oleh karena itu, kepercayaan terhadap mitosmitos yang berkenaan dengan hal tersebut tidak dibenarkan menurut ketentuan agama Islam dan dapat merusak aqidah. B.
PRAKTIK PERKAWINAN SALEP TARJHA Penjelasan mengenai Salep Tarjha telah diterangkan dengan jelas di atas. Bahwa perkawinan Salep Tarjha, itu perkawinan yang dibenarkan menurut hukum Islam dan dilarang oleh adat madura. Walaupun sudah dibenarkan oleh hukum Islam akan tetapi masih banyak yang menghindari dan percaya akan musibah yang ditimbulkan oleh perkawinan Salep Tarjha. Berdasarkan pengetahuan penulis dari beberapa kasus yang ada, serta ditambah dengan keterangan dari para informan, praktik perkawinan Salep Tarjha dapat dikisahkan sebagai berikut Kasus pertama ialah perkawinan Mad dei dengan Salma dan adiknya Ma de’i menikah dengan kakaknya Salma. Keterangan ini penulis dapatkan dari sepupu Mad’dei yang menjelaskan bahwa perkawinan mereka sempat dilarang oleh orang tua dan embahnya dikarenakan adiknya telah menikah dengan kakaknya Salma sehingga perkawinan tersebut Salep Tarjha. Walaupun tidak direstui oleh orang tua dikarenakan sudah saling mencintai mereka tetap melangsungkan perkawinan. Beberapa bulan kemudian tersiar kabar kehidupan Mad de’i dan Salma melarat dan isterinya sakit-sakitan.9
9
Muhammad kholid, wawancara pribadi, Jakarta, 5 mei 2011.
61
Kasus kedua penulis mendapatkan informasi dari pak Sarip salah seorang orang tua pelaku (pelanggar) perkawinan Salep Tarjha, beliau menjelaskan keadaan anaknya yang mendapatkan rizki yang cukup, dan waktu pertama kali menikah anaknya sempat sakit-sakitan agak lama, kalau menurut orang Madura sakit anaknya itu disebabkan Salep Tarjha, akan tetapi pak Sarip tidak percaya sama sekali akan adanya salep tarjha, ia hanya memasrahkan diri pada yang maha kuasa Allah SWT dan selalu berdoa agar anaknya diberi kesembuhan. Sebab pak Sarip mempunyai keyakinan bahwa kalau memang sudah waktunya sakit, ya tetap sakit, kalau sudah waktunya mati, ya tetap mati, siapapun itu, sebab yang menentukan hal tersebut adalah tuhan. Sekarang anaknya sudah sehat dan bisa pergi naek haji.10 Kasus ketiga penulis langsung mendapatkan informasi dari pelaku Salep Tarjha itu sendiri yaitu oleh Hasan, salah seorang pelaku perkawinan Salep Tarjha . Hasan tidak percaya sama sekali dengan perkawinan Salep Tarjha, walupun Hasan menikahi saudara ipar adiknya yang kata orang-orang disebut salep tarjha, keadaan Hasan hingga saat ini tidak apa-apa dan tidak ada masalah dalam kesehatan maupun rizkinya, karena menurutnya semua hal di dunia ini sudah diatur oleh yang maha kuasa Allah SWT.11 Menurut hemat penulis praktik perkawinan Salep Tarjha dari tiga kasus yang telah dijelaskan diatas dapat menghapus mitos Salep Tarjha yang 10
Sarip, wawancara pribadi, Jakarta 5 mei 2011
11
Hasan, wawancara pribadi, Jakarta, 6 mei 2011
62
berkembang di masyarakat Madura karena dampak negatif Salep Tarjha tidak terbukti benar. Dari ketiga kasus diatas terdapat penerimaan dan penolakan dalam adat dan tradisi lama. Penerimaan tradisi lama dilakukan dengan mempercayai dampak negatif dari perkawinan salep tarjha. Sedangkan penolakan tradisi lama ditandai dengan tidak percaya akan dampak negatif salep tarjha. Penerimaan tradisi lama disebabkan kurangnya pengetahuan agama maupun umum serta kuatnya adat Madura dalam mematuhi sesepuhnya. Sedangkan penolakan akan tardisi lama disebabkan mengikuti berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan. C.
Analisis Penulis Skripsi yang diteliti oleh penulis yaitu perkawinan Salep Tarjha pada adat Madura ditinjau dari hukum Islam. Penulis menekankan pada deskripsi dan interpretasi perilaku budaya. Dalam mengumpulkan data menggunakan pendekatan partisipasi terlibat, hidup bersama dengan kelompok yang diteliti dalam waktu yang relatif lama. Masyarakat Madura di satu sisi merupakan masyarakat yang agamis dengan menjadikan Islam sebagai agama dan keyakinannya, Hal ini tercermin dalam ungkapan “Abhantal syahadat, asapo’ iman, apajung Allah”12, yang menggambarkan bahwa orang Madura itu berjiwa Agama Islam.
12
Abhantal syahadat, asapo iman, apajung Allah adalah ungkapan dalam bahasa Madura yang memiliki arti berbantalkan syahadat, berselimutkan iman, berpayungkan Allah. Ungkapan ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sudah mendarah daging dalam masyarakat
63
Akan tetapi di sisi lain mereka juga masih mempertahankan adat dan tradisi yang terkadang bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam, karena adat dan tradisi yang dipertahankan tersebut hanya berlandaskan pada mitosmitos13 yang tidak dapat dirasionalisasikan dan cenderung bertentangan dengan aqidah Islamiyah, seperti larangan untuk melakukan perkawinan dengan model Salep Tarjha ini salah satunya. Istilah Salep Tarjha merupakan sebuah istilah yang diberikan oleh sesepuh/nenek moyang masyarakat Madura bagi perkawinan silang antara 2 (dua) orang bersaudara (sataretanan) putra-putri. Contoh : Andi dan Andini adalah dua orang bersaudara (kakak-adik) yang dinikahkan secara silang dengan Rizka dan Rifki yang juga dua orang bersaudara (kakak-adik). Dalam perkawinan Salep Tarjha ini, adanya mitos-mitos yang diyakini oleh masyarakat terkait dengan perkawinan tersebut, pada dasarnya telah memberikan pedoman dan petunjuk kepada masyarakat Madura untuk melarang keluarganya melakukan perkawinan Salep Tarjha karena kekhawatiran atau ketakutan mereka akan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pelanggaran terhadap mitos-mitos yang telah diyakini secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Oleh karena itu penulis mengambil kesimpulan penyebab sebagian masyarakat Madura melarang terhadap
13
perkawinan salep tarjha dilatar
Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang
64
belakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut : 1.
Perkawinan Salep Tarjha ini diyakini dapat membawa bencana atau musibah bagi pelaku maupun keluarganya, yakni berupa sulit/melarat rezekinya, sakit-sakitan (ke’sakean), anak/keturunan pelaku perkawinan tersebut lahir dengan kondisi tidak normal (cacat) dan lain sebagainya.
2.
Perkawinan Salep Tarjha merupakan istilah yang diberikan oleh sesepuh (kakek/nenek) yang mana dalam adat pergaulan Madura sangat diwajibkan menghormati yang lebih tua dan sesepuhnya. Jika membantah dikhawatirkan mendapat bala’.
3.
Karena faktor kultur adat istiadat yang di warisi turun temurun oleh leluhur/ nenek moyang mereka dari zaman dahulu sampai sekarang. Dan penulis juga mengambil kesimpulan dari hasil penelitian dari tokoh
agama dan kitab-kitab mengenai perkawinan Salep Tarjha dalam pandangan hukum Islam sebagai berikut: 1.
Larangan perkawinan salep tajha penulis artikan dengan larangan menikahi saudara ipar. Yang mana jika diqiyaskan kedalam hukum Islam menjadi larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan.
2.
Sebagaimana dalam Al-Qur’an diatur mengenai larangan karena hubungan kerabat terdapat dalam surat an-Nisa ayat 23. Dalam surat tersebut tidak terdapat akan larangan menikahi saudara ipar.
65
3.
Kemudian kepercayaan sebagian masyarakat madura terhadap salep tarjha itu bisa mendatangkan musibah hanyalah sebuah mitos yang tidak boleh dipercayai apalagi diyakini sebab sudah cukup jelas bahwa yang mengatur rizki dan sakit hanyalah Allah SWT yang tak satu orangpun mengetahuinya apalagi bisa menentukan.
4.
Dari tiga paparan di atas penulis memasukan hal-hal tersebut kedalam kaidah kaidah hukum Islam. Yang mana perkawinan salep tarjha itu dikategorikan pada Urf Fasid yaitu suatu adat yang bertentangan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.14
5.
Jadi perkawinan Salep Tarjha itu termasuk mengharamkan yang halal yaitu perkawinan Salep Tarjha yang benar secara syariat Islam dan ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia akan tetapi dilarang berdasarkan ketentuan adat istiadat masyarakat madura.
6.
perkawinan Salep Tarjha sarat akan kandungan mitos-mitos yang masih bertahan dalam kehidupan sebagian masyarakat Madura yang terkenal religius itu. Penerimaan terhadap tradisi lama biasanya berwujud dalam tindakan partisipatif dalam mematuhi dan mempercayai berbagai aturan adat. Sedangkan penolakan dalam tradisi lama biasanya berwujud dalam percobaan melanggar untuk membuktikan bahwa kepercayaan tersebut tidaklah benar adanya.
14
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), cet.kedelapan, h. 131.
66
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Kesimpulan adalah jawaban masalah berdasarkan data yang diperoleh dari masalah yang diteliti dan harus menampakkan konsistensi kaitan antara rumusan masalah dan tujuan penelitian. Jadi penelitian mengenai perkawinan Salep Tarjha pada masyarakat Madura ditinjau dari hukum Islam dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Dalam adat masyarakat Pangarengan Madura dikenal dengan istilah Salep Tarjha yang diberikan oleh sesepuh atau nenek moyang secara turun temurun bagi perkawinan silang antara 2 (dua) orang bersaudara putraputri yang dinikahkan secara silang dengan putra putri yang juga dua orang bersaudara. Masyarakat Madura memiliki keyakinan bahwa perkawinan ini dapat mendatangkan musibah dan bencana bagi pelaku maupun keluarganya.
2.
Dalam hukum Islam perkawinan Salep Tarjha boleh-boleh saja dilakukan, karena di dalam al-Qur’an dan al-Hadits maupun menurut pandangan para ulama yang sudah terkodifikasi di dalam kitab-kitab fiqh klasik (kitab kuning) tidak didapatkan satupun adanya larangan terhadap model perkawinan Salep Tarjha tersebut. Oleh karenanya, siapapun yang melakukan perkawinan model tersebut dibenarkan dan tidak dilarang.
66
67
3.
Adanya perbedaan pemahaman antara para kiai (keyae) dan sesepuh masyarakat tentang kepercayaan terhadap mitos perkawinan Salep Tarjha tersebut pada akhirnya berimplikasi pada terkotaknya masyarakat ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu yang melarang dan membolehkan perkawinan Salep Tarjha
a.
Saran-saran 1.
Bagi para ulama/kiai (keyae) Diharapkan kepada para ulama/kiai (keyae) untuk menanamkan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang aqidah Islamiyah dengan cara melakukan pendekatan persuasif secara intens kepada masyarakat, khususnya kepada sesepuh masyarakat.
2.
Bagi sesepuh masyarakat Bagi sesepuh masyarakat diharapkan untuk senantiasa melakukan dialog dengan para ulama/kiai (keyae) dalam rangka mengkaji dan memahami budaya perspektif agama Islam sehingga jelaslah mana budaya yang perlu dilestarikan dan mana budaya yang harus ditinggalkan
3.
Bagi Masyarakat Masyarakat diharapkan untuk arif dan bijaksana dalam mengikuti tradisi atau adat-istiadat yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang (bengaseppo). Oleh karenanya perlu melakukan kajian budaya secara lebih intensif dan mendalam sehingga dapat memahami mana budaya yang harus diikuti dan mana budaya yang tidak harus diikuti.
67
DAFTAR PUSTAKA Abdur Rozaki, “Peran Kiyai”, artikel diakses pada 19 juni 2011 pada web http://rukib.wordpress.com Abid As-Sindi, Syekh Muhammad. Musnad Syafii Juz 2, cet.III. Penerjemah Bahrun Abu Baker. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006. Abidin, Zainal. Wawancara pribadi. Jakarta, 15 mei 2011 Abu Muhammad, Syekh Imam. Qurratul ‘Uyun Kitab Seks Islam. Penerjemah Fuad Syaifudiin Nur. Jakarta: Bismika. Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Timur. Buku Diambil Dari Rumah Anjungan Jawa Timur Di Taman Mini Indonesia Indah. Al-Farisi, Mohammad Zaka. When I Love You Menuju Sukses Hubungan Suami Istri. Jakarta, Gema Insani, 2008. Al-Ghazy, Syekh Muhammad Bin Qasim. Terjemah Fathul Qarib Jilid 2. Penerjemah Achmad Sunarto. Surabaya: Alhidayah, 1992. Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-’Arba‘ah juz 4, cet.1. Beirut: Darul kutub al-Ilmiyah, 1988. al-Kahlani,
Sayid Imam Muhammad ibn Ismail. Subul al-Salam Juz 3. Mesir: Darussalam.
Al Qurtubi, Imam Qadhi. Bidayatul Mujtahid Fi Nihayatul Muqtasid juz 2, Semarang: Kuryata Futara. al-Asqalani, Al-Hafidh Ibnu Hajar. Bulughul Maram, Terjemah A. Hassan. Bandung: CV Penerbit Dipenogoro, 2002. An-Nawawi. Shoheh muslim juz 3. Iskandaria: dar-al-riyan, 1989 m/1407. Anonimous. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1994. Ash-shabbagh, Mahmud. Keluarga Bahagia Dalam Islam. Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, Zaenal Muhtadin. Yogyakarta: CV. Pustaka Mantiq.
68
69
Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan Dan Perbedaan. Yogyakarta, Darussalam, 2004. Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993. Bouvier, helene. “Seni Musik Dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2002, perpustakaan nasional. C.A. van Peursen, “Cultuur in Stroomversnelling - een geheel bewerkte uitgave van Strategie Van De Cultuur”, diterjemahkan Dick Hartoko, Strategi Kebudayaan, Cet. IV. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993. Darajat, Zakiah dkk. Ilmu Fikih jilid 3. Jakarta: Depag RI, 1985. Djukdjuk widhilaksana, MM. “hasil sensus penduduk 2010 Kabupaten data agregat per kecamatan oleh badan pusat statistik Kabupaten Sampang” Artikel diakses pada 19 juni 2011 dari web http://docs.google.com Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung, PT Citra Aditiya Bakti,1990. Hub de Jonge. Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan, Ekonomi Dan Islam. seri terjemahan KITLV-LIPI. Jakarta: PT Gramedia, 1989. Idris Ramulyo, Muhammad. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: IND-HILLCO, 1990. Irmawati, Lilik Rosida. “Media Budaya Madura Dalam Adat Pernikahan”, artikel diakses pada 1 mei 2011 dari http://budayamadura.blog.com/2011/01/07/adat-pernikahanmadura Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaidah hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, cet.VII. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002. Kusuma , Hilman hadi. hukum perkawinan adat. Jakarta: PT Pradya Paramitha, 1987, cet2. Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 1995. Munawwir. Fi Al-Lughoti Wa Al-A’lami. Beirut: Dar el-Machreq Sarl, 2002. Nazir, Mohamad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989
70
Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tiggi Agama Iain Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag. Ilmu Fiqih. Jakarta: CV Yulina, 1984. Sabiq, sayyid. Fiqh Sunah. Beirut: Dar Al Kutub 1987, cet-8, jilid 3 Zamzami, Subhan. “profil Madura”, artikel diakses pada 17 april 2011 dari http://madurastudies.wordpress.com/ Saepullah, Asep. “Serial Fiqh Munakahat”. Diakses Pada Minggu 24-04-2011, Dari www.Indonesianschool.org Salim, Agus. teori dan pradigma penelitian social. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 2001, cet 1. Semangat Pesmaba UMM, “Letak Madura’, artikel diakses pada 17 april 2011 dari http://eeyie.student.umm.ac.id/2010/08/18/letak-madura/ Slamet, Eddy Juwono. “Madura Masa Lalu Kini Dan Masa Yang Akan Datang”, artikel diakses pada 18 april 2011, dari http://www.scribd.com/doc/43036095/Madura-Masa-Lalu-Kini-DanMasa-Yang Akan-Datang Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1983. Sopyan, Yayan. Metode penelitian. Jakarta, 2009 cet 1 Sufiz. kumpulan kisah teladan para sufi. artikel diakses pada 20-12-2010 dari web www.sufiz.com Surkalam, Lutfi. Kawin kontrak dalam hukum nasional kita. Tanggerang: CV Pamulang, 2005. Sururin, Masfufah dkk. Panduan Fasilitator &Pelatih Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Calon Pengantin. Jakarta: Pucuk Pimpinan Fatayat Nadhlatul Ulama, 2006. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, cet.II. Jakarta: Prenada Media, 2007. Tihami dan Sahrani, Sohari. Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
71
Uwaidah, Syaikh kamil muhammad. Fiqih Wanita Edisi Lengkap, cet.1. Alih Bahasa, Abdul Ghoffar. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1996. weblog, Myhidayah. “perkawinan salep tarjha”. artikel diakses pada 24-12-2010 dari web myhidayah wordpress.com. Wignjodipuro, Surojo. Pengantar dan asas-asas hukum adat. Jakarta: PT Gunung Agung, 1982, cet4. Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Bahasa Madura”, artikel diakses pada 19 april 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Madura. Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Pulau Madura”, artikel diakses pada 17 april 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Madura Wikipidea Ensiklopedia Bebas, “Kabupaten Sampang” artikel diakses 19 juni 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten Sampang Wiyata, Latif. “modal rekonsiliasi orang madura”artikel diakses pada 18 april 2011 dari http://kabarmadura07.blogspot.com/2008/07/modal-rekonsiliasiorang-madura.html Zuhaili, Wahbah. al-Fiqhu al-Islamy Wa Adillatuhu JUZ 7, cet.III. Damaskus: Darul Fikr, 1409M/1989H . .
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1.
Wawancara Dengan Sesepuh
Nama
: Endu’ / Ibu Sunarmi
Jabatan
: Sesepuh perempuan Madura
Tanggal
: 12 Mei 2011
Pertanyaan
: Apa yang dimaksud dengan perkawinan Salep Tarjha?
Jawaban
: Yang dimaksud dengan Salep Tarjha itu bing, apabila ada seorang laki-laki dan perempuan bersaudara/kakak adik yang menikah dengan seorang laki-laki dan perempuan yang juga bersaudara. Jadi, laki-laki dan perempuan tersebut menjadi menantu satu orang.
Pertanyaan
: Mengapa perkawinan Salep Tarjha dilarang?
Jawaban
: perkawinan Salep Tarjha itu menurut orang-orang dulu,
“jelek”
sebab biasanya berakibat negatif terhadap harta bendanya (hartanya cepat habis dll), kadangkala salah satu dari kedua pasangan yang melakukan perkawinan Salep Tarjha itu cepat meninggal dunia. Oleh karena itulah, perkawinan Salep Tarjha sampai masa sekarang tetap tidak diperbolehkan/dilarang karena dikhawatirkan akan tertimpa musibah tersebut.). Pertanyaan
: Apa saja factor yang melarang perkawinan Salep Tarjha
Jawaban
: tidak tahu kepastiannya karena ini cuma kata orang-orang dulu. Tapi, menurutnya apa yang dikatakan orang dulu itu benar.
73
2.
Wawancara Dengan Ulama
Nama
: KH.Zainal Abidin
Jabatan
: Ulama Besar Madura
Tanggal
: 15 Mei 2011
Pertanyaan
: Apa yang dimaksud dengan perkawinan Salep Tarjha
Jawaban
: istilah Salep Tarjha itu hanyalah perkataan nenek moyang yang tidak boleh di percayai.
Pertanyaan
: Apa hukum perkawinan salep tarjha menurut hukum Islam?
Jawaban
: perkawinan Salep Tarjha hukumnya menurut agama Islam itu boleh dilakukan karena tidak bertentangan dengan perkawinan yang dilarang dalam hukum Islam. Dan musibah yang akan terjadi jika melakukan salep tarjha tidak boleh dipercayai. Karena jodoh, rizki, sehat dan mati sudah ditentukan oleh allah.
Pertanyaan
: Bagaimana mitos perkawinan Salep Tarjha menurut anda
Jawaban
: para ulama, para alim, para kiai (keyae) di Madura banyak yang melakukan perkawinan Salep Tarjha ini dalam rangka memberikan contoh dan membuktikan kepada masyarakat bahwa mitos itu tidak boleh dipercayai, sebab apabila percaya terhadap mitos-mitos seperti mitos Salep Tarjha tersebut, rezekinya melarat/sulit, cepat meninggal dunia dan lain sebagainya, maka hal ini bisa merusak terhadap aqidah.
74
3.
Wawancara Dengan Pelaku Salep Tarjha
Nama
: Hasan
Jabatan
: Pedagang (pelaku Perkawinan Salep Tarjha)
Tanggal
: 6 Mei 2011
Pertanyaan
: Apa alasan anda melakukan perkawinan Salep Tarjha?
Jawaban
: karena saya mencintai isteri saya dan isteri saya mencintai saya dan mau menerima apa adanya. Saya tidak percaya sama sekali dengan perkawinan Salep Tarjha. Itu kan hanya perkataan-perkataan orang dulu, setahu saya ketika belajar di madrasah dulu kata guru saya perkawinan Salep Tarjha itu boleh dan mitos-mitos seputar Salep Tarjha tidak boleh dipercayai.
Pertanyaan
: Apa dampak perkawinan Salep Tarjha setelah anda menikah?
Jawaban
: Walau saya dan adik saya kata orang-orang (masyarakat) termasuk Salep Tarjha karena adik saya dinikahi kakaknya istri saya, kok tidak ada apa-apa/tidak ada masalah, semua hal di dunia ini tergantung menurut ketentuan tuhan). Jakarta, 06 Mei 2011
Hasan
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NE,GEITT (UIN) S YARJF' HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS SYARIAH DAN IIUKUM
Jrn. rr. H. Juanda No.
e5 ciputat Jakarta 154i2,
Lampiran
Perihal
rndonesia
il?lt;.1P"t;,,i),ll1rtlf3l:,Jr3],"1:i
iil,ffrfrJl"t6?lf;Al
:-
: Mohon Kesediaan Meniadi
Pqmbimbinq SIripsi
Kepada Yang Terhormat, Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA (Dosen Fakultas syariah dan Hukum urN syarif Hidayatullah, Jakarta)
Di-
JAKARTA Assalamu' alaikum Wr. Wb.
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa
Nama
NIM
Prodi/Konsentrasi Judul Skripsi
:108044100060 : Ahwal al Syakhshiyah/peradilan Agama ', Perkawinan Sa/ep Tarjha pada Masyarakat Madura ditinjau d ari Hukum I siam
Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut '1.
:
: Siti Rochmah
:
Topik bahasan dan outline bila dianggap perlu dapat dilakukan perubahan penyempurnaan.
2. Tehnik penulisan agar merujuk kepada buku "Pedoman Karya llmiah di UIN Hidayatullah Jakarta"
Demikian atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih Wassalamu'alaikum W.
W.
'An. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Ketua Prodi Ahw.4l Syakhshiyah
( r.. Basio D i97 . '. ' :.. ,:./
NIP=195003 :
Tembusa n
1.
:
..1 ,..,.-r, ;..:
''"
'. .
06
MA
603 7001
.:t-
';:]..;.- .'1:-i;1/
Kasubag Akademik &kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum Studi Ahwal al Syakhshiyah
2. Sekretaris Program 3. Arsip
dan
Syarif
"."
KEIVIENTERIAN AGA1\4A SYARTF TTTDAyATTJLLArI JAKAirraFAKIJLTAS
L]NIVERSITAS ISLAM NEGERI (LIIN) SYARIAII DAN ITf]KU1VI
Jln- lr. H. Juanda No.
Tetp. (62-21 ) 7 47 1 1 537 . 7 4O1 925 F ax t6z-21 ) 7 4g1 A21 WebsrLe : www. uin jkt.ac.id b.- mail :
[email protected]
95 Ciprrtat Jakarta 15412 lndonesia
Norrror Larnpiran
Un.O1
FIal
Perrnohon an D at a / Wawancara
/
Fa
/ KM.00.02l 36
9F-t
/
2011
Jakarta,
Jurri
2071
Kepada Yth Bpk. KH. Zainal Abidin DiTernpat A
ss
slnrru' nlailonn IN r.VW.
Pimpinan Fakultas Svariah cian Hukurn UIN Syarif Hiclayatullal-r Jakarta
rrrenerarrgkan bahr,rra
:
Narna
Siti Rochmah
Norrror Pokok Tempat/Tanggal Lahir
108044100060
|akarta, 28 Februart 7989 VIII (Delapan) SAS / PA Jl.Kayu Tinggi Cempaka Ir-Ldah Rt.03/09 No.og Cakur-rg fak.rrra
Serrrester' Ju
rusan/ Korrserr I r.rsi
Alair-rat
Tirnur
Telp /I{p
081807215005
adalai-r benar neahasiswa Fakultas Svariah clarr Hukurr-r UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang rnenvelesaikan skripsi dengan Topik/ Judul :
" Perlcawinan Salep'farjhcr Pada Masqarakat Madura Ditinjau Dari Hulcum Islcrm,, untuk rnelengkapi bahan/data yangberkaitan clengarn penulisan/perrrbahasan topik iudul di atas, dirnohon kiranya Bapak/ Ibu/ Saucl ara/'i clapat rnerrbantu/ ,r-,er-re.ir-n.-1 / yang bersangkutan untuk berwawancara. Atas kesecliaan Bapak/ Ibu / Sauclara / i, karni ucapkan banyak terima kasih. WnssnLant tt'
nhiku
rrL
Wr.Wb.
A.n DEKAN, Pernban "1: "' ,.
r:,.1
:.
id. Akaclernik
r
l,r
M.A. t5
Ternbusan: 1.Ytir. L)ekan Fakultas syariah 2.Arsip.
clar-r
Hukurrr uIN Jaktrrtrr.
77
Dokumentasi Penelitian 01
Wawancara Dengan saudara Hasan
02
Rumah Tanean Lajang rumah adat Madura
78
03
04
Musik tradisional Daoll Combo
Karapan Sapi Madura di Kecamatan Pangarengan
05
Memasuki Kabupaten Sampang 06
07
79
Tugu Monumen Sampang
Tempat Bersejarah Sampang 08
Batik Madura 09
Gladak’ (tambak garam) di Pangarengan, Sampang Madura
10
80