PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI DESA WIBAWA MULYA KECAMATAN CIBARUSAH KABUPATEN BEKASI
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : AHMAD BUHORI MUSLIM NIM: 1110044200023
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H /2014 M
i
ii
iii
ABSTRAK
AHMAD BUHORI MUSLIM. NIM: 1110044200023. Perkawinan Di Bawah Tangan Di Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi. Program Studi Hukum Keluarga Islam Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. x +70 halaman dan lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat desa Wibawa Mulya melakukan perkawinan di bawah tangan dan dampak apa saja yang dirasakan masyarakat yang tidak melakukan pencatatan perkawinan. Dilihat dari segi penyusunannya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif, penelitian kualitatif yaitu suatu analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa banyak masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan yang tidak mencatatkan perkwinannya. Dikarenakan berbagai faktor, salah satunya ketidak pahaman masyakarakat tentang pentingnya Pencatatan Perkawinan karena kurangnya pengetahuan dan rendahnya pendidikan. Padahal dalam Undang-Undang Perkawinan tentang Pencatatan Perkawinan pasal 2 ayat (2), yang berbunyi: “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan juga telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut : Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat, sudah jelas undang-undang mengharuskan pencatatan perkawinan, namun masih banyak masyarakat yang tidak melakukan pencatatan dan beranggapan pencatatan perkawinan itu tidak penting hanya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Kata Kunci
: Perkawinan, bawah tangan, pencatatan, dampak, faktor.
Pembimbing
: Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi
Daftar Pustaka
: Tahun 1970 s.d 2012
iv
KATA PENGANTAR
ِن ال َّرحِ ْيم ِ س ِم الّلَ ِه ال َّرحْ َم ْ ِب
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, Berkat Ridho-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya, yang telah mendidik umatnya dengan tarbiyah tentang keimanan, kesabaran, keramah-tamahan, ilmu pengetahuan serta akhlaqul karimah, dan kita sebagai umatnya yang terus istiqomah mengikuti ajaran dan sunahnya dalam setiap sendi kehidupan. Alhamdulillah, akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta. Dengan kesadaran hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna, mengingat terbatasnya pengetahuan dan pengalaman penulis miliki. Namun demikian, Penulis sudah berusaha keras dengan kemampuan tersebut dan berbagai macam upaya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan semaksimal mungkin. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui dalam penulisan skripsi ini. Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan orang-orang disekitar Penulis, yang selalu memberikan masukan, nasehat, bimbingan bahkan dorongan dan semangat sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini dengan lancar dan tepat waktu.
v
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada bapak/ ibu, terutama: 1. Ibunda dan Ayahanda (Alm) Tercinta yang selalu memberikan dorongan dan motivasi baik moril maupun materil, serta yang telah tulus mendoakan setiap hari dan ikhlas mendidik dari buaian sampai sekarang kepada Penulis. 2. Dr. H. JM. Muslimin, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta seluruh para Pembantu Dekan Fakultas Syariahdan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, dan Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Ketua dan Sekertaris Prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsyiyyah yang selalu memberikan bimbingan, nasehat dan dorongan kepada Penulis dalam menyelesaikan kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan penuh tanggung jawab. 4. Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dan membagi ilmunya selama Penulis menyusun skripsi ini. Dan kesabaran yang penuh dalam memberikan nasehat-nasehat dan bimbingan kepada Penulis merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri Penulis bisa berada di bawah bimbingan Beliau dalam menyusun skripsi ini. 5. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Akademik dan segenap Dosen yang telah memberikan sebagian ilmunya, terutama ilmu
vi
Hukum Keluarga secara umumnya dan ilmu Administrasi Keperdataan Islam secara khusus, dan staf tata usaha FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. K.H Zainal Abiddin S.Ag. selaku Pimpinan Pondok Pesantren AR-RIDWAN dan Keluarganya,
dan tidak lupa pula kepada seluruh pengurus Ikatan
Keluarga Besar Alumni Ar-Ridwan (IKRAR) yang telah memberikan pengarahan dan motivasi dalam mengerjakan skripsi penulis. 7. Jhoni Hermansyah selaku Sekertaris desa Wibawa Mulya dan staf desa Wibawa Mulya dan bapak Agus Salim, S.Ag., selaku Kepala KUA Kecamatan Cibarusah beserta staf KUA Kecamatan Cibarusah yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk melakukan penelitian dan wawancara serta meluangkan waktu dan memberikan kemudahan bagi Penulis dalam melaksanakan penelitian guna menyelesaikan tugas skripsi ini. 8. Kakak-kakakku tercinta, mpo Ncop, bang Dani, bang Komal, teh Mumut, mpo Piyah, bang Fauzan, bang Nurdin, teh Nur, mpo Aas, bang Sodiq, bang Opik, teh Nurhayati, mpo Nyai, bang Juli. Dan keponakan-keponakan tercinta, fahe, dede, lulu, fairus, firda, fariza, tazkiya, kenici, salsa. Keluarga besar Nce haji, mamang, bang Dadang, Ade, dafa, lubis beserta keluarga Ende Eni dan semua keluarga yang ada di sempu cikarang. 9. Terima kasih sahabat-sahabatku teman kelas Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2010 Syukron selaku ketua kelas, Mirza, Adiguna, Adnan, Lukman, Rian, Ibnu, Oji, Azhar, Iqbal, Nukin, Khoerun, Nizam, Agung, Agan, Ical, Akbar, Sasa, Amel, Wiwin, Nita, Dira, Dhea, Syawal, Alifah, Salmi, Dini, vii
Novita, Ade, Romlah, Dian, Emil, Ika, Fitri, dan juga untuk teman kosan, pak aji Usman, Sopri, bang Jaki, Rifqi, Maftuh, yang telah memberikan dorongan semangat dan motivasi Penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Untuk orang yang Penulis kagumi Dea Rizqi Amalia
yang merupakan
motivasi bagi penulis dan memberikan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini. 11. Keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang telah
berbagi ilmu yang tidak ternilai, hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Jakarta, 12 Mei 2014
Ahmad Buhori Musli
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………………
i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ………………………………………
ii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………... iii ABSTRAK ……………………………………………………………………..
iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………...
v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..
ix
PENDAHULUAN ……………………………………………..
1
A.
Latar Belakang Masalah ……………………..................
1
B.
Identifikasi Masalah ……………………………………
9
C.
Pembatasan Dan Perumusan Masalah ……………….....
9
D.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian …………………..........
11
E.
Metode Penelitian ………………………………………
12
F.
Kerangka Teori …………………………………………
14
G.
Riview Studi Terdahulu ……………………………......
15
H.
Sistematika Penulisan …………………………………..
17
BAB I
BAB II
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN PENCATATAN PERKAWINAN …………………………… A.
19
Pengertian Perkawinan Di Bawah Tangan Dan Pencatatan Perkawinan …………………...…………….. 19
B.
Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan ………………….
22
C.
Prosedur Pencatatan Perkawinan ……………………….
29
D.
Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan Di Bawah Tangan
32
E.
Dampak Perkawinan Di Bawah Tangan Meurut Undang-
ix
Undang Di Indonesia ……………………………….…
BAB III
BAB IV
PROFIL DESA WIBAWA MULYA ………………………...
34
38
A.
Sejarah Singkat Desa Wibawa Mulya ………………….. 38
B.
Letak Geografis dan Demografi Desa Wibawa Mulya ....
39
C.
Kondisi Sosial Desa Wibawa Mulya ………………...…
42
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS …………………….
50
A.
Pandangan Masyarakat Desa Wibawa Mulya tentang Perkawinan di Bawah Tangan ……………………….....
B.
50
Wawancara Masyarakat Pelaku Perkawinan di Bawah Tangan dan Tokoh Masyarakat Desa Wibawa Mulya .....
55
Analisis Penulis …………………….……………...……
59
PENUTUP ……………………………………………………..
66
A.
Kesimpulan ……………………………………………..
66
B.
Saran-saran …………………………………………..…
67
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………
69
LAMPIRAN - LAMPIRAN ………………………………………………….
72
C.
BAB V
1.
Surat Bimbingan Skripsi ……………………………….. 72
2.
Surat Pengambilan Data Dan Wawancara Untuk Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah …………...……... 73
3.
Surat Pengambilan Data Dan Wawancara Untuk Desa Wibawa Mulya ………………………………………….
4.
74
Surat Keterangan Observasi Dan Interview Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah ……………...…... 75
5.
Surat Keterangan Observasi Dan Interview Desa
x
Wibawa Mulya …………………………………………. 6.
Data Jumlah Perkawinan Di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah Tahun 2013 ……...……………...
7.
76
77
Data Jumlah Perkawinan Di Desa Wibawa Mulya Tahun 2013 …………………………………………………….. 79
8.
Pedoman Wawancara …………………………………...
9.
Contoh Surat Pernyataan ……………………………….. 84
10.
Hasil Wawancara ……………………………………….. 85
xi
80
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa makhluk lain, Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Di dalam proses ini terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan agar terciptanya keharmonisan dalam berkeluarga dan bermasyarakat serta keseimbangan antara satu dengan yang lain, Salah satu aturan tersebut ialah perkawinan. Perkawinan adalah ikatan dua hati, tujuannya yaitu saling membantu dalam segala aspek hidup dan kehidupan.1 Perkawinan umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi, agama, suku, bangsa, miskin atau kaya. Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi ini, dan perkawinan juga disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan hal yang fitrah bagi setiap makhluk tuhan.2
1
Al-Thahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariah Dan Masyarakat, (Jakarta :Pustaka Firdaus 1993), h 199 2
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, (Jakarta Pustaka Al-Kautsar 1993), h 14
1
2
Dalam kehidupan dunia fana ini, semua makhluk hidup baik manusia, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan tidak bisa lepas dari perkawinan. Ini merupakan sunnatullah
(hukum
alam)
untuk
kelangsungan
hidup
umat
manusia,
berkembangbiaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam semesta. Hukum alam semacam ini dijelaskan dalam firman Allah Swt:3 Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an surat Adz-Dzariyaat ayat 49:
“Dan segala sesuatu Allah ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” (QS. Adz-Dzariyaat: 49).4 Kita semua mengetahui bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan, ada yang diciptakan sebagai laki-laki dan ada pula yang diciptakan sebagai perempuan. Al-Qur'an sebagai kitab suci yang diyakini bersumber dari Allah pun menyatakan demikian. Allah memberitahukan kepada kita bahwa semuanya diciptakan secara berpasangan. Manusia menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain akan membantunya mendapatan kekuatan dan membuatnya lebih mampu mengahadapi tantangan. Cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh
3
Mohammad Asmawi, Nikah “Dalam Perbincangan dan Perbedaan”, (Yogyakarta : Darussalam 2004), h 18 4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Jakarta : MAHKOTA 1989), h 862
3
ketidakpastian, yang mengantar kepada kecemasan akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman hati bila dilanjutkan dengan perkawinan. Karena alasan-alasan inilah sehingga manusia kawin, berkeluarga, bahkan bermasyarakat dan berbangsa. Tetapi harus diingat, bahwa berpasangan, manusia bukan hanya didorong oleh desakan naruli seksual, tetapi lebih daripada itu, ia adalah dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan.5 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6Allah SWT telah menetapkan tali pernikahan sebagai sunnah ilahi guna menyemarakan kehidupan alam semesta, sekaligus menjadikannya sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang maha jelas. Hal tersebut terdapat dalam firman Allah SWT surat Ar-Ruum ayat 21 :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Ar-Rum ayat : 21). 5
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor : Ghalia Indonesia 2010), Hal 177 6
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika 2006), Cetakan Pertama, Hal 7
4
Dari ayat di atas kita bisa mengambil sedikit kesimpulan, bahwa tujuan perkawinan itu untuk mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman, terlindungi, rasa dihargai, diperhatikan. perkawinan disunahkan bagi orang yang membutuhkan dan bagi orang yang sudah mampu menafkahi secara lahir dan batin.7 Memang benar, bagi orang yang berfikir, pasti akan mengetahui bahwa suatu jalinan hubungan harus dibina atas dasar kasih sayang. Apabila rasa kasih sayang dan saling mencintai telah terbina maka sepasang suami isteri akan menentukan kebahagiaan yang sempurna, menemukan kecocokan yang abadi, sehingga tercapai hidup yang bahagia dan sejahtera. Sesuatu yang didasari rasa cinta menyebabkan yang kurang menjadi sempurna, yang cacat akan tertutup dan yang jelek terasa menjadi bagus dan indah.8 Perkawinan mempunyai dampak
yang luas, baik dalam hubungan
kekeluargaan pada khususnya, maupun pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya. Untuk itu diperlukan peran serta dan perhatian serius dari semua pihak, baik pribadi, masyarakat maupun negara. Selain itu, untuk mendukung keseriusan tadi, ada hal yang penting sebagai keniscayaan jaman dan kebutuhan legalitas hukum adalah adanya pencatatan perkawinan.9
7
Syaikh Muhammad bin Khaasim Algozii, Fathul Qorib Mujib, h 43
8
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, (Jakarta Pustaka Al-Kautsar 1993), h 20 9
Yayan Sopyan, Islam-Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional”, (Jakarta : Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h 128
5
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur dalam perundangundangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-galid) perkawinan.10 Dalam hal pencatatan perkawinan ini, bagi mereka yang menganut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Talak dan Rujuk. Apabila perkawinan telah dicatatkan, maka perkawinan mereka telah dinyatakan sebagai perkawinan yang sah dan harus dilindungi oleh hukum. Perkawinan yang tidak dicatat sering disebut “perkawinan di bawah tangan” atau dalam bahasa fikih disebut az-zawaj al-urfi. Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah dan tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA).11 Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama Islam, Al-Quran dan Alhadits tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun melalui Komiplsi Hukum Islam, dan juga jika dilihat dari segi manfaatnya pencatatan perkawinan ini sangat diperlukan di masyarakat.
10
11
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002), h 107
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Moderen, ( Yogyakarta : Graha Ilmu 2011), h 17
6
Kita melihat suatu kenyataan, bahwa suatu perkawinan tidak selalu langgeng, tidak sedikit terjadi perceraian yang penyelesaiannya berakhir di pengadilan. Apabila perkawinan itu terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) dan disamping itu juga mendapat akte nikah, maka untuk menyelesaikan kasus itu lebih mudah mengurusinya,12 Apabila tidak tercatat dan tidak ada akte nikah, maka pengadilan agama sulit untuk mengurusinya karena perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi. Sekiranya hal semacam ini dibiarkan, maka banyak orang yang melakukan akad nikah di bawah tangan sebagai resikonya, apaila terjadi perselisihan tidak dapat diajukan kepada pengadilan agama, tetapi dapat saja dilakukan secara kekeluargaan, baik sepihak atau pun kedua belah pihak. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No 22 tahun 1946 itu menentukan : “Nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya”. 13 Lalu dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2, yaitu “Tiaptiap perkawinan harus dicatat”. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam pasal 5 : ayat (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatatkan, 12
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Prenada Media 2003), h 123 13
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia 1974), h 71
7
ayat (2) Pencatatan perkawinan tesebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No 32. Tahun 1954. Lalu pasal 6 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan : ayat (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Ayat (2). Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.14 Disini kita lihat bahwa pegawai pencatatan nikah itu hanya bertugas mengawasi terlaksananya perkawinan, agar perkawinan itu berlangsung menurut ketentuan-ketentuan agama Islam. Meskipun perkawinan yang tidak dicatatkan adalah sah, baik menurut pandangan agama maupun adat istiadat, namun di mata masyarakat yang mengerti hukum tidak memiliki kekuatan hukum.15 Hal ini mungkin sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang teguh kepada perspektif fiqih tradisional, menurut pemahaman sebagian masyarakat bahwa perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitabkitab fikih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan tidak perlu surat nikah. Sebagai akibat dari pemikiran tersebut di atas,
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : CV. Akademika Pressindo 2007), h 114 15
Muhammad Zain dan Muhkhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Harmonis “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu”, (Jakarta Grahacipta 2005), h 38
8
banyak timbul perkawinan di bawah tangan tanpa melibatkan pegawai pencatat nikah sebagai petugas resmi mengenai urusan perkawinan.16 Bahwa dari uraian di atas, perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah dimata masyarakat yang mengerti hukum, tetapi pada kenyataannya masih saja hingga saat ini para pelaku perkawinan di bawah tangan masih berlanjut tanpa ada hentinya dan masih banyak orang-orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan. Seperti yang terjadi dilingkungan desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi, sering ditemukan banyaknya perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya pencatatan didalamnya, padahal sudah jelas-jelas melanggar undang-undang. Bila dikaitkan dengan akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan itu yang tidak menggambarkan adanya kepastian hukum bagi generasi penerus. Demikian juga Undang-Undang No 1 Tahun 1974 telah merupakan ijma’ para ulama yang wajib diikuti oleh umat Islam demi menjamin kepastian hukum dan kemaslahatan umum.17 Berawal dari latar belakang ini, penulis melihat dan mengamati kehidupan masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi dalam hal perkawinan diantara mereka masih banyak yang tidak mencatatkan perkawinan, kalau
16
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2006), h 47 17
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika 2006), h 23
9
tidak disosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan, maka akan semakin banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan. Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin sekali mengadakan penelitian terhadap perkawinan di bawah tangan, dan hasilnya akan dituangkan dalam skripsi dengan judul ”PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI DESA WIBAWA MULYA KECAMATAN CIBARUSAH KABUPATEN BEKASI”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan di bawah tangan, antara lain: 1. Apakah perkawinan di bawah tangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi menjadi kebiasaan? 2. Apakah setiap masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi melakukan perkawinan di bawah tangan? 3. Bagaimanakah bentuk perkawinan di bawah tangan di Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi? C. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Batasan Masalah Pembatasan masalah berisikan uraian tentang cakupan wilayah masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah dimaksudkan agar masalah lebih terfokus dan
10
spesifik, serta untuk menghindari kemungkinan tumpuk tindih dengan masalah lain di luar wilayah penelitian.18 Maka dari itu, agar tidak menyimpang dari apa yang di inginkan penulis dan penelitian tidak terlalu melebar dan terarah, maka penulis membatasi dan menitik beratkan pada permasalahan, bagaimanakah bentuk Perkawinan di Bawah Tangan di Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi. 2. Perumusan Masalah Menurut Undang-Udang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat”. Kenyataannya di desa Wibawa Mulya masih banyak orang yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan atau melakukan pernikahan di bawah tangan, dan itu jelas sudah melanggar undang-undang. Melihat permasalahan di atas maka penulis memberikan beberapa pertanyaan perumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk perkawinan di bawah tangan yang di laksanakan oleh masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi? 2. Apa yang melatarbelakangi masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi melakukan perkawinan di bawah tangan? 3. Bagaimana dampak perkawinan di bawah tangan terhadap keluarga? 4. Apa pandangan masyarakat terhadap perkawinan di bawah tangan? 18
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012. (Jakarta : Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) 2012 ). Hal 21
11
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, yaitu: 1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perkawinan di bawah tangan yang di laksanakan oleh masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi. 2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi melakukan perkawinan di bawah tangan. 3. Untuk mengetahui bagaimana dampak perkawinan di bawah tangan terhadap keluarga. 4. Untuk mengetahui apa pandangan masyarakat terhadap perkawinan di bawah tangan. 2. Manfaat Penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menyimpulkan beberapa manfaat atau kegunaan yang dapat diperoleh, diantaranya: 1. Membuka wawasan kepada masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan dalam rumah tangga, dan dimaksud agar masyarakat dapat
12
menyadari bahwa perkawinan di bawah tangan yang selama ini dilakukan mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. 2. Pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya menyangkut bidang perkawinan. 3. Hasil pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi peneliti selanjutnya. 4. Menambah literature kepustakaan. E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian Dalam obyek penelitian ini, penulis mengambil lokasi sesuai dengan judul dari skripsi penulis diatas, yaitu study kasus di desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi. Jadi berdasarkan skripsi ini maka yang diambil lokasi untuk study kasus adalah desa Wibawa Mulya. 2. Jenis Penelitian Dilihat dari segi penyusunannya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif, penelitian kualitatif yaitu suatu analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian. 3. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan penulis yaitu : a) Data Primer
13
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat desa Wibawa Mulya. Data ini meliputi interview dengan beberapa pelaku perkawinan di bawah tangan, Kepala Desa Wibawa Mulya, kepala KUA Kecamatan Cibarusah, tokoh masyarakat setempat dan orang-orang yang dianggap berperan dalam menikahkan para pelaku perkawinan di bawah tangan. b) Data Skunder Data skunder adalah data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumendokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadis, buku-buku ilmiyah, UndangUndang Perkawinan, Kopilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis, karena tujuan dari penelitian mendapatkan data. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data mengunakan : a) Observasi Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan skripsi ini, penulis melakukan observasi atau pengamatan langsung ke objek peneliti yang dituju untuk mengetahui kebenaran secara langsung.
14
b) Wawancara Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap mengenai perkawinan di bawah tangan, maka penulis melakukan wawancara langsung dengan para nara sumber yang ada di desa Wibawa Mulya maupun di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah. 5. Analisis Data Seluruh data yang diperoleh kemudian di analisis. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematik data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformaikannya kepada orang lain. F. Kerangka Teori Perkawinan merupakan kebutuhan hidup manusia sejak jaman dulu, sekarang, dan masa akan datang. Islam memandang perkawinan sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan ghalida) ikatan yang suci, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalakan terjadinya hubungan badan antara suami isteri. Karena suatu perkawinan merupakan perbuatan hukum, maka tentu saja ia akan menimbulkan akibat hukum. Pribadi dan masyarakat menganggap bahwa perkawinan itu masalah serius, masalah yang sakral, masalah ibadah, dan mempunyai makna magis, tidak boleh main-main. Selain itu, untuk mendukung keseriusan tadi,
15
ada hal yang penting sebagai keniscayaan jaman dan kebutuhan legislasi hukum adalah adanya pencatatan perkawinan. Kalau kita telusuri isi kandungan al-Qur’an, sunnah maupun pendapat ulama dalam kitab-kitab fikih klasik, secara eksplisit belum kita dapatkan ketentuan dari hukum pencatatan perkawinan. Situasi, kondisi dan kebutuhan jaman sudah berubah. Apa yang dahulu tidak penting, sekarang menjadi penting. Apa yang dahulu sia-sia, mungkin sekarang menjadi sesuatu yang bermanfaat. Kalau jaman dulu pencatatan perkawinan tidak terlalu penting untuk diadakan, ketika jaman sudah berubah justru pencatatan perkawinan merupakan hal yang penting yang harus dilakukan.19 Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan, ketika melakukan
pernikahan
tidak
medatangkan
pegawai
pencatat
nikah
dan
perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum. Karena dari itulah perkawinan di bawah tangan dilarang oleh undang-undang, bahkan menurut ulama-ulama kontemporerpun jika disitu terdapat kemudharatan, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. G. Review Study Terdahulu Review study terdahulu perlu dilakukan untuk menguasai teori yang relevan dengan topik atau masalah penelitian dan rencana model analisis yang akan dipakai. 19
Yayan Sopyan, Islam-Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional”, (Jakarta : Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hal 127-134
16
Idealnya penulis dapat mengetahui hal-hal apa yang telah diteliti dan yang belum diteliti, sehingga tidak terjadi duplikasi atau plagiat penelitian. Pertama, judul skripsi tentang “Kesadaran Hukum Masyarakat Kelurahan Cipedak Kecamatan Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan. Oleh: Nur Fauzi (Nim : 107044100531) Tahun1432 H/ 2011 M. Pada skripsi tersebut membahas tentang kesadaran masyarakat tentang hukum pencatatan perkawinan, bahwa pencatatan perkawinan itu sangat penting, apalagi bagi keluarga. Dan ada persamaannya dengan yang di singgung oleh penulis, yaitu mengenai pencatatan perkawinan, studi kasus yang diambil dari skripsi ini adalah Kelurahan Cipedak Kecamatan Jagakarsa. Kedua, judul skripsi “Pengaruh dan Implikasi Perkawinan Di Bawah Tangan Di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh Tangerang”. Oleh : Sahfudin (Nim : 204044103058) Tahun 1429 H/ 2008 M. Pada skripsi ini lebih menitikberatkan pada pengaruh perkainan di bawah tangan itu sendiri, tidak terfokus atau menjelaskan ke masalah lainnya. Ketiga, judul skripsi “Efektivitas Nikah Masal Terhadap Pencegahan Nikah Di Bawah Tangan (Study Kantor Uruan Agama Kecamatan Kalideres Jakara Barat)”. Oleh: Afif (Nim : 107044102123) Tahun 1433 H/ 2012 M. Jadi, dalam skripsi ini bahwa nikah masal itu bisa mencegah terjadinya perkawinan di
17
bawah tangan. Dan tempat yang di ambil oleh penulis adalah Kantor Urusan Agama kecamatan Kalideres. Dari tiga skripsi diatas, satu membahas tentang pencatatan perkawinan dan dua lagi sebenarnya sama-sama membahas tentang perkawinan di bawah tangan, hanya saja yang membedakan dengan penulis adalah tempat penelitiannya dan masalahnya saja yang berbeda. Penulis lebih mempermasalahkan kepada masalah-masalah perkawinan di bawah tangan di desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi), mengenai latar belakang, faktor-faktor, dan dampak perkwian di bawah tangan, agar masyarakat sadar akan pentingnya pencatatan perkawinan dan tidak ada lagi perkawinan di bawah tangan. H. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan ini, yaitu: BAB I :
Berisi tentang PENDAHULUAN yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan tekhnik penulisan, tinjauan pustaka terdahulu dan sistematika penulisan.
BAB II :
Berisi tentang TEORI pengertian perkawinan di bawah tangan dan pencatatan perkawinan, prosedur pencatatan perkawinan,
18
dasar hukumnya dan faktor-faktor terjadinya perkawinan di bawah tangan serta dampaknya. BAB III :
Gambaran umum tentang Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi yang terdiri dari, sejarah desa, letak geografis desa, kondisi demografi sosial masyarakatnya.
BAB IV :
Berisi tentang hasil penelitian serta analisis penulis.
BAB V :
PENUTUP, Meliputi kesimpulan dan saran-saran yang dikemukakan oleh penulis.
BAB II PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN PENCATATAN PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan dan Pencatatan Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan Perkawinan sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi ini.1 Menurut Syaikh Imam Al-Qoyubi Humairah, dalam kitab
karangannya
Al-Mahalli,
perkawinan
disunahkan
bagi
orang
yang
membutuhkan dan bagi orang yang sudah mampu, pengertian mampu disini adalah mampu dalam hal lahir bantin untuk menuju ke jenjang perkawinan.2 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Karena suatu perkawinan merupakan perbuatan hukum, maka tentu saja ia akan menimbulkan akibat hukum. Yang tadinya antara seorang laki-laki dan perempuan haram berhubungan badan, setelah perkawinan menjadi halal. Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan, dan saat melangsungkan perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah. 1
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, (Jakarta Pustaka Al-Kautsar 1993), h 14 2
Syaikh Imam Al-Qoyubi Humairah, Al-Mahalli, h 207
19
20
Menurut Ma‟ruf Amin, forum Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa sengaja memakai istilah perkawinan di bawah tangan, istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Perkawinan di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah perkawian yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih atau hukum Islam. Namun, perkawinan ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam Perundang-undangan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan di bawah tangan, yang tidak dicatatkan dipandang tidak memenuhi ketetntuan peraturan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap isteri dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah. Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Ma‟ruf Amin menegaskan bahwa hukum perkawinan yang awalnya sah memenuhi syarat dan rukunnya, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Dengan demikian, haramnya itu datangnya belakangan, perkawinannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada orang yang terlantarkan, sehingga dia berdosa karena mengorbankan isteri atau anaknya. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban.3
3
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008), h 147
21
2. Pengertian Pencatatan Perkawinan Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah yang melakukan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon isteri.4 Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundangundangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-galid) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang di buktikan dengan Akta Nikah, yang masing-masing suami isteri mendapat salinannya. Akta nikah atau akta Perkawinan yaitu suatu akta yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama sebagai bukti bahwa telah terjadi suatu akad perkawinan berdasarkan laopran Pegawai Pencatat Nikah. Menurut Ahmad Rofiq dengan dicatatkannya perkawinan seseorang itu sangat penting, misalnya saja apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
4
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu”, (Jakarta : Grahacipta 2005), h 38
22
Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan jika diperlukan, terutama sebagai suatu alat bukti tertulis, dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan lain.5 B. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan 1. Dasar Hukum Menurut Hukum Islam Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyariatkan dalam agama Islam, namun dilihat dari segi manfaatnya, pencatatan perkawinan sangat diperlukan. 6 Alquran dan Alhadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan, akan tetapi dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan.7 Apabila kita perhatikan surah al-Baqarah (ayat : 282) mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan dari pada kesaksian, yang dalam perkawinan, menjadi salah satu rukun.
5
K. Wantjik Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia 1978,. h
17 6
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta : Prenada Media 2003), h 123 7
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika 2006), Cetakan Pertama, h 26
23
Allah berfirman dalam surath al-baqarah ayat 282 :
….. Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya…... Belum ditemukan sumber-sumber fiqih yang menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkawinan dan pembuktiannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada ayat tersebut. Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga. Sejalan dengan prinsip :
ِعلَي جَلْبِ الْ َوصَاِلح َ ٌسذِ هُ َق َذم ِ دَرُْأ الوَفَا Menolak kemudharata lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan
َط بِالْوصْلَحَت ٌ عّيَتِ هَ ُن ْو ِ ََتصَّرُفُ ا ْلاِهَامُ عَلَي الّر Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan.8
8
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2003), h 121
24
Meninjau pencatatan perkawinan di zaman Nabi, sahabat dan tabi‟in secara detail tidak ditemukan, karena memang landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dilihat pada sumber hukum Islam yaitu al-Qur‟an, Hadist serta ijtihad secara eksplisit tidak mengatur atau menyinggung terkait pencatatan perkawinan. Terdapat beberapa keadaan kenapa pencatatan tidak ditemukan di zaman itu, diantaranya pada zaman Nabi masyarakatnya lebih mengandalkan hafalan atau ingatan. Memang pada masa-masa awal Islam pencatatan belum dibutuhkan, selain itu walimat al-„urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di samping saksi syar‟i tentang sebuah perkawinan, dalam hadis diterangkan tentang adanya tuntunan untuk mempublikasikan pelaksanan perkawinan, melalui resepsi walimah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW ketika mengetahui salah satu sahabatnya, Abdurrahman ibn „Auf menikah :
)قال رسول اللّو صلي اللّو علّيو وسلن أولن ولو بشاة (رواه البخارى و هسلن “Selenggarakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih satu ekor kambing”. (HR. Bukhari dan Muslim).9 Perintah melakukan publikasi perkawinan dimaksudkan agar orang lain mengetahui adanya perawinan, untuk memperjelas status, serta agar tidak
9
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta :
GRAHA PARAMUDA 2008), h 149
25
memungkinkan terjadinya penyimpangan.10 Ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah yang berbeda di mana calon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah tersebut juga, sehingga alat bukti perkawinan selain saksi belum dibutuhkan. Disamping perlunya walimah, maka harus ada pemberian kasih sayang, yaitu mahar. Mahar atau mas kawin merupakan satu di antara rukun nikah yang harus ada dan wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dengan jumlah tergantung kesepakatan kedua mempelai berdasarkan kemampuan ekonomi laki-laki dan kerelaan pihak perempuan.11
Islam membolehkan mahar untuk menghormati dan memuliakan isteri, namun bukan berarti mesti dilakukan dengan berlebihan. Islam menekankan kemudahan mahar, sehingga cukup dalam bentuk sang suami mengajar sang isteri sebuah surah dari al-Quran atau sebuah hadiah sederhana, atau bahkan memberinya sebuah cincin sederhana walaupun terbuat dari besi.12 Ketika Rasulullah SAW hendak menikahkan seorang sahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, ia bersabda :
10
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008), h 150 11
Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Etika Islam Tentang Sistem Keluarga, (Surabaya : Mutiara Ilmu 1995), h 73 12
Imam Muhammad Syirazi, Dengan Siapa Kita Menikah?: Panduan Islami dalam Memilih Jodoh & Membangun Keluarga Sakinah, (Jakarta: Pustaka Zahra 2004), h 48
26
ٍحذِ ْيذ َ ْاِلْتَ ِوسْ وََلوْ خَاتَوًا هِن “Carilah (mahar) sekalipun cincin yang terbuat dari besi”. (Riwayat Al-Bukhari).13 Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika masyarakat yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut adanya catatan akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bias hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kehilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut akta. 14 Demikian lah pendapat menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan mengenai pembaharuan hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan. Penulis lebih setuju bila perkawinan itu dicatatkan, dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi, meskipun secara detail tidak ditemukan di dalam Alquran, Alhadis dan kitab-kitab fikih maupun fatwa-fatwa ulama. Hal ini mungkin yang mejadi landasan hukum fatwa-fatwa ulama atau Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mewajibkan pencatatan.
13
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008), h 158 14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI”, (Jakarta : Kencana 2004), Cetakat ke-3, h 121
27
2. Dasar Hukum Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dari penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa fikih tidak membicarakan pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu hal yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan. Undang-undang Perkawinan menempatkan pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakannya perkawinan. Hal tersebut diatur oleh Undang-Undang Perkawinan tentang Pencatatan Perkawinan pasal 2 ayat (2), yang berbunyi : (2). Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.15 Pada pasal 2 ayat (2) ini, di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci, perbuatan pencatatan itu harus sudah jelas menetukan sahnya suatu perkawinan. pasal itu menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif. Sedangkan soal sahnya perkawinan Undang-undang Perkawinan dengan tegas menyatakan pada pasal 2 ayat (1), yang berbunyi (1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.16
15
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia 1974), h 71 16
17
K. Wantjik Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia 1978), h
28
Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini berada pada pasal 2 sebagai kelanjutan dari pasal 1 di dalam Undang-undang Perkawinan, menurut salah satu ayat kelanjutannya masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut berhubungan dengan pencatatan, yakni perkawinan harus sah dan harus dicatat. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan. Pola pemikiran demikian menurut penulis termasuk maslahah mursalah, artinya dengan pencatatan perkawinan akan lebih maslahat. 3. Dasar Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam Undang-undang Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2), meskipun telah disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala, namun masyarakat dianggap sudah tahu karena sudah dimasukan dalam Undang-undang No 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pengembangan Keluarga (Lembaran Negara Republik Inonesia tahun 2009). Upaya ini perlu dilakukan sosialisasi oleh umat Islam secara berkesinambungan di Negara Republik Indonesia. Dalam masyarakat sudah ada pemahaman fikih Imam Syafi‟i yang sudah membudaya. Menurut paham mereka, perkawinan telah dianggap cukup bila syarat dan rukunnya sudah terpenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan. Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih ditemukan perkawinan di bawah tangan,
29
kenyataan dalam masyarakat seperti ini merupakan hambatan pelaksanaan UndangUndang Perkawinan.17 Dalam Instruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut : pasal 5 ayat (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat, ayat (2) Pencatatan perkawinan tetrsebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undanng-undang No.22 Tahun 1946 jo. Undang-undang No.32 Tahun 1954. Selajutnya pada pasal 6 dijelaskan: ayat (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, pasal 6 ayat (2) Perkawinan yang dilakukan di luar penngawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.18 C. Prosedur Pencatatan Perkawinan Secara singkat, apa yang sudah disebutkan dari buku pedoman Kantor Urusan Agama sudah mudah di cerna oleh masyarakat, maka saya kutip secara keseluruhan dan singkat tentang prosedur pencatatan perkawinan, yaitu : 17
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika 2006), Cetakan Pertama, h 27 18
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI”, (Jakarta : Kencana 2004), Cetakat ke-3, h 124
30
a) Persyaratan Umum 1. Calon Pengantin Beragama Islam. 2. Umur minimal berusia 19 tahun tuntuk pria, dan 16 tahum untuk wanita. 3. Ada persetujuan kedua calon pengantin. 4. Tidak ada hubungan saudara yang dilarang agama antara kedua calon pengantin. 5. Calon pengantin wanita tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain. 6. Duda atau Janda harus sudah habis masa iddahnya. 7. Wali dan saksi harus beragama islam, dan minimal usianya dalaha 19 tahun. 8. Calon pengantin, wali dan saksi sehat akal. b) Persyaratan Administrasi 1. Foto copy KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang sah. 2. Foto copy KK (Kartu Keluarga) yang masih berlaku. 3. Foto copy Ijazah atau Akte Kelahiran. 4. Foto copy Buku Nikah orang tua, bagi wanita. 5. Pas foto berwarna (Latar biru) ukuran 2x3 = 4 lembar. 6. Surat Keterangan Model N1, N2, N4 ditandatangani Kepala Desa atau Kelurahan. 7. Surat Persetujuan mempelai (Model N3). 8. Izin Orang Tua (Model N5) jika umur kurang dari 21 tahun. 9. Surat Pernyataan Jejaka/Perawan, bagi calon pengantin berumur 25 tahun ke atas, bermaterai Rp 6000,-. 10. Surat Rekomendasi Nikah / Numpang Nikah bagi calon pengantin dari luar wilayah. 11. Izin Pengadilan Agama jika pria berumur kurang dari 19 tahun, dan wanita kurang dari 16 tahun. 12. Izin Pengadilan Agama bagi yang berpoligami. 13. Rekomendasi Camat untuk pendaftaran kurang 10 hari. 14. Surat Kematian Suami/Isteri bagi Janda/Duda cerai mati dan model N6 ditandatangani Kepala Desa atau Kelurahan. 15. Akta Cerai beserta Salinan Putusan/ Penetapan dari Pengadilan yang mengeluarkan Akta Cerai. 16. Bukti Imunisasi TT dari Puskesmas.19 c) Pemberitahuan Kehendak Nikah Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah pegawai pencatat
19
Wawancara Pribadi dengan bapak Agus Salim Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah, (Kamis, 10 April 2014 pukul 10:30). Di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah.
31
perkawinan menyelenggarakan pengumuman pemberitahuan kehendak nikah. Berdasarkan pasal 8 PP No. 9 tahun 1975 pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkann perkawinan. Adapun menenai caranya, surat pengumuman tersebut ditempelkan menurut formulir yang ditetapkan pada kantor catatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.20 1. Kehendak Nikah diberitahukan oleh Wali atau Calon Pengantin kepada Kantor Urusan Agama dengan membawa persyaratan yang telah ditentukan. 2. Mengisi Formulir Pendaftaran Nikah pada Lembar Model NB yang disediakan Kantor Urusan Agama. 3. Penulisan NB menggunakan tinta hitam, huruf balok. 4. Pendaftaran harus sudah diterima Kantor Urusan Agama sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan. 5. Membayar Biaya Pencatatan Nikah. d) Pemeriksaan Dan Pembinaan Calon Pengantin 1. Setelah Pendaftaran diterima oleh Kantor Urusan Agama, kedua calon pengantin dan Wali Nikah, mengikuti Pembinaan dan Kursus Calon Pengantin. 2. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama melakukan pemeriksaan tentang ada tidaknya halangan untuk menikah, dan memberikan bimbingan keluarga sakinah dan tatacara ijab qobul. 3. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama dilarang melangsungkan, atau membantu melangsungkan, atau mencatat atau menyaksikan pernikahan yang tidak memenuhi persyaratan. e) Penolakan Kehendak Nikah 1. Kepala Kantor Urusan Agama diharuskan menolak kehendak nikah yang tidak memenuhi persyaratan. 2. Terhadap penolakan tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Agama.
20
Amiur Nurddin Dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Samapi KHI”, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2004), h 128
32
Disini keberanian para Hakim Peradilan Agama sangat diharapkan untuk membatalkan perkawinan atau penolakan kehendak nikah yang tidak dicatat itu apabila diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan kepadanya.21 f) Pelaksanaan Akad Nikah 1. Akad Nikah dilangsungkan dihadapan Penghulu tau Petugas Kantor Urusan Agama. 2. Jika dilakukan oleh Wali Nikah sendiri. 3. Wali Nikah dapat mewakilkan ijab kepada orang lain yang memenuhi persyaratan, atau kepada Penghulu. 4. Akad Nikah dilangsungkan di Kantor Urusan Agama (Balai Nikah). 5. Atas permintaan yang bersangkutan dan mendapat Persetujuan dari Kepala Kantor Urusan Agama, Akad Nikah dapat dilangsungkan di Luar balai Nikah. 6. Biaya pemanggilan, transportasi, dan akomodasi Penghulu atau Petugas Kantor Urusan Agama untuk menghindari akad nikah di luar balai nikah dibebankan kepada yang mengundang. g) Pencatatan Nikah 1. Pencatatan Nikah dilakukan oleh Penghulu atau Kepala Kantor Urusan agama setelah nikah dilangsungksn dengan benar, pada Akta Nikah (Register Model N). 2. Kepada kedua pengantin diberikan Kutipan Akta Nikah berupa Buku Nikah, (Model NA). Akta Nikah selain merupakan bukti otentik suatu perkawinan, ia memiliki manfaat sebagai “jaminan hukum” apabila salah seoarang suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang.22 D. Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan di Bawah Tangan Setiap warga negara hendaknya melaksanakan setiap peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebab semua peraturan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk kepentingan masyarakat demikian juga dalam hal perkawinan. 21
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2006), h 53 22 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002), h 116
33
Undang-undang No 1 tahun 1974 tantang Perkawinan tidak mensahkan perkawinan di bawah tangan, karena sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga dituntut untuk menjadi warga negara yang baik , dengan menuruti perundangundangan yang berlaku.23 Masih terdapat di anggota masyarakat yang perkawinannya dilaksanakan tanpa sepengetahuan Pegawai Pencatat Nikah adakalanya mencukupkan hadirnya seorang kiyai atau pemuka agama, merasa tanpa kehadiran aparat yang berwenang dianggap sudah sah, menurut hukum agama Islam pencatatan itu dianggap sah yang sifatnya administratif saja. Tidak tercatatnya perkawinan tersebut, mungkin karena mereka tidak mencatatkan perkawinan itu kepada petugas yang berwenang, sekalipun dilakukan sesuai dengan ketentuan agamanya, atau karena perkawinan itu dianggap tidak/belum memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undangundang No 1 tahun 1974. Diantaranya terdapat berbagai alasan yang mendasari perkawinan di bawah tangan adalah : 1. Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya, maka orang terebut melaksanakan perkawinan di bawah tangan, cukup dihadapan pemuka agama. 2. Dengan adanya PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, dalam pasal 4 ayat (1) diantaranya menyebutkan, bahwa pria yang berstatus Pegawai
23
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung : AL-BAYAN 1994), Cetakat ke-I, h 22
34
Negeri Sipil tidak boleh beristeri lebih dari seorang. Mereka beranggapan bahwa dengan sulitnya persyaratan untuk poligami, maka terdapat (walaupun sedikit) pegawai negeri yang melaksanakan perkawinan dengan tidak melalui prosedur yang sebenarnya. 3. Dikarenakan banyak masyarakat yang masih awam, adanya perasaan takut untuk berhadapan dengan pejabat Kantor Urusan Agama dan menganggap mereka lebih baik perkawinannya dilaksanakan di depan pemuka agama. 4. Mahalnya biaya pencatatan perkawinan, karena oknum-oknum tertentu. 5. Agama sering dijadikan dalil untuk melegitimasi keinginan-keinginan tertentu yang subjektif. Padahal aturan agama juga sama jelasnya, bahwa UndangUndang No. 1 Tahun 1974 berlaku untuk semua masyarakat.24 Sebab-sebab itulah yang menjadi dasar perkawinan di bawah tangan di samping faktor sosial, budaya, ekonomi, agama dan juga tingkat pendidikan yang masih rendah. E. Dampak Perkawinan di Bawah Tangan Meurut Undang-Undang Di Indonesia Akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan, meski secara agama dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan diluar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan 24
Suparman Usman., Perkawinan Antar Agama Dan Problematika Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Serang : Saudara Serang 1995), h 142
35
dianggap tidak sah di mata hukum negara. Akibat hukum perkawinan tersebut adalah berdampak negatif sangat merugikan bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
di Indonesia disebutkan, tujuan
pencatatan perkawinan yang dilakukan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. Namun ditegaskan, perkawinan yang dilakukan di luar pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.25 Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai isteri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika dicerai hidup atau ditinggal mati. Selain itu sang isteri tidak berhak atas harta gono-gini atau harta bersama jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial sang isteri akan sulit bersosialisasi, karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan, sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap menjadi isteri sampingan atau simpanan. Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara, memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak yang dilahirkan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
25
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta : INIS 2002), h 149
36
Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah, akan berdampak sangat mendalam secara social dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya,
atau bila suami/ayahnya meninggal dunia dalam hal
pembagian harta warisnya oleh pengadilan agama, karena tidak ada bukti bahwa ia itu isteri dari suami yang meninggal dunia atau ia anak dari ayah yang meninggal dunia.26 Anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya. Perkawinan di bawah tangan berdampak menyakitkan dan merugikan, kecuali jika kemudian perempuan tersebut dapat mengusahakan perkawinan yang sah. Anak hasil perkawinan di bawah tangan dianggap anak tidak sah, apabila terjadi perkawinan sah, maka anak dapat diakui. Sedangkan anak yang lahir di dalam perkawinan di bawah tangan dikatakan anak yang disahkan karena hanya ada pengakuan dari ayah anak tersebut dan harus disertai putusan pengadilan. Ada beberapa dampak perkawian di bawah tagan menurut undang-undang yaitu : 1) Perkawinan dianggap tidak sah meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Uusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
26
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Moderen, (Yogyakarta : Graha Ilmu 2011), h 17
37
2) Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak yang dilahirkn di luar perkawinan atau perkawinan tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu. 3) Anak dan ibu nya tidak berhak atas nafkah dan warisan, dan baik isteri maupun anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Harta yang didapat dalam perkawinan dibawah tangan hanya dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta gono-gini atau harta bersama.27
27
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008), h 151
BAB III PROFIL DESA WIBAWA MULYA A.
Sejarah Singkat Desa Wibawa Mulya Pada jaman dahulu, yaitu sebelum tahun 1978 Desa Wibawa Mulya
Kecamatan
Cibarusah
Kabupaten
Bekasi,
masih
satu
desa
dengan
desa
Sindangmulya, dan dipimipin oleh seorang Lurah bernama H. Maskudi (alm). Selanjutnya pada tahun 1978 Desa Sindangmulya di bagi menjadi dua Desa yaitu Desa Sindangmulya dan Desa Wibawa Mulya yang dipimpin oleh : 1. Lurah Endin memimpin wilayah Desa Sindangmulya 2. Lurah Udin Saepudin memimpin Wilayah Desa Wibawa Mulya. Pada periode 1983 S/d 1991 di bawah kendali Kepemimipinan Bpk. Lurah Udin Saepudin Memimpin Desa Wibawa Mulya selama + 6 tahun, dan mulai menata desa Wibawa Mulya dengan membuat sarana-sarana sosial atau umum secara gotong royong dengan masyarakat. Bukti dari semua itu maka desa Wibawa Mulya dijadikan sebagai Desa Percontohan, trand setter dan Icon se Kabupaten Bekasi, dalam bidang Pertanian. Sebelum masa jabatannya habis beliau meninggal dunia bersama istri tercintanya di Mekkah ( Tragedi Mina ) dalam rangka menunaikan ibadah Haji.1
1
Wawancara pribadi dengan Bapak Soleh Hidayat bagian Kaur Pemerintahan Desa Wibawa Mulya di balai desa (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 09:30).
38
39
Lalu pada tahun berikutnya dipimpin oleh Bpk. M. Kosim (alm) 1991 S/d 1999, pada masa kepemimpinan beliau, beliau meneruskan berbagai program pembangunan yang telah dirintis sebelumnya dengan cara gotong-royong/kerja bakti. beliau juga mengembangkan sektor pertanian dan peternakan. Seiring perkembangan jaman pada masa kepemimpinan beliau, banyak lahan persawahan yang gagal panen, ternak banyak yang mati hingga akhirnya desa Wibawa Mulya masuk dalam kategori Desa IDT, hingga akhirnya pun beliau berhenti karena masa jabatannya habis, dan seterusnya silih berganti kepemimpinan hingga sekarang.2 B.
Letak Geografis dan Demografi Desa Wibawa Mulya Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi adalah suatu
wilayah desa yang berbatasan dengan desa Sindangmulya. Berdasarkan data monografi desa, desa Wibawa Mulya memiliki luas wilayah 515 Ha.3 Luas wilayah desa Wibawa Mulya, menurut jenis tanah sebagian besar adalah tanah darat diantaranya yaitu : Tabel Jenis Tanah No
Jenis Tanah
1.
Sawah Tadah Hujan
Ha 161
Ha
2
Wawancara pribadi dengan Bapak Soleh Hidayat bagian Kaur Pemerintahan Desa Wibawa Mulya di balai desa (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 09:30). 3
Data monografi desa wibawa mulya kec. Cibarusah Bekasi tahun 2013.
40
2.
Ladang
5
Ha
3.
Pemukiman
315
Ha
4.
Tanah Kas Desa
13
Ha
5.
Lapangan
3
Ha
6.
Perkantoran Pemerintahan
1
Ha
7.
Makam
2
Ha
8.
Situ Cipalahlar
15
Ha
Batas Wilayah Desa No
Letak Batas
Desa/Kelurahan
Kecamatan
1.
Sebelah Utara
Desa Sukaragam
Kecamatan Serang Baru
2.
Sebelah Selatan
Desa Sirnajati
Kecamatan Cibarusah
3.
Sebelah Barat
Desa Sindang Mulya
Kecamatan Cibarusah
4.
Sebelah Timur
Desa Sirnajaya
Kecamatan Serang Baru
Sedangkan orbitrasi (jarak dari pusat pemerintah desa) terhadap pusat-pusat fasilitas kota : No
Orbitrasi
KM
1.
Jarak Ibukota Kecamatan
9 Km
41
2.
Jarak Ibukota Kabupaten
56 Km
3.
Jarak Ibukota Provinsi
247 Km
Jumlah Penduduk Secara Umum/KK No.
Kependudukan
Jumlah
Ket
1.
Jumlah Penduduk
6.729
Orang
2.
Jumlah Kepala Keluarga
1.797
Orang
Jumlah Penduduk menurut kewarganegaraan No.
Kewarganegaraan
Jumlah
Keterangan
1.
WNI Laki-laki
3.457
Orang
2.
WNI Perempuan
3.272
Orang
Jumlah Penduduk Menurut Usia No
Usia
Jumlah
Ket
1.
0-4 Tahun
517
Orang
2.
5-19 Tahun
1251
Orang
42
3.
20-59 Tahun
4.674
Orang
4.
60 Tahun Keatas
287
Orang
Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan
C.
No
Pendidikan
Jumlah
Ket
1.
TK ( Paud )
123
Orang
2.
SD/ Sederajat
900
Orang
3.
SMP/ Sederajat
402
Orang
4.
SMA/ Sederajat
116
Orang
5.
Perguruan Tinggi
18
Orang
6.
Buta Huruf
-
Orang
Kondisi Sosial Desa Wibawa Mulya Kondisi sosial masyarakat Desa Wibawa Mulya masih memegang teguh pada
adat istiadat daerah dengan cirri-ciri budaya sunda yang terlihat masih kental dengan kegotong-royongan, sabanda sariksa, kesopanan dan budaya-budaya luhur sunda lainnya. Kondisi sosial inilah yang selalu dijadikan dasar dan modal dalam
43
melakukan setiap proses pembangunan yang senantiasa dijaga, dipelihara dan dikembangkan. 1. Keadaan Ekonomi Kondisi ekonomi masyarakat Desa Wibawa Mulya terbagi beberapa bidang, namun masih rendah, sehingga secara umum masih tergolong masyarakat yang masih belum sejahtera. Selain itu pada bidang lain seperti usaha mikro masyarakat masih memanfaatkan bantuan pinjaman dari bantuan permodalan pemerintah ataupun bantuan pinjaman permodalan dari pihak-pihak lain. 2. Pola penggunaan tanah Pola penggunaan tanah yang ada masih sebatas pertanian itupun pada musim hujan saja, sedangkan pada musim kemarau ada sebagian petani yang mengolah tanahnya untuk menanam sayur-sayuran dan yang lainya itupun yang dekat dengan sumber air. 3. Pemilik Ternak Untuk peternakan di Desa Wibawa Mulya masih jauh atau belum adanya program bantuan ternak yang sifatnya pemberdayaan masyarakat, walaupun adanya masyarakat yang memiliki ternak masih bersifat konvensional.
44
4. Sarana Pendidikan Dari hasil wawancara pribadi dengan sekertaris desa Wibawa Mulya dengan bapak Jhoni Hermansyah mengenai pendidikan, beliau mengemukakan bahwa pendidikan didesa ini lumayan sudah bagus,
banyak sekali sudah ada sekolah-
sekolah SMP maupun SMK ataupun Madrasah Aliah dan Tsanawiyah. Akan tetapi ada saja masyarakat yang tidak sekolah, karena salah satu faktor utama lemahnya pendidikan adalah dikarenakan masyarakat belum sadar dan mengerti akan pentingnya pendidikan. Mungkin kalau di desa ini alhamdulilah ratarata SD, SMP dan SMA pada sekolah kebanyakan, walaupun hanya sebagian kecil yang tidak sekolah, ujar kata bapak Jony Hermansyah.4 Tabel sarana pendididan desa wibawa mulya
4
No
Sarana Pendidikan
Banyak
1.
TK / PAUD
5 Unit
2.
SD / sederajat
2 Unit
3.
SLTP / sederajat
2 Unit
4.
SLTA / sederajat
2 Unit
5.
Yayasan Pendidikan Islam
3 Unit
6.
Pondok Pesantren
1 Unit
Wawancara pribadi dengan Bapak Jhoni Hermansyah Sekertaris Desa Wibawa Mulya di balai desa (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 11:30).
45
5. Sarana Ibadah Mayoritas di desa ini hampir semuanya pemeluk agama islam, hanya 1% pemeluk agama Kristen, sehingga hampir seluruhnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat tersebut lebih mengarah kepada unsur keagamaan, setiap tahun itu masyarakat di sanah mengadakan kegiatan agama seperti Maulud dan Rajaban, setiap acara itu selalu dihadiri oleh banyak masyarakat. Ada juga pengajian-pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, kalau pengajian bapak-bapak di masjid An-Nur itu setiap malem senin, tapi kebanyakan pengajian ibu-ibu, hampir setiap minggu nya ada 6 pengajian di desa Wibawa Mulya.5 Jumlah Penduduk menurut Keagamaan No
Agama
Jumlah
Ket
1.
Islam
6.717
Orang
2
Kristen
12
Orang
Prasarana dan peribadatan di desa ini jumlah masjid 4 (Empat) dan jumlah langgar atau mushola 14 (Empat Belas) bangunan. Kebanyakan masyarakat di desa ini memahami islam dengan pemahaman kalsik, seperti orang dulu.
5
Wawancara pribadi dengan Bapak Soleh Hidayat bagian Kaur Pemerintahan Desa Wibawa Mulya di balai desa (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 09:30).
46
6. Mata Pencaharian Sebagian besar warga desa Wibawa Mulya adalah petani dan kuli muat batu bata, pengrajin idustri rumah tangga, dan pengusaha kecil menengah, sedangkan sisanya yaitu wiraswasta, pedagang, supir angkot, dan lain-lain. Tabel Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian No
Mata Pencaharian
Jumlah
Ket
1.
Petani Pemilik tanah
2315
Orang
2.
Buruh Tani
36
Orang
3.
Pedagang
413
Orang
4.
Pengusaha Batu-bata
280
Orang
5.
Pengusaha angkutan
72
Orang
6.
Karyawan Swasta
415
Orang
7.
Wiraswasta
179
Orang
8.
Buruh
625
Orang
9.
PNS
60
Orang
10.
TNI/POLRI
10
Orang
47
11.
Pensiunan PNS/TNI/POLRI
5
Orang
12.
Peternak
11
Orang
Melalui tabel diatas kita bisa mengetahui kegiatan ekonomi masyarakat di desa Wibawa Mulya ini masih sangat lemah, Desa Wibawa mulya ini adalah desa yang sebagian masyarakatnya rata-rata yang usia 25 tahun keatas itu bekerja petani dan kuli muat batu bata, dan umur dibawah 25 tahun itu rata-rata kerja dipabrikpabrik industry, seperti pabrik-pabrik yang berada didaerah cikarang. 7. Sarana Kebutuhan Sosial Masyarakat Sarana Kebutuhan masyarakat yang sedang diupayakan pembangunannya yaitu pembangunan jalan lingkungan ( Jaling ) baik dengan mengandalkan dana APBD Kab.Bekasi melalui aspirasi Dewan, Musrenbang dan APB Desa. Sedangkan ditinjau dari sarana angkutannya, dari Desa Wibawa Mulya sudah ada angkot K35 dari jam 6 pagi hingga jam 3 sore, tetapi mayoritas daerah di Kecamatan Cibarusah dapat dijangkau dengan ojeg motor. Kondisi lalu lintas di desa Wibawa Mulya relatif sepi, hanya ramai pada waktu puncak dan pada daerah tertentu yang memiliki aktivitas ekonomi tinggi seperti Desa Cibarusah Kota dan Sindang Mulya.
48
Masalah-masalah yang selama ini masih dihadapi atau menjadi kendala bagi masyarakat Desa Wibawa Mulya secara umum adalah diantaranya sebagai berikut : -
Dengan banyaknya jumlah penduduk dan kurangnya sumber daya pengetahuan ataupun rendahnya tingkat pendidikan hal tersebut menjadikan banyak masyarakat desa Wibawa Mulya yang tidak memiliki pekerjaan.
-
Masih Lemahnya kualitas Sumber Daya manusia yang ada dikarenakan Faktor pengetahuan/tingkat pendidikan masyarakat secara keseluruhan.
-
Tidak adanya Modal untuk melakukan pengembangan atau pengolahan terhadap potensi-potensi yang ada.
-
Masih kurangnya sarana dan prasarana umum seperti sarana pendidikan, puskesmas, posyandu ( Sarana Kesehatan ), pasar, sarana air dan MCK yang layak, sebagai Fasilitas masyarakat, dan walaupun ada sarana tersebut masih belum memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bahkan jauh dari tempat tinggal masyarakat sebagian sehingga hal tersebut membuat masyarakat harus meluangkan waktu yang lama atau mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mampu mencapai hal tersebut.
-
Rusaknya atas sarana prasarana umum (Transportasi, sarana pengairan, sarana pendidikan, sarana kesehatan dan lain-lain ) yang ada dikarenakan usia dari sarana prasarana tersebut yang sudah lama sehingga manghambat pada kemajuan tingkat ekonomi masyarakat. Ditambah dengan lemahnya pengetahuan terhadap pengembangan kelembagaan masyarakat
49
Sarana dan prasarana yang masih belum ada yaitu pengadaan Sarana Balai Latihan Kerja dan MCK, juga untuk membantu para petani dalam pengadaan pupuk, bibit, dan obat-obatan guna meningkatkan hasil panen yang lebih optimal dan memuaskan.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Pandangan Masyarakat Desa Wibawa Mulya tentang Perkawinan di Bawah Tangan Apabila memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang No 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : “Perkawinan adalah
sah,
apabila
dilakukan
menurut
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya” dan ayat (2), yaitu “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat”, dapat di pahami bahwa perkawinan yang sah adalah menurut agama dan undang-undang harus dicatatkan. Ahmad Rofiq berpendapat, artinya perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul adalah, apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya.1
1
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2003), h 110
50
51
Menurut penulis, Pencatatan perkawinan memegang peran yang sangat menentukan diakuinya perkawinan tersebut oleh undang-undang. Bila suatu perkawinan tidak dicatat, maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh undangundang, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut, dampaknya sangat meruginkan bagi isteri dan anaknya. Abdulkadir Muhammad memberikan keterangan: “Pada saat ini status hukum seseorang sangalah penting karena dengan pastinya status hukum seseorang maka ia akan mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Dengan memiliki status hukum yang jelas, maka seseorang akan tahu apa yang boleh dilakukan. Dengan memiliki status hukum yang baru, maka seseorang dapat dengan mudah untuk melakukan kegiatan sehari-hari tanpa harus melakukan suatu pelanggaran. Seseorang yang telah menikah dan mencatatkan perkawinannya pada pegawai pencatat nikah, maka ia mempunya status hukum yang baru. Dengan status hukum yang baru tersebut maka hak dan kewajibannya pun akan berubah pula atau tidak sama sekali seperti waktu ia belum menikah”.2 Praktek perkawinan di bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi, padahal perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan serta tidak melindungi hak-hak kaum perempuan, dan juga hak anak.
2
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Adtya Bakti, 2003), hal. 48
52
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah “perkawinan di bawah tangan” dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2).3 Pada kenyataannya banyak masyarakat yang belum mengetahui tetang Undang-undang No. 1 tahun 1974 ini, khususnya tentang pencatatan perkawinan. Maka undang-undang ini harus disosialisasikan kepada masyarakat, hal itu sependapat dengan Zainuddin Ali, penacatatan perkawinan yang tercantum dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, sangat tepat diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini karena dengan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, maka segala sesuatu yang dilakukan harus lah memerlukan suatu kepastian hukum.4 Dengan mencatatkan perkawinannya berarti ia mempunyai akta perkawinan yang dapat dijadikan bukti apabila dikemudian hari ia menghadapi masalah yang
3
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008), h 150 4
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika 2006), h 26
53
berhubungan dengan perkawinan. Akta perkawinan merupakan bukti yang autentik untuk membuktikan bahwa seseorang itu telah menikah.5 Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu masyarakat yang ada di desa Wibawa Mulya, penulis melakukan wawancara dengan ibu Sofiah, menurut ibu Sofiah perkawinan di bawah tangan itu sama aja seperti halnya perkawinan lainnya. Ia menuturkan bahwa perkawinan di bawah tangan itu yang membedakan adalah tidak mendapatkan buku nikah, dan perkawinannya juga sah, karena menurut agama juga sudah sah. Ketika ada saudara ibu Sofiah menikah, saudaranya tidak mendapatkan buku nikah, dan ditawarkan oleh bapak amil jika dia ingin mempunyai buku nikah prosesnya lama dan harus membayar lima ratus ribu rupiah, ia merasakan terlalu mahal, maka ia tidak mau, lebih baik uangnya digunakan untuk yang lain, dari pada harus membeli buku nikah, dan ia juga tidak tahu akan pentingnya pencatatan perkawinan, ujar ibu Sofiah. Karena saudara ibu Sofiah tidak mau, sodaranya menikah sesuai yang di syariatkan oleh agama Islam saja, dan hanya dihadiri oleh tokoh masyarakat dan sodara-sodara terdekat saja. 6 Selanjutnya penulis mewawancarai Ibu Ela, ia mengatakan kalau perkawinan di bawah tangan itu sah-sah saja, dan warga yang melakukan perkawinan di bawah tangan tidak akan dianggap aneh atau berbeda, dan ketika ada seorang warga yang
5
Ahmad Rofiq, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2003),
h 116 6
Wawancara Pribadi dengan Ibu Sofiah, (Selasa, 25 Maret 2014 pukul 16:30), Di depan rumah ibu Sofiah.
54
menikah di bawah tangan atau tidak mendatangkan Pegawai Pencatat Nikah, mungkin dia itu tidak punya biaya, cukuplah dengan syariat islam perkawinannya sudah sah, kata ibu Ela.7 Melihat realita dari ibu Sofiah dan ibu Ela ini sangat jelas tidak tahunya tentang pentingnya pencatatan perkawinan, masalah pencatatan ini jelas tidak dapat dilepaskan dari kesadaran hukum masyarakat. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan tidak akan efektif akibat kurangnya kesadaran dari hukum masyarakat sendiri. Menurut Bapak Ahyad selaku RT 05 desa Wibawa Mulya, faktor-faktor yang menyebabkan ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya pencatatan itu karena rendahnya pendidikan, jadi mereka beranggapan bahwa pencatatan perkawinan itu tidak terlalu penting dan hanya memakan waktu dan dirasakan sangat mahal diatas ketentuan Peraturan Pemerintah No . 51 tahun 2001 mengenai Biaya Pencatatan Perkawinan sebesar Rp; 30.000 ribu rupiah, dan juga masih kentalnya budaya agama dan adat sunda yang ada di desa Wibawa Mulya ini, kalau perkawinan sudah terpenuhi syarat dan rukunnya maka perkawinannya pun sudah dianggap sah.8 Melihat pandangan masyarakat tentang perkawinan di bawah tangan, kebanyakan dari mereka tidak mengetahui akan pentingnya pencatatan perkawinan, 7
Wawancara Pribadi dengan Ibu Ela, (Selasa, 25 Maret 2014 pukul 17:00). Di depan rumah
ibu Ela 8
Wawancara pribadi dengan bapak Ahyad RT 05, (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 09:00). Di rumah bapak RT Ahyad
55
mereka beranggapan perkawinan di bawah tangan itu sah, tetapi karena tidak mengetahui sahnya menurut perundang-undangan, ketika ada seorang masyarakat baik itu tetangganya atau bukan, masyarakat memandang bahwa perkawinan itu sebagaimana mestinya dan tidak ada yang aneh atau berbeda baik orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan maupun perkawinan yang sah sebagaimana yang di atur oleh peraturan perundang-undangan. Sebagian besar pola pemikiran masyarakat desa Wibawa Mulya tentang perkawinan di bawah tangan sama, yaitu tidak membeda-bedakan perkawinan di bawah tangan dan perkawinan yang sah atau perkawinan yang dicatatkan. B. Wawancara Masyarakat Pelaku Perkawinan di Bawah Tangan dan Tokoh Masyarakat Desa Wibawa Mulya Perkawinan
di
bawah
tangan
terbukti
telah
merusak
sendi-sendi
bermasyarakat karena pada perkawinan di bawah tangan itu biasanya ada sesuatu yang tidak beres, seperti main-main, dan mudah digunakan sebagai alasan dari sesuatu yang tidak benar. seperti yang diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 ayat (2), yaitu “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat”. Jadi, perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah, tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata masyarakat yang mengerti hukum .
56
Praktek perkawinan di bawah tangan hingga kini masih saja banyak terjadi, padahal perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan serta tidak melindungi hak-hak kaum perempuan dan juga hak anak. Secara social, pasangan suami isteri pelaku perkawinan di bawah tangan ternyata pada kasus di masyarakat cenderung sulit bersosialisasi karena biasanya dianggap sebagai isteri simpanan atau isteri tidak sah.9 demikian lah menurut Asrorun Ni’am Sholeh pada umumnya ada kesulitan. Akan tetapi perkawinan di bawah tangan yang seperti itu tidak berlaku untuk warga desa Wibawa Mulya, bagi masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan tidak cenderung sulit bersosialisasi dengan tetangga atau masyarakat lainnya, karna tidak ada orang yang beranggapan yang melakukan perkawinan di bawah tangan itu sebagai isteri simpanan, tempat persinggahan dan lain-lain. Permasalahan kenapa mereka melakukan perkawinan di bawah tangan kebanyakan dari mereka adalah masalah biaya pencatatan perkawinan yang tidak sedikit atau mahal, seperti disebutkan di depan. Berdasarkan hasil wawancara penulis lakukan dengan ibu Iis Suryani sebagai pelaku perkawinan di bawah tangan, ia menjelaskan ketika perkawinannya sudah memenuhi syarat dan rukunnnya menurut agama Islam, dikarenakan tidak adanya biaya dan suaminya hanya pekerja kuli batu-bata yang penghasilannya sedikit, maka
9
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008), h 151
57
tidak dicatatkan perkawinan itu. Perkawinan ibu Iis dilakukan dirumahnya sendiri dan dinikahkan oleh K.H. Ma’mur Ghazali (alm) hanya mengundang saudara dan tokoh masyarakat saja. Pandangan mayarakat dapat menerima perkwinan di bawah tangan.10 Tidak jauh berbeda dengan ibu Holidah, sebagai pelaku perkawinan di bawah tangan juga, ia menjelaskan ketika perkawinannya dilakukan di rumahnya sendiri, tidak mencatatkan perkawinannya karena dia tidak tahu sama sekali masalah perkawinanya, yang mengurus itu semua adalah orang tuanya. Dan dia tidak tahu akan pentingnya pencatatan perkawinan, bagi dia perkawinan yang dicatatkan atau tidak dicatatkan sama saja yang terpenting adalah sah menurut agama Islam.11 Peran tokoh masyarakat sangat berperngaruh dalam menekan tingginya perkawinan di bawah tangan di desa Wibawa Mulya, menurut K.H. M. Emuh (selaku kiyai dan tokoh masyarakat), tentang perkawinan di bawah tangan yang terjadi di desa Wibawa Mulya ini karena banyaknya faktor-faktor tertentu, beliau sering menikahkan orang yang tidak tercatat atau tidak mendatangkan pegawai pencatat nikah. Terkadang ada orang yang ingin dinikahkan namun tidak mempunyai biaya, ada yang umurnya belum memenuhi persyaratan Undang-undang, dia sudah ingin menikah, padahal Undang-undang telah mengatur tentang batasan usia perkawinan,
10
Wawancara Pribadi dengan Ibu Iis Suryani, (Selasa, 25 Maret 2014 pukul 13:20). Di depan rumah ibu Iis 11
Wawancara Pribadi dengan Ibu Holidah, (Rabu, 26 Maret 2014 pukul 13:00). Di depan rumah ibu Holidah
58
seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) yaitu menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”. Kalau ia berpendapat, dari pada mereka harus berbuat zinah, dengan terpaksa dinikahkan dan mendapat restu dari orang tuanya, walaupun tidak mengadakan walimah ketika menikah dan asalkan sudah terpenuhi rukun dan syaratnya menurut agama Islam. Dan ada juga dari pihak orang tua yang meminta kepada beliau ingin menikahkan anaknya yang sudah hamil duluan, karena faktor pergaulan yang bebas dan kurangnya pengawasan dari orang tua.12 Menurut bapak H. Hasan dikenal dengan sebutan bapak Amil (orang yang sering mengurus pendaftaran perkawinan ke Kantor Urusan Agama), perkawinan sekarang dengan dulu sudah berbeda. Orang-orang yang menikah dulu kebanyakan dari mereka belum mengetahui sama sekali tentang pentingnya pencatatan perkawinan, karena rendahnya pendidikan mereka, jadi tidak perduli perkawinannya itu tercatat atau tidak, yang penting menikah. Jika sekarang kebanyakan masyarakat yang muda sudah mengetahui akan pentingnya pencatatan perkawinan, maka mereka mau menikah dengan pencatatan,
12
Wawancara Pribadi dengan bapak K.H M. Emuh, (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 11:00). Di rumah bapak K.H M. Emuh
59
dan sebagian masyarakat desa Wibawa Mulya ada yang sudah mengetahui akan pentingnya pencatatan perkawinan, maka melakukan pencatatan.13 Berbeda profesi, berbeda pula pendapat dari para tokoh masyarakat yang ada di desa Wibawa Mulya ini. Begitu lah perbedaan pendapat yang dikatakan oleh bapak Jhoni Hermawan selaku sekertaris desa Wibawa Mulya, menurut ia mengapa masih banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan di desa Wibawa Mulya ini karena masyarakat sama sekali tidak tahu akan pentingnya pencatatan perkawinan, mereka menganggap perkawinan yang mereka lakukan itu sudah sah, apalagi jika agama sudah mengatakan sah. Dan mereka juga beranggapan tidak penting dicatatakan. Mengapa mereka beranggapan demikian, karena kurangnya pengetahuan pendidikan, mayoritas di desa ini bapak-bapak dan ibu-ibu tingkatan sekolahnya hanya sampai tingkat SD (sekolah dasar), begitulah yang dikatakan bapak Jhoni Hermawan selaku sekertaris desa Wibawa Mulya.14 C. Analisis Penulis Pencatatan perkawinan memegang peran yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan karena penctatan perkawinan merupakan suatu syarat diakui dan tidaknya perkawinan oleh peraturan perundang-undangan. Bila suatu perkawinan tidak dicatat, maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh peraturan perundang13
Wawancara Pribadi dengan bapak M. Hasan, (Minggu, 30 Maret 2014 pukul 17:00). Di rumah bapak M. Hasan 14
Wawancara Pribadi dengan bapak Jhoni Hermawan sekertaris desa Wibawa Mulya, (Rabu, 2 April 2014 pukul 09:30). Di balai desa Wibawa Mulya.
60
undangan, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut. Dengan demikian, dengan dicatatkannya perkawinan akan memberikan perlindungan hukum kepada kedua belah pihak dan akan memudahkan pembuktian akan adanya perkawinan. Mengenai praktek pelaksanaan perkawinan yang terjadi di desa Wibawa Mulya, ada sebagian masyarataknya tidak melakukan pencatatan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2) tentang Pencatatan Perkawinan, yang berbunyi : “Tiaptiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, kebanyakan masyaakat di desa Wibawa Mulya tidak melakukan pencatatan perkawinan dikarenakan pencatatan bagi mereka tidak penting. Bagi mereka dengan memenuhi syarat dan rukun perkawinan menurut agama Islam sudah dianggap sah. Meskipun demikian, di desa Wibawa Mulya tidak terlalu menaruh perhatian atas adanya pencatatan perkawinan. padahal dengan adanya pencatatan perkawinan dianggap sah secara hukum menurut perundang-undangan. Dengan adanya pencatatan dimaksud bagi yang melakukan perkawinan, apabila terjadi suatu sengketa perkawinan yang tidak bisa diselesaikan secara damai, maka perkawinan bisa putus dengan jalan perceraian di Pengadilan Agama dengan menunjukan adanya akta nikah yang telah di catat oleh pegawai pencatat nikah.
61
Namun, hal ini tentu sangatlah jauh jika melihat sudut pandang sebagian besar di desa Wibawa Mulya terhadap hal tersebut. Bagi sebagian mereka yang ada di desa Wibawa Mulya, apabila terjadi adanya konflik dalam rumah tangga, cukup dilakukan secara kekeluargaan tanpa harus di bawa ke Pengadilan Agama. Dari hasil wawancara dengan bapak M. Hasan (Amil desa wibawa Mulya) dan
bapak
Agus
Salim
(Kepala
KUA
Kecamatan
Cibarusah),
penulis
membandingkan angka perkawinan yang terjadi di desa Wibawa Mulya dan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah, berikut tabelnya : Tabel Perbandingan Data Perkawinan Tahun 2013 No
Bulan
Perkawinan yang
Perkawinan yang
Tercatat di KUA
Tercatat di Desa
01
Januari
9
12
02
Febuari
5
5
03
Maret
9
11
04
April
13
15
05
Mei
9
9
06
Juni
11
12
07
Juli
10
15
08
Agustus
7
10
09
September
7
9
62
10
Oktober
8
8
11
November
18
20
12
Desember
8
11
Jumlah
114 Perkawinan
137 Perkawinan
Dari tabel diatas, bisa dilihat bahwa angka perkawinan yang tercatat di desa dan di KUA lebih banyak yang tercatat di desa, jadi masih banyak masyarakat di desa Wibawa Mulya yang tidak melakukan pencatatan perkawinan. Dan hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat di desa Wibawa Mulya mengatakan bahwa banyak faktor yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan, diantaranya yaitu : 1. Rendahnya Pendidikan Karena Kesulitan Ekonomi Alasan ini merupakan alasan yang paling mendasar yang biasa saja dimaklumi. Atas dasar alasan inilah biasanya masyarakat golongan menengah bawah yang tidak memiliki harta banyak sehingga tidak sanggup untuk mengurus proses perkawinan secara resmi dan dicatat melalui pejabat yang berwenang. Bagi mereka yang terpenting adalah perkawinannya secara syariat agama bisa dilangsungkan, tidak lagi dianggap sebagai kumpul kebo oleh masyarakat. Mereka berpikiran seperti itu
63
karena kurangnya pengetahuan dan rendahnya pendidikan, ekonimi yang menengaah kebawah rata-rata pendidikannya paling tinggi hanya sampai SD (Sekolah Dasar)15. 2. Karena Pergaulan Bebas Kurangnya pengawasan dari orang tua menjadikan seorang anak bebas bergaul dengan siapa saja, kapan saja dan dimana saja, hingga terjadi perbuatan zina dan mengandung seorang anak di luar perkawinan. Dari pada harus menanggung malu, maka dengan segera orang tua menikahkan anaknya dan tidak mencatatkan perkawinan anaknya karena takut aib anaknya diketahui oleh masyarakat. 3. Mahalnya Biaya Pencatatan Perkawinan Mahalnya biaya pencatatan perkawinan yang terjadi di desa Wibawa Mulya menjadikan masyarakat enggan untuk mencatatkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama. Adanya oknum-oknum tertentu yang menjadikan pencatata perkawinan sangat mahal diatas ketentuan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2001 tentang Biaya Pencatatan Perkawinan sebesar Rp; 30.000 ribu rupiah. Keterangan diatas merupakan faktor yang paling melekat dimana perkawinan di desa Wibawa Mulya tidak mengharuskan perkawinan dicatat. Padahal undangundang perkawinan menentukan selain harus mengikuti hukum agamanya itu, juga harus memenuhi syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
15
Wawancara Pribadi dengan bapak Soleh Hidayat Kaur Pemerintahan desa Wibawa Mulya, (Rabu, 2 April 2014 pukul 10:30). Di balai desa Wibawa Mulya.
64
tentang Perkawinan. Untuk kondisi desa Wibawa Mulya, pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen, padahal menyangkut banyak kepentingan. Adanya faktor-faktor tertentu yang mengaruskan seseorang yang ingin menikah tidak mencatatkan perkawinannya dan tidak mempunyai kepastian hukum. Bila tidak tercatat maka tidak dapat diselesaikan urusannya ke Pengadilan Agama. Karena perkawinan tidak dicatatkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka dampaknya pun dirasakan oleh masyarkat. Penulis menyimpulkan hasil wawancara pelaku perkawinan di bawah tangan tentang dampak yang dirasakan oleh masyarakat, diantaranya yaitu ; 1. Tidak mempunyai akta kelahiran bagi anak. 2. Tidak bisa membuat Kartu Keluarga (KK) karena tidak adanya akta nikah. 3. Tidak mendapatkan harta waris bagi isteri dan anak jika suami telah meninggal atau ditinggal cerai. Untuk dampak waris hanya sebagian kecil saja masyarakat desa Wibawa Mulya yang meraskan dampaknya, karena mengenai waris biasanya diselesaikan secara kekeluargaan, baik dari pihak keluarga suami maupun dari pihak keluarga isteri, tanpa harus ke Pengadilan Agama. Sesungguhnya setiap orang pasti ingin mempunyai keluarga yang harmonis dan kekal dan perkawinannya tercatat, itulah keinginan dari setiap orang yang ingin
65
melanjutkan hidupnya kejenjang perkawinan. Sesungguhnya dalam perkawinan mencakup seluruh segi kehidupan manusia baik dari segi ibadah, sosial dan masyarakat, sehingga ikatan perkawinan menjadi lebih kuat, dan tidak menimbulkan ketidakjelasan hukum yang mengaturnya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai akhir dari pembahasan skripsi ini maka penulis memaparkan kesimpulan dari permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya sebagai berikut: 1. Perkawinan di bawah tangan yang terjadi di desa Wibawa Mulya adalah perkawinan yang sah menurut agama Islam, hanya saja perkawinannya yang dilakukan masyarakat tidak mendatangkan pegawai pencatat nikah dan pasti perkawinannya itu tidak di catatkan. Jadi, perkawinan di bawah tangan yang terjadi di desa Wibawa Mulya bukan perkawinan sirri, perkawinannya adalah sah, ada saksinya ada walinya, ada calon pengantinnya dan ada maharnya, semuanya memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut agama Islam. 2. Yang melatarbelakangi masyarakat Desa Wibawa Mulya melakukan perkawinan di bawah tangan adalah karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum, rendahnya pendidikan mereka, dan juga mahalnya biaya pencatatan perkawinan. dan dari pemerintahan desa juga belum ada sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan.
66
67
3. Dampak yang terjadi, ialah anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan, dan tidak bisa membuat akta kelahiran untuk anak dan tidak bisa membuat kartu keluarga (KK). 4. Pandangan masyarakat terhadap perkawinan di bawah tangan yang terjadi di desa Wibawa Mulya dianggap biasa saja seperti perkawinan pada umumnya, dan menganggap perkawinan tersebut tidak aneh atau berbeda.
B. Saran-saran Dalam hal menanggulangi terjadinya perkawinan di bawah tangan maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut : 1. Karena kurang tahunya masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan maka pemerintah desa, dari pihak Kantor Urusan Agama dan para tokoh masyarakat perlu mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan melalui seminar-seminar yang diselenggarakan di balai desa atau di Kantor Urusan Agama dan juga melalui acara-acara yang diselenggarakan Kementrian Agama dan juga instansi yang berada di bawahya, sehingga pencatatan perkawinan bisa lebih disosialisasikan lagi, agar masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan. 2. Kurangnya sosialisasi
tentang hukum kepada masyarakat,
maka
pemerintah desa dan para tokoh masyarakat perlu meningkatkan sosialsisasinya kepada masyarakat melalui pengajian, khotbah jumat, dan ceramah-ceramah agama dan lain sebagainya, agar masyarakat tahu betul
68
bahwa pentingnya pencatatan perkawinan dan berapa biaya perkawinan menurut undang-undang, agar tidak ada orang yang beranggapan pencatatan perawinan itu mahal, dan mahalnya itu karena oknum-oknum tertentu. 3. Bagi masyarakat harusnya peduli dengan status perkawinan, karena hal ini berdampak bagi keberlangsungan kehidupan juga anak cucunya dengan merasakan betapa pentingnya pencatatan perkawinan dan memiliki akta nikah sebagai bukti yang otentik dalam setiap urusan. 4. Alangkah baiknya pola pemikiran masyarakat dirubah mengenai pemahaman tentang perbedaan antara perkawinan yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama dan mana yang tidak dicatatkan, karena pencatatan perkawinan sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman., Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : CV. Akademika Pressindo 2007. Abbas, Ahmad Sudirman, Pengantar Pernikahan (Analisis Perbandingan Antar Mazhab). Jakarta : PT. Prima Heza Lestari. Al-Hadad, Al-Thahir, Wanita Dalam Syariah Dan Masyarakat. Jakarta :Pustaka Firdaus 1993. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta :SinarGrafika 2006. Al-gozii, Syekh Muhammad bin Khaasim, Fathul Qorib Mujib. Al-Maliki, Muhammad bin Alwi, Etika Islam Tentang Sistem Keluarga. Surabaya : Mutiara Ilmu 1995. Al-Musnad, Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman, Perkawinan Dan Masalahnya. Jakarta Pustaka Al-Kautsar 1993. Asmawi, Mohammad, Nikah (Dalam Perbincangan dan Perbedaan). Yogyakarta : Darussalam 2004. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahannya. Jakarta : MAHKOTA 1989. Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta : Prenada Media 2003. Humairah, Syekh Imam Al-Qoyubi, Al-Mahalli
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2006. Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Moderen. Yogyakarta : Graha Ilmu 2011. Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan. Bandung : AL-BAYAN 1994.
69
70
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata di Indonesia. Bandung : PT. Citra Adtya Bakti, 2003. Nasution, Khoiruddin, Status Wanita Di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, . Jakarta : INIS 2002. Pedoman Penulisan Skripsi. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012. Jakarta : Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) 2012. Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika 2006. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002. Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta :Ghalia Indonesia 1976. Shihab, M. Quraish, Islam Mazhab Indonesia (Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial). Jakarta : TERAJU 2002. Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga. Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008. Sopyan, Yayan, Islam-Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional). Jakarta : Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Syirazi, Imam Muhammad, Dengan Siapa Kita Menikah?: Panduan Islami dalam Memilih Jodoh & Membangun Keluarga Sakinah. Jakarta: Pustaka Zahra 2004. Tarigan, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI). Jakarta : Kencana 2004. Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia 1974. Usman, Suparman, Perkawinan Antar Agama Dan Problematika Hukum Perkawinan Di Indonesia. Serang : Saudara Serang 1995.
71
Yanggo, Huzaimah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer. Bogor : Ghalia Indonesia 2010. Zain, Muhammad dan Muhkhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Harmonis “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu”, (Jakarta Grahacipta 2005).
72
73
74
75
76
77
78
79
80
PEDOMAN WAWANCARA
Wawancara Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) 1. Kapan KUA Kecamatan Cibarusah Berdiri? 2. Selain Mengurusi perkawinan, pelayanan apa saja yang dilakukan KUA kepada masyarakat? 3. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan, khususnya yang ada di Kecamatan Cibarusah? 4. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak? 5. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? 6. Menurut bapak, jika dilihat dari berbagai kasus yang terjadi, apa yang melatarbelakangi adanya perkawinan di bawah tangan? 7. Berapa biaya pencatatan perkawinan? 8. Apakah dari pihak KUA pernah mengadakan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan? 9. Apakah ada solusi yang diberikaan KUA bagi anak yang memiliki orang tua yang menikah di bawah tangan dan tidak mempunyai akta nikah? 10. Apakah KUA memiliki kebijakan sendiri dalam mengatasi problematika tersebut?
81
Wawancara Sekertaris Desa Wibawa Mulya 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan? 2. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak? 3. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? 4. Mengapa masih banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi mereka sehingga melakukan perkawinan di bawah tangan? 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? 6. Pernahkah dari pihak desa bekerja sama dengan pihak KUA dalam mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan? 7. Apakah ada solusi yang diberikaan pihak desa bagi anak yang memiliki orang tua yang menikah di bawah tangan dan tidak mempunyai akta nikah?
82
Wawancara Masyarakat dan Tokoh Masyarakat 1. Bagaimana pendapat anda mengenai perkawinan di bawah tangan, perkawinan itu sah atau tidak? 2. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan? 4. Apakah anda tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? 6. Bagaimana pandangan
masyarakat
perkawinan di bawah tangan?
terhadap
orang
yang melakukan
83
Wawancara Pelaku Perkawinan di Bawah Tangan 1. Pada usia berapakah anda menikah? 2. Sudah berapa lama anda menikah? 3. Di mana anda melakukan perkawinan? 4. Siapa saja saksi yang menghdiri perkawinan anda? 5. Apakah anda tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya? 6. Apakah perkawinan anda tercatat dan mempunyai akta nikah? 7. Apa yang menyebabkan anda melakukan perkawinan di bawah tangan? 8. Apakah anda tahu perkawinan yang anda lakukan itu tidak diakui oleh negara? 9. Setahu
anda
apakah
KUA
dan
pihak
desa
pernah
mengadakan
sosialisasi/penyuluhan tentang perkawinan atau tentang pentingnya pencatatan perkawinan di daerah sini? 10. Apakah Anda tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? 11. Bagaimana pandangan lingkungan sekitar mengenai perkawinan yang anda lakukan? 12. Apa dampak yang anda rasakan dari perkawinan anda?
84
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
:
Usia
:
Pekerjaan
:
Dengan ini saya memberikan pernyataan, bahwa saya telah di wawancarai sebagai nara sumber untuk memenuhi atau melengkapi data yang dibutuhkan penulis, saya telah memberikan jawaban-jawaban yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan seperti yang telah saya alami dan ketahui kepada saudara : Nama
: Ahmad Buhori Muslim
NIM
: 1110044200023
Jurusan/Konsentrasi
: SAS/AKI
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Universitas
: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Wawancara ini di lakukan pada : Hari/Tanggal : Pukul
:
Tempat
:
Demikian surat pernyataan ini, sebagai bukti yang bersangkutan benar-benar telah mewawancarai saya. Bekasi,
,
, 2014
(………………………….)
85
HASIL WAWANCARA
Nama
: Agus Salim, S.Ag.
Jabatan
: Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah
Tempat
: Kantor Urusan Agma Kecamatan Cibarusah
Waktu
: 10 April 2014
Pukul
: 10:30 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Kapan KUA kecamatan cibarusah Berdiri? Kantor Urusan Agama berdisi sejak tahun 1930, sebelum kemerdekaan KUA di kecamatan cibarusah sudah ada, dan kalau dulu dari beberapa kecamatan menikahkannya ke KAU Cibarusah. 2. Selain Mengurusi perkawinan, pelayanan apa saja yang dilakukan KUA kepada masyarakat? Selain mengurusi perkawinan, Kantor Urusan Agama Kecamatan Cibarusah juga mengurusi tentang zakat, wakaf, ibadah social, dan manasiq haji. Tapi banyak dikalangan masyarakat yang beranggapan bahwa Kantor Urusan Agama itu hanya mengurusi perkawinan saja. 3. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan, khususnya yang ada di kecamatan cibarusah? Perkawinan di bawah tangan itu sama halnya dengan perkawinan yang normal, ada saksinya, walinya, dan maharnya juga ada. Bedanya perkwinan itu tidak dicatatkan saja,.
86
4. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak? Menurut saya perkawinan di bawah tangan itu sah, karena sudah memenuhi rukun dan syaratnya menurut hukum Islam. 5. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Menurut hukum Islam sah, asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya, kalau menurut hukum positif perkawinan itu tidak sah, karena tidak di catatkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sesuai yang di atur oleh Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 bahwa “setiap perkawinan harus dicatatkan”. 6. Menurut bapak, jika dilihat dari berbagai kasus yang terjadi, apa yang melatarbelakangi adanya perkawinan di bawah tangan? Banyaknya faktor-faktor menjadikan masyarakat tidak melakukan perkawinan di bawah tangan, pendidikan yang rendah menjadikan kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan, pergaulan bebas menjadikan anak hamil di luar nikah, dan orng tua yang menikahkan anaknya di bawah umur. 7. Berapa biaya pencatatan perkawinan? Biaya pencatatan perkawinan sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah No . 51 tahun 2001 mengenai Biaya Pencatatan Perkawinan sebesar Rp; 30.000 ribu rupiah. Dan pencatatan perkawinannya dilakukan di KUA, bukan di luar KUA. 8. Apakah dari pihak KUA pernah mengadakan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
87
Sebenarnya tidak dari pihak KUA yang langsung terjun kemasyarakat dan mensosialisasikan langsung, karena terbatasnya pegawai yang berada di KUA, setiap hari rabu kita mengadakan rapat Triminggon sekecamatan bahkan seKabupaten Bekasi. Dan bekerja sama dengan para kepala desa untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tentang masalah-masalah yang ada di KUA, terutama masalah pentingnya setiap perkawinan untuk dicatatkan. 9. Apakah ada solusi yang diberikaan KUA bagi anak yang memiliki orang tua yang menikah di bawah tangan dan tidak mempunyai akta nikah? Solusi dari KUA sendiri adalah melakukan isbat nikah ke Pengadilan Agama, penetapan perkawinannya ditetapkan melakui isbat nikah. Apabila pengadilan sudah memberikan surat keterangan tentang dikabulkannya isbat nikah, maka dari pihak KUA bisa membuatkan Akta Nikah. 10. Apakah KUA memiliki kebijakan sendiri dalam mengatasi problematika tersebut? Kami dari pihak KUA sendiri tidak bisa berbuat banyak, karena tidak ada peraturan yang tegas bagi siapa yang melakukan perkawinan di bawah tangan atau tidak melakukan pencatatan perkawinan. dari saya pribadi sebagai kepala KUA Kecamatan Cibarusah berharap ada peraturan yang tegas tentang hal ini. Paling tidak ada sanksi bagi yang melakukan perkawinan di bawah tangan dan yang tidak melakukan pencatatan perkawinan, agar setiap orang yang melakukan perkawinan memiliki bukti yang otentik dan mempunyai kekuatan hukum.
88
HASIL WAWANCARA
Nama
: Jhoni Hermansyah
Jabatan
: Sekertaris Desa Wibawa Mulya
Tempat
: Balai Desa Wibawa Mulya
Waktu
: 02 April 2014
Pukul
: 90:30 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan? Perkawinan di bawah tangan itu menurut saya hampir sama seperti perkawinan normal lainnya, bedanya dia tidak dicatatkan saja. Memang setiap orang mengharapkan perkawinannya itu di catatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), tapi karna ada beberapa faktor-faktor yang menjadikan ada orang-orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan. 2. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak? Menurut saya pribadi sah-sah saja perkawinan tersebut. 3. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Kalau menurut hukum agama yang sudah memenuhi rukun dan syarat itu sah, tapi kan ada juga perkawinan yang diam-diam dan tanpa dihadiri wali juga, nah yang seperti itu tidak sah. Kalo menurut undang-undang negara atau hukum positif pasti tidak sah dan tidak diakui perkwinan tersebut.
89
4. Mengapa masih banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan,
faktor-faktor
apa
yang
melatarbelakangi
mereka
sehingga
melakukan perkawinan di bawah tangan? Mengapa masih banyak yang melakukan perkawinan di bawah tangan di desa wibawa mulya ini, yak arena keterpaksaan. Karna faktor-faktor tertentu, contohnya saja faktor usia dan karna hamil di luar nikah. Faktor usia terkadang itu kesalahan dari orang tua juga, anaknya yang belum berusia di bawah 16 tahun saja sudah dinikahkan oleh orang tuanya. Lalu faktor tentang hamil diluar nikah, ini karena pergaulan dari anak-anak remaja zaman sekarang, yang pacarannya kelewatan hingga anak orang hamil, kan mau gamau anak yang menghamilinya harus bertanggung jawab dan harus di nikahkan segera. 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Masyarakat sama sekali tidak tahu akan pentingnya pencatatan perkawinan, karna mereka fikir perkawinan yang mereka lakukan itu sudah sah, apalagi kalo agama sudah mengatakan sah. Dan mereka juga beranggapan tidak penting dicatatakan atau tidak. Mengapa mereka beranggapan demikian, karena kurangnya pengetahuan pendidikan dan kurang nya SDM (sumber daya manusia), mayoritas didesa ini bapak-bapak dan ibu-ibu itu tingkatan sekolahnya hanya sampai tingkat SD (sekolah dasar). 6. Pernahkah dari pihak desa bekerja sama dengan pihak KUA dalam mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan?
90
Bekerja sama dengan KUA dalam mensosialisasikan masalah perkawinan atau tentang pentingnya pencatatan perkawina sama sekali belum pernah, tapi dari pihak desa secara bertahap sudah mensosialisasikan dengan cara memberitahukan bapak-bapak dan ibu-ibu di pengajian saja, selebihnya belum ada. 7. Apakah ada solusi yang diberikaan pihak desa bagi anak yang memiliki orang tua yang menikah di bawah tangan dan tidak mempunyai akta nikah? Solusi untuk mengatasi permasalahan banyaknya perkawinan di bawah tangan, yaitu setiap tahun ada bantuan dari pemerintah, bagi warga yang tidak mampu yang sudah terlanjur melakukan perkawinan di bawah tangan, lalu kita adakan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Ya walaupun tidak banyak dan hanya beberapa kepala keluarga saja.
91
HASIL WAWANCARA
Nama
: Soleh Hidayat
Jabatan
: Kaur Pemerintahan Desa Wibawa Mulya
Tempat
: Balai Desa Wibawa Mulya
Waktu
: 02 April 2014
Pukul
: 10:30 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan, perkawinan itu sah atau tidak? Perkawinan di bawah tangan menurut saya pribadi sah-sah saja, itu kan sama saja seperti perkawinan pada umumnya. 2. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Menurut hukum Islam kalau terpenuhi rukun dan syaratnya maka sah, menurut undang-undang tidak sah perkawinan itu, karena tidak dicatatkan. Yang membedakan perkawinan di bawah tangan dan perkawinan pada umumnya adalah masalah di pencatatannya saja. 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan? Menurut pengamatan saya masyarakat di desa Wibawa Mulya melakukan perkawinan di bawah tangan karena banyak yang tidak tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan, dan terkadang saya mendengar langsung alasan kenapa
92
perkawinannya tidak di catatkan, kebanyakan mereka mengaku tidak sanggup membayar biaya pencatatan perkawinan karena diminta dari pihak KUA diatas lima ratus ribu rupiah. 4. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? Menurut undang-undang ya hanya tiga puluh ribu rupiah, sebenarnya yang membuat perkawinan itu mahal menurut saya karena kebanyakan masyarakat meminta pencatatan perkawinannya di jam luar kerja para aparat KUA dan disuruh dating kerumahnya. Belum uang transportnya, uang khutbah nikahnya, uang ceramahnya dan sampai doa juga dari pihak KUA. Jadi wajar lah kalau dari pihak KUA memberikan patokan harga seperti itu. Kecuali, masyarakat melakukan pencatatan perkawinan di jam kerja aparat KUA dan di KUA itu sendiri melakukan akad nikahnya, lalu dari pihak KUA memberkan patokan harga yang tidak sedikit. Nah kalo yang seperti itu menurut saya yang tidak boleh. 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Hanya sebagian masyarakat saja yang tahu tentang pentingnya pencatatan perkawina, hanya orang-orang yang tingkan pendidikannya tinggi saja, kebanyakan ibu-ibu dan bapak-bapak di desa ini pendidikannya hanya sampai SD, tapi kalau anak muda sekarang sudah sampai SMA atau SMK karena sekarang sudah ada Sekolah SMK di desa ini, tapi jarang yang sampai kuliah.
93
6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan? Pandangan masyarakat mengenai perkawinan di bawah tangan tidak ada bedanya, masyarakat sini memandang bahwa perkawinan tersebut sah menurut agama dan sudah memenuhi rukun dan syaratnya. Masyarakat juga sudah pahan dan dianggap biasa kalau ada orang yang menikah dan tidak mendatangkan pegawai pencatatn nikah atau tidak dicatatkan, perkawinan tersebut tidak ada bedanya seoerti perkawinan pada umumnya.
94
HASIL WAWANCARA
Nama
: K.H M. Emuh
Jabatan
: Kiyai / Tokoh Masyarakat
Tempat
: Di Rumah K.H M. Emuh
Waktu
: Minggu, 30 Maret 2014
Pukul
: 11:00 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan, Menurut bapak sah atau tidak? Perkawinan di bawah tangan itu perkawinan yang sah, perkawinan yang wajar dan normal, hanya karna tidak di catatkan, istilah namanya menjadi “di bawah tangan”. 2. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Menurut hukum Islam ya sudah pasti sah, karena sudah terpenuhi syarat dan rukunnya, menurut hukum positif bukannya tidak sah perkawinannya tetapi perkawinannya tidak diakui, dan tidak mempunyai kekuatan hukum. 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan? Faktor yang paling sering itu biasanya karena biaya pencatatannya mahal, pergaulan bebas dari anak-anak muda, sampai ada yang hamil di luar nikah dan faktor ekonomi. Ada orang tua yang meminta saya untuk menikahkan anaknya yang masih relatif muda dan usia mereka belum mencapai 16 tahun tapi mereka
95
sangat ingin menikah karena sudah berpacaran cukup lama, orang tuanya pun menyetujuinya, dari pada mereka berbuat zinah lebih baik saya nikahkan, yang terpenting terpenuhi syarat dan rukunnya. 4. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? Biaya pencatatan perkawinan dari dulu sampai sekarang itu tetap Rp; 30.000 ribu menurut undang-undang, akan tetapi ada saja oknum-oknum tertentu yang menjadikan biaya pencatatan perkawinan sangat mahal. 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Hanya sebagian beberapa masyarakat saja yang tahu akan pentingnya pencatatan perkawinan, karena rendahnya pendidikan yang menjadikan masyarakat banyak yang tidak tahu. 6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan? Masyarakat memandangnya biasa saja, tidak ada hal yang aneh atau membedakan, mungkin karena tidak tahu mana yang namanya perkawinan di bawah tangan atau bukan. Bagi mereka perkawinan itu sama saja, yang terpenting sah menurut agama Islam.
96
HASIL WAWANCARA
Nama
: Ahyad
Jabatan
: RT 05 Desa Wibawa Mulya
Tempat
: Di Rumah Bapak RT Ahyad
Waktu
: Minggu, 30 Maret 2014
Pukul
: 09:00 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan, Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak? Perkawinan di bawah tangan itu perkawinan yang tidak di catatkan yang tidak mempunyai buku nikah, menurut saya pribadi perkawinan itu sah karna. 2. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Kalau menurut hukum Islam perkawian di bawah tangan itu sah, karena syarat dan rukunnya sudah terpenuhi, tapi kalau menuhuk hukum positif perkawinan itu tidak sah, orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai akte nikah. 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan? Faktor-faktor yang paling sering terjadi di desa Wibawa Mulya yaitu karna tidak punya biaya, pergaulan bebas menjadikan seseorang hamil diluar nikah dan mau tidak mau harus dinikahkan, dan perkawinan yang masih di bawah umur 16 tahun.
97
4. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? Menurut undang-undang biaya pencatatan perkawinan itu Cuma Rp; 30.000 ribu rupiah. 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Kebanyakan masyarakat tidak tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan, jadi mereka beranggapan bahwa penatatan perkawinan itu tidak terlalu penting dan hanya memakan waktu dan dirasakan sangat mahal. 6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan? Pandangan masyarakat di sini biasa saja tidak ada yang berbeda, paling kalau ada orang yang hamil di luar nikah, biasanya sering di bicarakan oleh masyarakat. Tapi kalo kelama-lamaan sudah terbiasa, dan tidak sering dibicarakan oleh masyarakat.
98
HASIL WAWANCARA
Nama
: M. Hasan
Jabatan
: Penghulu (Amil) Desa Wibawa Mulya
Tempat
: Di Rumah Bapak M. Hasan
Waktu
: Minggu, 30 Maret 2014
Pukul
: 17:00 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan? Perkawinan di bawah tangan itu perkawinan yang tidak di catatkan, dan menurut saya kurang efektif. 2. Menurut bapak bagaimana perkawinan di bawah tangan itu, sah atau tidak? Perkaawinan di bawah tangan itu sah-sah saja, karena sudah memenuhi syarat dan rukunnya. 3. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Kalau dari hukum Islam memandang perkawinan di bawah tangan itu sah, asalkan sudah terpenuhi rukun dan syaratnya. Adanya calon pengantin, adanya wali, adanya saksi dan mahar jadi bisa dikatakan sah. Kalau menurut hukum positif perkawinan tersebut tidak sah dan tidak mendapatkan kekuatan hukum dan juga tidak diakui oleh negara sebagai perkawinan yang benar karena tidak dicatatkan.
99
4. Mengapa masih banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan,
faktor-faktor
apa
yang
melatarbelakangi
mereka
sehingga
melakukan perkawinan di bawah tangan? Banyak faktor-faktor yang menjadikan orang melakukan perkawinan di bawah tangan, tetapi kebanyakan di desa wibawa mulya ini karena pergaulan bebas, hamil duluan sebelum menikah dan juga ketidaktahuan orang tuanya menikahkan anaknya dan tidak di catatkan 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Kalau dulu di desa Wibawa Mulya kebanyakan masyarakatnya tidak tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan, tetapi sekarang masyarakat sudah banyak yang tahu, walaupun ada beberapa yang tidak tahu. 6. Pernahkah dari pihak desa bekerja sama dengan pihak KUA dalam mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Secara garis besar mengatasnamakan desa belum pernah mengadakan kerja sama dalam mensosialisasikan tentang pentingnya pencatatan, tapi saya pribadi sekalu penghulu atau amil, sering memberitahukan tentang pentingnya pencatatan perkawinan kepada setiap orang yang ingin menikah, dan tidak semua yang saya beri tahu kepada masyarakat, masyarakat mau mendengarkan, terkadang ada juga yang mengabaikan.
100
7. Apakah ada solusi yang diberikaan pihak desa bagi anak yang memiliki orang tua yang menikah di bawah tangan dan tidak mempunyai akta nikah? Bagi orang tua yang sudah terlanjur melakukan perkawinan di bawah tangan, maka harus mengajukan isbat nikah kepada Pengadilan Agama, tanpa harus mengulang lagi pernikahannya.
101
HASIL WAWANCARA
Nama
: Ela Nurlela
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tempat
: Di Depan Rumah Ibu Ela Nurlela
Waktu
: Selasa, 25 Maret 2014
Pukul
: 17:00 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Bagaimana pendapat ibu mengenai perkawinan di bawah tangan, Menurut ibu perkawina itu sah atau tidak? Perkawinan di bawah tangan menurut saya pribadi sah-sah saja, karena kan perkawinan tersebut sudah memenuhi rukun dan syarat sesuai ketentuan agama Islam. 2. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Kalau menurut hukum islam jelas itu sudah sah, syarat dan rukun sudah terpenuhi, tapi menurut undang-undang perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah menurut negara kita, setahu saya kalau undang-undang itu kan mengahruskan perkwinan itu dicatatkan. 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan? Didesa Wibawa Mulya ini banyak sekali faktor-faktor kenapa masyarakat banyak yang menikah tidak dicatatkan, tapi yang paling sering yaitu masalah biaya
102
pencatatan perkawinannya yang sangat mahal, rata-rata diatas Rp; 500.000ribu, ditambah lagi kondisi ekonomi yang rendah. Dan faktor pergaulan bebas anakanak mudah jaman sekarang, baru kelas 1 SMA saja sudah ada yang hamil, umurnya masih muda tapi mau tidak mau harus dinikahkan oleh orang tuanya, tapi tidak dicatatkan. Kebanyakan faktor-faktor itu yang menyebabkan masyarakat tidak melakukan pencatatan perkaawinannya. 4. Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? Saya kurang tahu kalau menurut undang-undang berapa, biasanya warga di sini kalau mau menikah dan dicatatkan itu bisa lima ratur ribu keatas biayanya. 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Mungkin sekitar 40% saja masyarakat yang tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan, ya karena faktor pendidikan yang rendah. 6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan? Masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan atau peerkawinan yang tidak dicatatkan itu dianggapnya biasa aja tidak ada hal yang aneh. Biasanya orang-orang tau kalau pernikahannya itu tidak mendatangkan pegawai pencatat nikah atau tidak mendatangkan amil dari KUA, biasanya dia tidak mempunyai biaya, dan masyarakat sudah biasa meliah kasus perkawinan yang seperti itu.
103
104
HASIL WAWANCARA
Nama
: Encop Sofiah
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tempat
: Di Depan Rumah Ibu Sofiah
Waktu
: Selasa, 25 Maret 2014
Pukul
: 16:30 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Bagaimana pendapat ibu mengenai perkawinann di bawah tangan, perkawinan itu sah atau tidak? Menurut saya perkawinan di bawah tangan itu sama saja dengan perkawina normal lainnya, yang membedakan itu mendapat buku nikah dan tidak mendapat buku nikah. 2. Bagaimana kedudukan Perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Kalau menurut hukum Islam perkwinan di bawah tangan itu sah karna rukun dan syaratnya sudah terpenuhi, tapi kalau menurut negara tidak sah karna tidak dicatatkan dan tidak mendapatkan akte nikah. 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan? Yang paling sering saya dengar di desa ini yaitu masalah biaya pencatatan perkawinannya yang sangat mahal, saudara saya saja ditawarkan ketika mau menikah, kalau mau perkawinannya di catatkan harus membayar enam ratus ribu
105
rupiah. Dulu ketika saya meniha tidak semahal itu dan prosesnya juga ga sulit, kalau sekarang dipersulit, kalau mau cepet harus bayar lebih mahal lagi. 4. Apakah anda tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? Saya kurang tahu berapa harga pencatatan perkawinan menurut undang-undang, setahu saya kalau sekarang ini mau menikah dan perkawinannya itu mau dicatatkan, minimal kita harus membayar lima ratus ribu rupiah. 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Kebanyakan masyarakat tidak tahu, masyarakat menganggap bahwa pencatatan perkawinan itu tidak terlalu penting hanya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. 6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan? Pandangan masyarakat kepada orang yang melakukan perkawinan tidak dicatatkan itu biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda, sama hal nya kebanyakan pernikahan lainnya.
106
107
HASIL WAWANCARA
Nama
: Jajuli
Pekerjaan
: Wiraswasta
Tempat
: Di Depan Ruko
Waktu
: Rabu, 26 Maret 2014
Pukul
: 16:30 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan, perkawinan itu sah atau tidak? Menurut saya pribadi sah-sah saja, bedanya kan dicatatkan dan tidak dicatatkannya saja. 2. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Menurut hukum Islam sah asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya ketika pernikahan dilakukan, tetapi kalau menurut hukum setahu saya tidak sah. Undangundangnya nomor berapanya saya kurang tahu, tapi yang pastinya kalau menurut negara tidak sah. 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan? Karena saya orang pendatang di desa ini, kurang begitu paham. Tapi dengardengar dari tetangga kebanyakan masalah biayanya mahal, dari pihak KUA memberikan harga rata-rata diatas lima ratus ribu.
108
4. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? Saya kurang tahu kalau biaya asli pencatatan perkawinan menurut undang-undang. 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Spertinya masyarakat di desa ini kebanyakan tidak tahu tentang pentingnya pencatatan perkwinan. 6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan? Pandangan masyarakat biasa-biasa saja, seperti perkawinan lain pada umumnya. Masyarakat sebenarnya tidak tahu istilah “perkawinan di bawah tangan” itu, tahu nya perkawinan itu sah menurut agama. Yang terpenting terpenuhi syarat dan rukunnya.
109
110
HASIL WAWANCARA
Nama
: Nurhayati
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tempat
: Di Depan Ruko
Waktu
: Rabu, 26 Maret 2014
Pukul
: 14:00 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Bagaimana pendapat ibu mengenai
perkawinan di bawah tangan,
perkawinan itu sah atau tidak? Perkawinan di bawah tangan itu perkawinan yang tidak mendaftarkan waktu pernikahannya di KUA, jadi menurut saya perkawinan di bawah tangan itu sah, beda nya didaftarkan di KUA dan tidaknya saja. 2. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Menurut hukum Islam sah, yang terpenting syarat dan rukunnya ada ketika melaksanakan pernikahan. Menurut hukum di negara ini sepertinya tidak sah, lebih jelasnya kuarang tahu juga saya kalau menurut negara. 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan? Masyarakat desa sini banyak yang tidak mencatatkan di KUA kebanyakan masalah biaya sama pergaulan bebas anak muda jaman sekarang. Masalah biaya biasanya dari piahk KUAnya yang memberi harga mahal untuk akta nikahnya, pergaulan
111
bebas anak-anak sekolah yang pacarannya kelewatan sampai-sampai hamil perempuannya, yam au gam au orang tuany menikahkan anaknya itu, nah biasanya tidak mendaftarkan ke KUA, langsung saja hanya mengundang kiyai dan para tokoh masyarakat saja. 4. Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? Kurang tahu juga saya biaya pencatatan perkawinan menurut undang-undang. 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Sepertinya untuk masyarakat di desa ini tidak terlalu mementingkan pencatatan perkawinan, kebanyakan beranggapan hanya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. 6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan? Pandangan masyarakat di desa ini biasa-biasa saja, layaknya perkawinan biasanya. Dan karena seringnya anak-anak muda yang hamil duluan, jadi kalau ada anak muda yang hamil duluan dan langsung dinikahkan oleh orang tuanya itu juga sudah menjadi hal yang biasa, sudah tidak aneh lagi kalau denger-denger ada anak mudah yang hamil duluan baru dinikahkan. Walaupun tujuanya menutupi aibnya, tapi tetap saja semua orang sudah tahu.
112
113
HASIL WAWANCARA
Nama
: Taufik Hidayat
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
Tempat
: Di Depan Masjid
Waktu
: Kamis, 27 Maret 2014
Pukul
: 11:30 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Bagaimana pendapat bapak mengenai perkawinan di bawah tangan, perkawinan itu sah atau tidak? Pekawinan di bawah tangan itu kan yang tidak mencatatkannya pada KUA, tapi sah menurut agama, menurut saya juga sah-sah saja perkawian tersebut. 2. Bagaimana kedudukan perkawinan tersebut dari sudut pandang hukum Islam dan hukum positif? Kalau menurut hukum Islam sah, asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya. Menurut negara sepertinya tidak sah, karena nantinya kalau punya anak tidak bisa membuat akta kelahiran dan tidak bisa membuat kartu keluarga. 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadikan masyarakat melakukan perkawinan di bawah tangan? Kebanyakan dari masyarakat desa Wibawa Mulya ini karena faktor pergaulan bebas si biasanya, anak muda yang hamil duluan sebeum nikah, dan kalau sudah ketahuan mau tidak mau dinikahkan oleh orang tuanya, tapi kebanyakan tidak
114
dicatatkan. Dan juga masalah mahalnya biaya membuat akta nikah atau buku nikahnya, dari pihak KUAnya mahal. 4. Apakah bapak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? Kalau biaya menurut undang-undang saya kurang tahu, tapi kalalu dari pihak KUA rata-rata biayanya lebih dari lima ratus ribu rupiah. 5. Apakah masyarakat tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan? Kebanyakan masyarakat tidak tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan, hanya sebagian masyarakat saja yang tahu. Mungkin tang pendidikannya tinggi, minimal sampai SMA, kebanyakan ibu-ibu atau bapak-bapak disini hanya sampai SD pendidikannya. 6. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan? Pandangan masyarakat biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda apabila perkawinannya tidak dicatatkan, mungkin karena faktor pengetahuan yang kurang.
115
116
HASIL WAWANCARA
Nama
: Holidah
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tempat
: Di Depan Rumah Ibu Holidah
Waktu
: Rabu, 26 Maret 2014
Pukul
: 13:00 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Pada usia berapakah ibu menikah? Saya menikah pada usia 21 tahun. 2. Sudah berapa lama ibu menikah? Kira-kira sudah 9 tahun saya menikah. 3. Dimana ibu melakukan pernikahan? Saya melakukan perkawinan di rumah sendiri. 4. Siapa saja saksi yang menghadiri pernikahan ibu? Yang menjadi saksi kakak pertama saya dan adiknya ibu saya dan yang hadir ketika itu dari tokoh-tokoh masyarakat seperti pak RT RW dan bpk K.H Emuh. 5. Apakah ibu tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya? Setahu saya KUA itu untuk mendaftarkan calon-calon pengantin, orang yang ingin menikah ke KUA. Untuk fungsi yang lain, saya belum tahu. 6. Apakah perkawinan ibu tercatat dan mempunyai akta nikah? Perkawinan saya tidak di catatkan di KUA dan tidak mempunyai akta nikah.
117
7. Apa yang menyebabkan ibu melakukan perkawinan di bawah tangan atau tidak mencatatkan perkawinan ibu? Karena biayanya yang sangat mahal, ketika saya mau mendaftarkan perkawinan saya dan disuruh membayar enam ratus ribu, saya pikir buat apa cuma buku nikah saja harganya sampai semahal itu, sedangkan pekerjaan suami saya hanya seorang kuli muat batu-bata, jadinya saya tidak mencatatkan perkawinan saya di KUA. 8. Apakah ibu tahu perkawinan yang ibu lakukan itu tidak diakui oleh negara? Saya tidak tahu untuk diakui atau tidaknya, setahu saya menurut agama sudah sah. 9. Setahu
ibu
apakah
sosialisasi/penyuluhan
KUA
dan
tentang
pihak
perkawinan
desa atau
pernah tentang
mengadakan pentingnya
pencatatan perkawinan di daerah sini? Belum pernah ada sosialisasi dari pihak KUA maupun dari pihak desa tentang pentingnya pencatatan perkawinan, lagi pula kalau ada penyuluhan pasti saya juga akan bertanya kepada pihak KUA kenapa biaya pencatatan perkawinan atau ingin mempunyai akta nikah sangat mahal. 10.
Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang? Kalau menurut undang-undang kurang tahu, yang saya tahu biaya pencatatan perkawinan itu di atas lima ratus ribu rupiah. 11.
Bagaimana pandangan masyarakat sekitar mengenai perkawinan yang
ibu lakukan?
118
Pandangan masyarakat terhadap perkawinan yang saya lakukan biasa-biasa saja, tidak ada masyarakat yang beranggapan berbeda atau aneh, karena setahu masyarakat perkawinan yang saya lakukan juga sah-sah saja, yang penting syarat dan rukunnya sudah terpenuhi, begitu si kalau menurut agama. 12.
Apa dampak yang ibu rasakan dari perkawinan?
Saya tidak bisa membuat akta kelahiran untuk anak saya dan tidak bisa membuat kartu keluarga karena tidak ada akta nikah. Pernah dari pihak desa menawarkan membuat akta kelahiran untuk anak saya dan membuat kartu keluarga, tapi lagilagi yang berbicara uang, saya harus membayar dengan uang yang tidak sedikit, jadi saya tidak mau.
119
120
HASIL WAWANCARA
Nama
: Iis Suryani
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tempat
: Di Depan Rumah Iis
Waktu
: Selasa, 25 Maret 2014
Pukul
: 13:20 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Pada usia berapakah ibu menikah? Saya menikah pada usia 20 tahun. 2. Sudah berapa lama ibu menikah? Saya menikah sudah 10 tahun. 3. Dimana ibu melakukan pernikahan? Ketika itu saya melakukan perkawinan di rumah saya sendiri. 4. Siapa saja saksi yang menghadiri pernikahan ibu? Banyak dari tokoh-tokoh masysrakat dan yang menjadi saksi adalah kakak kandung ibu saya dan adik kandung ibu saya. 5. Apakah ibu tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya? Yang saya tahu mengenai KUA itu tempat mendaftarkan calon pengantin yang ingin menikah, fungsi selain itu saya kurang tahu. 6. Apakah perkawinan ibu tercatat dan mempunyai akta nikah?
121
Perkawinan saya tidak di catatkan oleh pihak KUA dan tidak mempunyai akta nikah atau buku nikah. 7. Apa yang menyebabkan ibu melakukan perkawinan di bawah tangan? Karena biaya untuk mencatatkan di KUA sangat mahal, dulu saya disuruh membayar lima ratus ribu rupiah, saya tidak mempunyai biaya lagi sedangkan suami saya hanya kuli muat batu-bata, dari pada membayar untuk buku nikah lebih baik uangnya saya gunakan untuk hal lain. 8. Apakah ibu tahu perkawinan yang ibu lakukan itu tidak diakui oleh negara? Pernah dengar dulu, kalau perkawinannya tidak dicatatkan maka tidak diakui oleh negara, tapi saya tidak pedulu karena menurut saya sah walaupun tidak dicatatkan di KUA. Asalkan memenuhi rukun dan syaratnya menurut agama. 9. Setahu ibu apakah KUA dan pihak desa pernah mengadakan sosialisasi/penyuluhan tentang perkawinan atau tentang pentingnya pencatatan perkawinan di daerah sini? Sama sekali belum ada sosialisasi dari pihak KUA maupu dari desa. 10. Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undangundang? Saya kurang tahu berapa biaya pencatatan menurut undang-undang. 11. Bagaimana pandangan masyarakat sekitar mengenai perkawinan yang ibu lakukan?
122
Pandangan masyarakat biasa saja, perkawinan saya sama seperti perkawinan orang-orang. 12. Apa dampak yang ibu rasakan dari perkawinan ibu? Dampak yang saya rasakan tidak bisa membuat akta kelahiran untuk anak saya.
123
124
HASIL WAWANCARA
Nama
: Nemah
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tempat
: Di Depan Rumah Ibu Nemah
Waktu
: Selasa, 25 Maret 2014
Pukul
: 14:00 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Pada usia berapakah ibu menikah? Saya menikah pada usia 16 tahun. 2. Sudah berapa lama ibu menikah? Kurang lebih sudah 14 tahun saya menikah. 3. Dimana ibu melakukan pernikahan? Saya melakukan pernikahan di rumah saya sendiri. 4. Siapa saja saksi yang menghadiri pernikahan ibu? Paman saya dan kakak saya sendiri. 5. Apakah ibu tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya? Setahu saya KUA itu kalo ada orang yang mau menikah ya kesitu. selain fungsi yang lain saya kurang tahu. 6. Apakah perkawinan ibu tercatat dan mempunyai akta nikah? Saya tidak mempunyai akta nikah atau buku nikah.
125
7. Apa yang menyebabkan ibu melakukan perkawinan di bawah tangan? Karena waktu dulu saya masih kecil dan belum tahu apa-apa, saya di jodohkan oleh orang tua saya. 8. Apakah ibu tahu perkawinan yang ibu lakukan itu tidak diakui oleh negara? Setahu saya perkawinan yang saya lakukan sah, karena sudah memenuhi syarat dan rukunnya, menurut agama Islam kalau sudah terpenuhi syarat dan rukunnya, ya perkawinannya sah. Kalau menurut negara tidak tahu diakui atau tidaknya. 9. Setahu
ibu
apakah
sosialisasi/penyuluhan
KUA tentang
dan
pihak
perkawinan
desa atau
pernah tentang
mengadakan pentingnya
pencatatan perkawinan di daerah sini? Semenjak saya berkeluarga belum pernah ada sosialisasi tentang perkawinan atau masalah pencatatan perkawinan. 10.
Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang? Saya tidak tahu berapa biaya pencatatan menurut undang-undang. Kalau menuru orang-orang KUA saya tahu nya mahal. 11.
Bagaimana pandangan lingkungan sekitar mengenai perkawinan yang
ibu lakukan? Pandangan masyarakat biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda atau aneh ketika saya menikah, ya karna setahu saya perkawinan saya sah-sah saja seperti perkawinan lainnya, bedanya hanya tidak dicatatkan saja.
126
12.
Apa dampak yang ibu rasakan dari perkawinan ibu?
Untuk dampak yang saya rasakan yaitu tidak bisa membuat akta kelahiran untuk anak saya dan tidak bisa membuat kartu keluarga (KK)
127
128
HASIL WAWANCARA
Nama
: Sapitri
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tempat
: Di Depan Rumah Ibu Sapitri
Waktu
: Kamis, 27 Maret 2014
Pukul
: 10:30 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Pada usia berapakah ibu menikah? Saya menikah pada usia 17 tahun. Karena saya tidak sekolah sampai SMA, dan bekerja membantu orang tua saya di lio, jadi saya di jodohkan dengan kampung sebelah. 2. Sudah berapa lama ibu menikah? Saya menikah kurang lebih sudah 15 tahun. 3. Dimana ibu melakukan pernikahan? Saya menikah dirumah saya sendiri. 4. Siapa saja saksi yang menghadiri pernikahan ibu? Yang menjadi saksi pak RT dan sodara saya, dan yang hadir ketika pernikahan saya banyak dari tokoh masyarakat. 5. Apakah ibu tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya? Iya saya tahu KUA itu tempat untuk mendaftarkan calon pengantin, atau orang yang mau menikah, harus ke KUA. Untuk fungsi KUA selain tempat untuk calon pengantin saya kurang tahu.
129
6. Apakah perkawinan ibu tercatat dan mempunyai akta nikah? Perkawinan saya tidak mempunyai akta nikah, ketika saya menikah tidak di catatkan oleh orang dari pihak KUA. 7. Apa yang menyebabkan ibu melakukan perkawinan di bawah tangan? Karena biayanya mahal, sebenarnya saya sebelum menikah sudah datang ke KUA, tapi setelah saya menanyakan biaya administrasinya ternyata sangat mahal, akhirnya saya dan suami saya memutuskan untuk tidak mencatatkan perkawinan, dari pada saya harus membayar hanya untuk akta nikah, leih baik saya gunakan uang nya untuk hal lain. 8. Apakah ibu tahu perkawinan yang ibu lakukan itu tidak diakui oleh negara? Saya kurang tahu untuk diakui atau tidak nya perkawinan saya. Yang tepenting perkawinan saya sah menurut agama. 9. Setahu
ibu
apakah
sosialisasi/penyuluhan
KUA tentang
dan
pihak
perkawinan
desa atau
pernah tentang
mengadakan pentingnya
pencatatan perkawinan di daerah sini? Belum pernah sama sekali ada penyuluhan di desa ini, kalau misalnya ada penyuluhan tentang pentingnya pencatatan perkawinan, mungkin saya juga mencatatkan perkawinan saya dan akan menanyakan mengapa biaya pencatatan perkawinannya itu mahal. 10.
Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang? Saya tidak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-undang.
130
11.
Bagaimana pandangan lingkungan sekitar mengenai perkawinan yang
ibu lakukan? Lingkungan sekitar mengenai perkawinan saya biasa-biasa saja tidak ada hal yang berbeda atau aneh dimata masyarakat, karna menurut saya perkawinan yang saya lakukan juga sudah sah dan memenuhi rukun dan syarat sesuai ketentuan agama. 12.
Apa dampak yang ibu rasakan dari perkawinan ibu?
Untuk dampak yang saya rasakan, awalnya si saya agak kesulitan membuat akta kelahiran untuk anak saya dan membuat kartu keluarga. Tetapi, ada pihak dari desa yang menawarkan saya membuat akta kelahiran dankartu keluarga dengan cara lain, ya walaupun ujung-ujungnya duit yang bicara dan lumayan mahal untuk membayarnya, jadi saya mempunyai akta kelahiran anak saya.
131
132
HASIL WAWANCARA
Nama
: Enap Napsiah
Pekerjaan
: Karyawan
Tempat
: Di Depan Rumah Ibu Enap
Waktu
: Kamis, 27 Maret 2014
Pukul
: 16:00 WIB
…………………………………………………………………………………………. 1. Pada usia berapakah ibu menikah? Saya menikah pada usia 20 tahun. 2. Sudah berapa lama ibu menikah? Sekitar sembilan tahun lamanya saya menikah. 3. Dimana ibu melakukan pernikahan? Saya melakukan perkawinan di rumah saya sendiri. 4. Siapa saja saksi yang menghadiri pernikahan ibu? Yang menjadi saksi ketika pernikahan saya yaitu mamang saya dan pak RT, dan dari tokoh masyarakat lainnnya juga datang. 5. Apakah ibu tahu mengenai Kantor Urusan Agama, dan apa fungsingnya? Kantor Urusan Agama setahu saya tempat buat orang yang mau menikah. 6. Apakah perkawinan ibu tercatat dan mempunyai akta nikah? Tidak, perkawinan saya tidak di catatkan oleh pihak KUA dan saya tidak mempunyai akta nikah.
133
7. Apa yang menyebabkan ibu melakukan perkawinan di bawah tangan? Ketika saya mau melangsungkan perkawinan, saya tidak datang ke KUA, karena biaya pencatatannya mahal, memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. 8. Apakah ibu tahu perkawinan yang ibu lakukan itu tidak diakui oleh negara? Saya tidak tahu diakui atau tidak nya oleh negara, kalau saya tahu biaya menurut undang-undang pasti saya juga protes kepada pihak KUA, kenapa biaya penatatan perkawinan bisa semahal itu. 9. Setahu
ibu
apakah
sosialisasi/penyuluhan
KUA tentang
dan
pihak
desa
perkawinan
atau
pernah tentang
mengadakan pentingnya
pencatatan perkawinan di daerah sini? Dari pihak desa atau pun dari pihak KUA belum pernah mengadakan sosialisasi kepada masyarakat sinih. Jadi saya tidak tahu tentang pentingnya pencatatan perkawinan. 10.
Apakah ibu tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-
undang? Saya tidak tahu berapa biaya pencatatan perkawinan menurut undang-undang. ka 11.
Bagaimana pandangan lingkungan sekitar mengenai perkawinan yang
ibu lakukan? Biaasa saja, tidak ada hal yang aneh ketika perkawinan saya berlangsung. Ya mungkin karena emang perkawinan saya sah, sah menurut agama, jadi masyarakat juga terlihatnya biasa aja layaknya perkawinan lain.
134
12.
Apa dampak yang ibu rasakan dari perkawinan ibu?
Untuk dampak yang saya rasakan untuk sekarang ini saya tidak bisa membaut akta kelahiran untuk anak saya, dan tidak punya kartu keluarga. Bisa sebenarnya saya membuat kata kelahiran anak saya dan membuat kartu keluarga, tetapi lagi-lagi uang yang berbisara, karena kondisi ekonomi saya tidak seberapa jadi saya malas untuk membuat dengan uang yang tidak sedikit.
135